sarkopenia dan gaya hidup

123
PENGARUH ASUPAN NUTRISI, OLAHRAGA, DAN MEROKOK TERHADAP KEJADIAN SARKOPENIA PADA LANJUT USIA DI PANTI WERDHA DI JAKARTA OLEH : YOSEPHINE SANTOSO (2011-060-023)

Upload: yosephine-santoso

Post on 26-Jan-2016

291 views

Category:

Documents


12 download

DESCRIPTION

karya tulis ilmiah

TRANSCRIPT

PENGARUH ASUPAN NUTRISI, OLAHRAGA, DAN MEROKOK

TERHADAP KEJADIAN SARKOPENIA PADA LANJUT USIA DI

PANTI WERDHA DI JAKARTA

OLEH :

YOSEPHINE SANTOSO

(2011-060-023)

UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA ATMA JAYA

FAKULTAS KEDOKTERAN

2015

PENGARUH ASUPAN NUTRISI, OLAHRAGA, DAN MEROKOK

TERHADAP KEJADIAN SARKOPENIA PADA LANJUT USIA DI

PANTI WERDHA DI JAKARTA

Karya Tulis Ilmiah ini diajukan sebagai

salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA KEDOKTERAN

OLEH :

YOSEPHINE SANTOSO

(2011-060-023)

UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA ATMA JAYA

FAKULTAS KEDOKTERAN

2015

2

Fakultas Kedokteran Universitas Katolik Indonesia

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Karya Tulis Ilmiah ini adalah hasil karya saya sendiri, dan tidak ada bagian dari

tulisan ini yang telah dipublikasikan dan merupakan hak intelektual pihak lainnya,

kecuali yang telah dinyatakan dalam referensi. Apabila saya melanggar pernyataan

ini, saya bersedia untuk menerima sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku di

lingkungan Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.

NAMA : YOSEPHINE SANTOSO

NIM : 2011-060-023

Jakarta, 6 Februari 2015

Yosephine Santoso

3

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Karya Tulis Ilmiah ini telah disetujui, diperiksa dan dipertahankan

dihadapan Tim Penguji Karya Tulis Ilmiah Fakultas Kedokteran

Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

Jakarta, 6 Februari 2015

Komisi Pembimbing

Ketua

(Prof. Dr. drg. Yvonne Suzy Handajani, MKM)

Anggota

(dr. Florentina M. Rahardja M. Gizi, Sp.GK) (dr. Vetinly M. Gizi, Sp.GK)

4

PANITIA SIDANG UJIAN KARYA TULIS ILMIAH

UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA ATMA JAYA

FAKULTAS KEDOKTERAN

Jakarta, 6 Februari 2015

Ketua

(Prof. Dr. drg. Yvonne Suzy Handajani, MKM)

Anggota

(dr. Florentina M. Rahardja M. Gizi Sp. GK) (dr. Vetinly M. Gizi, Sp. GK)

5

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA ATMA JAYAJakarta, 6 Februari 2015

ABSTRAK

Pengaruh Asupan Nutrisi, Olahraga, dan Merokok terhadap Kejadian Sarkopenia pada Lanjut Usia

di Panti Werdha di JakartaYOSEPHINE SANTOSO

Dibimbing oleh YVONNE SUZY HANDAJANI dan FLORENTINA MARIANE RAHARDJA

Latar Belakang. Penuaan berhubungan dengan penurunan massa, kekuatan, dan fungsi otot yang dikenal dengan istilah sarkopenia. Sarkopenia menyebabkan berbagai masalah seperti peningkatan morbiditas, jatuh, institusionalisasi, bermulanya disabilitas, kematian prematur, menambah beban terhadap biaya kesehatan yang sudah meningkat, dan memperburuk kualitas kehidupan. Hasil sensus penduduk tahun 2010 menunjukkan bahwa Indonesia termasuk lima besar negara dengan jumlah penduduk lanjut usia terbanyak di dunia yakni mencapai 18,1 juta jiwa dan belum ada penelitian mengenai sarkopenia di Indonesia. Asupan nutrisi, olahraga, dan kebiasaan merokok merupakan faktor risiko sarkopenia yang dapat dikendalikan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara karakteristik (usia, jenis kelamin, pendidikan), asupan nutrisi, olahraga, dan merokok dengan sarkopenia pada lanjut usia di Jakarta.

Metodologi. Penelitian ini merupakan studi deskriptif analitik dengan menggunakan desain cross-sectional. Responden adalah 138 orang lanjut usia di panti werdha di Jakarta Utara dan Jakarta Barat yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Pengumpulan data dilakukan melalui pengisian kuesioner, penilaian sarkopenia (bioelectrical impedance analysis, handgrip, dan Timed Get Up and Go Test), dan penilaian asupan nutrisi (menggunakan metode Recall 24 jam) selama 2 hari untuk menilai kecukupan asupan energi, karbohidrat, lemak, dan protein. Uji analisis data dilakukan dengan menggunakan uji statistik chi-square dengan nilai P = 0,05.

Hasil penelitian. Analisis data menunjukkan adanya hubungan secara bermakna antara jenis kelamin dengan sarkopenia, dengan nilai P = 0,012. Asupan nutrisi ditemukan berhubungan dengan sarkopenia dengan nilai P = 0,025 untuk energi, P = 0,014 untuk karbohidrat, P = 0,032 untuk lemak, dan P = 0,003 untuk protein. Olahraga dan merokok ditemukan tidak berhubungan dengan sarkopenia.

Kesimpulan. Penelitian menemukan hanya jenis kelamin dari karakteristik responden (usia, jenis kelamin, pendidikan) yang memiliki hubungan dengan sarkopenia dan. Asupan nutrisi ditemukan mempengaruhi kejadian sarkopenia pada lanjut usia.

Kata kunci : lanjut usia, sarkopenia, jenis kelamin, asupan nutrisi, olahraga, merokok

6

FACULTY OF MEDICINE ATMA JAYA CATHOLIC UNIVERSITY OF INDONESIAJakarta, February 6th, 2015

ABSTRACT

Influence of Nutrition Intake, Exercise, and Cigarette Smoking on Sarcopenia Incident in the Elderly

in Nursing Homes in Jakarta YOSEPHINE SANTOSO

Mentored by YVONNE SUZY HANDAJANI and FLORENTINA MARIANE RAHARDJA

Background. Aging is related to decreased muscle mass, strength, and function known as sarcopenia. Sarcopenia lead to various problems as increased morbidity, falls, institutionalization, disability, premature death, healthcare cost, and poor life quality. Result of population census in 2010 shows Indonesia as one of five country with highest older population in the world that reach to 18.1 million persons and currently there is no evidence of research on sarcopenia in Indonesia. Nutrition intake, exercise, and smoking are sarcopenia risk factors that can be controlled. The purpose of this study is to determine the relationship between characteristic (age, gender, education), nutrition intake, exercise, smoking and sarcopenia in the elderly in Jakarta.

Methodology. This study is a descriptive analytic study using cross-sectional design. A total of 138 respondents in nursing homes in North and West Jakarta meet the inclusion and exclusion criteria. Data collected by questionnaires, assessment of sarcopenia (Bioelectrical Impedance Analysis, handgrip, and a Timed Get Up and Go Test), and assessment of nutrition intake (using 24-hours Recall method) within two days to assess energy, carbohydrate, fat, and protein intake. Data analysis performed using chi-square test with a P value = 0.05.

Results. The result shows that there is a significant relationship between gender and sarcopenia, with a P value = 0.012. Nutrition intake is related significantly with sarcopenia, with P = 0.025 for energy, P = 0.014 for carbohydrate, P = 0.032 for fat, and P = 0.003 for protein. However, there is no significant relationship between exercise, smoking and sarcopenia.

Conclusion. Research on variable characteristics of respondents (age, gender, education), nutrition intake, exrcise, and smoking in conjunction with sarcopenia showed that only gender had a significant association with sarcopenia. Nutrition intake is determined to influence sarcopenia incident in the elderly.

Keyword : elderly, sarcopenia, gender , nutrition intake, exercise, smoking

7

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala hikmat dan penyertaan

yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah yang

berjudul Pengaruh Asupan Nutrisi, Olahraga, dan Merokok terhadap Kejadian

Sarkopenia pada Lanjut Usia di Panti Werdha di Jakarta. Penulisan Karya Tulis

Ilmiah ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana

kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.

Karya Tulis Ilmiah ini tidak lepas dari dukungan berbagai pihak yang telah

memberikan bantuan dan bimbingan selama proses pembuatan hingga penyelesaian

karya tulis ini. Oleh sebab itu, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. drg. Yvonne Suzy Handajani, MKM selaku dosen pembimbing utama

yang telah memberikan bimbingan, nasihat, dan saran selama proses pembuatan

karya tulis ini.

2. dr. Florentina Mariane Rahardja M. Gizi, Sp. GK. selaku dosen pembimbing

pendamping yang telah memberikan bimbingan, nasihat, dan saran selama

proses pembuatan karya tulis ini.

3. dr. Vetinly M. Gizi, Sp. GK. selaku penguji yang telah memberikan bimbingan,

nasihat, dan saran selama proses pembuatan karya tulis ini.

4. Orang tua dan teman-teman penulis yang telah memberikan bantuan dan

dukungan selama proses pembuatan karya tulis ini.

5. Para pimpinan panti werdha yang telah memberikan izin dan membantu

kelancaran selama proses pengumpulan data di panti werdha.

6. Para responden yang telah bersedia berpartisipasi dalam penelitian ini.

Penulis menyadari bahwa Karya Tulis Ilmiah ini masih jauh dari sempurna

dan mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk memperbaiki

kekurangan ini di kemudian hari. Akhir kata, penulis berharap agar Karya Tulis

Ilmiah ini dapat bermanfaat. Atas perhatian yang diberikan, penulis mengucapkan

terima kasih.

Jakarta, 6 Februari 2015

Penulis

8

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL...................................................................................................i

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS......................................................ii

PERNYATAAN PERSETUJUAN...........................................................................iii

HALAMAN PANITIA SIDANG.............................................................................iv

ABSTRAK...................................................................................................................v

ABSTRACT................................................................................................................vi

KATA PENGANTAR..............................................................................................vii

DAFTAR ISI............................................................................................................viii

DAFTAR TABEL.....................................................................................................xii

BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................1

1.1. Latar Belakang......................................................................................................1

1.2. Rumusan Masalah.................................................................................................2

1.3. Tujuan Penelitian..................................................................................................2

1.3.1. Tujuan umum.............................................................................................21.3.2. Tujuan khusus.............................................................................................2

1.4. Manfaat Penelitian................................................................................................3

1.4.1. Dalam bidang ilmu pengetahuan................................................................31.4.2. Dalam bidang penelitian.............................................................................31.4.3. Bagi pemerintah.........................................................................................31.4.4. Kepada masyarakat.....................................................................................3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................4

1.1. Lanjut usia.............................................................................................................4

1.1.1. Definisi lanjut usia......................................................................................41.1.2. Proses penuaan...........................................................................................4

1.2. Sarkopenia.............................................................................................................4

1.2.1. Definisi sarkopenia.....................................................................................41.2.2. Epidemiologi sarkopenia............................................................................6

1.2.2.1. Prevalensi sarkopenia di Amerika................................................6

9

1.2.2.2. Prevalensi sarkopenia di Eropa.....................................................61.2.2.3. Prevalensi sarkopenia di Asia.......................................................71.2.2.4. Prevalensi sarkopenia di Indonesia...............................................7

1.2.3. Patofisiologi sarkopenia.............................................................................81.2.3.1. Morfologi otot...............................................................................71.2.3.2. Atrofi otot didukung faktor neurologis.........................................91.2.3.3. Perubahan keseinbangan protein...................................................9

1.2.4. Diagnosis sarkopenia................................................................................101.2.4.1. Teknik pemeriksaan....................................................................111.2.4.2. Kriteria diagnostik......................................................................14

1.2.5. Karakteristik lanjut usia sebagai faktor risiko sarkopenia........................161.2.5.1. Genetik........................................................................................161.2.5.2. Usia.............................................................................................161.2.5.3. Jenis kelamin...............................................................................161.2.5.4. Pendidikan...................................................................................161.2.5.5. Aktivitas fisik dan pekerjaan......................................................171.2.5.6. Penyakit......................................................................................17

1.3. Asupan Nutrisi dan Sarkopenia..........................................................................17

1.4. Olahraga dan Sarkopenia....................................................................................19

1.5. Hubungan antara Nutrisi dan Olahraga...............................................................19

1.6. Merokok dan Sarkopenia....................................................................................20

1.7. Konsumsi Alkohol dan Otot Rangka..................................................................20

1.8. Kerangka Teori...................................................................................................22

BAB III KERANGKA KONSEP............................................................................23

1.1. Kerangka Konsep................................................................................................23

1.2. Definisi Operasional...........................................................................................24

1.2.1. Variabel dependen....................................................................................241.2.2. Variabel independen.................................................................................25

1.3. Hipotesis ............................................................................................................27

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN...............................................................28

1.1. Desain Penelitian................................................................................................28

1.2. Tempat dan Waktu Penelitian.............................................................................28

1.3. Populasi

1.3.1. Populasi target..........................................................................................281.3.2. Populasi terjangkau..................................................................................28

10

1.4. Kriteria Sampel...................................................................................................29

1.4.1. Kriteria inklusi..........................................................................................291.4.2. Kriteria eksklusi.......................................................................................29

1.5. Sampel ............................................................................................................29

1.6. Metode Pengambilan Sampel.............................................................................29

1.7. Besar Sampel......................................................................................................29

1.8. Pengumpulan, Pengambilan Data, dan Teknik Pelaksanaan..............................30

1.8.1. Alokasi subjek..........................................................................................301.8.2. Pengukuran...............................................................................................301.8.3. Teknik pelaksanaan..................................................................................30

1.9. Rencana Pengolahan dan Analisis Data..............................................................30

1.9.1. Rencana pengolahan data.........................................................................301.9.2. Analisis data.............................................................................................31

BAB V HASIL PENELITIAN.................................................................................32

1.1. Analisis Univariat...............................................................................................32

1.1.1. Distribusi responden menurut karakteristik.............................................321.1.2. Distribusi responden menurut asupan nutrisi...........................................321.1.3. Distribusi responden menurut kebiasaan berolahraga dan merokok........331.1.4. Distribusi Responden menurut tingkat sarkopenia...................................33

1.2. Analisis Bivariat..................................................................................................34

1.2.1. Hubungan antara karateristik responden dan sarkopenia1.2.1.1. Hubungan antara usia dan sarkopenia.........................................341.2.1.2. Hubungan antara jenis kelamin dan sarkopenia..........................351.2.1.3. Hubungan antara pendidikan dan sarkopenia.............................35

1.2.2. Hubungan antara asupan nutrisi dan sarkopenia1.2.2.1. Energi..........................................................................................361.2.2.2. Karbohidrat.................................................................................371.2.2.3. Lemak.........................................................................................371.2.2.4. Protein.........................................................................................38

1.2.3. Hubungan antara olahraga dan sarkopenia...............................................391.2.4. Hubungan antara merokok dan sarkopenia..............................................40

BAB VI PEMBAHASAN

1.1. Hubungan antara Karakteristik Responden dan Sarkopenia...............................41

1.1.1. Hubungan antara usia dan sarkopenia....................................................411.1.2. Hubungan antara jenis kelamin dan sarkopenia.....................................421.1.3. Hubungan antara pendidikan dan sarkopenia........................................43

