rubu

31
1 RUBU<BIYAH DAN ULU< HIYYAH SEBAGAI KONSEP TAUHID (Tinjauan Tafsi>r, H{adith dan Bahasa) Oleh: Lalu Heri Afrizal, Lc.* I. Mukaddimah Konsepsi tentang Tuhan dalam Islam merupakan persoalan yang paling mendasar dan krusial karena dengan konsep inilah seorang muslim mengenal identitas dirinya dan agamanya. Dengannya pula ia memandang dunia, kehidupan, ilmu pengetahuan, nilai, serta menjadi standar utama baginya dalam menilai benar-salahnya keyakinan-keyakinan umat manusia yang menyangkut keselamatan hidup mereka di dunia dan Akhirat. Oleh karenanya bahasan tentang Tuhan menjadi bahasan pertama dan utama dalam akidah Islam. Rukun iman yang pertama pun adalah iman kepada Allah, yang mendasari rukun- rukun iman lainnya. Lalu rukun iman yang enam menjadi pondasi bagi sebuah bangunan besar yang bernama Islam. Konsepsi Tuhan dalam Islam tak lain adalah Tauhid yang merupakan misi utama para nabi dan rasul yang mereka dakwahkan kepada umat manusia. Umat Islam sepakat bahwa kalimat Tauhid itu adalah kalimat ( َ ِ ئَ َ ىِ ئَ ). Mereka juga sepakat bahwa makna Tauhid ialah mengesakan Allah Swt dalam zat dan sifat-sifat-Nya 1 , sebagaimana tertera dalam surat Al-Ikhlas, bahwa Allah adalah Tuhan Yang Esa, kepada-Nya bergantung segala sesuatu, tidak diperanak dan tidak diperanakkan, dan tiada sesuatupun yang setara dengan-Nya. Namun yang menjadi pertanyaan ialah, apakah Tauhid itu hanya sekedar mengakui bahwa Allah adalah Tuhan Yang Esa? Ataukah ada kandungan lain dari Tauhid selain makna keesaan Allah di atas? Apakah hakikat Tauhid yang dibawa oleh Al-Quran dan Sunnah? Bertolak dari pertanyaan-pertanyaan di atas, penulis melihat bahwa setidaknya terdapat dua mainstream utama para ulama dalam memahami Tauhid. Mainstream pertama adalah yang memahami Tauhid sebagai konsep mengenal keesaan Tuhan semata, sehingga fokus kajiannya adalah menggali hakekat keesaan wujud, zat, sifat dan perbuatan Tuhan. Yang mewakili mainstream pertama ini adalah Mutakallimu>n (Ulama * Mahasiswa Pascasarjana Institut Studi Islam Darussalam. Makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Worldview Islam yang diampu oleh Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi, MA. M.Phil. 1 Keesaan zat Allah berarti bahwa zat-Nya tunggal, esa, tidak berbilang, dan kesaan sifat-sifat-Nya berarti bahwa hanya Allah semata yang memiliki ketinggian, kemuliaan dan kesempurnaan sifat-sifat, tiada sesuatupun yang menyerupai atau menyamai Allah dalam hal ini.

Upload: vutruc

Post on 29-Mar-2019

256 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: RUBU

1

RUBU<BIYAH DAN ULU<HIYYAH SEBAGAI KONSEP TAUHID

(Tinjauan Tafsi>r, H{adith dan Bahasa)

Oleh: Lalu Heri Afrizal, Lc.*

I. Mukaddimah

Konsepsi tentang Tuhan dalam Islam merupakan persoalan yang paling mendasar

dan krusial karena dengan konsep inilah seorang muslim mengenal identitas dirinya dan

agamanya. Dengannya pula ia memandang dunia, kehidupan, ilmu pengetahuan, nilai,

serta menjadi standar utama baginya dalam menilai benar-salahnya keyakinan-keyakinan

umat manusia yang menyangkut keselamatan hidup mereka di dunia dan Akhirat. Oleh

karenanya bahasan tentang Tuhan menjadi bahasan pertama dan utama dalam akidah

Islam. Rukun iman yang pertama pun adalah iman kepada Allah, yang mendasari rukun-

rukun iman lainnya. Lalu rukun iman yang enam menjadi pondasi bagi sebuah bangunan

besar yang bernama Islam.

Konsepsi Tuhan dalam Islam tak lain adalah Tauhid yang merupakan misi utama

para nabi dan rasul yang mereka dakwahkan kepada umat manusia. Umat Islam sepakat

bahwa kalimat Tauhid itu adalah kalimat ( هللا ل ئى ئل ). Mereka juga sepakat bahwa makna

Tauhid ialah mengesakan Allah Swt dalam zat dan sifat-sifat-Nya1, sebagaimana tertera

dalam surat Al-Ikhlas, bahwa Allah adalah Tuhan Yang Esa, kepada-Nya bergantung

segala sesuatu, tidak diperanak dan tidak diperanakkan, dan tiada sesuatupun yang setara

dengan-Nya. Namun yang menjadi pertanyaan ialah, apakah Tauhid itu hanya sekedar

mengakui bahwa Allah adalah Tuhan Yang Esa? Ataukah ada kandungan lain dari Tauhid

selain makna keesaan Allah di atas? Apakah hakikat Tauhid yang dibawa oleh Al-Quran

dan Sunnah?

Bertolak dari pertanyaan-pertanyaan di atas, penulis melihat bahwa setidaknya

terdapat dua mainstream utama para ulama dalam memahami Tauhid. Mainstream

pertama adalah yang memahami Tauhid sebagai konsep mengenal keesaan Tuhan semata,

sehingga fokus kajiannya adalah menggali hakekat keesaan wujud, zat, sifat dan

perbuatan Tuhan. Yang mewakili mainstream pertama ini adalah Mutakallimu>n (Ulama

* Mahasiswa Pascasarjana Institut Studi Islam Darussalam. Makalah ini adalah untuk memenuhi

tugas mata kuliah Worldview Islam yang diampu oleh Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi, MA. M.Phil. 1 Keesaan zat Allah berarti bahwa zat-Nya tunggal, esa, tidak berbilang, dan kesaan sifat-sifat-Nya

berarti bahwa hanya Allah semata yang memiliki ketinggian, kemuliaan dan kesempurnaan sifat-sifat, tiada

sesuatupun yang menyerupai atau menyamai Allah dalam hal ini.

Page 2: RUBU

2

Kala>m) dan Fala>sifah. Mainstream kedua adalah yang memahami Tauhid sebagai konsep

mengenal keesaan zat dan sifat Tuhan serta keesaan-Nya dalam hak penyembahan. Dari

sini mereka tidak hanya mengkaji bagaimana mengenal keesaan wujud Tuhan, tetapi juga

menekankan kajian tentang hak-hak Tuhan dari hamba-Nya, seperti kajian tentang

keesaan Allah dalam keberhakan ibadah, bentuk-bentuk kesyirikan, hal-hal yang

membatalkan ketauhidan, dsb.. Yang mewakili mainstream kedua ini adalah para ulama

h{adith, tafsi>r, fiqih dan tasawuf terutama generasi awal.

Menurut hemat penulis, mainstream kedua inilah yang lebih komprehensif dalam

memahami makna Tauhid, karena tidak hanya mengkaji Tuhan sebagai Zat yang Mahaesa

dan Mahasempurna dengan segala nama suci dan sifat-sifat-Nya (Tuhan sebagai Rabb),

tetapi juga mengkaji Tuhan sebagai satu-satunya Zat yang berhak disembah (Tuhan

sebagai Ila>h) dan tidak menyekutukan-Nya dengan apapun dalam penyembahan. Kajian

semacam ini tidak banyak ditemukan dalam kajian Kalam dan Filsafat, karena yang

banyak di dalamnya ketika membicarakan masalah ila>hiyya>t (ketuhanan) ialah

pembicaraan bahkan perdebatan tentang hakikat wujud Tuhan, zat dan sifat-sifat-Nya.

Padahal, masalah Tuhan sebagai satu-satunya ila>h (sesembahan yang haq) inilah yang

merupakan hakikat utama dakwah para nabi.

Dalam makalah ini penulis mencoba menggali konsep Tauhid melalui pendekatan

tafsir analitis-tematis dan pendekatan linguistik (tata bahasa dan semantik) terhadap

makna tauh}i>d, rabb dan ila>h di dalam Al-Quran dan Sunnah, serta berusaha menunjukkan

bahwa Konsep Tauhid dalam Islam ialah pengesaan Allah sebagai Rabb (zat, sifat dan

perbuatan-Nya) dan pengesaan Allah sebagai Ila>h (Tuhan yang patut disembah), dan tidak

cukup mengesakan satu aspek saja.

II. Rabb dan Ilâh Dalam Tinjauan Semantik

Telah disinggung bahwa mentauhidkan Allah secara umum berarti mengesakan

Allah dalam zat, sifat-sifat dan perbuatan-Nya serta mentauhidkan-Nya sebagai satu-

satunya zat yang berhak dan layak disembah, tiada sesembahan yang benar selain Dia

sehingga tidak boleh menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun dalam ibadah, dengan

kata lain, mentauhidkan Allah dalam sifat rubu>biyyah dan ulu>hiyyah-Nya. Maka sebelum

lebih jauh mengenal kedua aspek tauhid ini perlu terlebih dahulu kita menggali makna

semantik dari kata rabb dan ila>h dalam Al-Quran dan Sunnah.

1. Makna Rabb

Page 3: RUBU

3

Kata rabb dalam bahasa Arab adalah mashdar (kata benda) dari kata rabba-

yarubbu yang secara umum berarti mengurus dan mengatur. Kata Al-Rabb, dengan

tambahan ‚alif-la>m‛ hanya digunakan untuk Allah dan tidak digunakan untuk makhluk,

kecuali jika ‚alif-la>m‛-nya dibuang, lalu di-idha>fahkan kepada sesuatu, seperti rabbu al-

da>r (pemilik rumah) dan rabb al-ma>l (pemilik harta), dll.. Ibnu Qutaibah (w. 276 H)

menjelaskan: ‚Tidak dikatakan untuk makhluk: ‘Orang ini adalah Al-Rabb (si pemilik),

dengan menggunakan alif-la>m ta‘ri>f seperti halnya itu dikatakan kepada Allah…karena

Allah adalah ma>lik (pemilik/raja/penguasa) bagi segala sesuatu...‛2 Al-Ra>g}ib Al-As}faha>ni>

(w. 502 H) menambahkan bahwa kata rabb saja, tanpa id}a>fah dan tanpa alif-la>m ta‘ri>f

tidak digunakan kecuali untuk Allah. Ia mengatakan: ‚Kata rabb secara harfiah berarti

mengurus, mendidik, menumbuhkan sesuatu sedikit demi sedikit hingga mencapai

kesempurnaan... dan tidak digunakan secara mutlak (tanpa ikatan seperti: id}a>fah atau alif-

la>m) kecuali untuk Allah yang mengatur kemaslahatan segala yang mawjud, seperti dalam

firman-Nya: ‚baldatun t}ayyibatun wa rabbun ghafu>r.‛3

Majduddi>n Ibnu Al-Athi>r (w. 606 H) menjelaskan bahwa: ‚Kata al-rabb secara

bahasa berarti: ma>lik [pemilik/penguasa], sayyid [tuan/pemimpin], mudabbir [pengatur],

murabbi> [pendidik], qayyim [penjaga] dan mun‘im [pemberi nikmat], dan kata ini tidak

dikatakan secara mutlak kecuali untuk Allah.4 Ibnu Fa>ris (w. 395 H) juga menjelaskan:

‚Huruf ra>’ dan ba>’ menunjukkan beberapa makna dasar. Yang pertama: memperbaiki dan

merawat sesuatu, sehingga kata rabb berarti ma>lik [raja/penguasa], kha>liq [pencipta] dan

s}a>h}ib [pemilik]. Rabb juga berarti yang memperbaiki sesuatu...‛5 Imam Al-T{abari> (w. 310

H) menafsirkan: ‚(Kata) Rabb—Tuhan kita—berarti: Tuan yang tiada sesuatu serupa

dengan-Nya, tiada sesatupun yang memiliki kemuliaan dan keagungan seperti diri-Nya,

Dialah yang mengatur urusan makhluk-Nya dengan karunia nikmat-Nya kepada mereka,

dan Dialah raja/penguasa yang mencipta dan memerintah.‛6

2 Abu> Muh}ammad Abdulla>h bin Muslim bin Qutaibah Al-Dainu>ri>, Tafsi>r Gari>b al-Qur’a>n, (Beirut:

Da>r Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1978), h. 9 3 Abu> Al-Qa>sim Al-H{usain bin Muh{ammad bin Al-Mufad}d}al Al-Ra>gib Al-As}fha>ni>, Al-Mufrada>t fi>

Gari>b al-Qur’a>n (Beirut: Da>r al-Qalam, 1412 H), h. 336 4 Abu> Al-Sa‘a>da>t Al-Muba>rak bin Muhammad Ibnu Al-Athi>r, Al-Niha>yah fi> Gari>b al-H{adi>th wa al-

A<tha>r (Beirut: Al-Maktabah Al-‘Ilmiyyah, 1979), 2/92 5 Abu> Al-H{usain Ah}mad bin Fa>ris Al-Ra>zi>, Mu‘jam Maqa>yi>s Al-Lug}ah, (Beirut: Da>r Al-Fikr, 1979),

2/381 6 Imam Abu> Ja‘far Muh}ammad bin Jari>r Al-T{abari>, Ja>mi‘u al-Baya>n ‘an Ta’wi>li A<y Al-Qur’a>n,

(Beirut: Mu’assasah al-Risa>lah, 2000), 1/144

Page 4: RUBU

4

Berdasarkan penjelasan para ulama di atas dapat disimpulkan bahwa makna kata

Rabb [Tuhan] setidaknya dapat diklasifikasikan ke dalam empat kategori makna yaitu: (a)

Rabb berarti: Yang Maha mencipta, (b) Rabb berarti: Yang Maha merawat, mengatur,

mendidik dan memperbaiki, (c) Rabb berarti: Yang Mahakuasa, Yang Maha merajai dan

memiliki, dan Yang memerintah, dan (d) Rabb berarti: Yang Mahaagung dan Mahamulia.

Dari sini kita dapat melihat bahwa al-asma>’ al-h}usna> (nama-nama suci) dan al-

s}ifa>t al-‘ula> (sifat-sifat kemuliaan) bagi Allah, semuanya kembali kepada keempat

klasifikasi makna rubu>biyyah tersebut. Misalnya, nama-nama suci Allah seperti: al-kha>liq,

al-fa>t}ir, al-ba>ri>’, al-mus}awwir, al-mubdi’, al-mu‘i>d, al-muh}yi, al-mumi>t, dll., kembali

kepada makna rubu>biyyah yaitu: Yang mencipta. Kemudian nama-nama suci seperti: al-

malik, al-‘azi>z, al-jabba>r, al-qahha>r, al-muqtadir, al-qadi>r, al-mutakabbir, al-qawiyy, al-

mati>n, dll., kembali kepada makna rubu>biyyah yaitu: Yang Mahakuasa dan Maha merajai.

