rubrik laporan utama majalah hidayatullah - titik kritis kehalalan produk farmasi

7
FEBRUARI 2014/RABIUL AWWAL 1435 21 A wal Desember 2013, Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi mengeluarkan pernyataan, bahwa hampir 90 persen bahan baku produk farmasi berasal dari babi dan bahan-bahan haram lainnya. Berbarengan dengan itu, Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) mendesak agar produk farmasi harus segera dilabelisasi halal. Namun, Menteri Kesehatan menolak jika obat-obatan dan vaksinasi diberi label halal. Sebenarnya bahan- bahan haram apa saja yang terkandung pada obat-obatan? Titik kritis halal mana yang perlu kita waspadai pada produk farmasi? Laporan Utama Suara Hidayatullah edisi kali ini membahas masalah yang menuai pro-kontra tersebut. Berikut laporannya untuk Anda. LAPORAN UTAMA Titik Kritis Kehalalan Produk Farmasi TIM LAPORAN UTAMA PENANGGUNGJAWAB/KOORDINATOR: NIESKY HAFUR PERMANA REPORTER: ABU GAZA SURYA FACHRIZAL NGADIMAN FOTOGRAFER: MUH. ABDUS SYAKUR EDITOR: DADANG KUSMAYADI

Upload: lentera-jaya-abadi

Post on 21-May-2015

493 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: RUBRIK LAPORAN UTAMA MAJALAH HIDAYATULLAH - Titik Kritis Kehalalan Produk Farmasi

FEBRUARI 2014/RABIUL AWWAL 1435 21

Awal Desember 2013, Menteri Kesehatan

Nafsiah Mboi mengeluarkan pernyataan, bahwa hampir 90 persen bahan baku produk farmasi berasal dari babi dan bahan-bahan haram lainnya. Berbarengan dengan itu, Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) mendesak agar produk farmasi harus segera dilabelisasi halal. Namun, Menteri Kesehatan menolak jika obat-obatan dan vaksinasi diberi label halal. Sebenarnya bahan-bahan haram apa saja yang terkandung pada obat-obatan? Titik kritis halal mana yang perlu kita waspadai pada produk farmasi? Laporan Utama Suara Hidayatullah edisi kali ini membahas masalah yang menuai pro-kontra tersebut. Berikut laporannya untuk Anda.

LAPORAN UTAMA

Titik Kritis Kehalalan ProdukFarmasi TIM LAPORAN UTAMA

PeNANggUNgjAwAb/KOORdINATOR: NIESKY HAFUR PERMANA

RePORTeR:ABU GAZA

SURYA FACHRIZALNGAdIMAN

FOTOgRAFeR:MUH. ABdUS SYAKUR

edITOR:dAdANG KUSMAYAdI

Page 2: RUBRIK LAPORAN UTAMA MAJALAH HIDAYATULLAH - Titik Kritis Kehalalan Produk Farmasi

SUARA HIDAYATULLAH | www.hidayatullah.com22

Musim haji tahun 2007 sudah di depan mata. Bagi Ummu Salamah, salah satu

rukun Islam tersebut telah dinantinya sejak lama. Ia ingin khusyuk dalam ibadah ini. Namun kekhusyukan yang diharapkan tersebut sedikit ternodai. Pasalnya, ia dipaksa untuk disuntik vaksin meningitis. Padahal, dirinya saat itu sudah membuat pernyataan tertulis ke Dinas Ke-sehatan Tangerang, Banten, bahwa ia menolak untuk divaksin. “Saya sudah menolak dan pulang, tapi dikejar, tangan saya dipegang, saya meronta dan berteriak. Seten-gah tube vaksin masuk ke tubuh saya,” kenang Ummu Salamah kepada Suara Hidayatullah, Januari lalu. Ia melihat sendiri bahwa vaksin itu berlabel merah dengan merek Glaxo Smith Kline (GSK), vaksin yang telah difatwakan haram oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat. Miris melihat kejadian di atas. Tidak bisa dipungkiri bahwa sampai detik ini, masyarakat masih belum bisa mengetahui secara jelas bahan-bahan apa saja yang digunakan untuk membuat obat-0batan dan vaksin. Terlebih ketika Desember 2013 lalu, Menteri Kesehatan (Men-kes), Nafsiah Mboi dengan gamblang mengeluarkan pernyataan, kalau bahan-bahan yang dipakai untuk membuat obat dan vaksin mengan-dung babi. Ketua Harian MUI Pusat, KH Ma’ruf Amin membenarkan per-nyataan Menkes, kalau obatan-obatan yang telah disertifikasi halal hanya sedikit sekali jumlahnya di Indonesia.

