ruang lingkup filsafat

22
BAB II RUANG LINGKUP FILSAFAT A. Objek Material dan Objek Formal Filsafat. Ilmu pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan. Namun tidak dapat dibalik bahwa kumpulan pengetahuan itu adalah ilmu pengetahuan. Kumpulan pengetahuan untuk dapat disebut ilmu pengetahuan haruslah memenuhi syarat- syarat tertentu. Syarat-syarat yang dimaksudkan di antaranya adalah objek material (material object) dan objek formal (formal object). Objek material adalah sesuatu yang dijadikan sasaran pemikiran (Gegenstand), sesuatu yang diselidiki atau sesuatu yang dipelajari. Objek material mencakup apapun baik hal yang konkrit (badan manusia, badan hewan, tumbuhan, batu, kayu, tanah) maupun hal yang abstrak (misalnya ide-ide, nilai-nilai, angka). Objek formal adalah sudut pandangan, cara memandang, cara mengadakan tinjauan yang dilakukan oleh seorang pemikir atau peneliti terhadap objek material serta prinsip-prinsip yang digunakannya. Objek formal suatu ilmu tidak hanya memberi keutuhan suatu ilmu akan tetapi pada saat yang sama membedakannya dan bidang-bidang lain. Satu bidang objek material dapat ditinjau dari berbagai sudut pandangan sehingga menimbulkan ilmu yang berbeda pula. Sebagai contoh, misalnya objek materialnya adalah “manusia” dan manusia ini ditinjau dari berbagai sudut pandangan sehingga ada beberapa ilmu yang mempelajari manusia di antaranya : fisiologi, anatomi, psikologi, antropologi, sosiologi, ilmu pendidikan dan sebagainya. Istilah “objek material” sering dianggap sama dengan pokok persoalan (subject matter). Pokok persoalan dibedakan dalam dua arti. Arti pertama, pokok persoalan dapat dimaksudkan sebagai bidang khusus dari penyelidikan faktual. Misalnya penelitian tentang atom termasuk dalam bidang fisika, penelitian tentang clorophyl termasuk penelitian bidang botani atau biokimia; penelitian tentang bawah sadar termasuk bidang psikologi. Arti kedua, pokok persoalan dimaksudkan sebagai suatu kumpulan pertanyaan pokok yang saling berhubungan. Anatomi dan fisiologi keduanya bertalian dengan struktur tubuh. Anatomi mempelajari strukturnya, sedangkan fisiologi mempelajari fungsinya. Kedua ilmu itu dapat dikatakan memiliki pokok persoalan yang sama, namun dapat juga dikatakan berbeda. Perbedaan ini dapat diketahui bila dikaitkan dengan corak-corak pertanyaan yang diajukan dan aspek-aspek yang diselidiki dari tubuh tersebut.

Upload: annissa-miyya-olieph-olieeph

Post on 08-Apr-2016

49 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

filsafat islam

TRANSCRIPT

Page 1: Ruang Lingkup Filsafat

BAB II

RUANG LINGKUP FILSAFAT

A. Objek Material dan Objek Formal Filsafat.

Ilmu pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan. Namun tidak dapat dibalik

bahwa kumpulan pengetahuan itu adalah ilmu pengetahuan. Kumpulan

pengetahuan untuk dapat disebut ilmu pengetahuan haruslah memenuhi syarat-

syarat tertentu. Syarat-syarat yang dimaksudkan di antaranya adalah objek

material (material object) dan objek formal (formal object).

Objek material adalah sesuatu yang dijadikan sasaran pemikiran

(Gegenstand), sesuatu yang diselidiki atau sesuatu yang dipelajari. Objek material

mencakup apapun baik hal yang konkrit (badan manusia, badan hewan, tumbuhan,

batu, kayu, tanah) maupun hal yang abstrak (misalnya ide-ide, nilai-nilai, angka).

Objek formal adalah sudut pandangan, cara memandang, cara mengadakan

tinjauan yang dilakukan oleh seorang pemikir atau peneliti terhadap objek material

serta prinsip-prinsip yang digunakannya. Objek formal suatu ilmu tidak hanya

memberi keutuhan suatu ilmu akan tetapi pada saat yang sama membedakannya

dan bidang-bidang lain. Satu bidang objek material dapat ditinjau dari berbagai

sudut pandangan sehingga menimbulkan ilmu yang berbeda pula. Sebagai contoh,

misalnya objek materialnya adalah “manusia” dan manusia ini ditinjau dari berbagai

sudut pandangan sehingga ada beberapa ilmu yang mempelajari manusia di

antaranya : fisiologi, anatomi, psikologi, antropologi, sosiologi, ilmu pendidikan dan

sebagainya.

Istilah “objek material” sering dianggap sama dengan pokok persoalan

(subject matter). Pokok persoalan dibedakan dalam dua arti. Arti pertama, pokok

persoalan dapat dimaksudkan sebagai bidang khusus dari penyelidikan faktual.

Misalnya penelitian tentang atom termasuk dalam bidang fisika, penelitian tentang

clorophyl termasuk penelitian bidang botani atau biokimia; penelitian tentang

bawah sadar termasuk bidang psikologi. Arti kedua, pokok persoalan dimaksudkan

sebagai suatu kumpulan pertanyaan pokok yang saling berhubungan. Anatomi dan

fisiologi keduanya bertalian dengan struktur tubuh. Anatomi mempelajari

strukturnya, sedangkan fisiologi mempelajari fungsinya. Kedua ilmu itu dapat

dikatakan memiliki pokok persoalan yang sama, namun dapat juga dikatakan

berbeda. Perbedaan ini dapat diketahui bila dikaitkan dengan corak-corak

pertanyaan yang diajukan dan aspek-aspek yang diselidiki dari tubuh tersebut.

Page 2: Ruang Lingkup Filsafat

Anatomi mempelajari tubuh dalam aspeknya yang statis, sedangkan fisiologi

mempelajari tubuh dalam aspeknya yang dinamis.

Bertalian dengan pengertian objek material dan objek formal ini, ada

perbedaan antara filsafat dengan ilmu-ilmu khusus (ilmu-ilmu yang bukan filsafat).

Misalnya objek material berupa “pohon kelapa”. Seorang ahli ekonomi akan

mengarahkan perhatiannya (objek formal) pada aspek ekonomi dari pohon itu.

Misalnya berapa harga buahnya, kayunya kalau dijual. Seorang ahli pertanian

mempunyai sudut pandangan yang khusus yang menyangkut pertumbuhan pohon

itu. Misalnya bagaimana caranya agar pohon kelapa itu tumbuh subur. Seorang

ahli biologi akan mengarahkan perhatiannya pada unsur-unsur yang terkandung

dalam pohon, daun dan buahnya. Seorang ahli hukum mengarahkan perhatiannya

pada siapa yang memiliki pohon itu.

Berdasar pada uraian di atas dapat disimpulkan bahwa para ilmuwan yang

ahli di bidang tertentu, mengarahkan pethatiannya pada salah satu aspek dan

objek materialnya. Disiplin ilmu khusus terbatas ruang lingkupnya atau

cakupannya, artinya bidang kajiannya tidak mencakup bidang-bidang lain yang

bukan wewenangnya. Setiap ilmu menggarap kaplingnya masing-masing dan tidak

begitu peduli dengan kapling ilmu lain. Inilah yang disebut otoritas dan otonomi

(kemandirian) keilmuan, yaitu wewenang yang dimiliki seorang ilmuwan untuk

mengembangkan disiplin ilmunya tanpa campur tangan pihak luar. Para ilmuwan

itu hanya berbicara tentang bidangnya sendiri. Pada hal kadangkala setiap

ilmuwan khusus menghadapi persoalan yang tidak dapat diselesaikan hanya

mengandalkan kemampuan ilmu yang dikuasainya. Ada sejumlah persoalan

fundamental yang melampaui wewenang setiap ilmu khusus. Persoalan-persoalan

umum yang ditemukan dalam bidang ilmu khusus itu antara lain seperti yang

berikut.

(a) Sejauh mana batas-batas (ruang lingkup) yang menjadi wewenang masing-

masing ilmu khusus itu? Dari mana ilmu khusus itu mulai dan sampai mana

harus berhenti?

(b) Di manakah sesungguhnya tempat ilmu-ilmu khusus dalam realitas yang

melingkupinya?

(c) Metode-metode yang digunakan ilmu-ilmu itu sampai di mana berlakunya?

