rubrik parenting majalah hidayatullah

8
SUARA HIDAYATULLAH | www.hidayatullah.com 68 Yuk, Suami dan Istri Saling Menguatkan usrah Oleh Abdul Ghofar* Sabar dan syukur menjadi kunci kebahagiaan keluarga. Dengannya keluarga bisa mengggapai pintu surga kelak. S elama ini Nani merasa sudah menjadi istri yang banyak bersabar. Ia dijodohkan oleh orangtuanya dengan suami berwajah pas-pasan dan gaji yang juga pas-pasan. Pokoknya semua serba tak ideal menurut cita-citanya semasa gadis dulu. Suatu ketika, sang suami pulang tergesa-gesa. Ia membawa uang yang lumayan banyak sebagai bonus dari kantornya. Uang tersebut masih utuh. Hanya disimpan dalam amplop dan berbungkus plastik hitam. Rupanya suami Nani harus berkemas kembali, ada urusan di luar kota yang hendak diselesaikan. Beberapa hari kemudian, suaminya pulang dan menanyakan uang yang diberikan dulu. “Dik, di mana uang yang ayah titip kemarin?” “Uang yang mana?” “Uang dalam plastik hitam yang ayah titip sebelum pergi.” Sontak Nani tersadar. Ia segera mencari ke setiap sudut rumah. Usai seharian mencari, ia malah kian bingung dan penat. Tiba- tiba ia teringat sesuatu. Ia pernah membersihkan rumah dan membuang sampah-sampah dalam plastik. “Ayah, aku minta maaf. Uang yang ayah titipkan ikut terbuang ke tempat sampah.” Suasana hening sejenak. Suami Nani memilih diam. Meski tersentak kaget tapi ternyata ia tidak marah. “Berarti uang itu belum rezeki keluarga kita,” ujarnya datar sambil tersenyum. Sejak itu, jika selama ini Nani merasa hanya bisa bersabar dengan kondisi pas-pasan suaminya, kini ia bersyukur memiliki suami yang penyayang dan tidak mudah marah. Nani sadar, ia merasa layak dimarahi atas keteledoran sikapnya menyimpan duit. Sebaliknya, suami Nani kini harus bersabar atas istri yang pelupa dan teledor. Selama ini ia hanya bersyukur karena mempunyai istri cantik dan suka merawat tubuhnya. MINTA YANG SESUAI, BUKAN SEMPURNA Imam al-Ghazali berkata, sabar itu separuh keimanan dan setengahnya lagi adalah syukur. Keimanan seseorang berbanding lurus dengan ujian yang Allah Ta’ala berikan. Ujian bisa berwujud kenikmatan yang sejalan dengan kemauan, bisa pula berupa musibah atau hal yang tidak disukai. Inilah keajaiban orang beriman yang mesti mampu mengelola dua “kepang sayap”: bersyukur dan bersabar. Nabi bersabda, “Sungguh ajaib urusan orang beriman. Sesungguhnya pada setiap urusannya, baginya ada kebaikan dan perkara ini tidak berlaku melainkan kepada orang mukmin. Sekiranya dia diberi dengan sesuatu yang menggembirakan lalu dia bersyukur maka kebaikan baginya. Dan sekiranya apabila dia ditimpa kesusahan lalu dia bersabar maka kebaikan baginya.” (Riwayat Muslim). Dalam suatu anekdot, seorang santri sedang berkonsultasi kepada sang ustadz. Ia minta dicarikan jodoh yang ideal menurut sangkaannya: cantik, kulit putih, postur tinggi, keturunan orang baik, dan hafizhah 30 juz (penghafal al-Qur’an). Ustadz itu lalu menjawab, Alhamdulillah, ada seorang santri putri yang persis sama dengan kriteria idamanmu. Cuma satu saja kekurangannya.” “Apa satu kekurangan itu, Ustadz?” “Eh, tapi jangan tersinggung ya!” “Tidak Ustadz, insya Allah saya siap menerima satu kekurangan tersebut.” “Kekurangannya, santri putri itu belum mau menerima kamu.” “Kenapa Ustadz?” santri itu mulai menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Karena kamu sendiri belum seideal dia, sebagai penghafal 30 juz.” Manusia cenderung mengejar sesuatu yang disenangi dan bersyukur jika hal itu sesuai dengan keinginannya. Termasuk dalam perkara mencari calon

Upload: majalah-hidayatullah

Post on 15-Apr-2017

231 views

Category:

Education


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: RUBRIK PARENTING MAJALAH HIDAYATULLAH

SUARA HIDAYATULLAH | www.hidayatullah.com68

Yuk, Suami dan Istri Saling Menguatkan

usrah

Oleh Abdul Ghofar*

Sabar dan syukur menjadi kunci kebahagiaan keluarga. Dengannya keluarga bisa mengggapai pintu surga kelak.

