satu semester perjalanan gmss skm

44
@yustinus_esha Bergelut dan Bergulat Dengan Sampah Karang Mumus - Satu Semester Perjalanan Gerakan Memungut Sehelai Sampah SKM -

Upload: yustinus-sapto-hardjanto

Post on 24-Jan-2018

189 views

Category:

Government & Nonprofit


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Satu Semester Perjalanan GMSS SKM

@yustinus_esha

Bergelut dan Bergulat Dengan Sampah

Karang Mumus

- Satu Semester Perjalanan Gerakan Memungut Sehelai Sampah SKM -

Page 2: Satu Semester Perjalanan GMSS SKM

@yustinus_esha

Bergelut dan BergulatDengan Sampah

KARANG MUMUS

Satu SemesterPerjalanan Gerakan Memungut Sehelai Sampah SKM

Penyusun :@yustinus_esha

Foto :Misman

Desain dan Tata Letak :Basir (Pos Kaos)

Page 3: Satu Semester Perjalanan GMSS SKM
Page 4: Satu Semester Perjalanan GMSS SKM

Daftar Isi

PrologMembaca Karang Mumus Primadona Yang Merana

Bagian 1Membuka Cakrawala Lewat Media Sosial

Bagian 2Dilirik Oleh Para Pewarta

Bagian 3Bukan Mengarami Lautan, Apalagi Mengecat Langit

Bagian 4Titik Hijau Bukan Kaltim Green

Bagian 5Bocah-Bocah 'Hantu Banyu' Penjaga Sungai Karang Mumus

Bagian 6Menapak Jejak Menjelajah Karang Mumus

Bagian 7Hidup Adalah 'Urunan'

Bagian 8Berwisata dan Eksis Tak Ada Salahnya

Bagian 9Candu Itu Bernama Pangkalan Pungut

EpilogMimpi Yang Mulai Berwujud

Page 5: Satu Semester Perjalanan GMSS SKM
Page 6: Satu Semester Perjalanan GMSS SKM

PROLOG

Membaca Karang Mumus

Primadona yang Merana

Page 7: Satu Semester Perjalanan GMSS SKM

Saya tak tahu seperti apa wajah Sungai Karang Mumus dahulu, sebab saya tak terlahir,

tumbuh dan berkembang di tepiannya. Yang pasti, Sungai Karang Mumus dalam

pengetahuan banyak orang hari ini adalah sungai yang kotor, airnya hitam, berbau dan

dihiasi oleh karnaval aneka sampah.

Karang Mumus juga diidentikan dengan pemukiman yang kumuh, rumah berhimpitan di bibir

sungai. Kondisi yang kemudian menjadi tertuduh utama sebagai penyebab merosotnya

keindahan dan kesehatan Sungai Karang Mumus.

Tidaklah mengherankan jika kemudian pemberitaan dan perbincangan tentang Sungai Karang

Mumus tidak jauh dari tema relokasi yang belum juga usai, kwalitas air sungai yang terus

memburuk dan titik-titik banjir baru di sepanjang alirannya.

Padahal masih ada banyak cerita yang tersimpan di benak sebagian warga Kota Samarinda

tentang Sungai Karang Mumus di masa lalu. Mereka yang dimasa kanak-kanaknya menjadikan

Sungai Karang Mumus sebagai kolam renang pertamanya.

Banyak diantara mereka yang dimasa kecilnya mandi, berenang dan berakrobat dengan terjun

ke Sungai Karang Mumus kini menjadi orang berpangkat dan memegang jabatan di tingkat

Kabupaten/Kota hingga Provinsi di Kalimantan Timur.

Page 8: Satu Semester Perjalanan GMSS SKM

Sayangnya cerita tentang air Sungai Karang Mumus yang jernih, lalu lalang perahu membawa

berbagai muatan, batang tempat mandi dan landasan untuk terjun serta menyelam, hijau

pepohonan dan aneka ikan hingga udang tak diteruskan dari generasi ke generasi. Akibatnya

anak-anak, generasi masa kini Kota Samarinda lebih mengenal Sungai Mahakam. Sungai

Mahakam mungkin lebih menarik karena di bebapa titik tepiannya dihiasi dengan aneka

lampion bercahaya di malam hari, figur yang menarik mata, perhatian dan imajinasi.

Kota Samarinda juga lebih memilih mengelar Festival Mahakam ketimbang memilih

nama Karang Mumus sebagai event wisata tahunannya. Padahal Sungai Karang Mumus yang

panjangnya kurang lebih 34,7 km ini yang sesungguhnya milik Kota Samarinda. Barangkali

ada banyak orang yang prihatin terhadap keadaan Sungai Karang Mumus hari ini. Tak sedikit

penelitian juga telah dilakukan oleh para cerdik pandai. Namun hanya sedikit yang mau

bergerak dan memulai untuk menyehatkan kembali Sungai Karang Mumus.

Dan dari antara sedikit yang tergerak itu, lebih sedikit lagi yang mau berjuang dengan gigih

untuk memancing keterlibatan warga Kota Samarinda. Misman adalah salah satu dari yang

sangat sedikit itu. Misman, pegiat seni teater yang juga seorang jurnalis memulai aksi

keprihatinannya semenjak bertahun-tahun lalu. Memunguti aneka sampah yang tak terurai di

permukaan Sungai Karang Mumus.

Aksinya dilandasi oleh ingatan tentang Sungai Karang Mumus di masa kecilnya yang

dihubungkan dengan kondisinya hari ini. Kondisi yang kemudian disimpulkan olehnya

sebagai ketiadaan penghormatan atas sungai sebagai sumber kehidupan.

Secara sederhana dia mengungkapkan permasalahan utama dari Sungai Karang Mumus adalah

kebiasaan masyarakat membuang sampah ke sungai. Maka cara mengatasinya adalah

memungut sampah dari sungai. “Apabila semakin banyak orang memungut sampah di sungai,

maka akan semakin berkurang orang yang membuang sampah ke sungai,” terangnya.

Ini adalah aksi perlawanan dengan metode melakukan hal yang sebaliknya atau dikenal dengan

istilah contra agere. Pembuang sampah ke sungai akan habis jika pemungut sampah di sungai

lebih banyak.

Jadi aksi memungut sampah di sungai adalah perlawanan lewat tindakan, sekaligus sebagai

sebuah pendidikan kepada masyarakat agar memperlakukan dan membuang sampah dengan

baik serta benar.

Page 9: Satu Semester Perjalanan GMSS SKM

Misman sadar betul bahwa apa yang dilakukannya mungkin akan menuai pandangan miring

dari masyarakat banyak. Dan benar, terbukti tak sedikit yang menganggapnya gila. Tapi dia tak

peduli dengan semua anggapan itu.

Melalui Basit, Misman dikenalkan kepada Iyau Tupang. Nama terakhir adalah seorang Ketua

RT yang tak kalah gilanya dengan Misman. Iyau selama ini dikenal karena dengan teguh

menjaga Ruang Terbuka Hijau di wilayah yang merupakan otoritasnya, untuk tetap berfungsi

sebagai area resapan air. Pertemuan Misman dan Iyau Tupang bagaikan panci ketemu tutupnya.

Catatan kecil ini merupakan sebuah cerita perjalanan Misman dan Iyau Tupang yang juga

didukung oleh keluarga, kerabat, teman dan rekan seprofesinya dalam mengulirkan Gerakan

Memungut Sehelai Sampah Sungai Karang Mumus.