“Hanya nol sekian persen, tidak sampai satu persen,” kata Ma’ruf Amin kepada Suara Hidayatullah saat ditemui di kediamannya, Tan-jung Priok, Jakarta Utara. Jika kondisinya sudah separah ini, seharusnya obat-obatan dan produk farmasi lainnya dilabelisasi halal dengan segera. Sebab, dengan mencantumkan logo halal, umat akan terjamin dari mengosumsi yang haram. Sementara itu, pernyataan MUI ini bertolak belakang dengan Men-kes yang menolak obat-obatan dan vaksin diberi label halal. Alasannya, produk farmasi bukan makanan atau minuman yang wajib disertifikasi halal. “Mohon dipertimbangkan su pa ya obat dan vaksin jangan dimasukkan sama dengan makanan dan minu-man,” tegas Menkes di Jakarta, seperti dikutip detik.com, (9/12/2013). Pendapat Ikatan Dokter Indo-nesia (IDI) berbeda dengan Ke-menterian Kesehatan (Kemenkes).

LAPORAN UTAMA

IDI justru mendesak supaya dalam waktu dekat Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan dan Kosme-tika Majelis Ulama Indonesia (LP-POM MUI) memberikan labelisasi halal pada produk farmasi, termasuk obat-obatan dan vaksin. “Kami menyambut baik ren-cana LPPOM MUI, karena kami juga pengguna obat bukan produsen. Informasi bahan obat itu penting bagi dokter untuk disampaikan ke pasien,” kata Ketua Umum Pengurus Besar IDI, Zainal Abidin saat ditemui Suara Hidayatullah di kantornya daerah Menteng, Jakarta Pusat. Zainal mengatakan, dokter di tan-ah air kebanyakan tidak mengetahui bahan-bahan apa saja yang terdapat dalam obat-obatan. Pasalnya, sam-bung Zainal, Kemenkes dan produsen obat tidak pernah memberi tahu kandungan zat yang ada di dalamnya. Padahal, itu sangat diperlukan sebagai informasi kepada pasien. ”Kalau kita ingin melindungi masyarakat seharusnya diberi tahu

Obat Halal Kurang dari Satu PersenBukan masyarakat awam saja yang tidak tahu kehalalan obat-obatan, tetapi dokter juga banyak yang tidak mengerti.

Toko obat Pasar Pramuka, Jakarta.

Page 3: RUBRIK LAPORAN UTAMA MAJALAH HIDAYATULLAH - Titik Kritis Kehalalan Produk Farmasi

FEBRUARI 2014/RABIUL AWWAL 1435 23

haram atau tidak benda yang dikon-sumsi,” tutur politisi Partai Keadilan Sejahtera ini saat ditemui Suara Hi-dayatullah di Bandung, Jawa Barat, Desember lalu.

Pertahankan Pasal Draft RUU JPH saat ini masih digodok di DPR. Beberapa lembaga, salah satunya Kemenkes disebut-sebut tidak setuju jika labelisasi halal obat-obatan masuk dalam RUU yang telah masuk prolegnas sejak 2007 silam. Ketua LPPOM MUI, Lukmanul Hakim mengatakan, jika pasal terse-but ditiadakan, maka ini merupakan pelanggaran hak atas umat Islam.

