scylla serrata

293
D PEN MA SU DI TAMAN NGELOLA ANGROVE UMBERDA N NASION NIR SE INS AAN ZONA E MELALU AYA KEPI NAL KUTA RMALAS EKOLAH STITUT P A PEMANF UI OPTIM ITING BA AI PROVIN SARI IDHA H PASCAS PERTANIA BOGOR 2011 FAATAN E MASI PEMA AKAU (Scyl NSI KALI A WIJAY SARJANA AN BOGO EKOSISTE ANFAATA lla serrata) MANTAN YA A OR EM AN N TIMUR

Upload: lamngoc

Post on 12-Jan-2017

355 views

Category:

Documents


22 download

TRANSCRIPT

Page 1: scylla serrata

D

PENMA

SUDI TAMAN

NGELOLAANGROVEUMBERDAN NASION

NIR

SEINS

AAN ZONAE MELALUAYA KEPINAL KUTA

RMALAS

EKOLAHSTITUT P

A PEMANFUI OPTIMITING BAAI PROVIN

SARI IDHA

H PASCASPERTANIA

BOGOR2011

FAATAN EMASI PEMAAKAU (Scyl

NSI KALI

A WIJAY

SARJANAAN BOGO

EKOSISTEANFAATAlla serrata)MANTAN

YA

A OR

EM AN

N TIMUR

Page 2: scylla serrata

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Pengelolaan Zona

Pemanfaatan Ekosistem Mangrove melalui Optimasi Pemanfaatan Sumberdaya Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Taman Nasional Kutai Provinsi Kalimantan Timur adalah hasil karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Januari 2011

Nirmalasari Idha Wijaya NIM C262070071

Page 3: scylla serrata

ABSTRACT

NIRMALASARI IDHA WIJAYA. General Use Zone Governance by Optimizing of Scylla serrata Utilization in Kutai National Park on East Kalimantan Province. Under direction of FREDINAN YULIANDA, MENNOFATRIA BOER, and SRI JUWANA.

Mud crab is one of the resources in Kutai National Park (Kutai NP) mangrove ecosystem that can be utilized for the sylvofishery. This is an alternative livelihood for local residents, that doesn’t damage the forest to meet their necessity. The objectives of this study were: 1) to identify bioecological status of crabs resources in Kutai NP mangrove forest, 2) to review environmental carrying capacity for sylvofishery of S. serrata in Kutai NP’s mangrove ecosystem, and 3) make recommendations of mangrove crabs management to ensure the sustainability of its utilization and at the same time preserving the mangrove forest in the Kutai NP. The data was collected since Oktober 2008 to June 2010. The S. serrata’s bioecological status was analyzed by calculating the growth parameters and prediction of the exploitation rate of S. serrata using FISAT II instrumen. The carrying capacity of region was analyzed using Habitat Suitability Index (HSI) method, and the analysis of management sustainability was done using dinamic models. The results showed that there was a high interest from the public to cultivate mud crabs with sylvofishery system. But the catching of S. serrata, to meet of the mud crab seed, necessary to be regulated carefully. It was caused the factual exploitation rate of the Muara Sangatta and Teluk Perancis was exceeds the rate of allowed exploitation. The rate of exploitation was between 0.524-0.67/year. However, exploitation in Muara Sangkima is still slightly below the allowed exploitation. To reduce fishing pressure on S. serrata, sylvofishery cultivation needs to be done. The cultivation make the growth coefficient (K) of S. serrata to be higher, or the growth of crabs more faster than in wild live. HSI analysis showed the highest carriying capacity in the Muara Sangatta region was 0.622 and capable to supporting 490 of sylvofishery pen units. Based on the bioecological status of S. serrata and the carrying capacity of the region, it is known that the Muara Sangatta suitable for sylvofishery zone and Muara Sangkima according to fishing zone of S. serrata. Dynamic model analysis shows that the optimistic scenario provides a more optimal and sustainable resource in utilization of S. serrata.

Key words: Scylla serrata, mangrove, Kutai National Park, bioecology, sylvofishery, zoning.

Page 4: scylla serrata

RINGKASAN

NIRMALASARI IDHA WIJAYA. Pengelolaan Zona Pemanfaatan Ekosistem Mangrove melalui Optimasi Pemanfaatan Sumberdaya Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Taman Nasional Kutai Provinsi Kalimantan Timur. Di bawah bimbingan FREDINAN YULIANDA, MENNOFATRIA BOER, dan SRI JUWANA.

Taman Nasional Kutai (TNK) memiliki ± 5 227 ha hutan mangrove di

sepanjang pesisir pantainya. Hampir 23% luas hutan mangrove ini mengalami degradasi akibat konversi lahan dan pemanfaatan yang merusak. Untuk itu perlu dicari konsep pengelolaan yang dapat mempertahankan kelestarian ekosistem mangrove, namun juga mempertimbangkan keberlanjutan hidup masyarakat lokal.

Kepiting bakau merupakan salah satu sumberdaya yang terdapat dalam ekosistem mangrove yang dapat dimanfaatkan untuk budidaya sylvofishery. Pemanfaatan ini merupakan matapencaharian alternatif bagi penduduk lokal dalam kawasan TNK agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa merusak hutan mangrove. Penelitian ini bertujuan untuk 1) mengidentifikasi status bioekologi sumberdaya S. serrata meliputi; sebaran ukuran, parameter pertumbuhan, pola distribusi spasial dan temporal, serta laju eksploitasinya di hutan mangrove TNK; 2) melakukan kajian daya dukung lingkungan bagi sumberdaya S. serrata di ekosistem mangrove TNK; 3) membuat rekomendasi pengelolaan sumberdaya S. serrata di kawasan konservasi mangrove TN Kutai.

Pengumpulan data biologi S. serrata diperoleh dari observasi terhadap kepiting bakau yang dilakukan selama 8 bulan (4 bulan di musim hujan dan 4 bulan di musim kemarau). Pengumpulan data seluruhnya dilakukan sejak Oktober 2008-Juni 2010, pada lokasi tiga stasiun pengamatan yang dipilih sesuai karakteristik habitat mangrove. Data biologi S. serrata dianalisis dengan metode analitik menggunakan alat bantu FISAT-II. Daya dukung kawasan dianalisis menggunakan pendekatan Habitat Suitability Index (HSI), dan keberlanjutan pengelolaan dianalisis dengan menggunakan model dinamik dengan alat bantu Powersim Studio 2005.

Hasil penelitian tentang kondisi ekobiologi S. serrata menunjukkan bahwa pola pertumbuhan S. serrata jantan di habitat mangrove TN Kutai bersifat allometrik positif (pertambahan bobot lebih cepat dibanding pertambahan lebar karapasnya) sedangkan S. serrata betina bersifat allometrik negatif. Koefisien pertumbuhan (K) S. serrata berkisar antara 0.45-1.50. Koefisien pertumbuhan S. serrata di Muara Sangatta lebih tinggi dibanding lokasi lainnya. Lebar karapas S. serrata di zona tengah hutan mangrove, yang diperoleh dari hasil tangkapan alat pengait, 83.88% berukuran lebih dari 100 mm, dengan frekuensi tangkapan tertinggi pada interval 109.5-129.5 mm dan ratio jantan:betina 1:0.47. Sebaran ukuran lebar karapas S. serrata di zona pinggiran hutan mangrove, ukuran lebar karapas S. serrata pada kelas ukuran kurang dari 100 mm mencapai 77.95%, dengan frekuensi tangkapan tertinggi pada interval 78-89 mm, dan ratio jantan:betina 1:0.85. Sebaran ukuran lebar karapas S. serrata di zona perairan laut, 42% merupakan kepiting yang berukuran kurang dari 100 mm, dan sisanya sebesar 58% merupakan kepiting yang berukuran lebih dari 100 mm, dan ratio jantan:betina 1:2.5. Kelimpahan individu betina matang gonade mencapai puncak pada bulan Januari, Februari, dan Maret. Diduga terjadi puncak kelimpahan yang kedua pada bulan Agustus dan September.

Berdasarkan kondisi biologi S. serrata yang diolah dengan metode analitik, diketahui bahwa penangkapan S. serrata sudah berada di atas laju eksploitasi

Page 5: scylla serrata

maksimal, hanya di lokasi Muara Sangkima penangkapan kepiting jantan masih sedikit di bawah eksploitasi maksimal yang diperbolehkan.

Hasil analisis HSI menunjukkan bahwa daya dukung di lokasi Muara Sangatta tertinggi dibanding lokasi yang lain. Individu kepiting bakau yang dapat didukung untuk budidaya sylvofishery yang berkelanjutan adalah sebanyak 244 862 ekor atau dapat dibudidayakan pada ± 490 unit kurungan tancap berukuran 10x20 m.

Rekomendasi pengelolaan yang dapat diberikan berdasarkan hasil analisis bioekologi dan daya dukung adalah perlu kawasan mangrove TN Kutai perlu ditata menggunakan konsep zonasi. Muara Sangatta adalah lokasi yang paling sesuai untuk usaha budidaya sylvofishery dan Muara Sangkima untuk zona perikanan tangkap S. serrata, sedangkan lokasi yang lain digunakan sebagai zona perlindungan.

Enam hal yang penting dipertimbangkan dalam pengelolaan perikanan tangkap S. serrata adalah 1) Penutupan daerah penangkapan S. serrata, sesuai zonasi yang telah ditentukan sebelumnya; 2) penutupan musim penangkapan S. serrata. Pada lokasi Muara Sangatta kebijakan penutupan musim penangkapan pada bulan Februari-Maret dan Juli-Agustus, sedangkan di Muara Sangkima penutupan pada bulan Januari-April perlu dilakukan untuk mencegah tertangkapnya induk betina yang matang gonade dan kepiting juvenil; 3) pengaturan jenis kelamin tangkapan kepiting bakau, disarankan penangkapan kepiting bakau lebih diutamakan menangkap kepiting dengan jenis kelamin jantan untuk menjaga keseimbangan rasio kepiting jantan:betina di alam; 4) pembatasan alat tangkap kepiting bakau. Jenis alat tangkap yang direkomendasikan untuk digunakan adalah jenis alat tangkap bubu/rakkang. Ukuran bukaan mulut rakkang juga perlu diatur diameter ukurannya agar lebih kecil dibanding lebar karapas kepiting bakau matang gonade; 5) pemberlakuan kuota penangkapan kepiting bakau. Laju eksploitasi kepiting jantan dan betina di Muara Sangatta dan Teluk Perancis, sudah melebihi ambang batas maksimum, sehingga tidak boleh dilakukan penambahan upaya untuk penangkapan S. serrata, baik berupa penambahan unit alat tangkap, frekuensi penangkapan, maupun dari jumlah nelayannya. Penangkapan S. serrata di mangrove TN Kutai tidak boleh melebihi dari angka kisaran 6 563 - 10 261 kg/tahun agar sumberdaya kepiting bakau dapat berkelanjutan; 6) restoking S. serrata dapat dilakukan dengan mengembalikan ke alam minimal sebesar 1% dari hasil panen budidaya sylvofishery. Restoking kepiting betina diharapkan dapat menjaga ketersediaan stok induk betina di alam.

Pengembangan budidaya sylvofishery S. serrata dapat dilakukan pada area Muara Sungai Sangatta, dengan kapasitas sebanyak 490 unit karamba mangrove, yang berukuran 10 x 20 m, dengan tingkat kepadatan benih 300-500 ekor/unit. Sylvofishery terutama perlu dilakukan pada area mangrove yang telah rusak akibat pembukaan tambak. Benih yang tersedia sesuai daya dukung lingkungan yang ada sebanyak 31 363 ekor benih, kekurangan benih untuk budidaya dapat diperoleh dari lokasi di luar mangrove TN Kutai.

Hasil simulasi terhadap model dinamik, menunjukkan bahwa skenario optimistik menunjukkan kinerja model yang lebih berkelanjutan untuk pengelolaan hutan mangrove di TN Kutai bila dilakukan dengan pendekatan optimasi pemanfaatan sumberdaya Scylla serrata.

Kata kunci: Scylla serrata, mangrove, Taman Nasional Kutai, bioekologi, sylvofishery, zonasi

Page 6: scylla serrata

© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

Page 7: scylla serrata

PENGELOLAAN ZONA PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE MELALUI OPTIMASI PEMANFAATAN

SUMBERDAYA KEPITING BAKAU (Scylla serrata) DI TAMAN NASIONAL KUTAI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

NIRMALASARI IDHA WIJAYA

Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2011

Page 8: scylla serrata

Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc. 2. Dr. Ir. Samedi, M.Sc. Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Dr. Irwandi Idris 2. Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA

Page 9: scylla serrata

Judul Disertasi : Pengelolaan Zona Pemanfaatan Ekosistem Mangrove melalui Optimasi Pemanfaatan Sumberdaya Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Taman Nasional Kutai Provinsi Kalimantan Timur

Nama : Nirmalasari Idha Wijaya NRP : C262070071 Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc. Ketua

Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Prof (R). Dr. Sri Juwana. Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Pengelolaan Dekan Sekolah Pascasarjana Sumberdaya Pesisir dan Lautan Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.Sc.

Tanggal Ujian : 3 Januari 2011 Tanggal Lulus:

Page 10: scylla serrata

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-

Nya sehingga karya ilmiah “Pengelolaan Zona Pemanfaatan Ekosistem Mangrove melalui Optimasi Pemanfaatan Sumberdaya Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Taman Nasional Kutai Provinsi Kalimantan Timur” ini dapat diselesaikan.

Penelitian ini dilakukan sebagai salah satu upaya untuk mengatasi permasalahan degradasi mangrove di TNK melalui optimasi pemanfaatan sumberdaya kepiting bakau (Scylla serrata). Kepiting bakau merupakan salah satu sumberdaya yang terdapat dalam ekosistem mangrove yang dapat dimanfaatkan untuk budidaya sylvofishery. Pemanfaatan ini merupakan salah satu bentuk matapencaharian alternatif bagi penduduk lokal dalam kawasan TNK agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa merusak hutan mangrove.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr.Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc selaku Ketua Komisi Pembimbing, Prof.Dr.Ir. Mennofatria Boer, DEA dan Prof (R).Dr. Sri Juwana selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak memberi saran dan bimbingan, juga kepada Dr.Ir. Luky Adrianto, M.Sc. dan Dr.Ir. Samedi, M.Sc., selaku Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup, serta kepada Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA dan Dr. Irwandi Idris selaku Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka, para dosen dan mahasiswa Program Studi Sumberdaya Pesisir dan Laut yang telah memberikan masukan yang sangat berarti bagi perbaikan karya ini.

Ucapan terima kasih pula penulis sampaikan kepada Direktur Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi yang telah memberikan beasiswa BPPS dan Ketua Stiper Kutai Timur yang telah memberikan ijin tugas belajar dan Bupati Kutai Timur yang telah memberikan bantuan stimulan dana penelitian. Secara khusus ucapan terima kasih tak terhingga kepada suami dan anak-anak tercinta atas segala doa, dukungan, kasih sayang, dan kesabaran menunggu selama proses penyelesaian pendidikan doktor ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Desember 2010

Nirmalasari Idha Wijaya

Page 11: scylla serrata

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 14 Januari 1973, merupakan anak ketiga dari empat bersaudara pasangan Ayahanda Achyani dan Ibunda (Alm-ah) Sri Muljati. Pendidikan SD, SMP dan SMA penulis selesaikan di Pati, selanjutnya pendidikan S1 ditempuh sejak tahun 1991 di Program Studi Perikanan pada Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta dan lulus pada tahun 1996. Tahun 2005 penulis mengikuti pendidikan S2 pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan di Sekolah Pascasarjana IPB dengan beasiswa dari BPPS Dikti dan lulus pada tahun 2007. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan S3 pada program studi yang sama, dan lulus pada tahun 2010.

Penulis pernah bekerja sebagai Sarjana Penggerak Pembangunan Agribisnis (SP2AB) di Kab. Kutai Timur pada tahun 2001 dan kemudian menjadi Dosen Kopertis XI wilayah Kalimantan diperbantukan di Sekolah Tinggi Pertanian (STIPER) Kutai Timur sejak tahun 2001 sampai sekarang. Selama menjadi Dosen, penulis pernah diangkat sebagai Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kabupaten Kutai Timur sebagai utusan dari perguruan tinggi dari tahun 2003-2005.

Karya ilmiah berjudul ‘Biologi Populasi Kepiting Bakau (Scylla serrata F.) di Habitat Mangrove Taman Nasional Kutai Kabupaten Kutai Timur’ telah diterbitkan dalam prosiding dan disajikan pada Seminar Internasional dalam rangka Pertemuan Ilmiah Tahunan Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia (PIT-ISOI) ke VII tahun 2010. Artikel tersebut juga akan diterbitkan pada jurnal Oseanologi dan Limnologi di Indonesia, LIPI, Volume 36 Nomor 3 Bulan Desember 2010. Karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari disertasi penulis.

Hasil penelitian disertasi “Pengelolaan Zona Pemanfaatan Ekosistem Mangrove melalui Optimasi Pemanfaatan Sumberdaya Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Taman Nasional Kutai Provinsi Kalimantan Timur” telah diseminarkan pada Simposium HAPPI (Himpunan Ahli Pengelolaan Pesisir Indonesia) tanggal 18 Oktober 2010.

Page 12: scylla serrata

DAFTAR ISI Halaman

DAFTAR TABEL ……......…………………..…………................................. DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN .....................................................................................

xv xvii xix

1

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ….…………………………………...…........................... 1.2 Perumusan Masalah …..…………………………..…..........…................. 1.3 Tujuan Penelitian .......…………………………..…….............................. 1.4 Hipotesis ..................................................................................................... 1.5 Kerangka Pendekatan Penelitian ............................................................... 1.6. Kebaruan Penelitian ....................................................................................

1 3 9

10 10 11

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Kepiting Bakau .............................................................................

2.1.1 Klasifikasi S. serrata......................................................................... 2.1.2 Morfologi S. serrata..........................................................................

2.1.3 Daur hidup S. serrata......................................................................... 2.1.4 Karakter dewasa kelamin .................................................................. 2.1.5 Kepiting bakau sebagai hewan air (kehalalan kepiting bakau) ........

2.2 Ekologi Habitat Mangrove .........................................................…........... 2.2.1 Karakteristik dan fungsi ekosistem mangrove ................................. 2.2.2 Keterkaitan antara kepiting bakau dengan mangrove....................... 2.2.3 Perkembangan budidaya sylvofishery kepiting bakau ..................... 2.2.4. Indeks Kesesuaian Habitat (Habitat Suitability Index/HSI) ...........

2.3 Sistem Dinamik dalam Pengelolaan Scylla serrata ................................... 2.3.1 Berpikir sistem (System Thinking) .................................................... 2.3.2 Umpan balik ..................................................................................... 2.3.3 Pemodelan dinamika sistem .............................................................

2.4 Sejarah Taman Nasional ............................................................................. 2.5 Konsep Keterpaduan (Integrated Coastal Management/ICM) dan

Kolaboratif dalam Pengelolaan Mangrove Taman Nasional Kutai ........... 2.6 Pengelolaan Berbasis Ekosistem (Ecobased Management/EBM) ............. 2.7 Landasan Peraturan Perundangan Pemanfaatan Taman Nasional .............

2.7.1 Undang-Undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya ..................................

2.7.2 Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan .......... 2.7.3 Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah

Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ........................................................... 2.7.4 Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan Dan

Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan ................................................................................................

2.7.5 Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan ..............................................................................

2.7.6 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia

15 15 17 19 21 25 26 27 28 29 31 33 33 34 37 41

42 47 51

51 52

53

54

55

Page 13: scylla serrata

xii

Nomor Per.17/Men/2008 tentang Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil ..........................................................

2.7.7 Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional ..................................................................

2.7.8 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.56/Menhut-II/2006 Tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional ......................................

2.7.9 Keputusan Menteri Kehutanan No.325/Kpts-II/1995 tentang Penunjukkan Taman Nasional Kutai ...................................................

57

58

59

60

3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian.......................................................................... 3.2 Metode Penelitian .......................................................................................... 3.3 Analisis Sosial Ekonomi Masyarakat dan Kondisi Umum TNK...................

3.3.1 Jenis dan sumber data sosial ekonomi masyarakat ........................ 3.3.2 Metode pengumpulan data sosial ekonomi masyarakat ................ 3.3.3 Analisis data sosial ekonomi masyarakat ......................................

3.4 Analisis Status Ekologi dan Daya Dukung Lingkungan .............................. 3.4.1 Pengumpulan dan analisis data vegetasi mangrove di TNK ......... 3.4.2 Pengumpulan dan analisis data produksi serasah mangrove ......... 3.4.3 Pengumpulan dan analisis data makrozoobenthos ........................ 3.4.4 Pengumpulan dan analisis data kualitas perairan ......................... 3.4.5 Analisis hubungan sebaran spasial kepiting bakau dengan

karakteristik vegetasi mangrove .................................................. 3.4.6 Penilaian Daya Dukung Lingkungan ............................................

3.5 Analisis Status Biologi Scylla serrata .......................................................... 3.5.1 Pengumpulan dan analisis data biologi Scylla serrata .................. 3.5.2 Analisis hubungan panjang dan bobot ........................................... 3.5.3 Analisis data kelompok ukuran .................................................... 3.5.4 Analisis data parameter pertumbuhan ........................................... 3.5.5 Analisis pendugaan laju eksploitasi Scylla serrata ....................... 3.5.6 Analisis Yield per Rekrut Relatif (Y/R) dan Biomass per Rekrut

(B/R) ............................................................................................. 3.6 Identifikasi Sistem Pengelolaan Kepiting Bakau di TNK ............................

3.6.1 Membangun Diagram Kausal dan Diagram Alir ........................... 3.6.2 Submodel Habitat Mangrove ......................................................... 3.6.3 Submodel Penangkapan Kepiting .................................................. 3.6.4 Submodel Budidaya Pembesaran .................................................. 3.6.5 Submodel Ekonomi ....................................................................... 3.6.6 Submodel Sosial ............................................................................

3.7 Pemodelan dan Simulasi Sistem Pengelolaan S. serrata ............................... 3.8 Zonasi Pemanfaatan S. serrata di Kawasan Mangrove TNK ........................ 3.9 Simulasi dan Analisis Keberlanjutan Pengelolaan Sumberdaya Scylla

serrata di Kawasan Mangrove TNK .............................................................

61 62 63 63 63 64 71 71 73 73 74

74 75 77 77 77 78 79 80

81 83 84 84 87 89 90 90 91 92

93

4 KONDISI UMUM TN KUTAI 4.1 Sejarah Kawasan TNK .............................................................................. 4.2 Letak Geografis dan Topografi TNK ........................................................ 4.3 Geologi dan Iklim .....................................................................................

97 98

100

Page 14: scylla serrata

xiii

4.4 Sejarah Perambahan dan Pemukiman di TNK .......................................... 4.5 Permasalahan Pengelolaan TNK ...............................................................

4.5.1 Perambahan Hutan ......................................................................... 4.5.2 Illegal Logging .............................................................................

4.6 Proses Enclave di TNK .............................................................................. 4.7 Kondisi Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Lokal di TNK ....................

4.7.1 Jenis Matapencaharian ................................................................... 4.7.2 Jumlah Penduduk .......................................................................... 4.7.3 Agama ........................................................................................... 4.7.4 Pendidikan .................................................................................... 4.7.5 Kesehatan ...................................................................................... 4.7.6 Aspek Kelembagaan ..................................................................... 

4.8 Persepsi Masyarakat .................................................................................. 4.8.1 Pemahaman Masyarakat terhadap Pengelolaan Hutan Mangrove. 4.8.2 Persepsi Masyarakat terhadap Pemanfaatan S. serrata .................

101 101 101 102 105 109 110 111 111 112 113 114 114 116 116 118

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Bioekologi S. serrata dan Daya Dukung habitat mangrove TNK .............

5.1.1 Ekologi habitat mangrove TNK .................................................... 5.1.2 Karakteristik habitat mangrove TNK ............................................ 5.1.3 Biologi S. serrata ........................................................................... 5.1.4 Daya Dukung Mangrove TNK bagi Budidaya S. serrata .............

5.2 Kondisi Sosial Ekonomi Pemanfaatan S. serrata ...................................... 5.2.1 Permintaan S. serrata .................................................................... 5.2.2 Keragaan Perikanan Tangkap S. serrata di TNK .......................... 5.2.3 Keragaan Budidaya Pembesaran S.serrata di TNK ...................... 5.2.4 Analisis Usaha Budidaya Sylvofishery S. serrata ................................. 5.2.5 Analisis Usaha Perikanan Tangkap S. serrata ...................................

5.3 Pengelolaan Sumberdaya Scylla serrata di TNK ...................................... 5.3.1 Permasalahan Kebijakan Pengelolaan Habitat Mangrove TNK ... 5.3.2 Penentuan Zonasi Pemanfaatan Scylla serrata di Kawasan

Mangrove TNK.............................................................................. 5.3.3 Pengelolaan Perikanan Tangkap S. serrata ................................... 5.3.4 Pengembangan Budidaya Sylvofishery S. serrata ......................... 5.3.5 Model Pengelolaan Sumberdaya S. serrata di Mangrove TNK .... 5.3.6 Skenario Pengelolaan S. serrata di Habitat Mangrove TNK ........

5.4 Analisis Keberlanjutan Pengelolaan Sylvofishery Kepiting Bakau di Kawasan Mangrove TNK ..........................................................................

5.5 Rekomendasi Penatakelolaan Kawasan Mangrove di TNK ......................

119 119 129 133 153 159 159 161 163 167 168 169 169

175 178 187 189 198

206 214

6 SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan ................................................................................................... 6.2 Saran .........................................................................................................

217 218

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

219 231

Page 15: scylla serrata

xiv

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman 1. Karakteristik kepiting bakau (Scylla spp.) menurut Keenan

(1998) ...........................................................................................

152. Hasil tata batas di TNK ............................................................... 603. Kriteria kesesuaian zonasi pemanfaatan Scylla serrata ............... 934. Sejarah kawasan TNK .................................................................. 975. Deskripsi penutupan lahan TNK .................................................. 986. Deskripsi penutupan lahan hasil interpretasi citra Terra-Aster

2005 ..............................................................................................

997. Luas perambahan hutan di TNK sepanjang jalan Bontang-

Sangatta (1999-2001) ...................................................................

1028. Hasil pengamanan hutan tahun 2005............................................ 1049. Rencana dan realisasi tata batas di areal rencana enclave ........... 10610. Jumlah pemeluk agama dan tempat ibadah di desa definitif

dalam TNK....................................................................................

11211. Sarana kesehatan di desa definitif dalam TNK............................. 11412. Pemahaman masyarakat terhadap pengelolaan mangrove ........... 11713. Tingkat pemahaman masyarakat mengenai pemanfaatan sumber

daya S. serrata ..............................................................................

11814. Indeks Nilai Penting (INP) dari vegetasi di Muara Sangatta ....... 11915. Indeks Nilai Penting (INP) dari vegetasi Pohon di Teluk

Perancis ........................................................................................

12016. Indeks Nilai Penting (INP) dari vegetasi anakan pohon

diamater 2 – 10 cm di Teluk Perancis .........................................

12117. Indeks Nilai Penting (INP) dari vegetasi pohon di Muara

Sangkima .....................................................................................

12218. Indeks Nilai Penting (INP) dari vegetasi anakan pohon

diamater 2 – 10 cm di Muara Sangkima ....................................

12219. Hubungan lebar karapas dan bobot kepiting S. serrata ............... 13420. Parameter pertumbuhan S. serrata di habitat mangrove TNK .... 14021. Mortalitas dan laju eksploitasi Scylla serrata di habitat

mangrove TNK ............................................................................

14122. Jumlah individu S. serrata hasil tangkapan alat rakkang, rengge,

dan pengait ...................................................................................

14423. Sebaran ukuran induk betina matang gonade TKG IV ................ 14924. Nilai kesesuaian variabel lingkungan habitat mangrove

TNKuntuk kepiting bakau ............................................................

15525. Daya dukung mangrove TNK untuk unit budidaya ..................... 15726. Volume pengiriman kepiting bakau hidup tahun 2006-2008 ....... 15927. Keragaan kurungan tancap pembesaran kepiting bakau dalam

mangrove ......................................................................................

16528. Nilai dugaan parameter pada model pengelolaan sumberdaya S.

serrata di habitat mangrove TNK ...............................................

19129. Keterkaitan antar parameter dan kondisi (state) untuk skenario

kebijakan ......................................................................................

203

Page 16: scylla serrata

xv

Nomor Halaman 30. Skenario dan kombinasi antar faktor dan kondisi ........................ 20331. Skor atribut dari empat dimensi pengelolaan sylvofishery

kepiting bakau di TNK .................................................................

207

Page 17: scylla serrata

xvi

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Kerangka pendekatan penelitian ................................................. 142. Kepiting betina dan kepiting jantan ............................................ 173. Morfologi Scylla serrata ............................................................. 184. Diagram siklus hidup kepiting bakau ......................................... 215. Tahapan dalam menyusun HSI (AED 2008) .............................. 326. Pola pertumbuhan eksponensial struktur sistem ......................... 357. Pola perilaku mencari tujuan struktur sistem .............................. 368. Pola bergelombang struktur sistem ............................................. 369. Pola perilaku batas pertumbuhan struktur sistem ....................... 3710. Dasar metodologi dinamika sistem (Sushil 1993) ...................... 3811. Pemodelan dinamika sistem (Sterman 2000) ............................. 4112. Peta lokasi penelitian .................................................................. 6113. Bagan alir penentuan jumlah dan jenis responden ....................... 6514. Sketsa sylvofishery pembesaran kepiting bakau .......................... 6715. Sebaran lokasi alat tangkap kepiting bakau di kawasan

mangrove TNK ............................................................................

6816. Skema penempatan petak contoh ................................................ 7217. Hubungan antara variabel habitat dengan kebutuhan hidup

untuk HSI kepiting bakau Scylla serrata ....................................

7618. Diagram kausal model konseptual pemanfaatan kepiting bakau

di kawasan mangrove TNK .........................................................

8619. Diagram kausal submodel habitat mangrove .............................. 8720. Diagram kausal submodel penangkapan kepiting bakau ............ 8821. Diagram kausal submodel budidaya pembesaran kepiting bakau 8922. Diagram kausal submodel ekonomi ............................................. 9023. Diagram kausal submodel sosial ................................................. 9124. Alur tahapan pemodelan pengelolaan Scylla serrata .................. 9125. Peta perambahan hutan di TNK ................................................... 10526. Jumlah penduduk sesuai jenis mata pencaharian ........................ 11027. Jumlah penduduk di lima desa definitif dalam TNK ................... 11128. Sarana pendidikan di desa definitif dalam TNK .......................... 11229. Tingkat pendidikan masyarakat di desa definitif dalam TNK ..... 11330. Kelimpahan makrozoobenthos di habitat mangrove TNK .......... 12431. Grafik nilai rata-rata produksi serasah di habitat mangrove TNK 12532. Grafik Analisis Komponen Utama keterkaitan karakteristik

habitat biofisik kimia perairan dan kelimpahan S. serrata bulan Juli .............................................................................................

13033. Distribusi lebar karapas S. serrata di beberapa zona hutan

mangrove ....................................................................................

14534. Sebaran induk betina matang gonade TKG IV ......................... 15035. Jenis alat tangkap kepiting yang digunakan di habitat

mangrove TNK .........................................................................

16136. Wadah pemeliharaan budidaya pembesaran kepiting bakau di

TNK ..........................................................................................

163

Page 18: scylla serrata

xvii

Nomor Halaman37. Grafik pertumbuhan kepiting bakau sylvofishery ...................... 16638. Peta zonasi pemanfaatan hutan mangrove ................................. 17739. Zona Terbuka dan Tertutup bagi Penangkapan Scylla serrata di

Kawasan Mangrove TNK ............................................................

18140. Dinamika RPUEj, kelimpahan TKG IV S. serrata, dan hasil

tangkapan S. serrata pada Tahun 2009 ........................................

18341. Ratio jantan betina pada tiga zona hutan mangrove TNK ........... 18542. Diagram alir stok (SFD) model pengelolaan S. serrata di habitat

mangrove TNK ............................................................................

19143. Diagram alir stok (SFD) submodel habitat mangrove ................. 19344. Diagram alir stok submodel penangkapan S. serrata ................. 19545. Diagram alir stok submodel budidaya sylvofishery ................... 19646. Diagram alir stok submodel ekonomi pada pemanfaatan S.

serrata ..........................................................................................

19747. Diagram alir stok submodel sosial pada pemanfaatan S. serrata 19848. Hasil simulasi skenario dasar pengelolaan S. serrata di TNK ..... 19949. Perbandingan luas mangrove saat parameter kunci dinaikkan

10% ..............................................................................................

20150. Perbandingan luas mangrove saat parameter kunci diturunkan

10% .............................................................................................

20151. Grafik hasil simulasi skenario pesimistik .................................... 20452. Grafik hasil simulasi skenario moderat ...................................... 20553. Grafik hasil simulasi skenario optimistik ................................... 20654. Diagram layang-layang pengelolaan sylvofishery di kawasan

mangrove TNK ............................................................................

20955. Peran masing-masing atribut dimensi ekologi pada

keberlanjutan pengelolaan sylvofishery dinyatakan dalam bentuk nilai RMS (Root Mean Square) ........................................

21056. Peran masing-masing atribut dimensi ekonomi pada

keberlanjutan pengelolaan sylvofishery dinyatakan dalam bentuk nilai RMS (Root Mean Square) ........................................

21157. Peran masing-masing atribut dimensi sosial pada keberlanjutan

pengelolaan sylvofishery dinyatakan dalam bentuk nilai RMS (Root Mean Square) .....................................................................

21358. Peran masing-masing atribut dimensi kelembagaan pada

keberlanjutan pengelolaan sylvofishery dinyatakan dalam bentuk nilai RMS (Root Mean Square) ........................................

214

Page 19: scylla serrata

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman 1. Distribusi Kelompok Ukuran Scylla serrata Jantan Muara

Sangkima ......................................................................................

2312. Distribusi Kelompok Ukuran Scylla serrata Betina Muara

Sangkima .....................................................................................

2323. Distribusi Kelompok Ukuran Scylla serrata Jantan Muara

Sangatta ........................................................................................

2334. Distribusi Kelompok Ukuran Scylla serrata Betina Muara

Sangatta .......................................................................................

2345. Distribusi Kelompok Ukuran Scylla serrata Jantan Teluk

Perancis .......................................................................................

2356. Distribusi Kelompok Ukuran Scylla serrata Betina Teluk

Perancis ........................................................................................

2367. Hubungan Panjang Bobot Scylla serrata Muara Sangatta .......... 2378. Hubungan Panjang Bobot Scylla serrata Teluk Perancis ............ 2389. Hubungan Panjang Bobot Scylla serrata Muara Sangkima ....... 23910. Hubungan Panjang Bobot Scylla serrata Budidaya Sylvofishery 24011. Analisis Laju Mortalitas Dan Laju Eksploitasi Scylla serrata

Jantan Muara Sangatta .................................................................

24112. Analisis Laju Mortalitas dan Laju Eksploitasi Scylla serrata

Betina Muara Sangatta ................................................................

24313. Analisis Laju Mortalitas dan Laju Eksploitasi Scylla serrata

Jantan Teluk Perancis ...................................................................

24514. Analisis Laju Mortalitas dan Laju Eksploitasi Scylla serrata

Betina Teluk Perancis .................................................................

24715. Analisis Laju Mortalitas dan Laju Eksploitasi Scylla serrata

Jantan Muara Sangkima ...............................................................

24916. Analisis Laju Mortalitas dan Laju Eksploitasi Scylla serrata

Betina Muara Sangkima ...............................................................

25117. Parameter Pertumbuhan pada Budidaya Sylvofishery ................. 25318. Asumsi-asumsi untuk HSI .......................................................... 25419. Skor Suitability Index untuk HSI ................................................ 25520. Hasil Analisis PCA Juli ............................................................... 26021. Hasil Analisis PCA Desember ..................................................... 26322. Analisis Makrozoobenthos .......................................................... 26323. Data Fisik Kimia Perairan ........................................................... 26424. Rincian Anggaran Biaya Budidaya Sylvofishery S. serrata ....... 26525. Cash Flow Analisis kelayakan Usaha Budidaya Sylvofishery S.

serrata (200 m²) ..........................................................................

27326. Analisis Pendapatan Nelayan ...................................................... 27227. Karakteristik Responden ............................................................. 27328. Indeks Nilai Penting Vegetasi Mangrove .................................... 274

Page 20: scylla serrata

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kepiting bakau (Scylla serrata) adalah jenis kepiting yang hidup di habitat

mangrove/hutan bakau. Scylla serrata merupakan komoditas ekspor disamping

rajungan (Portunus pelagicus). Bila rajungan mempunyai nilai ekonomis penting

sebagai daging dalam kaleng atau dalam keadaan beku, maka kepiting bakau

dapat dipasarkan dalam keadaan hidup karena lebih tahan hidup di luar air

(Juwana 2004).

Ada dua spesies dari kelompok Scylla sp yang ditemukan di Indonesia,

yaitu yang berwarna hijau kemerahan/kecoklatan dan hijau keabu-abuan. Jenis ini

adalah S. serrata dan S. serrata var. paramamosain (Moosa et al. dalam Cholik &

Hanafi 1991). Berikutnya ditemukan spesies Scylla yang lain, yaitu S.

tranquebarica dan S. olivacea. Namun, studi morfometri dan allozyme yang

digunakan untuk menyatakan spesiasi dalam genus (Fuseya & Watanabe; Overton

et al.; Sugama & Hutapea; dalam LeVay 2001) merevisi genus Scylla menjadi

empat jenis, S. serrata, S. tranquebarica, S. olivacea dan S. paramamosain,

berdasarkan allozyme elektroforesis, DNA mitokondria sekuensing dan analisis

morfometri (Keenan et al. 1998).

Scylla serrata adalah spesies kepiting bakau yang dominan di Indonesia.

Diperkirakan sekitar 80% dari total pendaratan kepiting bakau adalah dari spesies

ini (Cholik & Hanafi 1991). Perikanan kepiting di Indonesia diharapkan dapat

terus tumbuh di masa yang akan datang karena beberapa alasan, yaitu: adanya

peningkatan permintaan pada komoditas ini yang diindikasikan dengan

peningkatan harga di pasar lokal maupun internasional; sumberdaya perikanan

mendukung spesies ini baik untuk penangkapan dari alam maupun budidaya;

pengetahuan dan pengalaman teknik budidaya kepiting semakin berkembang

(Cholik & Hanafi 1991).

Kepiting banyak diminati karena daging kepiting tidak saja lezat, tetapi

juga menyehatkan. Daging kepiting mengandung nutrisi penting bagi kesehatan.

Meskipun mengandung kolesterol, makanan ini rendah kandungan lemak jenuh

dan merupakan sumber Niacin, Folate, dan Potassium. Selain itu juga merupakan

Page 21: scylla serrata

sumber protein, Vitamin B12, Phosphorous, Zinc, Copper, dan Selenium.

Selenium diyakini berperan dalam mencegah kanker dan perusakan kromosom,

juga meningkatkan daya tahan terhadap infeksi virus dan bakteri. Fisheries

Research and Development Corporation di Australia melaporkan bahwa dalam

100 gram daging kepiting bakau mengandung 22 mg Omega-3 (EPA), 58 mg

Omega-3 (DHA), dan 15 mg Omega-6 (AA) yang penting untuk pertumbuhan dan

kecerdasan anak (Muskar 2007).

Bukan hanya daging kepiting yang mempunyai nilai komersil, kulitnya

pun mempunyai nilai ekonomis tinggi. Kulit kepiting diekspor dalam bentuk

kering sebagai sumber chitin, chitosan dan karotenoid yang dimanfaatkan oleh

berbagai industri sebagai bahan baku obat, kosmetik, pangan, dan lain-lain.

Bahan-bahan tersebut memegang peran sebagai antivirus dan antibakteri dan juga

digunakan sebagai obat untuk meringankan dan mengobati luka bakar, selain

dapat digunakan sebagai pengawet makanan yang murah dan aman (Muskar

2007).

Kepiting bakau telah menjadi komoditas perikanan penting di Indonesia

sejak awal tahun 1980-an. Perikanan kepiting bakau di Indonesia diperoleh dari

penangkapan stok alam di perairan pesisir, khususnya di area mangrove atau

estuaria, dan dari hasil budidaya di tambak air payau. Akhir-akhir ini, dengan

semakin meningkatnya nilai ekonomi perikanan kepiting, penangkapan kepiting

bakau juga semakin meningkat (Cholik 1999).

Namun bersamaan dengan itu, rata-rata pertumbuhan produksi kepiting

bakau di beberapa provinsi penghasil utama kepiting bakau justru agak lambat

dan cenderung menurun (Cholik 1999). Kasry (1996) menyatakan bahwa di

banyak tempat di pulau Jawa, nelayan kepiting bakau sudah mulai kesulitan

memperoleh hasil tangkapan. Kepiting bakau yang bernilai sebagai sumber

makanan dan pendapatan di Kosrae, Negara Bagian Micronesia, juga mengalami

deplesi pada kelimpahan dan ukuran, akibat tekanan penangkapan yang

dipengaruhi oleh distribusi penduduk dan lokasi usaha perikanan komersial

(Bonine et al. 2008). Penurunan populasi kepiting bakau di alam diduga

disebabkan oleh degradasi ekosistem mangrove dan kelebihan tangkap (over

exploitation) (Siahainenia 2008).

Page 22: scylla serrata

Populasi kepiting bakau secara khas berasosiasi dengan hutan mangrove

yang masih baik, sehingga hilangnya habitat akan memberikan dampak yang

serius pada populasi kepiting. Keberlanjutan pengembangan budidaya kepiting

sangat memerlukan integrasi antara perikanan dengan pengelolaan mangrove.

Status ekologi kepiting bakau yang berhubungan dengan biologi populasi dan

pengelolaannya perlu dipahami untuk mendukung pengembangan dari perikanan

dan budidaya kepiting bakau yang berkelanjutan (LeVay 2001).

Penelitian mengenai status bioekologi kepiting diperlukan untuk

mengetahui status kepiting ini di alam, agar dapat dikelola dengan benar dan

pemanfaatannya dapat berkelanjutan.

1.2 Perumusan Masalah

Hutan mangrove di kawasan TNK merupakan salah satu habitat kepiting

di Kabupaten Kutai Timur. Kawasan Pelestarian Alam Taman Nasional Kutai

(TNK) terletak pada tiga wilayah administrasi Daerah Tingkat II, yaitu Kabupaten

Kutai Timur (± 80%), Kabupaten Kutai Kartanegara (± 17,48%), dan Kota

Administratif Bontang (± 2,52%). Kawasan konservasi TNK memiliki hutan

mangrove seluas ± 5 131.55 ha, yaitu 1-2 km dari tepi pantai ke arah daratan yang

didominasi oleh jenis Rhizophora dan Bruguiera (TNK 2005).

UU RI No. 5 Tahun 1990 mendefinisikan taman nasional sebagai

Kawasan Pelestarian Alam (KPA) yang mempunyai ekosistem asli, dikelola

dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu

pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 68/1998 kawasan konservasi tersebut

terdiri dari kawasan pelestarian alam/KPA (taman nasional, taman hutan raya

dan taman wisata alam), kawasan suaka alam/KSA (suaka margasatwa dan cagar

alam) dan taman buru. Taman nasional termasuk dalam kelompok kawasan

pelestarian alam (KPA). Definisi kawasan pelestarian alam dalam UU RI No. 5

Tahun1990 adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di

perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan,

pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara

lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Berdasarkan definisi ini, dapat

Page 23: scylla serrata

dipahami bahwa pengelolaan taman nasional memungkinkan adanya pemanfaatan

secara lestari terhadap sumberdaya di dalam kawasan.

Kategori II dalam IUCN menyatakan Taman Nasional sebagai kawasan

lindung yang dikelola terutama untuk perlindungan ekosistem dan rekreasi.

Definisi taman nasional menurut kategori II IUCN adalah area alam daratan

dan/atau laut, yang ditunjuk untuk (a) melindungi integritas ekologis dari satu atau

lebih ekosistem untuk generasi sekarang dan mendatang, (b) meniadakan

eksploitasi atau kegiatan yang bertentangan dengan tujuan penunjukan kawasan

dan (c) memberikan landasan bagi spiritual, ilmiah, pendidikan, rekreasi dan

kesempatan pengunjung, yang semuanya harus menjamin lingkungan dan budaya

yang kompatibel.

Umumnya kawasan konservasi alam di Indonesia berada di bawah rejim

properti milik publik (common property regimes) yang dikuasai negara (state-

property). Dalam banyak kasus seringkali terjadi pertikaian antara pemerintah

dengan masyarakat lokal atau masyarakat adat. Secara khusus, walaupun

kawasan secara de jure dikontrol oleh pemerintah, tetapi secara de facto di

beberapa lokasi dikontrol oleh penduduk lokal atau pelaku bisnis lokal yang

mengeksploitasi wilayah kawasan secara terorganisasi. Itu ditandai dengan

maraknya penebangan liar dan perburuan liar pada beberapa kawasan

konservasi. Ketika kontrol pemerintah dan komunitas lokal tidak berjalan

efektif atau tidak ada sama sekali di lapangan, maka wilayah kawasan konservasi

menjadi open access. Kondisi ini merupakan ekspresi dari 'tragedy of the

commons' yang dikuatirkan Hardin penggagasnya, yaitu musnahnya sumber daya

(PHKA-Dephut et al. 2002).

Selain itu konflik juga muncul, karena konsep model pengelolaan

kawasan konservasi, khususnya taman nasional di negara-negara selatan,

termasuk Indonesia mengadopsi konsep Amerika Serikat yang bersifat

‘pengelolaan eksklusif’ yang secara tegas memisahkan antara kepentingan

kawasan konservasi dengan keinginan masyarakat lokal dalam mengelola

kawasan konservasi. Sehingga kuat sekali dominasi negara atau pihak swasta

dalam mengelola kawasan konservasi. Model ‘pengelolaan inklusif’ yang

dikembangkan oleh negara-negara Eropa Barat belum terpakai di Indonesia.

Page 24: scylla serrata

Pada model ini keinginan masyarakat lokal dan administrasi setempat

dilibatkan dalam pengelolaan kawasan konservasi. Kedua model ini masing-

masing memiliki kelebihan masing-masing, pengelolaan eksklusif sukses

melindungi hidupan liar dan keindahan panorama, walaupun tanpa pelibatan

masyarakat lokal. Sedangkan pengelolaan inklusif berhasil memasukan

peranan masyarakat lokal dalam aras pengelolaan kawasan konservasi

(Borrini-Feyerabend et al. dalam PHKA-Dephut et al. 2002).

Transformasi pola pengelolaan sumber daya alam oleh negara, swasta, dan

kemudian kolaborasi antara pemerintah dengan masyarakat lokal agaknya

merupakan tuntutan universal, yang berlaku bukan cuma di Indonesia. Di India

telah terjadi empat tahap evolusi pola pengelolaan sumber daya alam,

khususnya hutan, dari kolonialisme, komersialisme, konservasi, dan saat ini

kolaborasi. Sedangkan di Nepal terjadi evolusi: privatisasi, nasionalisasi,

dan populisme. Bahkan pergeseran juga terjadi di beberapa negara-negara

bagian Amerika Serikat tempat asal muasal 'pengelolaan eksklusif’ kawasan

konservasi telah mulai bergeser menuju pengelolaan kolaboratif (PHKA-

Dephut et al. 2002).

Di Indonesia sendiri, mulai terjadi pergeseran paradigma pengelolaan

kawasan konservasi di kawasan pesisir. Beberapa kawasan konservasi pesisir saat

ini mulai dikelola secara kolaboratif, dengan pembentukan DPL (Daerah

Perlindungan Laut) yang dikelola oleh masyarakat, sebagai contohnya antara lain

Taman Nasional Kepulauan Togean (TNKT).

Pengelolaan TNKT dikembangkan suatu sistem pengelolaan yang

kolaboratif mengacu pada Keputusan Menteri Kehutanan No. P.19/Menhut-

II/2004 (tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan

Pelestarian Alam), dengan mengakomodir konsep DPL Berbasis Masyarakat yang

telah berjalan dengan baik di kawasan Togean, yaitu DPL Kabalutan dan DPL

Teluk Kilat. Kawasan TNKT tidak berbentuk kawasan yang tertutup sepenuhnya

untuk aktivitas pemanfaatan, namun berupa area yang menjadi zona inti dengan

zona penyangga di sekitarnya, dimana di zona penyangga tersebut masyarakat

lokal secara terbatas dapat memanfaatkan sumberdaya yang ada (Zamani et al.

2007).

Page 25: scylla serrata

Peran serta masyarakat yang meluas dan tidak sekadar simbolik

ternyata menunjukkan hasil yang baik: produktifitas tercapai tanpa

menyampingkan kepentingan kelestarian lingkungan dan eksistensi masyarakat

lokal. Pemerintah di negara India dan Nepal, berkeyakinan bahwa masyarakat

lokal berkemampuan, memiliki pengetahuan, dan kearifan yang handal untuk

mengelola sumber daya alam secara produktif dan lestari. Kolaborasi dengan

masyarakat lokal merupakan kebutuhan dan keharusan, karena tujuan produksi

dan pelestarian dapat dicapai secara lebih efektif dan pada saat yang sama

tercipta suatu mekanisme resolusi konflik yang interaktif dan dialogis (PHKA-

Dephut et al. 2002).

Di dalam kawasan mangrove TNK saat ini telah berdiri 4 desa definitif

berdasarkan SK Gurbernur Kalimantan Timur No. 06 Tahun 1997 tanggal 30

April 1997 tentang Penetapan desa definitif di dalam TNK, yaitu Teluk Pandan,

Sangkima dan Sangatta Selatan; dan SK. No. 410.44/ K.452/1999 tentang

pemekaran Desa Sangatta Selatan menjadi Singa Geweh dan Sangatta Selatan.

Sehingga muncul wacana dari pemerintah daerah untuk meng-enclave hutan

mangrove tersebut agar dikeluarkan dari kawasan taman nasional dan digunakan

untuk pemanfaatan lain.

Hutan dan masyarakat di sekitarnya memiliki hubungan yang sangat erat

dan merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Kondisi demikian

terjadi pula pada masyarakat yang mendiami daerah sekitar hutan mangrove yang

merupakan bagian dari kawasan TNK. Masyarakat banyak memanfaatkan sumber

daya alam yang ada pada ekosistem mangrove untuk memenuhi kebutuhan hidup

mereka sehari-hari. Kegiatan pemanfaatan yang dilakukan oleh masyarakat

diantaranya adalah: mencari ikan, kerang, dan kepiting baik untuk dikonsumsi

sendiri ataupun dijual; pemanfaatan daun nipah sebagai bahan atap atau ketupat;

pemanfaatan nira nipah menjadi gula/arak; pemanfaatan buah nipah sebagai

campuran es buah atau dimakan segar; pemanfaatan kayu bakau sebagai kayu

bakar, jembatan, tiang bagang, tiang penambat perahu; pemanfaatan buah rambai

laut (Sonneratia alba) sebagai campuran sayuran; dan pemanfaatan ekosistem

mangrove menjadi tambak. Akibatnya tingkat kerusakan ekosistem mangrove di

kawasan TNK menjadi semakin luas.

Page 26: scylla serrata

Pada saat ini, sebagian masyarakat yang tinggal di sekitar TNK masih

memanfaatkan hutan mangrove untuk memenuhi kebutuhannya dengan cara yang

merusak, seperti membuka mangrove untuk tambak atau menebang pohon

mangrove untuk diambil kayunya. Sesuai data dasar TNK (2005), luas hutan

mangrove di kawasan Taman Nasional Kutai Timur sekitar 5 131.55 ha (2,58 %

total luas TNK). Saat ini luas mangrove yang sudah dikonversi menjadi lahan

terbuka seluas 1 361.34 ha (26.53 % total luas mangrove), yaitu untuk tambak

155.81 ha (3.04 %) dan menjadi lahan terbuka lain seluas 1 205.53 ha (23.49 %).

Formasi mangrove yang masih utuh terdapat di Desa Teluk Pandan hingga Teluk

Kaba, sedangkan di pesisir Desa Sangatta Selatan sangat rentan terhadap

degradasi.

Untuk meminimalisasi rusaknya ekosistem mangrove diperlukan

pengembangan model pengelolaan mangrove yang melibatkan masyarakat dalam

kawasan tersebut, karena keberadaan masyarakat sekitar hutan mangrove sangat

berpengaruh terhadap kelestarian ekosistem hutan mangrove. Sehingga diperlukan

adanya suatu model pengelolaan kolaboratif yang dapat mendistribusikan

tanggung jawab dan wewenang antara pemerintah dan masyarakat lokal dalam

mengelola pemanfaatan hutan mangrove, terutama hutan mangrove dalam

kawasan konservasi.

Penelitian ini penting untuk memberikan masukan rekomendasi kebijakan

atau perubahan legislasi mengenai pengelolaan kolaboratif yang berbasis ilmiah

sehingga walaupun pemanfaatan sumberdaya alam bakau dapat dilakukan namun

tujuan utama pengelolaan taman nasional untuk konservasi keanekaragaman

hayati tetap dapat dipertahankan.

Kepiting bakau merupakan salah satu sumberdaya di hutan mangrove yang

dapat dimanfaatkan oleh penduduk untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ada

dua tipe pemanfaatan kepiting bakau dari alam, yaitu penangkapan kepiting bakau

dewasa (ukuran lebih dari 300 gram) untuk konsumsi dan penangkapan kepiting

bakau muda (ukuran ± 100 gram) untuk benih dalam pembesaran kepiting.

Potensi kepiting bakau di habitat mangrove TNK, yang diduga masih

besar, dapat dijadikan alternatif mata pencaharian bagi penduduk lokal, agar tidak

merusak hutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemanfaatan sumberdaya

Page 27: scylla serrata

kepiting bakau, bila dioptimalkan dengan memperhatikan daya dukung

sumberdaya yang ada, maka diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan

masyarakat, dan di sisi lain keutuhan habitat hutan mangrove akan tetap terjaga.

Pemanfaatan lestari kepiting bakau dengan model pengelolaan kolaboratif

berpotensi menurunkan kerusakan hutan bakau minimal sebesar 700 ha, yaitu

seluas kerusakan mangrove yang terjadi akibat pembukaan hutan mangrove untuk

tambak. Budidaya tambak yang dilakukan di TNK selama ini belum menunjukkan

produksi maupun nilai keuntungan yang cukup seimbang dibandingkan kerugian

yang diperoleh akibat kerusakan mangrove. Penurunan luas kerusakan mangrove

diharapkan terjadi dengan mengalihkan pemanfaatan mangrove dari pembukaan

tambak menjadi sylvofishery kepiting bakau.

Hutan mangrove merupakan habitat utama bagi S. serrata. Dengan rusak

dan hilangnya habitat dasar serta fungsi utama ekosistem mangrove maka akan

menghilangkan habitat alami dari S. serrata yang pada akhirnya menurunkan

jumlah populasi salah satu jenis krustasea yang bernilai ekonomi tinggi ini.

Seperti yang diduga Siahainenia (2008) telah terjadi di perairan mangrove

Kabupaten Subang. Penurunan populasi S. serrata selain disebabkan

penangkapan (eksploitasi) secara berlebihan oleh nelayan juga disebabkan

hilangnya habitat alami (kerusakan ekosistem mangrove), sehingga

menghilangkan kesempatan bagi S. serrata untuk berkembang dan tumbuh

dengan baik.

Dua tipe pemanfaatan kepiting bakau, yaitu penangkapan dan budidaya,

perlu dipertahankan untuk menyediakan lapangan kerja dan pendapatan nelayan

lokal dan pembudidaya. Walaupun demikian, kedua kegiatan ini harus diterapkan

secara bertanggung jawab dan berdasarkan pada prinsip kehati-hatian untuk

tujuan keberlanjutan usaha perikanan dan sumberdayanya (Cholik 1999).

Pemanfaatan sumberdaya kepiting, baik secara penangkapan atau pun melalui

budidaya pembesaran kepiting, pada dasarnya dilakukan dengan menangkap

kepiting dari alam. Oleh karena itu, bila tidak dikelola dengan benar, maka

dikhawatirkan pada suatu saat akan terjadi penurunan hasil tangkapan, hingga

habisnya stok kepiting di alam.

Page 28: scylla serrata

Perikanan tangkap kepiting bakau dapat ditingkatkan melalui perbaikan

habitat dan restoking (Cholik 1999), sedangkan budidaya kepiting bakau dapat

dilakukan di tambak air payau atau di kurungan tancap di dalam area mangrove

(Ikhwanuddin & Oakley 1999). Namun menurut Genodepa (1999), sistem tambak

tidak mengkonservasi dan mengelola lingkungan alami kepiting bakau, karena

tambak dikembangkan dengan membuka bersih area bakau, yang merupakan

habitat alami kepiting bakau. Sedangkan sistem kurungan tancap lebih bersifat

ramah lingkungan karena tidak mengkonversi mangrove dan mengijinkan kepiting

hidup dalam lingkungan alaminya (Ikhwanuddin & Oakley 1999; Genodepa 1999;

Johnston & Keenan 1999). Beberapa teknologi yang mendukung kegiatan

budidaya kepiting bakau, yaitu: pembenihan, pembesaran, penggemukan,

produksi kepiting bertelur, dan produksi kepiting lunak/soka.

Berdasarkan kondisi-kondisi tersebut, maka beberapa pertanyaan yang

muncul adalah:

1. Pada area hutan mangrove bagian mana saja di TNK yang dapat

dimanfaatkan sumberdaya kepitingnya untuk suatu pemanfaatan yang

berkelanjutan?

2. Apakah sumberdaya kepiting di TNK sudah mengalami penurunan saat ini

dibandingkan waktu yang lalu?

3. Seberapa besar daya dukung sumberdaya di zona pemanfaatan TNK bagi

populasi kepiting untuk penangkapan maupun budidaya pembesaran?

4. Bagaimana bentuk pengelolaan yang mampu menjamin keberlanjutan

pemanfaatan sumberdaya kepiting dan sekaligus menjaga kelestarian

hutan mangrove di TNK sebagai habitat bagi kepiting tersebut?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengidentifikasi status bioekologi sumberdaya S. serrata meliputi;

sebaran ukuran, parameter pertumbuhan, pola distribusi spasial dan

temporal, serta laju eksploitasinya di hutan mangrove TNK.

2. Melakukan kajian daya dukung lingkungan bagi sumberdaya S. serrata di

ekosistem mangrove TNK.

Page 29: scylla serrata

3. Membuat rekomendasi pengelolaan sumberdaya kepiting bakau di

kawasan konservasi mangrove untuk menjamin keberlanjutan

pemanfaatannya dan sekaligus menjaga kelestarian hutan mangrove di

TNK.

1.4 Hipotesis

Hipotesis yang menjadi dasar pengembangan disertasi ini adalah:

Jika pemanfaatan sumberdaya kepiting bakau di zona pemanfaatan hutan

mangrove TNK dioptimalkan sesuai daya dukung lingkungannya melalui

sylvofishery, maka akan membentuk model pengelolaan ekosistem mangrove

yang lestari, yang diindikasikan dengan adanya penurunan laju kerusakan

ekosistem mangrove.

1.5 Kerangka Pendekatan Penelitian

Permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan kepiting bakau di habitat

hutan mangrove TNK adalah ancaman penurunan populasi kepiting bakau akibat

eksploitasi hutan mangrove oleh masyarakat. Sementara itu, diduga pemanfaatan

kepiting bakau di TNK masih di bawah potensi yang ada, sedangkan disisi lain,

TNK sebagai kawasan konservasi tidak boleh ditebang/dikurangi keutuhan

kawasannya.

Pemanfaatan sumberdaya yang ada dalam kawasan taman nasional pada

dasarnya diperbolehkan (pasal 26, 27, 28 dan 30 UU No. 5 Tahun 1990 tentang

Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya). Salah satu jenis

sumberdaya hayati yang dapat dimanfaatkan dari kawasan mangrove TNK adalah

kepiting bakau (S. serrata).

Kepiting bakau dimanfaatkan dengan cara penangkapan kepiting dewasa

di alam dan penangkapan kepiting muda untuk budidaya pembesaran kepiting.

Namun dalam pemanfaatan sumberdaya ini perlu diperhatikan kelangsungan

populasi dan daya dukungnya, oleh karena itu perlu kajian dalam pemanfaatan

sumberdaya kepiting tersebut.

Dalam pemanfaatan sumberdaya kepiting di ekosistem mangrove TNK,

terkait aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya. Sehingga diperlukan

Page 30: scylla serrata

pendekatan sistem, agar ketiga aspek tersebut dapat dikaji secara menyeluruh.

Untuk memperoleh data dan informasi tentang aspek bioekologi kepiting bakau

perlu dilakukan beberapa pendekatan. Data dan informasi tentang tipe dan

karakteristik habitat kepiting bakau diperoleh dengan melakukan klasifikasi

wilayah (zona) berdasarkan karakter-karakter khusus yang dimiliki tiap zona.

Selanjutnya pada tiap zona dilakukan pengamatan dan analisa parameter biofisik

dan kimia lingkungan, meliputi: parameter fisik-kimia substrat dan perairan,

karakteristik vegetasi mangrove, produksi serasah mangrove dan kelimpahan

organisme makrozoobenthos sebagai pakan alami kepiting bakau.

Untuk mengetahui status bioekologi kepiting bakau dilakukan kajian

tentang kelimpahan, sebaran ukuran, pola distribusi spasial dan temporal, pola

pertumbuhan, serta laju eksploitasi kepiting bakau. Data untuk kajian status

bioekologi kepiting bakau diperoleh dari data primer dan data sekunder. Kajian

mengenai daya dukung lingkungan dilakukan dengan pendekatan indeks

kesesuaian habitat (Habitat Suitability Index/HSI). HSI menggambarkan

kesesuaian habitat yang diberikan oleh kombinasi interaksi dari semua variabel

lingkungan kunci pada spesies S. serrata, berdasarkan hipotesa hubungan spesies-

habitat. Alur pendekatan penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

1.6 Kebaruan Penelitian

Di Indonesia, khususnya di Institut Pertanian Bogor sendiri, sudah banyak

penelitian yang telah dilakukan untuk mengetahui status bioekologi kepiting

bakau, antara lain oleh: 1) Siahainenia (2008) telah melakukan penelitian

bioekologi kepiting bakau di ekosistem mangrove Kabupaten Subang, yang

meliputi struktur populasi, potensi reproduksi, dan distribusi spasial dan temporal

kepiting bakau; 2) Mulya (2000) meneliti kelimpahan dan distribusi kepiting

bakau di hutan mangrove Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat,

Sumatera Utara; 3) Nazar (2002) meneliti keterkaitan karakteristik habitat dengan

keberadaan tiga jenis kepiting bakau; 4) Dianthani (2002) mengevaluasi kondisi

lingkungan perairan Muara Badak, Kalimantan Timur dalam kaitannya dengan

perkembangan larva kepiting bakau. Namun penelitian-penelitian tersebut belum

Page 31: scylla serrata

memberikan jalan bagaimana menggunakan hasil penelitian tersebut untuk

rencana pengelolaan sumberdaya kepiting bakau.

Penelitian ini dilakukan di kawasan konservasi Taman Nasional, dimana

menurut UU No. 5 tahun 1990 dilarang dilakukan kegiatan yang bersifat merubah

keutuhan kawasan, seperti menangkap hewan atau menebang pohon. Namun saat

ini telah terjadi pergeseran paradigma pengelolaan kawasan konservasi, yang

semula perlindungan alam tanpa mengijinkan pemanfaatan untuk kesejahteraan

masyarakat, menjadi perlindungan dengan pemanfaatan yang berkelanjutan.

Model pengelolaan ekosistem mangrove di salah satu desa dalam kawasan

TNK sudah pernah diteliti oleh Gunawan et al. (2005) yang melakukan penelitian

tentang Model Pelestarian Ekosistem Mangrove di Kawasan Taman Nasional

Kutai oleh Masyarakat Dusun Teluk Lombok, namun dalam penelitian ini model

yang dihasilkan hanya berupa deskripsi tentang pelaksanaan pengelolaan

mangrove yang telah rusak/dibuka di kawasan tersebut oleh masyarakat bersama

dengan LSM Bikal. Sedangkan bagaimana solusi dari permasalahan mengapa

mangrove dirusak tidak dibahas dalam penelitian tersebut.

Pada penelitian ini akan disusun model pengelolaan zona pemanfaatan

hutan mangrove di kawasan TNK, yang berbasis pada pemanfaatan sumberdaya S.

serrata, sebagai biota yang mempunyai keterkaitan habitat dengan hutan

mangrove. Penelitian ini dilakukan secara komprehensif dengan pendekatan

sistem dinamik yang didukung oleh data bioekologi kepiting bakau dan daya

dukung lingkungan. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data bioekologi

kepiting bakau memang masih mengikuti penelitian-penelitian sebelumnya,

namun yang berbeda adalah data biekologi ini akan digunakan secara menyeluruh

melalui metode analisis sistem dinamik untuk menyusun rencana pengelolaan

sumberdaya kepiting bakau.

Hasil dari analisis sistem berupa model pengelolaan kepiting bakau, akan

mempunyai karakter yang berbeda dengan kebijakan pengelolaan kepiting bakau

di perairan umum, karena memasukkan variabel aturan-aturan dalam pengelolaan

kawasan konservasi.

Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik benang merah kebaruan dari

penelitian ini yaitu:

Page 32: scylla serrata

a) Penggunaan data-data bioekologi dan pendugaan stok kepiting bakau secara

komprehensif sebagai variabel-variabel dalam alat analisis sistem dinamik

untuk menyusun rencana pengelolaan belum pernah dilakukan sebelumnya,

walaupun LeVay (2001) telah menyatakan menganggap perlu untuk

menggunakan data bioekologi dan stok assesment sebagai dasar pengelolaan.

b) Disusunnya model untuk pengelolaan sumberdaya kepiting bakau di kawasan

konservasi taman nasional yang berbeda dengan model pengelolaan di

perairan umum, karena harus mempertimbangkan keberlanjutan ekosistem

mangrove yang meliputi dua sistem ekologi, yaitu ekosistem hutan dan

ekosistem perairan, sehingga diperlukan adanya penyelarasan peraturan-

perundangan untuk konservasi di kawasan kehutanan dan konservasi di

kawasan perairan.

Page 33: scylla serrata

Gambar 1 Kerangka pendekatan penelitian

Sumberdaya Kepiting

MANGROVE TNK

Permasalahan: Degradasi habitat

mangrove untuk tambak Permasalahan:Potensi tinggi,

belum dimanfaatkan

Perlu Manag. Sylvofishery

PerluUpaya Optimasi

-

+

Status Bioekologi Kepiting

Analisis Sistem

Analisis Bio-Fisik

Daya dukung lingkungan Analisis HSI

Powersim Studio 2005

Pemodelan Pemanfatan Sumberdaya kepiting

Analisis Probabilistik

PEMANFATAAN KEPITING

1. Penangkapan Kepiting Dewasa2. Budidaya Pembesaran (kepiting

muda)

HIPOTESIS

Skenario Pemanfaatan SD Kepiting Bakau

Strategi Pengelolaan SD kepiting Bakau

Peraturan Pengelolaan Kawasan Konservasi

Zonasi Pemanfaatan Hutan Mangrove

Analisis SIG

Page 34: scylla serrata

 

 

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bioekologi Kepiting Bakau

2.1.1 Klasifikasi S. serrata

Kepiting bakau tergolong dalam kelas Crustacea, subkelas Malacostraca,

ordo Decapoda, famili Portunidae dan genus Scylla (Jones & Morgan 1994). Saat

ini ada empat spesies dari genus Scylla sebagaimana dikemukakan oleh Keenan

(1999); yakni Scylla serrata, Scylla tranquebarica, Scylla paramamosain, dan

Scylla olivacea. Pembedaan keempat spesies ini dilakukan berdasarkan pada

electrophoresis allozyme, pembagian mitokondria DNA dan analisis

morphometrik (Keenan 1999). Keenan et al. (1998), membuat klasifikasi genus

Scylla yang berbeda dengan klasifikasi sebelumnya, dengan ciri-ciri tiap jenis

seperti pada Tabel 1.

Klasifikasi ilmiah bagi spesies Scylla serrata dalam menurut Motoh

(1979) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Filum : Arthropoda

Subfilum : Mandibulata

Kelas : Crustacea

subkelas : Malacostraca

Ordo : Decapoda

Subordo : Pleocyemata

Seksi : Brachyura

Famili : Portunidae

Subfamili : Portuninae

Genus : Scylla

Species : Scylla serrata (Forsskål 1775)

2.1.2 Morfologi S. serrata

Bentuk badan kepiting secara umum adalah badan yang pendek dengan

abdomen yang tereduksi. Badan yang pendek diakibatkan oleh fusi antara kepala

dan toraks membentuk cefalotoraks dan ditutupi oleh karapas. Sedangkan

Page 35: scylla serrata

16  

 

abdomen tereduksi menjadi tipis, rata dan terlipat di bawah cefalotoraks, karena

itu kepiting dinamakan brachyura atau ekor pendek (Garth & Abbott 1980).

Tabel 1 Karakteristik jenis kepiting bakau (Scylla spp.) menurut Keenan et al. (1998).

No Jenis Pola poligon dan warna

Ciri morfologis/faktor pembeda

1 Scylla serrata Pola poligon dan warna Duri pada dahi Duri pada bagian luar cheliped

Chela dan kaki-kakinya memiliki pola poligon yang sempurna untuk kedua jenis kelamin dan pada abdomen betina. Warna bervariasi dari unggu, hijau sampai hitam kecoklatan. Tinggi, sempit, dan agak tumpul, dasar cekungan (lembah) diantara dua duri membulat. Sepasang duri tajam pada carpus dan. dua duri tajam pada propodus di bagian tepi atas, di belakang dactilus.

2 Scylla tranquebarica

Pola poligon dan warna Duri pada dahi Duri pada bagian luar cheliped

Chela dan dua pasang kaki jalan pertama berpola poligon samar-samar, serta dua pasang kaki yang lain mempunyai pola yang lebih jelas. Pola poligon bervariasi terdapat pada abdomen betina dan tidak ada pada abdomen jantan. Warna bervariasi mirip dengan S. serrata. Duri pada dahi agak tinggi, tumpul, dan lembah antara dua duri membulat. Sepasang duri tajam pada carpus dan. dua duri tajam pada propodus di bagian tepi atas, di belakang dactilus.

3 Scylla paramamosain

Pola poligon dan warna Duri pada dahi Duri pada bagian luar cheliped

Chela dan kaki-kakinya berpola poligon yang samar-samar untuk kedua jenis kelamin. Warna bervariasi dari ungu, hijau sampai coklat kehitaman tergantung habitat. Agak tinggi, berbentuk segitiga dengan tepian yang bergaris lurus dan lembah antara dua duri berbentuk siku (2 duri tengah lebih tinggi). Pada dewasa tidak ada duri pada bagian luar carpus, tetapi dengan 1 duri tumpul kecil (pada juvenile) dan propodus mempunyai sepasang duri agak tajam berukuran sedang pada bagian tepi atas, di belakang dactylus, diikuti dengan gerigi ke arah posterior..

4 Scylla Olivaceae

Pola poligon dan warna

Duri pada dahi Duri pada bagian luar cheliped

Chela dan kaki-kakinya tanpa pola poligon yang jelas untuk kedua jenis kelamin. Warna bervariasi dari oranye kemerahan, coklat sampai coklat kehitaman tergantung habitat. Rendah, membulat dengan lembah yang dangkal diantaranya. Umumnya pada dewasa tidak ada duri pada carpus (pada betina ada**), tetapi dengan 1 duri kecil tumpul pada tepi luar (pada juvenile). Sedangkan propodus dengan sepasang duri tumpul di bagian atas belakang dactylus, dimana juvenile dan kepiting muda berduri, duri bagian dalam lebih besar daripada nyang luar.

Page 36: scylla serrata

17  

 

Kepiting bakau ditutupi oleh karapas yaitu kulit yang terdiri atas khitin

bercampur bahan kapur yang telah mengeras. Karapas berbentuk bulat pipih,

dilengkapi dengan sembilan duri pada sisi kiri dan kanan. Empat duri yang lain

terdapat diantara kedua matanya. Mempunyai sepasang kaki jalan yang bentuknya

besar disebut capit yang berfungsi untuk memegang, tiga pasang kaki jalan dan

sepasang kaki renang berbentuk bulat telur dan pipih seperti alat pendayung

(Motoh dalam Karim 1998 ).

Untuk membedakan kepiting jantan dan betina dapat dilakukan dengan

mengamati ruas-ruas abdomennya. Kepiting jantan ruas abdomennya sempit,

sedangkan pada betina lebih besar. Perut kepiting betina berbentuk lonceng

(stupa) sedangkan jantan berbentuk tugu. Perbedaan lain adalah pleopod yang

terletak dibawah abdomen, dimana pada kepiting jantan yaitu pleopod berfungsi

sebagai alat kopulasi, sedangkan pada betina sebagai tempat melekatnya telur

(Moosa et al. 1985).

Ciri-ciri umum dari genus Scylla adalah memiliki karapas berbentuk

menyerupai segi enam, agak bulat atau oval, ukuran chela kanan lebih panjang

daripada chela kiri, pasangan kaki terakhir berbentuk pipih dan diadaptasikan

untuk berenang, sisi anteroteral karapas berduri sembilan buah dengan ukuran

yang hampir sama, jarak antar ruang rongga mata (orbital) luas, bagian depan

Gambar 2 Kepiting betina dan kepiting jantan. A. S. serrata betina dewasa kelamin B. S. serrata jantan moulting Foto: Phelan & Grubert (2007)

A B

Page 37: scylla serrata

18  

 

mempunyai enam buah duri, serta memiliki ruas propodus cheliped yang

menggembung.

Pasangan kaki pejalan yang terakhir (pleopod V) berbentuk memipih pada

ruas terakhirnya (propodus dan daktilus). Capit (pleopod I) mempunyai bagian

propodus menggembung dengan permukaan yang licin (Gambar 3).

Selanjutnya Siahainenia (2008) yang memodifikasi dari Keenan (1998)

menambahkan bahwa kriteria klasifikasi S. serrata dewasa adalah warna

bervariasi dari ungu sampai hijau dan coklat kehitaman. Pola poligonal terlihat

jelas pada hampir semua bagian tubuh. Duri pada bagian dahi karapas lebar, tinggi

dan agak tumpul, berbentuk segitiga. Empat duri yang di tengah berukuran

panjang hampir sama sehingga terlihat rata. Terdapat dua duri yang tajam pada

propodus dan dua duri yang tajam pada carpus.