Nama-nama suci seperti: al-qayyu>m, al-h}a>fiz}, al-raqi>b, al-mu’min, al-muhaimin, al-

razza>q, al-wahha>b, al-‘adl, dll., semuanya kembali kepada makna rubu>biyyah yaitu: yang

merawat, mengatur, mendidik dan memperbaiki. Kemudian nama-nama suci seperti: al-

rah}ma>n, al-rah}i>m, al-‘afw, al-ra’u>f, al-g}afu>r, al-syaku>r, al-sala>m, al-sami>, al-‘ali>m, al-

khabi>r, al-h}aki>m, al-bas}ir, al-quddu>s, al-jali>l, al-kari>m, al-g}ani>, dan nama-nama suci

lainnya yang menunjukkan keluhuran, kemuliaan dan kesempurnaan Allah, semuanya

kembali kepada makna rubu>biyyah yaitu: Yang Mahaagung dan mahamulia.

Dengan demikian jelas bahwa kata rabb ini mengandung makna-makna yang

merupakan karakteristik khas bagi Tuhan, karena mencakup seluruh aspek makna al-

asma>’ al-h}usna> dan al-s}if>a>t al-‘ula> bagi Allah Swt. Sehingga tidak heran jika kata Rabb ini

sering mengganti posisi kata ‚Allah‛ di dalam Al-Quran dan Sunnah, sebagaimana akan

dijelaskan nantinya.

2. Makna Ila>h

Ila>h adalah mas}dar kata alaha - ya’lahu. Al-Fairu>z A<ba>di> (w. 817 H) berkata:

‚Alaha - ila>hah – ulu>hah – ulu>hiyyah, dari kata inilah terambil lafaz Jala>lah (Allah)... akar

katanya ialah ila>h dengan wazn (timbangan) fi‘a>l yang berarti ma’lu>h (yang disembah).

Dan setiap sesuatu yang dijadikan sesembahan merupakan ila>h bagi orang yang

menjadikannya sebagai sesembahan...‛7 Imam Al-T{abari> menjelaskan bahwa makna alaha

7 Abu T{a>hir Muh}ammad bin Ya‘qu>b Al-Fairu>z A<ba>di. Al-Qa>mu>s Al-Muh}i>t} (Beirut: Mu’assasah Al-

Risa>lah, 2005), h. 1242

Page 5: RUBU

5

ialah ‘abada (menyembah).8 Ibnu Fa>ris bahkan menyatakan bahwa huruf alif, la>m dan ha>’

adalah satu akar kata tersendiri yang maknanya adalah ta‘abbud (menyembah), bukan dari

kata waliha atau la>ha9, sebagaimana diklaim oleh sebagian ahli bahasa. Ila>h dengan makna

ma’lu>h ini juga ditegaskan oleh para ulama senior tafsir dan bahasa seperti: Al-

Zamakhshari> (w. 538 H) , Al-Baghwi (w. 516 H), Ibn Al-Jauzi> (w. 597 H), Al-Qurt}ubi> (w.

671 H), Al-Jauhari> (w. 393 H), Ibnu Sayyidih (w. 458 H), Muhammad bin Abu> Bakr Al-

Ra>zi> (w. 666 H), Ibnu Fa>ris, Al-Ra>g}ib Al-As}faha>ni>, Murtad}a> Al-Zabi>di> (w. 1205 H), dll.10

Abu> Bakr Al-Ra>zi> misalnya menjelaskan: ‚Makna alaha - ya’lahu - ila>hah ialah

‘abada (menyembah). Berdasarkan makna inilah Ibnu ‘Abba>s ra membaca ayat 127 surat

Al-A‘ra>f dengan salah satu qira>’a>t: ‘Wa yadharaka wa ila>hatak’, dengan meng-kasrah

hamzah, yakni: meninggalkan dirimu (wahai Fir’aun) dan meninggalkan penyembahan

padamu. Dari kata ini pula kata Alla>h berasal. Asal katanya adalah ila>h dengan wazn: fi‘a>l

yang berarti maf‘u>l, yakni ma’lu>h atau ma‘bu>d (yang disembah), seperti mas}dar kata:

ima>m yang berarti (maf‘u>l yaitu): mu’tamm bihi (yang diikuti atau dijadikan panutan).‛11

Imam Al-T{abari> juga menjelaskan bahwa asal kata ‚Allah‛ adalah al-ila>h12, yang

maknanya—sebagaimana yang beliau nukil dari perkataan Ibnu ‘Abba>s—yaitu: yang

disembah dan diibadahi oleh semua makhluk13

, atau dhul ulu>hiyyah wa al-ma‘bu>diyyah

(yang berhak untuk disembah dan diibadahi).14

Selain itu, kata ila>h juga mengandung beberapa makna lain yang masih berdekatan

dengan makna di atas, diantaranya: ‚aliha‛ yang berarti: tah}yyara (bingung). Hal ini

karena Tuhan adalah zat yang menjadikan bingung segala akal akan hakikat zat dan

sifatnya.15

Namun Ibnu Fa>ris tidak sepakat jika kata ila>h di sini berarti: tah}ayyara, karena

8 Ibnu Jari>r Al-T{abari>. Ibid. 1/123, 124

9 Ibnu Fa>ris, Ibid. 1/127.

10 Lihat: Mah}mu>d bin ‘Amr Al-Zamakhshari>, Al-Kashsha>f ‘an H}aqa>’iq G}awa>mis} Al-Tanzi>l (Beirut:

Da>r Al-Kita>b Al-‘Arabi>, 1407 H), 1/6. Abu> Al-Faraj Aburrah}ma>n bin ‘Ali> bin Muh}ammad Al-Jauzi>, Za>d Al-

Masi>r fi> ‘Ilmi Al-Tafsi>r (Beirut: Da>r Al-Kita>b Al-‘Arabi>, 1422 H), 1/16. Abu> Muh}ammad Al-H{usain bin

Mas‘u>d Al-Baghwi, Ma‘a>lim At-Tanzi>l fi> Tafsi>r Al-Qur’a>n, (Riya>d}: Da>r T}aibah, 1997), 1/50. Abu> Nas}r

Isma>‘i>l bin H{amma>d Al-Jauhari>, Al-S{ih}a>h} Ta>j Al-Lug}ah (Beirut: Da>r Al-‘Ilm li Al-Mala>yi>n, 1987), 6/2223.

Abu> Al-H{asan ‘Ali> bin Isma>‘i>l bin Sayyidih, Al-Mukhas}s}is}, (Beirut: Da>r Ih}ya> Al-Tura>th Al-‘Arabi>, 1996),

4/63. Abu> ‘Abdulla>h Muhammad bin Abu> Bakr Al-Ra>zi>, Mukhta>r Al-S{ih}a>h}, (Beirut: Al-Maktabah Al-

‘As}riyyah, 1999), h. 20. Al-Ra>gib Al-As}fha>ni>, Ibid. 1/82. Abu> Al-Faid} Muh}ammad bin Muh}ammad Murtad}a>

Al-Zabi>di. Ta>j Al-‘Aru>s (Da>r Al-Hida>yah, tanpa tahun), 36/320. 11

Muhammad bin Abu> Bakr Al-Ra>zi>. Ibid. h. 20. Lihat juga: Abu> Nas}r Al-Jauhari>. Ibid. 6/2223 12

Ibnu Jari>r Al-T{abari. Ibid. 1/125 13

Ibid. 1/122. 14

Ibid. 1/123. Muhammad bin Abu> Bakr Al-Ra>zi>. Ibid. 15

Al-Ra>g}ib Al-As}faha>ni. Ibid. h. 83

Page 6: RUBU

6

menurutnya, akar kata ila>h yang berarti tah}ayyara itu adalah waliha bukan aliha16, seperti

halnya kata washah}a yang mas}darnya adalah wisha>h} atau isha>h.17

Makna lainnya ialah:

tempat berlindung, karena Tuhanlah yang memberikan keamanan dan ketentraman kepada

makhluk. Al-Fairu>z A<ba>di> berkata: ‚Atau ila>h dari kata aliha yang berarti: tah}ayyara

(bingung), atau faza‘a ilaihi (berlindung kepadanya), atau alaha-hu: memberi rasa

aman.‛18 Ibnu Kathi>r berkata: ‚Ila>h diambil dari kata aliha al-rajulu – ya’lahu, yakni

merasa sangat takut karena masalah yang dihadapinya, lalu seseorang alaha-hu

(melindunginya), dan pelindung bagi segala makhluk adalah Allah Swt.‛19

Berdasarkan penjelasan para ulama di atas, dapat disimpulkan bahwa kata alaha

berporos pada makna: ‚menyembah‛, sementara ila>h adalah mas}dar yang berarti

ma’lu>h/ma‘bu>d yakni yang disembah, seperti halnya kita>b yang berarti maktu>b (yang

ditulis), ima>m yang berarti mu’tamm bihi (yang diikuti). Sementara makna-makna lain

alaha/aliha - ila>hah seperti: mencari/memberi perlindungan, merasa tenteram dan damai,

adalah konsekuensi logis dari makna ila>h yang berarti ma’lu>h/ma‘bu>d, karena Tuhan yang

disembah itu adalah yang memberikan ketenangan dan perlindungan kepada makhluk-

Nya, sementara makhluk mencari ketenangan, ketentraman dan perlindungan kepada

Tuhan. Allah Swt berfirman (yang artinya): ‚Sungguh dengan mengingat Allah lah hati

akan menjadi damai‛20 dan juga berfirman (yang artinya): ‚Dialah yang melindungi,

tetapi tidak ada yang dapat berlindung dari (azab)-Nya.‛21

Dari sini kita dapat menarik benang merah korelasi antara sifat rubu>biyyah Allah

dan sifat ulu>hiyyah-Nya. Bahwa hanya Allah Swt Tuhan yang benar, yang memiliki

nama-nama suci dan sifat-sifat kesempurnaan, sehingga hanya Dia yang berhak dan layak

diibadahi dan disembah. Sebab, selain Allah bukanlah Tuhan, selain Dia hanyalah

makhluk lemah yang tiada memiliki sifat-sifat kesempurnaan, sehingga tidak boleh dan

tidak layak diagungkan atau disembah. Sebaliknya makhluk wajib menyembah hanya

kepada Tuhan yang memiliki sifat rubu>biyyah dan ulu>hiyyah. Dengan demikian, jika ada

makhluk atau apapun yang disembah selain Allah maka penyembahan itu tidak benar,

tidak layak dan tidak patut, karena diberikan kepada yang tidak berhak.

16

Ibnu Fa>ris, Ibid. 1/127. Lihat juga: Abu> Nas}r Al-Jauhari>, Ibid. 6/2224 17

Murtad}a> Al-Zabi>di. Ibid. h. 36/324. 18

Al-Fairu>z A<ba>di>. Ibid. h. 1242. Lihat: Tafsir Al-Baghwi, Ibid. 1/50. Tafsir Ibn Al-Jauzi>, Ibid. 1/16. 19

Abu> Al-Fida> Isma>‘il bin ‘Umar bin Kathi>r, Tafsi>r Al-Qur’a>n Al-‘Az}i>m, (Beirut: Da>r Al-Kutub Al-

‘Ilmiyyah, 1419 H), 1/38 20

QS. Al-Ra‘d: 28 21

QS. Al-Mu’minu>n: 88

Page 7: RUBU

7

III. Makna ‚Tauhid‛ Persfektif Para Ulama

Setelah menjelaskan makna kata rabb dan ila>h, berikut akan dikaji makna tauhid

sebagaimana didefinisikan oleh para ulama bahasa, ulama kalam dan filsafat, serta ulama

tafsir dan hadith, kemudian mencoba memiloih manakah konsep tauhid yang paling

relevan dan komprehensif.

Secara lafaz, kata ‚tauh}i>d‛ tidak ditemukan di dalam Al-Quran, tetapi terdapat di

dalam hadith Nabi Saw dalam bentuk kata kerja dan mas}dar. Beliau bersabda

sebagaimana diriwayatkan oleh Ima>m Al-Bukha>ri>: ( ب ه أ و اىنزبة، فين أ ػي ق ئل رقذ

ذا هللا رؼبى ح ئى أ .(رذػ22

Dalam riwayat Ima>m Muslim, beliau bersabda: ( مفش حذ هللا

حضبث ػي هللا د بى هللا حش د ب ؼجذ .(ث23

Dalam riwayat Sunan Al-Da>raqut}ni>

diriwayatkan: ( حذ هللا ر ئى ب رذػ ه أ و اىنزبة فين أ ػي ق .(ئل رقذ24

Kata ‚tah}ui>d‛

adalah mas}dar kata wah}h}ada yang secara umum berarti menunggalkan (menghukumi

tunggal). Al-Khali>l bin Ah}mad (w. 170 H) berkata: ‚Al-Wah}ad berarti al-munfarid (yang

sendiri/ tunggal), al-wa>h}id adalah angka pertama dalam hitungan, dan al-wuh}da>n yakni

kelompok seorang-seorang.‛25

Al-Fairu>z A<ba>di mengatakan: ‚Wah}h}adahu tauh}i>dan yakni

menjadikan (menghukumi) sesuatu itu tunggal.‛26

Al-Zabi>di> juga mengatakan hal serupa:

‚Wah}h}adahu tauh}i>dan yakni menjadikannya tunggal, sama seperti thanna>hu

(menjadikannya dua) dan thallathahu (menjadikannya tiga).‛27

Al-Jurja>ni> (w. 816 H) juga

mengatakan: ‚Tauh}i>d secara bahasa berarti menghukumi dan mengetahui bahwa sesuatu

itu satu.‛28

Tentu saja makna kebahasaan di atas masih umum, karena belum dikaitkan

dengan obyek apa yang diesakan atau ditunggalkan.

22

Ima>m Abu> ‘Abdulla>h Muh}ammad bin Isma>‘i>l Al-Bukha>ri>, S}ah}i>h} Al-Bukha>ri>, Kita>b Al-Tauh}i>d,

Ba>b: Ma> ja>’a fi> du ‘a’ al-Nabi> ummatahu ila> al-tauh}i>d, (Da>r T{auq Al-Naja>t, 1422), 9/114. Arti hadith:

Sesungguhnya engkau (wahai Mu‘a>dh) akan mendatangi kaum Ahlul Kita>b, maka hendaklah dakwahmu

yang pertama kali kepada mereka adalah mentauhidkan Allah.‛

23 Ima>m Abu> Al-H}asan Muslim bin Al-H}ajja>j Al-Naisa>bu>ri>, S}ah}i>h Muslim, Kita>b Al-I>ma>n, Bab: Al-

Amru bi qita>l al-na>s h}atta> yashhadu> an la> ila>ha illalla>h. (Beirut: Da>r Ih}ya>’ Al-Tura>th Al-‘Arabi>), 1/53. Arti

hadith: ‚Barang siapa mengesakan Allah dan kafir terhadap apapun yang disembah selian Allah maka

haramlah harta dan darahnya. Dan perhitungannya kelak kembali kepada Allah.‛ 24

Ima>m Abu> Al-H{asan ‘Ali bin ‘Umar Al-Da>raqut}ni>, Sunan Al-Da>raqut}ni>, Kita>b Al-Zaka>h, Ba>b: Al-H{aththu ‘ala> ikhra>j al-s}adaqah wa baya>nu qismatiha>, (Beirut: Mu’ssasah Al-Risa>lah, 2004), 3/56

25 Abu> ‘Abdurrah}ma>n Al-Khali>l bin Ah}mad Al-Fara>hi>di>, Mu ‘jam Al-‘Ain (Da>r wa Maktabah Al-

Hila>l) 3/280 26

Al-Fairu>z A<ba>di. Ibid. h. 324 27

Murtad}a> Al-Zabi>di. Ibid. 9/266 28

Al-Shari>f ‘Ali> bin Muh}ammad bin ‘Ali> Al-Jurja>ni>, Al-Ta‘ri>fa>t, (Beirut: Da>r Al-Kutub Al-

‘Ilmiyyah, 1983) h. 69

Page 8: RUBU

8

Ketika tauhid dinisbatkan kepada lafaz Allah (seperti dalam hadith di atas), maka

disinilah tampak makna tauhid secara terminologi dimana terlihat dua mainstream ulama

dalam mendefinisikan maknanya, sebagaimana dijelaskan dalam mukaddimah. Ulama

Generasi Salaf mendefinisikan tauhid sebagai tauhid ulu>hiyyah atau tauhid ‘iba>dah

(tauhid penyembahan), sebagaimana akan dijelaskan pada sub judul berikutnya.