kandungan obat dan vaksin itu apa saja,” sambungnya. Pria yang menamatkan S1 dan S2-nya di Universitas Hasanudin, Makassar, Sulawesi Selatan ini juga mengatakan, bahwa dalam kode etik dokter Indonesia, hak pasien untuk mengetahui apa yang dikosumsi juga dijelaskan. Walaupun bunyi pasal tersebut tidak langsung, tapi itu termasuk salah satu maknanya. “Seorang dokter harus menghormati keyaki-nan agama pasien, begitu bunyi pasalnya,” imbuh Zainal. Selain dokter, para pedagang grosir di toko obat Pasar Pramuka, Jakarta Timur juga mengaku tidak tahu obat-obatan yang mengandung bahan-bahan haram. “Kami tidak tahu, kami hanya pedagang yang menjual dan membeli saja,” kata Evaldi salah seorang pedagang di Pasar Pramuka. “Labelisasi halal itu lebih bagus, jadi umat Islam bisa terjaga. Asal harga obat jangan naik jika nanti ada labelisasi,” ucap pria asal Padang tersebut. Sementara itu, Ketua Umum Halal Wacth, Rachmat Os Halawa mengatakan, bahwa regulasi yang mengatur tentang labelisasi halal produk farmasi tersebut harus segera dibuat oleh pemerintah. Jadi, ketika sudah dibuat undang-undang, maka sifat dari sertifikasi

halal obat-obatan itu menjadi sebuah keharusan. Saat ini, sifatnya masih secara sukarela dan bukan kewa-jiban. “Nantinya kalau sudah ada undang-undang, maka produsen obat-obatan jika tidak mendaftar itu bisa dikenai sanksi hukum pidana atau perdata,” kata Rachmat kepada Suara Hidayatullah. Menurutnya, saat ini Indonesia belum mempunyai standar halal. Ia berpendapat LPPOM MUI sifatnya masih sukarela, belum kewajiban. “Kita belum punya payung hukum, kalah dengan Singapura dan Malay-sia.” Senada dengan Zainal dan Rach-mat, Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Ledia Hanifah Amalia mengata-kan, labelisasi halal obat-obatan dan produk farmasi lainnya sangat dibu-tuhkan. Semua itu bertujuan untuk melindungi konsumen, apalagi pen-duduk Indonesia mayoritas Islam. “Dalam undang-undang kon-sumen juga tertera pasal yang menerangkan konsumen harus tahu

“Secara substansif, itu telah melang-gar hak asasi konsumen Islam dan hak konstutisional yang ada pada Undang-undang Dasar,” ucap Luk-man. Sementara itu, Ledia Hanifah mengatakan, memang ada wacana kalau pasal yang berkaitan dengan produk farmasi akan dihapus. Tetapi, Ledia dan anggota Komisi VIII lainnya berjanji akan berupaya pasal itu tidak dihilangkan. “Sejak awal DPR sudah berkomitmen tidak akan mencabut klausul itu,” tegasnya. Menurut Rachmat, undang-undang yang mengatur pangan yang ada saat ini di Indonesia tidak men-cakup soal halal. “Pasal-pasalnya hanya untuk makanan yang thayyib (baik) atau layak konsumsi, bukan melihat halal tidaknya,” ujar Rahmat.

Ketua Harian MUI Pusat, KH Ma’ruf Amin

Obat herbal

“Labelisasi halal itu lebih bagus, jadi umat Islam bisa

terjaga. Asal harga obat jangan naik jika nanti ada

labelisasi.”

Page 4: RUBRIK LAPORAN UTAMA MAJALAH HIDAYATULLAH - Titik Kritis Kehalalan Produk Farmasi

SUARA HIDAYATULLAH | www.hidayatullah.com24

LAPORAN UTAMA

Hari belum terlalu siang, namun kesibukan di pusat grosir obat Pasar Pramuka,

Jakarta Timur sudah tampak. Lalu lalang pembeli mulai mendatangi beberapa kios yang buka. Kios khu-sus yang menjual obatan-obatan dan produk farmasi menempati lantai 1 dan lantai 2. Mereka yang berbelanja keba-nyakan untuk memenuhi kebutuhan obat-obatan yang sudah habis di warungnya. Obat yang dibeli akan dijual kembali. Tapi, tidak sedikit yang mencari obat untuk dikonsumsi sendiri. Berbagai obat dijual di pasar yang sudah ada sejak tahun 1975 ini. Mulai dari obat murah, sejenis obat-obatan warung, obat generik, bahkan obat paten, yang penggunaannya harus memakai resep dokter juga tersedia di sini. Pusat grosir obat-obatan ini dikunjungi bukan saja dari rakyat golongan ekonomi menengah ke bawah, tetapi juga mahasiswa Fakul-tas Kedokteran, sampai apoteker pun ada yang berbelanja di sini. Pernyataan Menkes yang me-ngatakan hampir semua obat-obatan terdapat bahan haram tidak menyu-rutkan pembeli di grosir obat Pasar Pramuka ini. “Tidak berpengaruh,”

