rukn

102
REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR: 1213 K/31/MEM/2005 TENTANG RENCANA UMUM KETENAGALISTRIKAN NASIONAL DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL JAKARTA, 25 April 2005 www.djlpe.go.id

Upload: nury-rinjani

Post on 26-Oct-2015

70 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

RUKN

TRANSCRIPT

  • REPUBLIK INDONESIA

    KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR: 1213 K/31/MEM/2005

    TENTANG

    RENCANA UMUM KETENAGALISTRIKAN NASIONAL

    DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL JAKARTA, 25 April 2005

    www.djlpe.go.id

  • MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA

    KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAY A MINERAL

    NOMOR: 1213 K/31/MEM/2005

    TENTANG RENCANA UMUM KETENAGALlSTRIKAN NASIONAL

    MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL,

    Menimbang : a. bahwa dalam rangka penyediaan tenaga listrik yang cukup, merata, andal, dan berkesinambungan bagi seluruh masyarakat perlu adanya perencanaan umum ketenagalistrikan nasional yang terpadu dengan memperhatikan berbagai pemikiran dan pandangan yang hidup dalam masyarakat serta aspirasi daerah dalam sektor ketenagalistrikan;

    b. bahwa Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional sebagaimana

    ditetapkan dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 0954 K/30/MEM/2004 tanggal 15 April 2004, tidak sesuai lagi dengan perkembangan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagalistrikan;

    c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf

    a dan b, dan sesuai ketentuan Pasal 3 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1989 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1989 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik, perlu menyempurnakan dan menetapkan kembali Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional dalam suatu Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral;

    Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan

    (Lembaran Negara RI Tahun 1985 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3317);

    2. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

    (Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4437);

    3. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1989 tentang Penyediaan dan

    Pemanfaatan Tenaga Listrik (Lembaran Negara RI Tahun 1989 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3394), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1989 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik (Lembaran Negara RI Tahun 2005 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4469);

  • - 2 -

    4. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara RI Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3952);

    5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 187/M Tahun 2004 tanggal 20 Oktober 2004;

    6. Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 150 Tahun 2001 tanggal 2 Maret 2001 jo. Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1915 Tahun 2001 tanggal 23 Juni 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral;

    MEMUTUSKAN :

    KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL TENTANG RENCANA UMUM KETENAGALlSTRIKAN NASIONAL.

    Menetapkan : KESATU : Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional, selanjutnya disebut RUKN

    adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan Menteri ini.

    KEDUA : RUKN sebagaimana dimaksud dalam Diktum Kesatu digunakan sebagai pedoman bagi Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Pelaku Usaha dalam membuat kebijakan, melaksanakan pengembangan dan pembangunan ketenagalistrikan.

    KETIGA : RUKN sebagaimana dimaksud dalam Diktum Kesatu dapat ditinjau kembali setiap tahun sesuai dengan perkembangan keadaan.

    KEKEMPAT : Dengan ditetapkannya Keputusan Menteri ini, Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 0954 K/30/MEM/2004 tanggal 15 April 2004 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

    KELIMA : Keputusan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

    Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 25 April 2005

    MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL Tembusan : 1. Menteri Dalam Negeri 2. Menteri Negara Perencanaan Pembangunan NasionallKepala Bappenas 3. Sekretaris Jenderal Dep. Energi dan Sumber Daya Mineral 4. lnspektur Jenderal Dep. Energi dan Sumber Daya Mineral 5. Para Direktur Jenderal di lingkungan Dep. Energi dan Sumber Daya Mineral 6. Para Kepala Badan di lingkungan Dep. Energi dan Sumber Daya Mineral 7. Para Gubernur di seluruh Indonesia 8. Para BupatilWalikota di seluruh Indonesia 9. Direktur Utama PT PLN (Persero)

  • i

    SAMBUTAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

    Sesuai amanat pasal 5 Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan pemerintah wajib menyusun Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN), selanjutnya sesuai ketentuan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1989 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan T enaga Listrik sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2005, RUKN tersebut ditetapkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. RUKN ini berisikan tentang perkiraan kebutuhan tenaga listrik untuk kurun waktu sepuluh tahun ke depan, potensi sumber energi primer di berbagai daerah atau yang dapat dimanfaatkan untuk pembangkit tenaga listrik, sasaran dan rencana penyediaan tenaga listrik serta kebutuhan investasi. RUKN ini dapat memberikan informasi secara luas tentang kebijakan Pemerintah dalam perencanaan ketenagalistrikan, dan wajib menjadi acuan bagi Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK) dan pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Umum (PIUKU) untuk menyusun Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) dalam rangka memenuhi kebutuhan tenaga listrik di dalam wilayah usahanya masing-masing. RUPTL tersebut agar disampaikan sebulan setelah RUKN ini ditetapkan. Sesuai dengan perkembangan penyediaan tenaga listrik, RUKN ini akan dimutakhirkan secara berkala setiap tahun sehingga masukan seluruh stakeholder sektor ketenagalistrikan sang at diperlukan untuk penyusunan RUKN 2006 - 2016.

    Jakarta,25 April 2005 MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

  • ii

    DAFTAR ISI Sambutan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral i Daftar Isi ii Daftar Tabel v Daftar Lampiran vi BAB I. PENDAHULUAN 1

    1. Latar Belakang 1 2. Visi dan Misi Sektor Ketenagalistrikan 1 3. Tujuan Penyusunan RUKN 2 4. Landasan Hukum RUKN 2

    BAB II. KEBIJAKAN SEKTOR TENAGA LISTRIK 3

    1. Perkembangan Kebijakan Sektor Tenaga Listrik 3 2. Kebijakan Penyediaan Sektor Tenaga Listrik 4 3. Tarif 4 4. Kebijakan Pemanfaatan Energi Baru untuk Pembangkitan Tenaga Listrik 5 5. Penanganan Listrik Desa dan Misi Sosial 5 6. Kebijakan Lindungan Lingkungan 6 7. Standarisasi, Keamanan dan Keselamatan serta Pengawasan 6 8. Manajemen Permintaan dan Penyediaan Tenaga Listrik 7

    BAB III. KONDISI KELISTRIKAN 8

    1. Pulau Sumatera Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) 8 Provinsi Sumatera Utara 8 Provinsi Sumatera Barat 9 Provinsi Riau 9 Provinsi Jambi 9 Provinsi Sumatera Selatan 9 Provinsi Bengkulu 10 Provinsi Lampung 10 Provinsi Kepulauan Bangka Belitung 10 Batam 10

    2. Pulau Jawa dan Bali Provinsi Bali 11 Provinsi Jawa Timur 11 Provinsi Jawa Tengah dan DIY 11 Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten 12 Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta dan Tangerang 12

    3. Pulau kalimantan Provinsi Kalimantan Timur 12 Provinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan 12 Provinsi Kalimantan Barat 13

  • iii

    4. Pulau Sulawesi Provinsi Sulawesi Utara 13 Provinsi Sulawesi Tengah 13 Provinsi Gorontalo 14 Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara 14

    5. Kepulauan Nusa Tenggara Provinsi Nusa Tenggara Barat 14 Provinsi Nusa Tenggara Timur 15

    6. Pulau Maluku Provinsi Maluku dan Maluku Utara 15

    7. Papua 15

    8. Kondisi Sistem Penyaluran Tenaga Listrik 15

    BAB IV. RENCANA PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK 17

    1. Prakiraan Kebutuhan Tenaga Listrik 17 2. Sarana Penyediaan Tenaga Listrik 18

    Pembangkit 18 Pengembangan Penyaluran 19 Pengembangan Distribusi 20

    3. Produksi dan Kebutuhan Energi Primer untuk Pembangkit 20 4. Prakiraan Kebutuhan Dan Penyediaan Tenaga Listrik Secara Regional 21

    A. Jawa-Bali 21 Jawa Madura - Bali 21 Sistem Jawa Madura - Bali 21

    B. Sumatera 22 Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) 22 Provinsi Sumatera Utara 22 Provinsi Sumatera Barat 22 Provinsi Riau 23 Kelistrikan S2JB 23 Provinsi Lampung 23 Neraca Daya Sistem Sumatera 23 Kelistrikan Bangka Belitung 24 Batam 24

    C. Kalimantan 25 Provinsi Kalimantan Barat 25 Provinsi Kalimantan Timur 25 Kelistrikan Kalimantan Selatan dan Tengah 26

    D. Sulawesi 26 Provinsi Sulawesi Selatan dan Tenggara 26 Sistem Sulutenggo 26

    E. Nusa Tenggara 27 Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) 27 Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) 27

    F. Maluku 28 Kelistrikan Maluku dan Maluku Utara 28

  • iv

    G. Papua 28 5. Kebutuhan Tenaga Listrik Nasional 28

    6. Program Elektrifikasi Desa 28

    BAB V. POTENSI SUMBER DAYA ENERGI 30 1. Pemanfaatan Sumber Energi Untuk Pembangkit Tenaga Listrik 30

    Batubara 30 Gas Alam 30 Minyak Bumi 30 Tenaga Air 30 Panas bumi 31

    2. Potensi Sumber Energi Di Provinsi/Daerah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) 31 Sumatera Utara 31 Sumatera Barat 31 Riau 32 Jambi 32 Bengkulu 32 Sumatera Selatan 32 Lampung 32 Bangka Belitung 33 Kalimantan Timur 33 Kalimantan Tengah 33 Kalimantan Selatan 33 Kalimantan Barat 33 Nusa Tenggara Barat 33 Nusa Tenggara Timur 34 Sulawesi Selatan 34 Sulawesi Utara 34 Sulawesi Tengah 34 Sulawesi Tenggara 35 Gorontalo 35 Maluku dan Maluku Utara 35 Papua 35 Bali 35 Jawa Timur 35 Jawa Tengah 36 Jawa Barat 36 Banten 36

    BAB VI. KEBUTUHAN DANA INVESTASI 38

  • v

    DAFTAR TABEL

    Tabel 1. Rasio Elektrifikasi 17

    Tabel 2. Sasaran Penjualan Listrik PLN 18

    Tabel 3. Komposisi Energi Primer Untuk Pembangkit 20

    Tabel 4. Data Potensi Sumber Energi 37

    Tabel 5. Kebutuhan Dana Investasi Sarana Penyediaan Tenaga Listrik Tahun 2005 s/d 2015 39

  • vi

    DAFTAR LAMPIRAN LAMPIRAN I. JARINGAN TRANSMISI

    A. Jaringan Transmisi JAWA BALI 40 B. Jaringan Transmisi JAWA BARAT 41 C. Jaringan Transmisi JAWA TENGAH dan D.I.Y 42 D. Jaringan Transmisi JAWA TIMUR dan BALI 43 E. Jaringan Transmisi SUMATERA 44 F. Jaringan Transmisi KALIMANTAN 45 G. Jaringan Transmisi SULAWESI 46

    LAMPIRAN II. NERACA DAYA DAN PRAKIRAAN KEBUTUHAN

    A. Neraca Daya Sistem Jawa Madura Bali 47 B. Neraca Daya Sistem Kelistrikan Sumatera 49 C. Prakiraan Kebutuhan Beban Daerah BABEL 51 D. Prakiraan Kebutuhan Beban Daerah Batam 53 E. Prakiraan Kebutuhan Beban Daerah Kalbar 55 F. Prakiraan Kebutuhan Beban Daerah Kaltim 57 G. Prakiraan Kebutuhan Beban Daerah Kaltengsel 59 H. Prakiraan Kebutuhan Beban Daerah Sulut Sulteng & Gorontalo 61 I. Prakiraan Kebutuhan Beban Daerah Sulsel & Tenggara 63 J. Prakiraan Kebutuhan Beban Daerah NTB 65 K. Prakiraan Kebutuhan Beban Daerah NTT 67 L. Prakiraan Kebutuhan Beban Daerah Maluku dan Maluku Utara 69 M. Prakiraan Kebutuhan Beban Daerah Papua 71 N. Rincian Pengembangan Pembangkit Wilayah Jamali 73 O. Rincian Pengembangan Pembangkit Wilayah Luar Jamali 75 P. Prakiraan Kebutuhan Beban Indonesia 77

    LAMPIRAN III. RENCANA PENGEMBANGAN SISTEM TRANSMISI, GARDU INDUK DAN DISTRIBUSI

    A. Rencana Pengembangan Sistem Transmisi dan Gardu Induk 79 B. Rencana Pengembangan Sistem Distribusi 80

    LAMPIRAN IV. RENCANA KEBUTUHAN PEMAKAIAN BAHAN BAKAR

    A. Produksi Menurut Jenis Bahan Bakar 81 B. Rencana Kebutuhan Pemakaian Bahan Bakar 83

    LAMPIRAN V. POTENSI SUMBER DAYA ENERGI

    A. Cadangan Batubara Indonesia 85 B. Cadangan Gas Bumi Indonesia 86 C. Cadangan Minyak Bumi Indonesia 87 D. Distribusi Lokasi Panas Bumi 88

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1. LATAR BELAKANG Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) adalah suatu rencana pembangunan sektor ketenagalistrikan terpadu yang mencakup kebijakan sektor ketenagalistrikan, rencana penyediaan tenaga listrik, sarana penyediaan tenaga listrik pemanfaatan sumber energi untuk pembangkit dan kebutuhan dana untuk pembangkit tenaga listrik. RUKN ditetapkan sebagai acuan dalam pembangunan dan pengembangan sektor ketenagalistrikan di masa yang akan datang bagi Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK) dan Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk kepentingan umum (PIUKU). Peranan RUKN akan semakin penting dengan adanya perubahan lingkungan strategis baik dalam lingkup lokal, nasional, regional maupun internasional. Disamping itu partisipasi swasta pada sektor tenaga listrik diharapkan semakin meningkat sehingga RUKN ini dapat memperjelas dan membakukan penentuan proyek yang dilaksanakan baik oleh PKUK maupun yang akan dikerjasamakan dengan pihak lain. Adanya dinamika masyarakat terutama peningkatan ekonomi akan mengakibatkan kebutuhan tenaga listrik semakin meningkat, sehingga diperlukan suatu perencanaan ketenagalistrikan yang lebih pasti secara kuantitatif. Untuk membuat perencanaan ketenagalistrikan yang lebih pasti, maka RUKN dibuat dengan rentang waktu perencanaan selama 20 (dua puluh) tahun. Untuk mengantisipasi perkembangan kebutuhan tenaga listrik maka RUKN ditinjau ulang setiap tahun. Sesuai dengan Undang-Undang No 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan, Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1989 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik dan Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1985, maka seluruh pelaku usaha penyediaan tenaga listrik yang memiliki wilayah usaha wajib membuat Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) di wilayah usahanya masing-masing dengan mengacu kepada RUKN ini.