Sementara ulama Kala>m dan Filsafat cenderung memaknai tauhid sebagai keesaan Tuhan

dengan pengertian khas mereka, yaitu penafian terhadap apa yang mereka istilahkan

sebagai ‚nafy al-kammiyyah al-muttas}il wa al-kammiyyah al-munfas}il‛, yakni makna

tauhid terbatas pada penafian tathniyah / ta‘ddud (dualitas/kebergandaan) Tuhan serta

penafian tab‘i>d} / tarki>b / tajzi’ah (keterbagian, ketersusunan, keteruraian) zat Tuhan. Atas

dasar ini mereka menafikan sifat-sifat khabariyah Tuhan (seperti: ridha, ghad}ab, rah}mah,

wajh, yad, dll.) yang menurut mereka menunjukkan makna tarki>b dan tab‘i>d} ini.29

Bagi para Filosof dan Mutakallimu>n, kata tauhid diderivasi dari salah satu nama

Allah yaitu Al-Wa>hid atau Al-Ah}ad (Yang Esa), lalu menafsirkannya sebagai zat tunggal

yang tidak terbagi atau terurai. Ibnu Si>na> (w. 428 H) menjelaskan makna Al-Wa>hid (Yang

Esa) sebagai berikut:

‚Telah jelas bagi kita bahwa segala yang ada ini memiliki mabda’ wa>jbul wuju>d

(sumber yang niscaya ada) yang tidak terkategorikan ke dalam jins (genus), h}add

(tidak terdefinisi), burha>n (tidak teranalogikan), bebas dari kamm (kuantitas:

keteruraian dan kebergandaan), kaif (kualitas), ma>hiyah (esensi), bebas dari al-aina

(bertempat), al-mata (berwaktu), al-harakah (gerak), tiada tandingan, tiada sekutu,

tiada lawan, tunggal dari segala segi, karena Dia tiada terurai dalam bagian-bagian

baik secara dugaan maupun asumsi, seperti sesuatu yang sambung-menyambung,

maupun secara akal berupa zat-Nya tersusun dari makna-makna logis yang saling

berbeda kemudian keseluruhannya bergabung menjadi satu. Selain itu, Dia juga

tunggal dari segi wujud yang Dia miliki. Dia dengan semua makna ini adalah Yang

tunggal dan esa karena kewujudan-Nya yang sempurna, tiada sesuatu tersisa yang

ditunggu sehingga (dengan kedatangannya) Dia menjadi sempurna. Inilah salah satu

makna Al-Wa>h}id, dan tiada ketunggalan padanya melainkan dari cara penegasian.‛30

29

S}a>bir Abdurrah}ma>n T}a‘i>mah, Al-Mutakallimu>n fi> Dha>tilla>h wa S}ifa>tihi wa Al-Raddu ‘Alaihim,

(Kairo: Maktabah Madbu>li>, 2005), h. 431 30

Abu> ‘Ali> Al-H}usain bin Abdulla>h bin Si>na>, Al-Shifa>’, Al-Ila>hiyya>t, (Kairo: Al-Hai’ah Al-

Mis}riyyah li shu’u>n al-Mat{a>bi‘, 1960), 1/373. Teks aslinya berbunyi:

"قذ ظش ىب أ ىينو جذأ اجت اىجد، غش داخو ف جش، أ اقغ رحذ حذ، أ ثشب، ثشئب ػ اىن، اىنف، اىبخ،

أ احذ جغ اىج، أل غش قض، ل ف األجزاء ثبىفشض اى، األ، اىز، اىحشمخ، ل ذ ى، ل ششل، ل ضذ ى،

ىز مبىزصو، ل ف اىؼقو ثأ رن رار شمجخ ؼب ػقيخ زغبشح زحذ ثب جيز أ احذ حث غش شبسك أىجز ف جد ا

Page 9: RUBU

9

Ulama Kala>m menafsirkan nama Allah ‚Al-Wa>h}id‛ tidak jauh berbeda dengan

Fala>sifah. Imam Al-Ghaza>li> berkata: ‚Al-Wa>h}id terkadang dimaksudkan bahwa ia tiada

terbagi, yakni tidak berbilang, tiada memiliki bagian-bagian dan tiada ukurannya. Jadi Al-

Ba>ri> (Allah) Ta‘a>la> itu wa>h}id dalam arti penafian kuantitas yang menyebabkannya dapat

terbagi, karena Dia mustahil terbagi... Dan terkadang (al-wa>h}id) berarti yang tiada

bandingannya dalam kedudukan, seperti ungkapan: matahari itu satu-satunya, dan Al-Ba>ri>

Ta‘a>la> juga wa>h}id (esa) dengan makna ini, karena tidak ada yang sebanding dengan-

Nya.‛31

Al-Sharushta>ni> (w. 548 H) juga mendefinisikan tauhid: ‚Sesungguhnya Allah Swt

esa dalam zat-Nya, tidak terbagi, esa dalam sifat-sifat-Nya yang azali tiada yang serupa

dengan-Nya, esa dalam perbuatan-perbuatan-Nya, tiada yang menyekutui-Nya.‛32

Dalam

Niha>yat Al-Iqda>m, ia juga mendefinisikan makna Al-Wa>h}id sebagai berikut: ‚Al-Wa>h}id

adalah sesuatu yang tidak sah terbagi karena zat-Nya mustahil diurai dan mustahil

mempunyai sekutu. Maka Al-Ba>ri> (Allah Swt) tunggal dalam zat-Nya tiada terbagi,

tunggal dalam sifatnya tiada yang menyerupai-Nya, tunggal dalam perbuatan-Nya tiada

yang menyekutui-Nya.‛33

Al-Fakhr Al-Ra>zi> (w. 606 H) menjelaskan konsep makna nama Allah, Al-Wa>h}id

sebagai berikut: ‚Ketahuilah bahwa ketika kami mengatakan Allah itu wa>h}id, ungkapan

ini memiliki dua tafsiran: Pertama, bahwa zat-Nya tidak tersusun dari bagian-bagian, dan

hal ini tidak bisa dipahami tanpa menjelaskan bahwa Allah tidak menempati ruang (laisa

mutah}ayyizan) dan tidak berada pada arah tertentu (laisa fi> jihah). Kedua, penjelasan

bahwa Allah Swt Mahasuci dari memiliki tandingan dan sekutu. Oleh karena itu, tema ini

tersusun dari dua bagian: Pertama, penjelasan bahwa Allah mahasuci dari tah}ayyuz dan

jihah. Kedua, penjelasan bahwa Allah Mahasuci dari tandingan dan sekutu.‛34

Lalu dalam

tafsir ‚Mafa>tih} Al-Ghaib‛nya, ketika menafsirkan makna ‚keesaan‛ dalam surat Al-

Ikhlas}: ‚Maksud al-ah}adiyyah ialah keadaan Realitas (Tuhan) itu sebagai Yang tunggal,

ى شء زظش حز ز قذ مب زا أحذ ج اىاحذ، ىش اىاحذ ف ئل ػي ى، ف ثز اىج فشد، احذ أل رب اىجد، ب ثق

اىج اىضيج."31

Abu> H}amid Muh}ammad bin Muh}ammad Al-Ghaza>li>, Al-Iqtis}ad fi> Al-I‘tiqa>d, (Beirut: Da>r Al-

Kutub Al-‘Ilmiyyah, 2004), h. 47-48 32

Abul Fath} Muh}ammad bin Abdul Kari>m bin Abi> Bakr Al-Shahrushta>ni>, Al-Milal wa Al-Nih}al,

(Kairo: Mu’assasah Al-H}alabi), 1/42 33

Al-Shahrushta>ni>, Niha>yat Al-Iqda>m fi> ‘Ilm Al-Kala>m (Beirut: Da>r Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1425),

1/56 34

Fakhruddi>n, Muh}ammad bin ‘Umar bin Al-H}usain Al-Ra>zi>, Al-Mat}a>lib Al-‘A>liyah min Al-‘Ilm Al-

Ila>hi>, (Beirut: Da>r Al-Kita>b Al-‘Arabi>, 1987), 2/5

Page 10: RUBU

10

jauh dari segala bentuk ketersusunan...‛35

Al-Jurja>ni> mendefinisikan: ‚Tauhid itu tiga hal:

pengetahuan tentang rubu>biyyah Allah, pengakuan tentang wah}da<niyyah (keesaan)-Nya

dan menafikan anda>d (sekutu-sekutu yang setara) dengan-Nya.‛36

Mutakallimu>n dari kalangan Mu‘tazilah juga mengkalim diri mereka sebagai ahli

tauhid sejati dan menuding siapa saja yang mengafirmasi sifat-sifat Tuhan sebagai

kelompok mushabbihah (yang menyerupakan Tuhan dengan makhluk). Namun yang

mereka maksud dengan tauhid ialah penafian sifat-sifat Tuhan dan hanya mengafirmasi

(ithba>t) zat-Nya saja tanpa sifat. Alasannya, karena menurut mereka afirmasi terhadap

sifat-sifat Tuhan berarti membenarkan keberadaan hal-hal lain (yakni sifat-sifat) yang

kekal selain zat Allah (ta‘adud al-qudama>’) dan hal ini menurut mereka menafikan tauhid

(pengesaan Zat-Nya). Dan jika sifat-sifat tersebut tidak kekal lalu berada pada Tuhan

maka implikasinya Tuhan merupakan tempat (mah}all) bagi hal-hal yang tidak kekal

(h}awa>dith), dan sesuatu yang menjadi tempat bagi hal-hal yang tidak kekal juga bersifat

tidak kekal. Al-Khayyat} Al-Mu‘tazili> misalnya berkata:

‚Kalaulah Allah mengetahui dengan sifat ilmu niscaya ada dua pilihan: ilmu itu

bersifat qadi>m (azali) ataupun muh}dath (bahru). Tetapi mustahil sifat ilmu itu qadi>m

karena hal ini akan meniscayakan adanya dua hal yang kekal (zat Tuhan dan sifat

ilmu Tuhan), dan hal ini berarti keberbilangan dan tentu saja mustahil. Dan tak

mungkin juga sifat ilmu itu muh}dath, karena jika demikian ada dua pilihan: Allah

mencipta sifat ilmu itu pada diri-Nya ataupun menciptanya secara mandiri tanpa

berada pada zat. Jika Tuhan menciptanya pada diri-Nya maka Tuhan akan menjadi

tempat bagi hal-hal yang muh}dath dan setiap yang menjadi tempat bagi hal-hal yang

muh}dath juga muh}dath sepertinya dan ini mustahil (bagi Allah). Lalu jika Tuhan

menciptanya pada yang lain, maka sifat ilmu itu akan menjadi sifat bagi yang lain itu

dan bukan bagi Allah, seperti halnya sesuatu yang melekat padanya sifat warna,

dialah yang disebut berwarna bukan yang lain. Juga mustahil jika dikatakan Tuhan

menciptanya secara mandiri bukan berada pada zat, karena ilmu itu adalah aksiden

dan aksiden mustahil berdiri sendiri tanpa berada pada pada jism. Maka tidak ada

pilihan lain selain bahwa Allah itu ‘a>lim bi dha>tihi (tidak ada dualitas zat dan sifat,

tetapi zat itu sifat dan sifat itu adalah zat [al-s}fa>t ‘ainu al-dha>t]).‛37

35

Al-Fakhr Al-Ra>zi>, Tafsi>r Mafa>tih} Al-Ghaib, (Beirut: Da>r Ih}ya>’ Al-Tura>th Al-‘Arabi>, 1420 H),

32/361 36

Al-Shari>f Al-Jurja>ni>, Ibid. h. 69 37

‘Abdurrah}i>m bin Mu}ammad bin ‘Uthma>n Al-Khayyat}, Kita>b Al-Intis}a>r wa Al-Radd ‘ala> Ibn Al-

Rawandi> Al-Mulh}id, (Beirut: Maktabah Al-Da>r Al-‘Arabiyyah li Al-Kita>b, 1993), h. 111-112

Page 11: RUBU

11

Dari beberapa kutipan definisi ketunggalan Tuhan perspektif filsafat dan Kala>m di

atas disimpulkan bahwa setidaknya terdapat dua pantangan utama yang menurut mereka

menafikan tauhid, yaitu: pantangan ‚ketersusunan (tarki>b)‛ dan pantangan ‚kemenjadi-

tempatan bagi hal-hal yang tidak kekal (mah}all li al-h}awa>dith)‛. Lalu, karena tak ingin

mengatakan Tuhan itu tersusun (murakkab), Fala>sifah menafikan semua sifat-sifat Allah,

karena jika Tuhan memiliki sifat-sifat maka Tuhan menurut mereka tersusun, dan hal ini

menafikan Tauhid.38

Dengan alasan yang sama Mutakallimu>n menafikan sifat-sifat

khabariyah Allah yang tercantum di dalam Al-Quran dan Sunnah seperti: yad, ‘ain,

istiwa>’, nuzu>l, rid}a>, ghad}ab dll., dengan cara men-ta’wi>l makna hakiki sifat-sifat tersebut.

Demikian pula dengan Muktazilah, menurut mereka sifat-sifat Tuhan itu tidak mungkin

kekal karena asumsi kekalannya akan menggiring kepada ta‘addud al-qudam>a’, dan tidak

mungkin juga muh}dath, karena jika sifat-sifat itu muh}dath maka Tuhan menjadi tempat

bagi hawa>dith, sehingga akhirnya mereka menetapkan bahwa tauhid itu ialah keesaan zat

Tuhan tanpa sifat.

Pemaknaan tauhid atau Al-Wa>h}id seperti di atas tidak dikenal di dalam Al-Quran

dan Sunnah, bahkan tidak pernah pula dikatakan oleh para ulama bahasa generasi awal

seperti Al-Khali>l bin Ah}mad, Al-Azhari>, Ibnu Duraid, dll.. Ibnu Taimiyah mengatakan:

‚Tafsiran mereka terhadap nama (Allah) Al-Wa>h}id tidak ada sumbernya dari Al-

Quran, Sunnah, perkataan Salaf dan para A’immah, dan juga batil secara Syara‘, akal

dan bahasa. Secara bahasa, para ulama bahasa sepakat bahwa makna al-wa>h}id secara

bahasa bukanlah sesuatu yang satu sisinya tak dapat dibedakan dari sisinya yang lain,

atau tak mungkin diindra sedikitpun darinya, karena Al-Quran, bahasa Arab dan

bahkan semua bahasa sepakat menyifati makhluk-makhluk dengan kata al-wa>h}id,

sementara makhluk-makhluk tersebut adalah jism (yang murakkab )... sebagai

contoh, Allah berfirman: ( احذح فش حذا ) (خيقن خيقذ احذح فيب ) (رس ئ مبذ

) :Nabi juga bersabda ...(اىصف ف اىثة اىاحذ ىش ػي ػبرق شء ل صو أحذم )... Adapun

secara akal, sesuatu Yang Esa yang mereka deskripsikan seperti demikian adalah

perkara tak logis dan mustahil memiliki wujud real, selain sekedar abstraksi pikiran.

