sawit di indonesia

70
SAWIT DI INDONESIA TATA KELOLA, PENGAMBILAN KEPUTUSAN DAN IMPLIKASI BAGI PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN RANGKUMAN UNTUK PENGAMBIL KEPUTUSAN & PELAKU Gary D. Paoli | Piers Gillespie | Philip L. Wells | Lex Hovani Aisyah Sileuw | Neil Franklin | James Schweithelm

Upload: indra-wardhana

Post on 22-Oct-2015

31 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

SAWIT DI INDONESIATATA KElOlA, PENgAmbIlAN KEPuTuSAN DAN ImPlIKASI bAgI PembAngunAn berkelAnjuTAn

RANgKumAN uNTuK PengAmbIl kePuTuSAn & PelAku

gary D. Paoli | Piers gillespie | Philip l. Wells | lex Hovani

Aisyah Sileuw | Neil Franklin | James Schweithelm

SAWIT DI INDONESIATATA KElOlA, PENgAmbIlAN KEPuTuSAN

DAN ImPlIKASI bAgI PEmbANguNAN bERKElANJuTAN

Oleh Gary D. Paoli, Piers Gillespie, Philip L. Wells, Lex Hovani,

Aisyah E. Sileuw, Neil Franklin dan James Schweithelm

Diterbitkan oleh: The Nature Conservancy Indonesia Program, Jakarta

Riset dan analisis ini dilaksanakan oleh Daemeter Consulting bersama The Nature Conservancy (TNC) dengan dana dari rakyat Amerika Serikat melalui U.S. Agency for International Development (USAID)

dan Responsible Asia Forestry and Trade (RAFT).

Para penulis bertanggung jawab atas isi laporan ini dan isi tidak serta merta mencerminkan pandangan TNC atau donor pendukung lainnya.

Semua bahan yang ada dalam dokumen ini boleh disalin dan didistribusikan asalkan salinan-salinan tersebut dikutip dengan sepenuhnya dan tanpa memodifikasi, serta sumber aslinya disebutkan

dengan cara yang benar.

Penyebutan asal kutipan yang direkomendasikan adalah: Paoli G.D., P. Gillespie, P.L. Wells, L. Hovani, A.E. Sileuw, N. Franklin dan J. Schweithelm (2013) Sawit di Indonesia: Tata kelola, Pengambilan

Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan Berkelanjutan. The Nature Conservancy, Jakarta, Indonesia.

Foto halaman muka karya: Gary D. Paoli, Piers Gillespie, R. Harjanthi.

Ucapan Terima KasihPara penulis sangat menghargai The Nature Conservancy (TNC) yang memiliki pandangan jauh ke depan yang

mendorong dilaksanakannya penelitian ini. Para penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada rakyat Amerika Serikat melalui U.S. Agency for International Development (USAID) dan RAFT yang memberikan pendanaan

yang memungkinkan adanya penelitian ini. Para penulis pun menghargai kontribusi dari Andiko, Rahayu Harjanthi, Rendi Dharma, Ciska, Dr Yohannes Samosir, Elinor Benami, Elizabeth Yaap dan Erik Meijaard. Para penulis juga berterima kasih kepada para peserta seminar sehari yang diselenggarakan di Jakarta di bulan Juli 2011, namun

sama sekali tidak mengklaim bahwa para partisipan tersebut telah mengabsahkan isi laporan ini.

Rangkuman Untuk Pengambil Keputusan & Pelaku

DAFTARISI

RINgKASAN EKSEKUTIF 6

1 KONTEKS 12

2 PENDEKATAN PENELITIAN 18

3 RANgKumAN TEmUAN 23

Konteks dan Latar Belakang Pemikiran Penelitian Ini 6

Pendekatan Analitis 6

Rekomendasi-rekomendasi Utama 7

Sawit: Peluang Pembangunan Strategis bagi Indonesia 12

Tata Kelola Sawit di Indonesia 13

Tujuan dan Latar Belakang Pemikiran 17

Mengidentifikasi Titik-Titik Keputusan Utama dan Pelaku- Pelaku yang Terlibat 18

Menggambarkan Hasil-Hasil Keputusan yang diharapkan 19

Mengembangkan Rekomendasi-Rekomendasi untuk Mendukung Tujuan-Tujuan Pertumbuhan Ekonomi Hijau 20

Ikhtisar Laporan Sepenuhnya 20

Keputusan-Keputusan yang Menentukan di Mana Izin Sawit Diterbitkan 23

Keputusan-Keputusan yang Mempengaruhi Dampak Lingkungan Perkebunan dan Pabrik Sawit 29

Keputusan-Keputusan yang Mempengaruhi Hubungan Perusahaan dengan Masyarakat 32

Temuan-Temuan yang Beririsan 35

1.1

2.1

3.1

1.2

2.2

3.2

1.3

2.3

2.4

3.3

3.4

Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan berkelanjutan 4DAFTAR ISI

4 REKOmENDASI-REKOmENDASI UTAmA 37

Mendukung Proses Multi-Pihak untuk Memperkuat dan Mendukung Ispo Sebagai Bagian Strategi Pembangunan Ekonomi Hijau Indonesia yang Berharga dan Diakui di Tingkat Internasional 38

Memperkuat dan Meningkatkan Sistem-Sistem Pemerintah Daerah untuk Pengelolaan Sektor Minyak Sawit 39

Memperbaharui dan Membuat Kriteria Kelayakan yang Sepenuhnya Dapat Dioperasikan yang Konsisten dengan Tujuan-Tujuan Pertumbuhan Ekonomi Hijau Indonesia Guna Memastikan Bahwa Lahan yang Tidak Sesuai Tidak Digarap 40

Meningkatkan Ketersediaan Lahan yang Sesuai dan Berdampak Rendah untuk Pengembangan Sawit 42

Mendorong Investasi untuk Meningkatkan Hasil Lahan dan Memberikan Ganjaran Atas Kinerja yang Baik Guna Mengoptimalkan Produksi Pada Perkebunan yang Sudah Ada Maupun di Masa Datang 43

Mengembangkan Alat-Alat Hukum dan Membangun Kapasitas Implementasi Guna Memperkuat Pengelolaan Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi di Lahan- Lahan yang Termasuk Dalam Zona untuk Pertanian 43

Memastikan Bahwa Masyarakat Memiliki Informasi yang Memadai dan Mampu Berpartisipasi Secara Efektif Dalam Negosiasi dengan Perusahaan Sawit Sejak Tahap Pengembangan yang Paling Awal, Termasuk Konsultasi-Konsultasi Sebelum Penerbitan Izin 45

Mengembangkan Langkah-Langkah untuk Memastikan Tingkat Manfaat bagi Masyarakat Selama Penerapan Perjanjian Kemitraan dengan Petani Kecil Sesuai Dengan Syarat dan Ketentuan yang Telah Dinegosiasikan 48

4.1

4.2

4.3

4.4

4.5

4.6

4.7

4.8

Di Mana Izin Diterbitkan untuk Pengembangan Sawit 64

Hubungan Kuasa Negara, Perusahaan dan Individu- Individu 64

Batas-Batas dan Pengelolaan Kawasan Hutan 64

Kewenangan dan Prosedur-Prosedur untuk Penerbitan Izin Lokasi 64

Prosedur-Prosedur yang Disyaratkan Menyusul Penerbitan Suatu Izin Lokasi 65

Pendekatan-Pendekatan untuk Mengawasi Pengambilan Keputusan Mengenai di Mana Izin Sawit Diterbitkan 66

Dampak-Dampak Lingkungan Hidup Perkebunan dan Pabrik 66

Pengambilan Keputusan Mengenai Pengembangan Perkebunan 66

Pengambilan Keputusan Soal Pengelolaan Perkebunan 67

Pengambilan Keputusan Atas Operasi Pabrik 67

Hubungan Masyarakat-Perusahaan 67

Mendefinisikan Peran-Peran Masyarakat dan Perusahaan 67

Konsultasi Masyarakat Sebelum Menerbitkan Izin Lokasi 67

Konsultasi Masyarakat untuk Meningkatkan Kesadaran (‘Sosialisasi’) Setelah Izin Lokasi Diterbitkan 67

Istilah-Istilah Utama Perjanjian Kemitraan 68

Negosiasi Kesepakatan- Kesepakatan Kemitraan 68

Operasi-Operasi Perkebunan dan Manfaat-Manfaat Petani Kecil 68

Penguasaan Tanah Oleh Negara 51

Otonomi Daerah dan Pembagian Kewenangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah 52

Undang Undang Mengenai Perkebunan - UU No. 18/2004 52

Perencanaan Tata Ruang 53

Rencana Tata Ruang Nasional (RTRWN) 54

Perencanaan Tata Ruang Provinsi, Kabupaten dan Kementerian Kehutanan 54

Perizinan Sawit 56

Pengelolaan Dampak-Dampak Lingkungan 58

Kinerja Perkebunan dan Kepatuhan Kepada Hukum 61

Peraturan untuk Mengevaluasi Perusahaan Perkebunan (Permentan No. 7/2009) 61

Minyak Sawit Berkelanjutan Indonesia (Permentan No. 19/2011) 62

Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan berkelanjutan

DAFTAR ISI5

LAmPIRAN 1 - KERANgKA HuKum uNTuK PENgEmbANgAN mINyAK SAWIT 51

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

4.1

7.1

4.2

7.2

Mengembangkan Langkah-Langkah Kebijakan dan Alat-Alat Fiskal yang Inovatif dan Memberikan Ganjaran untuk Investasi Dalam Teknologi ‘Zero Waste’ untuk Memaksimalkan Dampak- Dampak Positif Keseluruhan Operasi Pabrik 48

Meningkatkan Kemungkinan Bahwa Lahan Dialokasikan Kepada Perusahaan yang Bertanggung Jawab 50

4.9

4.10

1.1

1.2

1.3

1.4

1.5

2.1

2.2

2.3

3.1

3.2

3.3

3.5

3.6

3.4

LAmPIRAN 2 - RANgKumAN KEPuTuSAN-KEPuTuSAN yANg DIEvAluASI DI lAPORAN lENgKAP 64

1.

2.

3.

RINgKASANEKSEKUTIF

Konteks dan Latar Belakang Pemikiran Penelitian Ini

Pendekatan Analitis

Sawit merupakan bagian yang sangat penting dalam strategi pembangunan Indonesia dan menjadi sumber banyak manfaat pembangunan setempat. Namun, dampak-dampak sosial dan lingkungan hidup di masa lalu telah menimbulkan kritik dari dalam maupun luar negeri. Manfaat dan biaya ekonomi, sosial dan lingkungan hidup sawit ditentukan oleh berbagai rangkaian keputusan yang dibuat oleh banyak pelaku di sepanjang mata rantai pasokannya. Analisis ini dimaksudkan untuk menggambarkan proses-proses pengambilan keputusan mengenai sawit di Indonesia dengan cara yang dapat dipahami oleh berbagai pihak, termasuk pejabat pemerintah, sektor swasta, LSM, konsumen internasional, dan donor. Laporan ini bertujuan untuk (a) memberikan perspektif yang berimbang guna membantu menjembatani para pendukung dan pengecam sawit, dan (b) menggarisbawahi peluang-peluang untuk menyelaraskan pengambilan keputusan agar lebih dekat dengan tujuan-tujuan Pembangunan Ekonomi Hijau Indonesia.

Penelitian ini memaparkan sebagian keputusan-keputusan utama yang diambil berbagai pelaku terkait pengembangan sawit, menjelaskan bagaimana keputusan tersebut mempengaruhi hasil pembangunan, dan merekomendasikan cara-cara untuk mendukung perbaikan kinerja. Informasi yang disajikan ini membentuk suatu dasar untuk melakukan dialog kebijakan dengan lebih memiliki informasi, dan meminta perhatian ditujukan kepada cara-cara konkrit memperbaiki keputusan-keputusan, dan dengan demikian memberi kepada para pelaku satu pemahaman mengenai peran mereka yang lebih mendalam dan bagaimana mereka dapat bekerja sama dengan lebih efektif untuk mencapai hasil-hasil tertentu.

Penelitian ini mengidentifikasi titik-titik keputusan dan pelaku-pelaku utama yang terlibat dalam proses-proses utama pembuatan keputusan di bidang sawit, dan mengelompokkan titik-titik tersebut berdasarkan keputusan yang menentukan: (a) di mana izin sawit dikeluarkan; (b) bagaimana praktik-praktik perkebunan dan pengelolaan pabrik menentukan dampak operasinya terhadap lingkungan hidup; dan (c) bagaimana kerja sama antara perusahaan dan masyarakat setempat, termasuk kesepakatan dengan petani kecil, dibentuk dan beroperasi seiring waktu. Penelitian ini secara kualitatif menggambarkan hasil dari keputusan, dengan memusatkan perhatian kepada lima jenis hasil pembangunan dari sawit yang pada umumnya digarisbawahi dalam dokumen-dokumen perencanaan pemerintah dan di tempat-tempat lain: manfaat ekonomi setempat (Kabupaten), manfaat bagi masyarakat, tata kelola sawit yang lebih baik di tingkat kabupaten, dampak-dampak pada lingkungan alam, dan emisi karbon dari pengembangan sawit. Penelitian ini memberikan rekomendasi-rekomendasi untuk mendukung hasil-hasil Pertumbuhan Ekonomi Hijau yang terkait dengan kelima dimensi tersebut. Karena keadaan sangat bervariasi di berbagai daerah di Indonesia dan antara perkebunan, banyak di antara rekomendasi kami sebaiknya dilihat sebagai hipotesa-hipotesa sementara yang perlu diselidiki lebih lanjut melalui penelitian, dialog kebijakan, atau program-program uji coba.

Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan berkelanjutan 6RINgKASAN EKSEKuTIF

Laporan ini menghasilkan beberapa rekomendasi utama untuk memperkuat tata kelola, praktik-praktik dan hasil-hasil pembangunan sawit, termasuk:

Rangkuman rekomendasi-rekomendasi utama untuk memperkuat tata kelola sawit dan mengoptimalkan hasil-hasil pembangunannya. Rekomendasi-rekomendasi dikelompokkan di bawah judul-judul yang terkait dengan yang digunakan

di bawah ini untuk mengelompokkan temuan-temuan utama di bagian 3. Rekomendasi-rekomendasi dipaparkan lebih lanjut

di bagian 4. (Catatan: KemenTan = Kementerian Pertanian, KemenHut = Kementerian Kehutanan, KemenlH = Kementerian

lingkungan Hidup, KemenKeu = Kementerian Keuangan).

REKOmENDASI UTAmA

bekerja sama untuk menjadikan ISPO bagian strategi pembangunan hijau di Indonesia yang berharga dan diakui di tingkat internasional.

memperkuat dan meningkatkan sistem-sistem pemerintah daerah untuk pengelolaan sektor sawit.

memperkuat dan meningkatkan sistem-sistem pemerintah daerah untuk pengelolaan sektor sawit.

Dukungan yang luas dari para pemangku kepentingan untuk ISPO bisa sangat membantu memastikan bahwa standar tersebut diterapkan dengan efektivitas maksimal.

KemenTan, ISPO, program-program multilateral

Jangka pendek dan berdampak sedang

meningkatkan kepemimpinan dari Kamar Dagang Indonesia (KADIN) dan Indonesian business Council for Sustainable Development (IbCSD) dan gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (gAPKI) untuk mendukung dan memperkuat ISPO.

badan-badan di pemerintah pusat dapat memperkuat arahan, pelatihan, dan program-program pendukung terkait untuk pemerintah kabupaten guna mengembangkan kapasitas yang lebih seragam untuk mengatur pengembangan sawit.

KemenTan Jangka menengah

menyediakan pelatihan, data spasial yang lebih baik, serta alat-alat pendukung keputusan untuk perencanaan tata ruang dan pengembangan sawit di kabupaten.

KemenTan, bAPlAN

Jangka menengah

mendukung dan mendorong pemerintah daerah untuk mempertimbangkan manfaat dan biaya yang lebih lengkap ketika menerbitkan izin-izin sawit untuk memaksimalkan manfaat sekunder yang positif.

mengembangkan, menguji coba, dan mengimplementasikan sepenuhnya suatu sistem pendaftaran perizinan online yang transaparan.

KemenTan, pemerintah setingkat Dinas

Jangka menengah-panjang

meninjau ulang dan memperbaharui Keputusan bersama antara KemenTan dan badan Pertanahan Nasional (1999) mengenai penerbitan Izin lokasi.

KemenTan, badan Pertanahan Nasional

Jangka menengah dan berdampak besar

bupati, pemerintah setingkat Dinas

Jangka menengah

KADIN, IbCSD, gAPKI

Jangka pendek

REKOmENDASI DI BAWAHNYA

TARGET UTAmA

JANGKA WAKTU & POTENSI DAmPAK

Rekomendasi-rekomendasi utama

mASALAH -mASALAH YANG BERIRISAN

KEPUTUSAN-KEPUTUSAN YANG mENENTUKAN DI mANA IzIN SAWIT DIBERIKAN

Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan berkelanjutan

RINgKASAN EKSEKuTIF7

REKOmENDASI UTAmA REKOmENDASI DI BAWAHNYA

TARGET UTAmA

JANGKA WAKTU & POTENSI DAmPAK

memperbaharui dan membuat kriteria kelayakan yang sepenuhnya dapat dioperasikan yang konsisten dengan tujuan-tujuan Pertumbuhan Ekonomi Hijau Indonesia guna memastikan bahwa lahan yang tidak sesuai tidak digarap.

meningkatkan ketersediaan lahan yang sesuai dan berdampak rendah untuk pengembangan sawit.

mengembangkan alat-alat hukum dan membangun kapasitas implementasi guna memperkuat pengelolaan kawasan-kawasan bernilai konservasi tinggi di lahan-lahan yang termasuk dalam zona untuk pertanian.

mengembangkan alat-alat hukum dan membangun kapasitas implementasi guna memperkuat pengelolaan lahan bernilai konservasi tinggi di lahan-lahan yang termasuk dalam zona untuk pertanian.

mengembangkan kriteria kelayakan lahan bagi pengembangan sawit yang jelas di tingkat nasional yang mencakup pertimbangan sosial, fisik, keanekaragaman hayati dan emisi gas rumah kaca sebagai panduan bagi keputusan perizinan pemerintah daerah atas lahan yang termasuk dalam zona untuk pertanian.

meningkatkan kualitas, kredibilitas, dan pengaruh proses penilaian dampak lingkungan hidup.

meningkatkan kualitas, kredibilitas, dan pengaruh proses penilaian dampak lingkungan hidup.

menyederhanakan dan mempercepat mekanisme-mekanisme yang membuat wilayah gundul dan berkarbon rendah dalam Kawasan Hutan dapat dijadikan lahan pertanian.

mengeksplorasi peluang-peluang untuk pabrik yang lebih kecil yang membutuhkan basis pasokan perkebunan yang lebih kecil.

memperkuat hak sesuai hukum bagi perusahaan perkebunan untuk mempertahankan dan mengelola kawasan-kawasan konservasi yang tidak ditanami di dalam wilayah Hgu perkebunan.

menciptakan insentif-insentif keuangan bagi perusahaan-perusahaan untuk mempertahankan kawasan-kawasan yang tidak dikembangkan dalam perkebunan.

KemenTan, KemenHut, KemenlH

KemenHut, KemenTan

KemenTan, CEO, kabupaten, CSO

KemenTan, KemenHut, kabupaten, ISPO

KemenTan, KemenKeu, RSPO, ISPO, KADIN, CEO

KemenlH

KemenlH

Jangka menengah dan berdampak besar

Jangka menengah-panjang

Jangka menengah-panjang

Jangka menengah-panjang

Jangka menengah – panjang dan berdampak besar

Jangka pendek dan berdampak besar

mendorong pemerintah daerah untuk memberlakukan persyaratan tambahan untuk izin perkebunan sawit guna menjamin terlindunginya nilai-nilai lingkungan hidup atau nilai-nilai sosial setempat.

Pemerintah daerah, bupati, DISbuN

Jangka menengah

mendukung upaya-upaya yang dipimpin swasta guna membuat sasaran-sasaran yang eksplisit dan progresif untuk pengelolaan kawasan-kawasan konservasi di dalam perkebunan sawit.

CEO, RSPO, KemenTan, kabupaten

Jangka menengah

membuat perusahaan perkebunan lebih bertanggung jawab atas kontraktor-kontraktor yang disewa untuk membuka lahan dan memperbaiki sistem untuk mengelola kontraktor.

CEO Jangka menengah

Berdampak besar

KEPUTUSAN-KEPUTUSAN YANG mEmPENGARUHI DAmPAK LINGKUNGAN HIDUP PERKEBUNAN DAN PABRIK

guna mengurangi tekanan penyerobotan lahan dari masyarakat setempat di wilayah-wilayah konservasi, perusahaan hendaknya mempertimbangkan untuk memberlakukan batas-batas sukarela mengenai seberapa luas lahan masyarakat yang mereka siap kembangkan sebagai perkebunan sawit.

CEO, ISPO Jangka menengah

Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan berkelanjutan 8RINgKASAN EKSEKuTIF

Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan berkelanjutan

RINgKASAN EKSEKuTIF9

REKOmENDASI UTAmA

REKOmENDASI DI BAWAHNYA

TARGET UTAmA

JANGKA WAKTU & POTENSI DAmPAK

mengembangkan langkah-langkah kebijakan dan alat-alat fiskal yang inovatif dan memberikan ganjaran untuk investasi dalam teknologi ‘Zero Waste’ untuk memaksimalkan dampak-dampak positif keseluruhan operasi pabrik.

meningkatkan kemungkinan bahwa lahan dialokasikan kepada perusahaan yang bertanggung jawab.

mendorong investasi untuk meningkatkan hasil lahan dan memberikan ganjaran atas kinerja yang baik guna mengoptimalkan produksi pada perkebunan yang sudah ada maupun di masa datang.

memastikan bahwa masyarakat memiliki informasi yang memadai dan mampu berpartisipasi secara efektif dalam negosiasi dengan perusahaan sawit sejak tahap pengembangan yang paling awal, termasuk konsultasi-konsultasi sebelum penerbitan izin.

meningkatkan penggunaan praktik-praktik dan teknologi pengolahan dan pemanfaatan limbah terkini di industri sawit, mensyaratkan bahwa pelaku-pelaku berikut ini menjalankan sebagian atau semua keputusan berikut.

menciptakan insentif fiskal dan finansial guna mempromosikan (a) penangkapan metana, (b) peningkatan penggunaan teknik-teknik Aplikasi lahan untuk POmE di mana sesuai, dan (c) teknologi-teknologi pembuatan kompos guna memanfaatkan produk sampingan berupa sampah padat secara produktif, menghasilkan listrik dan mengurangi penggunaan pupuk kimia.

mengaitkan akses lahan untuk pengembangan sawit tambahan dengan kinerja perusahaan yang baik sebelumnya.

mendorong peningkatan hasil CPO di seluruh industri dengan mendorong pelaku-pelaku tertentu untuk menjalankan sebagian atau semua keputusan berikut.

membuat pemerintah bertanggung jawab atas kewajiban menyediakan informasi yang akurat dan mudah dipahami bagi petani kecil dan anggota masyarakat.

mengembangkan panduan untuk menetapkan suatu pendekatan yang lebih terstruktur bagi pemerintah daerah untuk mendukung sosialisasi perusahaan dan kemudian negosiasi.

mengembangkan serangkaian panduan standar untuk berhubungan dengan masyarakat .

meninjau dan mengklarifikasi syarat minimum pembagian lahan antara Perusahaan dan masyarakat sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan KemenTan No. 26 (2007).

melalui program uji coba, mengembangkan mekanisme bagi pemerintah kabupaten untuk memberikan dukungan negosiasi bagi setiap pihak selama penyusunan kesepakatan-kesepakatan pembagian manfaat, khususnya perjanjian kerja sama dengan petani kecil.

menjajaki mekanisme untuk menghapus keterlibatan calo-calo izin, perusahaan atau individu yang mengkhususkan pekerjaannya untuk memperoleh izin, membuka lahan dan kemudian menjual izinnya ke pihak lain.

