rubrik jendela keluarga majalah hidayatullah

11

Upload: lentera-jaya-abadi

Post on 21-May-2015

423 views

Category:

Documents


9 download

TRANSCRIPT

Page 1: Rubrik jendela keluarga majalah hidayatullah
Page 2: Rubrik jendela keluarga majalah hidayatullah

APRIL 2013/JUMADIL AWAL 1434 67

JendelaKeluarga

celah

Seorang anak remaja berusia 16 tahun diminta mengantar ayahnya ke kota untuk mengikuti sebuah acara. Mereka tinggal di sebuah kebun tebu dan harus menempuh jarak 29 kilometer untuk sampai kota. Tentu saja anak lelaki ter se-

but sangat gembira jika ada ke sempatan keluar dari de-sa nya. Ia bisa berkunjung ke ke diaman temannya atau menonton fi lm di bioskop.

Setibanya di tempat acara, ayahnya meminta anak tersebut untuk mengerjakan pekerjaan yang lama ter-tun da yaitu memperbaiki mobil di bengkel. Lalu ia berpesan, “Ayah tunggu di sini pukul lima sore, lalu kita akan pulang ke rumah bersama-sama.“ Anak itu segera menyelesaikan pekerjaan yang diperintahkan ayahnya.

Mengingat masih ada waktu, anak tersebut pergi ke bioskop. Ia larut dalam dua fi lm yang memikat hatinya hingga ia lupa waktu. Saat melihat jam waktu sudah menunjukkan pukul 17.30. Ia langsung menuju bengkel mobil dan segera menjemput ayahnya yang sudah menunggunya selama 30 menit.

Sang ayah mempertanyakan keter-lam batannya. Karena sangat malu un -tuk mengakui perbuatannya, ia ber-kata, “Tadi, mobilnya belum siap se hing ga saya harus menunggu.” Ia ti dak menyangka bahwa ayahnya te-lah menelepon bengkel mobil itu, sehingga mengetahui kalau anak-nya berbohong.

Apa yang kemudian di ka ta kan ayahnya sungguh me nga getkan anaknya. “Ada se suatu yang salah dalam mem besarkanmu se-hingga kamu tidak me mi liki ke be ranian untuk men ce ri ta-kan kebenaran ke pada ayah. Untuk meng hu kum ke sa la-han sendiri ini, ayah akan pulang ke rumah dengan berjalan kaki.”

Hari sudah malam saat Ayah anak laki-laki tersebut berjalan kaki menuju ke rumahnya, yang kadang naik dan turun. Anaknya tentu tidak bisa meninggalkan ayahnya, sehingga selama 5 jam ia mengendarai mobil pelan-pelan di belakang sang Ayah. Ia melihat penderitaan yang dialami oleh Ayahnya hanya karena kebohongan yang dilakukannya. Hal itu membuatnya sedih dan ia berjanji tidak akan mengulanginya.

Peristiwa itu begitu membekas dalam sanubarinya, sehingga ia berbagi kisah ini. “Sering kali saya berpikir mengenai episode ini dan merasa heran. Seandainya Ayah menghukum saya sebagaimana kita menghukum anak-anak kita, maka apakah saya akan mendapatkan sebuah pelajaran mengenai tanpa kekerasan? Saya kira tidak. Saya akan menderita atas hukuman itu dan melakukan hal yang sama lagi. Tetapi, hanya dengan satu tindakan tanpa kekerasan yang sangat luar biasa saya merasa kejadian itu baru saja terjadi kemarin. Itulah kekuatan tanpa kekerasan.”

Kisah Arun Gandhi, cucu Mahatma Gandi, tokoh terkenal di India tersebut ada relevansinya dengan

hasil penelitian dua orang professor yang menyatakan bahwa anak yang

dididik dengan kekerasan dan mem beri hukuman

(hard discipline) akan cen-de rung berbohong daripada

anak-anak yang dididik dalam ling ku ngan yang kondusif.

Anak-anak dalam masa perkembangannya, kerap me la-

kukan kebohongan bisa karena malu atau ingin membela diri.

Orangtua atau guru punya banyak pilihan apakah menghukumnya de-

ngan kekerasan atau memilih seperti ayah Arun Gandhi. Semoga kita selalu

dibimbing oleh Allah Ta’ala dalam men didik anak-anak kita. Penulis

buku Serial Catatan Parenting

Saat Anak BerbohongOLEH IDA S. WIDAYANTI*

FOTO

: C

REAT

IVE

Sang ayah mempertanyakan keter-lam batannya. Karena sangat malu un -tuk mengakui perbuatannya, ia ber-kata, “Tadi, mobilnya belum siap se hing ga saya harus menunggu.” Ia ti dak menyangka bahwa ayahnya te-lah menelepon bengkel mobil itu, sehingga mengetahui kalau anak-

Apa yang kemudian di ka ta kan ayahnya sungguh me nga getkan anaknya. “Ada se suatu yang salah dalam mem besarkanmu se-

terkenal di India tersebut ada relevansinya dengan hasil penelitian dua orang professor yang

menyatakan bahwa anak yang

de rung berbohong daripada anak-anak yang dididik dalam

ling ku ngan yang kondusif.