Sebab tidak ada dalam wujud real sesuatu yang tidak memiliki sifat apapun, tidak

38

Dalam diskursus filsafat, tarki>b memiliki banyak arti yang semuanya harus dinafikan dari Tuhan.

Diantaranya ialah: ketersusunan dari eksistensi (wuju>d) dan esensi (ma>hiyah), ketersusunan dari genus (jins)

dan defrensia (fas}l), ketersusunan dari zat dan sifat yang mereka istilahkan dengan tarki>b fi al-kamm (ketersusunan dalam kualitas), dan ketersusunan dari jawa>hiar mufradah (kumpulan atom) dan ketersusunan

dari ma>dah (materi) dan s}u>rah (faktor pembentuk), dua terakhir ini mereka istilahkan sebagai tarki>b fi al-kaif (ketersusunan dalam kuantitas). Ditambah lagi dengan ketersusunan dari jauhar (atom) dan ‘arad} (aksiden) dalam istilah Mutakallimu>n. Lihat: Abu> Al-‘Abba>s Ah}mad bin Abdul H}alil>m bin Taimiyyah, Al-

Risa>lah Al-S}afadiyyah, (Riya>d}: Maktabah Ad}wa’ Al-Salaf, 2002), h. 134

Page 12: RUBU

12

memiliki ukuran, tidak dapat dibedakan dengan yang lain, mustahil terlihat, terindra

dan diketahui... Selain itu, mengafirmasi bahwa sesuatu itu ‚satu‛ mestilah berarti ia

memiliki entitas mandiri yang khusus dan berbeda dengan yang lain....‛39

Kritik Ibnu Taimiyah terhadap makna tauhid perspektif Fala>sifah dan

Mutakallimu>n di atas tidak berarti lantas ia mengafirmasi sebaliknya bahwa Tuhan itu

bersusun dan berjisim layaknya manusia (murakkab-mujassam). Ia hanya tak ingin

hakikat tauhid yang sejati terpinggirkan oleh pembahasan-pembahasan yang di luar

konteks Syariat, yang terkadang kata-kata tersebut bersifat mujmal (ambigu) dan

mengandung makna haq dan bathil sekaligus. Dalam kondisi seperti ini tentu saja akan

sangat bermasalah ketika kata-kata mujmal tersebut diafirmasi atau dinegasikan dari

Allah. Kata murakkab ini sebagai contohnya. Kata ini, selain tidak diterangkan oleh

Syariat untuk diafirmasi atau dinegasikan, ia sangat ambigu, mengandung haq dan bathil

sekaligus, sehingga tidak perlu dibenarkan atau dinafikan.

Telah maklum bahwa di antara argumen utama yang mendorong kalangan

Fala>sifah memunculkan pantangan ‚tarki>b‛ ini adalah asumsi bahwa ‚setiap murakkab

(yang tersusun)‛ butuh kepada ‚bagian-bagian penyusun dirinya‛, sementara Wa>jib al-

Wuju>d tidak butuh kepada apapun.40

Menjawab argumen ini, Ibnu Taimiyah menjelaskan

bahwa penafian tarki>b ini sangat ambigu, karena istilah tarki>b atau murakkab memiliki

beberapa makna, diantaranya: (1) murakkab karena disusun oleh pihak lain (rakkabahu

ghairuhu), (2) murakkab dari materi-materi terpisah, seperti tarki>b al-adwiyah wa al-

at}‘imah (menyusun/meracik obat, membuat makanan), dll., (3) murakkab dari sesuatu

yang mungkin dipisah bagian-bagiannya seperti susunan anggota badan manusia, (4)

murakkab dalam arti terdiri dari zat dan sifat, dan masing-masing dapat dipikirkan secara

terpisah, seperti memikirankan sifat saja tanpa memikirkan zat, atau sebaliknya, atau

memikirkan tentang sifat ilmu saja, terpisah dari sifat qudrah, ira>dah dsb.41

Jika yang mereka maksud dengan tarki>b/murakkab adalah makna yang pertama,

kedua dan ketiga, makna jelas makna-makna tersebut mustahil bagi Allah. Karena

mustahil Allah disusun oleh penyusun sehingga Dia butuh kepada yang menyusun-Nya.

Tidak mungkin juga berarti tersusun dari anggota badan layaknya fisik manusia, atau

yang tersusun dari jawa>hir mufradah (benda-benda terkecil yang tak terbagi lagi). Makna-

39

Ibnu Taimiyyah, Baya>n Talbi>s Jahmiyyah fi> Ta’si>s Bida‘ihim Al-Kala>miyyah, (Riya>d}: Majma‘

Malik Fahd: 1426), 3/146-148 40

Ibnu Taimiyyah, Al-Risa>lah Al-S}afadiyyah, h. 135 41

Ibid.

Page 13: RUBU

13

makna ini otomatis ternafikan dari Allah, sebab tiada sesuatupun yang setara atau serupa

dengan-Nya. Adapun jika dengan istilah tarki>b ini mereka menafikan bahwa Allah Swt

adalah zat yang memiliki sifat-sifat seperti melihat, mendengar, berfirman, murka,

mencintai, dll., maka sifat-sifat tersebut adalah makna-makna yang benar ada pada zat

Allah, dan tidak boleh dinafikan hanya karena mereka menyebut zat yang memiliki sifat-

sifat seperti itu sebagai jism murakkab yang dapat terurai atau terbagi-bagi. Tidak ada

dalil bagi mereka untuk menafikannya, karena faktanya Syariat telah menetapkannya.

Argumen mereka bukan h}ujjah atas dalil-dalil Syariat. Memang masing-masing dari zat

dan sifat dapat dipikirkan secara mandiri, tetapi suatu zat yang dapat dipikirkan secara

mandiri tidak berarti bahwa zat tersebut pada realitasnya benar terpisah dari sifat.

Kalaupun dikatakan terpisah, keterpisahan itu sejatianya berada pada abstraksi pikiran

manusia yang memikirkannya, bukan pada realitas zat dan sifat yang dipikirkan.

Statemen, ‚Jika Tuhan tersusun maka Dia butuh kepada bagian-bagian penyusun-

Nya‛ juga sangat ambigu karena mengindikasikan bahwa zat butuh kepada sesuatu yang

terpisah dari dirinya secara secara wujud, waktu atau tempat, padahal kenyataannya tidak

demikian. Suatu zat yang memiliki sifat-sifat niscaya baginya mustahil terpisah dari sifat

tersebut. Hakikat zat tiada lain adalah sesuatu yang memiliki sifat. Keadaan Zat yang

memiliki sifat tidak berarti bahwa zat dan sifat itu mandiri secara wujud dan masing-

masing terpisah, karena mustahil ada zat tanpa sifat dan mustahil suatu sifat berdiri

sendiri tanpa zat. Bahkan zat (dha>t) dalam bahasa Arab adalah bentuk ta’nith (feminin)

dari kata dhu> yang berarti s}a>h}ib (pemilik), dan kata dhu>/dha>t ini mesti ber-id{a>fah (ber-

nisbat) kepada sesuatu yang lain, seperti dha>t al-ma>l (pemilik harta), dhatu ‘ilmin

(pemilik ilmu atau orang berilmu). Kemudian karena kata ini terlalu sering dipergunakan

untuk menunjuk kepada entitas sesuatu maka mud}a>f iliaihi-nya dibuang dan diganti oleh

alif-lam ta‘ri>f di depannya sehingga menjadi al-dha>t, asalnya justru dha>tu sifa>t (pemilik

sifat).42

Bagi penulis, sikap yang paling benar dan selamat ialah meng-ithba>t

(mengafirmasi dan meyakini) sifat-sifat Allah tersebut seperti manhaj Ulama Salaf,

dimana mereka meng-ithba>t wujud sifat-sifat tersebut sebagai sifat Allah Swt. Sifat-sifat

tersebut memiliki hakikat yang diketahui maknanya secara umum nemun tidak diketahui

42

Kritik Ibnu Taimiyah seputar ini sangat banyak di dalam buku-bukunya. Lihat sebagai contoh: Al-

Risa>lah Al-S}afadiyyah, h. 133-136. Dar’u Ta‘a>rud} al-‘Aql wa al-Naql, (Riyad}: Da>r Al-Fad}ilah, 2008),

1/272-273. Lihat juga: Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Mukhtas}r Al-S}awa>‘iq Al-Mursalah (Kairo: Da>r Al-

H}adi>th, 2004) h. 144-145

Page 14: RUBU

14

hakikat dan kualitas realitasnya (kaif).43 Kita menemukan di dalam Al-Quran ‚penamaan-

penamaan yang sama‛ antara apa yang ada di dunia dan yang ada di akhirat, seperti kata:

‚jannah‛, ‚na>r‛, ‚anha>r‛, ‚fa>kihah‛ dll. Kata-kata ini kita ketahui maknanya secara

umum, namun tidak ada orang yang mengklaim tahu ‚kaif-nya‛. Makna umum tersebut

adalah ‚wujud‛nya, yakni wujud jannah dan na>r tersebut. Oleh karenanya, kaum

Muslimin mengimani wujud ‚jannah‛ dan ‚na>r‛ meskipun tidak mengetahui kaif-nya, dan

tentu tidak ada orang yang mengatakan bahwa jannah dunia sama dengan jannah akhirat,

meskipun penamaanya sama.

Imam Al-Dhahabi menukil perkataan Imam Abu> Bakr Al-Khat}ib sebagai berikut:

‚Prinsip dasar dalam hal ini, bahwa pembicaraan tentang sifat-sifat Allah adalah

cabang dan turunan dari pembicaraan tentang zat-Nya. Jika telah diketahui bahwa

ithba>t Rabb semesta alam berarti mengafirmasi wujud Zat-Nya bukan (menentukan

kualitas) realitas Zat-Nya, maka demikian pula dengan ithba>t sifat-sifat-Nya, yang

berarti mengafirmasi wujud sifat-sifat itu bukan menentukan kualitas dan hakikat

sifat-Nya. Jika kita mengatakan bahwa Allah memiliki yad (tangan), sam‘

(pendengaran) dan bas}ar (penglihatan), ini berarti sifat-sifat yang Allah ithba>tkan ada

pada diri-Nya. Kita tidak perlu mengatakan bahwa makna yad adalah qudrah

(kemampuan/kekuatan), tidak pula memaknai pendengaran dan penglihatan sebagai

ilmu, serta tidak pula kita mengatakan bahwa sifat-sifat tersebut adalah jawa>rih}

(organ tubuh). Kita tidak men-tashbi> sifat itu dengan tangan, pendengaran dan

penglihatan manusia yang merupakan anggota badan dan indra. Tetapi kita

mengatakan bahwa sifat-sifat tersebut wajib di- ithba>t karena dalil-dalil Syariat

meng-ithba>tkannya, tetapi kita juga wajib menafikan tashbi>h sifat-sifat tersebut

43

Imam Ma>lik rh berkata: ‘Istiwâ’ itu maklum—dimaklumi maknanya secara bahasa—tetapi kaif

(hakikat/realitasnya) tidak diketahui. Menanyakan hal-hal semacam ini adalah perkara bid‘ah.‛ Ibnu

Taimiyah, Bayân Talbîs al-Jahmiyyah fî Ta’sîs Bidaihim al-Kalâmiyah, (Mu’assasah Qurthubah), 2/37.

Tentang riwayat ini Imam Al-Dhahabi berkata:

‚Riwayat ini shahih dari Ma>lik, dan pernah diucapkan sebelumnya oleh Rabi>‘ah, gurunya

Ma>lik. Ini adalah pendapat Ahlussunnah seluruhnya bahwa kaifiyah (kualitas-realitas) istiwa>’

tidak dapat kita ketahui, dan bahwa istiwa>’ diketahui maknanya sebagaimana dikabarkan dalam

Kitab-Nya, dan bahwa sifat ini sesuai dengan keagungan-Nya, tidak kita perlu mendalaminya,

tidak sok tahu, tidak menyelami konsekuensi-konsekuensi maknanya, baik menafikan atau

meng-ithba>tkannya. Tetapi kita diam sebagaimana Ulama Salaf diam. Kita ketahui bahwa

kalaulah ia mempunyai ta’wi>l niscaya para Sahabat dan Ta>bi‘i>n akan segera menjelaskannya

dan mereka tidak akan membiarkan atau diam tentangnya. Kita juga mengetahui dengan yakin

bahwa tiada sesuatupun yang serupa dengan Allah Swt dalam sifat-Nya, baik sifat istiwa>’

maupun nuzu>l-Nya. Mahasuci dan Mahatinggi Allah dari apa-apa yang dikatakan oleh orang-

orang zalim.‛ Lihat: Shamsuddi>n Abu> Abdulla>h Muh}ammad bin Ah}mad bin ‘Uthma>n Al-

Dhahabi>, Al-‘Uluw li Al-‘Aliy Al-Ghaffa>r, (Riyad}: Maktabah Ad}wa>’ Al-Salaf, 1995), h. 139.

Page 15: RUBU

15

karena Allah berfirman (yang artinya): ‚Tiada sesuatupun yang serupa dengan-Nya.‛

‚Tiada sesuatupun yang setara dengan-Nya.‛44

Maka, kesamaan nama sifat Kha>liq dan makhluk tidak berarti kesamaan hakikat

dan realitasnya, sehingga mengafirmasinya tidak menunjukkan makna tajsi>m atau tarki>b,

karena sifat-sifat Allah sesuai dengan kemuliaan dan keagungan-Nya. Dengan demikian

sifat-sifat khabariyyah Allah yang diinformasikan oleh Al-Quran dan Sunnah, seperti

sifat: h}ayat, ‚ilm, sam‘, bas}ar, kala>m, rid}a>, rah}mah, ghad}ab, yad, ‘ain, wajh, istiwa’, dll.,

harus diafirmasi dan diyakini wujudnya sebagai sifat Allah karena Al-Quran dan Sunnah

menginformasikan hal itu. Sifat-sifat tersebut benar adanya dan tidak boleh dinafikan

hanya karena Falasifah atau Mutakallimu>n menyebut zat yang memiliki sifat-sifat seperti

itu berkonsekuensi tajsi>m/tarki>b.