Kisah ini akan disajikan dalam bentuk Foto Story agar bisa menyajikan fakta secara lebih utuh.

Harapannya kisah ini bisa menjadi bagian dari narasi besar perjalanan Kota Samarinda

sehingga bisa menjadi inspirasi sekaligus pembelajaran untuk siapa saja yang mencintai dan

bangga menjadi bagian dari kota ini.

Page 10: Satu Semester Perjalanan GMSS SKM
Page 11: Satu Semester Perjalanan GMSS SKM

Bagian 1

Membuka Cakrawala Lewat Media Sosial

Jorok, itulah bayangan yang terus menghantui Misman setiap kali melihat dan

melewati Sungai Karang Mumus. Bayangan Sungai Karang Mumus yang dipenuhi sampah,

airnya menghitam dan bau membuat tidurnya tak nyenyak.

Sebagai pengiat seni teater dan jurnalis, Misman, pemulis buku tentang Sangkilan (Sandiwara

Tingkilan) dan pengelola tabloid pendidikan tak punya banyak teori tentang restorasi sungai.

Bahwa persoalan di Sungai Karang Mumus berderet dari hulu hingga hilir. Berkelindan antara

perilaku kebijakan, sektor swasta dan masyarakat tentu tak bisa dinafikan. Hanya yang menjadi

perhatian bagi Pak Misman adalah sampah, terutama yang dipermukaan.

Soal siapa yang salah dalam urusan sampah dan limbah, Misman tak mau berteori dan berdebat

panjang-panjang. Buat dia yang bersalah adalah yang membuang sampah, siapapun dan

apapun dia.

Dalam benaknya jika persoalan sampah bisa diatasi, maka akan lebih mudah baik bagi

pemerintah ataupun siapapun untuk menata kembali Sungai Karang Mumus. Namun jika

sampah masih memenuhi badan Sungai Karang Mumus, peralatan apapun yang diterjunkan ke

Sungai Karang Mumus entah untuk mengeruk atau menyedot lumpurnya bakal kesulitan.

Page 12: Satu Semester Perjalanan GMSS SKM

Sungai Karang Mumus pantas disebut sebagai supermarket sampah karena keanekaragaman

sesampahan yang dibuang didalamnya. Amat mudah menemukan sekantung atau sekarung

plastik berisi bulu atau usus ayam, bermacam bangkai, pakaian bekas terbungkus rapi, ban,

rangka motor, almari, kursi, televisi, kulkas hingga springbed.

Aneka sampah yang hilir mudik karena pasang surut Sungai Mahakam itu lama kelamaan akan

terkubur didasar, terbenam dalam lumpur. Selain itu Sungai Karang Mumus juga menyimpan

jebakan-jebakan yang berbahaya yaitu tunggul bekas rumah yang tak habis dicabut saat

pembongkaran pemukiman di pinggiran sungai.

Puluhan hingga ratusan foto-foto wajah Sungai Karang Mumus di saat pasang dan surut yang

diupload oleh Pak Misman melalui halaman facebooknya perlahan membuka mata sebagian

warga Kota Samarinda.

Wajah sesungguhnya dari Sungai Karang Mumus yang biasa dipandang sekilas oleh warga

Kota Samarinda kemudian hadir dalam genggaman banyak orang. Bayang-bayang sungai yang

mati fungsi karena sampah kemudian menghantui banyak orang lainnya. Dan dari antara

mereka kemudian banyak yang menyatakan diri untuk mau turun ke Sungai Karang Mumus.

Pilihan publikasi melalui media sosial terbukti ampuh. Misman memperoleh banyak

permintaan pertemanan sehingga apapun yang diposting berada di halaman banyak orang.

Untuk semakin memperluas jangkauan juga dibuat fanpage Gerakan Memungut Sehelai

Sampah SKM dan group Save Karangmumus. Publikasi yang rutin melalui facebook membuat

topik memungut sampah di Sungai Karang Mumus menjadi salah satu topik utama yang

menjadi perbincangan diantara pemakai sosial media di Kota Samarinda dan sekitarnya.

“Selama ini terlalu banyak ceremony untuk urusan bersih-bersih. Sehabis pencanangan atau

penandatanganan dukungan, semua berlalu begitu saja,” ujarnya.

Karena itu Misman memutuskan untuk memulai aksi dengan memungut sampah di Sungai

Karang Mumus. Aktivitas ini sudah dijalankan bertahun-tahun lalu disela-sela kesibukannya.

Pilihannya di jalan sunyi ternyata tidak berdampak terlalu besar.

Mulai September 2015, Misman memakai media sosial (facebook) untuk mulai meng-upload

gambar-gambar sesampahan yang ada di Sungai Karang Mumus. Lewat gambar itu mau

ditunjukkan betapa parah keadaan Sungai Karang Mumus. Sungai ini olehnya diibaratkan

sebagai tempat sampah terpanjang, supermarket sampah terbesar di Kota Samarinda.

Page 13: Satu Semester Perjalanan GMSS SKM
Page 14: Satu Semester Perjalanan GMSS SKM

Bagian 2

Dilirik Oleh Para Pewarta

Berlatar belakang seni teater dan jurnalistik

membuat Misman akrab serta kerap

berkegiatan dengan para pelaku seni,

pegiat kebudayaan di Taman Budaya dan wartawan

di PWI Kaltim. Kegelisahannya terhadap kondisi

Sungai Karang Mumus dan aktivitas memungut

sampahnya diceritakan pertama-tama di dua

lingkungan ini.

Sahabat dan teman-temannya dari Taman Budaya

dan PWI Kaltim pulalah yang mendukung apa yang

dilakukan oleh Misman. Mereka juga turut turun ke

Sungai Karang Mumus untuk bersama-sama

memungut sampahnya.

Keterlibatan para jurnalis tentu saja bukan hanya turut memungut sampah melainkan juga

memberitakan kegiatan yang dilakukan dan dipelopori oleh Misman itu. Dan semenjak

September 2015 berita tentang aksi memungut sehelai sampah Sungai Karang Mumus silih

berganti muncul di berbagai media. Berbagai macam judul berita tersaji mulai dari akhir tahun

2015 sampai awal tahun 2016 ini di harian Tribun Kaltim, Kaltim Pos, Kalimantan Pos.

Keramaian berita juga ditemukan di media berita online yaitu antarakaltim.com,

kaltim.antaranews.com, news.prokal.co. kaltim.tribunnews.com, mongabay.co.id,

vivaborneo.com, kliksamarinda.com, beritakaltim.com, kaltimnews.com dan lain sebagainya.

Muhammad Ghofar, jurnalis Kantor Berita Antara bisa disebut sebagai pewarta yang paling

rajin menuliskan berita seputar kegiatan memungut sampah di Sungai Karang Mumus. Berita

yang dituliskannya ibarat catatan harian yang menuliskan keterlibatan komunitas-komunitas

dalam Gerakan Memungut Sehelai Sampah Sungai Karang Mumus.

Sementara itu Achmad Bintoro, jurnalis dari Tribun Kaltim, berkali-kali menulis berita madya

(Feature Berita) yang apik dan mengugah tentang dinamika kerja bakti pungut sampah di

Sungai Karang Mumus terkait dengan perilaku kepemimpinan dan rencana pembangunan baik

di tingkat Provinsi Kaltim maupun Kota Samarinda.