Gambar 3 Morfologi Scylla serrata. Foto: Pratiwi & Wijaya (2010)

Berbagai jenis krustasea hidup di mangrove menggali tanah sampai

permukaan air sebagai adaptasi terhadap pasang surut perairan dan juga terhadap

predator. Jenis-jenis Portunidae seperti S. serrata dapat menggali lubang hingga 5

meter keluar dari sisi tebing sungai masuk ke mangrove. Lubang yang digali

bervariasi fungsinya, bergantung pada spesiesnya, yaitu sebagai tempat

menghindar dari predator, tempat menampung air, sumber bahan pakan organik,

sebagai rumah atau daerah teritorial dalam berpasangan dan kawin, tempat

karapas 

kaki jalan I 

kaki jalan II 

kaki jalan III 

basis ischium  kaki renang 

daktilus 

propondus 

karpus 

merus 

mata  antene 

Page 38: scylla serrata

19  

 

pertahanan, dan tempat mengerami telur atau anaknya. Dengan adanya kaki

perenang (menyerupai dayung), jenis S. serrata memiliki kemampuan berenang

yang cepat yang bertujuan untuk proteksi diri dari predator dan menangkap

mangsa (Kasry 1996). Pada saat larva, jenis S. serrata dan kebanyakan jenis

kepiting lainnya hidup sebagai plankton, berenang-renang bebas, terbawa arus,

dan setelah dewasa hidup di dasar perairan .

Kepiting bakau dewasa merupakan salah satu dari biota yang hidup pada

kisaran kadar garam yang luas (euryhaline) dan memiliki kapasitas untuk

menyesuaikan diri (adaptasi) yang cukup tinggi. Kepiting bakau juga memiliki

kemampuan untuk bergerak dan beradaptasi pada daerah teresterial serta pada

tambak yang cukup tersedia cukup pakan bagi kelangsungan hidupnya.

Kemampuan tersebut berbeda dengan organisme lain, karena kepiting bakau

memiliki vaskularisasi dinding ruang insang untuk memudahkan menyesuaikan

diri dengan habitatnya.

2.1.3 Daur hidup Scylla serrata

Scylla serrata merupakan jenis biota yang melakukan ruaya selama daur

hidupnya, sehingga pada setiap tahapan hidupnya S. serrata menempati habitat

yang berbeda sesuai dengan kebutuhan hidupnya. Organisme, jarang yang secara

acak menyebar di sepanjang lingkungan (Condit et al.; Bertnes et al.; dalam

Webley et al. 2009). Pada hewan, distribusi yang tidak acak ini dibangkitkan oleh

mekanisme pilihan tempat tinggal. Kematian, merupakan salah satu mekanisme

yang mungkin terjadi. Hewan yang rekruit secara acak, dan sebagian mati di

tempat yang tidak nyaman, namun akan bertahan hidup di tempat lain akan

menyebar secara tidak acak dan berasosiasi dengan habitat yang sesuai (Crowe &

Underwood dalam Webley 2009). Pemahaman akan biologi S. serrata dan ekologi

lingkungannya diperlukan agar dapat mengelola sumberdaya S. serrata dengan

benar.

Pada kondisi lingkungan yang memungkinkan, kepiting dapat bertahan

hidup hingga mencapai umur 3-4 tahun dan mencapai ukuran lebar karapas

maksimum lebih dari 200 mm (Perrine; Heasman dalam Bonine et al. 2008).

Scylla serrata betina matang pada ukuran lebar karapas antara 80-120 mm (Hill;

Page 39: scylla serrata

20  

 

A B

Heasman et al. dalam Bonine et al. 2008). Sedangkan S. serrata jantan matang

secara fisiologis ketika lebar karapas berukuran 90-110 mm, namun tidak cukup

berhasil bersaing untuk pemijahan sebelum dewasa secara morfologis (yaitu dari

ukuran capit) dengan lebar karapas 140-160 mm (Perrine; Heasman dalam Bonine

et al. 2008). Scylla serrata menunjukkan sifat seksualitas dimorfisme, dimana

kepiting jantan cenderung menjadi lebih berat dibanding kepiting betina pada

lebar karapas yang sama (Chakrabarti dalam Bonine et al. 2008; Siahainenia

2008).

Di wilayah tropis, reproduksi S. serrata berlangsung sepanjang tahun,

dengan puncaknya pada musim hujan (Le Vay 2001). Scylla serrata

melangsungkan perkawinan di perairan mangrove dan secara berangsur-angsur

sesuai dengan perkembangan telurnya, kepiting betina akan beruaya (berenang) ke

laut dan memijah, sementara kepiting jantan tetap di perairan hutan bakau atau

muara sungai (Hill 1975). Kasry (1996) menyatakan bahwa kepiting betina yang

telah beruaya ke perairan laut akan berusaha mencari perairan yang kondisinya

cocok untuk tempat melakukan pemijahan, khususnya terhadap suhu dan salinitas

air laut. Peristiwa pemijahan S. serrata terjadi pada periode bulan-bulan tertentu,

terutama awal tahun. Jarak yang ditempuh dalam beruaya untuk memijah tidak

lebih dari satu kilometer ke arah laut menjauhi pantai.

Motoh (1979) menyatakan bahwa perkembangan kepiting bakau S. serrata

mulai dari telur hingga mencapai dewasa mengalami beberapa tingkat

perkembangan, yaitu: stadia zoea, stadia megalopa, stadia kepiting muda

(juvenil), dan stadia kepiting dewasa.

Sekitar 12 hari setelah pemijahan, telur menetas, dan melalui fase larva

yang disebut dengan zoea, yaitu sebagai larva tingkat I (Zoea I) dan terus menerus

berganti kulit, sambil terbawa arus perairan pantai, hingga mencapai Zoea V.

Proses ini memerlukan waktu minimal 18 hari (Warner 1977). Kemudian berganti

kulit menjadi megalopa yang bentuk tubuhnya sudah mirip dengan kepiting

dewasa kecuali masih memiliki bagian ekor yang panjang. Tahap megalopa

berlangsung antara 7-9 hari (Phelan & Grubert 2007).

Pada tingkat megalopa ini, kepiting mulai beruaya pada dasar perairan

berlumpur menuju perairan pantai, dan biasanya pertama kali memasuki perairan

Page 40: scylla serrata

21  

 

muara sungai, kemudian ke perairan berhutan bakau untuk kembali

melangsungkan perkawinan (Gambar 4). Secara ringkas siklus hidup kepiting

bakau S. serrata menurut Afrianto & Liviawaty (1993) dapat digambarkan dalam

diagram sebagai berikut:

Pembuahan Telur Larva Zoea

Kepiting Kepiting Megalopa dewasa muda

Gambar 4 Diagram siklus hidup kepiting bakau.

Untuk menjadi kepiting dewasa, zoea membutuhkan pergantian kulit

kurang lebih sebanyak 20 kali. Proses pergantian kulit pada zoea berlangsung

relatif cepat, yaitu sekitar 3-4 hari tergantung pada kemampuan tubuhnya.

Pergantian kulit tersebut juga tergantung pada faktor umur, pakan dan habitat.

Pada tingkat zoea terjadi ± 5 kali pergantian kulit untuk menjadi megalopa

(Afrianto & Liviawaty 1993).

Setelah megalopa berganti kulit, maka kepiting akan memasuki fase

kepiting muda. Kepiting betina muda sudah dapat melangsungkan perkawinan

pada tingkat kepiting muda ke-16 (setelah 16 kali berganti kulit dalam fase

kepiting muda). Umur kepiting diperkirakan 1 tahun dengan lebar karapas lebih

kurang 99 mm (Phelan & Grubert 2007).

2.1.4 Karakter dewasa kelamin

Siahainenia (2008) menyatakan, dewasa kelamin adalah tingkat dalam

siklus hidup kepiting bakau dimana alat-alat reproduksi telah berkembang secara

baik dan siap melakukan proses reproduksi. Untuk tujuan pengelolaan populasi

ataupun untuk tujuan budidaya kepiting bakau perlu diketahui secara pasti status

dewasa kelamin kepiting bakau mengingat ketika memasuki masa reproduksi

yang diawali dengan proses perkawinan, kepiting bakau harus telah mencapai

tingkat dewasa kelamin. Warner (1977) menyatakan pada tingkat dewasa kelamin,

kepiting bakau jantan telah menghasilkan sperma dan siap melakukan stimulasi

untuk merangsang kepiting bakau betina melakukan ganti kulit (moulting) agar

Page 41: scylla serrata

22  

 

proses kopulasi dapat berlangsung serta mampu melakukan proses kopulasi

dengan cara memasukkan pleopodnya ke bukaan kelamin dan mentransfer

spermatophore (kantong berisi sperma) ke dalam wadah sperma (spermatheca)

yang terdapat pada tubuh kepiting bakau betina. Ketika mencapai tingkat dewasa

kelamin kepiting bakau betina telah siap melepaskan traktan kimiawi (pheromon)

untuk menarik perhatian jantan juga telah siap menerima sperma untuk kemudian

disimpannya di dalam spermatheca, serta menghasilkan telur-telur untuk

dipijahkan, dibuahi dan ditetaskan. Jadi ketika kepiting bakau mencapai tingkat

dewasa kelamin, semua organ yang berkaitan dan mendukung urutan aktifitas

reproduksi harus telah siap untuk digunakan, dengan demikian akan terjadi

perubahan morfologi tubuh yang menyertai perkembangan kepiting bakau ke arah

tingkat dewasa kelamin.

Tutup abdomen kepiting bakau jantan dewasa kelamin mudah dibuka

sebaliknya tutup abdomen pada kepiting bakau jantan pradewasa kelamin sulit

dibuka. Hal ini disebabkan karena tutup abdomen kepiting bakau jantan dewasa

kelamin dihubungkan pada thorachic sternum melalui sepasang otot yang lentur

sebaliknya tutup abdomen pada kepiting bakau jantan pradewasa kelamin

menempel sangat rapat pada thorachic sternum melalui sepasang pengait yang

terdapat pada ruas dada (thorachic) ke-enam. Selain itu ada thorachic sternum

dari kepiting bakau jantan dewasa kelamin terutama pada bagian ujung atas

terlihat adanya pigmentasi yang kuat yang membentuk warna kuning kecoklatan

sebaliknya pada jantan pradewasa kelamin pigmentasi pada bagian ujung atas

thorachic sternum belum nampak sehingga terlihat bersih.

Untuk mengenal kepiting bakau jantan dewasa kelamin dapat juga

digunakan ukuran chela sebagai karakter pembeda dimana umumnya kepiting

bakau jantan dewasa kelamin memiliki chela yang berkembang cepat sehingga

ukuran lebih besar sebaliknya kepiting bakau jantan pradewasa kelamin memiliki

ukuran chela yang kecil, ukuran chela yang besar pada kepiting bakau jantan

dewasa kelamin sangat berfungsi ketika mendekap atau mengepit kepiting bakau

betina selama masa percumbuan yakni ketika kedua individu kepiting bakau ini

berada dalam posisi "doublers" serta untuk membalik tubuh kepiting bakau betina

ketika proses kopulasi akan berlangsung. Chela yang besar juga dibutuhkan

Page 42: scylla serrata

23  

 

kepiting bakau jantan dewasa kelamin untuk bertarung dengan jantan lainnya

dalam upaya mempertahankan wilayah kawin (matting teritory), mempertahankan

dirinya sendiri serta melindungi dan mempertahankan betina yang menjadi

pasangan kawinnya, mengingat menjelang kopulasi kepiting bakau betina

melakukan pergantian kulit (moulting) sehingga bertubuh lunak dan sangat rentan

terhadap serangan atau bahkan pemangsaan dari kepiting bakau lainnya.

Selain itu terdapat juga tanda-tanda khusus pada bagian tubuh kepiting

bakau jantan yang dapat menjadi karakter pembeda tingkat dewasa kelamin,

seperti adanya goresan atau pengikisan selaput kulit terutama pada bagian

posterior chela dan pada bagian ventral tubuh serta adanya parutan bekas luka

pada permukaan tubuh terutama pada kaki-kaki jalan yang mengindikasikan

suksesnya kepiting bakau jantan melakukan kopulasi, yang secara otomatis berarti

kepiting bakau tersebut telah mencapai tingkat dewasa kelamin. Goresan atau

pengikisan selaput kulit terjadi karena selama masa "doublers" kepiting jantan

mengepit kepiting bakau betina dengan posisi betina berada dibawah abdomennya

dan karena proses ini berlangsung cukup lama sehingga terjadi pergesekan tubuh

kepiting bakau tersebut. Tanda-tanda luka dapat disebabkan karena terjadi

pertarungan dengan jantan lainnya dalam upaya mempertahankan wilayah kawin

maupun karena upaya melindungi kepiting bakau betina selama berada dalam

kondisi kulit tubuh yang lunak akibat moulting dari serangan maupun pemangsaan

kepiting bakau lain (Siahainenia 2008).

Tutup abdomen pada kepiting bakau betina dewasa kelamin umumnya

lebih besar, melebar ke samping dan cekung membentuk ruang dalam abdomen

yang luas serta memiliki ruang antar ruas yang pendek. Sebaliknya bentuk tutup

abdomen pada kepiting bakau betina pradewasa kelamin umumnya lebih sempit,

memanjang keatas, relatif datar sehingga membentuk ruang dalam abdomen yang

sempit serta memiliki ruang antar ruas yang panjang. Pigmentasi pada tutup

abdomen kepiting bakau betina dewasa kelamin lebih kuat yakni membentuk

kecoklatan sebaliknya pada kepiting bakau betina pradewasa kelamin pigmentasi

pada abdomen belum nampak jelas. Pada kepiting bakau betina kelamin tutup

abdomen menempel pada thorachic sternum melalui sepasang otot yang lentur.

Sebaliknya pada kepiting bakau betina pradewasa kelamin tutup abdomen

Page 43: scylla serrata

24  

 

umumnya menempel sangat rapat pada thorachic sternum melalui sepasang

pengait yang terdapat pada ruas dada ke-enam. Oleh karena itu tutup abdomen

kepiting bakau betina dewasa kelamin lebih mudah dibuka, sebaliknya tutup

abdomen pada kepiting bakau betina pradewasa kelamin sulit dibuka.

Bila tutup abdomen dibuka akan nampak empat pasang pleopod yang

merupakan tempat menempelnya masa telur setelah dikeluarkan dari tubuh

melalui proses pemijahan, sehingga pleopod pada kepiting bakau betina juga

pelengkap organ kelamin yaitu sebagai organ inkubasi telur. Bentuk pleopod pada

kepiting bakau betina juga dapat menjadi salah satu karakter pembeda tingkat

dewasa kelamin. Pada pleopod kepiting bakau betina kelamin terdapat rambut-

rambut yang lebih panjang, banyak dan rapat, sedangkan pada kepiting bakau

betina pradewasa kelamin rambut-rambut pleopod pendek dan jarang.

Pada thorachic sternum kepiting bakau betina terdapat sepasang bukaan

kelamin (Oviduct Openings) atau yang juga disebut gonophores yang merupakan

corong saluran keluarnya telur ketika memijah. Lewat corong ini juga bakau

jantan mentransfer spermathophore berisi sperma melalui pleopod-nya ke dalam

spermatheca pada tubuh kepiting bakau betina. Pada kepiting bakau betina

dewasa kelamin pasangan bukaan kelamin nampak besar terbuka, berbentuk

lingkaran oval yang dibatasi oleh selaput yang lembut. Pada kepiting bakau betina

pradewasa kelamin pasangan bukaan kelamin terlihat tertutup, membentuk celah

sempit dan dibatasi oleh selaput lembut yang menonjol.

Perubahan karakter tubuh yang nyata antara kepiting bakau betina dewasa

kelamin dan pradewasa kelamin juga nampak terlihat melalui pigmentasi pada

bagian ujung atas thorachic sternum. Pada kepiting bakau betina dewasa kelamin

terjadi pigmentasi kuat membentuk warna kuning kecoklatan seperti warna karat

sebaliknya pada kepiting bakau betina pradewasa kelamin pigmentasi belum

nampak. Selain itu karakter pembeda tampak terjadi pada ruas dactylus, propodus,

carpus, merus dan basi-ischium (endopod) kaki jalan dan kaki renang. Pada

kepiting bakau betina dewasa kelamin, endopod telah ditumbuhi bulu-bulu halus

yang panjang, sebaliknya pada kepiting bakau betina pradewasa kelamin, rambut-

rambut pada endopod terlihat lebih pendek (Siahainenia 2008).

Page 44: scylla serrata

25  

 

2.1.5 Kepiting bakau sebagai hewan air (kehalalan kepiting bakau)

Konsumsi kepiting bakau pada masyarakat di Indonesia belum se-populer

krustasea yang lain, seperti udang. Hal ini diduga terjadi karena sampai saat ini,

sebagian masyarakat masih banyak yang meragukan kehalalan kepiting, terutama

jenis kepiting bakau, sebagai bahan makanan. Keraguan ini disebabkan perilaku

kepiting bakau yang mampu bertahan hidup lebih lama dibandingkan hewan air

lainnya, dalam kondisi tidak ada air, sehingga kepiting bakau sering dianggap

sebagai hewan yang hidup di dua alam, seperti halnya katak/kodok. Pemahaman

ini sedikit banyak berimbas pada rendahnya tingkat permintaan kepiting di

negara-negara muslim, utamanya di Indonesia sendiri.

Namun yang sebenarnya, berdasarkan ketetapan Komisi Fatwa Majelis

Ulama Indonesia yang ditetapkan/difatwakan pada tanggal 15 Juli 2002, kepiting

dinyatakan halal untuk dikonsumsi sepanjang tidak menimbulkan bahaya bagi

kesehatan manusia. Rapat Komisi Fatwa MUI menyampaikan, ada empat jenis

kepiting bakau yang sering dikonsumsi dan menjadi komoditas yaitu, Scylla

serrata, Scylla tranquebarrica, Scylla olivacea, dan Scylla paramamosain.

Keempat jenis kepiting bakau ini oleh masyarakat umum hanya disebut dengan

'kepiting' saja.

Kepiting ini disebut binatang air dengan alasan; a) bernafas dengan insang;

b) berhabitat di air; c) tidak akan pernah mengeluarkan telur di darat melainkan di

air karena memerlukan oksigen dari air.

Kepiting termasuk keempat jenis diatas tidak ada yang hidup atau

berhabitat di dua alam: di laut dan di darat. Jadi, rapat Komisi Fatwa MUI dalam

hal kepiting menyatakan adalah jelas bahwa kepiting, adalah binatang air baik di

air laut maupun di air tawar dan bukan binatang yang hidup atau berhabitat di dua

alam.

Secara morfologis penjelasan atas kemampuan kepiting bakau bertahan

hidup cukup lama dalam kondisi kekurangan air adalah karena kepiting bakau

bernafas dengan insang dan memiliki vaskularisasi dinding ruang insang untuk

memudahkan menyesuaikan diri dengan habitatnya. Ruang-ruang pernafasan

terletak dibawah atap insang. Masing-masing ruang dilindungi oleh selaput

kutikular yang memisahkannya dari hepatopankreas di sebelah anterior dan dari

Page 45: scylla serrata

26  

 

bagian dalam karapas di sebelah posterior. Ujung depan masing-masing insang

menyempit dan dibelakangnya terletak suatu ruang pompa kecil melindungi

skapognatit. Di dalam ruang pernafasan juga terletak maksiliped-maksiliped dan

epipod, maksiliped II dan III membersihkan permukaan ventral insang-insang.

Sedangkan epipod maksiliped I yang panjang menyapu permukaan dorsal insang.

Arus pernafasan masuk ke ruang pernafasan melalui celah-celah yang berambut

antara kaki-jalan dan ujung bawah dari atap insang. Lubang atau pintu terbesar

milne-edwards terletak di basis capit. Setelah air melalui insang lalu menuju ruang

di bawah insang. Pertukaran gas terjadi saat arus melewati masing-masing insang.

Hal ini dilakukan oleh sistem arus yang teratur, dengan sistem ini darah mengalir

di dalam insang dari arah yang berlawanan dengan aliran air diantara lamela-

lamela (ada 9 insang). Dalam masing-masing ruang pernafasan, arus air mengalir

ke ruang pompa. Dari ruang skapognatit air dikeluarkan melalui lubang

pengeluaran. Lubang pengeluaran terletak di kedua sisi epistoma tepat di bawah

mulut (Warner 1977).

Kepiting bakau dewasa merupakan salah satu dari biota yang hidup pada

kisaran kadar garam yang luas (euryhaline) dan memiliki kapasitas untuk

menyesuaikan diri (adaptasi) yang cukup tinggi. Selain itu kepiting bakau

memiliki alat gerak berupa kaki jalan dan kaki renang, sehingga mampu untuk

bergerak dan beradaptasi pada daerah teresterial yang cukup menyediakan pakan

bagi kelangsungan hidupnya.

2.2 Ekologi Habitat Mangrove

Hutan Mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang

didominasi oleh beberapa jenis mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang

pada daerah pasang-surut pantai berlumpur. Hutan mangrove mempunyai ciri-ciri

antara lain; a) umumnya tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya

berlumpur, berlempung dan berpasir; b) Daerahnya tergenang air laut secara

berkala, baik setiap hari maupun yang hanya tergenang pada saat pasang purnama.

Frekuensi genangan menentukan komposisi vegetasi hutan mangrove; c)

Menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat; d) Terlindung dari gelombang

Page 46: scylla serrata

27  

 

besar dan arus pasang surut yang kuat; e) Air bersalinitas payau (2-22 permil)

hingga asin (mencapai 38 permil) (Bengen 2000).

Kondisi salinitas sangat mempengaruhi komposisi mangrove. Berdasarkan

adaptasinya terhadap salinitas, tumbuhan dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu

halophyta, yang tumbuh dan seluruh fase hidupnya berada dalam habitat yang

memiliki salinitas tinggi, dan non-halophyta, yang hidup pada habitat non-salin.

Mangrove bersifat fakultatif halophyta, yaitu dapat tumbuh pada kondisi salin dan

tawar. Mangrove mampu beradaptasi pada kondisi salin dengan berbagai cara

yang berbeda-beda. Beberapa diantaranya secara selektif mampu menghindari

penyerapan garam dari media tumbuhnya, sementara beberapa jenis yang lainnya

mampu mengeluarkan garam dari kelenjar khusus pada daunnya (McKee 1996).

Mangrove memperlihatkan adanya tiga stratifikasi utama secara vertikal,

yaitu: zona supratidal, intertidal, dan subtidal. Masing-masing strata ini secara

unik dihuni oleh organisme yang berasosiasi dengan karakteristik struktur

vegetasi mangrove pada tiap strata (McKee 1996), yaitu:

1. Strata supratidal mencakup bagian hutan arboreal, dan wilayah ini dihuni oleh

burung, reptil, kepiting, siput, serangga, dan laba-laba.

2. Strata intertidal meluas dari wilayah yang dapat dicapai air pasang tertinggi

hingga air pasang terendah dan meliputi mangrove dengan sistem perakaran

udara dan cadangan tanah gambut. Organisme yang hidup di zona ini adalah

kekerangan, isopods, kepiting, tiram, amphipods, siput, dan algae. Organisme

ini mengalami penggenangan secara periodik oleh pasang surut.

3. Strata subtidal berada di bawah air pasang terendah dimana akar mangrove

dan tanah gambut menyediakan substrat untuk adaptasi organisme pada

penggenangan yang terus menerus. Organisme yang hidup di zona ini adalah

algae, sponge, tunicate, anemon, octocoral, udang, cacing polychaeta, bintang

ular, nudibranch, ubur-ubur, dan rumput laut.

2.2.1 Karakteristik dan Fungsi Ekosistem Mangrove

Karakteristik dari hutan mangrove, diantaranya secara spesifik membantu

menahan erosi dan abrasi laut dari kerusakan pantai akibat hempasan gelombang

air laut. Adapun kondisi ekologis yang mengatur dan melindunginya, sangat

Page 47: scylla serrata

28  

 

tergantung kepada keseimbangan dari persediaan kadar garam dan air tawar,

nutrisi yang cukup dan substrat yang stabil. Semua kebutuhan tersebut dapat

dipenuhi oleh ekosistem hutan mangrove (Bengen 2004).

Perakaran mangrove yang kuat mampu meredam gerak pasang surut, juga

mampu terendam dalam air yang kadar garamnya bervariasi. Lebih dari itu,

perakaran mangrove dapat mengendalikan lumpur, sehingga ia mampu

memperluas penambahan formasi dan “surfacing land“ (McKee 1996).

Fungsi ekologis mangrove sangat erat kaitannya dengan fungsi ekonomi.

Berjenis-jenis biota laut hidup di sini atau dengan kata lain sangat bergantung

dengan keberadaan hutan mangrove. Perairan tempat populasi mangrove

berfungsi sebagai tempat perkembangbiakan berjenis-jenis hewan air seperti ikan,

udang, kerang, dan bermacam-macam kepiting yang kesemuanya mempunyai

nilai ekonomis tinggi. Namun tak kalah pentingnya, kontribusi yang paling

penting dari ekosistem hutan mangrove dalam kaitannya dengan ekosistem pantai

adalah serasah daunnya. Ia merupakan sumber bahan organik penting dalam

peristiwa rantai makanan akuatik (Kusmana 1995).

Ekosistem mangrove juga berfungsi dalam penyediaan habitat alami bagi

fauna yang menurut Chapman dalam Kusmana (1995) terdiri 5 (lima) habitat,

yakni:

(1) Tajuk pohon yang dihuni oleh berbagai jenis burung, mamalia, dan

serangga.

(2) Lubang yang terdapat di cabang dan genangan air di cagak antara batang

dan cabang pohon yang merupakan habitat yang cukup baik untuk

serangga (terutama nyamuk).

(3) Permukaan tanah sebagai habitat mudskipper dan keong/kerang.

(4) Lobang permanen dan semi permanen di dalam tanah sebagai habitat

kepiting dan katak.

(5) Saluran-saluran air sebagai habitat buaya dan ikan/udang.

2.2.2 Keterkaitan antara Kepiting Bakau dengan Mangrove

Scylla serrata ditemukan melimpah di sungai-sungai pesisir, lagun, sekitar

pulau-pulau kecil, di perairan payau, dan di kawasan hutan bakau (mangrove)

Page 48: scylla serrata

29  

 

(Cholik & Hanafi 1992) dan hidup di daerah muara sungai dan rawa pasang surut

yang banyak ditumbuhi vegetasi mangrove dengan substrat berlumpur atau

lumpur berpasir. Menurut Hutching & Saenger (1987), kepiting bakau hidup di

sekitar hutan mangrove, memakan akar-akarnya (pneumatophore) dan merupakan

habitat yang sangat cocok untuk menunjang kehidupannya karena sumber

makanannya seperti benthos dan serasah cukup tersedia. Di Afrika Selatan dan

Australia, identifikasi terhadap material yang terdapat di lambung kepiting

menunjukkan bahwa 50% adalah moluska, 20-22% adalah krustasea, dan sisanya

28-30% terdiri atas sejumlah kecil tanaman dan debris. Pada kepiting Scylla

serrata yang isi lambungnya kurang dari 50% penuh, material inorganik mengisi

hampir 100%, hal ini menunjukkan bahwa kepiting cenderung untuk menelan

banyak material yang tidak dapat dicerna (Hill 1979).

Kepiting bakau hidup di habitat intertidal dan subtidal, dimana mereka

secara dominan memangsa moluska dan invertebrata lain yang kurang bergerak,

seperti bivalvia, siput, kepiting lain, dan cacing (Michelli dalam Arifin 2006).

Dalam habitat intertidal, kepiting bakau bersembunyi dalam lumpur untuk

mempertahankan diri agar tetap dingin selama air surut dan melindungi diri dari

predator (Motoh 1979). Lebih lanjut Pagcatipunan (1972) menambahkan bahwa

setelah berganti kulit (moulting), kepiting bakau akan melindungi dirinya dengan

cara membenamkan diri, atau bersembunyi dalam lobang sampai karapasnya

mengeras.

Wolff et al. diacu oleh Arifin (2006) melaporkan bahwa 99 % dari sistem

biomassa total dibuat oleh mangrove. Sisa biomassa didistribusikan antara

wilayah pelagis dan bentik dengan pembagian 10% dan 90%. Melalui serasah,

mangrove menyumbangkan sumber makanan primer utama ke dalam sistem, yang

dikonsumsi secara langsung oleh herbivora, diuraikan oleh bakteri dan oleh

hewan pemakan detritus (Uca spp). Herbivora seperti Uca spp adalah pakan alami

bagi S. serrata.

2.2.3 Perkembangan Budidaya Sylvofishery Kepiting Bakau

Sylvofishery adalah salah satu konsep kuno dalam pengelolaan

sumberdaya pesisir yang mengintegrasikan konservasi mangrove dengan

Page 49: scylla serrata

30  

 

budidaya air payau (Quarto dalam Arifin 2006). Ini adalah bentuk budidaya

perikanan berkelanjutan dengan input yang rendah. Pendekatan terintegrasi ini

memungkinkan untuk mengkonservasi dan memanfaatkan sumberdaya mangrove

dengan mempertahankan keutuhan mangrove yang relatif lebih tinggi dalam area

mangrove, ketika terjadi pembesaran nilai ekonomi pada budidaya air payau.

Sylvofishery mempunyai potensi dalam menangkap beberapa manfaat

ekonomi dari area mangrove dalam kerangka lingkungan yang sensitif dan

aktivitas yang berkelanjutan. Perbaikan dalam pengembalian ekonomik dalam

sistem ini akan menjadi faktor kunci dalam penerimaan metode ini secara luas

sebagai aktivitas yang berlanjut secara ekonomi dalam mangrove. Sylvofishery

juga menyediakan alternatif aktivitas ekonomi bagi rakyat pedesaan yang miskin

dan hal itu mungkin dapat mengurangi tekanan ekologi terhadap hutan mangrove

(Arifin 2006).

Quarto dalam Arifin (2006) menggambarkan dua model dasar Sylvofishery

yaitu model empang parit dan model mangrove yang berselang-seling

(komplangan). Model empang parit menyajikan tingkatan yang lebih besar dalam

penanaman mangrove atau mempertahankan keberadaan mangrove dalam area

tambak, dengan penutupan mangrove antara 60-80% dalam parit di tambak.

Sedangkan model berselang-seling merekomendasikan untuk mempertahankan

mangrove dengan rasio maksimum yang sama, yaitu tiap 2 ha tambak harus

dipertahankan 8 ha mangrove disekeliling tambak tersebut.

Budidaya kepiting bakau dapat dilakukan di tambak air payau atau di

kurungan tancap di dalam area mangrove (Ikhwanuddin & Oakley 1999).

Budidaya kepiting dalam kurungan tancap lebih mendekati model empang parit,

karena kurungan tancap kepiting dibangun dalam area rawa mangrove, dan

tumbuh-tumbuhan dalam area mangrove dibiarkan tetap utuh untuk menyediakan

lingkungan yang alami untuk kepiting untuk tumbuh dan bereproduksi, parit

keliling yang tidak terlalu luas dibuat untuk memenuhi kebutuhan air asin bagi

kepiting (Wei Say & Ikhwanuddin 1999).

Genodepa (1999) menyatakan sistem tambak tidak mengkonservasi dan

mengelola lingkungan alami kepiting bakau, karena tambak dikembangkan

dengan membuka bersih area bakau, yang merupakan habitat alami kepiting

Page 50: scylla serrata

31  

 

bakau. Sistem kurungan tancap lebih bersifat ramah lingkungan karena tidak

mengkonversi mangrove dan memungkinkan kepiting hidup dalam lingkungan

alaminya (Ikhwanuddin & Oakley 1999; Genodepa 1999; Johnston & Keenan

1999).

Kurungan tancap dapat dibangun dengan menggunakan batang pohon dari

suatu jenis tanaman palma (Oncosperma tigillaria) (Ikhwanuddin & Oakley

1999). Alternatif lain adalah dengan menggunakan jaring nilon/waring dengan

ukuran mata jaring 1 cm untuk pengganti papan untuk pagar kurungan tancap dan

kerangka yang digunakan adalah kerangka bambu. Penggunaan waring dapat

mengurangi frekuensi penebangan pohon untuk memperoleh papan, walapun

mungkin biaya yang dibutuhkan menjadi lebih besar. Untuk penggunaan

jaring/waring sebagai pagar, pada bagian bawah waring tetap perlu ditancapkan

papan sedalam ± 1.2 meter untuk mencegah kepiting melarikan diri dengan

menggali lubang dalam lumpur (Genodepa 1999).

2.2.4 Indeks Kesesuaian Habitat (Habitat Suitability Index/HSI)

Pada dasawarsa terakhir ini kebutuhan akan budidaya perikanan semakin

meningkat. Alasan dari peningkatan tersebut antara lain karena terbatasnya

pengembangan kawasan di daratan, upaya penangkapan yang sudah berlebih

(over-exploitation), peningkatan permintaan terhadap ikan hasil budidaya terkait

dengan isu keberlanjutan sumberdaya, mutu produk budidaya lebih terkontrol dan

lebih kontinu dalam kualitas dan kuantitas. Lebih 40% dari jumlah seluruh ikan

yang dikonsumsi dihasilkan dari budidaya (FAO 2003).

Peningkatan kegiatan budidaya perikanan sebagai Revolusi Biru akan

menimbulkan efek yang sama dengan Revolusi Hijau pada bidang pertanian, jika

dilakukan tanpa memperhitungkan daya dukung lingkungan. Dampak terhadap

lingkungan sebagai akibat dari penggunaan pupuk, pestisida, dan rekayasa

genetika lainnya baru akan disadari setelah tiga puluh tahun kemudian

(Wolowicks 2005).

Salah satu pendekatan dalam konsep daya dukung lingkungan adalah

dengan pendekatan Indeks Kesesuaian Habitat (Habitat Suitability Index/HSI).

Model HSI digunakan secara meluas sebagai alat dalam pengelolaan spesies,

Page 51: scylla serrata

32  

 

penilaian dampak ekologis, dan penelitian pemulihan ekologi (Duel et al.; Gore &

Hamilton; Maddock dalam Van der Lee 2006). Kurva HSI model

menggambarkan hubungan antara variabel habitat dengan kesesuaian untuk

spesies khusus (Van der Lee 2006).

HSI adalah sebuah angka indeks yang mencerminkan kapasitas habitat

yang diberikan untuk mendukung spesies yang dipilih. Model ini didasarkan pada

hipotesa hubungan spesies-habitat lebih daripada pernyataan-pernyataan yang

menimbulkan hubungan sebab-akibat. HSI model menghasilkan gambaran dari

karakteristik masing-masing habitat dan interaksinya terkait dengan habitat suatu

spesies. Model dapat dibangun dalam berbagai cara, seperti model kata-kata,

sebuah model mekanistik, atau sebuah model statistik multivarian, atau kombinasi

dari metode ini (Jewett & Onuf 1988). HSI menggambarkan kesesuaian habitat

yang diberikan oleh kombinasi interaksi dari semua variabel lingkungan kunci

pada spesies (AED 2008). Berikut ini adalah diagram skematis untuk membangun

sebuah HSI (Gambar 5).

Gambar 5 Tahapan dalam menyusun HSI (AED 2008).

Page 52: scylla serrata

33  

 

2.3 Sistem Dinamik dalam Pengelolaan Scylla serrata

2.3.1 Berpikir Sistem (System Thinking)

Paradigma Dinamika Sistem (DS) berangkat dari cara berpikir secara

sistemik yang mempelajari keterkaitan objek dari pengamatan dan penyelidikan

dalam dunia nyata. Berpikir sistem telah ada pada proses berpikirnya manusia

dalam memecahkan permasalahan hidupnya dengan mencari tahu (know) terhadap

realitas yang dihadapinya. Dalam menyelidiki dan mengamati realitas, manusia

senantiasa melihat keterkaitan antara faktor-faktor yang diamatinya dengan

memilah-milah (analisis) kemudian merangkainya (sintesa). Dengan ini akan

dicapai sebuah solusi yang komprehensif (menyeluruh).

Berpikir sistem adalah upaya untuk memahami struktur dari sebuah sistem

yang diamati kemudian mempelajari pola perilaku untuk menyimpulkan kejadian

yang terjadi pada sistem tersebut. Hasilnya dapat ditemukan pengungkit

(leverage) yang mempengaruhi dari sistem yang terjadi untuk dijadikan dasar

proses perbaikan struktural. Senge (1995) menyebut leverage sebagai pilarnya

DS, yang menurutnya bahwa dalam melihat aksi dan perubahan dalam struktur

yang menjadi pemicu signifikan memperbaiki penyakit kronis. Seringkali

pengungkit mengikuti prinsip eknonomi, yang artinya di mana hasil terbaik tidak

datang dari usaha berskala besar melainkan dari kegiatan kecil yang berfokus

dengan baik.

Berpikir sistemik menurut Balle (1994) akan sangat berguna untuk

menghindari pembuatan kesalahan yang mendatangkan malapetaka ketimbang

menemukan kebijakan yang paling cemerlang dan optimal. Pandangannya dapat

bertahan dalam jangka panjang, bukan mendapatkan keuntungan dalam jangka

pendek. Pendekatan sistem merupakan kajian lintas disiplin ilmu dan

keberhasilan dalam pelaksanaannya perlu didukung oleh suatu tim yang

multidisipliner pula dan yang terpenting dari tim tersebut adalah adanya

komunikasi interpersonal dan pengorganisasian (Eriyatno 2003).

Berpikir sistemik mempunyai corak dan sangat tergantung dari pelaku

yang menerapkannya terkait pada kebiasaaan dan kebutuhannya. Kebiasaan

berhubungan dengan bidang pengetahuan yang melekat dalam diri seseorang.

Kebutuhan berpikir berhubungan dengan pembelajaran dari pengalaman dalam

Page 53: scylla serrata

34  

 

pekerjaan yang membutuhkan corak berpikir tertentu, seperti bidang teknik dan

ekonomi memiliki corak berpikir yang berbeda. Masing-masing corak memiliki

kelebihan dan kekurangannya, dan biasanya ada yang menggunakannya dengan

menggabungkan menjadi satu. Tiga corak yang dimaksud adalah berpikir sistem

masukan-keluaran, berpikir sistem umpan balik dan berpikir sistem umpan balik

adaptif (Aminullah 2004). Corak pertama tidak menjadikan keluaran untuk

mempengaruhi masukan kembali. Kedua, penyempurnaan corak pertama di mana

keluaran dijadikan umpan kembali untuk mempengaruhi masukan. Ketiga, seperti

corak kedua hanya saja pengaruh lingkungan luar turut dijadikan pertimbangan.

2.3.2 Umpan Balik

Kerangka kerja berpikir sistem menggunakan beberapa alat konseptual

untuk merepresentasikan dan menguraikan sebuah realita agar mudah dipahami.

Umpan balik sebagai konsep utama berpikir sistem yang lebih dari sekedar

berpikir. Untuk menggambarkan sebuah konsep umpan balik pada struktur sistem,

dalam DS dikenal sebuah diagram kausal (causal loop diagrams atau CLD).

Sterman (2000) menyatakan CLD sangat baik untuk :

1. Menangkap secara cepat sebuah hipotesis tentang penyebab dinamika.

2. Menimbulkan dan menangkap model mental individu atau kelompok.

3. Komunikasi umpan balik penting yang dipercaya sebagai tanggung jawab

untuk sebuah masalah.

CLD terdiri dari variabel yang saling berhubungan dengan tanda panah

menandakan pengaruh penyebab diantara variabel. Keterkaitan variabel A dan

variabel B berkonsekuensi saling memberi sebab, misalnya A mengakibatkan B

atau B mengakibatkan A. Kadangkala dalam realitas ditemukan bahwa pada saat

B akibat dari A dan B akan berbalik lagi menjadi penyebab dari A. Kejadian ini

membentuk sebuah lingkaran sebab-akibat yang dikenal dengan istilah simpal

kausal.

Keterkaitan antar unsur dapat pula memiliki dampak pengaruh yang

diberikannya. Pengaruh tersebut dapat berupa pengaruh positif (menguatkan)

biasanya disimbolkan dengan huruf ”R” (reinforcement), artinya jika A menguat

(melemah) menyebabkan B menguat (melemah). Hubungan yang lain dapat

berupa pengaruh negatif (menyeimbangkan) biasanya disimbolkan dengan huruf

Page 54: scylla serrata

35  

 

”B” (balance), artinya jika A menguat (melemah) menyebabkan B melemah

(menguat). Hubungan terakhir dapat berupa hubungan yang memberi pengaruh

tapi terdapat penundaan (delay), artinya A menunda akibat pada B (Balle 1994).

Struktur sistem yang terbentuk dari beberapa gabungan simpal kausal dan

dengan kombinasi pengaruh yang diberikan memberi corak terhadap perilaku

sistem. Perilaku sistem berbeda-beda, sehingga menghasilkan kinerja sistem yang

berbeda pula seiring perubahan waktu. Terdapat empat pola dasar perilaku sistem

yang telah dipelajari dan diidentifikasi oleh para ahli DS yaitu : pertumbuhan

eksponensial, mencari tujuan, bergelombang, dan S-shaped growth. Interaksi dari

keempat pola dasar dapat membentuk pola lagi yang lebih kompleks (Senge 1995;

Kirkwood 1998; Balle 1994; Muhammadi et al. 2001).

Pola pertumbuhan eksponensial (exponential growth) atau disebut juga

pola bola salju dibangkitkan oleh dominasi pengaruh positif. Umpan balik positif

memberi efek perubahan penguatan dengan banyaknya kejadian perubahan.

Perubahan pertumbuhannya sering dikenal dengan eksponensial. Pada tahap awal

perubahannya lambat kemudian bergerak cepat. Gambar 6 adalah contoh struktur

sistem dan pola perilaku model simpanan uang di bank konvensional. Semakin

besar saldo simpanan berpengaruh terhadap besarnya bunga yang diterima.

Ban

k ba

lanc

e

Time

+ BankBalance

Interestearned +

(+)

Struktur sistem Pola perilaku

Gambar 6 Pola pertumbuhan eksponensial struktur sistem.

Pola perilaku mencari tujuan (goal seeking) dibentuk oleh umpan balik

negatif yang simpalnya mencari tujuan keseimbangan dan statis. Simpal umpan

balik negatif bekerja memberikan keadaan terhadap sistem untuk mencapai tujuan

atau keadaan yang diinginkan. Pola ini mirip seperti sistem tindakan koreksi

Page 55: scylla serrata

36  

 

dengan penundaan yang dibahas pada bagian pola gelombang. Gambar 7 adalah

contoh struktur sistem dan pola perilaku pada pengaturan suhu temperatur.

Act

ual t

empe

ratu

re

Time

Desiredtemperature

+ Temperatursetting

Gap

+

(-)

Struktur sistem

Actualtemperature

-

Desiredtemperature

+

Pola perilaku

Gambar 7 Pola perilaku mencari tujuan struktur sistem.

Pola bergelombang (oscilations) perilakunya seperti mencari tujuan yang

dibangkitkan oleh simpal umpan balik negatif tetapi dengan penambahan delay

(penundaan). Pola ini mempunyai perilaku tindakan perbaikan dengan penundaan.

Kejadian antara yang diinginkan dan aktual menimbulkan kesenjangan. Untuk

memecahkan masalah itu diperlukan tindakan koreksi tetapi mengalami

penundaan, artinya koreksi tidak langsung menghasilkan sebuah perbaikan. Oleh

karena tindakan pertama tidak langsung menimbulkan perbaikan, sehingga

masalah akan meningkat yang berakibat tindakan koreksi kedua lebih besar dari

pertama. Kejadian ini berlanjut terus dan menimbulkan kejadian naik turun

(bergelombang). Jenis pola ini lebih lanjut banyak variasinya seperti damped

oscilation, limit cycle dan chaos. Gambar 8 adalah contoh struktur sistem dan pola

perilaku pada jasa layanan.

Gambar 8 Pola bergelombang struktur sistem.

Cst

om

er

dem

and

Time

Pola perilaku

+ Servicereputation

Gap

-

(-)

Struktur sistem

Servicequality

-

Servicestandar

+Customerdemand

+

Page 56: scylla serrata

37  

 

Pola batas pertumbuhan awalnya pertumbuhan eksponensial tetapi secara

pelan dan lambat menuju pada kondisi pencapaian sistem yang berada pada

kesetimbangan, sehingga seperti membentuk huruf ”S”. Pola yang disebut juga

batas pertumbuhan merupakan kombinasi simpal negatif dan positif. Pola batas

pertumbuhan memiliki empat unsur, yaitu kejadian aktual, kejadian diinginkan,

kesenjangan, dan tindakan koreksi. Kesenjangan (kejadian diinginkan dengan

aktual) yang timbul untuk memecahkan masalah diperlukan tindakan koreksi yang

pada awalnya besar dan makin lama makin kecil menuju nol. Jika terdapat

penundaan, tindakan koreksi berikutnya akan melewati batas kejadian yang

diinginkan selanjutnya menurun kembali. Demikian seterusnya jika batas adalah

sumber yang dapat diperbaharui, maka terjadi gelombang pada keadaan tunak.

Gambar 9 adalah contoh struktur dan pola perilaku pada kasus penjualan.

Per

form

ance

Time

+ Motivation/Productivity

Morale(-)

Struktur sistem

Incomeopportunities

+

Sales+ -

Saturation ofmarket niche

+(-)

Size ofmarket niche

-

Delay

Pola perilaku

Gambar 9 Pola perilaku batas pertumbuhan struktur sistem.

2.3.3 Pemodelan Dinamika Sistem

Dinamika sistem (DS) awalnya digunakan untuk mengkaji dinamika

industri oleh JW Forrester dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) dan

hasilnya didokumentasikan dalam buku yang terkenal pada tahun 1962 berjudul

“Industrial Dynamics”. DS adalah pendekatan yang membantu manajemen

puncak dalam memecahkan permasalahan kecil dan dianggap sukar untuk

dipecahkan. Kebanyakan orang dalam menetapkan tujuan yang hendak dicapai

pada awalnya terlalu rendah. Hal yang diinginkan adalah sebuah peningkatan

dengan sikap umum yang dilakukan dalam lingkungan akademis, yaitu dengan

menjelaskan perilakunya setelah itu menemukan struktur dan kebijakan untuk

hasil yang lebih baik (Forrester dalam Sterman 2000).

Page 57: scylla serrata

38  

 

DS menurut MIT adalah metodologi untuk mempelajari permasalahan di

sekitar kita yang melihat permasalahan secara keseluruhan (holistik). Tidak

seperti metodologi lain yang mengkaji permasalahan dengan memilahnya menjadi

bagian-bagian yang lebih kecil dan saling membatasi (restriktif). Konsep utama

DS adalah pemahaman tentang bagaimana semua objek dalam suatu sistem saling

berinteraksi satu sama lain. DS menurut System dynamics society adalah

metodologi untuk mempelajari dan mengelola sistem umpan balik yang kompleks,

seperti yang biasa ditemui dalam dunia bisnis dan sistem sosial lainnya.

Sterman (2000) mendefinisikan, bahwa DS adalah metode untuk

meningkatkan pembelajaran dalam sistem yang kompleks. Lebih lanjut, metode

ini diilustrasikan seperti sebuah flight simulator (simulasi dalam kokpit pesawat)

bagi manajemen untuk memahami dalam belajar dinamika yang kompleks,

memahami sumber resistensi (hambatan) dalam kebijakan, dan merancang

kebijakan yang lebih efektif. Untuk memahami kekompleksan tersebut, maka DS

didasarkan atas teori dinamika non-linier dan kontrol umpan balik yang

dikembangkan dalam disiplin ilmu matematika, fisika, dan kerekayasaan.

Sushil (1993) membuat keterpaduan antara teori-teori tersebut ke dalam

sebuah ilustrasi dibawah ini (Gambar 10). Bangunan metodologi DS terdiri atas

tiga latar belakang disiplin ilmu manajerial tradisional, sibernetika, dan simulasi

komputer. Prinsip dan konsep dari ketiga disiplin ini saling bersinergi dengan

mengesampingkan dari kelemahannya masing-masing dalam memecahkan

permasalahan manajerial secara holistik.

Manajementradisional atassistem sosial

Simulasi komputerCybernetics

ModelPerilaku dinamis

dan kebijakanperbaikan

Prinsip pemilihan

Prinsip pemilihan

- Informasi- Pengalaman- Penilaian

Komputasi

Gambar 10 Dasar metodologi Dinamika Sistem (Sushil 1993).

Page 58: scylla serrata

39  

 

Manajemen tradisional adalah dunia nyata dari praktisi manajerial yang

mengandalkan pengalaman dan penilaian dari para manajer. Dasar utama dari

manajemen tradisional adalah basis data mental dan model mental dengan

kekuatan utama pada kekayaan atas informasi kualitatif yang didapat dari

pengamatan langsung dan pengalaman.

Sibernetika adalah ilmu mengenai komunikasi dan kontrol yang didasari

oleh teori umpan balik. Kekayaan informasi yang terkandung dalam basis data

mental tidak dapat digunakan secara efektif tanpa adanya prinsip tentang

pemilihan yang relevan dan prinsip tentang strukturisasi informasi. Informasi

yang dapat difiltrasi dan dihubungkan satu sama lain maka akan membentuk

struktur kausal dan umpan balik dalam sistem dengan adanya sibernetika.

Simulasi komputer digunakan untuk mempelajari konsekuensi yang

dihasilkan oleh perilaku dinamis dari suatu sistem. Perkembangan pesat dalam

dunia simulasi komputer membuat simulasi dari konsekuensi yang dihasilkan oleh

perilaku dinamis ini dapat dilakukan dengan biaya yang rendah. Simulasi yang

akan diterapkan dalam suatu sistem dengan kemampuan untuk memberikan

konsekuensi yang akan ditimbulkan atas setiap kebijakan tersebut.

Pemodelan (modeling) adalah suatu perwakilan atau abstraksi dari sebuah

objek atau situasi aktual (Eriyatno 1998). Istilah lainnya disebut tiruan model

dunia nyata yang dibuat virtual (Sterman 2000). Karena bentuknya tiruan, model

tidak mesti harus sama persis dengan aslinya, tetapi minimal memiliki keserupaan

(mirip). Pemodelan merupakan proses iteratif, di mana hasil pada setiap langkah

dikembalikan lagi untuk diperbaiki agar didapat hasil yang mendekati model

aslinya (dunia nyata) yang cukup ideal untuk dapat dijadikan representasi

(Eriyatno 1998; Sterman 2000). Proses pemodelan (Gambar 11) terdiri dari

langkah-langkah sebagai berikut (Sterman 2000) :

1. Perumusan masalah dan pemilihan batasan-batasannya dari dunia nyata. Tahap

ini meliputi kegiatan pemilihan tema yang akan dikaji, penentuan variabel

kunci, rencana waktu untuk mempertimbangkan masa depan yang jadi

pertimbangan serta seberapa jauh kejadian masa lalu dari akar masalah

tersebut dan selanjutnya mendefinisikan masalah dinamisnya.

Page 59: scylla serrata

40  

 

2. Formulasi hipotesa dinamis dengan menetapkan hipotesis berdasar pada teori

perilaku terhadap masalahnya dan bangun peta struktur kausal melalui

gambaran model mental pemodel dengan bantuan alat-alat seperti causal loop

diagrams (CLD), stock flow diagrams (SFD) dan alat lainnya. Model mental

adalah asumsi yang sangat dalam melekat, umum atau bahkan suatu gambaran

dari bayangan atau citra yang berpengaruh pada bagaimana kita memahami

dunia dan bagaimana kita mengambil tindakan.

3. Tahap formulasi model simulasi dilakukan spesifikasi struktur, aturan

keputusan (decision rules), estimasi parameter dan uji konsistensi dengan

tujuan dan batasan yang telah ditetapkan dilangkah sebelumnya.

4. Pengujian meliputi pengujian membandingkan dari model yang dijadikan

referensi, pengujian kehandalan (robustness), dan uji sensitivitas.

5. Evaluasi dan perancangan kebijakan berdasarkan skenario yang telah

diujicobakan dari hasil simulasi. Tahap ini kebijakan yang dibuat harus

dianalisis dampaknya, kehandalan model pada skenario yang berbeda dengan

tingkat ketidakpastian yang berbeda pula serta keterkaitan antar kebijakan agar

dapat bersinergi.

Analisis model DS dilakukan menggunakan analisis model simulasi.

Simulasi sebagai teknik penunjang keputusan dalam pemodelan, misalnya

pemecahan masalah bisnis secara ekonomis dan tepat menghadapi perhitungan

rumit dan data yang banyak. Simulasi adalah aktifitas di mana pengkaji dapat

menarik kesimpulan-kesimpulan tentang perilaku dari suatu sistem melalui

penelaahan perilaku model yang selaras, di mana hubungan sebab akibatnya sama

dengan atau seperti yang ada pada sistem yang sebenarnya (Eriyatno 1998).

Perangkat lunak dalam pemodelan DS seperti Vensim, Powersim, Stella

dan lainnya sebagai alat bantu yang dapat memudahkan pemodel dalam

menerjemahkan bahasa CLD dalam membangun SFD yang dilengkapi dengan

persamaan matematik dan nilai awal untuk aktifitas simulasi. Perangkat

pemodelan DS juga dilengkapi berbagai kemudahan seperti tampilannya yang

mudah dimengerti, sehingga memudahkan bagi pemodel ataupun pemakai yang

tidak mengerti secara teknis sekalipun. Powersim yang dipakai dalam penelitian

Page 60: scylla serrata

41  

 

ini merupakan suatu perangkat lunak yang dibuat atas dasar model DS dengan

kemampuan tinggi dalam melakukan simulasi.

1. Artikulasi masalah(pemilihan batasan)

2. Hipotesisdinamik

5. Formulasikebijakan &evaluasi

3. Formulasi4. Pengujian

Dunia nyata

Keputusan(eksperimenorganisasi

Strategi,susunan,

aturan keputusan

Modelmental

dunia nyata

Informasi umpanbalik

Gambar 11 Pemodelan dinamika sistem (Sterman 2000).

2.4 Sejarah Taman Nasional

Berkembangnya taman nasional tidak bisa terlepas dari sejarah

perkembangan pemikiran lingkungan hidup dan konservasi. Sejarah penetapan

kawasan konservasi (kawasan dilindungi) diawali pada tahun 252 SM, pada saat

Raja Asoka dari India secara resmi mengumumkan perlindungan satwa, ikan, dan

hutan. Kemudian pada tahun 1084 M, Raja Wiliam I dari Inggris memerintahkan

penyiapan The Domesday Book, yaitu suatu inventarisasi tanah, hutan, daerah

penangkapan ikan, areal pertanian, taman buru, dan sumberdaya produktif milik

kerajaan yang akan digunakan sebagai dasar untuk membuat perencanaan

nasional bagi pengelolaan dan pembangunan di negaranya (MacKinnon &

MacKinnon 1986).

Konsep taman nasional atau national park mulai berkembang di negara

barat ketika Yellowstone ditetapkan sebagai taman nasional di Amerika Serikat

pada tahun 1872. Model yellowstone dikelola dengan pendekatan perlindungan

alam yang ketat, sehingga tidak diperkenankan kegiatan manusia baik untuk

kebutuhan subsisten maupun untuk pemanfataan sumberdaya alam demi tujuan

komersial, meskipun terdapat beberapa kelompok suku asli yang sudah mendiami

kawasan itu selama beberapa generasi (Sangaji et al. dalam Damanik et al. 2006).

Page 61: scylla serrata

42  

 

Sejak saat itu, ide taman nasional menyebar ke negara-negara lain, dan dalam

kurun waktu kurang dari 100 tahun sudah ada lebih dari 2.000 taman nasional

yang ditetapkan di 136 negara (Wiratno et al. dalam Damanik et al. 2006)

Di Indonesia, sejarah penetapan kawasan dilindungi sebenarnya telah

dimulai sejak jaman penjajahan Belanda, pada saat itu pemerintah telah

menetapkan beberapa kawasan dilindungi seperti Cagar Alam (CA) Arca Domas

(1913), CA Junghun di Bandung (1919), CA Tangkuban Perahu (1919), dan CA

Rawa Danau di Serang (1921) (Dephut 2007).

Pemikiran konservasi, termasuk taman nasional, mulai berkembang sekitar

tahun 1970-an. Lima taman nasional pertama dengan luas total 1.430.948 ha

ditetapkan oleh Menteri Pertanian pada tanggal 6 Maret 1980, yaitu Taman

Nasional (TN) Gunung Leuser, TN Gunung Gede-Pangrango, TN Ujung Kulon,

TN Baluran, dan TN Komodo (Wiratno et al. dalam Damanik et al 2006).

Selanjutnya pada tahun 1982, saat Kongres Taman Nasional dan Kawasan

Lindung Sedunia III yang berlangsung di Bali, pemerintah Indonesia

mendeklarasikan 11 Taman Nasional dengan luas 3.287.063 ha, yaitu TN Kerinci

Seblat, TN Bukit Barisan Selatan, TN Kep. Seribu,, TN Bromo-Tengger-Semeru,

TN Meru Betiri, TN Tanjung Puting, TN Kutai, TN Bali Barat, TN Lore Lindu,

TN Bogani Nani Warta Bone, dan TN Manusela (Wiratno et al. dalam Damanik

et al. 2006).

2.5 Konsep Keterpaduan (Integrated Coastal Management/ICM) dan Kolaboratif dalam Pengelolaan Mangrove Taman Nasional Kutai

Konsep pengelolaan pesisir dapat dikategorikan atas dua jenis, yaitu

konsep pengelolaan secara sektoral dan konsep pengelolaan secara terpadu (ICM

= Integrated coastal management). Pengelolaan wilayah pesisir secara sektoral

pada dasarnya berkaitan hanya dengan satu jenis sumberdaya atau ekosistem

untuk memenuhi tujuan tertentu (sektoral), seperti perikanan (tangkap dan

budidaya), pariwisata, pertambangan, industri, pemukiman, perhubungan,

pertanian pantai, pelabuhan dan sebagainya. Pengelolaan wilayah pesisir secara

terpadu memiliki pengertian bahwa pengelolaan sumberdaya alam dan jasa-jasa

lingkungan pesisir dilakukan secara menyeluruh (comprehensive assessment),

merupakan tujuan dan sasaran, kemudian merencanakan serta mengelola segenap

Page 62: scylla serrata

43  

 

kegiatan pemanfaatannya guna mencapai pembangunan yang optimal dan

berkelanjutan. Perencanaan dan pengelolaan tersebut dilakukan secara kontinyu

dan dinamis dengan mempertimbangkan aspek sosial-ekonomi-budaya dan

aspirasi masyarakat pengguna wilayah pesisir (Stakeholders), daya dukung

lingkungan pesisir, serta konflik kepentingan dan pemanfaatan yang mungkin ada

(Dahuri 2001).

Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu adalah suatu pendekatan

pengelolaan wilayah pesisir yang melibatkan dua atau lebih ekosistem,

sumberdaya dan kegiatan pemanfaatan (pembangunan) secara terpadu

(integrated) guna mencapai pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan

(Dahuri 2001) dan proses dinamis yang berjalan secara terus menerus dalam

membuat keputusan tentang pemanfaatan, pembangunan dan perlindungan

wilayah dan sumberdaya pesisir dan lautan (Bengen 2004), serta merupakan suatu

upaya yang menyatukan antara pemerintah dengan masyarakat, ilmu pengetahuan

dengan manajemen, kepentingan sektoral dengan kepentingan masyarakat dalam

mempersiapkan dan melaksanakan perencanaan terpadu bagi perlindungan dan

pengembangan ekosistem pesisir terpadu (GESAMP 1996).

Taman Nasional Kutai memiliki garis pantai sepanjang ± 52 km.

Sepanjang garis pantai ini sejauh 1-2 km ke arah daratan ditumbuhi hutan

mangrove, yang merupakan ekosistem spesifik pesisir. Walaupun pesisir dan

hutan mangrove di wilayah ini masuk dalam kawasan pelestarian alam, namun

area ini sarat dengan permasalahan pengelolaan, karena banyaknya penggunaan

lain di wilayah ini, antara lain: pada wilayah pesisir ini terdapat 2 kecamatan

dengan beberapa desa pantai yang dihuni oleh kelompok masyarakat, adanya

perusahaan pertambangan minyak pertamina dalam kawasan TN Kutai, dan

adanya akses jalan poros Bontang-Sangatta sejauh 56 km. Berbagai kondisi ini

menyebabkan munculnya konflik dalam pengelolaan sumberdaya alam di

kawasan pelestarian alam Taman Nasional Kutai, yang seharusnya dilindungi.

Berbagai kepentingan dari para pihak yang terkait dengan sumberdaya

alam di kawasan hutan mangrove TN Kutai perlu dikelola secara terpadu. Thia-

Eng (2006) menyatakan ada tiga prinsip fundamental dalam pengelolaan pesisir

terpadu (ICM), yaitu: mananajemen adaptif, keterpaduan dan inter-relasi, serta

Page 63: scylla serrata

44  

 

manajemen berbasis ekosistem. Prinsip ini menjadi dasar dalam praktek ICM dan

membedakan ICM dengan sektor lain. Fokus ICM saat ini tidak hanya meliputi

perlindungan keanekaragaman dan keutuhan ekologis, serta keberlanjutan mata

pencaharian saja, namun juga menyelamatkan kehidupan manusia.

Manajemen Adaptif

Prinsip pertama dalam ICM adalah manajemen adaptif. Walters dan

Holling dalam Thia-Eng (2006) mendeskripsikan manajemen adaptif sebagai

upaya belajar dengan mencoba. Pendekatan manajemen adaptif didasarkan pada

pemikiran bahwa informasi dan pengetahuan tentang sistem sumberdaya dan

bagaimana mengelolanya sangat tidak lengkap dan penuh dengan ketidakpastian.

Manajemen adaptif dilakukan dengan tahapan ‘merencanakan, mengimplemen-

tasikan, menilai dan mengulanginya lagi’.

Keterpaduan dan Inter-relasi

Prinsip kedua ICM adalah keterpaduan dan inter-relasi, yang terdiri dari

tiga integrasi yaitu: 1) System integration: dalam keterpaduan sistem memasukan

pertimbangan dimensi spatial dan temporal sistem sumberdaya pesisir dalam

persyaratan fisik perubahan lingkungan, pola pemanfaatan sumberdaya dan

penataan sosial ekonomi. Keterpaduan ini menjamin bahwa isu-isu relevan yang

muncul dari hubungan secara fisik-biologi, sosial dan ekonomi ditangani secara

cukup. Keterpaduan ini membutuhkan berbagai ketersediaan informasi yang

dibutuhan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir. 2) Functional Integration:

Keterpaduan fungsional berkaitan dengan hubungan antara berbagai kegiatan

pengelolaan seperti konfirmasi antara program dan proyek dengan tujuan dan

sasarannya. Keterpaduan ini juga mengupayakan tidak terjadinya duplikasi

diantara lembaga yang terlibat, tetapi saling melengkapi. Penyusunan zonasi

pesisir yang mengalokasikan pemanfaatan sumberdaya secara spesifik merupakan

salah satu bentuk efektif dari keterpaduan fungsional. Maksud rencana zonasi

yaitu membagi kawasan pengelolaan laut dan pesisir dalam zona-zona yang sesuai

dengan maksud dan keinginan pemanfaatan setiap zona. 3) Policy integration:

Keterpaduan kebijakan sangat esensial untuk menjamin konsistensi dari program

pengelolaan pesisir terpadu dalam konteks kebijakan pemerintah pusat dan daerah

serta untuk memelihara koordinasi. Tujuan akhir adalah mengintegrasikan

Page 64: scylla serrata

45  

 

program pengelolaan pesisir secara terpadu ke dalam rencana pembangunan

ekonomi nasional dan daerah. Namun demikian, kebijakan dan strategi

penyuluhan pesisir harus dapat merupakan perubahan yang terjadi di wilayah

pesisir dan konsisten dengan tujuan pembangunan ekonomi nasional.

Manajemen Berbasis Ekosistem

Pendekatan manajemen berbasis ekosistem muncul dalam kerangka

Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention of Biological Diversity/CBD).

CBD mendefinisikan ekosistem sebagai dinamika kompleks komunitas tanaman,

hewan dan mikro-organisme, serta lingkungan non-hidup yang berinteraksi

sebagai unit fungsional. Fokus dari pendekatan berbasis ekosistem adalah

mempertahankan keutuhan ekosistem yang menyediakan jasa dan sumberdaya

yang penting untuk kegiatan dan kesejahteraan manusia (Thia-Eng 2006). 

IUCN - World Conservation Union dalam Resolusinya 1.42 Tahun 1996

menjelaskan gagasan dasar pengelolaan kolaboratif (juga disebut co-management,

atau joint, participatory atau multi-stakeholder management) adalah kemitraan

antara lembaga pemerintah, komunitas lokal dan pengguna sumber daya,

lembaga non-pemerintah dan kelompok kepentingan lainnya dalam bernegosiasi

dan menentukan kerangka kerja yang tepat tentang kewenangan dan tanggung-

jawab untuk mengelola daerah spesifik atau sumber daya (IUCN 1997).

Pengelolaan Kolaboratif dalam kawasan konservasi dapat diartikan

sebagai kemitraan di antara berbagai pihak yang menyetujui untuk berbagi

fungsi, wewenang dan tanggung-jawab manajemen dalam mengelola daerah

atau sumber daya alam yang statusnya dilindungi atau dikonservasi (PHKA-

Dephut et al. 2002).

Pengelolaan Kolaboratif berbeda dengan pengelolaan partisipatori lainnya

atau dengan 'pengelolaan berbasis masyarakat' (community-based resources

management), karena menuntut adanya kesadaran dan distribusi tanggung-jawab

pemerintah secara formal. Dalam konteks ini, konsultasi masyarakat dan

perencanaan partisipatori ditujukan untuk menetapkan bentuk-bentuk peranserta

yang lebih tahan lama, terukur dan setara dengan melibatkan seluruh

kelompok-kelompok kepentingan terkait dan sah (legitimate) dalam mengelola

dan melestarikan sumber daya alam.

Page 65: scylla serrata

46  

 

Dalam pengertian yang luas, wilayah pengelolaan kolaboratif dapat

dibayangkan berada 'ditengah-tengah' atau 'jalan kompromistik' antara

manajemen di bawah kontrol penuh pemerintah dan dibawah kendali penuh

masyarakat. Pengelolaan secara ko-manajemen hendaknya dibaca sebagai konsep

yang luas yang mencakup berbagai cara dimana organisasi yang bertanggung

jawab atas pengelolaan dan stakeholders menerapkan manajemen kerjasama

yang adaptif.

Beberapa prinsip dan asumsi yang perlu diperhatikan dalam strategi

pengelolaan kolaboratif menurut Borrini-Feyerabend dalam PHKA-Dephut et

al. (2002) yang mungkin dapat diterapkan untuk pengelolaan TNK adalah:

a. Menggunakan pendekatan yang pluralistik dalam mengurus sumber

daya; memadukan peranan para pihak kepentingan; tujuan akhirnya pada

umumnya adalah konservasi lingkungan, pemanfaatan berkelanjutan

sumber daya alam dan pembagian yang adil yang berkaitan dengan

manfaat dan tanggung-jawab.

b. Dalam proses pengelolaan kolaboratif membutuhkan beberapa kondisi

dasar untuk dikembangkan di antaranya: akses penuh terhadap informasi

dan opsi-opsi, kebebasan dan kapasitas untuk mengorganisasi, kebebasan

untuk mengekspresikan kebutuhan dan kepedulian, lingkungan sosial

non-diskriminatif, keinginan para mitra untuk bernegosiasi, saling percaya

dalam menghargai kesepakatan-kesepakatan yang dipilih.

c. Merupakan proses perubahan politik dan budaya untuk mencapai

keadilan sosial dan demokrasi dalam pengelolaan sumber daya alam.

d. Pengelolaan kolaboratif mempunyai asas kepentingan bersama,

keyakinan bahwa ada kemungkinan untuk menjalankan suatu bentuk

pengelolaan yang memadukan berbagai kepentingan.

e. Proses yang kompleks dan seringkali membutuhkan waktu panjang serta

terjadi kekeliruan proses. Yang paling penting adalah kerjasama

pengelolaan, bukan rencana pengelolaan, yang sanggup menanggapi

berbagai kebutuhan secara efektif.

f. Mengekspresikan masyarakat sipil yang dewasa dan memahami tidak ada

solusi yang 'unik dan tidak berat sebelah' dalam mengelola sumber daya

Page 66: scylla serrata

47  

 

alam, tetapi keanekaragaman dari perbedaan pilihan sesuai dengan

pengetahuan lokal dan scientifik serta berkemampuan untuk

mempertemukan kebutuhan konservasi dengan pembangunan.

g. Pengelolaan kolaboratif mempunyai asas prinsip mengaitkan antara hak-

hak pengelolaan dan tanggung jawab. ‘Wewenang dan tanggung jawab

terkait secara konseptual. Apabila tidak dikaitkan dan diberikan kepada

aktor yang berbeda, maka keduanya akan hancur’.

h. Tantangan dalam pengelolaan kolaboratif adalah bagaimana

menciptakan situasi di mana semua mendapatkan keuntungan yang

lebih besar jika berkolaborasi dibandingkan dengan berkompetisi.

i. Secara khusus dalam proses pengelolaan kolaboratif bidang pengelolaan

daerah dilindungi, persetujuan yang dibangun dalam bentuk kemitraan di

antaranya: fungsi dan tanggung-jawab masing-masing pemangku

kepentingan, luasan dan batas daerah dilindungi atau sumber daya alam,

kisaran fungsi dan penggunaan berkelanjutan yang dapat diselenggarakan,

pengakuan bagi para pemangku kepentingan yang terlibat, prosedur

untuk mengatasi konflik dan bernegosiasi pengambilan keputusan

kolektif, persetujuan prioritas pengelolaan dan rencana pengelolaan,

prosedur menjalankan setiap keputusan dan aturan spesifik untuk

pemantauan, evaluasi dan kaji ulang persetujuan-persetujuan kemitraan

dan rencana pengelolaan.

j. Menekankan proses negosiasi ketimbang proses litigasi dalam mengatasi

konflik yang hanya memenangkan salah satu pihak yang bertikai.

2.6 Pengelolaan Berbasis Ekosistem (Ecobased Management/EBM)

Paradigma ekosistem menjadi penting sebagai pendekatan utama untuk

mengelola sumberdaya alam dan lingkungan. Upaya pengelolaan tradisional

diatur seputar pemanfaatan khusus seperti pertanian atau turisme, yang

menghasilkan pengelolaan sektoral untuk masing-masing pemanfaatan. Pada masa

berikutnya, hal ini menjadi kenampakan bahwa kebanyakan pendekatan berakibat

pada konflik antar pengguna dan kurangnya perlindungan terhadap lingkungan

(UNEP 2006). Pergeseran paradigma dari pengelolaan sumberdaya individual

Page 67: scylla serrata

48  

 

menjadi pendekatan sistem direfleksikan sebagai aksi dari banyak negara (Juda;

Laffoley et al. dalam UNEP 2006).

Pada Tahun 1997, Commission on Sustainable Development dari United

Nation (UN/PBB) menemukan bahwa: konsep pengelolaan terpadu pada area

perairan, daerah aliran sungai, estuari, pesisir dan laut saat ini secara besar-

besaran diterima dalam sistem United Nation dan pada banyak negara sebagai

pendekatan berbasis ekosistem untuk pembangunan berkelanjutan (UNEP 2006).

Singkatnya, Ecosystem-based Management mengenali bahwa komunitas

tanaman, hewan, dan manusia adalah saling berketergantungan dan berinteraksi

dengan lingkungan fisiknya untuk membentuk unit ekologis yang disebut

ekosistem. Ekosistem adalah lintas batas dalam karakter, khususnya memotong

keberadaan kebijakan politik dan batas hukum (UNEP 2006).

Ecosystem-based Management didefinisikan sebagai pengelolaan yang

dikendalikan oleh tujuan eksplisit yang ditentukan oleh kebijakan, aturan-aturan

dan pelaksanaan, dan dibuat dapat diadaptasikan melalui pengawasan yang

berbasis penelitian pada pemahaman terbaik terhadap interaksi ekologi dan proses

penting untuk keberlanjutan struktur dan fungsi ekosistem (Christensen et al.

dalam UNEP 2006).

Pendekatan manajemen berbasis ekosistem (Ecosystem-based

Management/EBM) bertujuan untuk mencapai keseimbangan antara konservasi,

pemanfaatan berkelanjutan, pembagian yang adil dan merata dari keuntungan

yang dihasilkan oleh pemanfaatan sumberdaya. Pendekatan ini juga menempatkan

penekanan penting pada peningkatan manajemen, baik temporal maupun spasial

(Thia-Eng 2006).

Manajemen berbasis ekosistem (Ecosystem-based Management/EBM)

adalah pendekatan terpadu yang mempertimbangkan keseluruhan ekosistem,

termasuk manusia (McLeod et al. dalam Leslie & McLeod 2007). EBM kelautan

berbeda dengan pendekatan saat ini yang selalu terfokus pada spesies atau sektor

tunggal, dan termasuk juga mempertimbangkan interaksi antar komponen

ekosistem dan dampak kumulatif dari berbagai aktivitas. Pendekatan untuk

menerapkan EBM kelautan berbagai macam, namun semua terfokus pada

perlindungan struktur, fungsi dan proses kunci dalam ekosistem.

Page 68: scylla serrata

49  

 

Dalam EBM, hubungan antara populasi manusia dan sistem

ekonomi/sosial tampak sebagai bagian terpadu dari ekosistem. Lebih penting lagi,

EBM difokuskan dengan proses perubahan sistem hidup dan keberlanjutan jasa

dan pelayanan yang menghasilkan ekosistem yang sehat. EBM selanjutnya

didesain dan dilaksanakan sebagai adaptive berbasis proses pembelajaran yang

menerapkan prinsip-prinsip metode ilmiah untuk proses pengelolaan (UNEP

2006).

Ada dua alasan utama mengapa pendekatan berbasis ekosistem lebih baik

untuk status quo. Pertama, ilmuwan menemukan bukti bahwa interaksi dalam

sistem ekologi pesisir dan laut penting untuk ketahanan dan kesehatan sistem ini.

Ketika koneksi ini rusak atau rusak parah, melalui hilangnya atau penurunan

spesies, perusakan habitat kunci, atau perubahan rezim gangguan, kemampuan

sistem pesisir dan laut akan menurun untuk pulih dari gangguan (recover) dan

untuk terus memberikan layanan yang bernilai (Paine et al.; Steneck et al.;

Hughes et al. dalam Leslie & McLeod 2007). Kedua, rezim pengelolaan arus laut

di AS dan di tempat lain tidak cukup mampu mempertahankan sumber daya

pesisir dan laut (POC; USCOP dalam Leslie & McLeod 2007).

Leslie & McLeod (2007) menjelaskan elemen kunci dari pengelolaan

berbasis ekosistem laut meliputi:

1. Koneksi: Pada intinya, EBM adalah tentang mengakui koneksi, termasuk

hubungan antara ekosistem laut dan masyarakat manusia, ekonomi dan sistem

kelembagaan, serta mereka di antara berbagai spesies di dalam ekosistem laut

dan di antara tempat-tempat yang dihubungkan oleh gerakan spesies, bahan,

dan arus laut.