Tentu saja segala bentuk kaif yang kita pikirkan harus dibuang jauh-jauh, karena

Allah ‚laisa kamithlihi> syai’un‛...dalam zat, sifat dan perbuatan-Nya. Yang dituntut

hanyalah mengimani makna umum sifat-sifat tersebut dan tidak perlu men-ta’wi >lkannya

kemana-mana. Dan tidak perlu pula menafikan wujudnya hanya karena penamaannya

sama dengan sifat makhluk, apalagi menanggap orang yang meng-ithba>tkannya sebagai

Mushabbihah. Karena mereka yang meng-ithba>tkannya sama sekali tidak pernah berfikir

menyerupakan Kha>liq dengan makhluk. Jangankah menyerupakan Kha>liq dengan

makhluk, sama makhlukpun, meskipun terdapat kesamaan nama sifat, tetap saja hakikat

sifat masing-masing berbeda. Karena setiap kata mempunyai realitas yang berbeda ketika

dinisbatkan kepada si empunya kata. Maksudnya, kata ‚kaki‛ misalnya kita pahami

maknanya secara umum, namun ketika dinisbatkan kepada empunya maka akan berbeda

relitas/kaif-nya masing-masing seperti: kaki manusia, kaki meja, kaki ayam, dll.. Ini pada

tataran sesama makhluk, apalagi antara makhluk dan Sang Khaliq!

Kajian seputar sifat-sifat Allah ini sebenarnya bukan di sini tempatnya, namun

disinggung sekilas untuk menunjukkan bahwa afirmasi terhadap sifat-sifat Allah sama

sekali tidak menafikan Tauhid, sebagaimana diklaim oleh Fala>sifah dan sebagai Ulama

Kala>m. Sebab jika afirmasi terhadap sifat-sifat Allah sebagaimana adanya di dalam Al-

Quran dan Sunnah berarti penafian terhadap Tauhid, berarti yang pertama kali menafikan

Tauhid justru Al-Quran dan Sunnah itu sendiri, dan jelas hal ini mustahil. Penulis yakin

umat Islam sepakat bahwa yang paling mengetahui hakikat Tuhan adalah Allah dan

Rasul-Nya, sehingga tentu saja bahasa Al-Qur’a>n dan Sunnah adalah bahasa yang paling

44

Shamsuddi>n Al-Dhahabi>, Ibid. h. 253

Page 16: RUBU

16

otentik, paling otoritatif, berderajat paling tinggi dan paling mampu mendeskripsikan

Tuhan serta sifat-sifat-Nya secara benar. Bukan bahasa tradisi dan bahasa budaya etnis

tertentu, tidak juga bahasa spekulasi filosofis semata.

Bahasan singkat tentang sifat-sifat Allah di atas menunjukkan bahwa corak umum

makna tauhid menurut Mutakallimu>n dan Fala>sifah hanya berkutat seputar mengenal

hakikat keesaan Tuhan yang hanya merupakan salah satu makna rubu>biyyah-Nya, yang

itupun tak luput dari berbagai kritik. Tidak terlihat dalam definisi-definisi tersebut

penekanan tentang penghambaan kepada Allah semata (Tauhid Ulu>hiyyah) dan

pengingkaran terhadap kesyirikan. Padahal tauhid kedua inilah yang merupakan inti

ajaran dan dakwah para nabi.

Dengan melihat kepada Al-Quran kita akan mendapatkan bahwa dakwah utama

para nabi dan rasul adalah seruan untuk men-tauhidkan penghambaan hanya kepada Allah

semata dan tidak menyekutukan-Nya dalam penyembahan dengan sesuatu apapun. Al-

Quran dengan jelas menginformasikan hal ini, bahwa Nabi Nu>h}, Hu>d, S}a>lih}, Shu‘aib, dan

nabi-nabi yang lain, semuanya menyeru kaumnya dengan seruan yang persisa sama: ( اػجذا

ش غ ئى ب ىن (هللا 45

Dalam redaksi lain mereka berseru: ( أل رؼجذا ئل هللا).46

Bahkan, tak

hanya mereka yang berseru demikian, bahkan Allah Swt sendiri menyerukan langsung hal

ini (mengkirik kaum Majusi penyembah dua Tuhan): ( احذ ئى ب ئ اث قبه هللا ل رزخزا ئى

فبسج (فاب47

, dengan memaknai ila>h pada ayat tersebut sebagai sesembahan yang haq

sebagaimana dalam pembahasan makna ila>h di atas. Allah juga berfirman (mengkritik

kaum Nasrani penyembah tiga Tuhan): ( ئى ب هللا ثبىث ثالثخ قبىا ئ احذ ىقذ مفش اىز ئل ئى )48

,

dan menyeru siapa saja yang menyembah selain Allah dengan berfirman: ( غ هللا .(أئى 49

Ayat-ayat semacam ini sangat banyak di dalam Al-Quran, yang semuanya menunjukkan

betapa urgennya masalah tauhid Ulu>hiyyah ini.

45

QS. Al-A‘ra>f: 59, 73, 85. QS. Hu>d: 50, 61, 84. Al-Mu’minu>n: 23, 32. Seruan serupa: QS. Al-

Ma>’idah: 117. QS. Al-Nah}l: 36. QS. Al-Naml: 45. QS. Nu>h}: 3. Dll. Terjemahan ayat: ‚Sembahlah Allah,

tiada bagi kalian ila>h (sesembahan yang benar) selain Dia.‛ 46

QS. Hu>d: 2. QS. Fus}s}ilat: 14. QS. Al-Ah}qa>f: 41. Terjemahan ayat: ‚Janganlah kalian menyembah

selain Allah.‛ 47

QS. Al-Nah}l: 51. Terjemahan ayat: ‚Allah berfirman: ‘Janganlah kalian menyembah dua Ila>h;

sesungguhnya Dia Ila>h yang Esa, maka hendaklah kepada-Ku saja kalian takut.‛ 48

QS. Al-Ma>’idah: 73. Terjemahan ayat: ‚Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang

mengatakan: ‘Sesungguhnya Allah salah satu dari oknum yang tiga’, padahal sekali-kali tidak ada Ila>h

selain dari Ila<h yang Esa.‛ 49

QS. Al-Naml: 60, 61, 62, 63, 64. Terjemahan ayat: ‚Adakah ada Ila>h (sesembahan yang benar)

selain Allah?‛ Pertanyaan dalam ayat ini adalah istifha>m inka>ri> (berbentuk pertanyaan tetapi bermaksud

pengingkaran). Telah maklum dalam kajian bahwa bahasa istifha>m inka>ri> berarti nafy (penegasian),

sehingga makna ayat menjadi: Tiada ila>h selain Allah.

Page 17: RUBU

17

Jadi, definisi Mutakallimu>n dalam dalam masalah tauhid hanya berkisar pada

ithba>t keesaan Allah yang merupakan salah satu makna rubu>biyyah-Nya, dan tidak

sampai menetapkan Tauhid Ulu>hiyyah. Padahal sekedar menetapkan adanya ‚Pencipta

dan Pengatur (Rabb)‛, seseorang belum bisa dianggap sebagai muslim. Untuk menjadi

muslim, seseorang juga harus betul-betul ‚berserah diri‛ dengan menetapkan Allah

sebagai satu-satunya Rabb dengan segala sifat kesempurnaan-Nya dan satu-satunya

‚Tuhan-Sesembahan (Al-Ila>h)‛ yang haq yang merupakan tujuan ibadahnya. Pengakuan

dan peribadatan terhadap Sesembahan ini pun tidak akan diterima kecuali dengan

menetapkan bahwa Sesembahan itu hanyalah ‚Satu‛ semata dan tidak melakukan

‚Syirik‛ (Penyekutuan dalam menyembah).

Hal ini karena kaum Musyrik Arab di masa Rasulullah Saw juga sudah

menetapkan adanya Rabb Pencipta langit dan bumi yang Esa, akan tetapi dengan sekedar

ithba>t rubu>biyyah mereka belum bisa dianggap sebagai seorang muslim. Al-Quran

menginformasikan bahwa mereka mengakui Allah adalah Rabb yang mencipta dan

mengatur alam semesta. Namun mereka tidak komitmen dengan pengakuannya, lalu

menyembah berhala-berhala yang jelas-jelas bukan Rabb dan bukan Ila>h yang benar.

Allah Swt berfirman: ‚Sesungguhnya jika kalian menanyai mereka: ‘Siapakah yang

menciptakan langit dan bumi dan menundukkan (mengatur dan mengurus peredaran)

matahari dan bulan?’ tentu mereka akan menjawab: ‘Allah’.‛50 Fakta ini juga

diinformasikan oleh Allah dalam surat Al-‘Ankabu>t: 63, Luqma>n: 25, Al-Zumar: 38, Al-

Zukhruf: 87 dll..

IV. Konsep Tauhid (Rubu>biyyah dan Ulu>hiyyah)

Penjelasan semantik dan tafsir terhadap makna rabb dan ila>h setidaknya telah

menggambarkan mengapa dua terma ini menjadi pilihan bagi makna konseptual Tauhid.

Bahwa kata rabb dan ila>h mengandung seluruh makna dari nama-nama suci dan sifat-sifat

mulia Allah Swt, dan hal ini tidak terdapat pada nama-nama suci Allah yang lain. Selain

itu, makna rubu>biyyah dan ulu>hiyyah inilah yang menjadi karakteristik khas dan utama

sifat Tuhan, sebagaimana telah dijelaskan. Selain dua poin di atas, penulis akan mencoba

menggali alasan lain mengapa dua terma ini yang menjadi makna konseptual Tauhid,

melalui beberapa pendekatan berikut:

50

QS. Al-‘Ankabu>t: 61

Page 18: RUBU

18

1. Struktur Kebahasaan

Jika kita menilik Al-Quran kita akan menemukan bahwa dua kata ini (rabb dan

ila>h) adalah kata yang paling banyak digunakan di dalam ayat-ayat Al-Quran sebagai

yang mengganti posisi kata Allah, dilihat dari struktur penggunaannya dalam ayat-ayat

tersebut. Kata rabb di dalam Al-Quran disebut sebanyak 981 kali51

, sementara kata ila>h

disebut sebanyak 147 kali.52

Berikut ini adalah beberapa poin yang membuktikan

statemen di atas:

Pertama: Ketika Allah memperkenalkan nama-Nya di dalam Al-Quran, dua kata

inilah yang Dia gunakan untuk menginformasikan siapa hakikat Tuhan yang bernama

Allah itu. Dia berfirman: ( (ئ أب هللا سة اىؼبى53

, ‚Wahai Musa, sungguh Akulah Allah,

Rabb semesta alam‛, dan firman-Nya: (ئ أب هللا ل ئى ئل أب فبػجذ)54

, ‚Sesungguhnya Aku

ini adalah Allah, tiada Ila>h selain Aku.‛ Di dalam dua ayat ini Allah memperkenalkan

nama-Nya, dan bahwa Dia yang bernama ‚Allah‛ itu adalah Rabb dan Ila>h bagi semesta

alam. Hal ini menunjukkan bahwa kedua kata ini memiliki keistimewaan khusus yang

mencirikan Allah sebagai yang patut dipertuhankan, karena Dialah satu-satunya Rabb

yang mencipta dan mengatur alam semesta dan hanya Dialah satu-satunya Ila>h atau

sesembahan yang layak dan benar disembah.

Kedua: Al-Quran sering menggunakan kata rabb dan ila>h ini sebagai kata

pengganti yang menduduki posisi kata Allah, baik ketika berkedudukan sebagai fa>‘il

(subyek), mubtada’, maf‘u>l (obyek), atau badal (pengganti). Contoh kata rabb sebagai

fa>‘il misalnya: ( الئنخ ئر قبه سثل ىي )55

ب فؼي ) شبء سثل ى )56

( ث آد ئر أخز سثل )57

جبء سثل )

يل صف ب صف ب اى )58

, ( ح أ سثل )59

, dll. Contoh rabb sebagai mubtada’ atau yang asalnya

adalah mubtada’: ( خ ر اىشح سثل اىغ )60

, ( فضذ ثبى سثل أػي )61

( ػي سثل حن (ئ62

, ( سثل ئ

51

Muhammad Zaki Muhammad Khad}ir, Mu‘jam Kalima>t Al-Qur’a>n Al-Kari>m, (), 52

Ja‘far As-Subh}a>ni>, Al-Asmâ’ Al-Thala>thah: Al-Ila>h, Al-Rabb, AL-‘Iba>dah, (Maktabah Al-‘Aqa>’id,

Us}u>lu Al-Di>n, 1417 H), h. 8 53

QS. Al-Qas}as}: 30 54

QS. T{a>ha>: 14 55

QS. Al-Baqarah: 30 56

QS. Al-An‘a>m: 112 57

QS. Al-A‘ra>f: 172, 58

QS. Al-Fajr: 22 59

QS. An-Nah}l: 68 60

QS. Al-An‘a>m: 133. 61

QS. Yu>nus: 40 62

QS. Al-An‘a>m: 83, 128

Page 19: RUBU

19

صجي ضو ػ (أػي63

( يل اىقش ثظي سثل ى ب مب )64

, dll. Kata rabb sebagai badal: ( سة ذ لل اىح

(اىؼبى65

( هللا سثن (رىن66

, dll. Ataupun sebagai maf‘u>l yang menduduki posisi kata Allah,

seperti: ( فبدع ىب سثل)67

ا) , ارمش سثل مثش )68

( اػجذ سثل حز أرل اىق )69

dll.

Demikian halnya dengan kata ila>h, digunakan sebagai mubtada’ atau yang asalnya

adalah mubtada’, yang mengganti posisi kata Allah: ( احذ ئى (ئىن70

, ( ب هللا ئ ئىن )71

, ( ئىن ئ

احذ (ى72

, atau sebagai maf‘u>l ( ئى آثبئل ئثشا (قبىا ؼجذ ئىل 73

, dll. Posisi kata ila>h dalam ayat-

ayat di atas—secara makna—mengambil posisi/mewakili kata Allah. Bahkan banyak

ulama dan ahlul lughah yang berpendapat bahwa kata Allah musytaqq (bersumber) dari

kata ila>h ini.74

Contoh-contoh seperti di atas terlalu banyak di dalam Al-Quran, dan tentu

tidak cukup untuk ditulis dalam makalah singkat ini. Namun sebagai kesimpulan yang

dapat diambil dari contoh-contoh tersebut bahwa dua kata ini (rabb dan ila>h) adalah

sebutan utama dan paling banyak digunakan sebagai kata pengganti mandiri bagi kata

Allah. Siapapun yang membaca Al-Quran akan mendapatkan hal ini terang benderang di

hadapannya.

