s45673-rumah jawa.pdf

85
UNIVERSITAS INDONESIA RUMAH JAWA: EVOLUSI DARI PANGGUNG KE MENAPAK SKRIPSI HARINDRA MAHUTAMA 0806456114 FAKULTAS TEKNIK PROGRAM STUDI ARSITEKTUR DEPOK JULI 2012 Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Upload: dinhdien

Post on 01-Jan-2017

281 views

Category:

Documents


14 download

TRANSCRIPT

Page 1: S45673-Rumah Jawa.pdf

UNIVERSITAS INDONESIA

RUMAH JAWA:

EVOLUSI DARI PANGGUNG KE MENAPAK

SKRIPSI

HARINDRA MAHUTAMA

0806456114

FAKULTAS TEKNIK

PROGRAM STUDI ARSITEKTUR

DEPOK

JULI 2012

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 2: S45673-Rumah Jawa.pdf

UNIVERSITAS INDONESIA

RUMAH JAWA:

EVOLUSI DARI PANGGUNG KE MENAPAK

SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana

HARINDRA MAHUTAMA

0806456114

FAKULTAS TEKNIK

PROGRAM STUDI ARSITEKTUR

DEPOK

JULI 2012

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 3: S45673-Rumah Jawa.pdf

ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Harindra Mahutama

NPM : 0806456114

Tanda Tangan :

Tanggal : 10 Juli 2012

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 4: S45673-Rumah Jawa.pdf

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 5: S45673-Rumah Jawa.pdf

iv

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan

rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini dilakukan

dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Teknik

Jurusan Arsitektur pada Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Saya menyadari

bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan

sampai pada masa penyusunan skripsi ini, sangatlah sulit bagi saya untuk

menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih sebanyak-

banyaknya kepada:

(1) Orang tua penulis, Bapak Widhiyawan Wisnu Wardhana, Bapak R. Budiono

Subijantoro, Ibu Herita Mardiani, Kakak penulis, Wirindra Ananda Gupta,

Mahindra Winuksa Adhyakusuma, Rizki Aryo Wicaksono, Adik penulis,

Hanindito Dwi Herbowo, yang telah memberikan dukungan baik moral

maupun material;

(2) Mohamad Nanda Widyarta, B.Arch.,M.Arch. selaku dosen pembimbing yang

telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam

penyusunan skripsi ini;

(3) Bapak Ir. Kemas Ridwan Kurniawan,MSc. Ph.D, Bapak Dipl.Ing. Han Awal,

IAI, selaku dewan penguji skripsi yang memberikan saran dan kritikan yang

membangun;

(4) Aditya, mahasiswa arkeologi UI yang telah meluangkan waktu untuk

wawancara mengenai penemuan-penemuan tim arkeologi UI;

(5) Sahabat terdekat yang telah banyak membantu secara moral dan material

dalam menyelesaikan skripsi ini, Kosa,Labib,Dimas,Zai,Agriza,dll;

(6) Teman-teman bimbingan skripsi yang telah begitu baik, saling menyemangati,

dan menolong satu sama lain, Elita, Dhini, Azka dan Tika.

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 6: S45673-Rumah Jawa.pdf

v

Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan

semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini membawa manfaat

bagi pengembangan ilmu. Penulis menyadari penulisan skripsi ini masih jauh dari

sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat penulis

harapkan. Terima Kasih.

Depok, 6 Juli 2012

Harindra Mahutama

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 7: S45673-Rumah Jawa.pdf

vi

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan dibawah

ini :

Nama : Harindra Mahutama

NPM : 0806456114

Program Studi : Arsitektur

Departemen : Arsitektur

Fakultas : Teknik

Jenis Karya : Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada

Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty-

Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:

Rumah Jawa: Evolusi Dari Panggung ke Menapak

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti

Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan,

mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),

merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama

saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di: Depok

Pada Tanggal:7 Juli 2012

Yang menyatakan

(Harindra Mahutama)

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 8: S45673-Rumah Jawa.pdf

vii Universitas Indonesia

ABSTRAK

Nama : Harindra Mahutama

Program Studi : Arsitektur

Judul : Rumah Jawa: Dari Panggung ke Menapak

Arsitektur tradisional Jawa yang berupa rumah tidak lepas hubungannya dengan

masyarakat dan waktu. Dilandasi dengan ide dan pemikiran-pemikiran, rumah Jawa

berubah dan berkembang sesuai dengan keadaan pada periode-periodenya. Dengan

perubahan mengikuti perkembangan dalam bentukan fisik dan juga non-fisiknya kita

melihat sebuah fenomena bagaimana sebuah rumah dapat berubah mengikuti kurun

waktu yang berlangsung. Dengan berlandas pada data-data dan informasi yang

bersifat valid, penelitian ini dapat menemukan hasil. Hasil penelitian menjelaskan

bahwa perubahan tersebut terbukti dan terlihat dari fakta-fakta yang ada dan tidak

bisa dipungkiri lagi bahwa perubahan tersebut terlihat dari segi fisik dan non-

fisiknya. Perubahan tersebut memperjelas bahwa keadaan memicu seluruhnya.

Perubahan kearah yang positif dan fungsional sangat diperlukan, tetapi harapnya

unsur-unsur filosofi, ide dan pemikiran masyarakat Jawa tidak dilepaskan begitu saja

dan tetap terus dibawa.

Kata kunci:

Perubahan, Perkembangan, Keadaan, Ide & Pemikiran

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 9: S45673-Rumah Jawa.pdf

viii Universitas Indonesia

ABSTRACT

Name : Harindra Mahutama

Study Program: 0806456114

Title : Java House: From Stage to Landed

Javanese traditional architecture that forms a house never loses a connection with the

people and time. Based on the idea and thoughts, Javanese house change and evolve

according to the circumstances within the period. With the changes that followed the

circumstances in a physical and non-physical shape, we see a phenomenon of a house

that changes following the period of the time. With data that information that is valid,

this research can find a results. The study explains that these changes are evident and

visible by the fact that seen from the physical and non-physical terms. The changes

clarify that the circumstances triggering the whole problem. This shift toward a

positive and functional is definitely needed, but we hoped the elements of philosophy,

ideas and thoughts are not released from the Javanese society and still continue to

carry from time to time.

Keywords:

Change, Development, Circumstances, Ideas and Thoughts

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 10: S45673-Rumah Jawa.pdf

ix Universitas Indonesia

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..........................................................................................................i

HALAMAN PERNYATAAN ORISINILITAS ............................................................... ii

LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................................. iii

KATA PENGANTAR ......................................................................................................iv

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ........................................vi

ABSTRAK ..................................................................................................................... vii

DAFTAR ISI ....................................................................................................................ix

DAFTAR GAMBAR ........................................................................................................xi

1.PENDAHULUAN .......................................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ......................................................................................................... 1

1.2 Perumusan Masalah ................................................................................................. 2

1.3 Tujuan Penulisan ...................................................................................................... 2

1.4 Manfaat Penulisan .................................................................................................... 3

1.5 Batasan Penulisan .................................................................................................... 3

1.6 Susunan Penulisan ................................................................................................... 3

2.KAJIAN LITERATUR .................................................................................................. 4

2.1 Pengertian Historiografi ........................................................................................... 4

2.2 Pengertian Arkeologi ............................................................................................... 4

2.3 Pengertian Ruang ..................................................................................................... 4

2.4 Pengertian Tipologi .................................................................................................. 5

2.5 Teori dan Pemikiran Hindu Jawa ............................................................................. 6

2.6 Teori dan Pemikiran Islam Jawa .............................................................................. 7

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 11: S45673-Rumah Jawa.pdf

x Universitas Indonesia

3.KAJIAN KASUS ............................................................................................................ 9

3.1 Rumah Jawa ............................................................................................................. 9

3.1.1 Asalmuasal Rumah Jawa .................................................................................. 9

3.1.2 Rumah Dalam Kehidupan Orang Jawa ........................................................... 10

3.2 Filosofi Rumah Jawa Pada Masyarakat Jawa .................................................... 19

3.3 Masyarakat Jawa dan Aspek Sosialnya ............................................................. 24

3.3.1 Masyarakat Jawa Zaman Hindu Budha ...................................................... 24

3.3.2 Masyarakat Jawa Zaman Islam................................................................... 30

3.3.3 Masyarakat Jawa Zaman Modern ............................................................... 40

4. STUDI LITERATUR .................................................................................................. 45

4.1 Rumah Jawa Panggung ...................................................................................... 45

4.2 Rumah Jawa Menapak ....................................................................................... 50

4.2 Bentuk Perubahan .............................................................................................. 55

4.3 Faktor Pengaruh Perubahan Bentuk Panggung ke Menapak ............................. 57

5. KESIMPULAN ........................................................................................................... 60

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 62

LAMPIRAN .................................................................................................................... 65

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 12: S45673-Rumah Jawa.pdf

xi Universitas Indonesia

DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1. Rumah Joglo Jompongan. ....................................................................... 38

Gambar 4.1. Bentukan Rumah Pada Relief-Relief Candi Jawa. .................................. 48

Gambar 4.2. Bangunan Rumah Rakyat Biasa. ............................................................. 51

Gambar 4.3. Rumah Rakyat di Yogyakarta.................................................................. 52

Gambar 4.4. Rumah Rakyat Jawa Bentuk Limasan. .................................................... 52

Gambar 4.5. Masjid Kauman Dalam Bentukan Tajug. ................................................ 55

Gambar 4.6. Ornamen Kuda-kuda Pada Rumah Jawa Yogyakarta.............................. 56

Gambar 4.7. Ornamen Pada Langit-langit Rumah. ...................................................... 57

Gambar 4.8. Ornamen Pada Kolom. ............................................................................ 57

Gambar 4.9. Ornamen Lisplank. .................................................................................. 57

Gambar 4.10. Perubahan Rumah Jawa Panggung ke Menapak. .................................... 58

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 13: S45673-Rumah Jawa.pdf

1 Universitas Indonesia

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Arsitektur tidak hanya sebuah kumpulan dan penggabungan material yang

berdiri langsung diatas tanah; melainkan sebuah kumpulan isu, dan ide yang terdapat

pada sebuah kultur, sosial dan teknologi yang bergabung menjadi sebuah kesatuan.

Yang kita maksud dengan arsitektur adalah bagaimana manusia dapat

menggabungkan dan mengekspresikan hal-hal tersebut kedalam sebuah satu kesatuan

fisik. Dengan arsitektur kita dapat melihat dan mempelajari berbagai macam latar

mengenai manusia pada setiap zamannya. Menurut Amos Rapoport (1969):

“Architecture may provide setting for certain activities, reminds people what

these activities are; signifies power, status, or privacy; expresses and supports

cosmological beliefs; communicates information; and encodes value systems. It can

also separate domain and differentiate between here and there, sacred and profane,

men and women, front and back, private and public, habitable and unhabitable, and

so on.”

Arsitektur itu sendiri merupakan penyampaian sebuah ide dan juga

arsitekturnya sendiri sebagai sebuah bentuk maka terdapat sebuah hubungan yang

erat antara ide dan bentuk. Tujuan dari penulisan ini sendiri adalah melihat ide dan

bentuk yang berubah dari arsitektur Jawa terutama rumah Jawa dari periode Hindu-

Budha abad ke-8 hingga perkembangannya sampai dengan periode sekarang melalui

perubahan secara fisik dan non fisik yang dipengaruhi oleh teknologi, jalan

pemikiran, kepercayaan, gaya hidup dll.

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 14: S45673-Rumah Jawa.pdf

2

Universitas Indonesia

1.2 Perumusan Masalah

Penulis mencoba mengamati dan menganalisa lebih dalam mengenai

fenomena arsitektur yaitu rumah Jawa panggung yang berubah menjadi rumah Jawa

menapak. Rumah Jawa merupakan sebuah kesatuan fisik yang memperlihatkan

sebuah ide, pola pikir, gaya hidup dan kepercayaan yang dimiliki oleh orang Jawa

yang kemudian diterapkan kepada sebuah kesatuan fisik yang tentunya akan menjadi

bagian dari hidup yaitu sebuah rumah. Penulis melihat bahwa dari masa ke masa

rumah Jawa memiliki beberapa hal-hal yang berubah secara fisik eksterior maupun

interior, ide/konsep berbeda yang diterapkan oleh orang Jawa kepada rumahnya dari

masa ke masa serta kejadian-kejadian besar yang berpengaruh kedalam perubahan

tersebut. Hal yang terlihat jelas adalah banyaknya penggambaran dan penemuan

mengenai bukti bahwa pada abad ke-8 yaitu pada periode Hindu-Budha orang Jawa

hidup pada rumah yang tidak menapak dari tanah/rumah panggung tetapi mengikuti

pergantian waktu dan kejadian, rumah Jawa berubah dari mayoritas menapak sampai

dan jarang ditemui rumah Jawa yang berbentuk panggung. Faktor yang akan dibahas

oleh penulis dalam penulisan ini adalah bagaimana rumah Jawa panggung dapat

berubah menjadi rumah Jawa menapak dan apa saja faktor dan bukti yang

memperlihatkan dan mempengaruhi hal perubahan tersebut.

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk membuktikan/memberikan

sebuah fakta dan argumen mengapa rumah Jawa yang mayoritas berbentuk panggung

kemudian berubah menjadi menapak. Dengan penulisan dari skripsi ini, penulis ingin

memberikan sebuah kajian mengapa rumah Jawa panggung dapat berubah menjadi

rumah Jawa menapak. Penulisan dari skripsi ini juga sebagai pelengkap dan syarat

untuk kelulusan sarjana Departemen Arsitektur Universitas Indonesia.

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 15: S45673-Rumah Jawa.pdf

3

Universitas Indonesia

1.4 Manfaat Penulisan

Penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada orang yang

membacanya. Dalam penelitian mengenai Rumah Jawa : Dari Panggung ke Menapak

ini diharapkan memberikan informasi yang menjelaskan mengenai fenomena

perkembangan bentuk rumah Jawa dari periode ke periode dengan mengkaji,

menganalisa dan menjabarkan seluruh informasi dan fakta terkait yang nantinya akan

memberikan sebuah informasi mengenai perkembangan rumah Jawa tersebut bagi

yang membutuhkannya. Penelitian ini juga bermanfaat bagi penulis dikarenakan

penulis mendapatkan banyak informasi dan pengetahuan lebih mengenai skripsi dan

topik yang dijelaskan.

1.5 Batasan Penulisan

Dalam penelusuran ini penulis akan menjelaskan pada aspek fisik dari

bangunan rumah Jawa dan juga aspek non fisik yang kemudian berpengaruh. Dalam

penulisan ini penulis melakukan penelusuran tidak dengan pengamatan langsung

kedalam studi kasus tetapi dengan tinjauan dari data, informasi yang didapatkan

melalui sumber-sumber literatur hasil penelitian para ahli dan wawancara dengan

orang yang terkait dengan topik skripsi ini.

1.6 Susunan Penulisan

Sistematika penulisan dari skripsi dimulai dengan bab pertama yaitu

pendahuluan yang menjelaskan mengenai latar belakang dari permasalahan, tujuan dan

metode penulisan, batasan-batasan yang dibahas dan kerangka pembahasan. Bab kedua

yaitu kajian literatur, yang akan menjelaskan mengenai teori yang menjadi landasan dari

skripsi ini. Bab ketiga yaitu kajian kasus yang akan menjelaskan mengenai kajian dari

topik yang akan dibahas seperti pengertian rumah Jawa, masyarakat Jawa dll. Bab

keempat yaitu studi kasus akan menjelaskan seluruh data dan fakta yang terkait dan

kemudian akan menjabarkan dan menganalisa kasus yang dibahas. Bab terakhir, yaitu

kesimpulan berisi abstaksi dari hasil analisis, kekurangan, dan usulan.

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 16: S45673-Rumah Jawa.pdf

4 Universitas Indonesia

BAB II

KAJIAN LITERATUR

2.1 Pengertian Historiografi

Historiografi berasal dari gabungan dua kata yaitu history yang berarti sejarah

dan grafi yang berarti deskripsi atau penulisan. Berdasarkan asal katanya,

historiografi berarti penulisan sejarah. Secara lebih luas historiografi dapat diartikan

sebagai penulisan sejarah. Secara harafiah historiografi berarti penulisan

sejarah, gambaran sejarah tentang peristiwa yang terjadi pada waktu yang lalu yang

disebut sejarah. Sejarah sebagai pengetahuan tentang masa lalu diperoleh melalui

suatu penelitian mengenai kenyataan masa lalu dengan metode ilmiah yang khas.

Historiografi yaitu suatu klimaks dari kegiatan penelitian sejarah.

Penulisan sejarah itu sendiri merupakan langkah terakhir dari penelitian

sejarah. Penulisan sejarah merupakan langkah bagaimana seorang sejarawan

mengkomunikasikan hasil penelitiannya untuk dibaca oleh umum. Dalam menulis

sejarah berarti seorang sejarawan merekonstruksi terhadap sumber-sumber sejarah

yang telah ditemukannya menjadi suatu cerita sejarah (Elbirtus, 2012).

Historiografi merupakan pandangan sejarawan terhadap peristiwa sejarah,

yang dituangkan didalam penulisannya itu akan dipengaruhi oleh situasi zaman dan

lingkungan kebudayaan di mana sejarawan atau seseorang itu hidup serta kemampuan

menginterpretasikan dengan menghubungkan ilmu-ilmu bantu lainnya. Dengan kata

lain, pandangan sejarawan itu selalu mewakili zaman dan kebudayaannya.

Historiografi dapat diartikan sebagai pencarian terhadap pemikiran sejarawan atau

seseorang pada zamannya. Historiografi mencari tentang ide, subyektifitas, dan

interpretasinya. Sebagai sebuah alat untuk melihat sejarah intelektual atau mentalis

seorang sejarawan, maka harus dilakukan studi mengenai karya-karyanya (Bintar,

Anam 2010).