Page 15: Satu Semester Perjalanan GMSS SKM

Berkali-kali pula wajah Misman dan Iyau Tupang muncul di layar kaca, lewat TVRI Kaltim,

Kaltim TV, Samarinda TV serta Net TV. Suara Misman menerangkan tentang aksinya di Sungai

Karang Mumus juga berkali diperdengarkan lewat talkshow di berbagai stasiun radio yang ada

di Kota Samarinda.

Ramainya pemberitaan tidak hanya di media-media mainstreams melainkan juga di media

komunitas. Para pewarta warga (citizen journalist) juga kerap mengunggah berita dalam

bentuk tulisan, foto dan video melalui akun macro dan micro blognya.

Atas kerja-kerja para pewarta ini, isu dan permasalahan Sungai Karang Mumus menjadi

mengemuka mulai dari paruh akhir tahun 2015 hingga paruh awal tahun 2016. Dan para

pewarta tidak hanya menyampaikan kabar berita melalui publikasi di media melainkan juga

turun langsung untuk merasakan bagaimana pengalaman memungut sampah di Sungai Karang

Mumus. Menyampaikan secara lisan kepada para narasumber di lingkungan eksekutif dan

legislatif.

Hasil yang bisa dilihat adalah sumbangan peralatan pungut dalam bentuk perahu dan alat bantu

lainnya dari Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Kaltim. Walikota Samarinda,

Sjaharie Jaang, sehari setelah pelantikan sebagai Walikota Samarinda periode ke dua juga

melakukan blusukan ke Sungai Karang Mumus sebagai agenda kerja pertamanya.

Namun Gerakan Memungut Sehelai Sampah SKM menjadi 'mengejala' tidak semata karena

pemberitaan para jurnalis dari media mainstream. Pewarta warga atau pewarta komunitas dan

pemakai media sosial mempunyai andil besar dalam memberitakan kegiatan pungut sampah di

Sungai Karang Mumus.

Page 16: Satu Semester Perjalanan GMSS SKM

Publikasi di makro/mikro blog dan situs berbagi video/foto bukan hanya mengabarkan tentang

apa yang dilakukan di Sungai Karang Mumus melainkan juga memancing pernyataan untuk

turut serta. Lewat publikasi-publikasi itu dengan gamblang bisa dibaca dan dilihat perihal apa,

siapa dan bagaimana kegiatan memungut sampah di Sungai Karang Mumus.

Apapun yang terkait dengan memungut sampah di Sungai Karang Mumus mulai dari siapa

yang memungut, siapa yang menyumbang, apa yang disumbangkan, kapan, bagaimana

dimanfaatkan dan seterusnya menjadi semacam pemberitahuan, laporan dan

pertanggungjawaban sehingga semua menjadi transparan.

Page 17: Satu Semester Perjalanan GMSS SKM
Page 18: Satu Semester Perjalanan GMSS SKM

Bagian 3

Bukan Mengarami LautanApalagi Mengecat Langit

etika berbincang tentang pungut sampah di Sungai Karang Mumus sampai dengan

Kakhir tahun 2015 masih banyak suara bernada bukan hanya skeptis namun juga

sinis. Kebanyakan masih memandang aksi ini adalah aksi yang sia-sia.

Bukan sedikit orang yang terang-terangan mengatakan bahwa tindakan yang dilakukan oleh

Misman dan Iyau Tupang serta beberapa teman lainnya sebagai mengarami lautan. Bahkan

Iyau Tupang mengatakan ada orang yang membuat perumpamaan tentang yang mereka

lakukan sebagai mengecat langit.

Adalah logis ketika banyak orang mengatakan bahwa memungut sampah di Sungai Karang

Mumus adalah kesia-siaan. Sebab satu yang dipungut seribu yang dibuang sehingga tak

sebanding.

Jika diambil dari sisi positif apa yang disampaikan oleh orang barangkali adalah tanda awas.

Jangan sampai pemungut sampah di Sungai Karang Mumus menjadi patah arang, patah

semangat karena setelah sekian lama memungut namun hasilnya tak kelihatan.

Dan memang Misman dan Iyau Tupang sebagai pioner serta kelompok pendukungnya di masa-

masa awal sadar betul bahwa mereka tak akan bisa membersihkan sampah di Sungai Karang

Mumus sendirian.

Maka mereka merumuskan gerakannya sebagai memungut sehelai sampah Sungai Karang

Mumus. Lewat sehelai sampah yang terus dipungut setiap hari, mereka ingin mengarami hati

dan mengecat sanubari warga Kota Samarinda agar tak lagi membuang sampah ke sungai.

Jadi memungut sehelai sampah ditengah lautan sampah tetap punya makna. Ibarat lilin, meski

nyalanya kecil namun jika berada dalam kegelapan, sinarnya tetap akan membawa terang.

Adalah biasa ketika ada sebuah permasalahan yang begitu berat dan kronis lalu muncul inisiatif

untuk mengatasinya dengan langkah yang sangat sederhana, biasa-biasa saja maka muncul

anggapan soal ketikdakmungkinan.

Page 19: Satu Semester Perjalanan GMSS SKM

Sudah ada sederet rekomandasi yang berdasar dari berbagai penelitian untuk menyehatkan

kembali Sungai Karang Mumus. Berkali-kali Misman menuliskan status di halaman

facebooknya bahwa kita tak kekurangan cerdik pandai yang paham bagaimana mengatasi

persoalan Sungai Karang Mumus, namun satu hal yang paling penting tidak kita punyai yaitu

bertindak.

Memulai dengan tindakan dan itulah yang kemudian dilakukan oleh Misman yang kemudian

menjadikan area di samping Jembatan Kehewanan sebagai titik pungut. Pertemuannya dengan

Basit dan Iyau Tupang serta Wagimin alias Sugianto, membuat titik pungut ini kemudian

dikembangkan menjadi pangkalan pungut.

Trio pemungut yaitu Misman, Basit dan Iyau yang didukung oleh Sugianto sebagai pengangkut

hasil pungut untuk dibuang ke TPS dengan ketekunan dan keyakinannya mengabaikan semua

pandangan miring dari berbagai pihak atas aksi 'Mengarami Lautan dan Mengecat Langit',

dengan tekun memungut sampah di Sungai Karang Mumus.

Keteladanan tak butuh aksi besar, ajakan tak perlu disampaikan dengan berkoar-koar. Pilihan

jalan sunyi terbukti menarik perhatian sebagaian warga Kota Samarinda. Satu demi satu

berdatangan dan lingkaran kecil pungut sampah di Sungai Karang Mumus semakin membesar.

Hanya saja suara miring masih terdengar sampai sekarang. Nada-nada ketidaksenangan atau

bahkan kecurigaan kerap masih tertangkap. Sempat ada ucapan yang tertangkap di tepian

Sungai Karang Mumus yang mengatakan “Kalau anak sekolah, mahasiswa pasti sukarela, tapi

yang lainnya itu nda mungkin kalau nda makan uang pemerintah,”.

Tindakan baik memang tak otomatis akan memperoleh umpan balik yang baik. Namun

Lukman Djunaedi, PNS yang bertugas di Bandiklat Provinsi Kaltim yang kerap mampir ke

pangkalan pungut memberi kesaksian bahwa selama dia tinggal di Kota Samarinda, Gerakan

Memungut Sehelai Sampah Sungai Karang Mumus ini istimewa karena mampu mengerakkan

kepedulian warga Kota Samarinda tanpa rekayasa sosial dan organisasi yang rumit.