Ma’ruf Amin mengatakan, masyarakat atau lembaga yang

ingin menghapus pasal mengenai obat-obatan dalam RUU JPH tidak perlu khawatir. Sebab, klausul itu sangat bermanfaat bagi umat. “Mengapa Kemenkes harus takut. Jangan sampai ada pernyataan tidak perlu sertifikasi halal obat-obatan, itu pernyataan menyesatkan,” tegasnya.

Fatwa darurat Hanya Milik Ulama

kata Evaldi, Sekretaris Himpunan Pedagang Farmasi Pasar Pramuka, Jakarta Timur. Direktur LPPOM MUI, Luk-manul Hakim mengatakan, bahwa obat yang dikategorikan sebagai obat untuk rakyat dan berharga murah ini juga bisa mengandung bahan-bahan haram. “Obat paten dan obat generik sama-sama berpeluang terdapat bahan-bahan haram,” kata Lukmanul Hakim. Bahan-bahan yang dipakai untuk obat-obatan saat ini, kata Lukman, hampir 90 persen dari luar negeri. Hal tersebut yang dijadikan alasan mengapa obat-obatan generik tidak menutup kemungkinan bisa terkon-taminasi bahan-bahan haram. Kata Lukman, proses pengolahan sangat mempengaruhi kehalalan sebuah obat. Semua cara bisa berpe-luang menjadi haram, baik itu diolah memakai bahan alami, sintetika, biokimia, atau mikrobiologi. Jika memakai bahan mikrobi-ologi produk, selain dilihat bahan bakunya dari awal, medianya juga sangat mempengaruhi. Misalnya media itu seperti apa, dari apa, dan pertumbuhan bakterinya diperoleh dengan cara seperti apa. Kalau medianya pernah ber-sentuhan dengan babi walau hanya

sedikit, maka itu sudah tidak halal. “Itu sudah dikategorikan haram,” katanya. Tetapi, menurut Ketua Umum IDI, Zainal Abidin, obat-obatan tidak semuanya harus disertifikasi halal. Terutama yang sudah jelas bahan baku dan bahan dasarnya berasal dari tumbuhan dan ikan. “Antibiotik kan dari jamur, bahan obat yang berasal dari ikan atau hewan laut itu juga kan halal, jadi tidak perlu disertifikasi lagi,” ujarnya. Permasalahan lain yang timbul saat membahas tentang kehalalan obat dan produk farmasi adalah fak-tor darurat. Menteri Kesehatan, Nafsiah Mboi dan Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Hasbullah Thabrany mengatakan, obat-obatan berbahan haram tidak apa-apa karena sifatnya darurat. “Karena keterbatasan, terkadang dokter harus memberikan obat-obatan untuk pasien meski di dalamnya me-miliki unsur dari tubuh babi. Menurut saya dalam keadaan darurat boleh dipakai dan itu tidak masalah,” kata Hasbullah Tha brany seperti dikutip antaranews.com (17/12/2013). Pernyataan guru besar ini diban-tah oleh Ketua Harian MUI Pusat, KH Ma’ruf Amin. Menurutnya, siapapun tidak berhak mengatakan halal atau haram karena kedaan darurat. Hanya ulama yang meng-etahui ilmu agama dan fikih yang

Negara dan perusahaan farmasi mempunyai cukup dana untuk meracik formula bahan obat halal.

direktur LPPOM MUI, Lukmanul Hakim

Page 5: RUBRIK LAPORAN UTAMA MAJALAH HIDAYATULLAH - Titik Kritis Kehalalan Produk Farmasi