11

1.2. Hubungan antara Asupan Nutrisi dan Sarkopenia..............................................43

1.3. Hubungan antara Olahraga dan Sarkopenia........................................................45

1.4. Hubungan antara Merokok dan Sarkopenia........................................................45

1.5. Keterbatasan Penelitian.......................................................................................46

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN................................................................47

1.1. Kesimpulan.........................................................................................................47

1.2. Saran ............................................................................................................48

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................49

LAMPIRAN ............................................................................................................58

12

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1. Kategori sarkopenia berdasarkan penyebabnya..........................................5

Tabel 2.2. Tahapan sarkopenia menurut EWGSOP.....................................................6

Tabel 2.3. Pengukuran massa, kekuatan, dan fungsi otot...........................................13

Tabel 2.4. Diagnosis sarkopenia: variable yang diukur dan nilai cut-off ................. 15

Tabel 5.1. Distribusi Responden menurut Karakteristik........................................... 32

Tabel 5.2. Distribusi Responden menurut Asupan Nutrisi........................................ 33

Tabel 5.3. Distribusi Responden menurut Kebiasaan Merokok dan Berolahraga.... 33

Tabel 5.4. Distribusi Responden menurut Tingkat Sarkopenia................................. 34

Tabel 5.5. Distribusi Usia menurut Sarkopenia........................................................ 34

Tabel 5.6. Distribusi Jenis Kelamin menurut Sarkopenia......................................... 35

Tabel 5.7. Distribusi Tingkat Pendidikan menurut Sarkopenia................................ 36

Tabel 5.8. Distribusi Asupan Energi menurut Sarkopenia........................................ 36

Tabel 5.9. Distribusi Asupan Karbohidrat menurut Sarkopenia .............................. 37

Tabel 5.10. Distribusi Asupan Lemak menurut Sarkopenia...................................... 38

Tabel 5.11. Distribusi Asupan Protein menurut Sarkopenia..................................... 39

Tabel 5.12. Distribusi Asupan Protein pada Asupan Energi Cukup......................... 39

Tabel 5.13. Distribusi Kebiasaan Olahraga menurut Sarkopenia............................. 40

Tabel 5.14. Distribusi Kebiasaan Merokok menurut Sarkopenia............................. 40

13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Proses penuaan terjadi sepanjang kehidupan manusia dan tidak ada yang

dapat menghindarinya.(1) Perubahan ini membawa manusia kepada tahap lanjut

usia yang berhubungan dengan keterbatasan mobilitas yang dapat menyebabkan

jatuh, sakit, dan disabilitas. Keadaan ini salah satunya dapat disebabkan oleh

kehilangan massa otot, penurunan kekuatan dan fungsi otot yang dikenal dengan

istilah sarkopenia.(2)(3) Sarkopenia saat ini sedang menjadi masalah kesehatan

penting pada penduduk lanjut usia dan penelitian mengenai hal ini sedang

berkembang.(4)

Sejak usia 50 tahun, massa otot mulai mengalami penurunan.(5) Secara

keseluruhan, diperkirakan 5-13% penduduk berusia 60-70 tahun menderita

sarkopenia dan jumlahnya meningkat hingga 11-50% pada penduduk berusia 80

tahun ke atas.(6) Biaya kesehatan yang dikeluarkan untuk sarkopenia di

Amerika Serikat tahun 2000 sebesar $18,5 miliar ($10,8 miliar untuk pria, $7,7

miliar untuk wanita), yang merupakan sekitar 1,5% dari total biaya kesehatan

tahun tersebut. Pengurangan 10% pada prevalensi sarkopenia akan

menghasilkan simpanan sebesar $1,1 miliar per tahun.(7)

Berdasarkan data WHO, pada tahun 2000 diperkirakan terdapat 600 juta

jiwa penduduk berusia lebih dari 60 tahun di dunia. Angka ini diperkirakan akan

mencapai sekitar 1,2 miliar orang pada tahun 2025 dan selanjutnya diperkirakan

akan mencapai 2 miliar orang pada tahun 2050.(8) Hasil Sensus Penduduk tahun

2010 menunjukkan bahwa Indonesia termasuk lima besar negara dengan jumlah

penduduk lanjut usia terbanyak di dunia yakni mencapai 18,1 juta jiwa atau 9,6

persen dari jumlah penduduk. Menurut proyeksi Bappenas jumlah tersebut akan

meningkat menjadi dua kali lipat atau 36 juta penduduk lanjut usia pada 2025.

(9)

Sarkopenia membawa banyak akibat yang merugikan seperti peningkatan

morbiditas, jatuh, institusionalisasi, bermulanya disabilitas, kematian prematur,

menambah beban terhadap biaya kesehatan yang sudah meningkat, dan

memperburuk kualitas kehidupan.(10) Mekanisme utama terjadinya sarkopenia

adalah perubahan sistemik oleh karena proses proses penuaan antara lain yaitu

1

2

perubahan sistem saraf, hormon, muskuloskeletal, dan metabolisme tubuh yang

mengakibatkan ketidakseimbangan dalam pembentukan massa otot.(11) Faktor

lain yang dapat mempengaruhi pembentukkan massa dan kekuatan otot adalah

pewarisan genetik.(12) Penelitian juga mengungkapkan bahwa kombinasi antara

asupan nutrisi yang baik dan olahraga dapat mencegah dan mengatasi kejadian

sarkopenia sedangkan kebiasaan merokok meningkatkan terjadinya sarkopenia.

(13)(14)

Asupan nutrisi, olahraga, dan kebiasaan merokok merupakan faktor-faktor

yang dapat dikontrol dibandingkan dengan perubahan sistemik dan faktor

genetik. Oleh karena itu, penelitian pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap

kejadian sarkopenia perlu dilaksanakan lebih lanjut. Apabila ditemukan

hubungan yang bermakna antara keduanya, maka perbaikan dapat diusahakan

oleh setiap orang yang bertujuan untuk mencegah atau menurunkan terjadinya

sarkopenia. Istilah sarkopenia masih belum dikenal secara umum di Indonesia

dan penelitian tentang masalah ini masih sangat sedikit atau bahkan belum

pernah dilakukan. Mengingat banyaknya jumlah penduduk lanjut usia, maka

penelitian mengenai sarkopenia penting untuk dilakukan di Indonesia.

1.2. Rumusan Masalah

Apakah faktor asupan nutrisi, olahraga, dan merokok berpengaruh terhadap

kejadian sarkopenia pada lanjut usia di Panti Werdha di Jakarta?

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan umum

Mendapatkan gambaran sarkopenia serta diketahuinya pengaruh asupan

nutrisi, olahraga, dan merokok terhadap terjadinya sarkopenia pada lanjut

usia di Panti Werdha di Jakarta

1.3.2. Tujuan khusus

1.3.2.1. Mengetahui persentase lanjut usia yang menderita sarkopenia di Panti

Werdha di Jakarta

1.3.2.2. Mengetahui persentase kecukupan nutrisi lanjut usia dan pengaruhnya

terhadap kejadian sarkopenia di Panti Werdha di Jakarta

1.3.2.3. Mengetahui persentase lanjut usia yang melakukan olahraga dan

pengaruhnya terhadap kejadian sarkopenia di Panti Werdha di Jakarta

3

1.3.2.4. Mengetahui persentase lanjut usia yang merokok dan pengaruhnya

terhadap kejadian sarkopenia di Panti Werdha di Jakarta

1.3.2.5. Mengetahui pengaruh karakteristik lansia (usia, jenis kelamin, dan

pendidikan) sebagai faktor risiko terhadap kejadian sarkopenia di Panti

Werdha di Jakarta Barat

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Dalam bidang ilmu pengetahuan

Memberikan informasi mengenai pengaruh asupan nutrisi, olahraga, dan

merokok terhadap kejadian sarkopenia pada lanjut usia

1.4.2. Dalam bidang penelitian

Menambah referensi penelitian mengenai sarkopenia beserta pengaruh

asupan nutrisi, olahraga, dan merokok sebagai faktor risikonya

1.4.3. Kepada pemerintah

Menjadi masukan bagi pemerintah dalam membuat suatu kebijakan yang

dapat menurunkan prevalensi sarkopenia sehingga bisa meningkatkan

kualitas hidup lanjut usia yang ada di Indonesia

1.4.4. Kepada masyarakat

Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai sarkopenia sehingga

dapat melakukan usaha untuk mencegah atau mengatasinya

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA2.

2.1. Lanjut Usia

2.1.1. Definisi lanjut usia

Pada saat ini, tidak ada kriteria angka standar untuk lanjut usia, namun

PBB menyetujui usia 60 tahun ke atas mengacu pada populasi lanjut usia.

(15) Sedangkan di Indonesia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998

tentang Kesejahteraan Lanjut Usia menetapkan, bahwa batasan umur lanjut

usia di Indonesia adalah 60 tahun ke atas.(16)

2.1.2. Proses penuaan

Proses penuaan seringkali didefinisikan sebagai berbagai perubahan

yang terjadi dalam sel dan jaringan seiring dengan menuanya usia yang

bertanggung jawab terhadap peningkatan risiko terkena penyakit dan

kematian (Harman 2003).(17)

Semua sel mengalami perubahan seiring penuaan, yaitu membesar dan

berkurang kemampuanya untuk membelah dan bermutiplikasi. Produk

buangan berkumpul di jaringan membentuk pigmen cokelat berlemak yang

disebut lipofuscin yang berkumpul di banyak jaringan, begitu juga substansi

berlemak lainnya. Jaringan penyambung berubah menjadi lebih kaku.

Membran sel berubah sehingga banyak jaringan sulit untuk mendapatkan

oksigen dan nutrisi dan membuang karbon dioksida dan produk buangan.

Banyak jaringan mengalami kehilanggan massa atau atrofi. Oleh karena

semua perubahan sel dan jaringan, organ tubuh turut berubah menjadi

kehilangan fungsinya secara perlahan.(18)

2.2. Sarkopenia

2.2.1. Definisi sarkopenia

Istilah sarkopenia (dalam bahasa Yunani, sarx berarti daging dan penia

berarti kehilangan), pertama kali diperkenalkan oleh Irwin Rosenberg,

menggambarkan tentang kehilangan massa dan kekuatan otot rangka oleh

karena penuaan.(3) Definisi lain dari sarkopenia adalah sebuah sindrom

yang dikarakterisasi oleh kehilangan massa dan kekuatan otot rangka secara

4

5

progresif dan umum disertai risiko yang merugikan seperti disabilitas fisik,

kualitas hidup yang buruk, dan kematian. Meskipun demikian, sarkopenia

masih tidak memiliki definisi klinis yang diterima secara luas, tidak ada

kriteria diagnostik hasil konsensus dan kodenya dalam International

Classification of Diseases 9th Revision (ICD-9), serta tidak ada pedoman

tata laksananya.(19)

European Working Group on Sarcopenia in Older People (EWGSOP,

the Sarcopenia Working Group) merekomendasikan cara diagnosis

sarkopenia dengan melihat adanya massa dan fungsi otot (kekuatan atau

kinerja) yang rendah. Diagnosis sarkopenia ditegakkan dengan adanya

massa otot yang rendah ditambah kekuatan otot atau kinerja fisik yang

rendah.(19)

Sarkopenia dapat dikategorikan ‘primer’ jika tidak ada penyebab lain

kecuali penuaan itu sendiri, sedangkan sarkopenia dapat dikategorikan

‘sekunder’ jika ada satu atau lebih penyebab seperti aktivitas, penyakit, dan

nutrisi (Tabel 2.1).(19)

Tabel 2.1. Kategori sarkopenia berdasarkan penyebabnya(19)

Kategori Contoh

Sarkopenia primer

Sarkopenia sekunder

• Sarkopenia akibat

aktivitas

• Sarkopenia akibat

penyakit

• Sarkopenia akibat

nutrisi

Tidak ditemukan penyebab lain kecuali penuaan

Kkk

Bisa disebabkan oleh bed rest, gaya hidup kurang

gerak, dekondisi, atau kondisi gravitasi nol

Berhubungan dengan kerusakan organ yang sudah

lanjut (jantung, paru-paru, hepar, ginjal, otak),

penyakit inflamasi, keganasan, atau penyakit endokrin

Timbul dari asupan makanan dalam bentuk energi

dan/ atau protein yang tidak memadai, adanya

malabsorpsi, gangguan gastrointestinal, atau

penggunaan obat-obatan yang menyebabkan

anoreksia

Klasifikasi sarkopenia berdasarkan tingkat keparahan kondisinya, bisa

membantu mengarahkan penanganan klinis terhadap kondisi tersebut.

6

EWGSOP memberikan sebuah konsep klasifikasi yaitu ‘prasarkopenia’,

‘sarkopenia sedang’, dan ‘sarkopenia berat’ (Tabel 2.2). Tahap

‘prasarkopenia’ dikarakterisasi oleh massa otot yang rendah tanpa

mempengaruhi kekuatan otot atau kinerja fisik. Tahap ini hanya bisa

diidentifikasi dengan teknik yang mengukur massa otot secara akurat dan

mengacu pada populasi standar. Tahap ‘sarkopenia sedang’ dikarakterisasi

oleh massa otot yang rendah, ditambah kekuatan otot yang rendah atau

kinerja fisik yang rendah. Sementara itu, ‘sarkopenia berat’ adalah tahap

yang diidentifikasi ketika seluruh kriteria ditemukan (massa otot yang

rendah, kekuatan otot yang rendah, dan kinerja fisik yang rendah).(19)

Tabel 2.2. Tahapan sarkopenia menurut EWGSOP(19)

Tahap Massa otot Kekuatan otot Kinerja

Prasarkopenia

Sarkopenia

Sarkopenia berat

Atau ↓

2.2.2. Epidemiologi sarkopenia

2.2.2.1. Prevalensi sarkopenia di Amerika

Data prevalensi sarkopenia diperoleh melalui studi kohort.

Berdasarkan NMEHS (New Mexico Elder Health Survey), lebih dari

10% pria dan 20% wanita usia di bawah 70 tahun mengalami sarkopenia,

sedangkan usia di atas 80, lebih dari 50% pria dan 40% wanita

mengalami sarkopenia. Berdasarkan NHANES III (National Health and

Nutrition Examination Survey), prevalensi sarkopenia pada lansia di atas

60 tahun adalah 7% untuk pria dan 10% untuk wanita. Berdasarkan CHS

(Cardiovascular Health Study) terhadap 5.036 lansia di atas 65 tahun,

prevalensi sarkopenia sedang adalah 70,7% pada pria dan 41,9% pada

wanita, dan prevalensi sarkopenia berat adalah 17,1% pada pria dan

10,7% pada wanita.(20)

2.2.2.2. Prevalensi sarkopenia di Eropa

Data prevalensi sarkopenia diperoleh melalui studi kohort. EPIDOS

(European Patient Information and Documentation Systems) melakukan

studi terhadap 1.458 lansia wanita di Perancis menghasilkan prevalensi

7

sarkopenia sebesar 9,5%. Berdasarkan studi InCHIANTI di Italia,

prevalensi sarkopenia untuk pria adalah 20% pada usia 65 tahun dan

70% pada usia 85 tahun, dan prevalensi sarkopenia untuk wanita adalah

5% pada usia 65 tahun dan 15% pada usia 85 tahun. Berdasarkan LASA

(Longitudinal Aging Study Amsterdam), prevalensi sarkopenia dari 520

orang peserta adalah 15,7%.(20)

2.2.2.3. Prevalensi sarkopenia di Asia

Berdasarkan data yang diperoleh dari laporan konsensus Asian

Working Group for Sarcopenia, dengan menggunakan DXA, prevalensi

sarkopenia di Cina untuk pria adalah 12,3% dan untuk wanita adalah

7,6%, di Korea untuk pria adalah 5,1% dan untuk wanita adalah 14,2%.