“Setelah lubang tambang yang memakan korban dan sampah di Sungai Karang Mumus,

apalagi yang mampu menyatukan warga Kota Samarinda untuk bergerak ?” tanyanya sambil

sambil menyebut persoalan pelik Kota Samarinda, seperti banjir, air bersih dan listrik yang tak

kalah parahnya.

Page 20: Satu Semester Perjalanan GMSS SKM
Page 21: Satu Semester Perjalanan GMSS SKM

Bagian 4

Titik Hijau Bukan Kaltim Green

Iyau Tupang bukanlah aktivis lingkungan hidup yang

sibuk mengikuti workshop, seminar, lokakarya atau

pertemuan-pertemuan lain yang membahas degradasi

lingkungan hidup. Dia barangkali juga tak paham benar

dokumen-dokumen yang melatari program Kaltim Green.

Tapi yang dia tahu adalah kalau bibit pohon ditanam, maka

harus dijaga agar tetap hidup dan berkembang.

Mari luangkan waktu, menyusuri kawasan tepian Sungai

Karang Mumus utamanya di bantaran sungai yang berhasil

'dibersihkan' dari pemukiman. Area itu kemudian diturap

dan kanan kirinya dijadikan Ruang Terbuka Hijau.

Pada beberapa titik dibuat menjadi taman yang dilengkapi

dengan lantai semen, tempat duduk beton dan pot-pot besar

yang juga terbuat dari semen. Selain yang menjadi taman,

kebanyakan RTH itu kini telah diduduki oleh pedagang,

sebagai tempat berjualan. Ada yang berjualan dari pagi

hingga sore hari, namun ada pula yang mulai berdagang di

sore hingga dini hari. Umumnya yang berdagang memakai

RTH adalah pedagang makanan dan minuman.

Hanya sedikit atau bahkan sejengkal RTH yang bebas dari

aktifitas pedagang. Salah satunya adalah yang berada di

samping Jembatan Kehewanan. Pepohonan yang hijau dan

rindang serta sebagian tanahnya yang tertutup rerumputan

dipertahankan oleh Iyau Tupang untuk tetap bersih dari

aktivitas pedagang serta perilaku lainnya yang membuat

fungsinya terganggu.

Keteguhan Iyau Tupang dan beberapa warga lain di sekitar RTH itu untuk tetap menjaga

fungsinya bukan tak menuai masalah. Tak sedikit orang yang tidak senang kepada mereka

lantaran permintaan ijin untuk berjualan di tempat itu tak dikabulkan.

Page 22: Satu Semester Perjalanan GMSS SKM

“Bukan hanya orang sini melainkan juga orang luar yang datang berkali-kali untuk meminta

ijin dan membujuk-bujuk agar diperkenankan berjualan disini,” ujar Iyau Tupang.

Iyau selalu menampik jika dikatakan hebat. Menurutnya apa yang dilakukan hanyalah

menjalankan Tupoksi sebagai Ketua RT. “Ketua RT mempunyai otoritas untuk mengatur

wilayahnya agar lingkungan tetap sehat, aman dan nyaman,” terang Iyau.

Kewenangan inilah yang kemudian kerap tak dijalankan oleh para ketua RT. Pangkalnya Ketua

RT tak berani berhadapan dengan warganya, tidak ingin berkonflik atau punya masalah jika

harus bertindak keras jika ada warga yang bertindak tidak sesuai aturan.

Soal kebersihan dan kecintaan pada lingkungan hidup, Iyau Tupang mempunyai pandangan

yang menarik soal kebiasaan warga membuang sampah. Menurutnya dalam soal bersih-bersih

pengetahuan sebagian warga Kota Samarinda sangat terbatas. “Orang Samarinda ini kalau

membersihkan halaman rumah, sampahnya disapu ke got. Kalau membersihkan dalam rumah

dan dapur, sampahnya dibuang ke sungai,” ujarnya.

Dan Iyau dikenal konsisten dalam menjaga lingkungan yang dipercayakan kepadanya. Tak

segan dia nongkrong di tepi sungai tengah malam atau subuh untuk berpatroli mencegah warga

membuang sampahnya ke sungai.

Pak ketua RT yang nada suaranya pelan saat bercakap-cakap ini sontak bisa meninggi jika

melihat siapapun membuang sampah sembarangan. Dan jika yang diperingatkan melawan atau

tak suka, Iyau pun siap untuk berkelahi.

Tak heran jika kemudian Iyau Tupang kemudian mendapat julukan Penunggu Karang Mumus.

Dan buah perjuangannya sejak tahun 2006, dimana dia bersama beberapa orang mulai

menanam pohon di tepi Sungai Karang Mumus kini mulai terasa. Ruang hijau di sebelah

Jembatan Kehewanan kini menjadi salah satu tempat di tepi Sungai Karang Mumus yang tetap

terpelihara sebagai ruang publik. Ruang yang dijaga tetap untuk kepentingan umum, agar siapa

saja yang singgah, duduk di bawah pohon rindang bisa menikmati semilir angin dan

pemandangan yang menyejukkan.

“Tanah ini punya pemerintah, jadi tidak boleh dipakai untuk kepentingan pribadi, seperti

berjualan misalnya. Salah kalau kita menganggap karena ini tanah pemerintah maka kita bisa

memakai semaunya,” begitu penjelasan yang selalu disampaikan oleh Iyau Tupang.

Page 23: Satu Semester Perjalanan GMSS SKM
Page 24: Satu Semester Perjalanan GMSS SKM

Bagian 5

Bocah-Bocah 'Hantu Banyu' Penjaga Sungai Karang Mumus

Ari, Nina, Nita, Dea, Kevin, Aldi, Raihan, Fauzan, Agung dan puluhan nama lain

adalah bocah-bocah yang gemar bermain di Sungai Karang Mumus setiap harinya.

Mereka bermain sepeda di pinggirannya, menerbangkan layang-layang atau

sekedar duduk bercengkrama bertukar cerita.

Selepas bermain di pinggiran, sore hari mereka akan menceburkan diri ke air Sungai Karang

Mumus untuk bermandian. Dari atas beton turap mereka terjun ke air dengan aneka gaya.

Sebagian lain yang belum mahir melompat dan berenang akan bermain dengan memakai

pelampung, atau menciprat-cipratkan air di tempat yang dangkal.

Ketika air pasang dari Sungai Mahakam cukup tinggi, beberapa anak akan beraktraksi,

menunjukkan keberanian dengan melompat dari atas jembatan. Mereka berdiri di atas pagar

jembatan dan kemudian melayang, bak terbang dengan ketinggian lebih dari 5 meter sebelum

akhirnya terhempas ke air.

Sebenarnya banyak yang mati heran dengan kelakuan anak-anak tepian Sungai Karang Mumus

yang cuek bebek mandi dan bermain di air sungai yang nampak kotor itu. Sebagian orang pasti

berpikir, jangankan mandi, membayangkan terciprat airnya saja badan sudah terasa gatal-gatal.

Apakah orang tua mereka tak melarang anak-anak itu mandi di Sungai Karang Mumus?.