KemenTan, KemenlH, ISPO, CEO

KemenTan, KemenKeu, ISPO, RSPO

KemenTan, ISPO

KemenTan, CEO

KemenTan, kabupaten, bupati

KemenTan, kabupaten, bupati, CSO

KemenTan, ISPO, CSO

KemenTan

KemenTan, kabupaten, bupati, CSO

KemenTan, kabupaten, bupati

Jangka menengah

Jangka menengah

Jangka pendek dan kemungkinan berdampak besar

Jangka pendek dan berdampak besar

Jangka menengah –panjang dan berdampak besar

Jangka menengah

Jangka menengah dan berdampak besar

Jangka pendek

Jangka menengah dan berdampak besar

Jangka menengah

KEPUTUSAN-KEPUTUSAN YANG mEmPENGARUHI HUBUNGAN PERUSAHAAN DENGAN mASYARAKAT DI SAWIT

REKOmENDASI UTAmA REKOmENDASI DI BAWAHNYA

TARGET UTAmA

JANGKA WAKTU & POTENSI DAmPAK

mengembangkan langkah-langkah untuk memastikan tingkat manfaat bagi masyarakat selama penerapan perjanjian kemitraan dengan petani kecil sesuai dengan syarat dan ketentuan yang telah dinegosiasikan.

mengembangkan perjanjian yang jelas dan mengikat antara perusahaan dengan masyarakat mengenai di mana dan kapan lahan-lahan petani kecil akan dikembangkan.

mengembangkan dan mensyaratkan digunakannya model perjanjian pembebasan lahan dan perjanjian kemitraan dengan petani kecil.

memperjelas dan memperkuat pengawasan kewajiban-kewajiban perusahaan perkebunan untuk mendukung hasil petani kecil dan menciptakan insentif-insentif yang mendukung kepatuhan pada aturan-aturan yang ada.

mendukung pelatihan petani kecil yang efektif oleh pemerintah kabupaten, pelatihan petugas penyuluhan lapangan, perusahaan perkebunan, yang didukung pendanaannya oleh pengguna dan pembeli produk-produk sawit.

Penciptaan lapangan kerja atau bentuk dukungan pendapatan masyarakat lainnya selama masa sawit tumbuh dewasa hendaknya disepakati antara perusahaan dengan masyarakat selama sosialisasi untuk pembebasan lahan

mempertimbangkan pengembangan dan penggunaan suatu sistem penentuan harga tandan buah segar (fresh fruit bunch) yang lebih fleksibel, transparan, dan mudah dipahami petani kecil serta menciptakan peluang untuk bayaran berbasis prestasi yang memberi ganjaran untuk buah berkualitas baik.

Kabupaten, CEO, CSO, ISPO

Kabupaten, CEO, CSO, ISPO

KemenTan, ISPO, CEO

Kabupaten, CEO, ISPO, RSPO, CSO

KemenTan, CEO, ISPO

KemenTan, provinsi, gAPKI

Jangka pendek

Jangka menengah

Jangka menengah dan berdampak besar

Jangka menengah

Jangka menengah

Jangka menengah

Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan berkelanjutan 10RINgKASAN EKSEKuTIF

IKHTISAR SAWIT DI INDONESIA

Industri sawit merupakan bagian yang vital sekaligus kontroversial dalam lintasan pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini. Pembahasan mengenai manfaat ekonomi dibandingkan dengan biaya sosial dan lingkungan hidup semakin terpolarisasi, dan situasi diperburuk oleh para pengkritik dan pendukung vokal yang bersikukuh pada posisi-posisi ekstrim untuk mengejar agenda-agenda yang sangat berbeda. Yang tersembunyi dalam perdebatan dewasa ini adalah banyaknya kesamaan antara sudut pandang yang bertentangan itu, di mana dapat dilakukan perbaikan yang signifikan dalam tata kelola sawit di Indonesia, yang akan memberikan manfaat langsung kepada lingkungan hidup, masyarakat lokal, serta kinerja dan reputasi industri ini secara keseluruhan. Penelit ian ini merupakan suatu upaya untuk merebut kembali tempat di mana ada kesamaan ini dengan memberikan pemahaman yang lebih baik kepada pemangku kepentingan terkait mengenai bagaimana pelaku-pelaku utama membuat keputusan dalam kerangka hukum yang kompleks serta norma-norma pengambilan keputusan yang muncul darinya. Kami menggarisbawahi area-area utama untuk memperbaiki dan memperkuat proses-proses pengambilan keputusan yang mendukung komitmen Pertumbuhan Ekonomi Hijau Indonesia dan merekomendasikan cara-cara untuk mendukung tercapainya hal ini. Dokumen ini merupakan ringkasan dari laporan yang lebih besar yang sedang disiapkan berdasarkan penelit ian suatu tim multi disiplin yang terdiri dari penelit i nasional dan internasional serta praktisi yang bekerja untuk mendukung kelapa sawit yang berkelanjutan di Indonesia.

1.1 Sawit: peluang pembangunan strategis bagi Indonesia

KONTEKS1

Sawit merupakan komponen vital strategi pembangunan Indonesia sekarang dan di masa depan. Indonesia adalah produsen dan eksportir minyak sawit mentah (CPO) terbesar di dunia dan CPO menjadi komponen penting bagi ketahanan pangan Indonesia dan negeri-negeri konsumennya. Permintaan dunia akan minyak sawit, yang hasil per hektarnya sepuluh kali lebih banyak daripada tanaman minyak lainnya, tumbuh dengan pesat. Kawasan perkebunan sawit di Indonesia selama sepuluh tahun terakhir berlipat ganda dan kini menutupi lima persen dari total daratan negeri ini, dan pengembangan lebih lanjut sedang dilangsungkan guna memenuhi target Pemerintah untuk meningkatkan produksi CPO sebesar dua kali lipat menjadi 40 juta metrik ton per tahun pada 2020. Indonesia sangat mungkin mencapai target ini dengan adanya iklim yang mendukung, berlimpahnya lahan yang cocok, keahlian sektor swasta, dan besarnya tenaga kerja pedesaan.

Kebun pembibitan sawit di Kalimantan Timur. Foto oleh Felicia Lasmana.

Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan berkelanjutan 12KONTEKS

Ekspor sawit merupakan bagian yang sangat penting dari strategi pertumbuhan ekonomi Indonesia, menghasilkan milyaran dolar valuta asing setiap tahunnya dan menyediakan basis yang stabil bagi perekonomian setempat, akses ke pasar-pasar komoditi, dan lapangan pekerjaan yang sangat dibutuhkan di daerah-daerah yang kurang terjamah pembangunan di nusantara. Setidaknya tiga juta petani kecil independen membudidayakan sawit, mencakup sekitar 40% dari total wilayah yang ditanami dan sering menghasilkan pemasukan yang jauh lebih tinggi daripada petani kecil atau produsen tanaman panen lainnya. Penanaman modal swasta di sawit pada umumnya membawa peningkatan infrastruktur publik, jaringan pasar, serta layanan-layanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan, di samping menciptakan peluang-peluang kerja dan merangsang kegiatan ekonomi lokal.

Dampak sosial dan lingkungan hidup sawit bisa besar. Meskipun menghasilkan manfaat-manfaat ekonomi, industri sawit Indonesia banyak mendapatkan kritik dari dalam dan luar negeri. Para pengkritik berargumen bahwa manfaat sawit dihasilkan dengan mengorbankan hutan dan masyarakat pedesaan yang bergantung pada hutan, menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK) yang besar dari perubahan lahan dan merusak habitat yang kaya keanekaragaman hayati. Dalam beberapa kasus, masyarakat pedesaan dirugikan oleh pembangunan, kehilangan akses lahan dan sumber penghidupan tanpa memperoleh kompensasi atau bantuan hukum yang secukupnya. Kelompok-kelompok etnis asli bisa lebih rentan lagi sebab mereka lebih banyak bergantung pada ekosistem-ekosistem alami dan tidak berpengalaman dalam transaksi-transaksi bisnis yang rumit atau berkebun sawit. Para pengkritik juga mencatat bahwa dalam banyak kasus, masyarakat setempat tidak dimintai konsultasinya dengan mencukupi sebelum izin sawit terbit, yang melemahkan posisi mereka ketika menegosiasikan kompensasi lahan dan perjanjian-perjanjian usaha dengan perusahaan.

Sektor sawit merupakan bagian tak terpisahkan dari komitmen-komitmen pembangunan hijau Indonesia. Sejak tahun 1999, lebih dari 8% hutan Indonesia, termasuk hutan tropis yang kaya keanekaragaman hayati dan rawa gambut yang padat karbon, telah dimasukkan dalam zona yang akan dikonversi menjadi lahan pertanian. Sekitar 80% emisi GRK Indonesia berasal dari pemanfaatan lahan dan perubahan tutupan lahan, yang sebagian didorong oleh perluasan sawit. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menjanjikan target ganda yaitu untuk mengurangi emisi GRK nasional sebesar 26% pada tahun 2020 dengan mempertahankan pertumbuhan PDB tahunan sebesar 7% (Visi 7-26). Untuk merealisasikan visi ini, konversi hutan dan lahan gambut menjadi perkebunan dan pemanfaatan lainnya harus dikurangi.

1.2 Tata kelola sawit di Indonesia

Pengambilan keputusan di sektor sawit bersifat kompleks. Pertumbuhan dan pengelolaan perkebunan sawit di Indonesia dipandu oleh suatu sistem tata kelola yang berlapis dengan banyak pelaku (Gambar 1). Ada kerangka hukum yang rumit yang didefinisikan oleh Undang Undang, peraturan dan keputusan menteri yang beroperasi pada berbagai skala ruang dan diterbitkan oleh berbagai tingkat pemerintahan dan kementerian. Pemerintah, dunia usaha dan pelaku di masyarakat sering memiliki kebebasan yang cukup besar dalam mendesain dan mengelola proses pengambilan keputusan dan mengambil keputusan dalam kerangka ini. Suatu sistem perencanaan pembangunan yang didesentralisasi dan tidak terkoordinasi yang mencerminkan berbagai visi dan target ekspansi sektoral semakin memperumit upaya-upaya untuk memandu proses pembangunan tersebut dalam batas-batas kerangka tata kelola ini.

Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan berkelanjutan

KONTEKS13

Sebagai bagian dari tata kelola Indonesia yang didesentralisasi, kewenangan besar diberikan kepada badan dan pejabat pemerintah daerah. Tata kelola sawit diimplementasikan dalam konteks sistem pemerintahan demokratis Indonesia yang didesentralisasi, yang melimpahkan banyak kewenangan pembuatan keputusan dan pengaturan kepada pemerintah-pemerintah kabupaten dan pimpinan daerah yang dipilih rakyat. Pejabat-pejabat ini memiliki pengetahuan luas mengenai kondisi-kondisi setempat, sehingga muncul peluang-peluang untuk menyeuaikan pembangunan dengan kondisi tersebut, namun proses-proses pengambilan keputusan mereka sering terhambat oleh kapasitas teknis dan sumber daya keuangan yang tidak memadai serta juga ketidakjelasan hukum dan mandat-mandat yang saling bertentangan untuk membangun dan melindungi kawasan mereka.

Kerangka hukum yang ada bersifat komprehensif tetapi tidak selalu konsisten (untuk ikhtisar lihat Lampiran 1). Elemen-elemen kerangka hukum yang penting yang mempengaruhi hasil pengembangan sawit mencakup:• Ketetapan Undang-Undang Dasar yang memberikan penguasaan atas tanah dan sumber daya alam

kepada negara; • Undang-undang desentralisasi yang melimpahkan wewenang atas berbagai fungsi layanan kepada

berbagai tingkat pemerintah dan memberikan wewenang kepemimpinan terbesar atas pemberian izin perkebunan dan pabrik, pengawasan, evaluasi kinerja serta penegakan hukum kepada kabupaten;

• Undang-undang perencanaan tata ruang yang menetapkan persyaratan dan prosedur untuk mengalokasikan (pembuatan zona) lahan untuk berbagai pemanfaatan pada tingkat nasional, provinsi dan kabupaten;

• Undang-undang terkait tanah yang menetapkan ketentuan-ketentuan di mana individu, masyarakat, dan perusahaan diberi kepemilikan atau hak guna usaha lahan;1

• Undang-undang Kehutanan serta aturan-aturan pelaksanaannya yang memberikan wewenang dan panduan untuk delineasi Kawasan Hutan Nasional, menetapkan kategori penggunaan hutan dan wewenang pengelolaan, dan prosedur untuk pelepasan lahan di Kawasan Hutan menjadi pemanfaatan non-hutan;

• Undang-undang Perkebunan serta aturan-aturan pelaksanaannya yang menjabarkan persyaratan khusus untuk perizinan, pengelolaan dan kinerja perkebunan sawit, termasuk pembangunan masyarakat dan pengelolaan lingkungan hidup; dan

• Undang-undang dan aturan-aturan pengelolaan lingkungan hidup yang menetapkan persyaratan untuk penilaian lingkungan hidup untuk perkebunan dan pabrik, termasuk perancangan, implementasi, pengawasan dan pelaporan langkah-langkah mitigasi dampak buruk.

KEPUTUSAN, KEPUTUSAN

Dalam kajian ini, kata ‘keputusan’ digunakan dalam arti luas, termasuk keputusan atas:•KetentuankebijakantingkattinggiyangditetapkandalamUUdanPeraturanNasional;•Tindakan-tindakanyangdiambilditingkatkabupatengunamenegakkanaturandanundang-undangmelaluiproses-prosesdanprosedur-prosedurdibawahwewenangmereka;

•Keputusan-keputusanyangdibuatperusahaansawitterkaitdengankebijakanperusahaanataupengembanganmasing-masingperkebunan;

•Keputusan-keputusanyangdiambilmasyarakatyangdihadapkanpadapilihanuntukmenerimaataumenolakpengembangansawitdan,bilamenerima,dengansyaratdanketentuanyangsepertiapa.

Sebagiankeputusandibuatbersama-samamelaluikesepakatanantarapemerintahdaerahdanperusahaanatauantaramasyarakatdanperusahaan.Dalambeberapakasus,pelakuberwenanguntukmembuatkeputusantertentumemilihuntuktidakmembuatnya,memberikanwewenangkepadapihakdibawahmereka,ataumembiarkanyangterjadimengalirsecaraad hoc saja.

Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan berkelanjutan 14KONTEKS

Banyak pelaku berpartisipasi dalam pengambilan keputusan soal sawit pada tingkat lokal, provinsi maupun nasional. Para pelaku ini dapat digolongkan menjadi yang berfungsi sebagai Pelaku Primer dan Sekunder mencakup:

• Pejabat pemerintah pusat dan anggota DPR yang menetapkan kebijakan nasional, mengembangkan undang-undang dan peraturan, memformulasikan rencana-rencana pembangunan, mengawasi proses-proses pembuatan perundangan, menetapkan kerangka fiskal, dan menyetujui rencana-rencana tata ruang;

• Pejabat-pejabat kabupaten dan provinsi yang memformulasikan rencana-rencana tata ruang dan strategi-strategi pembangunan serta mengimplementasikan perizinan dan pengawasan perkebunan, baik dari sisi kepatuhan hukum maupun kinerja;

• Anggota DPRD tingkat kabupaten dan provinsi yang memformulasikan peraturan-peraturan lokal untuk melengkapi undang-undang dan peraturan nasional di tingkat daerah;

• Perusahaan-perusahaan swasta2 yang mempengaruhi lokasi, skala dan ketentuan-ketentuan investasi sawit dan, sejak tahun 2004, memimpin negosiasi dengan masyarakat mengenai pembebasan lahan untuk dikembangkan, ketentuan-ketentuan perjanjian kemitraan dengan petani kecil dan skala investasi pembangunan masyarakat; dan

• Masyarakat-masyarakat setempat yang menurut undang-undang dapat menerima atau menolak pengembangan sawit di lahan yang mereka klaim dan menegosiasikan ketentuan-ketentuan kemitraan dengan perusahaan.

Berbagai Pelaku Sekunder berinteraksi dengan Pelaku Primer untuk mempengaruhi keputusan yang mereka ambil. Pelaku sekunder ini di antaranya mencakup bank, kelompok-kelompok penelitian, organisasi-organisasi standar, media, konsumen internasional, dan LSM, dan masyarakat sipil.

HutanhujandataranrendahdiKalimantan.FotoolehGaryPaoli.

SatukeputusanpentingMahkamahKonstitusimengenaihak-hakadatatashutan(MK35/2013)belumlamainimemodifikasiketetapanKonstitusionalmengenaipenguasaantanaholehNegaradenganmemberipengakuanhukumkepadahak-haktanahmasyarakatsetempatyangdapatmembuktikanhak-hakadatataswilayahhutanyangkonsistendengandefinisihukumuntuk“hutanadat”.

Istilahperkebunandanperusahaandigunakanbergantiandenganmaknayangsamadalamlaporanini.

1

2

Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan berkelanjutan

KONTEKS15

Visi dan target pengembangan sawit sangat bervariasi dan sering tidak konsisten. Para pelaku memiliki berbagai perspektif mengenai ekspansi sektoral, mencerminkan tanggung jawab kelembagaan dan aspirasi pemerintah, dunia usaha, dan kelompok-kelompok masyarakat sipil yang mereka wakili. Sebagai contoh, pelaku pemerintah umumnya mendukung visi memperluas sektor sawit sesuai dengan niat melipatgandakan produksi di tahun 2020, namun mereka menyatakan target-target pertumbuhan yang berbeda-beda, baik sebagai perluasan perkebunan atau hasil produksi serta dalam penekanan pada pengamanan sosial dan lingkungan hidup. Target-target produksi yang terlalu ambisius dan ketidakselarasan antara provinsi dengan kabupaten-kabupaten di bawahnya dalam memperluas sektor ini semakin mengganggu upaya-upaya untuk mengoptimalkan hasil melalui perencanaan yang cermat.

GAmBAR 1. Gambaran skematis kerangka hukum yang mengatur pengembangan sawit di Indonesia. Peran pelaku-pelaku Pemerintah Pusat dan Pemda untuk memberlakukan dan menegakkan UU dan peraturan Nasional dan Daerah diperlihatkan dengan tujuh fitur utama seperti digambarkan di atas. Ukuran lingkaran terkait derajat pentingnya setiap pelaku di setiap tahap secara relatif; warna oranye mengindikasikan serangkaian UU atau peraturan terkait topik yang dicatat; kotak hijau tua mewakili agregat keseluruhan kerangka kerja tersebut.

Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan berkelanjutan 16KONTEKS

1.3 Tujuan dan latar belakang pemikiran

Tujuan analisis yang dirangkum dalam laporan ini adalah untuk menggambarkan proses-proses pengambilan keputusan di sektor sawit dalam bahasa yang dapat dipahami berbagai pihak, mencakup pejabat pemerin-tah, sektor swasta, masyarakat sipil, konsumen internasional, peneliti, donor dan lembaga-lembaga pemban-gunan. Satu tantangan yang diakui ada dalam upaya untuk memperbaiki pengambilan keputusan di sektor ini adalah kompleksitasnya proses-proses keputusan serta interaksi di antaranya yang, pada akhirnya, menentu-kan hasil-hasil pengembangan sawit. Laporan ini bertujuan untuk:

• Membuat proses-proses pengambilan keputusan di sektor sawit lebih mudah dipahami berbagai pihak, dengan menata kompleksitas tersebut, dan dengan demikian menyediakan satu basis yang lebih lengkap untuk melakukan dialog kebijakan berdasarkan informasi dan mengikuti wacana di tingkat nasional dan internasional.

• Menyediakanperspektifyangberimbanguntukmembantumenjembatanipendukungdanpenentang sawit dengan menawarkan diagnosa akan penyebab-penyebab utama hasil-hasil yang dianggap tidak masuk akal oleh sebagian pengamat, berusaha menghindari komentar-komentar yang terlalu bersifat umum dan subyektif, dan menunjukkan wilayah-wilayah kolaborasi yang dapat memperoleh dukungan dari pihak pendukung maupun penentang sawit.

• Menggarisbawahipeluanguntukmemperbaikikerangkahukumdanproses-prosespengambilan keputusan serta menunjukkan bagaimana hal ini dapat mempercepat perbaikan praktik-praktik industri sawit di seluruh rantai pasokan.

Dalam mengejar tujuan-tujuan ini, kajian ini menata banyak keputusan yang dibuat berbagai pelaku di proses-proses pengembangan sawit, menjelaskan bagaimana keputusan mempengaruhi hasil, dan memberi rekomendasi cara-cara untuk meningkatkan hasil dari masing-masing keputusan atau keseluruhan proses pengambilan keputusan. Informasi ini dapat membantu dialog kebijakan yang tengah berlangsung dengan mengarahkan perhatian kepada cara-cara konkret untuk meningkatkan keputusan, dan memberi pemahaman yang lebih baik kepada para pelaku mengenai peran mereka dan bagaimana mereka dapat bekerja sama dengan lebih efektif dengan pelaku-pelaku lain guna mencapai suatu hasil tertentu.

Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan berkelanjutan

KONTEKS17

PENDEKATANPENELITIAN

2

2.1 mengidentifikasi titik-titik keputusan utama dan pelaku-pelaku yang terlibat

Laporan ini berfokus pada proses-proses pengambilan keputusan utama yang mempengaruhi hasil-hasil sosial dan lingkungan hidup dari pengembangan sawit. Kami menggambarkan proses, peran pengambil keputusan dan pelaku lain, kerangka hukum dan pengaturan di mana mereka beroperasi dan faktor-faktor yang berdampak pada bagaimana keputusan itu dibuat. Laporan ini mengisolasikan titik-titik keputusan dalam suatu matriks proses yang saling terkait dan pelaku yang menentukan: (a) di mana izin untuk sawit diterbitkan; (b) bagaimana praktik-praktik pengelolaan pabrik perkebunan menentukan dampak lingkungan dari operasinya; dan (c) bagaimana kemitraan antara perusahaan dan masyarakat terbentuk dan berjalan. Pendekatan ini mengisolasikan titik-titik keputusan tertentu tetapi mendorong pembaca untuk mengingat bahwa untuk memahami bagaimana suatu keputusan diambil dan hasil-hasil yang muncul membutuhkan pertimbangan yang lebih terperinci menyangkut jaringan pelaku selengkapnya, keputusan-keputusan yang terkait dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Juga diakui bahwa di beberapa daerah di Indonesia, pengambilan keputusan secara optimal di sektor sawit dirongrong oleh perilaku mencari rente dalam keputusan-keputusan tata ruang dan perizinan. Laporan ini tidak menanggapi hambatan-hambatan ini secara langsung, namun berfokus pada upaya memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai proses-proses pengambilan keputusan sebagai langkah awal untuk

Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan berkelanjutan 18PENDEKATAN PENElITIAN

Kelapasawitadalahtanamanbibitminyakyangpalingproduktifdidunia.FotoolehRahayuHarjanthi.

2.2 menggambarkan hasil-hasil keputusan yang diharapkan

Penelitian ini memperlihatkan bagaimana keputusan berpotensi untuk berkontribusi atau merusak lima jenis hasil pembangunan dari sawit yang pada umumnya digarisbawahi di dokumen-dokumen perencanaan pemerintah dan bahan-bahan industri lainnya:• Manfaat Ekonomi Setempat (Kabupaten) – Manfaat positif pembangunan setempat mencakup

penciptaan lapangan kerja dan kemakmuran, penguatan pasar-pasar lokal, perbaikan infrastruktur dan penyediaan layanan-layanan kemanusiaan mendasar.

• Manfaat-manfaatbagiMasyarakat– Manfaat bagi masyarakat dari sawit mencapai titik tertinggi ketika petani sawit dan anggota masyarakat mendapatkan bagian manfaat finansial yang adil melalui konsultasi yang efektif, perjanjian yang terstruktur baik, penguatan lembaga-lembaga lokal serta pembangunan kapasitas yang sesungguhnya untuk koperasi dan usaha-usaha masyarakat setempat.

• TataKelolaSawitKabupaten– Beberapa keputusan pembuatan peraturan dan penegakkannya tidak hanya berkontribusi pada membaiknya tata kelola di sektor ini namun juga menjadi katalis perubahan positif lainnya, seperti peningkatan kualitas dan transparansi layanan pemerintah dan pengelolaan sumber daya alam yang lebih luas.

• Dampak-dampakpadaLingkunganHidup– Pengurangan dampak sawit pada keanekaragaman hayati dan layanan-layanan lingkungan hidup dapat dicapai melalui perbaikan perencanaan tata ruang, keputusan-keputusan perizinan yang berdasarkan informasi yang memadai, dan desain perkebunan yang berorientasi konservasi. Pengurangan dampak pada mutu air dan udara dapat dicapai lewat perbaikan desain dan operasi pabrik serta infrastruktur pendukungnya.