2. Dampak Kumulatif: EBM berfokus pada bagaimana tindakan individu

mempengaruhi jasa ekosistem yang mengalir dari sistem sosial-ekologi

digabungkan secara terpadu, daripada mempertimbangkan dampak secara

sedikit demi sedikit.

3. Beberapa tujuan: EBM berfokus pada beragam manfaat yang disediakan oleh

sistem laut, bukan pada jasa ekosistem tunggal. Manfaat tersebut atau jasa

termasuk perikanan komersial dan rekreasi hidup, konservasi keanekaragaman

Page 69: scylla serrata

50  

 

hayati, energi terbarukan dari angin atau gelombang, perlindungan pantai,

menyelam, dan rekreasi dengan kayak laut.

4. Merangkul perubahan: Ditambah sistem sosial-ekologi yang terus berubah

dengan cara yang tidak bisa sepenuhnya diperkirakan atau dikendalikan.

Memahami ketahanan sistem ini, yaitu, sejauh mana mereka dapat

mempertahankan struktur, fungsi, dan identitas dalam menghadapi gangguan,

dapat memungkinkan prediksi yang lebih baik tentang bagaimana mereka

akan merespon tidak hanya baik gangguan alami dan antropogenik, termasuk

perubahan dalam lingkungan manajemen.

5. Pembelajaran dan adaptasi: Karena kurangnya kontrol dan prediktabilitas

sistem sosial-ekologi digabungkan, pendekatan pengelolaan adaptif

dianjurkan.

Terutama, tidak ada jalan yang benar tunggal untuk manajemen berbasis

ekosistem - di darat atau di laut. Pendekatan ini akan dipraktekkan di berbagai

tempat di berbagai skala geografis, masing-masing dengan konteks sejarah sendiri

yang unik, ekologi, dan sosial.

Olsen dalam UNEP (2006) menyatakan ada empat keluaran yang

diharapkan dalam pengelolaan berbasis ekosistem (EBM), yaitu:

1. Kondisi yang memungkinkan (enabling), meliputi: Komitmen pemerintah

dalam kewenangan dan pembiayaan; kapasitas kelembagaan dalam

implementasi; tujuan yang tidak tumpang tindih; dan adanya kesepakatan pada

tingkat lokal dan nasional.

2. Perubahan perilaku, meliputi: perubahan perilaku pada kelembagaan dan

kelompok stakeholder; perubahan perilaku sehubungan dengan efektivitas

pemanfaatan sumberdaya; perubahan dalam strategi investasi.

3. Panen, meliputi: keinginan sosial dan kualitas lingkungan dipertahankan, dan

diperbaiki.

4. Pembangunan ekosistem pesisir berkelanjutan, meliputi: keinginan dan

keseimbangan dinamik antara sosial dan kondisi lingkungan yang

berkelanjutan.

Page 70: scylla serrata

51  

 

2.7 Landasan Peraturan Perundangan Pemanfaatan Taman Nasional

2.7.1 Undang-Undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya

UU ini boleh dikatakan merupakan peraturan pokok bagi pengelolaan

kawasan pelestarian alam, seperti TN Kutai. Bentuk-bentuk kawasan pelestarian

alam antara lain adalah taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam

(Pasal 29).

Fungsi dari kawasan pelestarian alam antara lain untuk perlindungan

sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan

satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan

ekosistemnya (Pasal 30). Pada bagian penjelasan dikatakan bahwa usaha

pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya pada

hakikatnya merupakan usaha pengendalian/pembatasan dalam pemanfaatan

sumber daya alam hayati dan ekosistemnya sehingga pemanfaatan tersebut dapat

dilaksanakan secara terus menerus pada masa mendatang. Berdasarkan pasal ini,

tampak bahwa pemanfaatan lestari pada dasarnya diijinkan dilakukan di kawasan

taman nasional. Bentuk kegiatan pemanfaatan lestari sumberdaya alam hayati

telah dijelaskan pada pasal sebelumnya, yaitu Pasal 26 yang menyatakan bahwa

pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan

melalui kegiatan:

a. pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam; dan

b. pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar.

Lebih lanjut pada Pasal 31 dikatakan:

(1) Di dalam taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam dapat

dilakukan kegiatan untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan,

pendidikan, menunjang budidaya, budaya, dan wisata alam.

(2) Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan tanpa

mengurangi fungsi pokok masing-masing kawasan.

Kawasan taman nasional dikelola dengan sistem zonasi yang terdiri dari

zona inti, zona pemanfaatan, dan zona lain sesuai dengan keperluan (Pasal 32),

oleh karena itu penggunaan kawasan untuk kegiatan tersebut harus sesuai dengan

fungsi masing-masing zona.

Page 71: scylla serrata

52  

 

Adapun jenis kegiatan yang dilarang dilakukan dinyatakan dalam Pasal 33

sebagai berikut:

(1) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan

perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional.

(2) Perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) meliputi mengurangi, menghilangkan fungsi dan

luas zona inti taman nasional, serta menambah jenis tumbuhan dan satwa

lain yang tidak asli.

(3) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi

zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya, dan

taman wisata alam.

2.7.2 Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan

Pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan dalam UU 41 tahun

1999 tentang kehutanan diatur dalam Pasal 23, yang berbunyi “Pemanfaatan

hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan

seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya”.

Selanjutnya dalam Pasal 24 dijelaskan bahwa “Pemanfaatan kawasan

hutan dapat dilakukan pada semua kawasan hutan kecuali pada hutan cagar

alam serta zona inti dan zona rimba pada taman nasional”.

Berdasarkan Pasal-Pasal tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa di

kawasan taman nasional, seperti Taman Nasional Kutai, dapat dilakukan

pemanfaatan di luar zona inti dan zona rimba. Bila dikaitkan dengan UU No

5/1990, maka ketentuan-ketentuan yang harus diperhatikan dalam melakukan

kegiatan pemanfaatan di zona pemanfaatan taman nasional adalah:

1) Adanya usaha pengendalian/pembatasan dalam pemanfaatan sumber daya

alam hayati dan ekosistemnya sehingga pemanfaatan tersebut dapat

dilaksanakan secara terus menerus pada masa mendatang;

2) Bentuk kegiatan yang diijinkan adalah: a) pemanfaatan kondisi lingkungan

kawasan pelestarian alam; dan b) pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar;

3) Kegiatan yang menunjang budidaya harus dilakukan tanpa mengurangi fungsi

pokok masing-masing kawasan;

Page 72: scylla serrata

53  

 

4) Penggunaan kawasan untuk kegiatan tersebut harus sesuai dengan fungsi

masing-masing zona;

5) Dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap

keutuhan zona inti taman nasional seperti mengurangi, menghilangkan fungsi

dan luas zona inti taman nasional, serta menambah jenis tumbuhan dan satwa

lain yang tidak asli.

Selain itu, Pasal 19 dalam UU 41/1999 ini juga menyediakan skema

perubahan fungsi sebagai berikut:

(1) Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh

Pemerintah dengan didasarkan pada hasil penelitian terpadu.

(2) Perubahan peruntukan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis,

ditetapkan oleh Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

(3) Ketentuan tentang tata cara perubahan peruntukan kawasan hutan dan

perubahan fungsi kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan

ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

2.7.3 Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Ekosistem mangrove, selama ini hanya dipandang dari sisi vegetasinya

sebagai hutan mangrove, sehingga dalam pengelolaannya juga lebih banyak

mengacu pada peraturan kehutanan. Namun, pada kenyataannya ekosistem

mangrove berada pada wilayah pesisir yang dipengaruhi oleh pasang surut air

laut, dan merupakan habitat bagi biota perikanan. Oleh karena itu pengelolaan

ekosistem mangrove juga semestinya mengacu pada UU 27 Tahun 2007 tentang

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Zonasi kawasan konservasi dalam UU 27/2007 diatur dalam Pasal 29,

yang menyatakan:

Kawasan konservasi dibagi atas tiga zona, yaitu:

a. Zona inti;

b. Zona pemanfaatan terbatas; dan

c. Zona lain sesuai dengan peruntukan Kawasan.

Page 73: scylla serrata

54  

 

Penjelasan atas Pasal 29 ini adalah:

Huruf a

Zona inti merupakan bagian dari Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan

Pulau-Pulau Kecil yang dilindungi, yang ditujukan untuk perlindungan habitat dan

populasi Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta pemanfaatannya hanya

terbatas untuk penelitian.

Huruf b

Zona pemanfaatan terbatas merupakan bagian dari zona konservasi Pesisir dan

Pulau-Pulau Kecil yang pemanfaatannya hanya boleh dilakukan untuk budidaya

pesisir, ekowisata, dan perikanan tradisional.

Huruf c

Cukup jelas

2.7.4 Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 jo Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2008 Tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan

PP No. 6 Tahun 2007 merupakan aturan yang dibuat sebagai pelaksanaan

Pasal 22 UU No 41 Tahun 1999. PP ini disusun dalam rangka meningkatkan laju

pertumbuhan pembangunan nasional berkelanjutan diperlukan beberapa langkah

strategis yang dapat mendorong pertumbuhan investasi, percepatan pembangunan

hutan tanaman, pengendalian degradasi hutan dan peningkatan perekonomian

nasional termasuk perekonomian masyarakat di dalam dan sekitar hutan melalui

deregulasi dan debirokratisasi yang dilandasi prinsip good governance dan

pengelolaan hutan lestari.

Pasal-pasal dalam PP No. 6 Tahun 2007 yang berisi aturan pemanfaatan

hutan konservasi antara lain Pasal 17, 18, 19 dan Pasal 22, sebagai berikut:

Pasal 17

(1) Pemanfaatan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat hasil dan jasa hutan

secara optimal, adil, dan lestari bagi kesejahteraan masyarakat.

(2) Pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan

melalui kegiatan:

a. pemanfaatan kawasan;

Page 74: scylla serrata

55  

 

b. pemanfaatan jasa lingkungan;

c. pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu; dan

d. pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu.

(3) Pemanfaatan hutan dilaksanakan berdasarkan rencana pengelolaan hutan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16.

Pasal 18

Pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, dapat dilakukan

pada seluruh kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), yaitu

kawasan;

a. hutan konservasi, kecuali pada cagar alam, zona rimba, dan zona inti dalam

taman nasional;

b. hutan lindung; dan

c. hutan produksi

Pasal 19

Dalam setiap kegiatan pemanfaatan hutan yang dilakukan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 17 ayat (2), wajib disertai dengan izin pemanfaatan hutan yang

meliputi :

a. IUPK;

b. IUPJL;

c. IUPHHK;

d. IUPHHBK;

e. IPHHK ; dan

f. IPHHBK.

Pasal 22

Pada hutan konservasi, pemberian izin pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 17 harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2.7.5 Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan

Peraturan lain yang terkait dengan konservasi dan pemanfaatan

sumberdaya pesisir adalah Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 tentang

Page 75: scylla serrata

56  

 

Konservasi Sumberdaya Ikan. PP ini pada dasarnya mengijinkan adanya

pemanfaatan pada konservasi sumberdaya ikan. Beberapa pasal dalam PP 60

Tahun 2007 yang berkaitan dengan pemanfaatan kawasan konservasi untuk

budidaya, yaitu:

1) Pasal 2 poin (2), Konservasi sumber daya ikan dilakukan berdasarkan prinsip:

a. pendekatan kehati-hatian;

b. pertimbangan bukti ilmiah;

c. pertimbangan kearifan lokal;

d. pengelolaan berbasis masyarakat;

e. keterpaduan pengembangan wilayah pesisir;

f. pencegahan tangkap lebih;

g.pengembangan alat penangkapan ikan, cara penangkapan ikan, dan

pembudidayaan ikan yang ramah lingkungan;

h. pertimbangan kondisi sosial ekonomi masyarakat;

i. pemanfaatan keanekaragaman hayati yang berkelanjutan;

j. perlindungan struktur dan fungsi alami ekosistem perairan yang dinamis;

k. perlindungan jenis dan kualitas genetik ikan; dan

l. pengelolaan adaptif.

2) Pasal 6, konservasi ekosistem dilakukan melalui kegiatan:

a. perlindungan habitat dan populasi ikan;

b. rehabilitasi habitat dan populasi ikan;

c. penelitian dan pengembangan;

d. pemanfaatan sumber daya ikan dan jasa lingkungan;

e. pengembangan sosial ekonomi masyarakat;

f. pengawasan dan pengendalian; dan/atau

g. monitoring dan evaluasi.

3) Pasal 30 poin (1), pemanfaatan konservasi sumber daya ikan meliputi:

a. pemanfaatan kawasan konservasi perairan; dan

b. pemanfaatan jenis ikan dan genetik ikan.

Pasal 30 poin (2), pemanfaatan kawasan konservasi perairan dilakukan

melalui kegiatan:

a.penangkapan ikan;

Page 76: scylla serrata

57  

 

b.pembudidayaan ikan;

c. pariwisata alam perairan; atau

d.penelitian dan pendidikan.

Pasal 32 poin (1), Pemanfaatan kawasan konservasi perairan untuk

pembudidayaan ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) huruf b

dilakukan di zona perikanan berkelanjutan.

2.7.6 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia

Nomor Per.17/Men/2008 tentang Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil

Pola pengelolaan kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau

kecil diatur dalam Pasal 31, sebagai berikut:

(1) Pola pengelolaan KKP3K dan KKM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30

huruf b, dilakukan melalui sistem zonasi.

(2) Sistem zonasi KKP3K dan KKM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri:

a. zona inti;

b. zona pemanfaatan terbatas; dan/atau

c. zona lainnya sesuai dengan peruntukan kawasan.

(3) Zona inti sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a wajib dimiliki setiap

jenis KKP3K dan KKM.

(4) Setiap jenis KKP3K dan KKM dapat memiliki satu atau lebih zonasi sesuai

dengan luasan dan karakter bio-fisik serta sosial ekonomi dan budaya KKP3K

dan KKM.

Selanjutnya dalam Pasal 32 dijelaskan fungsi dari masing-masing zona

tersebut, yaitu:

(1) Zona inti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) huruf a, antara lain

diperuntukkan:

a. perlindungan mutlak habitat dan populasi ikan, serta alur migrasi biota laut;

b. perlindungan ekosistem pesisir yang unik dan/atau rentan terhadap

perubahan;

c. perlindungan situs budaya/adat tradisional;

d. penelitian; dan/atau

e. pendidikan.

Page 77: scylla serrata

58  

 

(2) Zona Pemanfaatan terbatas antara lain diperuntukkan:

a. perlindungan habitat dan populasi ikan;

b. pariwisata dan rekreasi;

c. penelitian dan pengembangan; dan/atau

d. pendidikan.

(3) Zona lainnya merupakan zona diluar zona inti dan zona pemanfaatan terbatas

yang karena fungsi dan kondisinya ditetapkan sebagai zona tertentu antara lain

zona rehabilitasi.

Berdasarkan pembagian dan fungsi masing-masing zona, dapat diketahui

bahwa di daerah konservasi pesisir dan laut dapat digunakan untuk pemanfaatan

terbatas yang merupakan perikanan berkelanjutan.

2.7.7 Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata

Ruang Wilayah Nasional

Dalam PP ini dikatakan, Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional yang

selanjutnya disebut RTRWN adalah arahan kebijakan dan strategi pemanfaatan

ruang wilayah negara. Pasal 51 mengatakan kawasan lindung nasional terdiri atas:

a. kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya;

b. kawasan perlindungan setempat;

c. kawasan suaka alam, pelestarian alam, dan cagar budaya;

d. kawasan rawan bencana alam;

e. kawasan lindung geologi; dan

f. kawasan lindung lainnya.

Selanjutnya, Pasal 51c dijelaskan dalam Pasal 52 poin (3), yaitu: Kawasan

suaka alam, pelestarian alam, dan cagar budaya, terdiri atas:

a. kawasan suaka alam;

b. kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya;

c. suaka margasatwa dan suaka margasatwa laut;

d. cagar alam dan cagar alam laut;

e. kawasan pantai berhutan bakau;

f. taman nasional dan taman nasional laut;

g. taman hutan raya;

h. taman wisata alam dan taman wisata alam laut; dan

Page 78: scylla serrata

59  

 

i. kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan.

Sedangkan lokasi-lokasi yang termasuk dalam kawasan lindung diatur dalam

Lampiran VIII PP No. 26/2008 tentang Kawasan Lindung Nasional, dimana

menyebutkan Taman Nasional Kutai termasuk dalam kawasan taman nasional

dengan status pengembangan tahap I.

2.7.8 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.56/Menhut-II/2006 Tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional

Menurut permen ini yang dimaksud dengan Taman nasional adalah

kawasan pelestarian alam baik daratan maupun perairan yang mempunyai

ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yaitu dimanfaatkan untuk tujuan

penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya,

pariwisata dan rekreasi.

Zonasi taman nasional adalah suatu proses pengaturan ruang dalam taman

nasional menjadi zona-zona, yang mencakup kegiatan tahap persiapan,

pengumpulan dan analisis data, penyusunan draft rancangan zonasi, konsultasi

publik, perancangan, tata batas dan penetapan, dengan mempertimbangkan kajian-

kajian dari aspek-aspek ekologis, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat.

Dalam Pasal 2 (dua) disebutkan bahwa Pedoman zonasi taman nasional

dimaksudkan sebagai acuan bagi pengelola kawasan taman nasional dalam

melaksanakan penataan zona di kawasan taman nasional. Tujuan dari Pedoman

zonasi taman nasional adalah untuk mewujudkan sistem pengelolaan taman

nasional yang efektif dan optimal sesuai dengan fungsinya.

Menurut Pasal 3 (tiga) zona dalam kawasan taman nasional terdiri dari:

1. Zona inti;

2. Zona rimba; Zona perlindungan bahari untuk wilayah perairan;

3. Zona pemanfaatan;

4. Zona lain, antara lain:

1. Zona tradisional;

2. Zona rehabilitasi;

3. Zona religi, budaya dan sejarah;

4. Zona khusus.

Page 79: scylla serrata

60  

 

Penataan zona taman nasional didasarkan pada potensi dan fungsi kawasan

dengan memperhatikan aspek ekologi, sosial, ekonomi dan budaya. Adanya

berbagai zona yang ditetapkan dalam permen ini, zona tradisional atau pun zona

khusus merupakan bagian yang memungkinkan menjadi solusi bagi permasalahan

penduduk dalam kawasan TN Kutai.

Zona tradisional adalah bagian dari taman nasional yang ditetapkan untuk

kepentingan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang karena kesejarahan

mempunyai ketergantungan dengan sumber daya alam.

Zona khusus adalah bagian dari taman nasional karena kondisi yang tidak

dapat dihindarkan telah terdapat kelompok masyarakat dan sarana penunjang

kehidupannya yang tinggal sebelum wilayah tersebut ditetapkan sebagai taman

nasional antara lain sarana telekomunikasi, fasilitas transportasi dan listrik.

2.7.9 Keputusan Menteri Kehutanan No.325/Kpts-II/1995 tentang Penunjukkan Taman Nasional Kutai

Pengelolaan TN Kutai membutuhkan kepastian kawasan sehingga

memiliki kepastian hukum yang pada akhirnya memiliki konsekuensi hukum.

Dalam hal pengukuhan kawasan, TN Kutai baru sampai pada tahap penunjukkan

kawasan (SK Menteri Kehutanan No. 325/Kpts-II/1995) dan saat ini TN Kutai

sedang dalam proses penyelesaian berita acara tata batas sebagai bahan untuk

dilanjutkan ke proses penetapan kawasan dalam rangka penegasan status hukum

kawasan taman nasional. Tabel 2 menyajikan informasi luas TN Kutai yang telah

ditata batas.

Tabel 2 Hasil Tata Batas di TN Kutai.

No. Fungsi Kawasan

Luas (ha)

Panjang Batas (m)

Sudah ditata batas

Rekonstrukasi Batas Ket. Panjang

(m) Tahun Panjang (m) Tahun

1 Konservasi 198 629 274 021.17 84 358 1979 11 000 9 000

1982 1984 BPKH

2 Enclave 29 880 1999 10 000 10 000

1986 1989

Badan SIG Kutai Timur

3 Konservasi 159 783.17 2002 53 000 31 358 68 000

1992 1995 2004

BPKH

Sumber : Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah IV dalam Pemkab Kutim (2005)

Page 80: scylla serrata

3 METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di kawasan mangrove di Taman Nasional Kutai

(TNK) seluas 5 277.79 ha. Waktu pengambilan data antara bulan Oktober 2008-

Juni 2010.

Gambar 12 Peta lokasi penelitian.

Metode penentuan titik stasiun untuk survey bioekologi dilakukan secara

purposive sampling, dimana penentuan titik stasiun dilakukan secara sengaja

berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Pertimbangan yang diambil

antara lain berdasarkan karakteristik ekologis habitat mangrove dan kependudukan.

Habitat mangrove TNK dibagi menjadi 3 stasiun utama, yaitu: Muara

Sungai Sangatta (Sta. A), Teluk Perancis (Sta. B), dan Muara Sungai Sangkimah

(Sta. C). Pada masing-masing stasiun tersebut akan dibuat substasiun-substasiun

mulai dari perairan pantai menuju mangrove ke arah daratan.

Page 81: scylla serrata

62

Perbedaan karakteristik pada masing-masing stasiun tersebut adalah:

‒ Stasiun A: Sungai Sangatta merupakan muara sungai besar, telah dibuka

tambak dan ada perkampungan kecil, mangrove didominasi jenis Avicenia.

‒ Stasiun B: Teluk Perancis merupakan teluk yang cukup terlindung, di teluk ini

bermuara beberapa alur sungai kecil, belum ada pemukiman, mangrove

didominasi jenis Rhizophora apiculata.

‒ Stasiun C: Sungai Sangkimah terletak di dekat areal perusahaan minyak

Pertamina, ada pemukiman penduduk pada jarak yang tidak terlalu jauh,

terdapat teluk yang lebih kecil dibanding Teluk Perancis dimana bermuara S.

Sangkimah, mangrove didominasi Rhizophora apiculata, Bruguiera

parviflora, dan Sonneratia alba.

Lokasi masing-masing stasiun dapat dilihat pada Gambar 12.

3.2 Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang bersifat eksploratif

guna mendapatkan fakta dari kondisi yang ada melalui survei dan analisis

laboratorium. Tujuannya, untuk mendapatkan data kondisi bioekologi S. serrata

di kawasan mangrove TN Kutai, status pemanfaatan sumberdaya S. serrata, dan

penilaian dampak pemanfaatan sumberdaya S. serrata terhadap kelestarian

ekosistem mangrove dan dampak sosial ekonomi pada masyarakat lokal, terutama

nelayan dan petambak di kawasan mangrove TN Kutai. Gay dalam Sevilla et al.

(1993) mendefinisikan metode penelitian deskriptif sebagai kegiatan yang

meliputi pengumpulan data dalam rangka menguji hipotesis atau menjawab

pertanyaan yang meyangkut keadaan pada waktu yang sedang berjalan dari pokok

suatu penelitian.

Pelaksanaan penelitian ini dibagi menjadi 6 tahapan, yaitu:

1. Analisis sosial ekonomi masyarakat dan kondisi umum TN Kutai.

2. Analisis status bioekologi kepiting bakau dan daya dukung lingkungan.

3. Analisis pemanfaatan sumberdaya kepiting bakau.

4. Identifikasi sistem pengelolaan kepiting bakau di TNK.

5. Pemodelan dan simulasi skenario pengelolaan sumberdaya kepiting bakau.

Page 82: scylla serrata

63

6. Penyusunan rekomendasi dan kebijakan pengelolaan sumberdaya kepiting

bakau di hutan mangrove TNK.

Berdasarkan masalah yang diteliti tersebut, metode yang digunakan untuk

mengumpulkan data adalah metode survei, yaitu mengadakan penyelidikan untuk

mendapatkan fakta-fakta dari gejala yang ada dihubungkan dengan kondisi faktual

dari daerah dimana lokasi penelitian itu berada (Sevilla et al. 1993).

3.3 Analisis sosial ekonomi masyarakat dan kondisi umum TN Kutai

3.3.1 Jenis dan sumber data sosial ekonomi masyarakat

Jenis data yang diperlukan yang berkaitan dengan kondisi sosial ekonomi

dan kelembagaan masyarakat di dalam kawasan Taman Nasional Kutai berupa

data primer dan data sekunder. Data primer yang diperlukan, meliputi: aspek

sosial ekonomi (mata pencaharian, analisis usaha kegiatan penangkapan, analisis

usaha budidaya sylvofishery kepiting bakau, struktur sosial, dan data persepsi

masyarakat), dan aspek kebijakan (pendapat pakar berkaitan kebijakan

pengelolaan kawasan hutan mangrove di TNK).

Data sekunder yang diperlukan meliputi: aspek kependudukan (jumlah

penduduk, pendidikan, agama, dan kesehatan), dan aspek hukum/kelembagaan

(rencana tata ruang, kebijakan pengelolaan kawasan konservasi, dan kelembagaan

pengelolaan kawasan konservasi).

3.3.2 Metode pengumpulan data sosial ekonomi masyarakat

A. Pengumpulan Data Primer

Pengumpulan data primer dilaksanakan dengan cara memberikan

kuesioner kepada para responden pada tiga desa yang dipilih menggunakan

metode purposive sampling, sesuai dengan lokasi untuk pengumpulan data

biofisik. Ketiga desa tersebut adalah Desa Sangkima, Desa Sangkima Lama, dan

Desa Singa Geweh, yang merupakan desa pantai yang berlokasi di dalam kawasan

hutan mangrove Taman Nasional Kutai.

Pemilihan jenis responden sebagai unit penelitian untuk data sosial

ekonomi ditentukan secara sengaja (purposive sampling) berdasarkan jenis mata

Page 83: scylla serrata

64

pencaharian responden, dengan pertimbangan bahwa responden terlibat dalam

pemanfaatan sumberdaya di kawasan mangrove TN Kutai. Untuk kepentingan

penelitian ini, maka jenis responden yang digunakan adalah; (1) nelayan kepiting

bakau, (2) pedagang pengumpul kepiting bakau, (3) petambak, (4) nelayan lain,

dan (5) pengambil kebijakan.

Selain itu juga dilakukan wawancara mendalam (deep interview) dengan

para pengambil kebijakan yang terkait dengan pengelolaan TN Kutai, dengan

substansi yang menyangkut (a) Permasalahan kerusakan habitat mangrove yang

meluas akibat pemanfaatan yang merusak, (b) bentuk-bentuk pemanfaatan ramah

lingkungan yang dapat dilakukan dalam habitat mangrove, (c) kebijakan

pemerintah yang perlu dilakukan agar habitat mangrove di TN Kutai dapat

dimanfaatkan dengan menjaga kelestarian lingkungan.

Responden untuk deep interview dipilih secara sengaja (purposive

sampling) dari kelompok berikut:

(i) Pemerintah Daerah (Kepala Desa, Bappeda, Dinas Kelautan Perikanan),

(ii) Pengelola Taman Nasional Kutai (Kepala Balai TNK),

(iii) Pengelola perusahaan yang ada di dalam wilayah TNK (Pertamina).

B. Pengumpulan Data Sekunder

Data sekunder antara lain berupa literatur penunjang yang ditelusuri dari

hasil penelitian sebelumnya, data monografi Kecamatan Sangatta Selatan, data

statistik Badan Pusat Statistik, data dasar Balai Taman Nasional Kutai, Bappeda

Kabupaten Kutai Timur, dan data dari instansi lain yang terkait dengan penelitian

ini.

3.3.3 Analisis data sosial ekonomi masyarakat

A. Penentuan Jumlah Unit Responden

Jumlah sampel untuk responden ditentukan secara random proporsional

berlapis (Stratified Proporsional Random Sampling). Stratified Proporsional

Random Sampling merupakan salah satu satu cara pengambilan sampel

berdasarkan strata. Strata ditentukan dari jenis matapencaharian penduduk yang

terkait dengan ekosistem mangrove.

Page 84: scylla serrata

65

Jumlah unit sampel untuk responden petambak dan nelayan ikan

ditentukan berdasarkan persamaan estimasi proporsi sebagai berikut (Cochran

dalam Nazir 2003):

............................................................................ (1)

Keterangan :

n = jumlah unit sampel yang diinginkan, N = jumlah total jenis responden, D = B2 p/4 (B adalah bound of error = 0,10 ), dan (estimator dari proporsi populasi = 0,1).

Selanjutnya, pemilihan responden yang diambil sebagai obyek penelitian

ditentukan secara random sampling, untuk mengurangi subyektivitas. Responden

nelayan kepiting bakau, pedagang pengumpul kepiting bakau, dan pengambil

kebijakan, pemilihan responden sebagai obyek penelitian dilakukan secara sensus,

karena jumlah unit sampelnya kurang dari 25 orang. Prosedur penentuan jumlah

dan pemilihan responden dapat dilihat pada diagram Gambar 13.

Gambar 13 Bagan alir penentuan jumlah dan jenis responden.

Stratified Proporsional Random Sampling

n5=30 n3 = 7 n1 = 15

Pedagang pengumpul kepiting bakau

Nelayan kepiting bakau

Data Sosial Ekonomi

n4 = 17

Jenis Responden

Jumlah responden (sampel)

Sensus Pemilihan responden

47 23

N4= 32 N5= 160 N2=1

N1=15

Ukuran Sampel Sensus

Purposive Sampling

Nelayan lain petambak Pengambil

kebijakan

N3=7

n2 = 1

Page 85: scylla serrata

66

B. Analisis Pemanfaatan Sumberdaya Scylla serrata

Untuk mengetahui mata rantai sistem pemanfaatan sumberdaya S. serrata

di kawasan mangrove TN Kutai dilakukan penelusuran dengan melakukan

wawancara pada pengguna S. serrata. Responden yang digunakan dalam

wawancara ini adalah responden nelayan yang sama dengan yang digunakan

untuk kuisioner sosial ekonomi. Sebagai data pendukung dilakukan penelusuran

pada instansi-instansi yang terkait dengan sistem pemanfaatan S. serrata, antara

lain Dinas Kelautan Perikanan Kabupaten Kutai Timur dan Balai Karantina Ikan

Kelas I Sepinggan Balikpapan.

i. Pengumpulan Data Budidaya Pembesaran S. serrata

Budidaya pembesaran kepiting bakau yang akan dianalisis adalah

budidaya yang menggunakan metode sylvofishery, yaitu dengan cara

membesarkan kepiting bakau dalam karamba tancap dalam kawasan hutan

mangrove.

Lokasi untuk pembangunan kurungan tancap dipilih di dalam area rawa

mangrove yang berada pada kisaran pasang surut air laut, sehingga penggantian

air dalam kurungan dapat dilakukan setiap hari dengan mengikuti mekanisme

pasang surut air laut .

Dimensi dari kurungan tancap adalah 10 m x 20 m (200 m2

Di dalam kurungan tancap, digali saluran keliling dengan ukuran lebar

antara 0.6-0.9 m dan dalam 0.8 m. Suatu saluran kecil lebar 0.3 m dan dalam 0.3

m dibangun menyeberang dalam kurungan tancap itu. Tanah galian dari saluran

) dan tinggi

jaring adalah 2.5 meter untuk mencegah pemangsa (predator) dan untuk

mencegah kepiting melarikan diri. Jaring yang digunakan bermata jaring 1.25

inchi. Jaring didukung oleh tonggak pada tiap interval 3 meter. Tinggi tonggak 3

meter dengan 0.6 meter ditancapkan dalam tanah. Untuk penggunaan waring

sebagai pagar, pada bagian bawah waring tetap perlu ditancapkan papan sedalam

± 0.6 meter untuk mencegah kepiting melarikan diri dengan menggali lubang

dalam lumpur. Untuk mencegah masuknya hama/predator, pada bagian luar dari

jaring pagar dibuat pagar keliling dari bahan bambu yang dibelah. Tinggi pagar

bambu minimal sepanjang ukuran biawak terbesar, yaitu ± 1 meter.

Page 86: scylla serrata

67

keliling ditimbunkan di kaki pagar untuk membangun suatu jembatan. Saluran

keliling dihubungkan kepada inlet/outlet yang mengalir keluar kurungan tancap.

Sketsa pelaksanaan budidaya pembesaran kepiting bakau tersebut

disajikan pada Gambar 14.

Gambar 14 Sketsa sylvofishery pembesaran kepiting bakau.

Kepiting yang digunakan untuk stok benih pada budidaya ini dikumpulkan

dari penangkapan alam. Kepiting yang digunakan adalah kepiting yang berukuran

lebar karapas ± 60-80 mm. Berdasarkan hasil penelitian Triño (2002) tingkat

padat penebaran 1.5 ekor/m2 memberikan hasil tingkat survival yang paling tinggi

dan pertambahan berat yang tidak berbeda nyata dibandingkan kepadatan 0.5

ekor/m2, sehingga pada penelitian ini akan dilakukan padat penebaran sebanyak

1.5 ekor/m2

ii. Pengumpulan Data Penangkapan S. serrata

, atau 300 ekor/kurungan. Analisis budidaya dilakukan dengan

menghitung pertumbuhan kepiting bakau, dan tingkat kelulushidupan (survival

rate).

Data yang dikumpulkan dari nelayan berupa hasil tangkapan harian,

ukuran, jenis kelamin, lokasi tangkapan, jenis alat tangkap, lama upaya

menangkap, dan harga jual kepiting bakau.

Page 87: scylla serrata

68

Area penangkapan ditentukan pada 3 zona, sesuai dengan area operasional

3 jenis alat tangkap kepiting bakau yang digunakan, yaitu zona tengah hutan

mangrove (jenis alat pengait), zona depan hutan mangrove/pinggir pantai (jenis

alat rakkang), dan zona perairan pantai (jenis alat rengge). Sebaran alat tangkap

kepiting bakau pada area hutan mangrove disajikan pada Gambar 15.

Gambar 15 Sebaran lokasi alat tangkap kepiting di area hutan mangrove TN Kutai

C. Perkiraan Pendapatan dari Pemanfaatan Scylla serrata

i. Budidaya sylvofishery Scylla serrata

Produksi kepiting bakau merupakan stok yang menjadi sumber pendapatan

bagi masyarakat. Produksi kepiting S. serrata diperoleh dari produksi budidaya

sylvofishery dan produksi hasil tangkapan. Bila produksi ini dikalikan harga, maka

akan diperoleh sebagai keuntungan (π). Keuntungan dihitung sebagai Total

Revenue (TR) dikurangi Total Cost (TC). Sehingga diperoleh formula berikut:

................................................................................. (2)

................................................................................ (3)

ÊÚÊÚ

ÊÚÊÚ

ÊÚ

ÊÚ

ÊÚ

ÊÚÊÚ

ÊÚÊÚ

ÊÚ

ÊÚ

ÊÚ

ÊÚ

c

c

c

A_Muara Sangatta

B_Teluk Perancis

C_Muara Sangkima

SELAT MAKASSAR

0°18' 0°18'

0°21' 0°21'

0°24' 0°24'

0°27' 0°27'

117°30'

117°30'

117°33'

117°33'

117°36'

117°36'

117°39'

117°39'

117°42'

117°42'

2 0 2 Kilometers

N

SARAWAKKALIMANTAN TIMUR

LEGENDA:

mangrovenipahArea lain TNKtambakvegetasi pantai

ÊÚ pengait

ÊÚ rakkang

ÊÚ rengge/gillnet

Batas TNKc Stasiun utama

disusun oleh:Nirmalasari Idha WijayaSekolah Pascasarjana

Institut Pertanian Bogor

sumber peta:1. Peta Dasar TNK2. Survei Lapangan

Page 88: scylla serrata

69

π = keuntungan TR = total revenue (penerimaan total) TC = total cost (biaya total) Pγ = harga per satuan produk kepiting (Rp/kg)

Y = total produksi kepiting (kg) Px = harga per satuan input

(Rp/unit) Xi = jumlah input yang digunakan

ii. Penangkapan Scylla serrata

Analisis pendapatan dari penangkapan S. Serrata dilakukan untuk

mengetahui keuntungan per bulan yang diperoleh nelayan S. Serrata. Keuntungan

ini didapat berdasarkan nilai pasar dari suatu komoditi atau jumlah hasil produksi.

Prakiraan keuntungan ekonomi tidak dapat dihitung langsung tetapi diperkirakan

melalui perhitungan pendapatan per unit effort (RPUE), dengan persamaan yang

dimodifikasi dari Bene & Tewfik (2000) berikut:

...................................................................................... (4)

RPUEj

CPUE

= pendapatan per unit effort pada bulan ke- j (asumsi untuk mencerminkan pendapatan yang diperoleh pengumpul pada setiap bulan),

j

P = harga S. serrata yang berlaku.

= hasil tangkap per unit usaha pada bulan ke- j (asumsi untuk mencerminkan ketersediaan S. serrata pada setiap bulan), dan

Nilai CPUEj

..................................................................................... (5)

didapat dengan memanfaatkan persamaan:

Cj = hasil tangkap pada hari ke- j dan Ej

iii. Analisis Kelayakan Usaha

= jumlah upaya pada hari ke- j.

Analisis kelayakan usaha mencakup pada perhitungan penentuan biaya

investasi, biaya operasional dan penerimaan. Analisis ini menggunakan

kriteria Revenue Cost Ratio (R/C), Net Benefit (π), Net Present Value (NPV),

dan Net Benefit Cost Ratio (Net B/C).

a).

Analisis ini digunakan untuk melihat layak atau tidaknya suatu usaha yang

dilakukan dengan membandingkan penerimaan dengan biaya produksi selama

periode waktu tertentu (satu musim tanam). Secara matematis R/C dituliskan:

Revenue Cost Ratio (R/C)

R/C = TR/TC ............................................................................... (6)

Dimana: TR = total penerimaan (Total Revenue)

TC = total pengeluaran (Total Cost)

Page 89: scylla serrata

70

0)()1(

)(

0)()1(

)(

/

1

0

<−+−

>−+−

=

=

=

tt

n

tttt

tt

n

tttt

CBuntukiBC

CBuntukiCB

CNetB

Kriteria Usaha: R/C > 1, usaha menguntungkan

R/C = 1, usaha impas

R/C < 1, usaha merugikan

b).

Net Present Value (nilai saat ini) adalah nilai kini dari keuntungan bersih

yang akan diperoleh di masa yang akan datang. NPV merupakan selisih antara

present value dari manfaat dengan present value dari biaya. Secara matematis

NPV dapat dituliskan:

NPV = ............................................................................ (7)

B

Net Present Value (NPV)

t = Manfaat pada tahun ke-t Ct

c).

= Biaya pada tahun ke-t r = Tingkat bunga diskonto (discount rate) n = umur ekonomis t = 0, 1, 2, 3..... tahun ke-n

Kriteria Usaha: NPV > 1, usaha layak untuk dilaksanakan

NPV = 1, pengembalian sebesar opportunity cost modal

NPV < 1, usaha tidak layak dilakukan

Net B/C merupakan perbandingan nilai sekarang dari keuntungan suatu

usaha dengan biaya investasi pada awal usaha. Untuk menghitung nilai net B/C

digunakan persamaan berikut:

Net Benefit Cost Ratio (Net B/C)

......................................... (8)

Bt

C = Manfaat pada tahun ke-t

t

r = Tingkat bunga diskonto (discount rate) = Biaya pada tahun ke-t

n = umur ekonomis t = 0, 1, 2, 3..... tahun ke-n

Kriteria Usaha: Net B/C > 1, usaha layak untuk dilaksanakan

Net B/C = 1, usaha perlu ditinjau kembali

Net B/C < 1, usaha tidak layak dilakukan

∑= +

−n

tttt

rCB

0 )1()(

Page 90: scylla serrata

71

3.4 Analisis Status Ekologi dan Daya Dukung Lingkungan

Aspek ekologi dilakukan dengan melakukan analisis vegetasi, analisis

makrozoobenthos, analisis serasah mangrove, dan analisis fisik kimia lingkungan.

Untuk fisik-kimia dilakukan analisis kondisi fisik-kimia substrat sedimen dan

perairan hutan mangrove, meliputi: data suhu air, salinitas air, oksigen terlarut

(DO), Biological Oxygen Demand (BOD), pH air dan pH substrat, tekstur

substrat, dan pasang surut air laut.

3.4.1 Pengumpulan dan Analisis Data Vegetasi Mangrove di TNK

A. Pengumpulan Data Vegetasi Mangrove

Pengumpulan data vegetasi hutan mangrove terbagi atas jalur-jalur di

sepanjang garis pantai dan sungai besar yang ditentukan secara sengaja sesuai

dengan tujuan penelitian dan kondisi di lapangan (purposive sampling), yang

dianggap representatif mewakili tegakan mangrove di TNK.

Tujuan dari analisis vegetasi ini adalah untuk mengetahui kerapatan

tegakan mangrove, jenis dan keanekaragaman jenis mangrove yang terdapat di

TNK. Pengukuran vegetasi dilakukan dengan dua pola yaitu: pengambilan data

untuk pancang/anakan, dan pohon dewasa. Perhitungan dilakukan dengan cara

menghitung dan mencatat jumlah masing-masing spesies yang ada dalam setiap

petak dan mengukur diameter pohon.

Data komunitas mangrove dikumpulkan pada tiap stasiun dengan

menggunakan metode line plots transect (English et al. 1997). Prosedur yang

dilakukan adalah:

• Ditarik garis tegak lurus garis pantai, mulai dari batas garis pantai ke arah

belakang hutan mangrove,

• Di sepanjang garis transek dibuat petak pengamatan berukuran 10 x 10 m

untuk kategori pohon (diameter >10 cm), 5 x 5 m untuk kategori anakan

(diameter 2-10 cm).

Metode transek kuadrat (garis berpetak) dilakukan dengan cara melompati

satu atau lebih petak-petak dalam jalur sehingga sepanjang garis rintis terdapat

petak-petak pada jarak tertentu yang sama, seperti pada Gambar 16.

Page 91: scylla serrata

72

Gambar 16 Skema penempatan petak contoh. Keterangan:

A: Petak pengamatan pacang (5 x 5 m)

B: Petak pengamatan pohon (10 x 10 m)

Data vegetasi yang dicatat terdiri dari jumlah pohon, pacang dan semai serta

jenis pohon, data diameter pohon dan tinggi pohon. Sepanjang jalur transek

dilakukan pengukuran parameter-parameter lingkungan, yaitu suhu, salinitas, dan

pH. Selain itu dilakukan pengamatan dan pencatatan tipe substrat (lumpur, lumpur

berpasir, lempung, pasir, liat, dsb).

B. Analisis Data Vegetasi Mangrove

Karakteristik habitat mangrove akan dianalisis dengan perangkat Sistem

Informasi Geografis (SIG) menggunakan software Ermapper 6.4. Zonasi vegetasi

mangrove akan dibuat berdasarkan analisis citra di kawasan mangrove TNK. Citra

yang digunakan dalam penelitian ini adalah Terra-ASTER tahun 2005. Hasil

analisis citra akan digunakan sebagai dasar penentuan stasiun pengamatan untuk

observasi lapangan.

Pada observasi lapangan akan dilakukan pengamatan dan pengukuran pada

vegetasi mangrove dan kualitas perairan di sekitarnya. Analisis dilakukan untuk

mengetahui kerapatan vegetasi, jenis dominan, dan INP dari tiap jenis vegetasi.

Kerapatan

................................................ (9)

= Jumlah individu dari spesies yang terdapat dalam titik pengambilan

contoh dibagi dengan luas areal pengambilan contoh.

A

B

A

B

10 m Arah rintis

100%xjenissemuaKerapatan

jenissatuKerapatanKR =

Page 92: scylla serrata

73

3.4.2 Pengumpulan dan Analisis Data Produksi Serasah Mangrove

A. Pengumpulan Data Produksi Serasah Mangrove

Pengumpulan serasah mangrove dilakukan dengan prosedur sebagai

berikut:

• Dua buah jala penampung serasah ditempatkan pada petak pengamatan pada

tiap stasiun.

• Serasah kemudian dikering-anginkan dan selanjutnya dikeringkan pada oven

bersuhu 80ºC dan ditimbang bobotnya.

• Penampungan dilakukan selama 15 hari setiap 6 bulan untuk mewakili

musim.

B. Analisis Data Produksi Serasah Mangrove

Untuk menganalisa rata-rata produksi serasah pada setiap stasiun

digunakan rumus (Sasekumar & Loi 1983):

TL = L * (A/a) .................................................................................... (10)

TL = bobot total serasah (kg) L = rata-rata bobot serasah tiap perangkap (kg) A = luas areal penelitian (m2

a = ukuran perangkap serasah (m)

2

)

3.4.3 Pengumpulan dan Analisis Data Makrozoobenthos

A. Pengumpulan Data Makrozoobenthos

Pengumpulan makrozoobenthos dilakukan dengan prosedur sampling

sebagai berikut:

• Dibuat petak pengamatan berukuran 1 x 1 m

• Pada tiap petak pengamatan dilakukan pengumpulan organisme

makrozoobenthos, baik yang termasuk epifauna maupun fauna pohon.

• Organisme yang diperoleh dari hasil pengumpulan diklasifikasi dan dihitung

jumlahnya, selanjutnya sampel dikoleksi.

• Sampel koleksi diawetkan dengan larutan formalin 10% dan selanjutnya

diidentifikasi dengan berpedoman pada buku identifikasi (Kozloff 1987;

Lovett 1981; Suwignyo et al. 2005; Sowerbys 1996) .

Page 93: scylla serrata

74

B. Analisis Data Makrozoobenthos

Untuk menganalisa kelimpahan jenis organisme makrozoobenthos

digunakan rumus (Brower et al. 1990):

............................................................................................. (11)

Ni

Σ n = kelimpahan individu atau jenis ke-i (ind/ha)

i

A = luas daerah pengambilan contoh (ha) = jumlah individu atau jenis ke-i (ind)

3.4.4 Pengumpulan dan Analisis Data Kualitas Perairan

A. Pengumpulan Data Kualitas Perairan

Pengukuran parameter fisika dan kimia lingkungan dilakukan langsung di

lapangan pada tiap stasiun pengamatan secara acak dengan pengulangan pada tiap

periode musim yang berbeda (kemarau dan penghujan). Parameter yang akan

diamati adalah: suhu air, salinitas air dan , pH air dan pH substrat, tekstur substrat,

DO, dan BOD.

B. Analisis Data Kualitas Perairan Habitat Mangrove

Kualitas perairan habitat mangrove dianalisis di Laboratorium Kualitas Air

Fakultas Perikanan Universitas Mulawarman Samarinda. Hasil analisis diolah

dengan menggunakan software excel 2007 untuk melihat statistik deskriptifnya.

3.4.5 Analisis Hubungan Sebaran Spasial S. serrata dengan Karakteristik Vegetasi Mangrove

Analisa karakteristik habitat kepiting bakau berdasarkan variasi parameter

biofisik dan kimia lingkungan pada tiap stasiun, dianalisa dengan menggunakan

Analisis Komponen Utama (Principal Komponen Analysis/PCA) (Bengen 2000).

Analisis Koresponden ini bertujuan untuk mencari hubungan yang erat

antara modalitas dari dua karakter atau variabel pada variabel matrik data

kontingensi serta mencari hubungan yang erat antara seluruh modalitas karakter

dan kemiripan antar individu berdasarkan konfigurasi pada tabel atau matrik data

disjongtif lengkap (Bengen 2000).

ANi

∑= in

Page 94: scylla serrata

75

3.4.6 Penilaian Daya Dukung Lingkungan

Daya dukung lingkungan untuk sumberdaya kepiting bakau diduga dengan

pendekatan indeks kesesuaian habitat (Habitat Suitability Index/HSI). HSI adalah

sebuah angka indeks yang mencerminkan kapasitas habitat yang diberikan untuk

mendukung spesies yang dipilih. HSI menggambarkan kesesuaian habitat yang

diberikan oleh kombinasi interaksi dari semua variabel lingkungan kunci pada

spesies.

Variabel habitat, yang dapat dianggap sebagai stressor, diberi bobot

kesesuaian dengan skor 1 untuk habitat yang optimal dan 0 untuk habitat yang

tidak cocok. HSI menggabungkan nilai ini menjadi satu yang memprediksi indeks

kemampuan dari habitat untuk mendukung spesies. Jadi pada dasarnya, HSI

adalah untuk mengukur daya atau ukuran populasi yang dapat didukung oleh

sumber daya yang tersedia di habitat tersebut.

Pada penelitian ini, HSI diterapkan untuk siklus hidup kepiting bakau

Scylla serrata muda (juvenil) dan dewasa yang sudah dapat dimanfaatkan oleh

manusia, dan juga berdasarkan asumsi bahwa di habitat mangrove tidak

ditemukan kepiting pada siklus larva (zoea) dan megalopa. Sehingga komponen

kebutuhan hidup yang akan digunakan untuk menilai daya dukung habitat adalah

yang sesuai dengan kebutuhan hidup kepiting muda dan dewasa, yaitu komponen

kualitas air, komponen substrat, dan komponen vegetasi.

Variabel-variabel dari ketiga komponen tersebut adalah oksigen terlarut

(V1), Biological Oxygen Demand (V2), salinitas air (V3), temperatur air (V4), pH

air (V5), pH substrat (V6), pasang surut air laut (V7), tekstur substrat (V8),

kepadatan makrozoobenthos (V9), jenis vegetasi (V10), kerapatan vegetasi (V11),

dan produksi serasah (V12

Penilaian untuk masing-masing variabel dilakukan dalam dua tahap, yaitu:

).

1) Memberikan skor 0 sd. 1, untuk hasil pengukuran kualitas lingkungan masing-

masing variabel sesuai dengan standar SI kebutuhan hidup kepiting S. serrata,

yang telah disusun berdasarkan penelitian sebelumnya (lihat Lampiran 18)

2) Memberikan bobot variabel 0 sd. 1, yang dilakukan dengan cara

membandingkan ke-12 variabel tersebut mana yang paling besar pengaruhnya

bagi kehidupan S. serrata. Variabel yang paling besar pengaruhnya akan

Page 95: scylla serrata

76

diberi bobot tertinggi, yaitu 1. Semakin kecil pengaruhnya, bobot akan

semakin berkurang.

oksigen terlarut (V1)

pH substrat (V6)

jenis vegetas (V10)

kepadatan makrozoobe

nthos (V9)

Pasut air laut (V7)

fraksi substrat (V8)

kerapatan vegetasi

(V11)

pH air (V5)

BOD (V2)

produksi serasah (V12)

Komponen kualitas air

Komponen vegetasi

Komponen substrat

Habitat mangrove HSI

salinitas air (V3)

temperatur air (V4)

Gambar 17 Hubungan antara variabel habitat dengan kebutuhan hidup untuk HSI

kepiting bakau Scylla serrata (juvenil dan dewasa)

Nilai SI untuk masing-masing komponen dihitung dari hasil perkalian

bobot dengan skor. Nilai SI untuk tiap komponen dihitung secara Geometrik

Mean Model dan hubungan antara nilai indeks kesesuaian (SI) dari masing-

masing variabel (lihat Lampiran 19) dengan nilai HSI dirumuskan sebagai berikut

(Mulholland 1984; Chen et al. 2009):

Komponen

Kualitas Air (KA)

Formula

(SIV1 x SIV2 x SIV3 x SIV4 x SIV5)

Substrat (Su)

1/5

(SIV6 x SIV7 x SIV8 x SIV9) ¼

Vegetasi (Veg)

(x SIV10 x SIV11 x SIV12) ⅓

HSI = (KA + Su + Veg) / 3

HSI = Indeks Kesesuaian Habitat Su = SI komponen substrat

.................................................. (12)

KA = SI komponen kualitas air Veg = SI komponen vegetasi

Page 96: scylla serrata

77

Selanjutnya HSI dari masing-masing area mangrove akan dikalikan

dengan biomass kepiting bakau berdasarkan angka kelimpahan individu maksimal

yang diperoleh selama penelitian. Dengan demikian, akan diperoleh daya dukung

yang berupa jumlah biomassa kepiting yang dapat didukung oleh setiap hektar

kawasan. Dalam formula:

............................................................. (13)

CCi = Daya dukung area ke-i (ind/ha) LLi

HSI

= Luas Lahan area ke-i (ha)

i = indeks kesesuaian lahan area ke-i Nimax

pada area ke-i (ind)

= Kelimpahan individu maksimum

3.5 Analisis Status Biologi Scylla serrata

Aspek biologi kepiting bakau di TNK dikaji dengan melihat parameter

pertumbuhan, kelimpahan, sebaran ukuran, pola distribusi spasial dan temporal,

serta laju eksploitasi kepiting bakau.

3.5.1 Pengumpulan dan Analisis Data Biologi Scylla serrata

Pengumpulan data biologi Scylla serrata dilakukan berdasarkan data

primer. Data primer diperoleh dari observasi terhadap kepiting bakau oleh peneliti

yang dilakukan selama 8 bulan (4 bulan di musim hujan dan 4 bulan di musim

kemarau), pada lokasi tiga stasiun pengamatan yang dipilih sesuai karakteristik

habitat mangrove. Data yang dikumpulkan berupa hasil tangkapan harian, sebaran

ukuran, jenis kelamin, lokasi tangkapan, jenis alat tangkap, lama upaya

menangkap, dan musim.

3.5.2 Analisis Hubungan Panjang dan Bobot

Hubungan panjang-bobot digambarkan dalam dua bentuk yaitu isometrik

dan alometrik (Hile dalam Effendie 1979). Untuk kedua pola ini berlaku

persamaan:

W = aLb

W = bobot individu kepiting dalam gram;

.................................................................................... (14)

L = lebar karapas kepiting dalam mm; a = intersep (perpotongan kurva hubungan panjang-bobot dengan sumbu y; b = Penduga pola pertumbuhan panjang-bobot

Page 97: scylla serrata

78

Untuk mendapatkan persamaan linier atau garis lurus digunakan

persamaan sebagai berikut :

Ln W = Ln a + b Ln L .............................................................. (15)

Untuk mendapatkan parameter a dan b, digunakan analisis regresi dengan

Ln W sebagai Y dan Ln L sebagai X, maka didapatkan persamaan regresi :

Y = a + b X

Untuk menguji nilai b = 3 atau b ≠ 3 dilakukan uji -t (uji parsial), dengan

hipotesis :

H0 : b = 3, hubungan panjang dengan berat adalah isometrik.

H1 : b ≠ 3, hubungan panjang dengan berat adalah allometrik, yaitu:

Allometrik positif, jika b > 3 (pertambahan berat lebih cepat daripada

pertambahan panjang).

Allometrik negatif, jika b < 3 (Pertambahan panjang lebih cepat daripada

pertambahan berat).

t hitung = b1-b0/Sb1

Keterangan : b1 : b (dari hubungan panjang berat)

b0 : 3

Sb1 : Simpangan koefisien b

Bandingkan nilai t hitung dengan nilai t tabel pada selang kepercayaan

95%. Selanjutnya untuk mengetahui pola pertumbuhan kepiting, kaidah keputusan

yang diambil adalah :

t hitung > t tabel : tolak hipotesis nol (Ho)

t hitung < t tabel : gagal tolak hipotesis nol (Ho)

3.5.3 Analisis Data Kelompok Ukuran

Pendugaan kelompok ukuran dilakukan dengan menganalisis data

frekuensi panjang. Data frekuensi panjang dianalisis menggunakan program

Bhattacharya’s Method yang dikemas dalam paket program FISAT II (FAO-

ICLARM Stock Assessmet Tool). Ukuran panjang diasumsikan menyebar normal.

Page 98: scylla serrata

79

Kelompok ukuran diperoleh dengan memisahkan data frekuensi panjang ke dalam

kelompok-kelompok dengan panjang rata-rata tertentu serta simpangan bakunya.

Data yang digunakan dalam penentuan distribusi frekuensi panjang adalah

data lebar karapas dari kepiting di Muara Sangkima, Muara Sangatta dan Teluk

Perancis. Tahap untuk menganalisis data frekuensi lebar karapas kepiting yaitu :

b. Menentukan selang kelas yang diperlukan menggunakan rumus Walpole

(1990).

c. Menentukan lebar selang kelas.

d. Menentukan kelas frekuensi dan memasukkan frekuensi masing-masing

dengan memasukkan masing-masing lebar karapas kepiting pada selang

kelas yang telah ditentukan.

e. Distribusi frekuensi lebar karapas kepiting yang telah ditentukan dalam

selang kelas yang sama kemudian diplotkan dalam sebuah grafik. Pada

grafik tersebut dapat dilihat pergeseran distribusi kelas lebar karapas.

Pergeseran distribusi frekuensi lebar karapas menggambarkan jumlah

kelomppok umur (kohort) yang ada. Bila terjadi pergeseran modus

distribusi frekuensi lebar karapas berarti terdapat lebih dari satu kohort.

3.5.4 Analisis Data Parameter Pertumbuhan

Plot-Walford merupakan salah satu metode paling sederhana dalam

menduga parameter pertumbuhan L∞ dan K dari persamaan von Bertalanffy

dengan interval waktu pengambilan contoh yang sama (King 1997). Berikut ini

adalah persamaan pertumbuhan von Bertalanffy.

Lt = L∞ (1-e[-K(t-t0)]

L

) ................................................................... (16)

t

L: Panjang ikan pada saat umur t (satuan waktu)

K : Koefisien pertumbuhan (per satuan waktu) : Panjang maksimum secara teoritis (panjang asimtotik)

t0

Penurunan plot Ford-Walford didasarkan pada persamaan pertumbuhan

von Bertalanffy dengan t

: umur teoritis pada saat panjang sama dengan nol

0

L

sama dengan nol, maka persamaannya menjadi sebagai

berikut.

t = L∞(1-e[-K(t-t0)]

L

) .................................................................................... (17)

t = L∞ - L∞ e [-Kt]

Page 99: scylla serrata

80

L∞ - Lt = L∞ e

Setelah L

[-Kt]

t+1

L

disubtitusikan ke dalam persamaan (9) maka diperoleh

perbedaan persamaan baru tersebut dengan persamaan (9) seperti berikut.

t+1 – Lt = L∞ (1-e[-K(t+1)]) - L∞ e [-Kt]

= -L∞ e

) ............................................................. (18) [-K(t+1)] + L∞ e [-Kt]

= L∞ e [-Kt] (1-e[-K]

Persamaan (18) disubtitusikan ke dalam persamaan (19) sehingga diperoleh

persamaan sebagai berikut.

) ............................................................................... (19)

Lt+1 – Lt = L∞ e [-Kt] (1-e[-K]

= L∞ (1-e

) [-K]) – L1 + Lt e[-K]

= L∞ (1-e[-K]) + Lt e[-K]

Persamaan (12) bentuk persamaan linier dan jika L

............................................................. (20)

t (sumbu x) diplotkan

terhadap Lt+1 (sumbu y) maka garis lurus yang berbentuk akan memiliki

kemiringan (slope) (b) = e[-K]. Lt dan Lt+1

Umur teoritis kepiting pada saat lebar karapas sama dengan nol dapat

diduga secara terpisah menggunakan persamaan empiris Pauly (Pauly dalam

Sparre & Venema 1999) sebagai berikut.

merupakan lebar karapas kepiting pada

saat t dan lebar karapas kepiting yang dipisahkan oleh interval waktu yang

konstan (Pauly dalam Sparre & Venema 1999). Nilai L∞ dan K didapatkan dari

hasil perhitungan dengan metode ELEFAN I (Electronic Length Frequencys

Analisis) yang terdapat dalam program FISAT II.

Log (-t0

) = 0.3922 – 0.2752 (Log L∞) – 1.038 (Log K) ................................... (21)

3.5.5 Pendugaan Laju Eksploitasi Scylla serrata

Data primer berupa data frekuensi lebar karapas kepiting bakau Scylla

serrata digunakan untuk menduga laju eksploitasi kepiting bakau. Pendugaan laju

eksploitasi S. serrata dilakukan dengan menggunakan data parameter-parameter

pertumbuhan kepiting bakau yang telah dihitung sebelumnya.

Setelah parameter-parameter pertumbuhan kepiting bakau diketahui maka

dilakukan pendugaan laju mortalitas (Z) berdasarkan persamaan Beverton & Holt

(Sparre & Venema 1999) sebagai berikut:

Page 100: scylla serrata

81

.............................................................................................. (22)

Di mana L adalah panjang rata-rata ukuran, L’ adalah panjang di mana semua

kepiting bakau pada ukuran tersebut dan lebih panjang berada pada penangkapan

penuh. L’ dapat pula dianggap sebagai batas kelas bawah dari interval kelas

panjang (Sparre & Venema 1999).

Selanjutnya untuk pendugaan laju mortalitas alami (M) diduga dengan

menggunakan rumus empiris Pauly dalam Sparre & Venema (1999) sebagai

berikut:

Log M = -0.0066-0.279*Log L +0.6543*Log K +0.4634*LogT ................... (23)

T adalah temperatur perairan.

Nilai Z dan M digunakan untuk menduga kematian kepiting bakau akibat

penangkapan (F) dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:

F = Z – M .................................................................................... (24)

Berdasarkan nilai Z dan F maka laju eksploitasi kepiting bakau (E) dapat

diduga dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :

ZFE = ................................................. (25)

Z = total laju mortalitas (per tahun)

M = laju mortalitas alami (per tahun)

F = laju mortalitas penangkapan (per tahun)

E = laju eksploitasi (per tahun)

3.5.6 Penghitungan Yield per Rekrut Relatif (Y/R) dan Biomass per Rekrut (B/R)

Setelah diketahui nilai laju eksploitasi, maka selanjutnya dapat dihitung

nilai Yield per Rekrut (Y/R). Dalam pengelolaan perikanan, adalah penting untuk

menentukan perubahan dalam Y/R untuk nilai F yang berbeda-beda. Nilai Y/R ini

digunakan untuk mendeteksi apakah penangkapan kepiting bakau di TNK sudah

melebihi atau masih dibawah kemampuan rekruitnya.

Asumsi yang melatarbelakangi pendekatan Model Tangkapan per Rekruit

Beverton dan Holt ini adalah:

(1) Rekruitmen konstan.

(2) Semua ikan dalam satu kohort lahir pada saat yang sama.

( )( )'LL

LLKZ−−∞

=

Page 101: scylla serrata

82

(3) Rekruitmen dan seleksi berbentuk ”mata pisau”.

(4) Mortalitas alami dan mortalitas tangkap konstan sejak kohort tersebut

masuk ke fase ekploitasi.

(5) Terjadi pencampuran sempurna dalam stok.

(6) Hubungan panjang-bobot berpangkat 3, yaitu W=qL3

Daur hidup satu kohort dalam Model Model Beverton & Holt ini diasumsikan

sebagai berikut:

.

(1) Pada umur tr

(2) Dari umur t

semua ikan dalam satu kohort tertentu masuk ke daerah

tangkap pada saat yang sama: ”rekruitmen mata pisau”.

r sampai umur te, kohort tersebut tidak mengalami mortalitas

tangkap. Semua ikan antara umur tr dan te

(3) Pada umur t

bisa lolos jika masuk ke dalam

alat tangkap. Dengan demikian pada periode itu, ikan-ikan tersebut hanya

mengalami mortalitas alami, M, yang dianggap konstan selama masa

hidup kohort.

e

Persamaan Y/R dapat ditulis sesuai dengan saran Gulland dalam Sparre &

Venema (1999) sbb:

, umur saat pertama kali tertangkap, kohort tersebut dianggap

mengalami mortalitas tangkap penuh, F, yang konstan selama sisa hidup

kohort tersebut.

..................................... (26)

Beberapa parameter yang menentukan hasil tangkap per rekruit

dikendalikan secara biologi, yaitu K, W∞ and M. Namun demikian, dua diantara

parameter-parameter tersebut, yaitu laju mortalitas tangkap/F (proporsional

terhadap upaya) dan umur saat pertama tertangkap/te (fungsi dari selektivitas alat

tangkap), pada dasarnya dapat dikendalikan oleh otoritas pengelolaan perikanan.

Analisis hasil tangkap per upaya dapat memberikan gambaran konsekwensi dari

pilihan F dan te

Model Biomasa per Rekruit (Beverton & Holt dalam Sparre & Venema

1999) menyatakan biomasa rata-rata dalam tahunan dari ikan- ikan yang hidup

sebagai suatu fungsi dari mortalitas penangkapan (atau upaya). Biomasa rata-rata

berhubungan dengan hasil tangkapan per unit usaha dengan persamaan

CPUE(t) = q*N(t).

yang berbeda.

Page 102: scylla serrata

83

Apabila dilakukan penambahan bobot pada kedua sisi menjadi:

.................................. (27)

Nilai E (tingkat eksploitasi) pada kurva Y/R dan B/R didapatkan dari hasil

perhitungan Y/R dan B/R relatif yang terdapat dalam program FISAT II.

3.6 Identifikasi Sistem Pengelolaan Kepiting Bakau S. Serrata di TNK

Pendekatan sistem merupakan cara penyelesaian persoalan yang dimulai

dengan dilakukannya identifikasi terhadap sejumlah kebutuhan, sehingga dapat

menghasilkan suatu operasi dari sistem yang dianggap efektif. Dalam pendekatan

sistem umumnya ditandai oleh dua hal, yaitu: 1) mencari semua faktor penting

yang berpengaruh, dalam rangka mendapatkan solusi untuk mencapai tujuan, 2)

adanya model untuk membantu pengambilan keputusan, sehingga permasalahan

yang kompleks dapat diselesaikan secara komprehensif (Eriyatno 2003).

Pendekatan sistem pemanfaatan kepiting bakau di ekosistem mangrove

TNK dimulai dengan identifikasi sistem. Identifikasi sistem merupakan suatu

rantai hubungan antara pernyataan dari kebutuhan dengan pernyataan khusus dari

masalah yang harus dipecahkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Hal ini

sering digambarkan dalam bentuk diagram lingkar sebab akibat (causal loop)

(Eriyatno 2003).

Identifikasi sistem dilakukan dengan pemilihan variabel-variabel yang

berpengaruh dalam pemanfaatan kepiting (system boundary). Variabel tersebut

dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu indigenous (variabel dari dalam sistem yang

merupakan variabel kunci), exogenous (variabel dari dalam sistem yang tidak

Page 103: scylla serrata

84

secara langsung berpengaruh terhadap pemanfaatan kepiting), dan excluded

(variabel dari luar sistem yang mempengaruhi pemanfaatan kepiting) (Ford

1999).

Pemilihan tema dan variabel kunci merupakan bagian dari tahapan

pendekatan sistem, sehingga berdasarkan pendekatan sistem yang telah dilakukan

tersebut dapat dibuat suatu diagram sebab akibat (causal loop diagrams).

Diagram tersebut merupakan pengungkapan interaksi antara komponen di dalam

sistem yang saling berinteraksi dan mempengaruhi kinerja sistem.

CLD (causal loop diagrams) dapat digunakan untuk membangun struktur

model yang memudahkan secara visual bagi pengguna model dalam memahami

dan menangkap hipotesis sistem yang dimaksud. Struktur model dilanjutkan

dengan membangun diagram alir dengan alat SFD (stock-flow diagrams) untuk

menghantar pada tahap simulasi. Sebelum membangun diagram alir, harus

dipahami dahulu variabel atau parameter yang akan dijadikan stock (akumulasi)

dan flow (aliran) yang dapat mengubah nilai stock.

3.6.1 Membangun Diagram Kausal dan Diagram Alir

Model pemanfaatan kepiting bakau disusun dari 5 submodel, yaitu

submodel habitat mangrove, submodel penangkapan kepiting, submodel budidaya

pembesaran kepiting, submodel pasar, dan submodel sosial (Gambar 18).

3.6.2 Submodel Habitat Mangrove

Mangrove sebagai habitat kepiting sangat besar pengaruhnya terhadap

kelimpahan populasi kepiting di kawasan mangrove TNK. Pertumbuhan populasi

kepiting membutuhkan kualitas ekosistem mangrove dan kualitas perairan yang

mendukung. Kualitas ekosistem mangrove sangat dipengaruhi oleh sistem sosial

dan sistem ekologi yang terkait dengan ekosistem mangrove tersebut. Kerusakan

ekosistem mangrove saat ini banyak terjadi akibat ekstraksi mangrove untuk

pemenuhan kebutuhan masyarakat, sehingga perlu mengetahui bagaimana

pola pemanfaatan mangrove di TNK yang mengakibatkan terjadinya alih fungsi

lahan.

Page 104: scylla serrata

85

Selain itu sistem sosial juga menghasilkan limbah, yang dampaknya dapat

mempengaruhi kualitas biofisik dalam ekosistem mangrove. Kualitas biofisik

dipengaruhi juga oleh kualitas perairan, kualitas substrat, jenis dan kerapatan

vegetasi, dan produksi serasah mangrove. Diagram alir submodel habitat

mangrove dapat dilihat pada Gambar 18.

Submodel mangrove dibangun dari elemen luas mangrove, zona

pemanfaatan mangrove, laju perluasan mangrove yang dipengaruhi oleh laju

konversi dan laju penambahan luas mangrove, kondisi habitat yang

mempengaruhi indeks kesesuaian lingkungannya (HSI), dan pengaruh tingkat

kesadaran lingkungan terhadap konversi mangrove.

Luas areal mangrove akan meningkat atau menurun dipengaruhi oleh laju

perluasan mangrove. Laju perluasan mangrove sendiri akan naik atau turun

dipengaruhi oleh besarnya konversi mangrove menjadi penggunaan lain dan

penambahan luas mangrove oleh akresi atau pun kegiatan rehabilitasi mangrove.

Bila laju konversi mangrove lebih besar dibanding laju penambahannya,

maka yang terjadi adalah stok luas mangrove akan terus menerus menurun.

Untuk itu perlu adanya perbaikan pola pemanfaatan mangrove yang merusak

(mengkonversi mangrove) agar laju konversi ini dapat diturunkan, bahkan bila

perlu tidak terjadi konversi mangrove lagi. Perbaikan pola pemanfaatan mangrove

diharapkan dapat terjadi bila ada peningkatan kesadaran masyarakat untuk

menjaga lingkungan mangrove.

Luas zona pemanfaatan mangrove merupakan implikasi dari kebijakan

yang mengijinkan adanya pemanfaatan terbatas di kawasan Taman Nasional

Kutai. Kebijakan ini dapat berupa persentase kawasan TN yang akan dialokasikan

untuk pemanfaatan. Dahuri (2003) mengusulkan 20% dari kawasan yang

dilindungi dapat digunakan untuk pemanfaatan terbatas. Interfensi kebijakan ini

sangat besar pengaruhnya dalam pola pemanfaatan mangrove, karena akan

mempengaruhi besarnya daya dukung kawasan, pada penelitian ini daya dukung

untuk budidaya sylvofishery.

Selain luasnya zona pemanfaatan, daya dukung budidaya sylvofishery juga

sangat dipengaruhi oleh kualitas lingkungan, yang digambarkan dengan indeks

kesesuaian lingkungan (HSI). HSI terdiri atas komponen-komponen: kualitas

Page 105: scylla serrata

86

perairan, kualitas tekstur substrat, dan kualitas vegetasi. Bila kondisi lingkungan

cukup baik, maka HSI juga akan meningkat.

Page 106: scylla serrata

Gambar 18 Diagram kausal model konseptual pemanfaatan kepiting bakau di kawasan mangrove TNK

Stok KepitingBakau

Luas ZonaPemanfaatan Mangrove

Kualitas BiofisikHutan Mangrove

Pola PemanfaatanMangrove

Kepiting DewasaJumlah Tangkapan

Lestari (MSY)

Jumlah TangkapanBoleh (TAC)

Induk Matang

Produksi Kepiting

+

Pendapatan

PermintaanLokal

Inflasi

HargaHarga Eksport

peraturanPengelolaan

KawasanKonservasi

Kelembagaan

Pendidikan

PendapatanSumber lain

+

+

+

+

+

+

+

+

+

+

+

+

-

-

R+

B-

B-

B+

SUB-MODELMANGROVE

SUBMODELTANGKAP

SUB-MODELSOSIAL

SUB-MODELPASAR

Pengeluaran

-

Kepiting Muda

Proses Budidaya

Panen

+

Daya DukungBudidaya

+

+

+

R+

SUB-MODELBUDIDAYA

+

+

+

Restocking

+

+

+

-

+

Pendapatankeluarga

+

+

Page 107: scylla serrata

87

Gambar 19 Diagram kausal submodel habitat mangrove.

Keterkaitan submodel mangrove dengan submodel penangkapan adalah

pada pengaruh luas mangrove terhadap potensi S. serrata. Sedangkan keterkaitan

submodel mangrove dengan submodel budidaya adalah pada tersedianya daya

dukung lingkungan bagi pengembangan budidaya sylvofishery.

3.6.3 Submodel Penangkapan Kepiting

Kelimpahan kepiting yang ada pada ekosistem mangrove TNK merupakan

stok yang dapat dimanfaatkan untuk penangkapan dan budidaya pembesaran

kepiting. Kepiting yang dapat dimanfaatkan untuk penangkapan adalah kepiting

yang sudah dewasa (berukuran besar, minimal 250 gr/ekor). Untuk mengetahui

seberapa besar daya dukung sumberdaya kepiting untuk upaya penangkapan perlu

diketahui MSY kepiting. Perkiraan MSY ini akan menentukan seberapa besar

upaya penangkapan boleh dilakukan (TAC). Submodel penangkapan kepiting

bakau dapat dilihat pada Gambar 20.

Luas ZonaPemanfaatanHabitat Mangrove

Kualitas BiofisikHutan Mangrove

PemanfaatanMangrove

Daya DukungBudidaya

+

-B-

SUBMODELMANGROVE

+

SUB-MODELTANGKAP

SUB-MODELSOSIAL

SUB-MODELBUDIDAYA

Limbah

Alih FungsiLahan

-

-

-

komponensubstrat

produksiserasah

komponenkualitas perairan

komponen vegetasimangrove

+

+

++

Page 108: scylla serrata

88

Gambar 20 Diagram kausal submodel penangkapan kepiting bakau.

Submodel penangkapan Scylla serrata dibangun oleh elemen potensi

produksi kepiting bakau, laju eksploitasi faktual dan laju eksploitasi maksimal,

laju kematian alami, laju kematian karena penangkapan, stok Scylla serrata total,

kuota tangkapan Scylla serrata, besarnya restok induk betina, pengaruh luas

mangrove.

Potensi produksi Scylla serrata di habitat mangrove TN Kutai,

diperkirakan dari produksi tangkapan kepiting di area tersebut selama setahun

(sebagai potensi faktual yang telah dieksploitasi) ditambah dengan sisa potensi

yang belum dieksploitasi. Potensi S. serrata dapat berubah dengan adanya

masukan induk dari restoking budidaya sylvofishery, sehingga dalam perhitungan

potensi dimasukkan juga input restok induk betina dan pengaruh dari penambahan

luas area mangrove.

