rizqon yk lbm 3 tht

22
STEP 7 1. jelaskan anatomi, fisiologi pada hidung? ANATOMI Anatomi hidung luar - Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. - Hidung bagian luar menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas ; struktur hidung luar dibedakan atas tiga bagian yang paling atas : kubah tulang yang tak dapat digerakkan; di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan ; dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan. - Bentuk hidung luar seperti piramid dengan bagian- bagiannya dari atas ke bawah : 1) pangkal hidung (bridge), 2) batang hidung (dorsum nasi), 3) puncak hidung (hip),4) ala nasi,5) kolumela, dan 6) lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. - Kerangka tulang terdiri dari : 1) tulang hidung (os nasal) , 2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal ; sedangkan -kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor dan 3) tepi anterior kartilago septum. (Soetjipto D & Wardani RS,2007) Anatomi hidung dalam Bahagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os.internum di sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh septum, dinding lateral terdapat konka superior, konka media, dan konka

Upload: rizqon-yassir-kuswondo

Post on 14-Feb-2016

296 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

Kedokteraen umum

TRANSCRIPT

STEP 7

1. jelaskan anatomi, fisiologi pada hidung?ANATOMI

Anatomi hidung luar- Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. - Hidung bagian luar menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas ;

struktur hidung luar dibedakan atas tiga bagian yang paling atas : kubah tulang yang tak dapat digerakkan; di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan ; dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan. - Bentuk hidung luar seperti piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah : 1) pangkal hidung (bridge), 2) batang hidung (dorsum nasi), 3) puncak hidung (hip),4) ala nasi,5) kolumela, dan 6) lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. - Kerangka tulang terdiri dari : 1) tulang hidung (os nasal) , 2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal ; sedangkan -kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor dan 3) tepi anterior kartilago septum. (Soetjipto D & Wardani RS,2007)

Anatomi hidung dalamBahagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os.internum di sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh septum, dinding lateral terdapat konka superior, konka media, dan konka inferior. Celah antara konka inferior dengan dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konka media dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas konka media disebut meatus superior. (Ballenger JJ,1994 ; Dhingra PL, 2007; Hilger PA,1997)

FISIOLOGI:Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah :

1) fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal

2) fungsi penghidu, karena terdapanya mukosa olfaktorius (penciuman) dan reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu

3) fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses berbicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang

4) fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas

5) refleks nasal. (Soetjipto D & Wardani RS,2007)

FISIOLOGI HIDUNG Secara fisiologis, hidung merupakan bagian dari traktus respiratorius, alat penghidu dan rongga-suara untuk berbicara. Dalam sistem pernapasano Inspirasi : Udara dari luar akan masuk lewat rongga hidung (cavum nasalis). Rongga hidung berlapis selaput lendir, di dalamnya terdapat kelenjar minyak (kelenjar sebasea) dan kelenjar keringat (kelenjar sudorifera). Selaput lendir berfungsi menangkap benda asing yang masuk lewat saluran pernapasan. Selain itu, terdapat juga rambut pendek dan tebal yang berfungsi menyaring partikel kotoran yang masuk bersama udara. Juga terdapat konka yang mempunyai banyak kapiler darah yang berfungsi menghangatkan udara yang masuk.

o Ekspirasi : udara dari koana akan naik setinggi konka media selanjutnya di depan memecah sebagian ke nares anterior dan sebagian kembali ke belakang membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran dari nasofaringo Untuk mekanisme pernapasan dapat di baca disiniResonansi suaraSumbatan hidung menyebabkan rinolalia (suara sengau) dan Membantu proses bicara dimana konsonan nasal (m, n, ng) sehingga rongga mulut tertutup dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran udaraRefleks nasalPada mukosa hidung ada reseptor refleks yg berhubungan dengan sal cerna, kardiovaskuler, pernafasan : mis : iritasi mukosa hidung menyebabkan bersin dan nafas berhenti, bau tertentu menyebabkan sekresi kel liur, lambung dan pankreas.– Rangsang Bau (pada makanan à Sekresi Liur)