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 17: S45673-Rumah Jawa.pdf

5

Universitas Indonesia

2.2 Pengertian Arkeologi

Arkeologi berasal dari perkataan Yunani yaitu arkhaiologia yang berarti

perbincangan tentang benda purba atau silam. Istilah ini digunakan semula pada abad

ke-17 oleh seorang sarjana German bernama George Daux. Terdapat berbagai definisi

tentang arkeologi dan sebagai satu disiplin yang dinamik, lainnya telah berubah-ubah

bersesuaian dengan ruang kajiannya yang semakin luas dengan aplikasi teknologi

semasa. Antara definisi-definisi yang sering digunakan oleh ahli arkeologi dalam

merujuk kepada pengertian bidang ini ialah seperti;

1. Paul Bahn (1996) menyatakan pengertian asas arkeologi ialah satu kajian

sistematik tentang masa lampau yang berasaskan budaya kebendaan dengan

bermatlamat untuk membongkar, menerangkan dan mengklasifikasikan

tinggalan-tinggalan budaya, menguraikan bentuk dan perilaku masyarakat

masa silam serta memahami bagaimana ia terbentuk dan akhir sekali

merekonstruksinya semula.

2. Frank Hole dan Robert F. Heizer (1990) merujuk arkeologi sebagai suatu

ikatan kajian tentang masa silam manusia yang dikaji terutamanya melalui

bahan-bahan peninggalan. Arkeologi juga merupakan susunan kaedah dan

tata cara penyelidikan masa lalu yang menggambarkan data-data yang

diperoleh dan latian akademik serta orientasi teori ahli arkeologi.

3. Robert J. Sharer dan Wendy Ashmore (1980) melihat arkeologi sebagai

bahagian khusus tentang teknik yang digunakan dalam membongkar bukti

tentang masa lalu dan sebagai satu disiplin yang mengkaji masyarakat dan

kebudayaan silam berdasarkan budaya kebendaan ianya menerangkan

perkembangannya serta bagaimana iannya berlaku.

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 18: S45673-Rumah Jawa.pdf

6

Universitas Indonesia

2.3 Pengertian Ruang

Kata ruang atau space bila dilihat dari sudut etimologi berasal dari kata latin

spatium yang memiliki pengertian yaitu suatu wilayah yang tidak berbatas, begitu

luas atau merupakan ekspansi 3 (tiga) dimensi tempat seluruh obyek materi/kegiatan

berada (Language Institute of America Inc, 1997). Sedangkan bila ditinjau dari sudut

etimologi Bahasa Indonesia kata ruang berasal dari kata rong yang mengandung

pengertian sela-sela antara dua (deret) tiang atau sela-sela antara empat tiang (di

bawah kolong rumah), rongga yang berbatas atau terlindung oleh bidang, rongga

yang tidak berbatas tempat segalanya ada (Kamus Etimologi Bahasa Indonesia,

1992).

Kata yang lebih mendekati pengertian spatium dalam arsitektur diwakili oleh

ogkos (bahasa Yunani) dengan pengertian bulk; volume; mass (benda yang sangat

besar; benda yang bergerak mengalir; benda yang menjadi satu atau padat) yang

berarti satu badan atau keseluruhan yang terdiri dari jumlah tertentu dari sesuatu atau

kumpulan satuan-satuan dari sesuatu (Johnson, 1994).

Konsep tentang ruang berasal dari dua konsep klasik yang bersumber pada

filsafat Yunani. Konsep yang pertama dari Aristoteles menyatakan bahwa ruang

sebagai sesuatu yang nyata, dan sejauh terdapat keleluasaan yang berdasarkan pada

kenyataan. Ruang diasosiasikan juga dengan keadaan terbuka bebas namun tetap

dijaga dari penyusupan. Dengan gambaran yang terdapat diatas, Aristoteles mencoba

menggambarkan bahwa ruang adalah suatu medium dimana obyek material berada,

keberadaan ruang dikaitkan dengan posisi obyek material tersebut (konsep posisition

relation). Konsep kedua berasal dari Plato yang melihat ruang sebagai wadah yang

tetap, jadi walaupun objek material yang ada di dalamnya dapat disingkirkan atau

diganti namun wadah tersebut akan tetap ada (Munitz, 1981)

Kedua konsep tersebut mendasari pandangan yang melihat ruang dari dimensi

fisiknya yaitu suatu kesatuan yang mempunyai panjang, lebar dan tinggi atau

kedalaman. Dengan demikian ruang mempunyai sifat yang terukur dan pasti

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 19: S45673-Rumah Jawa.pdf

7

Universitas Indonesia

(infinite), ini dipertegas oleh Decrates dengna konsep Cartesian Space yang memilah-

milah ruang ke dalam bentuk-bentuk geometris seperti kubus, bola, prisma, kerucut

atau gabungan dari bentuk-bentuk tersebut (Cornelis, 1980).

2.4 Pengertian Tipologi

Kata Tipologi jika dilihat dari sudut etimologi berasal dari kata typology yang

berasal dari Yunani. Tipologi kadang ditrasliterasikan “typos” kata darimana kata

Inggris “type” berasal (Language Institute of America Inc, 1977). Pengertian tipologi

(dalam perencanaan kota dan arsitektur) adalah taksonomi klasifikasi (biasanya

berupa klasifikasi fisik suatu bangunan) karakteristik umum ditemukan pada

bangunan dan tempat-tempat perkotaan, menurut hubungan mereka dengan kategori

yang berbeda, seperti intensitas pembangunan (dari alam atau pedesaan ke perkotaan)

derajat, formalitas, dan sekolah pemikiran (misalnya, modernis atau tradisional).

Karakteristik individu tersebut membentuk suatu pola. Kemudian pola tersebut

berhubungan dengan elemen-elemen secara hirarkis di skala fisik (dari detail kecil

untuk system yang besar).

Menurut Aldo Rossi dan Leon Krier, tipologi merupakan sebuah alat analisis

presisi untuk arsitektur dan bentuk urban yang juga memberikan sebuah basis

rasional untuk landasan desain (Argan, 1965).

2.5 Teori dan Pemikiran Hindu Jawa

Seorang raja adalah Tuhan. Dapat kita ambil dari cara pandang Hindu Jawa

bahwa hanya raja yang dapat memenuhi fungsi dari menenangkan dan mengatur

keseimbangan antara masyarakat dengan sekitarnya entah itu nyata atau tidak nyata.

Untuk masyarakat Jawa, itu adalah fungsi dari seorang penguasa untuk dapat

menghubungkan masa kini, masa lalu dan masa depan dan untuk member kehidupan

dari manusia yang layak di alam semesta ini sesuai dengan hakekatnya. Raja dan

istananya merupakan sebuah simbol nyata dari sebuah keseluruhan. Cara pandang ini

juga berlaku didalam komunitas yang lebih kecil seperti keluarga. Dalam hal ini

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 20: S45673-Rumah Jawa.pdf

8

Universitas Indonesia

menurut sebuah Kultur yang ideal seorang kepala rumah tangga merupakan seorang

raja bagi anggota dari keluarganya. Masyarakat Hindu Jawa hidup dengan pemikiran

dimana segala sesuatu memiliki batas menurut apa yang ada atau diperintahan di

dalam dunia kehidupannya.

Masyarakat Hindu Jawa menjadikan seorang raja dan kekuasaannya sebagai

sebuah gambaran tentang kesucian, keangungan serta paradigma aturan hidup.

Dengan terbiasanya dengan batasan ini mereka menjadikan perbedaan dari status

tinggi dan rendah adalah perbedaan bagi mereka yang lebih mampu untuk dapat

melepaskan diri dari ketidak abadian kepada sesuatu yang abadi, dan juga bagi

mereka yang sama sekali tidak mampu. Untuk masyarakat Hindu Jawa harmoni tidak

hanya sesuatu yang berjalan seimbang tetapi menetralkan batasan, menjembatani

perbedaan dan menjauhi segala pemikirin kurang baik pada elemen-elemen tertentu.

Tujuan akhir bukanlah sesuatu yang duniawi tetapi adaptasi diri kepada sesuatu yang

tidak ada batasannya.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa masyarakat Hindu Jawa telah

hidup dengan pemikiran harmoni walaupun terdapat tingkatan masyarakat yang

berbeda-beda. Setiap tingkatannya memiliki ketergantungan satu dengan yang lain

dan harus menciptakan keselarasan atau keseimbangan yang harmoni. Oleh karena itu

yang terpusat atau yang berada di tengah mempunyai sebuah posisi dengan tanggung

jawab yang sangat penting.

Dengan tradisi religi pada dunia yang seimbang tetapi dilandasi konflik ini,

setiap masyarakat Hindu Jawa memiliki tugas untuk dapat menyatukan dan

mengharmonikan konflik tersebut. Sesuatu yang bersifat tengah atau terpusat telah

mendasar pada pemikiran seluruh masyarakat Jawa. Dalam kosmologi Jawa, tengah

merupakan pusat dari kosmos, dan kosmos tersebut adalah gunung Mahameru dalam

hal yang sama merupakan tempat beristirahatnya Dewa/Tuhan. Arti dari tengah dan

terpusat ini adalah sebagai simbol dan landasan pemikiran bagaimana

menyeimbangkan dunia manusia secara komplit dan sempurna. Tengah merupakan

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 21: S45673-Rumah Jawa.pdf

9

Universitas Indonesia

pusatnya dari seluruh gaya dan energi yang berada pada puncaknya. Itu artinya

mendasari bahwa tengah/pusat merupakan sebuah kelangsungan untuk mencapai

sesuatu yang tidak terbatas atau Dewa/Tuhan. Dalam hal ini Mahamerulah yang

merupakan tengah/pusat yang mendekati dengan ketidak batasan itu (Prijotomo Josef,

1984)

Pada pusat konstelasi sosial atau pada puncak piramida adalah tempat raja

berada. Raja sebagai pelaku utama yang bertugas mempertahankan keserasian antara

mikrokosmos dan makrokosmos (jagad raya). Konsep-konsep cendekia dari telah

kosmologi Sanskerta telah datang melengkapi bentuk-bentuk pemujaan asli yang

lebih kuno, yang dituju kepada gunung-gunung dan yang dikaitkan pada diri sang

raja. Orang Jawa Kuno menyembah gunung-gunung berapi tertentu, seperti orang

Bali pada Gunung Agung dan penduduk Tengger pada Kawah Gunung Bromo. Pada

pemikiran dan pemujaan kuno itu tercangkoklah tema Gunung Meru, pusat jagat raya

(Lombard, 2008).

2.6 Teori dan Pemikiran Islam Jawa

Islam merupakan sebuah filosofi yang komplit dari sebuah kehidupan dan

pemerintahan dan tidak ada perbedaan di Islam pada sebuah religi dan materi. Orang

Muslim percaya bahwa Islam memberikan kesatuan hidup yang komplit, Islam

merupakan hidup itu sendirinya.

Esensi dari Islam terdapat pada sebuah kalimat “la ilaha ila’lah Muhammad

rasula’llah (tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammadlah utusan Allah)”. Takdir

merupakan wahyu dari kehendak Tuhan untuk ciptaannya. Kata “tidak ada Tuhan

selain Allah” sendiri menjelaskan konsep dari sebuah kesatuan bahwa semua

perbedaan masyarakat semuanya memiliki tingkatan yang sama dan bahwa

sesungguhnya tidak ada manusia yang memiliki tingkatan yang lebih tinggi. Islam

Jawa berpikir bahwa kesatuan tercipta dari perbedaan dan meyakinkan bahwa semua

lingkaran mempunyai tengah/pusat walaupun besarannya yang berbeda-beda. Untuk

kata “Muhammadlah utusan Allah” sendiri menjelaskan sebuah contoh atau konsep

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 22: S45673-Rumah Jawa.pdf

10

Universitas Indonesia

tentang sebuah manusia universal yang patut dicontoh. Salah satu yang terpenting

dalam Islam adalah tidak hanya hubungan antara pencipta dan dunia tetapi bagaimana

hubungan dari pencipta dengan ciptaanya. A.H.Johns (1961, p.32) mengatakan:

“Tujuan dari Sufi adalah untuk mempertanyakan kenapa, untuk

menselaraskan penjelasan teoritikal mengenai sebuah modal dari hubungan antara

pencipta dan ciptaannya, kedalamannya, kehidupan yang tersembunyi dari makhluk

yang suci, dan membedakan karakteristik dari yang suci, manusia dan tuhan.”

Islam tidak menuntut umatnya untuk mempercayai apapun yang tidak

rasional. Tetapi kepercayaannya itu sendiri merupakan sebuah keabstrakan yang

halus dan tidak mudah untuk dipahami dan diimplementasikan dengan cara yang baik

dan tepat sedangkan Hukum Quran’s sendiri melarang intrepretasi dari kitab suci itu

sendiri secara bebas dan mandiri. Dalam menafsirkan hidup Islam memiliki tiga cara

pandang yaitu tubuh, jiwa, dan roh. Dalam hal ini ada dua interpretasi yang melandasi

seluruh umat Muslim, walaupun konsepnya beda tetapi esensinya sama. Yang

pertama adalah menafsirkan Tuhan adalah sesuatu yang nyata, kedua adalah

pandangan tentang Tuhan dalam diri masing-masing (batin). Dua skema tersebut

memiliki hubungan atau keterikatan dan dalam satu sisi juga kebalikan dari yang

satunya.

Bagi Muslim, agama mereka dan kehidupan mereka tidak lain adalah sebuah

perjalanan untuk mencari “Kesatuan didalam Keragaman”, untuk mencapai tahap

tertinggi contoh manusia universal yaitu Muhammad SAW. Semua umat Muslim

memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk menjadi seperti contoh mereka,

karena dia memiliki potensi tersebut (Prijotomo Josef, 1984).

Islam membawa beberapa perubahan tertentu, jika dikaitkan tentang teori

pemikiran Hindu Jawa mengenai Raja sebagai poros dunia, pada zaman Islam

sebenarnya pemikiran tersebut masih terbawa tetapi raja tidak lagi dianggap sebagai

perwujudan dewa, melainkan wakil Allah di dunia (Lombard, 2008)

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 23: S45673-Rumah Jawa.pdf

11 Universitas Indonesia

BAB III

SEJARAH & TIPOLOGI

3.1 Rumah Jawa

3.1.1 Asalmuasal Rumah Jawa

Dari asal usulnya, para ahli sejarah belum mempunyai kesatuan pendapat

tentang hal ini. Sebagian riwayat menyatakan menceritakan bahwa betapa sulitnya

menentukan wujud bentuk dari rumah orang Jawa pada asal mulanya. Ada yang

mengatakan bahwa perkembangan rumah orang Jawa hanya diceritakan dari mulut ke

mulut (lisan), dari kakek ke cucu, dan seterusnya ato dapat dikatakan dari leluluh

nenek moyang turun temurun hingga masa kini. Akan tetapi ada yang mengatakan

bahwa rumah orang Jawa dibuat dari bahan material batu. Dari pendapat yang

bermacam-macam tersebut maka dapat diambil kesimpulan bahwa hal mengenai asal

usul rumah Jawa masih gelap dan belum dapat ditemukan bentuk pastinya.

Dalam riwayat lain mengatakan bahwa beberapa orang yang ahli telah

membuktikan bahwa teknik teknik menyusun dari rumah Jawa sama seperti teknik

menyusun candi-candi yang dapat kita lihat saat ini. Tetapi menurut para ahli,

bukanlah rumah orang Jawa yang meniru bentuk candi, melainkan candi yang meniru

rumah orang Jawa. Mengapa dapat dikatakan demikian ? Seperti yang kita ketahui

bahwa candi-candi yang dapat kita saksikan saat ini yaitu candi Borobudur, Dieng,

Pawon, Mendut dll merupakan candi-candi yang berdiri dari abad ke-18, sedangkan

sebelum Hindu dan Budha masuk ke Jawa, leluhur nenek moyang orang Jawa pasti

sudah mempunyai tempat tinggal permanen untuk melindungi diri dan keluarga.

Tidak ada yang mengetahui dengan pasti mengenai hal tersebut, dan yang

menjadi saksi bisu pastilah relief-relief yang berada di batu candi yang

menceritakan dan mengambarkan kejadian masa itu dan mungkin masa-masa

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 24: S45673-Rumah Jawa.pdf

12

Universitas Indonesia

sebelumnya. Tetapi dugaan yang cukup kuat diperoleh dari naskah-naskah kuno yang

ditulis dengan tangan, menyebutkan bahwa rumah orang Jawa terbuat dari bahan

kayu, serta dimulai dari jaman Prabu Jayabaya yang pada saat itu berkuasa di

Mamenang ibukota Kediri, Jawa Timur.

Pada sekitar abad ke-11, baik adipati Harya Santang maupun Prabu Jayabaya,

sendiri menyetujui untuk membuat rumah dari bahan kayu. Dan orang tidak perlu

khawatir lagi bahwa rumah batu mereka akan habis dikikis oleh hujan. Dengan bahan

material kayu yang ringan, mudah dikerjakan, mudah dicari, dan kalau rusak dapat

mudah menggantikannya.

Di istana Raja, barisan dari pekerja yang berada dibawah pimpinan adipati

Harya Santang medapatkan order untuk memperbaiki istana raja. Menurut tulisan

yang sama, pada jaman Prabu Wijayaka berkuasa di medangkemulan, ia telah

melakukan berbagai perubahan terutama pada departemen perumahan yang sejak

saat itu diurus oleh pejabat perumahan yang berpangkat Bupati. Mereka terdiri dari:

1. Bupati Kalang Blandhong – ahli menebang pohon

2. Bupati Kalang Obong – ahli pembersihan hutan

3. Bupati Kalang Adeg – ahli perencana bangunan

4. Bupati Kalang Abrek

Semua pembangunan dari rumah Jawa disesuaikan dengan budaya Jawa. (Hamah

Sagrim, 2010)

3.1.2 Rumah Dalam Kehidupan Orang Jawa

Rumah merupakan sesuatu yang penting karena mencerminkan papan (tempat

tinggal), disamping dua macam kebutuhan lainnya yaitu sandang (pakaian) dan

pangan (makanan). Karena rumah berfungsi untuk melindungi dari tantangan alam

dan lingkungan sekitarnya. Selain itu rumah tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan

utamanya saja. Tetapi dipergunakan untuk mewadahi semua kegiatan dan kebutuhan

yang berada di dalam rumah tersebut.