Prevalensi sarkopenia di Thailand adalah untuk 35,33% pria dan 34,74%

untuk wanita, di Taiwan untuk pria adalah 14,9% dan untuk wanita

adalah 19%. Sedangkan dengan menggunakan BIA, prevalensi

sarkopenia di Jepang untuk pria adalah 11,3% dan untuk wanita adalah

22,1%.(21)

2.2.2.4. Prevalensi sarkopenia di Indonesia

Sampai saat ini belum terdapat dokumen yang memuat data tentang

prevalensi sarkopenia di Indonesia, di mana penelitian terhadap

sarkopenia sendiri masih sangat jarang atau belum pernah dilakukan di

Indonesia.

2.2.3. Patofisiologi sarkopenia

Proses penuaan membawa perubahan terhadap massa, komposisi,

properti kontraktil, dan properti material jaringan otot. Perubahan-perubahan

ini mempengaruhi kekuatan, ketahanan, dan fungsi otot, yang

mengakibatkan penurunan performa fisik, disabilitas, peningkatan risiko

terhadap cedera karena jatuh, dan seringkali frailty.(22)

2.2.3.1. Morfologi otot

Otot rangka terutama terdiri dari dua tipe serat otot. Serat otot tipe 1

memiliki waktu kontraksi yang lambat, menggunakan jalur oksidatif, dan

tahan lelah. Sebaliknya, serat otot tipe 2 memiliki waktu kontraksi cepat,

bergantung pada jalur glikolitik, dan lebih cepat lelah. Kehilangan otot

rangka manusia akibat penuaan disebabkan karena penurunan ukuran

8

serat otot disertai kehilangan jumlah serat otot baik tipe cepat maupun

tipe lambat, walaupun kehilangan serat otot tipe cepat cenderung terjadi

lebih awal.(4)

Serat otot hilang melalui denervasi, sehingga beban kerja

dipindahkan kepada serat otot yang masih bertahan. Sebagai respon

adaptasi, serat otot tipe 2 yang telah mengalami denervasi diubah

menjadi serat otot tipe 1. Hasilnya, persentase serat otot tipe 1 cenderung

meningkat dan serat otot tipe 2 menurun seiring bertambahnya usia. Pada

jaringan otot muda permukaannya tampak seperti mosaic karena adanya

kedua tipe serat otot, sedangkan pada otot yang sudah tua perubahan

serat otot menyebabkan bergerombolnya serat otot dengan tipe serupa.

(22)

Gambar 1 Efek penuaan pada serat otot. Denervasi serat tipe 2 dan

perubahannya menjadi serat tipe 1 pada orang tua, serta gangguan

perubahan pada orang dengan sarkopenia.(22)

Aspek morfologi lainnya dari penuaan otot rangka adalah infiltrasi

lipid terhadap jaringan otot, yang dapat terkandung dalam adiposit

maupun tersimpan dalam serat otot. Hasil penelitian mengatakan proses

penuaan meningkatkan jumlah adiposit.(22)

9

2.2.3.2. Atrofi otot didukung faktor neurologis

Fungsi saraf motorik penting untung kelangsungan hidup serat otot.

Degenerasi saraf dapat menjadi penyebab efek penuaan pada struktur

otot, meliputi hilangnya serat otot, atrofi serat otot, dan meningkatnya

penggerombolan serat otot .(22)

Berbagai tingkat sistem saraf dipengaruhi oleh penuaan, termasuk

korteks motorik, medulla spinalis, saraf perifer, dan neuromuscular

junction. Dalam medulla spinalis terdapat penurunan jumlah alpha motor

neuron dan mungkin terdapat kecenderungan hilangnya saraf motorik

yang menyuplai serat otot tipe cepat.(22)

Laporan lain menyatakan penuaan mengakibatkan kehilangan pada

serat saraf perifer dan perubahan pada lapisan myelinnya, selain itu

berkurangnya jumlah namun meningkatnya ukuran area terminal pada

neuromuscular junction.(22)

2.2.3.3. Perubahan keseimbangan protein

Mempertahankan massa otot rangka membutuhkan keseimbangan

antara tingkat sintesis protein dengan tingkat degradasi protein. Penuaan

berhubungan dengan penurunan ekspresi faktor hormonal yang

mendukung sintesis protein dan peningkatan baik faktor endokrin

maupun faktor inflamasi yang mendukung degradasi protein.(22)

• IGF-1

Insulin-like growth factor 1 (IGF-1) dikenal sebagai pendukung

sintesis protein pada otot rangka. Serat otot rangka memiliki

serangkaian reseptor transmembran yang mengikat insulin dan IGF-1

untuk mengatur proliferasi, diferensiasi, dan fusi sel prekursor otot

rangka. IGF-1 dihasilkan dari dua sumber utama yaitu hasil dari interaksi

growth hormone (GH) dengan hepar dan dari otot rangka sendiri. IGF-1

di otot rangka memiliki dua jenis utama, satu yang diproduksi sebagai

respon terhadap aktivitas fisik dan satu yang menyerupai IGF-1 di hepar.

Proses penuaan mengakibatkan penurunan growth hormone yang

mengakibatkan penurunan IGF-1 dan menurunkan kemampuan sel otot

rangka untuk memproduksi IGF-1 sendiri. Maka, penurunan IGF-1

berhubungan dengan penurunan sintesis protein dan fungsi sel otot, juga

dapat mempengaruhi fungsi saraf motorik.(22)

10

• Perubahan pada faktor inflamasi

Pada penyakit inflamasi kronis yang berhubungan dengan atrofi

otot, seperti cachexia kanker dan kelainan autoimun, degradasi protein

sel otot dipercepat dan sintesis protein otot tidak ada.(17) Jalur ubiquitin-

proteasome adalah mekanisme paling penting untuk degradasi protein

pada sel otot rangka. Jalur ini didukung oleh sitokin inflamasi seperti

tumor necrosis factor alpha (TNF-α) dan interleukin 6 (IL-6), serta

hormon seperti kortisol dan angiotensin. Peningkatan ekspresi sitokin

inflamasi ini terjadi pada penuaan otot rangka. Peningkatan ekspresi

TNF-α diketahui menstimulasi atrofi otot melalui apoptosis yang

mengakibatkan kehilangan myonuclei pada sarkopenia.(22)

• Kerusakan oksidatif

Metabolisme oksidatif menghasilkan reactive oxygen species

(ROS), dan produk ini diduga menumpuk, mengubah, dan merusak

komponen sel, terutama mitokondria dan rangkaian DNA. Mitokondria

memproduksi ROS sehingga struktur dan DNAnya menjadi subjek

perubahan. Perubahan mtDNA diketahui meningkat di otot rangka dan

area mitokondria abnormal sering ditemukan pada otot yang terserang

sarkopenia. Peran mtDNA terhadap sarkopenia masih diinvestigasi,

terutama terhadap perannya mengakibatkan apoptosis sel otot rangka dan

abnormalitas struktural yang mengganggu fungsi metabolisme.(22)

• Perubahan intrinsik terhadap otot rangka

Satu mekanisme yang berpotensi menyebabkan sarkopenia meliputi

kehilangan kapasitas regenerasi otot karena hilangnya jumlah dan fungsi

sel satelit otot, yang berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi serat otot

rangka.(22)

2.2.4. Diagnosis sarkopenia

Parameter untuk sarkopenia adalah jumlah otot dan fungsinya. Variabel

yang dapat diukur adalah massa, kekuatan otot, dan kinerja fisik.

Pengukuran penting dilakukan berulang pada satu orang untuk mencegah

kesalahan.(19)

2.2.4.1. Teknik pemeriksaan

11

• Massa otot

Berbagai macam teknik dapat digunakan untuk menilai massa otot.

Biaya, ketersediaan, dan kemudahan pemakaian menentukan apakah

teknik tersebut lebih sesuai untuk praktik klinis atau lebih berguna untuk

penelitian.(19)

Teknik body imaging

Ada tiga teknik imaging yang biasa dilakukan untuk menilai massa

otot, yaitu computed tomography (CT) scan, magnetic resonance

imaging (MRI), dan dual energy X-ray absorptiometry (DXA). CT scan

dan MRI dianggap sangat tepat karena dapat memisahkan lemak dari

jaringan lunak lainnya dalam tubuh, sehingga dijadikan gold standard

untuk menilai massa otot dalam penelitian. Kekurangan teknik ini adalah

biaya yang mahal, akses untuk peralatan yang terbatas di berbagai

tempat, dan adanya pemaparan radiasi. DXA adalah metode alternatif

dalam penelitian maupun klinis untuk membedakan lemak, tulang, dan

jaringan non-lemak dengan radiasi minimal terhadap pasien.

Kekurangannya adalah alat ini tidak portable sehingga sulit untuk

digunakan dalam penelitian epidemiologi skala besar.(19)

Bioimpedance analysis

Bioimpedance analysis (BIA) menilai volume lemak dan massa

tubuh non-lemak. Metode ini murah, mudah digunakan, dan dapat

bekerja pada pasien rawat jalan dan terbaring di ranjang. Teknik

pengukuran BIA sudah diteliti selama lebih dari 10 tahun, dan hasilnya

ditemukan memiliki korelasi yang baik dengan hasil MRI. Maka, BIA

dapat menjadi metode alternatif portable bagi DXA.(19)

• Kekuatan otot

Teknik yang tersedia untuk mengukur kekuatan otot lebih sedikit.

Walaupun ekstremitas bawah seharusnya lebih berhubungan daripada

ekstremitas atas untuk kemampuan berjalan dan fungsi fisik, kekuatan

genggaman tangan (handgrip strength) lebih sering digunakan dan

hasilnya dinyatakan memiliki hubungan yang lebih baik. Kekuatan

genggaman tangan isometrik berhubungan erat dengan kekuatan otot

kaki. Kekuatan handgrip yang rendah merupakan tanda klinis dari

12

rendahnya mobilitas dan memprediksi hasil klinis lebih baik daripada

massa yang otot rendah.(19)

• Kinerja fisik

Berbagai jenis tes untuk kinerja fisik tersedia, termasuk Short

Physical Performance Battery (SPPB), kecepatan berjalan biasa, Timed

get-up-and-go test (TGUG), dan tes kekuatan naik tangga.(19)

Short Physical Performance Battery 

SPPB menilai keseimbangan, kemampuan berjalan, kekuatan dan

ketahanan dengan memeriksa kemampuan seseorang untuk berdiri

dengan kedua kaki bersamaan saling berdampingan, posisi semi-tandem

dan tandem, waktu untuk berjalan 2,5 meter, dan waktu untuk bangun

dari kursi dan kembali ke posisi duduk sebanyak lima kali. SPPB

merupakan gabungan dari beberapa tes terpisah dan merupakan

pengukuran standar baik untuk praktis klinis maupun penelitian.(19)

Timed get-up-and-go test.

TGUG menilai waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan sebuah

rangkaian tugas yaitu untuk berdiri dari kursi, berjalan jarak dekat,

berbalik, kembali, dan duduk. Hal ini untuk menilai keseimbangan

dinamis.70 TGUG dapat digunakan untuk mengukur kinerja fisik pada

geriatri.(19)

13

Tabel 2.3. Pengukuran massa, kekuatan, dan fungsi otot pada penelitian dan praktik(19)

Variabel Penelitian Praktik klinis

Massa otot Computed Tomography (CT)

Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Dual-energy X-ray Absorptiometry (DXA)

Bioimpedance Analysis (BIA)

Potasium tubuh total atau parsial per

jaringan lunak bebas lemak

BIA

DXA

Antropometri

Kekuatan

otot

Kekuatan genggaman tangan (handgrip

strength)

Fleksi/ ekstensi lutut

Peak expiratory flow

Kekuatan

genggaman tangan

Kinerja

fisik

Short Physical Performance Battery

(SPPB)

Kecepatan berjalan biasa

Timed get-up-and-go test(TGUG)

Tes kekuatan naik tangga

SPPB

Kecepatan berjalan

biasa

TGUG

14

2.2.4.2. Kriteria diagnostik

• Massa otot

Baumgartner et al. menyimpulkan massa otot empat ekstremitas

yang diperoleh dari DXA scan sebagai appendicular skeletal muscle

mass (ASM) dan menyatakan skeletal muscle mass index (SMI) sebagai

ASM/ height2 (kg/m2). SMI yang berada dua standar deviasi di bawah

SMI rata-rata dari kelompok laki-laki dan perempuan muda dinyatakan

sebagai nilai cut-off sarkopenia untuk jenis kelaminnya masing-masing.

(19)

SMI= ASM

Height2

Sedangkan NHANES III dengan menggunakan BIA untuk

mengukur massa otot. Massa otot yang digunakan dalam menghitung

SMI bukan massa otot apendikular, melainkan massa otot absolut.(19)

SMI=absolutemuscle mass

Height 2

• Kekuatan otot

Penelitian di Taiwan menemukan bahwa kekuatan genggaman

tangan orang Taiwan lebih rendah 25,4% pada laki-laki dan 27,4% pada

wanita dibanding ras Kaukasia. Penelitian tersebut memodifikasi nilai

cut-off berdasarkan kriteria EWGSOP untuk kekuatan genggam rendah

sebagai kurang dari 22,4 kg untuk laki-laki dan kurang dari 14,3 kg

untuk perempuan.(23)

• Kinerja fisik

Timed Get Up and Go Test menilai kinerja fisik lanjut usia dengan

cara menghitung waktu yang dibutuhkan untuk berdiri dari kursi,

berjalan pada garis lurus dengan jarak 3 meter, berbalik, berjalan

kembali, dan duduk di tempat awal. Jika waktu mencapai 30 detik atau

lebih maka responden dinilai bergantung kepada orang lain untuk

melakukan aktivitas fisik sehari-hari atau kinerja fisik yang rendah.(24)

15

Tabel 2.4. Diagnosis sarkopenia: variable yang diukur dan nilai cut-off(19)

Kriteria

Metode

penilaia

n

Nilai cut-off berdasarkan

jenis kelaminReferensi

Massa otot DXA SMI = ASM/ height2

Pria: 7,26 kg/m2

Wanita: 5,5 kg/m2

<2SD rata-rata

dewasa muda

(Rosetta Study)

BIA SMI = absolute muscle

mass/ height2

Pria:

Sarkopenia berat ≤8,50

kg/m2

Sarkopenia sedang 8,51–

10,75 kg/m2

Otot normal ≥10,76 kg/m2

Wanita:

Sarkopenia berat ≤5,75

kg/m2

Sarkopenia sedang 5,76–

6,75 kg/m2

Otot normal ≥6,76 kg/m

Analisis statistik

NHANES III

terhadap lansia

pria dan wanita

Kekuatan otot Handgrip

strength

Pria: <22,4 kg

Wanita: <14,3 kg

Penelitian di

Taiwan

Kinerja fisik SPPB SPPB <8

SPPB 0–6 Kinerja rendah

SPPB 7–9 Kinerja sedang

SPPB 10–12 Kinerja tinggi

Established

Populations for

Epidemiologic

Studies of the

Elderly (EPESE)

(n = 6,534).