Sesungguhnya orang tua mereka juga melarang anak-anaknya mandi di Sungai Karang

Mumus. Tak sedikit anak-anak yang ketahuan tengah mandi dan berenang-renang di sungai

langsung dimarahi dan disuruh pulang ke rumah.

Page 25: Satu Semester Perjalanan GMSS SKM

Beberapa anak bahkan mengatakan

kalau guru-guru mereka di sekolah juga

memarahi mereka kalau ketahuan

mandi-mandi di Sungai Karang Mumus.

Tapi itulah anak-anak yang selalu

tertarik dengan air . Mereka kerap kali

tak peduli dan waspada tentang bahaya

atau resiko yang ada di balik air itu.

Ambil contoh saja soal lubang-lubang

tambang batubara yang tersebar di

seluruh penjuru Kota Samarinda.

Lubang bekas tambang batubara itu oleh anak-anak dianggap sebagai danau dan kolam renang.

Airnya yang nampak tenang dan membiru di tengah hari, selalu menarik anak-anak untuk

menceburkan diri di dalamnya. Akibatnya sudah puluhan anak-anak kehilangan nyawa di

lubang bekas tambang itu.

Kita tentu tak bisa menyalahkan anak-anak yang tak waspada dengan resiko atau bahaya

sebuah tempat yang menjadi tempat bermain mereka. Pun juga orang tua yang tentu saja tak

bisa mengawasi anaknya selama 24 jam penuh.

Seperti anak-anak di tepi Sungai Karang Mumus yang berani mengambil resiko dimarahi oleh

orang tua, kakak, kakek atau neneknya karena mandi di Sungai Karang Mumus. Bagi mereka

kesenangan bermain di dalam air Sungai Karang Mumus lebih mengembirakan dan bisa

menutup rasa khawatir kalau-kalau ketahuan.

Pada sisi lain, anak-anak yang kerap bermain dan bermandian di Sungai Karang Mumus ini

kemudian menjadi teman setia bagi para pengerak Gerakan Memungut Sehelai Sampah Sungai

Karang Mumus. Mereka kerap bertemu dan berinteraksi sehingga saling mempengaruhi.

Anak-anak ini kemudian menjadi corong yang keras, mereka akan berteriak mengingatkan kala

ada siapa saja yang membuang sampah sembarangan. Mereka juga akan bercerita kalau tadi

ada om ini atau om itu yang membuang sampah ke sungai.

“Om… mungut kah om,” begitu mereka sering berteriak jika ada Misman, Iyau dan teman-

teman lainnya yang dikenali sering memungut sampah di Sungai Karang Mumus.

Page 26: Satu Semester Perjalanan GMSS SKM

Memungut sampah di Sungai Karang Mumus ternyata menyenangkan untuk mereka. APalagi

kemudian Iyau atau teman lainnya kemudian memberi bonus, mengajak anak-anak itu

berperahu meski hanya menyeberang dari satu sisi sungai ke sisi lainnya.

Diatas perahu biasanya mereka akan menyanyikan lagu :

Yuk ayuk kawan, menjaga lingkungan.

Membuang sampah, janganlah ke sungai.

Sungai kita, milik bersama.

Jangan, jangan kotori.

Bersihnya, jagai.

Lagu yang diciptakan secara spontan oleh Laila Lila - Ibu Guru yang sebelumnya mengajar di

SMA Negeri 2 Samarinda sebelum pindah ke Lampung – menjadi pengingat untuk anak-anak

tepian Sungai Karang Mumus dan sekaligus ajakan bagi orang lain untuk menjaga sungai,

karena sungai adalah milik bersama.

Page 27: Satu Semester Perjalanan GMSS SKM
Page 28: Satu Semester Perjalanan GMSS SKM

Bagian 6

Menapak Jejak Menjelajah Karang Mumus

Bermula dari lingkaran kecil yang berasal dari keluarga, kenalan dan sahabat,

dukungan terhadap aksi pungut sampah di Sungai Karang Mumus perlahan

membesar. Mulai berdatangan orang dan kelompok yang sebelumnya tak kenal

Misman, Basit atau Iyau.

Di halaman media sosial kerap muncul komentar yang mengapresiasi kegiatan ini dan

kemudian menyatakan siap ikut turun atau bergabung. Foto-foto yang diupload oleh Misman

lewat accout facebooknya membuka mata banyak orang tentang apa yang sebenarnya tengah

terjadi di sepanjang aliran Sungai Karang Mumus yang selama ini hanya dilihat pintas lalu.

Ada daftar panjang baik perorangan maupun kelompok yang tergerak untuk turut memungut

sampah di Sungai Karang Mumus. Sebut saja dari tingkat pendidikan yang dimulai oleh anak-

anak PAUD Raudahul Jannah dan TK Islam Alfallah. Lalu anak pramuka dari SDK 3, SMP

Kosgoro, SMP Negeri 17 dan SMK Negeri 2 serta SMK Muhammadiyah. Kemudian ada juga

kelompok alumni dari SMEA Pembina angkatan 1979 dan alumni SMA Negeri 1.

Barisan pemungut juga datang dari Universitas Mulawarman, Widyagama, Institut Agama

Islam Negeri Samarinda, STIKES Muhammadiyah, Politeknik Negeri Samarinda.

Page 29: Satu Semester Perjalanan GMSS SKM

Ada yang datang dengan membawa nama fakultas seperti FUAD IAIN, FH Widayagama, FPK

(sosek) Umul, FHI Unmul, ada yang membawa nama organisasi seperti Maflopa, Sylva,

Himalaya, Kophi, Gempa, Himpunan Mahasiswa Kesehatan. Namun banyak pula yang datang

tak membawa nama apa-apa.

Berbagai komunitas juga telah terlibat dalam Gerakan Memungut Sehelai Sampah SKM, mulai

dari kelompok supporter bola yaitu Bonek Borneo 1927, Pusamania, Komunitas Wirausaha

Samarinda, Komunitas Jelajah, Komunitas Jejak Buaya, Komunitas Mancing Mania, Orang

Indonesia, Yicam, Bproid, Bubuhan Kopi Samarinda, Gusdurian dan lain sebagainya.

Masih banyak kelompok-kelompok dengan berbagai latar belakang yang datang memungut

sampah di Sungai Karang Mumus. Dari berbagai kelompok itu, beberapa diantaranya meski

tidak terjadwal secara menetap telah datang berulang atau bahkan bisa dikatakan rutin untuk

memungut sampah di Sungai Karang Mumus tanpa memperdulikan apakah sungai sedang

surut atau tengah pasang.

Kerja Bakti di Sungai Karang Mumus ini tidak diperintahkan oleh siapapun. Kelompok atau

komunitas itu tergerak oleh ajakan yang disampaikan lewat gambar-gambar yang

disebarluaskan melalui halaman media sosial. Kegiatan memungut sampah di Sungai Karang

Mumus pantas disebut sebagai kerja bakti, karena sungguh merupakan kerja yang nyata-nyata

ditujukan untuk membaktikan diri untuk kepentingan bersama yaitu menyehatkan sungai.

Mereka yang datang kebanyakan tidak tinggal di sekitar Sungai Karang Mumus dan barangkali

juga tidak terkena dampak langsung oleh bersih tidaknya Sungai Karang Mumus. Tetapi

mereka rela berkotor-kotor, terkena cipratan air yang bau, mencium dan menyentuh sampah

yang mungkin saja menjijikkan.