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 25: S45673-Rumah Jawa.pdf

13

Universitas Indonesia

Rumah Jawa lebih dari sekedar rumah tinggal bagi orang Jawa. Masyarakat

Jawa lebih mengutamakan moral kemasyarakatan dan kebutuhan dalam mengatur

warga semakin menyatu dalam satu kesatuan. Semakin lama tuntutan masyarakat

dalam keluarga semakin berkembang hingga muncul tingkatan jenjang kedudukan

antara manusia yang berpengaruh pada penampilan fisik rumah suatu keluarga. Lalu

munculah juga jati diri arsitektur dalam masyarakat tersebut.

Rumah Jawa merupakan lambang status bagi penghuninya dan juga

menyimpan rahasia tentang kehidupan sang penghuni. Rumah Jawa merupakan

sarana pemiliknya untuk menunjukan siapa sebenarnya dirinya sehingga dapat

dimengerti dan dinikmati oleh orang lain. Rumah Jawa juga menyangkut dunia batin

yang tidak pernah lepas dari kehidupan masyarakat Jawa. Bentuk dari rumah Jawa

dipengaruhi oleh dua pendekatan yaitu:

- Pendekatan Geometrik yang dikuasai oleh kekuatan diri sendiri

- Pendekatan Geofisik yang tergantung pada kekuatan alam lingkungan

Kedua pendekatan tersebut akhirnya menjadi satu kesatuan. Kedua

pendekatan mempunyai perannya masing-masing, situasi dan kondisi yang

menjadikannya salah satunya lebih kuat sehingga menimbulkan bentuk yang berbeda

bila salah satu peranannya lebih kuat. Rumah Jawa merupakan kesatuan dari nilai seni

dan nilai bangunan sehingga merupakan nilai tambah dari hasil karya budaya

manusia yang dapat dijabarkan secara keilmuan (Hamah Sagrim, 2010).

3.2 Filosofi Rumah Jawa Pada Masyarakat Jawa

Bangunan tradisi atau rumah adat merupakan salah satu wujud budaya yang

bersifat konkret. Dalam konstruksinya, setiap bagian/ruang dalam rumah adat sarat

dengan nilai dan norma yang berlaku pada masyarakat pemilik kebudayaan tersebut.

Begitu juga dengan rumah tradisi Jawa. Konstruksi bangunan yang khas dengan fungsi

di setiap bagian yang berbeda satu sama lain mengandung unsure filosofis yang sarat

dengan nilai-nilai religi, kepercayaan, norma dan nilai budaya etnis Jawa.

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 26: S45673-Rumah Jawa.pdf

14

Universitas Indonesia

Terjadi sebuah penerapam prinsip hirarki dalam pola penataan ruangnya.

Setiap ruangan memiliki perbedaan nilai, ruang bagian depan bersifat umum (publik)

dan bagian belakang bersifat khusus (pribadi/privat). Uniknya, setiap ruangan dari

bagian teras, pendopo sampai dengan bagian belakang (Pawon dan Pekiwan/Dapur)

tidak hanya memiliki fungsi tetapi juga sarat dengan unsure filosofi hidup etnis Jawa.

Unsur religi/kepercayaan terhadap dewa diwujudkan dengan ruang pemujaan

terhadap Dewi Sri (Dewi kesuburan dan kebahagiaan rumah tangga) sesuai dengan

mata pencaharian masyarakat Jawa (petani-agraris). Ruang tersebut disebut

krobongan, yaitu kamar yang selalu kosong, namun lengkap dengan ranjang, kasur,

bantal, dan guling dan bisa juga digunakan untuk malam pertama bagu pengantin baru

(Widayat, 2004, p.7). Krobongan merupakan ruang khusus yang dibuat sebagai

penghormatan terhadap Dewi Sri yang dianggap sangat berperan dalam semua sendi

kehidupan masyarakat Jawa.

Bangunan atau rumah tradisi tidak hanya dibangun sebagai tempat tinggal

tetapi juga diharapkan membawa kebahagiaan dan kesejahteraan bagi penghuninya

melalui penggabungan unsur makrokosmos dan mikrokosmos di dalam rumah

tersebut. Dengan demikian diharapkan keseimbangan hidup tercapai dan membawa

dampak positif bagi penghuninya. Berikut adalah penjelasan mengenai ruang-ruang

beserta filosofinya:

1. Teras dan Pendopo

Di bagian depan, rumah tradisi Jawa memiliki teras yang tidak

memiliki atap dan pendopo (pendhapa) yaitu bagian depan rumah yang

terbuka dengan empat tiang (saka guru) yang merupakan tempat tuan

rumah menyambut dan menerima tamu-tamunya. Bentuk

pendopo umumnya persegi, di mana denah berbentuk segi empat selalu

diletakan dengan sisi panjang kea rah kanan-kiri rumah sehingga tidak

memanjang kea rah dalam tetapi melebar ke samping (Indrani, 2005:7).

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 27: S45673-Rumah Jawa.pdf

15

Universitas Indonesia

Pendopo pada rumah Jawa terbuka tanpa pembatas pada keempat

sisinya, hal ini melambangkan sikap keterbukaan pemilik rumah terhadap

siapa saja yang dating. Pendopo biasanya dibangun lebih tinggi dari

halaman, ini dimaksudkan untuk memudahkan penghuni menerima tamu,

bercakap-cakap sambil duduk bersila di lantai beralas tikar sesuai tradisi

masyarakat Jawa yang mencerminkan suasana akrab dan rukun.

Bentuk salah satu ruang dalam rumah tradisi Jawa tersebut

memperlihatkan adanya konsep filosofis tentang makna ruang yang dalam

dimana keberadaan pendopo sebagai perwujudan konsep kerukunan dalam

gaya hidup masyarakat Jawa. Pendopo tidak hanya sekedar sebuah tempat

tetapi mempunyai makna filosofis yang lebih mendalam, yaitu sebagai

tempat untuk mengaktualisasi suatu bentuk/konsep kerukunan antara

penghuni dengan kerabat dan masyarakat sekitarnya (Hidayatun, 1999:7).

Pendopo merupakan aplikasi sebuah ruang publik dalam masyarakat Jawa.

2. Pringgitan

Ruang yang masih berfungsi sebagai ruang publik adalah ruang

peralihan dari pendopo menuju ke dalem ageng disebut pringgitan, yang

juga berfungsi sebagai tempat mengadakan pertunjukan wayang kulit pada

acara-acara tertentu. Pringgitan memiliki makna konseptual yaitu tempat

untuk memperlihatkan diri sebagai simbolisasi dari pemilik rumah bahwa

dirinya hanya merupakan baying-bayang atau wayang dari Dewi Sri (dewi

padi) yang merupakan sumber segala kehidupan, kesuburan, dan

kebahagiaan (Hidayatun, 1999:39). Menurut Rahmanu Widayat (2004: 5),

Pringgitan adalah ruang antara pendhapa dan dalem sebagai tempat untuk

pertunjukan wayang (ringgit), yaitu pertunjukan yang berhubungan

dengan upacara ruwatan untuk anak sukerta (anak yang menjadi mangsa

Bathara Kala, dewa raksasa yang maha hebat).

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 28: S45673-Rumah Jawa.pdf

16

Universitas Indonesia

3. Dalem Ageng

Semakin masuk ke bagian dalam rumah tradisi Jawa, semakin

menunjukan hirarki dalam pola penataan ruangnya. Seperti yang telah

dipaparkan sebelumnya, semakin masuk ke bagian belakang

ruangan tersebut bersifat khusus (pribadi/privat). Bagian dalam dari rumah

tradisi Jawa disebut dalem ageng. Ruangan ini berbentuk persegi yang

dikelilingi oleh dinding pada keempat sisinya. Dalem ageng merupakan bagian

terpenting dalam rumah tradisi Jawa sebab di dalamnya terdapat senthong

atau tiga kamar. Tiga senthong tersebut dinamakan senthong kiwa, senthong

tengah dan senthong tengen. Senthong tengah dinamakan

juga krobongan yaitu tempat untuk menyimpan pusaka dan tempat

pemujaan terhadap Dewi Sri. Senthong tengah atau krobongan merupakan

tempat paling suci/privat bagi penghuninya. Sedangkan senthong kiwa

dan senthong tengen berfungsi sebagai ruang tidur anggota keluarga.

Senthong kiwa merupakan ruang tidur anggota keluarga laki-laki dan

senthong tengen berfungsi sebagai ruang tidur anggot keluarga perempuan.

4. Krobongan

Kepercayaan masyarakat Jawa terhadap Dewi Sri tidak lepas dari

kehidupan mereka yang agraris. Dewi Sri merupakan dewi kesuburan

yang berperan penting dalam menentukan kesejahteraan masyarakat

agraris (para petani). Agar dalam berusaha lancer maka perlu

menyediakan tempat yang khusus di rumahnya untuk menghormati Sang

Tani. Y.B. Mangunwijaya (1992 : 108) menjelaskan yang dimaksud

dengan Sang Tani adalah bukan manusia si petani pemilik rumah,

melainkan para dewata, atau tegasnya Dewi Sri.

Di dalam dalem atau krobongan disimpan harta pusaka yang bermakna

gaib serta padi hasil panen pertama, Dewi Sri juga dianggap sebagai

pemilik dan nyonya rumah yang sebenarnya. Di dalam krobongan terdapat

ranjang, kasur, bantal, dan guling, adalah kamar malam pertama bagi para

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 29: S45673-Rumah Jawa.pdf

17

Universitas Indonesia

pengantin baru, hal ini dimaknai sebagai peristiwa kosmis penyatuan

Dewa Kamajaya dengan Dewi Kama Ratih yakni dewa-dewi cinta asmara

perkawinan (Mangunwijaya, 1992: 108). Di dalam rumah tradisi Jawa

bangsawan Yogyakarta, senthong tengah atau krobongan berisi

bermacam-macam benda-benda lambing (perlengkapan) yang mempunyai

kesatuan arti yang sacral (suci). Macam-macam benda lambang itu

berbeda dengan benda-benda lambing petani. Namun keduanya

mempunyai arti lambing kesuburan, kebahagiaan rumah tangga yang

perwujudannya adalah Dewi Sri (Wibowo dkk., 1987 : 63).

5. Gandhok dan Pawon

Ruangan di bagian belakang dinamakan gandhok yang memanjang di

sebelah kiri dan kanan pringgitan dan dalem. Juga terdapat pawon yang

berfungsi sebagai dapur dan pekiwan sebagai wc/toilet. Ruangan-ruangan

tersebut terpisah dari ruangan-ruangan utama, apalagi dari ruangan yang

bersifat sacral/suci bagi penghuninya.

Pola organisasi ruang dalam rumah tradisi Jawa dibuat berdasarkan

tingkatan atau nilai masing-masing ruang yang terurut mulai dari area

publik menuju area privat atau sacral. Pembagian ruang simetris dan

menganut pola closed ended plan yaitu simetris keseimbangan yang

berhenti dalam suatu ruang, yaitu senthong tengah (Indrani, 2005: 11).

6. Dewi Sri dalam Krobongan Rumah Tradisi Jawa

Dewi Sri sangat akrab dengan masyarakat agraris Jawa. Bagi mereka,

Dewi Sri merupakan ikon sekaligus tokoh penting yang sangat berperan

dalam menentukan hasil panennya nati. Maka tidak aneh apabila di

rumah pribadi mereka, terdapat tempat khusus yang digunakan sebagai

tempat pemujaan terhadap Dewi Sri. Selain itu, Dewi Sri juga dikenal

sebagai lambang kesuburan dan kesejahteraan rumah tangga.

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 30: S45673-Rumah Jawa.pdf

18

Universitas Indonesia

Menurut Lombard (1996) walaupun mito Dewi Sri berasal dari India

namun di beberapa pulau di Nusantara yang tidak tersentuh pengaruh

India pun mengenal sosok Dewi Sri sebagai Dewi Kesuburan. Ceritanya

pun hampir sama, yaitu Dewi Sri yang dikorbankan lalu dari seluruh

bagian tubuhnya tumbuh berbagai tanaman budidaya yang utama seperti

padi. Mitos tersebut sangat kental dengan pengaruh Hindu. Hal ini bisa

saja terjadi akibat adanya asimilasi antara paham animisme dan Hindu.

Hasilnya muncul seorang tokoh simbolik kaum petani Jawa, yang

melindungi tanaman padinya terhadap gangguan-gangguan hama tanaman

padi, yang dianggap berasal dari para lelembut atau jin mrekayangan

(Widayat, 2004:10). Berbagai cerita padi muncul di Jawa sebelum

datangnya pengaruh Hindu dan ada kemungkinan cerita tersebut setelah

datangnya paham Hindu diubah dan disesuaikan dengan ajaran Hindu.

Dewi Sri dalam buku Sejarah Wayang Purwa (Hardjowirogo,

1982, p.72) dijelaskan Dewi Sri adalah putrid Prabu Srimahapunggung dari

Negara Medangkamulan. Dewi Sri bersaudara laki-laki yang bernama

Raden Sadana.

Penghormatan terhadap Dewi Sri juga dilakukan dalam upacara-

upacara adat. Salah satunya adalah upacara bersih desa. Dalam upacara

tersebut digelar pertunjukan wayang kulit dengan lakon berjudul

Srimantun yang menggambarkan reinkarnasi Dewi Sri sebagai Dewi

Kemakmuran dan anugerah dari dewata terhadap Negara agar menjadi

Negara yang makmur dan sejahtera serta tidak kekurangan apapun. Untuk

upacara bersih desa biasanya dipersembahkan sesajian yang diletakan di

dekat sawah antara lain:

1. Kelapa Muda

2. Nasi dan telur ayam (puncak manic)

3. Rujak Manis (pisang, asam)

4. Ketupat

5. Lepet

6. Cermin

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 31: S45673-Rumah Jawa.pdf

19

Universitas Indonesia

7. Minyak Kelapa

8. Minyak Wangi (Widayat, 2004, p.13)

3.3 Masyarakat Jawa dan Aspek Sosialnya

3.3.1 Masyarakat Jawa Zaman Hindu Budha

Pada Jaman Hindu-Budha yaitu tepatnya pada abad ke-8 sampai dengan abad

ke-13 terdiri dari banyaknya kerajaan-kerajaan. Kerajaan yang saat itu mempengaruhi

perkembangan masyarakat Jawa yang paling besar salah satunya adalah Kerajaan

Majapahit.

a. Sistem Religi dan Kepercayaan

Pada periode ini masyarakat Jawa telah berpindah dari penganut

kepercayaan tradisional berupa penghormatan terhadap roh lelulur dan

kekuatan alam semesta dan benda-benda tertentu (animisme dan

dinamisme). Pengaruh dari masuknya Hindu Budha kedalam

masyarakat Jawa membuat pengaruh kepercayaan animisme-

dinamisme berubah kepada dewi-dewi pengatur alam. Masyarakat

Jawa mulai menyembah dewi-dewi yang sama dengan yang ada di

India. Di dalam masyarakat Jawa ini agama Hindu jauh lebih

berkembang pesat daripada Budha. Pada perkembangannya bahkan muncul

agama ―baru‖ atau agama sinkretis, yakni perpaduan Hindu Siwa

dengan Budha. Agama tersebut disebut Siwa-Buddha yang mulai

berkembang pesat pada masa Kerajaan Singasari di Jawa Timur.

Masuknya Hindu Budha pada Indonesia dan Jawa masih menjadi

perdebatan, tetapi terdapat empat pendapat yang saling menguatkan

menyatakan bahwa:

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 32: S45673-Rumah Jawa.pdf

20

Universitas Indonesia

(1) Teori Brahmana, mengatakan bahwa yang membawa

agama Hindhu ke Indonesia adalah orang-orang Hindu

berkasta brahmana. Para brahmana yang datang ke

Indonesia merupakan tamu undangan dari raja-raja

penganut agama tradisional di Indonesia. Ketika tiba di

Indonesia, para brahmana ini akhirnya ikut menyebarkan

agama Hindu di Indonesia (Van Leur, 1960).

(2) Teori Waisya, mengatakan bahwa yang telah berhasil

mendatangkan agama Hindu ke Indonesia adalah kasta

Waisya, terutama para pedagang. Para pedagang banyak

memiliki relasi yang kuat dengan para raja yang terdapat di

seluruh Nusantara. Agar bisnis mereka di Indonesia lancar

mereka memberikan barang-barang dagangan yang bagus

untuk masyarakat pribumi sehingga kemudian mereka

dapat tinggal dan menyebarkan agama Hindu (N.J.Krom,

1927).

(3) Teori Ksatria, mengatakan bahwa proses agama Hindu ke

Indonesia dilangsungkan oleh para ksatria, yakni golongan

bangsawan dan prajurit perang. Kedatangan para ksatria

tersebut ke Indonesia disebabkan karena terjadinya

pergolakan di India yang kemudian memaksa banyak dari

mereka yang keluar mencari keamanan dan datang ke

wilayah Indonesia (C.C.Berg dan Mookerji).

(4) Teori Arus Balik, mengatakan bahwa yang menyebarkan

agama Hinhu di Indonesia adalah orang Indonesia sendiri.