• EmisiKarbondariPengembanganSawit– Emisi dari hutan dan lahan gambut selama daur hidup produksi sawit dapat dikurangi dengan cara memberi perhatian secara eksplisit kepada potensi emisi dalam perencanaan tata ruang, keputusan perizinan, analisis mengenai dampak lingkungan hidup serta desain dan pengelolaan perkebunan dan pabrik. Hasil-hasil ini difasilitasi oleh peningkatan informasi tata ruang, kapasitas analitis, transparansi pengambilan keputusan, desain dan operasi perkebunan dan pabrik yang dilakukan dengan hati-hati serta langkah-langkah inovatif (termasuk alat-alat hukum) untuk merawat hutan-hutan dalam kawasan-kawasan yang termasuk zona untuk pertanian, di mana dapat dilakukan.

Evaluasi hasil-hasil yang muncul dari keputusan-keputusan dalam penelitian ini bersifat kualitatif. Dalam studi di masa depan, pendekatan kuantitatif untuk menggambarkan dan membandingkan hasil-hasil dapat dilakukan dengan cukup mudah untuk beberapa parameter (misalnya emisi GRK yang berasal dari pengembangan gambut dangkal yang dalamnya kurang dari 3 meter, atau dihindari oleh perkebunan yang menerapkan praktik-praktik pengelolaan tanpa limbah). Parameter-parameter lain belum dapat dengan mudah diteliti secara kuantitatif saat ini karena kelemahan data atau sangat beragamnya keadaan di seluruh negeri dan di antara perkebunan.

mengidentifikasi di mana keputusan-keputusan yang rasional di masa depan dihalangi oleh perilaku mencari rente dan bagaimana mengatasinya. Ada banyak upaya yang sedang dilakukan untuk menghadapi masalah-masalah ini di tingkat nasional melalui berbagai inisiatif-insiatif pemerintah dan non-pemerintah, dan temuan-temuan kajian ini dimaksudkan untuk mendukung upaya-upaya tersebut.

Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan berkelanjutan

PENDEKATAN PENElITIAN19

Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan berkelanjutan 20

2.3 mengembangkan rekomendasi-rekomendasi untuk mendukung tujuan-tujuan Pertumbuhan Ekonomi Hijau

Berdasarkan tinjauan atas keputusan-keputusan dan hasil-hasil yang dipengaruhinya, laporan ini memberikan rekomendasi-rekomendasi untuk memperkuat manfaat pembangunan sawit. Kami menekankan bahwa, di dunia nyata, sangatlah sulit menilai hasil-hasil dan timbal-balik di antaranya. Meski demikian, pengalaman sampai saat ini memperlihatkan bahwa hasil-hasil yang lebih mendukung komitmen Indonesia akan Pertumbuhan Ekonomi Hijau dan pembangunan pedesaan dapat segera dicapai dengan meningkatkan proses-proses pengambilan keputusan melalui (a) memperkuat prosedur-prosedur yang diimplementasikan dengan tegas, (b) partisipasi yang lebih inklusif, (c) meningkatkan pengawasan lokal dan nasional, dan (d) akses informasi dan analisis yang lebih baik untuk menjadi landasan informasi keputusan-keputusan. Peningkatan signifikan dapat dicapai dalam kerangka hukum yang ada saat ini untuk membuat perbaikan bertahap di jangka pendek. Penyesuaian-penyesuaian yang lebih mendasar dalam kebijakan, khususnya rencana tata ruang dan batas-batas Kawasan Hutan, akan sangat memperbaiki hasil-hasil di masa depan, namun menuntut adanya upaya-upaya yang terfokus dan terkoordinasi selama jangka waktu yang lebih panjang.

Karena keadaan di seluruh Indonesia dan di antara perkebunan sangat beragam, banyak rekomendasi kami yang seyogyanya dilihat sebagai hipotesa sementara yang perlu diselidiki lebih jauh melalui dialog kebijakan, atau penelitian dan program-program uji coba yang disesuaikan dengan kondisi lokal. Sebagian dari rekomendasi kami cukup spesifik mengenai masalah-masalah utama yang hendaknya ditangani, namun bahkan di sini, laporan ini mengakui bahwa pemahaman dapat selalu ditingkatkan melalui evaluasi kritis dan masukan dari pihak-pihak lain. Harapan kami adalah bahwa laporan ini akan menstimulasi penelitian dan pengujian rekomendasi-rekomendasi kami selama beberapa tahun ke depan oleh para pemangku kepentingan yang tertarik dengan sektor ini.

Sasaran laporan sepenuhnya adalah pihak-pihak yang mencari pemahaman yang lebih menyeluruh mengenai masalah-masalah yang disajikan di rangkuman ini. Laporan tersebut menggambarkan pengambilan keputusan dan hasil-hasilnya terkait (a) di mana sawit ditanam, (b) bagaimana perkebunan dan pabrik dikembangkan dan dikelola, dan (c) bagaimana perusahaan dan masyarakat membentuk persetujuan-persetujuan kemitraan yang menentukan dampak sosial dan pembangunan akibat perkebunan (Gambar 2). Di mana sawit ditanam merupakan hasil dari dua proses pengambilan keputusan yang berbeda: yang pertama menentukan di mana izin diterbitkan dan yang kedua di mana perkebunan dikembangkan di lapangan dalam kawasan-kawasan yang sudah memiliki izin untuk pemanfaatan (Gambar 3, di bawah). Laporan sepenuhnya menjawab pertanyaan ini dalam dua bab, yang pertama berjudul “Di Mana Izin Sawit Diterbitkan” dan yang kedua “Bagaimana Perkebunan dan Pabrik Dikembangkan dan Dikelola”, yang juga menggambarkan hasil-hasil yang timbul akibat keputusan-keputusan mengenai bagaimana perkebunan dan pabrik dikelola setelah mulai beroperasi. Dalam bab selanjutnya, penelitian ini menggambarkan dan menganalisis proses-proses keputusan yang mendasari bagaimana perusahaan dan masyarakat membentuk

2.4 Ikhtisar laporan Sepenuhnya

PENDEKATAN PENElITIAN

GAmBAR 2. Wilayah tematik dan pertanyaan yang dijajaki di laporan sepenuhnya. Proses-proses pengambilan keputusan yang menentukan di mana izin perkebunan diberikan dan bagaimana perkebunan dan pabrik dikembangkan dan dikelola menentukan manfaat dan dampak pada lingkungan hidup. Pengambilan keputusan tentang di mana perkebunan dikembangkan dan bagaimana masyarakat setempat diajak berkonsultasi oleh perusahaan dalam prosesnya untuk membentuk dan mengimplementasikan kesepakatan kemitraan menentukan manfaat pembangunan setempat dan dampak sosial pada masyarakat.

Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan berkelanjutan

PENDEKATAN PENElITIAN21

dan mengimplementasikan persetujuan-persetujuan kemitraan yang mencakup perkebunan-perkebunan petani kecil dan program-program pembangunan masyarakat yang lebih luas yang dilakukan perusahaan. Bab penutup dalam laporan sepenuhnya memberikan rekomendasi-rekomendasi terstruktur mengenai bagaimana memperbaiki hasil-hasil pembangunan melalui perubahan-perubahan bertahap dalam kerangka pengambilan keputusan yang ada, atau melalui penyesuaian-penyesuaian yang lebih signifikan dengan membangun di atas rekomendasi-rekomendasi dalam rangkuman ini.

RANgKumANTEmUAN

3

Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan berkelanjutan 22RANgKumAN TEmuAN

Tiga bagian berikut menggambarkan titik-titik keputusan penting dan proses-proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi hasil-hasil pembangunan sawit: • Keputusan-keputusanyangmenentukandimanaizinsawitditerbitkan.• Keputusan-keputusan yang mempengaruhi dampak lingkungan perkebunan dan pabrik.• Keputusan-keputusan yang menentukan hubungan antara perusahaan dengan masyarakat terkait dengan

sawit.

Di dalam setiap bagian ini kami mengidentifikasi titik-titik keputusan, pelaku-pelaku yang terlibat, alternatif keputusan yang mereka hadapi, faktor-faktor yang mempengaruhi bagaimana keputusan diambil, dan hasil-hasil yang muncul. Bagian selanjutnya menggambarkan beberapa masalah yang beririsan yang mempengaruhi pengembangan dan implementasi kerangka yang berdampak pada keputusan-keputusan di sektor sawit.

Pohonkelapasawitmudadiperkebunanyangsudahmapan.FotoolehR.Harjanthi.

3.1 Keputusan-keputusan yang menentukan di mana izin sawit diterbitkan

Bagian ini mengeksplorasi proses-proses keputusan yang menentukan di mana izin sawit diterbitkan, mencakup: bagaimana keputusan tersebut dipengaruhi kerangka hukum dan peraturan saat ini; hasil-hasil dari keputusan perizinan; dan observsi-observasi mengenai bagaimana mendukung, memperkuat dan, di mana perlu, memodifikasi kerangka tersebut untuk mendukung hasil-hasil yang lebih konsisten dengan tujuan-tujuan Pertumbuhan Ekonomi Hijau Indonesia di sektor ini (perinciannya ada di laporan sepenuhnya).3 Terkait dengan di mana izin diberikan, ada banyak peluang untuk bekerja dalam kerangka-kerangka hukum dan peraturan yang ada untuk memperbaiki perencanaan dan pengambilan keputusan, tetapi untuk beberapa masalah, mungkin akan dibutuhkan revisi kerangka kebijakan untuk sepenuhnya mencapai visi Indonesia untuk sawit sebagai suatu sektor ekonomi yang memiliki manfaat tinggi dan dampak rendah.

Keputusan-keputusan yang mempengaruhi di mana sawit diberi izin dan pada akhirnya ditanam diambil di tiga skala ruang (Gambar 3):Skala makro – Keputusan-keputusan Rencana Tata Ruang menentukan batas-batas Kawasan Hutan nasional dan tanah yang tersedia untuk pertanian di dalamnya (Hutan Produksi Konversi, atau HPK ) serta di luarnya (Kawasan Budidaya Non-Kehutanan, atau KBNK). Pemerintah dapat menerbitkan izin sawit pada lahan-lahan yang termasuk zona KBNK atau HPK, sementara pengembangannya bergantung pada hasil-hasil penilaian dampak yang dilakukan di skala yang lebih lokal.Skala Meso – Keputusan-keputusan Perizinan Sawit menentukan kawasan-kawasan dalam zona-zona KBNK dan HPK di mana pengembangan perkebunan skala besar akan diberi izin dan pengembangannya disetujui. Penerbitan izin dan kemudian keputusan penyaringan yang dibuat pada “skala meso” ini mengikuti suatu proses penilaian yang dimandatkan hukum untuk mengidentifikasi (a) kawasan-kawasan lingkungan hidup yang peka berdasarkan kondisi bio-fisiknya (misalnya gambut dengan tebal lebih dari 3 meter) atau (b) faktor-faktor sosial yang menghambat pembangunan (misalnya, lahan adat yang dikelola masyarakat yang menentang pengembangan sawit). Langkah-langkah pada skala meso untuk mendasari keputusan-keputusan perizinan dapat mencakup keputusan pemerintah daerah mengenai daerah-daerah yang diprioritaskan untuk produksi dan daerah yang dilindungi (misalnya mendukung pengembangan lahan hutan gundul non-gambut), atau keputusan perusahaan untuk membantu memenuhi persyaratan standar Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) atau sistem sertifikasi sukarela seperti RSPO.Skala Mikro – Keputusan-keputusan Perencanaan Perkebunan yang dibuat perusahaan, sering dengan berkoordinasi dengan masyarakat setempat, menentukan batas-batas di dalam izin perkebunan mereka yang tidak boleh dikembangkan karena larangan hukum (misalnya, daerah penyangga tepi suungai, gambut yang dalamnya lebih dari 3 meter atau lereng yang terjal), keinginan anggota masyarakat setempat (misalnya lahan yang oleh masyarakat setempat direncanakan untuk kegunaan non-sawit) atau standar-standar sertifikasi sukarela (misalnya, daerah-daerah yang dalam RSPO digolongkan sebagai daerah Bernilai Konservasi Tinggi).

Laporan ini meneliti bagaimana penetapan letak untuk perkebunan skala besar milik swasta atau negara, dan tidak mempertimbangkan keputusan-keputusanyangmenentukandimanadikembangkankebun-kebunindependenmilikpetanikecil.Kebunpetanikecilperludiinvestigasidalampenelitianyangterpisah,termasukvariasigeografisdalamnorma-normapengambilankeputusanpetanikecil.

3

Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan berkelanjutan

RANgKumAN TEmuAN23

Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan berkelanjutan 24RANgKumAN TEmuAN

Proses perencanaan tata ruang di tingkat nasional menentukan batas-batas lahan yang termasuk sebagai hutan permanen (Kawasan Hutan) versus lahan untuk pemanfaatan pertanian, termasuk sawit (Gambar 4; Tabel 1) Perencanaan tata ruang diikuti oleh pengambilan keputusan oleh pemerintah daerah dan perusahaan di dalam kawasan yang termasuk dalam zona untuk pertanian untuk (a) menawarkan atau meminta pengajuan izin, (b) mengevaluasi kelayakannya berdasarkan ekosistem yang peka (misalnya gambut dalam, dataran aliran sungai yang luas) atau faktor-faktor lain yang tidak dapat dikembangkan menurut peraturan nasional maupun daerah (misalnya Kawasan Moratorium4 atau wilayah yang pengembangannya ditentang masyarakat), dan (c) menyetujui izin-izin pengembangan (Gambar 4). Analisis yang menjadi dasar keputusan-keputusan persetujuan pada skala ini biasanya dipimpin oleh pemerintah kabupaten dengan berpusat pada penilaian-penilaian dampak lingkungan yang dimandatkan oleh pemerintah serta prosedur-prosedur perizinan terkait (Gambar 5). Pengambilan keputusan sebelum perizinan semacam ini mensyaratkan agar pemerintah daerah berkonsultasi dengan masyarakat setempat bahkan sebelum Izin Lokasi (Gambar 5) diterbitkan, namun kepatuhan pada persyaratan ini bervariasi. Kualitas konsultasi sebelum pemberian izin tersebut menjadi pondasi bagi hubungan perusahaan-masyarakat di masa depan (yang dibahas lebih lanjut di Bagian 3.3), khususnya kesiapan masyarakat dan sikap terhadap sawit ketika perusahaan mengusahakan persetujuan pembebasan lahan dari mereka. Inisiatif-inisiatif keberlanjutan nasional seperti ISPO berpotensi untuk memperkuat pengambilan keputusan pada skala meso dengan cara mempengaruhi keputusan-keputusan perusahaan mengenai apakah akan mencari izin-izin berisiko tinggi sejak awal menimbang kesulitan-kesulitan di masa depan yang akan muncul untuk memenuhi persyaratan hukum yang dirumuskan di bawah ISPO.

PadabulanMei2011PresidenSusiloBambangYudhoyonomengumumkanmoratoriumsementaraataspenerbitanizinpenebanganhutandanperkebunanbaruyangmencakupwilayahseluas65jutaha,yangmemberikanperlindungansementarakepadahutan-hutanprimerdanlahan-lahangambut.KeputusanPresidenyangpertamaberakhirdiawaltahun2013namundiperbaruiuntukduatahunlagisebagaibagiandariupayaluasuntukmendukungreformasitatakeloladisektorkehutanandanpertanian.

4

PerkebunansawitdewasadiKalimantan.FotoolehBasvanBalen.

Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan berkelanjutan

RANgKumAN TEmuAN25

GAmBAR 3. Gambar skema proses keputusan pada 3 tingkat skala keruangan yang menentukan di mana sawit ditanam. Seperti dilukiskan lebih lengkap di Bagian 3.2, pengambilan keputusan skala-meso disusul dengan keputusan skala lebih halus (mikro) di dalam wilayah-wilayah yang diberi izin sawit, guna menghindari daerah yang tidak sesuai untuk penanaman berdasarkan berbagai kriteria.

Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan berkelanjutan 26RANgKumAN TEmuAN

GAmBAR 4. Gambar skematis keputusan-keputusan terkait (a) Proses perencanaan tata ruang Indonesia (b) Perizinan, dan (c) Pengembangan perkebunan sehubungan dengan keputusan-keputusan skala makro, meso, dan mikro di Gambar 3. Proses perencanaan tata ruang menentukan lahan yang secara hukum diizinkan untuk pertanian versus lahan yang harus dipertahankan sebagai Kawasan Hutan untuk dilindungi atau untuk kepentingan produksi seperti penebangan kayu. Nomor mengindikasikan langkah-langkah sesuai dengan UU dan peraturan pendukung di Tabel 1.

Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan berkelanjutan

RANgKumAN TEmuAN27

Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan berkelanjutan 28RANgKumAN TEmuAN

GAmBAR 5. Diagram aliran proses memperoleh izin-izin dan persetujuan utama untuk pengembangan sawit di Indonesia. Tertera di sini UU dan peraturan mendasar terkait setiap izin.

Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan berkelanjutan

RANgKumAN TEmuAN29Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan berkelanjutan

RANgKumAN TEmuAN29

3.2 Keputusan-keputusan yang mempengaruhi dampak lingkungan perkebunan dan pabrik sawit

Keputusan mengenai di mana perkebunan sawit diberikan izin menentukan besarnya potensi dampak negatif yang ditimbulkan dengan menentukan apakah hutan alam, kawasan berbukit atau lahan gambut berisiko untuk dikonversi. Namun setelah satu izin diterbitkan, berbagai keputusan lokal dibuat tentang bagaimana dan di mana perkebunan dikembangkan dan bagaimana pabrik akan dioperasikan. Keputusan-keputusan tersebut dapat mengurangi atau menambah dampak keputusan izin yang dibuat oleh pemerintah. Dengan demikian, perizinan menentukan lokasi tapak sawit, sedangkan keputusan-keputusan pengembangan menentukan ukuran dan bentuk tapak tersebut.

Perusahaan sawit adalah pelaku yang membuat keputusan-keputusan yang paling penting di tahap-tahap pengembangan pasca perizinan dengan menentukan di mana perkebunan dan pabrik akan dibangun serta bagaimana pengelolaannya. Perusahaan harus menimbang berbagai tujuan dalam merancang perkebunan di atas kawasan heterogen yang luas (antara 3.000-20.000 ha), sering dengan bekal data dan waktu yang tidak mencukupi untuk membuat keputusan berbasis informasi kuat. Sejauh mana persyaratan hukum memandu keputusan-keputusan perusahaan bergantung sama banyaknya pada kebijakan perusahaan terhadap kepatuhan seperti pada penegakan hukum oleh pemerintah dan persepsi risiko hukuman untuk pelanggaran. Mengurangi dampak lingkungan hidup perkebunan dan pabrik sawit perlahan tapi pasti menjadi arus utama komitmen kebijakan perusahaan sawit, mendorong investasi dalam langkah-langkah mitigasi dampak serta perlindungan hutan yang pro-aktif dan program-program konservasi. Perusahaan yang berkomitmen terhadap sertifikasi sukarela di bawah RPSO bisa jadi sangat progresif dalam hal ini, namun industri telah menunjukkan bahwa komitmen-komitmen semacam ini bukan merupakan prasyarat untuk melakukan aksi positif.

Selain perusahaan-perusahaan, berbagai pelaku pemerintah dan non-pemerintah juga memainkan peran penting dalam keputusan-keputusan pasca perizinan. Aktor-aktor Pemerintah Pusat menentukan (a) prosedur untuk menilai dan menghindari dampak lingkungan hidup (AMDAL), (b) persyaratan untuk menghindari daerah berlingkungan hidup peka seperti lereng curam dan gambut dalam, (c) standar-standar pengontrol polusi, dan (d) sistem-sistem pengawasan kinerja yang diwajibkan (misalnya ISPO). Pelaku-pelaku pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk (i) menyetujui laporan AMDAL; (ii) menegakkan persyaratan pengelolaan lingkungan hidup, pengawasan dan pelaporan; dan (iii) menetapkan hukuman, langkah koreksi yang harus dilakukan, atau bahkan memulai prosedur untuk mencabut izin ketika ada ketidakpatuhan yang berat. Meskipun pada prinsipnya pejabat setempat memiliki kewenangan luas untuk mengatur kinerja perusahaan, dalam praktiknya, lembaga-lembaga daerah harus melunakkan posisinya dalam hal peraturan untuk mempertahankan suasana yang ramah bagi dunia usaha karena kabupaten-kabupaten bersaing dengan satu sama lain untuk mendapatkan investasi sawit. Masyarakat setempat juga berperan penting dalam keputusan-keputusan pasca perizinan, dan dapat mengurangi atau menambah dampak-dampak pemberian izin melalui keputusan-keputusan mengenai lahan mana yang akan ditawarkan kepada perusahaan untuk ditanami dan apakah akan dan bagaimana menekan perusahaan untuk meningkatkan praktik-praktik yang berdampak pada penghidupan mereka (misalnya perlindungan erosi dan kualitas air).

Pengembangan Perkebunan: Perusahaan membuat banyak keputusan saat pengembangan perkebunan yang mempengaruhi hasil-hasil dari sisi lingkungan hidup (Gambar 6). Contoh-contoh yang menonjol termasuk: (1) bagaimana dan di mana membuat pembibitan, bangunan, jalan, jembatan dan infrastruktur lainnya; (ii) wilayah mana yang akan ditanami dan mana yang akan dipertahankan tutupan lahannya; (iii) bagaimana melakukan pembukaan lahan dan pembuangan sampahnya; dan (iv) apakah memanfaatkan

Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan berkelanjutan 30RANgKumAN TEmuAN

jasa kontraktor untuk membuka lahan dan bagaimana mengontrol pekerjaan mereka. Seperti disebutkan sebelumnya, perusahaan perkebunan wajib mengidentifikasi dan menghindari daerah-daerah lindung setempat yang peka lingkungan hidupnya (misalnya hutan penyangga tepi sungai dan lereng terjal dsb.) tapi dapat lebih jauh lagi mengurangi dampak negatif kumulatif di seluruh perkebunan melalui keputusan mengenai apakah akan ada wilayah untuk konservasi yang disisihkan dan dikelola secara proaktif di dalam perkebunan tersebut. Jika ada daerah yang ditentukan batasnya untuk konservasi, perusahaan harus memilih apakah akan mempertahankan wilayah tersebut dalam izin Hak Guna Usaha atau mengeluarkannya dari konsesi. Bila perusahaan mempertahankan kawasan tersebut, mereka bertanggung jawab untuk mengelola dan mempertahankan hutan di atasnya, selain harus membayar pajak tanah – langkah yang sering tidak didukung dan tidak populer dengan pemerintah daerah yang memprioritaskan pengembangan lahan yang termasuk zona pemanfaatan untuk pertanian. Jika wilayah itu dikeluarkan dari konsesi, maka perusahaan bisa melobi agar kawasan tersebut dilindungi melalui rencana tata ruang tingkat Kabupaten (RTRWK) sebagai Kawasan Lindung atau bekerja sama dengan masyarakat setempat untuk menjadikannya Hutan Desa. Pada akhirnya, ini tetap berarti pemerintah daerah berhak untuk menerbitkan izin lokasi lain atas lahan itu untuk perusahaan lain.

Manfaat-manfaat bagi perusahaan dari pembuatan keputusan yang cermat mengenai pengembangan perkebunan dapat mencakup berkurangnya konflik dengan masyarakat setempat yang mungkin mengalami dampak dari praktik-praktik buruk, berkurangnya risiko hukuman dari pemerintah terkait ketidakpatuhan serta akses pasar yang lebih baik melalui sertifikasi ISPO atau RSPO. Namun demikian, keberhasilan tidak otomatis terjamin. Kebanyakan perusahaan memanfaatkan kontraktor untuk menyiapkan lahan untuk ditanami, dan pengalaman, profesionalisme serta pemahaman kontraktor akan persyaratan hukum sangat bervariasi. Ketentuan kontrak terkadang, tanpa disengaja, memberikan insentif kepada kontraktor untuk membuka lahan seluas mungkin, termasuk wilayah yang secara lingkungan peka. Hal semacam ini hendaknya dihindari. Wilayah yang disisihkan untuk konservasi juga berisiko mengalami tekanan-tekanan penyerobotan lahan atau kegiatan perburuan. Karena itu, agar berhasil, perusahaan harus menjadikan pengelolaan lingkungan hidup bagian utama dari perencanaan dan sistem operasional, dan ini akan menimbulkan biaya dan kerepotan yang cukup besar.