    2. VISI DAN MISI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN

    Visi Sektor Ketenagalistrikan Visi sektor ketenagalistrikan adalah dapat melistriki seluruh rumah tangga, desa serta memenuhi kebutuhan industri yang berkembang cepat dalam jumlah yang cukup, transparan, efisien, andal, aman dan akrab lingkungan untuk mendukung pertumbuhan perekonomian nasional dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.

  • 2

    Misi Sektor Ketenagalistrikan

    Untuk memenuhi kebutuhan tenaga listrik sesuai visi tersebut, maka Pemerintah mengambil langkah-langkah sebagai berikut: a. membangkitkan tenaga listrik dalam skala besar untuk masyarakat perkotaan,

    daerah yang tingkat kepadatannya tinggi atau sistim kelistrikan yang besar; b. untuk kelistrikan desa dan daerah terpencil yang memerlukan tenaga listrik dalam

    skala kecil diprioritaskan membangkitkan tenaga listrik dari energi terbarukan; c. menjaga keselamatan ketenagalistrikan dan kelestarian fungsi lingkungan; dan d. memanfaatkan sebesar-besarnya tenaga kerja, barang dan jasa produksi dalam

    negeri.

    3. TUJUAN PENYUSUNAN RUKN Pada prinsipnya tujuan penyusunan RUKN ini adalah memberikan pedoman serta acuan bagi PKUK dan PIUKU dalam memenuhi kebutuhan usaha penyediaan tenaga listrik di wilayah usahanya masing-masing. Diharapkan bahwa RUKN ini dapat memberikan arahan dan informasi yang diperlukan bagi berbagai pihak yang turut berpartisipasi dalam usaha penyediaan tenaga listrik.

    RUKN ini mempunyai cakrawala waktu sampai 20 tahun kedepan dalam bentuk kuantitatif. Seperti lazimnya dalam perencanaan, semakin jauh jangkauannya semakin kualitatif proyeksinya karena kuantifikasi yang jauh ke depan kemungkinan penyimpangannya akan lebih besar.

    4. LANDASAN HUKUM RUKN Penyusunan RUKN ini didasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan dan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1989 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2005 yang mengamanatkan bahwa Menteri menetapkan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional secara menyeluruh dan terpadu.

  • 3

    BAB II

    KEBIJAKAN SEKTOR KETENAGALISTRIKAN NASIONAL

    1. PERKEMBANGAN KEBIJAKAN SEKTOR TENAGA LISTRIK Selama tiga dasawarsa terakhir, penyediaan tenaga listrik dilakukan oleh PT PLN (Persero) sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK). Permintaan listrik yang tinggi dalam kurun waktu tersebut tidak mampu dipenuhi, sehingga partisipasi dari pelaku-pelaku lain seperti koperasi, swasta dan industri sangat diperlukan untuk membangkitkan tenaga listrik baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan umum. Dengan terbitnya Keputusan Presiden Nomor 37 Tahun 1992 tentang Usaha Penyediaan Tenaga Listrik oleh Swasta membuka jalan bagi usaha ketenagalistrikan untuk kepentingan umum skala besar, baik bagi proyek yang direncanakan oleh Pemerintah maupun melalui partisipasi swasta. Akibat krisis ekonomi yang menerpa Indonesia pada pertengahan tahun 1997, Pemerintah menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1997 tentang Penangguhan/Pengkajian Kembali Proyek Pemerintah, Badan Usaha Milik Negara, dan Swasta Yang Berkaitan Dengan Pemerintah/Badan Usaha Milik Negara, maka proyek-proyek yang telah direncanakan oleh Pemerintah maupun proyek yang diusulkan oleh swasta ditangguhkan atau dikaji kembali. Sesuai Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 2002 tentang Pencabutan Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1997 tentang Penangguhan/Pengkajian Kembali Proyek Pemerintah, Badan Usaha Milik Negara, dan swasta yang berkaitan dengan Pemerintah/Badan Usaha Milik Negara, maka proyek 26 IPP yang ditunda telah selesai dinegosiasi ulang. Melalui Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 1998 tentang Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha Swasta Dalam Pembangunan dan atau Pengelolaan Infrastruktur, pelaksanaan pembangunan infrastruktur diatur melalui tender, termasuk untuk pengadaan sektor ketenagalistrikan. Pada tahun 2002 telah diundangkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan. Undang-undang tersebut mengatur penyelenggaraan usaha ketenagalistrikan menurut fungsi usaha. Penyediaan tenaga listrik perlu diselenggarakan secara efisien melalui kompetisi dan transparansi dalam iklim usaha yang sehat dengan pengaturan yang memberikan perlakuan yang sama kepada semua pelaku usaha dan memberi manfaat yang adil dan merata kepada semua konsumen. Namun sesuai putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 15 Desember 2004 Undang-undang tersebut dibatalkan dan demi kekosongan hukum Undang-Undang No 15 Tahun1985 tentang Ketenagalistrikan diberlakukan kembali. Dengan demikian maka usaha penyediaan tenaga listrik untuk umum diselenggarakan oleh PKUK dan Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan. Untuk kelengkapan peraturan sektor tenaga listrik Pemerintah pada tanggal 16 Januari 2005 telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1989 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik. Khusus untuk sektor tenaga listrik, pengaturan tentang kerjasama atau pembelian tenaga listrik, pengelolaan, pelaksanaan pembangunan serta pengadaan usaha penyediaan tenaga listrik tunduk kepada Peraturan Pemerintah

  • 4

    Nomor 3 Tahun 2005 ini yang dulunya diatur melalui Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun1998. 2. KEBIJAKAN PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK Tenaga listrik sebagai salah satu infrastruktur yang menyangkut hajat hidup orang banyak maka penyediaan tenaga listrik harus dapat menjamin tersedianya dalam jumlah yang cukup, harga yang wajar dan mutu yang baik. Dalam rangka terciptanya industri ketenagalistrikan yang efektif, efisien, dan mandiri serta mewujudkan tujuan pembangunan ketenagalistrikan, maka usaha penyediaan tenaga listrik berazaskan pada peningkatan efisiensi dan transparansi.

    Penyediaan tenaga listrik dilakukan oleh negara dan diselenggarakan oleh BUMN yang ditugasi untuk melaksanakan usaha penyediaan tenaga listrik. Agar tenaga listrik tersedia dalam jumlah yang cukup dan merata dan untuk meningkatkan kemampuan negara sepanjang tidak merugikan kepentingan negara maka dapat diberikan kesempatan seluas-luasnya kepada koperasi dan badan usaha lainnya berdasarkan izin usaha penyediaan tenaga listrik. Sesuai Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985 usaha penyediaan tenaga listrik dapat meliputi usaha pembangkitan tenaga listrik, transmisi tenaga listrik, dan distribusi tenaga listrik dan menurut geografis.

    Pemerintah mempunyai keterbatasan finansial untuk pendanaan sektor tenaga listrik sehingga peran swasta sangat diharapkan dan dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2005 dimungkinkan adanya izin bagi swasta selain dimungkinkan pembelian tenaga listrik bagi PKUK dan PIUKU. 3. TARIF Kebijakan Pemerintah tentang tarif dasar listrik adalah bahwa tarif listrik secara bertahap dan terencana diarahkan untuk mencapai nilai keekonomiannya sehingga tarif listrik rata-rata dapat menutup biaya yang dikeluarkan. Kebijakan ini diharapkan akan dapat memberikan signal positif bagi investor dalam berinvestasi di sektor ketenagalistrikan.

    Penetapan kebijakan tarif dilakukan sesuai nilai keekonomian. Namun, khusus untuk pelanggan kurang mampu juga mempertimbangkan kemampuan bayar pelanggan. Kebijakan subsidi untuk tarif listrik masih diberlakukan, namun mengingat kemampuan Pemerintah yang terbatas, maka subsidi akan lebih diarahkan langsung kepada kelompok pelanggan kurang mampu dan atau untuk pembangunan daerah perdesaan dan pembangunan daerah-daerah terpencil dengan mempertimbangkan atau memprioritaskan perdesaan/daerah dan masyarakat yang sudah layak untuk mendapatkan listrik dalam rangka menggerakkan ekonomi masyarakat.

    Kebijakan tarif listrik yang tidak seragam (non-uniform tariff) dimungkinkan untuk diberlakukan di masa mendatang, hal ini berkaitan dengan perbedaan perkembangan pembangunan ketenagalistrikan dari satu wilayah dengan wilayah lainnya.

  • 5

    4. KEBIJAKAN PEMANFAATAN ENERGI PRIMER UNTUK PEMBANGKITAN TENAGA LISTRIK

    Kebijakan pemanfaatan energi primer untuk pembangkit tenaga listrik ditujukan agar pasokan energi primer tersebut dapat terjamin. Untuk menjaga keamanan pasokan tersebut, maka diberlakukan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO), pemanfaatan sumber energi primer setempat, dan pemanfaatan energi baru terbarukan. Kebijakan pengamanan pasokan energi primer untuk pembangkit tenaga listrik dilakukan melalui dua sisi yaitu pada sisi pelaku usaha penyedia energi primer dan pada sisi pelaku usaha pembangkitan tenaga listrik.

    Kebijakan di sisi pelaku usaha penyedia energi primer antara lain: pelaku usaha di bidang energi primer khususnya batubara, dan gas diberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk memasok kebutuhan energi primer bagi pembangkit tenaga listrik sesuai harga dengan nilai keekonomiannya. Kebijakan lainnya seperti pemberian insentif dapat pula diimplementasikan. Kebijakan pemanfaatan energi primer setempat untuk pembangkit tenaga listrik dapat terdiri dari fosil (batubara lignit, gas marginal) maupun non-fosil (air, panas bumi, biomasasa, dan lain-lain). Pemanfaatan energi primer setempat tersebut memprioritaskan pemanfaatan energi terbarukan dengan tetap memperhatikan aspek teknis, ekonomi, dan keselamatan lingkungan.

    Sedangkan kebijakan di sisi pelaku usaha pembangkitan tenaga listrik antara lain: kebijakan diversifikasi energi untuk tidak bergantung pada satu sumber energi khususnya energi fosil dan konservasi energi. Untuk menjamin terselenggaranya operasi pembangkitan maka pelaku usaha di pembangkitan perlu membuat stockfilling untuk cadangan selama waktu yang disesuaikan dengan kendala keterlambatan pasokan yang mungkin terjadi. Sesuai dengan Kebijakan Energi Nasional (KEN) bahwa penggunaan energi terbarukan untuk pembangkit tenaga listrik perlu ditingkatkan pemanfaatannya sehingga target pada tahun 2020 sekurang-kurangnya 5% dari penggunaan energi berasal dari energi terbarukan antara lain; panas bumi, biomassa, tenaga air dan energi terbarukan lainnya dapat tercapai. Bila masyarakat menginginkan, energi nuklir sebagai energi alternatif terakhir dapat dimungkinkan dalam rangka memenuhi kebutuhan tenaga listrik untuk program jangka panjang. Pemanfaatan energi ini dapat dipertimbangkan bila aspek teknis dan ekonomis memungkinkan disamping mengurangi efek rumah kaca dan dalam rangka meningkatkan jaminan keamanan pasokan tenaga listrik sehingga pemanfaatan energi fossil yang ada dapat diperpanjang penggunaannya . 5. PENANGANAN LISTRIK DESA DAN MISI SOSIAL Penanganan misi sosial dimaksudkan untuk membantu kelompok masyarakat tidak mampu, dan melistriki seluruh wilayah Indonesia yang meliputi daerah yang belum berkembang, daerah terpencil, dan pembangunan listrik perdesaan. Penanganan misi sosial dimaksudkan untuk menjaga kelangsungan bantuan bagi masyarakat

  • 6

    tidak mampu, menjaga kelangsungan upaya perluasan akses pelayanan listrik pada wilayah yang belum terjangkau listrik, mendorong pembangunan/pertumbuhan ekonomi, dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.

