rubrik parenting majalah hidayatullah

9

Upload: lentera-jaya-abadi

Post on 21-May-2015

177 views

Category:

Education


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: RUBRIK PARENTING MAJALAH HIDAYATULLAH
Page 2: RUBRIK PARENTING MAJALAH HIDAYATULLAH

JANUARI 2014/SHAFAR 1435 67

JendelaKeluarga

celah

S epasang suami-istri membawa anak laki-lakinya ke sebuah klinik khitan. Karena dokternya belum datang, ma ka yang menerima pendaftaran khi tan adalah seorang laki-laki tua. Ter nyata la ki-laki tua itu ayahnya sang dokter. Ka ta nya, dok ter belum

pulang. Dia mengambil spe sialis bedah uro logi. Klinik khi-tannya ber se belahan dengan rumah orangtuanya.

Di ruang tamu keluarga tersebut, berderet foto-foto wisuda anaknya yang berjumlah se puluh orang. Se mua anaknya lulusan dari perguruan ting gi, dan sudah be-ker ja. Dua di antaranya dokter spe sialis. Sebagian besar anak nya sudah berkeluarga, tinggal dua anak yang belum me nikah. Adapun pe ker jaan orang tua sang dokter adalah penjual bakso di se buah pasar tradisional.

Penasaran dengan kenyataan tersebut, suami-istri itu bertanya-tanya kepada laki-laki tua itu, bagaimana perjalanan membesarkan kesepuluh anak-anaknya.

Menurutnya, sebagai penjual bakso tentu tak mu-dah mengurus banyak anak. Tujuh tahun pertama per-ni kahan, ia dikaruniai lima anak. Katanya, sejak jam tiga pagi sudah harus ke pasar. “Saya dorong gerobak se -

belum subuh dengan membawa anak-anak. Ada yang kami taruh di kardus dan ada yang di dalam baskom,” ujar laki-laki itu.

Mereka tak pernah mengeluh. Mereka punya ke ya-kinan bahwa Allah telah memberi banyak anak ada-

lah takdir hidupnya. Itu adalah kehendak-Nya, berarti Allah juga memberi kepercayaan kepadanya untuk mem be sarkan dan mendidiknya.

“Alhamdulillah, kesepuluh anak kami baik-baik. Ba-nyak anak bukanlah beban dan masalah. Kuncinya, ha rus ridha dan ikhlas. Soal biaya yang besar untuk pen di di kan, kami yakin karena Allah Maha Kaya. Berdoalah ke pa da Allah dan mintalah kepada-Nya. Kami hanya ber-ikh tiar dengan cara bekerja. Semoga me reka bukan saja sukses di dunia tapi juga sukses juga di akhirat.”

Menurut laki-laki itu, ia tidak pernah me ngungkit-ungkit jasanya, karena hal itu me mang sudah kewajiban sebagai orangtua. “Jika orangtua ridha, ikhlas dan ber-sung guh-sung guh, maka anak-anak pun akan ridha, ikhlas dan bersungguh-sungguh dalam men ca pai ke suk-se san dirinya.”

Yang menarik, meski semua anaknya sudah sukses, suami-istri tersebut masih tetap berjualan bakso. Me nu-rut nya, mencari nafkah adalah kewajiban dan pantang untuk membebani siapapun.

Kisah nyata tersebut mengingatkan kita akan pro-blematika anak-anak dewasa ini, yang kualitas dan kuantitasnya semakin meningkat. Hal ini juga mem buat kita teringat akan teori-teori pendidikan yang me nge-muka, serta polemik di antara para ahli tentang rumusan yang paling tepat bagaimana menghantar anak-anak agar sukses di dunia dan di akhirat. Bercermin pada kisah di atas, ternyata rumusnya sederhana, ridha dan ikhlas dalam mendidik anak-anak, maka mereka pun akan ri-dha dan ikhlas dalam belajar.

Sikap ridha dan ikhlas adalah amalan yang tersulit. Ridha adalah kunci kebahagiaan. Ridha atas ketentuan Allah bukannya berarti diam, tetapi aktif: berusaha dan bekerja. Sedangkan ikhlas, apapun yang kita kerjakan ada lah semata-mata hanya untuk Allah Ta’ala.

“Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, se dang dia pun mengerjakan kebaikan….” (An-Nisa [4]: 125). Penulis buku Mendidik Karakter dengan Karakter.