Mereka yang mengajarkan adalah orang Indonesia yang

pernah ke India untuk mempelajari agama Hindu dan

Budha. Di pengembaraan mereka mendirikan sebuah

organisasi yang sering disebut sanggha. Setelah kembali ke

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 33: S45673-Rumah Jawa.pdf

21

Universitas Indonesia

Indonesia, akhirnya mereka menyebarkan kembali ajaran

yang telah mereka dapat di India (F.D.K.Bosch).

b. Sistem Kekerabatan Masyarakat

Pada masa Hindu Budha masyarakat Jawa hidup didalam

batasan-batasan yang ada yang mengaruh pada kasta dari masing-

masing individu. Kekerabatan masyarakat Jawa yang paling erat

adalah didalam keluarga. Untuk kekerabatan dengan yang lainnya,

masyarakat Jawa akan berhubungan dekat dengan individu-individu

yang memiliki kasta yang sama.

c. Sistem Politik dan Kemasyarakatan

Setelah kerajaan-kerajaan yang berdiri di Jawa didirikan maka

mereka langsung menerapkan sistem feudal. Feodalisme adalah sistem

sosial dan politik yang memberikan kekuasaan yang besar bagi golongan

bangsawan (KBBI,2002). Dengan demikian, raja adalah

yang menentukan kearah mana kerajaan akan bergulir. Praktik

feodalisme ini cukup berkembang pada masa kerajaan Hindu Budha,

terutama di Jawa. Pengkastaan dalam masyarakat membuat hubungan

feodalistik semakin menguat. Feodalisme menjamin stabilitas politik

yang dibutuhkan seorang raja untuk keberlangsungan kerajaannya.

Sistem kasta merupakan sistem kemasyarakatan yang ada pada

zaman Hindu Budha. Sistem kasta membagi masyarakat menjadi

beberapa tingkatan sosial, yakni:

(1) Brahmana yang berperan sebagai penasehat raja dan pendidik

agama.

(2) Ksatria yang terdiri atas penyelenggara dan penata

pemerintahan serta pembela kerajaan (raja, pembantu raja,

tentara).

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 34: S45673-Rumah Jawa.pdf

22

Universitas Indonesia

(3) Waisya yang berperan sebagai pedagang, pengrajin, petani,

nelayan, dan pelaku seni.

(4) Sudra yang terdiri atas pekerja rendah, buruh, budak dan

pembantu.

Sementara itu, dalam kerajaan Buddhis pengkastaan tak terlalu

berperan karena ajaran Budha tidak mengenal pengkastaan. Dalam hal

ini, masyarakat Buddhis lebih demokratis dan egalitis. Maka dari itu ,

sistem feodal lebih berkembang di kerajaan-kerajaan bercorak Hindu.

Dalam menentukan kebijakan, raja dibantu oleh

kaum pandita (pendeta) dan brahmana sebagai penasehat spiritual dan

duniawi. Merekalah kelompok yang mengetahui isi kitab suci yang

ditulis dalam Sansekerta. Akibatnya, masyarakat awam tak mungkin

mengetahui isi kitab suci tanpa perantara brahmana. Mereka memiliki

hak mutlak dalam mengatur sebuah upacara agama, seperti peringatan

hari-hari suci, pengangkatan raja, peresmian piagam atau prasasti, atau

pernikahan golongan bangsawan. Mereka pula yang merintis

pembangunan sekolah-sekolah dan asrama-asrama dalam masyarakat

Buddha. Kedudukan mereka dapat disamakan dengan kalangan ulama

dan cendikiawan zaman sekarang (Suwito & Darmawan)

d. Ekonomi

Sistem ekonomi pada periode Hindu Budha sangat tergantung

pada persawahan terutama pada masa kerajaan Tarumanagara,

Mataram, dan Majapahit. Mereka sangat bergantung pada panen padi

dan pajaknya. Oleh karena itu Jawa dikenal sebagai pengekspor beras

sejak jaman Hindu Budha ini yang berkontribusi terhadap

pertumbuhan penduduk dari pulau Jawa ini. Perdagangan dengan

Negara Asia lainnya seperti Cina dan India sudah terjadi pada awal

abad ke-4, terbukti dengan ditemukannya keramik Cina pada periode

tersebut. Jawa juga terlibat dalam perdangangan rempah-rempah

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 35: S45673-Rumah Jawa.pdf

23

Universitas Indonesia

Maluku semenjak era Majapahit. Pada periode tersebut juga

menggunakan alat tukar barter dan juga uang logam/emas sebagai alat

untuk tukar-menukar dan memenuhi kebutuhan hidup masyarakat

Jawa (Lombard, 2008).

e. Kesenian

Seni Rupa

Pada bidang kesenian ataupun seni sastra pada periode

Hindu Budha mengalami perkembangan pesat. Pembuatan

candi dan patung yang disertai relief merupakan bagian

yang tak terpisahkan dengan bidang seni rupa.

Sastra dan Aksara

Sejak masuknya Hindu Budha, bahasa sansekerta dan

huruf palawa mulai digunakan dalam penulisan prasasti

dan kitab sastra, misalnya: prasasti Kutai, prasasti Tugu dll.

Sementara kitab-kitab sastra baru muncul pada zaman

Airlangga dan mencapai puncak pada zaman Majapahit.

Dalam perkembangannya bahasa sansekerta dan huruf

palawa mengalami akulturasi dengan bahasa dan huruf

Jawa sehingga munculah bahasa Jawa Kuno dan Huruf

Jawa Kuno.

f. Pendidikan

Pada periode Hindu Budha pendidikan terkait erat dengan

agama. Pada masa ini kaum Brahmana merupakan golongan yang

menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran. Perlu dicatat bahwa

sistem kasta tidak diterapkan di Indonesia setajam bagaimana yang

terdapat di India. Materi-materi pelajaran yang diberikan ketika itu

antara lain: teologi, bahasa dan sastra, ilmu-ilmu kemasyarakatan,

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 36: S45673-Rumah Jawa.pdf

24

Universitas Indonesia

ilmu eksakta seperti ilmu perbintangan, ilmu pasti, perhitungan waktu,

seni bangunan, seni rupa dan lain-lain.

Pola pendidikannya mengambil model asrama khusus, dengan

fasilitas belajar seperti ruang diskusi dan seminar. Dalam

perkembangannya, kebudayaan Hindu Budha membaur dengan unsur-

unsur asli Jawa dan Indonesia dan memberi ciri-ciri serta coraknya

yang khas (Khairuddin, 2008).

g. Arsitektur

Arsitektur pada masa Hindu Budha yang kita ketahui adalah

arsitektur yang identik dengan Candi. Candi sendiri dianggap berasal

dari kata candikagrha, nama tempat tinggal Candika, Dewi Kematian

dan Permaisuri Siwa. Maka secara harafiah Candi bias ditafsirkan

sebagai bangunan yang digunakan untuk keperluan pemakaman atau

bahkan sebagai makam. Dahulukala, diduga abu dari jenazah seorang

raja dikubur dibawah bagian tengah candi (peripih). Sehingga

seringkali candi digunakan sebagai tempat pemujaan dan memuliakan

raja yang sudah meninggal. Akan tetapi Candi dibangun bukan semata

hanyalah sebagai makam atau tempat pemujaan dan memuliakan raja

yang sudah meninggal, lebih dari itu Candi itu juga difungsikan

sebagai tempat pemujaan kepada para Dewa yang dilambangkan sebagai

arca. Arca tersebut diletakan di ruang tengah Candi. Arsitektur

Candi ini sendiri sering dilambangkan dengan perumpamaan Gunung

Meru dikarenakan terdapat unsur Triloka yang menjelaskan mengenai

dunia manusia (bhurloka), dunia tengah untuk orang yang disucikan

(bhuvarloka) dan dunia untuk para dewa (svarloka) (H.J. Kroom &

Stutterheim).

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 37: S45673-Rumah Jawa.pdf

25

Universitas Indonesia

Untuk arsitektur tradisionalnya yang digunakan sebagai tempat

untuk manusia tinggal dan juga tempat-tempat untuk manusia

beraktifitas berupa bangunan-bangunan yang telah menggunakan

konstruksi kayu. Sekitar abad ke-13 dan ke-14, bidang arsitektur

dikembangkan ekspresi dan teknik pembangunan yang baru.

Pembangunan dengan batu alam dihentikan dan penggunaan batu bata

merah beserta konstruksi kayu diistimewakan dan diperkembangkan

sedemikian rupa sehingga masih dapat digunakan hingga masa kini

dalam arsitektur dan tata kota. (Nugroho, 2010).

3.3.2 Masyarakat Jawa Zaman Islam

Periode Islam di Jawa yang terlihat dengan banyaknya kerajaan-kerajaan Islam

di Jawa yang berkuasa pada abad ke-13 sampai dengan abad ke-16. Timbulnya

kerajaan-kerajaan tersebut dan pengaruhnya kepada penyebaran religi agama Islam di

Jawa berasal dari pengaruh maraknya lalu lintas perdangangan laut dengan pedagang-

pedagang Islam dari Arab, India, Persia, Tiongkok, dll.

Alasan mengapa banyak penduduk nusantara dan terutama masyarakat Jawa

yang beragama Islam adalah antara lain:

- Pernikahan antara para pedagang dengan bangsawan. Contoh: Raja

Brawijaya menikah dengan Putri Jeumpa yang menurunkan Raden

Patah yang merupakan tokoh Islam.

- Pendidikan Pesantren yang mulai berkembang pesat dan melahirkan

Islam golongan Santri.

- Pedagang Islam

- Seni dan Kebudayaan. Contoh: Wayang, disebar oleh Sunan

Kalijaga.

- Dakwah

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 38: S45673-Rumah Jawa.pdf

26

Universitas Indonesia

Faktor-faktor penyebab agama Islam berkembang pesat di nusantara

terutama Jawa antara lain:

- Syarat masuk agama Islam tidak berat, yaitu dengan

mengucapkan kalimat syahadat.

- Upacara-upacara dalam Islam sangat sederhana dan gampang

dilaksanakan.

- Islam telah menghilangkan/tidak mengenal system kasta.

- Islam tidak menentang adat dan tradisi setempat.

- Dalam penyebarannya, Islam melakukan dengan jalan damai.

- Runtuhnya kerajaan Majapahit memperlancar penyebaran

Islam.

(Sejarah Islam di Nusantara, Lombard, 2008)

a. Sistem Religi dan Kepercayaan

Pada jaman pengaruh Islam di Jawa, tentunya agama Islam

menjadi mayoritas dari agama masyarakat Jawa. Penyebaran Islam

yang pesat menyebabkan banyak perubahan di seluruh Jawa yang

berpengaruh pada bidang apapun terutama dalam Arsitektural.

Walaupun Islam menjadi mayoritas tetapi masih terdapat banyak juga

penganut hindhu dan budha yang masih tersisa. Selain itu katolik dan

Kristen juga mulai hadir sebagai agama lewat pengaruh dari orang-

orang barat yang dating menjajah Indonesia seperti Belanda, Spanyol

dan Portugis. Untuk masyarakat Jawa penganut ajaran Islam, pada saat

penyebaran Islam di Jawa menyebabkan banyaknya masyarakat Islam

golongan santri. Golongan tersebut terlahir dari banyaknya Pesantren

yang didirikan di Jawa dan mereka mendapatkan didikan mengenai

Islam pada Pesantren-pesantren tersebut. Untuk lainnya masyarakat

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 39: S45673-Rumah Jawa.pdf

27

Universitas Indonesia

Jawa dengan Golongan Islam Kejawen adalah masyarakat Jawa yang

pada saat itu telah menganut Islam tetapi masih terbawa pengaruh

Hindu-Budha yang belum hilang. Mereka menggabungkan

kepercayaan itu sehingga masyarakat Islam Kejawen tidak terlalu

patuh menjalankan syariat Islam dan masih mempercayai kekuatan

lain/gaib.

b. Sistem Kekerabatan Masyarakat

Masyarakat Jawa sudah turun-temurun menganut sistem

kekerabatan bilateral atau parallel. Dimana semua anggota keluarga

terhubung dengan sangat dekat. Sistem masyarakat tersebut juga

terjadi berdasarkan sistem religi Islam yang mengajarkan bahwa

seluruh masyarakat dan umat Muslim memiliki hak dan derajat yang

setara.

c. Sistem Politik dan Kemasyarakatan

Masyarakat Jawa pada jaman Islam telah mengenal stratifikasi

sosial tipologi budayawi utama:

Abangan

Yang mewakili sikap menitik beratkan segi-segi animism

sinkretisme Jawa yang menyeluruh, dan secara luas

berhubungan dengan unsure-unsur petani di antara

penduduk. Istilah abangan diterapkan pada kebudayaan

orang desa, yaitu petani yang kurang terpengaruh oleh

pihak luar dibandingkan dengan golongan-golongan lain di

antara penduduk.

Santri

Yang mewakili sikap menitikberatkan pada segi-segi Islam

dalam sinkretisme tersebut, pada umumnya berhubungan

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 40: S45673-Rumah Jawa.pdf

28

Universitas Indonesia

dengan unsur pedagang (maupun juga dengan unsur-unsur

tertentu di antara para petani). Istilah santri diterapkan

pada kebudayaan muslimin yang memegang peraturan

dengan keras dan biasanya tinggal di bersama di kota

dalam perkampungan bersama dekat dengan Masjid dan

Pesantren yang terdiri dari para pedagang di daerah-daerah

yang lebih bersifat pada kota.

Priyayi

Yang sikapnya menitik beratkan pada segi-segi Hindhu dan

berhubungan dengan unsur-unsur birokrasi. Istilah priyayi

diterapkannya pada kebudayaan kelas-kelas tertingi yang

pada umumnya merupakan golongan bangsawan

berpangkat tinggi atau rendah.

(Geertz, 1950)

Teori dari Geertz ini sebenarnya tidak sepenuhnya benar, dia

mendapatkan banyak bantahan mengenai teorinya. Menurut Lombard

(2008) dalam karyanya Nusa Jawa: Silang Budaya menjelaskan

bahwa Geertz melihat mereka yaitu stratifikasi sosial tersebut hanya

dilihat sebagai suatu keseluruhan yang homogen. Yang menjadi

perdebatan adalah teori Geertz tersebut tidak pernah terhubung dalam

satu kesatuan konteks budaya aslinya dia membuat seolah-olah itu

merupakan satu sistem. Pengertian santri dalam penjelasannya

merupakan sebuah dinamika baru. Pengertian dari abangan dan

priyayi tidak perlu dipertentangkan dengan santri dalam suatu bagian

―segitiga‖, tetapi baiknya dilihat sebagai dua segi pelengkap dari satu

kenyataan sosial yang sama. Jika pengertian golongan santri tersebut

diteliti lebih dekat dan lebih dalam menemukan asas sosial dan

ekonominya maka akan terlihat bahwa golongan tersebut sebenarnya

mencakup dua kelompok besar yang sangat berbeda (Lombard, 2008).

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 41: S45673-Rumah Jawa.pdf

29

Universitas Indonesia

d. Ekonomi

Pada jaman Islam di Jawa, masyarakat Jawa sebagian besar berprofesi

sebagai petani, tetapi tidak sebagian besar masyarakat Jawa memiliki tanah

sehingga sebagian masyarakat lagi beralih kepada bidang yang lain. Sistem

perdagangan pada periode Islam di Jawa ini sebenarnya sedang dalam

kemajuan pesatnya. Banyak hal baru yang masuk ke Jawa dari sisi yang

berpengaruh kepada ekonomi keuangan terutama terjadinya sistem mata uang

baru yaitu uang kepeng yang berasal dari Cina dan juga mata uang lainnya

seperti logam putih. Dengan kenaikan progresif dari jumlah mata uang ini maka

munculah konsep-konsep pelengkap modal dan laba (Lombard, 2008).

e. Kesenian

Masyarakat Jawa umumnya pada jaman Islam memiliki kesenian yang

berhubungan dengan Islam.

Pada Seni rupa dan Kaligrafi

Walaupun pada periode Islam dilarang untuk menggambar ataupun

memahat membuat relief yang objeknya berupa makhluk hidup khususnya

hewan. Maka dari itu seni rupa Islam identik dengan seni kaligrafi. Seni

kaligrafi adalah seni menulis aksara indah yang merupakan kata atau

kalimat. Dalam Islam, kaligrafi biasanya berwujud gambar binatang atau

manusia (tetapi bentuk siluet sajat). Ada juga seni kaligrafi yang tidak

berbentuk makhluk hidup melainkan hanya rangkaian aksara yang

diperindah. Teks-teks yang berasal dari Al-Quran merupakan tema yang

sering dituangkan dalam seni kaligrafi ini. Sedangkan, bahan-bahan yang

digunakan sebagai tempat untuk menulis kaligrafi ini adalah nisan makam,

pada dinding Masjid, mihrab Masjid, kain tenunan atau kertas dan kayu

sebagai pajangan.

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 42: S45673-Rumah Jawa.pdf

30

Universitas Indonesia

Kesustraan

Karya kesenian sastra merupakan alat efektif dalam penyebaran sebuah

agama terutama Islam di Jawa. Jalur sastra inilah yang ditempuh

masyarakat muslim dalam penyebaran ajaran Islam mereka di Jawa.

Karya-karya sastra bercorak Islam yang ditulis di Sumatera dan Jawa

awalnya merupakan gubahan atas karya-karya sastra klasik dari jaman

Hindhu-Budha. Cara ini ditempuh agar masyarakat pribumi tidak terlalu

kaget akan ajaran Islam. Tema-tema yang ada berupa nuansa Islami

seperti kisah atau cerita pada Nabi dan Rasul sahabat Nabi, pahlawan-

pahlawan Islam, hingga raja-raja Sumatera dan Jawa. Adakalanya kisah-

kisah tersebut bersifat setengah imajinatif dalam arti tidak sepenuhnya

benar.