perkembangannya, kerap me la-kukan kebohongan bisa karena

malu atau ingin membela diri. Orangtua atau guru punya banyak

pilihan apakah menghukumnya de-ngan kekerasan atau memilih seperti

ayah Arun Gandhi. Semoga kita selalu dibimbing oleh Allah

men didik anak-anak kita. buku Serial Catatan Parenting

Page 3: Rubrik jendela keluarga majalah hidayatullah

SUARA HIDAYATULLAH | www.hidayatullah.com68

Bila Suami Merasa Jadi Pahlawan

usrah

H ari masih diselimuti udara pagi. Tanpa sengaja saya mendengar pembicaraan dua ibu

yang berjalan pulang dari pasar. Satu dari dua ibu tersebut mengeluh, “Kalau apa-apa mahal begini, jadi malas belanja. Kalau belanjanya semakin besar, kita dimarahi bapaknya. Katanya kita cuma bisa menghabiskan uang. Padahal kita yang harus belanja kebutuhan rumah juga pusing. ”

Beberapa hari setelahnya, masih di dekat pasar, seorang bapak berbincang dengan pedagang. Pedagang tersebut bertanya pada si bapak, mengapa tidak masuk saja ke pasar menemani istrinya berbelanja? Bapak tadi menjawab, “Saya sebenarnya kesal kalau menemani ke pasar. Yang katanya mau beli sayur, nanti minta beli ‘ini-itu’. Jadi banyak yang dibeli.” Si pedagang nyengir, “Ya Pak, namanya kebutuhan rumah ‘kan macam-macam.” Si bapak pun mengeluh, “Ya, tapi kayaknya saya ini jadi sapi perah. Minta beli ini-itu, padahal saya yang mencari uang.”

Bahagia dalam JiwaMeski tak nyaman didengar, dua

pembicaraan tadi adalah keluh-kesah biasa yang seringkali terlontar dari keseharian rumah tangga. Pihak suami

merasa kesal karena merasa telah berpayah-payah mencari nafkah. Sementara banyak istri merasa tertekan antara kebutuhan, keterbatasan, dan keinginan untuk membahagiakan seluruh anggota keluarga.

Bila hal ini juga terjadi pada kita, marilah sejenak merenung bahwa sesulit apapun kemampuan finansial, kita pasti sepakat bahwa kebahagiaan itu pasti berada di dalam jiwa. Bukan pada banyaknya harta, pada megahnya rumah, juga bukan pada indahnya pakaian yang kita kenakan. Bahwa kebahagiaan yang sebenarnya ada dalam jiwa kita yang ikhlas pada kehendak-Nya. Juga pada selarasnya jiwa kita dengan pasangan.

Keselarasan jiwa kita dengan pasangan akan melahirkan pengertian yang dalam. Tak hanya tentang hak dan kewajiban, tetapi tentang bagaimana kondisi pasangan dan apa yang diharapkannya. Keselarasan akan melahirkan ketulusan memberikan yang terbaik, kesediaan berkorban, sekaligus kesabaran untuk menerima apa adanya. Keselarasan juga akan melahirkan energi untuk bahu-membahu guna mengusahakan yang terbaik.

Sebagaimana gambaran Allah tentang keselarasan jiwa kaum

Anshar dengan kaum Muhajirin yang saling mengutamakan saudara mereka, “... mereka mencintai orang-orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (kaum Muhajirin) dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu).” (Al-Hasyr [59]: 9)

Alangkah indahnya, jika suasana hati kita dalam berumah tangga juga ditata seperti ini. Bila suami-istri telah saling mendahulukan kepentingan pasangan dan anak-anaknya. Sederhana untuk kepentingan diri sendiri, tetapi sangat bermurah hati pada kepentingan keluarga.

Di samping itu, tak semestinya seorang istri merasa under estimate hanya karena menjadi orang yang tak langsung mencari uang. Suami pun tak perlu merasa menjadi sapi perah hanya karena harus berpayah-payah bergulat dengan pekerjaan yang menghasilkan rupiah. Karena, setiap istri, sejatinya juga adalah orang yang memungkinkan adanya uang yang didapatkan oleh suami. Tanpa adanya istri yang menyediakan sarapan saat suami akan berangkat bekerja, menyiapkan

Oleh kartika ummu arina*

HargailaH aPa yang dilakukannya

MeSki SederHana. Maka yang

terBangun adalaH raSa Bangga dan SeMangat untuk

MendaHulukan orang-orang yang

dicintai.

Page 4: Rubrik jendela keluarga majalah hidayatullah

APRIL 2013/JUMADIL AWAL 1434 69

Jendela keluarga

pakaian, merawat dan mendidik anak-anak di rumah, menjaga rumah dan seisinya, termasuk menjaga kesehatan si suami sendiri; maka suami pun akan sulit untuk bekerja dengan maksimal dan mendapatkan penghasilan.

Suami pun tak harus merasa sebagai penanggung beban terberat. Dengan posisinya sebagai pekerja di ranah publik, ia selalu mendapatkan kesempatan untuk menambah wawasan, bertemu dengan teman baru, dan mendapatkan penghargaan sosial atas keberadaannya di masyarakat. Lebih dari itu semua, suami mendapatkan penghormatan dari Allah dan Rasul-Nya sebagai pemimpin yang segala sesuatu yang diusahakannya demi kebaikan rumah tangga berbalas surga dan tercatat syahid, bila wafat dalam keadaan mengupayakannya

hargai dan doakanlahKunci dari semua ini adalah saling

menghargai. Dengan penghargaan dan kasih sayang, seorang istri tak akan merasa sebagai pihak yang lebih rendah, jika memutuskan pilihan menjadi ibu rumah tangga. Dengan penghargaan, seorang istri justru akan merasa bangga menjadi orang yang dengan tangannya sendiri dapat menjaga kesehatan keluarganya, membahagiakan suami dan anak-anaknya, apalagi jika ia mampu menjadi guru teladan bagi anaknya-anaknya. Di sinilah kebahagiaan seorang Muslimah yang sebenarnya.