Untuk menentukan total stok S. serrata yang boleh dieksploitasi di

kawasan ini, potensi S. serrata tersebut dikalikan dengan konstanta ekploitasi

maksimal yang diperbolehkan (e-maks). Stok total S. serrata tersebut akan dibagi

dalam 2 bagian, yaitu fraksi tangkapan S. serrata untuk benih budidaya

sylvofishery dan sisanya fraksi tangkapan S. serrata untuk konsumsi/dijual

langsung. Fraksi stok S. serrata untuk konsumsi merupakan kuota tangkapan yang

diijinkan untuk mencapai produksi perikanan yang berkelanjutan.

Stok KepitingBakau

Kepiting DewasaJumlah Tangkapan

Lestari (MSY)

Jumlah TangkapanBoleh (TAC)

+

+

+

B-

SUB-MODELMANGROVE

SUBMODELTANGKAP

SUB-MODELPASAR

SUB-MODELBUDIDAYA

+

Produksi

Penangkapan

Kematian Alami

yield perrekrut

+

--

Page 109: scylla serrata

89

Keterkaitan submodel penangkapan dengan submodel budidaya adalah

pada fraksi stok benih untuk budidaya sylvofishery yang merupakan bagian dari

stok total S. serrata di habitat mangrove TNK.

3.6.4 Submodel Budidaya Pembesaran

Stok kepiting yang dimanfaatkan untuk budidaya pembesaran kepiting

adalah kepiting muda yang berukuran kurang dari 100 gr/ekor. Untuk mencapai

ukuran konsumsi sekitar 300 gr/ekor, kepiting muda ini harus menjalani proses

pembesaran hingga masa panen. Produksi yang diperoleh pada masa panen perlu

dikembalikan sebagian ke ekosistem alaminya, sebagai sarana untuk

mempertahankan populasi stok kepiting di alam. Benih yang digunakan dalam

budidaya pembesaran kepiting ini adalah kepiting muda hasil tangkapan dari

alam, sehingga stok induk perlu ditambahkan (restocking) agar tetap tersedia stok

kepiting muda (Gambar 21).

Gambar 21 Diagram kausal submodel budidaya pembesaran kepiting bakau.

Daya dukung lingkungan merupakan elemen yang paling berpengaruh

dalam submodel budidaya. Daya dukung lingkungan menentukan berapa unit

karamba yang dapat dibangun pada zona pemanfaatan budidaya.

Induk Matang

SUB-MODELMANGROVE

SUBMODELTANGKAP

SUB-MODELPASAR

Kepiting Muda

Proses Budidaya

Panen

+

Daya DukungBudidaya

+

+

R+

SUB-MODELBUDIDAYA

+pakan

Perawatan

EkobiologiKepiting bakau

Tenaga kerja

+

+

+

+

Produksi

Restocking

benih +

Page 110: scylla serrata

90

3.6.5 Submodel Ekonomi

Produk kepiting dari hasil tangkapan dan panen budidaya pembesaran

kepiting merupakan sumber pendapatan bagi masyarakat, namun nilainya sangat

tergantung dari harga yang terbentuk di pasar. Asumsinya semakin tinggi harga

pasar, maka tingkat pendapatan nelayan/petani akan semakin meningkat. Harga

pasar ditentukan oleh permintaan konsumen (demand) lokal, dan harga eksport.

Pendapatan yang diperoleh nelayan/petani akan menentukan tingkat pendapatan

keluarga (Gambar 22).

Gambar 22 Diagram kausal submodel ekonomi.

3.6.6 Submodel Sosial

Peningkatan pendapatan keluarga selanjutnya akan mempengaruhi tingkat

pengetahuan dan kesadaran lingkungan masyarakat yang ada di sekitar ekosistem

mangrove dalam mengelola ekosistem mangrove.

Pola pemanfaatan terhadap sumberdaya mangrove akan berubah sesuai

dengan tingkat kesadaran lingkungan masyarakat dan peraturan perundangan atau

kebijakan pemerintah yang berlaku dalam pengelolaan kawasan konservasi.

Selanjutnya pola pemanfaatan mangrove ini akan berpengaruh terhadap konversi

lahan dan kualitas mangrove (Gambar 23).

Produksi Kepiting

Pendapatan

permintaanlokal

Inflasi

Harga

+

+

+

+

B+

SUBMODELTANGKAP

SUB-MODELSOSIAL

SUB-MODELPASAR

Pengeluaran

-

SUB-MODELBUDIDAYA

pendapatankeluarga

-

Pajak

Harga EksportPenyusutan

BiayaTransportasi-

-

-

Page 111: scylla serrata

91

Gambar 23 Diagram kausal submodel sosial.

3.7 Pemodelan dan Simulasi Sistem Pengelolaan S. serrata

Tahapan pemodelan diuraikan ke dalam dua bagian, yaitu aspek

konseptual dan aspek teknis. Bagian konseptual merupakan masukan dari

strukturisasi sistem yang telah difiltrasi. Alur pemodelan digambarkan pada

Gambar 24.

Mulai

Selesai

Pemilihan tema

Formulasi model simulasi

Membangun causaldiagram

Verifikasi dan validasi

Sensitivitas(leverage point)

Skenario kebijakan

CLD

Persamaanmatematik,parameter,

initial

Uji statistik :MAPE

Rekomendasi kebijakanterbaik dan tepat

Membangun flow diagramSFD

penentuan variabel kunci

Konseptual Teknis

Kesimpulan dan saran

Gambar 24 Alur tahapan pemodelan pengelolaan Scylla serrata.

(modifikasi Rohmatullah 2008)

Pola PemanfaatanMangrove

peraturanpengelolaan

kawasankonservasi

pendapatansumber lain

tingkatpengetahuan

Pendidikan

Pendapatankeluarga

+

++

+

R+

SUB-MODELMANGROVE SUB-MODEL

SOSIAL

SUB-MODELPASAR

+

+

Page 112: scylla serrata

92

Membangun struktur model untuk memudahkan secara visual bagi

pengguna model dalam memahami dan menangkap hipotesis dinamis yang

dimaksud dengan menggunakan alat CLD. Secara konseptual, pada bagian awal

bab ini telah dibangun diagram sebab akibat (CLD) sistem pengelolaan kepiting

bakau di TNK. Kemudian, struktur model dilanjutkan dengan membangun

diagram alir dengan alat SFD untuk mengantarkan pada tahap simulasi. Sebelum

membangun diagram alir, harus dipahami dahulu variabel atau parameter yang

akan dijadikan stock (akumulasi) dan flow (aliran) yang dapat mengubah nilai

stock.

Tahap selanjutnya setelah pembuatan diagram stock flow (SFD) adalah

memformulasikan diagram tersebut. Tahap formulasi model simulasi

menggunakan alat bantu program komputer Powersim Studio 2005. Model

simulasi harus sudah dilengkapi dengan persamaan matematis yang benar,

parameter dan penentuan kondisi nilai awal (initial) agar dapat dijalankan (run).

Powersim pertama kali menghitung nilai awal untuk mengukur stock dan aliran

sebuah flow. Kemudian flow digunakan untuk memperbaharui stock tersebut.

Nilai baru stock digunakan kembali untuk menghitung dan seterusnya seiring

dengan perubahan waktu secara berulang.

3.8 Zonasi Pemanfaatan S. serrata di Kawasan Mangrove TNK

Sesuai UU No. 5 Tahun 1990 pasal 32, kawasan taman nasional dikelola

dengan sistem zonasi yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan, dan zona lain

sesuai dengan keperluan. Kawasan Taman Nasional Kutai meliputi hutan daratan

dan hutan mangrove dengan luas keseluruhan mencapai kurang lebih ± 198 000

ha, dimana ± 5.227 ha diantaranya merupakan hutan mangrove. Sumberdaya

bukan kayu dalam hutan mangrove yang dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan

adalah kepiting bakau S. serrata. Untuk mencegah kepiting bakau tersebut dari

pemanfaatan yang berlebihan, maka perlu diatur zonasi pemanfaatan S. serrata.

Zonasi pemanfaatan S. serrata ditentukan untuk zona pemanfaatan

perikanan tangkap dan zona pemanfaatan budidaya sylvofishery. Penentuan

kesesuaian zona pemanfaatan dilakukan berdasarkan parameter indeks kesesuaian

habitat (HSI), laju eksploitasi (E) S. serrata, dan kondisi konversi mangrove pada

Page 113: scylla serrata

93

masing-masing area. Analisis dilakukan dengan menggunakan software ArcView

3.2. Matriks parameter kesesuaian zona pemanfaatan disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Kriteria kesesuaian zonasi pemanfaatan Scylla serrata

No. Kriteria Zonasi Pemanfaatan Scylla serrata

Zona Budidaya Zona Tangkap Zona Inti 1 HSI tinggi sedang Rendah

2 Laju Eksploitasi S. serrata

tinggi rendah sedang-rendah

3 Konversi mangrove tinggi sedang Rendah

3.9 Simulasi dan Analisis Keberlanjutan Pengelolaan Sumberdaya Scylla serrata di Kawasan Mangrove TNK

Pada awal 1990-an, berkembang instrumen yang didesain langsung pada

pengendalian sumberdaya alam, yaitu berupa penentuan suatu kawasan menjadi

kawasan konservasi. Lima prinsip dasar yang harus diperhatikan dalam

pengelolaan kawasan konservasi adalah: 1) Proses ekologis seharusnya dapat

dikontrol; 2) Tujuan dan sasaran hendaknya dibuat dari sistem pemahaman

ekologi; 3) Ancaman luar hendaknya dapat diminimalkan dan manfaat dari luar

dapat dimaksimalkan; 4) Proses evolusi hendaknya dapat dipertahankan; 5)

Pengelolaan hendaknya bersifat adaptif dan meminimalkan kerusakan SDA dan

lingkungan (Yulianda 2006).

Kebijakan adalah aturan umum bagaimana status keputusan dibuat

berdasar pada informasi yang tersedia. Setiap kebijakan memiliki empat

komponen, yaitu kondisi saat ini (aktual) dan yang diinginkan, kecepatan

tanggapan dan tindakan perbaikan (Forrester dalam Lyneis 1980). Kecepatan

tanggap dalam studi ini menggunakan matrik yang terdiri dari tiga pilihan

pengaturan parameter, yaitu agresif, moderat dan lambat (Lyneis 1980). Skenario

kebijakan pada kajian ini dalam rentangan waktu (time horizon) dua puluh tahun

kedepan (tahun 2010-2030). Rentangan waktu 20 tahun dianggap mewakili

kondisi bila diasumsikan hutan mangrove mulai tumbuh dengan baik dari saat

mulai ditanam dan dapat menjadi habitat bagi biota lain.

Simulasi skenario kebijakan pemanfaatan akan dilakukan melalui 2 tahap,

yaitu analisis skenario dasar dan analisis perilaku dinamik. Analisis skenario dasar

Page 114: scylla serrata

94

(base case scenario) menguraikan perilaku sistem pada tahun mendatang (tahun

2009-2029) dipengaruhi oleh unjuk kerja parameter dengan sensitif tinggi, yaitu

luasan mangrove dan pendapatan dari Scylla serrata. Parameter lainnya yang

memiliki sensitif sedang dan rendah diasumsikan tidak mengalami perubahan dari

tahun 2009.

Analisis perilaku dinamik memungkinkan bagi pengguna model untuk

merubah nilai parameter. Meskipun analisis base case scenario run penting

sebagai cerminan dari kondisi aktual di lapangan, namun pengambilan keputusan

dalam pengelolaan Scylla serrata pada tahun-tahun yang akan datang perlu

meramalkan kondisi mendatang berdasarkan cerminan kondisi aktual tersebut.

Perubahan nilai parameter dibagi kedalam tiga skenario, yaitu skenario

agresif (optimis), moderat dan lambat (pesimis). Ketiga skenario secara berturut-

turut pemodel sebut dengan scenario run 1 (SR1), scenario run 2 (SR2) dan

scenario run 3 (SR3). Skenario pengelolaan disusun berdasarkan perubahan nilai

parameter yang dilakukan secara apriori oleh peneliti dalam proyeksi 20 tahun

mendatang.

Keberlanjutan pengelolaan mangrove melalui optimasi pemanfaatan

sumberdaya kepiting bakau Scylla serrata, selanjutnya akan dianalisis secara

statistik multivariate dengan pendekatan Multidimensional Scaling (MDS).

Analisis multidimensi menurut Bengen (2000) merupakan analisis data yang

menggambarkan karakter-karakter kuantitatif dan kualitatif suatu/sekumpulan

individu yang disusun berdasarkan suatu orde dan tidak dapat dilakukan operasi

aljabar sehingga cenderung lebih dekat pada statistik deskriptif dari pada statistik

inferensial.

Analisis keberlanjutan pengelolaan sylvofishery kepiting bakau ini

ditujukan untuk mengetahui kemungkinan keberlanjutan pengelolaan kawasan

konservasi mangrove melalui pemanfaatan sylvofishery kepiting bakau.

Keberlanjutan pengelolaan sylvofishery kepiting bakau di kawasan mangrove

TNK dianalisis menggunakan metode Rap-CRASYMAN (Rapid Assesment

Techniques for Crab Sylvofishery Management). Metode Rap-CRASYMAN

merupakan modifikasi dari metode RAPFISH (Rapid Assessment Techniques for

Fisheries) yang dikembangkan oleh Fisheries Center, University of British

Page 115: scylla serrata

95

Columbia, Kanada, untuk menilai status keberlanjutan perikanan tangkap. Hasil

analisis ini dinyatakan dalam bentuk Indeks Keberlanjutan Pengelolaan

Sylvofishery Kepiting Bakau.

Analisis keberlanjutan dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu:

(1) Penentuan atribut pengelolaan berkelanjutan sylvofishery kepiting bakau yang

meliputi empat dimensi, yaitu dimensi ekologi, dimensi ekonomi, dimensi

sosial, dan dimensi hukum-kelembagaan.

(2) penilaian (skoring) setiap atribut dalam skala ordinal berdasarkan kriteria

keberlanjutan setiap dimensi. Mengacu pada teknik RAPFISH, maka skor

yang diberikan berupa nilai “buruk” (bad) yang mencerminkan kondisi

pengelolaan yang paling tidak menguntungkan, dan juga berupa nilai “baik”

(good) yang mencerminkan kondisi pengelolaan yang paling menguntungkan.

Diantara dua nilai yang ekstrim ini terdapat satu atau lebih nilai antara.

Mengacu pada pendekatan yang digunakan oleh Good et al. dan Heershman et

al. dalam Laapo (2010), maka jumlah peringkat yang diberikan secara

konsisten pada setiap atribut yang dievaluasi sebanyak 3 (tiga) yakni nilai

buruk diberi skor 0 (nol), nilai antara diberi skor 1 (satu) dan nilai baik diberi

skor 2 (dua).

(3) Penyusunan indeks dan status keberlanjutan pengelolaan sylvofishery kepiting

bakau. Penilaian status keberlanjutan berdasarkan indeks setiap dimensi

dikategorikan menurut Kavanagh (1999) sebagai berikut:

- nilai indeks 0-24.99 % (kategori tidak berkelanjutan)

- nilai indeks 25-49.99 % (kategori kurang berkelanjutan)

- nilai indeks 50-74.99 % (kategori cukup berkelanjutan) dan

- nilai indeks 75-100 % (kategori berkelanjutan).

Melalui metode MDS, maka posisi titik keberlanjutan dapat divisualisasikan

melalui sumbu horisontal dan sumbu vertikal dengan proses rotasi. Posisi titik

dapat divisualisasikan pada sumbu horisontal dengan nilai indeks

keberlanjutan diberi nilai skor 0% (buruk) dan 100% (baik). Jika sistem yang

dikaji mempunyai nilai indeks keberlanjutan lebih besar atau sama dengan

50%, maka sistem dikatakan berkelanjutan (sustainable). Sistem tidak akan

berkelanjutan jika nilai indeks kurang dari 50%.

Page 116: scylla serrata

96

(4) Analisis sensitivitas

Analisis sensitivitas dilakukan untuk melihat atribut apa yang paling sensitif

memberikan kontribusi terhadap indeks keberlanjutan pengelolaan

sylvofishery kepiting bakau. Peran masing-masing atribut terhadap nilai indeks

dianalisis dengan “attribute leveraging”, sehingga terlihat perubahan ordinasi

apabila atribut tertentu dihilangkan dari analisis. Peran (pengaruh) setiap

atribut dilihat dalam bentuk perubahan Root Mean Square (RMS) ordinasi

khususnya pada sumbu-x. Atribut-atribut yang memiliki tingkat kepentingan

(sensitivitas) tinggi dari hasil analisis ini, dianggap sebagai faktor pengungkit,

yang apabila dilakukan perbaikan pada atribut tersebut maka akan

berpengaruh besar dalam mengungkit nilai indeks keberlanjutan menjadi lebih

baik. Perbaikan terhadap atribut sensitif, yang merupakan faktor pengungkit

tersebut, akan menjadi salah satu pertimbangan dalam menyusun rekomendasi

dalam pengelolaan sumberdaya Scylla serrata di kawasan mangrove TNK.

Page 117: scylla serrata

4 KONDISI UMUM TAMAN NASIONAL KUTAI

4.1 Sejarah Kawasan TNK

Kawasan TNK pada awalnya berstatus sebagai Hutan Persediaan dengan

luas 2 000 000 ha berdasarkan Surat Keputusan (SK) Pemerintah Belanda (GB)

Nomor: 3843/AZ/1934, yang kemudian oleh Pemerintah Kerajaan Kutai

ditetapkan menjadi Suaka Margasatwa Kutai melalui SK (ZB) Nomor: 80/22-

ZB/1936 dengan luas 306 000 ha (TNK 2005).

Sejak keberadaannya, TNK tidak pernah lepas dari konflik kepentingan.

Berdasarkan data yang ada, dalam kurun waktu 63 tahun terakhir terhitung sejak

tahun 1934 sampai tahun 1997 kawasan ini terus mengalami pengurangan luas

secara drastis seperti tersaji dalam Tabel 4.

Tabel 4 Sejarah status kawasan Taman Nasional Kutai.

Institusi Keputusan Status Luas (ha) Keterangan

Pemerintah Hindia Belanda

SK (GB) No. 3843/Z/1934

Hutan Persediaan

2 000 000

Pemerintah Kerajaan Kutai

SK (ZB) No. 80/22-B/1936

Suaka Margasatwa

306 000 Ditetapkan menjadi Suaka Margasatwa

Menteri Pertanian

SK No. 110/UN/ 1957, tanggal 14 Juni 1957

Suaka Margasatwa Kutai

306 000

Menteri Pertanian

SK No. 30/Kpts/ Um/6/1971, tanggal 23 Juli 1971

Suaka Margasatwa Kutai

200 000 Dilepas 106 000 ha, 60 000 ha yang masih asli untuk HPH PT kayu Mas dan sisanya untuk perluasan Industri pupuk dan gas alam. 100 000 ha yang dikelola oleh HPH pada tahun 1969 kemudian dikembalikan ke SMK

Menteri Pertanian

SK No. 736/ Mentan/X/ 1982

Taman Nasional Kutai

200 000 Dideklarasikan pada Kongres Taman Nasional III Sedunia di Bali sebagai satu dari 11 calon TN

Menteri Kehutanan

SK No. 435/Kpts-XX/ 1991

Taman Nasional Kutai

198 629 Luasnya dikurangi 1 371 ha untuk perluasan Bontang dan PT Pupuk Kaltim

Menteri kehutanan

SK Menhut No. 325/Kpts-II/1995

Taman Nasional Kutai

198 629 Perubahan fungsi dan penunjukan SMK menjadi Taman Nasional Kutai

Menteri Kehutanan

Surat No. 997/ Menhut-VII/ 1997

Taman Nasional Kutai

198 629 Izin prinsip pelepasan kawasan TNK seluas 25 ha untuk keperluan pengembangan fasilitas pemerintah daerah Bontang

Sumber: TNK (2005)

Page 118: scylla serrata

98  

4.2 Letak Geografis dan Topografi TNK

TNK membentang di sepanjang garis khatulistiwa mulai dari pantai Selat

Makassar sebagai batas bagian timur menuju arah daratan sepanjang kurang dari

65 km. Kawasan ini juga dibatasi Sungai Sangatta di sebelah utara, sebelah

selatan dibatasi Hutan Lindung Bontang dan HPH PT Surya Hutani Jaya, dan

sebelah barat dibatasi ex HTI PT Kiani Lestari dan HPH PT Surya Hutani Jaya.

Tabel 5 Deskripsi penutupan lahan TNK.

Kategori Penutupan lahan

Luas (ha) Persentase Kawasan Keterangan

Hutan primer 59 202.14 29.81 Terdapat di bagian tengah kawasan dan menyebar ke arah barat sampai utara

Hutan sekunder 85 931.03 43.27 Terdapat di bagian barat kawasan yang berbatasan dengan wilayah konsesi HPH

Belukar 28 952.26 14.58 Akibat aktivitas pembalakan, pemukiman, dan kegiatan pertanian lahan kering oleh masyarakat dan bencana kebakaran

Semak 2 452.68 1.23

Alang-alang 705.47 0.36

Rawa 4 712 2.37 Belukar rawa 1 802.88 0.91

Mangrove 5 131.55 2.48

Formasi yang masih utuh terdapat di Desa Teluk Pandan hingga Teluk Kaba. Sedangkan di pesisir Desa Singa Geweh sangat rentan terhadap degradasi

Konversi mangrove menjadi lahan terbuka

1 205.53 0.61 Terdapat di pesisir bagian selatan (Dusun Kanimbungan) dan bagian tengah (Desa Sangkima)

Tambak 155.81 0.08

Muara S. Sangatta, Muara S. Sangatta Tua, Teluk Lombok/Teluk Perancis, Muara Sungai Sangkima, Teluk Pandan

Tanah terbuka 329.38 0.17 Pertanian campuran 6 935.36 3.49 Lahan terbangun 577.94 0.29 Tubuh air 73.08 0.04 Tidak ada data 636.01 0.32

Jumlah 198 605.21 100.00

Sumber : TNK (2005)

Page 119: scylla serrata

99  

TNK secara geografis berada di 0°7’54”-0°33’53”LU dan 116°58’48”-

117°35’29”BT, sedangkan secara administrasi pemerintahan, kawasan dengan luas

198 629 ha ini terletak di Kabupaten Kutai Timur (± 80%), Kabupaten Kutai

Kartanegara (± 17.48%) dan Kota Bontang (± 2.52%).

Buku data dasar TNK (2005) menyatakan bahwa secara umum TNK

memiliki topografi datar yang tersebar hampir di seluruh luasan kawasan (92%)

dan topografi bergelombang hingga berbukit-bukit tersebar pada bagian tengah

kawasan yang membentang arah utara selatan (8%). Sebagian besar kawasan

memiliki kelas ketinggian antara 0 – 100 m dpl (61%) yang tersebar pada bagian

timur dan barat kawasan. Tingkat ketinggian bagian tengah kawasan antara 100 –

250 m dpl (39%). Deskripsi penutupan lahan menurut buku data dasar TNK

disajikan pada Tabel 5.

Berdasarkan hasil pengolahan Citra Terra Aster tahun 2005, diperoleh

informasi yang sedikit berbeda dalam luas penutupan lahan (Tabel 6).

Tabel 6 Deskripsi penutupan lahan hasil interpretasi citra Terra-Aster 2005.

Kategori Penutupan Lahan Luas (ha) % luas areal kota Bontang 77.854 0.04 areal pertamina 282.836 0.14 areal perusahaan/industri 790.249 0.40 areal terbuka 5 533.383 2.79 Danau 72.248 0.04 genangan air laut 209.129 0.11 hutan primer 28 375.278 14.33 hutan sekunder 40 658.373 20.53 hutan terdegradasi berat 66 274.775 33.46 hutan terdegradasi sedang 40 979.635 20.69 Mangrove 5 277.779 2.66 Nipah 182.086 0.09 padang alang-alang, rumput 3 094.044 1.56 pemukiman, kebun 5 600.646 2.83 Tambak 644.702 0.33 JUMLAH 198 053.017 100.00

Sumber: Pengolahan Data Citra Terra ASTER tahun 2005

Page 120: scylla serrata

100  

Bila dibandingkan antara hasil pengolahan citra oleh peneliti dengan data

dari TNK terdapat perbedaan luas tambak yaitu 155.81 ha (data TNK) dan

644.702 ha (olah data citra). Sementara luas mangrove menurut data TNK adalah

5 131 ha dan menurut hasil olah data citra adalah 5 277.799 ha ditambah dengan

182.086 ha nipah. Perbedaan luas tambak mungkin terjadi karena terdapat

perbedaan interpretasi pada tambak yang kering dan tidak dimanfaatkan (lahan

kritis), oleh TNK hanya dianggap sebagai konversi mangrove sebagai lahan

terbuka. Sementara menurut peneliti, pembukaan lahan mangrove yang awalnya

digunakan sebagai tambak, walaupun akhirnya menjadi lahan kritis, tetap dihitung

sebagai luasan tambak.

Luas lahan tambak yang mencapai 12.22% dari total luas mangrove

merupakan ancaman bagi kelestarian habitat mengrove, selain penebangan

mangrove menjadi lahan terbuka dan pemanfaatan lain yang mencapai lebih dari

7% dari luas total mangrove.

4.3 Geologi dan Iklim

Berdasarkan peta geologi Kalimantan Timur, formasi geologi kawasan ini

sebagian besar meliputi tiga bagian, yaitu:

1) Bagian pantai terdiri dari batuan sedimen alluvial induk dan terumbu

karang.

2) Bagian tengah terdiri dari batuan miosen atas.

3) Bagian barat terdiri dari batuan sedimen bawah.

Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson, TNK beriklim tipe B

dengan nilai Q berkisar antara 14.3 % - 33.3 %. Curah hujan rata-rata setahun

1543.6 mm atau rata-rata 128.6 m dengan rata-rata hari hujan setahun 66.4 hari

atau rata-rata bulanan 5.5 hari. Suhu rata-rata adalah 26oC (berkisar antara 21-34

derajat Celcius) dengan kelembaban relatif 67% - 69% dan kecepatan angin

normal rata-rata 2 – 4 knot/jam (TNK 2005).

Sungai-sungai yang mengalir di dalam dan sekitar TNK antara lain:

Sungai Sangatta, Sungai Sangatta Tua, Sungai Banjar, Sungai Banu Muda, Sungai

Sesayap, Sungai Sangkima, Sungai Kandolo, Sungai Selimpus, Sungai Teluk

Page 121: scylla serrata

101  

Pandan, Sungai Palakan, Sungai Menamang Kanan, Sungai Menamang Kiri,

Sungai Tawan, Sungai Melawan dan Sungai Santan.

4.4 Sejarah Perambahan dan Pemukiman di TNK

Vayda dan Sahur dalam TNK (2005) mengelompokkan pemukim di TNK

berdasarkan 3 wilayah, yaitu (1) Teluk Pandan, disebutkan bahwa pemukim dari

Bugis yang berasal dari Bone, Sulawesi Selatan, datang pertama kali pada

pertengahan tahun 1960 untuk menghindari kesulitan ekonomi akibat

pemberontakan Kahar Muzakar, (2) Selimpus/Kandolo, dihuni pertama kali tahun

1974 dan berkembang tahun 1977 oleh Suku Bugis dan (3) Sangkima, yang

dihuni pertama kali tahun 1924 oleh Suku Bugis. Saat itu, Sangkima merupakan

hunian peladang berpindah bagi penduduk asli. Keduanya berasimilasi dan

semakin banyak pemukim yang berasal dari Selawesi Selatan pada tahun 1954

dan 1960 karena pemberontakan Kahar Muzakar.

Ketiga kampung di TNK tersebut berkembang dan diakui keberadaannya

oleh Gubernur Propinsi Kalimantan Timur dengan menetapkannya sebagai desa

definitif (Teluk Pandan, Sangkima dan Sangatta Selatan) melalui Keputusan No.

06 Tahun 1997 tanggal 30 April 1997. Dalam perkembangannya, Desa Sangatta

Selatan dipecah menjadi dua desa, yaitu Desa Sangatta Selatan dan Singa Geweh

dengan adanya Keputusan Gubernur Kalimantan Timur No. 410.44/K.452/1999

(TNK 2005).

4.5 Permasalahan Pengelolaan TNK

4.5.1 Perambahan Hutan

Taman Nasional Kutai awalnya memiliki 80 % dari spesies burung dan

sebagian dari seluruh mamalia yang ada di Kalimantan termasuk 11 dari 13

spesies primata Borneo (TNK 2005). Namun Taman Nasional Kutai kini banyak

mengalami permasalahan. Hal ini disebabkan adanya pembangunan industri,

kegiatan pertambangan, eksploitasi hutan di sekitar dan di dalam TNK serta

pembangunan jalan trans Kalimantan khususnya ruas jalan Bontang-Sangatta

sepanjang 56 km yang melintasi Taman Nasional Kutai. Dampaknya saat ini

menyebabkan gangguan yang meluas terhadap keberadaan TNK.

Page 122: scylla serrata

102  

Menurut pengamatan di lapangan dan data dari BTNK (Balai Taman

Nasional Kutai) menunjukkan grafik luas perambahan hutan semakin meningkat

dari tahun ke tahun. Hal ini disebabkan kebutuhan lahan yang cukup tinggi dan

ada indikasi spekulan-spekulan tanah yang memanfaatkan ketidakpastian hukum

di Taman Nasional Kutai (Pemkab Kutim 2005). Data perambahan hutan selama

tiga tahun disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Luas perambahan hutan di TNK sepanjang jalan Bontang-Sangatta (1999-2001).

Lokasi Luas Areal Perambahan (ha)

Okt 1999

Nov 1999

Peb 2000

Mar 2000

Mei 2000

Mei 2001

Des 2001

Pinang/Masabang 3 322 3 322 4 307 4 307 4 307 - - Sangkima 1 693 1 693 1 693 2 477 2 477 - - Teluk Pandan 1 433 2 336 2 336 2 336 2 336 - - Kandolo/ Teluk Kaba - 2 999 3 883 5 083 5 088 - - Temputuk, dsk 1 543 1 543 1 543 2 475 2 485 - - Di dalam enclave1 23 712 23 712 Di luar areal enclave2 - 255.75 Jumlah 7 991 11 893 13 762 16 678 16 693 23 712 23 968

Sumber: peta perambahan BTNK 2000 (Pemkab Kutim 2001) 1 : Laporan Tim Enclave, Pemkab Kutim 2001 2 : Kegiatan Penyuluhan Tata Batas Enclave, BTNK 2001

Pada Desember 2001 luas lahan yang diduduki masyarakat di luar

kawasan enclave sepanjang jalan Bontang - Sangatta adalah 255.75 ha, sedangkan

jumlah kepala keluarga (kk) yang mendiaminya adalah 151 (rata-rata luas

penguasaan lahan 1.69 ha/kk). Berdasarkan observasi lapangan, diketahui

sebagian besar masyarakat mendiami daerah tersebut baru sekitar tahun 1999-

2000.

Lokasi perambahan hutan oleh masyarakat disajikan pada Gambar 25 .

Perambahan hutan cenderung terjadi di sepanjang jalan Bontang – Sangatta, yang

membelah kawasan TNK, menuju ke arah pesisir pantai. Perambahan ke arah

pesisir terjadi karena memang pada awalnya pemukiman penduduk adalah di

kawasan pesisir pantai TNK, sehingga menyambung dari arah jalan ke pesisir dan

sebaliknya.

Page 123: scylla serrata

103  

Gambar 25 Peta perambahan hutan di Taman Nasional Kutai (TNK 2005).

Data perambahan hutan mangrove di kawasan TNK dari Balai TNK tidak

diperoleh, namun berdasarkan hasil observasi peneliti diketahui bahwa

perambahan hutan mangrove terjadi karena pembukaan lahan untuk pemukiman

(dibentuk 4 desa definitif di pesisir kawasan TNK), untuk tambak, pemanfaatan

kayu mangrove untuk bangunan dan pembuatan alat tangkap ikan (bubu,

sero/belat, bagan), pemanfaatan nipah untuk atap. Dokumentasi perambahan

hutan mangrove dapat dilihat pada lampiran 29.

4.5.2 Illegal Logging

Salah satu masalah terbesar yang menyebabkan rusaknya TNK adalah

illegal logging. Data pencurian kayu pada tahun 2005 (TNK 2005) disajikan pada

Tabel 8.

Page 124: scylla serrata

104  

Tabel 8 Hasil pengamanan hutan di TNK tahun 2005.

No. Tempat/Lokasi Kejadian Barang Bukti Instansi yang Menangani

Penyelesaian/ Tahap

Penyelesaian Keterangan

1 Km. 33 Jl. Bontang – Sangatta, Teluk Kaba II, SKW I

1 unit chainsaw PPNS BTNK Bontang

Temuan Operasi Fungsional

2 Km. 9 Ex Jalan PT Kayu Mas, SKW I

Kayu ulin = 4.005 Kayu Meranti = 0.868

PPNS BTNK Bontang

Temuan Operasi Fungsional

3 Km. 9 Ex. Jalan PT Kayu Mas, SKW I

1 unit chainsaw PPNS BTNK Bontang

Temuan Operasi Fungsional

4 Km. 33 Jl. Bontang – Sangatta, SKW I

Kayu ulin + 2.44 m3 1 unit chainsaw

PPNS Temuan Operasi Fungsional

5 Senara, SKW II 2 unit chainsaw Meranti 20x20x4=12 batang Ulin 10x10x4 = 10 batang

Polres Kutim Jaksa Penuntut Umum

Operasi Fungsional

6 Km.9 Pertamina, SKW II 3 unit chainsaw Polres Kutim Jaksa Penuntut Umum

Operasi Fungsional

7 Km. 12 Jl. Sangatta – Bontang, SKW II

1 unit chainsaw 1 buah parang Kayu ulin 10x10x2 = 20 batang

PPNS TNK Jaksa Penuntut Umum

Perambahan

8 Km.9 Jl. Bontang – Sangatta, SKW I

Pick-up KT 8341 CB Kayu 2x14x2 = 230 batang = 1.2 m3

PPNS TNK Jaksa Penuntut Umum

Operasi Fungsional

Tanpa SKSHH9 Km. 10 Jl. Bontang –

Sangatta, SKW I Truk KT 8754 R muatan blambangan + 6 m3 Truk KT 8594 AK muatan blambangan + 5 m3

PPNS TNK Jaksa Penuntut Umum

Operasi Fungsional

Tanpa SKSHH Operasi

10 Km.5 Jl. Bontang-Sangatta, SKW II

Pick-up Zebra KT 8012 BU Ulin flooring ukuran 2x10x200 = 250 batang = 1 m3

PPNS TNK Jaksa Penuntut Umum

Operasi Fungsional

Tanpa SKSHH Operasi

11 Teluk Kaba II, SKW I Kayu ulin = 0.3 m3 PPNS Temuan Operasi Fungsional

12 Km. 37 Tanah Datar, SKW I Kayu ulin = 0.78 m3 PPNS

Temuan Operasi Fungsional

13 Km. 9 Jl. Bontang – Sangatta, SKW I

2 unit chain saw BB. Kayu 6x12x2 =12 batang Kayu temuan 10x10x4 = 14 batang = 0.56 m3

Polres Kutim Polres Kutim Operasi Fungsional

14 Km. 37 Tanah Datar, SKW I Kayu ukuran 10x10x4 =16 batang =0.6 m3

Kayu 10x5x4=10 batang = 0.2m3

PPNS Temuan Operasi Fungsional

Sumber: TNK (2005)

Setelah pengawasan terhadap mafia pencurian kayu di hutan diperketat,

yang berimbas pada tingginya harga kayu hutan seperti ulin dan bengkirai, maka

saat ini kayu bakau menjadi alternatif pilihan sebagai kayu bangunan.

Page 125: scylla serrata

105  

4.6 Proses Enclave di TNK

Permasalahan yang kompleks dalam mengelola TNK, terutama berkaitan

dengan adanya penduduk di dalam kawasan TNK, mendorong inisiatif pemerintah

daerah untuk mengadakan kegiatan lokakarya Taman Nasional Kutai pada tanggal

31 Oktober 2000. Lokakarya tersebut diikuti hampir semua stakeholder yang

terkait dengan pengelolaan Taman Nasional Kutai. Kegiatan enclave sendiri

merupakan salah satu rekomendasi dari kegiatan lokakarya tersebut.

Lokakarya merekomendasikan bahwa salah satu cara untuk

menyelamatkan TNK adalah melalui enclave dan relokasi penduduk melalui

beberapa tahap kegiatan, yaitu:

- Perlu segera ditetapkan tapal batas 4 desa didalam TNK sesuai dengan konsep

enclave, sementara penduduk yang ada di luar batas enclave desa harus masuk

ke dalam wilayah desa yang ditetapkan (Desa Teluk Pandan, Desa Sangkima,

Desa Sangatta Selatan dan Desa Singa Geweh)

- Bagi penduduk yang tidak mau bergabung masuk kedalam batas enclave desa

diupayakan untuk masuk program transmigrasi lokal (relokasi) yang letaknya

antara sepanjang jalan Sangkulirang (Maloy) hingga Muara Wahau.

Kegiatan enclave ini ditindaklanjuti dengan Surat Perintah Kerja dari Direktorat

Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam No. 830/DJ-V/LH/2000 tanggal 20

November 2000 kepada Pemerintah Kabupaten Kutai Timur untuk melaksanakan

Tata Batas Enclave 4 desa definitif di Taman Nasional Kutai.

Tata Batas Taman Nasional Kutai adalah salah satu proses yang dilakukan

oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Timur sebelum dilakukan enclave.

Persoalan Tata Batas menjadi penting ketika konsep enclave disetujui sebagai

salah satu cara untuk penyelesaian berbagai permasalahan di Taman Nasional

Kutai. Tahapan proses Tata Batas Taman Nasional Kutai dapat dijelaskan sebagai

berikut :

1. Penunjukan Kawasan Hutan :

Menurut surat keputusan terakhir adalah sesuai SK Menhut No.

79/Kpts-II/2001 sebagai TNK seluas 198 269 ha.

2. Penataan Batas

Page 126: scylla serrata

106  

Tata Batas Suaka Margasatwa Kutai tahun 1979 sepanjang 274 Km

(temu gelang) oleh Direktorat Bina Program Kehutanan.

Berita Acara Tata Batas oleh Panitia Tata Batas Kabupaten Dati II

Kutai tanggal 2 Agustus 1979, disahkan Mentan tanggal 1 Oktober

1980.

Tata batas alam 55.7 Km (tahun 2003) yg telah ditandatangani di

Panitia Tata Batas Kabupaten Kutai Timur.

Rekonstruksi batas buatan 83.7 Km (tahun 2005).

Informasi tentang rencana dan realisasi tata batas yang telah dilakukan di

areal rencana enclave dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9 Rencana dan realisasi tata batas di areal rencana enclave

No Desa Rencana

Jarak datar (m) Realisasi

Jarak datar (m) Luas (ha) Keterangan

1 Sangatta Selatan 15 500 20 259.39 ** 5 200 ** Sudah sampai

pemancangan pal definitif

* Baru sampai pemancangan patok sementara

2 Singa Geweh 39 980 36 734.83 ** 3 600 3 Sangkima 23 530 30 516.80 ** 6 215 4 Teluk Pandan 42 250 58 400.87 * 8 697

JUMLAH 121 260 145 908.89 23 712

Sumber : Laporan Pelaksanaan Tata Batas Enclave, Pelaksanaan Relokasi Penduduk, dan Program Rehabilitasi dan Pemagaran Taman Nasional Kutai, Pemkab Kutai Timur 2009

Tabel 9 diatas menunjukkan bahwa dari 23 712 ha kawasan enclave yang

akan ditata batas, baru 15 015 ha atau sepanjang 87 511.02 m yang sudah di tata

batas definitif. Sisanya seluas 8 697 ha atau sepanjang 58 500.87 m di desa Teluk

Pandan belum dilaksanakan tata batas definitif.

Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam

Nomor: 129/Kpts/DJ-VI/1996 tentang Pola Pengelolaan Kawasan Suaka Alam,

Kawasan Pelestarian Alam, Taman Buru, dan Hutan Lindung, menyebutkan

bahwa pengukuhan status kawasan dimulai dari proses penunjukan kawasan,

penataan batas, pengukuran, pemetaan sampai pada proses penetapan status

kawasan.

Persoalan tata batas yang belum definitif ini juga menjadi persoalan

penting mengapa hingga saat ini proses tata batas belum selesai. Keterlambatan

proses tata batas ini bisa berakibat munculnya spekulan-spekulan tanah. Hasil

Page 127: scylla serrata

107  

survei Yayasan BIKAL dalam Pemkab Kutai Timur (2005), menunjukkan bahwa

para spekulan tanah di TNK 50.5% berasal dari Bontang dan 35.5% berasal dari

Sangatta. Tercatat pada Desember 2001 seluas 255.75 ha diluar kawasan enclave

telah dikuasai oleh para spekulan dan kemungkinan luasan tersebut akan semakin

bertambah bila proses enclave belum selesai.

Pada tanggal 29 – 31 Mei 2006 di Sangatta dilaksanakan ”Diskusi

Lanjutan Tata Batas di Taman Nasional Kutai”. Kegiatan diskusi tersebut diikuti

beberapa stakeholder penting yaitu Kepala Pusat Pengendalian Pembangunan

Kehutanan Regional III, Direktorat Jenderal PHKA, Badan Planologi Departemen

Kehutanan, Biro Hukum dan Organisasi Departemen Kehutanan, Balai

Pemantapan Kawasan Hutan Kalimantan Timur, Balai Taman Nasional Kutai,

Yayasan Bina Kelola Lingkungan, Dinas Kehutanan Kutai Timur, Bappeda Kutai

Timur, Dinas Lingkungan Hidup Kutai Timur dan Fasda Kalimantan.

Diskusi Lanjutan Tata Batas di Taman Nasional Kutai menghasilkan

beberapa keputusan yaitu disepakatinya 3 (tiga) alternatif rekomendasi

penyelesaian permasalahan Taman Nasional Kutai, meliputi:

Alternatif 1: menyelenggarakan pengelolaan kolaboratif dalam area seluas

23 712 ha. Bentuk dan kerjasama pengelolaan akan dirumuskan kemudian

dengan mengacu pada SK DIRJEN PHKA terkait.

Alternatif 2: menyelesaikan tata batas TNK yang prosesnya belum

ditetapkan oleh Menhut. Ini dilakukan dengan memperbaharui gabungan

hasil pengukuran tata batas pemukiman masyarakat di bagian barat dengan

hasil tata batas luar.

Alternatif 3 : penyelesaian masalah penggunaaan areal TNK akan

dilakukan dengan berdasarkan pasal 19 UU 41 /1999 pada scheme

perubahan fungsi.

Tiga Alternatif tersebut nanti akan dikaji oleh Tim Pengkajian yang dibentuk oleh

Departemen Kehutanan dan di SK-kan oleh Menteri Kehutanan. Tim tersebut

dibentuk untuk mengkaji 3 (tiga) alternatif yang dimungkinkan paling tepat untuk

pengelolaan Taman Nasional Kutai.

Berselang 1 (satu) minggu dari kegiatan diskusi pada tanggal 29-31 Mei

2006 tersebut, tepatnya pada tanggal 8 Juni 2006 melalui Surat No:

Page 128: scylla serrata

108  

S.360/Menhut-IV/2006 Menteri Kehutanan Mengeluarkan surat ”Penyelesaian

Penataan Batas 4 Desa Dalam Kawasan TNK”. Berikut kutipan isi surat tersebut

pada butir 4 : ”Untuk membatasi kerusakan yang lebih luas maka tata batas desa

Teluk Pandan dapat dilanjutkan dengan syarat tidak mengakses hal-hal yang

tidak dapat dibuktikan keabsahannya dan dilakukan dengan metoda minimalis”.

Berdasarkan surat tersebut Pemkab Kutai Timur melalui Dinas

Lingkungan Hidup telah mempersiapkan kegiatan penyelesaian Tata Batas TNK.

Pada tanggal 13 Juli 2006, Dinas Lingkungan Hidup mengadakan rapat awal

penyelesaian penataan batas yang di hadiri oleh Tim Tata Batas Enclave Desa

Teluk Pandan. Tim Tata Batas ini melibatkan semua stakehoder yang terkait

dengan tata batas di desa Teluk Pandan yaitu Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten

Kutai Timur, Dinas Kehutanan Kabupaten Kutai Timur, Dinas Pertanahan

Kabupaten Kutai Timur, Bappeda Kabupaten Kutai Timur, Bagian Hukum Setkab

Kutai Timur, Balai Taman Nasional Kutai, Balai Pemantapan Kawasan Hutan

Kaltim, Kepala Desa Teluk Pandan, Kepala Desa Martadinata, Kepala Desa

Kandolo, Yayasan Bikal. Rapat tersebut menghasilkan kesepakatan untuk

menyusun rencana kegiatan penataan batas desa Teluk Pandan.

Menindaklanjuti keluarnya Surat Menteri Kehutanan tersebut maka

dilaksanakan beberapa kali pertemuan dengan Tim Tata Batas yang melibatkan

Pihak BPKH dan BTNK.

1. Pertemuan Tanggal 30 Nopember 2006

o Pertemuan membahas hal-hal yang perlu segera dilaksanakan terkait

dengan Surat Menteri Kehutanan.

o Membahas rencana pelaksanaan Tata Batas Kecamatan Teluk Pandan.

2. Pertemuan Tanggal 14 Desember 2006

o Persiapan Teknis Pelaksanaan Tata Batas Kecamatan Teluk Pandan.

o Persiapan alat dan bahan yang diperlukan untuk pelaksanaan Tata Batas

Kecamatan Teluk Pandan.

3. Pelaksanaan Tata Batas Pengaman Enclave Desa Teluk Pandan, Desa

Martadinata dan Desa Kondolo pada tanggal 8 – 23 Januari 2007

Page 129: scylla serrata

109  

4.7 Kondisi Sosial Budaya Masyarakat dalam Lokasi TNK

Pada masa yang lalu pengelolaan kawasan konservasi sering merugikan

masyarakat karena terjadi pembatasan akses mereka terhadap sumberdaya.

Masyarakat lokal yang bergantung pada sumberdaya dalam kawasan konservasi

yang umumnya paling terpengaruh oleh kondisi ini. Dalam jangka panjang

kawasan konservasi akan lestari hanya bila didukung oleh masyarakat lokal.

Idealnya kawasan konservasi seharusnya menjadi aset yang sangat berharga yang

menghormati hak-hak, mengentaskan kemiskinan, dan memberikan solusi dalam

konflik manusia-alam (human-wildlife conflict) agar kawasan konservasi dapat

bertahan sesuai fungsinya.

Penolakan masyarakat lokal atas beberapa Taman Nasional di Indonesia,

baik yang lama maupun yang baru ditetapkan, sesungguhnya hal yang wajar

terjadi karena masyarakat juga memiliki konsep, pemikiran dan kepentingan

tersendiri dalam memanfaatkan sumberdaya alam. Mereka juga berhak atas

sumberdaya alam yang ada dalam Taman Nasional karena dari situlah kehidupan

mereka terbentuk. Maka adalah hak mereka juga untuk duduk setara dengan pihak

lain dan menyampaikan konsepnya secara langsung dalam setiap proses

pengambilan keputusan.

CII (2006) menyatakan potensi konflik yang melibatkan masyarakat lokal

dalam pengelolaan taman nasional tak sekedar dipicu oleh prosesnya yang bersifat

top-down, namun juga oleh dua hal penting lainnya, yaitu persoalan aksesibilitas

dan manfaat bagi masyarakat.

Aksesibilitas terhadap sumberdaya alam merupakan faktor yang harus

dipertimbangkan lewat perspektif sosio-kultural mengingat pengelolaan Taman

Nasional dimanifestasikan dalam sistem permintakatan (zonasi) dengan berbagai

pengaturannya. Persoalan lantas muncul manakala aturan tersebut berimplikasi

pada penyempitan, bahkan penghapusan akses penduduk terhadap sumberdaya

alam yang dijadikan zonasi tertentu, terutama pada zona inti (no-take zone).

Faktor manfaat kehadiran taman nasional juga perlu dikaji lebih dalam.

Masyarakat lokal cenderung mengharapkan manfaat yang bersifat langsung dari

apapun kebijakan pengelolaan sumberdaya alam yang diterapkan. Manfaat itu

sendiri tidak melulu bersifat ekonomi dan materil, tapi yang lebih mendasar

Page 130: scylla serrata

 

a

m

k

2

d

d

p

k

u

y

d

J

adalah hak m

mereka; ser

kelangsunga

Pema

kawasan tam

pengelolaan

4.7.1 J

Mata

26. bidang

dalam lokas

dengan usah

pertanian ta

konversi hut

usaha pentin

G

4.7.2 J

TNK

yang tidak t

di sekitar k

Jumlah pend

0100200300400500600700800900

masyarakat d

rta hak terh

an hidup mer

ahaman atas

man nasiona

n Taman Nas

Jenis Matap

apencaharian

usaha jasa p

i TNK, berik

ha perdagang

anaman pang

tan menjadi

ng bagi pend

Gambar 26 Ju(Sumber: M

Jumlah Pen

K berada di

terkendali m

kawasan kar

duduk desa d

dalam penge

hadap keter

reka.

s kondisi so

al akan mem

sional Kutai.

pencaharian

n masyaraka

paling bany

kutnya adala

gan. Tinggin

gan dan per

i lahan perta

duduk.

umlah penduMonografi Kec

duduk

tengah-teng

menyebabkan

rena keingin

di dalam TN

elolaan ruan

rsediaan sum

osial budaya

mbantu kebe

.

n

at di dalam

yak dilakuka

ah usaha per

nya jumlah p

rkebunan da

anian. Bidan

uduk sesuai camatan Sangat

gah daerah i

n masyarakat

nan untuk

NK tersaji dal

ng dan sumb

mber daya

a masyaraka

rhasilan dal

lokasi TNK

an oleh pend

rtanian tanam

penduduk ya

apat menjad

ng perikanan

jenis mata ptta Selatan Tah

industri. Per

t bermukim

memperoleh

lam Gambar

berdaya alam

alam yang

at yang ting

am menyusu

K tersaji dala

duduk yang

man pangan

ang berusaha

di indikator

n tidak menj

pencaharian. hun 2008)

rkembangan

baik di dala

h lapangan

r 27.

Sangatt

Singa Ge

Sangkim

Sangkim

110

m di sekitar

menjamin

ggal dalam

un rencana

am Gambar

tinggal di

dan diikuti

a di bidang

banyaknya

jadi bidang

n perkotaan

am maupun

pekerjaan.

a Selatan

eweh

ma

ma Lama

Page 131: scylla serrata

 

(

y

d

p

d

b

A

p

d

t

Gam(Sumber: 1. Da

M

Juml

yang lainnya

Sangatta, se

Selatan. De

Selatan yang

dan Desa Sa

Desa

pendudukny

dimekarkan

statusnya se

baru, maka p

Adanya pem

prasarana um

dll, dan akhi

4.7.3 A

Agam

tempat ibada

mbar 27 Jumata Identifikasi

Monografi Kec

lah pendudu

a, karena De

ebelum dime

esa Sangatta

g terdiri dari

angkima.

a Teluk P

ya tertinggi

lagi menja

ekarang men

permasalaha

mekaran ke

mum bagi pe

irnya pemec

Agama

ma yang dia

ah yang dim

3072

1207

6152

mlah pendudui Enclave TNK

camatan Sangat

uk Desa Sa

esa Sangatta

ekarkan men

a Selatan s

i 3 desa, yai

Pandan sel

kedua. N

adi Desa Te

njadi kecam

an perambah

ecamatan b

enduduk, sep

ahan masala

anut pendud

miliki disajika

uk di empat K Tahun 2005, tta Selatan Tah

angatta Selat

a Selatan me

njadi Kecam

endiri term

itu Desa San

lanjutnya m

amun, perk

eluk Pandan

matan. Deng

han hutan di

erimplikasi

perti sekolah

ah TNK men

duk di desa d

an dalam Tab

6918

5278

desa definitiDinas Lingkun

hun 2008)

tan terbany

erupakan des

matan Sangat

asuk dalam

ngatta Selata

merupakan

kembangan

n, Kandolo

gan berdirin

TNK menja

pada pemb

h, tempat iba

njadi semaki

definitif dala

bel 10.

Sa

Sin

Sa

Sa

Te

if dalam TNngan Hidup Ku

ak dibandin

sa tertua di K

tta Utara da

m Kecamatan

an, Desa Sin

desa yan

selanjutnya

dan Martad

nya sebuah

adi semakin

bangunan s

adah, sarana

n sulit.

am kawasan

angatta Selatan

nga Geweh

angkima

angkima Lama

eluk Pandan

111

NK. utai Timur; 2.

ngkan desa

Kecamatan

an Sangatta

n Sangatta

nga Geweh,

ng jumlah

a desa ini

dinata, dan

kecamatan

kompleks.

sarana dan

a kesehatan

n TNK dan

n

Page 132: scylla serrata

 

T

K

l

j

G

(

b

Tabel 10 Jum

Agama

Islam

Protestan

Katolik

Budha

Hindu

Sumber: MoTah

Keterangan:

Tabe

lokasi TNK

juga sudah c

4.7.4 P

Saran

Gambar 28 d

G(Sumber: M

Gam

bagi masya

0

0.5

1

1.5

2

2.5

3

Unit

mlah pemelu

Sangatta Selatan

Jml TI 6 651 14

81 1

186 1

- -

- -

onografi Kehun 2008 *: Desa Pan

el 10 menun

K beragama I

cukup banya

Pendidikan

na pendidik

dan Gambar

Gambar 28 SMonografi Ke

mbar 28 men

arakat yang

0

5

1

5

2

5

3

uk agama da

Singa Geweh*

Jml T4 5 179

89

10

- -

- -

ecamatan Sa

ntai, Jml: ju

njukkan bah

Islam. Jumla

ak yaitu sekit

kan di desa

r 29.

Sarana pendec. Sangatta

nunjukkan ba

berada dal

an tempat iba

* Sangkim

TI Jml 11 2 969

- 103

- -

- -

- -

angatta Selat

umlah peme

hwa mayorit

ah tempat ib

tar 51 masjid

definitif da

idikan di desSelatan dan

ahwa fasilita

lam TNK s

adah di desa

ma* San

LaTI Jml

7 1 202

1 5

- -

- -

- -

tan dan Kec

eluk agama,

tas pendudu

badah yang

d dan musho

alam kawasa

sa definitif dKec. Teluk

as sarana pen

sudah relatif

definitif dal

ngkima ama*

TI 2 3 5

5 -

- -

- -

- -

camatan Tel

TI: tempat i

uk yang ting

dibangun d

olla, serta 3 g

an TNK ter

dalam TNK. Pandan Tahu

ndidikan yan

f lengkap,

Sangatta

Singa Ge

Sangkim

Sangkim

Teluk Pa

112

lam TNK

Teluk Pandan*

Jml TI5 017 16

4 -

- -

- -

- -

luk Pandan

ibadah

ggal dalam

dalam TNK

gereja.

rsaji dalam

un 2008)

ng tersedia

mulai dari

a Selatan

eweh

ma

ma Lama

andan

6

-

-

-

-

Page 133: scylla serrata

 

p

d

d

b

l

T

y

p

p

y

k

t

d

m

k

pendidikan

dikatakan ba

demikian ha

bekerja di bi

lulus SD.

Gamb

TNK umum

yang bersek

pendidikan

pentingnya

yang merupa

Gamba(Sumbe

Kegia

sumberdaya

kemampuan

tingkat pen

diharapkan

mangrove u

kegiatan pen

0

10

20

30

40

50

60

SaS

TK hingg

ahwa masya

asil survei k

idang perika

bar 29 menu

mnya lebih d

kolah samp

masyarakat

menjaga ke

akan kawasa

ar 29 Tingkater: Data Inden

L

atan pengelo

a manusia

n berpikir da

ngetahuan y

masyarakat

untuk kehidu

ngelolaan ma

angatta Selatan

Sing

a Sekolah

arakat sudah

kepada respo

anan lebih da

unjukkan da

dari 30% pen

pai SLTA

t akan me

elestarian lin

an taman nas

t pendidikanntifikasi EnclaLingkungan H

laan ekosist

yang berm

an keteramp

yang tingg

dapat lebih

upan mereka

angrove.

ga Geweh S

Menengah

h memperole

onden menu

ari 70% hany

ari keempat

nduduknya h

hanya seki

empengaruhi

ngkungan, te

sional.

n masyarakatave Taman NHidup Kab. K

tem mangrov

mutu. Hal

pilan untuk

gi. Dengan

h memaham

a dan juga

angkima

Atas. Den

eh pendidika

unjukkan rat

ya bersekola

desa definit

hanya berse

itar 10-20%

i pemaham

erkait denga

t di desa defNasional KutaiKutai Timur)

ve akan efek

ini berarti

berbuat ses

tingginya

mi manfaat p

dapat berpe

Teluk Pandan

ngan demik

an yang cuku

ta-rata respo

ah sampai SD

tif yang ada

ekolah samp

%. Rendahny

man masyar

an lingkung

finitif dalam i tahun 2005,

ktif bila didu

seseorang

suatu karena

tingkat pe

pengelolaan

eran aktif da

Tidak Se

SD

SLTP

SLTA

Pergurua

113

kian dapat

up. Namun

onden yang

D dan tidak

a di dalam

ai SD, dan

ya tingkat

rakat akan

gan mereka

TNK. Dinas

ukung oleh

memiliki

a memiliki

engetahuan

ekosistem

alam setiap

kolah

an Tinggi

Page 134: scylla serrata

114  

4.7.5 Kesehatan

Sarana kesehatan di desa definitif dalam kawasan TNK disajikan dalam

Tabel 11. Sarana kesehatan bagi masyarakat dalam lokasi TNK cukup tersedia

dengan adanya 1 Rumah sakit, 2 puskesmas dan 2 puskesmas bantu.

Tabel 11 Sarana kesehatan di desa definitif dalam TNK

Fasilitas Kesehatan

Sangatta Selatan

Singa Geweh

Sangkima Sangkima

Lama Teluk

Pandan

Jml Jml Jml Jml Jml RUMAH SAKIT - - 1 - -

PUSKESMAS 1 - - - 1 PUSBAN - - 1 1 - POSYANDU 7 2 2 1 -

Sumber: Monografi Kecamatan Sangatta Selatan dan Kecamatan Teluk Pandan Tahun 2008

4.7.6 Aspek Kelembagaan

Kelembagaan yang terlibat dalam kegiatan kelestarian lingkungan yang

beraktivitas di kawasan TNK terdiri dari lembaga swadaya masyarakat,

perusahaan swasta, dan instansi pemerintah. Lembaga-lembaga tersebut antara

lain:

1. Balai TNK

Balai TNK yang berkedudukan di Kota Bontang, Propinsi Kalimantan Timur,

merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) di lingkup Direktorat Jenderal

Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA). Berdasarkan Keputusan

Menteri Kehutanan Nomor 6186/Kpts-II/2002 tanggal 10 Juni 2002, Balai

TNK mempunyai tugas pokok melaksanakan pengelolaan ekosistem TNK

dalam rangka konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya

berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku.

Dalam menyelenggarakan tugas pokok tersebut, BTNK mempunyai fungsi:

a. Penyusunan rencana, program dan evaluasi pengelolaan TNK;

b. Pengelolaan TNK;

c. Pengawetan dan pemanfaatan secara lestari TNK;

d. Perlindungan, pengamanan dan penanggulangan kebakaran TNK;

Page 135: scylla serrata

115  

e. Promosi dan informasi, bina wisata dan cinta alam, serta penyuluhan

konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya;

f. Kerjasama pengelolaan TNK;

g. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga.

2. LSM BIKAL (Bina Kelola Alam)

BIKAL adalah salah satu lembaga swadaya yang sangat perhatian pada

kelestarian alam Taman Nasional Kutai. Untuk saat ini BIKAL memiliki

program yaitu :

a. Penguatan masyarakat sipil Kutai Timur dalam mendorong partisipasi publik

b. Analisis Kelembagaan (DPRD, Masyarakat, dan Konflik Pengelolaan SDA)

c. Pengembangan media informasi

d. Pembuatan fungsi kontrol

e. Menggalang aliansi

3. LSM BEBSIC (Borneo Ecological Biodiversity Science)

BEBSIC merupakan LSM yang banyak menaruh perhatian pada

keanekaragaman hayati. Adapun program BEBSIC yang ada di TNK adalah :

a. Riset Keanekaragaman Hayati (Orangutan)

b. Kampanye Kesadaran Publik

4. Polres Bontang

Polres Bontang adalah instansi yang bertanggungjawab terhadap pengamanan

kawasan terutama pada kasus-kasus pencurian kayu dan perambahan hutan

yang mengganggu keberadaan Taman Nasional Kutai. Program utama

kepolisian dalam pengamanan TNK adalah melakukan kegiatan-kegiatan

operasi di wilayah TNK dengan sandi Operasi Jaring Kakap, Operasi Wanalaga

I Mahakam dan Operasi Wanalaga II Mahakam dengan sasaran penertiban

penebangan-penebangan liar dan perambahan hutan. Kegiatan tersebut

bekerjasama dengan Polsus Jagawana TNK.

5. Mitra TNK

Dalam upaya pengelolaan kawasan, Balai TNK telah menggandeng 8

perusahaan berskala besar yang mempunyai lokasi kegiatan bersebelahan

dengan TNK dalam wadah Mitra Kutai (Friends of Kutai). Perusahaan tersebut

yaitu PT. KPC dan PT. Indominco Mandiri (tambang batubara), PT Pupuk

Page 136: scylla serrata

116  

Kaltim (pupuk), PT Badak NGL dan Pertamina (minyak dan gas) serta PT.

Kiani Lestari, PT. Surya Hutani Jaya dan PT Porodisa (pemegang konsesi

hutan). Mitra Kutai memberikan dukungan finansial dan teknis yang sangat

dibutuhkan untuk pengelolaan kawasan kepada Balai TNK. Bentuk partisipasi

dan kerjasama Mitra Kutai tersebut dikukuhkan melalui SK Dirjen PHPA No.

121/Kpts/Dj-VI/1995 tanggal 30 April 1994.

4.8 Persepsi Masyarakat

Persepsi masyarakat terkait dengan pengelolaan mangrove di TNK

ditelusuri dengan menggunakan alat kuisioner dan wawancara secara mendalam.

Hasil penelusuran terhadap persepsi masyarakat disajikan secara deskriptif berikut.

4.8.1 Pemahaman Masyarakat terhadap Pengelolaan Hutan Mangrove

Dalam penelitian ini, pemahaman masyarakat diartikan sebagai

pengetahuan dan persepsi masyarakat tentang kondisi ekosistem mangrove,

peraturan, fungsi dan pemanfaatan hutan mangrove bagi kehidupan manusia dan

lingkungan. Tingkat pemahaman masyarakat terhadap ekosistem mangrove di

kawasan TNK khususnya terhadap kondisi, rehabilitasi dan konservasi mangrove

secara umum cukup baik. Namun tingkat pemahaman terhadap fungsi dan

peraturan yang terkait dengan ekosistem ini relatif rendah.

Hal ini terlihat dari jumlah responden yang paham terhadap kondisi

mangrove di TNK, apakah masih bagus atau mulai terdegradasi, sebesar 67%.

Responden yang memahami perlunya rehabilitasi dan konservasi hutan mangrove

di TNK sebanyak 50%. Namun demikian, walaupun banyak responden yang

setuju untuk konservasi mangrove, mereka juga merasa pemanfaatan hutan

mangrove bebas dilakukan, kelompok ini sejumlah 58.33%. Sebanyak 25%

masyarakat memahami fungsi mangrove bagi perikanan, dan namun yang

mengerti peraturan perundangan tentang mangrove hanya 20 % (Tabel 12).

Pemahaman masyarakat terhadap fungsi mangrove dalam hal ini adalah

sebagai pencegah abrasi dan erosi, tempat hidup, bertelur dan berkembang biak

beberapa jenis ikan, udang, kepiting dan kerang.

Page 137: scylla serrata

117  

Tabel 12 Pemahaman masyarakat terhadap pengelolaan mangrove. No Tingkat Pemahaman Masyarakat Persentase (%) 1 Kondisi mangrove 66.67 2 Fungsi ekologis mangrove 25 3 Peraturan tentang mangrove 20 4 Setuju Rehabilitasi dan konservasi 50 5 Bebas memanfaatkan mangrove 58.33

Sumber: Hasil olahan data primer 2009

Pemahaman terhadap rehabilitasi dan konservasi hutan mangrove menunjukkan

seberapa penting kedua kegiatan ini dilakukan. Masyarakat sangat mendukung

diadakannya program-program rehabilitasi dengan syarat tidak membatasi mereka

dalam memanfaatkan sumberdaya yang ada.

Walaupun masyarakat mendukung program rehabilitasi, namun di sisi lain

masyarakat masih memanfaatkan mangrove dengan cara yang merusak, misalnya

mengambil kayu untuk bangunan atau membuka tambak. Sehingga diduga bahwa

pemahaman masyarakat mengenai pengelolaan mangrove masih bersifat

sepotong-sepotong, dimana keterkaitan antara fungsi, pemanfaatan dan konservasi

mangrove belum dipahami seutuhnya.

Tingkat pemahaman yang rendah terhadap peraturan yang berkaitan

dengan mangrove di TNK umumnya disebabkan kurangnya sosialisasi dan

informasi terhadap peraturan-peraturan yang ada yang menyebabkan masyarakat

memanfaatkan mangrove secara tidak terkendali dan tidak ramah lingkungan yang

pada akhirnya menyebabkan degradasi mangrove. Untuk itu diperlukan upaya

yang lebih intensif dalam sosialisasi peraturan-peraturan tentang perlindungan

mangrove dan sanksi-sanksi terhadap peraturan yang ada. Selain itu diperlukan

juga informasi-informasi yang berkaitan dengan pengelolaan ekosistem mangrove

yang lestari dan berkelanjutan dalam hal pemanfaatan sumberdaya mangrove.

Tingkat persepsi yang berkembang dalam masyarakat dibangun oleh

beberapa faktor internal yang terdapat dalam masyarakat, faktor-faktor internal

tersebut merupakan kekuatan yang mendukung terhadap segala bentuk kegiatan

masyarakat khususnya yang menyangkut perilakunya dalam memanfaatkan

sumberdaya alam yang ada. Namun demikian, persepsi masyarakat ini tidak dapat

dijadikan ukuran mutlak untuk melihat suatu gejala, karena persepsi tersebut

Page 138: scylla serrata

118  

dapat berubah-ubah sesuai dengan perubahan sosial ekonomi dan tingkat

pendidikan maupun pengetahuan seseorang.

4.8.2 Persepsi Masyarakat terhadap Pemanfaatan S. serrata

Kepiting bakau sebagai salah satu sumberdaya yang terdapat dalam

ekosistem mangrove TNK sudah lama dikenal masyarakat sebagai bahan

makanan. Sampai saat ini masyarakat hanya mengetahui cara memperoleh

kepiting bakau hanya melalui penangkapan kepiting bakau di alam. Sedangkan

teknologi budidaya kepiting bakau bagi sebagian besar masyarakat di TNK masih

menjadi hal yang asing. Namun demikian animo masyarakat, terutama dari

kalangan nelayan untuk menerima introduksi teknologi budidaya kepiting bakau

cukup besar. Hasil dari pengolahan data kuisioner mengenai persepsi masyarakat

dalam pemanfaatan sumberdaya S. serrata disajikan dalam Tabel 13.

Dari hasil analisis kuisioner diketahui bahwa tidak banyak masyarakat

yang memanfaatkan sumberdaya S. serrata untuk matapencaharian yaitu hanya

16.67% saja. Hanya orang-orang yang mempunyai keahlian dalam mencari dan

menangkap kepiting bakau saja yang mau memanfaatkan kepiting bakau untuk

matapencahariannya.

Tabel 13 Tingkat pemahaman masyarakat mengenai pemanfaatan S. serrata.

No Tingkat Pemahaman Masyarakat Persentase

(%) 1 Matapencaharian S. Serrata 16.67 2 Setuju membudidayakan S. Serrata 46.67

3 Mengganti pemanfaatan mangrove dg S. Serrata

20

Sumber: Hasil olahan data primer 2009

Namun demikian, pada saat diperkenalkan dengan teknologi budidaya

kepiting bakau, hampir separuhnya (46.67%) menyatakan tertarik dan

menganggap sebagai matapencaharian yang baik. Hanya saja, masyarakat juga

masih beranggapan bahwa mangrove boleh dimanfaatkan dengan bebas, dan

sebagian masyarakat menyatakan bahwa pendapatan dari mangrove tidak dapat

digantikan dengan usaha budidaya kepiting bakau (20%). Hal ini disebabkan

masyarakat belum yakin akan keberhasilan budidaya kepiting bakau.

Page 139: scylla serrata

 

 

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Bioekologi S. serrata dan Daya Dukung Habitat Mangrove TNK

5.1.1 Ekologi Habitat Mangrove TNK

Ekosistem mangrove pada umumnya dijadikan sebagai tempat hidup

berbagai jenis satwa liar, seperti: ikan, serangga, invertebrata, burung, dan

mamalia besar. Hal tersebut disebabkan pada tipe ekosistem mangrove ini

memungkinkan tersedianya unsur hara dan makanan satwa liar sepanjang tahun.

Satwa liar yang terdapat di kawasan hutan mangrove TNK berdasarkan hasil

survey Rahmadani et al. (2004) meliputi jenis burung, primata, dan reptilia.

5.1.1.1 Jenis dan Kerapatan Vegetasi Mangrove

a) Muara Sangata

Mangrove di Muara Sangatta merupakan hutan bekas tebangan yang telah

kehilangan pohon berdiameter besar dan sebagian dari areal ini telah dijadikan

tambak. Di dalam plot tidak dijumpai pohon-pohon berdiameter besar, sebagian

besar merupakan trubusan dengan diameter <10 cm.

Berdasarkan hasil analisis plot botani terhadap vegetasi mangrove di Muara

Sangatta pada 8 petak contoh yang berukuran 5 x 5 meter diketahui bahwa

kerapatan 1 113 individu/ha, dbh rata-rata 4 cm, basal area 1.677±0.427 m2/ha dan

minimum ada 4 jenis tumbuhan yang termasuk dalam 3 marga dan 3 suku.

Jenis pohon yang ditemui ada 4, jenis yang dominan adalah Aegiceras

corniculatum dengan INP = 142.031%, menyusul Nypa fructicans dengan INP =

130.481%, Ceriops tagal dengan INP = 15.350%, dan Ceriops decandra dengan

INP = 12.138%, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 14.

Tabel 14 Indeks Nilai Penting (INP) dari vegetasi di Muara Sangatta.

No. Nama Jenis Nama Suku Nama Lokal INP (%)

1 Aegiceras corniculatum

Myrsinaceae Gedangan 142.031

2 Nypa fructicans Arecaceae Nipah 130.4813 Ceriops tagal Rhizophoraceae Soga tingi 15.3504 Ceriops decandra Rhizophoraceae Bido-bido 12.138 Jumlah 300.000

Page 140: scylla serrata

120  

 

b) Teluk Perancis

Mangrove di Teluk Perancis relatif masih utuh dibandingkan dengan

Muara Sangatta. Pohon dengan diameter besar masih banyak ditemukan.

Penebangan pohon ditemukan pada beberapa lokasi yang dijadikan tambak.

Sebagian besar tambak tidak produktif lagi, dan menjadi lahan kritis.

Ekosistem mangrove Teluk Perancis mempunyai struktur pertumbuhan

vegetasi yang lengkap pada tingkat semai, pancang, dan pohon sehingga proses

regenerasi dapat berlangsung dan akan terwujud kelestarian apabila tingkat

ancaman/gangguan kerusakan terhadap ekosistem tersebut rendah.

Berdasarkan hasil analisis plot botani terhadap vegetasi pohon dengan dbh

≥10 cm pada 8 petak ukur berukuran 10 x 10 m diketahui bahwa kerapatan pohon

di Teluk Perancis TNK 550 pohon/ha, dbh rata-rata 12.87 cm, basal area

7.421±0.224 m2/ha dan minimum ada 3 jenis pohon yang termasuk dalam 2 marga

dan 1 suku berbeda yang dijumpai di kawasan ini.

Ekosistem mangrove Teluk Perancis memiliki keanekaragaman jenis yang

tergolong rendah pada semua tingkat pertumbuhan vegetasi dan didominasi oleh

Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, dan Bruguiera gymnorhiza. Selain

jenis-jenis tersebut, berdasarkan laporan survei potensi mangrove di TNK yang

dilakukan oleh Rahmadani et al. (2004) dijumpai pula jenis Avicennia alba,

Ceriops tagal, Casuarina equisetifolia, Sonneratia caseolaris, Avicennia marina,

dan Lumnitzera racemosa.

Dari 3 jenis pohon yang ditemui di Teluk Perancis, jenis yang dominan

adalah Rhizophora apiculata dengan INP = 184.650%, menyusul Rhizophora

mucronata dengan INP = 79.491%, dan Bruguiera gymnorrhiza dengan INP =

35.860%, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15 Indeks Nilai Penting (INP) dari vegetasi pohon di Teluk Perancis.

No. Nama Jenis Nama Suku Nama Lokal INP (%)1 Rhizophora apiculata Rhizophoraceae Bakau minyak 184.6502 Rhizophora

mucronata Rhizophoraceae Bakau hitam 79.491

3 Bruguiera gymnorrhiza

Rhizophoraceae Bakau daun besar 35.860

Jumlah 300.000

Page 141: scylla serrata

121  

 

Berdasarkan hasil analisis plot botani terhadap anakan pohon dengan dbh 2 -

10 cm pada 8 petak contoh yang berukuran 5 x 5 meter diketahui bahwa kerapatan

anakan 800 individu/ha, dbh rata-rata 6.83 cm, basal area 3.037±0.566 m2/ha dan

minimum ada 4 jenis tumbuhan yang termasuk dalam 2 marga dan 1 suku yang

dijumpai di Teluk Perancis ini. Indeks nilai penting anakan pohon dapat dilihat

pada Tabel 16.

Tabel 16 Indeks Nilai Penting (INP) dari vegetasi anakan pohon diamater 2 – 10 cm di Teluk Perancis.

No. Nama Jenis Nama Suku Nama Lokal INP (%) 1 Rhizophora apiculata Rhizophoraceae Bakau minyak 141.2882 Rhizophora mucronata Rhizophoraceae Bakau hitam 76.4153 Ceriops decandra Rhizophoraceae Bido-bido 66.9004 Ceriops tagal Rhizophoraceae Soga tingi 15.396 Jumlah 300.000

c) Muara Sangkima

Berdasarkan hasil analisis plot botani terhadap vegetasi pohon dengan dbh

≥10 cm pada 16 petak ukur berukuran 10 x 10 m diketahui bahwa kerapatan

pohon di Muara Sangkima TNK 613 pohon/ha, dbh rata-rata 35.2 cm, basal area

64.69±16.181 m2/ha dan minimum ada 6 jenis pohon yang termasuk dalam 6

marga dan 4 suku berbeda yang dijumpai di kawasan ini.