FEBRUARI 2014/RABIUL AWWAL 1435 25

TITIK KRITIS KEHALALAN PRODUK-PRODUK FARMASI

Protein, asam amino, vitamin, mineral, Enzim, asam lemak dan turunannya, khondroi�n, Darah, serum, plasma, hormon hingga karbon ak��. Penggunaanya dari tulang, kulit, lemak hingga jeroannya, Termasuk penggunaan bahan pewarna. Gela�n berasal Dari tulang maupun kulit babi. Media untuk pembuatan vaksin

BAHAN AKTIF OBAT YANG BERASAL DARI BABI

BAHAN AKTIF LAIN YANG BERASAL DARI MANUSIA

Keratin rambut,Untuk pembentukan

Sistein, placenta manusia,Sebagai bahan obat

Luka bakar Dan yang lainnya.

Ari-ari atau placenta Untuk obat leukemia,

Kanker, Kelainan darah, stroke,

Liver, diabetes dan Jantung.

PRODUK-PRODUK FARMASI YANG RENTAN BERBAHAN HARAM

ALKOHOL UNTUK MENGISOLASI BAHAN AKTIF YANG BERASAL DARI TUMBUHAN ALKALOID, GLIKOSIDA

Dari ke 28 jenis bahan farmaseutik tersebut terdapat beberapa bahan yang memiliki titik kritis kehalalan. Yakni bahan pengemulsi, bahan pewarna, bahan perisa, bahan pengisi tablet, bahan pengkilap, bahan pemanis, bahan pelarut dan bahan enkapsulasi. Bahan tersebut memiliki titik kritis kehalalannya sebab bisa saja berasal dari bahan haram dan najis seperti babi, alcohol, organ manusia maupun bahan hewani lain yang tidak jelas asal-usul maupun proses penyembelihannya.

BAHAN FARMASEUTIK (BAHAN TAMBAHAN OBAT AGAR MUDAH DISERAP TUBUH)

BAHAN PENGASAMBAHAN PEMBASAHBAHAN PENJERAPBAHAN AEROSOLBAHAN PENGAWETANTIOKSIDANBAHAN PENDAPARBAHAN PENGKHELATBAHAN PENGEMULSIBAHAN PEWARNABAHAN PERISABAHAN PELEMBABBAHAN PELEMBUTBAHAN DASAR SALEPBAHAN PENGERASBAHAN PEMANISBAHAN PENSUSPENSIBAHAN PENGHANCUR TABLETBAHAN PENGISI TABLETBAHAN PENYALUTBAHAN PELINCIR TABLETBAHAN PEREKAT TABLETBAHAN PELUMASBAHAN PENGKILAPBAHAN PENGISOTONIS LARUTANPELARUT/PEMBAWABAHAN ENKAPSULASIPENGGANTI UDARA

Demikian halnya penggunaan protein darah manusia dalam obat injeksi. Etanol dan gliserin pun dapat digunakan dalam obat-berbentuk suntik tersebut. Contoh lain adalah Insulin yang bisa berasal dari pankreas babi, atau lovenox (obat injeksi anti penggumpalan darah) yang juga bisa berasal dari babi.

Obat berbentuk pil injeksi (suntik) , bahan penyusun obat seperti gliserin,bisa berasal dari turunan lemak dan ini harus diperhatikan. Termasuk juga penggunaan bahan gelatin yang banyak digunakan. Cangkang kapsul, dalam proses pembuatannya menggunakan gelatin.

Obat cair atau liquid , bahan tambahan memakai etanol atau alkohol dan flavor (perasa) yang digunakan. Flavor bisa terbuat dari bahan penyusun (ingredient) dan pelarut yang tidak jelas kehalalannya.

Obat tablet memakai magnesium stearat, monogliserida yang berasal dari turunan lemak Obat serbuk dan kaplet, penggunaan laktosa dalam proses produksi obat serbuk harus diperhatikan diperhatikan.Enzim hewani bisa saja berperan dalam pembuatan laktosa ini. Termasuk penggunaan bahan pewarna. Gelatin berasal dari tulang maupun kulit hewan, seperti babi, sapi atau ikan.