Ridha dan Ikhlas dalam Mendidik

Oleh Ida S. WIdayantI*

foTo

: Mu

H A

BDu

S SY

AK

uR/

SuA

RA H

IDAY

ATu

llA

H

Page 3: RUBRIK PARENTING MAJALAH HIDAYATULLAH

SUARA HIDAYATULLAH | www.hidayatullah.com68

Berhias untuk Menggairahkan Suami

usrah

“Perempuan adalah perhiasan yang sempurna. Selain indah dari kelembutannya, ia juga indah dari fisiknya.”

 

S uatu ketika Farhan, seorang aktivis dakwah, mengeluh tentang istrinya. Padahal, selama 15 tahun hidup berumah tangga, sang istri

dikenal baik.  Bahkan ia sangat menjaga diri dengan memakai cadar sebagai kesempurnaan hijabnya. Beberapa teman Farhan justru iri melihat keharmonisan yang tampak dari keluarga Farhan.

“Mestinya saat di rumah dia berhias dan menampakkan kecantikannya untuk suami. Selama ini, jika di luar rumah tidak tampak kecantikannya karena aturan berhijab. Tapi di rumah sekalipun, kecantikan itu juga tak terlihat karena istri jarang berhias,” kata Farhan berkisah.

“Jadi kapan saya bisa menikmati kecantikan seorang istri?” gugat Farhan.

PeremPuan Suka BerhiaSKebanyakan orang sepakat, hampir

seluruh perempuan suka berhias. Berbeda dengan dandan seorang laki-laki, lebih praktis. Selesai mandi lalu ganti baju, bercermin, lalu bersisir sebentar. Beres.

Dari Abdullah bin Amr Rasulullah bersabda, “Dunia ini adalah

perhiasan (kesenangan) dan sebaik-baik perhiasan (kesenangan) dunia adalah

wanita yang salehah.” (Riwayat Muslim)Perempuan adalah perhiasan yang

paling indah, baik di bumi maupun di surga nanti. Demikian Nabi menjelaskan. Sehingga wajar jika perempuan suka berhias sebab diri perempuan adalah perhiasan itu sendiri. Layaknya sebuah perhiasan, agar terlihat indah berkilau dan memukau, ia perlu selalu dibersihkan dan dipelihara agar tidak rusak dan lusuh.

“ Perempuan adalah perhiasan yang sempurna. Selain indah dari kelembutannya, ia juga indah dari fisiknya.” Tak heran, setiap perempuan selalu berusaha tampil indah dan cantik sepanjang hari.

Sayang, tak sedikit di antara kaum perempuan yang keliru dalam mempersepsikan keindahan tubuh. Mereka menafsirkan kecantikan dengan memperlihatkan aurat dan lekukan keindahan bentuk tubuh. Terlebih di zaman modern ini, para perempuan seolah berlomba mempercantik diri di depan umum. Akibatnya, istri-istri menuntut berbagai macam perhiasan yang mencolok, aksesoris yang serba mewah, serta sejumlah pakaian mewah kepada sang suami. Mereka terjebak dengan propaganda iklan yang selalu menonjolkan tubuh perempuan di berbagai media.

Penyakit Pengantin Lama Kisah Farhan di atas merupakan

hal yang kerap terjadi pada pasangan suami istri yang telah menikah lama. Di ruang kamar lebih akrab dan kental dengan bau minyak angin atau minyak oles, bukan lagi parfum atau minyak

wangi-wangian. Ketika tidur agak dekat dengan pasangan, ia merasa risih dan panas. Kayak naik angkot aja, katanya. Padahal saat pengantin baru, maunya ia dipeluk dan didekap terus oleh pasangannya.

Istri tidak lagi memperhatikan penampilan saat di rumah. Jika diingatkan, ia langsung berdalih, “Bukan zamannya lagi untuk berhias.” Istri juga biasa khawatir diolok dengan istilah puber kedua.  Padahal sejatinya untuk menjaga keharmonisan rumah tangga, makin hari istri harus kian kreatif menjaga penampilan diri. Salah satu faktor sang suami berpaling atau selingkuh karena mengalami kejenuhan dengan pasangannya di rumah.