Misalnya metode yang digunakan ilmu-ilmu sosial berbeda dengan yang

digunakan ilmu kealaman maupun humaniora.

Page 3: Ruang Lingkup Filsafat

(d) Apakah persoalan hubungan sebab akibat (causality) yang berlaku dalam ilmu

kealaman juga berlaku dalam pula bagi ilmu-ilmu sosial ataupun humaniora.

Misalnya setiap logam kalau dipanaskan pasti memuai. Gejala ini berlaku bagi

semua logam. Panas merupakan faktor penyebab memuainya logam. Akan

tetapi sulit untuk memastikan bahwa setiap kebijakan (policy) pemerintah

menaikkan gaji pegawai negeri akan menimbulkan kenaikan harga barang.

Bisa saja kenaikan harga barang itu disebabkan oleh faktor lainnya misalnya

adanya inflasi, banyaknya permintaan konsumen, langkanya barang tertentu

yang sangat dibutuhkan masyarakat. Kenaikan gaji pegawai negeri agaknya

hanya salah satu dan beberapa sebab.

Contoh-contoh yang dikemukakan menunjukkan bahwa setiap ilmu khusus

menjumpai problim-problim yang bersifat umum atau bersifat kefilsafatan. Problim

semacam itu tidak dapat dijawab oleh ilmu itu sendiri (meskipun muncul dan ilmu

itu), karena setiap ilmu memiliki objek material yang terbatas.

Filsafat melampaui ilmu-ilmu khusus, baik dalam objek material maupun objek

formal. Objek formal filsafat terarah pada keumuman yang ada pada ilmu-ilmu

khusus. Dengan tinjauan yang terarah pada keumuman itu, filsafat berusaha

mencari hubungan-hubungan di antara bidang-bidang ilmu yang bersangkutan.

Kegiatan filsafat yang demikian itu disebut multidisipliner.

B. Persoalan Filsafat

Timbulnya filsafat karena manusia merasa kagum, heran dan takjub terhadap

gejala yang dihadapi. Pada tahap awalnya kekaguman, keheranan dan ketakjuban

itu terarah pada gejala-gejala alam misalnya gempa bumi, gerhana matahari,

banjir, pelangi. Orang yang heran berarti ada sesuatu yang tidak diketahuinya, atau

dia menghadapi persoalan. Problim inilah yang ingin dipecahkan oleh para filsuf

sehingga diperoleh jawaban. Dari mana jawaban diperoleh? Kalau jaman sekarang

jawaban lebih mudah diperoleh misalnya dari orang lain, membaca buku, atau

mendengarkan ceramah. Pada waktu itu yaitu awal dari munculnya filsafat, banyak

orang yang tidak mengetahui, maka untuk memperoleh jawaban dilakukan dengan

mengadakan refleksi (berpikir tentang pikirannya sendiri) yaitu bertanya pada

dirinya sendiri, dipikirkan sendiri dan dijawab sendiri. Dalam hal ini tidak semua

problim itu mesti problim filsafat. Ada problim sehari-hari, problim ilmiah, problim

filsafat dan problim agama. Problim filsafat berbeda dengan problim yang bukan

flisafat terutama yang menyangkut materi dan cakupannya.

Page 4: Ruang Lingkup Filsafat

Ciri-ciri problim filsafat adalah sebagai benikut.

(1) Bersifat sangat umum. Problim keflisafatan tidak bersangkutan dengan objek-

objek atau peristiwa-peristiwa khusus. Dengan kata lain sebagian problim flisafat

bersangkutan dengan ide-ide besar (great ideas), misalnya ide tentang kebenaran

(truth), kebaikan (goodness) dan keindahan (beauty). Ide-ide pokok itu masing-

masing bersangkutan dengan lingkungan tertentu atau dikenakan bagi pokok

persoalan tertentu.

Kebenaran secara umum bersangkutan dengan pemikiran dari cabang filsafat

yang disebut logika. Wacana-wacana dalam bidang pengetahuan, khususnya

pengetahuan ilmiah, dipengaruhi oleh ide kebenaran. Orang berbicara tentang

kebenaran dalam bidang ilmu pengetahuan, matematika, filsafat, sejarah, agama,

teologi. Kebenaran juga dipersoalkan apakah hanya ada dalam pertimbangan

pikiran ataukah dalam pengungkapannya dalam bentuk bahasa, atau pada

kemampuan pencerapan indera atau pada pengalaman-pengalaman manusia.

Persoalan-persoalan yang bersangkutan dengan ide kebenaran sangat luas.

Apakah ukuran kebenaran itu? Bagaimana hubungan antara kebenaran dengan

kenyataan. Macam-macam kebenaran, misalnya kebenaran teoritis dan kebenanan

praktis, kebenaran illahi dan kebenaran manusiawi, kebenaran kata dan kebenaran

makna. Segi moral dan kebenaran, misalnya pensaratan untuk menemukan

kebenaran di antaranya kemerdekaan berpikir dan kebebasan berdiskusi.

Kebaikan pada umumnya bersangkutan dengan kehendak manusia atau

realisasinya dalam tindakan atau tingkah laku dan merupakan pokok persoalan

dalam etika atau moral. Ide tentang kebaikan (goodness) atau yang baik (the good)

atau sifat baik (good) dapat dikatakan bersangkutan dengan manusia, benda

maupun Tuhan. Orang dikatakan baik kalau dia sering menolong atau membantu

orang lain. Suatu kehendak dikatakan baik kalau dilatarbelakangi dorongan tanpa

pamrih. Suatu kehidupan keluarga dikatakan baik kalau keluarga itu hidup

sejahtera dan bahagia dan dihargai masyarakat. Suatu masyarakat dikatakan baik

kalau kehidupan sekelompok orang yang sifatnya adil dan suasana damai. Sebuah

pisau dikatakan baik karena benda itu tajam dan enak digunakan. Sebuah lukisan

dikatakan baik dalam arti lukisan itu baik dilihat dan menimbulkan perasaan

senang. Dalam ajaran agama ada ungkapan yang menyatakan “Tuhan itu maha

baik”.

Bertitik tolak dari ide kebaikan, manusia dalam melakukan tindakan yang

menyangkut sesama manusia pada umumnya berpijak pada tiga ide pokok lainnya

Page 5: Ruang Lingkup Filsafat

yaitu keadilan, persamaan dan kebebasan. Ketiga ide itu merupakan tiga serangkai

ide sebagai dasar dan ukuran dalam berbagai perbuatan seseorang dalam

hubungannya dengan orang-orang lain. Keadilan, persamaan dan kebebasan

merupakan tiga serangkai ide pokok secara bersama-sama menjadi cita yang baik

bagi perbuatan manusia dalam kehidupan masyarakat di manapun. Berbuat adil

berarti berbuat baik atau mewujudkan ide kebaikan. Menghargai persamaan dan

kebebasam pada orang lain berarti berbuat baik atau mewujudkan ide kebaikan.

Keindahan pada umumnya dikaitkan dengan perasaan senang dan

merupakan persoalan pokok dalam estetika (filsafat keindahan) dan seni (art).

Keindahan memberikan kepada manusia perasaan senang atau pengalaman yang

menyenangkan. Ide keindahan atau hal yang indah dalam kehidupan manusia

bertebaran dalam alam dan seni.

(2) Bersifat spekulatif. Persoalan filsafat yang dihadapi manusia melampaui batas

pengetahuan sehari-hari bahkan melampaui batas pengetahuan ilmiah.

Pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang berifat empiris atau pengetahuan

yang menyangkut fakta atau kenyataan yang dapat diindera. Pengetahuan fakta

adalah pengetahuan yang dapat diukur, dihitung atau ditimbang yang dinyatakan

dalam bentuk angka-angka atau bersifat kuantitatif. Memang ada fakta tentang

filsafat, misalnya Plato menulis buku “Republik”, dan Immanuel Kant meninggal

tahun 1804. Bila seseorang menanyakan pada Anda tentang “Apa filsafat anda?”,

berarti jawabannya bukanlah definisi-definisi atau fakta-fakta historis yang Anda

ketahui atau informasi khusus yang Anda miliki melainkan Anda mencoba

menyatakan makna tentang apa yang Anda ketahui dan Anda punyai.

Misalnya seorang ilmuwan memikirkan salah satu dan beberapa kejadian

alam yang disebut “hujan”. Ilmuwan dapat memikirkan sebab-sebab terjadinya

hujan dan memberikan deskripsi tentang kejadian itu. Dalam suatu kawasan

ilmuwan dapat meramal daerah-daerah mana yang terkena hujan yang tinggi

rendahnya hujan dapat dinyatakan dalam bentuk ukuran yang besifat kuantitatif.