DARI 18 RIBU JENIS PRODUK FARMASI, 22 JENIS YANG BERSERTIFIKASI HALAL

sum

ber:

ww

w.h

alal

mui

.org

Page 6: RUBRIK LAPORAN UTAMA MAJALAH HIDAYATULLAH - Titik Kritis Kehalalan Produk Farmasi

SUARA HIDAYATULLAH | www.hidayatullah.com26

LAPORAN UTAMA

26

Saatnya Kurangi Minum Obat SintetisKlinik pengobatan ala Nabi SAW, Pondok Sehat Anabawiyah milik Ummu Sala-

mah di Ciputat, Tangerang Selatan setiap hari selalu ramai dikunjungi pasien. Selain berobat, banyak juga pasien yang berkonsultasi mengenai kesehatan.

Terlebih ketika Menteri Kesehatan mengatakan kebanyakan obat-obatan kimia mengandung bahan haram. Pasien yang datang banyak menanyakan dampak negatif dan bahan-bahan yang dikandung dari obat kimia sintetis. Wanita yang juga penulis buku Imunisasi, Dampak, Konspirasi dan Solusi Sehat Ala Rasulullah SAW ini, sejak tahun 2005 tidak mengonsumsi obat-obatan kimia sintetis. Ia telah merasakan hidup sehat dengan pengobatan cara Nabi SAW. Ummu Salamah pernah memiliki pengalaman dengan obat-obatan kimia sintetis. Tahun 2002, ia bolak-balik ke sebuah rumah sakit di kawasan Bintaro, Tangerang untuk berobat. Namun, kesembuhan tak kunjung datang. “Tidak ada perubahan selama satu tahun berobat,” katanya. Akhirnya, seorang tem annya memberitahu pengobatan cara lain. “Setelah rutin berbekam, perlahan tapi pasti, alhamdulillah ada perubahan,” katanya. Seperti juga yang dialami Muhammad Ro’inul Balad, asal Bandung, Jawa Barat. Roin, demikian ia akrab dipanggil, bercerita bahwa beberapa tahun lalu kesehatan-nya terganggu dengan keluhan pada lambungnya. Aktivitasnya yang padat sebagai dai dan aktivis Islam membuat dirinya sering telat makan. Setelah diperiksa, dokter menyimpulkan bahwa Roin menderita sakit maag. “dokter menyarankan untuk berobat rutin dengan mengonsumsi obat-obatan kimia sintetis yang saya sendiri tidak tahu kehalalannya. Namun sebagai Muslim kita harus berbaik sangka kepada orang lain termasuk dokter,” katanya. Selama beberapa bulan ayah dari lima anak ini rutin kontrol dan mengonsumsi obat resep dokter tersebut. Setelah itu, lambungnya terasa lebih baik. Tetapi, akibat adanya pantangan terhadap makanan tertentu, maka terjadi sedikit penyumbatan pembuluh darah sebagai akibat tingginya kadar kolesterol. “Saya didiagnosa terkena penyakit jantung,” ujarnya. Singkat cerita, Roin berusaha berobat ke sebuah rumah sakit yang melakukan pengobatan dengan herbal. Meski menggunakan herbal, namun rumah sakit tersebut telah menggunakan standar modern. Mulai dari labotarium, perawat, dokter ahli, dan apotekernya. Roin mengakui, pengobatan dengan herbal waktunya lebih lama jika diband-ingkan dengan pengobatan kimia sintetis. Kata dokternya, tutur Roin, pengobatan dengan herbal sifatnya holistik. Tidak hanya mengobati penyakitnya, tetapi juga menguatkan organ lain sebagai pendukung proses penyembuhan penyakit tersebut. “Berbeda dengan pengobatan konvensional yang justru menimbulkan penyakit baru sebagai dampak dari penggunaan obat tertentu. Sakitnya mungkin sembuh tetapi ada penurunan fungsi organ lain,” jelas Roin yang menjabat Sekretaris dewan dakwah Islamiyah Indonesia (ddII) Jawa Barat. Kendati penyembuhan cukup lama dan berbiaya agak mahal, tetapi Roin cukup puas. Setelah melakukan pengobatan dengan herbal secara rutin, ia merasakan ada perubahan mendasar pada kesehatannya selain penyakitnya berangsur sembuh juga membaiknya fungsi organ lainnya. “Bagi saya berobat bukan sekadar mencari kesembuhan, namun yang lebih pent-ing berikhtiar dengan cara yang halal termasuk obatnya. Sehingga dalam berobat tidak sampai jatuh pada hal yang haram baik cara maupun obatnya,” tegas Roin.