Pengelolaan Perkebunan: Ketika perkebunan sudah berdiri, perusahaan membuat keputusan-keputusan pengelolaan yang tidak hanya mempengaruhi hasil-hasil agronomisnya namun juga dampak lingkungan kegiatan operasional. Keputusan-keputusan ini mencakup: (a) bagaimana hutan penyangga tepi sungai dikelola; (b) apakah tanaman penutup ditanam untuk mengurangi erosi tanah; (c) apakah digunakan pupuk organik untuk mengurangi masukan kimia; (d) bagaimana ketinggian air di lahan gambut dikelola untuk memperlambat penyusutan dan di rawa dan daerah aliran sungai dikelola untuk mengurangi terbawanya zat-zat kimia perkebunan tersebut dalam aliran air; dan apakah digunakan Praktik-Praktik Pengelolaan Terbaik (BMP) untuk meningkatkan hasil. Perlu dicatat bahwa dalam hubungannya dengan emisi GRK, undang-undang Indonesia mensyaratkan perkebunan di atas lahan gambut untuk mengurangi dampak hidrologis dan emisi GRK dengan mempertahankan ketinggian air pada 40-60 cm di bawah permukaan. Mempertahankan air di ketinggian seperti ini mahal biayanya bagi pekerja kebun, membutuhkan investasi untuk membangun sistem kanal yang kuat, dan, dalam beberapa kasus, juga akan berdampak di berkurangnya Tandan Buah Segar (FFB) akibat stres akar.

Hasil rata-rata minyak sawit mentah (CPO) di Indonesia telah stagnan sejak tahun 1970an di sekitar 3,8 ton per ha meskipun semakin banyak digunakan bahan-bahan penanaman yang lebih baik. Pada lokasi-lokasi yang baik, hasil CPO dapat ditingkatkan menjadi sedikitnya 5 ton/ha, atau meningkat sebesar 30-35% seperti didemonstrasikan di perkebunan komersil yang menggunakan Praktik Pengelolaan Terbaik (BMP) yang ada. BMP memberikan hasil pengembalian secara finansial yang besar dengan investasi yang relatif kecil. Jika semua kebun sawit yang ada dapat meningkatkan hasil CPOnya menjadi 5 ton/ha, Indonesia dapat

Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan berkelanjutan

RANgKumAN TEmuAN31Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan berkelanjutan

RANgKumAN TEmuAN31

GAmBAR 6. Pilihan lima keputusan utama yang dibuat perusahaan terkait perlakuan untuk Kawasan Lingkungan Hidup Peka dalam wilayah yang diberi izin untuk pengembangan perkebunan.

Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan berkelanjutan 32RANgKumAN TEmuAN

menghindari menanami sawit baru di lahan seluas 1,6 juta ha sampai tahun 2050 sambil tetap memenuhi pertumbuhan permintaan global yang diproyeksikan.

Pemrosesan tandan buah segar (FFB) sawit menghasilkan banyak hasil sampingan padat dan cair, termasuk tandan buah kosong (EFB), residu bahan buah, cangkang buah dan rembesan cair dari pabrik minyak sawit (POME). Di masa lalu, hasil sampingan ini dianggap sebagai limbah yang perlu dibuang dan membawa risiko polusi yang cukup besar. Akhir-akhir ini perusahaan perkebunan mulai menggunakan hasil sampingan untuk memroduksi pupuk-pupuk organik padat dan cair, yang ternyata dapat memperbaiki kondisi tanah, mengurangi penggunaan pupuk kimia, menciptakan lapangan kerja dan menghemat uang. Teknologi maju untuk pemrosesan buah tandan kosong (EFB) dan rembesan cair pabrik sawit (POME) bersama-sama (dibahas di bawah) menghasilkan pupuk-pupuk organik yang kaya nutrisi, menangkap biogas sebagai hasil sampingan, dan menghilangkan emisi GRK dari pengolahan limbah konvensional. Teknologi-teknologi semacam ini membutuhkan investasi modal yang signifikan namun juga membawa manfaat yang signifikan di perkebunan untuk mendorong hasil yang lebih tinggi dan memperbaiki tanah.

Operasi pabrik mencakup banyak keputusan perusahaan yang dibuat sepanjang masa hidup sebuah pabrik minyak sawit (POM) untuk mengelola produksi CPO sambil mengurangi dampak lingkungan yang negatif. Keputusan-keputusan utama termasuk: (a) apakah ada upaya untuk mengurangi volume POME dengan meningkatkan efisiensi penggunaan air; (b) apakah dipasang pembersih CO2 guna mengurangi emisi GRK di titik sumber dari mesin boiler pabrik; (c) apakah teknologi penangkapan metana atau teknik pengomposan bersama digunakan untuk mengurangi emisi GRK dari pengolahan POME; dan (d) apakah teknologi maju yang digambarkan di atas dipasang untuk menghancurkan hasil sampingan padat dan cair secara biologis. Keputusan-keputusan mengenai operasi pabrik bisa sangat berdampak pada kesejahteraan dan kesehatan masyarakat setempat, khususnya kualitas udara dan air, serta pada persepsi pemangku kepentingan internasional yang prihatin dengan emisi GRK. Teknologi-teknologi penangkap metana, khususnya bio-digester, dapat mengurangi emisi dari pabrik minyak sawit dan menciptakan sumber energi terbarukan yang handal; perluasan penggunaan teknologi-teknologi menjadi prioritas pemerintah. Pabrik juga bisa mengurangi tapak air mereka, yang semakin menjadi sumber kekhawatiran, dengan signifikan melalui langkah-langkah efisiensi air dan dengan demikian mengurangi kompetisi dengan pengguna air setempat dan mengurangi tekanan pada ekosistem-ekosistem air.

3.3 Keputusan-keputusan yang mempengaruhi hubungan perusahaan dengan masyarakat

Keputusan-keputusan terkait pendekatan komunikasi, bagaimana hubungan dibentuk, dan persetujuan antara perusahaan dengan masyarakat disusun, berdampak pada jumlah dan distribusi manfaat yang diperoleh masyarakat setempat (Gambar 7). Hal-hal tersebut juga menentukan nada berbagai interaksi antara perusahaan dengan masyarakat. Contoh-contoh keputusan utama yang dibuat pada saat-saat awal pembentukan hubungan perusahaan-masyarakat yang mempengaruhi hasil pembangunan mencakup: (a) ketentuan-ketentuan pembebasan lahan oleh masyarakat untuk pengembangan perkebunan, termasuk pembayaran kompensasi, rasio pembagian lahan dan kesepakatan-kesepakatan kemitraan; (b) keputusan mengenai bagaimana dan apa yang dikomunikasikan dengan masyarakat pada saat sosialisasi (peningkatan kesadaran masyarakat mengenai tujuan-tujuan pengembangan suatu perkebunan), negosiasi pembebasan lahan, serta implementasi kemitraan petani kecil; dan (c) keputusan-keputusan yang mempengaruhi bagaimana keputusan disusun dan ekspektasi dibentuk mengenai ukuran dan jadwal munculnya manfaat-manfaat dari keberadaan.

Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan berkelanjutan

RANgKumAN TEmuAN33Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan berkelanjutan

RANgKumAN TEmuAN33

GAmBAR 7. Gambaran skematis keempat tahapan di mana perusahaan perkebunan berhubungan dengan masyarakat dan membuat keputusan-keputusan yang mempengaruhi berbagai aspek hubungan antara perusahaan dengan masyarakat.

Keputusan-keputusan ini menentukan, antara lain: (a) lahan mana yang akan disediakan untuk perkebunan; (b) hubungan finansial dan pembagian manfaat antara perusahaan dan masyarakat, termasuk petani kecil dan anggota masyarakat lainnya; (c) pihak setempat yang mana yang menikmati manfaat dan yang menanggung beban pengembangan; dan (d) suasana sosial keseluruhan di mana perkebunan beroperasi selama daur hidupnya, termasuk risiko konflik sosial di masa depan.

Total manfaat sawit yang dinikmati masyarakat, terutama petani kecil, merupakan hasil kumulatif dari banyak interaksi antara perusahaan dan masyarakat yang terjadi selama bertahun-tahun. Keputusan-keputusan yang dibuat sepanjang proses ini banyak jumlahnya, sangat saling terkait, dan hasil-hasilnya bersifat kumulatif. Karakteristik semacam ini mengingatkan agar para pihak tidak membuat diagnosa luas mengenai hubungan perusahaan dengan masyarakat berdasarkan penelitian yang sempit dan berjangka pendek atau konsultasi terbatas.

Undang-undang dan peraturan yang ada yang mengatur hubungan antara perusahaan dan masyarakat dimaksudkan untuk menjamin bahwa masyarakat memperoleh manfaat dari pengembangan sawit, tetapi juga bisa: (a) menempatkan masyarakat dalam posisi kekuasaan yang lebih rendah; (b) menciptakan insentif terbatas bagi perusahaan untuk berinvestasi pada peningkatan hasil panen dan dengan demikian penghasilan bersih para petani kecil; dan (c) memberikan wewenang dengan kebebasan yang besar di tangan pihak berwenang setempat untuk mengawasi penerapan kesepakatan perusahaan dengan masyarakat tanpa membekali pejabat setempat dengan alat-alat dan dukungan yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas tersebut secara efektif. Para pelaku di pemerintah daerah dapat berpengaruh langsung pada keputusan-keputusan ini berdasarkan target mereka untuk menarik investasi dari luar dan persepsi sawit sebagai pendorong pembangunan daerah.

Pelatihanlapangangunameningkatkanpraktik-praktikpengelolaanperkebunanuntukmeningkatkanhasilpanen.FotoolehPiersGillespie

Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan berkelanjutan 34RANgKumAN TEmuAN

Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan berkelanjutan

RANgKumAN TEmuAN35Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan berkelanjutan

RANgKumAN TEmuAN35

3.4 Temuan-temuan yang beririsan

Selain temuan-temuan yang khusus terkait dengan keputusan-keputusan mengenai di mana izin sawit terbit, bagaimana pengelolaan dampak lingkungan perkebunan dan pabrik sawit, serta bagaimana hubungan perusahaan dengan masyarakat dibentuk, ada lima isu utama yang beririsan yang relevan untuk banyak wilayah-wilayah pengambilan keputusan yang digarisbawahi dalam penelitian ini. Menanggulangi tantangan-tantangan terkait isu-isu yang beririsan ini akan membantu secara langsung menyelaraskan perluasan sektoral di masa depan dengan tujuan-tujuan Pembangunan Ekonomi Hijau Indonesia. Laporan ini mengidentifikasi isu-isu yang beririsan berikut ini:

(a) Inisiatif Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) sangat berpotensi untuk meningkatkan keberlanjutan minyak sawit di Indonesia karena merupakan suatu sistem sertifikasi wajib untuk keseluruhan industri dan dapat diperkuat untuk mencakup syarat-syarat baru dengan berjalannya waktu. Ketika dimulai, ISPO memperkenalkan serangkaian persyaratan progresif seperti perlunya perusahaan menyediakan lebih banyak informasi mengenai bagaimana mereka berhubungan dan mendukung masyarakat, mengawasi dan melaporkan emisi-emisi yang dihasilkan operasi perkebunan dan pabrik-pabrik, dan membuat rencana pengurangan emisi termasuk penangkapan metana untuk pengolahan POME. Penerapan ISPO di seluruh sektor perkebunan Indonesia yang luas dan terpencar di berbagai daerah dan pulau merupakan tantangan sangat besar, baik secara logistik maupun praktis, dan akan memetik manfaat dari dukungan dan kemitraan nasional dan internasional untuk memperkuat sistem dan pengakuan terhadap standar ini untuk membantu para produsen memelihara akses ke pasar-pasar bernilai tinggi. Standar

SekalilagiperhatianperludiarahkanpadakeputusanMahkamahKonstitusimengenaipengakuanhak-hakhutanadat(MK35/2013)yangmenanganisebagiandariketimpangankekuasaanyangterkaitdenganstatushukumhak-hakmasyarakatataswilayah-wilayahhutan adat.

5

Pada umumnya hak-hak masyarakat atas tanah tidak diakui hukum, sehingga beban berada pada masyarakat untuk membuktikan hak mereka untuk menggunakan lahan dalam negosiasi.5 Masyarakat dan perusahaan sering memiliki pandangan yang berbeda mengenai sifat dan jangka waktu hak kepemilikan yang sedang dinegosiasikan serta apa yang dianggap sebagai kompensasi yang ‘adil’ bagi masyarakat yang melepaskan lahannya. Pengalaman dan kecakapan bernegosiasi para pemimpin formal dan tradisional di masyarakat merupakan penentu penting hasil-hasil negosiasi dengan perusahaan dan berimplikasi penting pada hasil-hasil keuangan petani kecil, seperti: (a) rasio lahan untuk perusahaan versus kebun petani kecil; (b) di mana lokasi petak-petak petani kecil dan kecepatan penanamannya; (c) perawatan jalan yang menghubungkan petak-petak petani kecil dengan pabrik; (d) kualitas bahan-bahan penanaman yang didapatkan petani kecil serta kualitas bantuan teknis yang disediakan perusahaan.

Salah satu tantangan utama yang dihadapi petani kecil adalah bagaimana mempertahankan nafkah selama pohon-pohon sawit muda belum berbuah (umumnya tiga tahun). Selama masa ini, sebagian petani mendapatkan uang dari bekerja sebagai buruh atau mereka berhutang untuk memenuhi kebutuhan pokok, terkadang dengan ditambah hasil menanam tanaman panen lainnya. Perusahaan sering membantu petani dengan memberikan lapangan kerja (kadang-kadang jumlah pekerjaan yang dijamin melebihi kebutuhan tenaga kerja sesungguhnya) atau dengan memastikan bahwa petani mempertahankan luas lahan yang cukup untuk meneruskan kegiatan pertanian untuk kebutuhan sendiri dan/atau dijual ke pasar tanpa memberikan tekanan pada lahan-lahan lain. Keputusan-keputusan yang berhubungan dengan hal ini banyak bergantung pada kebijakan perusahaan terkait pembangunan masyarakat dan dukungan penghidupan.

legalitas kayu yang belum lama ini diselesaikan di sektor kehutanan Indonesia (SVLK) adalah contoh baik mengenai bagaimana hubungan dan komunikasi yang dipertahankan dapat menghasilkan hasil-hasil positif. Wilayah-wilayah utama penjalinan hubungan mencakup: peningkatan standar-standar; pengelolaan proses dan pelibatan pemangku kepentingan yang baik; memberikan sinyal yang jelas mengenai permintaan pasar (sebagai ganjaran) dan ekspektasi jangka panjang; serta dukungan teknis yang terus dipertahankan di mana dukungan itu diterima baik.

(b) Sejumlah hambatan yang dihadapi proses berbagai keputusan menghasilkan pengambilan keputusan yang kurang optimal dalam perencanaan pengembangan sawit. Banyak keputusan pengembangan sawit tidak sepenuhnya mempertimbangkan semua faktor yang relevan karena satu atau lebih alasan di antara hambatan-hambatan berikut ini: (a) jumlah informasi, pengetahuan dan kemampuan yang bervariasi di antara pelaku yang memiliki wewenang untuk membuat keputusan; (b) keterbatasan partisipasi sejumlah pemangku kepentingan dalam keputusan-keputusan utama; (c) kerangka hukum yang di beberapa wilayah tidak konsisten dan/atau tidak lengkap; dan (d) waktu yang terbatas untuk membuat keputusan utama akibat tekanan pemerintah untuk membuat pengembangan dengan cepat. Meskipun sangat menantang, pemahaman akan persoalan-persoalan yang lazim terjadi ini dapat membantu mengidentifikasi hambatan yang, jika diatasi, akan meningkatkan berbagai hasil pengembangan sawit.

(c) Peningkatan penggunaan mekanisme hukum dan peralatan peraturan yang sudah ada sangat berpotensi untuk memperbaiki hasil-hasil pembangunan sawit di jangka panjang. Satu contoh penting adalah standar sertifikasi ISPO yang baru yang, meskipun menuai kritik, mampu memulai suatu perubahan paradigma bertahap di industri sawit jika diterapkan dengan tegas dan penegakan hukum dilakukan (dibahas di bawah). Proses penilaian lingkungan hidup AMDAL pun bisa menjadi mekanisme saringan yang jauh lebih kuat bila dilakukan beberapa perubahan kecil di sisi prosedur, dan demikian juga dengan proses Kementerian Kehutanan untuk melepaskan, secara ad hoc, wilayah Hutan Konversi dalam Kawasan Hutan yang diminta untuk dikonversi menjadi pertanian. Perubahan-perubahan kecil seperti ini tidak akan berbiaya mahal dari segi pembangunan ekonomi, jumlah investasi keuangan, ataupun modal politik, dan dalam beberapa kasus akan sangat meningkatkan hasil-hasil sosial dan lingkungan hidup pengembangan sawit.

(d) Beberapa rekomendasi bisa jadi akan membawa limpahan manfaat pada pengelolaan sumber daya alam pada umumnya. Ini mencakup: mengkoordinasikan perencanaan tata ruang dan pembangunan; membuat perencanaan pemanfaatan hutan dan lahan lebih fleksibel dan responsif; memperbaiki proses pemberian hak-hak pengelolaan hutan masyarakat dan kepemilikan hutan adat; harmonisasi ketentuan-ketentuan berbagai undang-undang dan peraturan; mengklarifikasi dan mengkoordinasi peran berbagai pelaku pemerintah dalam pengambilan keputusan; menyediakan dukungan finansial dan motivasi yang dibutuhkan agar departemen-departemen yang paling relevan dalam pemerintah melaksanakan tugas mereka dengan profesional; dan memastikan bahwa keputusan perizinan dan persetujuan izin dibuat dalam urutan yang semestinya.

(e) Upaya untuk meningkatkan hasil-hasil pengembangan sawit hendaknya dilihat dalam konteks yang lebih luas yaitu konteks Pertumbuhan Ekonomi Hijau Indonesia. Banyak di antara rekomendasi di bab berikut berkontribusi kepada pemanfaatan tanah, hutan dan cadangan karbon yang lebih efisien, dan, dalam beberapa kasus, paralel dengan upaya pemerintah pusat untuk menerapkan inisiatif-inisiatif REDD+ di Indonesia. Perlu juga dilihat konteks yang lebih luas mengingat adanya tantangan terus menerus untuk mengevaluasi timbal balik antara berbagai hasil-hasil pembangunan. Penetapan timbal balik antara target-target tersebut dengan cara yang terencana pragmatis dan berprinsip dengan terus bertujuan untuk mencapai hasil-hasil yang lebih baik hendaknya menjadi prinsip yang memandu pengambilan keputusan sawit di setiap tingkatan.

Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan berkelanjutan 36RANgKumAN TEmuAN

SpesiesaslihutandataranrendahdiKalimantan.FotoolehGaryPaoli.

REKOmENDASI-REKOmENDASI uTAmA

4

Temuan-temuan yang ditampilkan di laporan ini dimaksudkan untuk meningkatkan tata kelola dan praktik-praktik pengelolaan sawit melalui beragam pendekatan termasuk perbaikan prosedural, perubahan kerangka hukum, serta adopsi praktik dan teknologi pengelolaan yang lebih baik. Walaupun pemangku kepentingan yang terkait dapat mengembangkan agenda aksi mereka sendiri berdasarkan kapasitas dan kepentingan yang bersangkutan, langkah yang terkoordinasi sangat dianjurkan untuk memperoleh dampak maksimum. Pemerintah pusat di Indonesia memiliki kapasitas yang sangat berpotensi untuk meningkatkan hasil-hasil sawit melalui kewenangannya meninjau kembali undang-undang melalui DPR, menyediakan sumber daya, melakukan koordinasi antara tingkat dan antar sektor kementerian dan memastikan bahwa pemerintah daerah patuh dan akuntabel. Provinsi-provinsi, kabupaten-kabupaten dan perusahaan-perusahaan juga telah menunjukkan bahwa peraturan-peraturan daerah yang inovatif6 serta kebijakan-kebijakan perusahaan dapat meletakkan dasar bagi perbaikan hasil-hasil di tingkat daerah, termasuk upaya untuk melakukan praktik-praktik terbaik di industri sawit yang melampaui syarat-syarat hukum. Serombongan pelaku pendukung termasuk peneliti, donor dan organisasi masyarakat sipil, dapat berperan penting dengan menyediakan sumber daya teknis dan finansial untuk meningkatkan kapasitas pelaku-pelaku utama agar dapat membuat keputusan-keputusan yang kuat dan berlandaskan informasi yang cukup. Rekomendasi-rekomendasi yang ditampilkan secara garis besar di sini dimaksudkan untuk mendukung hal ini.

Di sini kami menyediakan beberapa rekomendasi utama untuk meningkatkan tata kelola, praktik-praktik dan hasil-hasil pembangunan minyak sawit. Rekomendasi-rekomendasi ini juga ditampilkan dalam bentuk tabel di Ringkasan Eksekutif, disusun di bawah sub-judul Keputusan yang digunakan di Bagian 3 untuk mengatur temuan-temuan utama.

Lihat,misalnya,peraturandaerahterkaitsawityangberkelanjutanterbitanpemerintahprovinsiKalimantanTengah(PerdaNo.5/2011).6

Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan berkelanjutan 37REKOmENDASI - REKOmENDASI uTAmA

Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan berkelanjutan 38REKOmENDASI - REKOmENDASI uTAmA

4.1 mendukung proses multi-pihak untuk memperkuat dan mendukung ISPO sebagai bagian strategi Pembangunan Ekonomi Hijau Indonesia yang berharga dan diakui di tingkat internasional.

1. Dukungan luas para pemangku kepentingan untuk ISPO dapat sangat membantu memastikan bahwa standar tersebut diimplementasikan dengan efektivitas maksimum. ISPO sangat berpotensi untuk meningkatkan tata kelola sawit Indonesia di jangka pendek. Hubungan yang positif, terkoordinasi, dan konstruktif untuk mendukung pengembangan suatu standar nasional yang kredibel dan independen sangat penting guna memenuhi potensi ini. Dukungan dari yayasan, donor multilateral, LSM dan organisasi internasional yang bergerak di segmen hulu mata rantai pasokan minyak sawit bisa menjadi penting khususnya untuk memungkinkan berlangsungnya kegiatan-kegiatan pendukung. Para pelaku hendaknya mencari cara-cara untuk berhubungan dengan ISPO di samping mendukung program-program sukarela seperti RSPO.

2. Meningkatkan kepemimpinan dari Kamar Dagang Indonesia (KADIN), Indonesian Business Council for Sustainable Development (IBCSD) dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) untuk mendukung dan memperkuat ISPO. Mendorong asosiasi-asosiasi usaha terkemuka untuk memanfaatkan kemampuan mereka untuk berkumpul dan mencapai kesepakatan di antara pemimpin-pemimpin dunia usaha untuk memastikan bahwa anggota-anggota yang merupakan produsen sawit membuat pendekatan kepada kepatuhan akan ISPO dengan sungguh-sungguh dan berpartisipasi aktif dalam upaya-upaya memperkuat penegakan, memperbaiki persyaratan-persyaratan standarnya, dan memelihara keketatan sistem sertifikasi.

HutanrawagambutdiKalimantan.FotoolehGaryPaoli.

Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan berkelanjutan 39REKOmENDASI - REKOmENDASI uTAmA

4.2 memperkuat dan meningkatkan sistem-sistem pemerintah daerah untuk pengelolaan sektor minyak sawit.

1. Badan-badan di pemerintah pusat dapat memperkuat arahan, pelatihan, dan program-program pendukung terkait guna memastikan bahwa semua pemerintah kabupaten memiliki kapasitas yang memadai untuk mengatur pengembangan sawit. Pemerintah kabupaten memiliki wewenang untuk menerbitkan izin-izin sawit dan melakukan verifikasi atas kepatuhan perusahaan pada peraturan. Kinerja pelaksanaan tugas-tugas ini sangat beragam karena adanya berbagai tingkatan kapasitas, sumber daya, dan sikap terhadap pengembangan sawit. Daerah-daerah ‘pelopor’ yang jauh dari pusat umumnya tertinggal dari daerah-daerah sawit yang sudah mapan dalam kemampuannya menghindari pengembangan wilayah-wilayah berisiko tinggi dan mengawasi kepatuhan. Standar-standar tata kelola perlu disetarakan di seluruh Indonesia, termasuk melalui sertifikasi kapasitas pemerintah daerah sebagai persyaratan untuk menjalankan wewenang perizinan sepenuhnya atau menikmati insetif-insentif dari pemerintah pusat yang diberikan berdasarkan kinerja.