Sehingga, seorang Muslimah tak perlu lagi bergulat dengan hatinya sendiri untuk memilih antara karier

dan anak, bila hanya terhadang oleh faktor ekonomi. Karena, hatinya telah tentram dengan apa yang ada, bahkan telah bahagia, apabila dapat mendahulukan kepentingan pasangan dan anak-anaknya. Jika ia terpaksa harus bekerja di luar rumah pun, alasan sejati yang mendasari juga bukanlah masalah harga diri, keinginan untuk mengukuhkan eksistensi, apalagi hanya untuk sekadar mandiri dalam ekonomi. Islam memang tak pernah mengajarkan umatnya untuk menjadi manusia yang individualis dan kehidupan seseorang memang tak akan dapat bertahan sendiri. Sekuat apapun dan secerdas apapun, tetap butuh orang lain.

Suami pun akan semakin bersemangat mencari rezeki yang barakah karena tingginya penghargaan dari istri. Penghargaan yang didapatnya bukan karena banyaknya uang yang berhasil dikumpulkan, tetapi dari kegigihan dan kebaikan perilakunya yang mencari nafkah karena amanah dan kasih sayang.

Maka, di sinilah indahnya doa-doa yang selalu terlantun dari seorang suami untuk istrinya agar selalu bersabar dan istiqamah dengan amanah yang diembannya. Juga doa seorang istri untuk suaminya di setiap waktu, terutama bila belahan jiwanya tersebut berangkat untuk mencari nafkah.

Doa juga akan mengantarkan harapan ke singgasana-Nya hingga kita akan terbebas dari kungkungan keterbatasan. Berdoalah manakala kehidupan ini terasa begitu sempit menghimpit, maka jiwa kita akan terbebas dari kesempitan dan langkah kita akan ringan mengusahakan rezeki-Nya Yang Mahaluas. Berusahalah untuk tidak menikmati keterbatasan. Dimulai dari doa yang membebaskan hingga ikhtiar yang mewujudkannya. Maka, kita akan terfokus pada keberhasilan dan bukan untuk menyalahkan orang lain atas tekanan yang kita rasakan. Penulis buku ‘Jadilah Suami Istri Bijak’

FOTO

MU

H. A

BDU

S SY

AK

UR/

SUA

RA H

IDAY

ATU

LLA

H

Seorang iStri JuStru akan MeraSa Bangga MenJadi orang yang

dengan tangannya Sendiri daPat MenJaga keSeHatan keluarganya,

MeMBaHagiakan SuaMi dan anak-anaknya

Page 5: Rubrik jendela keluarga majalah hidayatullah

SUARA HIDAYATULLAH | www.hidayatullah.com70

tarbiyah

Para ulama salaf berbeda pendapat mengenai Luqman Al-Hakim: apakah dia seorang nabi atau seorang hamba

Allah yang salih tanpa menerima risalah kenabian. Dalam hal ini ada dua pendapat. Jumhur ulama berpendapat, dia seorang hamba Allah yang saleh tanpa menerima amanah kenabian.

Ibnu Abbas berkata, Luqman adalah seorang hamba berkebangsaan Habsy yang berprofesi sebagai tukang kayu. Sementara Jabir bin Abdullah mengidentifikasi Luqman sebagai orang yang bertubuh pendek dan berhidung pesek. Sedangkan Said bin Musayyab mengatakan, Luqman berasal dari Sudan, memiliki kekuatan dan mendapat hikmat dari Allah , namun tidak menerima kenabian.

Selanjutnya, Ibnu Jarir berpendapat bahwa Luqman seorang hamba sahaya berkebangsaan Habsyi yang berprofesi sebagai tukang kayu. Suatu kali, majikannya berkata kepada Luqman, “Sembelihkan domba ini untuk kami.” Lalu dia menyembelihnya. Si majikan mengulang hingga tiga kali. Luqman berkata, “Sesungguhnya tiada perkara yang lebih baik daripada lidah dan hati jika keduanya baik dan tiada perkara yang lebih buruk daripada lidah dan hati jika keduanya buruk.”

Suatu kali dia didatangi seseorang, lalu bertanya, “Apa yang dapat mengantarkanmu kepada kebijakan dalam bertutur!” Luqman menjawab, “Berkata jujur dan tidak mengatakan

hal yang tidak penting.”Rasulullah bersabda, di antara

indikator kebaikan keislaman seseorang adalah dia meninggalkan sesuatu yang tidak berguna (al Hadits).

Merujuk keterangan di atas, dapat dipahami bahwa Luqman adalah seorang hamba yang menjadi sahaya. Dan kesahayaan menghalanginya untuk menjadi seorang Nabi. Sebab nabi dan rasul berasal dari kalangan keluarga terpandang di antara kaumnya. Maka, mayoritas ulama memandang Luqman bukan sebagai nabi.

Luqman pernah ditanya ihwal pres tasi yang dicapainya. Dia men ja-wab, “Hai anak saudaraku, jika engkau menyukai apa yang aku katakan ke padamu, kamu pun insya Allah berprestasi seperti aku.”