Tapi semua itu mereka abaikan demi satu tujuan yaitu menjadikan Sungai Karang Mumus

kembali sehat, sehingga kembali menjadi kebanggaan Kota Samarinda, halaman depan rumah

kita bersama.

Page 30: Satu Semester Perjalanan GMSS SKM
Page 31: Satu Semester Perjalanan GMSS SKM

Bagian 7

Hidup Adalah 'Urunan'

Pada masa-masa awal 'teror' Misman di media sosial selain foto-foto yang

menampakkan betapa joroknya sampah Sungai Karang Mumus, Misman

kerap mem-posting foto memungut sampah tanpa sarung tangan dan alat

bantu pencegahan dini lainnya.

Hal ini kemudian menimbulkan

keprihatinan, salah satunya dari sebuah

account facebook Posko PMI Kutai

Kartanegara yang memberikan saran

agar pemungut sampah memakai alat

pengaman untuk pencegahan atau

kewaspadaan dini.

Sungai Karang Mumus, air dan

sampahnya bukan hanya kotor

melainkan juga sudah membusuk.

Tidak saja meninggalkan bau di telapak

tangan namun juga berpotensi untuk

menimbulkan gatal-gatal jika tak

dilindungi dengan kaos tangan.

Saran ini diterima baik oleh Misman yang meyadari bahwa Sungai Karang

Mumus bukan hanya jorok melainkan juga berbahaya. Bahaya karena dasarnya

banyak menyimpan pecahan kaca, tunggul kayu yang tajam, paku, kawat dan lain-

lain yang bisa membuat luka jika kaki tak beralas.

Dan admin Posko PMI Kutai Kartanegara yang kemudian diketahui bernama Devi,

bukan hanya memberikan saran namun juga meluangkan waktu untuk datang ke lokasi pungut

sampah yang rute jalannya tak dikuasai untuk memberikan bantuan berupa sarung tangan,

masker dan kantong plastik.

Bantuan ini menjadi pintu pembuka partisipasi untuk mendukung aksi pungut sehelai sampah

yang kemudian dinamai dengan Gerakan Memungut Sehelai Sampah Sungai Karang Mumus.

Page 32: Satu Semester Perjalanan GMSS SKM

Partisipasi warga tidak hanya diwujudkan dengan datang dan ikut memungut melainkan juga

memberi aneka sumbangan yang diperlukan oleh Gerakan Memungut Sehelai Sampah Sungai

Karang Mumus.

Mulai saat itu, Misman kemudian memberanikan diri untuk menuliskan dalam status di

halaman facebooknya, fanpage maupun grup apa-apa saja yang diperlukan untuk membuat

memungut sampah di Sungai Karang Mumus semakin efektif dan berdaya jangkau luas.

Dan biasanya tak lama setelah dituliskan muncul tanggapan atau kesediaan. Kesediaan yang

tidak selalu diungkapkan di media sosial melainkan melalui komunikasi privat dengan

Misman, sebab tak semua penyumbang mau untuk disebutkan namanya.

Tadinya memungut sampah hanya bisa dilakukan di pinggiran sungai, sampah yang

mengambang di tengah sungai sulit untuk dijangkau. Namun kemudian masalah itu bisa diatasi

dengan bantuan perahu dari H. Saefuddin Zuhri, anggota DPRD Kaltim.

Kemudian Andi Harun yang juga anggota DPRD Kaltim juga memberikan bantuan berupa

perlengkapan pungut berupa jaket pelampung, helm, jaring, garuk, sepatu bot dan tali nilon.

Dan perlengkapan pungut semakin lengkap karena H Saefuddin Zuhri kembali memberi

bantuan berupa jaket pelampung, gerobak, sepatu bot dan tong sampah.

Sumbangan kantong plastik didapat kembali dari Ahmad Maskuri dan Merry Effendy, lalu

Yuhadi juga menyumbangkan tali nilon, garuk dan sarung tangan. Iving A Chevny juga

menyumbangkan sepatu bot.

Jumlah perahu untuk memungut kemudian bertambah dengan bantuan dari Alumni SMEA

Pembina angkatan 1979, Dan upaya memungut dengan perahu bisa semakin jauh

jangkauannya dengan bantuan mesin perahu dari Alumni SMA Negeri 1 angkatan tahun 1997.

Dukungan armada perahu juga diberikan oleh H Hasanuddin, warga Sidomulyo yang

mempersilahkan perahunya untuk digunakan jika sedang tidak dipakai olehnya.

Bantuan lain yang tidak kalah pentingnya adalah materi kampanye dan edukasi dalam berbagai

bentuk seperti spanduk, leaflet, foto booth dan kaos yang baik diminta maupun tidak, selalu

disanggupi oleh Basir, pemilik Pos Kaos.

Dengan berbagai bantuan itu, kegiatan memungut sampah di Sungai Karang Mumus menjadi

berkembang hingga kemudian muncul istilah Pangkalan Pungut.

Page 33: Satu Semester Perjalanan GMSS SKM

Dan pangkalan pungut semakin lengkap dengan kehadiran Posko Pangkalan Pungut, Gerakan

Memungut Sehelai Sampah SKM dalam bentuk tenda besi beratap yang merupakan

sumbangan dari Ros Pandawangi Amir.

Bantuan sebenarnya tidak hanya diberikan kepada Gerakan, melainkan juga kepada Sugianto

yang dengan setia membantu mengangkut hasil pungutan yang telah dikemas ke TPS. Bantuan

diberikan berbagai pihak ke Sugianto baik dalam bentuk uang maupun barang kebutuhan

pokok yang semakin meringankan beban hidupnya. Sugianto, pemulung yang tinggal di bawah

Jembatan Kehewanan ini juga pernah kehilangan gerobaknya. Syukurlah kemudian anda yang

kembali membantu menebus gerobak bekas sehigga bisa kembali mengais rejeki dan

membantu mengangkat sampah hasil pungutan dari Sungai Karang Mumus.

Masih banyak sumbangan lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu dan penyumbangnya

juga banyak yang tak ingin disebutkan. Semua ini menjadi sebuah kegembiraan bagi para

pengerak Gerakan Memungut Sehelai Sampah SKM, karena gerakan ini menjadi wadah kerja

bakti sekaligus gotong royong bagi warga Kota Samarinda sebagai satu keluarga.

Page 34: Satu Semester Perjalanan GMSS SKM
Page 35: Satu Semester Perjalanan GMSS SKM

Bagian 8

Berwisata dan Eksis Tak Ada Salahnya

Ganas” begitu istilah Iyau Tupang untuk menyebut perorangan atau kelompok yang

datang memungut sampah tanpa ragu-ragu, berani kotor, tak peduli air pasang atau

surut dan mengangkat semua yang patut diangkat dari sungai.

Dan tidak semua yang datang ke Sungai Karang Mumus masuk dalam kategori yang disebut

oleh Iyau Tupang itu. Tak sedikit yang datang dengan kekuatan besar, namun yang memungut

hanya sebagian kecil. Ada pula yang datang memilih waktu, yaitu saat Sungai Karang Mumus

pasang sehingga bisa berperahu.

Memungut sampah dengan berperahu memang

menjadi sebuah daya tarik tersendiri. Mungkin

berperahu di Sungai Karang Mumus adalah sebuah

cerita baru. Cerita yang jauh lebih menarik daripada

lampion di tepian Sungai Mahakam.

