roses graveyard

2
Roses Graveyard, Roses Church, 13 th St Emerald Avenue, Washington DC Dua tahun berlalu dalam keadaan diam. Semuanya tak pernah kembali seperti dulu sejak hari itu. Hari dimana semua senyum dan canda tawa hilang seketika. Meninggalkan segumpal kesedihan dan air mata yang seakan tak pernah habis di telan waktu. Miris memang. Namun semuanya sudah takdir yang telah ditentukan oleh Tuhan. Dan tak ada satupun yang bisa menolaknya. Termasuk Dawn sendiri. Hari itu Dawn berjalan menyusuri St Emerald Avenue seorang diri. Gerimis tak henti-hentinya membahasi tubuh Dawn yang hanya berbalutkan jaket kulit berwarna gelap dan sebuah topi berwarna biru. Dingin… bahkan jauh lebih dingin daripada musim salju.  Sekelompok anak kecil berpayung warna-warni berbelok disudut jalan yang akan membawa mereka menuju ke taman bermain di Central Park. Bagi Dawn, pemandangan ini sudah biasa. Anak-anak kecil pergi berkelompok, membawa tas berisi mainan, dan berangkat menuju ke tempat dimana tak akan ada yang bisa mengganggu kesenangan mereka. Yah, termasuk hujan sekalipun. Dawn berhenti di sudut jalan sambil menengadahkan kepalanya yang tertutup topi ke arah langit. Kemudian menutup matanya dan mulai menikmati sensasi dera rintik air yang jatuh dari langit dan menerpa wajahnya. Gerimis… dahulu anak lelaki berambut cokelat itu sangat menyukainya. Namun sekarang, rasa suka itu memudar, bahkan nyaris lenyap hanya dalam kurun waktu dua tahun. Dad pergi tanpa mengatakan apa-apa padanya. Tanpa pernah mengingatkan padanya untuk melakukan sesuatu yang berguna. Dawn tak suka keadaan ini. Bahkan terkadang ia menyesal, apa gunanya menjadi penyihir kalau kau tak bisa menyelamatkan keluargamu sendiri. Puluhan, ratusan, bahkan ribuan titik air jatuh dari langit dalam waktu satu detik. Tetapi kenapa tak satupun dari titik itu yang mampu menghilangkan kesedihan Dawn? Pada dasarnya Dawn tak pernah menerimanya dengan ikhlas. Coba saja bicara padanya dan angkat orang tua sebagai topik utamanya. Dan kau akan segera menemukan ekspresi wajah anak lelaki yang mencerminkan kata hatinya yang sedang dilanda luapan emosi kesedihan. Mendadak bibir Dawn terasa kelu. Ia menurunkan kepalanya, membiarkan sisa air hujan itu mengalir turun dari wajahnya, menyisakan alir tak tentu pada kedua pipinya. Dawn membuka matanya, kemudian kembali berjalan melawan arah kemana bocah-bocah berpayung pergi. Dawn tak akan pergi ke Central Park sore itu, melainkan ke Roses Church, mengunjungi makam ayahnya. Kompleks gereja yang berbataskan dengan gerbang pemakaman itu terlihat sangat lengang. Dawn melangkah diatas lantai batu menuju ke depan pintu gereja. Namun belum sempat Dawn melangkah naik, seorang kakek paruh baya berpakaian hitam tiba-tiba keluar dari pintu dan tersenyum pada Dawn. “Selamat sore Dawn, ada yang bisa aku bantu?” u cap kakek itu seraya melangkah turun dan menghampiri anak lelaki dihadapannya.

Upload: dauncrush

Post on 07-Apr-2018

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Roses Graveyard

8/4/2019 Roses Graveyard

http://slidepdf.com/reader/full/roses-graveyard 1/2

Roses Graveyard, Roses Church, 13th

St Emerald Avenue, Washington DC

Dua tahun berlalu dalam keadaan diam. Semuanya tak pernah kembali seperti dulu sejak hari itu. Hari

dimana semua senyum dan canda tawa hilang seketika. Meninggalkan segumpal kesedihan dan air mata

yang seakan tak pernah habis di telan waktu. Miris memang. Namun semuanya sudah takdir yang telah

ditentukan oleh Tuhan. Dan tak ada satupun yang bisa menolaknya. Termasuk Dawn sendiri.

Hari itu Dawn berjalan menyusuri St Emerald Avenue seorang diri. Gerimis tak henti-hentinya

membahasi tubuh Dawn yang hanya berbalutkan jaket kulit berwarna gelap dan sebuah topi berwarna

biru. Dingin… bahkan jauh lebih dingin daripada musim salju.  