 PerhiaSan Bagi Suami di rumah

Suatu ketika Nabi ditanya, “Siapakah perempuan yang paling baik?” Nabi menjawab, “Sebaik-baik perempuan adalah yang menyenangkan jika suami melihatnya, taat jika suami memerintahnya, dan ia tidak menyelisihi dalam hal yang dibenci suami pada dirinya dan harta suaminya.” (Riwayat Ahmad)

Salah satu cara menyenangkan suami adalah dengan berhias. Di sini lah berlaku tuntunan Nabi bagi kaum wanita berhias, yaitu berhias di dalam rumah untuk sang suami. Laki-laki siapa yang tidak tertarik de ngan istri yang punya tubuh harum me wangi, berpakaian indah dan me narik? Tentunya semua itu menjadi ke ba ha-giaan tersendiri bagi suami di rumah.

Baitiy jannati, rumahku adalah surgaku.  Ibarat taman surga,  Nabi

SUARA HIDAYATULLAH | www.hidayatullah.com

Oleh Abdul Ghofar Hadi

Page 4: RUBRIK PARENTING MAJALAH HIDAYATULLAH

JANUARI 2014/SHAFAR 1435 69

Jendela keluarga

dengan warna yang dominan cerah. Selain itu, harum-haruman dan make up juga menjadi penunjang penampilan yang romantis. Niatkan semua itu untuk ibadah karena perintah Allah memberi pelayanan terbaik kepada suami.

Olehnya, tidak perlu kecewa, ma-rah, atau tersinggung hanya gara-gara suami tidak memuji penampilan dan da nan istri. Sebaliknya, istri tetap me ya ki ni dengan perantara mujahadah men ja ga penampilan di rumah, Allah

berkenan menjadikan suami se-ma kin mencintai istrinya. Sebab, ada beberapa tipe suami yang tak biasa memuji istrinya secara langsung de-ngan bahasa verbal. Namun dalam diam dan senyumnya, suami senantiasa ber syu kur memiliki istri yang menjaga penampilannya di rumah.

Tidak Harus dengan PerHiasan

Penampilan prima tidak harus mahal. Ia tidak mesti rutin berkunjung ke salon kecantikan, spa atau terapi-terapi kecantikan modern. Cukup rajin menyisir rambut agar tetap tertata indah, memakai kosmetik natural agar tetap fresh dan tidak keriput dini, menjaga kesucian dengan berwudhu sehingga wajah cerah bercahaya. Menyambut suami datang dan melepas suami bepergian dengan mencium tangannya atau sesekali cium mesra. Itu adalah “doping” positif menjalin  kebahagiaan rumah tangga.

Bagi istri salehah, berhias tidak ha rus memakai gelang, kalung atau cin cin dari emas, permata atau berlian. Mes kipun perhiasan tersebut  juga pen ting bagi seorang istri, tapi bukan uku ran pokok bagi kemuliaan seorang istri.

Istri salehah bisa menghiasi diri dengan akhlak mulia, meningkatkan ketaatan kepada suami, menerima pemberian suami dengan qanaah, dan menjaga rahasia keluarga. Perhiasan akhlak lebih mulia dan mahal nilainya dibandingkan perhiasan emas permata berapapun kandungan karatnya. Penulis buku ‘Belajar dari Masalah’

FOTO

: Mu

h A

BDu

S Sy

AK

uR/

SuA

RA h

IDAy

ATu

LLA

h

69

mengajari umatnya menjadikan rumah sebagai tempat bersenang-senang dan menikmati kesenangan. untuk itu, tentu seorang suami dan istri harus berkarakter seperti bidadari di surga bagi pasangannya. Allah berfirman, “Penuh cinta lagi sebaya umurnya.” (al-Waqi’ah [56]: 37). yaitu, senantiasa menampakkan kasih sayang dan kedekatan kepada suaminya.

Sesekali, tidak mengapa istri memperlihatkan anggota tubuh yang merangsang suami. Sedang di

lain waktu, ia bisa menutup rapat tubuhnya agar suami penasaran. Saat di luar rumah hendaknya sang istri berhijab dan menjaga diri serta pandangan. Sedang saat dalam rumah, istri dianjurkan memakai baju-baju indah agar menyenangkan dan menggairahkan suaminya. Tidak melulu memakai baju gamis panjang dan berjilbab besar atau malah pakai baju tidur.

Pemilihan warna baju juga berbeda untuk keseharian dalam rumah yaitu

Page 5: RUBRIK PARENTING MAJALAH HIDAYATULLAH

SUARA HIDAYATULLAH | www.hidayatullah.com70

Sarjana Ibu Rumah Tangga

mar’ah

Perempuan bisa sukses jadi bos di kantor, tapi belum tentu sukses sebagai istri atau ibu.