2. Menyediakan pelatihan, data spasial yang lebih baik, serta alat-alat pendukung keputusan untuk perencanaan tata ruang dan pengembangan sawit di kabupaten. Hasil perencanaan tata ruang di tingkat kabupaten merupakan faktor yang sangat penting untuk menentukan di mana sawit akan ditanam dan potensi dampak yang akan timbul. Keputusan-keputusan alokasi lahan pada tingkat ini, terutama di daerah-daerah terpencil, sering dibuat tanpa pengetahuan teknis, data spasial dan alat-alat pendukung keputusan yang memadai. Dalam perencanaan pembangunan, analisis terstruktur untuk menilai untung rugi berbagai pilihan pemanfaatan lahan berdasarkan kriteria ekonomi, sosial dan lingkungan hidup terbukti kompleks dan jarang dilakukan. Ini berarti pihak berwenang gagal merebut peluang untuk mengoptimalkan hasil pembangunan melalui perencanaan tata ruang, perizinan dan strategi-strategi pertumbuhan sektoral yang efektif.

3. Mendukung dan mendorong pemerintah daerah untuk mempertimbangkan manfaat dan biaya yang lebih lengkap ketika menerbitkan izin-izin sawit untuk memaksimalkan manfaat sekunder yang positif (misalnya, infrastruktur) dan meminimalkan biaya peluang dari alternatif yang tidak dilaksanakan. Analisis semacam ini mungkin kompleks, menyangkut banyak perhitungan timbal balik di atas lanskap-lanskap yang heterogen secara spasial. Pemerintah daerah pada umumnya tidak memiliki cukup sumber daya dan data untuk menilai pilihan-pilihan pengembangan dengan serinci ini, tetapi analisis semacam ini bisa sangat meningkatkan hasil-hasil keputusan perizinan.

4. Meningkatkan penegakan Keputusan Bersama Kementerian Pertanian dan Badan Pertanahan Nasional (1999) mengenai diperlukannya konsultasi resmi dengan masyarakat sebelum diterbitkannya Izin Lokasi. Peraturan pemerintah menyatakan bahwa partisipasi masyarakat dalam keputusan mengenai di mana sawit ditanam dimulai dengan konsultasi-konsultasi yang difasilitasi pemerintah sebelum penerbitan Izin Lokasi. Kualitas dan isi konsultasi tersebut menjadi pondasi bagi hasil-hasil pengembangan di masa depan karena membuat masyarakat menyadari adanya kemungkinan pengembangan dan memberi kesempatan untuk menyuarakan keprihatinan mereka kepada pemerintah dan perusahaan sebelum izin disetujui. Konsultasi sebelum perizinan juga memberi perusahaan pengetahuan awal mengenai kompleksitas sosial di wilayah tersebut sebelum mengambil keputusan untuk mengejar terbitnya izin. Keputusan bersama ini tidak diterapkan secara luas sekarang ini.

Direkomendasikan untuk meninjau dan memperbaharui keputusan tersebut atau menciptakan suatu basis hukum baru yang lebih kuat mengenai syarat konsultasi sebelum perizinan.

5. Mengembangkan, menguji coba dan menerapkan sistem pendaftaran perizinan yang transparan dan dapat diakses publik yang memperlihatkan lokasi semua izin perkebunan dan melaporkan status keputusan izin pada setiap tahap proses, mulai dari konsultasi pra-izin sampai pada penerbitan HGU. Idealnya sistem ini juga mencakup status penanaman perkebunan inti (berapa ha ditanami) serta kemajuan dalam mengembangkan perkebunan-perkebunan petani kecil.

4.3 memperbaharui dan membuat kriteria kelayakan yang sepenuhnya dapat dioperasikan yang konsisten dengan tujuan-tujuan Pertumbuhan Ekonomi Hijau Indonesia guna memastikan bahwa lahan yang tidak sesuai tidak digarap.

1. Mengembangkan kriteria kelayakan lahan bagi pengambangan sawit yang jelas di tingkat nasional yang mencakup pertimbangan sosial, fisik, keanekaragaman hayati dan emisi GRK sebagai panduan bagi keputusan perizinan pemerintah daerah atas lahan yang termasuk dalam zona untuk pertanian. Keputusan bersama tahun 1999 mengenai penerbitan Izin Lokasi menetapkan bahwa kelayakan lahan merupakan salah satu kriteria persetujuan izin namun tidak mendefinisikan faktor-faktor kelayakan yang harus dipertimbangkan, kriteria evalusi faktor-faktor tersebut, ataupun ambang-ambang batas yang tidak boleh dilampaui. Di dalam kawasan yang digolongkan sebagai zona untuk pertanian, pihak berwenang setempat dibiarkan memutuskan sendiri faktor-faktor apa yang harus dipertimbangkan dan bagaimana mengevaluasinya dalam mengambil keputusan perizinan. Penciptaan suatu sistem penilaian kelayakan lahan akan menstandarkan keputusan dan mecegah terjadinya kasus dengan hasil terburuk, di mana izin diterbitkan di kawasan yang, meskipun termasuk zona untuk pertanian, berisiko membawa dampak yang parah.

2. Meningkatkan kualitas, kredibilitas, dan pengaruh proses penilaian dampak ingkungan hidup dengan cara: (i) melakukan penilaian sebelum penerbitan Izin Lokasi – bukan setelahnya seperti yang terjadi saat ini; (ii) menetapkan ambang-ambang batas yang jelas untuk dampak-dampak yang berat yang tidak bisa diterima, termasuk tingkat emisi GRK, dikaitkan dengan kriteria kelayakan yang disebutkan di atas yang akan menghalangi disetujuinya AMDAL; (iii) memperbanyak barisan konsultan yang berpengalaman dan terakreditasi yang melakukan penilaian-penilaian ini; (iv) memasukkan anggota-anggota yang memiliki kualifikasi teknis, terakreditasi dan independen dalam komisi AMDAL daerah yang mengevaluasi dan menyetujui laporan AMDAL; (v) meningkatkan transparansi dan partisipasi daerah; serta (vi) memperbaiki pengawasan dan audit laporan AMDAL serta keputusan-keputusan pemerintah daerah sesudah AMDAL oleh pemerintah pusat.

3. Mengkaji ulang peraturan Menteri Pertanian tahun 2009 mengenai pengembangan perkebunan

di lahan gambut dan mempertimbangkan revisi kriteria kelayakan tanam, urutan evaluasi gambut dalam proses perizinan, dan pengelolaan perkebunan di lahan gambut yang ada sekarang ini. Permentan No. 14/2009 yang mengatur pengembangan perkebunan di lahan gambut menyebutkan ketentuan-ketentuan yang mengurangi tekanan konversi pada lahan gambut dengan

Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan berkelanjutan 40REKOmENDASI - REKOmENDASI uTAmA

kedalaman >3m namun masih menghasilkan emisi GRK yang signifikan dari konversi gambut dangkal (<3m) dan dampak di luar lokasi yang berdampingan dengan gambut dalam. Peraturan ini mensyaratkan bahwa perusahaan menghindari menanam di kawasan di mana >30% wilayahnya terdiri dari gambut >3m. Peraturan ini diberlakukan setelah Izin Lokasi keluar dan tidak merupakan bagian dari proses penyaringan sebelum penerbitan izin. Pemegang izin diharapkan untuk melakukan survey dan menetapkan batas-batas serta hanya menanami wilayah-wilayah yang memenuhi persyaratan sesuai dengan rencana yang telah disetujui. Penerapan Permentan No. 14 setelah penerbitan Izin Lokasi sering terlambat karena perusahaan secara wajar mendapatkan tekanan untuk segera menanam, yang pada akhirnya menciptakan insentif untuk kurang melaporkan wilayah-wilayah yang tidak patuh dan membuat pemerintah daerah lebih longgar dalam evaluasinya. Keadaan ini diperburuk oleh lemahnya penegakan hukum akibat kapasitas kelembagaan yang terbatas di banyak daerah. Kementerian Pertanian sementara ini memperbolehkan perusahaan untuk memetakan ketebalan gambut sendiri dan memberi wewenang kepada Dinas Perkebunan setempat untuk melakukan verifikasi atas data perusahaan melalui prosedur-prosedur yang ditetapkan dinas setempat. Idealnya, pemetaan lahan gambut yang terperinci harus dilakukan sebagai bagian dari penyaringan perizinan dan sebelum Izin Lokasi keluar.

4. Mengembangkan kriteria untuk menyaring kelayakan biofisik lahan dalam Kawasan Hutan yang dialokasikan untuk konversi sebagai syarat awal persetujuan pelepasan dari Kementerian Kehutanan. Wilayah-wilayah hutan produksi di Kawasan Hutan yang dialokasikan untuk dikonversi (HPK) dapat dilepaskan untuk pemanfaatan pertanian atas pertimbangan Kementerian Kehutanan. Kelayakan biofisik lahan tidak merupakan bagian saringan proses pelepasan; persetujuan nampaknya otomatis diberikan begitu syarat-syarat administratif dipenuhi. Memasukkan emisi-emisi GRK, dampak-dampak jasa lingkungan, kepemilikan tanah dan/atau kriteria sosial lainnya dapat membuat pelepasan HPK alat pengambilan keputusan penggunaan lahan yang efektif untuk mendukung tujuan-tujuan Pertumbuhan Ekonomi Hijau.

Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan berkelanjutan 41REKOmENDASI - REKOmENDASI uTAmA

HutanpenyanggatepisungaiyangmasihadadisebuahperkebunansawitdiKalimantan.FotoolehCraigFurmage.

Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan berkelanjutan 42REKOmENDASI - REKOmENDASI uTAmA

4.4 meningkatkan ketersediaan lahan yang sesuai dan berdampak rendah untuk pengembangan sawit.

1. Menyederhanakan dan mempercepat mekanisme-mekanisme yang membuat wilayah gundul dan berkarbon rendah dalam Kawasan Hutan dapat dijadikan lahan pertanian. Daerah-daerah yang menurut hukum Indonesia termasuk Kawasan Hutan mencakup lahan-lahan gundul yang luas yang tidak boleh dijadikan lahan pertanian, sementara banyak wilayah berhutan yang luas di luar Kawasan Hutan yang menurut peraturan boleh dikonversi untuk pertanian. Mekanisme hukum untuk menggolongkan ulang lahan rendah karbon dalam Kawasan Hutan supaya bisa tersedia untuk dijadikan kebun sawit ada di Kementerian Kehutanan. Dalam praktiknya, prosesnya klasifikasi ulang ini sangat rumit, memakan waktu dan dihambat oleh proses-proses revisi rencana tata ruang yang berkepanjangan di banyak provinsi di Indonesia. Akibatnya, wilayah-wilayah padat karbon di luar kawasan Hutan sering dibuka untuk dikembangkan tanpa mempedulikan dampak lingkungan dan dampak-dampak lain. Karena itu, perbaikan proses klasifikasi ulang untuk memfasilitasi ‘tukar lahan’ atau program lain untuk menjamin hutan-hutan kaya karbon di luar Kawasan Hutan dikelola sebagai hutan dan lahan gundul dalam Kawasan Hutan disediakan untuk sawit – di mana layak dan didukung masyarakat setempat – sangat mendesak.

2. Mengeksplorasi peluang-peluang untuk pabrik yang lebih kecil yang membutuhkan basis pasokan perkebunan yang lebih kecil. Salah satu tantangan utama pemanfaatan lahan rendah karbon yang layak di Indonesia adalah kenyataan bahwa ukuran pabrik dewasa ini membutuhkan setidaknya 3000 hektar perkebunan produktif untuk menghasilkan cukup banyak tandan buah segar untuk menjalankan pabrik dengan optimal. Ketika lahan yang termasuk dalam zona untuk pertanian sudah gundul, cukup sulit menemukan 3000 ha lahan layak dalam radius pasokan yang memungkinkan, mengingat mosaik penggunaan lahan yang ada di daerah semacam itu. Di Thailand dan negeri produsen sawit lainnya, pabrik yang lebih kecil biasa digunakan, dan ini mungkin merupakan suatu opsi yang perlu diteliti untuk beberapa daerah di Indonesia. Diperlukan analisis lebih jauh untuk memahami tantangan legal dan praktis dari pendekatan ini, khususnya yang berhubungan pada skala ekonomi yang dibutuhkan yang sudah ada saat ini. Opsi ini bisa menjadi suatu pilihan yang dapat didukung pemerintah melalui insentif fiskal dan finansial.

LahanpertanianberpindahdiKalimantan.FotoolehGaryPaoli.

Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan berkelanjutan 43REKOmENDASI - REKOmENDASI uTAmA

4.5

4.6

mendorong investasi untuk meningkatkan hasil lahan dan memberikan ganjaran atas kinerja yang baik guna mengoptimalkan produksi pada perkebunan yang sudah ada maupun di masa datang.

mengembangkan alat-alat hukum dan membangun kapasitas implementasi guna memperkuat pengelolaan kawasan bernilai konservasi tinggi di lahan-lahan yang termasuk dalam zona untuk pertanian.

1. Mendorong peningkatan hasil CPO di seluruh industri dengan mendorong pelaku-pelaku berikut ini untuk menjalankan sebagian atau semua keputusan berikut: Pemerintah Pusat mewajibkan perkebunan harus memenuhi tingkat hasil panen tertentu dan/atau mendokumentasikan penggunaan praktik pengelolaan terbaik (BMP) untuk meningkatkan hasil panen (misalnya melalui ISPO) dan menciptakan insentif-insentif fiskal untuk mendukung hal ini; asosiasi-asosiasi produsen minyak sawit mengadopsi dan mendukung standar mengenai BMP dan hasil panen di seluruh industri sawit serta memberikan arahan, dukungan dan insentif bagi anggota-anggotanya untuk memenuhi standar-standar ini; Perusahaan dan Petani kecil sawit berkomitmen untuk meningkatkan hasil panen dan mengarusutamakan adopsi BMP dalam standar operasi perusahaan dan program-program pendukung petani kecil; dan LSM menunjukkan logika ekonomi dan lingkungan hidup dalam peningkatan hasil panen dan menyediakan dukungan teknis untuk petani kecil dan, di mana layak, perusahaan kecil untuk mengadopsi BMP.

1. Memperkuat hak hukum perusahaan perkebunan untuk mempertahankan dan mengelola kawasan-kawasan konservasi yang tidak ditanami di dalam wilayah HGU perkebunan. Dengan dukungan Badan Pertanahan Nasional dan DPR, Kementerian Pertanian hendaknya mempertimbangkan untuk memodifikasi persyaratan-persyaratan pengembangan perkebunan sawit untuk mengakomodasikan komitmen-komitmen sukarela oleh perusahaan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan konservasi di dalam perkebunan mereka dengan cara mempertahankan kawasan-kawasan konservasi dan secara aktif mengelolanya guna menjamin tersedianya layanan-layanan ekosistem, konservasi keanekaragaman hayati dan manfaat pada kesejahteraan nafkah penduduk setempat.

2. Menciptakan mekanisme-mekanisme hukum untuk perlindungan jangka panjang hutan-hutan yang dikhususkan untuk konservasi dalam kawasan-kawasan yang termasuk zona pertanian dalam rencana tata ruang namun belum dibebani izin. Ketika lahan di wilayah yang termasuk zona untuk pertanian diidentifikasi sebagai prioritas konservasi (misalnya karena masalah sosial atau lingkungan hidup yang tercatat di dalam proses AMDAL), maka lahan tersebut sering tidak dimasukkan dalam

HGU perkebunan, namun jarang dimasukkan dalam pengelolaan alternatif atau diklasifikasi ulang untuk perlindungannya. Alat-alat hukum untuk perlindungan jangka panjang wilayah-wilayah seperti itu tidaklah mantap namun sangat diperlukan untuk menjamin bahwa tidak ada izin yang keluar di lahan yang telah dikecualikan tersebut di masa depan.

3. Mendukung upaya-upaya sektor swasta untuk membuat sasaran-sasaran yang eksplisit dan progresif untuk pengelolaan kawasan-kawasan konservasi di dalam perkebunan sawit. Ketika perusahaan mempertahankan kewenangan pengelolaan atas wilayah yang dikhususkan untuk konservasi di dalam perkebunan mereka, maka perusahaan mematok tujuan-tujuan konservasi pada satu dari tiga tingkat berikut: (i) wilayah itu diperlakukan sebagai wilayah terlarang untuk sawit, tetapi hanya dengan memberikan perlindungan terbatas atau tanpa perlindungan; (ii) mengadopsi pendekatan konservasi ‘pro-forma’, termasuk memasang tanda rambu dan melakukan patroli serta melaporkan penyerobotan kepada pihak berwenang setempat; dan (iii) mengadopsi pendekatan proaktif dengan komitmen penuh melalui pengelolaan langsung, pengawasan, dan langkah-langkah guna mengurangi penyerobotan, termasuk dengan membina hubungan dengan masyarakat, pihak berwenang dan/atau universitas. Upaya bersama hendaknya dilakukan untuk mendorong dan mendukung perusahaan untuk membuat komitmen konservasi yang ambisius dan mendapatkan ganjaran saat berhasil, melalui insentif-insentif berbasis fiskal, finansial atau pasar.

4. Menciptakan insentif-insentif keuangan bagi perusahaan-perusahaan untuk mempertahankan kawasan-kawasan yang tidak dikembangkan dalam perkebunan. Pemerintah daerah dapat menciptakan insentif-insentif untuk mempertahankan dan memelihara wilayah-wilayah yang tidak dikembangkan dalam perkebunan melalui, misalnya, pengurangan atau penghapusan pajak tanah. Kerugian dalam uang masuk dari pajak dapat diimbangi secara potensial dengan mekanisme-mekanisme keuangan publik dan atau dibayar oelh pihak-pihak luar yang secara aktif mendukung konservasi keanekaragaman hayati dan pengurangan emisi dari lanskap-lanskap produksi (misalnya anggota mata rantai pemasok di hilir, LSM internasional, lembaga lingkungan hidup atau yayasan-yayasan). Pendanaan dari luar untuk mendukung pengelolaan bersama daerah konservasi dengan organisasi non-pemerintah atau masyarakat hendaknya jadi prioritas khusus untuk pendanaan.

5. Membuat perusahaan perkebunan lebih akuntabel atas kontraktor-kontraktor yang disewa untuk membuka lahan dan memperbaiki sistem pengelolaan kontraktor. Kontrol yang lebih baik atas prosedur-prosedur pembukaan lahan akan mengurangi risiko konflik perusahaan-masyarakat dan masyarakat-masyarakat, dan membentuk hubungan keseluruhan yang lebih baik antara para pelaku setempat di tingkat perkebunan. Perlu ada perhatian yang lebih saat berkomunikasi dengan kontraktor mengenai di mana mereka boleh dan tidak boleh membuka lahan; memberi tanda batas yang jelas di lapangan; serta memberlakukan hukuman untuk pihak-pihak yang masuk ke wilayah terlarang. Langkah lain yang mungkin diambil adalah mensyaratkan kontraktor untuk memasang perjanjian kinerja dengan pemerintah dan menggunakan alat GPS tangan untuk mengkonfirmasikan posisi mereka pada peta, termasuk kawasan terlarang. Sistem sertifikasi kontraktor berpotensi membantu hal ini.

6. Guna mengurangi tekanan penyerobotan lahan dari masyarakat setempat di wilayah-wilayah konservasi, perusahaan hendaknya mempertimbangkan untuk memberlakukan batas-batas sukarela mengenai seberapa luas lahan masyarakat yang mereka siap kembangkan sebagai perkebunan sawit. Masyarakat kadang menyepakati untuk memberi hampir 100% lahan mereka kepada pengembangan sawit guna memaksimalkan dana masuk dari pengalihan lahan dan pemasukan minyak sawit di masa depan. Ini dapat menimbulkan persoalan konservasi di dalam perkebunan, serta juga menjadi masalah pada nafkah-nafkah orang setempat, ketika masyarakat berusaha memperluas pertanian

Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan berkelanjutan 44REKOmENDASI - REKOmENDASI uTAmA

rumahtangga mereka ke wilayah-wilayah di dalam perkebunan yang dialokasikan untuk konservasi. Meskipun bertentangan dengan tujuan perusahaan untuk memaksimalkan kawasan budidaya di atas lahan yang sesuai, pembatasan sukarela persentase lahan yang diterima perusahaan untuk budidaya dapat menjamin bahwa masyarakat mempertahankan cukup lahan untuk pertanian dan dengan demikian mengurangi tekanan penyerobotan.

Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan berkelanjutan 45REKOmENDASI - REKOmENDASI uTAmA

4.7 memastikan bahwa masyarakat memiliki informasi yang memadai dan mampu berpartisipasi secara efektif dalam negosiasi dengan perusahaan sawit sejak tahap pengembangan yang paling awal, termasuk konsultasi-konsultasi sebelum penerbitan izin.

1. Membuat pemerintah daerah bertanggung jawab atas kewajiban menyediakan informasi yang akurat dan mudah dipahami bagi masyarakat setempat di daerah-daerah yang sedang dipertimbangkan untuk pengembangan sawit. Pemerintah daerah memiliki kewenangan cukup untuk mewajibkan bagaimana sosialisasi di laksanakan perusahaan saat melakukan negosiasi pembebasan lahan. Beberapa perusahaan telah menetapkan tim-tim di tingkat kebupaten, kecamatan dan desa untuk membantu sosialisasi perusahaan. Perusahaan secara hukum dibebani tanggungjawab melakukan sosialisasi namun menghadapi tujuan yang saling bertolak belakang, yakni harus menyebarkan informasi yang akurat dan obyektif mengenai rencana-rencana perkebunan sekaligus juga meyakinkan sebanyak mungkin pemilik lahan untuk membuat lahan mereka tersedia untuk perkebunan. Apapun motivasinya sangatlah menantang untuk sebuah perusahaan mengomunkiasikan perubahan-perubahan sosial dan nafkah yang positif maupun negatif yang akan berlaku menyusul pengembangan perkebunan, terlebih di pedesaan pelosok perbatasan. Faktor-faktor yang biasanya menghalangi komunikasi efektif umumnya mencakup: kebutahurufan dan bahasa pengubung yang terbatas; kesulitan mengelola suatu proses sosialisasi yang terbuka dan inklusif; keterbatasan kecakapan dalam komunikasi lintas budaya; perpecahan falsafah yang dalam dan lebar di dalam masyarakat itu sendiri; tekanan waktu; dan penggunaan sub-kontraktor untuk berhubungan dengan masyarakat.

2. Mengembangkan panduan untuk menetapkan suatu pendekatan yang lebih terstruktur bagi pemerintah daerah untuk mendukung sosialisasi perusahaan dan kemudian negosiasi di masa depan, mendefinisikan peran-peran tim-tim pemerintah dan menetapkan indikator-indikator yang terukur dan dapat diverifikasi mengenai apa yang hendaknya dicapai setiap pihak dalam proses ini.

3. Mengembangkan serangkaian panduan standar untuk berhubungan dengan masyarakat yang disesuaikan dengan kondisi setempat dan ditujukan untuk menjamin agar perusahaan dan komunitas membahas serangkaian masalah yang pasti dengan cukup terperinci guna menjelaskan biaya dan manfaat sawit serta detail persetujuan-persetujuan kemitraan, khususnya soal pembayaran kembali hutang. Penilaian independen atas proses ini oleh pejabat-pejabat pemerintah pusat dapat dilakukan bersama-sama dengan LSM. Penerapan sistem ini membutuhkan pelatihan intensif dan dukungan dana yang signifikan yang dapat didanai oleh swasta (terlebih para pelaku mata rantai pasokan), publik, donor, LSM, dan semua yang menunjukkan ketertarikan akan hasil-hasil petani kecil.