Selama ini Nani merasa sudah menjadi istri yang banyak bersabar. Ia dijodohkan oleh orangtuanya dengan suami berwajah pas-pasan dan gaji

yang juga pas-pasan. Pokoknya semua serba tak ideal menurut cita-citanya semasa gadis dulu.

Suatu ketika, sang suami pulang tergesa-gesa. Ia membawa uang yang lumayan banyak sebagai bonus dari kantornya. Uang tersebut masih utuh. Hanya disimpan dalam amplop dan berbungkus plastik hitam. Rupanya suami Nani harus berkemas kembali, ada urusan di luar kota yang hendak diselesaikan. Beberapa hari kemudian, suaminya pulang dan menanyakan uang yang diberikan dulu.

“Dik, di mana uang yang ayah titip kemarin?”

“Uang yang mana?”“Uang dalam plastik hitam yang

ayah titip sebelum pergi.”Sontak Nani tersadar. Ia segera

mencari ke setiap sudut rumah. Usai seharian mencari, ia malah kian bingung dan penat. Tiba-tiba ia teringat sesuatu. Ia pernah

membersihkan rumah dan membuang sampah-sampah dalam plastik.

“Ayah, aku minta maaf. Uang yang ayah titipkan ikut terbuang ke tempat sampah.”

Suasana hening sejenak. Suami Nani memilih diam. Meski tersentak kaget tapi ternyata ia tidak marah. “Berarti uang itu belum rezeki keluarga kita,” ujarnya datar sambil tersenyum.

Sejak itu, jika selama ini Nani merasa hanya bisa bersabar dengan kondisi pas-pasan suaminya, kini ia bersyukur memiliki suami yang penyayang dan tidak mudah marah. Nani sadar, ia merasa layak dimarahi atas keteledoran sikapnya menyimpan duit. Sebaliknya, suami Nani kini harus bersabar atas istri yang pelupa dan teledor. Selama ini ia hanya bersyukur karena mempunyai istri cantik dan suka merawat tubuhnya.

Minta yang SeSuai, Bukan SeMpurna

Imam al-Ghazali berkata, sabar itu separuh keimanan dan setengahnya lagi adalah syukur. Keimanan seseorang berbanding lurus dengan ujian yang Allah Ta’ala berikan. Ujian bisa berwujud kenikmatan yang sejalan dengan kemauan, bisa pula berupa musibah atau hal yang tidak disukai. Inilah keajaiban orang beriman yang mesti mampu mengelola dua “kepang sayap”: bersyukur dan bersabar.

Nabi bersabda, “Sungguh ajaib

urusan orang beriman. Sesungguhnya pada setiap urusannya, baginya ada kebaikan dan perkara ini tidak berlaku melainkan kepada orang mukmin. Sekiranya dia diberi dengan sesuatu yang menggembirakan lalu dia bersyukur maka kebaikan baginya. Dan sekiranya apabila dia ditimpa kesusahan lalu dia bersabar maka kebaikan baginya.” (Riwayat Muslim).

Dalam suatu anekdot, seorang santri sedang berkonsultasi kepada sang ustadz. Ia minta dicarikan jodoh yang ideal menurut sangkaannya: cantik, kulit putih, postur tinggi, keturunan orang baik, dan hafizhah 30 juz (penghafal al-Qur’an).

Ustadz itu lalu menjawab, “Alhamdulillah, ada seorang santri putri yang persis sama dengan kriteria idamanmu. Cuma satu saja kekurangannya.”

“Apa satu kekurangan itu, Ustadz?”“Eh, tapi jangan tersinggung ya!”“Tidak Ustadz, insya Allah saya siap

menerima satu kekurangan tersebut.”“Kekurangannya, santri putri itu

belum mau menerima kamu.”“Kenapa Ustadz?” santri itu mulai

menggaruk kepalanya yang tidak gatal.“Karena kamu sendiri belum

seideal dia, sebagai penghafal 30 juz.”

Manusia cenderung mengejar sesuatu yang disenangi dan bersyukur jika hal itu sesuai dengan keinginannya. Termasuk dalam perkara mencari calon

Page 2: RUBRIK PARENTING MAJALAH HIDAYATULLAH

AGUSTUS 2015/SYAWAL 1436 69

Jendela keluarga

ketika ia beruntai dengan ragam warna. Ada kalanya sang suami yang mencintai istrinya dengan sepenuh hati justru tiba-tiba jengkel dan tak suka dengan perbuatan istrinya. Ada masa ketika perbedaan bahkan konflik itu menyeruak dalam keluarga. Tiba-tiba something is error dan miss komunikasi terjadi begitu saja tanpa ada yang menginginkannya.

Dibanding yang lain, manusia adalah makhluk Allah yang paling sempurna. Namun tak seorang pun yang sempurna perbuatannya, kecuali Rasulullah yang telah dijaga oleh Allah dari perbuatan dosa. Kekurangan yang ada bukan untuk dikeluhkan atau sebagai alasan tak mau bersyukur kepada Allah. Ia adalah lahan untuk menyempurnakan keimanan dengan kesabaran. Sebab, terkadang kekurangan itu bersifat bawaan yang tak mudah mengubah atau menghilangkannya.