A pa yang terbayang dalam benak para Muslimah ketika membaca judul di atas? Bisa jadi mereka membayangkan seorang

ibu berbaju toga dengan alat rumah tangga atau seorang wanita akademisi yang lebih memilih untuk mengurus anak.

Menjadi sarjana lalu berprofesi sebagai ibu rumah tangga, atau ibu rumah tangga yang bergelar sarjana sepertinya kurang keren di telinga kita.

Aneh dan rasanya mustahil. Alasannya, buat apa belajar dan menghabiskan biaya begitu mahal, tapi akhirnya menjadi ibu rumah tangga. Orang berpikir untuk apa sekolah tinggi hingga mencapai gelar doktor, namun akhirnya hanya bekerja di rumah. Bukankah itu sama dengan menyia­nyiakan ilmu yang telah kita dapatkan?

Muslimah yang lulus kuliah kemudian bekerja, silakan. Asalkan pekerjaan tersebut tidak melanggar syariat dan bersifat fardhu kifayah, seperti menjadi tenaga pendidik, dokter atau berwirausaha sebagai mompreneur, dan sebagainya. Namun menjadi ibu rumah tangga setelah kita mendapat gelar sarjana juga bukan merupakan pekerjaan yang hina.

Banyak yang beranggapan profesi

sebagai ibu rumah tangga adalah pekerjaan sepele yang tidak ada istimewanya, dibanding para wanita karir yang pergi pagi pulang sore untuk bekerja di kantoran.

Padahal menurut Islam, profesi ibu rumah tangga ibarat seorang ratu. Ia menjadi pemimpin di rumah suaminya.

SUARA HIDAYATULLAH | www.hidayatullah.com

Oleh Sarah Larasati Mantovani

Kalau sang ibu terdidik dan mampu

mendidik anak-anaknya menjadi

anak yang kuat agamanya serta cerdas, ia akan

berperan dalam pembangunan, sa-

lah satunya ikut menyumbangkan generasi penerus

bangsa yang cerdas

Sarjana Ibu Rumah Tangga

Sarjana Ibu Rumah Tangga

Sarjana Ibu

Kalau sang

dan mampu mendidik anak-

anaknya menjadi anak yang kuat

anaknya menjadi anak yang kuat

anaknya menjadi

agamanya serta anak yang kuat agamanya serta anak yang kuat

cerdas, ia akan agamanya serta cerdas, ia akan

agamanya serta

FOTO

: MU

H A

BDU

S SY

AK

UR/

SUA

RA H

IDAY

ATU

LLA

H

Page 6: RUBRIK PARENTING MAJALAH HIDAYATULLAH

JANUARI 2014/SHAFAR 1435 71

Jendela keluarga

juga harus berpendidikan. Karenanya, sebagaimana yang dituliskan Tamar Djaja dalam bukunya Rohana Kudus Srikandi Indonesia: Riwayat Hidup dan Perjuangannya, Rohana sengaja mendirikan Kerajinan Amai Setia, yang bertujuan agar ada sekolah lengkap dengan berbagai macam daftar pelajaran yang meliputi kepentingan perempuan. Rohana ingin mendirikan sekolah yang mengajarkan semua ilmu pengetahuan mengenai perempuan, seperti memasak, menjahit, menyulam, di samping pengetahuan sekolah biasa.

Tentu, Rohana sebagai perempuan amat menyadari betapa pentingnya pen didikan yang layak untuk pe rem­puan. Bukan maksud agar perempuan bisa setara kemudian mengalahkan laki­laki. Tapi karena perempuan akan menjadi sekolah atau pendidik pertama bagi anak­anaknya kelak. Dan hal ini be lum sepenuhnya disadari oleh semua perempuan, terlebih bagi mereka yang mem prioritaskan dirinya pada karier dan lebih memilih orang lain untuk me ngasuh anak daripada mengasuh sendiri.

Kalau sang ibu terdidik dan mampu mendidik anak­anaknya menjadi anak yang kuat agamanya serta cerdas, ia akan berperan dalam pembangunan, sa lah satunya ikut menyumbangkan generasi penerus bangsa yang cerdas. Lihat saja Imam Syafi’i, di bawah asuhan ibunya dan pengajaran para ulama. Ia yang saat itu masih berusia 9 tahun su­dah hafal al­Qur’an dan banyak Hadits.