Seni Tari dan Musik

Dalam bidang seni tari dan musik, budaya Islam hingga sekarang begitu

terasa dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Dalam

perjalanannya, kebudayaan Islam sebelum masuk ke wilayah Indonesia

telah dahulu bercampur dengan kebudayaan lain, misalnya kebudayaan

Afrika Utara, Persia, anak Benua India, dan lain-lain. Dan telah menjadi

hukum alam, bahwa setiap tarian memerlukan iringan musik. Begitu pula

seni tari Islami, selalu diiringi alunan musik sebagai penyemangat

sekaligus sebagai sarana perenungan. Lazimnya tarian-tarian ini

dipraktikkan di daerah pesisir laut yang pengaruh Islamnya kental, karena

daerah pesisir merupakan tempat pertama kali Islam berkembang, baik

sebagai kekuatan ekonomi, sosial, budaya, dan politik.

Sebagai contoh dari seni Tari dan Musik di Jawa yaitu:

Zapin: yaitu tarian yang berkembang hampir diseluruh

Jawa. Kata zapin sendiri ditafsir dari bahasa Arab, zafin

yang berarti melangkah atau langkah. Tari ini dibawa

kepada masyarakat Islam di Jawa dari pedagang Arab,

Persia dan India pada awal abad ke-13.

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 43: S45673-Rumah Jawa.pdf

31

Universitas Indonesia

Seni Busana

Dalam agama Islam, ada jenis pakaian tertentu yang menunjukkan

identitas umat Islam. Jenis pakaian tersebut adalah sarung, baju koko,

kopeah, kerudung, jilbab, dan sebagainya yang telah dibawa sejak agama

Islam berkembang di Jawa dan kemudian masyarat Islam di Jawa mulai

mengembangkan dan menganut seni busana tersebut sebagai busana

keseharian mereka untuk sebagian besar golongan.

(Budiyanto, 2011)

f. Pendidikan

Para ulama, termasuk wali, berperan besar terhadap penyebaran Islam.

Mereka pada mulanya mendirikan pesantren-pesantren di sekitar kota

pelabuhan (sebagai tempat transit kapal-kapal dagang) guna menyebarkan

dakwah Islamnya. Istilah ―pesantren‖ berasal dari ucapan ―pesantrian‖, yakni

tempat para santri menimba ilmu agama.

Disinilah calon-calon santri—yang tadinya nonmuslim—dididik oleh

guru-guru mereka untuk membaca Al-Quran, bacatulis huruf Arab, dan

segenap aspek Islam lainnya. Materi-materi yang diajarkannya sebagai besar

meliputi hukum (syariat) Islam Para Wali di Jawa, contohnya, sebelum

berkumpul di Masjid Demak, terlebih dahulu membuka pondok-pondok

pesantren di daerah lain. Sunan Ampel menjadi guru spiritual di Ngampel

Denta di Giri; Sunan Gresik memiliki pondok pesantren di Gresik; Sunan

Kalijaga mengasuh pesantren di Kadilangu, dekat Demak. Sistem pendidikan

Islam tradisonal ini—dalam arti belum tersentuh sistem pendidikan ala

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 44: S45673-Rumah Jawa.pdf

32

Universitas Indonesia

Barat—berlangsung hingga abad ke-18. Setelah pendidikan formal Barat

diperkenalkan, materi-materi yang diajarkan dipesantren bertambah. Malah

banyak di antaranya pesantren tersebut yang menjadi pelopor perlawan

terhadap pemerintah kolonial Belanda. Atas nama Tuhan dan semangat jihad

melawan kaum penjajah yang kebetulan berbeda keyakinan, pondok-pondok

pesantren merupakan pusat perlawanan. Meskipun semangat juang mereka

belum didasari semangat nasionalisme dan hanya bersifat kedaerahan, kaum

santri yang didukung oleh rakyat setempat dan segelintir kaum bangsawan

begitu gigih dan berani mati. Contoh-contoh perlawanan yang bersifat sosial

dan lokal, di antaranya, perlawanan rakyat Cilegon, Banten, yang dipimpin

oleh Tugabus Ismail pada tahun 1818.

g. Kebudayaan Masyarakat

Kebudayaan masyarakat Jawa pada periode Islam tidak lepas dari

pengaruh dan peran para ulama sufi yang mendapat gelar para wali tanah

Jawa. Perkembangan Islam di Jawa tidak semudah yang ada di luar Jawa yang

hanya berhadapan dengan budaya lokal yang masih bersahaja (animisme-

dinamisme) dan tidak begitu banyak diresapi oleh unsur-unsur Hindu Budha

seperti di Jawa. Kebudayaan inilah yang kemudia melahirkan tiga varian

masyarakat Islam Jawa yang seperti telah disebutkan sebelumnya yaitu

abangan, santri dan priyayi yang dibedakan dengan taraf kesadaran keislaman

mereka. Sementara itu karakteristik budaya Jawa pada periode tersebut adalah

religius, non-doktriner, toleran, akomodatif, dan optimistik. Karakteristik

seperti ini melahirkan corak, sifat dan kecenderungan yang khas bagi

masyarakat Jawa seperti berikut:

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 45: S45673-Rumah Jawa.pdf

33

Universitas Indonesia

Percaya kepada Tuhan Yang Mahaesa sebagai Sangkan Paraning

Dumadi, dengan segala sifat dan kebesaran-Nya.

Bercorak idealistis, percaya kepada sesuatu yang bersifat immateriil

(bukan kebendaan) dan hal-hal yang bersifat adikodrati (supernatural)

serta cenderung ke arah mistik.

Lebih mengutamakan hakikat daripada segi-segi formal dan ritual.

Mengutakaman cinta kasih sebagai landasan pokok hubungan antar

manusia.

Percaya kepada takdir dan cenderung bersikap pasrah.

Bersifat konvergen dan universal.

Cenderung pada simbolisme.

Cenderung pada gotong royong, guyub, rukun, dan damai.

Kurang kompetitif dan kurang mengutamakan materi (Suyanto,

1990:144).

(http://id.shvoong.com/writing-and-speaking/presenting/2281819-

kebudayaan-masyarakat-jawa/#ixzz1wdfC3LlC)

h. Arsitektur

Islam telah memperkenalkan tradisi baru dalam bentuk bangunan.

Surutnya Majapahit yang diikuti oleh perkembangan agama Islam

menentukan perubahan tersebut. Islam telah memperkenalkan tradisi

bangunan, seperti mesjid dan makam. Islam melarang pembakaran jenazah

yang merupakan tradisi dalam ajaran Hindu Budha; sebaliknya jenazah

bersangkutan harus dimakamkan di dalam tanah. Maka dari itu, peninggalan

berupa nisan bertuliskan Arab merupakan pembaruan seni arsitektur pada

masanya.

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 46: S45673-Rumah Jawa.pdf

34

Universitas Indonesia

Islam pertama kali menyebar di daerah pesisir melalui asimilasi,

perdagangan dan penaklukan militer. Baru pada abad ke-17, Islam menyebar

di hampir seluruh Nusantara. Persebaran bertahap ini, ternyata tidak

berpengaruh terhadap kesamaan bentuk arsitektur di seluruh kawasan Islam.

Sebagian arsitektur Islam banyak terpengaruh dengan tradisi Hindu Budha

yang juga telah bersatu padu dengan seni tradisional. Persebaran Islam tidak

dilakuan secara revolusioner yang berlangsung secara tiba-tiba dan melalui

pergolakan politik dan sosial yang dahsyat.

Gambar 3.8 Makam Islam Sendang Duwur

Memang, menurut Tome Pires (De Graaf & Pigeaud), terdapat

penyerbuan secara militer terhadap ibukota Majapahit yang masih Hindu

Budha yang dilakukan oleh sejumlah santri dari Kudus yang dipimpin oleh

Sunan Kudus dan Rahmatullah Ngudung atau Undung. (Nama Kudus diambil

dari kata al-Quds atau Baitul Maqdis di Yerusalem, Palestina, yang

merupakan kota suci umat Islam ketiga setelah Mekah dan Madinah). Namun,

secara umumnya proses islamisasi berlangsung dengan damai. Dengan jalan

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 47: S45673-Rumah Jawa.pdf

35

Universitas Indonesia

damai ini, Islam dapat diterima dengan tangan terbuka. Pembangunan tempat-

tempat ibadah tidak sepenuhnya mengadospi arsitektur Timur Tengah. Ada

masjid yang bangunannya merupakan perpaduan budaya Islam-Hindu Budha,

misalnya Masjid Kudus—meskipun pembangunannya diragukan, apakah

dibangun oleh umat Hindu atau Islam. Ini terlihat dari menara masjid yang

berwujud seperti candi dan berpatung. Masjid lain yang bercorak campuran

adalah Masjid Sunan Kalijaga di Kadilangu dan Masjid Agung Banten. Atap

pada Masjid Sunan Kalijaga berbentuk undak-undak seperti bentuk atap pura di

Bali atau candi-candi di Jawa Timur.

Tempat sentral perubahan seni arsitektur dalam Islam terjadi di

pelabuhan yang meruapkan pusat pembangunan wilayah baru Islam.

Sementara para petani di pedesaan dalam hal seni arsitektur masih

mempertahankan tradisi Hindu Budha. Tak diketahui seberapa jauh Islam

mengambil tradisi India dalam hal seni, karena beberapa keraton yang

terdapat di Indonesia usianya kurang dari 200 tahun. Pengaruhnya terlihat dari

unsur kota. Masjid menggantikan posisi candi sebagai titik utama kehidupan

keagamaan. Letak makam selalu ditempatkan di belakang masjid sebagai

penghormatan bagi leluhur kerajaan. Adapula makam yang ditempatkan di

bukit atau gunung yang tinggi seperti di Imogiri, makam para raja Mataram-

Islam, yang memperlihatkan cara pandang masyarakat Indonesia (Jawa)

tentang alam kosmik zaman prasejarah. Sementara, daerah yang tertutup

tembok masjid merupakan peninggalan tradisi Hindu Budha. Terdapat

kesinambungan antara seni arsitektur Islam dengan tradisi sebelum Islam.

Contoh arsitektur klasik yang berpengaruh terhadap arsitektur Islam adalah

atap tumpang, dua jenis pintu gerbang keagamaan, gerbang berbelah dan

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 48: S45673-Rumah Jawa.pdf

36

Universitas Indonesia

gerbang berkusen, serta bermacam unsur hiasan seperti hiasan kaya yang

terbuat dari gerabah untuk puncak atap rumah. Ragam hias sayap terpisah yang

disimpan pada pintu gerbang zaman awal Islam yang mungkin

bersumber pada relief makara atau burung garuda zaman pra-Islam. Namun

sayang, peninggalan bentuk arsitektur itu banyak yang dibuat dari kayu

sehingga sangat sedikit yang mampu bertahan hingga kini.

Arsitektur monumental dari batu ditinggalkan pada zaman Islam. Dan

apa sesungguhnya pengaruh Islam dalam tingkatan estetika. Pada masa Islam

tidak ada monument yang dihancurkan atas prakarsa pihak Islam. Beberapa

candi sudah menjadi puing sementara Hinduisme masih sebagai agama

mayoritas (Nijhoff, 1978). Datangnya Islam tersebut juga menandakan

bersamaan dengan terputusnya secara radikal tradisi-tradisi arsitektural yang

telah berakar di Jawa selama delapan abad.

Yang dapat dilihat bahwa jelas terjadi perubahan radikal dalam

pandagan estetik. Tidak lagi dibangun kompleks-kompleks besar yang

diharapkan akan abadi melainkan hanya makam yang dibuat dari batu. Istana

dan mesjid pada zaman tersebut dibuat seperti rumah biasa dari bahan yang

mudah lapuk, terutama dari kayu dan itulah penyebab secara keseluruhan

tidak ada yang dapat bertahan hingga kini. Meskipun begitu kita dapat melihat

betapa tinggi selera penataan dan betapa besar motif yang digunakan,

terutama motif geometris atau berbunga. Hendaknya dicatat bahwa di Jawa,

teknik ukir kayu bertahan sampai dengan abad ke-20 di daerah-daerah Pesisir

yang paling dahulu diislamkan seperti di Sidoharjo, selatan Surabaya, Demak,

Jepara dan Kudus (Lombard, 2008).

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 49: S45673-Rumah Jawa.pdf

37

Universitas Indonesia

3.3.3 Masyarakat Jawa Modern

a. Sistem Religi dan Kepercayaan

Agama yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Islam pada

periode modern ini adalah Islam, Katolik, Hindhu, Kristen, Budha.

Islam sendiri berkembang di Jawa menjadi beberapa golongan, yaitu

Islam Santri golongan yang menjalankan ibadah Islam sesuai dengan

syariat-syariatnya. Islam Kejawen yaitu golongan yang mempercayai

agama Islam, tetapi tidak patuh menjalankan syariat Islam, dan masih

percaya kepada kekuatan lain. Disamping kepada agama, mayoritas

masyarakat Jawa yang telah turun-temurun dari pendahulunya masih

sangat mempercayai kekuatan lain/gaib, masyarakat Jawa

mempercayai seperti:

Percaya kepada makhluk gaib/halus

Percaya kepada hari baik/naas

Percaya kepada hari kelahiran/weton

Percaya kepada benda-benda pusaka

Percaya kepada perayaan hari istimewa/sakral (selametan)

b. Sistem Kekerabatan Masyarakat

Sama halnya dengan masyarakat Jawa pada periode sebelumnya,

mereka masih menganut sistem bilateral atau parallel. Walaupun sistem

tersebut hanya benar-benar terlihat jelas pada masyarakat Jawa yang

masih memiliki budaya dan pola hidup yang masih kental turun-temurun

dari leluhurnya. Untuk masyarakat Jawa yang telah bertinggal di daerah

perkotaan cenderung dekat dengan keluarga inti dan lebih individualis

dikarenakan lebih terfokus pada pekerjaan. Sedangkan yang tinggal di

pedesaan masih memiliki sistem kekerabatan yang lebih erat untuk

jangkauan masyarakat yang lebih luas.

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 50: S45673-Rumah Jawa.pdf

38

Universitas Indonesia

c. Sistem Politik dan Kemasyarakatan

Pada periode modern sistem politik dan kemasyarakatan telah jauh

berbeda dibandingkan dengan periode sebelumnya. Saat ini masyarakat

Jawa sudah tidak lagi mengenal sistem stratifikasi sosial yang cenderung

membeda-bedakan golongan walaupun sistem tersebut masih dapat

terlihat ditempat-tempat seperti Yogyakarta dan Surakarta yang masih

mempunyai keluarga Bangsawan yang berasal dari Keraton dianggap

orang yang memiliki sistem sosial yang lebih tinggi dari pada

masyarakatat Jawa pada umumnya.

d. Ekonomi

Jawa telah menjadi tempat yang berkembang semenjak era Hindia-

Belanda hingga saat ini. Jaringan transportasi jalan yang telah ada

semenjak jaman kuno disempurnakan dengan dibangunnya Jalan Raya Pos

Jawa oleh Daendels di awal abad ke-19. Kebutuhan transportasi produk-

produk dari perkebunan di pedalaman menuju pelabuhan di pantai, telah

memacu perkembangan jaringan kereta api di Jawa. Saat ini industri,

bisnis dan perdagangan, juga jasa berkembang di kota-kota besar di Jawa,

seperti Jakarta, Bandung, Semarang dan Surabaya, sementara kota-kota

kesultanan seperti Yogyakarta, Surakarta dan Cirebon tetap menjaga

warisan budaya keraton dan budaya Jawa menjadi pusat seni, budaya dan

pariwisata. Kawasan industri berkembang di kota-kota sepanjang pantai

utara Jawa, terutama sekitar Cilegon, Tangerang, Bekasi, Karawang,

Gresik dan Sidoarjo.

Untuk alat tukar saat ini masyarakat Jawa telah menggunakan uang

sebagai alat tukar dan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 51: S45673-Rumah Jawa.pdf

39

Universitas Indonesia

e. Kesenian

- Seni Rupa dan Kaligrafi

Pada seni rupa dan kaligrafi saat ini masyarakat Jawa telah

melaksanakan apa yang telah diwariskan secara turun-temurun sebagai

orang Jawa. Yaitu kesenian seperti Batik dan Wayang yang terus

berkembang dan menjadi ciri khas dari kesenian Jawa.

Kesustraan

Sastra Jawa Modern muncul setelah pengaruh dari penjajah Belanda atau

sekitar abad ke-19. Para cendekiawan asal Belanda member saran para

pujangga Jawa untuk menulis cerita atau kisah yang mirip dengan orang

Barat dan tidak terlalu berdasarkan yang sebelumnya seperti cerita

wayang, mitologi, dan sebagainya. Karya sastra modern yang muncul

pada akhirnya adalah seperti di Dunia Barat; esai, roman, novel, dan

sebagainya. Untuk gaya bahasanya sendiri pada masa ini masyarakat Jawa

pada bidang sastra masih mirip dengan Bahasa Jawa Baru. Perbedaan

utamanya adalah semakin banyaknya digunakan kata-kata Melayu dan

juga kata-kata Belanda.

Pada masa ini juga diciptakan huruf cetak berdasarkan aksara Jawa gaya

Surakarta untuk Bahasa Jawa, yang kemudian menjadi standar di pulau

Jawa. (Taco Roorda, 1839)

Seni Tari dan Musik

Seni Tari di masyarakat Jawa cukup banyak pada periode modern ini.

Seperti yang kita ketahui dan kita kenal masyarakat Jawa memiliki tarian

Jawa Wayang Orang yang menari dan beraksi berdasarkan cerita-cerita di

Ramayana dan Mahabarata. Terdapat juga tarian Topeng yang cukup

terkenal yang mengambil kisah dari cerita Panji pada masa Kerajaan

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 52: S45673-Rumah Jawa.pdf

40

Universitas Indonesia

Kediri abad ke-12. Yang cukup terkenal juga di masyarakat Jawa terutama

Jawa Tengah adalah Tari Keraton yang berada di Keraton Yogyakarta dan

Keraton Surakarta yang biasanya diiringi musik gamelan Jawa. Tarian lain

yang juga ada pada masyarakat Jawa modern adalah tarian Tradisional

kreasi baru/sendiri dan tarian Kontemporer seperti ballet dan tarian

modern barat.