    Penanganan misi sosial yang diperlukan untuk dapat dilaksanakan secara operasional melalui PKUK. Agar efisiensi dan transparansi tercapai, maka usaha penyediaan tenaga listrik dapat dilakukan dengan pemisahan fungsi sosial dan komersial melalui pembukuan yang terpisah. 6. KEBIJAKAN LINDUNGAN LINGKUNGAN

    Pembangunan di bidang ketenagalistrikan dilaksanakan untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Untuk itu kerusakan dan degradasi ekosistem dalam pembangunan energi harus dikurangi dengan membatasi dampak negatif lokal, regional maupun global yang berkaitan dengan produksi tenaga listrik.

    Sejalan dengan kebijakan di atas, Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), serta produk hukum lainnya, mengharuskan pemrakarsa memperhatikan norma dasar yang baku tentang bagaimana menyerasikan kegiatan pembangunan dengan memperhatikan lingkungan serta harus memenuhi baku mutu yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang.

    Untuk itu semua kegiatan ketenagalistrikan yang berpotensi menimbulkan dampak besar dan penting wajib melakukan AMDAL (ANDAL, RKL dan RPL) sedangkan yang tidak mempunyai dampak penting diwajibkan membuat Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) sesuai peraturan perundang-undangan. 7. STANDARDISASI, KEAMANAN DAN KESELAMATAN, SERTA

    PENGAWASAN Listrik selain bermanfaat bagi kehidupan masyarakat juga dapat mengakibatkan bahaya bagi manusia apabila tidak dikelola dengan baik. Pemerintah dalam rangka keselamatan ketenagalistrikan menetapkan standardisasi, pengamanan instalasi peralatan dan pemanfaat tenaga listrik. Tujuan keselamatan ketenagalistrikan antara lain melindungi masyarakat dari bahaya yang diakibatkan oleh tenaga listrik, meningkatkan keandalan sistem ketenagalistrikan, meningkatkan efisiensi dalam pengoperasian dan pemanfaatan tenaga listrik.

    Kebijakan dalam standardisasi meliputi: 1. Standar Peralatan Tenaga Listrik, yaitu alat atau sarana pada instalasi

    pembangkitan, penyaluran, dan pemanfaatan tenaga listrik.

    2. Standar Pemanfaat Tenaga Listrik, yaitu semua produk atau alat yang dalam pemanfaatannya menggunakan tenaga listrik untuk berfungsinya produk atau alat tersebut, antara lain: alat rumah tangga (household appliances) dan komersial / industri

  • 7

    alat kerja (handheld tools) perlengkapan pencahayaan perlengkapan elektromedik listrik.

    Atas pertimbangan keselamatan, keamanan, kesehatan dan aspek lingkungan maka SNI terbagi dalam standar sukarela dan peralatan dan pemanfaatan harus memenuhi standar wajib.

    Kebijakan keamanan instalasi meliputi: kelaikan operasi instalasi tenaga listrik, keselamatan peralatan dan pemanfaat tenaga listrik, dan kompetensi tenaga teknik. Instalasi tenaga listrik yang laik operasi dinyatakan dengan Sertifikat Laik Operasi. Untuk peralatan dan pemanfaat tenaga listrik yang memenuhi Standar Nasional Indonesia dinyatakan dengan Sertifikat Produk untuk dapat membubuhi Tanda SNI (SNI) pada peralatan tenaga listrik dan penerbitan Sertifikat Tanda Keselamatan ( S ) pada pemanfaat tenaga listrik dan tenaga teknik yang kompeten dinyatakan dengan Sertifikat Kompetensi. 8. MANAJEMEN PERMINTAAN DAN PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK Pemenuhan kebutuhan tenaga listrik di berbagai wilayah/daerah belum terpenuhi baik secara kualitas maupun kuantitas sesuai yang dibutuhkan konsumen. Hal ini disebabkan permintaan listrik yang tinggi tetapi tidak dapat diimbangi dengan penyediaan tenaga listrik.

    Program-program yang perlu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan listrik baik secara kualitas maupun kuantitas yaitu dengan melaksanakan program di sisi permintaan (Demand Side Management) dan di sisi penyediaan (Supply Side Management). Program Demand Side Management dimaksudkan untuk mengendalikan pertumbuhan permintaan tenaga listrik, dengan cara mengendalikan beban puncak, pembatasan sementara sambungan baru terutama di daerah kritis, dan melakukan langkah-langkah efisiensi lainnya di sisi konsumen. Program Supply Side Management dilakukan melalui optimasi penggunaan pembangkit tenaga listrik yang ada dan pemanfaatan captive power.

  • 8

    BAB III

    KONDISI KELISTRIKAN Dalam perkembangannya Sistem Kelistrikan Nasional dapat dibedakan dalam 2 (dua) sistem yaitu sistem kelistrikan terinterkoneksi dan sistem kelistrikan terisolasi. Sistem kelistrikan se Jawa-Madura-Bali dan Sumatera merupakan sistem yang telah berkembang dan merupakan sistem kelistrikan yang terinterkoneksi melalui jaringan transmisi tegangan tinggi dan jaringan transmisi tegangan ekstra tinggi. Sistem kelistrikan di luar pulau Jawa-Madura-Bali dan Sumatera merupakan sistem kelistrikan yang relatif belum berkembang, dimana satu sama lain belum sepenuhnya terinterkoneksi. Sistem masih terdiri dari sub-sistem dan sub-sistem kecil yang masing-masing terpisah satu sama lain dan masih terdapat daerah-daerah terpencil yang berdiri sendiri dan terisolasi. Bab ini menjelaskan kondisi kelistrikan yang telah dicapai selama ini sesuai wilayah regional maupun provinsi. 1. PULAU SUMATERA Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) Kondisi kelistrikan pada tahun 2004 untuk Provinsi NAD adalah beban puncak sebesar 210 MW dengan produksi sebesar 748 GWh. Sekitar 50% dari beban ini dipasok oleh Kitlur SumBagUt melalui jaringan transmisi 150 kV dan sisanya dipasok pembangkit terisolasi yang tersebar di seluruh Provinsi NAD. Penjualan pada tahun 2004 mencapai 708,3 GWh dengan komposisi penjualan per sektor pelanggan untuk rumah tangga adalah 472 GWh (66.6%), komersial 83 GWh (11.7%), Industri 48,5 GWh (6.8%), Publik 104,8 GWh (14,7%). Rasio elektrifikasi Provinsi NAD untuk tahun 2004 baru mencapai 56,4%. Provinsi Sumatera Utara Kondisi kelistrikan pada tahun 2004 untuk Provinsi Sumatra Utara adalah beban puncak sebesar 926 MW dengan produksi sebesar 4.870 GWh. Hampir seluruh (99,1%) beban ini dipasok oleh Kitlur SumBagUt melalui jaringan transmisi 150 kV dan sisanya dipasok pembangkit terisolasi di pulau-pulau Nias, Tello dan Sembilan. Penjualan pada tahun 2004 mencapai 4.525,6 GWh dengan komposisi penjualan per sektor pelanggan untuk rumah tangga adalah 1.950,9 GWh (43,1%), komersial 578 GWh (12,7%), Industri 1.651,5 GWh (36,4%), Publik 345,2 GWh (7,6%). Rasio elektrifikasi Provinsi Sumatera Utara untuk tahun 2004 baru mencapai 67,5%.

  • 9

    Provinsi Sumatera Barat Kondisi kelistrikan pada tahun 2004 untuk Provinsi Sumatra Barat adalah beban puncak sebesar 295 MW dengan produksi sebesar 1.676 GWh. Sekitar 90% beban ini dipasok oleh Kitlur SumBagSel melalui jaringan transmisi 150 kV dan sisanya dipasok pembangkit terisolasi yang tersebar di seluruh Provinsi Sumatera Barat. Penjualan pada tahun 2004 mencapai 1.466,9 GWh dengan komposisi penjualan per sektor pelanggan untuk rumah tangga adalah 630,8 GWh (43%), Komersial 131,6 GWh (8,9%), Industri 590,7 GWh (40.2%), Publik 114 GWh (7,7%). Rasio elektrifikasi Provinsi Sumatera Barat untuk tahun 2004 baru mencapai 61,1%. Provinsi Riau

    Kondisi kelistrikan pada tahun 2004 untuk Provinsi Riau adalah beban puncak sebesar 322 MW dengan produksi sebesar 1.654 GWh. Sekitar 55% dari beban ini dipasok oleh Kitlur SumBagUt melalui jaringan transmisi 150 kV dan sisanya dipasok pembangkit terisolasi yang tersebar di seluruh Provinsi Riau. Penjualan pada tahun 2004 mencapai 1.428,3 GWh dengan komposisi penjualan per sektor pelanggan untuk rumah tangga adalah 871,5 GWh (61%), Komersial 313 GWh (21,9%), Industri 139,3 GWh (9,7%), Publik 104,4 GWh (7,3%). Rasio elektrifikasi Provinsi Riau untuk tahun 2004 baru mencapai 38,9%. Provinsi Jambi

    Mengingat bahwa Provinsi Sumatera Selatan, Jambi dan Bengkulu telah terinterkoneksi dengan baik melalui jaringan transmisi 150 kV dan telah menjadi Wilayah Kesisteman Sumatera Bagian Selatan, Jambi dan Bengkulu (S2JB), maka kondisi kelistrikan Provinsi Jambi merupakan representasi dari kondisi kelistrikan S2JB secara keseluruhan, yaitu beban puncak Wilayah S2JB pada tahun 2004 adalah sebesar 471,8 MW dengan produksi sebesar 117,6 GWh, dan Rasio elektrifikasinya sebesar 39,8%. Sekitar 90% dari beban ini dipasok oleh Kitlur SumBagUt melalui jaringan transmisi 150 kV dan sisanya dipasok pembangkit terisolasi yang tersebar di seluruh Wilayah S2JB. Penjualan pada tahun 2004 mencapai 470,6 GWh dengan komposisi penjualan per sektor pelanggan untuk rumah tangga adalah 290,6 GWh (62%), Komersial 77 GWh (16%), Industri 70,3 GWh (15%), Publik 32,7 GWh (7%). Provinsi Sumatera Selatan Mengingat bahwa Provinsi Sumatera Selatan, Jambi dan Bengkulu telah terinterkoneksi dengan baik melalui jaringan transmisi 150 kV dan telah menjadi Wilayah Kesisteman Sumatera Selatan, Jambi dan Bengkulu (S2JB). Penjualan pada tahun 2004 mencapai 1.448 GWh dengan komposisi penjualan per sektor pelanggan untuk rumah tangga adalah 766,2 GWh (53%), Komersial 192,1 GWh (13%), Industri 381,4 GWh (26%), Publik 108,3 GWh (7%).

  • 10

    Provinsi Bengkulu Mengingat bahwa Provinsi Sumatera Selatan, Jambi dan Bengkulu telah terinterkoneksi dengan baik melalui jaringan transmisi 150 kV dan telah menjadi Wilayah Kesisteman Sumatera Selatan, Jambi dan Bengkulu (S2JB), maka kondisi kelistrikan Provinsi Bengkulu merupakan representasi dari kondisi kelistrikan S2JB. Penjualan pada tahun 2004 mencapai 227,2 GWh dengan komposisi penjualan per sektor pelanggan untuk rumah tangga adalah 163,3 GWh (71,8%), Komersial 29,6 GWh (13%), Industri 14,8 GWh (6,5%), Publik 19,5 GWh (8,5%). Provinsi Lampung Kondisi kelistrikan pada tahun 2004 untuk Provinsi Lampung adalah beban puncak sebesar 306 MW dengan produksi sebesar 1.370 GWh. Sekitar 99% dari beban ini dipasok oleh Kitlur SumBagSel melalui jaringan transmisi 150 kV dan sisanya dipasok pembangkit terisolasi yang tersebar di seluruh Provinsi Lampung. Penjualan pada tahun 2004 mencapai 1.207 GWh dengan komposisi penjualan per sektor pelanggan untuk rumah tangga adalah 718,5 GWh (59,5%), Komersial 160,9 GWh (13,3%), Industri 227 GWh (18.8%), Publik 100,1 GWh (8,2%). Rasio elektrifikasi Provinsi Lampung untuk tahun 2004 baru mencapai 37,1%. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Kondisi kelistrikan pada tahun 2004 untuk Provinsi Kepulauan Bangka Belitung adalah beban puncak sebesar 60 MW dengan produksi sebesar 273 GWh. Seluruh beban ini dipasok oleh pembangkit terisolasi yang tersebar di seluruh Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Penjualan pada tahun 2004 mencapai 234 GWh dengan komposisi penjualan per sektor pelanggan untuk rumah tangga adalah 173 GWh (73,9%), Komersial 25,1 GWh (10,6%), Industri 22,6 GWh (9,7%), Publik 13,2 GWh (6%). Rasio elektrifikasi Provinsi Kepulauan Bangka Belitung untuk tahun 2004 baru mencapai 53,1%. Batam Kondisi kelistrikan pada tahun 2004 untuk Daerah Otorita Batam adalah beban puncak sebesar 31,8 MW dengan produksi sebesar 838 GWh. Seluruh beban ini dipasok oleh pembangkit PT PLN Batam yang sebagian wilayahnya telah terinterkoneksi dengan jaringan transmisi 150 kV. Sedangkan khusus untuk industri di kawasan Muka Kuning Industrial Park, kebutuhan kelistrikannya di suplai oleh PT Batamindo yang memiliki pembangkit sendiri dengan kapasitas seluruhnya mencapai 166 MW. Penjualan PT PLN Batam pada tahun 2004 mencapai 662 GWh dengan komposisi penjualan per sektor pelanggan untuk rumah tangga adalah 199,4 GWh (30%), Komersial 317,3 GWh (48%), Industri 110,1 GWh (17%), Publik 35,2 GWh (5%). Rasio elektrifikasi Daerah Otorita Batam untuk tahun 2004 baru mencapai 67%.