Karenanya, kaum Muslimah tidak usah minder selepas tamat kuliah lalu menikah dan kemudian menjadi ibu rumah tangga.

Ada sebuah pernyataan menarik di facebook yang ditulis oleh seorang ibu. “Perempuan bisa sukses jadi bos di kan tor, tapi belum tentu sukses sebagai istri atau ibu. Sebab, menjadi ibu rumah tang ga itu berat dan office hour-nya 24 jam.”

Karena itu, jangan minder, apalagi merasa terhina menjadi sarjana ibu rumah tangga. Mahasiswa Pasca Sarjana UMS bidang Pemikiran Islam.

71

Hal itu merupakan pekerjaan dan karir terberat dibanding segala profesi yang ada. Balasannya pun tidak main­main, yaitu surga, sesuatu yang lebih baik dari dunia dan segala isinya.

Rasulullah SAW bersabda, “Dunia ini adalah perhiasan. Dan sebaik-baik perhiasan ialah wanita salihah –wanita yang baik dalam agamanya, rumah tangganya, serta pergaulannya.” (Riwayat Muslim)

Sesungguhnya, pemikiran bahwa menjadi ibu rumah tangga sebuah pekerjaan rendahan, berasal dari piki­ran feminis. Bagi kaum feminis, menjadi ibu rumah tangga itu merendahkan martabat perempuan, karena dianggap membebani dan melakukan perbudakan terhadap kaum Hawa.

Pola berpikir seperti itu karena standar kesuksesan menurut mereka diukur dari unsur materi. Seseorang dikatakan sukses jika punya penghasilan tinggi, gelar seabrek, mobil mewah, meski harus buka aurat.

Untungnya, tidak semua wanita terpengaruh oleh pemikiran tersebut. Masih banyak kaum Muslimah yang mempunyai iman yang kuat sehingga tidak terpengaruh.

Jangan Berhenti BelaJarSaya punya seorang teman yang

cerdas, sebut saja namanya Shofi. Ia lulusan jurusan Teknik Industri di perguruan tinggi negeri di Bandung. Namun tidak disangka, selepas menamatkan pendidikan S1­nya, ia menikah. Setelah anak perempuannya lahir, ia menjadi ibu rumah tangga penuh atau bahasa kerennya, full time mommy.

Tapi bukan berarti setelah menjadi ibu rumah tangga ia menjadi kuper dan tidak up-to-date sama sekali. Buktinya, ia terus mengikuti perkembangan dunia pemikiran. Misalnya, ia mengajak saya ke acara konferensi ilmuwan Muslim.

Atau juga kita bisa melihat wanita­wanita di Gaza, Palestina. Ketika selepas sekolah menengah atau SMA, mereka menikah dan selama

itu mereka berkonsentrasi mengurus dan mendidik anak hingga sang anak dewasa. Ketika sang anak telah dewasa dan ingin masuk perguruan tinggi, sang ibu juga ikut kuliah dan mendaftar di perguruan tinggi yang sama. Bagi wanita Gaza, fisik boleh saja menua namun semangat belajar dan mencari ilmu harus tetap muda. Mereka sadar bahwa pendidikan tinggi dibutuhkan.

Salah satu tokoh pendidikan Melayu asal Kelantan, Malaysia, Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud, dalam bukunya Budaya Ilmu dan Gagasan Malaysia: Membina Negara Maju dan Bahagia mengakui bahwa golongan lulusan perguruan tinggi memainkan peran yang penting dalam kemajuan, kesejahteraan dan kebahagiaan bangsa dan negara. Karena pemimpin semua lapisan dan bidang kehidupan masyarakat dan negara datang dari golongan ini.

Malah, lanjutnya, kesuksesan di peringkat menengah dan rendah bergantung pada kesuksesan di peringkat institusi perguruan tinggi. Sebab, semua pembuat dasar, perancang kurikulum, guru­guru dan pentadbir penting di peringkat ini terdidik dan terlatih oleh mereka yang berasal dari perguruan tinggi.

Jadi menurutnya, pendidikan usia dini memang penting, jika kualitas pendidiknya tinggi dan memenuhi harapan tujuan pendidikan. Namun sekarang realitanya, yang menjadi penentu bagus tidaknya kualitas pendidikan ditentukan oleh perguruan tinggi yang diibaratkan seperti pelentur buluh.

“Jangan berpikir menjadi ibu rumah tangga itu pendidikannya mesti rendah, justru pendidikannya harus tinggi,” katanya, saat saya berdiskusi awal November lalu di Bogor.