Namun ilmuwan tidak mempersoalkan maksud dan tujuan hujan, karena hal itu di

luar batas kewenangan ilmiah. Ia tidak menanyakan apakah ada “kekuatan” atau

“tenaga” yang mampu menimbulkan hujan. Ilmuwan tidak memikirkan apakah

kekuatan atau tenaga yang menimbulkan hujan itu berwujud materi atau bukan-

materi. Pemikiran tentang “maksud”, “tujuan” dan “kekuatan” itu bersifat spekulatif,

artinya melampaui batas-batas pengetahuan ilmiah.

Page 6: Ruang Lingkup Filsafat

Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh para filsuf melampaui batas-batas

pengetahuan yang telah mapan (established), artinya para filsuf itu berusaha untuk

menduga kemungkinan yang akan terjadi. Para filsuf telah memberikan sumbangan

yang penting dengan membuat terkaan-terkaan yang cerdik (intelligent guess)

tentang hal-hal yang tidak tercakup dalam pengetahuan yang sekarang dimiliki

masyarakat.

Misalnya tentang ”kematian”, “kebahagiaan”, “masyarakat adil makmur”,

“manusia seutuhnya”, “civil society”. Dalam sejarah filsafat Yunani dicatat bahwa

Democritos (460-370 SM) menyatakan jauh sebelum bukti-bukti ilmiah kemudian

membuktikan adanya atom-atom. Demikian pula Empedocles (w. 433 SM)

mengajukan teori tentang evolusi jauh sebelum para ilmuwan biologi menarik

kesimpulan yang sama tentang teori itu. Banyak temuan-temuan ilmiah dalam

bidang psikologi dan sosiologi yang memperkuat teori-teori filsafat yang telah

dikemukakan sebelumnya oleh para filsuf. Namun tidak dapat diingkari bahwa para

filsuf telah mengajukan banyak sekali terkaan namun kemudian ditolak oleh fakta-

fakta yang dikemukakan oleh para ilmuwan.

Para filsuf merenungkan apa hakikat kenyataan sampai melampaui batas-

batas pengetahuan ilmiah yang bersifat empiris. Pertanyaan-pertanyaan apakah

Tuhan itu ada atau tidak, apakah ada nilai-nilai yang terdalam, apakah ada tujuan

terakhir dan semua yang ada. Pertanyaan-pertanyaan semacam itu tidak ditujukan

pada seorang ilmuwan, akan tetapi ditujukan pada seorang filsuf. Pertanyaan

kefilsafatan bukanlah pertanyaan yang menyangkut fakta yang mungkin ilmuwan

dapat menjawabnya. Pertanyaan-pertanyaan kefilsafatan menanyakan nilai-nilai

dan makna-makna dan bahkan mencakup nilai dan maka itu sendiri. Jawaban atas

pertanyaan kefilsafatan menuntut perenungan secara imajinatif, dan kesiapan

untuk melampaui fakta-fakta dengan maksud dapat merumuskan beberapa

hipotesis yang lebih dapat dipahami daripada semata-mata meninjau secara ilmiah.

(3) Bersangkutan dengan nilai-nilai. Persoalan-persoalan kefilsafatan bertalian

dengan keputusan-keputusan tentang pernilaian moral, estetis, agama dan sosial.

Filsafat merupakan kegiatan untuk mencari kebijaksanaan atau kearifan (wisdom),

jadi bukan mencari informasi tentang fakta-fakta. Yang dimaksud dengan wisdom

adalah suatu sikap menilai dan menimbang-nimbang sejumlah tindakan dengan

memberikan penafsiran yang masuk akal.

Nilai (value) adalah keberhargaan atau keunggulan pada sesuatu hal yang

menjadi objek dan keinginan manusia yang didambakan, diperjuangkan dan

Page 7: Ruang Lingkup Filsafat

dipertahankan. Dengan adanya nilai-nilai yang ada dalam kehidupan manusia,

maka manusia merasa senang, merasa puas atau merasa bahagia. Nilai-nilai

bersangkutan dengan pemahaman dan penghayatan manusia. Para filsuf

mendiskusikan pertanyaan tentang nilai-nilai yang terdalam (ultimate values).

Kebanyakan pertanyaan kefilsafatan berkaitan dengan hakikat nilai-nilai. Hasil-hasil

pemikiran manusia tentang alam, kedudukan manusia dalam alam, sesuatu yang

dicita-citakan manusia, semuanya itu secara tersirat mengandung nilai-nilai.

Misalnya pertanyaan “apakah Tuhan itu? Jawaban yang diberikan berupa norma-

norma yang digunakan dalam menilai tindakan dan memberi bimbingan dalam

mengadakan pilihan atas perbuatan yang akan dilakukan.

Ada perbedaan antara flisafat dan ilmu dalam kaitannya dengan masalah

nilai-nilai. Ilmu pengetahuan menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang fakta-fakta

yang bersifat kuantitatif. Ilmu pengetahuan tidak memberikan jawaban tentang apa

yang seharusnya dilakukan oleh seorang ilmuwan. Apabila seorang ilmuwan

diajukan pertanyaan tentang hydrogin cyanide dan penicilin, maka mereka akan

menjawab bahwa hydrogin cyanide adalah racun yang baik, sedangkan penicilin

adalah zat pembunuh kuman. Jawaban ilmuwan hanya berupa fakta-fakta. Dalam

hal ini ilmuwan tidak memberikan jawaban atas pertanyaan apakah euthanasia

atau mematikan (bukan membunuh) pasien karena belas kasihan (mercy killing)

dapat dibenarkan secara moral ataukah tidak.Hanya mengandalkan ilmu saja, para

ilmuwan tidak mengetahui apa yang seharusnya dilakukan terhadap penicilin dan

hydrogin cyanide.

(4) Bersifat kritis. Filsafat merupakan analisis secara kritis terhadap konsep-

konsep dan asumsi-asumsi yang biasanya diterima dengan begitu saja oleh para

ilmuwan tanpa sebelumnya diperiksa secara kritis. Setiap bidang pengalaman

manusia baik yang menyangkut ilmu maupun agama mendasarkan penyelidikannya

pada anggapan-anggapan dasar (assumption) yang diterima sebagai titik tolak

untuk pangkal berpikir atau berbuat. Asumsi-asumsi itu diterima dengan begitu saja

dan diterapkan tanpa diperiksa secara kritis. Salah satu tugas utama ahli filsafat

atau seorang filsuf adalah memeriksa dan menilai asumsi-asumsi, mengungkapkan

artinya dan menentukan batas-batas penerapannya.

(5) Bersifat sinoptik. Dengan pandangan sinoptik dimaksudkan “meninjau hal-

hal atau benda-benda secara menyeluruh”. Ilmu hanya membahas aspek khusus

atau aspek tertentu dan benda-benda. Dalam menghadapi kenyataan yang manusia

terlibat di dalamnya, para filsuf berusaha mengadakan generalisasi, mengadakan

Page 8: Ruang Lingkup Filsafat

sintesis, mengadakan kritik dan menyatupadukan (mengintegrasikan). Dengan

demikian persoalan filsafat mencakup struktur kenyataan sebagai suatu

keseluruhan. Filsafat merupakan ilmu yang membuat susunan kenyataan sebagai

keseluruhan.

(6) Bersifat implikatif. Kalau sesuatu persoalan kefilsafatan sudah dijawab, maka

dari jawaban itu akan memunculkan persoalan baru yang saling berhubungan.

Jawaban yang dikemukakan mengandung akibat-akibat lebih jauh yang menyentuh

kepentingan-kepentingan hidup yang pokok bagi manusia. Pertanyaan-pertanyaan

mutakhir yang menyangkut manusia misalnya : Apakah manusia seutuhnya itu?

Apakah manusia yang berkualitas itu? Apakah negara yang adil dan makmur itu?

Semua pertanyaan yang diajukan itu bersifat implikatif karena pertanyaan itu

sebagai kelanjutan (implikasi) dari jawaban pertanyaan yang jauh sebelumnya

sudah dipersoalkan oleh para filsuf yaitu: Apakah manusia itu?