Ketiga: Tidak ditemukan di dalam Al-Quran Allah memfirmankan sebuah ayat

dimana Dia menggunakan nama-nama-Nya yang lain sebagai maf‘ul (obyek) yang

disembah. Tidak ditemukan misalnya: (اػجذا حنن / ػين / سحن), dst. Yang ada adalah:

( هللا اػجذا ) atau ( ئى آثبئل ) atau (اػجذا سثن Hal ini menunjukkan bahwa kara rabb .(ؼجذ ئىل

dan ila>h ini benar-benar merupakan wakil yang dapat menduduki posisi kata Allah, karena

masalah penyembahan atau ibadah ini tentu saja merupakan hak Allah semata. Adapun

nama-nama suci Allah yang lain seperti al-‘azi>z, al-h}aki>m, al-‘ali>m, al-kha>liq, dsb.,

63

QS. Al-An ‘a>m: 117 64

QS. Hu>d: 117 65

QS. Al-Fa>tih}ah}: 2. QS. Al-An‘a>m: 45, QS. Yu>nus: 10, QS. Al-Zumar: 75, QS. G{a>fir: 65, QS. Al-

S{a>ffa>t: 182 66

QS. Al-An‘a>m: 102, QS. Fa>t}ir: 13, Al-Zumar: 6, QS. G}a>fir: 62 dan 64 67

QS. Al-Baqarah: 61, 68, 69, 70, 68

QS. A>li ‘Imra>n: 41, 69

QS. Al-H{ijr: 99 70

QS. Al-Baqarah: 163. Kalimat dengan redaksi ini terlulang sebanyak 5 kali dalam Al-Quran, dan

yang serupa masih banyak, seperti: ( احذ ب هللا ئى احذ ) ,An-Nisa>’: 171 (ئ ئل ئى ئى ب ) QS. Al-Ma>’idah: 73,

احذ ) ى ئىن .QS. As}-S{a>ffa>t: 4, dll (ئ71

QS. T{a>ha>: 98 72

QS. As}-S{a>ffa>t: 4 73

QS. Al-Baqarah: 133 74

Sebagai contoh, Ibnu ‘Abba>s ra menjelaskan bahwa makna lafz al-jala>lah ‚Alla>h‛ adalah dhu> al-ulu>hiyyah (Yang memiliki hak disembah), karena melihat bahwa Allah bersumber dari kata ila>h yang berarti

sesembahan. Lihat: Ibnu Jari>r Al-T{abari. Ibid. 1/125. Al-Fairu>z A<ba>di> berkata: ‚Alaha – ila>hah – ulu>hah – ulu>hiyyah, dari kata inilah terambil lafaz Jala>lah (Allah)...‛ Lihat: Al-Fairu>z A<ba>di, Ibid. h. 1242

Page 20: RUBU

20

biasanya hanya sebagai sifah yang mengikuti maws}u>f-nya, seperti: ( هللا اىخبىق اىجبسب

س ص هللا غفس ) :atau sebagai khabar yang menginformasikan kondisi mubtada’ seperti (اى

.dsb., bukan sebagai kata pengganti kedudukan kata Allah ,( سح / هللا صغ ػي

Keempat: Kata rabb dan ila>h mengandung aspek utama yang menjadi karakteristik

khas Tuhan. Kata rabb mengandung aspek rubu>biyyah, bahwa Allah adalah Tuhan yang

mencipta, mengatur dan menguasai semesta alam, sementara kata ila>h mengandung aspek

ulu>hiyyah, bahwa karena Allah adalah Rabb yang mencipta, mengatur dan menguasai

semesta alam maka hanya Dialah yang patut dan layak disembah, dan selain Dia adalah

makhluk yang dicipta sehingga tidak layak disembah. Aspek kedua ini adalah konsekuensi

logis dari aspek pertama.

Berdasarkan poin-poin di atas dapat diketahui bahwa kata rabb dan ila>h adalah dua

kata yang sering menduduki posisi kata Allah. Allah Swt tidak menggunakan nama-nama-

Nya yang lain seperti Al-Jabba>r, Al-‘Azi>z, yang menduduki posisi kata Allah dalam

banyak firman-Nya, atau mengganti posisi kata Allah dalam kalimat yang diawali dengan

kata u‘budu>. Kedudukan ini menunjukkan kepada kita keutamaan posisi kedua kata ini

sehingga dapat mengganti posisi kata Allah Swt. Hal ini menguatkan kesimpulan

sebelumnya bahwa kedua kata ini bisa mengganti posisi kata Allah karena keduanya

merupakan karakteristik khas yang niscaya dimiliki oleh Tuhan, dan tidak dimiliki oleh

siapapun selain-Nya, dan karena kedua merupakan sifat khusus mencakup aspek dan

makna sifat-sifat Tuhan yang lainnya.

2. Makna ( هللا لا إلاها إل ) Dalam Al-Quran dan Sunnah

Umat Islam sepakat bahwa kalimat tauhid yang dibawa oleh seluruh nabi adalah

kalimat ( هللا ل ئى ئل ). Al-Quran telah menegaskan hal ini sebagaimana dalam firman Allah

Swt: ( أ ل ئى ئل أب فبػجذ سصه ئل ح ئى قجيل ب أسصيب ).75

Kata (أب) pada penggalan

ayat (ل ئى ئل أب) menduduki posisi lafz} al-jala>lah (Allah), dan makna ( :adalah (فبػجذ

‚maka sembahlah Aku, jangan sembah selain-Ku.‛ Hal ini menunjukkan bahwa makna ( ل

) adalah tiada ‚sesembahan‛ selain Aku maka (ئى ئل أب ,sembahlan hanya Aku‚ (فبػجذ

jangan sekutukan Aku, jangan sembah selain Aku‛. Ayat di atas juga ditafsirkan oleh ayat

lain yang sama-sama berbicara dalam konteks pengutusan rasul yaitu firman Allah: ( ىقذ

اجزجا اىطبغد اػجذا هللا خ سصل أ (ثؼثب ف مو أ

76, yang artinya: ‚Dan telah Kami utus pada

75

QS. Al-Anbiya>’: 25 76

QS. Al-Nah}l: 36

Page 21: RUBU

21

setiap umat seorang rasul untuk menyampaikan: ‘Sembahlah Allah dan jauhilah t}a>ghu>t

(semua sesembahan selain Allah).‛ Pada ayat sebelumnya Allah berfirman: ‚Dan tidaklah

Kami utus seorang rasul pun sebelummu (wahai Muhammad) melainkan Kami wahyukan

kepada mereka: ‘Tiada ila>h (sesembahan) selain Aku maka sembahlah Aku‛, dan di ayat

ini Allah menafsirkannya dengan firman-Nya: ‚(Sembahlah Allah) dan jauhilah t}a>gu>t

(semua sesembahan selain Allah).‛ Kata ( ل ئى) sebanding dengan ( اجزجا اىطبغد ) dan kata

.(اػجذا هللا ) sebanding dengan (ئل أب)

Dalam ayat lain Allah Swt berfirman: ( أل رؼجذا ئل هللا)77

, ayat ini sebanding dengan

firman Allah: ( هللا ل ئى ئل ).78

Para rasul juga mendatangi kaum mereka dan mendakwahkan:

ش ) غ ئى ب ىن .(اػجذا هللا 79

Lalu kaum-kaum mereka yang keras kepala dan memahami

tujuan dakwah para rasul tersebut membantah: (ؼجذ آثبؤب ب مب زس حذ .(أجئزب ىؼجذ هللا 80

Dari

sini terlihat jelas bahwa kalimat tauhid ( هللا ل ئى ئل ) bermakna tiada sesembahan yang benar

selain Allah. Dan jika ila>h dalam Kalimat Tauhid bermakna demikian maka hakikat

kandungan kalimat tersebut adalah tauhid ulu>hiyyah, yang merupakan inti dakwah para

nabi dan merupakan konsekuensi dari pengakuan dan keimanan sebelumnya akan tauhid

rubu>biyyah.

Jika Al-Quran menegaskan bahwa kalimat ( هللا ل ئى ئل ) tauhid ulu>hiyyah maka

Sunnah Nabi Saw yang merupakan tafsir dari Al-Quran juga menyatakan hal yang sama.

Imam Al-Bukha>ri> meriwayatkan bahwa Nabi Saw bersabda: ( ،و اىنزبة أ ػي ق ئل رقذ

ذا هللا رؼبى ح ئى أ ب رذػ ه أ Dalam redaksi lain yang juga diriwayatkan oleh .(فين

Imam Al-Bukha>ri>, Nabi Saw bersabda: ( ئى ب رذػ ه أ و اىنزبة، فين أ ػي ق ئل رقذ

ل ئ ى ئل هللا .(ش بد ح أ 81

Kedua riwayat ini menunjukkan bahwa kalimat (ذا هللا رؼبى ح (أ

sebanding dengan kalimat (شبدح أ ل ئى ئل هللا), yang berarti bahwa kalimat tauhid ialah

kalimat ( هللا ل ئى ئل ). Imam Al-Bukha>ri> juga meriwayatkan hadith ini dengan redaksi sebagi

berikut: 82

( رؼبى هللا ح بد ج ػ ى ئ ػ ذ ب ر ه أ ن ي ف ). Ketiga riwayat ini satu salam lain saling

menafsirkan, bahwa tauh}idulla>h ( ذا هللا ح ) dan ( هللا ل ئى ئل ) berarti ( ػجبدح هللا) atau tauhid

ibadah atau tauhid ulu>hiyyah.

77

QS. Hu>d: 2 78

QS. Al-S}a>ffa>t: 35, QS. Muh}ammad: 19 79

QS. Al-A‘ra>f: 59, 73, 85. QS. Hu>d: 50, 61, 84. Al-Mu’minu>n: 23, 32. 80

QS. Al-A‘ra>f: 70. Terjemahan ayat: ‚Apakah kalian datang untuk mengajak kami menyembah

Allah semata dan meninggalkan sesembahan-sesembahan nenek moyang kami.‛ 81

S}ah}i>h} Al-Bukha>ri>, Ibid. 9/114 82

Ibid. ‚Kita>b Al-Zaka>h, Ba>b: La> tu’khadh kara>’imu amwa>li al-na>s fi> al-s}adaqah‛, 2/119

Page 22: RUBU

22

Satu hal yang penting diperhatikan di sini, bahwa riwayat-riwayat di atas bercerita

tentang satu kisah, yaitu kisah tentang pesan Nabi Saw kepada Mu‘a>dh bin Jabal ra ketika

beliau mengutusnya berdakwah ke Yaman. Jika riwayat tersebut ‚satu kisah‛—yang

diistilahkan oleh para ulama hadith sebagai ittih}a>d al-makhraj—tentu tidak mungkin Nabi

Saw mengucap ketiga perbedaan ungkapan tersebut dalam satu waktu. Kalaupun memang

beliau sendiri yang mengucapkan ketiga perbedaan ungkapan tersebut maka tidak ada

keraguan lagi bahwa kalimat tauhid itu adalah syahadat: ( هللا ل ئى ئل ) dan syahadat ( ل ئى ئل

atau tauhid ulu>hiyyah. Namun jika Nabi Saw hanya mengucapkan (ػجبدح هللا) berarti (هللا

salah satu dari ketiga ungkapan di atas maka ini menunjukkan bahwa para sahabat yang

mendengar atau menyaksikan kisah/hadith ini meriwayatkannya secara makna. Dan jika

ini yang terjadi maka itulah pemahaman mereka tentang hakikat tauhid. Jika mereka

mengatakan ‚tauh}idulla>h‛ maka yang mereka maksud adalah ( هللا ل ئى ئل ) dan jika mereka

mengucapkan kata: ‚tauh}idulla>h‛ atau ( هللا ل ئى ئل ) maka yang mereka maksud adalah ( ػجبدح

Jadi dari sisi manapun kita memandang riwayat di atas—baik ketiga ungkapan .(هللا

tersebut diucapkan langsung oleh Nabi Saw atau diriwayatkan secara makna oleh para

sahabat—tetap saja menunjukkan bahwa tauhid itu adalah ( هللا ل ئى ئل ) dan ( هللا ل ئى ئل )

adalah (ػجبدح هللا) atau tauhid ulu>hiyyah.

Dalam hadith lain yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Nabi Saw bersabda: (

حضبث ػي هللا د بى هللا حش د ب ؼج ذ مفش ث حذ هللا ).83

Redaksi lainnya yang juga

diriwayatkan oleh Imam Muslim, Nabi Saw bersabda: ( ث ش ف م هللا ئل ل ئى به ق هللا ب ؼجذ د

د بى ش ، ح هللا ي ػ بث ض ح ).84

Kedua riwayat ini secara eksplisit menjelaskan bahwa tauhid

itu adalah ( هللا ل ئى ئل ), dan ( هللا ئى ئل ل ) telah ditegaskan langsung maknanya oleh Nabi

dengan sabdanya: ( هللا ث ش ف م د ب ؼجذ ): ‚..dan kafir (ingkar) terhadap penyembahan

selain kepada Allah..‛. Teks ini menunjukkan bahwa ( هللا ل ئى ئل ) atau tauhid itu berarti

penyembahan kepada Allah semata dan pengingkaran terhadap penyembahan kepada

semua sesembahan selain Allah. Maka selain Al-Quran, hadith-hadith Nabi Saw juga

menjelaskan bahwa kalimat ( هللا ل ئى ئل ) menunjukkan kepada Tauhid Ulu>hiyyah yang

merupakan pasangan dari Tauhid Rubu>biyyah.

Dari sini kita dapat melihat bahwa hakikat makna ila>h dalam kalimat Tauhid ( ل ئى

هللا ئل ) yang dibawa oleh seluruh nabi dan rasul ialah memurnikan ibadah dan penyembahan

hanya kepada Allah, dengan kata lain Tauhid Ulu>hiyyah. Dan Tauhid Ulu>hiyyah ini jelas

83

S}ah}i>h Muslim, Ibid. 1/53 84

Ibid.

Page 23: RUBU

23

merupakan konsekuensi logis dari keimanan dan pengakuan terhadap rububu>iyyah Allah

Swt., yang telah terpatri dalam fitrah setiap manusia, sebagaimana firman-Nya (yang

artinya): ‚Dan (ingatlah), ketika Rabb-mu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari

sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa-jiwa mereka (seraya

berfirman): ‘Bukankah Aku ini Rabb kalian?’, mereka menjawab: ‘Benar (Engkau Rabb

kami), kami menjadi saksi’...‛85 Allah telah meng-‛install‛ dalam softwere manusia

pengakuan akan kebertuhanan kepada Diri-Nya, Rabb Yang Mahaagung.

3. Ulu>hiyyah dan Rubu>biyyah Dalam Pandangan Ulama Salaf

Telah dijelaskan di atas bahwa para sahabat Nabi memahami ( هللا ل ئى ئل ) sebagai

tiada sesembahan selain Allah, berdasarkan beberapa perbedaan redaksi riwayat terhadap

satu kisah yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa mereka mentauhidkan Allah dengan

tauhid ulu>hiyyah. Ibnu ‘Abba>s ra juga menjelaskan bahwa makna lafz al-jala>lah ‚Alla>h‛

adalah dhu> al-ulu>hiyyah wa al-ma‘bu>diyyah yang artinya: ‚Yang memiliki hak disembah

dan diibadahi‛. Dengan kata ‚ulu>hiyyah‛ ini, Ibnu ‘Abba>s hakikatnya telah mengkonsep

tauhid ulu>hiyyah, bahwa hanya Allah semata yang layak dan patut disembah. Tentu hal

ini tidak mengherankan, apalagi telah maklum bahwa Nabi Saw diutus di tengah-tengah

bangsa pagan yang menyembah ratusan berhala.

Adapun masalah rubu>biyyah Allah tidak ada umat Islam yang mengingkari bahwa

Allah adalah Rabb semesta alam (rabb al-‘a>lami>n). Selain Al-Quran menegaskan fakta

rubu>biyyah Allah ini, fitrah manusia juga selalu menyerukan hal ini. Dan tentu saja sangat

logis mengatakan bahwa jika Allah satu-satunya Rabb maka Dialah satu-satunya yang

berhak atas penyembahan dan peribadatan. Bahkan kaum Musrik Mekah yang

menyembah banyak berhala juga meyakini rubu>biyyah Allah ini, sebagaimana telah

dijelaskan sebelumnya. Mereka percaya bahwa Allah semata yang mencipta alam semesta

dan mengaturnya, memberi rezeki, dsb. meski mereka menyembah banyak sesembahan

selain Allah. Oleh karena itu mereka dikritik oleh Al-Quran: ( ثبلل ئل أمثش ب إ

ششم )86

.