• Cephalica• Gastrica• Intestinal

– Nafas berhenti saat menelan– Bersin

Refleks Bersin

Mekanisme penciuman Di dalam rongga hidung terdapat selaput lendir yang mengandung sel- sel pembau. Pada sel-sel pembau terdapat ujung-ujung saraf pembau atau saraf kranial (nervus alfaktorius), yang selanjutnya akan bergabung membentuk serabut-serabut saraf pembau untuk menjalin dengan serabut-serabut otak (bulbus olfaktorius).  Zat-zat kimia tertentu berupa gas atau uap masuk bersama udara inspirasi mencapai reseptor pembau. Zat ini dapat larut dalam lendir hidung, sehingga terjadi pengikatan zat dengan protein membran pada dendrit.  Kemudian timbul impuls yang menjalar ke akson-akson. Beribu-ribu akson bergabung menjadi suatu bundel yang disebut saraf I otak (olfaktori).  Saraf otak ke I ini menembus lamina cribosa tulang ethmoid masuk ke rongga hidung kemudian bersinaps dengan neuron-neuron tractus olfactorius dan impuls dijalarkan ke daerah pembau primer pada korteks otak untuk diinterpretasikan.

Fisiologi sinus paranasal Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain adalah :

1) Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning) Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur kelembaban udara inspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah ternyata tidak didapati pertukaran udara yangdefinitif antara sinus dan rongga hidung. Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume sinus pada tiap kali bernafas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam sinus. Lagipula mukosa sinus tidak mempunyai vaskularisasi dan kelenjar yang sebanyak mukosa hidung. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)

2) Sebagai penahan suhu (thermal insulators) Sinus paranasal berfungsi sebagai buffer (penahan) panas , melindungi orbita dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan tetapi kenyataannya, sinus-sinus yang besar tidak terletak di antara hidung dan organ-organ yang dilindungi. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)

3) Membantu keseimbangan kepala Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka. Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang hanya akan memberikan pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori ini dianggap tidak bermakna. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)

4) Membantu resonansi suara Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat , posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif. Tidak ada korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus pada hewan-hewan tingkat rendah. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)

5) Sebagai peredam perubahan tekanan udara Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak, misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)

6) Membantu produksi mukus. Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)

*apa saja refleks pada hidung?

2. mengapa anak sering mimisan tanpa sebab yang pasti? (patofisiologi mimisan)

EtiologiEpistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab lokal dan sistemik.

1) penyebab local :Idopatik (85% kasus) biasanya merupakan epistaksis ringan dan berulang pada anak dan remaja.Trauma ; epistaksis dapat terjadi setelah trauma ringan misalnya mengorek hidung, bersin, mengeluarkan ingus dengan kuat, atau sebagai akibat trauma yang hebat seperti terpukul, jatuh, kecelakaan lalu lintas.Iritasi ; epistaksis juga timbul akibat iritasi gas yang merangsang, zat kimia, udara panas pada mukosa hidung.

Pengaruh lingkungan, misalnya tinggal di daerah yang sangat tinggi, tekanan udara rendah atau lingkungan udaranya sangat kering.Benda asing dan rinolit, dapat menyebabkan epistaksis ringan unilateral disertai ingus yang berbau busuk.Infeksi, misalnya pada rhinitis, sinusitis akut maupun kronis serta vestibulitis.Tumor, baik jinak maupun ganas yang terjadi di hidung, sinus paranasal maupun nasofaring.Iatrogenic, akibat pembedahan atau pemakaian semprot hidung steroid jangka lama.

2) penyebab sistemik :Penyakit kardiovaskular, misalnya hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti yang dijumpai pada arteriosclerosis, nefritis kronis, sirosis hepatic, sifilis dan diabetes mellitus. Epistaksis juga dapat terjadi akibat peninggian tekanan vena seperti pada emfisema, bronchitis, pertusis, pneumonia, tumor leher dan penyakit jantung. Epistaksis juga dapat terjadi pada pasien yang mendapat obat anti koagulan (aspirin, walfarin, dll).Infeksi, biasanya infeksi akut pada demam berdarah, influenza, morbili, demam tifoid.Kelainan endokrin misalnya pada kehamilan, menarche, menopause.Kelainan congenital, biasanya yang sering menimbulkan epistaksis adalah hereditary haemorrhagic teleangiectasis atau penyakit Osler-Weber-Rendu.