Sabar dan syukur adalah sekepang sayap yang memberi energi keteguhan, optimisme dan keyakinan dalam menghadapi berbagai persoalan hidup. Keduanya menjadi kunci kebahagiaan keluarga. Dengannya keluarga tersebut bisa menggapai pintu surga kelak. Sebaliknya, tanpa dua sayap tersebut, keluarga itu hanya mampu mengeluh dan mengeluh. Mereka merasa seolah hidup ini hanya untuk mengeluh saja.

Ketua Lembaga Pendidikan dan Pengkaderan Hidayatullah Balikpapan

suami atau istri. Selalu berharap yang ideal terhadap pasangan hidupnya. Bagi seorang Muslim, membangun keluarga bermula dari doa dan harapan terhadap jodoh yang diinginkan.

Sebenarnya, harapan di atas terbilang wajar. Namun, itu belum tentu ada atau mungkin tersedia tapi tidak sesuai dengan kondisi kita sendiri. Untuk itu, seorang Muslim harus selalu membenahi diri, dan tidak melulu menuntut hal yang sempurna dari pasangan sedangkan dirinya luput dari usaha menjadi sosok yang sempurna.

Sejatinya, pasangan yang ideal adalah pasangan yang mampu mensyukuri kelebihan pasangannya dan sanggup menyabari kekurangan pasangannya. Sebab, dua insan bisa berpasangan ketika ada

simbiosis mutualisme atau saling menguntungkan, kerja sama, melengkapi dan memahami. Sehingga ada harmonisasi dalam menjalin hubungan dalam rumah tangga.

Sekepang Sayap Ibarat seekor burung yang terbang

ke angkasa dengan nyaman dan indah, karena dua sayapnya yang saling menguatkan dan harmonis antara sayap kanan dan kiri. Meski diterpa angin kencang burung itu bisa bertahan dengan kedua sayapnya yang kokoh. Pun demikian bagi orang beriman, sepatutnya “dua sayap”; sabar dan syukur itu difungsikan secara maksimal dalam mengarungi kehidupan di dunia, khususnya di dalam sebuah keluarga.

Keseimbangan sayap burung di atas menjadi pelajaran jalinan kerja sama yang harmonis antara suami dan istri. Pasangan suami atau istri bukan malaikat atau bidadari yang sempurna dan tidak memiliki cacat. Suami dan istri adalah sepasang manusia biasa yang masing-masing memiliki segudang kelebihan dan kekurangan. Setali tiga uang dengan kehidupan di dunia, ia selalu menyisakan masalah dan ujian yang tiada habisnya. Sebagaimana tak ada keinginan yang langsung terkabul semuanya. Sebab, kita semua masih di dunia yang sarat dengan mujahadah dan perjuangan.

Laksana pelangi yang indah, kehidupan keluarga justru indah fo

To: M

UH

ABD

US

SYA

KU

R/SU

ARA

HID

AYAT

ULL

AH

Suami dan istri adalah sepasang manusia biasa yang masing-masing memiliki segudang kelebihan dan kekurangan.

Page 3: RUBRIK PARENTING MAJALAH HIDAYATULLAH

SUARA HIDAYATULLAH | www.hidayatullah.com70

Menjawab Gugatan Kaum Feminis Soal Nusyuz

mar’ah

Adanya istri yang nusyuz, karena para suami tidak mempunyai sifat qawwam (kepemimpinan).

An-Nisa, salah satu surat yang sering digugat oleh kaum feminis. Lebih spesifik lagi, mereka menggugat salah satu ayat dalam surat ini, yaitu

ayat 34 (selain ayat tentang waris). Ayat ini, kata mereka, mendukung kekerasan terhadap perempuan, terutama pada ‘wadhribuu hunna’ (dan pukullah mereka) pada baris keempat. 

Ibnu Katsir memaparkan dalam tafsirnya, nusyuz dalam surat an-Nisa artinya tinggi diri; wanita yang nusyuz, ialah wanita yang bersikap sombong terhadap suaminya, tidak mau melakukan perintah suaminya, berpaling darinya, dan membenci suaminya.

Pada ayat 34 sebelum kata wadhribuu hunna, Allah telah menyuruh para suami untuk memperlakukan istrinya yang nusyuz dengan menasihatinya secara baik-baik terlebih dulu, “Kita harus utamakan nasihat,” jelas dosen Fahmu Nusus Qur`an dan Sunnah Universitas Muhammadiyah Surakarta, Dr Abdul Kholiq Hasan El-Qudsy yang merupakan alumni Islamic Science University, Sudan, belum lama ini.