TGUG >30 s

16

2.2.5. Karakteristik lanjut usia sebagai faktor risiko sarkopenia

2.2.5.1. Genetik

Genetik yang kuat dalam menentukan massa otot dan kekuatan otot

telah ditemukan, dengan heritabilitas berkisar dari 30 hingga 85% untuk

kekuatan otot dan 50-90% untuk massa otot.(25)

2.2.5.2. Usia

Sekitar 5-13% penduduk berusia 60-70 tahun diperkirakan

menderita sarkopenia dan jumlahnya meningkat hingga 11-50% pada

penduduk berusia 80 tahun ke atas.(6)

Seiring penuaan tubuh mengalami perubahan komposisi yaitu

meningkatnya lemak tubuh dan hilangnya massa otot.(26) Rata-rata

orang dewasa memperoleh satu pound lemak dan kehilangan setengah

pound massa otot pertahun selama usia 30-60 tahun.(27) Massa otot

cukup stabil pada usia 25 sampai 55 tahun, namum mengalami

penurunan sebesar 25% sejak usia 50 hingga 75 tahun.(28)

2.2.5.3. Jenis kelamin

Prevalensi sarkopenia meningkat seiring menuanya baik pria

maupun wanita. Perbedaan jenis kelamin dalam prevalensi sarkopenia

ditemukan pada orang yang lebih muda dari 70 tahun dan yang lebih tua

dari 80 tahun. Pada kelompok usia yang lebih muda (<70 tahun)

sarkopenia ditemukan lebih banyak pada wanita, sedangkan pada

kelompok usia yang lebih tua (>80 tahun) berlaku sebaliknya. Maka

dapat disimpulkan prevalensi sarkopenia berbeda di antara dua jenis

kelamin dengan dipengaruhi oleh usia.(29)

2.2.5.4. Pendidikan

EPIDOS Study melakukan penelitian terhadap 1.989 wanita lanjut

usia di Perancis dan menemukan jauh lebih banyak responden dengan

tingkat pendidikan tinggi (lulus Sekolah Dasar) memiliki massa otot

yang normal dengan nilai P = 0,046.(30) Penelitian lain di Swedia

menemukan bahwa pada usia 60-80 tahun, responden dengan tingkat

pendidikan tinggi (lulus universitas) memiliki kinerja fisik yang lebih

baik dibandingkan dengan responden dengan tingkat pendidikan rendah

17

(lulus Sekolah Dasar). Namun mekanisme hubungan antara pendidikan

dengan kinerja fisik masih belum diketahui.(31)

2.2.5.5. Aktivitas fisik dan pekerjaan

Penelitian menemukan bahwa rendahnya aktivitas sehari-hari

berhubungan dengan peningkatan kejadian sarkopenia. Responden lanjut

usia yang berjalan kaki kurang dari 15 menit perhari berisiko terkena

sarkopenia 2,03-4,55 kali daripada yang berjalan kaki lebih dari 23

menit per hari.(32) Beberapa jenis pekerjaan dan lama jam kerja dapat

mempengaruhi aktivitas seseorang, selain itu juga terdapat perbedaan

aktivitas fisik pada saat bekerja dengan ketika sudah pensiun.(33,34)

2.2.5.6. Penyakit

Beberapa penyakit yang paling umum diderita oleh lanjut usia

seperti osteoporosis telah diteliti dan ditemukan memiliki hubungan

yang bermakna dengan sarkopenia.(35) Responden dengan osteoporosis

ditemukan memiliki indeks otot rangka yang lebih rendah daripada

responden dengan osteopenia dan responden dengan osteopenia memiliki

indeks otot rangka yang lebih rendah daripada responden dengan tulang

normal.(36) Selain itu, densitas massa tulang ditemukan memiliki

hubugan dengan kekuatan genggaman tangan.(37) Indeks otot rangka

mengalami penurunan pada responden dengan diabetes dibandingkan

responden tanpa diabetes dan ditemukan memiliki hubungan.(38)

Sarkopenia juga ditemukan berhubungan dengan hipertensi dengan

penyakit kardiovaskular.(39)

2.3. Asupan Nutrisi dan Sarkopenia

Penuaan berhubungan dengan penurunan selera dan asupan makanan yang

pernah disebut ‘anoreksia penuaan’, yang dapat terjadi karena penurunan

relaksasi fundus, peningkatan pelepasan kolesistokinin, dan peningkatan kadar

leptin. Penurunan asupan makanan juga dapat disebabkan oleh perubahan indera

pengecap dan penghidu, perubahan sosial, dan keterbatasan ekonomi. Hal ini

dapat menyebabkan rendahnya asupan nutrisiyang merupakan faktor risiko

penting dalam perkembangan sarkopenia. Terutama asupan protein memiliki

pengaruh besar pada metabolisme otot rangka.(40)

18

Seperti yang telah disebutkan, kehilangan otot pada lansia disebabkan oleh

penurunan sintesis protein otot, peningkatan degradasi protein otot, atau

kombinasi dari keduanya. Kesetimbangan protein dapat dijaga dengan

mengkonsumsi makanan yang mengandung protein yang akan menghasilkan

hiperaminoasidemia yang merupakan stimulator terhadap sintesis protein baru.

Penelitian menunjukkan kebutuhan protein meningkat pada proses penuaan

karena menurunnya efektifitas tubuh untuk menggunakan protein.(41)

Selain mengkonsumsi protein, lansia juga harus mengkonsumsi karbohidrat

dan lemak dengan cukup. Protein bukan merupakan sumber energi utama,

namun jika tubuh tidak mendapatkan kalori yang cukup dari karbohidrat dan

lemak maka protein akan digunakan sebagai sumber energi sehingga persediaan

protein untuk sintesis di otot akan berkurang.(42)

Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi di Indonesia untuk usia 65-80 tahun,

kebutuhan energi untuk laki-laki adalah 1.900 kkal dan untuk perempuan adalah

1.550 kkal perorang perhari. Kebutuhan karbohidrat adalah 309 gram untuk laki-

laki dan 252 gram untuk perempuan perorang perhari. Kebutuhan protein adalah

62 gram untuk laki-laki dan 56 gram pada perempuan perorang perhari.

Sedangkan kebutuhan lemak adalah 53 gram untuk laki-laki dan 43 gram untuk

perempuan per orang perhari.(43) Berdasarkan acuan dari Departemen

Kesehatan Republik Indonesia (1996) (BKP, 2008), tingkat kecukupan konsumsi

energi dan protein antara 80 - <90 persen dikategorikan sebagai defisiensi energi

atau protein tingkat ringan, tingkat kecukupan konsumsi antara 70 - <80 persen

sebagai defisiensi tingkat sedang, dan tingkat kecukupan konsumsi <70 persen

dikategorikan sebagai defisiensi tingkat berat.(32)

Kebutuhan nutrisi juga dapat diukur perorangan. Kebutuhan energi basal

dapat dihitung dengan rumus Harris Benedict berdasarkan usia, berat badan, dan

tinggi badan seseorang. Kebutuhan energi total dihitung dari kebutuhan energi

basal dikalikan faktor aktivitas. Kebutuhan karbohidrat, protein, dan lemak juga

dapat diukur dari berat badan dan kebutuhan energi total.(44) Untuk lanjut usia,

berat badan yang digunakan adalah berat badan ideal. Berat badan ideal sama

dengan berat badan aktual apabila indeks massa tubuh orang tersebut kurang

dari 23, sedangkan untuk orang yang obesitas (IMT > 23) berat badan ideal sama

dengan tinggi badan dikurangi 100.(45)

19

Berkurangnya asupan nutrisi pada lansia juga dipengaruhi oleh kesulitan

makan yang dialami. Sebagian lansia harus dibantu makan oleh orang lain,

beberapa mengalami kesulitan mengunyah karena masalah pada gigi, penurunan

saliva sehingga mulutnya kering dan sulit menelan, atau masalah pada

pencernaan. Selain itu, menurunnya kemampuan penghidu dan pengecap

membuat makanan terasa hambar dan tidak berselera makan. Mulut kering juga

dapat disebabkan oleh obat-obatan yang dikonsumsi. Kesulitan menelan dapat

disebabkan oleh kanker, stroke, dan penyakit Parkinson.(46)

2.4. Olahraga dan Sarkopenia

Olahraga adalah aktivitas fisik yang terencana, terstruktur, dan berulang

yang dilakukan selama waktu luang bertujuan untuk mempertahankan atau

meningkatkan kebugaran, fungsi, dan kesehatan fisik. Lansia yang kurang aktif

secara fisik cenderung untuk memiliki massa dan kekuatan otot rangka yang

lebih rendah dan berisiko tinggi terkena sarkopenia.(40) Berdasarkan IOM 2002,

olah raga berbeda dengan aktivitas fisik. Untuk melakukan olahraga diperlukan

pengetahuan dan kemampuan serta olahraga bertujuan untuk meningkatkan lima

hal, yaitu ketahanan kardio-respiratori, kekuatan otot, ketahanan otot,

fleksibilitas, dan komposisi tubuh.(47)

Karena aktivitas fisik rendah dan gaya hidup sedentari adalah penyebab

utama sarkopenia, olahraga merupakan strategi utama untuk mencegah dan

menangani sarkopenia. Menurut pedoman untuk aktivitas fisik pada lansia oleh

American College of Sports Medicine and American Heart Association, untuk

mempertahankan atau meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot, latihan

tahanan pada minimum dua hari tidak berurutan perminggu harus dilakukan.(40)

2.5. Hubungan antara Nutrisi dan Olahraga

Walaupun olahraga merupakan strategi yang menjanjikan untuk melawan

sarcopenia, respon anabolik selular pada lansia lebih tumpul dibandingkan

dengan orang muda.(40)

Asupan makanan yang cukup dapat membantu anabolisme otot dan

meningkatkan respon selular lansia yang melakukan olahraga. Singh et al.

menunjukkan peningkatan asupan kalori dengan melakukan olahraga dapat

20

meningkatkan kekuatan dan pertumbuhan otot pada lansia dibandingkan dengan

yang berolahraga saja.(40)

Selain itu, peningkatan asupan protein dapat meningkatkan respon anabolik

pada lansia yang berolahraga. Kim et al. telah menemukan pemberian suplemen

asam amino esensial terutama leusin disertai olahraga memberikan peningkatan

yang besar terhadap massa dan kekuatan otot. Selain itu Rawson et. al

menunjukkan efek suplemen kreatin pada lansia disertai dengan olahraga

meningkatkan massa otot, ketahanan terhadap lelah, kekuatan otot, dan

meningkatkan kinerja aktivitas sehari-hari dibandingkan dengan lansia yang

hanya melakukan olahraga.(40)

2.6. Merokok dan Sarkopenia

Merokok merupakan sebuah kebiasaan gaya hidup yang ditemukan

berhubungan dengan sarkopenia melalui penelitian. Castillo et al. memeriksa

faktor risiko terhadap 1.700 penduduk pria dan wanita berusia 55-98 tahun dan

menemukan pria dan wanita yang masih perokok aktif cenderung memiliki

sarkopenia. Szulc et al. menginvestigasi faktor risiko sarkopenia dalam kohort

terhadap 845 pria usia 45-85 tahun dan melaporkan bahwa perokok memiliki

massa otot rangka apendikular yang lebih rendah daripada subjek yang tidak

pernah merokok serta pria penderita sarkopenia merokok lebih banyak. Selain

itu, Lee et al. meneliti hubungan antara sarkopenia dan faktor gaya hidup

terhadap 4.000 penduduk lansia Cina berusia di atas 65 tahun dan menemukan

hal serupa bahwa merokok berhubungan dengan massa otot rangka apendikular

yang rendah. Semua penelitian di atas menyimpulkan merokok tembakau adalah

faktor risiko dari sarkopenia.(40)

Berbagai penelitian terhadap mekanisme bagaimana rokok mendukung

katabolisme otot dan mempercepat perkembangan sarkopenia disimpulkan

dalam sebuah model selular katabolisme otot rangka yang terkena rokok. Model

ini menunjukkan asap rokok dapat sampai ke otot rangka dari perokok,

menyebabkan peningkatan stress oksidatif dan aktivasi jalur yang menstimulasi

naiknya ubiquitin ligase E3 spesifik otot yang menyebabkan degradasi protein

otot rangka meningkat dan perkembangan sarkopenia pada perokok lansia

dipercepat.(48)

21

2.7. Konsumsi Alkohol dan Otot Rangka

Penyalahguna alkohol sering memiliki massa dan kekuatan otot yang

rendah, nyeri otot, kram, kesulitan berjalan, dan terjatuh. Fenomena ini diketahui

sebagai alcoholic myopathy. Alcoholic myopathy akut terjadi setelah minum

minuman beralkohol tinggi pada alkoholik yang kurang gizi. Alcoholic

myopathy kronis merupakan komplikasi umum dari alkoholisme yang

menyerang 50% penyalahguna alkohol, yang tidak berhubungan dengan nutrisi,

vitamin, defisiensi mineral atau penyakit hepar alkoholik, serta reversible dalam

6-12 bulan abstinensi. Alcoholic myopathy kronis ditandai oleh atrofi selektif

terhadap serat otot tipe 2, menyebabkan pengurangan massa otot hingga 30%.