Untuk seni musik sendiri, Jawa dan masyarakatnya terkenal dengan

banyak alat musik. Seperti yang kita telah ketahui ada Gamelan, Kendang,

Kecapi, Arumba, Talempong, Sampek, Kolintang, Sasando, Rebab, Suling

dll yang sampai saat ini masih berkembang dan masih banyak yang

menggunakannya. Pada kota-kota besar masyarakat Jawa telah mengenal

berbagai macam alat music dan genre musik untuk dimainkan dan di

dengarkan.

Seni Busana

Masyarakat Jawa yang berada/tinggal di kota-kota besar telah

mengenal yang dinamakan fashion. Pada akhirnya seni busana dari

masyarakat Jawa yang tinggal di perkotaan telah mengikuti seni busana

dari luar untuk tampil lebih modern. Sementara itu seni busana asli Jawa

seperti Blangkon, Batik, dan Keris atau nama lengkapnya pakaian Beskap

masih dipertahankan terutama di kota-kota kesultanan seperti Yogyakarta,

Surakarta dan juga kota-kota kecil di sekitarnya. Untuk di kota-kota besar

seni busana Jawa dipertahankan untuk acara tertentu seperti upacara

pernikahan.

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 53: S45673-Rumah Jawa.pdf

41

Universitas Indonesia

f. Pendidikan

Pendidikan yang ada di periode modern ini seperti yang kita ketahui

masyarakat Jawa telah mengenal pendidikan Sekolah. Pendidikan Sekolah

dimulai semenjak Taman Kank-Anak kemudian berlanjut ke Sekolah Dasar,

kemudian ke tingkat Sekolah Menengah Pertama dan ke tingkat tahap akhir

sekolah yaitu Sekolah Menengah Umum ataupun Sekolah Menengah

Kejuruan yang fokus pada keahlian tertentu. Setelah menyelesaikan tingkatan

sekolah tersebut masyarakat dapat naik ke jenjang yang lebih tinggi yaitu

jenjang Universitas/Perkuliahan yaitu tahap terakhir sebelum kemudian dapat

lanjut ke dunia kerja.

Kualitas pendidikan di Jawa cukup baik, dikarenakan Jawa yang padat

dengan penduduk dan terdapat banyak kota-kota besar yang berkembang oleh

karena itu pendidikan dapat terakomodasi dengan baik. Pada akhirnya

pendidikan di Jawa menjadi salah satu pilihan utama untuk orang-orang yang

berasal dari luar Jawa.

g. Arsitektur

Arsitektur Jawa modern telah berubah dengan pengaruh dari Barat.

Bangunan-bangunan mayoritas memiliki unsur dan pengaruh dari Barat.

Untuk arsitektur Jawa tradisionalnya sendiri hampir ditinggalkan pada kota-

kota yang berkembang dan pada kota-kota kecil dan pedesaanpun jarang kita

temui lagi arsitektur Jawa yang tradisional dan memiliki kondisi yang baik.

Arsitektur tradisional Jawa yang ditinggalkan dari periode Hindu telah hilang

dan yang dapat kita temui hanyalah arsitektur pada Candi-candi disekitar

Jawa. Arsitektur tradisional Jawa dari periode Islam yang berfungsi sebagai

tempat untuk digunakan masyarakat dapat kita lihat dalam bangunan Masjid

yang masih dirawat dan digunakan dengan baik seperti contoh; Masjid Demak

dan Masjid Kudus.

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 54: S45673-Rumah Jawa.pdf

42

Universitas Indonesia

Untuk unsur-unsur estetika dan ornamen-ornamen berciri tradisional

Jawa hanya dapat kita temui banyak di kota-kota kesultanan seperti

Yogyakarta, Surakarta dan Cirebon, itupun dapat banyak kita temui pada

bangunan Keraton yang merupakan warisan berharga dari periode-periode

sebelumnya.

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 55: S45673-Rumah Jawa.pdf

43 Universitas Indonesia

BAB IV

STUDI KASUS

4.1 Perubahan Rumah Jawa Panggung ke Menapak

4.1.1 Rumah Jawa Panggung

4.1.1.1 Massa dan Bentuk

Jika kita lihat bentuk Rumah Jawa dari awal abad ke-8 sampai dengan abad

modern yaitu abad ke-20 dan seperti yang telah dijelaskan pada pembahasan

sebelumnya, kita dapat melihat bahwa pada setiap periode terlihat perbedaan dari

rumah Jawa. Perubahan yang dibahas adalah perubahan dari bentuk yang kemudian

juga berpengaruh kepada orientasi ruang. Pada abad ke-8 sampai dengan abad ke-14

yaitu pada zaman Hindu Budha kita dapat melihat bahwa rumah Jawa yang berada

pada periode tersebut masih terlihat banyak dalam bentuk panggung. Bentuk rumah

panggung sederhana ini dapat kita klasifikasikan bahwa rumah ini berjenis rumah

Jawa panggangpe yaitu rumah Jawa dengan bentuk yang paling sederhana dan telah

mulai dibangun pada awal periode Hindu Budha tersebut. Rumah ini secara

keseluruhan terdiri dari 4 atau 6 buah tiang atau saka sebangan yang berfungsi

sebagai penopang rumah untuk menopang atap dan memasang dinding. Rumah ini

juga ada yang terdiri memiliki dinding yang berupa kayu ataupun anyaman bambu

dan jerami yang berfungsi sebagai penahan hawa lingkungan sekitar dan pembatas

untuk memberikan privasi bagi yang tinggal di dalam rumah tersebut. Terdapat juga

yang tidak memiliki dinding tetapi bentuk ini kebanyakan digunakan sebagai rumah

gubuk yang berada di sawah ataupun rumah terbuka sebagai tempat berkumpul dan

bersantai masyarakat sekitar.

Rumah Jawa Periode Hindu Budha yang lebih tepatnya abad ke-9 Masehi

yang telah ditemukan menjelaskan bahwa rumah tersebut ditemukan oleh tim

arkeolog dari Balai Arkeologi Yogyakarta pada daerah Dusun Liyangan, Desa

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 56: S45673-Rumah Jawa.pdf

44

Universitas Indonesia

Purbasari, Kecamatan Ngadirejo, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Temuan

yang merupakan tiga buah rumah panggung yang terbentuk dari kayu tersebut

diperkirakan berasalah dari sebuah dusun pada zaman Mataram Kuno. Temuan

tersebut berada pada lokasi penambangan pasir seluas dua hektar. Para arkeolog yang

terdiri Baskoro Daru Tjahjono, Sugeng Riyanto, Heri Priswanto, dibantu pendata

Mujiono dan Didik Santosa yang melakukan penelitian pada 14-20 April 2010 di

Situs Liyangan tersebut.

Baskoro Daru Tjahjono (2010) menyatakan “Kami menemukan dua bangunan

rumah dari kayu yang masih lumayan utuh. Satu rumah berdiri di atas talud, satu

rumah lagi baru terlihat atapnya. Kami menduga sebenarnya ada bangunan lain yang

secara tidak sengaja sudah dirusak oleh penambang pasir. Rumah itu adalah rumah

kayu bagian dari pedusunan kuno zaman Mataram Kuno. Kondisi dari rumah tersebut

sudah menjadi arang. Diduga kampung tersebut pada masa lalu tersapu awan panas

akibat letusan Gunung Sindhoro pada abad ke-9 Masehi,”

Penemuan tersebut merupakan penemuan yang spektakuler karena baru

pertama kali ditemukan di Indonesia. Selama ini, arkeolog belum pernah menemukan

rumah kayu masa silam. Karena bangunan kayu pasti sudah lapuk dimakan usia.

Bentuk dari rumah tersebut adalah rumah panggung, berdinding anyaman bambu,

beratap ijuk, dan beralas kayu. Ketebalan alas kayu sekitar 8 sentimeter.

Dalam kajian lain menjelaskan bahwa Arsitektur bangunan rumah tinggal

yang berkembang pada jaman Hindu Budha dapat dibedakan menjadi tiga kelompok

yaitu:

1. Rumah Jawa Kuno, mempunyai ciri-ciri: Konstruksi

bangunan dari kayu yang merupakan tiang berdiri di atas

tanah, mempunyai kolong atau rumah panggung dan tanpa

pemisah ruang.

2. Rumah Majapahit lama, mempunyai ciri-ciri: Konstruksi

bangunan terdiri dari kayu yang berdiri di atas batur dan

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 57: S45673-Rumah Jawa.pdf

45

Universitas Indonesia

masih belum ada pembatas yang permanen. Penutup

atapnya sudah dari genteng. Bangunan semacam ini

berfungsi sebagai pendopo/bale maupun sebagai tempat

tinggal.

3. Rumah akhir Majapahit, mempunyai ciri-ciri: sama dengan

rumah Majapahit Lama namun telah mempunyai pembatas

yang permanen..

Jika kita klasifikasikan rumah Jawa Panggung dalam bentuk dan

ciri-ciri maka berdasarkan data dan informasi yang

didapatkan menjelaskan bahwa rumah Jawa Panggung memiliki

tipologi bentuk yang seperti demikian:

Atap: Berbentuk panggangpe, limasan, tajug atau

kampung. Berbentuk Gunung Meru sesuai dengan

teori dan pemikiran masyarakat pada saat itu.

Penggunaan material pada atap menggunakan

genteng terakota ataupun bahan sederhana yaitu

anyaman bambu dan sejenisnya.

Konstruksi: Karena bentukannya adalah rumah

panggung maka struktur pembangunnya terdiri atas

tiang-tiang besar pada setiap sisinya untuk

menopang atap dan menopang penutup ruangan

(dinding). Penggunaan material dari struktur ini

adalah dengan material kayu dan penutup (dinding)

menggunakan anyaman bambu.

Ruang: ruang yang berada pada rumah masih hanya

berupa ruang dasar dan tidak memiliki pola dan

fungsi secara menyeluruh. Ruang hanya terdiri dari

satu ruang yang seluruh kegiatan dilaksanakan

didalamnya secara bersamaan.

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 58: S45673-Rumah Jawa.pdf

46

Universitas Indonesia

Secara keseluruhan sendiri bahwa dapat disimpulkan rumah Panggung

memiliki bentuk jenis yang bermacam-macam walaupun pada dasarnya rumah Jawa

panggung ini diklasifikasikan berbentuk panggangpe sederhana tanpa pemisah ruang.

Sebuah bangunan yang cukup kokoh, yang termasuk paling tua, dengan

ditemukannya relief pada dinding-dinding candi maupun tempat pemujaan yang lain.

Semua bentuk rumah panggangpe mudah dibuat. Biasanya ringan dan kalau rusak

tidak memerlukan resiko yang besar. Itulah sebabnya kenapa rumah semacam ini

tetap dipertahankan masyarakat Jawa.

Melihat dari fakta yang berada di relief-relief candi maupun penemuan-

penemuan dijelaskan bahwa rumah panggung bermacam jenisnya. Dapat

diklasifikasikan melalui jenis bahwa rumah panggung ini dimiliki oleh masyarakat

yang berstatus/berkasta sosial pada saat itu menengah ke bawah. Untuk kalangan atas

yang dapat kita simpulkan sebagai bangsawan dan sebagainya memiliki tempat

bertinggal yang merupakan istana dengan bentukan yang lebih besar dan lebih

fungsional dan mencakup sebuah area tersendiri yang luas.

Gambar.4.1 Bentukan Rumah Pada Relief-Relief Candi di Jawa.

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 59: S45673-Rumah Jawa.pdf

47

Universitas Indonesia

4.1.1.2 Alasan Bentukan Panggung

Dari penelusuran yang ada, dapat diketahui bahwa jenis rumah Jawa pada

masa Hindu dan Budha adalah rumah kolong atau rumah panggung tersebut. Menurut

Mangunwijaya (2010) ada kekhususan bersama yang dimiliki oleh bangsa-bangsa

yang tersebar luas, yakni perihal teknik pembangunan rumah atau bangunan-

bangunan lain. Sistem dasarnya adalah sistem rumah panggung atau rumah kolong.

Rumah panggung atau rumah kolong merupakan penyelesaian yang berkualitas

tinggi. Pertama, rumah panggung sehat, tidak langsung terkena kelembaban dan

serangan binatang-binatang yang menggangu bahkan membahayakan. Kedua, fisika

bangunan bangunan, hal itu sangat melindungi bangunan terhadap kelembaban tropis

yang amat ganas dan mudah membusukan bangunan yang terbuat dari kayu. Selain

itu, rumah bersistem kolong atau panggung kebal terhadap gempa bumi. Rumah

panggung ini dapat dilihat dalam relief di candi-candi Hindu maupun Budha,

yang artinya bahwa rumah panggung ini sudah berkembang sejak masa Hindu Budha

di Jawa.

4.1.1.3 Ruang dan Penggunaan

Rumah panggung memiliki bentukan ruang yang sederhana. Pada bentukan

dasar yaitu panggangpe ruang tidak memiliki batas atau dapat disebut terbuka dan

tanpa pemisah. Rumah panggung jenis ini hanya memiliki satu ruang yang seluruh

kegiatannya dilakukan didalam ruang tersebut. Rumah panggangpe ini sebenarnya

kemudian dijadikan sebuah rumah yang ruangnya digunakan untuk menjemur barang-

barang seperti daun teh, pati, ketela pohon dan lainnya. Bentukan ruang seperti ini

masih terus terlihat pada zaman Hindu Budha diseluruh rumah tinggal masyarakat.

Masyarakat yang belum memikirkan fungsi sebenarnya dari ruang tersebut hanya

beranggapan bahwa ruang tersebut hanya sebatas sebuah tempat yang digunakan

untuk kebutuhan yang penting yaitu beristirahat dan melakukan kegiatan masak

ataupun kegiatan sederhana lainnya. Yang dapat kita lihat dari perbedaan ruang

tersebut hanyalah dari besarannya. Untuk masyarakat Jawa kasta bawah sampai

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 60: S45673-Rumah Jawa.pdf

48

Universitas Indonesia

dengan menengah cenderung mempunyai rumah dengan besaran ruang yang

mencukupi atau kecil sedangkan untuk kasta menengah ke atas memiliki rumah

dengan ruang yang lebih besar dan lebih fungsional.

Berdasarkan teori dan pemikiran orang Hindu Budha Jawa, ruang rumah yang

mereka tinggali ini walaupun hanya memiliki satu buah ruang dengan segala fungsi

tetapi ruang yang menjulang keatas yaitu ruang dibawah atap yang membentuk

sebuah rongga kearah atas yang lebih tinggi mencerminkan pemikiran dari Gunung

Meru tersebut dan penerapannya kepada rumah tinggal. Pemikiran mengenai

sentralisasi/tengah yang berartikan kosmos juga dapat terlihat dengan posisi atap

yang berbentuk Gunung Meru yang menjulang keatas berada pada titik tengah dari

rumah. Hal itu menjelaskan bahwa orang Jawa tetap akan berlandaskan pada

kepercayaan dan pemikirannya walaupun sesederhana apapun dunia nyata dan fisik

yang mereka tinggali dan jalani.

4.1.2 Rumah Jawa Menapak

4.1.2.1 Massa dan Bentuk

Setelah melihat penjelasan bukti dan fakta-fakta mengenai rumah kolong atau

rumah panggung dari jaman Hindu Budha, kemudian akan dilihat keberadaan dari

rumah Jawa pada jaman Kerajaan Mataram Islam atau lebih tepatnya jaman kerajaan

Ngayogyakarta Hadiningrat. Dalam perkembangannya, artefak rumah Jawa pada

masa Islam yang ada di Yogyakarta sebagai contoh sudah mendapatkan pengaruh dari

kebudayaan Indis. Misalnya penggunaan marmer pada lantai, dinding menggunakan

tembok dan lain-lain. Dari segi elemen estetika pada rumah Jawa jaman kerajaan

Yogyakarta sudah mengenal ragam hias yang dibuat dengan makna-makna dan

simbol-simbol tertentu. Setiap ragam hias mempunyai tempat tersendiri pada bagian

elemen arsitekturalnya. Selain Keraton, di Yogyakarta ternyata masih banyak terdapat

artefak rumah pangeran yang masih berdiri dan berkondisi baik meskipun saat ini

sudah banyak yang beralih fungsi atau dijual dengan pihak luar dengan pertimbangan

biaya perawatan yang sangat tinggi (alasan ekonomis).

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 61: S45673-Rumah Jawa.pdf

49

Universitas Indonesia

Pada periode Islam, rumah Jawa panggung telah beralih ke bentuk rumah

Jawa menapak. Hampir jarang lagi ditemui rumah Jawa dengan sistem rumah kolong

atau panggung pada daerah kota-kota yang berkembang maupun di kota-kota kecil

dan pedesaan. Contoh dari rumah Jawa menapak dapat dilihat pada gambar-gambar

berikut:

Gambar 4.2 Bangunan Rumah Rakyat Biasa

Hamah, S. Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Modern.

http://www.sribd.com/doc/51450427

Gambar 4.3 Rumah Rakyat di Yogyakarta

Hamah, S. Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Modern.

http://www.sribd.com/doc/51450427

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 62: S45673-Rumah Jawa.pdf

50

Universitas Indonesia

Gambar 4.4 Rumah Rakyat Jawa Bentuk Limasan

Hamah, S. Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Modern.

http://www.sribd.com/doc/51450427

Jika dapat kita klasifikasikan rumah Jawa Menapak pada periode Islam

sebagai titik perubahannya dapat diambil bentukannya berdasarkan ciri-ciri tersebut:

Atap: dengan bertambahnya jenis-jenis dari rumah

Jawa dengan itu juga bertambahnya bentukan-bentukan

atap. Seperti bentukan Joglo, Limasan, Panggangpe,

Tajug dan Kampung yang memiliki bentuk atapnya

tersendiri.