Tak mengherankan jika kemudian banyak yang asyik

berfoto-foto di perahu ketimbang memungut sampah

yang mengapung di Sungai Karang Mumus.

Namun kesukaan berperahu sebenarnya bukan hanya

berasal dari mereka yang datang bukan dari sekitar

Sungai Karang Mumus. Anak-anak yang tinggal di

sekitar sungai dan tiap hari bermain di Sungai Karang

Mumus, juga suka berperahu. Mereka kerap merayu

Iyau Tupang agar memperbolehkan mereka turut dalam

perahu untuk membawa kantong-kantong yang penuh

dengan sampah ke sisi seberang Sungai Karang

Mumus.

Misman dan Iyau memaklumi jika ada yang datang

untuk bersenang-senang. Rasa senang adalah pintu masuk untuk kemudian mencintai sehingga

timbul keinginan untuk turut merawat Sungai Karang Mumus.

Page 36: Satu Semester Perjalanan GMSS SKM

Sungai Karang Mumus adalah asset berharga Kota Samarinda. “Balikpapan punya pantai,

Samarinda punya sungai,” begitu sering diucapkan oleh Misman. Ucapan ini mengandung arti

bahwa Sungai Karang Mumus berpotensi untuk menjadi lokasi wisata. Hal senada pernah

diucapkan oleh Safruddin Pernyata, Kepala Badan Diklat Provinsi Kaltim yang datang

bersama dengan Komunitas Jelajah untuk memungut sampah di Sungai Karang Mumus. “Jika

Karang Mumus bersih dan kanan kirinya mulai ditumbuhi pepopohan, ini bisa menjadi tempat

wisata khas Kota Samarinda,” ujarnya yakin.

Wisata memang mempunyai spektrum yang luas, maka memungut sampahpun

bisa menjadi sebuah wisata. Sebab wisata adalah soal pengalaman yang

menyenangkan, sensasi yang tidak biasa, hal-hal yang tidak dirasakan

atau dilakukan setiap harinya. Dan berperahu sambil memungut

sampah di Sungai Karang Mumus bisa memenuhi kebutuhan itu.

Berperahu di Sungai Karang Mumus adalah daya tarik.

Terbukti, beberapa kelompok yang menghubungi Iyau

Tupang untuk ikut memungut, kerap kali bertanya soal waktu

yang tepat. Yang dimaksudkan dengan waktu yang tepat

adalah saat ada air pasang dari Sungai Mahakam, sehingga

kegiatan memungut dilakukan dengan menaiki perahu.

Dan minggu-minggu terakhir di bulan Februari 2016, sudah ada

kelompok yang sengaja datang untuk berwisata di Sungai Karang

Mumus. Gerakan Memungut Sehelai Sampah SKM tidak menangani

layanan ini melainkan hanya menghubungkan dengan warga yang

mempunyai perahu bermesin.

Wisata tidak akan menjadi usaha dari gerakan melainkan akan dipakai sebagai upaya untuk

memberdayakan warga setempat. Jika wisata ini berkembang maka masyarakat sekitar Posko

Pangkalan Pungut akan memperoleh pendapatan karena sungai. Jika semakin banyak orang

beroleh pendapatan dari sungai, maka mereka akan turut pula merawat sungai, karena sungai

memberikan pendapatan yang berkelanjutan.

Banyaknya orang yang datang ke Posko Pangkalan Pungut juga akan mendatangkan

keuntungan bagi para pedagang, pemilik warung, toko dan penjual makanan minuman

serta gorengan yang berada di seberang jalan. Mereka yang berkunjung dan memungut

sampah di Sungai Karang Mumus akan membeli makanan, minuman dan kebutuhan

lain di warung atau toko yang berada di sekitar posko.

Page 37: Satu Semester Perjalanan GMSS SKM
Page 38: Satu Semester Perjalanan GMSS SKM

Bagian 9

Candu Itu Bernama Pangkalan Pungut

Ada sebuah kepercayaan yang masih terus diceritakan hingga sekarang bahwa siapapun yang

datang ke Samarinda dan minum air Sungai Mahakam pasti akan kembali lagi. Entah dari mana

munculnya kepercayaan itu dan apakah sekarang ada yang berani meminum air Sungai

Mahakam secara langsung?. Mungkin tidak ada lagi.

Entah cerita atau kepercayaan mistis apa yang berkembang di sepanjang Sungai Karang

Mumus?. Atau apakah Sungai Karang Mumus menyimpan magnet yang akan membuat orang

kembali lagi ketika sudah menginjak lumpurnya atau terkena cipratan airnya?.

Di luar dugaan banyak orang, magnet Sungai Karang Mumus hari ini adalah sebuah ruang yang

disebut dengan Pangkalan Pungut. Pangkalan Pungut adalah sebuah tempat yang menjadi pusat

kegiatan Gerakan Memungut Sehelai Sampah SKM. Letaknya di sebelah Jembatan

Kehewanan, Jalan Abdul Muthalib, Samarinda.

Aneh bin ajaib, memungut sampah yang terkadang baunya bikin muntah malah menjadi sebuah

daya tarik. Daya tarik yang kemudian membuat lingkaran mereka yang pernah datang dan

memungut menjadi semakin besar.

Ada kelompok mahasiswa yang awalnya datang sekitar 5 – 7 orang, kelompok yang kerap

disebut oleh Misman sebagai Mahasiswa HI Unmul.

Page 39: Satu Semester Perjalanan GMSS SKM

Kelompok ini rutin memungut seusai kesibukan mengikuti kuliah. Dan

lama kelamaan menularkan kebiasaannya kepada rekan-rekan lainnya

hingga kemudian rombongan pemungutnya menjadi puluhan orang.

Apa yag kemudian membuat orang yang telah datang kemudian ingin

kembali, entah kembali memungut, berperahu atau sekedar duduk-

duduk di tepian, memandang aliran air yang terkadang surut atau

pasang. Duduk bercengkerama dengan bocah-bocah dan kemudian

menyaksikan tingkah laku mereka kala bermandi-mandian di sungai.

Mungkin suasana tepian sungai di sekitar pangkalan pungut memang

berbeda. Puluhan pohon rindang tertata rapi, tanahnya tertutup rumput

meski tak penuh namun cukup untuk meneduhkan hati. Duduk di beton

turap di bawah keteduhan pohon yang rindang ditimpali deru suara

mesin kendaraan yang lewat dan sesekali lengking serta gemuruh

mesin kapal juga perahu yang lewat adalah elegi yang merindukan.

Dan yang kembali datang bukan saja mereka yang memungut, melainkan mereka yang

memberi. Para donator, orang baik hati, juga terus memberi secara berulang untuk mendukung

pungut sampah di Sungai Karang Mumus. Misalnya di hari Minggu yang biasa ada banyak

orang datang, sekardus minuman bersoda dan sekantung makanan kecil berkali diantarkan.

Iyau Tupang pernah mengatakan kalau kita bekerja dengan hati maka akan diberi kekuatan.

Dan mereka yang mengerakkan Gerakan Memungut Sehelai Sampah SKM adalah orang yang

diberi kekuatan, untuk menjaga niat dengan terus memungut secara konsisten tak peduli apa

kata orang.

Konsistensi inilah yang kemudian dilihat oleh banyak orang lain sebagai sebuah keteladanan.