(40)

Penelitian mencoba menjelaskan mekanisme molekular kerusakan otot

rangka akibat alkohol dan menyatakan bahwa kerusakan mungkin terjadi

sebagai akibat dari terganggunya sintesis protein otot, bukan karena

meningkatnya katabolisme otot. Walaupun konsumsi alkohol tidak diketahui

sebagai penyebab langsung sarkopenia, penelitian mengungkapkan konsumsi

alkohol kronis berdampak buruk yaitu mendukung pengurangan massa dan

kekuatan otot pada lansia.(40)

22

2.8. Kerangka teori

Karakteristik responden:

Genetik

Usia

Jenis kelamin

Pendidikan

Aktivitas fisik dan pekerjaan

Penyakit

Perubahan morfologi otot

Neurodegenerasi

Penurunan hormon

Peningkatan sitokin inflamasi

Asupan Nutrisi

Olahraga

Merokok

Konsumsi Alkohol

Kerusakan oksidatif

Perubahan intrinsik otot

Penurunan sintesis protein dan peningkatan

Pengurangan massa otot

Penurunan kekuatan otot

SARKOPENIA

Frailty

23

BAB III

KERANGKA KONSEP3.3.1. Kerangka Konsep

23

Karakteristik responden:

1. Usia2. Jenis kelamin3. Pendidikan

1. Asupan nutrisi• Energi• Karbohidrat• Protein• Lemak

2. Olahraga3. Merokok

SARKOPENIA

Variabel independen Variabel dependen

24

3.2. Definisi Operasional

3.2.1. Variabel dependen

1. Sarkopenia

a. Definisi : Sindrom yang dikarakterisasi oleh kehilangan massa

dan kekuatan otot rangka secara progresif dan umum

disertai risiko yang merugikan seperti disabilitas

fisik, kualitas hidup yang buruk, dan kematian

b. Sumber : European Working Group on Sarcopenia in Older

People

c. Alat ukur

• Massa otot : Bio-impedance Analysis (BIA)/ Karada Scan

Omron tipe HBF-362

• Kekuatan otot : Electronic Hand Dynamometer/ Handgrip Camry

tipe EH-101

• Kinerja fisik : Timed get-up-and-go test (TGUG)

d. Cara ukur

• Massa otot : Responden berdiri tegak di atas BIA dengan kedua

tangan memegang elektroda dan diluruskan ke

depan sejajar dada

• Kekuatan otot : Responden diminta menggenggam handgrip sekuat

tenaga lalu dilepas. Penurunan adalah <22,4 kg

pada laki-laki dan <14,3 kg pada perempuan

• Kinerja fisik : Responden duduk pada kursi (setinggi ±46 cm),

kemudian berdiri dan berjalan sejauh 3 meter, lalu

berbalik arah dan duduk kembali. Normal = waktu

<30 s

e. Skala ukur : Ordinal

f. Hasil ukur : 1 = normal;

2 = sarkopenia sedang;

3 = sarkopenia berat

g. Acuan : National Health and Nutrition Examination Survey

III (NHANES III)

25

3.2.2. Variabel independen

1. Usia

a. Definisi : Usia seseorang dilihat pada Kartu Tanda Penduduk

b. Alat ukur : Kuesioner

c. Cara ukur : Wawancara

d. Skala ukur : Nominal

e. Hasil ukur : 1 = 60-65 tahun; 2 = lebih dari 65 tahun

f. Acuan : Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13

tahun 1998; World Health Organization (WHO)

2. Jenis kelamin

a. Definisi : Jenis kelamin seseorang dilihat pada Kartu Tanda

Penduduk

c. Alat ukur : Kuesioner

d. Cara ukur : Wawancara

e. Skala ukur : Nominal

f. Hasil ukur : 1 = laki-laki; 2 = perempuan

3. Pendidikan

a. Definisi : Usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui

kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan

bagi peranannya di masa yang akan datang. Jenjang

pendidikan adalah suatu tahap dalam pendidikan

berkelanjutan yang ditempatkan berdasarkan tingkat

perkembangan para peserta didik serta keluasan dan

kedalaman bahan pengajaran.

b. Sumber : Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun

1989

c. Alat ukur : Kuesioner

d. Cara ukur : Wawancara

e. Skala ukur : Nominal

f. Hasil ukur : 1 = pendidikan rendah (tidak sekolah – lulus

Sekolah Dasar);

2 = pendidikan tinggi (lulus Sekolah Menengah

Pertama – lulus universitas)

26

4. Asupan nutrisi

a. Definisi : Makanan dan minuman yang dikonsumsi selama dua

hari (satu hari kerja dan satu hari libur)

b. Alat ukur : Tabel asupan nutrisi (energi, karbohidrat, protein, dan

lemak)

c. Cara ukur : Recall 24 jam, yaitu responden diminta untuk

mengingat semua makanan dan minuman yang

dikonsumsi selama satu hari (24 jam) sebelumnya.

Penilaian jumlah makanan dan minuman dapat

dibantu dengan ukuran porsi atau penggunaan model

makanan. Asupan makanan dikonversikan ke dalam

perhitungan nutrisi.

Rumus kebutuhan nutrisi:

• Energi basal laki-laki = 66,47 + 13,75 berat + 5,00

tinggi – 6,76 usia

Energi basal perempuan = 655,10 + 9,56 berat +

1,85 tinggi – 4,68 usia

(Berat dalam kg, tinggi dalam cm, dan usia dalam

tahun)

• Energi total = energi basal x 1,15

• Protein = 0,88 x berat badan ideal

• Lemak = 0,025 x kebutuhan energi total

9

• Karbohidrat =

Energi total – (4 x Protein) – (9 x Lemak)

4

d. Skala ukur : Nominal

e. Hasil ukur : Energi, Karbohidrat, Lemak, dan Protein

1 = cukup (>80% dari kebutuhan energi total,

karbohidrat, lemak, dan protein masing-masing

responden)

27

2 = tidak cukup (<80% dari kebutuhan energi total,

karbohidrat, lemak, dan protein masing-masing

responden)

f. Acuan : Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor 75 Tahun 2013 tentang Angka Kecukupan

Gizi yang Dianjurkan bagi Bangsa Indonesia;

Departemen Kesehatan Republik Indonesia; Buku

Daftar Bahan Makanan Penukar Edisi 3; Buku

Handbook of Clinical Nutrition Edisi 4

5. Olahraga

a. Definisi : Kegiatan mengerahkan tenaga fisik untuk

meningkatkan kesehatan atau memperbaiki kelainan

bentuk tubuh

b. Sumber : Kamus Kedokteran Dorland Edisi 30

c. Alat ukur : Kuesioner

d. Cara ukur : Wawancara

e. Skala ukur : Nominal

f. Hasil ukur : 1 = berolahraga

2 = tidak berolahraga

6. Merokok

a. Definisi : Berhubungan dengan kebiasaan merokok responden

b. Alat ukur : Kuesioner

c. Cara ukur : Wawancara

d. Skala ukur : Nominal

e. Hasil ukur : 1 = merokok

2 = tidak merokok

3.3. Hipotesis

Asupan nutrisi, olahraga, dan merokok berpengaruh terhadap kejadian

sarkopenia pada lanjut usia.

BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN4.4.1. Desain Penelitian

Desain penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah penelitian

deskriptif analitik yang dilakukan secara cross-sectional di mana pengumpulan

data hanya akan dilakukan pada individu dari populasi pada satu titik waktu.

Variabel dependen dalam penelitian ini adalah sarkopenia, sedangkan variabel

independen dalam penelitian ini adalah karakteristik responden (usia, jenis

kelamin, dan pendidikan) serta asupan nutrisi, olahraga, dan merokok.

4.2. Tempat dan Waktu Penelitian

4.2.1. Tempat penelitian

Penelitian ini dilakukan di

• Panti Usila Santa Anna di Jakarta Utara

• Panti Sosial Sasana Tresna Werdha Budi Mulia di Jakarta Barat

• Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 2 di Jakarta Barat

• Panti Sosial Tresna Werdha Usada Mulia 5 di Jakarta Barat

4.2.2. Waktu penelitian

Penelitian ini dilakukan sejak 29 November 2013 hingga 29 Desember 2013.

4.3. Populasi

4.3.1. Populasi target

Populasi target penelitian ini adalah semua lanjut usia yang tinggal di Panti

Werdha di DKI Jakarta.

4.3.2. Populasi terjangkau

4.3.2.1. Semua lanjut usia di Panti Usila Santa Anna

4.3.2.2. Semua lanjut usia di Panti Sosial Sasana Tresna Werdha Budi Mulia

4.3.2.3. Semua lanjut usia di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 2

4.3.2.4. Semua lanjut usia di Panti Sosial Tresna Werdha Usada Mulia 5

28

29

4.4. Kriteria Sampel

4.4.1. Kriteria inklusi

4.4.1.1. Semua lanjut usia berusia ≥60 tahun

4.4.1.2. Semua lanjut usia yang dapat melakukan aktivitas sendiri tanpa bantuan

orang lain

4.4.1.3. Semua lanjut usia di Panti Werdha di Jakarta

4.4.2. Kriteria eksklusi

4.4.2.1. Responden yang menolak atau tidak setuju untuk ikut serta dalam

penelitian

4.4.2.2. Responden yang mengalami gangguan kesehatan mental dan perilaku

4.5. Sampel

Sampel penelitian adalah populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi.

4.6. Metode Pengambilan Sampel

Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah secara random terhadap

sampel yang memenuhi kriteria inklusi.

4.7. Besar Sampel

Besar sampel pada penelitian diperoleh berdasarkan rumus di bawah ini:

Keterangan:

n = besar sampel

α = 0.05

Zα= derivat baku alpha, yang ditetapkan oleh peneliti. Dalam penelitianini,

peneliti menetapkan α = 5% sehingga dapat ditemukan Zα = 1.96

p = proporsi lanjut usia dengan sarkopenia= 10% = 0,1

q = 1- p = 0,9

d = presisi, derajat ketepatan yang diinginkan. Peneliti menetapkan 0,05 (5%)

n = Zα 2 pq d2

30

Perhitungan besar sampel minimal:

n = 1,96 2 x 0,1 x 0,9 = 138

0,052

4.8. Pengumpulan, Pengambilan Data, dan Teknik Pelaksanaan

4.8.1. Alokasi subjek

Subjek yang diteliti adalah lanjut usia yang berusia ≥60 tahun yang

memenuhi kriteria inklusi.

4.8.2. Pengukuran

Pengukuran dilakukan dengan cara wawancara, mengukur massa otot,

kekuatan otot, dan kinerja fisik, serta menghitung jumlah asupan nutrisi.

4.8.3. Teknik Pelaksanaan

4.8.3.1. Mempersiapkan kuesioner dan memperbanyak kuesioner

4.8.3.2. Mengunjungi dan mengobservasi tempat penelitian, memberikan

penjelasan, dan meminta ijin

4.8.3.3. Mewawancarai responden dengan kuesioner dan melakukan pengukuran

dengan alat-alat

4.8.3.4. Mengolah data, menganalisa data, dan membuat kesimpulan.

4.8.3.5. Menyusun laporan

4.9. Rencana Pengolahan dan Analisis Data

4.9.1. Rencana pengolahan data

Pemasukan dan pengolahan data dilakukan dengan komputerisasi

menggunakan program pengolah data SPSS Statistics versi 20.0.0. Langkah-

langkahnya adalah sebagai berikut:

1. Editing

Memeriksa adanya kesalahan dan kekurangan data pada kuesioner.

2. Coding

Memindahkan data dari kuesioner ke dalam bentuk kode-kode agar lebih

mudah dianalisis.

3. Double data entry

Memasukkan data yang sudah siap diolah ke dalam program SPSS.

31

4. Cleaning data

Setelah data dimasukkan ke dalam komputer, melakukan pemeriksaan

terhadap adanya kesalahan pada waktu melakukan coding dan entry data.

4.9.2. Analisis data

Analisis data dilakukan untuk menjawab tujuan penelitian dengan

melakukan proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih

sederhana, mudah dibaca, dan menggunakan program analisis statistik. Data

tersebut kemudian diolah dan dianalisis. Batas kemaknaan yang akan

digunakan dalam penelitian ini adalah sebesar 95% dan besar penyimpangan

yang digunakan adalah 5%.

Untuk analisis data, digunakan program SPSS Statistics versi 20.0.0.

Uji analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah chi square, untuk

menganalisis data kategorik dan menilai secara keseluruhan tentang

sarkopenia.

BAB V

HASIL PENELITIAN5.5.1. Analisis Univariat

5.1.1. Distribusi responden menurut karakteristik

Tabel di bawah ini memperlihatkan distribusi responden di panti

werdha menurut beberapa karakteristiknya, yaitu usia, jenis kelamin, dan

pendidikan. Data hasil analisis menunjukkan bahwa dari seluruh lanjut usia

yang diteliti, sebagian besar berusia lebih dari 65 tahun (51,4%), berjenis

kelamin perempuan (50,5%), dan berpendidikan rendah (64,5%).

Tabel 5.1. Distribusi Responden menurut Karakteristik

Karakteristik N %

Usia 60-65 tahun 39 28,3

>65 tahun 99 71,7

Jenis Kelamin Laki-laki 67 48,6

Perempuan 71 51,4

Pendidikan Pendidikan Rendah 89 64,5

(Tidak sekolah – SD)

Pendidikan Tinggi 49 35,5

(SMP – universitas)

Total 138 100

5.1.2. Distribusi responden menurut asupan nutrisi

Tabel di bawah ini memperlihatkan distribusi responden di panti

werdha menurut kecukupan asupan nutrisi. Data hasil analisis menunjukkan

bahwa dari seluruh lanjut usia yang diteliti, sebagian besar mendapat asupan

energi yang cukup (69,6%), asupan karbohidrat yang cukup (73,9%), asupan

lemak yang cukup (63,0%), dan asupan protein yang cukup (55,1%).

32

33

Tabel 5.2. Distribusi Responden menurut Asupan Nutrisi

Asupan N %

Energi Cukup 96 69,6

Tidak cukup 42 30,4

Karbohidrat Cukup 102 73,9

Tidak cukup 36 26,1

Lemak Cukup 87 63,0

Tidak cukup 51 37,0

Protein Cukup 76 55,1

Tidak cukup 62 44,9

Total 138 100

5.1.3. Distribusi responden menurut kebiasaan berolahraga dan merokok

Tabel di bawah ini memperlihatkan distribusi responden di panti

werdha menurut kebiasaan berolahraga dan merokok. Data hasil analisis

menunjukkan bahwa dari seluruh lanjut usia yang diteliti, sebagian besar

memiliki kebiasaan berolahraga (54,3%) dan tidak merokok (75,4%).

Tabel 5.3. Distribusi Responden menurut Kebiasaan Berolahraga dan Merokok

Kebiasaan N %

Olahraga Ya 75 54,3

Tidak 63 45,7

Merokok Ya 34 24,6

Tidak 104 75,4

Total 138 100

5.1.4. Distribusi responden menurut tingkat sarkopenia

Tabel di bawah ini memperlihatkan distribusi responden di panti

werdha menurut tingkat sarkopenia. Data hasil analisis menunjukkan bahwa

dari seluruh lanjut usia yang diteliti, sebagian besar menderita sarkopenia,

yang diklasifikasikan menjadi sarkopenia sedang (50,7%) dan sarkopenia

berat (8,0%).

34

Tabel 5.4. Distribusi Responden menurut Tingkat Sarkopenia

Sarkopenia N %

Normal 57 41,3

Sarkopenia sedang 70 50,7

Sarkopenia berat 11 8,0

Total 138 100

5.2. Analisis Bivariat

5.2.1. Hubungan antara karakteristik responden dan sarkopenia

5.2.1.1. Hubungan antara usia dan sarkopenia

Tabel di bawah ini menunjukkan distribusi responden berusia 60-65

tahun dan lebih dari 65 tahun menurut tingkat sarkopenia. Data hasil

analisis menunjukkan bahwa penderita sarkopenia sedang adalah 51,3%

dari lanjut usia berusia 60-65 tahun dan 50,5% dari lanjut usia berusia

lebih dari 65 tahun. Penderita sarkopenia berat adalah 12,8% dari lanjut

usia berusia 60-65 tahun dan 6,1% dari lanjut usia berusia lebih dari 65

tahun. Hasil tersebut menunjukkan bahwa secara keseluruhan sarkopenia

sedang maupun berat lebih banyak diderita oleh lanjut usia berusia 60-65

tahun (64,1%). Usia tidak memiliki hubungan bermakna dengan

sarkopenia dengan nilai P = 0,369 (P > α).

Tabel 5.5. Distribusi Usia menurut Sarkopenia

Usia NormalSarkopenia

sedang

Sarkopenia

beratTotal

N % N % N % N

60-65 14 35,9 20 51,3 5 12,8 39

>65 43 43,4 50 50,5 6 6,1 99

Total 57 41,3 70 50,7 11 8,0 138

P = 0,369 x2 = 1,992

5.2.1.2. Hubungan antara jenis kelamin dan sarkopenia

35

Tabel di bawah ini menunjukkan distribusi responden berjenis

kelamin laki-laki dan perempuan menurut tingkat sarkopenia. Data hasil

analisis menunjukkan bahwa penderita sarkopenia sedang adalah 44,8%

dari laki-laki dan 56,3% dari perempuan. Penderita sarkopenia berat

adalah 14,9% dari laki-laki dan 1,4% dari perempuan. Hasil tersebut

menunjukkan bahwa sarkopenia sedang lebih banyak terjadi pada

perempuan dan sarkopenia berat lebih banyak teradi pada laki-laki.