Kemudian, apa indikasi dari nusyuz tersebut? Yaitu adanya ketidaktaatan atau meninggalkan kewajiban sebagai istri. Menurut Hasan, adanya istri yang nusyuz karena para suami tidak mempunyai sifat qawwam (kepemimpinan), “Jika laki-laki punya sifat qawwam,  tidak ada perempuan yang nusyuz,” terangnya lagi. Sifat qawwam di sini dalam Miitsaq al-Usroh (Piagam atau Tatanan Keluarga) yang ditulis oleh para ulama di Timur Tengah dan Afrika, salah satunya

FoTo

: MU

H A

BDU

S SY

AK

UR/

SUA

RA H

IDAY

ATU

LLA

H

oleh Sarah Larasati Mantovani*

Page 4: RUBRIK PARENTING MAJALAH HIDAYATULLAH

AGUSTUS 2015/SYAWAL 1436 71

Jendela keluarga

memukul istrinya bagaikan unta, yaitu dia memukulnya pada pagi hari, tetapi kemudian pada malam harinya mencampurinya.”

Apabila tujuan telah tercapai, tiga tindakan tersebut harus dihentikan. Karena tujuan yang berupa ketaatan inilah yang memang diinginkan, yaitu ketaatan yang positif, bukan ketaatan karena tekanan. Karena ketaatan semacam ini tidak layak untuk membangun institusi rumah tangga yang merupakan basis jamaah masyarakat. Sayyid Quthb menafsirkan, melakukan tiga tindakan tersebut setelah terwujudnya ketaatan istri kepada suami adalah perbuatan aniaya dan melampaui batas, seperti mencari-mencari cara untuk menyusahkan istri.

Harus ada PemimPin Mengenai otoritas pemimpin

sen diri pun ada ketentuannya, yaitu tidak merendahkan, tidak menzalimi, dan tidak menyalahgunakan. Lebih lanjut lagi dalam Miitsaq al-Usroh, “Se orang laki-laki adalah pemimpin dalam keluarga, karena keluarga me rupakan unit sosial (gambaran kecil sebuah masyarakat) yang terdiri dari beberapa orang.  Maka harus ada kepemimpinan agar keluarga tidak rusak dan hancur. Seorang laki-laki  layak untuk bertanggung jawab terhadap berbagai per ma sa la-han nya karena fitrahnya, ta biat tubuh dan jiwanya.  Bukan ke pe mim pinan yang menaklukan atau monopoli dan pelampiasan, tapi ia adalah tanggung jawab  dan  beban dalam memelihara keluarga dan menjaganya.”

Sehingga laki-laki atau suami yang saleh jika mendapati bidadari dunianya berbuat ketaatan dan dapat menyejukkan dirinya, ia akan bersyukur. Namun jika ia mendapati istrinya tidak melakukan ketaatan, ia tidak akan berbuat zalim apalagi sampai melakukan kekerasan yang sesungguhnya sangat dilarang dalam Islam. Peneliti Aliansi Cinta Keluarga (AILA) Indonesia

bukanlah untuk meyakiti, menyiksa apalagi memuaskan diri. Juga tidak boleh dilakukan dengan keras dan kasar. Pemukulan yang dilakukan haruslah dalam rangka mendidik, yang harus disertai dengan rasa kasih sayang seorang pendidik, sebagaimana yang dilakukan seorang ayah terhadap anak-anaknya dan yang dilakukan guru terhadap muridnya. Semua tindakan ini juga tidak boleh dilakukan jika kedua pasangan berada dalam kondisi rumah tangga yang harmonis.

Begitu pun Ibnu Katsir dalam tafsirnya, para suami boleh memukul istri dengan pukulan yang tidak melukai. Sebagaimana disebutkan di dalam Kitab Shahih Muslim, Nabi bersabda saat haji wada.

“Bertakwalah kepada Allah dalam urusan wanita, karena sesungguhnya mereka di sisi kalian merupakan penolong, dan bagi kalian ada hak atas diri mereka, yaitu mereka tidak boleh mempersilakan seseorang yang tidak kalian sukai menginjak hamparan kalian. Dan jika mereka melakukannya, maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak melukakan, dan bagi mereka ada hak mendapat rezeki (nafkah) dan pakaiannya dengan cara yang makruf.”

Abu Dawud, Nasa’i, dan Ibnu Majah meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda, “Janganlah kamu memukul hamba-hamba wanita Allah.” Lalu datanglah Umar kepada Rasulullah

seraya berkata, “Kaum wanita sudah berani menentang suaminya.” Rasulullah kemudian memberikan izin untuk memukul mereka. Setelah itu, banyak wanita yang mengelilingi keluarga Rasulullah dengan mengeluhkan tindakan suami mereka. Kemudian Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya keluarga Muhammad telah dikelilingi oleh kaum wanita yang banyak, yang mengeluhkan tindakan suami mereka.” Maka, mereka (suami-suami semacam itu) bukanlah orang-orang yang baik di antara kamu.”