Tidak Usah MinderTidak hanya itu, jauh sebelum

Indonesia merdeka, tokoh Nasional, Rohana Kudus sudah memikirkan bagaimana seorang ibu selain harus pintar dalam urusan rumah tangga,

Page 7: RUBRIK PARENTING MAJALAH HIDAYATULLAH

SUARA HIDAYATULLAH | www.hidayatullah.com72

Tanpa Ta`dib, Boarding School Ibarat Rumah Kost Belaka

K ita dapat lebih mudah memacu prestasi anak di sekolah berasrama karena lingkungan yang terkendali sepenuhnya.

Tetapi jika tidak memperoleh perhatian memadai, anak akan lebih mudah merasa bosan. Dia merasa tidak nyaman. Feel bad. Merasa sekolah berasrama sebagai tempat yang buruk. Lebih-lebih jika iklim yang berkembang di kamar asrama maupun kelas tidak baik. Berprestasi terbebani, sedikit berkekurangan terpojokkan.

Sebaik apa pun fasilitas yang tersedia, jika faktor yang paling menentukan kenyamanan emosi itu terabaikan, anak tidak betah di asrama. Lebih buruk lagi jika terdapat dua penguat; bullying oleh senior maupun sebaya, terutama secara emosi, serta penguatan kebosanan berasrama. Kerapkali, bullying secara emosi “lebih melumpuhkan” daripada gangguan secara fisik.

Yang saya maksud penguatan kebosanan berasrama ini adalah kecenderungan pembicaraan yang merangsang anak semakin tidak betah di pondok. Ini dapat kita ketahui dari pembicaraan langsung antar anak, maupun ungkapan anak di status facebook mereka. Sampai ada istilah penjara suci atau istilah yang lebih buruk daripada itu.

Jika ini terjadi, sulit berharap anak akan menghayati dan bangga

dengan prinsip-prinsip dien yang mereka terima. Paham, tapi tak menghayati. Inilah yang justru perlu kita khawatiri. Berpengetahuan luas tak meyakini dengan kuat justru dapat menjadi benih nifaq (kemunafikan). Na`uzubillahi min zaalik.

Maka, sekolah berasrama (pondok pesantren) harus benar-benar mem per-hatikan hal ini. Salah satu pilar pen ting mewujudkannya adalah ta`dib (pen di-di kan adab). Ta`dib di awal ma suk pe-san tren (sekolah berasrama) dan dikuati hingga lulus, menjadi landasan penting menumbuhkan iklim positif santri.  Ta`dib inilah hal penting yang perlu kita perhatikan saat mencari se kolah berasrama (pesantren). Bukan se ma ta prestasi akademik. Tanpa ta`dib yang kuat, pesantren atau sekolah berasrama (boarding school) tak ubah nya sekadar tempat kost sangat besar yang dilengkapi sarana belajar. Tidak lebih.

Salah kesalahan asumsi umum yang belakangan muncul adalah, pemahaman itu penanda keyakinan. Padahal, kita telah melihat sangat banyak contoh, betapa pemahaman yang baik tidak sama dengan keimanan dan ketundukan kepada agama Allah Subhanahu Wa Ta`ala. Tidakkah kita lupa bahwa mereka yang liberal dan menginjak-injak agama ini justru banyak yang memiliki pengetahuan luas tentang agama? Mereka fasih membaca kitab, luas pengetahuannya, tapi hampir-hampir tak ada iman di

Oleh fauzil adhim

kolom parenting

hatinya atau bahkan telah hilang sama sekali.

Menekankan pendidikan agama kepada pembelajaran secara kognitif dan menjadikannya sebagai tolok ukur penting, justru sangat tidak bersesuaian dengan tradisi keilmuan Islam. Menegakkan adab dulu sebelum memacu kemampuan kognitif murid.

Contoh heroik tentang pendidikan adab (ta`dib) adalah pengalaman Imam Ibnu Qasim rahimahullah, salah satu murid senior Imam Malik bin Anas rahimahullah. Mari renungi perkataan Imam Ibnu Qasim sebagaimana termaktub dalam Tanbihul Mughtarrin seraya memikirkan ulang arah pendidikan kita, ”Aku telah mengabdi kepada Imam Malik bin Anas selama 20 tahun. Dari masa itu, 18 tahun aku mempelajari adab sedangkan sisanya 2 tahun untuk belajar ilmu.”