Dari 6 jenis pohon yang ditemui di Muara Sangkima, jenis yang dominan

adalah Rhizophora apiculata dengan INP = 167.667%, menyusul Bruguiera

gymnorrhiza dengan INP = 91.555%, dan Ceriops decandra dengan INP =

26.397%, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 17.

Berdasarkan hasil analisis plot botani terhadap anakan pohon dengan dbh

2 - 10 cm pada 16 petak contoh yang berukuran 5 x 5 meter diketahui bahwa

kerapatan 1250 individu/ha, dbh rata-rata 5.21 cm, basal area 3.127±0.514 m2/ha

dan minimum ada 7 jenis tumbuhan yang termasuk dalam 6 marga dan 4 suku

yang dijumpai di Muara Sangkima ini.

Page 142: scylla serrata

122  

 

Tabel 17 Indeks Nilai Penting (INP) dari vegetasi pohon di Muara Sangkima.

No. Nama Jenis Nama Suku Nama Lokal INP (%) 1 Rhizophora apiculata Rhizophoraceae Bakau minyak 167.6672 Bruguiera

gymnorrhiza Rhizophoraceae Bakau daun besar 91.5553 Ceriops decandra Rhizophoraceae Bido-bido 26.3974 Osbornia octodonta Myrtaceae 4.8365 Hibiscus tiliaceus Malvaceae Waru 4.7726 Lumnitzera littorea Combretaceae 4.772 Jumlah 300.000

Dari 7 jenis pohon yang ditemui, jenis yang dominan adalah Rhizophora

apiculata dengan INP = 133.451%, menyusul Bruguiera gymnorrhiza dengan INP

= 66.177%, dan Ceriops decandra dengan INP = 58.471%. Untuk lebih jelasnya

dapat dilihat pada Tabel 18.

Tabel 18 Indeks Nilai Penting (INP) dari vegetasi anakan pohon diamater 2 – 10 cm di Muara Sangkima.

No. Nama Jenis Nama Suku Nama Lokal INP (%) 1 Rhizophora apiculata Rhizophoraceae Bakau minyak 133.4512 Bruguiera

gymnorrhiza Rhizophoraceae Bakau daun besar 66.177

3 Ceriops decandra Rhizophoraceae Bido-bido 58.4714 Osbornia octodonta Myrtaceae 15.2165 Avicennia lanata Verbenaceae Api-api 13.8536 Ceriops tagal Rhizophoraceae Soga tingi 6.5767 Hibiscus tiliaceus Malvaceae Waru 6.255 Jumlah 300.000

5.1.1.2 Kelimpahan Makrozoobenthos

Makrozoobentos adalah organisme yang tidak mempunyai tulang belakang

dan hidup di dasar perairan dengan ukuran > 1 mm. Umumnya hewan bentos yang

berada di perairan terdiri dari beberapa jenis, diantaranya Echinodermata,

Crustacea dan Moluska (Ziegelmeier 1972). Berdasarkan ukurannya, hewan

bentos dapat dikelompokan menjadi tiga yaitu macrofauna yang berukuran > 1

mm, microfana yang berukuran < 50 μm dan meiofauna yang berukuran antara

macrofauna dan microfauna (Sumich 1979).

Page 143: scylla serrata

123  

 

Kepiting bakau merupakan pemakan segala bangkai (omnivorous

scavengers) (Arriola dalam Moosa et al. 1985). Kepiting bakau dewasa juga

merupakan hewan pemakan benthos atau organisme yang bergerak lambat seperti

bivalvia, kepiting kecil, kumang/kelomang, cacing, gastropoda, dan krustasea

(Juwana pers comm. 2009). Oleh karena itu, kelimpahan hewan benthos dapat

digunakan sebagai indikator pakan alami, untuk menduga kehadiran S. serrata

pada suatu ekosistem. Kepiting bakau makan dengan menggunakan capitnya,

maka hewan benthos yang diamati dalam penelitian ini adalah macrofauna, yang

termasuk dalam kelompok epifauna dan fauna pohon, Epifauna (surface fauna)

adalah fauna yang hidup di atas permukaan tanah dan meliang (menggali lubang).

Fauna pohon, adalah fauna yang menempel pada akar dan batang atau cabang

pohon. Hewan benthos yang berukuran mikro tidak diamati karena ukurannya

yang terlalu kecil juga tidak memungkinkan bagi kepiting untuk mengambil

dengan capitnya.

Makrozoobentos yang diperoleh selama penelitian sebanyak 21 famili dari

4 kelas, meliputi 10 famili dari kelas Gastropoda, 5 famili dari kelas Pelecypoda,

6 famili dari kelas Malacostraca, dan 1 famili Polychaeta (Lampiran 22).

Kelimpahan makrozoobenthos di tiga lokasi pengamatan disajikan pada Gambar

30 .

Pada kelas Gastropoda, kelimpahan makrozoobenthos yang tertinggi

adalah Littoridae dengan kepadatan 8 ind/m2. Selanjutnya adalah Potamodidae

(Telescopium sp), Muricidae, Cherithidae, dan Potamodidae (Telebralia sp). Pada

kelas Pelecypoda (Bivalvia) makrozoobenthos yang memiliki kelimpahan

tertinggi adalah Ostreidae dengan rata-rata kelimpahan 5.5 ind/m2, kemudian

diikuti oleh Corbiculidae, dari jenis Geloina sp sebesar 2.75 ind/m2. Sedangkan

dari kelas Malacostraca, kelimpahan tertinggi terdapat pada famili Paguridae,

yang meliputi berbagai jenis kelomang air, dengan kelimpahan 8 ind/m2. Famili

lain yang melimpah adalah Ocypodidae (Uca sp) dengan kelimpahan 6 ind/m2.

Page 144: scylla serrata

 

a

k

l

M

5

d

c

K

m

KELIMPA

HAN M

AKR

OZO

OBE

NTH

OS

id/

²

Gamb

Di lo

atau sedikit

karena kepa

lokasi lain.

Malacostrac

sehingga ba

saluran air.

5.1.1.3 P

Sera

di permukaa

cabang, bata

Kehilangan

merupakan

0

1

2

3

4

5

6

7

8

KELAS GASTRO

PODA

Telebralia 

2.75

0.50.25in

d/m²

bar 30 Kelim

okasi Muara

ditemukan d

adatan veget

. Di lokas

ca, karena ko

anyak jenis

Produksi Se

sah adalah s

an tanah ata

ang utama, d

tahunan d

bagian utam

Telescop

ium 

Littoridae

Neritidae

Cherithidae

hid

21.25

0.5 0.25

1.53.75

0

2

0

0.5

3

1

1.5

1

mpahan mak

Sangatta be

dibandingka

asi di lokasi

si ini makr

ondisi lokas

ini yang ik

erasah

sisa organik

au di dalam

daun, dan b

dari daun,

ma dari gug

Trochidae

Den

taliidae

Nassaridae

Muricidae

Olividae

0 0.25 0.25 0.25 0.20.75 0

0.5

2

0

1.25

0

0.5

1.5

0.2

JE

M Sangatta

krozoobentho

eberapa fami

an pada loka

i Muara San

rozoobentho

si ini lebih t

kut terbawa

dari tanaman

m mineral ta

uah, yang m

bunga, bua

guran serasa

Olividae

KELAS PELECY

PODA

Corbiculidae

 (Geloina

 sp)

Ostreidae

250.75 0.750

0.5

4

25

1.5

0.75

ENIS MAKROZO

T Perancis

os di habitat

ili Gastropod

si lainnya. H

ngatta juga l

os lebih di

terbuka dan

pasang dari

n dan hewan

anah. Serasa

menumpuk p

ah, ranting,

ah pada eko

Tape

s ph

ilipp

inarum

Lucinidae

Anadara 

5 0.51.25

0

0.25

0

0.25

5

0

1

0

OOBENTHOS

M Sangkim

mangrove T

da cenderun

Hal ini mung

lebih rendah

idominasi o

banyak laha

i laut melalu

n, yang ditem

ah terdiri ata

pada permuk

, dan serpi

osistem huta

KELAS MALACO

STRA

CA

Ocypo

didae (Ucha sp)

Penaidae (P

enaeus sp)

Grapsidae

 (Sesarma sp)

Portun

idae

(Thalamita

sp)

2.5

0.75

1.751.2

1.75

0.5

1.5

0.

1.75

0.25

0.75

0.2

mah

124

TNK

g tidak ada

gkin terjadi

h dibanding

oleh kelas

an tambak,

ui saluran-

mukan baik

as guguran

kaan tanah.

ihan kulit,

an. Serasah

Portun

idae

 (Thalamita

 sp)

Upo

gebidae (Upo

gebia sp)

Paguridae (Pagurus sp)

KELAS PO

LYCH

AETA

25

0

3.5

0.25

2.25

25

0.25

2.75

Nereis lim

nicola

0.5

1.25

1

Page 145: scylla serrata

 

d

b

m

a

m

p

P

d

j

y

d

y

d

daun merup

Schlesinger

Sera

bakau. Hasi

materi yang

adalah krust

serasah.

Gambar 3

Hasi

mangrove di

pada musim

Produksi se

dibanding di

juga paling

yang daunny

serasah man

Prod

dibanding p

yang memp

serasah man

dibandingka

0.00

5.00

10.00

15.00

20.00

25.00

pakan 70%

dalam Sihai

sah merupa

il penelitian

g diidentifik

tasea, dan s

31 Grafik ni

l analisa pr

i beberapa lo

m kemarau

erasah di T

i lokasi lainn

tinggi dan

ya relatif leb

ngrove di TN

duksi serasah

pada musim

pengaruhi gu

ngrove Semb

an dengan

muara sangatta

11.56

23.77

% dari total

inenia 2008)

akan salah s

n McCann d

kasi pada pe

sisanya 28-3

ilai rata-rata

roduksi sera

okasi di TNK

dan antara

Teluk Peran

nya, karena k

jenis vegeta

bih tebal, se

NK dapat dil

h mangrove

kemarau. S

uguran sera

bilang, Sum

musim kem

teluk pranci

13.38

7 24.45

l serasah d

).

satu alterna

dalam Arifin

encernaan k

30% terdiri

produksi ser

asah memper

K bervariasi

23.77 – 24

ncis menunj

kerapatan ve

asi yang me

ehingga sera

lihat pada G

di TNK pa

Soeroyo (200

asah mangro

matera Utara

marau. Hal

s muara sangkima

12.47

5 23.89

di permukaa

atif makanan

n (2006) me

kepiting ada

atas sejuml

rasah di hab

rlihatkan ba

i antara 11.5

4.45 ton/ha/t

jukkan nila

egetasi mang

endominasi

asahnya lebih

ambar 31 .

ada musim h

03) menyata

ove adalah c

jauh lebih t

l ini sejala

9

pr(to

pr(to

an tanah (W

n alami bag

enyatakan b

alah molusk

lah kecil tan

itat mangrov

ahwa produk

56 – 13.38 to

th pada mu

ai yang pal

grove di loka

adalah Rhiz

h berat. Nila

hujan jauh l

akan, salah

curah hujan

tinggi di mu

an dengan

roduksi serasahon/ha/th) juli

roduksi serasahon/ha/th) dese

125

Waring &

gi kepiting

ahwa 50%

ka, 20-22%

naman dan

ve TNK.

ksi serasah

on/ha/tahun

sim hujan.

ling tinggi

asi tersebut

zophora sp

ai produksi

ebih tinggi

satu faktor

n. Guguran

usim hujan

penelitian

h ember

Page 146: scylla serrata

126  

 

Bunyavejchewin dan Nuyim dalam Zamroni (2008), guguran serasah daun di

hutan mangrove primer Thailand selatan sangat fluktuatif. Selama musim panas

serasah meningkat pada bulan Januari-Maret, Pertengahan musim hujan serasah

meningkat di bulan Juli-Agustus, dan di akhir musim hujan serasah meningkat di

bulan November-Desember.

5.1.1.4 Kondisi Hidro-Oseanografi

A. Pasang Surut Laut

Pasang surut di perairan pesisir Kabupaten Kutai Timur termasuk tipe

campuran cenderung ke harian ganda atau mixed prevailing semidiurnal (Unmul

2002), yaitu kecenderungan dalam satu hari terjadi dua kali air pasang dan dua

kali air surut dengan amplitudo dan periode pasang surut yang berbeda. Fluktuasi

pasang surut maksimum tercatat sebesar 2.5 meter pada saat pasang purnama

(Dishidros 2005; Unmul 2002).

Tinggi rendah pasang surut akan berpengaruh dalam kelimpahan S.

serrata, karena S. serrata keluar masuk habitat mangrove biasanya bersamaan

dengan mekanisme arus pasang dan surut. Selama pelaksanaan penelitian

diketahui bahwa S. serrata akan masuk ke hutan mangrove pada saat pasang

untuk mencari makan, sehingga pada saat seperti inilah para nelayan akan

memasang perangkap di tepi-tepi perairan, berupa rakkang yang diberi umpan

ikan rucah untuk memancing kepiting masuk dalam perangkap. Sedangkan

nelayan yang menangkap kepiting dengan pengait akan mencari kepiting tepat

pada saat air mulai surut, karena pada saat itu kepiting akan mencari lubang untuk

bersembunyi.

Semua nelayan yang diwawancarai sepakat menyatakan bahwa kepiting

tidak akan ditemukan pada saat ‘konda’, yaitu kondisi dimana air diam, tidak

pasang dan tidak juga surut. Konda terjadi diantara dua pasang besar yang terjadi

pada setiap bulan. Menurut perhitungan nelayan di kawasan mangrove TNK,

pasang besar terjadi pada saat air pasang/surut besar pada setiap tanggal 13-18

kalender hijriah (menjelang purnama-setelah purnama) dan tanggal 29-3 (bulan

mati/bulan sabit). Di luar tanggal-tanggal tersebut terjadilah konda. Konda

biasanya terjadi antara 3-5 hari.

Page 147: scylla serrata

127  

 

Karena pesisir Kutai Timur termasuk dalam jenis pasang tipe campuran

cenderung ke harian ganda (Dahuri 2001), maka terjadi dua kali pasang harian

dengan puncak yang berbeda. Air pasang harian, atau nyorong menurut istilah

nelayan, mulai terjadi jam 5-6 sore, mencapai puncak tertinggi jam 9-10 malam.

Selanjutnya air mulai surut, hingga surut terendah harian terjadi pada jam 11-12

malam. Pasang berikutnya terjadi pada pukul 7-8 pagi, dan mulai surut pada jam

12 siang.

Pasang surut ini juga berpengaruh dalam usaha budidaya sylvofishery

kepiting bakau, karena mekanisme penggantian air dalam kurungan tancap

tergantung pada pasang surut air laut tersebut. Sehingga pada areal yang tidak

selalu tergenang oleh pasut akan memerlukan teknologi tambahan berupa pompa

air untuk mengganti air dalam kurungan, sementara secara teknis hal ini agak sulit

dilakukan pada daerah pesisir yang terpencil dan akses yang sulit untuk

memperoleh listrik atau bahan bakar minyak.

B. Arus Laut

Kecepatan arus permukaan maksimum di perairan pesisir Kab. Kutai

Timur terjadi pada saat pergerakan pasang surut terbesar, yaitu saat neap tide dan

spring tide dengan kecepatan arus rata-rata mencapai 20-80 cm/detik dengan arah

arus pasang 250°-333° dan arah arus surut mempunyai arah 36°-130° (Unmul

2002).

Arus perairan yang terjadi di perairan pesisir Kabupaten Kutai Timur

dikaitkan dengan fluktuasi pasang surut memperlihatkan perubahan arah dan

kecepatan arus sesuai dengan perubahan pasang surut. Hal tersebut

mengindikasikan adanya pengaruh yang dominan dari pasang surut terhadap arus.

Kecepatan arus pada waktu air pasang lebih kecil dibanding kecepatan arus pada

waktu air surut, karena pada waktu surut ada tambahan massa air tawar. Arah arus

laut dapat menjadi indikasi bagi arah ruaya kepiting bakau betina yang beruaya ke

laut untuk memijah.

C. Gelombang Laut

Berdasarkan sumbernya, gelombang di pantai selatan dapat dibedakan dari

jenis gelombang alun dan gelombang angin. Gelombang alun merupakan

Page 148: scylla serrata

128  

 

gelombang rambat yang berasal dari wilayah atas Kalimantan yang kemudian

merambat mencapai pesisir. Pada umumnya gelombang alun lebih tinggi daripada

gelombang angin. Gelombang tinggi terjadi bila terdapat super posisi gelombang

alun dan gelombang angin (Unmul 2002).

Menurut nelayan lokal, musim angin di perairan laut Kabupaten Kutai

Timur dapat dibedakan menjadi 3, yaitu musim angin utara (Pebruari-April),

musim angin selatan (Mei-September), dan musim angin pancaroba/peralihan

(Oktober-Januari). Pada musim angin utara, gelombang kecil, sehingga perairan

laut relatif tenang. Pada musim angin selatan mulai bertiup angin yang

menyebabkan gelombang menjadi tinggi. Musim yang paling buruk biasanya

terjadi pada musim peralihan dimana terjadi putaran angin yang menyebabkan

gelombang tinggi dan arah gelombang tidak menentu, sehingga berbahaya bagi

pelayaran.

Gelombang laut di perairan pesisir Kabupaten Kutai Timur relatif kecil.

Berdasarkan informasi nelayan setempat gelombang pada kondisi normal

maksimum sekitar 30 – 50 cm. Di wilayah perairan laut antara 1 sampai 2 mil dari

garis pantai terdekat kisaran tinggi gelombang lebih tinggi dibandingkan wilayah

laut lainnya sedangkan pada perairan terluar mempunyai tinggi gelombang

berkisar 50 – 70 cm (Unmul 2002).

Berdasarkan hasil penelitian kerjasama antara Bappeda Kutai Timur

dengan Universitas Mulawarman (2002) yang dilaksanakan pada bulan Nopember

2001, tinggi gelombang rerata mencapai 20 cm dengan periode gelombang 20

detik per rangkaian gelombang.

Tinggi gelombang laut ini sangat berpengaruh bagi kelangsungan

budidaya sylvofishery dalam mangrove. Karena budidaya ini menggunakan jaring

nilon yang relatif lemah, adanya gelombang yang besar dan kadang kala

membawa batang-batang kayu yang dapat menghancurkan jaring. Pada bulan

Februari-Maret 2010 ini, tingginya gelombang pada musim peralihan telah

menghancurkan kurungan tancap kepiting nelayan di Muara Sangatta, dan juga

alat tangkap ikan yang berupa belat (sero) yang dipasang di pinggir pantai. Oleh

karena itu perlu diperhatikan teknologi dalam pembuatan kurungan tancap

sylvofishery ini, agar dapat mengantisipasi kondisi buruk akibat gelombang.

Page 149: scylla serrata

129  

 

5.1.2 Karakteristik Habitat Mangrove

Karakteristik habitat mangrove dianalisis dengan analisis statistik

multivariabel, yaitu dengan menggunakan Analisis Komponen Utama

(PCA/Principal Component Analysis).

Hasil analisis matriks korelasi menunjukkan bahwa informasi penting

yang menggambarkan korelasi antar parameter tergambarkan pada dua sumbu

utama (F1 dan F2), dengan kualitas informasi masing-masing 43% dan 25%,

sehingga ragam karakteristik habitat mangrove menurut stasiun penelitian

berdasarkan parameter biofisik kimia lingkungan sudah dapat dijelaskan melalui

dua sumbu utama sebesar 68% dari ragam total. Parameter lainnya yang berada

pada sumbu F3 dan seterusnya tidak dibahas disini, karena dianggap kecil

pengaruhnya.

Parameter yang berkontribusi pada sumbu utama F1 adalah DO, salinitas,

tekstur substrat, BOD, dan kelimpahan S. serrata. Parameter yang berkontribusi

pada sumbu utama F2 adalah kerapatan vegetasi, pH, kelimpahan

makrozoobenthos, COD, dan temperatur.

a Diagram lingkaran korelasi antara parameter biofisik kimia lingkungan dengan kelimpahan S. serrata pada sumbu F1 dan F2.

b Diagram representasi distribusi substasiun penelitian berdasarkan paramater biofisik kimia lingkungan pada sumbu F1 dan F2.

Gambar 32 Grafik Analisis Komponen Utama keterkaitan karakteristik habitat biofisik kimia perairan dan kelimpahan S. serrata bulan Juli 2009.

pHa

SALa

DOa

BODa

TEMPaCODa

TEKs

VEG

BENTH

SCYL

-1.5

-1

-0.5

0

0.5

1

1.5

-2 -1 0 1 2

--ax

is 2

(25%

) -->

-- axis 1 (43% ) -->

Correlations circle on axes 1 and 2 (68% )

A-1

A-2

A-3B-1

B-2

B-3

C-1C-2

C-3pHa

SALaDOa

BODa

TEMPaCODa

TEKs

VEG

BENTH

SCYL

-3

-2

-1

0

1

2

3

-4 -2 0 2 4 6

--ax

e 2

(25%

) -->

-- axe 1 (43% ) -->

Biplot on axes 1 and 2 (68% )

Page 150: scylla serrata

130  

 

Diagram lingkaran korelasi perpotongan sumbu F1 dan F2 (Gambar 32 a)

untuk data pengamatan bulan Juli (kondisi musim kemarau) memperlihatkan

adanya korelasi positif antara parameter kelimpahan S. serrata dengan BOD dan

tekstur substrat yang berkontribusi membentuk sumbu F1 positif, sedangkan

parameter DO, dan salinitas berkontribusi membentuk sumbu F1 negatif. Hal ini

menunjukkan bahwa kelimpahan S. serrata sangat dipengaruhi oleh tekstur

substrat dan BOD. Peningkatan fraksi debu/silt (lumpur) pada tekstur substrat

akan meningkatkan kelimpahan S. serrata. Tekstur substrat dan kerapatan

vegetasi mempunyai hubungan yang positif, semakin tinggi kerapatan vegetasi

makin tinggi lumpur substratnya.

Peningkatan salinitas akan berpengaruh negatif terhadap kelimpahan S.

serrata, sedangkan BOD akan menurun bila DO meningkat. Kerapatan vegetasi

membentuk sumbu F2 positif, dan mempunyai hubungan positif terhadap

kelimpahan S. serrata. pH air yang terletak pada sumbu F2 positif, mempunyai

hubungan yang negatif dengan temperatur dan COD, setiap peningkatan COD dan

temperatur akan menurunkan pH dan menurunkan kelimpahan S. serrata.

Dekatnya hubungan antara kerapatan vegetasi, tekstur substrat dan

kelimpahan kepiting bakau menunjukkan bahwa hutan mangrove merupakan

habitat bagi kepiting bakau. Hal ini telah dinyatakan sebelumnya oleh Moosa et

al. (1985), yang menyatakan bahwa jenis kepiting bakau berdistribusi luas sesuai

dengan sebaran geografi hutan mangrove di Indopasifik Barat, sehingga daerah

perikanan kepiting bakau yang produktif diperkirakan selalu berada di sekitar

hutan mangrove. Sedangkan McNae dalam Sihainenia (2008), menyatakan bahwa

sebagian besar siklus hidup kepiting bakau dilalui di sekitar muara sungai dan

hutan mangrove. Sistem perakaran vegetasi mangrove yang padat dan kusut,

merupakan tempat yang aman bagi kepiting bakau untuk berlindung terutama

ketika berada dalam keadaan bertubuh lunak setelah proses ganti kulit.

Snedaker dan Getter (1985), menyatakan bahwa habitat kepiting bakau

adalah perairan intertidal, atau daerah dekat hutan mangrove yang bersubstrat

lumpur. Sistem perakaran mangrove yang khas dan kompleks menjadi penjebak

sedimen, sehingga membentuk fraksi substrat dasar yang halus. Menurut

Nybakken (1992), gerakan air yang lambat pada daerah hutan mangrove

Page 151: scylla serrata

131  

 

ditingkatkan oleh mangrove itu sendiri. Akar penyangga yang khas, memanjang

ke bawah dari batang dan dahan mangrove, sangar banyak, padat, dan kusut,

sehingga mengurangi gerakan air. Kondisi ini menyebabkan partikel substrat

dasar yang halus akan mengendap di sekelilingi akar mangrove, membentuk

kumpulan lapisan sedimen lunak dan sangat sulit dialirkan ke luar. Kepiting bakau

memiliki tingkah laku menggali lobang dan membenamkan diri dalam lumpur

untuk berlindung, terutama pada saat moulting. Nybakken (1992), menyatakan

bahwa lobang-lobang itu juga berguna untuk komunikasi antar vegetasi mangrove

(mangal), yaitu dengan cara melewatkan oksigen agar masuk ke dalam substrat

yang lebih dalam, sehingga dapat memperbaiki kondisi anoksik, mengingat

substrat dasar hutan mangrove dicirikan oleh kadar oksigen yang rendah. Selain

itu kanopi pohon mangrove menciptakan naungan yang sangat baik, sehingga

dapat menjadi peredam sinar matahari untuk mencegah peningkatan suhu

perairan. Dengan demikian hutan mangrove menjadi daerah perlindungan yang

ideal bagi kepiting bakau.

Kerapatan vegetasi mangrove yang tinggi juga menjadikan hutan

mangrove sebagai daerah asuhan dan mencari makan bagi kepiting bakau pada

tingkat megalopa dan kepiting muda (juvenil), yang setelah melewati stadia zoea

akan kembali memasuki hutan mangrove. Setelah menetas, megalopa dan kepiting

muda akan terbawa arus ke pantai atau muara sungai untuk mencari makan dan

berlindung. Kerapatan vegetasi mangrove yang tinggi, juga menjadi sumber

makanan alami bagi berbagai organisme yang berasosiasi di dalamnya termasuk

kepiting bakau. Hutching & Saenger (1987), menyatakan bahwa kepiting bakau

hidup di sekitar hutan mangrove dan memakan akar-akarnya (pneumatophore).

Kelimpahan S. serrata dipengaruhi juga oleh salinitas perairan. Kasry

(1996) meneliti bahwa salinitas yang sesuai untuk pemeliharaan larva kepiting

bakau pada tingkat zoea berkisar antara 29-33 ‰, sedangkan pada fase megalopa

perkembangan terbaik ada pada salinitas yang lebih rendah yaitu pada kisaran 21-

27 ‰. Penelitian Ong (1964) menunjukkan bahwa pertumbuhan rata-rata S.

serrata fase pasca larva pada salinitas 21-26 ‰ jauh lebih cepat dibanding pada

salinitas 25-26 ‰ atau pada salinitas 30-31 ‰. Mardjono et al. (1992)

menyatakan bahwa salinitas akan mempengaruhi keseimbangan cairan, koefisien

Page 152: scylla serrata

132  

 

penyerapan, tekanan osmosis, dan viskositas. Perubahan salinitas akan

mempengaruhi sifat fungsional dan struktur organisme. Untuk dapat

menyesuaikan diri dengan perubahan salinitas, kepiting akan mengubah

konsentrasi cairan tubuhnya sesuai dengan lingkungannya melalui kombinasi

proses osmosis dan difusi.

Kisaran total salinitas yang dapat ditoleransi organisme kepiting bakau

lebih besar pada perairan payau, asin atau sangat asin dibandingkan pada perairan

tawar. Oleh karena itu, pada tahap akhir fase larva kepiting bakau harus mencari

perairan muara sungai atau perairan hutan bakau yang salinitasnya lebih rendah

untuk berlindung dan mencari makan (Kasry 1996). Pengaruh salinitas terhadap

kelimpahan S. serrata dapat diamati dengan jelas pada saat terjadi hujan di

daratan. Runoff yang tinggi menyebabkan terjadinya salinitas 0 ppm di muara

sungai, pada kondisi seperti ini biasanya nelayan sulit mendapatkan kepiting

dengan menggunakan rakkang. Demikian juga yang terjadi pada saat konda,

dimana air tidak pasang dan tidak surut, dimana lantai mangrove akan sedikit

tertutup air selama 3-4 hari, pada kondisi ini kepiting sulit ditemukan.

Diagram representasi stasiun penelitian, dalam kaitannya dengan

parameter biofisik kimia lingkungan pada perpotongan sumbu F1 dan F2 (Gambar

32 b), memperlihatkan adanya 3 kelompok substasiun. Kelompok substasiun B1

dan B3 (B1: zona perairan Teluk Perancis, B3: zona tengah hutan Teluk Perancis)

dicirikan oleh parameter kelimpahan makrozoobenthos, dan salinitas air yang

tinggi. Sedangkan kelompok substasiun A1 (zona perairan Muara Sangatta), A2

(zona depan hutan mangrove Muara Sangatta), A3 (zona tengah hutan mangrove

Muara Sangatta), dan C3 (zona tengah hutan mangrove Muara Sangkima)

dicirikan dengan adanya kerapatan vegetasi, tekstur substrat, BOD, dan

kelimpahan S. serrata yang tinggi. Dan kelompok C1, C2, dan B2, dicirikan oleh

parameter lain yang tidak terangkum disini.

5.1.3 Biologi Scylla serrata

5.1.3.1 Hubungan Lebar Karapas dan Bobot

Pola pertumbuhan kepiting bakau dianalisa menggunakan metode regresi

dengan melihat hubungan antara lebar karapas kepiting bakau dengan bobot

Page 153: scylla serrata

133  

 

tubuhnya. Hubungan lebar karapas dan bobot S. serrata di ketiga stasiun

pengamatan disajikan pada Tabel 19.

Nilai b akan menjadi indikator yang mendeskripsikan pola pertumbuhan

kepiting bakau, sedangkan melalui nilai koefisien korelasi (r2) dapat dilihat

keeratan hubungan antara lebar karapas kepiting bakau dan bobot tubuhnya,

sehingga dapat ditentukan apakah individu dalam suatu populasi dapat diduga

bobot tubuhnya dengan mengetahui ukuran tubuhnya atau tidak dapat diduga.

Nilai koefisien korelasi (r2) untuk pola pertumbuhan kepiting tangkapan dari alam

berkisar antara 0.886-0.924 menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang cukup

erat antara ukuran lebar karapas dengan dengan bobot tubuhnya, sehingga

biomass suatu populasi dapat diduga dengan mengetahui ukurannya. Namun r2

untuk S. serrata hasil sylvofishery mempunyai nilai yang lebih rendah, yaitu

0.577-0.674. Rendahnya koefisien korelasi pada pola pertumbuhan budidaya

sylvofishery kemungkinan disebabkan oleh sedikitnya jumlah sampel yang

digunakan.

Tabel 19 Hubungan lebar karapas dan bobot kepiting S. serrata.

Stasiun

W= a Lb

Sex N Lmax A b R2

Sangatta Jantan 656 143 0.0001 3.038 0.886

Betina 591 155 0.004 2.328 0.876

Tl prancis

Jantan 252 148 0.0004 3.393 0.917

Betina 114 138 0.001 2.609 0.913

Sangkima

Jantan 346 154 0.0006 3.323 0.924

Betina 194 151 0.0001 2.680 0.886

Sylvofishery Jantan 65 97 0.002 2.409 0.577

Betina 135 98 0.002 2.422 0.674

Uji t betina thit = 6.02056 ttabel = 3.1824 P = 0.009

Uji t jantan thit = 3.3692 ttabel = 3.1824 P = 0.0434

Hasil uji t nilai b untuk kepiting jantan maupun kepiting betina

menunjukkan bahwa thit lebih besar dibanding ttabel, sehingga dapat dikatakan

Page 154: scylla serrata

134  

 

hubungan lebar karapas dengan bobot S. serrata di habitat mangrove TNK tidak

isometrik. Perbedaan ini cukup signifikan dengan nilai P<0,05. Pola pertumbuhan

S. serrata jantan di alam pada semua lokasi menunjukkan nilai konstanta b>3,

berarti konstanta pertumbuhan S. serrata jantan di wilayah tersebut adalah

allometrik positif, atau dapat dikatakan pertumbuhan bobot tubuh lebih cepat

daripada pertumbuhan lebar karapas. Hal ini terjadi karena S. serrata jantan

adalah memiliki morfologi bentuk chela yang lebih besar dibanding S. serrata

betina. Sehingga bila berada pada ukuran lebar karapas yang sama,

kecenderungan S. serrata jantan lebih berat bobotnya, karena chela menambah

bobot tubuhnya. Penelitian Chakrabarti dalam Bonine et al. (2008) dan

Siahainenia (2008) menunjukkan S. serrata memiliki sifat seksualitas dimorfisme,

dimana kepiting jantan cenderung menjadi lebih berat dibanding kepiting betina

pada lebar karapaks yang sama. Selain itu, hasil tangkapan S. serrata jantan pada

penelitian ini kebanyakan berukuran besar yang sudah matang gonade, sehingga

kepiting jantan sudah jarang melakukan moulting dibanding pada saat kepiting

masih juvenil. Dengan frekuensi moulting yang rendah, asupan makanan lebih

banyak digunakan untuk pertambahan bobot.

Pola pertumbuhan S. serrata betina di semua lokasi penelitian

menunjukkan nilai konstanta b<3, berarti pola pertumbuhan kepiting betina di

habitat mangrove TNK adalah alometrik negatif, atau berarti pertumbuhan bobot

tubuh lebih lambat daripada pertumbuhan karapasnya. Pada kepiting betina pola

allometrik negatif terjadi karena S. serrata betina menggunakan asupan makanan

lebih banyak untuk moulting dan proses kematangan gonad (bertelur).

Pertumbuhan kepiting betina cenderung lebih ke arah lebar karapas karena

kepiting betina akan moulting setiap akan melakukan proses kopulasi.

Pada Scylla serrata jantan moulting lebih jarang terjadi, asupan makanan

cenderung digunakan untuk memanjangkan dan membesarkan chelae (capit),

yang berperan penting pada proses perkawinan. Onyango (2002) menyatakan,

Scylla serrata jantan biasanya memiliki capit sangat besar dibandingkan dengan

betina dengan ukuran yang sama dan lebih disukai oleh nelayan selama lebar

karapas lebih dari 70 mm, hal ini bisa menghasilkan perbedaan ukuran yang

signifikan antara jantan dan betina. Oleh karena itu bila berada pada ukuran lebar

Page 155: scylla serrata

135  

 

karapas yang sama, kecenderungan S. serrata jantan lebih besar bobotnya, karena

capitnya menambah bobot tubuhnya. Kasry (1996), menyatakan capit (chela)

kepiting bakau yang besar dan kuat memungkinkannya untuk menyerang musuh,

atau merobek-robek makanannya.

Allometri dari capit kepiting jantan dapat digunakan untuk menentukan

ukuran morfometrik jantan dewasa, sehingga dapat digunakan sebagai dasar

pengelolaan konservasi (Hall et al. 2006). Analisis pertumbuhan secara allometri

pada capit dibanding ukuran tubuh (lebar karapas) dipakai untuk memperkirakan

rata-rata awal ukuran dewasa kepiting (Watters and Hobday 1998; Bueno &

Shimizu 2009). Walton et al. (2006) menyatakan hubungan alometrik antara

tinggi chela dan lebar karapas menunjukkan 50% kepiting jantan memperoleh

kedewasaan chela pada lebar karapas internal (Internal Carapace Width/ICW)

10.2 cm. Ukuran capit yang besar pada kepiting bakau jantan dewasa kelamin

sangat berfungsi ketika mendekap atau mengepit kepiting bakau betina selama

masa percumbuan yakni ketika kedua individu kepiting bakau ini berada dalam

posisi berpasangan (doublers), serta untuk membalik tubuh kepiting bakau betina

ketika proses kopulasi akan berlangsung (Siahainenia 2008). Capit yang besar

juga dibutuhkan kepiting bakau jantan dewasa kelamin untuk bertarung dengan

jantan lainnya dalam upaya mempertahankan wilayah kawin (matting territory),

mempertahankan dirinya sendiri serta melindungi dan mempertahankan betina

yang menjadi pasangan kawinnya, mengingat menjelang kopulasi kepiting bakau

betina melakukan pergantian kulit (moulting) sehingga bertubuh lunak dan sangat

rentan terhadap serangan atau bahkan pemangsaan dari kepiting bakau lainnya,

karena sifat kanibalisme yang dimilikinya (Kasry 1996).

Penelitian Ali et al. (2004) menunjukkan hubungan lebar karapas-bobot

untuk S. serrata jantan di ekosistem mangrove di Khulna Bangladesh adalah W =

0.0078 CW3.06, sedangkan pada S. serrata betina W = 0.0078 CW1.8928. Di

Rannong Thailand, Cheewasedtham dalam Ali et al. (2004) melaporkan hubungan

CW (mm) and W (g) untuk jantan dan betina masing-masing adalah 0.097131

L3.369 dan 0.559879 L2.559, menurut Poovachiranon (1992) hubungan lebar

karapas-bobot kepiting bakau di ekosistem mangrove Laut Andaman, untuk jantan

adalah 0.0423 L3.726 dan untuk betina 0.3357 L2.726. Hubungan lebar karapas

Page 156: scylla serrata

136  

 

dengan bobot pada induk betina S. serrata matang gonade di Estuari Umlalazy

Afrika Selatan adalah Y = 0,0014 X2,56 (Davis et al. 2004).

5.1.3.2 Distribusi Frekuensi Lebar Karapas

A. Muara Sangatta

i. Jantan

Hasil distribusi frekuensi lebar karapas kepiting jantan di Muara Sangatta

pada tiap bulannya dapat dilihat pada Lampiran 3. Pada bulan Oktober 2008

kisaran kelas panjang kepiting mulai dari 67.5 mm hingga 121 mm. Modus

panjang berada pada ukuran 94.5 mm. Pada bulan November kisaran kelas

panjang dan modusnya masih tetap sama dengan bulan Oktober. Bulan Desember

modus bergeser ke ukuran 103.5 mm, menunjukkan adanya pertumbuhan.

Modus panjang yang ditemukan pada bulan Januari 2009 ditemukan

adanya modus ganda (bimodus) yaitu pada kelas 85.5 mm dan 130.5 m, hal ini

menunjukkan adanya kelompok individu baru pada bulan Januari. Selanjutnya

modus ganda pada bulan Februari 2009 pada kelas 85.5 mm dan 121.5 mm. Pada

bulan Maret 2009 modus menjadi tunggal, dan bergeser ke kiri lagi pada bulan

April menjadi ganda pada ukuran 76.5 mm dan 121.5 mm. Hingga bulan Juni

2009, modus panjang tetap bimodus, namun tidak pernah bergeser ke kiri lagi

Adanya pergeseran modus ke kiri menunjukkan adanya rekruitmen yang

terjadi pada bulan Desember 2008 sehingga masuk individu-individu baru serta

membentuk kelompok ukuran baru pada bulan Januari 2009. Rekruitmen

berikutnya terjadi pada bulan Maret 2009, yang menyebabkan terbentuk

kelompok baru pada bulan April 2009.

Pergeseran modus terjadi dari November 2008 sampai Januari 2009

(kelompok umur pertama). Februari 2009 hingga Maret 2009 (kelompok umur

kedua). April sampai Juli 2009 (kelompok umur ketiga). Kepiting jantan di Muara

Sangatta dari November 2008 sampai Juni 2009 terdiri dari 3 kelompok umur.

Diduga rekruitmen terjadi pada bulan Oktober, Januari, dan Maret.

ii. Betina

Modus ganda yang menunjukkan adanya 2 kelompok ukuran kepiting

betina terjadi pada bulan Februari 2009, dimana modus yang semula pada ukuran

Page 157: scylla serrata

137  

 

102 mm bergeser ke kiri pada ukuran 90 mm, sehingga diduga terjadi rekruitmen

individu baru pada bulan Januari 2009. Rekruitmen berikutnya terjadi pada bulan

Maret 2009, yang menyebabkan terjadi kelompok ukuran baru pada bulan April

2009.

Pergeseran modus terjadi dari Oktober 2008 sampai Januari 2009

(kelompok umur pertama). Februari 2009 hingga April 2009 (kelompok umur

kedua). Mei sampai Juli 2009 (kelompok umur ketiga). Kepiting betina di Muara

Sangatta dari November 2008 sampai Juni 2009 terdiri dari 3 kelompok umur.

Diduga rekruitmen terjadi pada bulan September, Februari, dan Mei. Hasil

distribusi frekuensi lebar karapas kepiting betina pada tiap bulannya di stasiun M.

Sangatta dapat dilihat pada Lampiran 4. Kejadian rekruitmen individu jantan dan

betina di Muara Sangatta terjadi pada bulan yang relatif sama yaitu Januari dan

Maret.

B. Teluk Prancis

i. Jantan

Pergeseran modus terjadi dari Desember 2008 sampai Pebruari 2009

(kelompok umur pertama). Maret 2009 hingga Mei 2009 (kelompok umur kedua).

Kemudian pada bulan Juni 2009 (kelompok umur ketiga). Kepiting jantan di

Teluk Prancis dari Oktober 2008 sampai Juni 2009 terdiri dari 3 kelompok umur.

Diduga rekruitmen terjadi pada bulan November, Pebruari, dan Mei. Hasil

distribusi frekuensi lebar karapas kepiting jantan pada tiap bulannya di stasiun

Teluk Prancis dapat dilihat pada Lampiran 5.

ii. Betina

Pergeseran modus terjadi dari Januari 2009 sampai Pebruari 2009

(kelompok umur pertama). Maret 2009 hingga Juni 2009 (kelompok umur kedua).

Kepiting betina di Teluk Prancis dari Oktober 2008 sampai Juni 2009 terdiri dari

2 kelompok umur. Diduga rekruitmen terjadi pada bulan Desember, dan Maret.

Hasil distribusi frekuensi lebar karapas kepiting betina pada tiap bulannya di

stasiun Teluk Prancis dapat dilihat pada Lampiran 6.

Page 158: scylla serrata

138  

 

C. Muara Sangkima

i. Jantan

Hasil distribusi frekuensi lebar karapas kepiting bakau di stasiun M.

Sangkima pada tiap bulannya dapat dilihat pada Lampiran 1 dan 2. Pada bulan

November 2008 kisaran kelas panjang kepiting mulai dari 76 mm hingga 140

mm. Modus panjang yang ditemukan pada bulan November 2008 ditemukan

adanya modus ganda (bimodus) yaitu pada kelas 100 mm dan 132 mm. Kemudian

pada bulan Desember 2008 pada kelas 101 mm dan 128 mm. Selanjutnya

berturut-turut modus berada pada kelas 110 mm untuk Januari 2009 dan 116 mm

untuk Februari 2009. Hal ini menunjukkan adanya pergeseran modus dari

November 2008 hingga Februari 2009 yang menunjukkan adanya pertumbuhan

(kelompok umur pertama). Sedangkan pada Maret 2009 modus bergeser kembali

ke kiri. Hal ini menunjukkan adanya rekruitmen yang terjadi pada bulan Februari

2009 sehingga masuk individu-individu baru serta membentuk kelompok ukuran

baru pada bulan Maret 2009, pada bulan Maret terjadi bimodus pada kelas ukuran

100 mm dan 140 mm.

Selanjutnya pada bulan April modus kembali bergeser ke kiri lagi pada

ukuran 92 mm, hal ini menunjukkan adanya rekruitmen baru. Pergeseran modus

ke kanan yakni pada kelas 110 mm terjadi pada bulan Mei 2009 (kelompok umur

kedua). Berdasarkan distribusi frekuensi panjang kepiting dari bulan November

2008 hingga Juni 2009 dapat disimpulkan bahwa terdapat dua kelompok umur

yang berbeda pada kepiting jantan yang diamati di M. Sangkima, dengan

rekruitmen yang diduga terjadi pada bulan Februari dan April.

ii. Betina

Pada bulan November 2008 kisaran kelas panjang kepiting mulai dari 76

mm hingga 140 mm. Modus panjang yang ditemukan pada bulan November 2008

ditemukan adanya modus ganda (bimodus) yaitu pada kelas 100 mm dan 132 mm.

Kemudian pada bulan Desember 2008 dan Januari 2009 modus pada kelas 100

mm. Selanjutnya terjadi pergeseran modus ke arah kiri pada bulan Februari 2009,

yaitu di kelas 85 mm. Hal ini menunjukkan adanya rekruitmen pada bulan Januari

2009 yang membentuk kelompok ukuran baru pada bulan Februari 2009.

Page 159: scylla serrata

139  

 

Pada Maret 2009 modus bergeser ke kanan di kelas ukuran 105 dan 135

mm, hal ini menunjukkan adanya pertumbuhan. Selanjutnya pada bulan April

2009 modus kembali bergeser ke kiri lagi pada ukuran 85 mm. Hal ini

menunjukkan adanya rekruitmen baru. Pergeseran modus ke kanan yakni pada

kelas 110 mm terjadi pada bulan Mei 2009.

Berdasarkan distribusi frekuensi panjang kepiting dari bulan November

2008 hingga Juni 2009 dapat disimpulkan bahwa terdapat dua kelompok umur

yang berbeda pada kepiting betina yang diamati di M. Sangkima, dimana diduga

rekruitmen terjadi pada bulan Januari dan April.

Pada wilayah perairan mangrove Blanakan, Tanjung Laut dan Mayangan

terdapat dua puncak rekruitmen kepiting bakau yakni terjadi pada bulan April dan

Mei serta bulan Agustus dan September (Sihainenia 2008).  

Adanya pola rekruitmen kepiting bakau pada bulan-bulan tertentu pada

suatu wilayah merupakan dasar pertimbangan pengelolaan perikanan tangkap,

yaitu untuk menentukan waktu penangkapan. Adanya rekruitmen

mengindikasikan adanya kepiting betina yang memijah, sehingga perlu diatur agar

sebelum terjadi rekruitmen tidak dilakukan penangkapan untuk menghindari

tertangkapnya kepiting bakau betina matang gonade.

5.1.3.3 Parameter Pertumbuhan von Bertalanffy

Kepiting bakau tidak memiliki bagian tubuh keras yang permanen sebagai

indikator pelacak umur, sehingga metode interpretasi ukuran tubuh yang

digunakan adalah lebar karapas. Dengan menggunakan bantuan program Elefan

dari FISAT-II diperoleh nilai dugaan kurva pertumbuhan von Bertalanffy yang

meliputi panjang infiniti (L∞) dan kecepatan pertumbuhan (K). Parameter

pertumbuhan S. serrata di habitat mangrove TNK dapat dilihat pada Tabel 20.

Informasi tentang parameter pertumbuhan merupakan hal yang mendasar

dalam upaya pengelolaan sumberdaya perikanan. Alasannya adalah karena

parameter tersebut dapat memberikan kontribusi dalam menduga produksi, ukuran

stok rekruitmen, dan laju kematian (mortalitas) dari suatu populasi (Sparre &

Venema 1999).

Page 160: scylla serrata

140  

 

Tabel 20 Parameter pertumbuhan S. serrata di habitat mangrove TNK.

STASIUN ♂♀ n Lmin Lmaks L∞ K t0

Sangatta

Jantan 656 50 143 151.2 1.2 -0.748

Betina 591 40 155 161.18 1.5 -0.799

Tl prancis

Jantan 252 71 148 154.39 0.80 -0.896

Betina 114 73 138 147.0 1.1 -0.781

Sangkima

Jantan 346 76 154 159.08 0.45 -1.158

Betina 194 65 151 156.98 0.69 -0.956

Sylvofishery Jantan 65 54 97 96.6 0.45 -0.606

Betina 135 50 98 102.9 4.2 -0.155

Hasil analisa Elefan memperlihatkan lebar karapas maksimum yang dapat

dicapai berkisar antara 143 – 155 mm dengan kecepatan pertumbuhan berkisar

antara 0.45 - 1.5. Di Subang, kecepatan pertumbuhan (K) kepiting bakau dari 4

spesies scylla berkisar antara 1.10-1.50/tahun (Siahainenia 2008).

Kecepatan pertumbuhan S. serrata di Muara Sangatta lebih tinggi

dibanding lokasi lainnya, dengan L∞ yang juga lebih besar. Kondisi Muara

Sangatta yang merupakan muara sungai besar, menjadikan kawasan tersebut

menjadi estuari yang subur dan tinggi produktifitas perikanannya. Suburnya

kawasan ini mungkin salah satu pendorong tingginya jumlah kepiting yang ada

disana. Umumnya kepiting yang ditangkap di Muara Sangatta berukuran dibawah

dewasa kelamin (lebar karapas kurang dari 110 mm). Menurut Siahainena (2008)

kepiting yang berukuran kecil memberikan garis regresi ke arah slope yang lebih

tajam, karena modus tertinggi yang dilalui garis pertumbuhan lebih banyak pada

kelompok kepiting kecil, sehingga K menjadi besar.

Walaupun di Muara Sangatta kebanyakan ditemukan kepiting kecil,

namun demikian, di kawasan tersebut diperoleh juga kepiting betina dewasa

kelamin yang berukuran besar hingga 155 mm. Hal ini diduga terjadi karena

Muara Sungai Sangatta menjadi pintu masuk bagi induk-induk kepiting yang

selesai memijah di laut untuk kembali ke dalam habitat mangrove.

Kecepatan pertumbuhan S. serrata di Muara Sangkima menunjukkan

kecenderungan yang relatif lebih kecil dibanding pada kedua lokasi lainnya. Hal

Page 161: scylla serrata

141  

 

ini berkaitan dengan kondisi ukuran lebar karapas kepiting S. serrata yang

ditemukan di wilayah tersebut umumnya berukuran lebih dari dewasa kelamin,

sehingga kecepatan pertumbuhannya menjadi lebih lambat. Kepiting betina

dewasa kelamin lebih banyak menggunakan energinya untuk pertumbuhan dan

perkembangan gonade (Lavina dalam Siahainenia 2008).

5.1.3.4 Laju Mortalitas dan Laju Eksploitasi

Mortalitas adalah angka kematian dalam populasi. Laju mortalitas adalah

laju kematian, yang didefinisikan sebagai jumlah individu yang mati dalam satu

satuan waktu. Laju mortalitas total dapat disebabkan karena adanya laju mortalitas

alami dan atau laju mortalitas penangkapan. Laju mortalitas alami pada kepiting

bakau disebabkan karena kepiting bakau tidak pernah tertangkap sehingga mati

alami karena umur tua, atau karena daya dukung lingkungan yang rendah,

misalnya akibat perubahan lingkungan yang ekstrim atau tidak tercukupinya

makanan alami (Sparre & Venema 1999).

Analisa laju mortalitas kepiting bakau dilakukan dengan menggunakan

estimasi mortalitas dari FISAT-II, yang didasarkan pada data lebar karapas

kepiting bakau yang tertangkap. Laju mortalitas total (Z) digambarkan sebagai

nilai numerik dari kemiringan (slope) garis regresi antara logaritma N/dt terhadap

umur relatif kepiting yang tertangkap, dan dihitung dari persamaan pertumbuhan

von Bertalanffy yang dikenal dengan metode kurva hasil tangkapan. Nilai laju

mortalitas total, mortalitas alami, dan mortalitas penangkapan pada Tabel 21.

Tabel 21 Mortalitas dan laju eksploitasi S. serrata di habitat mangrove TNK.

STASIUN JENIS Z M F E fakt E max

Sangatta

Jantan 2.89 1.2584 1.6316 0.564 0.457

Betina 4.71 1.430 3.280 0.554 0.355

Tl prancis

Jantan 2.87 0.9430 1.9270 0.671 0.606

Betina 3.40 1.1774 2.2226 0.654 0.555

Sangkima

Jantan 1.36 0.64177 0.71823 0.528 0.555

Betina 1.79 0.85202 0.93798 0.524 0.516

Page 162: scylla serrata

142  

 

a) Muara Sangatta

Laju mortalitas total (Z) kepiting jantan di Muara Sangatta adalah 2.89 per

tahun dengan laju mortalitas alami sebesar 1.2584 per tahun dan laju mortalitas

penangkapan sebesar 1.6316 per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa kematian

kepiting lebih besar disebabkan oleh faktor penangkapan. Selain itu, laju

eksploitasi faktual kepiting jantan di Muara Sangatta sebesar 0.5645 yang berarti

56.45% kematian kepiting jantan di Muara Sangatta disebabkan oleh aktifitas

penangkapan. Pada kepiting betina Z adalah 4.71 per tahun dengan M sebesar

1.4305 per tahun dan F sebesar 3.280 per tahun. Laju eksploitasi faktualnya

adalah 55.40%. Tekanan penangkapan di Muara Sangatta dikatakan sudah

berlebihan, karena laju eksploitasi maksimal yang diperbolehkan adalah 45.7%

untuk kepiting jantan dan 35.5% untuk kepiting betina. Tingginya kematian

karena penangkapan ini terjadi diduga karena di Muara Sangatta terdapat

pemukiman nelayan, sehingga aktifitas penangkapan cukup tinggi. Selain itu,

kondisi ekosistem mangrove Muara Sangatta juga telah terdegradasi akibat

tingginya pembukaan mangrove untuk tambak. Areal lahan kritis di mangrove

Muara Sangatta mencapai ± 440.3 ha. Siahainenia (2008) pada penelitiannya di

Kabupaten Subang juga menemukan bahwa kelimpahan kepiting bakau terendah

umumnya dijumpai pada zona belakang hutan yang memiliki tingkat kerapatan

vegetasi mangrove rendah, serta berada di sekitar areal pemukiman penduduk atau

mendapat tekanan akibat tingginya aktifitas masyarakat.

b) Teluk Perancis

Laju mortalitas total (Z) kepiting jantan di Teluk Perancis adalah 2.87 per

tahun dengan laju mortalitas alami sebesar 0.9430 per tahun dan laju mortalitas

penangkapan sebesar 1.9270 per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa kematian

kepiting lebih besar disebabkan oleh faktor penangkapan. Laju eksploitasi faktual

kepiting jantan di Teluk Perancis sebesar 0.671 yang berarti 67.1% kematian

kepiting jantan di Teluk Perancis disebabkan oleh aktifitas penangkapan. Pada

kepiting betina Z adalah 3.40 per tahun dengan M sebesar 1.1774 per tahun dan F

sebesar 2.2226 per tahun. Laju eksploitasi faktualnya adalah 65.40%,

menunjukkan kematian kepiting betina lebih banyak karena penangkapan.

Tekanan penangkapan di Teluk Perancis sudah melebihi laju eksploitasi maksimal

Page 163: scylla serrata

143  

 

yang diperbolehkan untuk perikanan lestari. Laju eksploitasi maksimal yang

diperbolehkan adalah 60.6% untuk kepiting jantan dan 55.5% untuk kepiting

betina.

Tingginya angka mortalitas penangkapan diduga karena penangkapan

kepiting bakau di lokasi ini lebih banyak menggunakan alat tangkap

pancing/pengait. Teluk Perancis memiliki hutan mangrove yang masih cukup

rapat, sehingga alat tangkap yang sesuai digunakan adalah pengait. Alat tangkap

pengait cenderung hanya menangkap kepiting yang berukuran besar saja,

akibatnya hasil perhitungan konstanta pertumbuhan (K) menjadi kecil, karena

semakin besar kepiting semakin lambat pertumbuhan lebar karapasnya. Nilai K

merupakan salah satu variabel yang dipakai dalam rumus untuk menghitung

mortalitas alami. Kecilnya nilai K akan mempengaruhi nilai mortalitas alami (M)

menjadi lebih kecil (Pauli yang diacu oleh Sparre & Venema 1999), dan akibatnya

nilai mortalitas penangkapan (F) cenderung menjadi lebih besar. Selain itu, di

Dusun Teluk Lombok yang berdekatan dengan Teluk Perancis juga cukup banyak

penduduk, sehingga aktifitas penangkapan juga menjadi lebih besar.

c) Muara Sangkima

Laju mortalitas total (Z) kepiting jantan di Muara Sangkima adalah 1.36

per tahun dengan laju mortalitas alami sebesar 0.6412 per tahun dan laju

mortalitas penangkapan sebesar 0.71823 per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa

kematian kepiting lebih besar disebabkan oleh faktor penangkapan. Laju

eksploitasi faktual kepiting jantan di Muara Sangkima sebesar 0.5281 yang berarti

52.81% kematian kepiting jantan di Muara Sangkima disebabkan oleh aktifitas

penangkapan. Eksploitasi faktual ini masih di bawah eksploitasi maksimal yang

sebesar 55.5%. Pada kepiting betina Z adalah 1.79 per tahun dengan M sebesar

0.852 per tahun dan F sebesar 0.938 per tahun. Laju eksploitasi faktualnya adalah

52.40%, sedikit di atas laju eksploitasi maksimal yang diperbolehkan sebesar

51.6%.

Di lokasi Muara Sangkima banyak terdapat tambak-tambak tradisional.

Kepiting yang ditemukan lebih bervariasi ukuran lebar karapasnya, dibanding

Page 164: scylla serrata

144  

 

kepiting yang ditangkap dalam hutan mangrove. Rendahnya tekanan penangkapan

diduga karena lokasi ini jauh dari pemukiman penduduk.

Walton (yang diacu oleh Ewel 2008) menyatakan bahwa populasi Scylla

serrata dapat mempunyai sebaran ukuran yang berbeda karena perbedaan kondisi

lingkungan dan pola penangkapan. Maka Ewel (2008) menyarankan peraturan

lokal (local regulations) sebagai tambahan daerah larangan (regional restrictions)

mungkin layak (appropriate) untuk banyak wilayah di Indo-Pacific. Pemantauan

populasi secara teratur dapat meningkatkan komunitas kecil terpisah mengelola

sumberdaya penting secara berkelanjutan.

5.1.3.5 Distribusi Spasial S. serrata

Scylla serrata hasil tangkapan di kawasan mangrove TNK memiliki

struktur ukuran lebar karapas yang bervariasi berdasarkan lokasi penangkapannya.

Lokasi penangkapan dalam penelitian ini meliputi 3 kondisi habitat yang berbeda,

yaitu kawasan bagian tengah hutan mangrove, kawasan pinggiran hutan mangrove

(garis pantai), dan kawasan perairan pantai (inshore). Alat tangkap yang

digunakan pada setiap lokasi berbeda-beda, tergantung pada spesifikasi dan

kemampuan alat tangkap. Pada bagian tengah hutan mangrove digunakan pengait,

pada bagian pinggir pantai digunakan rakkang, dan di perairan pantai digunakan

alat tangkap rengge. Jumlah individu S. serrata hasil tangkapan ketiga jenis alat

tangkap pada tiga lokasi selama 8 bulan disajikan pada Tabel 22.

Tabel 22 Jumlah individu S. serrata hasil tangkapan alat rakkang, rengge, dan pengait.

Alat Tangkap Jumlah Individu Jumlah

Total (ekor)

Ukuran Maks-Min (mm)

Jantan Betina Jantan Betina

Rakkang 526 449 975 50-143 45-171

Pengait 669 311 980 68-154 65-171

Rengge 59 141 200 70-142 73-135

Tabel 22 menunjukkan bahwa ukuran lebar karapas terkecil kepiting yang

tertangkap adalah 45 mm dan ukuran lebar karapas terbesar adalah 171 mm.

Page 165: scylla serrata

145  

 

Ukuran kepiting yang terkecil menunjukkan bahwa kepiting yang mulai dapat

tertangkap oleh alat tangkap adalah kepiting yang berukuran 45 mm. Grafik

histogram sebaran ukuran dan sebaran jenis kelamin S. serrata berdasarkan hasil

tangkapan dari bulan Oktober 2008 - Juni 2009 dengan menggunakan alat tangkap

rakkang, rengge, dan pengait dapat dilihat pada Gambar 33.

A. Struktur Ukuran S. serrata di Zona Tengah Mangrove

Lebar karapas S. serrata hasil tangkapan alat pengait memiliki kisaran

antara 65 – 171 mm, setelah dibagi menjadi 11 kelas dengan interval 10 mm,

maka diperoleh histogram seperti yang disajikan pada Gambar 33 .

Gambar 33 Distribusi S. serrata di beberapa zona hutan mangrove.

Lebar karapas S. serrata di tengah hutan mangrove, yang diperoleh dari

hasil tangkapan alat pengait, umumnya berukuran lebih dari 100 mm, dengan

frekuensi tangkapan tertinggi pada interval 109.5-129.5 mm. Ukuran lebar

karapas S. serrata pada kelas ukuran kurang dari 100 mm adalah 16.12%, artinya

Page 166: scylla serrata

146  

 

hanya 16% kepiting yang ditangkap dengan alat pengait yang belum dewasa

kelamin. Sisanya, sekitar 83.88% merupakan kepiting yang diduga sudah dewasa

kelamin. Hal ini menunjukkan bahwa di kawasan tengah hutan mangrove

cenderung lebih banyak terdapat kepiting yang berukuran besar (dewasa kelamin).

Selain itu, sifat alat tangkap pengait yang cukup selektif juga mempengaruhi

ukuran kepiting hasil tangkapan. Alat pengait digunakan di lubang-lubang

kepiting yang ada di dalam hutan mangrove, atau tambak-tambak di sekitar

mangrove. Waktu penggunaan pengait biasanya pada siang hari, saat air surut,

karena pada waktu tersebut kepiting bersembunyi dalam lubang untuk

mendinginkan tubuhnya. Kepiting yang bersembunyi dalam lubang umumnya

adalah kepiting jantan yang berukuran besar.

Rasio kelamin S. serrata hasil tangkapan pengait lebih didominasi jenis

kelamin jantan dengan rasio jantan : betina adalah 1 : 0.47 dan nilai P<0.05. Hal

ini menunjukkan adanya perbedaan yang berarti dari pergeseran rasio kelamin

1:1. Dominasi jantan dapat terjadi karena adanya pola migrasi pada kepiting S.

serrata. S. serrata melangsungkan perkawinan di perairan mangrove dan secara

berangsur-angsur sesuai dengan perkembangan telurnya, kepiting betina akan

beruaya (berenang) ke laut dan memijah, sementara kepiting jantan tetap di

perairan hutan bakau atau muara sungai (Hill 1975). Hasil ini bersesuaian dengan

hasil penelitian Le Vay et al. (2007) yang menemukan bahwa hasil tangkapan

kembali (recaptured) kepiting bakau S. paramamosain yang telah ditandai

(marking) adalah 79% tertangkap pada malam hari di dataran lumpur pinggiran

mangrove menuju ke laut, 14% yang tertangkap pada siang hari di dalam

mangrove dengan pancingan dan 7% tertangkap gillnets ditetapkan setidaknya

pada jarak 1 km lepas pantai dari pinggiran bakau.

B. Struktur ukuran S. serrata di zona depan hutan mangrove

Lebar karapas S. serrata di zona depan hutan mangrove, yang diperoleh

dari hasil tangkapan alat rakkang, memiliki kisaran lebar karapas antara 40 – 155

mm. Pada zona depan hutan mangrove diperoleh struktur ukuran lebar karapas S.

serrata pada kelas ukuran kurang dari 100 mm mencapai 77.95%, dengan

frekuensi tangkapan tertinggi pada interval 78-89 mm. Ukuran 100 mm

Page 167: scylla serrata

147  

 

merupakan ukuran lebar karapas kepiting bakau yang masih belum dewasa

kelamin. Hal ini menunjukkan bahwa lebih banyak kepiting muda yang

tertangkap dengan menggunakan alat tangkap rakkang. Alat tangkap rakkang

dioperasikan dengan cara rakkang dipasang ketika air sedang surut, setelah

sebelumnya dipasangi umpan berupa ikan rucah. Selama air pasang rakkang

dibiarkan terendam dalam air, kemudian ketika air telah surut rakkang diangkat

dan diambil kepiting yang terperangkap di dalamnya. Alat rakkang umumnya

dipasang di muara sungai, pinggiran sungai, pinggiran pantai yang berlumpur dan

sering terendam air pasang. Banyaknya kepiting muda yang tertangkap dengan

rakkang disebabkan pada tingkat megalopa kepiting mulai beruaya pada dasar

perairan berlumpur menuju perairan pantai, dan biasanya pertama kali memasuki

perairan muara sungai, kemudian ke perairan berhutan bakau untuk kembali

melangsungkan perkawinan (Afrianto & Liviawaty 1993).

Webley et al (2009) menyatakan bahwa megalopa dari beberapa spesies

kepiting menunjukkan seleksi habitat aktif ketika menetap. Megalopa ini biasanya

memilih habitat kompleks secara struktural yang dapat memberikan perlindungan

dan makanan. Kepiting lumpur yang portunid, S. serrata , umumnya ditemukan di

muara yang berlumpur Indo-Pasifik Barat setelah mencapai lebar karapas > 40

mm. Meskipun telah dilakukan upaya besar, mekanisme perekrutan kepiting

lumpur remaja ke muara tidak dipahami karena megalopa dan tahap awal kepiting

muda (lebar karapas < 30 mm) jarang ditemukan. Binatang ini ditempatkan di

arena di mana mereka punya pilihan habitat: lamun, lumpur atau pasir, dan arena

di mana mereka tidak punya pilihan. Berlawanan dengan asosiasi yang

ditunjukkan oleh megalopa kepiting portunid lain, megalopa S. serrata tidak

selektif di antara habitat muara ini, menunjukkan bahwa mereka cenderung tidak

akan memilih habitat ini, atau, tidak memperoleh keuntungan dengan memilih

salah satu dari yang lain. Namun para kepiting muda (crablets), sangat memilih

lamun, menunjukkan bahwa yang berada dalam lamun adalah bermanfaat bagi

kepiting muda dan meningkatkan kemungkinan bertahan hidup. Perilaku yang

selektif mulai berkembang pada tahap kepiting muda, namun belum tampak pada

tahap megalopa.

Page 168: scylla serrata

148  

 

Berdasarkan histogram tersebut juga tampak bahwa rasio kelamin S.

serrata hasil tangkapan rakkang lebih didominasi jenis kelamin jantan dengan

rasio jantan : betina adalah 1 : 0.85 dan nilai P<0.05. Hal ini menunjukkan adanya

perbedaan yang berarti dari rasio kelamin 1:1. Dominasi jantan diduga terjadi

karena adanya persaingan makanan. S. serrata jantan lebih aktif/agresif dalam

mencari makanan sehingga pada saat ada umpan dalam rakkang, kepiting jantan

akan mendahului masuk dalam perangkap, sedangkan kepiting betina tidak berani

masuk bila sudah ada kepiting jantan di dalam rakkang. Oleh karena itu, lebih

banyak S. serrata jantan yang tertangkap dibanding yang betina.

C. Struktur Ukuran S. serrata di Zona Perairan Pantai

Lebar karapas S. serrata di perairan pantai, yang ditangkap dengan alat

rengge memiliki kisaran antara 70 – 142 mm. S. serrata hasil tangkapan pada

zona perairan pantai dengan menggunakan alat rengge, menunjukkan sebesar 42%

merupakan kepiting yang berukuran kurang dari 100 mm, dan sisanya sebesar

58% merupakan kepiting yang berukuran lebih dari 100 mm dan diduga sudah

dewasa kelamin. Sebaran lebar karapas S. serrata lebih bervariasi dibandingkan

kedua alat sebelumnya, dengan frekuensi tangkapan tertinggi pada interval 89.5-

121.5 mm.

Rasio kelamin S. serrata hasil tangkapan rengge lebih didominasi jenis

kelamin betina dengan rasio jantan:betina adalah 1:2.5. Nilai P<0.05

menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang berarti pada pergeseran rasio jantan

betina. Lebih banyaknya kepiting betina yang tertangkap karena pola migrasi

reproduksi kepiting betina yang memijah di laut, sehingga mereka berenang ke

laut dan tertangkap oleh alat rengge. Rengge/gillnet digunakan di perairan

dangkal di pesisir. Nelayan umumnya tidak secara khusus menggunakan rengge

untuk menangkap kepiting, namun hanya merupakan hasil sampingan selain ikan

yang menjadi tujuan utama tangkapan. Waktu penggunaan rengge dapat siang

atau malam hari. Pada bagian lain penelitian ini disampaikan bahwa kepiting

betina yang tertangkap sebagian adalah kepiting yang matang gonade dan akan

memijah, atau sebagian lagi adalah kepiting betina yang salin (selesai memijah).

Variasi pada ukuran lebar karapas kepiting yang tertangkap oleh alat rengge

Page 169: scylla serrata

149  

 

terjadi karena ada kepiting betina matang gonade yang bermigrasi ke laut untuk

memijah dan ada kepiting muda (juvenil) yang bermigrasi ke hutan bakau untuk

mencari makan dan kawin.

5.1.3.6 Sebaran Temporal Induk Betina Matang Gonade

Pengamatan terhadap induk betina matang gonade dilakukan secara

morfologi pada semua sampel kepiting. Tingkat kematangan gonade yang diamati

adalah TKG IV, dimana secara morfologi dapat diamati dengan jelas secara

visual. Induk betina matang gonade TKG IV yang tertangkap di habitat mangrove

TNK mempunyai sebaran ukuran lebar karapas antara minimum 91 mm dan

maksimum 171 mm. Sedangkan ukuran berat tubuhnya berkisar antara minimum

170 gram dan maksimum 870 gram. Sebaran ukuran minimum dan maksimum

Induk betina matang gonade TKG IV pada masing-masing stasiun dapat dilihat

pada Tabel 23. Grafik sebaran frekuensi induk betina TKG IV pada masing-

masing stasiun dapat dilihat pada Gambar 34 .

Tabel 23 Sebaran ukuran induk betina matang gonade TKG IV.

Lokasi Jumlah Ind

(ekor) Ukuran Maks-Min (mm)

lebar karapas Berat Muara Sangatta 73 91-171 190-870

Teluk Perancis 25 93-136 210-700

Muara Sangkimah 44 92-151 170-650

Pada ketiga lokasi pengamatan, tampak bahwa ukuran minimum betina

matang gonade adalah pada lebar karapas lebih dari 91 mm. Penelitian dari

MacIntosh et al. (1993) di Rannong, Thailand menunjukkan bahwa ukuran betina

matang gonade berkisar antara 10-11.5 cm, dengan nilai puncak indeks

gonosomatik pada bulan September.

Page 170: scylla serrata

150  

 

Gambar 34 Sebaran induk betina S. serrata matang gonade TKG IV.

Berdasarkan data tangkapan dari bulan November 2008-Juni 2009,

diketahui bahwa di Muara Sangatta, induk betina matang gonade TKG IV yang

tertangkap mencapai frekuensi tertinggi pada bulan Maret dan mulai meningkat

lagi pada bulan Juni. Sedangkan di Teluk Prancis, puncaknya dicapai antara bulan

Januari-Februari. Di Muara Sangkima puncak tertangkapnya induk betina matang

gonade pada bulan Februari. Kelimpahan individu betina matang gonade

terbanyak di Muara Sangatta dibanding di lokasi Teluk Perancis dan Muara

Sangkima. Hal ini terjadi karena Sungai Sangatta merupakan sungai terbesar di

kawasan hutan mangrove TNK, sehingga menjadi pintu masuk utama kepiting

bakau yang beruaya kembali ke hutan mangrove.

Grafik distribusi jumlah individu kepiting bakau betina TKG IV pada

lokasi Muara Sangatta memperlihatkan bahwa jumlah individu mulai mengalami

peningkatan pada bulan Januari dan mencapai puncak pada bulan Maret,

kemudian cenderung menurun bulan April dan ada indikasi mulai meningkat

kembali pada bulan Juni. Grafik distribusi jumlah individu kepiting bakau betina

TKG IV pada lokasi Muara Sangkima memperlihatkan bahwa jumlah individu

mulai meningkat pada bulan Desember dan mencapai puncak pada bulan

Februari, kemudian cenderung menurun bulan April dan tidak menunjukkan

indikasi adanya peningkatan kembali. Kelimpahan individu betina matang gonade

Page 171: scylla serrata

151  

 

Teluk Perancis mulai meningkat pada bulan Desember dan mencapai puncak pada

bulan Januari, kemudian menurun pada bulan April.

Namun, puncak kelimpahan induk betina S. serrata matang gonade TKG

IV, diduga terjadi 2 kali dalam satu tahun. Hal ini dapat dilihat dari trend

frekuensi induk matang gonade yang mulai meningkat lagi pada bulan Juni. Oleh

karena itu diduga di lokasi Muara Sangatta puncak frekuensi betina matang

gonade yang kedua terjadi pada bulan Agustus-September, dan di Teluk Perancis

terjadi pada bulan September.

Dugaan ini dilandasi oleh adanya pola pergeseran kelompok umur. Pola

pergeseran kelompok ini menyebabkan adanya dugaan bahwa rekruitmen yang

terjadi di Muara Sangatta adalah pada bulan Oktober, Februari, dan Mei; di Teluk

Perancis pada bulan Desember, dan Maret; sedangkan di Muara Sangkima pada

bulan Januari dan April. Rekruitmen yang terjadi pada bulan-bulan September,

Desember, dan Januari akan terjadi apabila ada pemijahan yang terjadi pada kurun

waktu ±2 bulan sebelumnya.

Perkiraan waktu ini didasarkan pada informasi bahwa proses intermoult

dari tahap zoea I – crab I memerlukan waktu 23-25 hari (Quinitio et al. 2001),

Menurut Motoh et al. (1977) untuk perkembangan tingkat zoea seluruhnya me-

merlukan waktu minimal 18 hari, dan dari tingkat megalopa ke tingkat kepiting

muda (instar 1) memerlukan waktu 11-12 hari, hal ini pada salinitas 31±2 ppt, jika

dilakukan pada salinitas antara 21-27 ppt diperlukan waktu hanya 7-8 hari.

Ukuran lebar karapas megalopa adalah sekitar 1.52 mm, sedangkan rekruitmen S.

serrata dalam penelitian ini baru terjadi pada juvenil berukuran >40 mm, sehingga

muncul dugaan waktu yang diperlukan sejak memijah hingga terjadi rekruitmen

adalah sekitar 2-3 bulan.

Siahainenia (2008) menemukan bahwa pada bulan Maret sampai Agustus

terjadi peningkatan kelimpahan kepiting bakau betina matang gonad tingkat akhir

(TKG IV dan V) baik pada wilayah perairan mangrove Desa Blanakan, Tanjung

Laut maupun Mayangan (Kabupaten Subang), sehingga bulan-bulan tersebut

diduga merupakan puncak aktifitas pemijahan atau puncak musim pemijahan

kepiting bakau.

Page 172: scylla serrata

152  

 

Kasry (1996) menyatakan bahwa musim memijah kepiting bakau

berlangsung sepanjang tahun tetapi puncak kegiatan memijah pada setiap perairan

tidak sama. Di Australia puncak musim pemijahan berlangsung pada bulan

November-Desember atau akhir musim semi sampai awal musim panas (Heasman

et al. 1985), di Papua New Guinea puncak betina memijah pada April- Juni and

September- Oktober (Quinn & Kojis dalam LeVay 2001), di Thailand

berlangsung dari bulan Juli-Desember atau pertengahan awal musim panas sampai

musim hujan (Varikul et al. dalam Macinthos et al. 1993), di India berlangsung

dari bulan Desember-Februari (Pillai & Nair dalam Heasman et al. 1985)

sedangkan di Filipina berlangsung dari bulan Mei-September atau akhir musim

semi sampai awal musim panas (Arriola; Estampador; Pagcatipunan dalam

Siahainenia 2008).