Lalu Luqman berkata, “Aku me me-lihara dan memonitor pandanganku, menjaga lidahku, menjaga kesucian makananku, memelihara kemaluanku, berkata jujur, memenuhi janjiku, menghormati tamuku, memelihara hubungan baik dengan tetanggaku, dan meninggalkan perkara yang tidak penting. Itulah yang membuat diriku seperti yang kamu lihat.”

Al Qurthubi mengatakan, Luqman adalah anak laki-laki saudara perempuan Nabi Ayyub yang nikah dengan anak laki-laki adik perempuan ibunya. Pernah ada seorang laki-laki yang memandangnya, maka Luqman berkata, “Jika engkau lihat aku mempunyai sepasang bibir yang tebal lagi kasar, maka sesungguhnya

di antara keduanya keluar kata-kata yang lembut, dan jika engkau melihat rupaku hitam, maka sesungguhnya kalbuku putih.”

Ayat di atas menjelaskan tentang prestasi Luqman yang diberikan oleh Allah yaitu pemahaman, ilmu, tutur kata yang baik, dan pemahaman Islam sekalipun ia bukan seorang nabi. Karena Allah telah memberikan fasilitas kehidupan yang gratis, nikmat sebagai manusia, nikmat memiliki akal yang sehat, dan nikmat yang paling tinggi adalah petunjuk kepada Islam.

Pesan Pertama

Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan, Luqman dalam wasiat pertamanya kepada anaknya berpesan agar anaknya hanya menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun seraya memperingatkannya, “Sesungguhnya syirik itu adalah benar-benar kezaliman yang besar.

Selanjutnya, Luqman mengiringinya dengan pesan lain yaitu agar anaknya menyembah Allah semata dan birrul walidain (berbakti kepada kedua orang tua).

“Dan Tuhanmu telah memerin tah­kan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik­baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua­duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali­kali janganlah kamu

Pesan Luqman Al-Hakim kepada Putranya Oleh ShOlIh hASYIM*

Page 6: Rubrik jendela keluarga majalah hidayatullah

APRIL 2013/JUMADIL AWAL 1434 71

Jendela keluarga

mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia.” (Al Isra [17] : 23)

Pesan KeDUa

Luqman melanjutkan pesan yang ketiga kepada putranya: perintahkanlah perkara yang baik dan cegahlah perkara yang mungkar menurut batas kemampuan dan jerih payahmu, karena sesungguhnya untuk mewujudkan amar bil ma’ruf dan nahi ‘anil mungkar, pelakunya pasti akan mendapat gangguan dari orang lain. Oleh karena itu, pesan Luqman selanjutnya, memerintahkan kepada putranya untuk bersikap sabar. Sesungguhnya

bang gakan diri.” (Luqman [31] : 18).Ibnu Katsir berkata, janganlah

engkau bersikap sombong dengan meremehkan hamba-hamba Allah

dan memalingkan mukamu dari mereka bila mereka berbicara denganmu. Rasulullah bersabda, “Setiap orang yang sombong itu terkutuk. (Tafsir Al Qurthubi 14/70). Ash Sho’ar adalah orang yang sombong karena dia hanya memperlihatkan pipinya dan memalingkan wajahnya dari orang lain (An Nihayah, Ibnul Katsir, bab Sha’ara).

Menurut Al-Qurthubi, makna ayat di atas adalah “Janganlah engkau palingkan mukamu dari orang-orang karena sombong terhadap mereka, merasa besar karena ilmu, harta dan kekuasaan yang dimiliki.” Demikianlah menurut tafsir Ibnu Abbas dan sejumlah ulama lainnya.

Makna yang dimaksud adalah hadapkanlah wajahmu ke arah mereka dengan penampilan yang simpatik dan menawan. Apabila seorang yang paling muda berbicara denganmu, dengarkanlah ucapannya sampai ia menghentikan pembicaraannya.

Pesan KeemPat

Setelah Luqman memperingatkan putranya agar mewaspadai akhlak yang tercela, lalu dia menggambarkan kepadanya akhlak yang seharusnya menghiasi dirinya. Maka, ia berpesan sederhanakanlah kamu dalam berjalan..!. Al Qashdu Fil Masyyi artinya cara berjalan yang pertengahan. Antara langkah cepat dan langkah lambat.

Allah memuji orang yang bersikap rendah hati. Berpenampilan bersahaja. “Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.” (QS. Al Furqan (25) : 63). Pengasuh pesantren Hidayatullah Kudus.

yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan.

Menurut Al-Qurthubi, Luqman memerintahkan kepada putranya untuk bersikap sabar dalam menghadapi berbagai macam kesulitan hidup di dunia, berbagai penyakit, dan musibah. Ketidaksabarannya dalam menghadapi kerumitan akan menjerumuskannya ke dalam perbuatan durhaka kepada Allah .

Pesan KetIGa

“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena som­bong) dan janganlah kamu ber ja­lan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang­orang yang sombong lagi mem­

FOTO

: M

UH

. ABD

US

SYA

KU

R/SU

ARA

HID

AYAT

ULL

AH

“JANgANLAH eNgKAU

PALINgKAN MUKAMU

DARI ORANg-ORANg

KAReNA SOMBONg TeRHADAP

MeReKA, MeRASA BeSAR KAReNA ILMU,

HARTA DAN KeKUASAAN

YANg DIMILIKI.”