Rasulullah juga bersabda, “Janganlah seseorang di antara kamu

Syaikh Yusuf Qaradhawi, menyebutkan empat unsur sifat kepemimpinan, yaitu syura (musyawarah), perawatan, perlindungan, dan nafkah.

ada Tiga TaHaPanMemberi nasihat kepada istri,

terang Sayyid Quthb dalam tafsirnya Fii Zhilalil Qur`an merupakan tindakan pertama yang harus dilakukan oleh pemimpin dan kepala rumah tangga. Nasihat adalah bagian dari pendidikan, yang memang senantiasa dituntut kepada suami dalam semua hal. Tetapi dalam kondisi khusus ini, ia harus memberikan pengarahan tertentu untuk sasaran tertentu pula, yaitu mengobati gejala-gejala nusyuz sebelum menjadi genting dan berakibat fatal.

Namun jika nasihat yang diberikan ti dak mempan juga, maka dalam kon di si seperti ini ditangani dengan tin da kan kedua dengan memisahkan tem pat tidur mereka. Menurut Sayyid Quthb, ada syarat-syarat tertentu yang ha rus dipenuhi suami apabila ingin me mi sahkan tempat tidur istrinya. Per ta ma, pemisahan tidak dilakukan se cara terang-terangan di luar tempat pa sa ngan suami-istri tersebut biasa berduaan.

Kedua, tidak melakukan pemisahan di depan anak-anak karena akan me nim bul kan dampak negatif bagi mereka. Ketiga, tidak melakukan pe mi sa han dengan pindah ke orang lain, menghinakan istri atau menjelek-jelekkan kehormatannya dan harga diri-nya karena yang seperti itu akan me-nambah konflik. Tujuan dari pemisahan tempat tidur ialah untuk mengobati nusyuz, bukan untuk merendahkan istri dan merusak anak-anak.

Jika tindakan kedua ini tidak ber-hasil juga, masih ada tindakan terakhir yang sering disalahpahami maksudnya. Tindakan terakhir ini, terang Sayyid Quthb, walaupun lebih keras tapi lebih kecil dampaknya dibandingkan dengan kehancuran institusi rumah tangga yang disebabkan oleh nusyuz.

Pemukulan yang dilakukan

Page 5: RUBRIK PARENTING MAJALAH HIDAYATULLAH

AGUSTUS 2015/SYAWAL 1436 67

JendelaKeluarga

celah

kepercayaan diri anak, juga membangun keterampilan sosialnya.

Apa yang perlu dilakukan jika akan kedatangan tamu? Jika tamunya sudah memberi tahu, penting mem­beri informasi pada anak bahwa akan kedatangan tamu. Akan lebih baik lagi jika kita dapat memberi gambaran ten tang sosok tamu yang akan datang. Jika kita mampu me mancing rasa ingin tahu anak maka anak bukan saja lebih siap namun juga lebih bersemangat menghadapi tamu.

Sampaikan pada anak jika tamu datang maka ia akan di perkenalkan, lalu ibu atau ayah akan memerlukan wak­tu untuk berbicara dengan tamu. Jika perlu sesuatu bisa me nunggu atau berbicara baik­baik.

Menarik apa yang diceritakan Anas yang men dam­pi ngi Rasulullah sejak ia berusia sepuluh tahun. Dari Anas, “Rasulullah mengunjungi sahabat-sahabat Anshar, mengucapkan salam kepada anak-anak  mereka dan mengusap-usap kepala mereka.”

Rasulullah mencontohkan saat bertamu se ha­rusnya anak mendapatkan perhatian dan sentuhan ter ­lebih dahulu. Dengan demikian anak merasa bahwa diri­nya juga orang yang penting dan layak dihormati. Jika anak merasakan pengalaman berkesan saat ke da tangan tamu, maka perilaku mereka akan baik selama ke da­ta ngan tamu. Penulis buku serial catatan parenting Mendidik Karakter dengan Karakter

foto

: MU

H A

BDU

S SY

AK

UR/

SUA

RA H

iDAY

AtU

llA

H“Bu, kenapa ya anak saya kalau sedang ada tamu suka berulah. Yang bia sa­nya tidak naik­naik, tiba­tiba sudah

meng gelantung di teralis jendela. Mereka bolak­balik ambil kue buat tamu. Kadang minuman buat tamu di­mi numnya. Atau mereka merengek meminta uang jajan. Semakin dilarang semakin menjadi­jadi. Mengapa de mi­kian ya? Saya suka bingung dan rasanya malu sekali pada tamu.”

Pertanyaan seperti itu seringkali muncul dari para ibu. lebih berbahaya lagi jika orangtua berkata pada tamunya, “Aduh maaf Bu, anak saya ini kalau ada tamu memang suka berperilaku aneh, tidak seperti biasanya.” Keluhan semacam ini jika disampaikan di depan anak akan semakin membuat anak menjadi­jadi dan me­ngang gap bahwa apa yang dilakukannya sebagai hal yang wajar dan biasa.