  • 11

    2. PULAU JAWA DAN BALI Pulau Jawa, Madura dan Bali telah terinterkoneksi, sehingga kebutuhan kelistrikan pada sistem ini disuplai dari pembangkit se JAMALI dengan produksi sebesar 92.634 GWh. Rincian konsumsi kelistrikan di Provinsi Jawa dan Bali dapat diuraikan di bawah ini.

    Provinsi Bali Kondisi kelistrikan pada tahun 2004 untuk Provinsi Bali adalah beban puncak sebesar 389 MW. Dimana 40% beban ini (200 MW) dipasok dari sistem kelistrikan Pulau Jawa melalui kabel laut jaringan transmisi 150 kV dan sisanya dipasok dari unit Pembangkit Pesanggarahan (150 MW) dan PLTG Gilimanuk (100 MW). Penjualan pada tahun 2004 mencapai 1.896 GWh dengan komposisi penjualan per sektor pelanggan untuk rumah tangga adalah 838,4 GWh (44,2%), Komersial 878,6 GWh (46,3%), Industri 76,4 GWh (4%), Publik 102,3 GWh (5,3%). Rasio elektrifikasi Provinsi Bali untuk tahun 2004 baru mencapai 76,6%. Provinsi Jawa Timur Kondisi kelistrikan pada tahun 2004 untuk Provinsi Jawa Timur adalah beban puncak sebesar 3.107 MW. Kebutuhan kelistrikan di Provinsi Jawa Timur dilayani dari energi transfer dari sistem interkoneksi Jawa-Madura-Bali (JAMALI) sebagai pemasok utama melalui jaringan SUTET (500 kV) dan SUTT (150 kV dan 70 kV), serta dari pembangkit-pembangkit kecil/embedded (PLTA Wonorejo PJB dan Captive) melalui jaringan Tegangan Menengah, pembangkit sendiri (PLTD dan PLTM Sampean Baru), dan pembangkit sewa. Penjualan pada tahun 2004 mencapai 16.421 GWh dengan komposisi penjualan per sektor pelanggan untuk rumah tangga adalah 5.887 GWh (35,8%), Komersial 1.717 GWh (10,4%), Industri 7.946 GWh (48,3%), Publik 872 GWh (5,3%). Rasio elektrifikasi Provinsi Jawa Timur untuk tahun 2004 baru mencapai 59,1%. Provinsi Jawa Tengah dan DIY Kondisi kelistrikan pada tahun 2004 untuk Provinsi Jawa Tengah dan DIY adalah beban puncak sebesar 2.220 MW. Pasokan utama sistem kelistrikan di Provinsi Jawa Tengah dan DIY dilayani atau dipasok dari PLTU Tambaklorok, PLTA Mrica dan pusat pembangkit lain yang disalurkan melalui jaringan interkoneksi JAMALI 500 kV dan 150 kV. Penjualan pada tahun 2004 mencapai 10.843 GWh dengan komposisi penjualan per sektor pelanggan untuk rumah tangga adalah 5.384 GWh (49,7%), Komersial 1.056 GWh (9,7%), Industri 3.457 GWh (31,9%), Publik 946 GWh (8,7%). Rasio elektrifikasi Provinsi Jawa Tengah dan DIY untuk tahun 2004 baru mencapai 81,3%.

  • 12

    Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten Kondisi kelistrikan pada tahun 2004 untuk Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten adalah beban puncak sebesar 4.682 MW. Kebutuhan kelistrikan di Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten dilayani dari energi transfer dari sistem interkoneksi Jawa-Madura-Bali (JAMALI) sebagai pemasok utama melalui jaringan SUTET (500 kV) dan SUTT (150 kV dan 70 kV), serta dari pembangkit-pembangkit kecil/embedded melalui jaringan Tegangan Menengah, dan pembangkit sendiri. Penjualan pada tahun 2004 mencapai 27.279 GWh dengan komposisi penjualan per sektor pelanggan untuk rumah tangga adalah 8.102 GWh (29,7%), Komersial 1.721 GWh (6,3%), Industri 16.762 GWh (61,4%), Publik 694 GWh (2,5%). Rasio elektrifikasi Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten untuk tahun 2004 baru mencapai 57,2%. Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan Tangerang Kondisi kelistrikan pada tahun 2004 untuk Provinsi DKI Jakarta adalah beban puncak sebesar 3.912 MW. Kebutuhan kelistrikan di Provinsi DKI Jakarta dilayani dari energi transfer dari sistem interkoneksi Jawa-Madura-Bali (JAMALI) sebagai pemasok utama melalui jaringan SUTET (500 kV) dan SUTT (150 kV dan 70 kV). Penjualan pada tahun 2004 mencapai 23.333 GWh dengan komposisi penjualan per sektor pelanggan untuk rumah tangga adalah 7.767 GWh (33,3%), Komersial 6.436 GWh (27,5%), Industri 7.526 GWh (32,3%), Publik 1.571 GWh (6,7%). Rasio elektrifikasi Provinsi DKI Jakarta dan Tangerang untuk tahun 2004 baru mencapai 81,3%. 3. PULAU KALIMANTAN

    Provinsi Kalimantan Timur Kondisi kelistrikan pada tahun 2004 untuk Provinsi Kalimantan Timur adalah beban puncak sebesar 245 MW dengan produksi sebesar 1.420 GWh. Sekitar 70% dari beban ini dipasok oleh Sistem Mahakam melalui jaringan transmisi 150 kV dan sisanya dipasok pembangkit terisolasi yang tersebar di seluruh Provinsi Kalimantan Timur. Penjualan pada tahun 2004 mencapai 1.214,1 GWh dengan komposisi penjualan per sektor pelanggan untuk rumah tangga adalah 658,4 GWh (54,2%), Komersial 260,2 GWh (21,4%), Industri 183,7 GWh (15,1%), Publik 111,8 GWh (9,2%). Rasio elektrifikasi Provinsi Kalimantan Timur untuk tahun 2004 baru mencapai 49,6%. Provinsi Kalimantan Tengah dan Provinsi Kalimantan Selatan Mengingat bahwa Provinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan telah terinterkoneksi pada jaringan transmisi 150 kV, maka PT PLN (Persero) menyatukan Provinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan pada satu pelayanan yang dilakukan oleh Wilayah Kalimantan Selatan dan Tengah (Kalselteng), sehingga

  • 13

    kondisi kelistrikan Provinsi Kalimantan Tengah direpresentasikan oleh kondisi kelistrikan Wilayah Kalselteng, yaitu beban puncak Wilayah Kalselteng pada tahun 2004 adalah sebesar 289 MW dengan produksi sebesar 1.551,5 GWh, dan Rasio elektrifikasinya sebesar 52,9%. Sekitar 80% dari beban ini dipasok oleh Sistem Barito Banua Lima melalui jaringan transmisi 150 kV dan sisanya dipasok pembangkit terisolasi yang tersebar di seluruh Wilayah Kalselteng. Penjualan pada tahun 2004 mencapai 1.251,3 GWh dengan komposisi penjualan per sektor pelanggan untuk rumah tangga adalah 722,2 GWh (57,7%), Komersial 165,2 GWh (13,2%), Industri 254,9 GWh (20,3%), Publik 108,9 GWh (8,7%). Provinsi Kalimantan Barat Kondisi kelistrikan pada tahun 2004 untuk Provinsi Kalimantan Barat adalah beban puncak sebesar 196 MW dengan produksi sebesar 989 GWh. Sekitar 60% dari beban ini dipasok oleh pembangkit dari Sistem Kapuas melalui jaringan transmisi 150 kV dan sisanya dipasok pembangkit terisolasi yang tersebar di seluruh Provinsi Kalimantan Barat. Penjualan pada tahun 2004 mencapai 799,7 GWh dengan komposisi penjualan per sektor pelanggan untuk rumah tangga adalah 478,6 GWh (59,8%), Komersial 158,8 GWh (19.8%), Industri 82,9 GWh (10,3%), Publik 79,4 GWh (9,9%). Rasio elektrifikasi Provinsi Kalimantan Barat untuk tahun 2004 baru mencapai 44,5%. 4. PULAU SULAWESI Provinsi Sulawesi Utara Mengingat bahwa Provinsi Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah dan Gorontalo telah terinterkoneksi pada jaringan transmisi 150 kV, maka PT PLN (Persero) menyatukan Provinsi Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah dan Gorontalo pada satu pelayanan yang dilakukan oleh Wilayah Sulawesi Utara, Tengah, Gorontalo (Suluttenggo). Sehingga kondisi beban puncak Wilayah Suluttenggo pada tahun 2004 adalah sebesar 242.026 MW dengan produksi sebesar 1124.949 GWh, Rasio elektrifikasinya sebesar 47,1%. Sekitar 60% dari beban ini dipasok oleh Sistem Minahasa melalui jaringan transmisi 70 kV dan 150 kV, sisanya dipasok pembangkit terisolasi yang tersebar di seluruh Wilayah Suluttenggo. Penjualan pada tahun 2004 mencapai 553.203 GWh dengan komposisi penjualan per sektor pelanggan untuk rumah tangga adalah 325.862 GWh (59%), Komersial 108.410 GWh (20%), Industri 63.056 GWh (11%), Publik 55.873 GWh (10%). Provinsi Sulawesi Tengah Mengingat bahwa Provinsi Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah dan Gorontalo telah terinterkoneksi pada jaringan transmisi 150 kV, maka PT PLN (Persero) menyatukan Provinsi Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah dan Gorontalo pada satu pelayanan yang dilakukan oleh Wilayah Sulawesi Utara, Tengah, Gorontalo (Suluttenggo).

  • 14

    Penjualan pada tahun 2004 mencapai 292.584 GWh dengan komposisi penjualan per sektor pelanggan untuk rumah tangga adalah 199.819 GWh (68%), Komersial 41.191 GWh (14%), Industri 15.209 GWh (5%), Publik 36.365 GWh (12%), lainnya 3.290 GWh (1%). Provinsi Gorontalo Mengingat bahwa Provinsi Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah dan Gorontalo telah terinterkoneksi pada jaringan transmisi 150 kV, maka PT PLN (Persero) menyatukan Provinsi Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah dan Gorontalo pada satu pelayanan yang dilakukan oleh Wilayah Sulawesi Utara, Tengah, Gorontalo (Suluttenggo). Penjualan pada tahun 2004 mencapai 106.510 GWh dengan komposisi penjualan per sektor pelanggan untuk rumah tangga adalah 67.801 GWh (64%), Komersial 12.142,2 GWh (11%), Industri 11.668 GWh (11%), Publik 14.682 GWh (14%). Provinsi Sulawesi Selatan dan Provinsi Sulawesi Tenggara Mengingat bahwa Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara telah terinterkoneksi pada jaringan transmisi 150 kV, maka PT PLN (Persero) menyatukan Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara pada satu pelayanan yang dilakukan oleh Wilayah Sulawesi Selatan dan Tenggara (Sulseltra). Sehingga kondisi beban puncak Wilayah Sulseltra pada tahun 2004 adalah sebesar 490 MW dengan produksi sebesar 2.485 GWh, dan Rasio elektrifikasinya sebesar 53,8%. Sekitar 85% dari beban ini dipasok oleh Sistem Makassar melalui jaringan transmisi 150 kV dan sisanya dipasok pembangkit terisolasi yang tersebar di seluruh Wilayah Sulseltra. Penjualan pada tahun 2004 mencapai 2.066 GWh dengan komposisi penjualan per sektor pelanggan untuk rumah tangga adalah 1.090,4 GWh (52,7%), Komersial 266,6 GWh (12,9%), Industri 528,8 GWh (25,5%), Publik 183,3 GWh (8,8%). 5. KEPULAUAN NUSA TENGGARA Provinsi Nusa Tenggara Barat

    Kondisi kelistrikan pada tahun 2004 untuk Provinsi Nusa Tenggara Barat adalah beban puncak sebesar 105. MW dengan produksi sebesar 422,8 GWh. Seluruh beban ini dipasok pembangkit terisolasi yang tersebar di seluruh Provinsi Nusa Tenggara Barat . Penjualan pada tahun 2004 mencapai 400,2 GWh dengan komposisi penjualan per sektor pelanggan untuk rumah tangga adalah 293,4 GWh (73,3%), Komersial 65,7 GWh (16,4%), Industri 7,5 GWh (1,8%), Publik 33,8 GWh (8,4%). Rasio elektrifikasi Provinsi Nusa Tenggara Barat untuk tahun 2004 baru mencapai 28,1 %.