Konstruksi: dengan jenis-jenisnya yang berbeda

tersebut maka konstruksinya juga berbeda.

Keterangannya untuk masing-masing jenis rumah Jawa

telah disebutkan diawal.

Ruang: pemikiran masyarakat Islam yang lebih

berkembang membuat rumah Jawa juga ikut

berkembang dari segi ruang. Kali ini ruang terbagi-bagi

dan memiliki fungsinya masing-masing. Seperti yang

telah dijelaskan mengenai bentukan ruang seperti

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 63: S45673-Rumah Jawa.pdf

51

Universitas Indonesia

pringgitan, pendhopo, senthong dll telah terlihat di

rumah Jawa menapak periode Islam.

Walaupun memiliki bentuk dan jeni-jenis yang berbeda yang dapat kita lihat

persamaannya adalah dari segi bentuk atap yang hanya berubah dan bertambah

sedikit tetapi memiliki filosofi yang sama sebagai masyarakat Jawa yaitu bentukan

atap yang berbentuk Gunung Meru yang berarti ide dan pemikiran Jawa masih

tertanam erat walaupun perkembangan berlangsung. Akibat dari perkembangan dan

juga masuknya Islam, rumah Jawa kemudian memiliki filosofi dan maknya dari

setiap ruang-ruangnya yang memiliki berbeda fungsinya tersebut.

4.1.2.2 Alasan Bentuk Menapak

Bentuk menapak ini sebenarnya sudah ada sejak zaman rumah Panggung

masih digunakan. Bentukan menapak berbarengan dengan bentukan panggung, tetapi

apa yang kemudian membuat bentukan menapak lebih dipilih dan digunakan hingga

saat ini adalah melihat dari perkembangan zaman dan semakin berkembangnya

teknologi dan juga pemikiran manusia. Bentukan menapak lebih sedikit

membutuhkan struktur konstruksi dari penggunaan kayu dan lebih kokoh karena

langsung menapak dengan tanah dan dapat menahan beban seberat apapun

didalamnya. Pada periode Islam kita melihat bahwa penggunaan material dari kayu

diutamakan sebagai struktur pembangun arsitekturnya. Dengan kota-kota dan desa

yang sedang berkembang maka berkurangnya lahan juga bertambah dan kota-kota

juga desa semakin padat dengan rumah dan bangunan lainnya. Oleh karena itu

material kayu sangat dibutuhkan untuk setiap pembangunan dan perlu dilakukannya

penyaringan secara efisien dari penggunaan kayu untuk satu individu demi

kepentingan yang lain.

4.1.2.3 Ruang dan Penggunaan

Rumah Jawa Menapak memiliki fungsi dan penggunaan yang sama dengan

rumah Jawa panggung. Rumah dengan bentukan berbeda tersebut sama-sama

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 64: S45673-Rumah Jawa.pdf

52

Universitas Indonesia

dijadikan tempat untuk tinggal dari masyarakat Jawa pada mayoritasnya, sedangkan

untuk fungsi lain beberapa digunakan untuk kegunaan dan kebutuhan lainnya. Pada

masa perubahan yaitu periode Islam kita melihat bahwa terdapat jenis-jenis rumah

Jawa yang dilihat dari bentukan atap dan konstruksinya. Kali ini pemikiran Islam

menyempurnakan bahwa jenis-jenis rumah Jawa tersebut memiliki fungsinya sendiri-

sendiri seperti rumah Jawa Tajug yang kemudian difungsikan sebagai tempat yang

suci atau tempat ibadah bagi umat Islam. Contohnya dapat dilihat pada gambar

berikut:

Gambar 4.5 Masjid Kauman Dalam Bentukan Tajug

http://3.bp.blogspot.com/_l4Qp0JIZocU/SQ7QRFx6yXI/masjid_kauman_1.jp

4.2 Bentuk-Bentuk Perubahan

Bentuk-bentuk perubahan yang dapat kita lihat berdasarkan data-data dan

informasi yang telah dijabarkan adalah bahwa rumah Jawa Panggung merupakan

bentukan rumah yang memiliki konstruksi yang sederhana dengan menggunakan

material kayu. Sedangkan rumah menapak telah mempunyai banyak variasi bentuk,

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 65: S45673-Rumah Jawa.pdf

53

Universitas Indonesia

jenis, konstruksi dan material pembangun. Kita akan melihat perubahan yang terjadi

dari panggung ke menapak dengan klasifikasi seperti berikut:

Atap:

Perubahan pada atap tidak terjadi terlalu banyak melainkan hanya jenis

dan penggunaan materialnya saja yang kemudian bertambah dan

berubah.

Konstruksi:

Penggunaan material kayu dan konstruksi yang cukup rumit dikarenakan

berjenis panggung yang kemudian berubah menjadi

penggunaan bahan dasar konstruksi kayu tetapi banyak penambahan

lain-lainnya seperti unsur estetika pembangun.

Ruang:

Perubahan yang cukup signifikan terlihat pada ruang. Pada periode

Hindu Budha rumah Jawa panggung mayoritas terdiri dari atas satu

ruang yang memiliki fungsi untuk segala kegiatan dari si pemilik

rumah. Berubah pada periode Islam dengan bentukan menapak, rumah

Jawa terlihat memiliki ruang-ruang yang dibagi-bagi menurut

fungsinya masing masing. Dengan itu kemudian muncul ide dan

pemikiran mengenai makna dan filosofi dari setiap ruang-ruang

tersebut.

Estetika

Pada Rumah Jawa Panggung periode Hindu Budha unsur estetika

kurang terlihat disini, mereka menganggap rumah hanya sebuah

tempat untuk beristirahat dan bernaung dan blom berpikir untuk

tahapan yang lebih lanjut. Berubah pada periode Islam dengan

bentukan menapak yang kemudian masukan dari Islam dan bangsa

luar seperti Cina mempengaruhi dalam unsur estetika. Unsur estetika

tersebut dapat terlihat dari penambahan ornament-ornamen penghias

pada rumah seperti pada gambar berikut:

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 66: S45673-Rumah Jawa.pdf

54

Universitas Indonesia

Gambar 4.6 Ornamen Kuda-Kuda pada Rumah Jawa Yogyakarta

Hamah, S. Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Modern.

http://www.sribd.com/doc/51450427

\

Gambar 4.7 Ornamen Pada Langit-Langit Rumah

Hamah, S. Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Modern.

http://www.sribd.com/doc/51450427

Gambar 4.8 Ornamen Pada Kolom

Hamah, S. Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Modern.

http://www.sribd.com/doc/51450427

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 67: S45673-Rumah Jawa.pdf

55

Universitas Indonesia

Gambar 4.9 Ornamen Lisplank

Hamah, S. Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Modern.

http://www.sribd.com/doc/51450427

Perubahan dari Rumah Jawa Panggung ke Menapak juga diilustrasikan

pada gambar berikut menurut seorang ahli:

Gambar 4.10. Perubahan Rumah Jawa Panggung ke Menapak

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 68: S45673-Rumah Jawa.pdf

56

Universitas Indonesia

Jika dilihat dari ilustrasi diatas, jelas menjelaskan bahwa rumah Jawa

berubah dari bentuk panggung ke menapak dan terlihat jelas bagaimana

bentuk atap berubah dari mulai panggangpe, limasan, tajug, kampung dan

joglo.

Gambar 4.11. Perkembangan Arsitektur Tradisional Jawa

Hamah, S. Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Modern.

http://www.sribd.com/doc/51450427

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 69: S45673-Rumah Jawa.pdf

57

Universitas Indonesia

4.3 Faktor Pendukung Perubahan Bentuk Panggung ke Menapak

Perubahan massa bentuk dan ruang yang terjadi pada rumah Jawa dari periode

Hindu-Budha kemudian periode Islam dan kedalam periode modern dapat kita lihat

dan jelaskan dari beberapa faktor. Pengaruh besar dari perubahan jaman tersebut

mempengaruhi pemikiran masyarakat Jawa yang kemudian mempengaruhi bentuk

rumah dan juga arsitektur yang ada pada jamannya masing-masing.

Sejumlah ahli yakin bahwa bentuk rumah tradisional Jawa dari waktu ke

waktu selalu mengalami perubahan seperti perubahan yang dialami dari bentukan

panggung ke menapak ini dan juga seluruh perubahan fisiknya. Hal itu disebabkan

kebutuhan termasuk “kunci” dalam hidup ini yang semakin berkembang sehingga

membutuhkan tempat yang luas pula. Kemudian secara wajar berkembang juga

kebudayaan (Ismunandar, 1987).

Dapat kita jelaskan lebih lanjut mengenai faktor pendukung perubahan seperti

berikut:

Alam dan Lingkungan

Pada periode Hindu Budha alam dan lingkungan masih cenderung luas

dan terbuka, belum banyak bangunan-bangunan yang dibangun

sehingga kondisi dan jumlah hutan dapat disebutkan masih banyak.

Bentuk panggung dibangun pada saat itu karena kondisi alam dan

lingkungan yang masih liar dan ganas. Banyak terjadi bencana seperti

banjir dll juga masih banyaknya terdapat hewan buas yang berkeliaran

di alam. Pada periode Islam pertambahan dan perkembangan

penduduk semakin pesat sehingga lahan-lahan dan hutan habis digarap

untuk memenuhi kebutuh manusia akan infrastruktur fisik. Posisi dari

bangunan-bangunan mulai banyak dan berhimpitan dan bencana-

bencana pun dapat ditangani dengan sistem-sistem dan teknik yang

baru. Populasi hewan liar juga mulai merosot dan pindah ke hutan

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 70: S45673-Rumah Jawa.pdf

58

Universitas Indonesia

yang lebih dalam sehingga rumah jenis panggung tidak lagi terlalu

dibutuhkan

Material

Rumah Jenis panggung membutuhkan banyak material konstruksi berupa

kayu agar dapat berdiri kokoh dan dapat menahan bebannya. Dengan

berkurangnya lahan dan juga pohon dan bertambahnya populasi penduduk

yang semakin membutuhkan rumah tinggal membuat penggunaan material

kayu harus semakin di efisienkan. Karena rumah jenis panggung

membutuhkan banyak kayu maka dari itu ini juga menjadi salah satu faktor

perubahan menjadi landed yang membutuhkan lebih sedikit kayu

dan dapat menggunakan bahan lain sebagai pembangun rumah.

Pemikiran/Ideologi

Masyarakat Hindu Budha memiliki teori dan kepercayaan akan raja

sebagai poros dunia dan gunung sebagai tempat dari para dewa/dewi berada.

Mereka berpikir bahwa pada periode tersebut yang masih hidup di

dalam kuasa kasta memberikan manusia stratifikasi sosial yang berbeda.

Dengan pemikiran seperti ini kemudian lanjut kepada faktor rumah.

Mereka berpikir bahwa raja dan bangsawan berada pada kasta tertinggi

dan berhak menentukan dan membawa kehidupan mereka ke tingkat yang

lebih baik. Masyarakat berpikir bahwa dengan pembedaan bentuk rumah

yang menyangkut hal kasta dan ekonomi dengan membuat bentukan

panggung sederhana merupakan standar yang sesuai. Pada periode Islam

berpikir bahwa manusia mempunyai hak yang sama dan tidak dibeda-

bedakan, seluruh rumah panggung berubah menjadi bentuk menapak dan

mereka semua tinggal di dalam lingkungan yang sama tanpa adanya

batasan-batasan wilayah.

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 71: S45673-Rumah Jawa.pdf

59

Universitas Indonesia

Kepercayaan

Masyarakat Jawa Hindu Budha percaya mengenai hal-hal yang bersifat

gaib/takhayul/mistis. Kepercayaan tersebut sebenarnya ada pengaruhnya

kedalam rumah. Diperlihatkan bahwa pada periode Hindu Budha bentuk

rumah sederhana dengan ruang sederhana dan berubah kepada bentuk

rumah yang lebih kompleks dan juga ruang yang lebih banyak dan

fungsional. Kepercayaan tersebut dibawa pada periode Islam seperti pada

penempatan ruangan baru yaitu ruang senthong tengah yang berfungsi

sebagai tempat untuk menyembah dan bersyukur kepada Dewi Sri.

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 72: S45673-Rumah Jawa.pdf

60 Universitas Indonesia

BAB V

KESIMPULAN

Pengaruh religi yang juga datang di Indonesia dan masuk ke Jawa pada

periode yang berbeda-beda telah membuat banyak perubahan. Perubahan-perubahan

ini disebabkan karena adanya ajaran dan paradigma baru mengenai religi dan

kepercayaan yang kemudian menjadi landasan bagi mayoritas masyarakat Jawa.

Perubahan paradigma tersebut yang kemudian mengacu kepada pola berpikir dan

kebiasaan masyarakat Jawa kemudian membawa pengaruh yang cukup besar kedalam

arsitektur terutama tempat tinggalnya masyarakat itu sendiri yaitu rumah Jawa.

Rumah Jawa yang tidak hanya merupakan sebuah bentukan fisik dari sebuah

tempat untuk manusia bernaung tetapi rumah Jawa mempunyai sebuah filosofi

mendalam mengenai apa itu rumah bagi masyarakat Jawa. Rumah Jawa disini

mencerminkan dan memberikan sebuah gambaran ide tentang masyarakat Jawa

secara keseluruhan tetapi juga secara individu.

Perubahan dari rumah Jawa itu sendiri terjadi dari beberapa banyak faktor

yang lebih detil. Seperti yang telah dijelaskan masyarakat Jawa pada periode Hindu

Budha memiliki rumah Jawa berbentuk panggung dengan bentukan jenis rumah Jawa

yang sederhana dan mempunyai pola ruang yang sederhana. Kondisi lingkungan pada

saat itu yang masih rawan bencana seperti banjir, erosi dan juga serangan hewan buas

merupakan salah satu faktor yang menentukan terbangunnya rumah Jawa berjenis

panggung. Transisi masyarakat Jawa pada periode Islam dengan paradigma dan

kepercayaan yang baru mengubah jalan berpikir dan juga pengetahuan dari

masyarakat yang kemudian diaplikasikan kepada rumah Jawa. Rumah yang

berbentuk panggung telah ditinggalkan ke bentuk menapak dikarenakan beberapa

faktor seperti bahan material bangunan yang sudah sulit, ideologi kepercayaan yang

baru, pengetahuan yang baru dengan pengaruhnya ke perluasan dan penambahan

estetika fisik rumah. Pada transisi periode Islam ke periode modern justru rumah

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 73: S45673-Rumah Jawa.pdf

61

Universitas Indonesia

Jawa banyak ditinggalkan. Pengaruh datangnya bangsa asing seperti Belanda,

Spanyol dan Portugis membawa filosofi baru bagi masyarakat Jawa, pengaruh jajahan

dan pengaruh budaya Barat yang kuat membuat rumah Jawa banyak ditinggalkan

menjadi rumah-rumah yang memiliki pengaruh Indis. Hanya dibeberapa tempat dapat

kita temui rumah Jawa yang tidak terpengaruh budaya luar dan filosofi baru.

Dari yang kita ketahui perubahan terjadi akibat banyaknya faktor-faktor besar

yang didukung juga oleh faktor-faktor kecil yang membuat rumah Jawa berubah

bentukannya dimulai dari panggung ke menapak dan kemudian berpengaruh kepada

perubahan penggunaan material, perubahan bentuk atap, bentuk konstruksi, bentuk

pola ruang merupakan sebuah bentukan yang mengikut filosofi, paradigma dan jalan

berpikir dari masyarakat Jawa. Rumah merupakan satu kesatuan dengan masyarakat

sehingga apa yang terjadi dengan masyarakat juga akan terjadi kepada rumah.

Walaupun bentuk berubah tetapi rumah tersebut tetap membawa filosofi kuat Jawa

yang telah turun-temurun dan tidak akan pernah lepas dari masa ke masa.

Walaupun rumah masyarakat Jawa berubah secara fisik dan beberapa

pemikiran non-fisik mengikuti perkembangan zaman yang ada, tetapi ada baiknya

jika unsur filosofi dan pemikiran masyarakat Jawa yang telah ada turun temurun

untuk terus dibawa dan dipertahankan kedalam rumah. Dengan mempertahankan

tersebut berarti membudidayakan warisan nenek moyang dan memperlihatkan ciri

khas dari orang Jawa yang tidak bias lepas dari kehidupannya.

Penelitian mengenai Rumah Jawa: Evolusi Dari Panggung ke Menapak ini

tidak luput dari kekurangan dan kesalahan dan masih jauh dari sempurna. Dalam

perjalanan menulis, banyak hal baru yang berhubungan tetapi harus dikaji lebih lanjut

dalam penjelasannya sendiri. Untuk penelitian yang dibahas disini hanya sebatas

demikian dan ada kiranya perlu dikaji lagi lebih dalam dan dapat dilanjutkan ke

tahapan yang selanjutnya.

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 74: S45673-Rumah Jawa.pdf

62 Universitas Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

Aditya. (2012, Februari 28). Wawancara Personal.

Argan,G.C. (1965). Typology of Architecture: Introduction (pp.240 1965).

Arjaya, I Made.W. (1999, Januari). Pengaruh Pariwisata Terhadap Pola Ruang Bale

Banjar, Depok.

Bahn, Paul. (1996). Archaeology: A Very Short Introduction. Oxford: Oxford

University Press

Budiyanto. (2011). Pengaruh Islam dalam Praktek Keagamaan dan Budaya.