Ada beberapa penyebab mengapa anak melakukan aksinya saat ada tamu. Pertama, ia merasa diabaikan sehingga ia mencari­cari perhatian. ia tidak suka melihat orangtuanya terlalu asik dengan orang lain, apalagi jika tamu menyita waktu lama.

Kedua, ketika ditanyakan apakah sikap ibu pada anak di depan tamu atau di belakang tamu sama? ternyata umumnya berbeda. Alasan orangtua kalau di depan tamu biasanya malu bersikap tegas, takut dibilang ayah atau ibu yang pemarah, tidak bersikap lembut pada anak. Perbedaan sikap orangtua itulah sumbernya. Anak adalah peneliti yang handal, ia sangat jeli. ia memahami perbedaan sikap orangtuanya. ia tahu setiap ada tamu maka ayah dan ibunya menjadi orangtua yang manis, dan tak berdaya. Jangan sekali­kali menyuap anak untuk berperilaku baik saat kedatangan tamu, hal ini akan jadi pola. Setiap ada tamu anak akan menuntut imbalan.

Kehadiran tamu adalah hal positif bagi sebuah ke­luarga. Anak belajar berkenalan dengan orang lain se­lain anggota keluarganya. iapun belajar mengenai adab menerima tamu. Kehadiran tamu merupakan ke sem pa­tan emas untuk meningkatkan ikatan emosional orang­tua dengan anak, membangun konsep diri positif, dan

Ketika Ada TamuOleh Ida S. WIdayantI*

Page 6: RUBRIK PARENTING MAJALAH HIDAYATULLAH

SUARA HIDAYATULLAH | www.hidayatullah.com72

Maka mereka mengingkari Rasulullah Muhammad meskipun mereka tahu betul dan sangat yakin dengan tanda-tanda kenabian yang ada pada diri Muhammad . Mereka yakin, tapi tidak beriman.

Salah satu aspek penting iman adalah kesediaan untuk mengakui, menerima dan berserah diri kepada Allah Ta’ala yang dinyatakan secara lisan. Meyakini kebaikan Islam tanpa bersedia mengucapkan kalimat sya ha-da tain, maka keyakinan tersebut tidak ada nilainya di hadapan Allah Ta’ala. Aspek lainnya adalah mengikatkan diri dengan Islam dan memiliki komitmen kepadanya. Ini membawa konsekuensi bahwa kita dituntut untuk memiliki komitmen (iltizam) kepada al-Qur`an dan as-Sunnah.

Apakah mungkin seseorang memahami Islam tapi tidak mengimaninya? Bukan hanya mungkin, tapi bahkan telah banyak contohnya. Kita pun mengingat sabda Rasulullah

dengan derajat hasan, “Kebanyakan orang munafik dari umatku adalah qurra’uha (penghafal al-Qur`an).” (Riwayat Ahmad).

Siapakah yang dimaksud dengan para penghafal al-Qur`an? Yang

Oleh MOhaMMad fauzil adhiM

kolom parenting

dimaksud ialah orang-orang yang menghafal tanpa memiliki komitmen kepada al-Qur`an, tidak mengkaji kandungannya, tidak menjaga adabnya sebagai penghafal al-Qur`an dan lebih parah lagi jika sedari awal niatnya memang telah salah. Dari sinilah kita perlu merenungi peringatan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu tentang tanda-tanda zaman fitnah yang salah satunya adalah “wa katsurat qurra’ukum wa qallat fuqaha’ukum. Dan banyak penghafal al-Qur`an kalian, tetapi sedikit fuqaha kalian (orang yang sangat matang ilmu agamanya).”

Contoh mengenaskan di zaman kita adalah Dr Salah Rashed, seorang qurra’ (penghafal al-Qur`an) asal Kuwait dan pernah menjadi imam di sana, tetapi sekarang justru tenggelam dalam berbagai cabang New Age Movement, suatu gerakan paganisme baru yang antara lain berpusat di Esalen, California. Ia hafal al-Qur`an, tetapi rusak imannya. Ini merupakan tragedi yang memilukan sekaligus ada pelajaran besar yang patut kita renungi.

Berkaitan dengan mendidik anak, pe lajaran pentingnya adalah betapa per lu kita menanamkan iman serta iltizam kepada al-Qur`an dan as-

Ada sebuah buku menarik bertajuk Nurturing Eeman in Children karya Dr Aisha Hamdan terbitan IIPH,

Riyadh (2011). Terjemahan bebasnya kurang-lebih Mendidikkan Iman Pada Anak-anak. Dr Aisha Hamdan—begitu penulisannya menurut transliterasi kita—menggunakan kata iman dan bukan faith, sebab iman dalam pemahaman Islam tidak sepenuhnya terwakili oleh kata faith maupun belief (keyakinan, kepercayaan). Kita mengenal kata tsiqah yang berarti percaya, yaqin yang kita terjemahkan dengan kata yakin, tetapi keduanya tidak mencakup kedalaman dan keluasan makna iman.