Di dalam kitab Shah}i>h}nya Imam Al-Bukha>ri> (w. 256 H) memberikan sebuah

tarjamah (sub judul untuk beberapa kumpulan hadith) sebagai berikut: ‚Bab hadith-hadith

tentang seruan Nabi Saw terhadap umat beliau kepada Tauh}i>dulla>h—taba>raka wa ta‘a>la>‛.

85

QS. Al-A‘ra>f: 172 86

QS. Yu>suf: 106. Terjemahan ayat: ‚Dan sebagian besar dari mereka beriman kepada Allah, namun

mereka mempersekutukan-Nya (dengan menyembah sembahan-sembahan lain).‛

Page 24: RUBU

24

Lalu beliau menyebut sabda Nabi Saw berikut: ‚Wahai Mu‘a>dh, tahukah engkau apa hak

Allah atas hamba-hamba-Nya?‛ Ia menjawab: ‚Allah dan Rasul-Nya lah yang lebih

mengetahui.‛ Nabi bersabda: ‚Yaitu mereka menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-

Nya dengan sesuatu apapun.‛87

Hadith ini menunjukkan tauhid ulu>hiyyah, karena

penyembahan hamba wajib diberikan hanya kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya

dengan sesuatu apapun dalam penyembahan.

Imam Muh}ammad bin Nas}r Al-Marwazi (w. 294 H) berkata: ‚Segala puji bagi

Allah yang telah menganugerahi hamba-hamba-Nya yang beriman karunia makrifat

tentang-Nya, melapangkan dada mereka untuk beriman kepada-Nya, dan ikhlas dengan

mentauhidkan rubu>biyyah-Nya dan membuang segala sesembahan selain-Nya.‛88

Kemudian ketika menjelaskan makna iman beliau berkata: ‚Ketahuilah bahwa ia memiliki

pokok dan cabang, pokoknya adalah pengakuan hati, yaitu ketundukan beribadah kepada

Allah (al-khud}u‘ lilla>h bi al-‘ubu>diyyah) dan ketundukan (pengakuan) terhadap

rubu>biyyah-Nya (al-khud}u‘ lahu> bi al-rubu>biyyah)...kemudian cabang dari kedua

ketundukan ini adalah dengan melaksanakan seluruh kewajiban-kewajiban (yang Allah

wajibkan).‛89

Imam Ibnu Jari>r Al-T{abari> (w. 310 H) dalam tafsirnya seringkali menyebut dua

terma ini. Sebagai contoh, ketika menafsirkan firman Allah: ( األسض اد ف اىض ى أصي

مشب ػب (ط90

, berliau berkata: ‚Kepada-Nya lah tunduk segala yang di langit dan di bumi,

patuh kepada-Nya dengan sepenuh ‘ubu>diyyah, mengikrarkan bagi-Nya pengesaan

rubu>biyyah. Tunduk kepada-Nya dengan mengikhlaskan tauhid dan ulu>hiyyah baik secara

rela maupun terpaksa.‛91

Ketika menafsirkan firman Allah: ( ا ث م ش ش ر ل ا هللا ذ ج اػ ) beliau

berkata: ‚Rendahkan diri dan tunduklah pada-Nya dengan penuh ketaatan, dan esakanlah

Dia dengan rubu>biyyah...dan janganlah engkau menjadikan sekutu bagi-Nya dalam

‘iba>dah dan rubu>biyyah.‛92

Ketika menafsirkan firman Allah: ( ل ششك ب ال صبىح و ػ فيؼ

ا أحذ ,beliau berkata: ‚Ikhlaskanlah ibadah hanya pada-Nya (tauhid ulu>hiyyah) ,(ثؼجبدح سث

dan esakanlah rubu>biyyah hanya bagi-Nya (tauhid rubu>biyyah).‛93

Ketika menafsirkan

firman Allah: ( فبػجذ هللا سثن beliau berkata: ‚Sembahlah Tuhan kalian yang sifat-Nya (رىن

87

S}ah}i>h} Al-Bukha>ri>, Ibid. 9/114 88

Abu> ‘Abdulla>h Muh}ammad bin Nas}r bin Al-H{ajja>j Al-Marwazi, Ta‘z}i>m Qadr Al-S}ala>h, (Madi>nah

Al-Munawwarah, Maktabah Al-Da>r, 1406), 1/85 89

Muh}ammad bin Nas}r bin Al-H{ajja>j Al-Marwazi, Ibid. 2/700. 90

QS. A<li ‘Imra>n: 83 91

QS. Al-Nisa>’: 36 92

Ibnu Jari>r Al-T{abari>, Ibid. 8/333 93

Ibid. 18/135

Page 25: RUBU

25

seperti itu, ikhlaskanlah ibadah hanya untuk-Nya, esakanlah baginya ulu>hiyyah dan

rubu>biyyah.‛94

Barangkali pembaca telah melihat bahwa ungkapan-ungkapan Imam Al-T{abari di

atas tentang keesaan Allah dalam hal rubu>biyyah dan ulu>hiyyah ini sudah sangat jelas.

Beliau secara tegas membedakan antara makna tauhid ‘ubu>diyyah/ulu>hiyyah dan

rubu>biyyah, bahwa ‘ubu>diyyah atau ulu>hiyyah itu adalah mengesakan Allah dalam ibadah

dan penyembahan, sementara rubu>biyyah adalah pengakuan akan keesaan Allah dalam

sifat rubu>biyyah-Nya.

Dengan pembedaan makna rabb dan ila>h ini kita mudah memahami maksud Imam

Abu> Ja‘far Al-T{ah}a>wi> (w. 321 H) ketika menjelaskan akidah Ahlussunnah menurut

mazhab Imam Abu> H{ani>fah, Abu> Yu>suf dan Muh}ammad bin H{asan Al-Shaiba>ni: ‚Kami

akan menjelaskan masalah tauhid Allah ini—yakin dengan taufik-Nya—bahwa:

Sesungguhnya Allah itu esa tiada sekutu bagi-Nya, tiada sesuatu yang serupa dengan-

Nya, tiada sesuatu yang melemahkan-Nya (Mahaperkasa), dan tiada ila>h selain-Nya.‛

Karena Imam Ibnu Abi Al-‘Izz Al-H{anafi—pensyarah kitab Al-‘Aqi>dah Al-

T{ah}a>wiyyah—menjelaskan bahwa makna ila>h di sini adalah tauhid ulu>hiyyah yang

merupakan inti dakwah para rasul.95

Beliau sendiri juga menjelaskan bahwa tauhid itu ada

tiga macam: (1) Pembicaraan tentang sifat-sifat Allah (tauh}i>d al-s}ifa>t), (2) tauh}i>d

rubu>biyyah dan (3) tauh}i>d ila>hiyyah.96

Abu> Mans}ur Muhammad bin Ah}mad Al-Azhari97

juga berkata: ‚Al-Wa>h}id yang

merupakan sifat Allah memiliki dua makna: Yang pertama, Dia adalah esa yang tiada

sesuatu yang serupa atau semisal dengan-Nya. Orang-orang Arab mengatakan: ‘Si fula>n

adalah wa>h}idu qaumihi (satu-satunya di kaumnya), artinya tidak ada yang semisal

dengannya. Makna yang kedua, Dia adalah ila>h yang esa dan rabb yang esa, tiada sekutu

bagi-Nya dalam ulu>hiyyah dan rubu>biyyah-Nya.‛98

Bahkan jauh sebelum Ibnu Taimiyah, Imam Abu> Bakr Al-Ba>qilla>ni> (w. 403 H)—

salah satu tokoh Mutakallimu>n—juga mengatakan: ‚Mentauhidkan Allah berarti:

mengakui bahwa Dia Mahaada, ila>h yang esa, satu-satunya yang disembah, dan tiada

94

Ibid. 15/19 95

S}adruddi>n Mu}ammad bin ‘Ali> bin Muh}ammad bin Abi Al-‘Izz Al-H}anafi>, Sharh} Al-‘Aqi>dah Al-

T{aha>wiyyah, (Kairo: Da>r Al-Sala>m, 2005) h. 89 - 109 96

Ibid. h. 78 97

Salah satu imam dalam Lug}hah, pengarang kamus Tahdhi>b Al-Lug}hah, wafat tahun 370 H 98

Akmaluddi>n Muh}ammad Ibn Mu}ammad Al-Ba>birti, Syarh} ‘Aqi>dah Ahl Al-Sunnah wa al-Jama>‘ah,

(Kuwait: Wiza>rat al-Shu’u>n Al-Isla>miyyah, 1989), h. 29

Page 26: RUBU

26

sesuatupun yang sama dengan-Nya... Demikian pula perkataan kami: ah}ad dan keesaan

wujud-Nya, yang kami maksud ialah tiada sesuatu yang serupa dan semisal dengan-Nya

(la> shabi>ha lahu> wa la> naz}ir), dan yang kami maksudkan juga dengannya ialah tiada

sesuatupun yang berhak atas penyembahan selian diri-Nya (an laisa ma‘ahu> man

yastah}iqq al-ulu>hiyyah siwa>hu).‛99

4. Argumen Pembagian Konsep Tauhid

Berdasarkan penjelasan tentang makna ( هللا ل ئى ئل ) di dalam Al-Quran, Sunnah dan

pemahaman para sahabat Nabi dan ulama Salaf di atas, jelas bahwa pembagian

(pengonsepan) tauhid menjadi Tauhid Ulu>hiyyah dan Tauhid Rubu>biyyah hakikatnya

‚bukan barang baru‛, sehingga tidak benar menisbatkan pembagian ini kepada Imam Ibnu

Taimiyah rh misalnya, atau muridnya Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rh, apalagi Syaikh

Muhammad bin Abdul Wahha>b. Kalau yang mempopulerkannya, barangkali bisa

dikatakan demikian, tetapi sejatinya makna konseptual ini sudah diajarkan oleh Al-Quran,

Sunnah dan dipahami demikian oleh para Sahabat, serta dikuatkan oleh makna semantik

dan struktur kebahasaan Al-Quran.

Sebagai contoh, di dalam ayat paling agung di dalam Al-Quran (ayat Al-Kursi)

Allah menjelaskan kedua makna konseptual tauhid (rubu>biyyah dan ulu>hiyyah). Firman-

Nya: ( ) :adalah tauhid ulu>hiyyah. Lalu firman-Nya (هللا ل ئى ئل ل رأخز ا اىق ى ىح ل صخ

ب ف األسض اد ب ب ف اىض ... ) hingga akhir ayat adalah beberapa rincian nama-nama suci dan

sifat-sifat agung yang masih merupakan makna rubu>biyyah-Nya. Jadi meskipun tidak

disebutkan secara eksplisit, tetapi makna dan konsep tersebut dikandung oleh ayat yang

mulia di atas.

Di dalam Ummul Kita>b (surat Al-Fa>tih}ah}), kedua makna tauhid ini juga tampak

jelas. Firman-Nya: ( سة اىؼبى ذ لل ) :adalah Tauhid Rubu>biyyah, firman-Nya (اىح اىشح

اىش ح اىذ بىل . ) adalah nama-nama suci (al-asma>’ al-h}usna>) yang masih termasuk ke

dalam makna rubu>biyyah-Nya, dan firman-Nya: ( ئبك ضزؼ adalah Tauhid (ئبك ؼجذ

Ulu>hiyyah. Lebih tegas lagi dalam surat Al-Na>s, Allah berfirman: ( قو أػر ثشة اىبس) ini

tentang rubu>biyyah Allah, firman-Nya: ( يل اىبس ) salah satu nama suci Allah, dan firman-

Nya: ( ئى اىبس) adalah Tauhid Ulu>hiyyah. Ayat lainnya yang juga mengumpulkan kedua

makna ini ialah firman-Nya: ( ى و رؼي اصطجش ىؼجبدر ب فبػجذ ب ث األسض اد ب سة اىض

99

Abu> Bakr Al-Ba>qilla>ni>, Al-Ins}a>f fi> ma> Yajibu I‘tiqa>duhu wa la> Yaju>zu al-Jahlu bihi, (Kairo:

Maktabah Al-Azhariyyah, 2000), h. 32-33

Page 27: RUBU

27

ب (ص100

. Firman-Nya: (ب ب ث األسض اد ب فبػجذ ) ,adalah Tauhid Rubu>biyyah (سة اىض

اصطجش ىؼجبدر ) Tauhid Ulu>hiyyah, dan (ب ى ص adalah salah satu makna rubu>biyyah (و رؼي

bahwa tiada sesuatupun yang setara dengan-Nya. Dan banyak lagi di dalam Al-Quran ayat

serupa.

Kemudian, surat Al-Ikhlas, seluruhnya berisikan Tauhid Rubu>biyyah, jika lafaz al-

s}amad dimaknai: ‚tidak berongga yang butuh makan dan minum (laisa bi ajwaf)‛, karena

makna lain dari al-s}amad menunjukkan dengan jelas makna Tauhid Ulu>hiyyah, yaitu:

‚Allah lah sesembahan yang tak layak menghaturkan penyembahan kepada siapapun

selain kepada-Nya.‛101

Sementara surat Al-Ka>firu>n seluruhnya bermakna Tauhi>d

Ulu>hiyyah, yang menafikan penyembahan kepada selain Allah Swt.

5. Konsep Tauhid Dibagi Dua, Tiga ataukah Empat?

Kedua aspek makna konseptual Tauhid ini (rubu>biyyah dan ulu>hiyyah) meski

sebagian orang menyebutnya ijtihadi, namun ia bersifat ilmiah dan digali melalui induksi

terhadap dalil-dalil dari Al-Quran, Sunnah dan pemahaman para Sahabat. Jika Al-Quran,

Sunnah dan Ijma>‘ Sahabat telah menunjuk kepada suatu pemahaman yang qath‘i> maka

tidak ada jalan bagi seorang mukmin selain menerimanya. Meskpiun memang tidak

pernah disebutkan secara eksplisit bahwa Tauhid itu dibagi menjadi dua aspek: Ulu>hiyyah

dan Rubu>biyyah, atau tiga aspek, ditambah dengan Tauhid Asma>’ wa S{ifa>t, tetapi makna-

maknanya tidak dapat diingkari. Tidak ada akal beriman yang akan mengingkari sifat

rubu>biyyah dan ulu>hiyyah Allah Swt., dan bahwa Allah memiliki nama-nama suci dan

sifat-sifat agung.

Memang sebagian ulama ada yang membagi Tauhid menjadi tiga aspek: Tauhid

Ulu>hiyyah, Rubu>biyyah, Al-Asma>’ wa Al-S}ifa>t, ataupun menambahnya dengan aspek

keempat, yaitu: Tauhid Al-H}a>kimiyyah, semua itu menurut penulis sah-sah saja, karena

tujuannya ingin lebih mempertegas lagi makna-makna tersebut sebagai bagian dari makna

konseptual Tauhid, meskipun—menurut penulis—Asma>’ wa S}ifa>t ataupun H}a>kimiyyah

telah terkandung di dalam makna Rubu>biyyah. Makna-makna Tauhid tersebut tidak bisa

diingkari meski terdapat perbedaan dalam pembagian aspek.