Sekelompok anak kecil berpayung warna-warni berbelok disudut jalan yang akan membawa mereka

menuju ke taman bermain di Central Park. Bagi Dawn, pemandangan ini sudah biasa. Anak-anak kecil

pergi berkelompok, membawa tas berisi mainan, dan berangkat menuju ke tempat dimana tak akan ada

yang bisa mengganggu kesenangan mereka. Yah, termasuk hujan sekalipun.

Dawn berhenti di sudut jalan sambil menengadahkan kepalanya yang tertutup topi ke arah langit.

Kemudian menutup matanya dan mulai menikmati sensasi dera rintik air yang jatuh dari langit dan

menerpa wajahnya. Gerimis… dahulu anak lelaki berambut cokelat itu sangat menyukainya. Namun

sekarang, rasa suka itu memudar, bahkan nyaris lenyap hanya dalam kurun waktu dua tahun. Dad pergi

tanpa mengatakan apa-apa padanya. Tanpa pernah mengingatkan padanya untuk melakukan sesuatu

yang berguna. Dawn tak suka keadaan ini. Bahkan terkadang ia menyesal, apa gunanya menjadi penyihir

kalau kau tak bisa menyelamatkan keluargamu sendiri.

Puluhan, ratusan, bahkan ribuan titik air jatuh dari langit dalam waktu satu detik. Tetapi kenapa tak

satupun dari titik itu yang mampu menghilangkan kesedihan Dawn? Pada dasarnya Dawn tak pernah

menerimanya dengan ikhlas. Coba saja bicara padanya dan angkat orang tua sebagai topik utamanya.

Dan kau akan segera menemukan ekspresi wajah anak lelaki yang mencerminkan kata hatinya yang

sedang dilanda luapan emosi kesedihan.

Mendadak bibir Dawn terasa kelu. Ia menurunkan kepalanya, membiarkan sisa air hujan itu mengalir

turun dari wajahnya, menyisakan alir tak tentu pada kedua pipinya. Dawn membuka matanya, kemudian

kembali berjalan melawan arah kemana bocah-bocah berpayung pergi. Dawn tak akan pergi ke Central

Park sore itu, melainkan ke Roses Church, mengunjungi makam ayahnya.

Kompleks gereja yang berbataskan dengan gerbang pemakaman itu terlihat sangat lengang. Dawn

melangkah diatas lantai batu menuju ke depan pintu gereja. Namun belum sempat Dawn melangkah

naik, seorang kakek paruh baya berpakaian hitam tiba-tiba keluar dari pintu dan tersenyum pada Dawn.

“Selamat sore Dawn, ada yang bisa aku bantu?” ucap kakek itu seraya melangkah turun dan

menghampiri anak lelaki dihadapannya.

Page 2: Roses Graveyard

8/4/2019 Roses Graveyard

http://slidepdf.com/reader/full/roses-graveyard 2/2

“Sore Pastur Robert. Err—tidak. Maksudku, aku hanya… Aku hanya ingin mengunjungi makam ayahku.

Boleh kan?” Tanya Dawn sedikit gugup. Ini pertama kalinya ia akan kesana setelah pemakaman dua

tahun lalu. Dan Pastur Robert tahu, bahwa Dawn tak pernah merelakan kepergian ayahnya.

“Akhirnya…. Tentu nak, tentu. Pergilah, tak ada yang melarangmu. Apa perlu aku temani?” Tawar Pastur

yang telah ia kenal sejak lama itu. Dawn bisa melihat jelas raut kelegaan diwajahnya.

“Tidak Pastur. Aku bisa sendiri. Terima kasih…” ungkap Dawn seraya membungkuk dan tersenyum lalu

melangkah menuju kebagian samping halaman gereja yang terhubung dengan gerbang pemakaman.

Dawn melewati gerbang, menyusuri beberapa baris nisan dan berhenti didepan sebuah nisan

bertuliskan Travis William Rain. Lihat, ini susah. Dawn selalu membayangkan ayahnya ada di ruang

makan tiap kali ia bangun pagi di musim panas. Dawn selalu membayangkan akan menemukan sosok

ayahnya yang duduk membaca koran sambil menyeruput kopi tiap kali Dawn ke halaman belakang.

Namun tak pernah sekalipun Dawn membayangkan akan menemukan sebuah nisan bertuliskan nama

ayahnya dalam barisan pemakaman umum.

Damn !!! Kenapa harus Dawn yang mengalami ini semua, eh? Belum cukupkah konflik batin yang Kau

berikan padanya selama ini? Kadang Dawn berpikir bahwa Kau tak pernah adil. Kadang Dawn berpikir

manusialah yang selalu menyebabkan semua kecelakaan itu. Tapi… tapi… Arggghhhhhh !!! Cukup…

Semuanya tak akan bisa di ulang dari awal lagi. Ini semua sudah selesai.

Pemuda 14 tahun itu menunduk. Kemudian membelai nisan ayahnya yang basah akibat gerimis.