Namun secara keseluruhan sarkopenia lebih banyak diderita oleh laki-

laki (59,7%). Jenis kelamin memiliki hubungan bermakna dengan

sarkopenia dengan nilai P = 0,012 (P < α).

Tabel 5.6. Distribusi Jenis Kelamin menurut Sarkopenia

Jenis

kelaminNormal

Sarkopenia

sedang

Sarkopenia

beratTotal

N % N % N % N

Laki-laki 27 40,3 30 44,8 10 14,9 67

Perempuan 30 42,3 40 56,3 1 1,4 71

Total 57 41,3 70 50,7 11 8,0 138

P = 0,012 x2 = 8,842

5.2.1.3. Hubungan antara pendidikan dan sarkopenia

Tabel di bawah ini menunjukkan distribusi responden berpendidikan

rendah (tidak sekolah – lulus Sekolah Dasar) dan tinggi (lulus Sekolah

Menengah Pertama – lulus universitas) menurut tingkat sarkopenia. Data

hasil analisis menunjukkan bahwa penderita sarkopenia sedang adalah

55,1% dari lanjut usia berpendidikan rendah dan 42,9% dari lanjut usia

berpendidikan tinggi. Penderita sarkopenia berat adalah 7,9% dari lanjut

usia berpendidikan rendah dan 8,2% dari lanjut usia berpendidikan

tinggi. Hasil tersebut menunjukkan bahwa secara keseluruhan sarkopenia

lebih banyak diderita oleh lanjut usia berpendidikan rendah (62,9%).

Namun pendidikan tidak memiliki hubungan bermakna dengan

sarkopenia dengan nilai P = 0,365 (P > α).

Tabel 5.7. Distribusi Tingkat Pendidikan menurut Sarkopenia

36

Pendidikan NormalSarkopenia

sedang

Sarkopenia

beratTotal

N % N % N % N

Rendah 33 37,1 49 55,1 7 7,9 89

Tinggi 24 49,0 21 42,9 4 8,2 49

Total 57 41,3 70 50,7 11 8,0 138

P = 0,365 x2 = 2,014

5.2.2. Hubungan antara asupan nutrisi dan sarkopenia

5.2.2.1. Energi

Tabel di bawah ini menunjukkan distribusi responden dengan

asupan energi cukup dan tidak cukup menurut tingkat sarkopenia. Data

hasil analisis menunjukkan bahwa penderita sarkopenia sedang adalah

44,8% dari lanjut usia dengan asupan energi cukup dan 64,3% dari lanjut

usia dengan asupan energi tidak cukup. Penderita sarkopenia berat

adalah 6,2% dari lanjut usia dengan asupan energi cukup dan 11,9% dari

lanjut usia dengan asupan energi tidak cukup. Hasil tersebut

menunjukkan bahwa secara keseluruhan sarkopenia sedang maupun

berat lebih banyak diderita oleh lanjut usia dengan asupan energi tidak

cukup (76,2%). Asupan energi memiliki hubungan bermakna dengan

sarkopenia dengan nilai P = 0,020 (P < α).

Tabel 5.8. Distribusi Asupan Energi menurut Sarkopenia

Energi NormalSarkopenia

sedang

Sarkopenia

beratTotal

N % N % N % N

Cukup 47 49,0 43 44,8 6 6,2 96

Tidak cukup 10 23,8 27 64,3 5 11,9 42

Total 57 41,3 70 50,7 11 8,0 138

P = 0,020 x2 = 7,835

5.2.2.2. Karbohidrat

37

Tabel di bawah ini menunjukkan distribusi responden dengan

asupan karbohidrat cukup dan tidak cukup menurut tingkat sarkopenia.

Data hasil analisis menunjukkan bahwa penderita sarkopenia sedang

adalah 47,1% dari lanjut usia dengan asupan karbohidrat cukup dan

61,1% dari lanjut usia dengan asupan karbohidrat tidak cukup. Penderita

sarkopenia berat adalah 5,9% dari lanjut usia dengan asupan karbohidrat

cukup dan 13,9% dari lanjut usia dengan asupan karbohidrat tidak

cukup. Hasil tersebut menunjukkan bahwa secara keseluruhan

sarkopenia sedang maupun berat lebih banyak diderita oleh lanjut usia

dengan asupan karbohidrat tidak cukup (75,0%). Asupan karbohidrat

memiliki hubungan bermakna dengan sarkopenia dengan nilai P = 0,043

(P < α).

Tabel 5.9. Distribusi Asupan Karbohidrat menurut Sarkopenia

Karbohidrat NormalSarkopenia

sedang

Sarkopenia

beratTotal

N % N % N % N

Cukup 48 47,1 48 47,1 6 5,9 102

Tidak cukup 9 25,0 22 61,1 5 13,9 36

Total 57 41,3 70 50,7 11 8,0 138

P = 0,043 x2 = 6,310

5.2.2.3. Lemak

Tabel di bawah ini menunjukkan distribusi responden dengan

asupan lemak cukup dan tidak cukup menurut tingkat sarkopenia. Data

hasil analisis menunjukkan bahwa penderita sarkopenia sedang adalah

43,7% dari lanjut usia dengan asupan lemak cukup dan 62,7% dari lanjut

usia dengan asupan lemak tidak cukup. Penderita sarkopenia berat

adalah 6,9% dari lanjut usia dengan asupan lemak cukup dan 9,8% dari

lanjut usia dengan asupan lemak tidak cukup. Hasil tersebut

menunjukkan bahwa secara keseluruhan sarkopenia sedang maupun

berat lebih banyak diderita oleh lanjut usia dengan asupan lemak tidak

cukup (72,5%). Asupan lemak memiliki hubungan bermakna dengan

sarkopenia dengan nilai P = 0,041 (P < α).

38

Tabel 5.10. Distribusi Asupan Lemak menurut Sarkopenia

Lemak NormalSarkopenia

sedang

Sarkopenia

beratTotal

N % N % N % N

Cukup 43 49,4 38 43,7 6 6,9 87

Tidak cukup 14 27,5 32 62,7 5 9,8 51

Total 57 41,3 70 50,7 11 8,0 138

P = 0,041 x2 = 6,404

5.2.2.4. Protein

Tabel 5.11 menunjukkan distribusi responden dengan asupan

protein cukup dan tidak cukup menurut tingkat sarkopenia. Data hasil

analisis menunjukkan bahwa penderita sarkopenia sedang adalah 38,2%

dari lanjut usia dengan asupan protein cukup dan 66,1% dari lanjut usia

dengan asupan protein tidak cukup. Penderita sarkopenia berat adalah

7,9% dari lanjut usia dengan asupan protein cukup dan 8,1% dari lanjut

usia dengan asupan protein tidak cukup. Hasil tersebut menunjukkan

bahwa secara keseluruhan sarkopenia sedang maupun berat lebih banyak

diderita oleh lanjut usia dengan asupan protein tidak cukup (74,2%).

Asupan energi memiliki hubungan bermakna dengan sarkopenia dengan

nilai P = 0,003 (P < α).

Penelitian ini dilakukan lebih lanjut mengenai pengaruh komposisi

protein dalam asupan energi total terhadap kejadian sarkopenia. Hal ini

dilakukan dengan cara mengeksklusi responden dengan asupan energi

kurang sehingga terdapat 96 responden dengan asupan energi cukup

untuk kemudian diteliti asupan proteinnya. Tabel 5.12 menunjukkan

hasil penelitian ini. Penderita sarkopenia sedang adalah 38,2% dari lanjut

usia dengan asupan protein cukup dan 70,0% dari lanjut usia dengan

asupan protein tidak cukup. Penderita sarkopenia berat adalah 7,9% dari

lanjut usia dengan asupan protein cukup dan tidak ada dari lanjut usia

dengan asupan protein tidak cukup. Hasil tersebut menunjukkan bahwa

secara keseluruhan sarkopenia lebih banyak diderita oleh lanjut usia

dengan asupan protein tidak cukup (70,0%). Pada lanjut usia dengan

39

asupan energi total cukup, komposisi protein dan sarkopenia memiliki

hubungan bermakna dengan nilai P = 0,030.

Tabel 5.11. Distribusi Asupan Protein menurut Sarkopenia

Protein NormalSarkopenia

sedang

Sarkopenia

beratTotal

N % N % N % N

Cukup 41 53,9 29 38,2 6 7,9 76

Tidak cukup 16 25,8 41 66,1 5 8,1 62

Total 57 41,3 70 50,7 11 8,0 138

P = 0,003 x2 = 11,814

Tabel 5.12. Distribusi Asupan Protein pada Asupan Energi Cukup

Protein NormalSarkopenia

sedang

Sarkopenia

beratTotal

N % N % N % N

Cukup 41 53,9 29 38,2 6 7,9 76

Tidak cukup 6 30,0 14 70,0 0 0,0 20

Total 47 49,0 43 44,8 6 6,2 96

P = 0,030 x2 = 7,018

5.2.3. Hubungan antara olahraga dan sarkopenia

Tabel di bawah ini menunjukkan distribusi responden yang berolahraga

dan tidak menurut tingkat sarkopenia. Data hasil analisis menunjukkan

bahwa penderita sarkopenia sedang adalah 50,7% dari lanjut usia yang

berolahraga dan 50,8% dari lanjut usia yang tidak berolahraga. Penderita

sarkopenia berat adalah 5,3% dari lanjut usia yang berolahraga dan 11,1%

dari lanjut usia yang tidak berolahraga. Hasil tersebut menunjukkan bahwa

secara keseluruhan sarkopenia sedang maupun berat lebih banyak diderita

oleh lanjut usia yang tidak berolahraga (61,9%). Namun kebiasaan olahraga

tidak memiliki hubungan bermakna dengan sarkopenia dengan nilai P =

0,423 (P > α).

Tabel 5.13. Distribusi Kebiasaan Olahraga menurut Sarkopenia

40

Olahraga NormalSarkopenia

sedang

Sarkopenia

beratTotal

N % N % N % N

Ya 33 44,0 38 50,7 4 5,3 75

Tidak 24 38,1 32 50,8 7 11,1 63

Total 57 41,3 70 50,7 11 8,0 138

P = 0,423 x2 = 1,723

5.2.4. Hubungan antara merokok dan sarkopenia

Tabel di bawah ini menunjukkan distribusi responden yang merokok

dan tidak menurut tingkat sarkopenia. Data hasil analisis menunjukkan

bahwa penderita sarkopenia sedang adalah 44,1% dari lanjut usia yang

merokok dan 52,9% dari lanjut usia yang tidak merokok. Penderita

sarkopenia berat adalah 8,8% dari lanjut usia yang merokok dan 7,7% dari

lanjut usia yang tidak merokok. Hasil tersebut menunjukkan bahwa

sarkopenia sedang lebih banyak terjadi pada lanjut usia yang merokok dan

sarkopenia berat lebih banyak terjadi pada lanjut usia yang merokok. Namun

secara keseluruhan sarkopenia lebih banyak diderita oleh lanjut usia yang

tidak merokok (60,6%). Kebiasaan merokok tidak memiliki hubungan

bermakna dengan sarkopenia dengan nilai P = 0,673 (P > α).

Tabel 5.14. Distribusi Kebiasaan Merokok menurut Sarkopenia

Merokok NormalSarkopenia

sedang

Sarkopenia

beratTotal

N % N % N % N

Ya 16 47,1 15 44,1 3 8,8 34

Tidak 41 39,4 55 52,9 8 7,7 104

Total 57 41,3 70 50,7 11 8,0 138

P = 0,673 x2 = 0,791

BAB VI

PEMBAHASAN.

6.1. Hubungan antara Karakteritik Responden dan Sarkopenia

6.1.1. Hubungan antara usia dan sarkopenia

Hasil analisis penelitian ini menunjukkan sebagian besar responden

merupakan lanjut usia berusia lebih dari 65 tahun sedangkan sarkopenia

sedang maupun berat lebih banyak terjadi pada kelompok lanjut usia berusia

60-65 tahun. Pada penelitian ini faktor usia ditemukan tidak memiliki

hubungan yang bermakna dengan sarkopenia dengan nilai P = 0,182 (P > α).

Hasil ini sangat berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh

Bijlsma et. al. terhadap 325 pria dan 329 wanita pada tahun 2012 di Leiden,

Belanda. Penelitian ini dengan menggunakan kriteria diagnostik berdasarkan

pengukuran massa otot dari BIA maupun DXA dan pengukuran kekuatan

otot menggunakan handgrip menemukan adanya peningkatan prevalensi

sarkopenia seiring meningkatnya kelompok usia responden, yaitu kelompok

usia kurang dari 60 tahun, 60 ampai 69 tahun, dan kelompok usia 70 tahun

ke atas.(49) Namun perbedaan yang dapat ditemukan adalah penelitian

Bijlsma tersebut memiliki jumlah responden yang jauh lebih besar, yaitu 654

responden. Sementara itu, penelitian ini hanya memiliki 138 responden yang

memungkinkan berkurangnya variasi usia responden pada masing-masing

tingkat sarkopenia.

Hasil penelitian ini juga berbeda dengan hasil penelitian oleh

Baumgartner et. al. terhadap 883 responden lanjut usia pada tahun 1998 di

New Mexico yang menemukan peningkatan prevalensi sarkopenia dari 13-

24% pada responden berusia di bawah 70 tahun hingga lebih dari 50% pada

responden berusia 80 tahun ke atas.(50) Perbedaan penelitian oleh

Baumgartner dengan penelitian ini sama seperti penelitian sebelumnya, yaitu

jumlah responden yang banyak. Selain itu penelitian tersebut tidak meneliti

responden dengan usia 60-69 tahun dan metode pengukuran massa otot

dilakukan dengan DXA.

Kemungkinan lain yang menyebabkan penelitian ini tidak bermakna

adalah adanya responden dengan penyakit komorbid yang berpengaruh

41

42

terhadap kejadian sarkopenia yang tidak dimasukkan ke dalam kriteria

eksklusi. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa beberapa penyakit dapat

menjadi faktor yang meningkatkan risiko terjadinya sarkopenia.(36–39)

6.1.2. Hubungan antara jenis kelamin dan sarkopenia

Hasil analisis penelitian ini menunjukkan terdapat lebih banyak

responden dengan jenis kelamin perempuan. Sarkopenia sedang lebih

banyak terjadi pada perempuan sedangkan sarkopenia berat lebih banyak

terjadi pada laki-laki. Namun secara keseluruhan sarkopenia lebih banyak

diderita oleh responden laki-laki. Jenis kelamin ditemukan memiliki

hubungan yang bermakna dengan sarkopenia dengan nilai P = 0,012 (P < α).