Inilah tradisi generasi awal Islam yang cemerlang; tradisi yang berakar pada bagusnya keyakinan dan ketaatan kepada dienul Islam ini. Inilah generasi yang tidak tergesa-gesa menjadikan anak segera tampak pandai, lalu fasih bertutur, padahal iman belum berakar di hati. Inilah masa ketika para ulama sangat berhati-hati. Mereka menguati fondasi terlebih dahulu sehingga saat belia, anak-anak justru haus ilmu.

Sungguh, tanpa pendidikan adab (ta`dib) yang baik, terlebih perhatian dan kedekatan hubungan guru-murid rendah, akan mudah

Page 8: RUBRIK PARENTING MAJALAH HIDAYATULLAH

JANUARI 2014/SHAFAR 1435 73

berontak dari pesantren. Mereka merasa sekolah berasrama sebagai tempat pembuangan yang tidak menyenangkan, sehingga mencari pelarian-pelarian. Inilah yang mengkhawatirkan.

Meski demikian, yang paling perlu kita khawatiri bukanlah larinya mereka dari pesantren atau boarding school; baik secara fisik maupun pikiran serta hatinya saja yang lari dari pesantren. Yang lebih mengkhawatirkan justru jika mereka fasih bicara, bagus tutur katanya, tapi jelek amalnya, kosong imannya.

Apa yang perlu kita renungkan

masa berikutnya.Menghafal tanpa memahami

kan du ngan al-Qur’an, memahami tan pa meyakini dan meletakkan peng hor matan yang sangat tinggi ter ha dap ayat-ayat Allah Ta’ala, dapat menggelincirkan mereka ke dalam kerusakan yang sangat besar. Boleh jadi mereka hafal al-Qur’an, tetapi yang mereka yakini dengan sebenar-benar keyakinan bukanlah al-Qur’an dan as-Sunnah ash-Shahihah. Dan ini merupakan petaka besar. Na’uzubillahi min zaalik.

Sebagai penutup, mari kita ingat firman Allah Ta’ala, “Apabila kamu

pemahaman saja telah cukup untuk menjadikan anak-anak kita di sekolah berasrama (boarding school) bagus wataknya serta kokoh imannya? Tidak cukup. Sungguh tidak cukup. Penentunya bukan pada luasnya pengetahuan kognitif. Apalagi jika pengetahuan pun pas-pasan.

Cobalah tengok sejenak anak-anak kita. Adakah mereka membawa se ma ngat dan idealisme saat pulang? Atau kah masa dua minggu saja telah cukup untuk meruntuhkan apa yang di sangkakan sebagai idealisme dan adab yang dibangun sekolah selama ber bulan-bulan bahkan bertahun-tahun?

Jendela keluarga

73

Betapa pentingnya meletakkan landasan iman dan adab yang kuat sebelum mengajarkan al-Qur’an kepada anak dan menghafalkannya. Iman dan adab merupakan dua hal yang tidak dapat ditawar-tawar.

terkait pembicaraan kita saat ini? Betapa pentingnya meletakkan landasan iman dan adab yang kuat sebelum mengajarkan al-Qur’an kepada anak dan menghafalkannya. Iman dan adab merupakan dua hal yang tidak dapat ditawar-tawar. Ia mendahului sekaligus tetap menyertai pembelajaran al-Qur’an hingga masa-

membaca al-Qur’an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk.” (An-Nahl [16]: 98).

Bahkan membaca al-Qur’an pun, kita diperintahkan untuk memohon perlindungan kepada Allah Ta’ala (isti’adzah) dari godaan setan. Maka, apakah kita mengira hafalan dan

Ini anak kita; anak kandung atau pun anak-anak ideologis pelanjut perjuangan dakwah ini. Pikirkan!

Setiap anak yang diamanahkan kepada kita, di rumah maupun sekolah, menjadi tanggung jawab kita untuk mendidik mereka dengan sungguh-sungguh, membekali jiwa mereka dengan iman yang kuat dan berusaha sekuat tenaga menutup pintu-pintu kemunafikan agar kepandaian mereka tidak justru membawa kepada kekhawatiran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam,” Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan atas umatku adalah setiap munafik yang pandai bersilat lidah.” (Riwayat Ahmad).

Nah. Wallahu a’lam.