PatofisiologiTerdapat dua sumber perdarahan yaitu bagian anterior dan posterior. Pada epistaksis anterior, perdarahan berasal dari pleksus kiesselbach (yang paling sering terjadi dan biasanya pada anak-anak) yang merupakan anastomosis cabang arteri ethmoidakis anterior, arteri sfeno-palatina, arteri palatine ascendens dan arteri labialis superior.Pada epistaksis posterior, perdarahan berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri ethmoidalis posterior. Epistaksis posterior sering terjadi pada pasien usia lanjut yang menderita hipertensi, arteriosclerosis, atau penyakit kardiovaskuler. Perdarahan biasanya hebat dan jarang berhenti spontan.Perdarahan yang hebat dapat menimbulkan syok dan anemia, akibatnya dapat timbul iskemia serebri, insufisiensi koroner dan infark miokard, sehingga dapat menimbulkan kematian. Oleh karena itu pemberian infuse dan tranfusi darah harus cepat dilakukan.Pemeriksaan PenunjangPemeriksaan penunjang bertujuan untuk menilai keadaan umum penderita, sehingga pengobatan dapat cepat dan untuk mencari etiologi.Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah pemeriksaan darah tepi lengkap, fungsi hemostatis, uji faal hati dan faal ginjal.Jika diperlukan pemeriksaan radiologik hidung, sinus paranasal dan nasofaring dapat dilakukan setelah keadaan akut dapat diatasi.Penatalaksanaan

Pertama-tama keadaan umum dan tanda vital harus diperiksa. Anamnesis singkat sambil mempersiapkan alat, kemudian yang lengkap setelah perdarahan berhenti untuk membantu menentukan sebab perdarahan.Penanganan epistaksis yang tepat akan bergantung pada suatu anamnesis yang cermat. Hal-hal penting adalah sebagai berikut :

1. riwayat perdarahan sebelumnya 2. lokasi perdarahan 3. apakah darah terutama mengalir ke dalam tenggorokan (ke

posterior) ataukah keluar dari hidung depan (anterior) bila pasien duduk tegak

4. lama perdarahan dan frekuensinya 5. kecenderungan perdarahan 6. riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga 7. hipertensi 8. diabetes mellitus 9. penyakit hati 10. gangguan anti koagulan 11. trauma hidung yang belum lama 12. obat-obatan misalnya aspirin, fenilbutazon (butazolidin).

Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis, yaitu menghentikan perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis. Kalau ada syok, perbaiki dulu keadaan umum pasien.

Dampak hilangnya darah harus ditentukan terlebih dahulu sebelum melakukan usaha mencari sumber perdarahan dan menghentikannya. Walaupun sudah dihentikan, kemungkinan fatal untuk beberapa jam kemudian untuk seorang pasien tua yang mengalami perdarahan banyak akibat efek kehilangan darahnya adalah lebih besar jika dibanding dengan akibat perdarahan (yang terus berlangsung) itu sendiri. Penilaian klinis termasuk pengukuran nadi dan tekanan darah akan menunjukkan apakah pasien berada dalam keadaan syok. Bila ada tanda-tanda syok segera infuse plasma expander.Menghentikan perdarahan

Menghentikan perdarahan secara aktif, seperti kaustik dan pemasangan tampon, lebih baik daripada pemberian obat hemostatik sambil menunggu epistaksis berhenti dengan sendirinya.

Posisi penderita sangat penting, sering terjadi pasien dengan perdarahan hidung harus dirawat dengan posisi tegak agar tekanan vena turun. Sedangkan kalau sudah terlalu lemah, dibaringkan dengan meletakkan bantal di belakang punggungnya, kecuali sudah dalam keadaan syok.

Sumber perdarahan dicari dengan bantuan alat penghisap untuk membersihkan hidung dari bekuan darah. Kemudian tampon kapas yang telah dibasahi dengan adrenalin 1/10.000 dan lidocain atau pantocain 2 % dimasukkan ke dalam rongga hidung, untuk menghentikan perdarahan dan mengurangi rasa nyeri pada waktu tindakan-tindakan selanjutnya. Tampon ini dibiarkan selama 3-5 menit. Dengan cara ini dapatlah ditentukan apakah sumber perdarahan letaknya di bagian anterior atau posterior.