pantas mengatakan halal atau tidaknya. “Masalah halal itu

soal hukum agama dan ulama saja yang bisa mengatakan, jadi jangan seenaknya,” tegas Ma’ruf. Ia menjelaskan bahwa kondisi darurat tidak boleh berlangsung selamanya. Harus ada usaha yang dilakukan sehingga jangan selalu mempunyai alasan karena darurat, maka boleh memakan barang yang haram. “Saat ini MUI sedang merumus-kan working group dengan Kemen-trian Kesehatan, Asosiasi Farmasi, dan Ikatan Dokter Indonesia untuk memverifikasi obat-obatan yang halal dan yang darurat,” ujarnya. Syarat darurat, tambah Ma’ruf, diperlukan saat tidak ada obat lain yang halal. Juga, jika tidak diminum akan bertambah sakit dan membuat mati. Namun, status obat itu tidak menjadi halal. Kiai berusia 70 tahun itu menya-yangkan ilmuwan di Indonesia yang enggan mencari bahan pengganti obat-obatan yang haram. Padahal, bahan tersebut banyak tersedia di tanah air. “Dalam al-Qur`an jelas Allah Ta’ala tidak menjadikan obat dari sesuatu yang haram, berarti yang halal ada,” katanya. Namun, sambung Ma’ruf, kita belum mampu, karena kiblat dokter dan peneliti kita kebanyakan ke Barat. Ketua Umum IDI, Zainal Abidin juga menyatakan hal serupa. Negara harus mencari jalan lain supaya ja-ngan selalu mengedepankan alasan darurat. “Negara wajib melindungi warganya dalam mengonsumsi obat, jangan pakai isu darurat terus, harus ada upaya jalan keluar. Saya yakin ada unsur yang bisa dipakai selain babi,” katanya. Sementara itu, Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Ledia Hanifa Amalia menyarankan dan mengim-bau ke pemerintah supaya membuat terobosan baru mencari bahan yang halal untuk produk farmasi. “Perusahaan farmasi dan ne-gara punya dana untuk meneliti dan pengembangan, sampai kapan kita mau mengatakan darurat?” kata Ledia.

Page 7: RUBRIK LAPORAN UTAMA MAJALAH HIDAYATULLAH - Titik Kritis Kehalalan Produk Farmasi

FEBRUARI 2014/RABIUL AWWAL 1435 27

Bulan desember lalu, Menteri Kesehatan, Nafsiah Mboi membuat resah masyarakat. Ia menyatakan tidak setuju jika produk farmasi disertifikasi

halal. Menurutnya, obat-obatan dan produk farmasi jangan disamakan de-ngan makanan atau minuman. Majalah Suara Hidayatullah men-coba mengkonfirmasi pernyataan Men kes tersebut. Nafsiah Mboi men-jawab pertanyaan Suara Hidayatullah melalui surat elektronik. Berikut petikan wawancaranya.

bagaimana perhatian Kemenkes terhadap status kehalalan produk-produk farmasi di Indonesia? Kementrian Kesehatan RI men-dukung sepenuhnya upaya-upaya dalam memberikan jaminan, perlin-dungan, dan kepastian kehalalan produk yang akan dikonsumsi dan atau digunakan masyarakat. Oleh karena itu, pada tahun 1996 ditandatangani pia-gam kerjasama departemen Kesehatan, departemen Agama, dan MUI tentang pelaksanaan pencantuman label halal. di bidang obat, sampai saat ini tidak ada landasan hukum yang mewajibkan sertifikasi halal untuk produk obat maupun vaksin. Sertifikasi halal untuk produk obat kepada MUI diajukan oleh pemilik produk dan bersifat sukarela. Obat yang beredar di Indonesia harus didaftarkan terlebih dahulu atau disertifikasi. Hal ini sesuai dengan mandat UU No. 36 Thn 2009 tentang kesehatan, bahwa tugas pemerintah di