C. Pertanyaan Kefilsafatan

Menurut Plato, filsafat dimulai karena adanya rasa kekaguman, ketakjuban

(Ingg. Wonder; Yun. Thauma). Orang yang kagum atau heran berarti ia

menghadapi problim. Ada sesuatu yang tidak diketahui dan yang dihadapi,

misalnya dari mana asalnya dan bagaimana sifat-sifatnya. Pada jaman dahulu

sekitar 6 abad sebelum Masehi di Yunani, tempat munculnya filsafat, manusia

kagum terhadap kejadian-kejadian alam yang merusak misalnya gempa bumi,

banjir, badai, wabah penyakit, bencana kelaparan. Pada tahap awal kekaguman

manusia lebih terarah pada hal-hal yang bersangkutan dengan alam semesta, atau

hal-hal yang di luar diri manusia. Namun dalam perkembangan lebih lanjut manusia

juga kagum terhadap dirinya sendini, sehingga dia menanyakan “siapakah saya”,

“darimana asalnya saya”, “kemana pada akhimya saya “.

Hal yang tidak diketahui itu merupakan problim bagi manusia yang harus

diperoleh jawabannya. Untuk memenuhi ketidaktahuannya itu manusia mulai

mengajukan pertanyaan. Pada tahap awalnya, pertanyaan itu tidak ditujukan pada

orang lain karena orang lain yang ditanya itu juga tidak tahu. Berdasar pada

ketidaktahuan orang lain itulah maka pertanyaan itu ditujukan pada dirinya sendiri.

lnilah yang disebut berefleksi atau berfilsafat. Mereka berfilsafat hanya sekedar

memperoleh pengetahuan tanpa adanya dorongan (motif) untuk menggunakannya.

Akal manusia mempunyai dua fungsi. Manusia menggunakan akalnya dengan cara

deliberative (menurut Aristoteles praktikos, yaitu yang menyangkut perbuatan).

Page 9: Ruang Lingkup Filsafat

Manusia berpikir tentang perbuatan-perbuatan apa yang harus dipilih dalam

kerangka tujuan yang terakhir. Di lain pihak, muncul suatu keadaan dimana muncul

suatu pemikiran yang tidak menyangkut tindakan. Pada kasus yang kedua ini

manusia tertarik untuk memperoleh kebenaran tentang sesuatu yang tidak ada

sangkut pautnya dengan tujuan-tujuan praktis. Manusia hanya sekedar

mengetahui. ini disebut pemakaian akal secara contemplative (Aristoteles

menggunakan kata theoretikos yang berarti bersangkutan dengan mengetahui).

Dalam perkembangan lebih lanjut, problim-problim yang dihadapi para filsuf

jawabannya dapat diperoleh dengan berpikir sendiri atau ditanyakan kepada orang

lain dengan mengadakan dialog (tanya jawab). Pengetahuan yang dicari para filsuf

mencakup baik pengetahuan tentang dunia tempat mereka hidup yaitu yang

menyangkut pertanyaan apakah sesuatu hal itu (knowledge of what is) dan juga

pengetahuan tentang “apa yang seharusnya diperbuat (knowledge of what ought to

be). Pengetahuan tentang dunia yang mengelilingi manusia sebagian merupakan

apa yang sekarang disebut ilmu (science), sehingga para filsuf angkatan pertama

adalah juga sebagai ilmuwan. Di samping mencari pengetahuan tentang dunia

yang mengelilinginya dan pengetahuan tentang kehidupan yang baik para filsuf

mengadakan refleksi tentang apa yang mereka perbuat dan mengadakan

pemeriksaan secara kritis terhadap dasar-dasar pengetahuan.

Filsuf Yunani Socrates (469-399 SM) tidak hanya tertarik untuk memperoleh

pengetahuan tentang jenis kehidupan yang dianggap paling benilai, namun ia juga

mengadakan pemeriksaan tentang dasar-dasar sesuatu kehidupan yang lebih

bernilai dibanding dengan kehidupan yang lain.

Plato (427-347 SM), menulis tentang masyarakat yang dicita-citakan (ideal

society), dimana terwujud keadilan yang sempurna dan juga meneliti makna kata

“keadilan” serta meneliti pelbagai cara untuk menetapkan apakah sesuatu

masyarakat dikatakan adil ataukah tidak.

Demikian juga Aristoteles (384-322 SM), sebagai murid Plato, tidak hanya

menulis buku-buku tentang fisika, biologi dan psikologi, tetapi juga menulis tentang

logika, dan juga epistemologi (teori pengetahuan).

Terhadap sesuatu problim para filsuf di samping memikirkan sendiri, namun

untuk memperoleh jawaban yang berupa kebenaran mereka juga mengadakan

dialog-dialog (tanya jawab). Kata dialog berasal dan kata Yunani dialectic yang

berarti bercakap-cakap. Dalam filsafat Yunani, dialektic berarti kemahiran (art)

untuk mençari kebenaran melalui percakapan. Menurut Socrates, dialog

Page 10: Ruang Lingkup Filsafat

merupakan kegiatan kefilsafatan yang pokok dan penting. Kebenaran tidak pernah

selesai, sehingga perlu mendengar pendapat atau buah pikiran orang lain. Karena

itu dalam melaporkan dan menerangkan filsafat, Socrates dan Plato menggunakan

bentuk dialog.

Ada beberapa ciri metode dialektis yang perlu mendapat perhatian khusus.

Berpikir secara dialektis adalah:

(1) Memeriksa perbedaan-perbedaan dengan maksud untuk memperoleh

kesamaan-kesamaan dasar.

(2) Memeriksa kesamaan-kesamaan yang nampak dengan maksud untuk

memperoleh perbedaan-perbedaan yang penting sehingga dapat mengetahui

hubungan di antara perbedaan itu.

(3) Memahami masing-masing gagasan dalam konteks yang lebih luas.

Keheranan (wonder) para filsuf akan diikuti dengan mengajukan pertanyaan.

Ada beberapa bentuk pertanyaan kefilsafatan.

(1) Pertanyaan Apa (What).

Pertanyaan yang diajukan oleh para filsuf yang pertama kali adalah

pertanyaan “apa”. Misalnya ditanyakan “Apakah gempa itu?”; “Apakah pelangi

itu?”; “Apakah hujan itu?”; “Apakah manusia itu?”. Pertanyaan ini dimaksudkan

agar dapat diperoleh pengetahuan tentang “keapaan” (whatness) dan sesuatu

hal, atau pengetahuan tentang hakikat atau essensi dan sesuatu yang

ditanyakan. Hakikat ini dianggap menentukan adanya sesuatu hal. Dengan

pertanyaan “apa” diharapkan dapat diperoleh pengetahuan yang bersifat

teoritis, artinya sekedar memperoleh pengetahuan tentang sifat-sifat hakikat

atau sifat-sifat yang menentukan keapaan sesuatu hal.

(2) Pertanyaan Mengapa (Why).

Para filsuf tidak puas dengan hanya memperoleh pengetahuan tentang

sifat-sifat sesuatu hal yang dihadapi. Pikirannya bergerak lebih lanjut sehingga

mengajukan bentuk pertanyaan yang lain yaitu “mengapa”. Ketika menghadapi

dunia para filsuf merasa bahwa dirinya belum mengetahui dan untuk itu

berhasrat memperoleh bentuk pengetahuan yang lain dengan menanyakan

mengapa peristiwa itu dapat terjadi. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan

akan sia-sia kecuali kalau di dunia ini terdapat sifat-sifat yang saling berkaitan

yang memberikan dasar bagi jawaban yang akan diperoleh. Sifat-sifat yang

terdapat dalam dunia didekati dengan berbagai cara dari berbagai jenis

pertanyaan sesuai dengan keperluan, kebiasaan dari perspektif intelektual yang

Page 11: Ruang Lingkup Filsafat

mengajukan pertanyaan. Pada umumnya untuk memperoleh pengetahuan

tentang sifat-sifat yang saling berkaitan adalah dengan mengajukan pertanyaan

mengapa. Pertanyaan mengapa mengandung tiga arti yaitu:

(a) sebab (causal)

(b) tujuan (telic)

(c) struktural (structural)

(a) Pertanyaan “mengapa” yang berarti sebab (causal).

Dengan mengajukan pertanyaan mengapa, manusia ingin mengetahui

peristiwa-peristiwa yang mendahului atau peristiwa yang mengakibatkan

terjadinya sesuatu gejala. Misalnya pertanyaan “Mengapa terjadi halilintar?”

Jawabnya, karena muatan listrik (kilat) berbenturan dengan awan.

“Mengapa Anda pincang?” Dijawab, karena lutut saya luka. Penemuan dan

generalisasi tentang hubungan sebab-akibat (kausal) dilakukan dengan

metode empiris, dengan mendasarkan diri pada banyaknya rangkaian

peristiwa yang telah terjadi dalam kondisi yang terkontrol.