Keteladanan yang mengajak orang lain untuk melakukan hal yang sama. Tekun memungut

sampah, menjadi berarti tanpa menyombongkan diri.

Memungut sampah di Sungai Karang Mumus tentu saja bukanlah aktivitas yang nyaman.

Namun mungkin banyak yang merasa, mengambil sampah di sungai bersama dengan Gerakan

Memungut Sehelai Sampah SKM adalah sesuatu yang membuat hati nyaman. Oleh karenanya

tak perlu heran jika kemudian banyak diantaranya yang datang berulang serta terus mengajak

orang lain lainnya sehingga lingkaran menjadi semakin membesar.

Page 40: Satu Semester Perjalanan GMSS SKM
Page 41: Satu Semester Perjalanan GMSS SKM

EPILOG

Mimpi Yang Mulai Berwujud

nam bulan sudah perjalanan dari Gerakan Memungut Sehelai Sampah Sungai Karang

EMumus telah bergulir. Perjalanan yang dimulai dari jalan sunyi oleh Pak Misman,

yang kemudian bertemu dengan Pak Iyau Tupang dan Pak Sugianto telah menebar

virus pungut sampah.

Virus telah menular sehingga banyak orang berani kotor dengan datang dan memungut sampah

di Sungai Karang Mumus. Ada yang datang sendirian, ada pula yang datang ramai-ramai

dengan rombongan.

Pilihan strategi publikasi melalui media sosial (facebook) yang dilakukan oleh Pak Misman

adalah langkah yang tepat untuk mengugah kepedulian warga Kota Samarinda atas kondisi

Sungai Karang Mumus yang merana.

“Saya sengaja memotret hal-hal yang mengerikan di Sungai Karang Mumus dan meng-upload

di facebook, agar orang lihat betapa joroknya sungai kita ini,” ujarnya.

Awalnya banyak orang yang skeptis bahkan sinis dalam menanggapi apa yang dipublikasikan

oleh Pak Misman di halaman facebooknya. Bukan hanya bermacam sindiran melainkan juga

tuduhan diarahkan pada upaya Pak Misman untuk membersihkan Sungai Karang Mumus.

Ada yang menganggap sebagai pahlawan kesiangan, tukang pamer, ada pamrih di masa depan

dan lain sebagainya. Tak sedikit pula yang mengatakan itu sia-sia belaka dan tak menjawab

permasalahan yang sesungguhnya.

“Ada banyak orang pintar di Samarinda, mereka punya semua jawaban atas persoalan Sungai

Karang Mumus. Dan saya tak mau memperdebatkan hal itu, lebih baik saya bertindak,”

katanya memahfumi semua anggapan miring dari banyak orang atas aksi pungut sampah di

Sungai Karang Mumus.

Dari bincang-bincang di masa awal Gerakan Memungut Sehelai Sampah Sungai Karang

Mumus mulai dikenal, ada beberapa hal yang diungkapkan oleh Pak Misman :

Page 42: Satu Semester Perjalanan GMSS SKM

Ÿ Gerakan ini dimulai sebagai upaya

pendidikan agar masyarakat Kota

Samarinda tak lagi membuang ke sungai.

Karena tak ada kekuatan yang bisa

menyuarakan atau memperingatkan

masyarakat secara efektif. Maka

memungut merupakan sebuah cara untuk

mengingatkan dan apabila semakin

banyak orang memungut maka semakin

sedikit yang membuang.

Ÿ Gerakan ini membutuhkan berbagai peralatan untuk dipakai oleh siapapun yang memungut

agar tetap aman dan bisa memungut bukan hanya di pinggir melainkan juga ditengah

sungai. Peralatan yang dibutuhkan antara lain adalah kantong plastik, sarung tangan,

masker, sepatu boot, perahu dan mesinnya.

Ÿ Gerakan ini membutuhkan posko, tempat untuk berkumpul dan menyimpan segala macam

peralatan yang dipakai untuk memungut sampah. Keberadaan posko akan memudahkan

siapapun yang ingin berpartisipasi tanpa menunggu kehadiran orang tertentu yang

dipercayakan untuk menjaga atau menyimpannya.

Ÿ Gerakan ini adalah gerakan yang terbuka, setiap orang atau kelompok bisa mengorganisir

diri mereka sendiri untuk memungut sampah di Sungai Karang Mumus.

Ÿ Gerakan ini berharap kelak warga Kota Samarinda akan kembali menyadari bahwa Sungai

Karang Mumus adalah asset dan kekayaan yang berharga. Jika Sungai Karang Mumus

kembali sehat maka akan bisa dikembangkan menjadi lokasi wisata yang unik atau khas

Kota Samarinda.

Enam bulan perjalanan Gerakan Memungut Sehelai Sampah Sungai Karang Mumus telah

menunjukkan bahwa apa yang menjadi keinginan dan impian dari para pengeraknya satu demi

satu mulai kelihatan.

Kini sekurangnya Gerakan Memungut Sehelai Sampah SKM telah memiliki perahu dan mesin,

alat-alat bantu untuk memungut, posko sebagai titik pertemuan dan partisipasi dari berbagai

kelompok dalam memungut sampah di Sungai Karang Mumus.

Page 43: Satu Semester Perjalanan GMSS SKM

Ÿ Langkah Misman yang awalnya banyak dicemooh, dipandang sebelah mata atau bahkan

dicurigai punya niat tersembunyi, perlahan bertumbuh menjadi sebuah gerakan. Gerakan

yang berpotensi untuk terus membesar, sehingga tak salah jika muncul harapan baru akan

tumbuhnya pangkalan-pangkalan pungut lainnya di sepanjang aliran Sungai Karang

Mumus.

@yustinus_esha

Sociocultural & Enviromental Networker's

Kontributor : mongabay.co.id dan Blogger : ceritakota.info

Page 44: Satu Semester Perjalanan GMSS SKM

“Gerakan ini bisa disebut sebagai gerakan besar karena dilakukan oleh masyarakat,”

begitu disampaikan oleh Syafruddin Pernyata, Kepala Badan Diklat Provinsi Kaltim

pada suatu sore di tepian Sungai Karang Mumus saat menyertai Komunitas Jelajah

bekerja bakti memungut sampah.

Catatan kecil ini adalah bagian dari menjaga roh gerakan itu dan juga sebagai upaya

untuk merespon keinginan Misman 'menyelamatkan' foto-foto yang diambil olehnya

dalam bentuk album atau cetakan.

Keinginan ini disampaikan saat kumpul-kumpul di Warung Sanggar seberang

pangkalan pungut bersama Iyau Tupang, Lukman Djunaedi, Ade Fadli dan Yustinus

Sapto Hardjanto. Ditemani segelas air tebu, es teh dan kopi hitam serta aneka

gorengan, mereka bersepakat untuk segera mewujudkannya sebagai peringatan satu

semester perjalanan Gerakan Memungut Sehelai Sampah Sungai Karang Mumus.

Dan jika kini keinginan itu bisa digengam, dilihat dan dibaca ini merupakan

sumbangsih dari kawan kita Basir (Pos Kaos) yang langsung mengatakan “Iya”

ketika diminta mendesain dan mengatur tata letaknya.

Semoga, catatan dan dokumentasi kecil dalam bentuk “Foto Story” ini mampu

menjadi sebuah narasi kecil dari narasi besar perjalanan Kota Samarinda dan

warganya dalam berinteraksi dengan Sungai Karang Mumus.