Page 7: Rubrik jendela keluarga majalah hidayatullah

SUARA HIDAYATULLAH | www.hidayatullah.com72

mar’ah

Setiap orang tentu ingin menikah. Apa yang mesti dilakukan bila jodoh tak kunjung datang?

“K apan sih Allah akan mengirimkan jodoh untukku? Siapa sesungguhnya jodohku besok?

Kenapa sampai sekarang, pangeranku belum datang juga ya?”

Itulah sederet pertanyaan atau keluhan yang mungkin muncul di benak para Muslimah yang sampai saat ini masih menantikan jodohnya.

Menikah? Tentu saja setiap Muslim ingin melaksanakan salah satu sunnah Rasul tersebut. Mungkin hanya orang-orang dengan alasan tertentu saja yang tidak ingin menikah. Rasululullah SAW menjelaskan secara tegas bahwa menikah adalah sunnahnya, sehingga bukan dari golongan beliau seseorang yang tidak mengamalkan sunnahnya.

Bahkan dalam urusan menikah, Allah membolehkan bagi orang-orang yang mampu berbuat adil menikahi lebih dari satu wanita. Poligami adalah bentuk solusi serta toleransi yang ditawarkan Allah

bagi manusia supaya lebih terhormat dan bermartabat. Tentu juga harus dengan memenuhi syarat-syaratnya dan dalam rangka menjaga

kesucian diri. Hal-hal tersebut di atas membuktikan bahwa menikah merupakan sunnah Rasul yang sangat ditekankan bagi umatnya.

Tetapi banyak kasus ketika seseorang sudah merasa cukup matang secara usia, tetapi jodoh belum juga kunjung datang. Hal tersebut seringkali membuat perasaan seseorang merasa galau serta gundah gulana, apalagi kalau itu terjadi pada para wanita.

Citra maupun image negatif pun akhirnya menerpa dirinya, mulai julukan perawan tua, perempuan tidak laku dan sebagainya. Bahkan bisa jadi muncul kata-kata yang lebih menyakitkan lagi dari lingkungannya.

Kebanyakan para Muslimah berpikir, dirinya memang ditakdirkan untuk menunggu calon pendampingnya datang untuk meminangnya tanpa ikhtiar apapun. Bahkan ketika ada seorang wanita yang berani melamar seorang pria, itu dianggap tabu. Padahal, hal tersebut sah-sah saja dilakukan asalkan masih dalam koridor syariat Islam.

BelAjAR PAdA SITI KHAdIjAH

Mari kita tengok sejenak kisah pertemuan antara Rasulullah SAW dengan Siti Khadijah. Ketika Khadijah merasa tertarik dengan Muhammad, tak segan-segan dan malu beliau utarakan isi hati dan niatnya kepada

pamannya. Beliau kemudian meminta tolong pamannya untuk melamar Muhammad.

Banyak sekali hikmah yang dapat dipetik dari kisah tersebut. Pertama, Khadijah berani berubah untuk mendapatkan kebaikan. Hal ini didasari karena Muhammad dipandang sebagai calon yang akan membawa kebaikan bagi dirinya. Maka bagi para Muslimah, bila ada pria saleh yang dapat dijadikan pendamping hidup, jangan ragu memantapkan niat menjadikannya sebagai imam.

Kedua, Khadijah tidak hanya berpangku tangan dan menunggu Muhammad datang untuk melamarnya. Maka belajar pada Khadijah, ada baiknya jika seorang wanita, apalagi bila seorang Muslimah telah menyatakan siap untuk menikah dan mempunyai pandangan kepada seseorang, hendaknya mencari orang yang tepat guna dimintai pertimbangan bahkan bantuan untuk menta’arufkan. Bukan malah bertindak sendiri alias pacaran.

Ketiga, keberanian Khadijah dalam melamar Nabi Muhammad bukan didasarkan pada kekayaan materi duniawi, tetapi pada kualitas akhlak. di sini, meskipun beliau secara usia lebih tua dari suaminya, akan tetapi dengan keyakinan dan bekal akhlak yang baik, tidak menjadikannya jauh dari ketaatan kepada suaminya.

Meskipun menunggu adalah

Menjemput Tautan Hati

Oleh lIlIS BUDIARSIh*

Page 8: Rubrik jendela keluarga majalah hidayatullah

APRIL 2013/JUMADIL AWAL 1434 73

Jendela keluarga

sebuah pilihan, namun setidaknya masa tersebut tidak hanya berlalu sia-sia. Ikhtiar dalam menjemput calon pendamping hidup yang ideal dari Allah dapat dilakukan dengan meningkatkan ketakwaan serta kualitas diri. Semakin ikhlas seseorang dalam menunggu, dengan menyibukkan diri dalam rangka meningkatkan ketakwaan serta kualitas diri, insya Allah makin besar peluang mendapatkan jodoh yang ideal serta berkualitas.

Seringkali para Muslimah berasumsi, kualitas yang perlu dipersiapkan hanya sebatas pada segi lahir saja, seperti usia maupun materi yang sudah cukup matang dan mapan. Padahal, bisa jadi asumsi tersebut salah di hadapan Allah . Artinya, seseorang tersebut belum memiliki

Bukan berarti para Muslimah yang sudah mendapatkan jodohnya telah baik ilmu dan keteladanannya seperti para Sahabiyah tersebut. Tetapi paling tidak, para Muslimah yang saat ini masih dalalm proses menantikan teman sejatinya, lebih memiliki kesempatan yang besar dalam mempersiapkan segala sesuatu. Persiapan di sini termasuk memperdalam ilmu yang berkaitan dengan pernikahan dibandingkan para Muslimah yang telah menikah.