  • 15

    Provinsi Nusa Tenggara Timur

    Kondisi kelistrikan pada tahun 2004 untuk Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah beban puncak sebesar 62 MW dengan produksi sebesar 262,7 GWh. Seluruh beban ini dipasok pembangkit terisolasi yang tersebar di seluruh Provinsi Nusa Tenggara Timur. Penjualan pada tahun 2004 mencapai 227,2 GWh dengan komposisi penjualan per sektor pelanggan untuk rumah tangga adalah 150,4 GWh (66,1%), Komersial 39,8 GWh (17,5%), Industri 3,2 GWh (1,4%), Publik 33,8 GWh (14,8%). Rasio elektrifikasi Provinsi Nusa Tenggara Timur untuk tahun 2004 baru mencapai 22,5%. 6. PULAU MALUKU Provinsi Maluku dan Provinsi Maluku Utara Walaupun Pulau Maluku telah dipecah menjadi 2 provinsi yaitu Provinsi Maluku dan Provinsi Maluku Utara, namun pelayanan kelistrikannya oleh PT PLN (Persero) masih dijadikan satu wilayah, yaitu Wilayah Maluku. Kondisi kelistrikan pada tahun 2004 untuk Provinsi Maluku adalah beban puncak sebesar 78 MW dengan produksi sebesar 305 GWh. Seluruh beban ini dipasok pembangkit terisolasi yang tersebar di seluruh Provinsi Maluku dan Maluku Utara. Penjualan pada tahun 2004 mencapai 269,8 GWh dengan komposisi penjualan per sektor pelanggan untuk rumah tangga adalah 181,6 GWh (67,3%), Komersial 44 GWh (16,3%), Industri 6 GWh (2,2%), Publik 38,1 GWh (14,1%). Rasio elektrifikasi Provinsi Maluku dan Provinsi Maluku Utara untuk tahun 2004 baru mencapai 50,6%. 7. PROVINSI PAPUA Kondisi kelistrikan pada tahun 2004 untuk Provinsi Papua adalah beban puncak sebesar 90 MW dengan produksi sebesar 465 GWh. Seluruh beban ini dipasok pembangkit terisolasi yang tersebar di seluruh Provinsi Papua. Penjualan pada tahun 2004 mencapai 398 GWh dengan komposisi penjualan per sektor pelanggan untuk rumah tangga adalah 250 GWh (62,8%), Komersial 94 GWh (23,3%), Industri 6 GWh (1,5%), Publik 48 GWh (12%). Rasio elektrifikasi Provinsi Papua untuk tahun 2004 baru mencapai 28,3%. 8. KONDISI SISTEM PENYALURAN TENAGA LISTRIK Sistem kelistrikan yang ada di kepulauan Indonesia belum sepenuhnya terintegrasi dengan jaringan transmisi. Saat ini yang telah terintegrasi hanya sistem kelistrikan se Jawa-Madura-Bali dengan jaringan transmisi 500 KV. Pulau Sumatera, sistem Sumatera Bagian Utara yang menghubungkan Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam (NAD) dan Sumatera Utara telah terinterkoneksi dengan jaringan transmisi 275 KV, namun belum seluruhnya terhubung. Sistem yang menghubungkan sistem Sumbar dengan Riau sudah terintegrasi dengan baik.

  • 16

    Sistem Sumbagsel telah mengintegrasikan Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Jambi, Bengkulu dan Lampung. Pada bulan November 2004, sistem Sumatera Bagian Selatan telah terhubung dengan Sistem Sumbar-Riau dengan Provinsi lainnya di Sumatera Bagian Selatan, dimana semula masih adanya masalah right of way pada jalur Bangko-Lubuk Linggau, saat ini telah diselesaikan. Pada sistem kelistrikan Pulau Kalimantan sudah terhubung melalui jaringan 150 KV sebagian kecil Provinsi Kalimantan Tengah dengan Kalimantan Selatan. Diharapkan sistem se Kalimantan juga dapat terinterkoneksi dengan jaringan transmisi di masa mendatang. Sistem kelistrikan pulau Sulawesi yang meliputi Provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara dan Gorontalo masih banyak dipasok dengan sistem yang tersebar, akan tetapi beberapa daerah telah terhubung dengan jaringan transmisi 150 KV. Sistem penyaluran kelistrikan melalui Jaringan Transmisi dapat dilihat pada Lampiran I.

  • 17

    BAB IV

    RENCANA PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK

    Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985 maka RUKN berisi antara lain prakiraan kebutuhan tenaga listrik, sasaran penyediaan tenaga listrik menurut sektor pemakai, jumlah desa yang dilistriki dan sasaran rumah tangga yang akan dilistriki, sarana penyediaan tenaga listrik, jenis sumber energi primer dan kebutuhan investasi yang diperlukan. RUKN ini akan dijadikan acuan bagi PKUK dan PIUKU dalam usaha penyediaan tenaga listrik. Seperti lazimnya dalam perencanaan sektor tenaga listrik, rencana sarana penyediaan tenaga listrik untuk kurun waktu lima tahun merupakan rencana yang lebih pasti (committted proyek) untuk dilaksanakan karena sebagian besar proyek sarana penyediaan tenaga listrik dalam kurun waktu tersebut sedang dalam tahap pembangunan dan pendanaannya sudah jelas. Sedangkan untuk kurun waktu lima sampai dengan sepuluh tahun kedepan tingkat kepastiannya berkurang karena pendanaanya yang belum pasti namur aspek kuantitatif kebutuhan tenaga listrik harus dapat dipenuhi. Untuk kurun waktu jangka menengah dan jangka panjang tingkat kepastian kebutuhan tenaga listrik dalam RUKN ini semakin berkurang. Oleh sebab itu rencana ini perlu untuk dimutakhirkan setiap tahun. 1. PRAKIRAAN KEBUTUHAN TENAGA LISTRIK Kebutuhan tenaga listrik akan meningkat sejalan dengan perkembangan ekonomi daerah dan pertumbuhan penduduk. Semakin meningkatnya ekonomi pada suatu daerah maka konsumsi tenaga listrik juga akan semakin meningkat. Kondisi ini tentunya harus diantisipasi sedini mungkin agar penyediaan tenaga listrik dapat tersedia dalam jumlah yang cukup dan harga yang memadai. Asumsi pertumbuhan ekonomi untuk sepuluh tahun mendatang yang digunakan untuk menyusun prakiraan kebutuhan tenaga listrik adalah rata-rata 6,5 % per tahun secara nasional Disamping pertumbuhan ekonomi, perkembangan tenaga listrik juga dipengaruhi oleh faktor perkembangan penduduk dalam pengertian jumlah rumah tangga yang akan dilistriki. Pertumbuhan penduduk secara nasional untuk dua puluh tahun kedepan diperkirakan mencapai 0,9%, berturut turut di pulau Jawa sebesar 0,8 % per tahun dan diluar pulau Jawa-Bali 1,1% per tahun. Sasaran yang ingin dicapai adalah rasio elektrifikasi dan untuk sepuluh tahun mendatang pada masing-masing Provinsi dapat dilihat pada tabel berikut.

    Table 1. Rasio Elektrifikasi (%)

    No. PROVINSI/DAERAH/ WILAYAH 2005 2010 2015 2020 2025

    1. NAD 61 76 85 100 100 2. Sumut 70 84 96 100 100 3. Sumbar 64 81 95 100 100 4. Riau 41 52 60 75 100

  • 18

    5. Sumatera Selatan, Jambi dan Bengkulu

    42 56 70 80 95

    6. Lampung 39 60 80 91 100 7. Babel 63 78 90 100 100 8. Batam 81 100 100 100 100 9. Jawa-Bali-Madura 62 71 85 100 100 10. Kaltim 53 75 94 100 100 11. Kalselteng 55 66 79 96 100 12. Kalbar 47 65 81 93 99 13. Sulutenggo 49 57 68 88 95 14. Sulseltra 54 57 61 85 96 15. NTB 29 36 45 70 85 16. NTT 25 32 42 69 84 17. Maluku dan Maluku Utara 53 73 91 100 100 18. Papua 30 37 48 75 90 Total Indonesia 51 69 76 90 93

    Berdasarkan asumsi makro di atas serta dengan memperhatikan kebijakan pemerataan pembangunan di daerah maka disusun sasaran prakiraan kebutuhan tenaga listrik menurut sektor pemakai. Pada Tabel 2 ini digambarkan sasaran yang dapat dipasok terutama oleh PT PLN (Persero) sebagai PKUK.

    Tabel 2. Sasaran Penjualan Listrik PT PLN (Persero)

    Tahun 2005 2010 2015 2020 2025

    Jawa-Bali (TWh) Rumah tangga Komersial Industri Publik

    81 28 13 35 3

    118 37 22 54 4

    175 47 38 83 5

    299 58 62 123 6

    345 66 94 181 7

    Luar Jawa-Bali (TWh) Rumah tangga Komersial Industri Publik

    20 11 3 4 1

    31 17 4 6 2

    49 28 8 9 5

    71 41 11 12 7

    100 57 15 18 10

    Indonesia (TWh) Rumah tangga Komersial Industri Publik

    102 40 16 40 5

    150 54 27 60 8

    222 74 45 92 10

    370 99 73 135 13

    445 123 109 199 17

    2. SARANA PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK Pembangkit Pembangunan pembangkit baru, baik yang dilaksanakan oleh PKUK atau PIUKU maupun yang akan dimitrakan dengan Koperasi dan Badan Usaha lainnya berdasarkan RUKN ini. Adapun kriteria yang digunakan dalam penyusunan kebutuhan daya

  • 19

    berdasarkan kepada cadangan daya yang diinginkan (reserve margin). Untuk pulau Jawa-Bali cadangan daya diproyeksikan antara 30%-35% untuk kurun waktu sepuluh tahun kedepan, sedangkan untuk waktu jangka menengah dan jangka panjang diproyeksikan semakin berkurang yaitu15%-25% karena sejalan dengan kapasitas sistem yang semakin besar. Asumsi ini dengan mempertimbangkan kemungkinan adanya slipper projects maupun kendala pendanaan dan penundaan pembangunan sarana penyediaan tenaga listrik. Untuk Luar Pulau Jawa yang umumnya sistim terisolasi menggunakan kriteria cadangan daya yang lebih tinggi berkisar antara 40%50% untuk kurun waktu sepuluh tahun kedepan dan 25%-35% untuk kurun waktu jangka menengah dan panjang kecuali sistim Sumatera yang sudah terintegrasi menggunakan asumsi cadangan daya 40% untuk sepuluh tahun kedepan dan 20% -30% untuk kurun waktu jangka panjang. Kebutuhan daya pada tahun tertentu akan ditentukan oleh kapasitas pembangkit yang sudah ada (kapasitas terpasang), pembangkit baru yang pasti akan masuk (committed projects) termasuk proyek swasta atau kerjasama PKUK dengan Koperasi dan Badan Usaha lainnya. Pembangkit yang sudah committed adalah pembangkit yang sedang dalam pembangunan baik oleh PKUK maupun oleh swasta dan yang belum dibangun PKUK tetapi pendanaannya sudah pasti serta pembangkit swasta yang sudah mendapat pendanaannya. Tambahan pembangkit adalah pembangkit baru yang harus dibangun agar kebutuhan tenaga listrik dapat dipenuhi. Uraian kebutuhan neraca daya yang diperlukan untuk seluruh wilayah dan Provinsi dapat dilihat pada Lampiran II. Pengembangan Penyaluran Prinsip dasar pengembangan sistim penyaluran diarahkan kepada pertumbuhan sistim, peningkatan keandalan sistim dan mengurangi kendala pada sistim penyaluran dan adanya pembangunan pembangkit baru. Pada saat ini, sistim besar sudah terintegrasi adalah sistim Jawa-Bali dan sistim Sumatera. Sedangkan sistim kelistrikan di pulau lainnya seperti Sulawesi sudah terintegrasi di daerah bagian selatan. Sistim di Provinsi Kalimantan Selatan dan Provinsi Kalimantan Tengah sebagian wilayah ini telah terintegrasi dan diharapkan Provinsi Kalimantan Selatan juga akan terintegrasi dengan sistim tersebut. Untuk kurun waktu jangka menengah sistim Sumatera diharapkan sudah terintegrasi seluruhnya menggunakan jaringan tegangan ekstra tinggi 275 kV. Dengan masuk pembangkit yang berskala besar, dalam kurun waktu jangka panjang sistim di Kalimatan dan Sulawesi diharapkan pula sudah terhubung dengan baik. Pengembangan sistim penyaluran di pulau Jawa-Bali menggunakan sistim 500 kV dan 150 kV sedangkan sistim 70 kV tidak dikembangkan kecuali bagi daerah pertumbuhannya kurang pesat. Pengembangan transmisi 500 kV di Jawa dimaksudkan untuk menjaga kestabilan sistim dan penyambungan pembangkit skala besar dan kebutuhan Gardu Induk Transmisi Extra Tinggi (GITET). Pengembangan Gardu induk tergantung kepada pengembangan sistim transmisinya. Pengembangan gardu induk baru dipertimbangkan bila pasokan pada suatu kawasan sudah tidak mampu dibebani oleh gardu induk tersebut dengan batas toleransi maksimal 70%. Rincian rencana sistim transmisi untuk sepuluh tahun kedepan dapat dilihat pada Lampiran III A.