(b) Pertanyaan “mengapa” yang berarti tujuan (telic).

Seringkali kalau ada orang diajukan pertanyaan “Mengapa Anda pergi

ke Malioboro?” Jawaban yang dikemukakan misalnya “untuk membeli

buku”; “untuk membeli baju”; “untuk meilihat-lihat saja”; “hanya sekedar

jalan-jalan”. Dengan pertanyaan semacam itu, berarti orang tidak

mengharapkan memperoleh pengetahuan tentang sebab seseorang

melakukan perbuatan akan tetapi menanyakan tujuan mengapa dia

melakukan hal itu. Jawaban atas pertanyaan “mengapa” merupakan suatu

peristiwa yang terjadi sesudah perbuatan pokoknya. Jadi, kegiatan “pergi”

ini mendahului perbuatan “membeli” buku.

(c) Pertanyaan “mengapa” yang berarti struktural.

Kadang-kadang pertanyaan “mengapa” dijawab tidak dengan meninjau

ke belakang (masalah sebab) atau dengan meninjau ke depan (masalah

tujuan). Dalam hal ini pertanyaan mengapa jawabannya dilakukan dengan

menghubung-hubungkan gagasan-gagasan khusus dengan kumpulan

gagasan yang sudah dikenal. Misalnya “Sekarang dingin, karena musim

hujan”; “Ia berbicara seperti itu sebab ia mahasiswa fakultas filsafat”.

Dengan demikian jawaban yang diberikan seseorang berdasarkan struktur

yang lebih rumit. Hal-hal seperti itu terutama berdasar pada struktur yang

agak ilmiah dan teologis misalnya “ Ia bertingkah laku seperti itu sebab

Page 12: Ruang Lingkup Filsafat

menderita perasaan rendah diri”; Semua yang terjadi adalah wujud dari

kekuasaan Tuhan”.

Ada kemungkinan untuk menafsirkan kembali sesuatu penjelasan

struktural (seperti halnya penjelasan tujuan) sebagai kumpulan penjelasan

menurut sebab; cara ini banyak dilakukan oleh kaum positivisme. Bagi

penganut positivisme, suatu penjelasan yang bukan kausal (sebab) tidak

dianggap sah secara objektif.

D. Rintangan Berpikir Secara Jelas.

Berpikir bagi manusia merupakan sarana untuk memahami kenyataan atau

untuk memecahkan masalah sehari-hari atau masalah yang bersifat ilmiah.

Semuanya itu tidak dengan begitu saja dapat dilakukan melainkan ada rintangan-

rintangan sehingga kegiatan berpikir itu tidak mencapai sasaran sebagaimana

yang diharapkan. Seperti halnya rintangan dalam berbicara yang memungkinkan si

pembicara tidak dapat berbicara secara jelas, demikian pula ada beberapa

rintangan yang menghambat manusia untuk dapat berpikir secara jelas. Hal-hal

seperti emosi, kepentingan pribadi, tekanan-tekanan dari luar dapat menyesatkan

pemikiran. Rintangan-rintangan untuk berpikir secara jelas dapat merupakan sebab

sehingga ilmu dan filsafat menjadi sesat. Secara khusus rintangan-rintangan ini

mempengaruhi dan menyesatkan pengetahuan sehari-hari atau pengetahuan akal-

sehat (common sense).

Francis Bacon (1564-1626) inembenikan contoh-contoh kiasik tentang

kesalahan-kesalahan berpikir yang disebutnya Idols of the Mind, yang terdin atas

the Idols of the Tribe, the Idols of the cave, the Idols of the Market-place dan the

Idols of the Theater.

1. Idola Kesukuan (Idols of the Tribe). Idola ini bersumber pada sifat dasar

manusia sendiri yaitu bahwa setiap manusia mesti terikat pada lingkungan

kesukuan, ras, atau golongan-golongan. Manusia cenderung untuk setuju terhadap

hal-hal yang sesuai dengan dirinya sendiri. Dengan demikian mereka dengan

mudah sampai pada kesimpulan dan tidak mengetahui bukti-bukti yang saling

bertentangan. Hal ini secara khusus dapat terjadi apabila melibatkan kepentingan

ras, suku atau kelompok. Temperamen seseorang mungkin ditentukan oleh

jabatan atau status sosialnya. Orang suka bekerjasama dengan mereka yang

memiliki selera dan pandangan yang sama. Kelompok orang-orang tertentu

Page 13: Ruang Lingkup Filsafat

cenderung untuk menerima kesimpulan-kesimpulan yang sama dan berbagai

kepentingan kemungkinan dapat menguasai mereka.

2. Idola Goa (Idols of the cave). Idola ini bersangkutan dengan manusia

sebagai individu. Setiap manusia dikiaskan mempunyai goa (cave) atau kandang

(den) nya sendiri-sendiri yang dapat memberi warna sifàt-sifatnya. Manusia

cenderung menmjau dirinya sebagai pusat dari dunia sekelilingnya. Semua

penafsiran ditentukan oleh sudut pandangan pribadinya dan terbatas. Mereka

cenderung melebih-lebihkan pengetahuan yang disenanginya yang diperoleh dari

bacaan dan pengalaman pnibadi.

3. Idola Pasar (Idols of the Market-place). Idola ini timbul karena penggunaan

kata-kata dan nama-nama dalam pembicaraan sehari-hari. Bahasa dapat

menyesatkan manusia untuk menjelaskan gagasan-gagasan. Pemilihan kata-kata

yang jelek dan tidak tepat dapat menimbulkan pemikiran yang sesat. Hal ini dapat

terjadi bila manusia menggunakan kata-kata yang kabur, bermakna ganda

(ambigous) dan emosional. Kata-kata seperti orang komunis, orang Islam,

kelompok radikal, gerakan ekstrim artinya mungkin tidak jelas. Kata-kata itu dapat

membangkitkan emosi dan menimbulkan perilaku yang salah bila diterapkan.

4. Idola Teater (Idols of the Theater). Idola ini terjadi karena keterikatan

manusia pada partai, keyakinan, dogma-dogma, filsafat, ilmu, agama dan sistem-

sistem pemikiran pada waktu tertentu. Sistem-sistem yang diterima sedemikian

banyaknya yang menjadi dunia ciptaan manusia sendiri. Semuanya itu dapat

mempengaruhi manusia karena dianut oleh orang banyak. Mode-mode, hobby

dengan mudah dapat menggoncangkan kehidupan manusia. Isme-isme, ideologi,

aliran-aliran pemikiran dalam bidang filsafat, ekonomi, politik dan seni dapat

mempengaruhi alam pikiran penganutnya dan mereka dapat menyimpulkan secara

sesat.

Rintangan-rintangan untuk berpikir secara jelas, di samping karena empat

hal di atas juga dapat diungkapkan dengan cara lain yaitu karena prasangka,

propaganda dan autoritarianisme. Prasangka selalu menghalangi manusia untuk

berpikir secara lurus. Akal manusia sering sulit menerima pendapat orang lain

kecuali kalau semua bukti sudah dikemukakan. Meskipun bukti-bukti sudah

dikumpulkan, prasangka sering menghambat untuk menyimpulkan secara lurus.

Prasangka biasanya berdasar pada emosi dan cenderung sesuai dengan

kesenangan dan kepentingan pribadi. Bila orang berprasangka, ia berusaha untuk

Page 14: Ruang Lingkup Filsafat

merasionalisasikan, berusaha menemukan “alasan” atas hal-hal yang

dipercayainya

Orang tidak dapat berpikir secara jelas karena terpengaruh oleh

propaganda. Bila manusia ingin menghadapi fakta-fakta dan berpikir jelas,

pemikirannya dapat sesat karena informasi-informasi yang diterima dapat

diputarbalikkan. Para ahli propaganda menggunakan radio, tv, surat kabar dan film

untuk mengendalikan pemikiran manusia. Para ahli propaganda pertama-tama

membangkitkan emosi atau keinginan orang dan kemudian dengan cara yang

sugestif menyajikan cara bertindak yang kelihatannya dengan cara yang

memuaskan bagi perwujudan emosi atau keinginan.