Saudaraku, pastinya menunggu mempunyai tujuan yang mulia. Antara lain, menguji kadar keimanan dan ketakwaan yang kita miliki. juga sebagai sarana belajar meniti kesabaran. Tetapi, bisa jadi itu bagian dari ujian yang diberika Allah agar kita selalu berprasangka baik kepada-Nya. Maka teruslah bersabar dan berikhtiar. Insya Allah, tautan hati itu akan diberikan. Kalau pun Allah

tidak memberikannya di dunia setelah kita berusaha, pastilah Allah akan memberikan jodoh yang terbaik di surga-Nya nanti...! Guru SMP Islam Luqman Al-Hakim, Purwodadi, Jawa Tengah.

persiapan apa-apa menurut Allah .Meningkatkan kualitas diri dengan

memperdalam ilmu syar’i maupun umum pada masa-masa pranikah sangat penting. Sebab, dengan ilmu yang memadai kita akan menjadi seorang istri yang cerdas dalam memanage rumah tangga. Begitu juga peningkatan kesabaran, kedewasaan dan kematangan bersikap akan membuat seorang istri tawadhu’ serta menghargai suami dalam situasi apapun. Termasuk ketika seorang suami mempunyai penghasilan lebih kecil daripada istri.

Mari kita kembali meneladani para Muslimah sejati pada zaman Nabi, seperti Siti Khadijah, Siti Aisyah, Fatimah, Nusaibah, maupun Sahabiyah lainnya yang mampu membahagiakan suami-suami mereka.FO

TO :

MU

H. A

BdU

S SY

AK

UR/

SUA

RA H

IdAY

ATU

llA

H

MeSKIPUN MeNUNggU AdAlAH SeBUAH PIlIHAN, NAMUN SeTIdAKNYA MASA TeRSeBUT TIdAK HANYA BeRlAlU SIA-SIA.

IKHTIAR dAlAM MeNjeMPUT CAlON PeNdAMPINg HIdUP YANg IdeAl dARI AllAH dAPAT dIlAKUKAN deNgAN

MeNINgKATKAN KeTAqWAAN SeRTA KUAlITAS dIRI.

Page 9: Rubrik jendela keluarga majalah hidayatullah

SUARA HIDAYATULLAH | www.hidayatullah.com74

profi l

Abdul Hakim Jurumiah & Hatijah Yamany

FOTO

: SU

RYA

FA

CH

RIZA

L/SU

ARA

HID

AYAT

ULL

AH

Dari Pangkep Menuju kairo

K ompak dan istimewa, cuma dua kata itu yang muncul di benak penulis saat mendengar kisah

dua sejoli Abdul Hakim Jurumiah dan Hatijah Yamany. Keduanya mahasiswa program doktor di Universitas al-Azhar, Cabang Kota al-Manshurah, Provinsi Daqahliyah, Mesir. 

Sang suami mengambil Jurusan Tafsir al-Qur`an, dan kini sedang  menunggu sidang disertasinya. Sedangkan sang istri tengah menyusun disertasinya di bidang Bahasa Arab.

Cocok, deh. Suami jurusan tafsir, istrinya jurusan lughah (bahasa). Dua ilmu itu saling melengkapi,” komentar

Ardhi Rosyadi, mahasiswa Jurusan Ilmu Hadits di universitas yang sama, saat mengantarkan Suara Hidayatullah ke kediaman Abdul Hakim dan Hatijah Februari 2013 lalu.

Abdul Hakim dan Hatijah tinggal di lantai empat sebuah rumah susun yang jaraknya sekitar 50 meter dari kampus mereka. Rumah sederhana itu dihiasi kitab-kitab berbahasa Arab yang tersusun rapi di rak.

Kepada Suara Hidayatullah, Abdul Hakim menuturkan, meski mengurus empat anak hal itu tidak menurunkan semangat dan kualitas belajar mereka.

“Istri saya mendapat nilai jayyid jiddan (baik sekali) di Program Tamhidi I dan II Strata 2, saat hamil anak kedua dan mengurus anak pertama,” tutur Abdul Hakim.

Sekadar informasi, Tamhidi I dan II adalah dua tingkat kuliah di pascasarjana al-Azhar sebelum menulis

Suami-istri dengan empat

anak yang tengah menyelesaikan

program doktor di Universitas

al-Azhar, al-Manshurah,

Mesir

Page 10: Rubrik jendela keluarga majalah hidayatullah

APRIL 2013/JUMADIL AWAL 1434 75

Jendela keluarga

tesis. Setiap mahasiswa harus lulus semua mata kuliah yang ada pada tiap tingkat. Satu mata kuliah gagal, semua mata kuliah lainnya dianggap gagal dan harus mengulangi semua mata kuliah tersebut di kesempatan berikutnya dengan sarat kelulusan yang sama.

Pada masa-masa itu keduanya berjibaku bergantian mengurus anak dan menulis tesis. Abdul Hakim dan Hatijah biasa menulis di malam hari saat anak-anak tidur atau setelah subuh. “Kalau anak-anak bangun, waktunya bermain dengan mereka. Karena kalau diteruskan, tidak bisa fokus,” kata Abdul Hakim.