  • 20

    Pengembangan Distribusi Pengembangan sarana distribusi tenaga listrik diarahkan untuk dapat mengantisipasi pertumbuhan penjualan tenaga listrik, mempertahankan tingkat keandalan yang diinginkan dan efisien, meningkatkan kualitas pelayanan. Rincian rencana fasilitas distribusi untuk sepuluh tahun kedepan dapat dilihat pada Lampiran III B. 3. PRODUKSI DAN KEBUTUHAN ENERGI PRIMER UNTUK PEMBANGKIT Kebutuhan energi primer untuk pembangkit tenaga listrik dirancang dengan menggunakan energi yang termurah (least cost). Produksi tenaga listrik yang dibangkitkan agar kebutuhan tenaga listrik terpenuhi menurut jenis sumber energi untuk sistem Jawa-Bali dan Luar Jawa-Bali untuk dua puluh tahun mendatang dapat dilihat pada Lampiran IV A. Komposisi penggunaan batubara masih dominan sebagai pemikul beban dasar yaitu naik dari 39% pada tahun 2005 menjadi 51% tahun 2025. Penurunan pemakaian BBM akan terjadi signifikan terutama untuk kurun waktu dua puluh tahun mendatang. Hal ini disebabkan replacement dengan penggunaan bahan bakar gas pada tahun 2006. Komposisi penggunaan BBM menurun dari 23% pada tahun 2005 menjadi 6% tahun 2025. Produksi panas bumi meningkat pada tahun 2010 yaitu 5% dan sedikit menurun pada tahun 2025 sebesar 4%. Untuk memenuhi kebutuhan tenaga listrik pada masa jangka panjang mendatang diperlukan tambahan pembangkit (4000 MW per tahun) berskala besar dan kemungkinan untuk itu perlu diantisipasi penggunaan uranium (PLTN) bila masyarakat menginginkan terutama di sistim Jawa-Bali-Madura. Perkembangan komposisi produksi energi primer untuk pembangkit tenaga listrik dapat dilihat pada Tabel 3. Komposisi penggunaan BBM akan mengalami penurunan yang signifikan dari tahun 2005. Penggunaan BBM ini hanya digunakan sebagai pemikul beban puncak untuk PLTG. Seiring dengan produksi tenaga listrik pemanfaatan batubara sebagai pemikul beban dasar akan terjadi peningkatan yang tajam yaitu 52% pada tahun 2020 sehingga batubara pada tahun 2020 diperlukan 244 juta ton dan pada tahun 2025 meningkat menjadi 326 juta ton. Produksi pemakaian bahan bakar gas untuk pembangkit tenaga listrik akan tumbuh dari 60 TWH pada tahun 2010 meningkat menjadi 146 TWH pada tahun 2025. Produksi pemanfaatan panas bumi pada tahun 2010 diperkirakan mencapai 10 TWh meningkat menjadi 20 TWh pada tahun 2025. Kebutuhan energi primer ini untuk kurun waktu sepuluh tahun mendatang dapat dilihat pada Lampiran IV B.

    Tabel 3. Persentase Komposisi Energi Primer Untuk Pembangkit

    Energi Primer 2005 2010 2015 2020 2025 - Batubara 38 40 44 52 51 - Gas 30 34 34 29 27 - BBM 22 15 11 7 7 - Panas Bumi 3 5 5 3 4 - Hydro 7 6 6 4 4 - Uranium 0 0 0 5 7

  • 21

    4. PRAKIRAAN KEBUTUHAN DAN PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK SECARA REGIONAL A. JAWA-BALI Jawa-Madura-Bali Asumsi pertumbuhan penduduk tahun 2005 - 2025 diperkirakan tumbuh 0,9% per tahun dan pertumbuhan PDRB untuk periode yang sama diproyeksikan sebesar 6,2% per tahun, rasio elektrifikasi pada tahun 2025 diharapkan mencapai 93%. Pertumbuhan permintaan energi listrik untuk periode 20052025 diperkirakan akan tumbuh rata-rata sebesar 7,2% per tahun dengan komposisi sektor tumbuh berturut-turut adalah rumah tangga tumbuh 4%, komersial 10%, publik 2,5% dan industri 8% sehingga pada akhir tahun 2025 konsumsi tenaga listrik di Jawa-Bali mencapai 345 TWh. Beban puncak sampai dengan tahun 2025 diharapkan mencapai 59 GW. Suplai tenaga listrik yang mencakup wilayah ini dapat dilihat pada sistem Jawa-Madura-Bali Lampiran II A.

    Sistem Jawa-Madura-Bali Sistem Jawa Bali menyuplai Provinsi seluruh pulau Jawa, Madura dan Bali melalui sistem transmisi 500 KV, sedangkan interkoneksi dari Provinsi Jawa dengan Provinsi Bali dihubungkan dengan kabel laut 150 KV demikian juga halnya dengan penyaluran ke pulau Madura. Pertumbuhan beban listrik diperkirakan sampai dengan tahun 2025 adalah rata sebesar 7,2 % per tahun.

    Dengan asumsi bahwa faktor beban untuk sistem tersebut 74% dan total losses dan susut pada tahun 2025 diharapkan mencapai 13%, maka diproyeksikan bahwa beban puncak pada tahun 2025 akan mencapai 59 GW. Untuk memenuhi kebutuhan beban tersebut sedang dibangun beberapa proyek pembangkit dan beberapa pembangkit yang sudah dialokasikan pendanaannya adalah sebesar 2.450 MW yang dibangun oleh PT PLN (Persero) dan 2.910 MW melalui partisipasi swasta (IPP). Rincian proyek tersebut adalah PLTGU Cilegon 730 MW beroperasi tahun 2006, PLTP Cibuni 10 MW, PLTGU Pemaron 50 MW dan PLTGU Muara Tawar 145 MW yang diharapkan masuk tahun 2007. Disamping itu tahun 2008 diperkirakan masuk PLTGU Muara Tawar 225 MW, PLTGU Muara Karang 720 MW, PLTGU Muara Tawar 225 MW, PLTGU Tanjung Priok 720 MW diharapkan dapat beroperasi tahun 2009. Proyek pembangkit swasta yang telah selesai dinegosiasikan kembali dan diharapkan dapat masuk ke sistem pada tahun 2006 adalah PLTU Tanjung Jati B 1.320 MW, PLTU Cilacap 600 MW, PLTP Kamojang 60 MW dan PLTP Patuha 60 MW. Selain itu proyek pembangkit swasta lainnya yang dapat masuk ke sistem pada tahun 2007 adalah PLTP Wayang Windu 110 MW, PLTP Dieng 60 MW, dan PLTP Bedugul 10 MW. Untuk tahun 2008 adalah PLTP Dieng 60 MW, PLTP Patuha 120 MW dan PLTGU Anyer 400 MW. Cadangan daya sistem diasumsikan berkisar antara 30% - 35% untuk tahun 2005 sampai dengan tahun 2015 dan 15%-25% untuk tahun 2015 -2025. Asumsi

  • 22

    cadangan ini telah memperhatikan diantaranya adalah kemungkinan terjadinya slipe projects dalam pembangunan pembangkit maupun pengadaan dengan pihak swasta dan dengan memperhatikan commited proyek sebesar 4.378 MW, maka masih diperlukan tambahan pembangkit secara akumulasi sampai tahun 2015 sebesar 15.750 MW baik pembangunan yang dilaksanakan oleh PT. PLN (Persero) maupun oleh swasta antara lain PLTGU Cikarang extension 150 MW dan proyek swasta yang akan ditenderkan adalah PLTU di Jawa Barat 500 MW, PLTU Tanjung Jati C 1.320 MW, PLTU Paiton 3-4 sebesar 800 MW dan PLTGU Pasuruan 500 MW. Untuk kurun waktu 2015 -2025 diperlukan tambahan daya secara akumulasi adalah sebesar 33.440 MW. Neraca daya untuk Sistem Jawa Bali dapat dilihat pada Lampiran II A. Dalam rangka meningkatkan keandalan sistem baik di Pulau Jawa maupun Pulau Sumatera maka dimungkinkan kedua sistem ini untuk diinterkoneksikan melalui sub-marine cable.

    B. SUMATERA

    Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) Pertumbuhan permintaan tenaga listrik untuk periode 20052025 diperkirakan tumbuh rata-rata sebesar 5,2% per tahun dan diharapkan rasio elektrifikasi akan mencapai 100% pada tahun 2020. Pada tahun 2025 kebutuhan tenaga listrik diharapkan mencapai 1,8 TWh. Sebagian besar kelistrikan di Provinsi NAD sudah terintegrasi dengan Provinsi Sumatera Utara.

    Provinsi Sumatera Utara Asumsi pertumbuhan penduduk di Provinsi Sumatera Utara tahun 2005-2025 diperkirakan rata-rata 0.89% per tahun sedangkan pertumbuhan ekonomi untuk periode yang sama diproyeksikan sebesar 8,5% per tahun. Berdasarkan asums tersebut maka rasio elektrifikasi diharapkan akan menjadi 100 % pada tahun 2020 Permintaan energi listrik untuk periode 2005-2025 diperkirakan tumbuh rata-rata sebesar 7% per tahun sehingga pada tahun 2025 kebutuhan tenaga listrik diharapkan mencapai 18 TWh. Sebagian besar pemenuhan kebutuhan tenaga listrik untuk Provinsi Sumut dan NAD dipenuhi oleh sistem Sumbagut. Provinsi Sumatera Barat Asumsi pertumbuhan penduduk tahun 2005-2025 diperkirakan rata-rata 0.89 % per tahun sedangkan pertumbuhan ekonomi untuk periode yang sama diproyeksikan sebesar 6,5 % per tahun. Berdasarkan asums tersebut maka rasio elektrifikasi diharapkan akan menjadi 100 % pada tahun 2020. Permintaan energi listrik untuk periode 2005-2025 diperkirakan tumbuh rata-rata sebesar 6 % per tahun sehingga pada tahun 2025 kebutuhan tenaga listrik diharapkan mencapai 5,5 TWh. Sistem Sumatera Barat saat ini dipasok dari sistem interkoneksi Sumatera Bagian Selatan.

  • 23

    Provinsi Riau Asumsi pertumbuhan penduduk tahun 2005-2025 diperkirakan rata-rata 0.89 % per tahun sedangkan pertumbuhan ekonomi untuk periode yang sama diproyeksikan sebesar 7,6 % per tahun. Berdasarkan asums tersebut maka rasio elektrifikasi diharapkan akan menjadi 100% pada tahun 2025. Permintaan energi listrik untuk periode 2005-2025 diperkirakan tumbuh rata-rata sebesar 13 % per tahun sehingga pada tahun 2025 kebutuhan tenaga listrik diharapkan mencapai 13 TWh. Kelistrikan S2JB (Sumatera Selatan, Jambi, Bengkulu) Asumsi perkiraan pertumbuhan ekonomi di sistem kelistrikan S2JB sebesar 8% pada tahun 20052025 sedangkan pertumbuhan penduduk 0,89%. Pertumbuhan rata-rata kebutuhan tenaga listrik mencapai 7% per tahun. Dengan demikian kebutuhan tenaga listrik pada tahun 2025 diperkirakan mencapai 9,5 tWh. Sistim kelistrikan dapat dilihat dalam Lampiran II B. Provinsi Lampung Variabel-variabel yang akan mempengaruhi permintaan tenaga listrik di Provinsi Lampung pada masa mendatang adalah proyeksi pertumbuhan ekonomi untuk tahun 2005-2025 sebesar 5%, dan pertumbuhan penduduk sebesar 0,89% per tahun. Pertumbuhan permintaan energi listrik untuk periode 20052025 diperkirakan akan tumbuh rata-rata sebesar 7% per tahun. Proyeksi perkembangan rasio elektrifikasi pada tahun 2025 mencapai 100%, Sistim kelistrikan di Provinsi Lampung disuplai dengan sistim kelistrikan Sumatera Bagian Selatan dan beberapa tahun kedepan sistim Sumatera diharapkan dapat terinterkoneksi. Suplai tenaga listrik akan dapat dilihat pada Lampiran II B. Neraca Daya Sistem Sumatera Dalam waktu dekat sistim Sumatera akan terintegrasi, dengan asumsi reserve margin 40% terhadap beban puncak pada tahun 2005-2010, 35% untuk tahun 2011-2015 dan 20%-30% untuk tahun 2015-2025. Untuk kurun waktu tersebut diperlukan tambahan kapasitas sebesar 8700 MW diluar pembangkit yang sudah direncanakan. Neraca Daya Sistem Sumatera dapat dilihat pada Lampiran II B. Proyek pembangkit yang sedang dalam pembangunan di Provinsi NAD adalah PLTA Peusangan sebesar 82 MW yang diharapkan beroperasi pada tahun 2013, sedangkan di Provinsi Sumatera Utara adalah PLTU Labuan Angin sebesar 200 MW yang diharapkan beroperasi tahun 2009. Selain itu juga dibangun pembangkit PLTU Tarahan (batubara) sebesar 200 MW yang diharapkan selesai pada tahun 2007dan 2008, PLTP Ulubelu 110 MW akan beroperasi tahun 2011 di Provinsi Lampung. Di Provinsi Bengkulu sedang dilanjutkan pembangunan PLTA Musi sebesar 210 MW yang diharapkan sudah masuk sistem pada akhir tahun 2007. Proyek yang dibangun dengan skema IPP yaitu PLTU Sicanang 105 MW tahun 2007/08 dan PLTA Asahan 180 MW tahun 2011. Disamping pembangkit tersebut juga perlu tambahan pembangkit baru untuk mengantisipasi perkembangan beban di Sumatera sampai tahun 2025 diperlukan tambahan daya secara

  • 24

    akumulatif sebesar 8700 MW antara lain diperkirakan dari PLTU batubara sebesar 6060 MW, PLTG 850 MW, PLTA 350 MW, PLTGU 900 MW dan PLTP 550 MW. Pembangkit PLTU Sumut 200 MW yang akan ditawarkan melalui mekanisme tender termasuk dalam rencana tersebut. Neraca Daya Sistem Sumatera dapat dilihat pada Lampiran II B. Untuk menyalurkan tenaga listrik dari pembangkit ke pusat beban maka perlu pengembangan jaringan transmisi maupun distribusi yang saat ini sedang dibangun terutama mempercepat penyelesaian Transmisi Biruen - Sigli - Banda Aceh agar sarana pasokan listrik terpenuhi untuk Pantai Timur NAD.