Kepiting bakau umumnya memijah di perairan laut. Arriolla dan Brick,

yang diacu oleh Siahainenia (2008) menyatakan bahwa kepiting bakau bertelur

akan bermigrasi dari perairan payau ke perairan laut untuk memijah. Migrasi

kepiting bakau betina matang gonad ke perairan laut, merupakan upaya mencari

perairan yang kondisinya cocok sebagai tempat memijah, inkubasi dan

menetaskan telur. Dengan demikian merupakan juga upaya penjamin

kelangsungan hidup embrio serta bagi larva yang dihasilkan. Kecocokan tersebut

menurut Kasry (1996), terutama terhadap parameter suhu dan salinitas

lingkungan.  intensitas pemijahan tertinggi atau puncak musim pemijahan kepiting

bakau terjadi pada bulan Februari sampai April. Hal tersebut berarti puncak

musim pemijahan kepiting bakau terjadi pada akhir musim hujan sampai

menjelang awal musim panas. Siahainenia (2008) menduga hal ini dimaksudkan

untuk menjamin ketersediaan pakan alami bagi larva yang akan ditetaskannya.

Pada musim hujan sejumlah besar zat hara dari daratan terangkut ke laut melalui

aliran sungai maupun aliran air tawar lainnya, sehingga produktifitas perairan

menjadi lebih tinggi. Kondisi ini ditunjang dengan intensitas cahaya matahari

yang tinggi pada musim panas, yang menyebabkan terjadinya fotosintesa

fitoplankon. Kelimpahan fitoplankton selanjutnya akan berdampak terhadap

kehadiran zooplankton yang merupakan makanan alami larva kepiting bakau.

Hastuti (1998), menyatakan bahwa telur tingkat akhir, embrio, dan larva kepiting

Page 173: scylla serrata

153  

 

bakau merupakan penghuni laut dengan media bersalinitas tinggi (polihaline).

Pada stadia ini kepiting bakau berada dalam lingkungan media dengan osmolaritas

yang mantap yang mendekati isoosmotik dengan cairan internal tubuhnya. Hal

tersebut di atas berarti, mulai awal pembuahan sel telur, kepiting bakau sudah

membutuhkan perairan dengan salinitas yang relatif tinggi.

5.1.4 Daya Dukung Habitat Mangrove TNK bagi Budidaya S. serrata

Daya dukung lingkungan untuk sumberdaya kepiting bakau diduga dengan

pendekatan indeks kesesuaian habitat (Habitat Suitability Index/HSI). HSI

menggambarkan kesesuaian habitat yang diberikan oleh kombinasi interaksi dari

semua variabel lingkungan kunci pada spesies, yang meliputi komponen kualitas

air, komponen substrat, dan komponen vegetasi. Variabel-variabel dari ketiga

komponen tersebut adalah oksigen terlarut (V1), Biological Oksigen Demand

(V2), salinitas air (V3), temperatur air (V4), pH air (V5), pH substrat (V6), pasang

surut air laut (V7), tekstur substrat (V8), kepadatan makrozoobenthos (V9), jenis

vegetasi (V10), kerapatan vegetasi (V11), dan produksi serasah (V12). Karena

antara ke-12 variabel tersebut memiliki pengaruh yang berbeda terhadap

kehidupan kepiting, maka masing-masing variabel diberi bobot terlebih dahulu

yang menunjukkan nilai pentingnya dibanding variabel yang lain. Sedangkan

skor kesesuaiannya diberikan sesuai dengan indeks yang dibuat sesuai asumsi-

asumsi kebutuhan hidup kepiting (Lampiran 19). Nilai dari masing-masing

variabel dapat dilihat pada Tabel 24.

Variabel yang paling penting pada usaha budidaya pembesaran kepiting

adalah pasang surut air laut dan kondisi tekstur tanah (substrat). Pasang surut akan

menentukan lokasi mana yang sering tergenang air laut, karena kepiting sangat

memerlukan air laut untuk hidupnya. Sedangkan variabel substrat penting, karena

sifat kepiting yang suka membenamkan diri dalam lumpur. Bila substratnya

banyak mengandung bahan organik (gambut) atau pasir yang porous dan mudah

meresapkan air, maka kondisi tanah akan cepat kering pada saat surut air laut.

Sementara kepiting membenamkan diri dalam lumpur adalah karena mencari

tempat yang cukup basah dan dingin selama air surut. Oleh karena itu, kepiting

lebih sering membuat lubang-lubang persembunyian di tepi-tepi parit kecil/sungai

Page 174: scylla serrata

154  

 

atau di tambak-tambak. Tekstur substrat dan lamanya perendaman pasut juga

menjadi variabel yang menentukan jenis vegetasi mangrove yang dapat hidup di

ekosistem mangrove tersebut (Bengen 2004). Selain itu sifat tekstur substrat juga

relatif lebih stabil dibanding variabel lain, misalnya salinitas dan temperatur yang

besar variasinya, sehingga bila digunakan sebagai penduga daya dukung juga

akan lebih stabil nilainya. Hal ini didukung oleh hasil analisis PCA habitat

mangrove, yang menunjukkan adanya pengaruh yang besar antara tekstur substrat

dengan kelimpahan S. serrata .

Namun demikian, bukan berarti bahwa kelimpahan hanya ditentukan oleh

kondisi tekstur substrat saja, karena walaupun tekstur sesuai namun bila tidak ada

vegetasi mangrove, maka kepiting bakau juga tidak akan ditemukan (Siahainenia

2008). Oleh karena itu, kerapatan vegetasi mangrove menduduki peringkat kedua

dalam pembobotan variabel.

Pada komponen kualitas air, kisaran nilai SI antar ketiga lokasi tidak

terlalu berbeda jauh, yaitu Muara Sangatta 0.69 kemudian Muara Sangkima 0.62

dan terakhir Teluk Perancis 0.56. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas air di

ketiga lokasi hampir sama. Permasalahan kualitas air umumnya adalah akibat pH

air yang cenderung asam.

Pada komponen substrat, yang meliputi empat variabel (pasut, tekstur, pH,

dan makrozoobenthos), nilai SI terbaik pada lokasi Muara Sangatta yaitu sebesar

0.72, berikutnya lokasi Teluk Perancis sebesar 0.66 dan Muara Sangkima sebesar

0.56. Lokasi Muara Sangatta, yang terletak di muara sungai besar memiliki

kondisi tekstur substrat yang liat berlempung, dengan fraksi liat sebesar 40.90-

60.70 %. Kondisi ini yang menyebabkan di Muara Sangatta lebih banyak dibuat

tambak-tambak bandeng dibanding lokasi lainnya di habitat mangrove TNK.

Nilai SI pasang surut di lokasi ini juga paling tinggi. Runoff yang cukup

tinggi dari daratan melalui Sungai Sangatta memberikan suplai air tawar. Suplai

air tawar yang cukup intensif ini merupakan nilai lebih lain dari lokasi Muara

Sangatta, karena kepiting menyukai salinitas air yang payau. Menurut Kasry

(1996) kepiting dewasa kawin dan mematangkan telurnya pada perairan dengan

salinitas 15 ‰ – 20 ‰, dan kemudian beruaya ke laut dalam untuk memijah.

Berdasarkan analisis kelimpahan, kepiting bakau di lokasi ini juga yang paling

tinggi kelimpahannya.

Page 175: scylla serrata

 

 

Tabel 24 Nilai kesesuaian variabel lingkungan habitat mangrove TNK untuk kepiting bakau.

NO VARIABEL Bobot Variabel Ma Sangatta skor SI** Tl Perancis skor SI** Ma

Sangkima skor SI**

1 oksigen terlarut (DO) (V1)

1 6.3 - 10.9 1 1 7.3 – 11.9 1 1 7.3 – 11.7 1 1

2 BOD (V2) 0.6 3.1 - 6.3 1 0.6 2.1 – 3.3 0.6 0.36 2.6 – 5.4 0.7 0.42 3 salinitas air (V3) 0.7 0 - 25 (25*) 0.9 0.63 24 - 34 (30*) 0.7 0.49 10-34 (29*) 0.8 0.56 4 temperatur air (V4) 0.8 24 - 29 (28*) 0.95 0.76 25 - 28 (27*) 0.9 0.72 24 - 26 (26*) 0.8 0.64 5 pH Air (V5) 0.6 6.1 – 7.1 (7*) 0.9 0.54 5.2 – 7.9 (6.8*) 0.7 0.42 7.1 - 7.6 1 0.6 SI KA 0.69 0.56 0.62 6 pH substrat (V6) 0.5 5.1-6.8 (6.5*) 0.7 0.35 4.3-5.7 0.4 0.2 5.6-6.9 0.7 0.35

7 pasang surut air laut (V7) 1 1.2-2.5 (1.2*) 0.9 0.9 1.2-2.4 (1.2*) 0.9 0.9 1.3-2.3 (1.3*) 0.9 0.9

8 fraksi substrat (V8) 1 clay loam 1 1 sandy loam 0.3 0.3 sandy loam 0.3 0.3

9 kepadatan makrozoobenthos (V9) 0.7 20.25 0.9 0.63 22.75 1 0.7 19 0.8 0.56

SI SU 0.67 0.44 0.48

10 jenis vegetasi dominan (V10) 0.7 A. corniculatum

Nypa fructicans 0.6 0.42 R. apiculata, R. mucronata, B. gymnorrhiza

0.7 0.49 R. apiculata, B. parviflora,

S. alba 0.9 0.63

11 kerapatan vegetasi (V11) 0.9 556 0.8 0.72 1350 0.9 0.81 1863 0.8 0.72

12 produksi serasah (V12)

0.3 17.03 0.6 0.18 19.47  0.5 0.15 18.55 0.5 0.15

SI VEG 0.38 0.39 0.41    HSI 0.622000 0.535444 0.557167

*) frekuensi paling sering **) SI = bobot variabel x skor

Page 176: scylla serrata

156

Variabel vegetasi diberi bobot yang berbeda untuk jenis vegetasi,

kerapatan vegetasi, dan produksi serasah. Variabel vegetasi yang dianggap paling

berpengaruh bagi kehidupan kepiting adalah kerapatan vegetasi. Seperti telah

diungkapkan sebelumnya, banyak peneliti menemukan adanya keterkaitan yang

erat antara kerapatan vegetasi mangrove dengan kelimpahan kepiting bakau

(LeVay 2001; Siahainenia 2008), sehingga kerapatan vegetasi diberi bobot 0.9.

Namun demikian, hasil penelitian menemukan bahwa kepiting bakau tidak selalu

berada dalam hutan mangrove yang rapat vegetasinya, tapi berada di pinggir

sungai/parit/tambak atau tempat-tempat yang berair dan terbuka di sekitar hutan

mangrove. Kepiting lebih sering ditemukan nelayan pada lokasi-lokasi tersebut

karena dua alasan, yaitu kepiting menyukai membuat lubang di tempat yang

berlumpur, dan alasan lain adalah nelayan lebih mudah menemukan kepiting pada

lokasi tersebut dibandingkan mencari kepiting di bawah perakaran mangrove yang

padat.

Variabel jenis vegetasi diberi bobot 0.7 karena jenis vegetasi menentukan

terbentuknya perakaran di lantai mangrove. Kepiting bakau menyukai jenis

vegetasi yang bentuk perakarannya mampu menyediakan makanan dan tempat

berlindung baginya (Hutching & Saenger 1987). Namun pembentukan perakaran

mangrove sendiri terkait dengan sifat tekstur substrat tempatnya melekat dan

periode pasang surut air laut, hanya jenis vegetasi tertentu dengan bentuk

perakaran tertentu yang mampu bertahan hidup pada kondisi substrat di lokasi

tersebut. Atau dengan kata lain, jenis vegetasi merupakan variabel turunan dari

variabel tekstur substrat. Menurut Kepmen LH No 201 tahun 2004 status kondisi

mangrove di lokasi Teluk Perancis diklasifikasikan baik (sedang), dan Muara

Sangkima yang didominasi jenis Rhizophora status kondisi mangrove

diklasifikasikan dalam kategori baik (sangat padat). Sedangkan di lokasi Muara

Sangatta didominasi jenis Aegiceras dengan kategori baik (sedang).

Produksi serasah diberi bobot yang relatif kecil, yaitu 0.3 karena walapun

diasumsikan kepiting memakan jenis serasah daun tertentu untuk dietnya, namun

persentasenya dalam diet kepiting bakau hanya sekitar 28-30% (McCann dalam

Arifin 2006). Keterkaitan serasah adalah dengan kelimpahan makrozoobenthos

sebagai pakan utama kepiting bakau, seperti telah diungkapkan dari hasil analisis

Page 177: scylla serrata

157

PCA sebelumnya. Oleh karena itu variabel kelimpahan makrozoobenthos diberi

bobot 0.7.

Secara keseluruhan Muara Sangatta memiliki nilai indeks kesesuaian lahan

(HSI) yang paling tinggi, yaitu 0.622, berikutnya adalah Muara Sangkima sebesar

0.557 dan Teluk Perancis sebesar 0.535. Berdasarkan hasil analisis ini dapat

disimpulkan bahwa lokasi Muara Sangatta merupakan lokasi yang paling baik

dalam mendukung kehidupan S. serrata. Sehingga lokasi Muara Sangatta adalah

lokasi yang paling sesuai bila digunakan untuk usaha pembesaran kepiting bakau.

Dengan nilai indeks HSI tersebut maka dapat diperkirakan jumlah individu

kepiting bakau atau unit budidaya yang dapat dipelihara di habitat mangrove

TNK. Perhitungan jumlah individu/unit budidaya yang mampu didukung oleh

masing-masing lokasi di TNK disajikan pada Tabel 25.

Tabel 25 Daya dukung Mangrove TNK untuk unit budidaya.

Lokasi HSI Luas area (m2)

Kelimpahan kepiting (ind/m²)

Daya dukung kepiting (ekor)

Unit budidaya

Muara Sangatta 0.622 15746741.58 0.025 244862 490

Teluk Prancis 0.535 13412280.46 0.01 71815 144

Muara Sangkima 0.557 13084719.28 0.015 109356 219

Hasil analisis daya dukung menunjukkan bahwa di lokasi Muara Sangatta

individu kepiting bakau yang dapat didukung untuk budidaya yang berkelanjutan

adalah sebanyak 244 862 ekor atau dapat dibudidayakan pada ± 490 unit budidaya

kurungan tancap berukuran 10 x 20 m. Unit karamba sejumlah ini memerlukan

lahan seluas ± 10 ha. Di Muara Sangatta terdapat sekitar ± 400.03 ha lahan kritis

bekas tambak. Unit-unit karamba ini dapat dibangun di bekas tambak yang sudah

tidak produktif lagi di Muara Sangatta, sekaligus sebagai upaya untuk

merehabilitasi lahan kritis tersebut.

Muara Sangkima yang mempunyai kondisi mangrove baik (sangat rapat)

dapat mendukung sekitar 219 unit kurungan tancap, sedangkan Teluk Perancis

dapat mendukung sekitar 144 unit kurungan tancap. Namun hal ini bukan berarti

Page 178: scylla serrata

158

bahwa pada lokasi tersebut dapat dibuat unit karamba budidaya sylvofishery.

Budidaya sylvofishery dengan kurungan tancap ini baru dapat dilaksanakan bila

telah dibuat pengaturan zonasi dalam kawasan Taman Nasional Kutai, karena

tidak semua zona dapat dilakukan pemanfaatan. Bila melihat dari nilai indeks

kesesuaian lahan yang rendah, dapat dikatakan lokasi Teluk Perancis dan Muara

Sangkima tidak sesuai untuk budidaya sylvofishery.

5.2 Kondisi Sosial Ekonomi Pemanfaatan Scylla serrata

Kepiting bakau atau kepiting lumpur, atau kepiting hijau (Scylla serrata)

(Moosa et al. 1985) merupakan manfaat tidak langsung dari sumberdaya

mangrove yang mempunyai nilai ekonomis penting. Kepiting bakau di wilayah

provinsi Kalimantan Timur, sejak tahun 2000 sudah menjadi salah satu komoditas

ekspor. Harga lokal dari nelayan pada tahun 2009 sekitar Rp 25 000/kg dan dapat

mencapai harga Rp 48 000/kg untuk ekspor. Kepiting bakau untuk ekspor ini

umumnya berasal dari wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara, Kota Tarakan, dan

Kabupaten Berau. Sementara dari Kabupaten Kutai Timur sendiri belum ada yang

masuk ke pasar ekspor.

Pemanfaatan kepiting S. serrata hasil tangkapan nelayan di kawasan

mangrove TNK, umumnya langsung dijual ke rumah makan-rumah makan

seafood yang terdapat di kota Sangatta. Sebagian kecil dijual ke pasar tradisional.

Sebagian lagi diolah oleh ibu-ibu nelayan Kelompok Kerja (Pokja) Kerupuk

Kepiting menjadi produk kerupuk kepiting. Krupuk kepiting produksi Pokja ini

dihargai Rp 40 000,00 per kg. Penjualannya merambah ke beberapa kota seperti

Sangatta, Samarinda, dan Bontang. Dalam Lomba Teknologi Tepat Guna

Masyarakat tingkat Kabupaten Kutai Timur dan tingkat Propinsi Kalimantan

Timur, mereka berhasil meraih kemenangan. Kelompok ini kemudian mewakili

Kalimantan Timur dalam lomba tingkat nasional yang diselenggarakan September

2005 di Palembang.

5.2.1 Permintaan Scylla serrata

Konsumen kepiting bakau di Kota Sangatta meliputi konsumen rumah

tangga dan rumah-rumah makan. Kepiting bakau dijual di pasar-pasar di Kota

Page 179: scylla serrata

159

Sangatta oleh pedagang maupun dijual keliling secara langsung oleh penangkap

kepiting. Kepiting bakau yang dijual di pasar Kota Sangatta berasal dari hasil

tangkapan nelayan lokal dan kepiting yang dikirim dari Kecamatan Muara Badak.

Berdasarkan hasil survei terhadap tiga pasar yang ada di Kota Sangatta,

kebutuhan kepiting untuk memenuhi konsumsi masyarakat Kota Sangatta

diperkirakan mencapai lebih dari 200 kg/hari, berdasarkan rata-rata penjualan

kepiting per hari pada tiga pasar yang ada di Kota Sangatta.

Permintaan Scylla serrata tidak hanya berasal dari lokal saja, namun juga

berasal dari kota-kota besar di Indonesia dan dari luar negeri. Data pengiriman

kepiting bakau Scylla serrata keluar daerah maupun keluar negeri yang diperoleh

dari Balai Karantina Ikan Kelas I Sepinggan Balikpapan disajikan pada Tabel 26.

Menurut informasi dari Ibu Yuni, Kasie Data dan Informasi Balai

Karantina Ikan Kelas I Sepinggan Balikpapan, yang dimaksud dengan ekspor

adalah pengiriman kepiting bakau keluar negeri (Singapura), karena bandara

Sepinggan merupakan bandara internasional dimana ada penerbangan langsung ke

Singapura. Sedangkan yang dimaksud domestik keluar adalah pengiriman

kepiting keluar negeri, ke negara selain Singapura, namun melalui transit di

Jakarta dan Surabaya. Pengiriman domestik adalah pengiriman kepiting bakau

untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, seperti Jakarta, Surabaya, Semarang,

dan lain-lain. Satuan data yang ada di Balai Karantina adalah ekor bukan dalam

satuan bobot, karena sesuai tupoksinya, Balai Karantina bertugas untuk

mengetahui kondisi penyakit ikan, sehingga pencatatan dilakukan per ekor ikan.

Tabel 26 Volume pengiriman kepiting bakau hidup tahun 2006-2008. Tahun Ekspor Domestik Domestik Keluar Lalu lintas Total

(ekor) % (ekor) % (ekor) % (ekor) %

2006 2 231 042 36.12 222 567 588 62.18 13 426 948 39.82 238 225 578 59.88

2007 2 110 455 34.17 95 613 618 26.71 7 949 698 23.57 105 673 771 26.56

2008 1 835 441 29.71 39 783 234 11.11 12 344 530 36.61 53 963 205 13.56

Total 6 176 938 100 357 964 440 100 33 721 176 100 397 862 554 100

Sumber: Balai Karantina Ikan Kelas I Sepinggan Balikpapan Tahun 2009

Tabel 26 menunjukkan bahwa total lalu lintas pengiriman kepiting bakau

hidup dari tahun 2006 sampai dengan 2008 cenderung menurun, dengan

Page 180: scylla serrata

160

penurunan yang mencapai separuh dari volume tahun sebelumnya. Hal ini diduga

berkaitan dengan adanya penurunan produksi tangkapan kepiting bakau dari alam.

Informasi dari Bapak Sab Lestiawan, Kasie Pelayanan Operasional Balai

Karantina Ikan Balikpapan, daerah Handil di Balikpapan yang pada tahun-tahun

awal pengiriman kepiting bakau mendominasi produksi, saat sekarang ini sudah

tidak berproduksi lagi. Demikian juga dengan daerah Muara Badak yang mulai

jarang mengirimkan kepiting. Saat ini kepiting bakau yang dikirim keluar

Balikpapan didominasi dari daerah Tarakan dan Berau.

Bila melihat data persentase jumlah kiriman untuk domestik dan luar

negeri, tampak bahwa produksi kepiting yang ada lebih diutamakan untuk

kepentingan ekspor, dibanding untuk pemenuhan kebutuhan domestik. Hal ini

terlihat dari angka persentase yang cenderung stabil dari tahun ke tahun untuk

keperluan ekspor dan domestik keluar, sekalipun pernah terjadi sedikit penurunan

pada tahun 2007 untuk domestik keluar.

5.2.2 Keragaan Perikanan Tangkap S. serrata di TNK

Kepiting jenis S. serrata di wilayah TNK, saat ini dimanfaatkan untuk

perikanan tangkap dan budidaya pembesaran, walaupun untuk kegiatan budidaya

pembesaran masih sedikit dilakukan.

5.2.2.1 Jenis Alat Tangkap S. serrata

Kegiatan perikanan tangkap S. serrata di kawasan mangrove TNK

umumnya dilakukan dengan menggunakan 3 jenis alat tangkap, yaitu

bubu/rakkang, pengait, dan rengge/gillnet. Masing-masing alat tangkap

mempunyai spesifikasi lokasi dan cara penangkapan yang berbeda. Bentuk dari

alat-alat tangkap kepiting tersebut dapat dilihat pada Gambar 35.

Bubu, baik dari jenis bubu lipat maupun rakkang digunakan pada area

berlumpur yang selalu digenangi pasut, misalnya di pinggir sungai atau tepi

pantai. Cara penangkapan kepiting dengan menggunakan bubu adalah bubu

dipasang ketika air sedang surut, setelah sebelumnya dipasangi umpan berupa

ikan rucah. Selama air pasang bubu dibiarkan terendam dalam air, kemudian

Page 181: scylla serrata

161

ketika air telah surut bubu diangkat dan diambil kepiting yang terperangkap di

dalamnya.

Pengait digunakan di lubang-lubang kepiting yang ada di dalam hutan

mangrove, atau tambak-tambak di sekitar mangrove. Waktu penggunaan pengait

biasanya pada siang hari, saat air surut, karena pada waktu tersebut kepiting

bersembunyi dalam lubang untuk mendinginkan tubuhnya. Penangkapan dengan

menggunakan pengait sering memberikan hasil tangkapan kepiting yang

luka/cacat akibat kaitan. Hal ini terjadi karena kepiting yang bersembunyi dipaksa

keluar dari lubangnya dengan menggunakan kaitan besi, sehingga capit/chela

patah.

a. Bubu Lipat

b.Rengge/gillnet

c. Rakkang (bubu)

d. Pengait

Gambar 35 Jenis alat tangkap kepiting yang digunakan di habitat mangrove TNK.

Rengge/gillnet digunakan di perairan dangkal di pesisir pantai. Nelayan

umumnya tidak secara khusus menggunakan rengge untuk menangkap kepiting,

namun hanya merupakan hasil sampingan selain ikan yang menjadi tujuan utama

tangkapan. Waktu penggunaan rengge dapat siang atau malam hari.

Page 182: scylla serrata

162

Nelayan yang menangkap kepiting didominasi oleh suku Bugis/Makassar

dan sedikit dari suku Jawa. Jumlah nelayan di wilayah TNK yang menangkap

kepiting seluruhnya kurang lebih hanya ada 15 orang.

Frekuensi nelayan dalam menangkap kepiting bakau dengan menggunakan

rakkang umumnya berkisar antara 2 sampai 3 kali per minggu. Penangkapan

dilakukan pada saat air pasang. Pasut di pesisir Kutai Timur bersifat mixed prevailing

semidiurnal dimana kecenderungan dalam satu hari terjadi dua kali air pasang dan

dua kali air surut dengan amplitudo dan periode pasang surut yang berbeda. Pasang

dengan amplitudo lebih tinggi terjadi pada malam hari. Sehingga nelayan menangkap

kepiting pada saat pasang purnama dan pasang perbani. Diantara kedua pasang

tersebut ada masa air tenang, dalam bahasa lokal nelayan menyebutnya dengan

‘konda’ yaitu kondisi dimana massa air diam tidak terjadi pasang ataupun surut. Pada

saat konda tersebut, kepiting juga tidak masuk ke daratan, sehingga tidak bisa

ditangkap.

5.2.2.2 Kelebihan dan Kekurangan Beberapa Alat Tangkap S. serrata

Dari ketiga jenis alat tangkap tersebut, rakkang merupakan alat tangkap

yang paling banyak digunakan. Setiap nelayan kepiting yang menggunakan

rakkang, rata-rata memiliki alat tersebut minimal 50 unit, sehingga diperkirakan di

kawasan mangrove TNK ada sekitar 250 unit rakkang. Dari segi efisiensi tenaga

dan waktu, dibanding pengait dan rengge, alat tangkap rakkang lebih efisien untuk

menangkap kepiting, karena nelayan tidak perlu mencari-cari keberadaan

kepiting, cukup memasang umpan pada rakkang dan kepiting yang akan datang

sendiri. Rakkang pun tidak perlu ditunggui, bila sudah ada kepiting yang masuk

maka kepiting akan terus terperangkap dalam rakkang sampai saat diangkat

kembali oleh nelayan. Hasil tangkapan kepiting rata-rata antara 3-5 ekor/unit alat.

Kelemahan dari alat tangkap rakkang adalah kepiting yang tertangkap umumnya

berukuran kecil (kepiting muda) yang belum dewasa kelamin. Kepiting muda

yang berukuran di bawah ukuran konsumsi (200-300 gram) umumnya mempunyai

nilai jual yang rendah, sehingga kurang menguntungkan.

Alat tangkap lain yang cukup banyak digunakan di kawasan mangrove

TNK adalah pengait/pancing. Jumlah pengait yang ada di kawasan ini tidak

Page 183: scylla serrata

163

sebanyak rakkang, hanya ada sekitar 10 unit saja, karena umumnya tiap satu orang

nelayan hanya memerlukan satu buah pengait untuk operasional menangkap

kepiting. Kelebihan dari alat pengait adalah nelayan cenderung memperoleh

kepiting yang berukuran besar dan harga yang lebih baik. Namun kelemahannya

adalah jumlah hasil tangkapannya relatif sedikit dibanding bila menangkap

dengan rakkang. Selain itu hasil tangkapan juga sering cacat, karena kepiting

terluka oleh pengait.

5.2.3 Keragaan Budidaya Pembesaran S. serrata di TNK

Budidaya kepiting bakau yang telah dilakukan di hutan mangrove TNK

hanya berupa budidaya pembesaran. Wadah untuk memelihara kepiting bakau ada

berbagai bentuk, antara lain kurungan bambu dalam tambak, karamba di laut, dan

kurungan jaring dalam mangrove. Gambar berbagai bentuk wadah pemeliharaan

dapat dilihat pada Gambar 36.

a. Kurungan Bambu

b. Kurungan jaring

Gambar 36 Wadah pemeliharaan budidaya pembesaran kepiting bakau di TNK.

Budidaya pembesaran dilakukan dengan tujuan sebagai usaha

pemeliharaan sementara bagi kepiting, yang berukuran terlalu kecil untuk

langsung dijual ke pasar. Pembesaran dilakukan dengan menempatkan kepiting

Page 184: scylla serrata

164

hasil tangkapan alam ke dalam wadah tertentu dan dipelihara hingga ukuran layak

dijual.

Hasil budidaya pembesaran kepiting bakau dengan kurungan bambu yang

pernah dilakukan di kawasan mangrove TNK ini belum menunjukkan

keberhasilan yang cukup memuaskan. Beberapa kelemahan yang diduga menjadi

penyebab kegagalan usaha budidaya tersebut adalah:

1. Tingkat kepadatan benih kepiting bakau yang dipelihara dalam kurungan

bambu tidak diperhatikan, sehingga terjadi perebutan ruang dan pakan

antar kepiting. Sementara kepiting bakau sendiri merupakan jenis biota

yang kanibal (pemakan sesama), sehingga diduga terjadi saling bunuh

antar individu kepiting bakau.

2. Jumlah pakan yang diberikan tidak mencukupi dan tidak konsisten,

sedangkan dalam kurungan tidak tersedia pakan alami, sehingga kepiting

akan memakan sesamanya.

3. Teknologi kurungan bambu tidak menyediakan habitat alami yang disukai

kepiting bakau, sehingga pada saat ada perubahan lingkungan seperti

peningkatan suhu pada siang hari, atau perubahan salinitas, kepiting bakau

tidak bisa berlindung dan menjadi stress, yang akhirnya berdampak pada

kematian.

4. Tinggi kurungan bambu yang hanya sekitar 1 meter sangat rawan terkena

banjir pada saat terjadi pasang naik. Sementara kepiting bakau adalah

binatang yang sangat mobile, yang mempunyai kaki renang dan kaki

jalan, sehingga kepiting dapat berenang dan memanjat pagar yang

mengurungnya untuk melepaskan diri.

Selain itu teknologi budidaya seperti ini tidak mengkonservasi habitat

mangrove, karena menebang habis pohon mangrovenya. Hal ini dapat berdampak

buruk dalam banyak hal, akibat hilangnya fungsi ekologis mangrove.

5.2.3.1 Budidaya Pembesaran S. serrata dengan Teknik Sylvofishery

Budidaya pembesaran S. serrata yang dilakukan dalam penelitian ini

adalah budidaya dalam kurungan tancap dalam mangrove (sylvofishery). Lokasi

untuk pembangunan kurungan tancap dipilih di dalam area rawa mangrove yang

Page 185: scylla serrata

165

berada pada kisaran pasang surut air laut. Keragaan kurungan tancap pembesaran

kepiting bakau dalam mangrove secara ringkas disajikan dalam Tabel 27.

Tabel 27 Keragaan kurungan tancap pembesaran kepiting bakau dalam mangrove.

No Parameter Alat/Bahan Satuan 1 Dimensi kurungan Jaring + papan kayu 10m x 20m x 2m 2 Ukuran mata jaring 1.25” 3 Ukuran Parit Keliling 1 m x 0.8 m 4 Berat Benih 68.8±1.92 g 5 CW Benih 67.83±0.74 mm 6 Padat penebaran 300 ekor/kurungan 7 Pakan Ikan rucah 3 % biomass/hari 8 Sampling Bubu/rakkang Per 2 minggu 9 Kerapatan vegetasi Anakan mangrove 1113 ind/ha

10 Jenis vegetasi Aegiceras, Nypa,

Rhizophora 11 Berat ind. panen 184.75±8.24 g 12 CW ind. panen 88.65±0.94 mm 13 Survival Rate (SR) 76.5%

Dimensi dari kurungan tancap adalah 10 m x 20 m (200 m2

) dan tinggi

jaring adalah 2 meter untuk mencegah pemangsa (predator) dan untuk mencegah

kepiting melarikan diri. Jaring yang digunakan bermata jaring 1.25 inchi. Jaring

didukung oleh tonggak pada tiap interval 3 meter dari material tanaman bakau.

Tinggi tonggak 3 meter dengan 0.6 meter ditancapkan dalam tanah. Untuk

penggunaan jaring sebagai pagar, pada bagian bawah jaring tetap perlu

ditancapkan papan sedalam ± 0.6 meter untuk mencegah kepiting melarikan diri

dengan menggali lubang dalam lumpur. Di dalam kurungan tancap, digali saluran

keliling dengan ukuran lebar antara 0.6-0.9 m dan dalam 0.8 m.

5.2.3.2 Hasil Budidaya Pembesaran S. serrata

Pelaksanaan pembesaran kepiting bakau telah dilakukan selama 10

minggu, namun belum sampai pada tahap panen. Pertumbuhan kepiting selama

budidaya sylvofishery diketahui dari sampling sebanyak 25 ekor kepiting setiap

Page 186: scylla serrata

166

dua minggu. Data pertumbuhan kepiting bakau yang diperoleh selama

pengamatan dapat dilihat pada Gambar 37.

Selama 10 minggu pengamatan menunjukkan adanya peningkatan

pertumbuhan kepiting bakau, baik dari ukuran lebar karapas maupun pada ukuran

berat tubuhnya. Ukuran lebar karapas benih awal rata-rata sekitar 67.83±0.74

mm, setelah 10 minggu terjadi penambahan CW hingga 88.65±0.94 mm.

Sedangkan berat benih awal sekitar 68.8±1.92 g, setelah 10 minggu terjadi

penambahan menjadi rata-rata 184.75±8.24 g. Bila dirata-ratakan penambahan

berat yang terjadi ± 11.60 gr tiap minggu. Tingkat kelulushidupan/survival rate

(SR) pada minggu ke-10 adalah ± 76.5%. Namun kepiting bakau belum mencapai

usia panen, sehingga belum diketahui berapa SR kepiting yang berhasil lulus

hidup sampai panen.

Gambar 37 Grafik pertumbuhan kepiting bakau sylvofishery.

Untuk mencapai panen, kepiting bakau yang semula berat tubuhnya 100 g

perlu ditingkatkan menjadi 250-300 g, sebagai ukuran konsumsi. Dengan asumsi

terjadi peningkatan berat yang tetap, yaitu 11.6 gr tiap minggu, maka diperlukan

waktu sekitar 16 minggu (± 4 bulan) untuk mencapai panen dalam penelitian ini.

Menurut Genodepa (1999) diperlukan waktu sekitar 4-7 bulan untuk mencapai

ukuran tersebut.

68,80 71,50

95,00108,50

161,50

184,75

67,83 67,95 77,55 78,95 88,10 88,650,00

50,00

100,00

150,00

200,00

250,00

0 2 4 6 8 10

Pert

umbu

han

sam

plin

g 25

eko

r ke

piti

ng

Minggu

berat tubuh

lebar karapas

Page 187: scylla serrata

167

5.2.3.3 Permasalahan dalam Budidaya Sylvofishery S. serrata

Beberapa hal yang menjadi kendala dalam pembesaran kepiting bakau

secara sylvofishery adalah:

• Adanya hama berupa biawak kalimantan (Varanus vomeensis), yang

masuk ke dalam kurungan dengan cara melubangi jaring untuk mengambil

ikan rucah yang menjadi pakan kepiting bakau. Masuknya biawak ke

dalam kurungan tidak untuk makan kepiting, namun lubang yang dibuat

biawak pada jaring menyebabkan kepiting melarikan diri keluar jaring.

Untuk mengantisipasi hal tersebut, perlu upaya tambahan untuk mencegah

biawak masuk, yaitu dengan membuat pagar bambu keliling yang

tingginya minimal sepanjang biawak terbesar yang masuk ke karamba (± 1

m), sehingga cukup untuk mencegah biawak memanjat.

• Adanya angin musim pada bulan-bulan tertentu yang menyebabkan

gelombang laut menjadi besar. Di pesisir Kabupaten Kutai Timur musim

gelombang besar ini mulai terjadi dari bulan Januari hingga bulan Maret,

dan mencapai puncaknya pada bulan Februari. Gelombang besar ini dapat

mengakibatkan kerusakan karamba yang berupa tercabutnya jaring dari

posisinya atau robeknya jaring akibat hantaman batang-batang pohon yang

terseret gelombang. Untuk mencegah kerusakan akibat gelombang, maka

perlu adanya papan kayu yang ditancapkan ke dalam tanah untuk mengikat

jaring.

• Adanya run off dari daratan dapat membawa bahan-bahan beracun limbah

dari pemukiman dan industri pertambangan yang ada di hulu sungai. Bila

tidak diantisipasi kejadian runoff dapat menyebabkan kematian massal

kepiting budidaya dalam karamba tancap.

5.2.4 Analisis Kelayakan Usaha Budidaya Sylofishery S. serrata

Untuk mengetahui kelayakan usaha perikanan budidaya pesisir dihitung

dari besarnya nilai investasi, biaya tetap dan biaya variabel yang dikeluarkan, dan

pendapatan yang diperoleh dari nilai jual hasil panen.

Page 188: scylla serrata

168

Kelayakan usaha tersebut digambarkan berdasarkan kriteria nilai Revenue

Cost Ratio (R/C) dan keuntungan (π) untuk mengetahui kelayakan pada saat ini

tanpa memasukkan fakor nilai uang di masa mendatang (undiscounted criteria).

Sedangkan untuk mengetahui kelayakan usaha dimasa mendatang dengan

memasukkan faktor nilai uang (discounted criteria) digunakan kriteria Net

Benefit Cost (Net B/C). Tingkat discount rate diasumsikan sebesar 12 %,

perhitungan rentang usaha selama 2 tahun, umur ekonomis peralatan 2 tahun, dan

usaha budidaya dioperasikan mulai tahun pertama (Lampiran 24).

Dari hasil analisis (Lampiran 25), diperoleh nilai rasio penerimaan dengan

biaya (R/C) pada sylvofishery kepiting bakau seluas 200 m2

per tahun sebesar

2.87. Nilai R/C 2.87 bermakna bahwa setiap Rp 1 000 000,- uang yang dipakai

untuk pembiayaan budidaya akan memperoleh manfaat sebesar Rp. 2870000,-.

Waktu pengembalian investasi (payback periode) selama 1 tahun 3 bulan. Nilai

Net B/C yang diperoleh sebesar 2.05 (Net B/C > 1) bermakna bahwa manfaat

yang diperoleh adalah sebesar 2.05 kali lebih besar dari biaya yang dikeluarkan.

Sehingga berdasarkan semua kriteria tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa

usaha budidaya kepiting bakau dengan teknologi sylvofishery layak

direkomendasikan untuk dikembangkan.

5.2.5 Analisis Usaha Perikanan Tangkap S. serrata

Pendapatan yang diperoleh dari pemanfaatan S. serrata meliputi

pendapatan dari hasil penangkapan dan pendapatan dari hasil budidaya

sylvofishery.

Dari hasil penangkapan dengan alat tangkap rakkang nelayan memperoleh

pendapatan sekitar Rp 1 - 1.5 juta/bulan. Nilai ini diambil dari rata-rata produksi

kepiting tangkapan nelayan setiap bulan dikurangi dengan biaya operasional

penangkapan. Dalam satu bulan nelayan umumnya menangkap kepiting sebanyak

10 kali, yaitu pada saat pasang purnama dan pasang perbani (bulan mati). Jumlah

yang diperoleh rata-rata 98 kg/bln dengan harga Rp 25 000,-/kg, sehingga rerata

penerimaan nelayan adalah sekitar Rp. 2 400 000,-/bulan. Setelah dikurangi biaya

operasional penangkapan, yaitu untuk bahan bakar minyak (BBM), pembelian

Page 189: scylla serrata

169

umpan, kerusakan alat, dan lain-lain, yaitu sekitar Rp. 900 000,-. Maka

pendapatan nelayan diperkirakan sebesar Rp. 1 500 000,-/bulan (Lampiran 26).

Dari hasil budidaya kepiting bakau, berdasarkan hasil analisis kelayakan

usaha (Lampiran 25) total penerimaan nelayan adalah Rp. 6 300 000,- /unit

karamba/tahun. Bila total biaya yang dikeluarkan adalah Rp. 2 198 750,-/unit

karamba/tahun, maka pendapatan yang diperoleh nelayan adalah sekitar Rp. 4 101

250,-/unit karamba/tahun. Nilai pendapatan dari budidaya ini dapat ditingkatkan

lagi bila nelayan mampu meningkatkan produknya menjadi produk yang nilai

jualnya lebih tinggi, seperti kepiting soka (kepiting lunak) atau kepiting bertelur.

5.3 Pengelolaan Sumberdaya Scylla serrata di TNK

5.3.1 Permasalahan Kebijakan Pengelolaan Habitat Mangrove TNK

Seperti telah dipaparkan pada bagian sebelumnya, berdasarkan Surat

Keputusan Menteri Kehutanan No. 325/Kpts-II/1995, TNK yang semula adalah

Suaka Margasatwa berubah fungsi dan statusnya menjadi penunjukkan Taman

Nasional. Selanjutnya status ini dipertegas lagi dengan munculnya PP no 26

Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Nasional pasal 52 (Lampiran VIII

tentang kawasan Lindung Nasional), yang mengkategorikannya sebagai Taman

Nasional Kutai dengan status tahap pengembangan I (I/A/4).

Kewenangan pengelolaan Kawasan Pelestarian Alam Taman Nasional

berada di bawah Balai Taman Nasional Kutai (BTNK) sebagai unit teknis dari

BKSDA kehutanan. Pengelolaan TNK didasarkan pada UU No. 5 Tahun 1990

tentang konservasi sumberdaya alam dan habitatnya dan UU No. 41 Tahun 1999

tentang kehutanan, beserta aturan-aturan turunannya.

Hingga saat ini pengelolaan hutan, terutama hutan lindung, masih terkesan

disakralkan, tertutup dan dilarang untuk dijamah oleh masyarakat. Namun Sukardi

(2009) menyatakan bahwa ruang ini mulai terbuka sejak diundangkannya UU No.

41 Tahun 1999. Konsep pengelolaan hutan bersama masyarakat tidak secara

eksplisit disebutkan dalam UU No. 41 Tahun 1999 maupun PP No. 6 Tahun 2007

jo. PP No 3 Tahun 2008. Namun demikian secara substansial peraturan ini telah

mengakomodir kepentingan masyarakat untuk memperoleh akses pengelolaan

hutan.

Page 190: scylla serrata

170

UU 41/1999 tentang kehutanan Pasal 23 dan pasal 24 menyatakan

“Pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf b, bertujuan

untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat

secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya” dan “Pemanfaatan

kawasan hutan dapat dilakukan pada semua kawasan hutan kecuali pada hutan

cagar alam serta zona inti dan zona rimba pada taman nasional”. Selanjutnya

pada Pasal 25 dikatakan “Pemanfaatan kawasan hutan pelestarian alam dan

kawasan hutan suaka alam serta taman buru diatur sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku”. Aturan turunan untuk pasal 25 UU 41/1999

ini adalah Permenhut No. P.56/Menhut-II/2006. Selanjutnya dalam pasal 68,

disebutkan “masyarakat berhak menikmati kualitas lingkungan hidup yang

dihasilkan hutan, memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai dengan peraturan

perundangan yang berlaku”. Dengan demikian dapat dikatakan akses bagi

masyarakat dalam pemanfaatan kawasan hutan telah dibuka, baik dalam hutan

produksi maupun hutan lindung, kecuali pada hutan cagar alam, zona inti, dan

zona rimba pada taman nasional. Pemanfaatan tersebut meliputi tiga hal pokok,

yaitu pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemanfaatan hasil

hutan non kayu. Secara rinci pemanfaatan hutan ini diatur dalam PP No. 6 Tahun

2007 jo. PP No. 3 Tahun 2008.

Walaupun secara legalitas hukum sudah ada aturan-aturan yang

mengijinkan adanya akses masyarakat untuk pemanfaatan hutan, namun hingga

saat ini pengelolaan TNK masih tertutup bagi masyarakat. Masyarakat belum

diberi hak untuk memanfaatkan dan dibatasi aksesnya berdasarkan pasal 21 UU

No. 5 Tahun 1990 dan pasal 50 UU No. 41 Tahun 1999. Selain itu tidak ada

rencana zonasi yang jelas sesuai amanat undang-undang, yang dibuat untuk

kawasan TNK.

Sementara itu kenyataan berbicara lain, dengan adanya pelarangan-

pelarangan dan pembatasan-pembatasan yang dilakukan oleh pengelola taman

nasional, bukannya berhasil menjaga keutuhan hutan, bahkan pada saat ini TNK

justru sangat sarat dengan permasalahan. Isu permasalahan yang paling banyak

terjadi adalah adanya perambahan hutan dan penebangan kayu tidak legal (illegal

logging). Gambar 25 menunjukkan perambahan hutan cenderung terjadi di bagian

Page 191: scylla serrata

171

pesisir TNK (sebelah timur jalan poros Bontang-Sangatta), yang merupakan

kawasan hutan mangrove. Perambahan hutan ini antara lain dilakukan untuk

pembuatan jalan poros Bontang – Sangatta, yang pada akhirnya berimbas pada

perluasan permukiman penduduk, hingga terbentuknya kecamatan baru, yaitu

kecamatan Teluk Pandan, setelah sebelumnya sudah ada kecamatan yang berdiri

lebih dahulu, yaitu Kecamatan Sangatta Selatan. Adanya pengembangan wilayah

ke arah pesisir ini sangat mengancam keberadaan hutan mangrove di TNK.

Karena dengan adanya penduduk dalam wilayah TNK, akhirnya penduduk

memanfaatkan hutan mangrove, dimana sebagian besar dilakukan dengan cara

yang merusak, seperti menebang mangrove dan membukanya untuk penggunaan

lain (pemukiman, tambak).

Sementara itu, zonasi TNK sampai saat ini juga belum disusun, sehingga

permasalahan perambahan hutan di wilayah TK Kutai menjadi semakin meluas

dan berlarut-larut. Untuk penyelesaian masalah tersebut, Pemerintah Daerah

Kabupaten Kutai Timur berinisiatif mengusulkan beberapa alternatif pengelolaan

kawasan TNK yang bermasalah tersebut, salah satunya adalah rencana enclave.

Namun rencana ini juga mengalami banyak kendala. Berbagai kendala

yang muncul pada rencana enclave ini, antara lain:

i. Perbedaan persepsi dalam penafsiran enclave antara Departemen Kehutanan

dengan Pemerintah Kabupaten Kutai Timur. Pemerintah Kabupaten Kutai

Timur menafsirkan bahwa kawasan enclave akan dikelola pemerintah daerah

setelah enclave selesai. Sedangkan Departemen Kehutanan tetap menghendaki

pengelolaan berada pada BTNK (Surat Dirjen PHKA No. 285/DJ-V/KK/2000

tanggal 28 April 2000).

ii. Pemerintah Pusat menolak penyelesaian permasalahan TNK melalui enclave,

yaitu dengan dikeluarkannya surat Menteri Kehutanan RI Nomor.

1889/Menhut-II/2002 tanggal 21 Nopember 2002 yang isinya menyatakan

bahwa Departemen Kehutanan tidak bermaksud melepaskan wilayah enclave

dari Taman Nasional Kutai.

Selama belum ada kebijakan untuk penyelesaian permasalahan TNK,

diperlukan solusi jangka pendek untuk mencegah semakin meluasnya perusakan

Page 192: scylla serrata

172

sumberdaya alam di TNK, termasuk diantaranya sumberdaya yang di dalam hutan

mangrove.

Dari hasil penelusuran terhadap peraturan perundangan yang ada,

beberapa pasal yang dapat menjadi solusi bagi permasalahan di TNK, khususnya

bagi permasalahan pemanfaatan yang merusak mangrove, yaitu:

1. Pasal 26, 27, 28, 30, dan 32 UU No. 5 tahun 1990,

2. Pasal 23, 24, dan 25 UU No. 41 tahun 1999,

3. Pasal 29 UU No. 27 tahun 2007 beserta penjelasannya,

4. Pasal 2, 6, 30, dan 32 PP No. 60 tahun 2007,

5. Pasal 2, 6, 30, dan 32 PP No. 6 tahun 2007

6. Pasal 2 dan 3 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.56/Menhut-II/2006

Berdasarkan pasal-pasal tersebut, permasalahan pengelolaan mangrove

dapat diatasi dengan membuat sistem zonasi yang dapat melindungi kepentingan

pelestarian alam, sekaligus mengakomodir hak masyarakat untuk memanfaatkan

sumberdaya alam untuk kebutuhan hidupnya.

Bila pada UU No. 5/1990 zonasi dalam kawasan taman nasional hanya

dibagi menjadi 3, yaitu: zona inti, zona pemanfaatan, dan zona lainnya, maka pada

aturan turunannya yaitu Permenhut No. P.56/Menhut-II/2006, zonasi dibuat lebih

rinci lagi, yaitu:

1. Zona inti;

2. Zona rimba; Zona perlindungan bahari untuk wilayah perairan;

3. Zona pemanfaatan;

4. Zona lain, antara lain:

1. Zona tradisional;

2. Zona rehabilitasi;

3. Zona religi, budaya dan sejarah;

5. Zona khusus.

Berdasarkan Permen ini, maka ada tiga zona yang masih bisa

dimanfaatkan oleh masyarakat, yaitu zona pemanfaatan, zona lain, dan zona

khusus.

Page 193: scylla serrata

173

Zona tradisional adalah bagian dari taman nasional yang ditetapkan untuk

kepentingan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang karena kesejarahan

mempunyai ketergantungan dengan sumber daya alam.

Zona khusus adalah bagian dari taman nasional karena kondisi yang tidak

dapat dihindarkan telah terdapat kelompok masyarakat dan sarana penunjang

kehidupannya yang tinggal sebelum wilayah tersebut ditetapkan sebagai taman

nasional antara lain sarana telekomunikasi, fasilitas transportasi dan listrik.

Dari berbagai peraturan tersebut, dapat ditarik suatu benang merah bahwa

pemanfaatan sumberdaya di kawasan lindung seperti Taman Nasional Kutai

masih dimungkinkan, selama pemanfaatan tersebut masih dalam batas aturan yang

diijinkan dan tidak keluar dari tujuan undang-undang, antara lain:

1) Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya bertujuan

mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta

keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya

peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia (pasal 3

UU No. 5 Tahun 1990);

2) Tidak melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap

keutuhan kawasan suaka alam (pasal 19 UU No. 5 Tahun 1990);

3) Mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi

lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial,

budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan lestari (pasal 3 poin c UU No. 41

Tahun 1999);

4) Pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam dilakukan dengan

tetap menjaga kelestarian fungsi kawasan. Pemanfaatan jenis tumbuhan dan

satwa liar dilakukan dengan memperhatikan kelangsungan potensi, daya

dukung, dan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa liar (pasal 27 dan

28, UU No. 5 Tahun 1990);

5) Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu adalah kegiatan untuk memanfaatkan dan

mengusahakan hasil hutan berupa bukan kayu dengan tidak merusak

lingkungan dan tidak mengurangi fungsi pokoknya. Pemungutan hasil hutan

kayu dan/atau bukan kayu adalah kegiatan untuk mengambil hasil hutan baik

Page 194: scylla serrata

174

berupa kayu dan/atau bukan kayu dengan batasan waktu, luas dan/atau

volume tertentu (pasal 1 PP No. 6 Tahun 2007);

6) Tidak mengurangi, mengubah atau menghilangkan fungsi utamanya;

pengolahan tanah terbatas; tidak menimbulkan dampak negatif terhadap

biofisik dan sosial ekonomi; tidak menggunakan peralatan mekanis dan alat

berat; dan/atau tidak membangun sarana dan prasarana yang mengubah

bentang alam (pasal 24 PP No. 6 Tahun 2007).

Penelitian ini merekomendasikan pemanfaatan sumberdaya kepiting bakau

dari jenis S. serrata, yang merupakan salah satu komoditas bernilai ekonomis

tinggi dari hutan mangrove, sebagai sumberdaya yang dapat dikelola secara

kolaboratif oleh masyarakat. Beberapa alasan yang mendasari pemanfaatan

kepiting bakau di kawasan TNK adalah:

i) kepiting bakau merupakan komoditas perikanan dan merupakan hasil

hutan bukan kayu,

ii) kepiting bakau bukan merupakan komoditas yang tinggal menetap dalam

hutan mangrove, karena mempunyai sifat ruaya, sehingga dalam setiap

tahapan hidupnya menempati lokasi yang berbeda. Kepiting bakau yang

tinggal dalam mangrove adalah kepiting bakau dewasa yang menggunakan

habitat mangrove untuk kawin dan mencari makanan, sedangkan pada

tahap sebelum dewasa kepiting bakau lebih banyak berada di perairan.

iii) pemanfaatan hutan mangrove untuk budidaya sylvofishery tidak

mengambil kayu atau pun merubah bentang alamnya, karena yang

dimanfaatkan hanyalah fungsi ekologis mangrove sebagai habitat (tempat

hidup) kepiting bakau (pemanfaatan kawasan).

iv) Benih kepiting bakau yang digunakan untuk budidaya adalah kepiting

muda (crablets) yang ditangkap di perairan pantai, sehingga sudah berada

di luar batas kawasan TNK.

v) Kepiting dewasa yang dihasilkan dari budidaya sylvofishery sebagian

dapat digunakan untuk restocking induk kepiting di habitat mangrove

TNK, dengan tujuan untuk menjaga keberlanjutan proses reproduksi

kepiting bakau.

Page 195: scylla serrata

175

Berdasarkan alasan-alasan tersebut maka peneliti merekomendasikan

pengembangan budidaya sylvofishery kepiting bakau S. serrata sebagai alternatif

pemanfaatan hutan mangrove yang ramah lingkungan di zona perikanan

berkelanjutan dalam kawasan hutan mangrove TNK.

5.3.2 Penentuan Zonasi Pemanfaatan Scylla serrata di Ekosistem Mangrove TNK

Satu hal yang tidak dapat ditinggalkan dalam pemanfaatan kawasan hutan

mangrove untuk habitat budidaya kepiting bakau adalah penentuan zonasi yang

tegas sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Belajar dari pengalaman

Taman Nasional Bali Barat dalam sejarah pengelolaan kawasannya, dapat

diketahui bahwa masyarakat lokal yang sudah terlanjur tinggal di dalam kawasan

TN tidak dapat dengan mudah direlokasi ke tempat lain, sebagaimana tidak

mudah juga untuk merubah status kawasan TN. Namun demikian deliniasi zonasi

kawasan yang tegas, dan bersamaan dengan upaya peningkatan kesadaran

mayarakat dalam kawasan untuk menjaga kawasan konservasi pada akhirnya

berhasil menekan permasalahan agar tidak menjadi semakin luas.

Berdasarkan kondisi eksisting penggunaan lahan di kawasan mangrove

TNK, daya dukung dan kesesuaian lahan untuk budidaya sylvofishery kepiting

bakau, dan laju eksploitasi kepiting bakau Scylla serrata serta kondisi sosial

ekonomi budaya masyarakat lokal, maka lokasi yang dapat direkomendasikan

untuk zona pemanfaatan di kawasan mangrove TNK adalah sebagaimana

disajikan pada Gambar 38.

Zona pemanfaatan budidaya sesuai ditempatkan di lokasi Muara Sangatta

karena daya dukung kawasan Muara Sangatta bagi budidaya sylvofishery paling

besar dibanding lokasi yang lainnya. Kawasan ini dapat mendukung budidaya

sylvofishery kepiting bakau sebanyak 490 unit karamba mangrove.

Muara Sangatta merupakan sebuah dusun yang terletak di muara Sungai

Sangatta. Sungai Sangatta sendiri merupakan sungai terbesar yang membelah kota

Sangatta menjadi dua kecamatan, yaitu kecamatan Sangatta Selatan dan

kecamatan Sangatta Utara. Sungai Sangatta juga menjadi batas sebelah utara

wilayah TNK, sehingga kecamatan Sangatta Selatan menjadi masuk dalam

Page 196: scylla serrata

176

wilayah TNK. Hilir Sungai Sangatta berada di kecamatan Singa Geweh dan

bermuara di Selat Makassar.

Informasi yang diperoleh dari Bapak Sidin, ketua RT di Muara Sangatta,

Dusun Muara Sangatta terdiri dari 18 buah rumah yang diisi oleh 23 Kepala

Keluarga (KK) dengan penghuni sebanyak 96 orang dewasa. Dari 23 KK tersebut

semuanya bekerja sebagai nelayan, hanya ada 5 KK yang bekerja sebagai

petambak. Namun dari 5 KK yang bekerja sebagai petambak, hanya 1 orang yang

memiliki tambak sendiri, sementara yang lainnya hanya bekerja untuk menjaga

tambak dengan sistem upah bagi hasil. Luas tambak yang tercatat memiliki girik

di dusun ini sekitar 70 ha, dimana tambak yang produktif hanya sekitar 7 ha saja.

Tambak yang tidak produktif ini umumnya dibiarkan begitu saja, sehingga

bekas-bekas tebangan pohon mangrove tumbuh kembali tunasnya sebagai pokok

trubusan yang berukuran diameter <10 cm, seperti yang telah disampaikan pada

subbab 5.2.1. Hasil pengamatan menunjukkan di lokasi Muara Sangatta,

kerapatan vegetasi adalah 1113 ind/ha, namun ini adalah kerapatan untuk vegetasi

anakan, karena diameternya kurang dari 10 cm.

Parameter fisik kimia lingkungan di Muara Sangatta dicirikan dengan

adanya kerapatan vegetasi, pH substrat, oksigen terlarut, kelimpahan

makrozoobenthos, salinitas air, dan produksi serasah yang lebih rendah bila

dibandingkan dengan lokasi Teluk Perancis, dan Muara Sangkima. Namun pada

lokasi ini justru kepiting lebih banyak diperoleh nelayan dibanding kedua lokasi

yang lain. Dari hasil pengamatan, jarang ditemui kepiting bakau atau pun

lubang/sarangnya pada lokasi yang perakaran mangrovenya sangat padat atau pun

pada lantai mangrove yang banyak mengandung serasah (jenis tanah gambut).

Kepiting banyak membuat lubang di area yang liat atau berlumpur dan tergenang

air, seperti tepi parit, sungai, dan tambak dalam mangrove. Dan kondisi seperti

inilah yang banyak ditemukan di Muara Sangatta, yang merupakan muara sungai

besar. Oleh karena itu, adanya sylvofishery diharapkan dapat memanfaatkan

lahan-lahan kritis bekas tambak tersebut, setelah dilakukan rehabilitasi mangrove.

Zona penangkapan kepiting bakau S. serrata sesuai diletakkan di lokasi

Muara Sangkima, karena tekanan penangkapan kepiting bakau di lokasi ini paling

rendah. Lokasi Muara Sangkima yang jauh dari pemukiman membuat tekanan

Page 197: scylla serrata

177

penangkapan sumberdaya S. serrata di lokasi ini relatif lebih rendah dibanding

pada lokasi Muara Sangatta dan Teluk Perancis.

Gambar 38 Peta zonasi pemanfaatan hutan mangrove TNK.

Hal lain yang mendukung Muara Sangkima sebagai zona penangkapan

adalah walaupun di lokasi ini banyak dibuat tambak, namun kondisi vegetasi

mangrove masih baik dengan kerapatan sangat padat. Hal ini mungkin

dipengaruhi oleh tidak adanya pemukiman di kawasan tersebut. Pemukiman yang

ada hanya sebatas pondok-pondok tempat tinggal penjaga tambak. Sehingga

pemanfaatan mangrove yang merusak, juga relatif rendah.

Zona perlindungan mangrove, sekaligus zona perlindungan S. serrata

sesuai bila diletakkan di lokasi Teluk Perancis. Teluk Perancis termasuk dalam

dusun Teluk Lombok, Desa Sangkima. Di lokasi Teluk Perancis sendiri tidak ada

pemukiman penduduk, namun di Dusun Teluk Lombok ada pemukiman penduduk

yang cukup ramai karena berada di area perusahaan minyak Pertamina. Teluk

Lombok juga merupakan kawasan wisata pesisir.

bb

b

Danau Besar

S. Kenduung

S. Selimpus

S. Nipah

S. AnangkapurS. Sirat

S. Keluang S. Nag

aS.

Par

i

S. P

aluS. M

a sa

S. Laboasam S. H

S. Nipah KecilS. Padang

S. Kendulu

S. Telukda

lam Kecil

S. Kenibung mputuk

A_Muara Sangatta

B_Teluk Perancis

C_Muara Sangkima

SELAT MAKASSAR

4 0 4 Kilometers

N

EW

S

Zonasi Pemanfaatan Mangrove

0°12' 0°12'

0°15' 0°15'

0°18' 0°18'

0°21' 0°21'

0°24' 0°24'

0°27' 0°27'

0°30' 0°30'

117°24'

117°24'

117°27'

117°27'

117°30'

117°30'

117°33'

117°33'

117°36'

117°36'

117°39'

117°39'

117°42'

117°42'

117°45'

117°45'

tambaknipahmangrove

Batas TNKSungaiZona sylvofishery scylla

StasiunbZona perikanan tangkap scylla

LEGENDA:

SARAWAKKALIMANTAN TIMUR

Disusun oleh:Nirmalasari Idha Wijaya

mayor Pengelolaan SD Pesisir Laut IPB

Sumber Peta:1. Peta RBI, Bakosurtanal Tahun 1991, 1:250.0002. Citra Terra Aster, Tahun 2005

kawasan hutan lainTN Kutai

Page 198: scylla serrata

178

Mangrove di Teluk Perancis relatif masih utuh dibandingkan dengan Muara

Sangatta. Pohon dengan diameter besar masih banyak ditemukan. Penebangan

pohon ditemukan pada beberapa lokasi yang dijadikan tambak. Sebagian besar

tambak sudah tidak produktif lagi, dan menjadi lahan kritis. Kerapatan pohon di

Stasiun Teluk Perancis TNK ±550 pohon/ha, dbh rata-rata 12.87 cm, basal area

±7.421 m2

Indikator yang menunjukkan bahwa potensi S. serrata di Teluk Perancis

rendah adalah laju eksploitasi faktual di atas laju eksploitasi maksimal, ini

menunjukkan bahwa tekanan penangkapan sudah cukup tinggi dan sulit untuk

memperoleh kepiting S. serrata di lokasi ini.

/ha. Jenis yang dominan adalah Rhizophora apiculata dengan INP =

184.650%. Jenis mangrove Rhizophora mempunyai bentuk perakaran tongkat

yang saling menyilang untuk mempertahankan kedudukannya pada substrat yang

tidak stabil, demikian juga dengan Bruguiera yang mempunyai jenis perakaran

lutut. Padatnya perakaran ini menyebabkan tidak ada ruang gerak dan ruang untuk

membuat lubang persembunyian yang terendam air pada lantai dasar mangrove

bagi S. serrata.

Di sisi lain, kondisi vegetasi mangrove di Teluk Perancis yang relatif lebih

bagus dibandingkan mangrove di Muara Sangatta merupakan suatu alasan untuk

menjadikan kawasan ini sebagai zona perlindungan mangrove. Sebagai zona

perlindungan mangrove, kawasan ini sekaligus juga merupakan zona perlidungan

kepiting bakau. Artinya, di kawasan ini tidak boleh dilakukan upaya pemanfaatan

S. serrata, baik berupa penangkapan maupun pembudidayaan.

5.3.3 Pengelolaan Perikanan Tangkap S. serrata

Analisis terhadap laju eksploitasi S. serrata di kawasan mangrove TNK

secara umum, kecuali di Muara Sangkima, menunjukkan adanya indikasi tangkap

lebih (overexploitation) di kawasan ini, sehingga diperlukan pengelolaan

perikanan tangkap S. serrata.

Freon et al. dalam Yanuar (2008) menyebutkan bahwa mekanisme

pengaturan dalam pengelolaan perikanan dapat dibagi menjadi enam kategori:

pengaturan ukuran ikan; pengaturan kuota, pengaturan kapasitas armada tangkap,

pengaturan standar pengusahaan penangkapan ikan, pengaturan musim tangkap,

Page 199: scylla serrata

179

penutupan area dan penentuan kawasan lindung terkait dengan kawasan

penangkapan.

Yanuar (2008) dalam tesisnya menyatakan bahwa aturan optimasi jumlah

alat tangkap serta penangkapan ikan tertentu hanya dalam bulan-bulan tertentu,

hanya akan berhasil apabila hal ini diterapkan dalam aturan pengelolaan zona

pemanfaatan perikanan tradisional. Penekanan ini biasanya tidak cukup, karena

umumnya dampaknya tidak segera dirasakan dan ketika dampaknya dirasakan

(jumlah hasil tangkapan bertambah dan ukuran ikan meningkat) akan merangsang

kembali tingkat pemanfaatan yang lebih tinggi. Sanchirico et al. dalam Yanuar

(2008) juga menyatakan bahwa kawasan lindung dapat menyediakan

perlindungan terhadap habitat kritis, situs bersejarah serta keanekaragaman hayati

namun fungsinya untuk meningkatkan pengelolaan perikanan dampaknya sering

tidak terlihat. Hal ini terjadi karena fakta bahwa kawasan lindung hanya

’mengobati’ gejalanya tapi tidak mengobati masalah fundamental terjadinya

tekanan pemanfaatan yang tinggi. Diperlukan keterpaduan terhadap kompleksitas

interaksi antara faktor-faktor biologi, ekonomi dan institusi. Penekanan diberikan

pada bagaimana memberikan insentif kepada nelayan yang beroperasi di kawasan

lindung agar mau berperan terhadap faktor-faktor tersebut sehingga efektifitas

kawasan lindung, khususnya terhadap peningkatan pengelolaan perikanan, dapat

tercapai. Peluang untuk tercapainya tujuan tersebut masih terbuka mengingat

skala usaha nelayan umumnya adalah perikanan skala kecil. Perikanan skala kecil

secara ekologis lebih efisien, menghasilkan lapangan kerja yang lebih banyak dan

lebih berkelanjutan dibandingkan perikanan skala besar atau skala industri (Pauly

dalam Yanuar 2008).

Panayotou (1982) menyatakan bahwa pendekatan pengelolaan sumberdaya

perikanan seperti penetapan alat tangkap, penetapan musim, atau penutupan

daerah penangkapan secara sementara atau permanen bertujuan untuk membatasi

ukuran dan umur ikan ketika ditangkap. Pendekatan seperti penetapan kuota

bertujuan untuk membatasi jumlah upaya penangkapan serta jumlah kepiting

bakau yang ditangkap. Bentuk pendekatan lainnya bertujuan membentuk iklim

yang kondusif yang memungkinkan nelayan melakukan sendiri pengendalian dan

pengawasan penangkapan kepiting bakau. Langkah-langkah ini selanjutnya akan

Page 200: scylla serrata

180

menjadi dasar pengelolaan S. serrata pada masing-masing lokasi di TNK,

walaupun tidak seluruh langkah ini harus dilakukan, namun perlu melihat kondisi

bioekologi kepiting S. serrata pada lokasi tersebut.

Demikian pula yang terjadi di kawasan mangrove TNK, pengelolaan

kawasan hutan mangrove baru akan berhasil bila zonasi pemanfaatan dan

pengaturan penangkapan S. serrata dalam kawasan diterapkan secara bersamaan.

Kondisi ekobiologi S. serrata di habitat mangrove TNK telah dipaparkan

secara rinci di bab sebelumnya. Beberapa hal dari kondisi ekobiologi tersebut

penting sebagai dasar untuk pengelolaan perikanan tangkap S. serrata. Perikanan

tangkap S. serrata berdasarkan hasil analisis daya dukung dan pertimbangan

kondisi ekobiologi S. serrata hanya bisa dilakukan di lokasi Muara Sangatta dan

Muara Sangkima, yang disarankan sebagai zona pemanfaatan budidaya dan zona

pemanfaatan tangkap. Sedangkan lokasi Teluk Perancis lebih sesuai untuk zona

perlindungan mangrove, sekaligus zona perlindungan S. serrata. Beberapa hal

penting yang perlu diperhatikan dalam kebijakan pengelolaan perikanan tangkap

S. serrata di lokasi Muara Sangatta dan Muara Sangkima adalah:

1) Penutupan daerah penangkapan kepiting bakau

Penutupan daerah penangkapan kepiting bakau dilakukan berdasarkan

prinsip zonasi pemanfaatan yang telah dibahas sebelumnya. Penangkapan kepiting

bakau S. serrata hanya diijinkan di lokasi Muara Sangkima yang merupakan zona

pemanfaatan perikanan tangkap. Di lokasi ini S. serrata dapat ditangkap di dalam

hutan mangrove, sesuai dengan kuota yang telah ditentukan berdasarkan kondisi

biologi S. serrata. Zona terbuka dan tertutup bagi penangkapan S. serrata dapat

dilihat pada Gambar 39.

Lokasi Teluk Perancis merupakan zona perlindungan yang ditutup bagi

penangkapan kepiting bakau. Demikian juga di lokasi Muara Sangatta, yang

disarankan sebagai zona pemanfaatan budidaya TNK, juga tidak boleh dilakukan

penangkapan di dalam areal hutan mangrove. Namun demikian penangkapan

benih kepiting di perairan pantai masih memungkinkan karena sudah berada di

luar kawasan TNK.

Page 201: scylla serrata

181

Gambar 39 Zona Terbuka dan Tertutup bagi Penangkapan Scylla serrata di

Kawasan Mangrove TNK.

2) Penutupan Musim Penangkapan Kepiting Bakau

Penutupan musim penangkapan kepiting bakau merupakan pendekatan

manajemen yang umumnya dilakukan di negara yang sistem penegakan

hukumnya sudah maju. Pelaksanaan pendekatan ini berdasarkan sifat sumberdaya

kepiting bakau yang sangat bergantung pada musim. Musim kepiting bakau

bergantung pada siklus hidup kepiting bakau yang lahir, besar, dan mati pada

waktu tertentu. Dengan mempertimbangkan musim kepiting bakau ini,

manajemen sumberdaya kepiting bakau dengan cara penutupan musim

penangkapan dapat dilakukan.

Ada dua bentuk penutupan musim penangkapan kepiting bakau. Pertama,

menutup musim penangkapan kepiting bakau pada waktu tertentu untuk me

mungkinkan kepiting bakau dapat memijah dan berkembang. Kedua, penutupan

kegiatan penangkapan kepiting bakau karena sumberdaya kepiting bakau telah

mengalami degradasi dan kepiting bakau yang ditangkap semakin sedikit. Oleh

b

b

b

S. Nipah

Laboasam S.

S. Sirat

S. Anangkapur

S. PadangS.

Pa lu

S. PariS. Keluang

S. Ruh

S. Naga

S. Kenduung

A_Muara Sangatta

B_Teluk Perancis

C_Muara Sangkima

SELAT MAKASSAR

1 0 1 Kilometers

N

EW

S

ZONA BUKA TUTUP PENANGKAPAN S. SERRATA

0°18' 0°18'

0°19' 0°19'

0°20' 0°20'

0°21' 0°21'

0°22' 0°22'

0°23' 0°23'

0°24' 0°24'

0°25' 0°25'

0°26' 0°26'

117°31'

117°31'

117°32'

117°32'

117°33'

117°33'

117°34'

117°34'

117°35'

117°35'

117°36'

117°36'

117°37'

117°37'

117°38'

117°38'

SARAWAKKALIMANTAN TIMUR

Dibuat oleh:Nirmalasari Idha WIjaya

Pengelolaan Pumberdaya Pesisir dan Laut

Kawasan TN Kutai

Zona TerbukaZona Tertutup

Batas tnkSungai kecil

LEGENDA :

Sumber Peta:1. Peta RBI, Bakosurtanal, Tahun 1991 skala 1 : 250 0002. Citra Terra Aster Tahun 20053. Peta Dasar TNK, Balai TNK, Tahun 2005

Page 202: scylla serrata

182

karena itu, kebijakan penutupan musim harus dilakukan untuk membuka peluang

pada sumberdaya kepiting bakau yang masih tersisa untuk memperbaiki

populasinya.

Indikator yang dapat dipakai untuk menunjukkan waktu penutupan atau

pembukaan kegiatan penangkapan kepiting bakau adalah status siklus hidup dari

sumberdaya kepiting bakau itu sendiri. Jika berdasarkan bukti-bukti ilmiah

diketahui waktu kepiting bakau kawin, memijah, atau mengasuh anaknya, waktu

itu harus dipertimbangkan sebagai musim penangkapan kepiting bakau ditutup.

Pada lokasi Muara Sangatta rekruitmen kepiting S. serrata terjadi pada

bulan Oktober, Januari, Desember dan Maret, dengan frekuensi induk matang

gonade TKG IV tertinggi pada bulan Februari-Maret dan bulan Juli-Agustus. Oleh

karena itu kebijakan penutupan musim penangkapan pada bulan Februari-Maret-

April dan Juli-Agustus perlu dilakukan untuk mencegah tertangkapnya induk

betina yang matang gonade dan kepiting juvenil.

Pada lokasi Muara Sangkima diduga rekruitmen kepiting S. serrata jantan

terjadi pada bulan Februari dan April, sedangkan S. serrata betina terjadi pada

bulan bulan Januari dan April. Puncak tertangkapnya induk betina matang gonade

pada bulan Februari. Oleh karena itu perlu dilakukan kebijakan penutupan musim

penangkapan pada bulanFebruari-April.

Untuk menganalisis apakah penutupan musim penangkapan dapat

berpengaruh pada pendapatan nelayan, maka dilakukan tabulasi data RPUEj

Gambar 40 menunjukkan bahwa secara umum alokasi upaya penangkapan

(RPUEj) akan meningkat seiring dengan meningkatnya hasil tangkapan dan

meningkatnya kelimpahan induk S. serrata matang gonade TKG IV. Bila pada

bulan tersebut dilakukan penutupan musim penangkapan kepiting bakau, hal ini

dapat berarti akan terjadi penurunan pendapatan nelayan kepiting bakau dan

pasokan kepiting bakau ke pasar menjadi berkurang atau berhenti sama sekali.

Namun kemungkinan ini dapat diantisipasi melalui produksi S. serrata dari hasil

budidaya sylvofishery, yang akan dibahas pada bagian berikutnya.

,

puncak rekruitmen, dan hasil tangkapan (catch) seperti terlihat pada Gambar 40.

Page 203: scylla serrata

183

Gambar 40 Dinamika RPUEj

, kelimpahan TKG IV S. serrata, dan hasil tangkapan S. serrata pada Tahun 2009.

Kebijakan penutupan musim penangkapan kepiting bakau dapat di-

implementasikan secara baik dengan cara pengendalian dan pengawasan di basis-

basis pemukiman nelayan untuk mencegah mereka melakukan kegiatan

penangkapan kepiting bakau. Meski demikian, pengawasan langsung di lapangan

atau di daerah penangkapan kepiting bakau masih perlu dilakukan untuk

menjamin bahwa penutupan musim ini berlangsung secara efektif. Selain itu,

perlu juga dilakukan pengawasan di pasar karena seringkali adanya permintaan

konsumen menjadi pendorong bagi nelayan untuk melanggar peraturan.