Rintangan lain yang menghambat berpikir secara jelas adalah authority

(kewibawaan atau wewenang). Ketertarikan secara tidak kritis atau membuta

adalah suatu metode untuk memperoleh pengetahuan yang tidak filsafat dan tidak

ilmiah. Authority dapat berupa kebiasaan, tradisi, keluarga, agama, negara atau

media massa. Penerimaan secara tidak kritis dan authority disebut

authoritarianism. Bila seseorang menerirna pengetahuan atau informasi dan

authority secara tidak kritis berarti usahanya untuk menentukan mana yang benar

dan mana yang salah menjadi tidak bebas. Cara yang tepat untuk menerima

pengetahuan atau informasi dan authority adalah cara yang kritis dalam arti tidak

menerima begitu saja melainkan penerimaan tentng kebenaran pengetahuan ini

dapat dilakukan setelah diperoleh bukti-bukti yang memperkuatnya.

E. Prinsip-prinsip Pemikiran

Berpikir secara ilmiah dan berpikir secara kefilsafatan mempunyai tujuan yang

sama yaitu untuk memperoleh kebenaran. Proses berpikir yang khas disebut

penalaran (reasoning) yang tahap terakhir adalah memperoleh kesimpulan

(inference) yang benar dari segi isinya dan valid dari segi bentuknya. Penalaran

adalah suatu corak pemikiran yang khas yang dimiliki manusia untuk dari

pengetahuan yang ada kemudian memperoleh pengetahuan airnya terutama

sebagai sarana untuk memecahkan sesuatu masalah. Supaya kebenaran itu dapat

diperoleh maka dalam berpikir tersebut hams mengikuti prinsip-prinsip berpikir.

Istilah Prinsip-prinsip berpikir, disebut dengan nama yang berbeda. Misalnya

Ueberweg menyebutnya dengan Axioms of lnference, John Stuart Mill

menyebutnya denganUniversal Postulates of Inference. Istilah prinsip dapat

diartikan dengan kaidah atau hukum, yang inti artinya adalah suatu pernyataan

Page 15: Ruang Lingkup Filsafat

yang mengandung kebenaran universal. Kebenaran ini tidak terbatas oleh ruang

dan waktu, dimana dan kapan saja dapat digunakan. Prinsip itu tidak

membutuhkan suatu pembuktian, yang jelas atau terbukti dengan sendirinya (self-

evident), karena terlalu sederhana, maka prinsip itu disebut dengan aksioma atau

prinsip dasar.

Aksioma berasal dari bahasa Yunani axioma “yang dipikirkan bernilai”.

Aksioma atau assumsi di dalam logika berarti keterangan yang kebenarannya

diterima tanpa pembuktian lebih lanjut untuk menjadi dasar awal atau pegangan

dalam sesuatu penalaran. Dalam arti umum aksioma dapat didefinisikan sebagai

suatu pemyataan yang mengandung kebenaran universal yang kebenarannya

sudah terbukti dengan sendirinya (self-evident). Aksioma merupakan sesuatu hal

yang diterima sebagai pernyataan yang bersifat universal, dan merupakan

pernyataan fundamental yang tidak dapat dideduksikan dan pernyataan lain serta

sebagai titik totak dan diperolehnya suatu kesimpulan. Misalnya aksioma yang

dikemukakan oleh Euklidus, seorang ahli geometrika Iskandariah di sekitar tahun

300 SM, yang menyatakan “suatu keseluruhan lebih besar daripada sebagian”.

Pernyataan semacam ini merupakan suatu keterangan yang jelas atau terbukti

dengan sendirinya, secara langsung dapat dimengerti sehingga tidak perlu

membutuhkan hal-hal lain untuk membuktikan kebenarannya.

Prinsip-prinsip berpikir ada empat, yang dikemukakan oleh Aristoteles dan

Leibniz. Aristoteles mengemukakan 3 prinsip yaitu: Prinsip kesamaan (principle of

identity), prinsip kontradiksi (principle of contradiction) atau ada yang menyebut

princip tidak ada pertentangan (principle of non-contratiction) dan prinsip

penyisihan jalan tengah atau prinsip tidak ada kemungkinan ketiga (principles of

excluded middle). Sedangkan Gottfried Wilhelm von Leibniz (1646-1716)

mengemukakan satu prinsip cukup lalasan (principle of sufficient reason).

(1) Prinsip kesamaan. Dalam istilah Latin disebut principium identitatis. Prinsip

kesamaan dapat berarti secara ontologis dan secara logis. Dalam anti ontologis

adalah “sesuatu yang ada itu ada” atau “sesuatu hal itu identik dengan diri sendiri”.

Identik artinya satu dan sama. Dalam arti logis yaitu bahwa sesuatu benda (thing)

adalah benda itu sendiri, tidak mungkin yang lain. Selanjutnya bahwa arti yang

sebenamya dan sesuatu benda tetap sama selama benda itu dibicarakan ataupun

dipikirkan. Konsep-konsep (pengertian) yang digunakan di dalam suatu pemikiran

haruslah tetap sama artinya selama pembicaraan itu berlangsung. Dengan

demikian kalau kita mulai dengan pengertian bahwa suatu objek tertentu

Page 16: Ruang Lingkup Filsafat

mempunyai sifat-sifat (atribut) yang tertentu pula, maka kita tidak boleh melupakan

bahwa objek-objek itu tetap mempunyai sifat-sifat yang telah ditentukan itu dan

sifat-sifat itu tidak boleh berubah, karena kalau sifat-sifat itu berubah maka arti

konsep itu berubah pula. Sebuah konsep yang memiliki arti yang berubah-ubah

akan menimbulkan kekacauan dalam pemikiran, dan selanjutnya kesimpulan yang

diperoleh menjadi sesat (fallacy).

Secara simbolis pernyataan identitatis dapat dirumuskan: “sesuatu yang disebut p

maka sama dengan p yang dinyatakan itu sendiri bukan yang lain”.

(2) Prinsip kontradiksi. Dalam istilah Latin disebut principium contradictionis.

Hamilton menyebut prinsip ini sebagai prinsip non kontradiksi, karena tidak adanya

kontradiksi merupakan syarat bagi pemikiran yang sah (valid). Dengan demikian

penyebutan prinsip kontradiksi ini adalah tidak tepat, yang dimaksudkan adalah

tidak adanya kontradiksi (pertentangan yang saling menyisihkan) dalam suatu

pernyataan, artinya bukan kontradiksi itu yang menjadi prinsip. Prinsip ini direvisi

menjadi prinsip tidak adanya kontradiksi (principle of non-contradiction). Prinsip

non kontradiksi berbunyi :“ sesuatu hal tidak dapat sekaligus merupakan hal itu

dan bukan hal itu pada waktu yang bersamaan” atau “sesuatu pernyataan tidak

mungkin mempunyai nilai benar atau tidak benar pada waktu yang sama”.

Yang dimaksud dengan prinsip ini adalah bahwa dua sifat yang bertentangan

secara kontradiksi (bertentangan secara mutlak, misalnya hidup dengan tidak

hidup) tidak mungkin ada pada satu hal dalam waktu dan tempat yang sama.

Misalnya pemyataan: manusia ini hidup dan tidak hidup. Kedua pengertian sebagai

sifat untuk manusia itu tidak mungkin diterima kedua-duanya dalam waktu yang

sama, meskipun manusia itu dapat dibenarkan pada suatu saat hidup dari pada

saat yang lain tidak hidup, namun tidak mungkin keduanya (hidup dan tidak hidup)

bersamaan waktu.

Secara simbolis dapat dirumuskan: “sesuatu tidaklah mungkin secara bersamaan

merupakan p dan non p”.

(3) Prinsip penyisihan jalan tengah atau prinsip tidak ada kemungkinan ketiga

(principle of excluded middle) yang bahasa Latin disebut principium exclusi tertii.

Menurut prinsip ini dua sifat yang berkontradiksi tidak mungkin kedua-duanya

dimiliki oleh satu benda. Hanya salah satu dari dua sifat itu yang dimiliki oleh

benda tersebut. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa salah satu dari dua sifat

yang berkontradiksi mestilah benar bagi satu benda. Misalnya jika dikatakan “Meja

ini hitam” adalah salah, maka pemyataan “Meja ini tidak hitam” mesti benar. Tidak

Page 17: Ruang Lingkup Filsafat

mungkin diantara kedua sifat yang berkontradiksi itu (hitam dan tidak hitam) tidak

akan ada yang benar. Tidak ada kemungkinan ketiga yaitu keduanya benar atau

keduanya salah pada satu benda.