    Sebagai peningkatan beban maka perlu pengembangan jaringan transmisi terutama dengan mempercepat pembangun transmisi Sibolga-Padang Sidempuan (71 Kms), Kisaran Rantau Parapat (101 Kms), Sidikalang Tarutung (122 Kms), JL. Listrik Titi Kuning (18 Kms), Rantau Prapat P. Sidempuan 127 kms selesai beroperasi tahun 2005, P.Sidempuan Panyambuangan 70 kms beroperasi tahun 2005. Kemudian jaringan transmisi yang menghubungkan Rantau Prapat dengan Kota Pinang sepanjang 50 kms diharapkan selesai tahun 2005, Labuan angin dengan Sibolga sepanjang 38 kms beroperasi tahun 2006, Sarulla-Tarutung 30 kms tahun 2005 diharapkan dapat beroperasi.

    Untuk meningkatkan keandalan sistim dan menyalurkan tenaga listrik dari pusat beban ke titik konsumen perlu interkoneksi antara pulau Sumatera dan Jawa yang diharapkan akan terealisasi pada program jangka menengah maupun jangka panjang.

    Kelistrikan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Diasumsikan untuk kurun waktu sepuluh tahun mendatang diperkirakan pertumbuhan ekonomi rata-rata 7,5% per tahun. Pertumbuhan permintaan energi listrik untuk periode 2005 2025 diperkirakan akan tumbuh rata-rata sebesar 6,4% per tahun. Pertumbuhan beban puncak sampai dengan tahun 2025 akan mencapai 143 MW.

    Sistim kelistrikan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung belum terintegrasi saat ini Untuk mengantisipasi pertumbuhan beban tenaga listrik dan menjaga keamanan pasokan tenaga listrik sampai dengan tahun 2025 perlu tambahan daya listrik sebesar 85 MW (asumsi cadangan daya 40%). Neraca Daya untuk Sistem Bangka Belitung dapat dilihat pada Lampiran II C.

    Batam Perkembangan kebutuhan tenaga listrik di Batam didasarkan atas rencana pengembangan kawasan, pertumbuhan ekonomi regional/Singapura/Malaysia, dan interkoneksi kelistrikan Batam Bintan.

  • 25

    Pertumbuhan permintaan energi listrik untuk periode 20052025 diperkirakan akan tumbuh rata-rata sebesar 9,5 % per tahun.

    Pertumbuhan beban puncak sampai dengan tahun 2025 akan meningkat menjadi 770 MW. Dengan asumsi reserve margin 40% pada tahun 2005-2010 dan 30% pada tahun 2011-2025 maka kebutuhan kapasitas akan terus dibutuhkan sehingga perlu tambahan kapasitas baru sampai tahun 2025 sebesar 750 MW, hal ini dapat dilihat pada neraca daya Lampiran II D.

    C. KALIMANTAN Provinsi Kalimantan Barat Variabel-variabel yang mempengaruhi permintaan tenaga listrik di Provinsi Kalimantan Barat adalah petumbuhan penduduk dan ekonomi. Proyeksi pertumbuhan penduduk sampai dengan tahun 2025 diperkirakan tumbuh rata-rata sebesar 0,89% per tahun dan pertumbuhan ekonomi Provinsi Kalimantan Barat diproyeksikan 7,4%. Sehingga rasio elektrifikasi untuk tahun 2025 diperkirakan mencapai sebesar 99%. Pertumbuhan permintaan energi listrik diperkirakan akan tumbuh rata-rata sebesar 4,3% per tahun. Beban puncak sampai dengan tahun 2025 diperkirakan mencapai 402 MW. Asumsi reserve margin atau cadangan daya adalah sebesar 40%-45% sampai tahun 2025. Pembangkit yang sudah committed adalah PLTD tersebar sebesar 12 MW, PLTM Merasap 1,5 MW yang masuk sistim tahun 2007. Untuk memenuhi kebutuhan beban puncak yang mencapai 402 MW pada akhir tahun 2025, masih diperlukan tambahan pembangkit baru 335 MW yang diharapkan terdiri dari PLTU 235 MW, PLTD 45 MW dan PLTG 55 MW. PLTU Parit Baru sebesar 110 (2x55) MW yang akan ditawarkan kepada pihak swasta termasuk dalam rencana tersebut. Dengan demikian total kapasitas pembangkit pada tahun 2025 diharapkan mencapai 570 MW dapat dilihat pada Lampiran II E.

    Provinsi Kalimantan Timur Pertumbuhan penduduk di Provinsi Kalimantan Timur pada masa sepuluh tahun mendatang rata-rata sebesar 0,89% per tahun, pertumbuhan ekonomi diproyeksikan 7,6%. Mengacu kepada asumsi makro tersebut pertumbuhan permintaan energi listrik untuk periode 2005 2025 diperkirakan akan tumbuh rata-rata sebesar 10 % per tahun. Beban puncak sampai dengan tahun 2025 diperkirakan mencapai 1928 MW. Untuk memenuhi pertumbuhan beban sampai dengan tahun 2025 dan asumsi cadangan 30%-40% maka masih diperlukan proyek-proyek pembangkit baru sebesar 2171 MW sampai tahun 2025 yang terdiri dari PLTU batubara 1040 MW, PLTU biomass 20 MW, PLTGU 600 MW, PLTG 480 MW dan PLTD 31 MW seperti neraca daya pada Lampiran II F.

  • 26

    Kelistrikan KalSelteng (Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah) Sistem kelistrikan Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah sampai dengan tahun 2025 diproyeksikan akan mengalami perkembangan yang cukup pesat. Pertumbuhan kebutuhan tenaga listrik sebesar 7% per tahun, perkembangan beban puncak tahun 2025 akan mencapai 2045 MW. Dengan asumsi reserve margin 25%-45% dan untuk memenuhi kebutuhan beban sampai tahun 2025 maka total kapasitas sistem diharapkan mencapai 2574 MW. Diharapkan pemenuhan kebutuhan tersebut dapat dicapai dengan membangun pembangkit kurang lebih 2392 MW yang terdiri dari PLTU batubara 1220 MW, PLTG 540 MW, PLTGU 450 MW, PLTA 130 MW dan PLTD untuk daerah terpencil 52 MW. Prakiraan kebutuhan beban untuk Daerah Kalimantan Selatan dan Tengah dapat dilihat pada Lampiran II G.

    D. SULAWESI Sistem Suluttenggo (Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, dan Gorontalo) Apabila kelistrikan di tiga Provinsi tersebut dapat terintegrasi maka pertumbuhan kebutuhan tenaga listrik mencapai rata-rata 9% per tahun, perkembangan beban puncak tahun 2005 sebesar 259 MW, tahun 2010 sebesar 443 MW, tahun 2015 sebesar 760 MW dan tahun 2025.akan mencapai 1336 MW. Diasumsikan bahwa cadangan daya 23%-40% maka daya yang dibutuhkan sampai tahun 2025 secara akumulatif sebesar 1.611 MW sedangkan total kapasitas sistem diharapkan mencapai 1.661 MW. Untuk memenuhi kebutuhan beban tersebut pembangkit baru di luar proyek committed terdiri dari proyek PLN maupun swasta akan masuk sistim diperkirakan mencapai 1.227 MW termasuk proyek PLTU Sulut yang akan ditawarkan kepada pihak swasta. Proyek-proyek pembangkit baru sampai tahun 2025 yang diharapkan terdiri dari PLTA 17 MW, PLTG 290 MW, PLTD 10 MW, PLTP 170 MW dan PLTU batubara 740 MW seperti neraca daya pada Lampiran II H. Disamping itu, di daerah yang tidak terintegrasi masih dibangun PLTD tersebar.

    Sistem Sulsetra (Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara) Pertumbuhan kebutuhan tenaga listrik untuk dua Provinsi tersebut di atas diperkirakan tumbuh sebesar 6,7% per tahun, perkembangan beban puncak tahun 2005 sebesar 253 MW, tahun 2010 sebesar 753 MW tahun 2015 sebesar 1.042 MW dan akhir tahun 2025 mencapai 2.031 MW. Daya pada tahun 2025 diharapkan mencapai 2.476 MW dengan asumsi cadangan daya 20%-45 %. Proyek pembangkit committed yang diharapkan masuk pada sistim adalah PLTA Bili-Bili 20 MW tahun 2005, PLTD 23 MW serta proyek swasta PLTG Sengkang 65 MW tahun 2007. Pemenuhan beban diharapkan dari adanya tambahan pembangkit baru secara akumulatif sebesar 2.071 MW yang terdiri dari PLTA 350 MW, PLTU batubara 1.050 MW, PLTG 400 MW, PLTD 31 MW dan PLTGU 240 MW. Suplai daya dan kebutuhan beban untuk Sistem Sulseltra dapat dilihat pada Lampiran II I.

  • 27

    Untuk menyalurkan tenaga listrik dari pembangkit ke pusat beban perlu tambahan jaringan transmisi dan distribusi terutama dari lokasi pembangkit di utara sedangkan beban terkonsentrasi di bagian selatan. Sampai dengan tahun 2015 diperkirakan perlu pengembangan jaringan transmisi sepanjang 996 kms. Kemampuan jaringan transmisi yang ada sekarang hanya mampu menyalurkan daya sebesar 150 MW, sedangkan daya listrik yang harus disalurkan dari utara sebesar 232,2 MW, akibatnya terjadi bottle neck pada transmisi antara GI Pare Pare dan GI Pangkep. Penggunaan jaringan transmisi dengan tegangan 150 kV tidak memadai lagi setelah tahun 2010, perlu dipikirkan penggunaan tegangan 500 kV atau 275 kV, yang akan menjadi cikal bakal jaringan transmisi di Sulawesi dan diharapkan dalam program jangka panjang interkoneksi se Sulawesi sudah dapat diwujudkan.

    E. NUSA TENGGARA Provinsi Nusa Tenggara Barat Proyeksi pertumbuhan penduduk sampai dengan tahun 2025 diperkirakan tumbuh rata-rata sebesar 0,89% per tahun, pertumbuhan PDRB Provinsi NTB untuk periode tahun 20052025 diproyeksikan 7 % per tahun. Pertumbuhan beban puncak sampai dengan tahun 2025 diperkirakan mencapai 568 MW. Kebutuhan listrik di NTB sampai dengan tahun 2025 diproyeksikan akan mengalami pertumbuhan dan diperlukan tambahan daya sampai tahun 2025 sebesar 614 MW dengan asumsi cadangan daya antara 20-45%. Proyek yang sudah committed adalah 149 MW. Untuk memenuhi kebutuhan beban tersebut perlu dibangun tambahan pembangkit baru sebesar 519 MW. Kebutuhan tersebut dapat dilihat pada Lampiran II J.

    Provinsi Nusa Tenggara Timur Pertumbuhan beban puncak sampai dengan tahun 2025 secara bertahap diperkirakan tahun 2005 sebesar 67 MW, tahun 2010 sebesar 109 MW, tahun 2015 sebesar 168 MW dan pada akhir tahun 2025 mencapai 313 MW.