“Pernah sekali saya membuatkan makalah untuk istri, karena dia sibuk mengurus anak-anak,” kenang Abdul Hakim, lulusan terbaik  Pesantren  Darul Da’wah wal Irsyad (DDI), Mangkoso, Sulawesi Selatan (Sulsel) tahun 1996 ini.

Soal keuangan, keduanya tidak merasa kekurangan. Selain masih didukung penuh oleh orangtua, keduanya juga mendapat beasiswa setiap bulan. Bekerjasama dengan temannya di Indonesia, Abdul Hakim juga kerap mengirim kitab-kitab berbahasa Arab untuk dijual di Indonesia.

Beberapa bulan belakangan ini dia berinvestasi di sebuah restoran Indonesia di al-Manshurah. Dia mendapat giliran masak sekali sepekan di sana. Dia mengaku mendapat bagi hasil rata-rata 2000 Pound Mesir tiap bulan, atau sekitar Rp 3 juta. “Alhamdulillah, selalu cukup. Walau tiap akhir bulan selalu habis,” katanya.

Abdul Hakim anak ke 5 dari 5 bersaudara, lahir di Pangkep, Sulsel, 5 Mei 1977. Ayahnya bernama Jurumiyah dan ibunya, Jaweriyah. Sang istri juga lahir di Pangkep, 22 Desember 1977 dari pasangan Yamany dan Ummu Kultsum.

Sang istri juga lulusan DDI. Abdul Hakim menikahi Hatijah pada 2002 setelah menyelesaikan Program Tamhidi II, sedangkan Hatijah saat itu baru selesai S1. Mereka menikah di

kampung. Dan, kini mendapat karunia 4 orang anak, yakni Ubaidillah (9 tahun), Unaisah (7 tahun), Uwais (6 tahun), dan Ukasyah (1 tahun).

Abdul Hakim mengaku tidak punya kiat khusus dalam mendidik anak-anaknya. Katanya, karena dia dan istri belajar setiap hari di rumah, anak-anak pun mencontoh mereka.

Selain dididik di rumah, anak-anak mereka juga mendapat pendidikan yang berkualitas di sekolah Ibtidaiyyah (SD) al-Azhar setempat yang lokasinya di depan rumah mereka. Bayarannya hanya 35 Pound (Rp 52 ribu) Mesir setahun, itu pun hanya untuk biaya buku.

Ubaidillah dan Unaisah kerap mendapat nilai mumtaz di sekolah. Anak-anaknya juga menghafal al-Qur`an. Ubaidillah hafal 9 juz, Unaisah hafal 4 juz, dan Uwais sudah hafal juz ‘Amma atau juz ke 30.

Karena anak-anak mereka belajar di sekolah yang berbahasa Arab, sudah tentu mereka lancar berbicara dengan bahasa Arab. Bahkan, Abdul Hakim mengaku sering mendapat kata-kata baru dari bahasa Arab pasaran (‘ammiyah) dari anak-anak mereka. Uwais bahkan sempat menunjukkan kebolehannya membaca kitab berbahasa Arab kepada Suara Hidayatullah.

Kata Abdul Hakim, justru anak-anaknya tidak lancar bicara dengan bahasa Indonesia. Katanya, hal itu terjadi saat keluarganya mendapat kesempatan pulang kampung waktu evakuasi menyusul Revolusi Mesir tahun 2011 lalu. “Anak-anak terbata-bata bicara dengan kakek-neneknya di kampung,” tuturnya.

 Sang Doktor  

Abdul Hakim dan Hatijah boleh dibilang mahasiswa terlama yang tinggal di al-Mansurah, sudah sekitar 17 tahun mereka menuntut ilmu di sana. Tak heran Abdul Hakim juga cukup dikenal oleh orang-orang asli setempat. Bahkan dia sudah dipanggil Doktor Abdul Hakim meski program S3-nya

belum selesai.Hari-hari Abdul Hakim juga

dipadati dengan kegiatan belajar dan mengajar. Dia dikenal dekat dengan dua ulama Salafi kharismatik setempat, Syaikh Muhammad Hassan dan Syaikh Musthafa al-‘Adawy.

Dia juga mempunyai jadwal tetap memberi pelajaran tambahan kepada mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang belajar di al-Manshurah. Baik itu kajian nahwu-sharaf  (tata-bahasa Arab) ataupun tafsir. Abdul Hakim juga mengajar mahasiswa-mahasiswa jurusan kedokteran asal Malaysia yang kuliah di al-Manshurah. Materinya terbilang unik, yakni membahas fatwa-fatwa kontemporer di bidang kedokteran. 

Kata Abdul Hakim, insya Allah, program S3-nya akan tuntas akhir tahun 2013 ini. Setelah selesai mengurus seluruh dokumen studinya, dia ingin segera pulang kampung dan memboyong istri dan anak-anaknya. Sedangkan Hatijah akan menyelesaikan penulisan disertasinya di kampung dan baru akan kembali ke Mesir menjelang sidang disertasinya.

 Ardhi, mahasiswa Indonesia menyayangkan rencana Abdul Hakim untuk pulang kampung akhir tahun ini. Katanya, dia akan kehilangan seorang guru terbaiknya. “Sayang sekali, masih banyak ilmu yang belum kita ambil dari Ustadz Hakim,” kata mahasiswa S1 tingkat akhir ini.