3) Pembatasan alat tangkap kepiting bakau

Kebijakan atau pendekatan pembatasan/selektivitas alat tangkap dalam

manajemen sumberdaya kepiting bakau adalah metode pemilihan alat

penangkapan kepiting bakau yang bertujuan untuk mencapai atau

mempertahankan struktur umur yang paling produktif dari stok kepiting bakau.

Kebijakan ini mempunyai tujuan memberi kesempatan pada kepiting bakau yang

produktif untuk bereproduksi dalam rangka mempertahankan keberlanjutan

populasi S. serrata di alam. Dengan kata lain, penangkapan kepiting bakau

dilakukan secara selektif hanya pada kepiting bakau yang tidak masuk dalam

kategori ini. Dengan cara demikian, penangkapan kepiting bakau dapat dilakukan

secara kontinyu karena kepiting bakau yang tidak ditangkap memiliki kesempatan

Page 204: scylla serrata

184

untuk bereproduksi dan menghasilkan kepiting bakau muda yang akan

berkembang dan memiliki kemampuan bereproduksi. Penangkapan kepiting

bakau secara selektif berarti menjaga kontinyuitas kegiatan penangkapan kepiting

bakau sehingga keberlanjutan sumberdaya kepiting bakau terjamin.

Alat tangkap rakkang, yang cenderung menangkap kepiting yang

berukuran kecil, direkomendasikan untuk digunakan pada lokasi zona depan hutan

mangrove TNK. Alasan yang mendasarinya adalah karena pada lokasi ini

cenderung lebih banyak terdapat kepiting muda yang berukuran kecil, sehingga

dapat dijadikan sebagai benih pada budidaya sylvofishery.

Pengaturan yang perlu dilakukan adalah pada ukuran diameter bukaan

mulut rakkang. Diameter mulut rakkang diatur agar berukuran kurang dari 100

mm, sehingga hanya kepiting yang berukuran benih saja yang akan tertangkap,

sedangkan kepiting yang berukuran besar (terutama induk betina) tidak dapat

masuk ke dalam rakkang.

Kepiting berukuran kecil ini bila ditangkap terus menerus akan

menyebabkan habisnya stok induk di alam, karena kematian alami dari induk

yang tidak tertangkap. Oleh karena itu, restoking induk dari sebagian hasil panen

budidaya sylvofishery merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan, sebagai

kompensasi atas sumberdaya yang telah diambil dari alam.

Alat tangkap rengge, yang cenderung menangkap hasil sampingan berupa

induk S. serrata matang gonade yang sedang beruaya ke laut untuk memijah,

sebaiknya tidak digunakan, terutama pada bulan-bulan dimana terjadi puncak

frekuensi induk betina matang gonade.

Alat tangkap pengait dapat digunakan pada zona penangkapan kepiting

bakau di tengah hutan mangrove. Alat pengait cukup selektif menangkap kepiting

yang berukuran besar. Selain itu penangkapan di zona tengah hutan mangrove

juga berpotensi lebih besar memperoleh kepiting jantan. Penangkapan kepiting

jantan akan membantu terbentuknya keseimbangan rasio kepiting jantan : betina

dalam hutan mangrove.

Pelarangan jenis alat tangkap tertentu dapat dilakukan secara permanen atau

sementara waktu, kebijakan ini dilakukan untuk melindungi sumberdaya kepiting

Page 205: scylla serrata

185

bakau dan penggunaan alat tangkap yang merusak atau destruktif yang memang

dilarang.

4) Pengaturan jenis kelamin tangkapan kepiting bakau

Ratio jantan betina pada zona tengah hutan dan depan hutan mangrove

yang didominasi oleh kepiting jantan menunjukkan bahwa terjadi pergeseran

keseimbangan jumlah individu jantan dan individu betina (Gambar 41) .

Gambar 41 Rasio jantan betina pada tiga zona hutan mangrove.

Jumlah individu jantan yang mendominasi dari sudut pandang reproduksi

tidak menguntungkan, karena kepiting betina hanya memerlukan satu kali proses

kopulasi untuk tiga kali lebih periode bertelur. Kepiting bakau betina memiliki

spermatecha yang dapat menyimpan sperma dari kepiting jantan hingga beberapa

bulan (Phelan & Grubert 2007). Dengan sifatnya ini, maka jumlah jantan yang

lebih banyak dari betina menjadi tidak efektif. Untuk itu disarankan penangkapan

kepiting bakau lebih diutamakan menangkap kepiting dengan jenis kelamin

jantan. Penangkapan dengan alat tangkap pengait dapat mendukung saran ini

karena penangkapan di lubang cenderung memperoleh kepiting jantan.

5) pemberlakuan kuota penangkapan kepiting bakau

Pemberlakuan kuota penangkapan kepiting bakau dapat dialokasikan

menurut alat tangkap, kelompok nelayan, atau daerah penangkapan kepiting

bakau. Namun pada pengelolaan perikanan tangkap S. serrata di TNK, kuota

penangkapan dapat diterapkan sesuai daerah penangkapannya. Laju eksploitasi

kepiting jantan dan betina di Muara Sangatta, keduanya sudah melebihi ambang

batas maksimum, sehingga tidak boleh dilakukan penambahan upaya untuk

penangkapan S. serrata, baik berupa penambahan unit alat tangkap, frekuensi

1

0,47

tengah hutan

10,85

depan hutan

1

2,5

perairan

jantan

betina

Page 206: scylla serrata

186

penangkapan, maupun dari jumlah nelayannya. Kuota tangkapan yang dapat

diberikan adalah berkisar antara 6 563 - 10 261 ton/tahun. Kuota penangkapan ini

diperoleh dari angka pendekatan dari hasil analisis laju eksploitasi, yaitu perkiraan

potensi S. serrata sebesar 18 488.80 kg/th dikalikan dengan laju eksploitasi

maksimal yang diperbolehkan yaitu terendah 0.355 sampai 0.555. Namun hasil

simulasi sistem dinamik menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kuota tangkapan

setelah ada perbaikan dalam pemanfaatan mangrove, sehingga konversi mangrove

yang semakin menurun akan menambah potensi stok S. serrata.

6) Restoking kepiting bakau

Pengendalian yang dilakukan untuk menjaga kelangsungan hidup dari

kepiting bakau dengan tetap menjaga keseimbangan ekonomi masyarakat adalah

dengan menggunakan metode restoking yaitu perbaikan kondisi kelimpahan

kepiting bakau di suatu daerah dengan mengambil jenis kepiting bakau dari

daerah lain untuk ditebarkan di daerah yang mengalami degradasi kepiting bakau.

Restoking dapat juga dilakukan dengan mengembalikan ke alam sebagian dari

hasil panen budidaya sylvofishery yang dilakukan oleh masyarakat. Pengembalian

hasil panen, terutama jenis kepiting betina diharapkan dapat menjaga ketersediaan

stok induk betina di alam.

Penerapan metode ini dapat dilakukan pada saat penutupan daerah

penangkapan kepiting bakau. Beberapa hal yang harus diketahui untuk

menggunakan metode ini adalah pertama, kesesuaian parameter lingkungan

dimana kepiting bakau dapat bertahan hidup diantaranya parameter fisika, kimia

dan biologi. Kedua, harus diketahui bioekologi dari kepiting bakau sendiri.

Kelemahan dari metode ini adalah akan terjadi homogenitas spesies karena

kebanyakan kepiting bakau yang ditebarkan harus beradaptasi dengan lingkungan

baru sehingga peluang hidupnya akan kecil.

Lokasi Muara Sangatta yang melimpah kepiting berukuran kecil menjadi

sumber benih bagi budidaya sylvofishery, dan juga merupakan sumber restoking

induk (dari hasil budidaya pembesaran sylvofishery) untuk ditebar di lokasi lain

(Teluk Perancis) yang sesuai sebagai zona perlindungan bagi kepiting bakau.

Page 207: scylla serrata

187

Restoking induk betina di lokasi Teluk Perancis perlu dilakukan untuk

menyeimbangkan ratio jantan betina karena cukup besar rationya yaitu 1:0.47 dan

menjadikan kawasan ini sebagai bank benih S. serrata. Induk betina S. serrata

yang akan digunakan untuk restoking adalah kepiting yang berasal dari hasil

panen sylvofishery. Hasil analisis sistem dinamik menunjukan 1% dari hasil panen

yang dikembalikan ke alam akan memperbaiki stok kepiting bakau dan

meningkatkan produksi sebanyak ± 6 ton pada tahun berikutnya.

5.3.4 Pengembangan Budidaya Sylvofishery S. serrata

Salah satu pendekatan pengelolaan sumberdaya kepiting bakau untuk

mengurangi upaya penangkapan adalah dengan melakukan kegiatan budidaya.

Tujuannya, meningkatkan nilai ekonomi kepiting bakau yang ditangkap serta

meningkatkan kinerja ekonomi masyarakat dan mengurangi upaya penangkapan

kepiting bakau yang berlebihan di ekosistem mangrove.

Pada dasarnya, secara ekologis kegiatan budidaya bertujuan untuk tetap

menjaga keberadaan siklus hidup dari kepiting bakau, karena kegiatan budidaya

yang dilakukan adalah mulai dari proses perkawinan, pemijahan, pemeliharaan

(dimana benih awalnya diambil dari alam) sampai pada ukuran kepiting mencapai

ukuran dewasa yang dapat dipanen tanpa mengganggu kehidupan alami dari

kepiting bakau. Hasil analisis terhadap parameter pertumbuhan menunjukkan

bahwa konstanta pertumbuhan (K) kepiting S. serrata pada budidaya pembesaran

sylvofishery mencapai nilai 4.2 sedangkan konstanta pertumbuhan kepiting yang

hidup di alam berkisar antara 0.45-1.5. Adanya perlakuan budidaya seperti

pemberian pakan dan pengendalian terhadap kualitas perairan diduga merupakan

faktor-faktor yang mendorong tingginya konstanta pertumbuhan pada S. serrata.

Konstanta pertumbuhan yang lebih baik pada budidaya sylvofishery merupakan

alasan yang mendasar untuk merekomendasikan kegiatan budidaya sylvofishery di

habitat mangrove TNK.

Secara sosial-ekonomi dengan kegiatan budidaya dapat merubah pola

hidup dari masyarakat yang awalnya sebagai penangkap beralih fungsi sebagai

pemelihara kepiting bakau, dan dari kegiatan budidaya dapat mencukupi seluruh

kebutuhan masyarakat.

Page 208: scylla serrata

188

Namun pada kondisi teknologi budidaya kepiting bakau yang ada saat ini,

dimana hatchery (pembenihan) kepiting bakau belum banyak dilakukan. Hanya

pada beberapa balai budidaya besar seperti di Maros Sulsel dan di Gondol Bali

saja yang sudah berhasil melakukan pembenihan. Hasil penelitian Juwana (2004)

larva kepiting bakau yang dipijahkan di P. Pari maupun di laboratorium tidak

dapat berkembang ke zoea III karena adanya kontaminasi jamur dan bakteri

patogen. Ketersediaan benih kepiting S. serrata dari hatchery belum mencukupi

kebutuhan budidaya, maka benih dari hasil tangkapan alam merupakan satu-

satunya pilihan.

Walaupun budidaya kepiting bakau di Muara Sangatta dilakukan dengan

benih dari tangkapan alam, namun bukan berarti upaya ini tidak memberikan nilai

positif bagi lingkungan. Karena selama ini, nelayan langsung menjual begitu saja

kepiting hasil tangkapannya, sehingga terkadang nilai ekonomi yang diperoleh

rendah sekali karena kepiting yang ditangkap berukuran kecil. Nelayan perlu

mengambil kepiting kecil lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan ekonominya.

Dengan adanya budidaya ini, nilai jual kepiting bakau dapat ditingkatkan

sehingga dengan jumlah tangkapan lebih sedikit dapat memperoleh nilai ekonomi

yang lebih besar. Nilai ekonomi ini dapat meningkatkan lebih tinggi lagi, apabila

teknologi budidaya dapat ditingkatkan untuk jenis komoditas yang lebih tinggi

nilai ekonominya seperti kepiting bertelur atau kepiting soka (kepiting lunak).

Secara ekologis, kawasan ini dapat mendukung bagi budidaya sylvofishery

kepiting bakau sebanyak 490 unit karamba mangrove, yang berukuran 10 x 20 m,

dengan tingkat kepadatan benih 300-500 ekor/unit atau sebesar 1.5-2.5 ekor/m2

Bila di kawasan ini digunakan untuk lokasi budidaya sylvofishery kepiting

bakau sesuai daya dukung yang ada, maka diperlukan kurang lebih 244 862 ekor

benih S. serrata/musim tanam, sedangkan ketersediaan benih di lokasi tersebut

adalah 31 363 ekor benih. Kekurangan benih S. serrata harus diambil dari

kawasan mangrove daerah lain yang merupakan kawasan pemanfaatan umum.

.

Angka tersebut di atas diperoleh berdasarkan perhitungan sebagai berikut:

produksi kepiting bakau (empat spesies) tahun 2008 = 12.1 ton (data statistik

Dinas KP Kutim 2009) bila diasumsikan S. serrata = 80% dari total (Cholik &

Hanafi 1991), maka eksploitasi tahun 2008 = 7.26 ton. Berdasarkan hasil analisis

Page 209: scylla serrata

189

dengan FISAT II diketahui laju eksploitasi maksimum jantan adalah 45.7 % dan

betina 40.7 % (rata-rata 43.2 %). produksi maksimum S. serrata adalah = 7.26 x

0.455 = 3.033 ton, dengan asumsi per ekor S. serrata = 100 gram, maka tersedia

benih = (3.033 x 1.000.000)/100 = 30 333 ekor benih.

Budidaya sylvofishery direkomendasikan dilakukan di lokasi Muara

Sangatta, tidak mesti dilakukan pada kawasan yang masih memiliki vegetasi

mangrove yang baik. Penelitian Triño dan Rodriguez (2002) di Aklan, Philipina

menunjukkan bahwa kepiting bakau dapat tumbuh dengan baik di lokasi

mangrove yang sedang direhabilitasi (reforested mangrove). Hasil yang paling

menguntungkan adalah budidaya dengan kepadatan benih 1.5 ekor/m2

Dengan adanya reforestasi ini, maka minimal akan diperoleh dua

keuntungan, yaitu mengembalikan kondisi hutan mangrove menjadi lebih baik

dan keuntungan dari hasil budidaya sylvofishery kepiting bakau untuk

peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal.

dan

pemberian pakan campuran 75% kerang coklat dan 25% ikan rucah yang diasin.

Mengacu pada hasil penelitian ini, maka lokasi Muara Sangatta yang banyak

terdapat lahan kritis bekas tambak yang tidak produktif lagi, sangat potensial di-

reforestasi untuk budidaya sylvofishery.

5.3.5 Model pengelolaan sumberdaya S. serrata di habitat mangrove TNK

Model pengelolaan sumberdaya S. serrata dikembangkan melalui

dinamika interkoneksi antar parameter kunci seiring dengan perubahan waktu dari

sistem ekologi-ekonomi-sosial yang dikaji dalam penelitian ini. Konsep dasar

perumusan model mengacu pada efek berantai, dimana terjadinya perubahan

dalam parameter pengelolaan dapat mempengaruhi sistem keberlanjutan

pengelolaan sumberdaya S. serrata.

Perumusan dalam model yang dibangun didasarkan pada model

matematika sederhana. Perangkat lunak yang digunakan untuk merumuskan

model yang dibangun dalam penelitian ini yakni Powersim Studio 2005.

Selanjutnya model pengelolaan sumberdaya Scylla serrata ini disebut dengan

model CRASYMAN (Crab Sylvofishery Management).

Page 210: scylla serrata

Gambar 42 Diagram alir stok (SFD) model pengelolaan S. serrata di habitat mangrove TNK.

sub model mangrove

sub model budidayasylvofishery

sub model penangkapan

sub model ekonomi

sub model sosial

perluasan

luas_mgr

Konstanta_penambh_mgrv

konversi_mgrv

konst_tambak

tebang_mgr

prluasn_pmukimn

zona_pemanft_mgr

fraksi_pemanft_mgr

DD_Lingk

HSI

SI_KASI_SUB

SI_VEG

juml_ unit_karamba

panen_bddy

SR_bddy

pendapatan_scylla

fraksi restock_induk

keunt_bddyharga_scylla

biaya_bddy

TK

pakan

biaya_benih

e_fact

produksi_scyl

F ZM

e_max

harga_benih

keunt_tkp

jml_klg

potensi_scylla

proses_bddy prod_bddy

restock_induk

vol_prod_bddy

keunt_total

stok_scylla

penambh_mgr

stok_benihfraksi_benih

kuota_tkp

stok_tkp

benih_per_karamba

peningkatan_pengetahuan

tkt_ kesadaran_lingk

alokasi_dana_pendidikan

fraksi_dana_peddk

pengaruh kesadarnlingk_thd konversi

mgrv

fraksi_pengaturan_tangkap

pendapatan_lain

pengetahuan_kadaluarsa

pengaruh_dana_penddk_terhadap_pe

ngetahuan

fraksi_pengetahuan_kadaluarsa

padat_tebar_benih

biaya_tkp

pengaruh_luas_mgrv_thd potensi

scylla

rerata_kelimphn_scylla

konversi_biomass_per ekor

konversi_bobot_panen

prod_tkp

pendpt_klg

laju_potensi

tambak

rehabilitasi mgr

23,188.96 kg/yr

Page 211: scylla serrata

191  

Langkah awal pengembangan model pengelolaan sumberdaya S. serrata di

habitat mangrove TNK adalah merumuskan model secara matematis, lalu

memasukkan nilai-nilai parameter yang diperoleh pada analisis sebelumnya ke

dalam model yang dibangun dan terakhir dilakukan analisis model.

Nilai-nilai atribut yang digunakan untuk membangun dan menganalisis

model keberlanjutan pengelolaan sumberdaya S. serrata di habitat mangrove TNK

disajikan pada Tabel 28 dan diagram alir stok disajikan pada Gambar 42.

Tabel 28 Nilai dugaan parameter pada model pengelolaan sumberdaya S. serrata di habitat mangrove TNK

Submodel dan Parameter Nilai Dugaan Keterangan

I Submodel Mangrove 1. initial luasan mangrove (ha) 5277.79 Hasil analisis citra Terra Aster 2005 2. laju perluasan mangrove (ha/th) var 7 – var 6 3. penebangan kayu mangrove (ha/th) 12.25 Analisis trend/rata-rata) 4. perluasan pemukiman (ha/th) 13 Analisis trend/rata-rata 5. pembukaan tambak (ha/th) 10 Analisis trend/rata-rata 6. laju konversi mangrove (ha/th) var 3 + var 4 + var 5 7. pertambahan luas mangrove (ha/th) 0.257 var 1 * var 9 8.zona pemanfaatan mangrove (ha) 1 028.85 var 1 * var 10 9. konstanta pertambahan luas (%/th) 0.05 Data sekunder (Laju akresi) 10. konstanta fraksi zona

pemanfaatan mangrove (%) 20 Dahuri (2003)

11. Habitat Suitability Index (HSI) (tanpa unit satuan/TS)

0.622 Hasil Analisis HSI (Data Primer Yang Diolah 2009)

12. daya dukung lingk untuk S. serrata (kg/th)

19 688.60 var 11 * var 10 * var 24

II Submodel Penangkapan S. serrata 13. potensi S. serrata (kg/th) 22 192.43 Analisis Deskriptif (Data Primer

Yang Diolah 2009) 14. produksi tangkapan S. serrata per

tahun (kg/th) 6 800 Analisis Deskriptif (series data

diolah 2005-2009) 15. laju potensi S. serrata 18 488.80 16. laju eksploitasi faktual (TS) 0.556 Z /F 17. Z = total laju mortalitas (TS)

2.41 Hasil olahan FISAT (Data Primer Yang Diolah 2009)

18. M = laju mortalitas alami (TS) 1.07 Hasil olahan FISAT (Data Primer Yang Diolah 2009)

19. F = laju mortalitas penangkapan (TS)

1.34 Var 17 – var 18

20. fraksi pengaturan tangkap (%) 100 Asumsi kebijakan penangkapan 100%

21. rerata eksploitasi maksimal (TS) 0.455 Hasil olahan FISAT (Data Primer Yang Diolah 2009)

Page 212: scylla serrata

192  

Submodel dan Parameter Nilai Dugaan Keterangan

22. stok total S. serrata (kg/th) 10 030.98 var13 * var 21 23. stok tangkapan S. serrata (kg/th) 4 011.96 Stok total – stok benih 24. rerata kelimpahan S. serrata

(kg/ha.th) 43.1 var 13 / var 1

III Submodel Budidaya S. serrata 25. jumlah unit karamba (unit) 490 var 12 / var 25 26. konstanta padat tebar benih/unit

(kg/unit) 30 Triño & Rodriguez (2002)

27. stok benih untuk budidaya (kg/th) 6 018.59 var 22 * var 28 28. fraksi stok benih (%) 60 Scientist judgement 29. ketersediaan padat tebar benih

budidaya (kg/unit) 60 var 27 / var 25

30. SR budidaya (TS) 0.76 Hasil analisis data primer 2010 31. konversi biomass per ekor

(ekor/kg) 4 Hasil analisis data primer 2010

32. panen budidaya (ekor/th ) 117 884 Var 29*var 30*var 31 33. fraksi restoking induk (%) 1 Warner (1977) 34. restoking induk S. serrata

(ekor/th) 1 167 var 33*var 34

35. produksi budidaya (ekor/th) Konversi produksi bddy (kg/th)

116 705 29 176.25

var 32 – var 34

36. total biaya budidaya (IDR/th) 452 197 398 var 37 + var 38 + var 39 37. biaya benih (IDR/th) 177 197 398 Hasil analisis data primer 2010 38. biaya Tenaga Kerja (TK)

(IDR/th) 150 000 000 Hasil analisis data primer 2010

39. biaya pakan (IDR/th) 125 000 000 Hasil analisis data primer 2010 IV Submodel Ekonomi 40. harga ekspor S. serrata (IDR/kg) 35 000 Hasil analisis data 2010 41. biaya penangkapan (%) 30 Asumsi42. keuntungan penangkapan S.

serrata (IDR/th) 84 251 133 (var 23*var 40)-var 41

43. keuntungan budidaya S. serrata (IDR/th)

568 971 352 (var 35*var 40)-var 36

44. keuntungan total (IDR/th) 653 222 485 var 42 + var 43 V Submodel Sosial 45. potensi jumlah pembudidaya

(KK) 60 Hasil analisis kuisioner 2009

46. pendapatan keluarga (IDR/th) (var 44/var 45) + var 47 47. pendapatan sumber lain (IDR/th) 500 000 Asumsi 48. fraksi dana pendidikan (%) 15 Hasil analisis kuisioner 2009 49. alokasi dana pendidikan (IDR/th) 1 703 740 var 46*var 48 50. pengaruh dana pendidikan

terhadap pengetahuan masyarakat (TS)

Hasil analisis regresi berdasarkan asumsi

51. pengaruh pengetahuan terhadap peningkatan kesadaran lingkn (%)

Asumsi

Nilai level (stock), laju (rate), variabel (auxiliary) dan konstanta dari masing-

masing submodel yang tercantum pada Tabel 28 dapat dijelaskan sebagai berikut:

Page 213: scylla serrata

193  

5.3.5.1 Submodel mangrove

Submodel mangrove menggambarkan dinamika meningkat/menurunnya

luasan dan kualitas hutan mangrove di TNK. Submodel dibangun dari elemen luas

mangrove, zona pemanfaatan mangrove, laju perluasan mangrove yang

dipengaruhi oleh laju konversi dan laju penambahan luas mangrove, kondisi

habitat yang mempengaruhi indeks kesesuaian lingkungannya (HSI), dan

pengaruh tingkat kesadaran lingkungan terhadap konversi mangrove. Dengan

menggunakan alat bantu powersim studio 2005, semua peubah-peubah ini

berhubungan baik secara langsung maupun tidak langsung dan diformulasikan

secara numerik menghasilkan diagram alir stok submodel mangrove seperti

diperlihatkan pada Gambar 43.

Luas areal mangrove akan meningkat atau menurun dipengaruhi oleh laju

perluasan mangrove. Laju perluasan mangrove sendiri akan naik atau turun

dipengaruhi oleh besarnya konversi mangrove menjadi penggunaan lain dan

penambahan luas mangrove oleh akresi atau pun kegiatan rehabilitasi mangrove.

Bila laju konversi mangrove lebih besar dibanding laju penambahannya, maka

yang terjadi adalah stok luas mangrove akan terus menerus menurun.

Gambar 43 Diagram alir stok (SFD) submodel habitat mangrove.

sub model mangrove

perluasan

luas_mgr

Konstanta_penambh_mgrv

konversi_mgrv

konst_tambak

tebang_mgr

prluasn_pmukimn

zona_pemanft_mgr

fraksi_pemanft_mgr

DD_Lingk

HSI

SI_KASI_SUB

SI_VEG

penambh_mgr

pengaruh_luas_mgrv_thd potensi

scylla

tambak

rehabilitasi mgr

Page 214: scylla serrata

194  

Initial (luas awal) habitat mangrove ditentukan berdasarkan hasil analisis

Citra Terra Aster Tahun 2005, yaitu seluas 5 277.779 ha. Adanya pemanfaatan

mangrove untuk penggunaan lain, yaitu menjadi tambak, perluasan pemukiman,

dan penebangan pohon mangrove, telah menyebabkan terjadi konversi mangrove.

Untuk itu perlu adanya perbaikan pola pemanfaatan mangrove yang merusak

(mengkonversi mangrove) agar laju konversi ini dapat diturunkan, bahkan bila

perlu tidak terjadi konversi mangrove lagi.

Kesadaran lingkungan yang diasumsikan semakin meningkat dengan

adanya peningkatan pengetahuan melalui pendidikan formal, akan mempengaruhi

pola pemanfaatan mangrove oleh masyarakat pembudidaya. Bila semula

menggunakan mangrove untuk membuka tambak, maka selanjutnya akan

menggunakan mangrove sebagai lahan budidaya kepiting bakau, sehingga tidak

perlu membuka mangrove lagi. Selain itu, peningkatan kesadaran lingkungan juga

akan mendorong masyarakat untuk merehabilitasi kawasan mangrove yang telah

terdegradasi. Dengan adanya penurunan laju pembukaan tambak dan upaya

rehabilitasi akan meningkatkan kembali luas hutan mangrove.

Luas zona pemanfaatan mangrove merupakan implikasi dari kebijakan

yang mengijinkan adanya pemanfaatan terbatas di kawasan Taman Nasional

Kutai. Kebijakan ini dapat berupa persentase kawasan TN yang akan dialokasikan

untuk pemanfaatan. Interfensi kebijakan ini sangat besar pengaruhnya dalam pola

pemanfaatan mangrove, karena akan mempengaruhi besarnya daya dukung

kawasan, pada penelitian ini daya dukung kawasan adalah untuk pemanfaatan

budidaya sylvofishery.

Selain luasnya zona pemanfaatan, daya dukung budidaya sylvofishery juga

sangat dipengaruhi oleh kualitas lingkungan, yang digambarkan dengan indeks

kesesuaian lingkungan (HSI). HSI terdiri atas komponen-komponen: kualitas

perairan, kualitas tekstur substrat, dan kualitas vegetasi. Bila kondisi lingkungan

baik, maka HSI juga akan meningkat.

5.3.5.2 Submodel Penangkapan S. serrata

Submodel penangkapan S. serrata menggambarkan dinamika potensi stok

S. serrata yang dapat dimanfaatkan untuk perikanan tangkap. Submodel dibangun

Page 215: scylla serrata

195  

oleh parameter potensi produksi kepiting bakau, laju eksploitasi faktual dan laju

eksploitasi maksimal, laju kematian alami, laju kematian karena penangkapan,

stok S. serrata total, kuota tangkapan S. serrata, besarnya restok induk betina,

pengaruh luas mangrove terhadap stok S. serrata. Dengan menggunakan alat

bantu powersim studio 2005, semua peubah-peubah ini berhubungan baik secara

langsung maupun tidak langsung dan diformulasikan secara numerik

menghasilkan diagram alir stok submodel penangkapan S. serrata seperti

diperlihatkan pada Gambar 44.

Gambar 44 Diagram alir stok submodel penangkapan S. serrata.

5.3.5.3 Submodel Budidaya Sylvofishery S. serrata

Submodel budidaya S. serrata merupakan skenario yang dibangun untuk

menata kelola zona pemanfaatan di kawasan mangrove TNK. Karena pada

kondisi saat ini, budidaya sylvofishery belum dilaksanakan sepenuhnya oleh

masyarakat. Namun telah dilakukan introduksi teknologi budidaya sylvofishery

pada masyarakat saat penelitian berlangsung, dengan hasil yang cukup baik. Data

yang diperoleh dari introduksi ini digunakan untuk nilai dugaan dalam

membangun submodel budidaya sylvofishery.

Submodel sylvofishery terdiri atas elemen daya dukung lingkungan,

jumlah unit karamba yang dapat dibangun, berlangsungnya proses budidaya yang

sub model penangkapan

e_fact

produksi_scyl

F ZM

e_max

potensi_scylla

stok_scylla

kuota_tkp

stok_tkp

fraksi_pengaturan_tangkap

rerata_kelimphn_scylla

prod_tkp

laju_potensi

Page 216: scylla serrata

196  

dipengaruhi oleh biomassa dan survival rate (SR), elemen panen budidaya, restok

induk yang dipengaruhi oleh besarnya fraksi restok, parameter-parameter input

produksi yang meliputi biaya benih, tenaga kerja, dan pakan. Semua peubah-

peubah ini berhubungan baik secara langsung maupun tidak langsung dan

diformulasikan secara numerik menghasilkan diagram alir stok submodel

budidaya sylvofishery S. serrata seperti diperlihatkan pada Gambar 45.

Gambar 45 diagram alir stok submodel budidaya sylvofishery.

5.3.5.4 Submodel ekonomi S. serrata

Submodel ekonomi S. serrata menggambarkan dinamika keuntungan yang

diperoleh masyarakat bila memanfaatkan sumberdaya S. serrata. Produk kepiting

dari hasil tangkapan dan panen budidaya pembesaran kepiting merupakan salah

sumber pendapatan bagi masyarakat, namun nilainya sangat tergantung dari harga

yang terbentuk di pasar. Asumsinya semakin tinggi harga pasar, maka tingkat

pendapatan nelayan/petani akan semakin meningkat. Bila produksi ini dikalikan

harga, maka akan diperoleh sebagai keuntungan (π). Keuntungan dihitung sebagai

Total Revenue (TR) dikurangi Total Cost (TC).

sub model budidayasylvofishery

DD_Lingkjuml_ unit_karamba

panen_bddy

SR_bddy

fraksi restock_induk

biaya_bddy

TK pakan

biaya_benih

harga_benih

proses_bddy prod_bddy

restock_induk

vol_prod_bddy

stok_benihfraksi_benih

benih_per_karamba

padat_tebar_benih

konversi_biomass_per ekor

konversi_berat_panen

Page 217: scylla serrata

197  

Keuntungan total dari pemanfaatan S. serrata merupakan penjumlahan

dari keuntungan yang diperoleh dari penangkapan dan keuntungan dari budidaya.

Keuntungan total ini juga menjadi pendapatan masyarakat yang diperoleh dari

sumberdaya S. serrata. Semua peubah-peubah ini berhubungan baik secara

langsung maupun tidak langsung dan diformulasikan secara numerik

menghasilkan diagram alir stok submodel ekonomi pemanfaatan S. serrata seperti

diperlihatkan pada Gambar 46.

Gambar 46 diagram alir stok submodel ekonomi pada pemanfaatan S. serrata.

5.3.5.5 Submodel sosial

Submodel sosial merupakan gambaran dari pengaruh pendapatan terhadap

tingkat kesadaran lingkungan masyarakat. Peningkatan pendapatan keluarga akan

mempengaruhi tingkat pengetahuan melalui jenjang pendidikan formal yang dapat

ditempuh oleh masyarakat. Asumsinya, semakin tinggi jenjang pendidikan formal

yang diperoleh, tingkat pengetahuan masyarakat akan semakin meningkat.

Selanjutnya tingkat pengetahuan ini akan mempengaruhi kesadaran lingkungan

masyarakat yang tinggal di sekitar hutan mangrove TNK dalam pola pemanfaatan

ekosistem mangrove. Pola pemanfaatan terhadap sumberdaya mangrove akan

berubah sesuai dengan tingkat kesadaran masyarakat dan peraturan perundangan

atau kebijakan pemerintah yang berlaku dalam pengelolaan kawasan konservasi.

Semua peubah-peubah ini berhubungan baik secara langsung maupun

tidak langsung dan diformulasikan secara numerik menghasilkan diagram alir stok

submodel sosial seperti diperlihatkan pada Gambar 47.

sub model ekonomi

pendapatan

keunt_bddy

harga_scylla

biaya_bddy

keunt_tkp

vol_prod_bddy

keunt_total

biaya_tkp prod_tkp

Page 218: scylla serrata

198  

Gambar 47 diagram alir stok submodel sosial pada pemanfaatan S. serrata.

5.3.6 Skenario Pengelolaan S. serrata di Habitat Mangrove TNK

Skenario merupakan suatu alternatif rancangan kebijakan yang dapat

dilakukan pada kondisi di lapangan untuk mempengaruhi perilaku parameter pada

suatu sistem pemodelan.

5.3.6.1 Analisis skenario dasar

Analisis skenario dasar (base case scenario) menguraikan perilaku

sumberdaya yang digambarkan oleh parameter luas mangrove, stok S. serrata,

panen budidaya sylvofishery, peningkatan pendapatan dari S. serrata, berdasarkan

kondisi nyata pada saat ini, hasil analisis terhadap skenario dasar dan simulasi

kondisi sampai 20 tahun mendatang (tahun 2010-2030) disajikan pada gambar 48.

Gambar 48 menunjukkan bahwa berdasarkan data riil yang disimulasikan

hingga 20 tahun ke depan, luasan mangrove cenderung terus menurun. Sementara

itu, stok S. serrata masih ada kemungkinan untuk meningkat hingga sekitar tahun

2018, namun setelah itu akan cenderung menurun. Data statistik Dinas Kelautan

Kabupaten Kutai Timur menunjukkan hasil tangkapan kepiting bakau secara

umum (4 spesies) masih terus meningkat, yaitu pada tahun 2006 sebesar 11.4 ton

hingga tahun 2008 menjadi 12.1 ton. Namun demikian penurunan luasan

sub model sosial

jml_klg

peningkatan_pengetahuan

tkt_ kesadaran_lingk

alokasi_dana_pendidikan

fraksi_dana_peddk

pengaruh kesadarnlingk_thd konversi

mgrv

pendapatan_lain

pengetahuan_kadaluarsa

pengaruh_dana_penddk_terhadap_pe

ngetahuan

fraksi_pengetahuan_kadaluarsa

pendpt_klg

Page 219: scylla serrata

199  

mangrove dan penangkapan kepiting bakau yang tidak terkendali diperkirakan

dapat menurunkan stok S. serrata setelah tahun 2018 ke depan. Penurunan stok S.

serrata ini berpengaruh secara langsung terhadap peningkatan pendapatan

masyarakat nelayan, yang juga ikut menurun karena hasil tangkapan menurun.

Sehingga dapat dikatakan bila menggunakan skenario dasar, maka pengelolaan

sumberdaya di hutan mangrove TNK tidak akan berkelanjutan, baik bagi

sumberdaya vegetasi hutan maupun bagi sumberdaya kepiting bakau (S. serrata).

Gambar 48 hasil simulasi skenario dasar pengelolaan S. serrata di TNK.

Luas awal habitat mangrove ditentukan dari hasil analisis Citra Terra Aster

Tahun 2005, yaitu seluas 5 277 ha, Hasil simulasi menggunakan skenario dasar

menunjukkan pada tahun 2030 diperkirakan luas mangrove tersebut tersisa

4 926.28 ha.

Potensi produksi S. serrata di habitat mangrove TNK, diperkirakan dari

produksi tangkapan kepiting di area tersebut selama setahun (sebagai potensi

faktual yang telah dieksploitasi) ditambah dengan sisa potensi yang belum

dieksploitasi. Produksi yang diperoleh pada tahun 2008 pada tingkat eksploitasi

faktual 0.556 adalah sebesar 6 800 kg/th. Sehingga potensi S. serrata di habitat

mangrove TNK pada tahun 2030 diduga sebesar 22 192.43 kg/th. Potensi S.

serrata ini merupakan penurunan dari potensi yang semula sebesar 27 374.13

1/1/2010 1/1/2020 1/1/2030

5,000

5,100

5,200

ha

lua

s_

mg

r

1/1/2010 1/1/2020 1/1/2030

6,000

9,000

12,000kg/yr

sto

k_

sc

yll

a

1/1/2010 1/1/20250

2,000,000

4,000,000

6,000,000

8,000,000

rupiah/KK per KK

pe

nd

pt_

klg

1/1/2010 1/1/2020 1/1/2030

1

2

3

4

5

6

7

tkt_

ke

sa

da

ran

_li

ng

k

Page 220: scylla serrata

200  

kg/th. Namun, potensi ini dapat berubah dengan adanya masukan induk dari

restoking budidaya sylvofishery, sehingga dalam perhitungan potensi dimasukkan

juga input restok induk betina dan pengaruh dari penambahan luas area mangrove.

5.3.6.2 Identifikasi parameter kunci

Hasil simulasi kinerja model sistem menunjukkan bahwa sistem saat ini

memberikan ancaman bagi kelestarian habitat mangrove dan keberlanjutan

sumberdaya S. serrata yang ada di dalamnya. Oleh karena itu perlu dirumuskan

suatu skenario strategi yang dapat mengendalikan pola pemanfaatan yang

merusak habitat mangrove di TNK.

Identifikasi terhadap faktor-faktor yang berpengaruh dalam upaya

mengoptimasikan pemanfaatan S. serrata secara berkelanjutan dilakukan

berdasarkan hasil uji sensitivitas. Uji sensitivitas dilakukan untuk memilih

parameter kunci, yang berpengaruh besar terhadap berbagai kemungkinan yang

akan terjadi di masa yang akan datang.

Uji sensitivitas pada dasarnya mengasumsikan kemungkinan-

kemungkinan suatu kondisi yang terjadi di dunia nyata dan pilihan-pilihan

kebijakan yang mungkin dilakukan oleh pengambil keputusan. Uji sensitivitas

model pada penelitian ini menggunakan parameter yang berpengaruh tinggi

terhadap kinerja sistem, yaitu fraksi zona pemanfaatan mangrove (submodel

mangrove), fraksi stok untuk benih budidaya (submodel penangkapan), fraksi

alokasi dana pendidikan (submodel sosial), dan harga S. serrata (submodel

ekonomi). Metode yang dipakai untuk melihat kepekaan parameter tersebut

dengan best–worst case scenario (Sterman 2000). Setiap perubahan parameter,

dalam hal ini dinaikkan (diturunkan) sebesar 10% dari nilai parameter skenario

dasar, akan dilihat responnya terhadap perubahan parameter utama. Bila terbukti

perubahan pada parameter tersebut mengakibatkan perubahan yang nyata pada

parameter lain, maka parameter-parameter tersebut akan dianggap sebagai

parameter kunci (key variable). Gambar 49 dan 50 merupakan grafik hasil uji

sensitivitas dari simulasi Powersim.

Page 221: scylla serrata

201  

Gambar 49 perbandingan luas mangrove saat parameter kunci dinaikkan 10%.

Gambar 49 menunjukkan adanya peningkatan luas mangrove pada tahun

2020 saat variabel kunci dinaikkan 10%. Sedangkan Gambar 50 menunjukkan

bila variabel kunci diturunkan 10% maka luas mangrove yang tersisa pada tahun

2030 tinggal 4 580.75 ha, menurun dari skenario dasar semula seluas 4 926.28 ha.

Gambar 50 perbandingan luas mangrove saat parameter kunci diturunkan 10%.

Berdasarkan hasil uji sensitivitas tersebut, maka parameter fraksi zona

pemanfaatan mangrove, fraksi stok untuk benih budidaya, fraksi alokasi dana

pendidikan, dan harga S. serrata , digunakan sebagai parameter yang akan

diintervensi sebagai faktor yang berpengaruh pada kondisi yang akan terjadi di

masa depan.

Deskripsi dari masing-masing parameter kunci dan hubungan

interkoneksinya dengan parameter yang lain adalah sebagai berikut:

a) Fraksi zona pemanfaatan mangrove adalah kebijakan yang mengatur berapa

bagian dari luas mangrove seluruhnya yang dapat digunakan untuk zona

pemanfaatan. Dahuri (2003) mengusulkan 20% dari kawasan yang dilindungi

dapat digunakan untuk pemanfaatan yang berkelanjutan. Kebijakan ini dapat

dilakukan melalui peraturan perundangan.

1/1/2010 1/1/2020 1/1/2030

4,800

4,900

5,000

5,100

5,200

ha

lua

s_

mg

r

1/1/2010 1/1/2020 1/1/2030

5,100

5,150

5,200

5,250

ha

lua

s_

mg

r

1/1/2010 1/1/2020 1/1/20304,700

4,800

4,900

5,000

5,100

5,200

ha

lua

s_

mg

r

1/1/2010 1/1/2020 1/1/2030

4,6004,7004,8004,9005,0005,1005,200

ha

lua

s_

mg

r

Page 222: scylla serrata

202  

b) Fraksi stok untuk benih budidaya adalah pembagian dari stok S. serrata total

yang digunakan untuk keperluan budidaya. Bagian yang lain adalah stok S.

serrata yang dimanfaatkan untuk perikanan tangkap konsumsi (langsung jual).

Fraksi stok ini dapat diatur pembagiannya dalam kebijakan kuota perikanan

tangkap.

c) Fraksi alokasi dana pendidikan adalah bagian dari pendapatan keluarga yang

dialokasikan untuk biaya pendidikan. Umumnya pada keluarga nelayan bagian

ini rendah sekali, tidak mencapai 10% dari pendapatan. Pada masyarakat yang

berpendapatan rendah alokasi yang paling besar masih untuk kebutuhan

makanan (Sukardi 2009). Namun bila terjadi peningkatan pendapatan bagian

ini menjadi lebih kecil dan alokasi untuk kebutuhan lain seperti pakaian dan

pendidikan akan meningkat.

d) Harga S. serrata yang digunakan disini adalah harga S. serrata untuk pasar

ekspor. Hal ini dilandasi pemikiran bahwa bila S. serrata cukup banyak

diproduksi maka dapat memenuhi kebutuhan ekspor yang cenderung

meningkat dari tahun ke tahun.

Skenario kebijakan pemanfaatan sumberdaya S. serrata disusun

berdasarkan perkiraan kondisi yang akan terjadi di masa depan. Selanjutnya dari

masing-masing kondisi tersebut dilakukan kombinasi yang mungkin terjadi antar

berbagai kondisi tersebut. Kombinasi-kombinasi tersebut disusun untuk

memperoleh tiga bentuk skenario, yaitu: 1) skenario optimistik, 2) skenario

moderat, dan 3) skenario pesismistik. Tabel 29 menyajikan keterkaitan antara

parameter kebijakan dengan perkiraan kondisi yang akan terjadi di masa depan.

Jenis skenario untuk kebijakan pemanfaatan kepiting bakau S. serrata di

habitat mangrove TNK yang dapat disusun lebih dari tiga kombinasi. Namun

untuk mencari kondisi yang optimal dari berbagai kondisi, ketiga kombinasi

tersebut dipilih sebagai kemungkinan yang paling besar terjadi di masa depan.

Page 223: scylla serrata

203  

Tabel 29 Keterkaitan antar parameter dan kondisi (state) untuk skenario kebijakan.

No Faktor Kondisi di masa mendatang 1 Fraksi zona

pemanfaatan 1A 0%

1B 20 %

1C 40%

Tidak ada zona Pemanfaatan, seperti kondisi saat ini

Sesuai teori yang berlaku di kalangan akademisi saat ini

Terjadi peningkatan karena kebutuhan SDA lebih besar, sehingga ada kebijakan peningkatan luas zona pemanfaatan mangrove

2 Fraksi stok untuk benih budidaya

2A 0 %

2B 40%

2C 60%

Tidak ada stok untuk sylvofishery

Peningkatan fraksi untuk budidaya

Lebih diutamakan stok untuk benih budidaya, karena lebih menguntungkan

3 Fraksi alokasi dana pendidikan

3A 10%

3B 15%

3C 20%

Alokasi menurun karena pendapatan berkurang

Tetap seperti saat ini

Pendapatan yang diperoleh dari pemanfaatan S. serrata meningkat

4 Harga S. serrata 4A Menurun

4B tetap

4C Meningkat

Preferensi konsumen menurun

Tetap seperti kondisi saat ini

Peningkatan permintaan konsumen

Berdasarkan berbagai kondisi tersebut, disusun kombinasi untuk tiga

kemungkinan skenario (Tabel 30).

Tabel 30 Skenario dan kombinasi antar faktor dan kondisi.

No. Skenario Kombinasi kondisi parameter

1 Pesimistik 1A, 2A, 3B, 4A

2 Moderat 1B, 2B, 3B, 4C

3 Optimistik 1C, 2C, 3C, 4C

Page 224: scylla serrata

204  

5.3.6.3 Skenario Pesimistik

Skenario pesimistik dibangun berdasarkan kondisi parameter kunci

sebagai berikut: 1) tidak ada alokasi mangrove untuk zona pemanfaatan, 2) tidak

ada alokasi benih untuk sylvofishery seluruh stok hanya untuk penangkapan, 3)

alokasi dana untuk pendidikan tetap 15% dari pendapatan keluarga seperti kondisi

saat ini, 4) harga S. serrata menurun menjadi harga lokal karena permintaan

ekspor berkurang.

Penerapan skenario pesimistis ini akan memberikan implikasi terhadap

sumberdaya sebagai berikut:

1) Terjadi penurunan luas mangrove, hingga tahun 2030 mangrove yang tersisa

seluas 4 554,54 ha;

2) Terjadi penurunan stok S. serrata menjadi 9 519,93 kg/th pada tahun 2030.

Grafik hasil simulasi skenario pesimistik disajikan pada Gambar 51.

Gambar 51 Grafik hasil simulasi skenario pesimistik.

5.3.6.4 Skenario Moderat

Skenario moderat dibangun berdasarkan kondisi parameter kunci sebagai

berikut: 1) ada alokasi mangrove untuk zona pemanfaatan sebesar 20% dari luas

total hutan mangrove, 2) benih untuk sylvofishery dialokasikan sebesar 40% dari

total stok kepiting yang diduga, 3) alokasi dana untuk pendidikan tetap 15% dari

pendapatan keluarga, 4) harga S. serrata meningkat 10% dari harga semula

karena permintaan ekspor meningkat.

1/1/2010 1/1/2020 1/1/2030

4,600

4,800

5,000

5,200

ha

lua

s_

mg

r

1/1/2010 1/1/2020 1/1/20304,000

6,000

8,000

10,000

12,000kg/yr

sto

k_

sc

yll

a

Page 225: scylla serrata

205  

Penerapan skenario moderat akan memberikan implikasi terhadap

sumberdaya sebagai berikut:

3) Mangrove yang awalnya seluas 5 277.79 ha tahun 2010, mengalami

penurunan luas hingga 5 134.56 ha pada tahun 2018, namun setelah itu terjadi

peningkatan lagi hingga menjadi seluas 5 236.33 ha tahun 2030;

4) Terjadi penurunan stok S. serrata menjadi 10 030,98 kg/th pada tahun 2030,

namun penurunan ini masih lebih lambat dibanding pada skenario pesismistik.

Grafik hasil simulasi skenario moderat disajikan pada Gambar 52.

Gambar 52 Grafik hasil simulasi skenario moderat.

5.3.6.5 Skenario Optimistik

Skenario optimistik dibangun berdasarkan kondisi parameter kunci

sebagai berikut: 1) ada alokasi mangrove untuk zona pemanfaatan sebesar 30%

dari luas total hutan mangrove, 2) benih untuk sylvofishery dialokasikan sebesar

60% dari total stok kepiting yang diduga, 3) alokasi dana untuk pendidikan

meningkat menjadi 20% dari pendapatan keluarga, 4) harga S. serrata meningkat

10% dari harga semula karena permintaan ekspor meningkat.

Penerapan skenario optimistik ini akan memberikan implikasi terhadap

sumberdaya sebagai berikut:

1) Mangrove mengalami penurunan luas hingga 5 175.42 ha pada tahun 2018,

namun setelah itu terjadi peningkatan lagi hingga menjadi seluas 5 288.05 ha

tahun 2030, dan menjadi stagnan;

1/1/2010 1/1/2020 1/1/2030

5,150

5,200

5,250

ha

lua

sm

gr

1/1/2010 1/1/2020 1/1/20304,000

6,000

8,000

10,000

12,000kg/yr

sto

ks

cy

lla

Page 226: scylla serrata

206  

2) Terjadi penurunan stok S. serrata menjadi 10 124.32 kg/th pada tahun 2030,

penurunan ini lebih lambat dibanding penurunan pada skenario moderat.

Grafik hasil simulasi skenario optimistik disajikan pada Gambar 53.

Gambar 53 Grafik hasil simulasi skenario optimistik.

Berdasarkan hasil simulasi dengan ketiga skenario tersebut, implikasi

menunjukkan bahwa skenario optimistik menunjukkan kinerja model yang lebih

berkelanjutan untuk pengelolaan hutan mangrove di TNK bila dilakukan dengan

pendekatan optimasi pemanfaatan sumberdaya Scylla serrata.

5.4. Analisis Keberlanjutan Pengelolaan Sylvofishery Kepiting Bakau di Kawasan Mangrove TNK

Keberlanjutan pengelolaan sumberdaya kepiting bakau (Scylla serrata)

dipertimbangkan dari empat dimensi, yaitu dimensi ekologi, dimensi ekonomi

dimensi sosial dan dimensi kelembagaan. Dalam setiap dimensi terdiri atas

beberapa atribut yang diukur, baik secara kualitatif maupun kuantitatif, dan

selanjutnya akan diberi bobot menggunakan metode Multidimensional Scalling

(MDS). Analisis dilakukan dengan software Rapfish yang dimodifikasi,

selanjutnya analisis MDS ini disebut Rap-CRASYMAN (Rapid Assesment

Techniques for Crab Sylvofishery Management). Pemberian skor atribut pada

masing-masing dimensi disesuaikan dengan kondisi riil pengelolaan kepiting

bakau di kawasan mangrove TNK. Hasil survei dan pengukuran terhadap masing-

masing atribut per dimensi di disajikan pada Tabel 31.

1/1/2010 1/1/2020 1/1/2030

5,200

5,250

ha

lua

s_

mg

r

1/1/2010 1/1/2020 1/1/20304,000

6,000

8,000

10,000

12,000kg/yr

sto

k_

sc

yll

a

Page 227: scylla serrata

207  

Tabel 31 Skor atribut dari empat dimensi pengelolaan sylvofishery kepiting bakau di TNK.

No Dimensi dan Atribut Skor Baik Buruk Realitas saat ini Keterangan

A. Dimensi Ekologi

1. Kerapatan vegetasi mangrove

0; 1; 2 2 0 Sedang11` = skor 1

0= jarang; 1= sedang; 2= sangat rapat

2. Potensi stok kepiting bakau

0; 1; 2 2 0 Menurun = skor 1

0= habis; 1= menurun; 2= meningkat

3. Laju eksploitasi kepiting bakau

0; 1; 2 2 0 Lebih dari E-maks =

skor 0

0= lebih dari E-maks; 1= sama dgn E-maks; 2= kurang dari E-maks

4. Daya dukung mangrove bagi budidaya sylvofishery S. serrata

0; 1; 2 2 0 antara 0.5-7.5 = skor 1

0= kurang dari 0.5; 1= antara 0.5-7.5 ; 2= lebih dari 7.5

5. Ketersediaan lahan kritis mangrove untuk sylvofishery

0; 1; 2 2 0 lebih luas = skor 2

0= kurang luas; 1= sama luas; 2= lebih luas (dibandingkan kebutuhan sylvofishery)

B. Dimensi Ekonomi

1. Kuota tangkapan kepiting bakau (kg/bulan)

0; 1; 2 2 0 100-1000 kg = skor 1

0= kurang dari 100 kg; 1=100-1000 kg; 2 = lebih dari 1000 kg

2. Harga produk kepiting bakau (Rp/kg)

0; 1; 2 2 0 Trend meningkat=

skor 2

0= trend menurun; 1 = tetap; 2= trend meningkat

3. Keuntungan pembudidaya sylvofishery kepiting bakau (Rp/tahun)

0; 1; 2 2 0 Lebih besar = skor 2

0= lebih kecil; 1 = sama; 2 = lebih besar (dibanding keuntungan budidaya tambak)

4. Keuntungan nelayan penangkapan kepiting bakau (Rp/tahun)

0; 1; 2 2 0 Sama = skor 1

0= lebih kecil; 1 = sama; 2 = lebih besar (dibanding keuntungan budidaya tambak)

5. Permintaan pasar ekspor thd kepiting bakau

0; 1; 2 2 0 trend meningkat =

skor 2

0= trend menurun; 1 = tetap; 2= trend meningkat

Page 228: scylla serrata

208  

No Dimensi dan Atribut Skor Baik Buruk Realitas saat ini Keterangan

C. Dimensi Sosial

1. Pengetahuan masyarakat tentang pengelolaan mangrove

0; 1; 2 2 0 25-75% = skor 1

0 = < 25% ; 1 = 25-75%; 2 = >75%

2. Penerimaan masyarakat pada usaha budidaya sylvofishery

0; 1; 2 2 0 >75% = skor 2 0 = < 25% ; 1 = 25-75%; 2 = >75%

3. Kemampuan teknologi masyarakat dalam pemanfaatan kepiting bakau

0; 1; 2 2 0 Rendah = skor 0

0= rendah; 1= sedang; 2= tinggi

4. Potensi konflik budidaya sylvofishery dengan pemanfaatan lain

0; 1; 2 2 0 > 5 sektor = skor 0

0 = > 5 sektor; 1 = 2-5 sektor; 2 = <2 sektor

5. Potensi penyerapan tenaga kerja

0; 1; 2 2 0 meningkat = skor 2

0= menurun; 1= konstan; 2= meningkat

6. Dukungan elemen pemerintah dalam pengelolaan mangrove berkelanjutan

0; 1; 2 2 0 <2 sektor = skor 0

0 = <2 elemen; 1 = 2-5 elemen; 2 = > 5 elemen

D. Dimensi Kelembagaan

1. Keberadaan aturan pengelolaan ekosistem mangrove

0; 1; 2 2 0 tdk ada = skor 0

0= tdk ada; 1=ada, tdk dilaksanakan; 2= ada, dilaksanakan

2. Keberadaan lembaga masyarakat untuk pengelolaan mangrove

0; 1; 2 2 0 Ada, aktif = skor 2

0= tdk ada; 1=ada, tdk aktif; 2= ada, aktif

3. Zonasi kawasan mangrove TNK

0; 1; 2 2 0 tdk ada = skor 0

0= tdk ada; 1=ada, tdk dilaksanakan; 2= ada dilaksanakan

4. Adanya otoritas lembaga pengelola TNK

0; 1 1 0 ada = skor 1 0= tdk ada; 1= ada

Page 229: scylla serrata

209  

No Dimensi dan Atribut Skor Baik Buruk Realitas saat ini Keterangan

5. Penegakan hukum oleh aparat bagi pelanggar

0; 1; 2 2 0 hanya sebagian=

skor 1

0= tdk ada; 1= hanya sebagian kasus; 2= seluruh kasus

6. Dukungan perusahaan Mitra TNK

0; 1 1 0 ada = skor 1 0= tdk ada; 1= ada

5.4.1 Status Keberlanjutan Pengelolaan Kepiting Bakau

Analisis dengan MDS ini menghasilkan status dan indeks keberlanjutan

pengelolaan sylvofishery di kawasan mangrove TNK. Status Keberlanjutan yang

dimaksud adalah apakah pengelolaan sylvofishery saat ini telah efektif dan akan

berkelanjutan berdasarkan keempat dimensi pengelolaan yang dikaji dan indeks

yang diperoleh (Gambar 54).

Gambar 54 Diagram layang-layang pengelolaan sylvofishery di kawasan

mangroveTNK.

Hasil analisis dengan Rap-CRASYMAN diperoleh indeks keberlanjutan

untuk dimensi ekologi sebesar 46.640 % dengan status kurang berkelanjutan,

dimensi ekonomi sebesar 76.422% dengan status berkelanjutan, dimensi sosial

DIAGRAM LAYANG-LAYANG SYLVOFISHERY

38.829

46.640

76.42260.6260

20

40

60

80

100Dimensi Ekologi

Dimensi Ekonomi

Dimensi Sosial

Dimensi Kelembagaan

Page 230: scylla serrata

210  

sebesar 38.829% dengan status kurang berkelanjutan, dan dimensi kelembagaan

sebesar 60.626% dengan status cukup berkelanjutan. Indeks ini merupakan

gambaran keberlanjutan dari masing-masing atribut berdasarkan pengelolaan saat

ini. Untuk memperoleh peningkatan status menjadi berkelanjutan, maka masa

yang akan datang perlu dilakukan perbaikan terhadap atribut-atribut pada masing-

masing dimensi tersebut.

5.4.2 Status Keberlanjutan Dimensi Ekologi

Status keberlanjutan dari dimensi ekologi adalah ‘kurang berkelanjutan’.

Atribut yang berpengaruh dalam dimensi ekologi terdiri dari lima jenis, yaitu: 1)

Kerapatan vegetasi mangrove; 2) Potensi stok kepiting bakau; 3) Laju eksploitasi

kepiting bakau; 4) Daya dukung lingkungan mangrove bagi budidaya

sylvofishery; 5) Ketersediaan lahan kritis mangrove untuk sylvofishery. Dari

kelima atribut tersebut, setelah dilakukan leveraging analysis, diketahui bahwa

atribut yang cukup sensitif terhadap indeks keberlanjutan dimensi ekologi adalah

laju eksploitasi kepiting bakau (Gambar 55). Atribut yang sensitif ini merupakan

faktor pengungkit dalam dimensi ekologi, sehingga bila dilakukan perbaikan pada

atribut ini akan mengungkit nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi secara

keseluruhannya.

Gambar 55 Peran masing-masing atribut dimensi ekologi pada keberlanjutan pengelolaan sylvofishery dinyatakan dalam bentuk nilai RMS (Root Mean Square).

Faktor Pengungkit Dimensi Ekologi

0.30

2.01

9.77

3.47

2.49

0 2 4 6 8 10 12

Kerapatan vegetasimangrove

Potensi stok kepitingbakau

Laju eksploitasikepiting bakau

Daya dukunglingkungan mangrove

bagi budidayasylvofishery

Ketersediaan lahankritis mangrove untuk

sylvofishery

Attribu

te

Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)

Page 231: scylla serrata

211  

Perbaikan untuk atribut laju eksploitasi kepiting bakau dapat dilakukan

dengan cara, antara lain pengaturan perikanan tangkap kepiting bakau dan

pengembangan budidaya kepiting bakau ramah lingkungan.

5.4.3 Status Keberlanjutan Dimensi Ekonomi

Status keberlanjutan dimensi ekonomi pada pengelolaan sylvofishery

kepiting bakau adalah berkelanjutan dengan nilai indeks 76.422%. Atribut yang

berpengaruh dalam dimensi ekologi terdiri dari lima jenis, yaitu: 1) Kuota

tangkapan kepiting bakau (kg/bulan); 2) Harga produk kepiting bakau (Rp/kg); 3)

Keuntungan pembudidaya sylvofishery kepiting bakau (Rp/tahun); 4) Keuntungan

nelayan penangkapan kepiting bakau (Rp/tahun); dan 5) Permintaan pasar ekspor

terhadap kepiting bakau. Atribut yang cukup sensitif dalam mempengaruhi indeks

keberlanjutan dimensi ekonomi ada tiga, yaitu: harga produk kepiting bakau,

keuntungan pembudidaya sylvofishery kepiting bakau, keuntungan nelayan

penangkapan kepiting bakau (Gambar 56).

Gambar 56 Peran masing-masing atribut dimensi ekonomi pada keberlanjutan

pengelolaan sylvofishery dinyatakan dalam bentuk nilai RMS (Root Mean Square).

Perbaikan terhadap keuntungan pembudidaya dan keuntungan nelayan

penangkap kepiting bakau dapat diupayakan melalui peningkatan jumlah dan

kualitas produk. Peningkatan jumlah produk hanya bisa dilakukan bila teknologi

Faktor Pengungkit Dimensi Ekonomi

5.02

5.99

7.98

9.32

3.37

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Kuota tangkapankepiting bakau

(kg/bulan)

Harga produk kepitingbakau (Rp/kg)

Keuntunganpembudidaya

sylvofishery kepitingbakau (Rp/tahun)

Keuntungan nelayanpenangkapan kepiting

bakau (Rp/tahun)

Permintaan pasarekspor thd kepiting

bakau

Attr

ibut

e

Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)

Page 232: scylla serrata

212  

pembenihan kepiting bakau dapat dilakukan secara budidaya, tidak hanya

mengandalkan tangkapan alam. Penelitian-penelitian untuk pembuatan hatchery

kepiting bakau merupakan langkah yang mutlak perlu dilakukan. Perbaikan

kualitas produk kepiting bakau dapat dilakukan dengan cara: meningkatkan

kemampuan sumberdaya manusia dalam teknologi budidaya, tidak hanya sekedar

budidaya pembesaran, namun juga jenis budidaya yang lain seperti budidaya

kepiting bertelur atau budidaya kepiting lunak (soka).

5.4.4 Status Keberlanjutan Dimensi Sosial

Status keberlanjutan dari dimensi sosial dalam pengelolaan sylvofishery

adalah kurang berkelanjutan (indeks 38.829%). Perlu dilakukan perbaikan untuk

meningkatkan nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial. Atribut yang berpengaruh

dalam dimensi sosial terdiri dari enam jenis, yaitu: 1) pengetahuan masyarakat

tentang pengelolaan mangrove; 2) penerimaan masyarakat pada usaha budidaya

sylvofishery; 3) kemampuan teknologi masyarakat dalam pemanfaatan kepiting

bakau; 4) potensi konflik budidaya sylvofishery dengan pemanfaatan lain; 5)

potensi penyerapan tenaga kerja; 6) dukungan elemen pemerintah dalam

pengelolaan mangrove berkelanjutan.

Gambar 57 Peran masing-masing atribut dimensi sosial pada keberlanjutan pengelolaan sylvofishery dinyatakan dalam bentuk nilai RMS (Root Mean Square).

Faktor Pengungkit Dimensi Sosial

5.91

11.60

14.79

12.42

7.41

6.09

0 2 4 6 8 10 12 14 16

Pengetahuan masyarakat tentang pengelolaanmangrove

Penerimaan masyarakat pada usaha budidayasylvofishery

Kemampuan teknologi masyarakat dalampemanfaatan kepiting bakau

Potensi konflik budidaya sylvofishery denganpemanfaatan lain

Potensi penyerapan tenaga kerja

Dukungan elemen pemerintah dalampengelolaan mangrove berkelanjutan

Attribute

Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)

Page 233: scylla serrata

213  

Atribut yang sensitif dan dapat menjadi pengungkit dalam dimensi sosial

ada empat jenis, yaitu: penerimaan masyarakat pada usaha budidaya sylvofishery,

kemampuan teknologi masyarakat dalam pemanfaatan kepiting bakau, potensi

konflik budidaya sylvofishery dengan pemanfaatan lain, dan potensi penyerapan

tenaga kerja (Gambar 57).

Pemanfaatan kepiting bakau oleh masyarakat memang relatif masih sedikit

dilakukan di lokasi TNK, karena masyarakat belum memiliki teknologi

pemanfaatan kepiting bakau. Bila kemampuan ini dapat ditingkatkan, maka

diharapkan akan terjadi penyerapan tenaga kerja pada sektor ini dan masyarakat

akan lebih menerima budidaya sylvofishery dibandingkan budidaya perikanan lain

yang tidak ramah lingkungan. Sedangkan perbaikan terhadap potensi konflik

dapat dilakukan dengan adanya pengaturan zonasi yang tegas.

5.4.5 Status Keberlanjutan Dimensi Kelembagaan

Status keberlanjutan dari dimensi kelembagaan dalam pengelolaan

sylvofishery adalah ‘cukup berkelanjutan’ (indeks 60.626%). Atribut yang

berpengaruh dalam dimensi kelembagaan terdiri dari enam jenis, yaitu: 1)

tersedianya aturan pengelolaan ekosistem mangrove; 2) keberadaan lembaga

masyarakat untuk pengelolaan mangrove; 3) adanya zonasi di kawasan mangrove

TNK; 4) otoritas lembaga pengelola TNK; 5) penegakan hukum oleh aparat bagi

pelanggar; 6) dukungan perusahaan Mitra TNK.

Berdasarkan hasil analisis leverage, diketahui ada dua atribut yang sangat

sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi kelembagaan, yaitu adanya

zonasi di kawasan mangrove TNK dan otoritas lembaga pengelola TNK.

Sedangkan tiga atribut yang lain cukup sensitif mempengaruhi nilai indeks, yaitu:

tersedianya aturan pengelolaan ekosistem mangrove, keberadaan lembaga

masyarakat untuk pengelolaan mangrove, dan dukungan perusahaan Mitra TNK

(Gambar 58).

Upaya yang perlu dilakukan untuk meningkatkan indeks keberlanjutan

dimensi kelembagaan adalah perlu disusun rencana zonasi di kawasan mangrove

TNK agar tidak terjadi perusakan yang semakin meluas. Perbaikan lain yang perlu

dilakukan adalah pelaksanaan kewenangan pengelolaan kawasan TNK yang

sebaik-baiknya. Lembaga pengelola TNK, yaitu Balai TNK, selama ini terkesan

Page 234: scylla serrata

214  

kurang berani dalam menindak pelanggaran yang terjadi di kawasan TNK, baik

yang dilakukan oleh perorangan maupun oleh perusahaan di sekitar kawasan.

Selain itu lembaga pengelola TNK juga belum menyediakan perangkat untuk

mengelola, seperti aturan-aturan yang bersifat detil dan teknis untuk pengelolaan

kawasan TNK.

Gambar 58 Peran masing-masing atribut dimensi kelembagaan pada keberlanjutan pengelolaan sylvofishery dinyatakan dalam bentuk nilai RMS (Root Mean Square).

5.5. Rekomendasi Penatakelolaan Kawasan Mangrove di TNK

Dari berbagai kajian ilmiah yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya,

kesimpulan yang dapat diambil adalah perlu adanya penatakelolaan kembali

kawasan mangrove di Taman Nasional Kutai, untuk mempertahankan fungsi

ekologisnya, sekaligus mencegahnya dari degradasi yang lebih parah dan

mengembalikan fungsinya sebagai kawasan pelestarian alam.

IUCN (1994) menyatakan hal-hal yang perlu dipertimbangkan untuk

mengatasi issue masyarakat yang menetap dalam kawasan TN antara lain adalah:

kemungkinan untuk dipindahkan (relokasi), pemberian kompensasi untuk

perpindahan komunitas masyarakat, diberikan pilihan alternatif mata pencaharian

lain, atau perubahan pendekatan pengelolaan dalam berbagai kondisi.

Faktor Pengungkit Dimensi Kelembagaan

7.85

7.58

15.12

11.33

2.44

7.84

0 2 4 6 8 10 12 14 16

Keberadaan aturanpengelolaan ekosistem

mangrove

Keberadaan lembagamasyarakat untuk

pengelolaan mangrove

Zonasi kawasanmangrove TNK

Otoritas lembagapengelola TNK

Penegakan hukumoleh aparat bagi

pelanggar

Dukungan perusahaanMitra TNK

Attr

ibut

e

Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)

Page 235: scylla serrata

215  

Berdasarkan berbagai hasil analisis penelitian yang telah dilakukan di atas,

rekomendasi yang dapat disampaikan untuk penatakelolaan kawasan mangrove

TNK adalah:

1 Perlu segera dilakukan penataan ruang kawasan (zonasi) sesuai fungsinya

di kawasan TNK secara umum, maupun secara khusus di kawasan

mangrove TNK sebagai bagian dari TNK.

2 Perlu perubahan pendekatan dalam pengelolaan kawasan TNK, agar

terbentuk pengelolaan kolaboratif dengan masyarakat lokal yang terlanjur

tinggal di dalam kawasan TN. Pengelolaan kolaboratif adalah pendekatan

pengelolaan yang direkomendasikan untuk mengelola mangrove di TNK.

Salah satu hasil Diskusi Lanjutan Tata Batas di Taman Nasional Kutai

adalah menyelenggarakan pengelolaan kolaboratif dalam area seluas 23

712 ha.

3 Perlu perubahan paradigma pengelolaan yang membatasi akses

masyarakat terhadap sumberdaya alam dalam TNK, menjadi peluang

untuk memanfaatkan sumberdaya secara bertanggung jawab sesuai

peraturan yang berlaku. Khusus untuk sumberdaya di kawasan mangrove,

budidaya sylvofishery kepiting bakau merupakan alternatif

matapencaharian untuk kelangsungan hidup masyarakat. Masyarakat yang

telah menetap dalam kawasan diberi hak pemanfaatan dan pengelolaan

sumberdaya, dengan kontrol pengawasan dari pemerintah. Sumberdaya

yang dapat dimanfaatkan dari kawasan mangrove adalah kepiting bakau.

Pemanfaatan kepiting bakau melalui budidaya sylvofishery atau pun

penangkapan dilakukan pada zona yang telah ditentukan sesuai fungsinya.

4 Pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah, berkewajiban

menyediakan elemen untuk kontrol pengawasan bagi pengelolaan oleh

masyarakat. Elemen kontrol ini antara lain berupa peraturan perundangan

yang disepakati oleh semua stakeholder yang terlibat dalam kawasan.

Selain itu tersedianya aparat pengawasan yang jumlahnya mencukupi

untuk wilayah yang luas, juga perlu diperhatikan. Selama ini tidak

efektifnya pengawasan dan tidak tegasnya penerapan sanksi menyebabkan

pelanggaran aturan yang meluas di kalangan masyarakat lokal.

Page 236: scylla serrata

216  

5 Perlu adanya aturan yang membatasi pemanfaatan sumberdaya dalam

ekosistem mangrove. Pembatasan dapat dilakukan melalui pengaturan

kuota sesuai daya dukung lingkungan, restoking, dan pembayaran retribusi

atas penggunaan sumberdaya. Sehingga pemanfaatan sumberdaya di

kawasan pelestarian alam bertujuan untuk mempertahankan keberlanjutan

kehidupan masyarakat, dan tidak untuk komersialisasi atau pun privatisasi.

6 Masyarakat lokal perlu diberi informasi yang benar tentang konsep

pengelolaan kolaborasi dan tujuan pengelolaan kawasan taman nasional,

sehingga semua pihak akan mempunyai tujuan yang sama untuk

mempertahankan fungsi TNK sebagai kawasan konservasi sekaligus dapat

mengelolanya secara berkelanjutan untuk kehidupan masyarakat.

7 Perlu peninjauan kembali penunjukkan dan luas wilayah TNK sebagai

Kawasan Pelestarian Alam Taman Nasional, mengingat saratnya masalah

politis dan kependudukan dalam kawasan TNK.

8 Kebijakan pengelolaan dengan menggunakan skenario optimistik dari

model pemanfaatan kepiting bakau berdasarkan kondisi ekobiologi perlu

diterapkan untuk mencapai pemanfaatan yang berkelanjutan. 

Page 237: scylla serrata

  

 

6 SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan

1. Kondisi bioekologi S. serrata di kawasan mangrove TN Kutai, berdasarkan

hasil analisis dengan metode analitik, diketahui bahwa penangkapan S.

serrata sudah berada di atas laju eksploitasi maksimal, hanya di lokasi Muara

Sangkima penangkapan kepiting jantan masih sedikit di bawah eksploitasi

maksimal yang diperbolehkan.

2. Hasil analisis HSI menunjukkan bahwa daya dukung budidaya sylvofishery

di lokasi Muara Sangatta tertinggi dibanding lokasi yang lain. Individu

kepiting bakau yang dapat didukung untuk budidaya sylvofishery yang

berkelanjutan adalah sebanyak 244.862 ekor atau dapat dibudidayakan pada

± 490 unit kurungan tancap berukuran 10 x 20 m. Ketersediaan benih di

lokasi tersebut diperkirakan sebesar 31 363 ekor benih. Kekurangan benih S.

serrata harus diambil dari kawasan mangrove daerah lain yang merupakan

kawasan pemanfaatan umum. Unit karamba sejumlah ini memerlukan lahan

seluas 10 ha. Di Muara Sangatta terdapat sekitar 400.03 ha lahan kritis. Unit-

unit karamba ini dapat dibangun di lahan tersebut, sekaligus sebagai upaya

untuk rehabilitasi lahan kritis.

3. Rekomendasi pengelolaan yang dapat diberikan berdasarkan hasil analisis

bioekologi dan daya dukung adalah kawasan mangrove TN Kutai perlu ditata

menggunakan konsep zonasi. Muara Sangatta adalah lokasi yang paling

sesuai untuk usaha budidaya sylvofishery dan Muara Sangkima untuk zona

perikanan tangkap Scylla serrata, sedangkan lokasi yang lain digunakan

sebagai zona perlindungan.

Enam hal yang penting dipertimbangkan dalam pengelolaan Scylla

serrata adalah 1) Penutupan daerah penangkapan Scylla serrata, sesuai

zonasi yang telah ditentukan sebelumnya; 2) penutupan musim penangkapan

Scylla serrata. 3) pengaturan jenis kelamin tangkapan kepiting bakau,

disarankan penangkapan kepiting bakau lebih diutamakan menangkap

kepiting dengan jenis kelamin jantan untuk menjaga keseimbangan rasio

kepiting jantan:betina di alam; 4) pembatasan alat tangkap kepiting bakau.

Page 238: scylla serrata

220  

 

Jenis alat tangkap yang direkomendasikan untuk digunakan adalah jenis alat

tangkap bubu/rakkang dengan lokasi tangkapan pada zona depan hutan

mangrove/pinggiran pantai, karena pada lokasi ini cenderung lebih banyak

terdapat kepiting muda yang berukuran kecil, sehingga dapat dijadikan

sebagai benih pada budidaya sylvofishery; 4) pemberlakuan kuota

penangkapan kepiting bakau. Laju eksploitasi kepiting jantan dan betina di

Muara Sangatta dan Teluk Perancis, sudah melebihi ambang batas

maksimum, sehingga tidak boleh dilakukan penambahan upaya untuk

penangkapan S. serrata, baik berupa penambahan unit alat tangkap, frekuensi

penangkapan, maupun dari jumlah nelayan; 6) restoking Scylla serrata dapat

dilakukan dengan mengembalikan ke alam sebagian dari hasil panen

budidaya sylvofishery. Restoking induk betina Scylla serrata minimal

sebesar 1% dari panen budidaya sylvofishery.