Pembagian makna konseptual Tauhid ini tidak berbeda misalnya dengan

pembagian ah}ka>m takli>fiyyah dalam Us}u>l Al-Fiqh menjadi: wuju>b, sunnah, h}urmah,

100

QS. Maryam: 65 101

Ibnu Jari>r Al-T{abari>. Ibid. 24/689

Page 28: RUBU

28

kara>hah dan iba>h}ah, atau pembagian status hadith dalam ilmu Mus}t}aluh} Al-H}adi>th

menjadi: s}ahi>h}, h}asan, d}a ‘i>f, mawd}u‘, dan pembagian-pembagian konsep lainnya dalam

seluruh cabang ilmu. Pembagian semacam ini dibenarkan dalam kajian ilmu pengetahuan

jika memang didukung oleh argumen-argumen yang kuat dan induksi komprehensif

terhadap nas-nas Syariat. Wujud hukum-hukum tersebut tidak bisa diingkari hanya karena

sebagian ulama membaginya menjadi lima dan sebagian yang lain menjadi tujuh (fard},

wuju>b, istih}ba>b, h}urmah, kara>hat tanzi>h, kara>hat tah}ri>m dan iba>h}ah). Demikian halnya

dengan pembagian Tauhid, dimana sebagian membaginya menjadi dua, tiga, empat atau

lebih. Bahkan pembagian Tauhid ini lebih kuat daripada pembagian hukum-hukum takli>fi>

di atas dikarenakan banyaknya dalil-dalil qath‘i yang menunjukkannya. Sehingga, jika

seorang mukmin tidak bisa mengingkari bahwa dalam ajaran Agama ini terdapat perintah-

perintah wajib, sunnah, larangan yang haram, makruh dan seterusnya, maka dimikian pula

halnya dengan pembagian Tauhid ini.

V. Kesimpulan

Melalui pembahasan di atas kiranya telah jelas bahwa konsep Tauhid yang lebih

relevan dan komprehensif adalah yang menggabungkan dua makna konseptual, yaitu

rubu>biyyah dan ulu>hiyyah, bukan sekedar salah satu dari keduanya. Sebab kedua makna

inilah yang ditunjukkan oleh kata ‚Tauhid‛ berdasarkan dalil-dalil dari Al-Quran, Sunnah

dan perkataan para ulama Generasi Salaf yang mengambil langsung ajaran Agama ini dari

sumbernya yang jernih, demikian juga makna secara semantik dan kebahasaan.

Tauhid bukan hanya aspek rubu>biyyah semata, karena pengakuan akan rubu>biyyah

Allah semata tidak cukup untuk menjadikan seorang menjadi Muslim. Sebab kaum

Musyrik Mekah pada zaman Nabi Saw juga mengimani bahwa Allah adalah Rabb Yang

Mahakuasa, Maha Mencipta dan Maha memberi rezeki, tetapi mereka dicap sebagai kafir

dan musyrik lantaran menyembah kepada selain Allah. Bahkan Iblis dalam beberapa ayat

di dalam Al-Quran, mengakui bahwa Allah adalah Rabb-nya, seperti firman Allah (yang

artinya): ‚Iblis berkata: ‘Wahai Rabb-ku, beri tangguhlah kepadaku sampai hari (manusia)

dibangkitkan... Ia berkata: ‘Wahai Rabb-ku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa

aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di

muka bumi...‛102 Tetapi, meski demikian tetaplah ia sebagai makhluk yang paling kafir,

karena menolak ketaatan dan kepatuhan melaksanakan perintah Allah untuk bersujud

102

QS. Al-H}ijr: 36 dan 39

Page 29: RUBU

29

menghormati Adam. Penolakan kepatuhan ini tentu saja merupakan pengingkarannya

terhadap Tauhid Ulu>hiyyah.

Kritik terhadap konsep Tauhid versi Mutakallimu>n dan Fala>sifah dalam tulisan ini

tidak berarti mengatakan bahwa mereka tidak meyakini ke-ulu>hiyyah-an Tuhan,

melainkan kritik bahwa kecendrungan mereka membahas Tauhid dengan konsep khas

mereka—dalam pandangan penulis—telah melalaikan aspek tauhid ibadah yang

merupakan msisi para rasul itu, sehingga jarang ditemukan di dalam kitab-kitab aqidah

mereka penjelasan memadai tentang aspek kedua dari konsep Tauhid ini. Pembahasan

mereka tetang keesaan Allah bahkan menggiring kepada perdebatan tentang hakikat

Tuhan yang dilarang oleh Nabi Saw. Beliau bersabda: ‚Berpikirlah tentang nikmat-

nikmat Allah dan janganlah berpikir tentang Allah.‛103 Dalam riwayat lain: ‚Berpikirlah

tentang makhluk-makhluk Allah dan jangan berpikir tentang Allah sehingga kalian

menjadi celaka.‛104 Kalaulah pembahasan tauhid seperti konsep Mutakallimu>n dan

Fala>sifah sangat penting sehingga tauhid seseorang tidak akan sempurna tanpanya,

niscaya para nabi dan rasul lah yang paling berhak dan paling layak mengajarkan dan

menyampaikannya. Walla>hu A‘lam.

103

Abu> Al-Qa>sim Sulaima>n bin Ah}mad Al-Lakhmi Al-T}abra>ni>, Mu‘jam Al-T{abra>ni>, (Kairo: Da>r Al-

H{aramain), no. 6/250 104

Abu> Al-Shaikh Al-As}baha>ni>, Al-‘Az}amah, Bab> Al-Amr fi> Al-Tafakkur fi> A>ya>tilla>h, (Riyad}: Da>r

Al-‘A>s}imah, 1408), 1/204

Page 30: RUBU

30

Daftar Pustaka:

Al-As}baha>ni>, Abu> Al-Shaikh, Al-‘Az}amah, Bab> Al-Amr fi> Al-Tafakkur fi> A>ya>tilla>h,

(Riyad}: Da>r Al-‘A>s}imah, 1408)

Al-Ba>birti, Akmaluddi>n Muh}ammad Ibn Muh}ammad, Syarh} ‘Aqi>dah Ahl Al-Sunnah wa

al-Jama>‘ah, (Kuwait: Wiza>rat al-Shu’u>n Al-Isla>miyyah, 1989)

Al-Ba>qilla>ni>, Abu> Bakr, Al-Ins}a>f fi> ma> Yajibu I‘tiqa>duhu wa la> Yaju>zu al-Jahlu bihi,

(Kairo: Maktabah Al-Azhariyyah, 2000)

Al-Baghwi, Abu> Muh}ammad Al-H{usain bin Mas‘u>d, Ma‘a>lim At-Tanzi>l fi> Tafsi>r Al-

Qur’a>n, (Riya>d}: Da>r T}aibah, 1997)

Al-Bukha>ri>, Ima>m Abu> ‘Abdulla>h Muh}ammad bin Isma>‘i>l, S}ah}i>h} Al-Bukha>ri>, Kita>b Al-

Tauh}i>d, Ba>b: Ma> ja>’a fi> du ‘a’ al-Nabi> ummatahu ila> al-tauh}i>d, (Da>r T{auq Al-

Naja>t, 1422).

Al-Da>raqut}ni>, Ima>m Abu> Al-H{asan ‘Ali bin ‘Umar, Sunan Al-Da>raqut}ni>, Kita>b Al-Zaka>h, Ba>b: Al-H{aththu ‘ala> ikhra>j al-s}adaqah wa baya>nu qismatiha>, (Beirut: Mu’ssasah

Al-Risa>lah, 2004).

Al-Dainu>ri>, Abu> Muh}ammad Abdulla>h bin Muslim bin Qutaibah, Tafsi>r Gari>b al-Qur’a>n,

(Beirut: Da>r Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1978)

Al-Fairu>z A<ba>di, Abu T{a>hir Muh}ammad bin Ya‘qu>b, Al-Qa>mu>s Al-Muh}i>t} (Beirut:

Mu’assasah Al-Risa>lah, 2005)

Al-Fara>hi>di>, Abu> ‘Abdurrah}ma>n Al-Khali>l bin Ah}mad, Mu ‘jam Al-‘Ain (Da>r wa

Maktabah Al-Hila>l)

Al-Ghaza>li>, Abu> H}amid Muh}ammad bin Muh}ammad, Al-Iqtis}ad fi> Al-I‘tiqa>d, (Beirut:

Da>r Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 2004)

Al-H}anafi>, S}adruddi>n Mu}ammad bin ‘Ali> bin Muh}ammad bin Abi Al-‘Izz, Sharh} Al-

‘Aqi>dah Al-T{aha>wiyyah, (Kairo: Da>r Al-Sala>m, 2005)

Al-Jauhari>, Abu> Nas}r Isma>‘i>l bin H{amma>d, Al-S{ih}a>h} Ta>j Al-Lug}ah (Beirut: Da>r Al-‘Ilm li

Al-Mala>yi>n, 1987).

Al-Jauzi>, Abu> Al-Faraj Aburrah}ma>n bin ‘Ali> bin Muh}ammad, Za>d Al-Masi>r fi> ‘Ilmi Al-

Tafsi>r (Beirut: Da>r Al-Kita>b Al-‘Arabi>, 1422 H).

Al-Jauziyyah, Ibn Qayyim, Mukhtas}r Al-S}awa>‘iq Al-Mursalah (Kairo: Da>r Al-H}adi>th,

2004)

Al-Jurja>ni>, Al-Shari>f ‘Ali> bin Muh}ammad bin ‘Ali>, Al-Ta‘ri>fa>t, (Beirut: Da>r Al-Kutub Al-

‘Ilmiyyah, 1983)

Al-Khayyat}, ‘Abdurrah}i>m bin Mu}ammad bin ‘Uthma>n, Kita>b Al-Intis}a>r wa Al-Radd ‘ala>

Ibn Al-Rawandi> Al-Mulh}id, (Beirut: Maktabah Al-Da>r Al-‘Arabiyyah li Al-Kita>b,

1993)

Al-Marwazi, Abu> ‘Abdulla>h Muh}ammad bin Nas}r bin Al-H{ajja>j, Ta‘z}i>m Qadr Al-S}ala>h,

(Madi>nah Al-Munawwarah, Maktabah Al-Da>r, 1406)

Al-Naisa>bu>ri, Ima>m Abu> Al-H}asan Muslim bin Al-H}ajja>j, S}ah}i>h Muslim, Kita>b Al-I>ma>n,

Bab: Al-Amru bi qita>l al-na>s h}atta> yashhadu> an la> ila>ha illalla>h. (Beirut: Da>r Ih}ya>’

Al-Tura>th Al-‘Arabi>)

Al-As}fha>ni>, Al-Ra>gib Abu> Al-Qa>sim Al-H{usain bin Muh{ammad bin Al-Mufad}d}al, Al-

Mufrada>t fi> Gari>b al-Qur’a>n (Beirut: Da>r al-Qalam, 1412 H).

Page 31: RUBU

31

Al-Ra>zi>, Abu> ‘Abdulla>h Muhammad bin Abu> Bakr, Mukhta>r Al-S{ih}a>h}, (Beirut: Al-

Maktabah Al-‘As}riyyah, 1999)

Al-Ra>zi>, Abu> Al-H{usain Ah}mad bin Fa>ris, Mu‘jam Maqa>yi>s Al-Lug}ah, (Beirut: Da>r Al-

Fikr, 1979)

Al-Ra>zi>, Fakhruddi>n, Muh}ammad bin ‘Umar bin Al-H}usain, Al-Mat}a>lib Al-‘A>liyah,

(Beirut: Da>r Al-Kutub Al-‘Arabi, 1987).

Al-Ra>zi>, Tafsi>r Mafa>tih} Al-Ghaib, (Beirut: Da>r Ih}ya>’ Al-Tura>th Al-‘Arabi>, 1420 H),

32/361

Al-Shahrushta>ni>, Abul Fath} Muh}ammad bin Abdul Kari>m bin Abi> Bakr, Al-Milal wa Al-

Nih}al, (Kairo: Mu’assasah Al-H}alabi)

____________>, Niha>yat Al-Iqda>m fi> ‘Ilm Al-Kala>m (Beirut: Da>r Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah,

1425)

Al-T{abari>, Imam Abu> Ja‘far Muh}ammad bin Jari>r, Ja>mi‘u al-Baya>n ‘an Ta’wi>li A<y Al-

Qur’a>n, (Beirut: Mu’assasah al-Risa>lah, 2000).

Al-T}abra>ni>, Abu> Al-Qa>sim Sulaima>n bin Ah}mad Al-Lakhmi, Mu‘jam Al-T{abra>ni>, (Kairo:

Da>r Al-H{aramain)

Al-Zabi>di, Abu> Al-Faid} Muh}ammad bin Muh}ammad Murtad}a>, Ta>j Al-‘Aru>s (Da>r Al-

Hida>yah, tanpa tahun).

Al-Zamakhshari>, Mah}mu>d bin ‘Umar, Al-Kashsha>f ‘an H}aqa>’iq G}awa>mis} Al-Tanzi>l

(Beirut: Da>r Al-Kita>b Al-‘Arabi>, 1407 H)

Ibn Kathi>r, Abu> Al-Fida> Isma>‘il bin ‘Umar, Tafsi>r Al-Qur’a>n Al-‘Az}i>m, (Beirut: Da>r Al-

Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1419 H).

Ibn Sayyidih, Abu> Al-H{asan ‘Ali> bin Isma>‘i>l, Al-Mukhas}s}is}, (Beirut: Da>r Ih}ya> Al-Tura>th

Al-‘Arabi>, 1996).

Ibn Si>na, Abu> ‘Ali> Al-H}usain bin Abdulla>h, Al-Shifa>’, Al-Ila>hiyya>t, (Kairo: Al-Hai’ah Al-

Mis}riyyah li shu’u>n al-Mat{a>bi‘, 1960)

Ibn Taimiyyah, Abu> Al-‘Abba>s Ah}mad bin Abdul H}alil>m, Al-Risa>lah Al-S}afadiyyah,

(Riya>d}: Maktabah Ad}wa’ Al-Salaf, 2002).

___________, Baya>n Talbi>s Jahmiyyah fi> Ta’si>s Bida‘ihim Al-Kala>miyyah, (Riya>d}:

Majma‘ Malik Fahd: 1426)

___________, Dar’u Ta‘a>rud} al-‘Aql wa al-Naql, (Riyad}: Da>r Al-Fad}ilah, 2008)

Ibnu Al-Athi>r, Abu> Al-Sa‘a>da>t Al-Muba>rak bin Muhammad, Al-Niha>yah fi> Gari>b al-

H{adi>th wa al-A<tha>r (Beirut: Al-Maktabah Al-‘Ilmiyyah, 1979)

Muhammad Khad}ir, Muhammad Zaki, Mu‘jam Kalima>t Al-Qur’a>n Al-Kari>m, (),

Shamsuddi>n Abu> Abdulla>h Muh}ammad bin Ah}mad bin ‘Uthma>n Al-Dhahabi>, Al-‘Uluw li

Al-‘Aliy Al-Ghaffa>r, (Riyad}: Maktabah Ad}wa>’ Al-Salaf, 1995), h. 139.

T}a‘i>mah, S}a>bir Abdurrah}ma>n, Dr., Al-Mutakallimu>n fi> Dha>tilla>h wa S}ifa>tihi wa Al-Raddu

‘Alaihim, (Kairo: Maktabah Madbu>li>, 2005).