(4) Prinsip cukup alasan. Dalam bahasa Latin disebut principium rationis

suffecientis. Prinsip ini melengkapi prinsip kesamaan. Prinsip kesamaan berbunyi

bahwa sesuatu hal itu identik dengan dirinya sendiri, kemudian dilengkapi oleh

prinsip ke empat “suatu perubahan yang terjadi pada sesuatu hal tertentu mestilah

berdasarkan alasan yang cukup, tidak mungkin secara tiba-tiba berubah tanpa

sebab-sebab yang mencukupi. Diuraikan secara lain, “adanya sesuatu itu mesti

mempunyai adalan yang cukup, demikian pula jika ada perubahan pada keadaan

sesuatu”. Misalnya, jika suatu benda jatuh (ke bawah), alasannya ialah adanya

daya tarik bumi (gravitasi), sedangkan benda itu tidak ada yang menahannya.

(5) Prinsip yang ke empat ini sebagai tambahan bagi prinsip ke satu artinya

secara tidak langsung menyatakan bahwa sesuatu benda mestilah tetap tidak

berubah, tetap sebagaimana benda itu sendiri, tetapi jika kebetulan terjadi

perubahan, maka perubahan itu mestilah ada sesuatu yang mendahuluinya

sebagai penyebab perubahan.

F. Berpikir Secara Kefilsafatan

Menurut Aritoteles, filsafat dimulai dari rasa kagum (lnggris, wonder; Yunani,

thauma) yang tumbuh dari suatu aporia. Aporia berarti “problim” atau “tanpa jalan

keluar”. Problim dapat diartikan sebagai suatu situasi yang teoritis maupun praktis,

untuk itu tidak ada jawaban yang lazim secara otomatis memadai, oleh karena itu

memerlukan proses perenungan.

Titik tolak untuk mengadakan pemikiran secara kefilsafatan merupakan hal

yang unik. Filsafat dapat dikatakan serupa dengan lingkaran geometri. Titik awal

pemikiran kefilsafatan seperti halnya salah satu titik yang terdapat pada lingkaran

tersebut yang terdiri dari jumlah titik yang tidak terhingga banyaknya. Setiap titik

dapat digunakan sebagai titik awal. Dalam hal ini tidak satu titikpun benar-benar

memuaskan sebagai permulaan, karena tiap-tiap titik, sebagai titik pada lingkaran

bergantung pada semua titik lingkaran lainnya. Tiap-tiap titik lingkaran bergantung

pada tiap-tiap titik lingkaran yang lain; demikian juga halnya tiap-tiap persoalan

filsafat bergantung pada tiap-tiap persoalan filsafat yang lain dan membutuhkannya

sebagai bukti.

Page 18: Ruang Lingkup Filsafat

Sesuatu hal yang dihadapi manusia yang berupa persoalan itu belum jelas

duduk persoalannya, sehingga dibutuhkan jawaban yang dapat menjelaskannya.

Jawaban atas persoalan ini dapat diperoleh dengan kegiatan akal yang disebut

berpikir.

Berfilsafat adalah berpikir. Namun tidak dapat dibalik bahwa berpikir adalah

berfilsafat. Kalau dikatakan berfilsafat adalah berpikir, hal ini dimaksudkan bahwa

berfilsafat termasuk kegiatan berpikir. Kata “adalah” dalam “berfilsafat adalah

berpikir” mengandung pengertian bahwa berfilsafat itu tidak identik dengan berpikir

melainkan berfilsafat termasuk dalam berpikir. Dengan demikian tidak semua orang

yang berpikir itu mesti berfilsafat. Akan tetapi dapat dipastikan bahwa orang yang

berfilsafat itu pasti berpikir. Hanya saja yang dimaksud berfilsafat itu adalah berpikir

dengan ciri-ciri tertentu. Misalnya seorang mahasiswa berpikir bagaimana agar

memperoleh Indek Prestasi (IP) yang tinggi pada semester sekarang, atau seorang

pegawai negeri memikirkan berapa jumlah gaji yang akan diterima untuk bulan

yang akan datang, atau seorang pedagang berpikir tentang laba yang akan

diperoleh dalam bulan ini. Semua contoh yang dikemukakan itu bukanlah berpikir

secara kefilsafatan melainkan berpikir biasa atau berpikir sehari-hari yang

jawabannya tidak memerlukan pemikiran yang mendalam. Ada beberapa ciri

berpikir secara kefilsafatan.

(1) Berfilsafat adalah berpikir secara radikal. Radikal berasal dari kata Yunani

radix yang berarti akar. Berpikir radikal adalah berpikir sampai ke akar-akarnya

atau berpikir sampai ke hakikat, essensi, atau substansi yang dipikirkan. Berfilsafat

adalah berpikir sarnpai pada keapaan (whatness) dari sesuatu hal. Pada awal

munculnya filsafat, manusia yang berfilsafat tidak puas hanya memperoleh

pengetahuan lewat indera, karena pengetahuan yang diperoleh bersifat tidak tetap

atau selalu berubah. Manusia yang berfilsafat dengan menggunakan akalnya

berusaha untuk memperoleh pengetahuan hakikat yaitu pengetahuan yang

mendasari segala pengetahuan inderawi. Menurut Aristoteles, filsafat itu adalah

pengetahuan yang sejati. Adapun pengetahuan yang sejati itu adalah pengetahuan

yang mesti, tetap dan kekal, di belakang apa yang tidak mesti, tidak tetap dan tidak

kekal yaitu yang hanya kebetulan, senantiasa bergerak dan berubah. Di belakang

kejadian-kejadian itu ada sesuatu yang tidak kebetulan, tidak bergerak, tidak

berubah dan inilah yang disebut hakikat.

(2) Berfilsafat adalah berpikir secara universal. Yang dimaksud berpikir secara

universal adalah berpikir tentang hal-hal dan proses-proses yang bersifat umum.

Page 19: Ruang Lingkup Filsafat

Filsafat bersangkutan dengan pengalaman umum manusia (common experience of

mankind). Dengan cara penjajagan yang radikal itu filsafat berusaha untuk sampai

pada kesimpulan-kesimpulan yang universal. Bagaimana cara yang ditempuh

seorang filsuf untuk mencapai sasaran pemikirannya berbeda-beda, namun yang

dituju adalah keumuman yang diperoleh dari hal-hal khusus yang ada dalam

kenyataan.

(3) Berfilsafat adalah berpikir secara konseptual. Yang dimaksud konsep di sini

adalah hasil dari generalisasi dan abstraksi dari pengalaman tentang hal-hal serta

proses-proses individual. Berfilsafat tidak berpikir tentang “manusia tertentu” atau

“manusia khusus” melainkan berpikir tentang “manusia secara umum” atau

“kemanusiaan”. Berpikir secara kefilsafatan tidak bersangkutan dengan pemikiran

atas perbuatan-perbuatan bebas yang dilakukan oleh orang-orang tertentu, orang-

orang khusus, sebagaimana dipelajari oleh psikologi, melainkan bersangkutan

dengan pemikiran tentang “apakah kebebasan itu?”. Dengan ciri yang konseptual

ini, berpikir secara kefilsafatan melampaui batas-batas pengalaman hidup sehari-

hari.

(4) Berfilsafat adalah berpikir secara koheren. Yang dimaksud dengan koheren

adalah berhubungan dengan sesuatu pengertian umum, bertalian dengan suatu

prinsip, atau sesuai dengan kaidah-kaidah atau hukum-hukum logika. Misalnya

dalam bentuk penalaran : A=B; B=C; jadi A=C. Suatu pernyataan dikatakan benar

kalau putusan itu selaras (coherence) dengan putusan sebelumnya yang dikatakan

benar.

(5) Berrfilsafat adalah berpikir secara konsisten. Yang dimaksud konsisten adalah

konsep atau bentuk uraian yang tidak mengandung kontradiksi. Kontradiksi adalah

pertentangan yang saling menyisihkan. Contoh pernyataan yang tidak konsisten

misalnya “lingkaran yang berbentuk segitiga”; “bujangan yang sudah nikah”

(6) Berfilsafat adalah berpikir secara sistematik. Sistematik berasal dari kata

“sistem”. Yang dimaksud dengan sistem adalah kebulatan dari sejumlah unsur

yang saling berhubungan menurut tata pengaturan untuk mencapai sesuatu

maksud atau menunaikan sesuatu peranan tertentu. Dalam mengemukakan

jawaban terhadap sesuatu masalah, para filsuf atau ahli filsafat menggunakan

pernyataan-pernyataan sebagai wujud dari proses berpikir secara kefilsafatan.