    Daya yang dibutuhkan pada tahun 2025 diperkirakan mencapai 439 MW dengan asumsi cadangan daya 20%-50%. Untuk memenuhi kebutuhan beban tersebut sedang direncanakan tambahan pembangkit yang sedang dibangun sebesar 25 MW. Potensi panas bumi juga akan dimanfaatkan sebesar 5 MW terdiri dari PLTP Ulumbu 3 MW dan Mataloko 2 MW. Selain itu masih diperlukan PLTD tersebar sebesar 15 MW khususnya daerah yang isolated. Pembangkit baru yang dibutuhkan sampai tahun 2025 secara akumulatif adalah 303 MW dan kebutuhan beban dan suplai untuk sistem NTT dapat dilihat pada Lampiran II K.

  • 28

    F. MALUKU Provinsi Maluku dan Maluku Utara Sistem kelistrikan di Provinsi Maluku dan Maluku Utara sampai dengan tahun 2025 diproyeksikan akan mengalami perkembangan kebutuhan tenaga listrik sebesar 6% per tahun, perkembangan beban puncak tahun 2005 sebesar 69 MW, tahun 2010 sebesar 91 MW, tahun 2015 sebesar 114 MW dan pada akhir tahun 2025 diharapkan mencapai 184 MW. Kebutuhan daya sampai tahun 2025 sebesar 257 MW (asumsi cadangan daya 30%-40%). Tambahan pembangkit yang sudah committed adalah 40 MW sehingga masih diperlukan tambahan proyek-proyek pembangkit baru sampai tahun 2025 secara akumulatif sebesar 179 MW. Kebutuhan beban untuk Sistem Maluku Maluku Utara dapat dilihat pada Lampiran II L.

    G. PAPUA

    Pertumbuhan permintaan energi listrik untuk periode 20052025 diperkirakan tumbuh rata-rata sebesar 8% per tahun. Pertumbuhan beban puncak sampai dengan tahun 2025 secara bertahap, diperkirakan tahun 2005 beban puncak sebesar 93 MW, tahun 2010 sebesar 145 MW, tahun 2015 sebesar 272 MW dan akhir tahun 2025 mencapai 376 MW. Sistem Papua sampai pada tahun 2025 diproyeksikan akan membutuhkan daya secara akumulatif sebesar 440 MW (asumsi cadangan daya 25%-55%), sedangkan tambahan pembangkit yang committed sampai saat ini hanya mencapai 12 MW. Dengan demikian masih diperlukan tambahan pembangkit baru untuk memenuhi kebutuhan tenaga listrik di Provinsi ini sebesar 343 MW yang diharapkan dari PLTD 58 MW, PLTA 16 MW, PLTG 140 MW dan PLTU batubara 130 MW. Kebutuhan beban untuk Sistem Papua dapat dilihat pada Lampiran II M.

    5. KEBUTUHAN TENAGA LISTRIK NASIONAL

    Dengan mengkompilasi data kebutuhan tenaga listrik seluruh daerah/sistem/wilayah tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa kebutuhan listrik secara nasional untuk dua puluh tahun mendatang diperkirakan tumbuh 7,5% per tahun. Konsumsi tenaga listrik pada tahun 2025 diharapkan mencapai 450 TWh. Secara nasional dapat diproyeksikan bahwa beban puncak diperkirakan pada tahun 2025 adalah 80 GW. Dengan demikian kebutuhan tenaga listrik perlu dipersiapkan tambahan kapasitas pembangkit sekurangnya sebesar 68 GW (termasuk committed proyek) sampai tahun 2025. Akumulasi ini dapat dilihat pada Lampiran II P.

    6. PROGRAM ELEKTRIFIKASI DESA

    Sampai dengan tahun 2003 secara administratif, jumlah desa diseluruh Indonesia adalah sebanyak 66.168 desa yang tersebar di daerah yang telah berkembang, daerah yang belum berkembang, maupun di daerah terpencil. Dari jumlah

  • 29

    tersebut, desa yang telah mempunyai akses tenaga listrik adalah sebesar 53.607 desa (81,02%). Dengan demikian masih ada 12.561 desa yang belum mempunyai akses tenaga listrik atau sebesar 18,98%.

    Sasaran yang ingin dicapai adalah untuk mencapai 100% desa berlistrik pada tahun 2010 dan 90% rasio elektrifikasi pada tahun 2020 yang berarti harus dapat melistriki rumah tangga termasuk di desa sejuta pelanggan baru per tahun. Pemanfaatan energi setempat khususnya energi baru dan terbarukan akan menjadi prioritas utama dalam melistriki desa bila energi ini dapat kompetitif. Rasio elektrifikasi pada tahun 2025 diharapkan mencapai 93% (lihat Tabel 1) namun pulau besar yang bebannya dapat terkonsentrasi seperti Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku diharapkan mencapai 100%.

  • 30

    BAB V

    POTENSI SUMBER DAYA ENERGI

    1. PEMANFAATAN SUMBER ENERGI UNTUK PEMBANGKIT TENAGA LISTRIK Batubara Penggunaan bahan bakar batubara untuk pembangkit tenaga listrik yang saat ini kurang lebih berkapasitas 6.650 MW, yang dirancang sebagai pemikul beban dasar pada sistem Jawa-Bali, karena biaya paling murah, serta ketersediaan batubara di dalam negeri cukup memadai dan potensinya sangat besar di Indonesia. Salah satu kendala utama dalam pengembangan batubara di Indonesia adalah adanya dampak lingkungan dari PLTU Batubara yang merupakan tantangan dalam pengembangan batubara khususnya di Pulau Jawa di masa yang akan datang. Untuk memenuhi kebutuhan beban di pulau Jawa alternatif lain adalah dengan pengembangan PLTU Batubara di Pulau Sumatera dan ditransmisikan ke Pulau Jawa. Gas Alam Dari segi ekonomi, pembangkit tenaga listrik dengan bahan bakar gas dioperasikan sebagai pemikul beban menengah namun pada kenyataannya PLTGU yang ada di sistem JAMALI dioperasikan sebagai pemikul beban dasar karena kontrak pembelian gas alam menggunakan klausul Take or Pay. Pada tahun 2003 produksi gas alam sudah mencapai 8,42 BSCF, 58% dari jumlah yang diproduksi di ekspor ke luar negeri dalam bentuk LNG, LPG, dan pipe line. Pemakaian untuk domestik diperkirakan 42% dan dari jumlah ini pemakaian tenaga listrik baru mencapai 6,6%. Minyak Bumi Peran BBM sebagai sumber energi dalam pembangkitan tenaga listrik diusahakan semakin menurun dan sedapat mungkin dihindari, kecuali pada pusat-pusat beban yang kecil dan terisolasi yang umumnya menggunakan PLTD berkapasitas kecil-kecil atau untuk PLTG dan PLTGU yang masih menunggu tersedianya gas alam. Pemakaian BBM untuk pembangkit tenaga listrik pada tahun 2005 sebesar 2.898 Juta kilo liter dan pada tahun 2015 pemakaian minyak bumi untuk pembangkit tenaga listrik hanya mencapai 2.900 juta kilo liter. Tenaga Air Air merupakan sumber energi yang mempunyai potensi cukup besar sekitar 41.436 MW untuk memenuhi kebutuhan tenaga listrik yang semakin meningkat, sehingga potensi yang ada perlu dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk menjamin security of supply penyediaan tenaga listrik. Pada tahun 2004 proyeksi produksi PLTA sebesar 90 TWh, dari kapasitas terpasang seluruhnya sekitar 3.395 MW.

  • 31

    Panas Bumi Potensi panas bumi diperkirakan dapat mencapai 27 GW dan merupakan potensi yang terbesar di dunia yakni 40% dari potensi dunia terdapat di 151 lokasi yang tersebar di wilayah Indonesia. Cadangan terduga panas bumi diperkirakan mencapai 10.027 MW tersebar di 271 lokasi antara lain di Pulau Sumatera sebesar 5.433 MW, Pulau Jawa 3.086 MW, Sulawesi 721 MW, kepulauan Nusa Tenggara 645 MW dan kepulauan Maluku 142 MW. Dari jumlah ini kapasitas pembangkit panas bumi yang beroperasi saat ini sebesar 804,3 MW atau sekitar 2% dari total potensi yang ada dan sebagian besar yang beroperasi terdapat pada sistem JAMALI. Diharapkan tambahan kapasitas pembangkit untuk sepuluh tahun mendatang adalah 725 MW sehingga sampai tahun 2015 total pembangkit dari panas bumi menjadi 1.529,3 MW. Pengembangan panas bumi masih terkendala namun mengingat sifat dari panas bumi yang termasuk energi terbarukan dan bersih lingkungan sehingga perannya perlu ditingkatkan sejalan dengan Kebijakan Energi Nasional (KEN). 2. POTENSI SUMBER ENERGI DI PROVINSI Potensi sumber energi secara nasional menurut jenis sumber energi dapat dilihat pada lampiran V. Nanggroe Aceh Darussalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) memiliki beraneka ragam potensi sumber energi untuk pembangkit tenaga listrik terdiri dari potensi air, panas bumi, batubara. Diperkirakan potensi sumber tenaga air mencapai 2.626 MW yang tersebar di 15 lokasi di wilayah NAD. Salah satu dari potensi tersebut yang sedang dalam proses pembangunan adalah PLTA Peusangan dengan daya sebesar 89 MW. Potensi tenaga air yang cukup besar terdapat di daerah Jambo Aye yang diperkirakan mencapai 471 MW, Lawe Alas sebesar 268 MW, dan Tampur sebesar 126 MW. Potensi panas bumi juga menjadi alternatif energi selain air yang dapat dimanfaatkan untuk pembangkit tenaga listrik yang diperkirakan sebesar 282 MW yang tersebar di 17 lokasi diantaranya terdapat di Gunung Seulawah, Krueng Raya, Sabang dan di Gayo Lesten. Di samping itu juga terdapat potensi batubara yang dapat dikembangkan adalah sebesar 450 juta ton. Sumatera Utara Provinsi Sumatera Utara memiliki potensi sumber energi yang dapat dimanfaatkan untuk pembangkit tenaga listrik terdiri dari potensi air sebesar 12 MW tersebar di 13 lokasi, potensi panas bumi sebesar 1.627 MW yang tersebar di 16 lokasi diantaranya terdapat di Sarulla 100 MW, Sibual-buali 150 MW dan G.Sorik-Merapi sebesar 150 MW serta G. Sibayak sebesar 70 MW. Selain itu juga terdapat potensi energi biomass yang belum dapat dihitung. Sumatera Barat Provinsi Sumatera Barat memiliki potensi sumber energi yang terdiri dari tenaga air dan batubara. Potensi sumber tenaga air untuk membangkitkan tenaga listrik yang berskala besar sudah sebagian besar dimanfaatkan. Batubara hanya sebagian kecil

  • 32

    lagi yang dapat dimanfaatkan sedangkan pemanfaatannya sebagian besar untuk menunjang kebutuhan industri yang ada di Provinsi ini. Dan juga potensi panas bumi sebesar 700 MW tersebar di 16 lokasi wilayah Sumatera Barat. Sumber potensi untuk pembangkit tenaga listrik baru adalah PLTM Leter W (3MW), PLTM Mangani (1,2MW), PLTU skala kecil Pesisir Selatan (2X16MW), PLTU Sampah (2X9MW). Riau Kepulauan Riau memiliki potensi sumber energi yang terdiri dari minyak bumi diperkirakan sebesar 4.535 juta barel, gas bumi sebesar 52.081 BSCF di Natuna dan 3.220 BSCF di Riau daratan sedangkan potensi batubara 2.057 juta ton, gambut 12.684 juta ton dan tenaga air sebesar 949 MW. Jambi Provinsi Jambi memiliki potensi sumber energi yang terdiri dari minyak bumi 3,5 juta barel, gas bumi 1,3 TCF, batubara sekitar 1.592 juta ton. Potensi minyak bumi, gas bumi dan batubara tersebar di Provinsi Jambi. Sedangkan potensi panas bumi yang diperkirakan 358 MW tersebar di 8 lokasi dan tenaga air 370 MW yang terdapat di Kabupaten Kerinci. Bengkulu Provinsi Bengkulu memiliki potensi energi primer yang terdiri dari batubara, panas bumi yang diperkirakan cadangannya mencapai 198 juta ton, panas bumi yang diperkirakan potensinya mencapai 600 MW dan tersebar pada 3 lokasi Gedang Hulu Lais, Tambang Sawah dan Bukit Daun. Sedangkan tenaga air diperkirakan mencapai 1.000 MW dan salah satu potensi yang sedang dibangun adalah PLTA Musi sebesar 210 MW. Sumatera Selatan Provinsi Sumatera Selatan memiliki potensi sumber energi yang terdiri dari minyak bumi diperkirakan sebesar 887 juta barel, gas bumi sebesar 14.260 BSCF, dan batubara diperkirakan sekitar 22.240 juta ton serta panas bumi sebesar 794 MW yang tersebar di 8 lokasi. Lampung Provinsi Lampung memiliki potensi sumber energi untuk pembangkit tenaga listrik yang terdiri dari tenaga air, panas bumi, batubara dan potensi biomassa. Potensi tenaga air untuk skala besar adalah 524 MW dan telah dimanfaatkan adalah PLTA Besai 90 MW dan Batu Tegi 28 MW. Potensi tenaga air yang belum dimanfaatkan ad