Orang-orang Yahudi bukan hanya percaya, mereka bahkan sangat yakin dengan apa yang Allah Ta’ala firmankan. Mereka mengenali Muhammad sebagai utusan Allah Ta’ala sebagaimana mereka mengenali anak kandungnya sendiri, tetapi mereka mengingkarinya karena tidak sesuai harapan. Mereka berharap rasul terakhir dari kalangan mereka (Bani Israil), tetapi yang diutus Allah Ta’ala ternyata dari kaum Quraisy.

Karena Iman Bukan Sekadar Pengetahuan

Page 7: RUBRIK PARENTING MAJALAH HIDAYATULLAH

AGUSTUS 2015/SYAWAL 1436 73

Jendela keluarga

73

Sunnah. Pengetahuan dan hafalan me-mang sangat penting, tetapi jika iman tidak kita tanamkan dengan sung guh-sung guh sehingga mendorong anak untuk belajar mengikatkan diri (or-ga nizing values) kepada agama, maka pengetahuan dan hafalan ter se but justru menjadi hujjah atas pe mi liknya. Yang dimaksud hujjah atas pe mi liknya ialah, pengetahuan tersebut jus tru menjauhkan seseorang dari agama.

Berkenaan dengan al-Qur`an, mari sejenak kita ingat perkataan Jundub ibn Abdillah radhiyallahu ‘anhu tatkala menegur seseorang dari generasi tabi’in. Kata Jundub ibn Abdillah RA, “Kami belajar iman sebelum belajar al-Qur`an, kemudian belajar al-Qur`an sehingga dengannya bertambahlah iman kami.”

Berapa banyak madrasah berdiri,

yang baik. Sekadar memperoleh pembiasaan tanpa meyakini serta merasa bangga dengan kebiasaan baik tersebut, justru menjadikan anak semakin berusaha menjauh.

Lalu apa yang perlu kita lakukan? Mari kita pegangi sabda Nabi bahwa sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah . Maka berkenaan dengan menanamkan iman ini, mari kita menelusuri kembali bagaimana Allah Ta’ala menurunkan ayat-ayat untuk menanamkan iman serta bagaimana Rasulullah me-na namkannya di dada para sahabat radhiyallahu ‘anhum ajma’in.

Gunakan Cara yanG TepaTSesungguhnya ayat-ayat yang

memegang peranan penting

ke dalam hati jika caranya tepat. Dan sebaik-baik pelajaran adalah al-Qur`anul Kariim. Inilah perkataan yang lebih menumbuhkan keyakinan dan menggerakkan hati. Jika iman sudah tertanam maka bertambahnya pengetahuan tentang iman akan me-nam bah kuatnya iman. Tetapi jika iman tidak ada, bertambahnya ilmu agama justru menjadi anak dan bahkan orang dewasa semakin menjauh dari agama.

Bagaimana dengan pendapat sebagian orang yang mengatakan perintah dan larangan tidak tepat bagi anak? Jawaban saya sederhana: marilah kita tidak menyibukkan dengan berbagai pendapat yang masih bersifat asumsi. Kita memegangi apa yang Allah Ta’ala tuturkan dalam al-Qur`anul Kariim. Kita mendapati perintah maupun larangan banyak memenuhi halaman al-Qur`an. Bahkan nasihat terbaik yang Allah Ta’ala abadikan dalam kitabullah pun, yakni nasihat dari Luqman kepada putranya, menggunakan larangan yang tegas maupun perintah.

Kalimat yang bersifat berita hanya memberikan informasi secara kognitif. Bukan menghunjamkan keyakinan dan membangkitkan perasaan, kecuali bagi orang yang sudah ada iman atau pun keyakinan dalam dirinya. Kita perhatikan, kalimat bersifat berita (narasi) ini ada pada ayat-ayat Madaniyah. Itu pun diakhiri dengan pertanyaan retoris maupun peringatan. Jadi bukan semata naratif.

Pertanyaannya, sudahkah kita mengakrabi tuntunan al-Qur`an tentang bagaimana memerintah dan melarang anak-anak kita? Sudahkah kita mengambil pelajaran tentang bagaimana berkomunikasi dengan anak-anak dan keluarga kita?

Terakhir, yang harus kita tanamkan pada diri anak sesudah iman adalah adab. Inilah yang menjadi perhatian besar Imam Malik rahimahullah ta’ala maupun para ulama salaf lainnya. Sesungguhnya iman dan adab itu mendahului ilmu. Wallahu a’lam bish-shawab.

tetapi murid-muridnya tidak bangga kepada Islam dan tidak pula tampak keyakinan yang kuat pada diri mereka. Justru sebaliknya, kita mendapati kenyataan betapa anak-anak itu bahkan berusaha lari dari kebiasaan yang ditanamkan oleh gurunya, baik yang ditanamkan semata-mata karena memang diharuskan oleh peraturan sekolah atau karena guru sungguh-sungguh ingin menanamkan kebiasaan

menanamkan iman adalah ayat-ayat Makiyah, yakni ayat yang turun pada periode Makkah. Di antara cirri-ciri ayat Makiyyah ialah, kalimatnya ringkas, banyak memuat peringatan dan menggunakan ungkapan yang menggugah berupa perintah dan larangan tegas.