Hasil penelitian terhadap hubungan antara jenis kelamin dengan

sarkopenia memang berbeda-beda di beberapa negara. Penelitian Masanes

et. al. terhadap 220 responden pada tahun 2012 di Barcelona, Spanyol,

menemukan bahwa prevalensi sarkopenia pada perempuan (33%) lebih

tinggi daripada laki-laki (10%).(51) Penelitian Cheng et. al. terhadap 1.766

laki-laki dan 1.778 perempuan pada tahun 2014 di China menemukan

prevalensi sarkopenia pada laki-laki (13,2%) lebih tinggi dibandingkan

perempuan (4,8%) dan hasil tersebut dinyatakan sama dengan hasil

penelitian di Jepang dan Korea.(52) Sementara itu, hasil penelitian

Pongchaiyakul et. al. pada tahun 2013 di Thailand menunjukkan prevalensi

sarkopenia pada laki-laki (35,33%) yang hanya sedikit lebih tinggi daripada

perempuan (34,74%).(53)

Mekanisme yang menjelaskan hubungan antara jenis kelamin dengan

sarkopenia masih dipertanyakan.(52) Salah satu teori yang menjelaskan

mengapa pria lebih rentan terhadap sarkopenia adalah berkurangnya hormon

testosteron yang mendukung massa dan kekuatan otot. Sementara itu pada

perempuan diduga adanya massa lemak memberikan perlindungan bagi

massa otot karena terjadi konversi androgen menjadi estrogen oleh lemak.

(54) Mungkin teori tersebut yang menjelaskan mengapa pria lebih banyak

menderita sarkopenia berat. Teori lainnya adalah di atas usia 70 tahun,

perempuan mengalami penyusutan tinggi badan lebih banyak dibandingkan

laki-laki sehingga memiliki indeks massa otot apendikular yang lebih tinggi

dan lebih jarang digolongkan terkena sarkopenia.(52)

43

6.1.3. Hubungan antara pendidikan dan sarkopenia

Hasil analisis penelitian ini menunjukkan sebagian besar responden

memiliki tingkat pendidikan yang rendah dan sarkopenia secara keseluruhan

lebih banyak terjadi pada kelompok lanjut usia berpendidikan rendah ini.

Namun faktor pendidikan ditemukan tidak memiliki hubungan yang

bermakna dengan sarkopenia dengan nilai P = 0,365 (P > α).

Penelitian terhadap pengaruh langsung faktor pendidikan terhadap

sarkopenia masih sulit ditemukan. Namun ditemukan penelitian oleh

Welmer et. al terhadap 3.212 responden berusia 60 tahun ke atas pada tahun

2013 di Stockholm mengenai pengaruh tingkat pendidikan pada salah satu

variabel diagnostik sarkopenia, yaitu kinerja fisik. Responden dengan

pendidikan tinggi ditemukan memiliki kinerja fisik yang lebih baik daripada

responden berpendidikan rendah.(31)

Hasil penelitian tersebut berbeda dengan hasil penelitian ini. Klasifikasi

tingkat pendidikan tinggi menurut Welmer adalah lulus universitas

sedangkan penelitian ini mengklasifikasikan tingkat pendidikan tinggi sejak

lulus Sekolah Menengah Pertama. Hal ini memungkinkan adanya perbedaan

kemampuan yang cukup besar antara responden pada kategori tingkat

pendidikan tinggi pada kedua penelitian ini. Untuk mekanisme bagaimana

faktor pendidikan mempengaruhi kinerja fisik juga masih belum dapat

dijelaskan.(31)

6.2. Hubungan antara Asupan Nutrisi dan Sarkopenia

Hasil analisis penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden

mendapatkan asupan energi, karbohidrat, lemak, dan protein yang cukup dari

makanan yang dikonsumsi. Sarkopenia sedang maupun berat lebih banyak

terjadi pada responden dengan asupan energi, karbohidrat, lemak, dan protein

yang kurang. Asupan energi, karbohidrat, lemak, dan protein ditemukan

memiliki hubungan yang bermakna secara statistik dengan sarkopenia dengan

nilai P = 0,020 (P < α) untuk energi, P = 0,043 (P < α) untuk karbohidrat, P =

0,041 (P < α) untuk lemak, dan P = 0,003 (P < α) untuk protein.

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian oleh Weise et. al. pada tahun

2014 pada 184 orang responden. Weise menemukan bahwa asupan energi total

dan asupan makronutrien yaitu karbohidrat, lemak, dan protein memiliki

44

hubungan positif dengan massa otot. Hubungan ini dikatakan menjelaskan

respon fisiologis bahwa kebutuhan energi akan meningkat pada seseorang

dengan massa otot yang tinggi dan sebaliknya, asupan makronutrien yaitu

protein yang cukup akan mempertahankan protein dalam otot.(55) Pada

penelitian ini terlihat bahwa sebagian besar lanjut usia yang memperoleh asupan

energi, karbohidrat, lemak, dan protein cukup terhindar dari kejadian

sarkopenia.

Penelitian Campbell et. al. pada tahun 2007 dengan memberikan asupan

makronutrien kepada 12 responden disertai olahraga membuktikan adanya

peningkatan massa dan kekuatan otot. Energi dari karbohidrat dan lemak

digunakan untuk mempertahankan berat badan dan olahraga. Penelitian serupa

dilakukan oleh Meredith et. al. menghasilkan peningkatan kekuatan otot dan

hipertrofi sel otot pada responden yang menerima suplemen makronutrien.(56)

Hasil kedua penelitian tersebut cukup sesuai dengan hasil penelitian ini, namun

perbedaan pada penelitian Campbell dan Meredith adalah pemberian asupan

makronutrien yang cukup dan olahraga pada setiap responden sedangkan dalam

penelitian ini terdapat responden yang tidak cukup asupan makronutriennya dan

tidak berolahraga. Mungkin hal inilah yang menyebabkan sebagian besar

responden dalam penelitian ini masih mengalami sarkopenia walaupun telah

mendapatkan energi yang cukup.

Penelitian ini dilakukan lebih lanjut mengenai pengaruh komposisi protein

dalam asupan energi total terhadap kejadian sarkopenia. Hal ini dilakukan

dengan cara mengeksklusi responden dengan asupan energi kurang sehingga

terdapat 96 responden dengan asupan energi cukup untuk kemudian diteliti

asupan proteinnya. Hasil analisis menunjukkan bahwa pada responden dengan

asupan energi yang cukup, protein memiliki hubungan yang bermakna dengan

kejadian sarkopenia dengan nilai P = 0,033 (P < α). Hal ini membuktikan asupan

protein yang cukup akan menghindarkan seseorang dari sarkopenia

dibandingkan dengan asupan energi saja yang cukup namun kekurangan protein.

Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh

Saunders di Virginia pada tahun 2007 dengan membandingkan pemberian

asupan karbohidrat saja dengan karbohidrat dan protein kepada 13 responden

yang melakukan olahraga. Asupan karbohidrat disertai protein ditemukan

45

meningkatkan kinerja fisik secara bermakna dibandingkan dengan pemberian

asupan karbohidrat saja dengan jumlah total energi yang sama.(57)

6.3. Hubungan antara Olahraga dan Sarkopenia

Hasil analisis penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat lebih banyak

responden yang memiliki kebiasaan berolahraga. Sarkopenia sedang maupun

berat lebih banyak diderita oleh responden yang tidak berolahraga. Walaupun

demikian, kebiasaan berolahraga ditemukan tidak memiliki hubungan yang

bermakna dengan sarkopenia dengan nilai P = 0,423 (P > α).

Hasil penelitian ini sangat berbeda dengan berbagai hasil penelitian

sebelumnya mengenai hubungan antara olahraga dan sarkopenia. Contohnya

adalah penelitian Candow et. al. pada tahun 2006 mengenai pengaruh latihan

tahanan terhadap responden laki-laki muda dan lanjut usia. Penelitian tersebut

menemukan bahwa sebelum program latihan tahanan, massa dan kekuatan otot

responden lanjut usia lebih rendah dari responden muda dan setelah latihan

tahanan, massa dan kekuatan otot mereka sama.(58) Begitu juga dengan hasil

penelitian Henwood et. al. pada tahun 2005 dengan olahraga serupa yaitu latihan

tahanan.(59) Menurut penelitian oleh Fiatorone et. al., peningkatan massa dan

kekuatan otot akan lebih besar apabila disertai dengan asupan nutrisi.(60)

Perbedaan yang ditemukan adalah pada umumnya penelitian-penelitian

tersebut menggunakan latihan tahanan sebagai bentuk olahraga pada responden,

yang merupakan bentuk olahraga yang disarankan bagi penderita sarcopenia.

(61) Sementara pada penelitian ini olahraga yang dilakukan responden

umumnya adalah senam dan jogging. Selain itu, banyaknya responden yang

berpendidikan rendah mengakibatkan pemahaman yang kurang mengenai apa

yang disebut kebiasaan berolahraga atau frekuensi olahraga yang dilakukan

tidak sesuai dengan yang disebutkan.

6.4. Hubungan antara Merokok dan Sarkopenia

Hasil analisis penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden

tidak memiliki kebiasaan merokok. Sarkopenia sedang lebih banyak terjadi pada

lanjut usia yang tidak merokok sedangkan sarkopenia berat lebih banyak terjadi

pada lanjut usia yang merokok. Namun secara keseluruhan sarkopenia lebih

banyak terjadi pada lanjut usia yang tidak merokok. Kebiasaan merokok

46

ditemukan tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan sarkopenia dengan

nilai P = 0,673 (P > α).

Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan hasil penelitian da Silva et. al. pada

tahun 2014 yaitu merokok berhubungan dengan kejadian sarkopenia.(62)

Begitu juga dengan hasil penelitian Petersen et. al. pada tahun 2007 bahwa

rokok berhubungan dengan gangguan sintesis protein pada otot.(63)

Ketidaksesuaian hasil penelitian ini mungkin disebabkan jumlah perokok

yang sedikit di antara responden dan keterbatasan responden untuk membeli

rokok. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya jumlah lanjut usia yang mengalami

sarkopenia pada kelompok responden yang tidak merokok sehingga rokok pada

penelitian ini bukan merupakan faktor yang berpengaruh.

6.5. Keterbatasan Penelitian

1. Pengambilan data melalui wawancara menyebabkan kesulitan memperoleh

informasi karena rendahnya sebagian besar tingkat pendidikan responden

serta beberapa responden yang kurang kooperatif.

2. Adanya bias pada data tinggi badan beberapa responden karena sudah

bungkuk.

3. Adanya recall bias dalam pengumpulan data asupan nutrisi pada responden.

4. Kurang pahamnya responden mengenai konsep olahraga sehingga beberapa

responden yang tidak biasa berolahraga masuk ke dalam kategori

berolahraga.

5. Keterbatasan responden untuk membeli atau menggunakan rokok.

BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN7. .7.1. Kesimpulan

Berdasarkan analisis hasil penelitian dan pembahasan yang telah dijelaskan,

dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Sebagian besar responden berusia lebih dari 65 tahun (71,7%), berjenis

kelamin perempuan (51,4%), dan berpendidikan rendah (64,5%).

2. Sebagian besar responden mendapatkan asupan energi (69,6%), karbohidrat

(73,9%), lemak (63,0%), dan protein (55,1%) yang cukup.

3. Sebagian besar responden melakukan olahraga (54,3%) dan tidak merokok

(75,4%).

4. Persentase kejadian sarkopenia sedang dan berat pada responden yang diteliti

adalah 50,7% dan 8,0%.

5. Berdasarkan analisis bivariat yang dilakukan terhadap hubungan antara

• Usia tidak memiliki hubungan yang bermakna secara statistik dengan

sarkopenia dengan nilai P = 0,182 (P > α).

• Jenis kelamin memiliki hubungan yang bermakna secara statistik dengan

sarkopenia dengan nilai P = 0,012 (P < α).

• Pendidikan tidak memiliki hubungan yang bermakna secara statistik dengan

sarkopenia dengan nilai P = 0,365 (P > α).

• Asupan nutrisi memiliki hubungan yang bermakna secara statistik dengan

sarkopenia dengan nilai P = 0,025 (P < α) untuk energi, P = 0,014 (P < α)

untuk karbohidrat, P = 0,032 (P < α) untuk lemak, dan P = 0,003 (P < α)

untuk protein.

• Komposisi protein dalam asupan energi total memiliki hubungan yang

bermakna secara statistik dengan sarkopenia dengan nilai P = 0,030 (P < α).

• Olahraga tidak memiliki hubungan yang bermakna secara statistik dengan

sarkopenia dengan nilai P = 0,423 (P > α).

• Merokok tidak memiliki hubungan yang bermakna secara statistik dengan

sarkopenia dengan nilai P = 0,673 (P > α).

47

48

7.2. Saran

Peneliti menyarankan beberapa hal untuk penelitian-penelitian berikutnya,

antara lain:

1. Untuk penelitian mengenai pengaruh karakteristik lansia pada sarkopenia,

dibutuhkan jumlah responden yang lebih banyak agar distribusi responden

merata di setiap tingkat sarkopenia.

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap perbedaan asupan nutrisi dan

olahraga pada responden dan pengaruhnya terhadap kejadian sarkopenia.

3. Untuk pengukuran massa otot rangka akan lebih akurat bila digunakan alat

DXA (dual-energy X-ray absorptiometry).

DAFTAR PUSTAKA

1. What is Normal Aging? [Internet]. Area Agency on Aging of Pasco-Pinellas,

Inc. [cited 2015 Jan 31]. Available from: http://www.agingcarefl.org/what-

is-normal-aging/

2. Clares JWB, Freitas MC de, Borges CL, Clares JWB, Freitas MC de, Borges

CL. Social and clinical factors causing mobility limitations in the elderly.

Acta Paul Enferm. 2014 Jun;27(3):237–42.

3. Rosenberg IH. Sarcopenia: Origins and Clinical Relevance. J Nutr. 1997 May

1;127(5):990S – 991S.

4. Sayer AA, Robinson SM, Patel HP, Shavlakadze T, Cooper C, Grounds MD.

New horizons in the pathogenesis, diagnosis and management of sarcopenia.

Age Ageing. 2013 Mar;42(2):145–50.

5. Von Haehling S, Morley JE, Anker SD. An overview of sarcopenia: facts and

numbers on prevalence and clinical impact. J Cachexia Sarcopenia Muscle.

2010 Dec;1(2):129–33.

6. Morley JE, Kim MJ, Haren MT, Kevorkian R, Banks WA. Frailty and the aging

male. Aging Male. 2005 Dec;8(3/4):135–40.

7. Janssen I, Shepard DS, Katzmarzyk PT, Roubenoff R. The healthcare costs of

sarcopenia in the United States. J Am Geriatr Soc. 2004 Jan;52(1):80–5.

8. Lansia Indonesia Makin Bertambah | -gayahidup- | Tempo.co [Internet]. Tempo

News. [cited 2014 Sep 5]. Available from:

49

http://www.tempo.co/read/news/2013/06/25/060491009/Lansia-Indonesia-

Makin-Bertambah

9. Jumlah Lansia Indonesia, Lima Besar Terbanyak di Dunia [Internet].

liputan6.com. [cited 2014 Sep 5]. Available from:

http://health.liputan6.com/read/541940/jumlah-lansia-indonesia-lima-besar-

terbanyak-di-dunia

10. Vandewoude MFJ, Alish CJ, Sauer AC, Hegazi RA. Malnutrition-Sarcopenia

Syndrome: Is This the Future of Nutrition Screening and Assessment for

Older Adults? J Aging Res. 2012 Sep 13;2012:e651570.

11. Jones TE, Stephenson KW, King JG, Knight KR, Marshall TL, Scott WB.

Sarcopenia - Mechanisms and Treatments. J Geriatr Phys Ther.

2009;32(2):83–9.