Perdarahan anterior seringkali berasal dari septum bagian depan. Bila sumbernya terlihat, tempat asal perdarahan dikaustik dengan larutan Nitras Argenti 20-30%, atau dengan larutan Asam Trikloroasetat 10%, atau dapat juga dengan elektrokauter.

Bila dengan cara ini perdarahan masih terus berlangsung, maka diperlukan pemasangan tampon anterior, dengan kapas atau kain kasa yang diberi vaselin atau salep antibiotik. Pemakaian vaselin atau salep pada tampon berguna agar tampon tidak melekat, untuk menghindari berulangnya perdarahan ketika tampon dicabut. Tampon dimasukkan melalui nares anterior dan harus dapat menekan tempat asal perdarahan. Tampon ini dapat dipertahankan selama 1-2 hari.

Bila hanya memerlukan tampon hidung anterior dan tanpa adanya gangguan medis primer, pasien dapat diperlakukan sebagai pasien rawat jalan dan diberitahu untuk duduk tegak dengan tenang sepanjang hari, serta kepala sedikit ditinggikan pada malam hari. Pasien tua dengan kemunduran fisik harus dirawat di rumah sakit.

Perdarahan posterior lebih sulit diatasi sebab biasanya perdarahan hebat dan sulit dicari sumber perdarahan dengan rinoskopi anterior. Untuk menanggulangi perdarahan posterior dilakukan pemasangan tampon posterior, yang disebut tampon Bellocq.

Tampon ini terbuat dari kasa padat berbentuk bulat atau kubus berdiameter kira-kira 3 cm. Pada tampon ini terdapat 3 buah benang, yaitu 2 buah pada satu sisi dan sebuah pada sisi lainnya. Tampon harus dapat menutupi koana (nares posterior).

Untuk memasang tampon posterior ini kateter karet dimasukkan melalui kedua nares anterior sampai tampak di orofaring, lalu ditarik keluar melalui mulut. Kedua ujung kateter kemudian dikaitkan masing-masing pada 2 buah benang pada tampon Bellocq, kemudian kateter itu ditarik kembali melalui hidung. Kedua ujung benang yang sudah keluar melalui nares anterior kemudian ditarik dan dengan bantuan jari telunjuk, tampon ini didorong ke nasofaring. Jika dianggap perlu, jika masih tampak perdarahan keluar dari rongga hidung, maka dapat pula dimasukkan tampon anterior ke dalam cavum nasi. Kedua benang yang keluar dari anres anterior itu kemudian diikat pada sebuah gulungan kain kasa di depan lubang hidung, supaya tampon yang terletak di nasofaring tidak bergerak. Benang yang terdapat di rongga mulut terikat pada sisi lain dari tampon Bellocq, dilakatkan pada pipi pasien. Gunanya adalah untuk menarik tampon ke luar melalui mulut setelah 2-3 hari. Obat hemostatik diberikan juga di samping tindakan penghentian perdarahan itu.

Pada epistaksis berat dan berulang yang tidak dapat diatasi dengan pemasangan tampon anterior maupun posterior, dilakukan ligasi arteri. Arteri tersebut antara lain arteri karotis interna, arteri maksilaris interna, arteri sfenopalatina dan arteri etmoidalis posterior dan anterior.

Mencegah komplikasiKomplikasi dapat terjadi sebagai akibat langsung dari epistaksis

sendiri atau sebagai akibat usaha penanggulangan epistaksis.Sebagai akibat perdarahan yang hebat dapat terjadi syok dan

anemia. Turunnya tekanan darah mendadak dapat menimbulkan iskemia

serebri, insufisiensi koroner dan infark miokard, sehingga dapat menyebabkan kematian. Dalam hal ini pemberian infusi atau transfusi darah harus dilakukan secepatnya.