bidang obat adalah menjamin keterse-diaan obat esensial, pengawasan obat, dan penggunaan obat yang rasional. Seluruh obat yang beredar di Indonesia harus didaftarkan dahulu atau diserti-fikasi oleh BPOM sebagai bagian dari pengawasan pre-market yang dilakukan sebelum obat beredar. Hal ini dilakukan untuk memastikan keamanan, khasiat, mutu, dan kebenaran informasi yang tercantum pada label penandaan obat. Obat yang lulus pre-market mendapat sertifikat Nomer Izin Edar (NIE).

Sejauh mana Kemenkes meng-etahui bahan-bahan untuk membuat obat-obatan? Saat ini tidak banyak obat-obatan yang mengandung bahan tertentu atau sesuatu yang tidak halal, seperti babi atau bahan bersumber babi. Contoh, ada tiga jenis heparin berat molekul rendah sebagai obat pengencer darah, produk-produk ini mengandung dNA babi, berasal dari usus babi dan belum ada yang dari sapi.

bagaimana sikap Kemenkes terhadap upaya sertifikasi halal obat-obatan yang beredar di Indonesia? Penemuan dan pengembangan obat baru dilakukan melalui penelitian yang lama, 10-20 tahun dan umumnya dilakukan di luar negeri. Pada pengem-bangan obat harus dilakukan studi pre-klinik dan studi klinik, formulasi dan teknologi untuk membuktikan dan memastikan keamanan, khasiat, dan mutu produk tersebut. Penemuan obat yang berasal dari binatang akan riskan dengan sesuatu yang tidak halal, mi-salnya kandungan aktifnya berasal dari babi atau pada proses pembuatannya pernah bersinggungan dengan bahan bersumber babi. dalam hal ini prinsip penerimaan obat tersebut di Indonesia adalah kedaruratan, apabila tidak ada alternatif lain.

Apakah sertifikasi ini diperlukan? Apabila masih ada alternatif lain,

misalnya tersedia bahan bersumber sapi, maka terhadap obat tersebut tidak dapat diberikan izin edar. Apabila tidak ada alternatif lain, maka akan di-kaji manfaat secara medis dan diberikan transparansi pada label produk.

RUU jaminan Produk Halal (jPH) yang saat ini sedang digodok di dPR salah satunya mengatur masalah ini, bagaimana tanggapan Anda? Kementrian Kesehatan sepenuhnya mendukung upaya-upaya dalam mem-be rikan jaminan perlindungan dan kepastian kehalalan produk yang akan dikonsumsi atau digunakan masyarakat. Salah satu pasal dalam RUU JPH men-gatakan bahwa bahan yang berasal dari mikroba dan bahan yang dihasilkan melalui proses kimia, proses biologi atau proses rekayasa genetika diharam-kan jika proses pertumbuhan dan atau pembuatannya tercampur, terkandung, dan atau terkontaminasi dengan bahan yang diharamkan. Oleh karena itu, Kemenkes me-mandang perlu dan telah mengusulkan agar produk berupa obat termasuk produk biologi (vaksin) dan produk rekayasa genetik yang digunakan untuk diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, dan peningkatan kesehatan manusia dikecualikan dalam RUU JPH. Bahkan, di seluruh dunia tidak ada yang menerapkan itu, termasuk negara-negar Arab, sekalipun tidak masuk masalah obat-obatan dalam sertifikasi halal mereka.

Apakah dalam peraturan atau Undang-Undang Kesehatan menga-tur mengenai bahan baku yang dipe-runtukan bagi obat-obatan? Sesuai dengan UU No.36 tahun 2009 tentang kesehatan, obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi (vaksin) yang diguna-kan untuk mempengaruhi atau me-nyelidiki sitem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembu-han pemulihan dan peningkatan kesehatan untuk manusia.

Nafsiah Mboi, Menteri Kesehatan RI

“Prinsip Penerimaan Obat berbahan babi karena darurat”SU

RYA

FA

CH

RIZA

L

Kantor Kementrian Kesehatan RI