4. Meninjau dan mengklarifikasi syarat minimum pembagian lahan antara Perusahaan dan Masyarakat sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri Pertanian tahun 2007 mengenai syarat-syarat izin. Ada keperluan untuk menuntaskan peninjauan kembali atas ketentuan-ketentuan Peraturan Menteri Pertanian No. 26/2007 (lihat Lampiran 1), karena peraturan tersebut telah menimbulkan tantangan-tantangan untuk perusahaan dan masyarakat dalam menafsirkan dan menerapkan persetujuan-persetujuan pembagian lahan. Peninjauan kembali semacam itu hendaknya didasari informasi analisis sosial-politik dari hasil-hasil (outcome) yang muncul dewasa ini yang terkait dengan peraturan tersebut dan ketentuan pembagian lahan di dalamnya, dengan tujuan memahami keadaan-keadaan di mana peraturan itu telah menguntungkan perusahaan atas hasil-hasil untuk masyarakat, dan bagaimana caranya hasil-hasil yang lebih kuat dan saling menguntungkan dapat didukung melalui ketentuan-ketentuan yang direvisi.7

5. Melalui program-program uji coba, mengembangkan mekanisme bagi pemerintah kabupaten untuk memberikan dukungan negosiasi bagi setiap pihak selama penyusunan kesepakatan-kesepakatan pembagian manfaat, khususnya perjanjian kerja sama dengan petani kecil. Pelaku-pelaku Pemerintah Pusat hendaknya memberikan arahan dan referensi kepada ketentuan-ketentuan dan peraturan-peraturan yang ada guna mengembangkan proses-proses hubungan dengan multi-pihak yang dapat diterima yang mampu meningkatkan kualitas negosiasi antara perusahaan dengan masyarakat. Contohnya antara lain, Kode Praktik Baik untuk menentukan proses-proses Standar-Standar Sosial dan Lingkungan Hidup, serta Panduan-Panduan Bank Dunia untuk Partisipasi dan Hubungan Masyarakat. Semua pihak yang terlibat, khususnya pihak berwenang setempat, hendaknya siap menerima bahwa proses seperti ini kemungkinan akan memperlambat laju akuisisi lahan dan pengembangannya, namun sebagai gantinya akan berkontribusi pada hubungan antara perusahaan dan masyarakat yang lebih kokoh dan stabil. Perlambatan pengembangan perkebunan perlu diakomodasikan dalam batas tenggat waktu untuk pengembangan, yang merupakan bagian persyaratan perizinan saat ini.

6. Mengembangkan perjanjian yang jelas dan mengikat antara perusahaan dengan masyarakat mengenai di mana dan kapan lahan-lahan petani kecil akan dikembangkan. Pengembangan sebuah perkebunan memakan waktu bertahun-tahun, dan ini membuat pemilihan waktu bagi petani kecil menjadi suatu penentu signifikan pada hasil-hasil pembangunan masyarakat. Undang-undang Indonesia mensyaratkan perusahaan dan perkebunan petani kecil dikembangkan bersama-sama. Persyaratan ini hendaknya dilengkapi dengan pengawasan yang lebih efektif oleh pemerintah daerah guna menegakkan ketentuan tersebut dengan pengecualian hanya dibolehkan di mana ada persetujuan jelas antara pekebun dan perusahaan.

7. Mengembangkan dan mensyaratkan digunakannya model perjanjian pembebasan lahan dan perjanjian kemitraan dengan petani kecil, Model-model persetujuan pembebasan lahan yang disederhanakan dan dibuat berdasarkan ‘blat’ atau ‘klise’ contoh akan lebih mudah dipahami pihak-pihak terkait dan mendukung harmonisasi persetujuan-persetujuan perkebunan dalam kabupaten yang sama. Model persetujuan kemitraan paling tidak perlu memasukkan klausul-klausul yang membahas: jenis bibit yang disediakan untuk petani kecil; jenis dan jumlah bantuan teknis yang diberikan kepada petani kecil dan berapa biayanya; kewajiban-kewajiban pelunasan hutang; serta tanggung jawab pemeliharaan jalan dan pembiayaannya. Beberapa topik ini sulit diprediksi, jadi perlu ada fleksibilitas dalam persetujuan yang dibuat, namun hak-hak dan kewajiban hendaknya dipaparkan dengan jelas.

Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan berkelanjutan 46REKOmENDASI - REKOmENDASI uTAmA

PeraturaninisedangdirevisiolehKementerianPertaniandanrevisinyadiperkirakanakanselesaiditahun2013.7

8. Memperjelas dan memperkuat pengawasan kewajiban-kewajiban perusahaan perkebunan untuk mendukung hasil petani kecil dan menciptakan insentif-insentif yang mendukung kepatuhan pada aturan-aturan yang ada. Penguatan komitmen perusahaan kepada hasil panen petani kecil mestinya meningkatkan produktivitas petani kecil dan pemasukan mereka. Motivasi perusahaan dan perkebunan untuk meningkatkan hasil panen petani kecil tidak seragam di seluruh Indonesia, jadi perlu diambil suatu pendekatan yang fleksibel. Upaya-upaya semacam ini hendaknya dibantu oleh dukungan yang jauh lebih intensif dan berkomitmen dari sektor swasta, khususnya yang beroperasi dalam mata rantai pasokan minyak sawit internasional (pembeli) dan pengguna akhir minyak sawit dan turunan-turunannya. Program produktivitas petani kecil dapat melakukan kajian ulang di tingkat nasional mengenai derajat dan dampak benih-benih palsu dan berkualitas buruk serta menciptakan suatu pendekatan di tingkat kabupaten untuk secara bertahap mengganti pohon-pohon yang hasilnya buruk dengan menanam ulang varietas terdaftar dengan hasil panen yang lebih baik. Upaya ini akan membutuhkan kepemimpinan dari Kementerian Pertanian dan kerja sama banyak pihak, termasuk pemerintah kabupaten.

Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan berkelanjutan 47REKOmENDASI - REKOmENDASI uTAmA

Anak-anakdidesadekatperkebunansawitdiKalimantan.FotoolehPhilipWells.

Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan berkelanjutan 48REKOmENDASI - REKOmENDASI uTAmA

4.8 mengembangkan langkah-langkah untuk memastikan tingkat manfaat bagi masyarakat selama penerapan perjanjian kemitraan dengan petani kecil sesuai dengan syarat dan ketentuan yang telah dinegosiasikan.

1. Mendukung pelatihan petani kecil yang efektif oleh pemerintah kabupaten, pelatihan petugas penyuluhan lapangan, dan perusahaan perkebunan, yang didukung pendanaannya oleh pengguna dan pembeli produk-produk sawit. Memberikan penghargaan yang bersifat nasional dan bereputasi baik kepada perusahaan perkebunan yang membuktikan peningkatan hasil panen petani kecil dan melakukan perbaikan-perbaikan nafkah yang terukur.

2. Penciptaan lapangan kerja atau bentuk dukungan pendapatan masyarakat lainnya selama masa sawit tumbuh dewasa hendaknya disepakati antara perusahaan dengan masyarakat selama sosialisasi untuk pembebasan lahan. Pemberian lapangan kerja langsung di perusahaan yang bersangkutan dapat menjadi manfaat penting bagi masyarakat setempat dengan mengasumsikan ada cukup banyak lapangan kerja dengan bayaran memadai, masa pekerjaan jelas dan bahwa peluang tersebut dibuka untuk mereka yang membutuhkan.

3. Mempertimbangkan pengembangan dan penggunaan suatu sistem penentuan harga tandan buah segar (fresh fruit bunch) yang lebih fleksibel dan transparan yang juga lebih mudah dipahami petani kecil dan yang menciptakan peluang untuk bayaran berbasis prestasi yang memberi ganjaran untuk buah berkualitas baik. Cara penentuan harga untuk Tandan Buah Segar (FFB) petani kecil saat ini didesain untuk memberikan perlindungan untuk petani kecil, namun sifatnya kompleks dan dapat menciptakan disinsentif untuk petani kecil meningkatkan kualitas FFB. Peraturan-peraturan yang relevan untuk penentuan harga FFB bagi petani kecil perlu ditinjau kembali dan perlu dibentuk suatu tim yang berpengalaman, terdiri dari staff perkebunan, petani kecil, pembuat kebijakan, ahli ekonomi dan LSM untuk melihat bagaimana cara memperbaiki sistem penentuan harga yang berlaku saat ini dengan menyeimbangkan kebutuhan akan transparansi dan keseragaman dengan keadilan dan fleksibilitas.

4.9 mengembangkan langkah-langkah kebijakan dan alat-alat fiskal yang inovatif dan memberikan ganjaran untuk investasi dalam teknologi ‘Zero Waste’ untuk memaksimalkan dampak-dampak positif keseluruhan operasi pabrik.

1. Meningkatkan kesadaran dan ketertarikan industri pada teknologi-teknologi pengolahan dan pemanfaatan limbah terkini untuk mendorong diadopsinya praktik-praktik Tanpa Limbah (Zero Waste). Hal ini dapat dicapai jika pelaku-pelaku berikut melakukan sebagian atau semua keputusan berikut: Pemerintah Pusat mewajibkan perusahaan perkebunan membuat komitmen terikat waktu untuk melakukan pengelolaan Tanpa Limbah melalui misalnya, penggunaan pengolahan bersama UFB dan POME, penggunaan bio-digester dan atau penangkapan metana; Asosiasi-asosiasi di Industri Minyak

Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan berkelanjutan 49REKOmENDASI - REKOmENDASI uTAmA

Sawit mendukung standar-standar praktik Tanpa Limbah di seluruh industri sawit dan memberikan arahan, dukungan dan insentif kepada para anggotanya; Perkebunan Sawit berkomitmen untuk menggunakan pengomposan bersama dan fasilitas produksi biogas dan memasukkan investasi ini kedalam perencanaan usahanya; dan LSM menunjukkan penghematan biaya dan manfaat lingkungan hidup teknologi Tanpa Limbah dan melakukan lobi agar hal ini masuk dalam persyaratan dari pemerintah serta ada insentif-insentif positif untuk mendukung hal ini.

2. Menciptakan insentif fiskal dan finansial guna mempromosikan (a) penangkapan metana, (b) peningkatan penggunaan teknik-teknik Aplikasi Lahan untuk POME di mana sesuai, dan (c) teknologi-teknologi pembuatan kompos guna memanfaatkan produk sampingan berupa sampah padat secara produktif, menghasilkan listrik dan mengurangi penggunaan pupuk kimia. Limbah cair dan padat yang merupakan produk sampingan pengolahan minyak sawit sangat berpotensi untuk dimanfaatkan secara produktif untuk pembuatan biogas, pupuk serta serangkaian produk bermanfaat lainnya. Sumber daya-sumber daya ini sangat kurang dimanfaatkan saat ini – bahkan beberapa perusahaan memandangnya sebagai beban sampah untuk dibuang. Anggota-anggota sektor investasi dapat memimpin suatu tim lintas sektor yang terdiri dari Pemerintah, lembaga-lembaga pembangunan, GAPKI dan organisasi swasta lainnya untuk mengembangkan mekanisme-mekanisme pendanaan untuk mendukung diterimanya praktik-praktik dan teknologi-teknologi Tanpa Limbah di seluruh industri sawit. Ini mensyaratkan dibangunnya hubungan antara donor, modal swasta dan perusahaan-perusahaan minyak sawit untuk menjadi katalis adopsi proses-proses dan teknologi-teknologi baru dengan cepat. Kemajuan di bidang ini akan secara langsung mendukung kepatuhan kepada ISPO yang mendorong investasi di praktik-praktik dan teknologi-teknologi ini. Para pemimpin industri akan mendapatkan manfaat reputasi, keuangan serta sertifikasi.

Fasilitaspenangkapanmethanuntukbio-energydiThailand,milikUnivanichLimited.

Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan berkelanjutan 50REKOmENDASI - REKOmENDASI uTAmA

4.10 meningkatkan kemungkinan bahwa lahan dialokasikan kepada perusahaan yang bertanggung jawab.

1. Mengaitkan akses lahan untuk pengembangan sawit tambahan dengan kinerja perusahaan yang baik sebelumnya. Jika suatu kelompok perkebunan berusaha mendapatkan banyak izin perkebunan, persetujuannya dapat dibuat dengan syarat bahwa perusahaan tersebut sebelumnya membuktikan kompetensinya dengan menunjukkan pengembangan sawit di tempat lain yang sukses dan terdokumentasi. Ada preseden untuk peraturan semacam ini di Indonesia. Contohnya, Permenhut No. 33/2010 mensyaratkan adanya bukti kepatuhan prosedural dengan peraturan-peraturan HGU dan pengembangan perkebunan sebelum suatu perusahaan induk diberi izin kedua dan seterusnya untuk permohonan pembebasan HPK (Hutan Konversi) dari Kawasan Hutan (Namun perlu dicatat bahwa klausul ini dihapus dalam Permenhut No. 17/2011 yang menggantikan No. 33/2010). Selain itu, menurut UU 18/2004, Bupati memiliki wewenang untuk menyetujui atau menolak permintaan perusahaan untuk memperluas izin yang sudah ada berdasarkan verifikasi kinerja di lapangan. Satu mekanisme yang berpotensi untuk mengaitkan persyaratan persetujuan dengan kinerja perusahaan secara formal adalah dengan sertifikasi ISPO di perkebunan yang ada.

2. Menjajaki mekanisme untuk menghapus keterlibatan calo-calo izin, perusahaan atau individu yang mengkhususkan pekerjaannya untuk memperoleh izin, membuka lahan dan kemudian menjual izinnya ke pihak lain. Pengalaman selama beberapa dasawarsa terakhir menunjukkan bahwa calo izin dapat menciptakan banyak persoalan sosial dan lingkungan bagi pembeli izin yang berikutnya sebagai akibat dari cara pembebasan lahan dari masyarakat dan wilayah-wilayah yang dibuka oleh pemegang izin sebelumnya. Salah satu opsi adalah untuk mensyaratkan dikaitkannya kinerja guna memaksimalkan kemungkinan bahwa pengembang-pengembang yang lebih baik yang terlibat dalam pengembangan minyak sawit. Cara lain adalah dengan membuat batasan-batasan pada perdagangan izin yang tidak diatur untuk mencegah pengembang membuat janji-janji palsu dan membohongi masyarakat setempat atau membuat keputusan jangka pendek mengenai pengembangan yang terlalu menekankan sasaran pengembangan jangka pendek dengan mengorbankan lingkungan dan masyarakat setempat.

PengolahanPOMEkonvensionalpadakolampengendapanudaraterbukamemerlukanbiayatinggiuntukpengelolaannyadandapatmenimbulkanemisiGHGyangsignifikan.FotoolehR.Harjanthi.

lAmPIRAN 1Kerangka hukum untuk pengembangan minyak sawit

1. Penguasaan Tanah oleh Negara

Pihak-pihak berwenang di dalam pemerintah pusat dan daerah di Indonesia telah mengembangkan suatu kerangka hukum yang kompleks yang mengatur pengembangan minyak sawit. Tujuh wilayah utama pengambilan keputusan yang diatur kerangka tersebut mencakup :• Penguasaantanaholehnegaravsolehswasta• Otonomidaerahdanpembagiankewenanganantarapemerintahpusatdandaerah• Strukturhukumuntukpengembangansawit• RencanaTataRuang• PerizinanSawit• PengelolaanDampak-dampakLingkungan• Kinerjaperkebunandankepatuhanpadahukum

• UndangUndangDasar1945)• Undang-UndangPokokAgrariatahun1960(UUNo.5/1960)• Undang-UndangKehutanan1999(UUNo.41/1999)• KeputusanMahkamahKonstitusi(MK35/2012)

Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960 (UUPA No. 5/1960) menetapkan basis hukum agraria modern di Indonesia. Undang-Undang Pokok Agraria ini memperkuat lagi supremasi Negara di dalam urusan tanah dan di antara ketentuan lain, mengonversikan sebagian besar hak-hal adat yang diakui di bawah hukum kolonial Belanda menjadi serangkaian aturan lain yang baru dan lebih lemah, yang membuat kepemilikan tanah secara adat asli berada di bawah ‘kepentingan nasional’. Hukum-hukum setelahnya juga memberi kebebasan kepada pihak berwenang di pemerintah untuk mengakui kepemilikan lahan adat dan dengan demikian menentukan keadaan di mana masyarakat secara hukum berhak membela hak-hak ulayat mereka melawan Negara atau perusahaan yang diberi izin oleh Negara.

Sejak UUPA No. 5/1960, hukum-hukum lain relevan terhadap kepemilikan tanah telah diberlakukan yang memperkuat supremasi Negara di dalam urusan tanah seperti Undang-Undang Kehutanan 1999. Kerangka hukum yang berlaku saat ini untuk minyak sawit masih kokoh berakar di dalam konsep-konsep penguasaan Negara, dengan penekanan pada hak-hak yang diberikan kepada perusahaan-perusahaan melalui izin-izin yang diterbitkan Negara. Namun, perbaikan-perbaikan signifikan telah dibuat di tahun-tahun belakangan, termasuk persyaratan-persyaratan untuk: (i) perkebunan menyediakan manfaat pembangunan yang bermakna bagi masyarakat setempat; dan (ii) perusahaan-perusahaan agar membeli hak guna usaha dari masyarakat setempat sebelum melakukan pengembangan apapun, di mana masyarakat pada prinsipnya bebas menerima atau menolak tawaran yang dinegosiasikan langsung dengan perusahaan. Dalam suatu keputusan Majelis Konstitusi yang cukup signifikan belum lama ini (MIK35/2013) pengadilan memutuskan bahwa di mana klaim-

Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan berkelanjutan 51lAmPIRAN 1

klaim Hutan Adat dapat dibuktikan oleh masyarakat setempat, maka hak-hak hutan tersebut diberikan kepada masyarakat setempat dan tidak lagi dapat disebut sebagai tanah Negara. Belum jelas bagaimana keputusan ini akan berdampak pada hubungan kekuasaan antara perusahaan dan masyarakat di masa depan, namun ia merupakan tonggak yang cukup penting.

2. Otonomi Daerah dan pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah

3. Undang Undang mengenai Perkebunan

- uu No. 18/2004

• UUNo.22/1999denganNo.25/1999(digantikanolehUUNo.32/2004)• PPNo.27/1999(digantikanolehPPNo.38/2007)• UUNo.26/2007• KeppresNo.34/2003• UUNo.33/2004mengenaipengaturankeuangandibawahdesentralisasi

Dasar dari perundangan yang mengatur desentralisasi adalah dua Undang Undang yang disahkan di tahun 1999 (UU No. 22/1999 & UU No. 25/1999), Keputusan Presiden No. 34 di tahun 2003 (Keppres No. 34/2003) dan Undang Undang mengenai Perencanaan Tata Ruang di tahun 2007 (UU No. 26/2007). Digabung dengan UU mengenai Perkebunan tahun 2004 (UU No. 18/2004) yang dibahas di bawah, batang tubuh perundangan ini secara fundamental mengubah keseimbangan kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah terkait sawit. Di bawah Otonomi Daerah, pihak berwenang tingkat pusat tetap mempertahankan wewenang menentukan undang-undang dan peraturan soal sawit secara nasional namun pihak berwenang di tingkat daerah diberi kewenangan de fakto dan de jure yang signifikan untuk menerapkan UU tingkat nasional itu. Pihak berwenang di tingkat daerah juga diberi wewenang untuk melengkapi hukum-hukum nasional dengan pembuatan peraturan-peraturan daerah (Perda) asal tidak bertentangan dengan, atau melemahkan, undang-undang dan peraturan yang sudah ditetapkan pemerintah pusat. Kewenangan luas yang diberikan kepada pemerintah daerah untuk mengimplementasikan dan mengawasi kerangka hukum untuk sawit mencakup proposal perencanaan tata ruang; keputusan perizinan; evaluasi dan persetujuan atas Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL); evaluasi kinerja dan pengawasan; verifikasi atas kepatuhan kepada hukum; resolusi konflik perusahaan-masyarakat; serta penetapan denda dan persyaratan langkah korektif bila terjadi ketidakpatuhan.

Undang Undang mengenai Perkebunan yang diberlakukan di tahun 2004 (UU No. 18/2004) merupakan sebuah legislasi yang kritis merumuskan kebijakan nasional untuk sawit di Indonesia. Ketentuan-ketentuan yang berdampak luas yang diatur undang-undang ini adalah antara lain: (i) definisi dasar-dasar hukum untuk mengakui kepemilikan tanah oleh masyarakat-masyarakat asli;8 (ii) pendelegasian tanggungjawab untuk mendapat persetujuan masyarakat setempat, ke perusahaan (dan bukan pada pemerintah) untuk mendapat pembebasan lahan untuk penanaman guna memulai pengembangan; dan

Di sini sekali lagi perhatian diarahkan kepada keputusan Majelis Konstitusi belum lama ini terkait pengakuan atas kepemilikan masyarakatdanpenguasaanatasHutanAdat(MK35/2012),yangmemperluasjangkauanmasyarakatuntukmenegakkankepemilikanadatmelampauidefinisidalamUndang-UndangPerkebunan2004.

8

Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan berkelanjutan 52lAmPIRAN 1

(iii) mendefinisikan instrumen-instrumen hukum yang dapat digunakan oleh perusahaan untuk menegakkan dan melindungi hak-hak atas tanah sesudah izin-izin yang disyaratkan sudah diterbitkan. Undang-undang tersebut juga memberi kewenangan kepada perusahaan untuk menegakkan keamanan perkebunan, dan merinci hukuman yang dapat dikenakan pada pihak-pihak yang mencuri atau membuat gangguan. Undang-undang tersebut juga memperkuat lagi kewenangan pejabat kabupaten menerbitkan izin, mengawasi kepatuhan dan hubungan perusahaan-masyarakat termasuk resolusi konflik. Luasnya kewenangan diskresi yang diberikan kepada pemerintah daerah dan perusahaan swasta menurut hukum, menimbulkan keragaman yang ekstrim di seluruh Indonesia dalam hal norma-norma pengelolaan sosial dan lingkungan hidup dalam sawit. Hasil-hasil di lapangan dengan demikian mencerminkan suatu kombinasi antara sikap-sikap pemerintah daerah terhadap sawit, utamanya peran mereka sebagai pihak pengatur, filsafat perusahaan yang dianut perusahaan yang beroperasi di kawasan tersebut, dan kesiapan masyarakat melakukan negosiasi.

4. Perencanaan Tata Ruang

• UUNo.26/2007• UUNo.41/1999• PPNo.26/2008• PPNo.10/2010• PPNo.15/2010

Perencanaan tata ruang, suatu proses untuk menentukan di mana pihak berwenang setempat dibolehkan menerbitkan izin untuk pengembangan pertanian, diatur suatu tubuh perundangan dan peraturan yang kompleks. Unsur-unsur utamanya mencakup Undang-Undang mengenai Perencanaan Tata Ruang (UU No. 26/2007), Peraturan Pemerintah mengenai Rencana Tata Ruang Nasional (PP No. 26/2008), Peraturan Pemerintah mengenai Implementasi Rencana Tata Ruang (PP No. 15/2010), Undang Undang Kehutanan 1999 (UU No. 41/1999), serta Peraturan Pemerintah mengenai perubahan alokasi dan fungsi Kawasan Hutan (PP No 10/ 2010) . Perundangan lain seperti Undang Undang Perlindungan Lingkungan Hidup (UU No. 32/2009), berinteraksi dengnan UU Rencana tata Ruang untuk menentukan daerah-daerah yang dibolehkan hukum untuk dikonversi.

Undang-undang mengenai tata ruang meletakkan pondasi untuk menentukan di mana sawit bisa diberi izin, dengan membagi tanah di Indonesia menjadi kawasan-kawasan yang dialokasikan sebagai Kawasan Lindung atau kawasan Budidaya. Fungsi primer Kawasan Lindung adalah untuk mengonservasi lingkungan hidup dan layanan-layanan yang disediakan, sedangkan fungsi kawasan Budidaya adalah produksi. Wilayah-wilayah budidaya dibagi lagi menjadi kawasan yang sesuai untuk kehutanan dan daerah yang dibolehkan untuk konversi ke kegiatan lain termasuk kegiatan pertanian. Undang-undang tersebut menjelaskan secara garis besar suatu pendekatan multi tingkat untuk menciptakan rencana-rencana tata ruang Nasional, Provinsi dan kabupaten melalui suatu proses yang ingin menjadi ‘transparan, efektif, serta partisipatif, guna mewujudkan suatu ruang yang aman, nyaman /memudahkan, produktif,

Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan berkelanjutan 53lAmPIRAN 1

dan berkelanjutan’. Sistem dengan berbagai tingkatan ini mendefinisikan suatu proses yang berulang untuk tidak memasukkan daerah yang tidak sesuai untuk pengembangan berdasarkan tingkatan analisis yang lebih halus dari tingkat Nasional ke Provinsi ke Kabupaten. Keseluruhan proses untuk menetapkan kegunaan lahan yang tersedia untuk diterbitkan izin sawitnya, di perlihatkan di Gambar 4 (lihat bagian batang tubuh teks ini); legislasi yang relevan mendefinisikan proses ini dirangkum di Tabel 1.