Pemasangan tampon dapat menyebabkan sinusitis, otitis media dan bahkan septikemia. Oleh karena itu antibiotik haruslah selalu diberikan pada setiap pemasangan tampon hidung, dan setelah 2-3 hari tampon harus dicabut, meskipun akan dipasang tampon baru, bila masih ada perdarahan.

Selain itu dapat juga terjadi hemotimpanum, sebagai akibat mengalirnya darah melalui tuba Eustachius, dan air mata yang berdarah (bloody tears), sebagai akbat mengalirnya darah secara retrograde melalui duktus nasolakrimalis.

Laserasi palatum mole dan sudut bibir terjadi pada pemasangan tampon posterior, disebabkan oleh benang yang keluar melalui mulut terlalu ketat dilakatkan di pipi.

Mencegah epistaksis minor berulangSaat pertama kali datang, pasien mungkin tidak dalam keadaan

perdarahan aktif, namun mempunyai riwayat epistaksis berulang dalam beberapa minggu terakhir. Biasanya berupa serangan epistaksis ringan yang berulang beberapa kali.

Pemeriksaan hidung dalam keadaan ini dapat mengungkap adanya pembuluh-pembuluh yang menonjol melewati septum anterior, dengan sedikit bekuan darah. Pembuluh tersebut dapat dikauterisasi secara kimia atau listrik. Penggunaan anestetik topical dan agen vasokonstriktor, misalnya larutan kokain 4% atau Xilokain dengan epinefrin, selanjutkan lakukan kauterisasi, misalnya dengan larutan asam trikloroasetat 50% pada pembuluh tersebut.

Perdarahan berulang dari suatu pembuluh darah septum dapat diatasi dengan meninggikan mukosa setempat dan kemudian membiarkan jaringan menata dirinya sendiri, atau dengan merekonstruksi deformitas septum dasar, untuk menghilangkan daerah-daerah atrofi setempat dan lokasi tegangan mukosa.

Pada perdarahan hidung ringan yang berulang dengan asal yang tidak diketahui, dokter harus menyingkirkan tumor nasofaring atau sinus paranasalis yang mengikis pembuluh darah. Sinusitis kronik merupakan penyebab lain yang mungkin. Akhirnya pemeriksa harus mencari gangguan patologik yang terletak jauh seperti penyakit ginjal dan uremia, atau penyakit sistemik seperti gangguan koagulasi. Agar epistaksis tidak berulang, haruslah dicari dan diatasi etiologi dari epistaksis.(Soetjipto D & Wardani RS,2007)

3. Mengapa hidung anak keluar ingus dan berbau pada sisi kiri sejak 5 hari yll?4. bagaimana sistem pertahanan dari hidung untuk melawan benda asing?5. apa saja yang dinilai rhinoscopy anterior? pemeriksaan hidung lainnya?

6. mengapa dokter memberikan obat pilek tapi setelah habis berbau lagi? (patofisiologi hidung berbau) jawaban di DD

7. bagaimana pentalaksanaan pada pasien tersebut? (perdarahan dan benda asing)jawaban di no 2 & 8

8. DD!HIDUNG BERBAU (foetor ex nasi)

DefinisiBerarti bau busuk dari dalam hidung, merupakan suatu gejala (simptom), bukan diagnosis, sering disertai gejala hidung lainnya : hidung tersumbat, keluar cairan dari hidung, yang kadang-kadang disertai dengan darah.EtiologiBeberapa penyakit yang memberikan gejala foetor ex nasi :

Korpus Alineum Rinolit Difteri hidung Sinusitis Rinitis Atrofi (Ozaena) Nasofaringitis kronis Rinitis Kaseosa Radang kronis spesifik Neoplasma maligna

Patogenesis- Menurut BOIES, Foetor dalam hidung

adanya nekrosis mukosa & adanya organisme saprofit pus yang kronis & berbau dalam sinus maksilaris mungkin juga berasal

dari gigi- Menurut BOYD, nekrosis dapat disebabkan oleh :

Berkurangnya aliran darah Toksin bakteri Iritasi secara fisik / kimiawi

Sel-sel yg mati à mengalami pembusukan oleh organisme saprofit- Kesimpulan, foetor ex nasi dpt disebabkan oleh :