12. Roth SM. Genetic Variation and Skeletal Muscle Traits: Implications for

Sarcopenia. In: Lynch GS, editor. Sarcopenia – Age-Related Muscle

Wasting and Weakness [Internet]. Springer Netherlands; 2011 [cited 2015

Jan 7]. p. 223–57. Available from:

http://link.springer.com/chapter/10.1007/978-90-481-9713-2_11

13. Waters D, Baumgartner R, Garry P, Vellas B. Advantages of dietary, exercise-

related, and therapeutic interventions to prevent and treat sarcopenia in adult

patients: an update. Clin Interv Aging. 2010;5:259–70.

14. Rom O, Kaisari S, Aizenbud D, Reznick AZ. Sarcopenia and smoking: a

possible cellular model of cigarette smoke effects on muscle protein

breakdown. Ann N Y Acad Sci. 2012 Jul;1259:47–53.

50

15. WHO | Definition of an older or elderly person [Internet]. WHO. [cited 2014

Mar 18]. Available from:

http://www.who.int/healthinfo/survey/ageingdefnolder/en/

16. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. Gambaran Kesehatan

Lanjut Usia di Indonesia. 2013. Jakarta; :40.

17. Tosato M, Zamboni V, Ferrini A, Cesari M. The aging process and potential

interventions to extend life expectancy. Clin Interv Aging. 2007

Sep;2(3):401–12.

18. Aging changes in organs - tissue - cells: MedlinePlus Medical Encyclopedia

[Internet]. [cited 2015 Jan 7]. Available from:

http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/004012.htm

19. Cruz-Jentoft AJ, Baeyens JP, Bauer JM, Boirie Y, Cederholm T, Landi F, et al.

Sarcopenia: European consensus on definition and diagnosis. Age Ageing.

2010 Jul;39(4):412–23.

20. Kan GAV. Epidemiology and consequences of sarcopenia. JNHA - J Nutr

Health Aging. 2009 Oct 1;13(8):708–12.

21. Chen L-K, Liu L-K, Woo J, Assantachai P, Auyeung T-W, Bahyah KS, et al.

Sarcopenia in Asia: consensus report of the Asian Working Group for

Sarcopenia. J Am Med Dir Assoc. 2014 Feb;15(2):95–101.

22. Lang T, Streeper T, Cawthon P, Baldwin K, Taaffe DR, Harris TB. Sarcopenia:

etiology, clinical consequences, intervention, and assessment. Osteoporos

Int. 2010 Apr;21(4):543–59.

51

23. Lee W-J, Liu L-K, Peng L-N, Lin M-H, Chen L-K. Comparisons of Sarcopenia

Defined by IWGS and EWGSOP Criteria Among Older People: Results

From the I-Lan Longitudinal Aging Study. J Am Med Dir Assoc. 2013

Jul;14(7):528.e1–528.e7.

24. Bretan O, Júnior S, Elias J, Ribeiro OR, Corrente JE. Risk of falling among

elderly persons living in the community: assessment by the Timed up and go

test. Braz J Otorhinolaryngol. 2013 Feb;79(1):18–21.

25. Tan L, Liu S, Lei S, Papasian CJ, Deng H. Molecular genetic studies of gene

identification for sarcopenia. Hum Genet. 2012 Jan;131(1):1–31.

26. Marcell TJ. Review Article: Sarcopenia: Causes, Consequences, and

Preventions. J Gerontol A Biol Sci Med Sci. 2003 Oct 1;58(10):M911–6.

27. Forbes GB. Longitudinal changes in adult fat-free mass: influence of body

weight. Am J Clin Nutr. 1999 Dec 1;70(6):1025–31.

28. Balagopal P, Rooyackers OE, Adey DB, Ades PA, Nair KS. Effects of aging on

in vivo synthesis of skeletal muscle myosin heavy-chain and sarcoplasmic

protein in humans. Am J Physiol - Endocrinol Metab. 1997 Oct

1;273(4):E790–800.

29. Kirchengast S, Huber J. Gender and age differences in lean soft tissue mass and

sarcopenia among healthy elderly. Anthropol Anz Ber Über Biol-Anthropol

Lit. 2009 Jun;67(2):139–51.

30. Dupuy C, Lauwers-cances V, Abellan Van Kan G, Gillette S, Schott A–.,

Beauchet O, et al. Dietary vitamin D intake and muscle mass in older

52

women. Results from a cross-sectional analysis of the EPIDOS study. J Nutr

Health Aging. 2013 Feb;17(2):119–24.

31. Welmer A-K, Kåreholt I, Rydwik E, Angleman S, Wang H-X. Education-related

differences in physical performance after age 60: a cross-sectional study

assessing variation by age, gender and occupation. BMC Public Health.

2013;13:641.

32. Park H, Park S, Shephard RJ, Aoyagi Y. Yearlong physical activity and

sarcopenia in older adults: the Nakanojo Study. Eur J Appl Physiol. 2010

Jul;109(5):953–61.

33. Thorp AA, Healy GN, Winkler E, Clark BK, Gardiner PA, Owen N, et al.

Prolonged sedentary time and physical activity in workplace and non-work

contexts: a cross-sectional study of office, customer service and call centre

employees. Int J Behav Nutr Phys Act. 2012;9:128.

34. Barnett I, Guell C, Ogilvie D. The experience of physical activity and the

transition to retirement: a systematic review and integrative synthesis of

qualitative and quantitative evidence. Int J Behav Nutr Phys Act. 2012;9:97.

35. Senior Health (Successful Aging): Health and Disease Prevention - What are the

most common diseases and conditions seniors face as they age? [Internet].

MedicineNet. [cited 2015 Feb 1]. Available from:

http://www.medicinenet.com/senior_health/article.htm

36. Miyakoshi N, Hongo M, Mizutani Y, Shimada Y. Prevalence of sarcopenia in

Japanese women with osteopenia and osteoporosis. J Bone Miner Metab.

2013 Sep;31(5):556–61.

53

37. Verschueren S, Gielen E, O’neill TW, Pye SR, Adams JE, Ward KA, et al.

Sarcopenia and its relationship with bone mineral density in middle-aged

and elderly European men. Osteoporos Int. 2013 Jan;24(1):87–98.

38. Kim TN, Park MS, Yang SJ, Yoo HJ, Kang HJ, Song W, et al. Prevalence and

Determinant Factors of Sarcopenia in Patients With Type 2 Diabetes: The

Korean Sarcopenic Obesity Study (KSOS). Diabetes Care. 2010

Jul;33(7):1497–9.

39. Han K, Park Y-M, Kwon H-S, Ko S-H, Lee S-H, Yim HW, et al. Sarcopenia as

a Determinant of Blood Pressure in Older Koreans: Findings from the Korea

National Health and Nutrition Examination Surveys (KNHANES) 2008-

2010: e86902. PLoS One. 2014 Jan;9(1):e86902.

40. Rom O, Kaisari S, Aizenbud D, Reznick AZ. Lifestyle and Sarcopenia—

Etiology, Prevention, and Treatment. Rambam Maimonides Med J

[Internet]. 2012 Oct 31 [cited 2014 Nov 25];3(4). Available from:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3678825/

41. Breen L, Phillips SM. Skeletal muscle protein metabolism in the elderly:

Interventions to counteract the “anabolic resistance” of ageing. Nutr Metab.

2011 Oct 5;8:68.

42. What Gives the Most Energy Per Gram: Fat, Protein or Carbohydrates?

[Internet]. Healthy Eating | SF Gate. [cited 2015 Jan 7]. Available from:

http://healthyeating.sfgate.com/gives-energy-per-gram-fat-protein-

carbohydrates-8319.html

54

43. Permenkes Tentang Angka Kecukupan Gizi [Internet]. Gizinet. [cited 2015 Jan

7]. Available from: http://gizi.depkes.go.id/permenkes-tentang-angka-

kecukupan-gizi

44. Heimburger DC. Nutritional Support: General Approach and Complications.

Handbook of Clinical Nutrition. 4th ed. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2006.

45. Ritchie CS. Aging. Handbook of Clinical Nutrition. 4th ed. Philadelphia: Mosby

Elsevier; 2006. p. 200–14.

46. Nutrition Problems in the Elderly [Internet]. Healthy Eating | SF Gate. [cited

2015 Jan 7]. Available from: http://healthyeating.sfgate.com/nutrition-

problems-elderly-1370.html

47. Bliss RM. Low Protein + Low Exercise = Sarcopenia. Agric Res. 2005

May;53(5):14–6.

48. Rom O, Kaisari S, Aizenbud D, Reznick AZ. Sarcopenia and smoking: a

possible cellular model of cigarette smoke effects on muscle protein

breakdown. Ann N Y Acad Sci. 2012 Jul;1259:47–53.

49. Bijlsma AY, Meskers CG, M, Ling CH, Y, Narici M, et al. Defining sarcopenia:

the impact of different diagnostic criteria on the prevalence of sarcopenia in

a large middle aged cohort. Age. 2013 Jun;35(3):871–81.

50. Baumgartner RN, Koehler KM, Gallagher D, Romero L, Heymsfield SB, Ross

RR, et al. Epidemiology of Sarcopenia among the Elderly in New Mexico.

Am J Epidemiol. 1998 Apr 15;147(8):755–63.

55

51. Masanes Toran F, Culla A, Navarro-gonzalez M, Navarro-lopez M, Sacanella E,

Torres B, et al. Prevalence of sarcopenia in healthy community-dwelling

elderly in an urban area of Barcelona (Spain). J Nutr Health Aging. 2012

Feb;16(2):184–7.

52. Cheng Q, Zhu X, Zhang X, Li H, Du Y, Hong W, et al. A cross-sectional study

of loss of muscle mass corresponding to sarcopenia in healthy Chinese men

and women: reference values, prevalence, and association with bone mass. J

Bone Miner Metab. 2014 Jan;32(1):78–88.

53. Pongchaiyakul C, Limpawattana P, Kotruchin P, Rajatanavin R. Prevalence of

sarcopenia and associated factors among Thai population. J Bone Miner

Metab. 2013 May;31(3):346–50.

54. Roubenoff R, Hughes VA. Sarcopenia Current Concepts. J Gerontol A Biol Sci

Med Sci. 2000 Dec 1;55(12):M716–24.

55. Weise CM, Hohenadel MG, Krakoff J, Votruba SB. Body composition and

energy expenditure predict ad-libitum food and macronutrient intake in

humans. Int J Obes. 2014 Feb;38(2):243–51.

56. Campbell WW. Synergistic Use of Higher-Protein Diets or Nutritional

Supplements with Resistance Training to Counter Sarcopenia. Nutr Rev.

2007 Sep;65(9):416–22.

57. Saunders MJ, Luden ND, Herrick JE. Consumption of an Oral Carbohydrate-

Protein Gel Improves Cycling Endurance and Prevents Postexercise Muscle

Damage. J Strength Cond Res. 2007 Aug;21(3):678–84.

56

58. Candow DG, Chilibeck PD, Facci M, Abeysekara S, Zello GA. Protein

supplementation before and after resistance training in older men. Eur J

Appl Physiol. 2006 Jul;97(5):548–56.

59. Henwood TR, Taaffe DR. Improved Physical Performance in Older Adults

Undertaking a Short-Term Programme of High-Velocity Resistance

Training. Gerontology. 2005 Apr;51(2):108–15.

60. Fiatarone MA, O’Neill EF, Ryan ND, Clements KM, Solares GR, Nelson ME,

et al. Exercise Training and Nutritional Supplementation for Physical Frailty

in Very Elderly People. N Engl J Med. 1994 Jun 23;330(25):1769–75.

61. Willardson JM. Sarcopenia and Exercise: Mechanisms, Interactions, and

Application of Research Findings. Strength Cond J. 2004 Dec;26(6):26–31.

62. Alexandre T da S, Duarte YA de O, Santos JLF, Wong R, Lebrão ML.

Prevalence and associated factors of sarcopenia among elderly in Brazil:

findings from the SABE study. J Nutr Health Aging. 2014 Mar;18(3):284–

90.

63. Petersen AMW, Magkos F, Atherton P, Selby A, Smith K, Rennie MJ, et al.

Smoking impairs muscle protein synthesis and increases the expression of

myostatin and MAFbx in muscle. Am J Physiol - Endocrinol Metab. 2007

Sep 1;293(3):E843–8.

57

50

LAMPIRAN

58

KUESIONERPENGARUH ASUPAN NUTRISI, OLAHRAGA, DAN MEROKOK TERHADAP KEJADIAN SARKOPENIA PADA LAJUT USIA DI PANTI WERDHA DI JAKARTA

No. Responden:

Mulai wawancara :

Selesai wawancara :

1. Nama pewawancara :

2. Tanggal wawancara :

3. Tanggal diserahkan ke asisten :

4. Hasil pemeriksaan kuesioner :

5. Tanggal diserahkan ke asisten setelah diperbaiki :

6. Kuesioner siap di-entry : Ya / Tidak

Data Responden Penelitian

I. Karakteristik Responden Lansia

1. Nama :

2. Jenis kelamin : 1. Laki-laki 2. Perempuan

3. Tempat lahir : 1. Kota 2. Desa

4. Usia / tanggal lahir : …… tahun ( ___ / ___ / ______ )

5. Pendidikan terakhir : 1. Tidak sekolah

1. SD atau dibawahnya

2. SLTP

3. SLTA

4. Akademi/D1/D2/D3

5. Universitas S1/S2/S3

6. Suku bangsa : 1. Jawa 2. Sunda 3. Batak

4. Minang 5. Cina 6. Lainnya…

7. Telepon/HP :

59

8. Status perkawinan (terakhir) : 1. Belum menikah

2. Sudah menikah

3. Cerai mati (sejak tahun…………)

4. Cerai hidup (sejak tahun …………)

5. Lainnya, …………………………..

II. Keadaan Kesehatan

9. Masalah kesehatan dalam 12 bulan terakhir: 1. Ada 2. Tidak ada

10. Jumlah berkunjung ke fasilitas kesehatan dalam sebulan ini: Ya Frekuensi

1. Rumah sakit

2. Praktek dokter spesialis

3. Praktek dokter umum

4. Puskesmas

5. Lainnya, ……………………

III.Kebiasaan Hidup

11. Merokok:

a. Merokok 1. Ya 2. Tidak

b. Jumlah batang sehari : ………………………

c. Sudah berapa lama merokok : ………………………

12. Olah raga:

a. Sekarang berolahraga : 1. Ya 2. Tidak

b. Bila ya, frekuensi : 1. 1-2x / minggu

2. 2-4 x / minggu

3. 5-7 x / minggu

c. Jenis olahraga yang dilakukan : 1. ………………………………………

2. ………………………………………

IV. Pemeriksaan Fisik

60

13. Tinggi badan : cm

14. Berat badan : kg

15. Nilai BMD :

V. Penilaian Sarkopenia

16. Lama jalan (TUG) : detik

17. Kekuatan genggaman tangan (handgrip strength)

a. Tangan kanan

Percobaan 1 : kg

Percobaan 2 : kg

Rata-rata : kg

b. Tangan kiri

Percobaan 1 : kg

Percobaan 2 : kg

Rata-rata : kg

18. Massa otot (BIA) Percobaan 1 Percobaan 2 Rata-rata

a. BMI :

b. Skeletal muscle whole body :

c. Skeletal fat whole body :

d. Skeletal muscle trunk :

e. Skeletal fat trunk :

f. Skeletal muscle legs :

g. Skeletal fat legs :

h. Skeletal muscle arms :

i. Skeletal fat arms :