6.2 Saran

Penelitian ini belum melakukan kajian untuk optimasi budidaya

sylvofishery, sehingga belum dapat menduga optimasi ekonomi pemanfaatan

hutan mangrove .

Page 239: scylla serrata

DAFTAR PUSTAKA

[AED] Atlantic Ecology Division. 2008. Habitat Suitability Index (HSI). http://www.epa.gov/aed/html/research/scallop/hsi.html

Afrianto E, E Liviawaty. 1993. Pemeliharaan Kepiting. Kanisius. Yogyakarta.

Ali MY, D Kamal, SMM Hossain, MA Azam, W Sabbir, A Murshida, B Ahmed, K Azam. 2004. Biological studies of the mud crab, Scylla serrata (Forskal) of the sundarbans mangrove ecosystem in Khulna Region of Bangladesh. Pakistan Journal of Biological Sciences 7: 1981-1987.

Aminullah E. 2004. Berpikir Sistemik Untuk Pembuatan Kebijakan Publik, Bisnis, dan Ekonomi. Jakarta : Penerbit PPM.

Arifin Z. 2006. Carrying Capacity Assessment on Mangrove Forest with Special Emphasize on Mud Crab Sylvofishery System: A Case Studi in Tanjung Jabung Timur District Jambi Province. [Thesis]. Post Graduate School. Bogor Agricultural University.

Balle M. 1994. Managing with Systems Thinking, Making Dynamics Work for You in Business Decision making. London : Irwin McGraw Hill.

Bene C, Tewfik A. 2000. Analysis of Fishing Effort Allocation and Fishermen Behaviour Trough a System Approach. Centre For The Economics and Management of Aquatic Resources (CEMARE Res.pap.) .

Bengen DG. 2000. Teknik Pengambilan Contoh dan Analisis Data Biofisik Sumberdaya Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor.

Bengen DG. 2004. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta Prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor.

Bonine KM, EP Bjorkstedt, KC Ewel, M Palik. 2008. Population characteristik of the mangrove crab Scylla serrata (Decapoda: Portunidae) in Kosrae, Federation States of Micronesia: effect of harvest and implications for management. Jurnal Pacific Science 62: 1-19.

Brower JE, JH Zar, CN Ende. 1990. Field and Laboratory Methods for General Ecology. Edisi Ketiga. Wm C. Brown Publishers. United States of Amerika.

Bueno SLS, RM Shimizu. 2009. Allometric growth, sexual maturity and adult male chelae dimorphism in Aegla franca (Decapoda: Anomura: Aeglidae). Journal of Crustacean Biology 29(3): 317-328.

Chen X, G Li, B Feng, S Tian. 2009. Habitat Suitability Index of Chub Mackerel (Scomber japonicus) from July to September in the East China Sea. Journal of Oceanography 6: 93-102.

Page 240: scylla serrata

220

Cholik F, A Hanafi. 1991. A review of the status of the mud crab (Scylla sp.) fishery and culture in Indonesia. Reports of The Seminar on The Mud Crab Culture and Trade. Surat Thani, Thailand, November 5-8 1991.

Cholik F, A Hanafi. 1992. A Review of the status of mud crab fishery and culture in Indonesia. Central Research Institute for Fisheries. Jakarta. p 3-6.

Cholik F. 1999. Review of Mud Crab Culture Research in Indonesia. In Mud Crab Aquaculture and Biology. ACIAR Proceedings N0.78. Canberra. Australia.

[CII] Conservation International Indonesia. 2006. Konservasi berbasis masyarakat melalui Daerah Perlindungan Laut di Kepulauan Togean Sulawesi Tengah. Palu: CII Togean Program.

Dahuri R, J Rais, SP Ginting, MJ Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, cetakan kedua. Pradnya Paramita. Jakarta. 326 p.

Dahuri R. 2003. Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan. Orasi Ilmiah: Guru Besar Tetap Bidang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan FPIK. IPB. Bogor.

Damanik R, B Prasetiamartati, A Satria. 2006. Menuju Konservasi Laut yang Pro Rakyat dan Pro Lingkungan. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia. Jakarta.

Davis JA, GJ Churchill, T Hecht, P Sorgeloss. 2004. Spawning characteristics of the South African mudcrab Scylla serrata (Forskall) in captivity. Journal of The World Aquaculture Society 35:121-133.

[Dephut] Departemen Kehutanan. 2006. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional. Departemen Kehutanan RI.

[Dephut] Departemen Kehutanan. 2007. Kawasan Konservasi Indonesia. Departemen Kehutanan. Jakarta.

Dianthani D. 2002. Evaluasi kondisi lingkungan perairan Muara Badak kaitannya dengan larva kepiting bakau. [Tesis]. Institut Pertanian Bogor.

Downs JA, RJ Gates, AT Murray. 2008. Estimating carrying capacity for sandhill cranes using habitat suitability and spatial optimization models. Jurnal Ecological Modelling 214: 284-292.

Effendie MI. 1979. Metode biologi perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor: 112 p.

English S, C Wilkinson, V Baker. 1997. Survey Manual for Tropical Marine Resource, 2nd edition. Australian Intitute of Marine Science. Townsville.

Eriyatno. 2003. Ilmu Sistem : Meningkatkan Mutu dan Efektifitas Manajemen. Jilid satu. Edisi ketiga. IPB Press. Bogor.

Ewel KC. 2008. Mangrove crab (Scylla serrata) populations may sometimes be best managed locally. Journal of Sea Research 59: 114 – 120.

Page 241: scylla serrata

221

Ford A. 1999. Modeling the Environment, An Introduction to System Dynamics Models of Environmental Systems. Island Press. Washington DC. USA.

Forrester JW. 1994. System Dynamics, System Thinking, and Soft OR. http://sysdyn.clexchange.org/road-maps/rm-toc.html. [8 Desember 2006].

Garth JS, DP Abbott. 1980. Branchyura: The True Crabs. In Intertidal Invertebrates of California. California: Stanford University Press. Page. 594 – 623.

Genodepa JG. 1999. Pen Culture Experiments of the Mud Crab Scylla serrata in Mangrove Areas. In Mud Crab Aquaculture and Biology. ACIAR Proceedings N0.78. Canberra. Australia.

[GESAMP] Joint Group of Experts on the Scientific Aspects of Marine Environmental Protection. 1996. The contributions of science to integrated coastal management. Reports and studies No. 61. Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome

Gunawan W, WC Adinugroho, Noorcahyati. 2005. Model pelestarian ekosistem mangrove di kawasan Taman Nasional Kutai oleh masyarakat dusun Teluk Lombok. Loka Litbang Satwa Primata, Badan Litbang Kehutanan, Departemen Kehutanan.

Hall NG, KD Smith, S de Lestang, IC Potter. 2006. Does the largest chela of the males of three crab species undergo an allometric change that can be used to determine morphometric maturity ?. ICES Journal Marine Science 63 (1): 140-150.

Haddon M, S Frusher, T Hay, M Hearnden, N Gribble, I Brown. 2004. Mud crab (scylla serrata) assessment workshop. Fishery report no. 79. Presented in Mud crab (scylla serrata) assessment workshop Fisheries Group, Department of Business, Industry and Resource Development, Darwin, 26 - 28 july 2004. Website at www.fisheries.nt.gov.au

Harjanto D. 2002. Tinjauan Perspektif Pengelolaan Kawasan Mangrove. Tantangan Dan Peluang Rehabilitasinya. Makalah Pelatihan dan Workshop Rehabilitasi Mangrove Tingkat Nasional. INSTIPER Yogyakarta 24-30 September 2002.

Haryani EBS, A Dermawan, K Isao, Indriani. 2008. Konservasi Sumberdaya Ikan di Indonesia. Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut, Dirjen P3K, Departemen Kelautan dan Perikanan dan Japan International Cooperation Agency (JICA). Jakarta.

Hastuti S. 1998. Pertumbuhan embrio kepiting bakau, Scylla serrata, pada beberapa tingkat salinitas media. (Thesis). Program Pascasarjana IPB. Bogor

Heasman MP, DR Fielder, Sheperd. 1985. Mating and spawning in the mud crab Scylla serrata (Forskal). Australian Journal of Freshwater Research. 36: 773-783.

Page 242: scylla serrata

222

Hill BJ. 1975. Abundance, breeding and growth of the crab Scylla serrata in two South African estuaries. Marine Biology 32: 119–126.

Hill BJ. 1979. Aspects of feeding strategy of predatory crab, Scylla serrata. Marine Biology 55:209-214.

Hyland SJ, BJ Hill, CP Lee. 1984. Movement within and between different habitats by the portunid crab Scylla serrata. Marine Biology 80: 57-61

Hutching B, P Saenger. 1987. Ecology of Mangrove. University of Queensland Press. St. Lucia, London, New York. 388 p.

Ikhwanuddin A Mhd, S Oakley. 1999. Culture of mud crabs in mangrove areas : the Sarawak experience. In Press Procs. Of Regional workshop on integrated management of Mangrove/coastal ecosystems for sustainable aquaculture development. 23rd-25th (Ed, Mackintosh, D.) Kuching, Sarawak, Malaysia.

Indrawan M, RB Primack, J Supriatna. 1997. Biologi Konservasi. Jakarta: Buku Obor. 624 hlm.

[IUCN] International United Conservation Nature. 1994. Guidelines for Protected Areas Management Categories. IUCN, Cambridge, UK and Gland, Switzerland. 261pp.

Jewett SC, CP Onuf. 1988. Habitat suitability index models: red king crab. U.S. Wildlife Service Biologi Reproduction 82:110-153.

Johnston D, CP Keenan. 1999. Mud Crab Culture in the Minh Hai Province, South Vietnam. In Mud Crab Aquaculture and Biology.Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR) Proceedings No. 78. Canberra. Australia.

Jones D, G Morgan. 1994. Crustaceans of Australian Waters. Image Productions. Singapure. Page: 1:126.

Jorgensen SE. 1994. Fundamental of Ecological Modeling. Elsevier. Amsterdam.

Juan F, EG Gurriar´an. 1998. New approaches to the behavioural ecology of decapod crustaceans using telemetry and electronic tags. Hydrobiologia 371/372: 123–132

Juwana S. 2004. Penelitian Budidaya Rajungan dan Kepiting: Pengalaman Laboratorium dan Lapangan. Budi Setyawan, W. et al. Editor. Interaksi daratan dan Lautan: pengaruhnya terhadap sumberdaya dan lingkungan. Prosiding Simposium Interaksi Daratan dan Lautan. LIPI Press. Jakarta. 428-473.

Juwana S. 1995. Budidaya Kepiting di Negara-negara Asia. Oceana XX: 1-9.

Karim MY. 1998. Aplikasi Pakan Alami (Brachionus plicatilis dan Nauplis Artemia salina) yang Diperkaya Dengan Asam Lemak Omega-3 dalam

Page 243: scylla serrata

223

Pemeliharaan larva Kepiting Bakau (Scylla serrata Forsskal). [Disertasi]. Bogor. Institut Pertanian Bogor.

Karim MY, Arifin, K Amri. 2002. Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Kepiting Bakau (Scylla serrata Forsskal) yang Dipelihara dalam Kurungan di Laut. Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan 7: 124 -129

Kasry A. 1996. Budidaya Kepiting Bakau dan Biologi Ringkas. Penerbit Bharata. Jakarta. 93 hal.

Kathiresan K, BL Bingham. 2001. Biology of Mangroves and Mangrove Ecosystems. Marine Biology 40: 81-251.

Kavanagh P. 1999. Rapfish SPSS Automation and Analysis of Technique. UBC Fisheries Centre. Unpublished report.

Keenan CP. 1997. The Fourth Species of Scylla. Proceedings of an international scientific forum held in Darwin, Australia, 21–24 April 1997 Bribie Island Aquaculture Research Centre, Queensland. Australia

Keenan CP, PJF Davie, DL Mann. 1998. A Revision of the genus Scylla De Haan, 1983 (Crustacea: Decapoda: Brachyura: Portunidae). The Raffles Bulletin of Zoology 46 (1): 217-245.

Keenan CP. 1999. The Fourth Spesies of Scylla. In Mud Crab Aquaculture and Biology. ACIAR Proceedings N0.78. Canberra. Page. 48-58.

King M. 1997. Population Dynamics. In: Fisheries Biology, Assessment and Management, 2nd Edn. Fishing News Books, Oxford, pp: 79-197.

Kirkwood CW. 1998. System Dynamics Methods : A Quick Introduction. Arizona: Arizona State University.

Kozloff EN, LH Price. 1987. Marine Invertebrates of The Pasific Nortwest (book 1, 2, 3). University of Washington Press. Seatle and London.

Kuntiyo, Z Arifin, T Supratomo. 1994. Pedoman Budidaya Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Tambak. Direktorat Jenderal Perikanan, Balai Budidaya Air Payau, Jepara.

Kusmana C. 1995. Habitat Hutan Mangrove dan Biota. Laboratorium Ekologi Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Kusmana C. 1995. Metode Survey Vegetasi. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Laapo A. 2010. Optimasi Pengelolaan Ekowisata Pulau-Pulau Kecil (Kasus Gugus Pulau Togean Taman Nasional Kepulauan Togean). Disertasi [tidak dipublikasikan]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 187 hal.

Leslie HM, KL McLeod. 2007. Confronting the challenges of implementing marine ecosystem-based management. Front Ecol Environ 5(10): 540–548.

Page 244: scylla serrata

224

Le Vay L. 2001. Ecology and management of mud crab Scylla spp. Asian Fisheries Sciense 14:101-111.

Le Vay L, JH Lebata, M Walton, J Primavera, E Quinitio, C Lavilla-Pitogo, F Parado-Estepa, E Rodriguez, VNg Ut, TT Nghia, P Sorgeloos, M Wille. 2008. Approaches to stock enhancement in mangrove-associated crab fisheries. Reviews in Fisheries Science 16:72–80.

Le Vay L, VNg Ut, M Walton. 2007. Population ecology of the mud crab Scylla paramamosain (Estampador) in an estuarine mangrove system; a mark-recapture study. Marine Biology 151:1127–1135.

Lovett DL. 1981. A Guide to The Shrimps, Prawns, Lobsters, and Crabs of Malaysia And Singapore. Faculty of Fisheries and Marine Science, University Pertanian Malaysia. Selangor. 156.

Lyneis JM. 1980. Corporate Planning and Policy Design : A System Dynamics Approach. Massachussetts : The MIT Press.

Macintosh DJ, C Thongkum, K Swamy, C Cheewasedtham, N Paphavisit. 1993. Broodstock management and the potential to improve the exploitation of mangrove crabs, Scylla serrata (Forskål), through pond fattening in Ranong, Thailand. Aquaculture & Fisheries Management 24:261-269.

MacKinnon J, K MacKinnon. 1986. Managing Protected Areas in The Tropics. IUCN and UNEP.

Marganof. 2007. Model Pengendalian Pencemaran Perairan di Danau Maninjau Sumatera Barat. [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor.

Markidakis S, SC Wheelwright, VE McGee. 1991. Metode dan Aplikasi Peramalan. Jakarta : Penerbit Erlangga.

Mardjono M, N Anindiastuti, IS Hamid, Djunaidah, WH Satyantani. 1994. Pedoman pembenihan kepiting bakau (Scylla serrata). Balai Budidaya Air Payau, Direktorat Jenderal Perikanan Jakarta.

Mardjono M, N Hamid, ML Nurdjana. 1992. Budidaya Kepiting Bakau: Lahan Baru yang Menguntungkan. Balai Budidaya Air Payau. Jepara. 33 hal.

McKee KL. 1996. Mangrove ecosystems: definitions, distribution, zonation, forest structure, trophic structure, and ecological significance. In Mangrove Ecology Workshop Manual, Mangrove ecology: a manual for a field course a field manual focused on the biocomplexity on mangrove ecosystems. Feller I.C. and M. Sitnik Eds. Smithsonian Institution. 136 hal.

McLeod KL, HM Leslie, editors. 2009. Ecosystem-Based Management for the Oceans. Island Press, Washington, DC.

Moosa MK, I Aswandy, A Kasry. 1985. Kepiting Bakau Scylla serrata (Forskal,1775) dari Perairan Indonesia. Sumberdaya Hayati Perairan LON-LIPI. Jakarta. 18 hal.

Page 245: scylla serrata

225

Motoh H. 1977. Biological synopsis of Alimango, Genus Scylla. SEAFDEC Aquaculture Department. 136-153.

Motoh H. 1979. Edible crustaceans in Philippines, 11th in A series. Asian Aquaculture 2:5.

Muhammadi, E Aminullah, B Soesilo. 2001. Analisis Sistem Dinamis Lingkungan Hidup, Sosial, Ekonomi, Manajemen. Jakarta : UMJ Press.

Mulholland R. 1984. Habitat suitability index models: hard clam. U.S. Fish Wildlife Service. FWS/OBS-82/10.77. 21 pp.

Mulya MB. 2000. Kelimpahan dan distribusi kepiting bakau serta keterkaitannya dengan karakteristik biofisik hutan mangrove di Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut Provinsi Sumatera Utara. [Tesis]. Institut Pertanian Bogor.

Muskar YF. 2007. Mempersiapkan Kepiting menjadi Komoditas Andalan. Pusat Informasi & Data PSDA Sulawesi. http://www.lestari-m3.org

Nazir M. 2003. Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia.

Nazar F. 2002. Karakteristik habitat dan kaitannya dengan keberadaan tiga jenis kepiting bakau S. olivacea, S. tranquebarica, dan S. serrata di perairan Karang Anyar, Segara Anakan, Cilacap. Jawa Tengah. [Tesis]. Institut Pertanian Bogor.

Nurdiani R, C Zeng. 2007. Effects of temperature and salinity on the survival and development of mud crab, Scylla serrata (Forsskal), Larvae. Aquaculture Research, 38:1529-1538

Nybakken JW. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis, cetakan kedua. Alih Bahasa Eidman M, DG Bengen, M Hutomo, S Sukardjo. PT Gramedia. Jakarta.

Ong KS. 1964. The Early development stage of Scylla serrata (Forskal) (Crustacea : Portunidae), reared in the laboratory. Fisheries. Research. Institute Glugor, Penang, Prociding IPFC. 1 (2) : 135-146.

Onyango SD. 2002. The breeding cycle of Scylla serrata (Forskål, 1755) at Ramisi River estuary, Kenya. Wetlands Ecology and Management 10: 257–263.

Pagcatipunan P. 1972. Observation on the culture of Alimango, Scylla serrata at Camarines Norte (Philippines), pp. 362-365. In T.R.V. Pillay, ed. Coastal Aquaculture in the Indo Pacific Region. Fishing News (books). Manila, Philippines.

Panayotou T. 1982. Management Concept for Small-scale Fisheries : Economic and Social Aspect. FAO-UN. Rome. 53p.

Page 246: scylla serrata

226

[Pemkab] Pemerintah Kabupaten Kutai Timur. 2005. Permasalahan dan Upaya Penyelesaian Taman Nasional Kutai, (Makalah Bupati Kutai Timur). Bapedda Kutai Timur, Sangatta. 13 p.

Pratiwi R, NI Wijaya. 2010. Laporan Ekspedisi Kapal Penelitian Baruna Jaya VIII di Perairan Kalimantan Selatan, Hasanuddin et al. (editor). Kerjasama Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) dan Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2O-LIPI), 19 November – 1 Desember, 2010, 120 hal.

Phelan M, M Grubert. 2007. The Life Cycle of the Mud Crab. Fishnote No: 11. Coastal Research Unit, Department of Primary Industry, Fisheries and Mines. Northern Territory Government of Australia, Darwin. http://www.nt.gov.au/ dpifm.

PHKA-dephut, NRM/EPIQ, WWF, Wallacea, TNC. 2002. Membangun kembali upaya mengelola kawasan konservasi di indonesia melalui manajemen kolaboratif: Prinsip, kerangka kerja dan panduan implementasi. Naskah kerja teknis. NRM/EPIQ. Jakarta.

Poovachiranon S. 1992. Biological studies of the mud crab Scylla serrata (Forskål) of the mangrove ecosystem in the Andaman Sea. In: Angell, C.A. (Ed.), Report of the Seminar on the Mud Crab Culture and Trade. Surat Thani, Thailand, November 5-8, 1991. Bay of Bengal Programme, Brackishwater Culture, BOBP/REP/51, Madras, India, pp: 49-57.

Quinitio ET, FD Parado-Estepa. 2001. Molting and regeneration in Scylla serrata juveniles.Workshop on Mud Crab Rearing, Ecology and Fisheries. 8-10 January 2001, Cantho University, Vietnam. p. 23.

Rahmadani F, MA Ismawan, M Syoim. 2004. Wajah Mangrove Taman Nasional Kutai: Laporan Survei Potensi Mangrove di Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur. Samarinda : Yayasan BIKAL.

Rohmatulloh. 2008. Studi Dinamika Sistem Penilaian Kinerja Pabrik Gula : Kasus PT PG Rajawali II Unit PG Subang Jawa Barat. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor.

Republik Indonesia. 1990. Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Lembaran Negara RI Tahun 1990, No. 49. Sekretariat Negara. Jakarta.

Republik Indonesia. 1999. Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Sekretariat Negara. Jakarta.

Republik Indonesia. 2007. Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Lembaran Negara RI Tahun 2007 No. 84. Sekretariat Negara. Jakarta.

Republik Indonesia. 2007. Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan. Lembaran Negara RI Tahun 2007 No. 134. Sekretariat Negara. Jakarta.

Page 247: scylla serrata

227

Rönnbäck P. 1999. The Ecological Basis for Economic Value of Seafood Production Supported by Mangrove Ecosystems. Elsevier. Jurnal Ecological Economics 29 : 235-252.

Sara La. 2010. Study on the size structure and population paramaters of mud crab Scylla serrata in Lawele Bay, Southeast Sulawesi, Indonesia. Journal of Coastal Development 13:133-147

Sargent RG. 1998. Verification and Validation of Simulation Models. Proceeding of 1998 Winter Simulation Conference, p. 121-130.

Sasekumar A, JJ Loi . 1983. Litter production in three mangrove forest zones in the Malay Peninsula. Aquatic Botany 17: 283-290.

SEAFDEC-AQD. 2000. Mangroves and Community Aquaculture. Aquaculture Department Southeast Asian Fisheries Development Center. Tigbauan. Philipina.

Senge PM. 1995. Fifth Discipline : The Art and Practice of The Learning Organization. Terjemahan. Jakarta : Binarupa Aksara.

Sevilla CG, JA Ochave, TG Punsalan, BP Regala, GG Uriarte. 1993. Pengantar Metode Penelitian. Terjemahan. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.

Siahainenia L. 2008. Bioekologi kepiting bakau (Scylla spp) di ekosistem mangrove Kabupaten Subang Jawa Barat. [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor.

[SIMPATIK] Sistem Informasi Perhitungan Statistik Kelautan dan Perikanan. 2006. http://www.dkp.go.id//

Snedaker SC, Getter CD. 1985. Coastal resources management guidelines. research planning Institute, Inc. Colombia, Melbourne, Sydney. 334 p.

Soeroyo. 2003. Pengamatan gugur serasah di hutan mangrove Sembilang Sumatra Selatan. P3O-LIPI: 38-44

Sowerbys. 1996. Book of Shells. Crown Publisher, Inc. New York.

Sparre P, SC Venema. 1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis. Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), PBB. Edisi Bahasa Indonesia: Puslitbangkan. Indonesia.

Sterman JD. 2000. Business Dynamics : System Thinking and Modeling for a Complex World. Boston : Irwin McGraw-Hill.

Sudiarta IK. 1988. Studi Kelimpahan dan Penyebaran Burayak Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Perairan Teluk Hurun Lampung. Karya Ilmiah. Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor.

Sukardi L. 2009. Desain model pemberdayaan masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan berkelanjutan (kasus masyarakat sekitar kawasan hutan Taman Nasional Gunung Rinjani Pulau Lombok). [Disertasi]. Sekolah

Page 248: scylla serrata

228

Pascasarjana IPB. Bogor.

Sumich JL. 1979. An Introduction to The Biology of Marine Life. WM C Brown Company Publisher. USA.

Sushil. 1993. System Dynamics : A Practical Approach for Managerial Problems. New Delhi : Willey Eastern Ltd.

Susila WR. 1991. Verifikasi dan Validasi Model. Forum Statistik, Maret-Juni 1991, hal: 22-26.

Suwignyo, Sugiarti, B Widigdo, Y Wardiatno, M Krisanti. 2005. Avertebrata Air jilid 1 dan 2. Jakarta: Penebar Swadaya

Thia-Eng C. 2006. Essential Elements of Integrated Coastal Zone Management. Ocean & Coastal Management. Elsevier Science Publishers Ltd, England Printed in Northern Ireland.

Trin˜o AT, EM Rodriguez. 2002. Pen culture of mud crab Scylla serrata in tidal flats reforested with mangrove trees. Elsevier, Journal Aquaculture 211:125– 134.

[TNK] Taman Nasional Kutai. 2005. Data Dasar Taman Nasional Kutai. Balai Taman Nasional Kutai. Bontang, Kalimantan Timur.

[UNEP/GPA]. 2006. Ecosystem-based management: Markers for assessing progress. United Nations Environment Programme (UNEP), Global Programme of Action for the Protection of the Marine Environment from Land-based Activities (GPA). The Hague.

[Unmul] Universitas Mulawarman. 2002. Survei Potensi Kawasan Pesisir Kabupaten Kutai Timur, Laporan Penelitian. Universitas Mulawarman (Unmul) dan Bappeda Kabupaten Kutai Timur. Sangatta

Van der Lee GEM., DT Van der Molen, HFP Van den Boogaard, H Van der Klis. 2006. Uncertainty analysis of a spatial habitat suitability model and implications for ecological management of water bodies. Landscape Ecology 21 :1019–1032

Walpole RE. 1990. Pengantar Statistika. Edisi ke-3. B. Sumantri, penerjemah; Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama. 488 hlm.

Walton ME, L Le Vay, LM Truong, VNg Ut. 2006. Significance of mangrove–mudflat boundaries as nursery grounds for the mud crab, Scylla paramamosain. Marine Biology 149: 1199–1207

Watters G, AJ Hobday. 1998. A new method for estimating the morphometric size at maturity of crabs. Journal Fisheries Aquaculture Science 55(3): 704-714.

Webley, J.A.C., R.M. Connolly and R.A. Young 2009. Habitat selectivity of megalopae and juvenile mud crabs (Scylla serrata): implications for recruitment mechanism. Marine Biology 156: 891-899.

Page 249: scylla serrata

229

Warner GF. 1977. The biologi of carbs. Eleck Science, London.

Webley JAC, MC Rod, RA Young. 2009. Habitat selectivity of megalopae and juvenile mud crabs (Scylla serrata): implications for recruitment mechanism. Marine Biology 156: 891-899

Wei Say WC, AMhd Ikhwanuddin. 1999. Pen Culture of Mud Crabs, Genus Scylla in the Mangrove Ecosystems of Sarawak, East Malaysia. Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR) Proceedings No. 78. Mud Crab Aquaculture and Biology. Proceedings of an International Scientific Forum held in Darwin, Australia, 21–24 April 1997. Canberra. Australia.

Wolowicks K. 2005. The Fishprint of Aquaculture, Can the blue revolution be sustainable? Redefining Progress. Oakland, California.

Yanuar Y. 2008. Optimasi Kegiatan Nelayan melalui Pengembangan Mata Pencaharian Alternatif sebagai Instrumen Pendukung Keberlanjutan Taman Nasional Karimunjawa. Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Yulianda F. 2006. Prinsip Dasar Pengelolaan Konservasi. Bahan Kuliah Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.

Zamani NP, JL Gaol, H Madduppa, RE Arhatin, KS Putra, M Khazali, K Anwar, L Zulkah. 2007. Profil sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil di Kepulauan Togean. CII, BTNKT, TKL IPB dan Pemda Kabupaten Tojo Una-Una. 215 hlm.

Zamroni Y, IS Rohyani. 2008. Produksi Serasah Hutan Mangrove di Perairan Pantai Teluk Sepi, Lombok Barat. Jurnal Biodiversitas 9: 284-287

Ziegelmeier E. 1972. Bottom Living Animals Macrobenthos. Dalam; Research Methods in Marine Biology. Sidgwick & Jackson. London; pp 104-141.

Page 250: scylla serrata

231

LAMPIRAN 1 DISTRIBUSI KELOMPOK UKURAN Scylla serrata JANTAN

MUARA SANGKIMA

Nov 2008

Des 2008

Mar 2009

Mei 2009

Apr 2009

Feb 2009

Jan 2009

Jun 2009

Page 251: scylla serrata

232

LAMPIRAN 2 DISTRIBUSI KELOMPOK UKURAN Scylla serrata BETINA

MUARA SANGKIMA

Nov 2008

Des 2008

Jan 2009

Feb 2009

Mar 2009

Apr 2009

Mei 2009

Page 252: scylla serrata

233

LAMPIRAN 3 DISTRIBUSI KELOMPOK UKURAN Scylla serrata JANTAN

MUARA SANGATTA

Okt 2008

Nov 2008

Des 2008

Mar 2009

Mei 2009

Apr 2009

Feb 2009

Jan 2009

Jun 2009

Page 253: scylla serrata

234

LAMPIRAN 4 DISTRIBUSI KELOMPOK UKURAN Scylla serrata BETINA

MUARA SANGATTA

Jun 2009

Apr 2009

Okt 2008

Jan 2009

Feb 2009

Mar 2009

Mei 2009

Des 2008

Page 254: scylla serrata

235

LAMPIRAN 5 DISTRIBUSI KELOMPOK UKURAN Scylla serrata JANTAN

TELUK PERANCIS

Okt 2008

Des 2008

Feb 2009

Apr 2009

Mei 2009

Jan 2009

Jun 2009

Page 255: scylla serrata

236

LAMPIRAN 6 DISTRIBUSI KELOMPOK UKURAN Scylla serrata BETINA

TELUK PERANCIS

Feb 2009

Mar 2009

Jun 2009

Jan 2009

Page 256: scylla serrata

237

LAMPIRAN 7

HUBUNGAN PANJANG BOBOT Scylla serrata MUARA SANGATTA

A. JANTAN

B. BETINA

y = 0.001x3.038

R² = 0.886

0

200

400

600

800

1000

1200

0 20 40 60 80 100 120 140 160

Bobo

t (gram

)

Panjang (mm)

y = 0.004x2.328

R² = 0.876

0

100

200

300

400

500

600

700

800

0 50 100 150 200

Bobo

t (gram

)

Panjang (mm)

Page 257: scylla serrata

238

LAMPIRAN 8 HUBUNGAN PANJANG BOBOT Scylla serrata TELUK PERANCIS

A. JANTAN

B. BETINA

y = 6E‐05x3.323

R² = 0.924

0

200

400

600

800

1000

1200

0 50 100 150 200

bobo

t (gram

)

Panjang (mm)

y = 0.001x2.680

R² = 0.886

0

100

200

300

400

500

600

700

0 20 40 60 80 100 120 140 160

Bobo

t (gram

)

Panjang (mm)

Page 258: scylla serrata

239

LAMPIRAN 9 HUBUNGAN PANJANG BOBOT Scylla serrata MUARA SANGKIMA

A. JANTAN

B. BETINA

y = 4E‐05x3.393

R² = 0.917

0

100

200

300

400

500

600

700

800

900

1000

0 20 40 60 80 100 120 140 160

Bobo

t (gram

)

Panjang (mm)

y = 0.001x2.609

R² = 0.913

0

100

200

300

400

500

600

0 20 40 60 80 100 120 140 160

Bobo

t (gram

)

Panjang (mm)

Page 259: scylla serrata

240

LAMPIRAN 10 HUBUNGAN PANJANG BOBOT Scylla serrata

BUDIDAYA SYLVOFISHERY

A. JANTAN

B. BETINA

y = 0.002x2.409

R² = 0.577

0

50

100

150

200

250

300

0 20 40 60 80 100 120

Bobo

t (gram

)

Panjang (mm)

y = 0.002x2.422

R² = 0.674

0

50

100

150

200

250

0 20 40 60 80 100 120

Bobo

t (gram

)

Panjang (mm)

Page 260: scylla serrata

241

LAMPIRAN 11 ANALISIS LAJU MORTALITAS DAN LAJU EKSPLOITASI

Scylla serrata JANTAN MUARA SANGATTA

i. MORTALITAS TOTAL

Page 261: scylla serrata

242

ii. MORTALITAS ALAMI

iii. EKSPLOITASI Y/R VERSUS B/R

Page 262: scylla serrata

243

LAMPIRAN 12 ANALISIS LAJU MORTALITAS DAN LAJU EKSPLOITASI

Scylla serrata BETINA MUARA SANGATTA

i. MORTALITAS TOTAL

Page 263: scylla serrata

244

ii. MORTALITAS ALAMI

iii. EKSPLOITASI Y/R VERSUS B/R

Page 264: scylla serrata

245

LAMPIRAN 13 ANALISIS LAJU MORTALITAS DAN LAJU EKSPLOITASI

Scylla serrata JANTAN TELUK PERANCIS

i. MORTALITAS TOTAL

Page 265: scylla serrata

246

ii. MORTALITAS ALAMI

iii. EKSPLOITASI Y/R VERSUS B/R

Page 266: scylla serrata

247

LAMPIRAN 14 ANALISIS LAJU MORTALITAS DAN LAJU EKSPLOITASI

Scylla serrata BETINA TELUK PERANCIS

i. MORTALITAS TOTAL

Page 267: scylla serrata

248

ii. MORTALITAS ALAMI

iii. EKSPLOITASI Y/R VERSUS B/R

Page 268: scylla serrata

249

LAMPIRAN 15 ANALISIS LAJU MORTALITAS DAN LAJU EKSPLOITASI

Scylla serrata JANTAN MUARA SANGKIMA

i. MORTALITAS TOTAL

Page 269: scylla serrata

250

ii. MORTALITAS ALAMI

iii. EKSPLOITASI Y/R VERSUS B/R

Page 270: scylla serrata

251

LAMPIRAN 16 ANALISIS LAJU MORTALITAS DAN LAJU EKSPLOITASI

Scylla serrata BETINA MUARA SANGKIMA

i. MORTALITAS TOTAL

Page 271: scylla serrata

252

ii. MORTALITAS ALAMI

iii. EKSPLOITASI Y/R VERSUS B/R

Page 272: scylla serrata

253

LAMPIRAN 17 PARAMETER PERTUMBUHAN PADA BUDIDAYA SYLVOFISHERY

KEPITING BETINA

KEPITING JANTAN

Page 273: scylla serrata

254

LAMPIRAN 18 ASUMSI-ASUMSI UNTUK HSI

Variabel Asumsi dan Referensi oksigen terlarut DO (V1)

DO lebih 4 ppm

BOD (V2)

salinitas air (V3),

salinity range from 2-38 ppt (Hill, 1974); salinity range of 15-30 ppt (Cholik 1991); salinity range of 10-25 ppt is considered optimal for growth (Cholik 1991); At low salinity (10 ppt) - At high salinity (40 ppt) (Chen and Chia, 1996a). It is distributed over a wide range of salinity, from 2 ppt. to oceanic waters. They are essentially euryhaline, but die beyond 70 ppt (Md Giasuddin Khan and Md Fokhrul Alam). S. serrata larvae tolerate a broad range of salinity and temperature conditions. Rearing temperature 25-30 °C and salinity 20-35 g L-1 generally result in reasonable survival. However, from an aquaculture point of view, a higher temperature range of 28-30 °C and a salinity range of 20-30 g L-1 are recommended as it shortens the culture cycle (Nurdiani and Zeng 2007).

temperatur air (V4)

temperature 28-33°C (Cholik 1991); Feeding activity and growth ceases in winter, when temperatures drop below 20°C (Heasman 1980), Kuntinyo et al.(1994), berpendapat bahwa suhu yang baik untuk budidaya kepiting bakau berkisar antara 26-32°C, jika suhu air 20°C atau kurang, kepiting bakau tidak tumbuh.

pH air (V5) penelitian Sudiarta (1988), dikatakan bahwa kisaran pH antara 7.9-8.3 dapat mendukung kehidupan kepiting bakau yang dipelihara.

pH substrat (V6) Wahyuni dan Ismail (1987), menyatakan bahwa kepiting bakau dapat hidup pada kondisi perairan asam yaitu pada daerah bersubstrat lumpur dengan pH rata-rata 6.16 dan pada perairan dengan pH rata-rata 6.5.

Pasut air laut (V7) Wahyuni dan Ismail (1987), mendapatkan kepiting bakau pada kedalaman 30 – 79 cm di perairan dekat hutan mangrove dan 30 – 125 cm di muara sungai.

fraksi substrat (V8) kepiting bakau bersembunyi dalam lumpur untuk mempertahankan diri agar tetap dingin selama air surut dan melindungi diri dari predator (Motoh 1979)

kepadatan makrozoobenthos (V9)

Makanan alami kepiting bakau mengandung 50% moluska dan 21 % krustasea, terutama grapsid crab. Opnai (1986), menyatakan isi lambung kepiting bakau di perairan hutan mangrove Purari dan Aird Deltas (Papua New Guinea), 89% berisi bivalva, gastropoda dan moluska lainnya, serta 11% sisanya terdiri dari krustasea yang sulit diidentifikasikan. Sedangkan Gunarto et al. (1987) menyatakan bahwa 90% isi lambung kepiting bakau terdiri dari jenis-jenis alga (Spirogyra sp, dan Chara sp), larva insekta dan benih tiram.

jenis vegetasi (V10)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua metode memberikan perkiraan serupa preferensi. daun R. mangle lebih dipilih daripada A.germinans dan L. racemosa. Persen daridaun R. mangle dengan kerusakan adalah sekitar 20-30 kali lebih besar daripada spesies lain, dan stomata daun R. mangle 3-20 kali lebih berlimpah di lambung kepiting dibandingkan dengan stomata daun dari spesies lainnya Herbivore feeding preferences as measured by leaf damage and stomatal ingestion: a mangrove crab example. Authors:

Erickson, Amy A. [email protected]; Saltis, Mark1 Bell, Susan S.1; Dawes, Clinton J.1

Source: Journal of Experimental Marine Biology & Ecology; Apr2003, Vol. 289 Issue 1, p123, 16p)

kerapatan vegetasi (V11) Sihainenia (2008),

produksi serasah (V12) Hasil penelitian McCann (1996) dalam Arifin (2006) menyatakan bahwa 50% materi yang diidentifikasi pada pencernaan kepiting adalah moluska, 20-22% adalah crustasea, dan sisanya 28-30% terdiri atas sejumlah kecil tanaman dan serasah.

Page 274: scylla serrata

255

LAMPIRAN 19 SKOR SUITABILITY INDEX UNTUK HSI

0.00

0.20

0.40

0.60

0.80

1.00

1.20

0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 30.0 35.0 >35

Suitab

ility In

dex

Salinitas (ppm)

0.00

0.20

0.40

0.60

0.80

1.00

1.20

0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5 5.0 5.5 >6

Suitab

ility In

dex

DO (mg/L)

Page 275: scylla serrata

256

0.10

1.00

1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 8.0 9.0 10.0 11.0 12.0 13.0 14.0

Suitab

ility In

dex

pH

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

1.2

5 10 15 20 25 30 35 >36

Suitab

ility In

dex

Temperatur Air (°C)

Page 276: scylla serrata

Suitab

ility In

dex

Suitab

ility In

dex

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

1.2

Avicen

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

1.2

0

1‐10

nnia  Aegicera

11‐50

51‐60

61‐100

10115

0

as  Rhizophora

101‐15

0

151‐20

0

201‐25

0

251‐30

0

Kera

a  Bruguiera 

Jenis Vegetas30

0‐40

0

401‐45

0

451‐50

0

501‐55

0

patan Vegetas

Ceriops  H

si

501‐55

0

551‐60

0

601‐65

0

651‐70

0

si (ind/ha)

Hibiscus  N

701‐75

0

751‐80

0

801‐85

0

851‐90

0

257

Nypa 

901‐95

0

951‐10

00

>100

0

Page 277: scylla serrata

258

Page 278: scylla serrata

259

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

1.2

Suitab

ility In

dex

Ketinggian Pasut (cm)

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

1.2

00.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

0.8

0.9

0.95 1‐2

3‐4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 >15

Suitab

ility In

dex

Produksi Serasah (ton/ha/th)

Page 279: scylla serrata

LAMPIRAN 20 HASIL ANALISIS PCA JULI

STASIUN pHa SALa DOa BODa TEMPa CODa TEKs VEG BENTH SCYL

A-1 6.900 16.000 6.300 3.100 28.000 20.200 3.000 1113.000 20.750 0.025 A-2 6.100 16.000 5.100 5.600 29.000 26.300 3.000 1113.000 20.750 0.025 A-3 6.100 16.000 4.400 5.200 28.000 21.400 1.000 1113.000 20.750 0.025 B-1 7.900 33.000 6.400 3.300 26.000 23.400 1.000 800.000 24.000 0.010 B-2 5.200 34.000 5.900 2.400 28.000 21.800 1.000 800.000 24.000 0.010 B-3 7.100 33.000 5.100 2.300 27.000 20.900 1.000 800.000 24.000 0.010 C-1 7.600 28.000 6.200 2.800 25.000 19.300 1.000 1250.000 20.000 0.015 C-2 7.200 19.000 5.600 2.600 26.000 18.300 1.000 1250.000 20.000 0.015 C-3 7.100 34.000 4.200 4.200 26.000 24.700 2.000 1250.000 20.000 0.015

XLSTAT - Correlations and Principal Components Analysis / Started on 25/06/2010 at 6:59:18 PM Correlation coefficient type : Classical Data range : Workbook = PCA_HABITAT.xls / Sheet = PCA JULI FIX (3) / Range = $A$1:$K$10

Correlations matrix : pHa SALa DOa BODa TEMPa CODa TEKs VEG BENTH SCYL

pHa 1 0.1947 0.2841 -0.2694 -0.7809 -0.2328 -0.1506 0.1981-

0.1423 -0.2677SALa 0.1947 1 0.0692 -0.5076 -0.4899 0.1293 -0.4880 -0.4990 0.5872 -0.8944DOa 0.2841 0.0692 1 -0.5847 -0.2086 -0.3985 -0.0579 -0.2822 0.2955 -0.2549

BODa -0.2694 -0.5076 -0.5847 1 0.4795 0.6782 0.4757 0.3376-

0.4140 0.7193TEMPa -0.7809 -0.4899 -0.2086 0.4795 1 0.4029 0.5357 -0.2592 0.1539 0.5714CODa -0.2328 0.1293 -0.3985 0.6782 0.4029 1 0.4749 -0.1547 0.1188 0.1563

TEKs -0.1506 -0.4880 -0.0579 0.4757 0.5357 0.4749 1 0.3053-

0.3785 0.6786

VEG 0.1981 -0.4990 -0.2822 0.3376 -0.2592 -0.1547 0.3053 1-

0.9923 0.5274BENTH -0.1423 0.5872 0.2955 -0.4140 0.1539 0.1188 -0.3785 -0.9923 1 -0.6286

SCYL -0.2677 -0.8944 -0.2549 0.7193 0.5714 0.1563 0.6786 0.5274-

0.6286 1

Page 280: scylla serrata

261

Eigenvalues and eigenvectors (based on the correlations matrix) :

Eigenvalues 1.0000 2.0000 3.0000 4.0000 5.0000 6.0000 7.0000 8.0000 9.0000 10.0000Value 4.3418 2.5007 1.4145 0.9772 0.4559 0.2537 0.0557 0.0004 0.0000 0.0000% of variability 0.4342 0.2501 0.1415 0.0977 0.0456 0.0254 0.0056 0.0000 0.0000 0.0000Cumulative % 0.4342 0.6843 0.8257 0.9234 0.9690 0.9944 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000

Vectors : 1.0000 2.0000 3.0000 4.0000 5.0000 6.0000 7.0000 8.0000 9.0000 10.0000pHa -0.1765 0.4090 -0.1929 0.5060 -0.4707 -0.4093 -0.0488 0.3398 0.0097 -0.0366

SALa -0.3778 -0.1490 -0.4003 0.0796 0.3910 0.0510 0.6222 0.3408-

0.0254 0.0954

DOa -0.2246 0.0877 0.5559 0.4837 0.0055 0.6148 0.0491 0.1320-

0.0083 0.0313

BODa 0.4029 -0.1202 -0.3075 0.0437 -0.4417 0.3617 0.1475 0.0281-

0.1580 0.5943

TEMPa 0.2885 -0.4430 0.3036 -0.0812 0.0197 -0.1933 -0.1350 0.7521-

0.0020 0.0076CODa 0.1879 -0.3727 -0.4697 0.4071 0.0395 0.2824 -0.2766 -0.0306 0.1361 -0.5120

TEKs 0.3488 -0.0655 0.1128 0.5601 0.4713 -0.3730 0.0227 -0.2651-

0.0873 0.3286VEG 0.2703 0.4867 -0.1414 -0.0923 0.3103 0.1863 -0.1411 0.2447 0.6514 0.1627BENTH -0.3130 -0.4554 0.0989 0.0806 -0.2527 -0.1612 0.0292 -0.2098 0.6893 0.2616SCYL 0.4496 0.0681 0.2091 0.0271 -0.2148 -0.0638 0.6858 -0.0968 0.2204 -0.4127

Page 281: scylla serrata

262

Correlations between initial variables and principal factors :

factor 1 factor 2 factor 3 factor 4 factor

5 factor

6 factor

7 factor

8 factor

9 factor

10 pHa -0.3677 0.6468 -0.2294 0.5002 -0.3178 -0.2062 -0.0115 0.0069 0.0000 0.0000SALa -0.7872 -0.2357 -0.4761 0.0786 0.2640 0.0257 0.1469 0.0069 0.0000 0.0000DOa -0.4680 0.1386 0.6611 0.4782 0.0037 0.3097 0.0116 0.0027 0.0000 0.0000BODa 0.8396 -0.1900 -0.3657 0.0432 -0.2982 0.1822 0.0348 0.0006 0.0000 0.0000TEMPa 0.6012 -0.7006 0.3611 -0.0803 0.0133 -0.0974 -0.0319 0.0152 0.0000 0.0000CODa 0.3916 -0.5894 -0.5587 0.4025 0.0266 0.1423 -0.0653 -0.0006 0.0000 0.0000TEKs 0.7267 -0.1036 0.1342 0.5537 0.3182 -0.1879 0.0054 -0.0053 0.0000 0.0000VEG 0.5632 0.7696 -0.1681 -0.0913 0.2095 0.0938 -0.0333 0.0049 0.0000 0.0000BENTH -0.6522 -0.7202 0.1176 0.0797 -0.1706 -0.0812 0.0069 -0.0042 0.0000 0.0000SCYL 0.9368 0.1076 0.2487 0.0267 -0.1450 -0.0321 0.1619 -0.0020 0.0000 0.0000

Coordinates of observations on principal axes :

axis 1 axis 2 axis 3 axis 4 axis 5 axis 6 axis 7 axis 8 axis 9 axis 10 A-1 1.5884 0.6029 2.0960 1.0855 0.3783 -0.5105 0.2343 -0.0161 0.0000 0.0000A-2 3.6929 -1.4944 -0.1803 0.8743 -0.0029 0.2783 -0.2751 0.0247 0.0000 0.0000A-3 2.3086 -0.2689 -0.1482 -1.6835 -1.0836 0.0761 0.2398 -0.0090 0.0000 0.0000B-1 -2.5653 -0.6585 -0.4360 1.5165 -1.0418 0.3488 -0.0352 -0.0196 0.0000 0.0000B-2 -1.8457 -2.4883 0.8406 -0.9309 0.9455 0.5608 0.0257 -0.0076 0.0000 0.0000B-3 -2.3205 -1.0843 -0.1895 -0.3297 -0.2209 -1.0401 -0.0214 0.0269 0.0000 0.0000C-1 -1.2001 2.5605 0.0258 0.1261 0.1502 0.5981 0.2374 0.0323 0.0000 0.0000C-2 -0.4274 2.2738 0.6287 -0.8343 0.0181 -0.0679 -0.4965 -0.0136 0.0000 0.0000C-3 0.7691 0.5572 -2.6371 0.1761 0.8571 -0.2436 0.0911 -0.0180 0.0000 0.0000

Page 282: scylla serrata

263

LAMPIRAN 21 HASIL ANALISIS PCA DESEMBER

Stasiun pHa SALa Doa BODa TEMPa CODa TEKs VEG BENTH SCYL

A-1 7.1 25 6.6 4.6 25 18.2 3 1113 20.75 0.025 A-2 6.7 10 5.4 6.3 25 21.4 3 1113 20.75 0.025 A-3 6.7 5 5.2 6 24 17.5 1 1113 20.75 0.025 B-1 7.2 27 6.5 2.4 26 24 1 800 24 0.010B-2 7.3 25 6.2 2.9 26 22.3 1 800 24 0.010 B-3 7 24 5.5 2.1 25 22.4 1 800 24 0.010 C-1 7.5 24 5.8 3.3 24 17.2 1 1250 20 0.015 C-2 7.1 13 5.1 3.8 24 16.3 1 1250 20 0.015C-3 7.1 10 5.3 5.4 24 18.2 1 1250 20 0.015

XLSTAT - Correlations and Principal Components Analysis / Started on 25/06/2010 at 7:36:55 PM Correlation coefficient type : ClassicalData range : Workbook = PCA_HABITAT.xls / Sheet = PCA DES FIX (3) / Range = $A$1:$K$10 Number of additional rows : 0 Number of additional variables : 0 Number of rows removed before computations : 0

Correlations matrix :

pHa SALa Doa BODa TEMPa CODa TEKs VEG BENTH SCYL pHa 1 0.7149 0.4802 -0.6731 0.1482 -0.0200 -0.3895 -0.0472 0.1356 -0.6330 SALa 0.7149 1 0.8153 -0.8355 0.6421 0.4837 -0.0409 -0.5758 0.6090 -0.5620 Doa 0.4802 0.8153 1 -0.4411 0.7280 0.4565 0.2652 -0.4939 0.4763 -0.1657 BODa -0.6731 -0.8355 -0.4411 1 -0.4832 -0.4571 0.4949 0.6242 -0.6962 0.8565 TEMPa 0.1482 0.6421 0.7280 -0.4832 1 0.8873 0.1512 -0.8668 0.8486 -0.3780 CODa -0.0200 0.4837 0.4565 -0.4571 0.8873 1 0.0158 -0.8965 0.8880 -0.4617 TEKs -0.3895 -0.0409 0.2652 0.4949 0.1512 0.0158 1 0.1665 -0.2566 0.7143 VEG -0.0472 -0.5758 -0.4939 0.6242 -0.8668 -0.8965 0.1665 1 -0.9923 0.5274 BENTH 0.1356 0.6090 0.4763 -0.6962 0.8486 0.8880 -0.2566 -0.9923 1 -0.6286 SCYL -0.6330 -0.5620 -0.1657 0.8565 -0.3780 -0.4617 0.7143 0.5274 -0.6286 1

Page 283: scylla serrata

264

Eigenvalues and eigenvectors (based on the correlations matrix) :

Eigenvalues 1.0000 2.0000 3.0000 4.0000 5.0000 6.0000 7.0000 8.0000 9.0000 10.0000Value 5.7511 2.1890 1.4960 0.2365 0.2239 0.0546 0.0318 0.0171 0.0000 0.0000% of variability 0.5751 0.2189 0.1496 0.0237 0.0224 0.0055 0.0032 0.0017 0.0000 0.0000Cumulative % 0.5751 0.7940 0.9436 0.9673 0.9897 0.9951 0.9983 1.0000 1.0000 1.0000

Vectors : 1.0000 2.0000 3.0000 4.0000 5.0000 6.0000 7.0000 8.0000 9.0000 10.0000pHa 0.2072 -0.4455 0.4286 0.2540 0.2866 -0.0439 0.5613 0.0848 -0.0871 -0.3107SALa 0.3550 -0.0707 0.3891 -0.3600 -0.1129 0.2424 0.1644 -0.0550 0.1882 0.6716Doa 0.2821 0.1856 0.5107 0.4397 -0.3087 0.1964 -0.4617 -0.2033 -0.0562 -0.2005BODa -0.3574 0.2874 -0.0249 0.5372 0.1835 0.1187 0.3353 -0.4454 0.1016 0.3626TEMPa 0.3524 0.3247 0.0204 0.2909 0.2089 -0.6317 -0.0667 0.3909 0.0788 0.2814CODa 0.3329 0.3015 -0.2419 0.0545 0.4781 0.6473 -0.0156 0.2820 -0.0263 -0.0938TEKs -0.1095 0.5245 0.4015 -0.4835 0.3605 -0.1846 0.0530 -0.2736 -0.0745 -0.2659VEG -0.3665 -0.2102 0.2615 0.0342 0.3233 0.0650 -0.3445 0.2158 0.6910 -0.0223BENTH 0.3810 0.1369 -0.2694 -0.0337 -0.2280 -0.0819 0.2612 -0.2798 0.6686 -0.3319SCYL -0.3118 0.3809 0.2057 0.0162 -0.4664 0.1539 0.3713 0.5639 0.0811 -0.1070

Correlations between initial variables and principal factors :

factor

1 factor 2 factor 3 factor

4 factor

5 factor 6 factor 7 factor

8 factor 9 factor

10 pHa 0.4969 -0.6591 0.5242 0.1235 0.1356 -0.0102 0.1000 0.0111 0.0000 0.0000SALa 0.8514 -0.1046 0.4759 -0.1751 -0.0534 0.0566 0.0293 -0.0072 0.0000 0.0000Doa 0.6765 0.2746 0.6247 0.2139 -0.1461 0.0459 -0.0823 -0.0266 0.0000 0.0000BODa -0.8572 0.4252 -0.0305 0.2613 0.0868 0.0277 0.0598 -0.0582 0.0000 0.0000TEMPa 0.8451 0.4804 0.0250 0.1415 0.0989 -0.1476 -0.0119 0.0511 0.0000 0.0000CODa 0.7983 0.4462 -0.2959 0.0265 0.2262 0.1512 -0.0028 0.0368 0.0000 0.0000TEKs -0.2626 0.7761 0.4911 -0.2351 0.1706 -0.0431 0.0095 -0.0357 0.0000 0.0000VEG -0.8789 -0.3110 0.3199 0.0167 0.1530 0.0152 -0.0614 0.0282 0.0000 0.0000BENTH 0.9136 0.2025 -0.3295 -0.0164 -0.1079 -0.0191 0.0465 -0.0366 0.0000 0.0000SCYL -0.7478 0.5636 0.2517 0.0079 -0.2207 0.0360 0.0662 0.0737 0.0000 0.0000

Page 284: scylla serrata

265

Coordinates of observations on principal axes :

axis 1 axis 2 axis 3 axis 4 axis 5 axis 6 axis 7 axis 8 axis 9 axis 10 A-1 -0.3551 1.5745 2.5722 -0.1970 -0.4610 -0.0691 -0.0819 -0.1314 0.0000 0.0000A-2 -2.0015 2.7218 -0.3248 -0.2309 0.7630 0.0314 0.0882 0.1139 0.0000 0.0000A-3 -2.9335 0.5174 -1.3876 0.4334 -0.9289 0.0728 0.0690 0.0583 0.0000 0.0000B-1 3.8178 0.4138 -0.1180 0.4251 0.0191 0.1916 -0.3051 0.1312 0.0000 0.0000B-2 3.3201 0.0486 -0.1775 0.5216 0.0915 -0.3737 0.2656 -0.0402 0.0000 0.0000B-3 2.4120 -0.1946 -1.4401 -0.9789 -0.1924 0.1580 0.0578 -0.1173 0.0000 0.0000C-1 -0.4061 -2.2897 1.5647 -0.0796 0.0877 0.2695 0.2130 0.1382 0.0000 0.0000C-2 -1.8380 -1.7087 -0.2656 -0.4083 0.0747 -0.4291 -0.2134 0.0919 0.0000 0.0000C-3 -2.0157 -1.0829 -0.4233 0.5147 0.5464 0.1485 -0.0933 -0.2446 0.0000 0.0000

Page 285: scylla serrata

266

LAMPIRAN 22 MAKROZOOBENTHOS

SPESIES

MUARA SANGATTA TELUK PRANCIS MUARA SANGKIMA

Totalni

(ind) A

(m²) N

(ind/m²)ni

(ind) A

(m²) N

(ind/m²)ni

(ind) A

(m²) N

(ind/m²)

KELAS GASTROPODA Potamodidae (Telebralia sp) 11 4 2.75 2 4 0.5 1 4 0.25 3.5

Potamodidae (Telescopium sp) 8 4 2 6 4 1.5 2 4 0.5 4 Littoridae 5 4 1.25 15 4 3.75 12 4 3 8 Neritidae 2 4 0.5 0 4 0 4 4 1 1.5

Cherithidae 1 4 0.25 8 4 2 6 4 1.5 3.75 Trochidae 0 4 0 3 4 0.75 5 4 1.25 2

Dentaliidae 1 4 0.25 0 4 0 0 4 0 0.25

Nassaridae 1 4 0.25 2 4 0.5 2 4 0.5 1.25

Muricidae 1 4 0.25 8 4 2 6 4 1.5 3.75 Olividae 1 4 0.25 0 4 0 1 4 0.25 0.5

KELAS PELECYPODA Corbiculidae (Geloina sp) 3 4 0.75 2 4 0.5 6 4 1.5 2.75

Ostreidae 3 4 0.75 16 4 4 3 4 0.75 5.5 Veneridae (T philippinarum) 2 4 0.5 1 4 0.25 0 4 0 0.75

Lucinidae 5 4 1.25 0 4 0 4 4 1 2.25 Arcidae (Anadara sp) 0 4 0 1 4 0.25 0 4 0 0.25

KELAS MALACOSTRACA Ocypodidae (Ucha sp) 10 4 2.5 7 4 1.75 7 4 1.75 6 Penaidae (Penaeus sp) 3 4 0.75 2 4 0.5 1 4 0.25 1.5 Grapsidae (Sesarma sp) 7 4 1.75 6 4 1.5 3 4 0.75 4

Portunidae (Thalamita sp) 5 4 1.25 2 4 0.5 1 4 0.25 2 Upogebidae (Upogebia sp) 0 4 0 1 4 0.25 1 4 0.25 0.5

Paguridae (Pagurus sp) 12 4 3 9 4 2.25 11 4 2.75 8

KELAS POLYCHAETA

Nereis limnicola 2 4 0.5 5 4 1.25 4 4 1 2.75

total 81 20.75 91 24 76 20

Page 286: scylla serrata

267

LAMPIRAN 23 DATA FISIK KIMIA PERAIRAN

STASIUN 

Ph air SALINITAS 

AIR DO  BOD 

TEMPERATUR AIR 

PH SUBSTRAT 

COD SUBSTRAT 

TEMPERATUR SUBSTRAT 

FRAKSI SUBSTRAT 

JUL  DES  JUL  DES  JUL  DES  JUL  DES  JUL  DES  JUL  DES  JUL  DES  JUL  DES  JUL  DES 

MUARA SANGATTA 

Sub A‐1  6.9  7.1  16  20  1.3  6.2  3.1  4.6  28  25  6.7  6.8  20.2  18.2  27  24  clay  clay 

Sub A‐2  6.1  6.7  0  10  0  5.5  5.6  6.3  29  25  5.3  7  26.3  21.4  28  25  clay  clay 

Sub A‐3  6.1  6.7  0  0  4.5  5.3  5.2  6  28  24  5.1  6.6  21.4  17.5  27  23 sandy loam 

sandy loam 

TELUK PERANCIS 

Sub B‐1  7.1  7.2  33  27  6.2  6  2.8.  2.4  26  26  6.32  6.7  26.5  24  26  26 sandy loam 

sandy loam 

Sub B‐2  6.9  7.3  31  25  5.4  5.2  3.4  2.9  28  26  6.45  6.5  25  22.3  25  24 sandy loam 

sandy loam 

Sub B‐3  7  7  29  24  5.1  4.1  3.7  2.1  27  25  5.68  6.3  23.5  22.4  25  24 sandy loam 

sandy loam 

MUARA SANGKIMAH 

Sub C‐1  7.6  7.5  26  10  2.3  5.2  2.8  3.3  25  24  6.32  6.7  19.3  17.2  24  22 sandy loam

sandy loam

Sub C‐2  7.2  7.1  25  13  2.7  4.4  2.6  3.8  26  24  6.45  6.9  18.3  16.3  25  23 sandy loam

sandy loam

Sub C‐3  7.1  7.1  19  0  0.9  4.2  4.2  5.4  26  24  5.68  6.5  24.7  18.2  25  23 sandy loam

sandy loam

1 = zona perairan  

2 = zona depan mangrove 

3 = zona tengah mangrove 

Page 287: scylla serrata

268

LAMPIRAN 24 RINCIAN ANGGARAN BIAYA BUDIDAYA SYLVOFISHERY S. serrata

(Rp/unit/musim) NO KOMPONEN SATUAN JUMLAH HARGA TOTALA. Biaya

1 Investasi a. Jaring trawl 1,25" Gulung 2 500000 750000 b. Papan kayu Kubik 1 1500000 1500000 c. bambu Batang 20 20000 400000 d. Tali nilon Gulung 1 100000 100000 SUB TOTAL 2750000

2 Biaya Tetap/Peralatan a. Bubu/rakkang Unit 5 40000 200000 b. Peralatan Panen Unit 1 200000 200000 c. Timbangan Unit 1 100000 100000 SUB TOTAL 500000

3 Biaya Variabel/modal kerja

a. benih S. serrata Ekor

500 750

375,000

b. pakan ikan rucah Kg

200 3,000

600,000

c. Upah pemeliharaan Bln

5 200,000

1,000,000

SUB TOTAL 1,975,000

TOTAL BIAYA 5,225,000

B. Manfaat Penjualan Hasil Panen (SR 60%) Kg

90

35,000

3,150,000

Page 288: scylla serrata

269

LAMPIRAN 25

Cash Flow Analisis kelayakan Usaha Budidaya Sylvofishery S. serrata (200 m²)

Komponen Tahun ke… 0 1 2

1. INVESTASI a. Jaring trawl 1,25" 750000b. Papan kayu 1500000c. bambu 400000d. Tali nilon 100000

SUB TOTAL 2750000

2. BIAYA TETAP a. Bubu/rakkang 200000b. Peralatan Panen 200000c. Timbangan 100000

SUB TOTAL 500000Penyusutan (25%) 125000 125000 125000

3. BIAYA VARIABEL a. benih S. serrata 375000 375000b. pakan ikan rucah 600000 600000c. Upah pemeliharaan 1000000 1000000

SUB TOTAL 1975000 1975000Lain-lain (5%) 98750 98750

TOTAL BIAYA 3375000 2198750 2198750

4. PENERIMAAN panen kepiting 6300000 6300000

TOTAL PENERIMAAN 6300000 6300000

NET BENEFIT (π) -3375000 4101250 4101250

DF (12%) 1.00 0.89 0.80

R/C 0.00 2.87 2.87PV -3375000 3661830 3269491NPV 3556322B/C 2.05PBP 1.23

Page 289: scylla serrata

270

LAMPIRAN 26 ANALISIS PENDAPATAN NELAYAN KEPITING BAKAU

No. Nama

Penerimaan Biaya Pendapatan

(Rp) Jumlah

Tangkapan (kg/bln)

Harga Total

Penerimaan(Rp)

BBM Perawatandan lain2

Total Biaya (Rp)

1 Hendra 143 25 000 3,575,000

400,000

1,000,000

1,400,000 2,175,000

2 Rudi 65 25 000 1,625,000

200,000

500,000

700,000 925,000

3 Imam 117 25 000 2,925,000

100,000

750,000

850,000 2,075,000

4 Santoso 98 25 000 2,437,500

400,000

750,000

1,150,000 1,287,500

5 Jamali 91 25 000 2,275,000

100,000

750,000

850,000 1,425,000

6 Sudin 98 25 000 2,437,500

100,000

750,000

850,000 1,587,500

7 Sulak 143 25 000 3,562,500

500,000

800,000

1,300,000 2,262,500

8 Bacok 98 25 000 2,437,500

100,000

750,000

850,000 1,587,500

9 Sanidai 75 25 000 1,875,000

100,000

600,000

700,000 1,175,000

10 Bombira 84 25 000 2,100,000

100,000

700,000

800,000 1,300,000

11 Hamang 95 25 000 2,362,500

100,000

750,000

850,000 1,512,500

12 Asri 105 25 000 2,625,000

100,000

750,000

850,000 1,775,000

13 Iyel 75 25 000 1,875,000

100,000

700,000

800,000 1,075,000

14 Acok 90 25 000 2,250,000

100,000

700,000

800,000 1,450,000

15 Syarif 98 25 000 2,437,500

100,000

750,000

850,000 1,587,500

RERATA 98

25,000

2,453,333

173,333

733,333

906,667 1,546,667

Page 290: scylla serrata

271

LAMPIRAN 27 KARAKTERISTIK RESPONDEN KEPITING BAKAU

Responden Nelayan Kepiting Bakau

No. Responden Lokasi Jenis

Kelamin Umur Tkt.Pend. Mulai Usaha Hsl.Tkp Hsl.Tkp Harga Pemasukan BBM LAIN2

TOTAL BIAYA Pendapatan

(Nama) (L/P) (Tahun) (Tahun) (Ekor/bln) (Kg/bln) Rp/Kg) (Rp)

1 Hendra Ma. Sangatta L 24 SD 1993 1100 143 25000 3,575,000

400,000

1,000,000

1,400,000

2,175,000

2 Rudi Ma. Sangatta L 23 SD 1993 500 65 25000 1,625,000

200,000

500,000

700,000

925,000

3 Imam Ma. Sangatta L 65 SD 1993 900 117 25000 2,925,000

100,000

750,000

850,000

2,075,000

4 Santoso Ma. Sangatta L 41 SD 1995 750 98 25000 2,437,500

400,000

750,000

1,150,000

1,287,500

5 Jamali Ma. Sangatta L 52 SD 1995 700 91 25000 2,275,000

100,000

750,000

850,000

1,425,000

6 Sudin Ma. Sangatta L 49 SD 1993 750 98 25000 2,437,500

100,000

750,000

850,000

1,587,500

7 Sulak Tl. Perancis L 37 SD 2003 950 143 25000 3,562,500

500,000

800,000

1,300,000

2,262,500

8 Bacok Tl. Perancis L 40 SD 2001 650 98 25000 2,437,500

100,000

750,000

850,000

1,587,500

9 Sanidai Tl. Perancis L 47 SD 1993 500 75 25000 1,875,000

100,000

600,000

700,000

1,175,000

10 Bombira Tl. Perancis L 33 SD 2001 560 84 25000 2,100,000

100,000

700,000

800,000

1,300,000

11 Hamang Tl. Perancis L 36 SD 1993 630 95 25000 2,362,500

100,000

750,000

850,000

1,512,500

12 Asri Ma. Sangkima L 36 SD 2003 700 105 25000 2,625,000

100,000

750,000

850,000

1,775,000

13 Iyel Ma. Sangkima L 48 SD 1993 500 75 25000 1,875,000

100,000

700,000

800,000

1,075,000

14 Acok Ma. Sangkima L 35 SD 1993 600 90 25000 2,250,000

100,000

700,000

800,000

1,450,000

15 Syarif Ma. Sangkima L 49 SD 1993 650 98 25000 2,437,500

100,000

750,000

850,000

1,587,500

J u m l a h 21 010 1,472 375,000 36,800,000 2,600,000 11,000,000 13,600,000 23,200,000

R a t a - r a t a

98

25,000

2,453,333

173,333

733,333

906,667

1,546,667

Page 291: scylla serrata

272

Responden Pedagang Pengumpul Kepiting Bakau

Responden Jenis

Kelamin Umur Pendidikan Domisili Mulai Usaha Produksi Pendapatan

(Nama) (L/P) (Tahun) (Tahun) (Tahun) (Ekr/Bln) (Rp./Bln.) Santoso L 39 SD 2001 2005 300-500 3 000 000

Responden Pengambil Kebijakan

Responden Jenis

Kelamin Umur

Pendidikan Instansi Jabatan

(Nama) (L/P)  Tandio L 50 Sarjana kehutanan Balai TN Kutai Kepala Balai

Aminuddin L 37 Sarjana Perikanan Dinas Kelautan dan Perikanan Kasubid. Pengelolaan Pesisir

Rupiansyah L 51 Sarjana Ekonomi BAPPEDA Kepala Bappeda

Sumarjana L 48 Sarjana Teknik BAPPEDA Kabid Fisik & Prasarana

Elly Herliawati P 37 Magister Teknik BAPPEDA Kasubid. Tata Ruang & Tata Guna Lahan

Murdoko L 54 SMA KADES Kepala Desa Sangkima

Suhariyanto L 49 Diploma KADES Kepala Desa Singa Geweh

Page 292: scylla serrata

273

LAMPIRAN 28 INDEKS NILAI PENTING VEGETASI MANGROVE

INDEKS NILAI PENTING MUARA SANGATTA

No Nama jenis Nama suku Nama lokal K F LBD (m2) KR FR DoR INP ni/N

log (ni/N) H

1 Aegiceras corniculatum Myrsinaceae Gedangan 49 8 0.057 55.056 44.444 42.531 142.031 0.551 -0.259 -0.143

2 Ceriops decandra Rhizophoraceae Bido-bido 2 1 0.006 2.247 5.556 4.335 12.138 0.022 -1.648 -0.037

3 Ceriops tagal Rhizophoraceae Soga tingi 2 2 0.003 2.247 11.111 1.992 15.350 0.022 -1.648 -0.037

4 Nypa fructicans Arecaceae Nipah 36 7 0.069 40.449 38.889 51.142 130.481 0.404 -0.393 -0.159

Jumlah 89 18 0.134 100 100 100 300 -0.376 Kerapatan = 1.113 pohon/ha Indeks Keragaman (H) = 0, 376 Basal area 1,677 m2/ha

INDEKS NILAI PENTING TELUK PERANCIS Indeks Nilai Penting (INP) dari Vegetasi Pohon di Stasiun Teluk Prancis

No Nama jenis Nama suku Nama lokal K F LBD (m2) KR FR DoR INP ni/N log

(ni/N) H

1 Bruguiera gymnorrhiza Rhizophoraceae

Bakau daun besar 4 3 0.060 9.091 16.667 10.102 35.860 0.091 -1.041 -0.095

2 Rhizophora apiculata Rhizophoraceae

Bakau minyak 32 8 0.4006 72.727 44.444 67.478 184.650 0.727 -0.138 -0.101

3 Rhizophora mucronata Rhizophoraceae Bakau hitam 8 7 0.1331 18.182 38.889 22.420 79.491 0.182 -0.740 -0.135

Jumlah 44 18 0.5937 100.000 100.000 100.000 300.000 -0.330 Kerapatan = 550 pohon/ha Indeks Keragaman (H) = 0, 330 Basal area 7,421 m2/ha

Indeks Nilai Penting (INP) dari Vegetasi Anakan Pohon (diameter <10 cm) di Stasiun Teluk Prancis

No Nama jenis Nama suku Nama lokal K F

LBD (m2) KR FR DoR INP ni/N

log (ni/N) H

1 Rhizophora apiculata Rhizophoraceae

Bakau minyak 8 8 0.0304 50.000 57.143 50.025 157.167 0.500 -0.301 -0.151

2 Rhizophora mucronata Rhizophoraceae

Bakau hitam 4 3 0.0164 25.000 21.429 27.037 73.466 0.250 -0.602 -0.151

3 Ceriops decandra Rhizophoraceae Bido-bido 3 2 0.0099 18.750 14.286 16.309 49.345 0.188 -0.727 -0.136

4 Ceriops tagal Rhizophoraceae Soga tingi 1 1 0.0040 6.250 7.143 6.629 20.022 0.063 -1.204 -0.075

Jumlah 16 14 0.0607 100.000 100.000 100.000 300.000 -0.513 Kerapatan = 800 pohon/ha Indeks Keragaman (H) = 0, 513 Basal Arean 3,037 m2/ha

Page 293: scylla serrata

274

INDEKS NILAI PENTING MUARA SANGKIMA

Indeks Nilai Penting (INP) dari Vegetasi Pohon di Stasiun Muara Sangkima

No Nama jenis Nama suku Nama

lokal K F LBD (m2) KR FR DoR INP ni/N log

(ni/N) H

1 Rhizophora apiculata

Rhizophoraceae

Bakau minyak 62 13 6.1664 63.265 44.828 59.575 167.667 0.633 -0.199 -0.126

2 Bruguiera gymnorrhiza

Rhizophoraceae

Bakau daun besar 25 9 3.6238 25.510 31.034 35.010 91.555 0.255 -0.593 -0.151

3 Ceriops decandra

Rhizophoraceae Bido-bido 8 4 0.4596 8.163 13.793 4.441 26.397 0.082 -1.088 -0.089

4 Osbornia octodonta Myrtaceae 1 1 0.0380 1.020 3.448 0.367 4.836 0.010 -1.991 -0.020

5 Hibiscus tiliaceus Malvaceae Waru 1 1 0.0314 1.020 3.448 0.304 4.772 0.010 -1.991 -0.020

6 Lumnitzera littorea Combretaceae 1 1 0.0314 1.020 3.448 0.304 4.772 0.010 -1.991 -0.020

Jumlah 98 29 10.3508 100.00

0 100.00

0 100.00

0 300.000 -0.427

Kerapatan = 613 pohon/ha Indeks Keragaman (H) = 0, 427 Basal area 64,69 m2/ha 0.16 612.5 64.692

Indeks Nilai Penting (INP) dari Vegetasi Anakan Pohon (diameter <10 cm) di Stasiun Muara Sangkima

No Nama jenis Nama suku

Nama lokal K F

LBD (m2) KR FR DoR INP ni/N

log (ni/N) H

1 Avicennia lanata Verbenaceae 2 1 0.0079 4.000 3.571 6.281 13.853 0.040 -1.398 -0.056

2 Bruguiera gymnorrhiza Rhizophoraceae

Bakau daun besar 10 6 0.0310 20.000 21.429 24.749 66.177 0.200 -0.699 -0.140

3 Ceriops decandra Rhizophoraceae Bido-bido 8 6 0.0263 16.000 21.429 21.043 58.471 0.160 -0.796 -0.127

4 Ceriops tagal Rhizophoraceae Soga tingi 1 1 0.0013 2.000 3.571 1.005 6.576 0.020 -1.699 -0.034

5 Hibiscus tiliaceus Malvaceae 1 1 0.0009 2.000 3.571 0.684 6.255 0.020 -1.699 -0.034

6 Osbornia octodonta Myrtaceae 3 2 0.0026 6.000 7.143 2.073 15.216 0.060 -1.222 -0.073

7 Rhizophora apiculata Rhizophoraceae

Bakau minyak 25 11 0.0552 50.000 39.286 44.166 133.451 0.500 -0.301 -0.151

Jumlah 50 28 0.1251 100 100 100 300 -0.124

Kerapatan = 1250 pohon/ha Indeks Keragaman (H) = 0,124 0.04 3.1272 Basal Area 3,127 m2/ha