Pernyataan-pernyataan yang merupakan uraian kefilsafatan itu harus berhubungan

secara teratur dan terkandung adanya maksud atau tujuan mengapa uraian itu

dibuat.

Page 20: Ruang Lingkup Filsafat

(7) Berfilsafat adalah berpikir secara komprehensif. Yang dimaksud komprehensif

adalah mencakup secara keseluruhan. Filsafat berusaha untuk menjelaskan alam

semesta beserta bagian-bagiannya secara menyeluruh. Kalau suatu sistem filsafat

bersifat komprehensif, berarti sistem itu mencakup secara keseluruhan, dan tidak

ada sesuatu pun yang berada di luarnya.

(8) Berfilsafat adalah berpikir secara bebas. Sampai batas-batas yang luas maka

setiap filsafat dapat dikatakan merupakan hasil dari pemikiran secara bebas.

Bebas dari prasangka-prasangka sosial, historis, kultural maupun religius. Sikap-

sikap bebas ini banyak ditunjukkan oleh para filsuf di segala zaman. Socrates

memilih minum racun dan menatap maut daripada harus mengorbankan

kebebasannya untuk berpikir menurut keyakinannya. Spinoza karena khawatir

kehilangan kebebasannya untuk berpikir menolak pengangkatannya sebagai guru

besar filsafat pada Universitas Heidelberg.

Kebebasan berpikir itu adalah kebebasan yang berdisiplin. Berpikir dan menyelidiki

secara bebas itu tidaklah berarti sembarangan, sesuka hati, anarkhi, malahan

sebaliknya berpikir dan menyelidiki yang sangat terikat. Akan tetapi ikatan itu

berasal dari dalam, dan kaidah (hukum) dan disiplin pikiran itu sendiri. Di sinilah

berpikir dan menyelidiki dengan bebas itu berarti berpikir dan menyelidiki

menggunakan disiplin yang seketat-ketatnya. Dengan demikian pikiran yang dari

luar sangat bebas, namun dari dalam sangatlah terikat. Ditinjau dan aspek ini

berfilsafat dapatlah dikatakan mengembangkan pikiran dengan sadar, semata-

mata menurut kaidah pikiran itu sendiri (laws of thought).

(9) Berfilsafat adalah berpikir yang bertanggungjawab. Orang yang berfilsafàt

adalah orang yang berpikir sambil bertanggungjawab. Pertanggungjawaban yang

pertama adalah terhadap hati nuraninya (conscience) sendiri. Di sini nampak ada

hubungan antara kebebasan berpikir dalam filsafat dengan etika yang

mendasarinya. Seorang filsuf seolah-olah mendapat panggilan untuk membiarkan

pikirannya menjelajahi kenyataan yang dihadapinya. Akan tetapi tidak sampai di

situ saja yang dirasakan menjadi tugasnya. Tahap berikutnya adalah bagaimana

caranya filsuf itu merumuskan pikirannya agar dapat dikomunikasikan kepada

orang lain; dalam usaha ini sebenamya seorang filsuf berusaha mengajak orang

lain untuk ikut serta dalam alam pikirannya.

Page 21: Ruang Lingkup Filsafat

G. Pentingnya Filsafat.

Ada orang yang menyatakan bahwa tidak begitu penting mempersoalkan apa

yang diyakini atau dipercayai seseorang. Yang penting adalah melakukan hal-hal

yang baik dari hasilnya diharapkan juga baik. Di lain pihak ada beberapa orang

yang berkecenderungan menilai tindakan yang didasarkan pada kepercayaan-

kepercayaan (beliefs) dan keyakinan-keyakinan (convictions). Gagasan-gagasan

(ideas) merupakan dasar dari tindakan, dengan kata lain seseorang tidak mungkin

melakukan perbuatan kecuali dia mempercayai sesuatu. Komunisme mungkin tidak

pernah ada kalau Karl Marx tidak meletakkan dasar-dasar dalam filsafatnya. Sekali

seseorang menerima suatu gagasan maka hampir dapat dipastikan dia akan

menyatakan gagasan tersebut dalam bentuk ucapan, tindakan atau sikap. Dengan

demikian gagasan merupakan kekuatan (daya) yang menentukan dalam sejarah

ummat manusia. Filsafat sebagai suatu idea, juga dapat memberikan sumbangan

bagi kehidupan manusia baik dalam hidup sehari-hari maupun kehidupan ilmiah.

Manusia memang membutuhkan filsafat.

1. Setiap orang harus memutuskan dan melakukan tindakan. Kalau seseorang

akan memutuskan secara bijaksana dan berbuat secara runtut (consistent), dia

perlu menemukan nilai-nilai (values) dan makna sesuatu hal. Kehidupan memaksa

manusia untuk mengadakan pilihan-pilihan dan bertindak berdasarkan pada skala

nilai-nilai. Manusia perlu menjawab masalah tentang benar dan salah, keindahan

dan keburukan, bermoral dan tidak bermoral. Pencarian atas patokan-patokan

(standards) dan tujuan-tujuan merupakan bagian yang penting dan tugas filsafat.

Filsafat tertarik pada aspek kualitatif dan hal-hal yang direnungkan. Filsafat tidak

mengabaikan aspek autentik (asli) pengalaman manusia dan mencoba

merumuskan patokan-patokan dan tujuan-tujuan dengan cara yang paling masuk

akal.

Sesudah mengajukan pertanyaan tentang “Apa guna filsafat?” Jacques

Maritain menyatakan bahwa filsafat mengingatkan manusia atas kegunaan yang

luhur dan hal- hal yang tidak menyangkut sarana-sarana melainkan bersangkutan

dengan tujuan-tujuan. Manusia tidak hanya hidup dengan roti, vitamin dan

penemuan-penemuan teknologis. Manusia juga hidup dengan nilai-nilai (values)

dan kenyataan-kenyataan yang mengatasi ruang dan waktu dan berharga bagi

kepentingannya sendiri.

2. Tindakan kita adalah milik kita dan kita benar-benar bebas kalau kita

menyadari pengendalian batin (inner controls) memilih tujuan sendiri. Kalau

Page 22: Ruang Lingkup Filsafat

manusia berbuat semata-mata adat, tradisi atau hukum, berarti dia tidak bebas.

Ketika ditanya apa yang telah dilakukan filsafat terhadapnya, Aristoteles

menyatakan bahwa filsafat memungkinkan dia berbuat secara bebas, sedangkan

orang lain berbuat karena takut pada hukum. Seseorang yang bebas adalah

mereka yang membuat asas-asas dan kaidah-kaidah yang dengannya dia dapat

hidup. Dalam suatu masyarakat yang ideal, setiap orang akan menyetujui atas

setiap kaidah, dan kalau dia tidak suka pada kaidah tersebut maka dia akan

mengkritiknya dan berusaha untuk mengadakan perubahan. Dia akan melakukan

hal ini berdasar atas fakta-fakta dan asas-asas yang konsisten.

3. Filsafat adalah salah satu dari beberapa sarana yang terbaik untuk

memelihara kebiasaan berefleksi (perenungan). Filsafat dapat membantu

memperluas bidang-bidang kesadaran untuk menjadi lebih hidup, lebih kritis dan

lebih cerdas. Dalam banyak bidang pengetahuan khusus, ada kumpulan fakta-fakta

yang tertentu dan khusus, dan kepada para mahasiswa diajukan masalah-masalah

sehingga dipraktekkan untuk sampai pada jawaban yang cepat dan mudah. Namun

dalam filsafat ada perbedaan-perbedaan sudut pandangan yang harus

dipertimbangkan. Ada masalah-masalah yang belum terselesaikan yang penting

bagi kehidupan. Akibatnya, rasa kekaguman, rasa ingin tahu, dan perhatiannya

pada hal-hal yang bersifat spekulatif dan para mahasiswa dapat terus dipelihara

dan dikembangkan.

4. Kita hidup dalam abad yang tidak pasti, selalu berubah dan banyak

kepercayaan dan cara lama yang sudah tidak memadai lagi. Dalam keadaan

semacam itu, manusia membutuhkan skala nilai-nilai dan arah tujuan. Seperti

halnya manusia merasakan tidak enak jasmaninya bila berada di tengah

kekacauan material dan merasakan tidak enak moralnya bila mereka dihadapkan

pada kekejaman dan ketidakadilan. Di samping itu inteleknya merasa terganggu

hidup di tengah pandangan dunia yang terpecah dan meragukan. Tanpa kesatuan

pandangan, dapat menimbulkan tegangan psikologis.