Rencana Tata Ruang Nasional (RTRWN)Rencana Tata Ruang Nasional yang berlaku saat ini disahkan di tahun 2008 di bawah PP No. 26/2008. Di dalam petanya yang terkait (skala 1:1,000,000), the RTRWN menetapkan batas-batas Kawasan Lindung untuk proteksi dan Kawasan Budidaya sebagai kawasan yang potensial dapat dikembangkan, tergantung pada analisis lebih halus saat perumusan rencana-rencana tata ruang Provinsi dan Kabupaten. Di bawah undang-undang yang berlaku saat ini Kawasan Lindung yang dialokasikan untuk proteksi di RTRWN dapat diperluas tetapi tidak dapat dikurangi luasnya saat dilakukan review Provinsi dan Kabupaten. Ini membuat RTRWN berfungsi sebagai rujukan kewenangan hukum tertinggi untuk menentukan batas-batas Kawasan Lindung di seluruh Indonesia. Pemetaan kawasan-kawasan Budidaya dibimbing oleh: (1) suatu sistem skor yang menilai kesesuaian lahan untuk berbagai kebutuhan berdasarkan kemiringan, jenis tanah dan intensitas curah hujan; dan (2) suatu syarat di bawah PP No. 26/2008 bahwa setidaknya 30% dari setiap pulau hendaknya dilindungi dari pengembangan.

Perencanaan Tata Ruang Provinsi, Kabupaten dan Kementerian Kehutanan Di bawah Undang Undang Indonesia (UU No. 41/1999), Kementerian Kehutanan diberi wewenang untuk (a) mendefinisikan dengan diskresinya sendiri luasnya Kawasan Hutan dan (b) memberlakukan kewenangan pengelolaan sepenuhnya atas kawasan ini.9 Di bawah sebuah undang-undang yang terpisah, provinsi disyaratkan mengembangkan rencana tata ruang (UU No 26/2007), serta sesuai dengan dua peraturan pemerintah, satu di bidang kehutanan (PP No 10/2010) dan satu lagi soal rencana tata ruang (PP No 15/2010) yang mengatur bagaimana Kementerian Kehutanan dan provinsi hendaknya bersepakat soal batas-batas Kawasan Hutan sebelum rencana tata ruang yang baru dapat diberlakukan. Kawasan Hutan Indonesia awalnya di petakan di awal tahun 1980an, dalam suatu proses yang disebut sebagai Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) yang memisahkan Kawasan Hutan menjadi Kawasan Lindung (seperti taman nasional reservasi satwa dan alam), Hutan Lindung (utamanya untuk melindungi daerah aliran sungai), Hutan Produksi untuk kehutanan dan daerah non-Hutan untuk pemanfaatan pertanian. Akibat

Padasoaliniditahun2011MahkamahKonstitusiIndonesiamemutuskanbahwasatuketetapanUUKehutanan1999adalahinkonstitusional,dandengandemikianmembatalkankewenanganKementerianKehutananuntukmenentukanbatas-batasKawasanHutanmelaluipenunjukkandiatassebuahpetadanbukansebagaipencatatanresmidilapanganyangmembutuhkanpersetujuanpemerintahansetempat.Keputusaninimenimbulkanpertanyaan-pertanyaanterkaitkewenanganpengelolaanKementerianKehutananatasdaerah-daerahyangtidakdicatatsebagaiKawasanHutan,dansedikitbanyakmenggeserkeseimbanganwewenangantaraKementerianKehutanandenganpihakberwenangdaerahterkaitnegosiasimengenaibatas-batasKawasanHutansebagaibagiandariRencanaTataRuang.Sebuahdiskusiyanglebihpenuhataskeputusanpentinginidapatditemuidisini:http://www.daemeter.org/news/constitutional-court-decision-on-indonesias-forest-zone-could-lay-groundwork-for-sustainable-low-emissions-development/

9

Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan berkelanjutan 54lAmPIRAN 1

data penutup hutan saat itu yang tidak mencukupi, banyak daerah gundul yang disebut sebagai Kawasan Hutan, dan banyak kawasan hutan disebut sebagai Zona non-Hutan. Setelah rencana tata ruang provinsi yang awal-awal dirumuskan di tahun 1990an, Kementerian Kehutanan berusaha untuk membetulkan ketidaksesuaian itu dan merekonsiliasikan perbedaan di antara TGHK (yang dikembangkan Kementerian Kehutanan) dan RTRWP (yang dikembangkan Provinsi) , menghasilkan serangkaian peta yang dinamai TGHK Paduserasi.10 Peta-peta ini banyak tetapi tidak tuntas mengurangi perbedaan antara RTRWP dengan versi-versi batas Kawasan Hutan menurut Kementerian Kehutanan, namun gagal mengoreksi kesalahan alokasi daerah berhutan dan gundul sebagai Kawasan Hutan versus Kawasan non Hutan. Akibatnya, banyak lahan di Kawasan Hutan nyatanya gundul namun tidak tersedia untuk pertanian, dan wilayah-wilayah Kawasan Non Hutan, mendukung hutan alam namun berisiko dikonversi.

Di bawah prosedur-prosedur perencanaan tata ruang saat ini (UU No. 26/2007, PP No. 15/2010 serta juga PP No 10/2010), daerah-daerah di kawasan Hutan dapat diklasifikasikan kembali sebagai Kawasan non Hutan dan membuatnya tersedia untuk pertanian namun proses ini kompleks. Dibutuhkan permintaan resmi dari Provinsi saat revisi RTRWP (dibahas di bawah), evaluasi suatu tim ahli ad hoc, pembuktian bahwa >30% areal Provinsi tetap diklasifikasikan sebagai Kawasan Hutan, persetujuan dari Kementerian Kehutanan, dan persetujuan dari DPR Pusat. Dengan diskresinya Kementerian Kehutanan dapat juga meminta dilengkapnya suatu Penilaian Lingkungan Hidup Strategis bila diperkirakan ada Dampak Penting (lihat UU No. 32/2009). Kompleksitas dan tiada transparannya proses ini merupakan tantangan besar untuk mengoptimalkan rencana tata ruang mendukung tujuan-tujuan Green Growth Indonesia.

Kegiatan-kegiatan di tingkat provinsi untuk mendefinisikan RTRWP, yakni lapis analisis kedua, dimaksudkan untuk menghaluskan penetapan Kawasan Lindung (yang boleh diperluas tapi tidak dikurangi) dan Kawasan Budidaya yang dipetakan di RTRWN. Yang paling penting bagi sawit adalah pembagian Kawasan Budidaya menjadi daerah yang dialokasikan untuk kehutanan sebagai bagian dari Kawasan Hutan yang diatur oleh Kementerian Kehutanan (dinamai Kawasan Budidaya Kehutanan, KBK) versus kawasan yang dialokasikan untuk pemanfaatan lain termasuk pertanian (dinamai Kawasan Budidaya Non-Kehutanan, KBNK) (lihat Gambar 4, teks utama). Wilayah-wilayah yang didefinisikan sebagai KBNK jatuh di luar Kawasan Hutan dan dapat diterbitkan izinnya untuk minyak sawit dan diatur oleh pihak berwenang setempat tanpa campurtangan langsung dari Pemerintah Pusat. Proses menentukan pemisahan antara KBK dan KBNK dan dengan demikian batas-batas Kawasan Hutan, adalah suatu negosiasi dantara pemerintah provinsi dengan Kementerian Kehutanan, tetapi seperti dicatat di atas, kewenangan akhirnya ada pada Kementerian Kehutanan sebab perubahan apapun pada Kawasan Hutan membutuhkan persetujuannya. Wilayah-wilayah KBK di

Provinsi-ProvinsiRiaudanKalimantanTengahbelumpernahmencapaikesepakatanmengenaiwilayah-wilayahyangharusdianggapKawasan Hutan.

10

Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan berkelanjutan 55lAmPIRAN 1

dalam Kawasan Hutan dapat diklasifikasi lebih lanjut sebagai Hutan Produksi Konversi, (HPK), yang pada gilirannya dapat diberikan izin untuk minyak sawit, namun pengembangannya tergantung dibebaskannya wilayah-wilayah semacam itu oleh Kementerian Kehutanan untuk pertanian (Lihat Gambar 4).Penyusunan RTRWP dijadwalkan agar bersamaan dengan pengembangan rencana tata ruang tingkat kabupaten (RTRWK), yang merupakan lapis ketiga perencanaan tata ruang. RTRWK disusun para perencana kabupaten dan diserahkan kepada perencana tingkat provinsi untuk dilakukan rekonsiliasi dengan rancangan rencana tataruang provinsi. Sementara kabupaten diberdayakan di bawah desentralisasi untuk mengembangkan RTRWK, UU No. 26/2007 menetapkan bahwa para perencana kabupaten harus menghormati RTRWP yang mendefinisikan batas-batas Kawasan Hutan yang juga mesti mengikuti penunjukan Kawasan Hutan oleh Kementerian Kehutanan atau mencari persetujuan bila ada penyimpangan dari hal itu (seperti dilukiskan di atas) .

Dengan demikian meskipun kewenangan signifikan telah diberikan pada tingkat pemerintah provinsi dan kabupaten dalam mengembangkan rencana tata ruang, pemerintah pusat tetap memiliki kontrol besar atas prosesnya, melalui penetapan Kawasan Hutan (KBK vs KBNK) dan daerah Lindung yang didepinisikan oleh rencana tata ruang nasional, dan dengan demikian juga wilayah-wilayah yang dapat digunakan untuk penembangan sawit. Dalam hal ini kontrol Kementerian Kehutanan dapat dianggap sebagai suatu pengaman untuk mencegah pemerintah daerah memberikan izin sawit di kawasan-kawasan hutan, suatu hasil positif untuk lingkungan hidup. Namun di sisi lain, proses kompleks dari pembebasan kawasan gundul (berkarbon rendah) di Kawasan Hutan oleh Kementerian Kehutanan tetaplah menjadi penghambat utama pengembangan sawit di lahan berkarbon rendah.

5. Perizinan Sawit • UUNo.32/2009• PeraturanMenteriNegaraAgraria/KepalaBadanPertanahan Nasional No. 2/1999• PPNo.40/1996• PPNo.24/1997• PPNo.27/1999• PermentanNo.26/2007• PermenhutNo.33/2010,No.17/2011danNo.44/2011

Banyak undang-undang dan peraturan terkait perizinan sawit mendefinisikan: (i) izin yang dibutuhkan untuk mengembangkan; (ii) proses-proses dan persyaratan untuk memperoleh izin tersebut; (iii) pembagian kewenangan pemerintah antara pusat dan daerah untuk menerbitan izin; dan (iv) syarat-syarat untuk memperoleh Hak Guna Usaha jangka panjang setelah perkebunan dikembangkan. Satu instrumen hukum kritis yang mengodifikasi kerangka ini adalah peraturan Kementerian Pertanian No. 26/2007 mengenai Instruksi untuk Perizinan Perkebunan (Permentan No. 26/2007). Kewenangan hukum Permentan No. 26/2007 didapatkan dari Undang-Undang Perkebunan 2004 yang menjadi tonggak, yang menugaskan kewenangan kepada Kementerian Pertanian untuk meresmikan persyaratan dan prosedur perizinan untuk

Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan berkelanjutan 56lAmPIRAN 1

diterapkan di tingkat lokal dan nasional.

Izin-izin utama yang disyaratkan untuk mengembangkan perkebunan-perkebunan minyak sawit dan memperoleh HGU jangka panjang dari Negara dijelaskan secara garis besar di Gambar 5 di teks utama di atas; undang-undang dan peraturan kuci yang relevan bagi setiap langkah juga diperlihatkan. Secara singkat, perusahaan disyaratkan memperoleh suatu Izin Lokasi yang memberikan hak untuk memulai negosiasi dengan masyarakat-masyarakat setempat untuk pembebasan lahan untuk penanaman sawit dan untuk memulai melakukan AMDAL sesuai syarat yang berlaku dan kegiatan survei lapangan lainnya. Setelah AMDAL diselesaikan dan disetujui (lihat di bawah) perusahaan diberi Izin Lingkungan oleh kantor daerah Kementerian Lingkungan Hidup. Bersama dengan rencana pengembangan perkebunan, satu pernyataan di bawah sumpah untuk mengembangkan petak-petak petani kecil, serta dokumen-dokumen lain, suatu izin digunakan untuk mendapatkan Izin Usaha Perkebunan (IUP). Begitu IUP dikeluarkan sebuah perusahaan harus memperoleh suatu Izin Pembukaan Lahan (IPL) dari pihak berwenang daerah untuk memulai pengembangan.

Pada titik ini perusahaan secara hukum diizinkan memulai pengembangan asalkan: (i) telah diperoleh persetujuan masyarakat untuk pembebasan lahan; dan (ii) wilayah izin jatuh di luar Kawasan Hutan sehingga dialokasikan untuk pertanian (APL atau KBNK) di mana pejabat setempat memiliki kewenangan untuk memberi izin pengembangan. Jika izin jatuh di dalam Kawasan Hutan dan daerah itu telah diklasifikasikan sebagai Hutan Produksi Konversi maka mesti diajukan permohonan untuk pembebasan HPK kepada kantor Kementerian Kehutanan setempat. Ini adalah suatu proses dua tahap, (lihat Gambar 5), yang pertama, permohonan untuk memperoleh persetujuan dalam prinsipnya (Persetujuan Prinsip Pelepasan Kawasan HPK) setelah memperoleh Izin Lokasi, dan yang kedua adalah suatu permohonan yang diajukan setelah batas-batas perkebunan tersebut telah disepakati guna memperoleh Keputusan Menteri Kehutanan untuk pembebasan HPK (Keputusan Menteri tentang Pelepasan Kawasan HPK).

Satu proses perizinan penting lainnya berjalan paralel dengan yang di atas, dan disyaratkan untuk memperoleh Hak Guna Usaha yang berjangka panjang untuk menguasai perkebunan (lihat Gambar 5). Izin ini memberikan penguasaan atas lahan selama 35 tahun dengan opsi memperpanjang selama 25 tahun lagi. Proses ini dapat dimulai di titik manapun setelah Izin Lokasi telah didapatkan tetapi tak dapat diselesaikan sehingga langkah 1-4 di Gambar 5 sudah diselesaikan dan batas-batas perkebunan telah ditentukan di lapangan oleh pejabat kantor Badan Pertanahan Nasional setempat.

Izin Lokasi berlaku selama 3 tahun dengan kemungkinan memperpanjang selama satu tahun. Merupakan tantangan bagi perusahaan untuk melengkapi perizinannya dalam waktu yang ditentukan, mengingat bahwa di samping mengembangkan beberapa ribu hektar perkebunan mereka juga harus mengadakan konsultasi dengan masyarakat untuk menegosiasikan pembebasan lahan, menerapkan beberapa pengaman lingkungan hidup guna

Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan berkelanjutan 57lAmPIRAN 1

mengurangi dampak negatif pengembangan perkebunan yang teridentifikasi di dalam AMDAL dan penilaian daerah konservasi tinggi bagi anggota RSPO, serta mengorganisasikan dan mengontrol kontraktor-kontraktor agar patuh pada langkah-langkah pengamanan tersebut.

• PP No. 27/1999• PermenLHNo.28/2006• UUNo.32/2009• KeppresNo.32/1990• PermentanNo.14/2009

Unsur-unsur kerangka hukum nasional untuk sawit telah dirancang agar menghindarkan atau mengurangi dampak lingkungan hiudup perkebunan dan pabrik minyak sawit. Kerangka tersebut mencakup undang-undang dan peraturan nasional, yang dilengkapi dengan banyak Peraturan Menteri dan di bawah Menteri yang menentukan: (i) standar kontrol polusi yang meliputi pupuk, pestisida, herbisida, polutan udara (termasuk yang dihasilkan api) dan air limbah; (ii) prosedur-prosedur dan standar-standar untuk melakukan Penilaian Dampak Lingkungan / AMDAL; dan (iii) kawasan lindung setempat yang tidak boleh dikembangkan.

AMDAL menganalisis dampak lingkungan yang mungkin timbul akibat suatu kegiatan pembangunan yang diajukan dan mengidentifikasi langkah-langkah yang direkomendasikan untuk meminimalkan dan atau menghindarkan dampak-dampak lingkungan suatu proyek. Secara teori dokumen tersebut menyediakan basis diskusi antara pendukung proyek, pejabat pemerintah, dan masyarakat terdampak mengenai apakah proyek yang diajukan sebaiknya terus dilaksanakan mengingat ukuran besarnya dampak dan potensi untuk menguranginya. AMDAL merupakan syarat ketat bagi perkebunan sawit di atas 50 ha luasnya dan diintegrasikan ke dalam prosedur-prosedur perizinan (lihat Gambar 5 dan Box 1).

6. Pengelolaan Dampak-Dampak lingkungan

Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan berkelanjutan 58lAmPIRAN 1

Kriteria untuk menentukan batas-batas Kawasan Lindung Setempat pertamakalinya dinyatakan di dalam Keputusan Presiden No. 32/1990 dan sejak itu telah diperkuat dengan peraturan-peraturan yang lebih baru. Peta-peta daerah yang dilindungi setempat tidak dibuat oleh lembaga pemerintah tetapi harus diidentifikasikan dan dihindari berdasarkan sifat-sifat biofisik yang diukur di lapangan saat pengembangan perkebunan. Daerah yang tidak boleh dikembangkan mencakup :• Lahangambutdenganketebalanlebihdari3meter.• Daerahpenyanggapasangnaiklautsetidaknya100meterdaribatasair

tertinggi.• Daerahpenyanggatepisungaiselebar5meteruntuksungaidengantanggul

dan 100 meter untuk sungai atau 50 meter untuk anak sungai.

ProsesdirumuskandidalamPeraturanPemerintahNo.27mengenaipenilaiandampaklingkungan(PPNo.27/1999)danterdiridariempatbagian:(i)KerangkaAcuan(KA),merumuskanjangkauandanpendekatan;(ii)AnalisisDampakLingkungan(AMDAL);(iii)RencanaKelolaLingkungan(RKL);dan(iv)RencanaPemantauanLingkungan,(RPL).AMDALharusdilaksanakanuntuksemuaperkebunansawitdiatas50ha(PermenLHNo.28/2006)dandikerjakanuntukperusahaanolehindividuatauperusahaankonsultasiyangmendapatakreditasidari Kementerian Lingkungan Hidup untuk melaksanakan AMDAL.

SuatukomisiAMDALadhocyangdibentukolehpejabatpemerintahdaerahdanahli-ahlilainmengevaluasisetiap langkah di dalam proses AMDAL. Ini dimulai dengan pengumuman mengenai niat sebuah perusahaan untukmelaksanakanAMDALdanmenyelenggarakansuatukonsultasipubliksaatpengembanganKA.SetelahadapersetujuanatasKAolehkomisi,timmulaimelakukankerjalapanganuntukmemperolehdata-datadasarmeliputiparamaterfisik,parameterbiologisdanunsur-unsursosial,ekonomidanbudaya.ANDALdibuatdenganmenggambarkanletaknya,kegiatanyangakandilakukandandampak-dampakyangmungkintimbul,disusulolehlangkah-langkahrekomendasiuntukmengurangidampak-dampak(RKL)danpengawasanyangdibutuh-kanuntukmengevaluasidampak-dampaknya(RPL).SetelahrancanganAMDALdiselesaikankomisiAMDALdisyaratkanmelaksanakansuatupemaparanpublikuntukmendapatkanmasukandanuntukmengevaluasidokumen-dokumennya.Inidapatberujungpadarekomendasiuntukperbaikan,penolakanataupersetujuan,yangditeruskankeBupatiatauGubernuruntukmemperolehkeputusanakhir.JikaAMDALditolakmakakegiatanproyekyangdiajukandihentikan.

DalampraktiknyasangattidaklazimsuatuAMDALproyeksawitditolakkarenadampaknyaterlalukeras.Inisebagianmencerminkantantanganmenemukanpihak-pihakyangmemilikikualifikasidenganpengetahuandanpemahamanyangmemenuhisyaratuntukmengevaluasisoal-soallingkunganhidupdenganbebasdarikonflikkepentingan.IajugamencerminkanperasaanumumbahwaAMDALadalahsekedarformalitasuntukmemenuhipersyaratanizin,danbukansuatupeluangsesungguhnyauntukmenyaringataumembentukulangkegiatan-kegiatanpembangunanyangtidaksesuaidengansuatutempattertentu.Menurutprosedur-prosedurformal,AMDALadalahalatyangkuatuntukmendemokratiskankeputusanatassumberdayaalamdidalamkerangkahumumyangada.Perbaikan-perbaikansignifikandalamimplementasinyatentudibutuhkanuntukmembuatnyatapotensiini.

BOX 1Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) di Indonesia

Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan berkelanjutan 59lAmPIRAN 1

• Daerahpenyanggadisekelilingdanaudanbendungansetidaknya50-100meter dari batas air tertinggi.

• Daerahpenyanggadisekitarmataairpermukaansetidaknya200meter.• Lerengyanglebihdari40%.

Pembatasan lebih lanjut atas pengembangan lahan gambut juga diberlakukan oleh Kementerian Pertanian dalam Permentan No. 14/2009. Perturan ini melarang pengembangan (a) pada gambur di mana >70% wilayahnya >3 meter tebalnya, atau (b) di mana gambut < 3 meter tebalnya memiliki sifat spesifik yang dianggap berisiko tinggi untuk dikembangkan (lihat Box 2 untuk deskripsi lebih lengkap).

PermentanNo.14/2009mengenaipemanfaatanlahangambutuuntukminyaksawittidakmelarangpengembanganlahangambutnamunmembatasipengembanganhanyapadawilayahyangmemenuhisyaratpra-kondisitertentu:1.Gambutharuskurangdari<3mtebalnya(tepatnya,70%daritotalwilayahyangditanamiharusberadadi

lahangambut<3m,dengandibolehkanadapetak-petakkecil>3m);2.Mineraltanahdibawahnyatidakbolehberupapasitkwarsaatautanahasamsulfat;3.Lahangambutharussudahberkembangbaik(dalamkedewasaansapricatauhemic);gambutfebricyang

belumdewasatidakdibolehkan;4.Gambutharusmemilikitingkat-tingkatkesuburaneutrophic(didefinisikansebagaicukupkesuburanuntuk

pertumbuhansawit).

PeraturaniniberlakubagisetiapperusahaanyangdiberiIzinUsahaPerkebunan(IUP)dilahangambutsetelahFebruari2009.Hasilyangdisyaratkanadalahsebuahpetayangmenunjukkanlahangambutyangdiizinkandenganskalasedikitnya1:100,000.Lembaga-lembagakompetenyangdiidentifikasiKementerianPertaniantermasukInstitutPenelitianSawitIndonesia(IOPRI),Sucofindo(suatulembagasertifikasiIndonesia),danBalaiBesarSumberDayaLahanPertanian.Berdasarkanpetainisuatudesainperkebunandanrencanakerjatahunanharus dibuat, dengan merumuskan waktu dan tempat pembukaan lahan dan kegiatan penanaman, pemeliharaan perkebukansertausaha-usahakonservasi(khususnyahidrologi).

Permentaninimemperkuatperaturanlainiyangmelarangpenggunaanapiuntukmenyiapkanlahanuntukditanamidanmenjelaskansecaragarisbesarsyarat-syaratlainuntukpengembanganlahangambut,termasukketentuan-ketentuanuntukmempertahankanfungsihidrologismelaluipemasangansuatusistemkontrolairuntukmempertahankanpermukaanairpadakedalamantaklebihdari60-80cmdibawahpermukaangambut.BebanuntukmembuktikankepatuhandenganPermentaniniadapadaperusahaanminyaksawityangdiberiizin;bukanlahsuatusyaratagarpemerintahdaerahmelakukanpenyaringanawalterhadapIzinLokasisebelumditawarkan kepada perusahaan.