Kalimat yang bersifat imperatif, baik berupa perintah maupun larangan, akan lebih menghunjam

Page 8: RUBRIK PARENTING MAJALAH HIDAYATULLAH

SUARA HIDAYATULLAH | www.hidayatullah.com74 SUARA HIDAYATULLAH | www.hidayatullah.com74 SUARA HIDAYATULLAH | www.hidayatullah.com74

Diasuh oleh : ustaDz hamim thohari

konsultasi keluarga

SUARA HIDAYATULLAH | www.hidayatullah.com74

Mengeraskan Zikir di Masjid Setelah Shalat

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.Di sebagian masjid, zikir setelah shalat wajib ada yang

dilakukan secara berjamaah dan dengan mengeraskan suara, sedangkan di sebagian masjid yang lain dilakukan sendiri-sendiri dan tidak mengeraskan suara, mana yang lebih sesuai dengan sunnah? Atas perhatian dan ja wa bannya, saya ucapkan te rima kasih.

SH Bogor

Jawab:

Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.Berdoa dan berzikir sebaiknya dilakukan dengan

khu syuk dan tidak mengganggu orang lain. Cukuplah ber doa dan berzikir itu dilakukan merendahkan suara, bu kan dengan mengeraskannya. Terdapat banyak dalil, baik dari al-Qur`an, Hadits, dan qaul para salafus salih yang menjelaskan hal tersebut. Di antaranya firman Allah , “Berdoalah kepada Tuhanmu dengan be ren­dah hati dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah ti dak menyukai orang­orang yang melampaui batas.” (Al-A’raf [7]: 55).

Ayat senada juga terdapat dalam surat yang sama. “Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hati dengan

me rendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak me­nge raskan suara…” (Al-A’raf [7]: 205).

Pada ayat ini terdapat perintah dan larangan. Allah memerintahkan kita untuk berdoa dengan tadharru’

(me rendahkan diri) dan rasa takut. Sebaliknya, Dia me-la rang kita untuk mengeraskan suara ketika berdo dan ber zikir.

Lalu bagaimana praktiknya di zaman Rasulullah ? Dalam kaitan ini terdapat sebuah Hadits yang ter-da pat dalam kitab Jawahirul Bukhari. Dari Abu Musa Al-Asy’ari beliau berkata, “Kami bersama Rasulullah

ma nakala melihat sebuah lembah di antara dua

gu nung, kami membaca tahlil dan takbir dengan suara yang keras. Nabi bersabda, ‘Wahai se ka lian manusia, rendahkanlah suaramu, karena kamu bu-kan memanggil yang tuli dan bukan pula me manggil yang ghaib. Sesungguhnya Ia bersama kamu, se-sung guhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha dekat.” (Riwayat Imam Bukhari).

Mengomentari Hadits di atas, Imam Syihabuddin Al-Qasthalani berkata, “Dalam Hadits itu dapat dipahami berdoa dan berzkir dengan mengeraskan suara itu hukumnya makruh.”

Meskipun demikian, terdapat juga beberapa Hadits yang kuat dan shahih yang membolehkan ja maah untuk menjaharkan zikir dan doanya seusai me laksanakan shalat wajib.

Dari Ibnu Abbas, berkata, “Sesungguhnya me-nge raskan suara dikala berzikir seusai melaksanakan shalat wajib pernah dilakukan pada masa Nabi .” Selanjutnya Ibnu Abbas berkata, “Aku mengetahuinya dan mendengarnya apabila mereka (para sahabat) telah selesai shalatnya dan hendak meninggalkan masjid.” (Riwayat Bukhari dan Muslim).

Terhadap Hadits ini, Imam Syafi’i dalam fatwanya bahwa berzikir dengan suara jahar hukumnya sunnah jika ada motif mengajarkan kepada makmum. Jika bu kan karena motif tersebut, sunnah dibaca dengan suara pelan (sirr). Imam Syafi’i menjelaskan dalam kitab Al­Umm, “Saya memilih imam dan makmum agar berzikir setelah shalat dan merendahkan sua-ra nya, kecuali bagi imam yang hendak me ngajarkan zikir hendaknya mengeraskan suara sehingga ia me-nganggap cukup mengajarkannya. Setelah itu, hen-dak nya dibaca secara sirr.”

Dengan demikian, sesekali menjaharkan doa dan zikir itu boleh, bahkan hukumnya sunnah jika di niatkan untuk mengajarkan kepada makmum agar me reka juga tahu materi dan cara berzikir dan ber-doa yang benar. Wallahu a’lam.