Page 9: RUBRIK PARENTING MAJALAH HIDAYATULLAH

SUARA HIDAYATULLAH | www.hidayatullah.com74 SUARA HIDAYATULLAH | www.hidayatullah.com74 SUARA HIDAYATULLAH | www.hidayatullah.com74

Diasuh oleh : ustaDz hamim thohari

konsultasi keluarga

SUARA HIDAYATULLAH | www.hidayatullah.com74

Shalat Jamaah di Saat Hujan

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh.Bulan-bulan ini di Indonesia sudah memasuki

musim hujan. Tak sedikit di beberapa daerah se-cara rutin diguyur hujan, baik hujan ringan, se-dang, maupun hujan lebat. Saya telah mendengar dari beberapa ustadz yang menjelaskan bahwa di saat hujan, Rasulullah memberi rukhshah (ke-ringanan), yaitu melaksanakan shalat di rumah ma-sing-masing tanpa berjamaah pada saat hujan. Yang saya tanyakan, apakah pada setiap hujan atau hanya pada hujan deras saja?

Atas penjelasan Ustadz saya sampaikan jazaku­mul lah.ARDi Samarinda

JAwAb

Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakaatuh. Pendapat yang kuat dari beberapa ulama salaf

menyebutkan bahwa shalat berjamaah bagi laki-laki yang mampu dan tidak ada uzur hukumnya wa jib. Pendapat ini diperkuat oleh Hadits yang di ri wa yatkan oleh Abu Hurairah, bahwa Nabi bersabda, “Demi Zat yang jiwaku berada di tangan­Nya, ingin kiranya aku memerintahkan orang­orang untuk mengumpulkan kayu bakar, kemudian aku perintahkan mereka untuk menegakkan shalat yang telah dikumadangkan azannya, lalu aku me­me rintahkan salah seorang untuk menjadi imam, lalu aku menuju orang­orang yang tidak mengikuti shalat jamaah, kemudian aku bakar rumah­rumah mereka.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Pendapat ini kemudian diperkuat Hadits lain yang juga diriwayatkan oleh Abu Hurairah, ia berkata, “Seorang buta mendatangi Nabi dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku tidak mem pu ­nyai seorang yang menuntunku ke masjid’, lalu aku minta keringanan kepada Rasulullah agar di per ­bo leh kan shalat di rumahnya. Beliaupun mem ­

be rikan keringanan kepadanya. Ketika ia me­ning gal kan Nabi , langsung Rasulullah me manggilnya dan bertanya, ‘Apakah eng kau men dengar panggilan azan shalat?” Dia men­jawab, “Ya”. Lalu berkata, “Penuhilah!” (tu nai kan shalat berjamaah).” (Riwayat Muslim)

Dua Hadits tersebut cukup menjelaskan kepada kita tentang wajibnya shalat berjamaah di masjid, sekalipun ada di antara beberapa ulama menyebutnya sebagai sunah mu’akkadah, sunnah yang hampir-hampir mendekati wajib. Sekalipun ada yang berpendapat sunnah mu’akkadah, se-mua ulama berpendapat tentang pentingnya sha lat berjamaah. Seorang laki-laki Muslim, tak se pa tutnya meninggalkan shalat berjamaah tan-pa alasan syar’i.

Kebolehan meninggalkan shalat berjamaah sesuai syariat Islam, salah satunya karena tu-run nya hujan yang membasahkan pakaian. Ini-lah kelebihan syariat yang tidak memaksakan ke pada umatnya untuk melakukan sesuatu yang memberatkan. Hujan merupakan suatu uzur syar’i yang membolehkan seseorang mening gal-kan shalat berjamaah.

Berkaitan rukhshah shalat di rumah ma sing-masing tanpa berjamaah ini, Ibnu Quda mah dalam kitab al­Mughni menjelaskan, “Dibo leh-kan untuk meninggalkan shalat Jumat dan sha lat berjamaah di masjid karena hujan yang me nye-bab kan pakaian basah kuyup dan lumpur yang membuat susah pada diri dan pakaiannya.

Tentang kondisi hujan yang menjadi rukhshah berjamaah, para ulama tidak menjelaskan lebih rinci, apakah hujan ringan, sedang, atau hujan lebat. Kalau hujan tersebut tidak menjadikan diri dan pakaiannya basah, sebaiknya tetap me-lak sa nakan shalat berjamaah. Kalau bisa di ce-gah sekadar dengan memakai payung, maka sebaiknya shalat berjamaah tetap dilaksanakan di masjid. Wallahu a’lam bish­shawab.*