PermentanNo.14/2009jugamenentukanbahwapemantauantahunanperkembanganperkebunanharusdilaksanakanolehpihakberwenangPemerintahPusatatauKabupatenuntukmenjaminbahwaperkebunanmengikutirencanayangsudahdisetujui.Jikaditemukanketidakpatuhan(misalnyapenanamanterjadidiluardaerahyangdiizinkan)makaserangkaiandaritigaaksikoreksiperingatankwartalanditerbitkan.JikaperingatantidakdihiraukanmakapemerintahdaerahdapatmemohonKementerianPertanianmembatalkanizinoperasiperusahaan tersebut.

BOX 2Pembatasan penggunaan lahan gambut untuk budidaya sawit - Permentan No. 14/2009

Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan berkelanjutan 60lAmPIRAN 1

7. Kinerja Perkebunan dan Kepatuhan kepada Hukum

• PermentanNo.7/2009• PermentanNo.19/2011

Kepatuhan industri dengan kerangka peraturan Pemerintah Indonesia yang mencakup dampak-dampak sosial dan lingkungan hidup sawit, sangat bervariasi, mencerminkan perbedaan-perbedaan di dalam filsafat perusahaan dan kemampuan pihak berwenang daerah untuk mengawasi dan memverifikasi kepatuhan kepada hukum. Kementerian Pertanian belum lama ini memberlakukan dua peratiran yang didesain untuk menstandarkan upaya-upaya pengawasan, mendukung kepatuhan kepada persyaratan hukum, dan memfasilitasi suatu penerimaan lebih luas praktik-praktik agronomi sawit yang lebih baik.

Peraturan untuk mengevaluasi perusahaan perkebunan (Permentan No. 7/2009)Pada bulan Februari 2009, Kementerian Pertanian menerbitkan Peraturan nomor 7 mengenai Peraturan untuk Mengevaluasi Perusahaan Perkebunan, yang mengatur pejabat-pejabat setempat untuk mengevaluasi kinerja perusahaan perkebunan di wilayah yurisdiksi mereka (Permentan No. 07/2009). Evaluasi tersebut dilaksanakan setiap tahun untuk perkebunan yang sedang dikembangkan dan sekali setiap tiga tahun untuk perkebunan yang sudah beroperasi.

Maksud dari program evaluasi seperti dinyatakan dalam Permentan No. 07/2009 adalah untuk 1. Mengevaluasi kinerja perusahaan perkebunan;2. Mengevaluasi kepatuhan dengan peraturan dan ketentuan yang berlaku;3. Mendorong perusahaan perkebunan untuk menuruti standar-standar

teknis pengelolaan perkebunan dan pabrik serta operasi perusahaan untuk memaksimalkan kinerja (semisalnya hasil panen);

4. Mendorong perusahaan perkebunan untuk memenuhi kewajiban di bawah peraturan dan ketentuan yang berlaku (misalnya mempertahankan hutan penyangga tepi sungai);

5. Mengimplementasikan suatu program mentor usaha perkebunan.

Permentan No. 7/2009 diberlakukan dengan dasar Pasal 42 UU Perkebunan (UU No. 18/2004) yang mensyaratkan dikembangkannya suatu sistem untuk mengawasi kinerja perusahaan perkebunan dan kepatuhan kepada hukum. Ia bertujuan meningkatkan hasil-hasil (panen & produksi) melalui pendukungan terhadap praktik-praktik pengelolaan yang lebih baik, meningkatkan kinerja sosial dan lingkungan hidup, dan menghukum perusahaan yang berulangkali gagal memenuhi standar-standar yang berlaku. Sistem evaluasi kinerja yang ditetapkan di dalam Permentan No. 7/2009 terpisah dari namun berjalan dalam koordinasi dengam standar Minyak Sawit Berkelanjtan Indonesia (ISPO) dan merupakan suatu langkah sebelum sertifikasi yang berujung pada sertifikasi ISPO (lihat bawah). Untuk perkebunan-perkebunan yang sedang dikembangkan avaluasi di bawah Permentan No. 7/2009 mencakup legalitas; hak atas lahan; sistem-sistem pengelolaan; kemajuan pengembangan dibandingkan rencana yang dinyatakan; kepemilikan infrastruktur; pengelolaan

Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan berkelanjutan 61lAmPIRAN 1

api dan hama; implementasi AMDAL; pembangunan masyarakat setempat; dan pelaporan. Untuk perkebunan yang sudah beroperasi, evaluasi mencakup hal-hal di atas ditambah praktik-praktik pengelolaan terkait hasil (panen) dan operasi-operasi pabrik.

Kewenangan signifikan untuk mengimplementasikan Permentan No. 7/2009 terletak pada Bupati sebagaimana juga biaya-biaya implementasinya. Bupati diberdayakan untuk menunjuk satu tim penilai yang disertifikasi oleh Lembaga Pendidikan Perkebunan di bawah suatu peraturan Menteri Pertanian yang terpisah (Permentan No. 36/2009). Penilai bersertifikasi memiliki tanggungjawab teknis dan hukum untuk hasil-hasil penilaiannya dan kinerja individual mereka dievaluasi setiap tiga tahun.

Penilaian dilaksanakan menyusul suatu evaluasi terinci dengan tuntunan pemberian skor dijelaskan secara garis besar di Permentan No. 7/2009. Bupati diberdayakan untuk menetapkan suatu ranking kinerja pada perkebunan berdasarkan hasil penilaian. Perkebunan dalam tahap pengembangan diberi skor A, B, C, D atau E (dari kinerja tinggi ke rendah); perkebunan yang beroperasi diberi skor kelas I, II, III, IV atau V. Perkebunan yang diklasifikasikan sebagai D/E atau IV/V dianggap sangat parah tidak patuh dan untuknya diterbitkan permintaan untuk melakukan langkah koreksi untuk mengatasi persoalannya di dalam satu kerangka waktu tertentu (4 sampai 12 bulan bagi perkebunan baru; 12-18 bulan bagi perkebunan yang sudah ada). Bila perusahaan tidak lalu mengadakan langkah koreksi di dalam waktu yang dijadwalkan maka izinnya dapat dicabut.11 Perusahaan yang menolak dinilai secara otomatis diklasifikasikan sebagai berada pada tingkat E atau V dan berisiko langsung kehilangan izinnya. Hasil dari penilaian kinerja digunakan sebagai dasar suatu perusahaan maju untuk mendapat sertifikasi ISPO. Perusahaan yang diberi kelas kinerja I-III (atau A-C) dianggap memenuhi syarat untuk maju menuju sertifikasi ISPO.

Minyak Sawit Berkelanjutan Indonesia (Permentan No. 19/2011)Di bulan Maret 2011 Kementerian Pertanian memberlakukan Permentan No. 19/2011 guna meningkatkan praktik-praktik industri minyak sawit melalui sertifikasi menurut standar yang dirumuskan pemerintah bernama standar Minyak Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil /ISPO. Peraturan ini mensyaratkan semua produsen minyak sawit di Indonesia patuh pada kriteria ISPO selambat-lambatnya mulai 31 December 2014.

Standar ISPO terdiri dari tujuh prinsip, 45 kriteria dan 174 indikator yang didasarkan pada kerangka hukum nasional (dengan sedikit tambahan) dan meliputi:

Anehnya,peraturanitujugamenetapkanbahwasetelahevaluasidilengkapi,skorharusdiberikandalamwaktu2bulan,jikatidakmakadiperolehkelasAataukelasI(tertinggi).

11

Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan berkelanjutan 62lAmPIRAN 1

• Aspek-aspek sosial mencakup kepenguasaan lahan, kesejahteraan buruh, tanggungjawab sosial dan pembangunan ekonomi setempat;

• Aspek-aspek lingkungan hidup mencakup emisi-emisi gas rumah kaca, perlindungan keanekaragaman hayati dan kontrol polusi;

• Aspek-aspek produktifitas dikaitkan kepada praktik-praktik agronomik yang baik dan teknik-teknik pengoperasian pabrik; dan

• Prinsip-prinsip peningkatan yang terus menerus.

Implementasi dari peraturan ISPO terkait erat dengan Sistem Evaluasi Kinerja Perkebunan Permentan No. 07/2009 yang dideskripsikan di atas. Sistem-sistem didesain untuk diimplementasikan dalam koordinasi sehinigga perusahaan yang mencapai tingkat kinerja tertentu di bawah Permentan No. 07/2009 maju ke audit sertifikasi ISPO oleh suatu lembaga sertifikasi yang disetujui (CB). Akreditas suatu CB diawasi oleh Komisi ISPO, dengan prioritas diberikan kepada CB yang sudah diakreditasi oleh Komisi Akreditasi Nasional untuk audit atas standar-standar lain. Audit ISPO harus dilaksanakan oleh auditor ISPO yang terakreditasi yang mengikuti sistem evaluasi dan skor yang sudah ditentukan sebelumnya, dengan diawasi oleh CB.

Sementara rincian standar ISPO berbeda dari standar RSPO, sistem sertifikasinya secara umum sama, dan struktur standarnya juga banyak persamannya. Beberapa perbedaan utama di antaranya adalah bahwa RSPO bersifat sukarela sedangkan ISPO adalah wajib untuk semua perusahaan perkebunan yang beroperasi di Indonesia. Dalam pengertian ini ISPO memiliki jangkauan yang lebih luas daripada RSPO guna mendorong peningkatan-peningkatan di dalam kinerja di seluruh industri sawit khususnya di antara mereka yang menunjukkan ketidakpatuhan yang kronis.

Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan berkelanjutan 63lAmPIRAN 1

Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan berkelanjutan 64lAmPIRAN 2

Hubungan kuasa Negara, Perusahaan dan Individu – Individu • Keputusan 1.1: Kewenangan menerbitkan izin untuk pengembangan lahan

berada di Negara kecuali bila ada kewenangan-kewenangan lain yang dapat dibuktikan dengan jelas.

Batas-batas dan Pengelolaan Kawasan Hutan• Keputusan 1.2: Kementerian Kehutanan menentukan batas-batas

Kawasan Hutan dan Kawasan non Hutan di seluruh Indonesia. o Keputusan di bawahnya 1.2.1: Kementerian Kehutanan memiliki

kewenangan tertinggi untuk merumuskan lokasi dan luasnya suatu Kawasan Hutan.

o Keputusan di bawahnya 1.2.2: Undang Undang Rencana Tata Ruang 2007 (UU No. 26/2007) yang diberlakukan untuk memandu rencana penggunaan lahan pada skala nasional memperkuat dan memberi afirmasi pada kewenangan Kementerian Kehutanan untuk merumuskan Kawasan Hutan.

• Keputusan 1.3: Kementerian Kehutanan memiliki kewenangan pengelolaan final pada Kawasan Hutan.o Keputusan di bawahnya 1.3.1: Lahan yang dialokasikan untuk konversi

(Hutan Produksi Konversi) di dalam Kawasan Hutan dapat dilepas dengan diskresi Kementerian Kehutanan.

o Keputusan di bawahnya 1.3.2: Perkebunan sawit tidak disebut sebagai hutan.

Kewenangan dan prosedur-prosedur untuk penerbitan Izin Lokasi • Keputusan 1.4: Pemerintah daerah memiliki wewenang untuk menerbitkan

izin untuk sawit di wilayah-wilayah yang dialokasikan untuk pertanian di dalam perencanaan tata ruang.

• Keputusan 1.5: Apakah keputusan mengenai di mana menerbitkan izin sawit di lokasi tertentu mempertimbangkan perencanaan pembangunan jangka panjang untuk mengoptimalkan hasil pembangunan. o Keputusan di bawahnya 1.5.1: Apakah pemerintah daerah membuat

keputusan-keputusan perizinan dengan merujuk tujuan-tujuan pengembangan sawit sebagai bagian dari rencana pembangunan jangka panjang.

o Keputusan di bawahnya 1.5.2: Apakah perencanaan infrastruktur diberi pertimbangan eksplisit di dalam keputusan-keputusan di mana Izin Lokasi sawit diberikan.

o Keputusan di bawahnya 1.5.3: Apakah stok karbon dipertimbangkan di dalam proses pengambilan keputusan untuk menerbitkan Izin Lokasi, misalnya dalam mengejar ‘perencanaan pembangunan emisi rendah’.

1. Di mana Izin Diterbitkan untuk Pengembangan Sawit

lAmPIRAN 2Rangkuman Keputusan-Keputusan yang dievaluasi di Laporan Lengkap

Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan berkelanjutan 65lAmPIRAN 2

o Keputusan di bawahnya 1.5.4: Apakah pemerintah memanfaatkan alat-alat pendukung keputusan untuk menyeimbangkan berbagai tujuan di dalam membuat keputusan mengenai di mana akan menerbitkan izin sawit.

• Keputusan 1.6: Pemerintah daerah disyaratkan oleh keputusan pemerintah pusat agar berkonsultasi dengan masyarakat setempat sebelum mengeluarkan suatu Izin Lokasi.o Keputusan di bawahnya 1.6.1: Apakah proses konsultasi tersebut

dilukiskan rinci.o Keputusan di bawahnya 1.6.2: Apakah mengembangkan bahan

konsultasi yang distandarkan.o Keputusan di bawahnya 1.6.3: Apakah dan bagaimanakah masukan

masyarakat dipertimbangkan di dalam keputusan menerbitkan suatu Izin Lokasi.

o Keputusan di bawahnya 1.6.4: Apakah konsultasi dilaksanakan dengan menyeluruh atau tidak.

• Keputusan 1.7: Di dalam lahan yang dialokasikan untuk konversi di bawah rencana tata ruang apakah ada peraturan yang jelas dan mengikat untuk mengarahkan sawit ke lahan-lahan yang sesuai.

Prosedur-prosedur yang disyaratkan menyusul penerbitan suatu Izin Lokasi• Keputusan 1.8: Perusahaan memiliki tanggungjawab akhir dalam

memperoleh persetujuan masyarakat untuk pengembangan sawit menurut rencana dan harus melakukan hal itu di dalam waktu tiga tahun.o Keputusan di bawahnya 1.8.1: Perusahaan bertanggungjawab

melakukan negosiasi dengan masyarakat untuk menjamin (a) pembebasan lahan dan kesepakatan kompensasi untuk hak guna jangka panjang; (b) persetujuan mengenai kesepakatan pembagian lahan antara perkebunan dan anggota masyarakat; dan (c) ketentuan-ketentuan perjanjian kemitraan dengan masyarakat yang menjadi petani kecil yang terikat dengan membebaskan lahan untuk perusahaan sawit.

o Keputusan di bawahnya 1.8.2: Apakah pemerintah atau organisasi-organisasi masyarakat sipil mendukung dan mengawasi proses negosiasi guna menjamin prosedur-prosedur keterbukaan dan partisipasi diikuti?

• Keputusan 1.9: Penelitian lapangan yang rinci dilaksanakan untuk mengevaluasi keserasian lingkungan untuk sawit dan untuk mengidentifikasi wilayah-wilayah yang secara lingkungan hidup peka, yang harus dilindungi. o Keputusan di bawahnya 1.9.1: Penelitian lapangan yang rinci

dilaksanakan setelah (bukan sebelum) suatu Izin Lokasi diterbitkan. o Keputusan di bawahnya 1.9.2: Apakah ada ambang batas-ambang

batas tertentu yang didefinisikan untuk dampak maksimum yang diperbolehkan (misalnya, pembabatan hutan di daerah hulu daerah aliran sungai atau konversi seluruh lahan pertanian petani desa).

o Keputusan di bawahnya 1.9.3: pemerintah-pemerintah daerah mengevaluasi AMDAL dan pemetaan ketebalan gambut untuk memverifikasi kepatuhan pada pengamanan dengan sedikit pengawasan fungsional dari pemerintah pusat guna memastikan bahwa peraturan-peraturan diikuti.

• Keputusan 1.10: Menyusul penerbitan suatu Izin Lokasi serangkaian izin tambahan masih diperlukan, setiapnya dengan suatu proses keputusan yang telah ditetapkan lebih dahulu. o Keputusan di bawahnya 1.10.1: Apakah (a) suatu Izin Lingkungan; (b) Izin

Usaha Perkebunan; (c) Izin Buka Lahan; (d) Surat Pelepasan Kawasan Hutan; dan (e) Hak Guna Usaha untuk jangka panjang, diterbitkan.

o Keputusan di bawahnya 1.10.2: Apakah, dan dalam keadaan bagaimana, salah satu dari izin di atas dapat dicabut.

Pendekatan-pendekatan untuk mengawasi pengambilan keputusan mengenai di mana Izin sawit diterbitkan• Keputusan 1.11: Proses perizinan secara keseluruhan sangat

terdesentralisasi dengan bimbingan dan pengawasan terbatas dari Pemerintah Pusat perihal keputusan perizinan.

• Keputusan 1.12: Perusahaan-perusahaan harus mematuhi standar Minyak Sawit Berkelanjutan Indonesia (ISPO) dan menjadi subyek audit independen oleh lembaga terakreditasi untuk memverifikasi kepatuhannya.

• Keputusan 1.13: Apakah perusahaan-perusahaan memberlakukan kriteria sukarela yang melebih yang disyaratkan undang-undang (misalnya RSPO, ISCC) untuk mengidentifikasi dan mengelola risiko-risiko lingkungan hidup dan sosial yang muncul akibat pengembangan.

Pengambilan Keputusan mengenai Pengembangan Perkebunan• Keputusan 2.1: Daerah-daerah peka secara lingkungan hidup di dalam

wilayah perkebunan. o Keputusan di bawahnya 2.1.1: Apakah daerah-daerah yang secara

lingkungan hidup peka ditentukan batas-batasnya dan dihindarkan di dalam perkebunan.

o Keputusan di bawahnya 2.1.2: Daerah-daerah yang peka secara lingkungan hidup diidentifikasi dengan merujuk syarat-syarat hukum, atau merujuk standar-standar sukarela, atau keduanya?

o Keputusan di bawahnya 2.1.3: Apakah daerah-daerah yang agak peka yang secara hukum dibolehkan untuk ditanami dikembangkan menuruti ketentuan-ketentuan khusus?

• Keputusan 2.2: Perlakuan terhadap lahan yang tidak dikembangkan di dalam HGU.o Keputusan di bawahnya 2.2.1: Apakah daerah-daerah yang tidak

dikembangkan dikeluarkan dari HGU atau tetap dimasukkan di dalamnya untuk mempertahankan kewenangan pengelolaan.

o Keputusan di bawahnya 2.2.2: Pendekatan hukum yang dipakai untuk mempertahankan wilayah yang tidak dikembangkan di dalam HGU.

• Keputusan 2.3: Persiapan lahan untuk penanaman sawit.o Keputusan di bawahnya 2.3.1: Apakah digunakan api atau cara manual

untuk membersihkan sisa vegetasi dalam persiapan penanaman. o Keputusan di bawahnyan 2.3.2: Pengawasan dan kontrol terhadap

kontraktor-kontraktor yang bertanggungjawab atas persiapan lahan.

Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan berkelanjutan 66lAmPIRAN 2

2. Dampak-dampak lingkungan hidup Perkebunan dan Pabrik

Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan berkelanjutan 67lAmPIRAN 2

3. Hubungan masyarakat-Perusahaan

Pengambilan Keputusan Soal Pengelolaan Perkebunan• Keputusan 2.4: Kontrol atas polusi udara, air dan suara sebagai bagian dari

operasi pengelolaan perkebunan. • Keputusan 2.5: Apakah perkebunan yang dikembangkan di dearah yang

secara hidrologi peka seperti daerah aliran sungai dan lahan gambut dikelola untuk memodulasi aliran air dan emisi-emisi GRK yang muncul akibat drainase.

• Keputusan 2.6: Apakah penggunaan pupuk organik didukung untuk mengurangi ketergantungan pada pupuk kimia untuk mempertahankan produktifitas perkebunan.

• Keputusan 2.7: Apakah daerah yang sengaja dibiarkan dan penyangga tepi sungai di dalam perkebunan dilindungi secara aktif dari ancaman eksternal semisal perburuan atau penebangan liar.

• Keputusan 2.8: Apakah perkebunan dikelola untuk meningkatkan hasil panen.

Pengambilan Keputusan atas Operasi Pabrik• Keputusan 2.9: Apakah penggunaan air oleh pabrik dioptimalkan untuk

meminimalkan pemakaian air dan dengan demikian mengurangi dampak-dampak pada pasokan air dan habitat air setempat.

• Keputusan 2.10: Apakah metode-metode penangkapan methan dari kolam-kolam pengolahan POME digunakan untuk mengurangi emisi GRK dari operasi-operasi pabrik.

• Keputusan 2.11: Apakah pembersih-pembersih CO2 dipasang pada boiler untuk mengurangi emisi GRK dari operasi pabrik.

Mendefinisikan peran-peran masyarakat dan perusahaan• Keputusan 3.1: Apakah kepemilikan masyarakat atas tanah diakui secara

resmi.

Konsultasi masyarakat sebelum menerbitkan Izin Lokasi • Keputusan 3.2: Pemerintah daerah melakukan konsultasi dengan

masyarakat sebelum menerbitkan izin lokasi.• Keputusan 3.3: Apakah perusahaan mengerjakan semua syarat-syarat

hukumnya (due diligence) sendiri sebelum membeli sebuah Izin Lokasi.

Konsultasi Masyarakat untuk meningkatkan kesadaran (‘Sosialisasi’) setelah suatu Izin Lokasi telah diterbitkan• Keputusan 3.4: Sejauh mana sosialisasi untuk pembebasan lahan dipimpin

oleh perusahaan.• Keputusan 3.5: Peran pemerintah dalam mendukung sosialisasi.• Keputusan 3.6: Apakah dan bagaimanakah mengembangkan panduan

dan bahan-bahan sosialisasi yang bersifat generik.

Istilah-istilah utama perjanjian kemitraan• Keputusan 3.7: ‘Kompensasi’ yang dibayarkan ke masyarakat untuk

memperoleh hak guna usaha lahan.• Keputusan 3.8: Rasio pembagian lahan yang diimplementasikan saat

tahapan pengembangan perkebunan.• Keputusan 3.9: Lokasi, pengembangan dan pemeliharaan infrastuktur

petak-petak petani kecil.o Keputusan di bawahnya 3.9.1: Di mana petak sawit petani kecil

ditempatkan.o Keputusan di bawahnya 3.9.2: Jadwal untuk mengembangkan petak

petani kecil.o Keputusan di bawahnya 3.9.3: Pemeliharaan infrastruktur dari petak

petani kecil menuju pabrik.• Keputusan 3.10: Kualitas bahan-bahan yang digunakan untuk petak-petak

petani kecil.• Keputusan 3.11: Pelatihan dan dukungan layanan penyuluhan untuk petani

kecil guna mendukung dilakukannya praktik-praktik pengelolaan baik dan hasil panen tinggi.

• Keputusan 3.12: Pemilihan model kemitraan perkebunan antara perusahaan dan petani kecil.

• Keputusan 3.13: Ketentuan-ketentuan pembayaran pinjaman dan perlakuan terhadap biaya-biaya.

• Keputusan 3.14: Peluang kerja di dalam inti perkebunan dan pabrik.• Keputusan 3.15: Dukungan untuk nafkah masyarakat selama tahap

pengembangan.

Negosiasi Kesepakatan-Kesepakatan Kemitraan• Keputusan 3.16: Negosiasi mengenai ketentuan-ketentuan kesepakatan

antara petani kecil dan perusahaan perkebunan, dipimpin oleh perusahaan.• Keputusan 3.17: Apakah dan bagaimanakah pemerintah kabupaten terlibat

di dalam negosiasi kesepakatan kemitraan.

Operasi-operasi perkebunan dan manfaat-manfaat petani kecil• Keputusan 3.18: Menentukan harga tandan buah segar petani kecil.• Keputusan 3.19: Dukungan perusahaan perkebunan untuk

mengembangkan koperasi-koperasi petani kecil.

Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan berkelanjutan 68lAmPIRAN 2

The Nature ConservancyIndonesia Program

Graha Iskandarsyah, 3rd Fl.Jl. Iskandarsyah Raya No. 66CKebayoran Baru, Jakarta 12160IndonesiaTel: +6221 7279 2043Fax: +6221 7279 2044

nature.org/indonesianature.or.id