Tapi tekad Abdul Hakim sudah bu lat. Dia mengaku ingin mendirikan se kolah yang tidak berorientasi bisnis alias non-profit atau bahkan gratis. Dia ju ga tengah mencari-cari rekan-rekan se visi untuk mewujudkan rencananya itu.

Dia mengaku ingin mendirikan lembaga pendidikan seperti almamaternya, Universitas al-Azhar, yang bisa memberikan pendidikan bermutu dengan biaya yang sangat terjangkau bahkan bisa memberikan beasiswa kepada seluruh siswanya yang berprestasi. Surya Fachrizal/Suara Hidayatullah

Page 11: Rubrik jendela keluarga majalah hidayatullah

SUARA HIDAYATULLAH | www.hidayatullah.com76 SUARA HIDAYATULLAH | www.hidayatullah.com76 SUARA HIDAYATULLAH | www.hidayatullah.com76

Diasuh oleh : ustaDz hamim thohari

konsultasi keluarga

SUARA HIDAYATULLAH | www.hidayatullah.com76

Tak Thawaf Wada’karena Haid

Assalamu’alakum warahmatullahi wabarakatuh.

Alhamdulillah, sebulan lalu kami dapat me lak­sa nakan umrah bersama suami. Udara yang sejuk di Makkah dan Madinah menambah kenikmatan dan kekhusyukan ibadah ini.

Seperti biasa, semua rangkaian manasik umrah kami jalankan, mulai dari ihram, thawaf, sa’i, hingga tahallul, termasuk ibadah­ibadah lainnya yang men ­jadi penyempurna ibadah tersebut. Setelah de la pan hari perjalanan umrah, tibalah saatnya kami me­ninggalkan Tanah Haram. Tanpa disangka se be­lum nya saya mendapati haid sesaat sebelum tha waf wada’. Tampaknya kelelahan menjadi faktor pe nye­bab nya. Akhirnya, kami kembali ke Tanah Air tanpa me laksanakan thawaf wada’. Bagaimana hukumnya?

IPDi Makassar

 JAwAB :

Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh.

Kami sangat senang setiap kali mendengar sau­dara­saudara kita, baik berangkat maupun pulang men jalankan ibadah haji atau umrah. Betapa banyak sau dara kita yang telah lama merindukan dapat men­ziarahi Masjidil Haram hingga saat ini masih tertunda. Ber syukurlah kepada Allah yang telah mem beri ke­sem patan.

Menurut beberapa kitab yang kami baca, thawaf wa­da’ adalah rangkain ibadah terakhir yang wajib di la kukan jamaah haji maupun umrah ketika hendak kem bali ke negerinya atau ke tempat yang lain. Me nu rut jumhur ulama, hukum thawaf wada’ wajib, ke cuali me reka yang berhalangan, seperti wanita yang sedang haid.

Tentang kewajiban para jamaah haji maupun um rah untuk menutup rangkaian ibadahnya de­ngan thawaf wada’, Rasulullah SAw bersabda, dari

sa ha bat Ibnu Abbas, beliau berkata, “Orang-orang (yang telah menyelesaikan prosesi ibadah haji dan umrah)  yang  hendak berangkat (me ning galkan Makkah) dari segala penjuru, maka Rasulullah SAW berpesan, janganlah ada seorang pun dari ka-lian yang bertolak meninggalkan Makkah kecuali sa at-saat terkhirnya berada di Bai tullah (thawaf wada’). (Riwayat Muslim dan Abu Daud)

Adapun mengenai hukum thawaf wada’ bagi jamaah wanita yang sedang haid, beberapa Hadits di antaranya dari Ibnu Abbas, Rasulullah SAW memperbolehkan bagi wanita yang sedang haid berangkat meninggalkan Makkah tanpa thawaf wada’.  (Riwayat  Bukhari dan Muslim)

Memang ada sebagian ulama yang meng hu­kumi  sunnah terhadap ibadah ini, sebagaimana Imam Maliki. Beliau berargumentasi, sekiranya hu ­kum nya wajib, maka wanita yang sedang haid pun tetap diwajibkan menjalankan thawaf wada’ se ba­gaimana thawaf ifadhah. Tentu saja kewajiban itu hanya boleh dilaksanakan setelah suci dari haid.

Dalam kaitannya dengan thawaf wada’, kami lebih cenderung mengikuti pendapat jamhur ula­ma yang menyatakan hukumnya wajib bagi se mua jamaah haji maupun umrah yang hendak me­ninggalkan Baitullah, baik untuk pulang ke negeri asalnya maupun untuk keperluan yang lain, kecuali bagi wanita yang sedang haid. Mereka men dapatkan dispensasi atau ruh-shah dari Allah. Mereka bebas meninggalkan Baitullah tanpa me nga khirinya de­ngan thawaf wada’.

Karena hukumnya wajib, maka setiap jamaah haji atau umrah yang meninggalkan kewajiban tha ­waf wada’, baik karena sengaja atau karena ti dak ta­hu, maka wajib atas mereka membayar dam (den da) berupa seekor kambing. Karena pe lang ga ran nya di­lakukan di Tanah Haram, maka dam harus di tu nai kan di Tanah Haram. Cukup bagi mereka me ngi rim kan pembayaran tersebut kepada seseorang yang amanah atau kepada lembaga yang dipercaya. Allahu a’lam.