November 2, 2011.

http://budisma.web.id/materi/sma/sejarah-kelas-xi/pengaruh-islam-budaya-

keagamaan/

Cornelis,V.D.E. (1980) Space in Architecture, The Evaluation of a new idea in the

Theory and History of Modern Movement. Amsterdam: Van Groclun.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. (1998). Arsitektur Tradisional Daerah

Jawa Barat. Jakarta: CV. Pialamas Permai.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. (1999). Arsitektur Tradisional Daerah

Istimewa Yogyakarta. Jakarta: CV.Palamas Permai.

Djafar, Hasan. (2009). Masa Akhir Majapahit: Girindrawarddhana dan Masalahnya.

Jakarta: Komunitas Bambu.

Geertz, Clifford. (1976). The Religion of Java. Chicago: University of Chicago Press.

Hole, Frank & Heizer, Robert. (1990). Arkeologi Prasejarah: Satu Pengenalan

Ringkas. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 75: S45673-Rumah Jawa.pdf

63

Universitas Indonesia

Ismunandar, K. (1987). Joglo: Arsitektur Rumah Tradisional Jawa. Semarang:

Dahara Prize.

Johnson.P.A. The Theory of Architecture : Concepts, Themes & Practices (pp.383).

Kamus Etimologi Bahasa Indonesia

Khairuddin. (2008). Pendidikan di Masa Kerajaan Hindu Budha. Juli 20, 2008.

http://khairuddinhsb.wordpress.com/2008/07/20/pendidikan-di-masa-

kerajaan-hindu-budha/

Language Institue of America.Inc. (1977). The Lexicon Webster Dictionary, The

English.

Lombard, Denys. (2008). Nusa Jawa: Silang Budaya Jaringan Asia. Jakarta: PT

Gramedia Pustaka Utama.

Lombard, Denys. (2008). Nusa Jawa: Silang Budaya Batas-Batas Pembaratan.

Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Lombard, Denys. (2008). Nusa Jawa: Silang Budaya Warisan Kerajaan-Kerajaan

Konsentris. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Martino, D.N. (2010). Jejak-Jejak Rumah Jawa Dalam Tradisi Indonesia Lama.

Muljana, Slamet. (2005). Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-

Negara Islam di Nusantara. Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara.

Munandar, Agus Aris. (2008) Ibukota Majapahit, Masa Kejayaan dan Pencapaian.

Jakarta: Komunitas Bambu.

Munitz, M.K. (1981). Space, Time and Creation : Phylosophical Aspect of Scientific

Cosmology (pp.105-107). Dover, New York.

Periplus Editions (HK) Ltd. (2003). Introduction to Balinese Architecture. Singapore:

Periplus.

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 76: S45673-Rumah Jawa.pdf

64

Universitas Indonesia

Prijotomo, Josef. (1984). Ideas and Forms of Javanese Architecture. Yogyakarta:

Gajah Mada University Press.

Prijotomo, Josef. (1995). Petungan: Sistem Ukuran Dalam Arsitektur Jawa.

Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Prijotomo, J., Widyarta, Nanda.M, Hidayat, A. & Adiyanto, Johanes. (2009). Ruang di

Arsitektur Jawa: Sebuah Wacana. Surabaya: Wastu Lanas Grafika.

Riana, I Ketut. (2009). Nagara Krtagama: Masa Keemasan Majapahit. Jakarta: PT

Kompas Media Nusantara.

Rossi, Aldo. (2002). The Architecture of the City. Massachusetts: The MIT Press.

Sagrim, H. (2010). Perkembangan Rumah Jawa. Maret 23, 2011.

http://www.scribd.com/doc/51450427/PERKEMBANGAN-RUMAH-JAWA-

HAMAH-SAGRIM-SAFCOM.

Santoso, Jo. (2008). Arsitektur-kota Jawa Kosmos, Kultur & Kuasa. Jakarta:

Centropolis – Magister Teknik Perencanaan Universitas Tarumanagara.

Sharer, Robert.J & Ashmore, Wendy. (1980). Fundamentals of Archaeology.

Califorinia: The Benjamin/Cummings Publishing Company.

Tirto, S & Darmawan, W. (). Proses dan Penyebaran Hindhu-Budha di Indonesia,

Sejarah Kelas XI.

Wiryomartono. Bagoes P. (1995). Seni Bangunan dan Seni Binakota di Indonesia.

Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 77: S45673-Rumah Jawa.pdf

65 Universitas Indonesia

LAMPIRAN

Bentuk dan Jenis-Jenis Rumah Jawa

Bentuk rumah tradisional Jawa dari waktu ke waktu selalu mengalami

perubahan bentuk. Secara garis besar tempat tinggal orang Jawa dapat dibedakan

menjadi:

1. Rumah Bentuk Joglo

2. Rumah Bentuk Limasan

3. Rumah Bentuk Kampung

4. Rumah Bentuk Masjid dan Tajug atau Tarub

5. Rumah Bentuk Panggang-Pe

Rumah Joglo

Dibandingkan 4 bentuk lainnya, rumah bentuk Joglo merupakan rumah Joglo

yang dikenal masyarakat pada umumnya. Rumah Joglo kebanyakan hanya dimiliki

oleh mereka yang mampu. Hal ini desebabkan bahwa rumah dalam bentuk Joglo

membutuhkan bahan bangunan yang lebih banyak dan mahal daripada rumah bentuk

lainnya. Masyarakat Jawa pada masa lampau menganggap bahwa rumah Joglo tidak

boleh dimiliki oleh orang kebanyakan, tetapi rumah Joglo hanya diperkenankan untuk

rumah tinggal dari kaum bangsawan, istana raja, dan pangeran, serta orang yang

terpandang atau dihormati oleh sesamanya saja. Dewasa ini rumah Joglo digunakan

oleh segenap lapisan masyarakat dan juga untuk berbagai fungsi lainnya, seperti

gedung pertemuan dan kantor-kantor.

Banyak kepercayaan yang menyebabkan masyarakat Jawa tidak mudah untuk

membangun rumah Joglo. Rumah bentuk Joglo selain membutuhkan bahan yang

lebih banyak , juga membutuhkan pembiayaan yang besar, terlebih jika rumah

tersebut mengalami kerusakan dan perlu diperbaiki.

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 78: S45673-Rumah Jawa.pdf

66

Universitas Indonesia

Kehidupan ekonomi seseorang yang mengalami pasang surut pun turut

berpengaruh, terutama setelah terjadi pergeseran keturunan dari kedua orang tua

kepada anaknya. Jika keturunan seseorang yang memiliki rumah bentuk Joglo

mengalami penurunan tingkat ekonomi dan harus memperbaiki serta harus

mempertahankan bentuknya, berarti harus menyediakan biaya secukupnya. Ini akan

menjadi masalah besar bagi orang tersebut. Hal ini disebabkan adanya suatu

kepercayaan, bahwa pengubahan bentuk Joglo pada bentuk yang lain merupakan

pantangan sebab akan menyebabkan pengaruh yang tidak baik atas kehidupan

selanjutnya, misalnya menjadi melarat, mendatangkan musibah, dan sebagainya.

Gambar 3.1 Rumah Joglo Jompongan Gambar 3.2 Rumah Joglo Kepuh Lawakan

Pada dasarnya, rumah bentuk Joglo berdenah bujur sangkar. Pada mulanya

bentuk ini mempunyai empat pokok tiang di tengah yang telah disebutkan yaitu saka

guru, dan digunakan blandar bersusun yang disebut tumpangsari. Blandar

tumpangsari ini bersusun ke atas, makin ke atas makin melebar. Jadi awalnya hanya

berupa bagian tengah dari rumah bentuk Joglo jaman sekarang. Perkembangan

selanjutnya, diberikan tambahan-tambahan pada bagian-bagian samping, sehingga

tiang di tambah menurut kebutuhan dari pemilik. Selain itu bentuk denah juga

mengalami perubahan menurut penambahannya. Perubahan-perubahan tadi ada yang

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 79: S45673-Rumah Jawa.pdf

67

Universitas Indonesia

hanya bersifat sekedar tambahan biasa, tetapi ada juga yang bersifat perubahan

konstruksi.

Dari perubahan-perubahan tersebut timbulah bentuk-bentuk rumah Joglo yang

beraneka macam dengan namanya masing-masing. Adapun, jenis-jenis Joglo yang

ada, antara lain:

1. Rumah Joglo Jompongan

2. Rumah Joglo Kepuhan Lawakan

3. Rumah Joglo Ceblokan

4. Rumah Joglo Kepuhan Limosan

5. Rumah Joglo Sinom Apitan

6. Rumah Joglo Pengrawit

7. Rumah Joglo Kepuhan Awitan

8. Rumah Joglo Semar Tinandu

9. Rumah Joglo Lambangsari

10. Rumah Joglo Wantah Apitan

11. Rumah Joglo Hageng

12. Rumah Joglo Mangkurat

(Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1998)

Rumah Limasan

Bentuk pokok lainnya adalah bentuk bangunan yang disebut “Limasan”.

Bentuk bangunan ini merupakan perkembangan kelanjutan bentuk bangunan yang

ada sebelumnya. Kata “Limasan” ini diambil dari kata “lima-lasan”, yakni

perhitungan sederhana penggunaan ukuran-ukuran: “molo” 3 m dan “blandar” 5 m.

Akan tetapi apabila “molo” 10 m, maka “blandar” harus memakai ukurang 15 m

(“limasan”=limabelas=15). Dalam perkembangan berikutnya bentuk bangunan

“limasan” ini mempunyai bentuk variasinya.

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 80: S45673-Rumah Jawa.pdf

68

Universitas Indonesia

Gambar 3.3 Rumah Limasan

Jenis-jenisnya antara lain:

1. Rumah Limasan Lawakan

2. Rumah Limasan Gajah Ngombe

3. Rumah Limasan Gajah Njerum

4. Rumah Limasan Apitan

5. Rumah Limasan Klabang Nyander

6. Rumah Limasan Pacul Gowang

7. Rumah Limasan Gajah Mungkur

8. Rumah Limasan Cere Gancet

9. Rumah Limasan Apitan Pengapit

10. Rumah Limasan Lambang Teplok

11. Rumah Limasan Semar Tinandhu

12. Rumah Limasan Trajumas Lambang Gantung

13. Rumah Limasan Trajumas

14. Rumah Limasan Trajumas Lawakan

15. Rumah Limasan Lambangsari

16. Rumah Limasan Sinom Lambang Gantung Rangka Kutuk Ngembang

(Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1998)

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 81: S45673-Rumah Jawa.pdf

69

Universitas Indonesia

Rumah Kampung

Bangunan lain yang setingkat lebih sempurna dari “panggangpe” adalah

bentuk bangunan yang disebut “kampong”. Bangunan pokoknya terdiri dari “saka-

saka” yang berjumlah 4,6 atau bias juga 8 dan seterusnya. Tetapi biasanya hanya

memerlukan 8 “saka”. Sedang atap terdapat pada dua belah sisinya dengan satu

bubungan atau wuwung seperti halnya bentuk “panggangpe”, bentuk bangunan

“kampung” inipun dalam perkembangannya mengenal beberapa variasi. Sehingga

dari bentuknya yang sederhana ini kita mengenal bentuk bangunan “kampung” jenis

lainnya yaitu:

1. Rumah Kampung Pacul Gowang

2. Rumah Kampung Srotong

3. Rumah Kampung Dara Gepak

4. Rumah Kampung Klabang Nyander

5. Rumah Kampung Lambang Teplok

6. Rumah Kampung Lambang Teplok Semar Tinandhu

7. Rumah Kampung Gajah Njerum

8. Rumah Kampung Cere Gancet

9. Rumah Kampung Semar Pinondhong

Gambar 3.4 Kampung Pacul Gowang Gambar 3.5 Kampung Srotong

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 82: S45673-Rumah Jawa.pdf

70

Universitas Indonesia

Rumah Masjid atau Tajug

Langgar dan Masjid merupakan dua tempat ibadah atau tempat pemujaan

yang jumlahnya cukup banyak. Ada beberapa masjid ini yang dibuat dengan

arsitektur tradisional, tetapi ada yang dibuat dengan mempergunakan arsitektur barat.

Hal ini tergantung pada selera masyarakat atau nilai budaya setempat. Tetapi menurut

pengamatan, sebagian besar masjid ini dibuat dengan arsitektur tradisional dengan

bangunan berbentuk “tajug”

Seperti halnya tipologi bangunan lain, masjid memiliki tipologi bujur sangkar

atau persegi panjang, ada bangunan pokoknya dan ada bangunan tambahan, misalnya

“emper” atau teras. Yang mempergunakan “emper” ini biasanya bangunan lebih besar

atau karena umatnya berkembang banyak, sedangkan tempat itu tidak dapat

menampung lagi.

Pada dasarnya, bentuk “tajug” ini hamper sama dengan bangunan “joglo”,

bedanya bentuk bangunan “tajug” tidak memiliki “molo”, jadi atapnya tidak

“brunjung” tetapi lancip atau runcing. Atap dibuat demikian diartikan sebagai

lambang keabadian Tuhan dan keesaan tuhan. Bangunan ini menggunakan saka guru

sebanyak 4 buat, atapnya 4 belah sisi. Bangunan tajug ini memiliki variasi seperti

bangunan lainnya, yaitu sebagai berikut:

1. Tajug Lawakan

2. Tajug Lawakan Lambang Teplok

3. Tajug Semar Tinandhu

4. Tajug Lambang Gantung

5. Tajug Semar Sinongsong Lambang Gantung

6. Tajug Mangkurat

7. Tajug Ceblokan

Rumah Pemujaan seperti sudah disinggung di muka, terdiri atas masjid. Adapun

susunan ruangan yang ada di dalam masjid adalah:

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 83: S45673-Rumah Jawa.pdf

71

Universitas Indonesia

Mikrab: atau disebut pula pengimaman. Terletak di sebelah barat

bangunan; bentuknya menonjol.

Liwan: ruang besar memanjang di dalam bangunan, mendominasi seluruh

bangunan. Terletak di tengah.

Serambi: “emper” terletak di bagian depan bangunan. Bentuknya

“kampung” atau “limasan”

Ruang Wudhu: ruangan air pembersih, terletak di sebelah kanan “emper”.

Sudah dikemukakan di atas, bahwa bangunan pemujaan itu mempunyai pola

susunan ruangan. Di dalam ruangan tersebut mempunyai fungsinya yang tersendiri

yang berhubungan erat dengan perbuatan sacral. Fungsi tiap-tiap ruangan itu adalah:

Mikrab: atau pengimanan untuk chotib yang memimpin upacara/ibadah

Liwan: ruangan untuk seluruh umat yang mengikuti ibadah.

Serambi: atau emper dapat digunakan untuk tempat ibadah juga seperti

liwan bila tempat ini penuh sesak.

Ruang Wudhu: tempat pembersih sebelum umat melakukan sembahyang.

Di dalam ruang ini terdapat air mengalir yang bersih yang kalau di desa-

desa detempatkan di padasan atau kolam.

Untuk bangunan rumah Masjid ini baru berada dan dibangun pada mulai abad

ke-13 dan seterusnya. Bangunan Masjid yang berfungsi sebagai tempat untuk ibadah

ini mulai ada pada saat masyarakat Jawa telah menganut ajaran dan kepercayaan

agama Islam (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1998).

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 84: S45673-Rumah Jawa.pdf

72

Universitas Indonesia

Gambar 3.6 Masjid atau Tajug dalam bentuk Masjid Demak

Rumah Panggangpe

Rumah panggangpe merupakan bentuk bangunan yang paling sederhana dan

bahkan merupakan bentuk dasar. Bangunan panggangpe ini merupakan bangunan

pertama yang dipakai orang untuk berlindung dari gangguan angin, dingin, panas

matahari dan hujan. Bangunan yang sederhana ini bentuk pokoknya mempunyai tiang

atau saka sebangan 4 atau 6 buah. Sedang pada sisi-sisi kelilingnya diberi

dinding sekedar penahan hawa lingkungan sekitar. Rumah jenis panggangpe ini

hanya dipakai masyarakat Jawa untuk warung, gubug ditengah sawah untuk mengusir

burung dan rumah kecil di tengah pasar untuk berjualan. Bangunan bentuk ini dalam

bentuk yang besar biasanya berupa gudang di pelabuhan maupun di stasiun-stasiun.

Dalam perkembangan berikutnya bentuk bangunan panggangpe ini mempunyai

beberapa variasi bentuk yang lain, yaitu seperti berikut:

1. Panggangpe Gedhang Selirang

2. Panggangpe Empyak Setangkep

3. Panggangpe Gedhang Setangkep

4. Panggangpe Ceregancet

5. Panggangpe Trajumas

6. Panggangpe Barengan

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012

Page 85: S45673-Rumah Jawa.pdf

73

Universitas Indonesia

Gambar 3.7 Rumah Panggangpe Pokok

Dari macam-macam jenis rumah Jawa yang telah disebutkan apabila diadakan

penggabungan antara 5 macam bangunan maka terjadi berbagai macam bentuk rumah

Jawa. Menurut pandangan hidup masyarakat Jawa , bentuk-bentuk rumah mempunyai

sifat dan penggunaannya sendiri-sendiri. Misalnya bentuk rumah Jawa Tajug,

bangunan dengan bentuk seperti itu selalu digunakan sebagai tempat suci seperti

tempat beribadah seperti Masjid, makam dan tempat raja bertahta sehingga itu

berpengaruh kepada masyarakat Jawa dengan strata derajat yang lebih rendah tidak

mungkin untuk membangun rumah dengan membuat seperti bentuk Tajug. Rumah

yang lengkap sering memiliki bentuknya dan penggunaan yang tertentu, antara lain

adalah: (Hamah Sagrim, 2010)

Pintu Gerbang : Bentuk Kampong

Pendopo : Bentuk Joglo

Pringgitan : Bentuk Limasan

Dalem : Bentuk Joglo

Gandhok (kiri-kanan) : Bentuk Pacul Gowang

Dapur : Bentuk kampong, dll

Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012