1. Pembusukan sel-sel mati (benda-benda organik) / korpus alineum oleh kuman saprofit

2. Pembusukan sel-sel jaringan yg nekrotik akibat dari :a. Trauma à kerusakan sampai kematian jaringan krn tdk mendpt

suplai darah à nekrosis & infeksi sekunder à foetor ex nasib. Radang oleh iritasi fisik/kimiawic. Toksin bakterid. Neoplasma maligna dg bagian-bagian nekrotik

PF & PPAnamnesis perlu disesuaikan dg pemeriksaan, salah satu px yg perlu dilakukan adalah : menentukan apakah discharge purulent / sanguinous, dan apakah discharge sgt banyak (profuse.Diagnosis

1) Korpus Alineumo Kebanyakan benda-benda kecil : biji buah, manik-manik, kancing, karet

penghapus, kelereng, kacang polong, batu & kacang tanah.o Sering ditemukan pd anak-anak & biasanya unilateral à umumnya

ditemukan pd bagian anterior vestibulum/ pd meatus nasi inferior sepanjang dasar hidung.

o Gejala : obstruksi (unilateral) & sekret yang berbau

2) Rinolito Juga dianggap sbg benda asing tipe khusus yg biasanya tdpt pd org dewasa :

berupa garam-garam tak larut dlm sekret hidung à membentuk suatu massa berkapur sebesar benda asing yg tertahan lama/bekuan darah.

o Warna sedikit abu2, agak coklat/hitam kehijau-hijauan

3) Difteri hidungo Ada 2 tipe :1. Primer :

- terbatas pd hidung- bersifat benigna

2. Sekunder :- berasal/bersama2 dg difteri faring- bersifat maligna (krn biasanya disertai gejala konstitusional)

o Discharge biasanya bilateral, sanguionus, srg disertai ekskoriasi vestibulum nasi

4) Sinusitiso Dpt terjadi pd

Anak-anak (unilateral/bilateral):- Discharge à banyak & bilateral- Srg disertai infeksi pd adenoid & alergi hidung- Gejala : nasal obstuksi, persisten mukopurulen discharge,

frequent colds- Pd anak2 diragukan apakah penderita sendiri membau/tdk,

namun org lain membauDewasa (unilateral/bilateral) srg menyadari adanya bau yg tdk enak dlm hidungnya tp

kadang2 hiposmia bila ada obstruksi & bersifat temporer

5) Rinitis Atrofi (Ozaena)o Disebut jg rhinitis chronica atrophicans cum foetida ( wanita

pubertas >> pria)o Karakteristiknya :

- Atrofi mukosa & jar pengikat submukosa struktur fossa nasalis- Disertai adanya krusta yg berbau khas- Penderita mengalami anosmia, sdgkn org lain tdk tahan baunya

o Dx : - Discharge yg berbau- Bersifat bilateral- Terdpt krusta kuning kehijau2an

6) Nasofaringitis kroniso infeksi virus à virulen à meluas kesegala araho daya tahan tubuh baik à self limiting diseaseo atau bisa mjd kronis & discharge nasofaring (bilateral) mjd purulen

serta mulai timbul bau

7) Rinitis Kaseosao Adl perubahan kronis inflamatoar dlm hidung dg adanya

pembentukan jar granulasi & akumulasi massa spt keju yg menyerupai kolesteatoma

o Etiologi :- Akibat radang kronis & nasal stenosis sekunder yg menyumbat

nasal discharge à perubahan mekanis, kimiawi & deskuamasi scr trs menerus à penumpukan massa (spt keju menyerupai kolesteatoma)

o Bersifat unilateral ( penderita & org lain membau), tjd pd semua umur (30-40th)

8) Radang kronis spesifika) Sifilis tertier

- Berupa gumma yg srg mengenai septum bagian tulang, yaitu pd vomer & srg mencapai palatum durum

- Jk nekrosis mengenai tulang & meluas ke kartilago à perforasi septum

- Foetor bersifat bilateralb) Tuberkulosis

- Dlm hidung, tuberkuloma yg byk mengenai septum bagian kartilago à jk mengalami nekrosis à tjd perforasi septum

- Foetor bersifat bilateral

9) Neoplasma malignao Gejala : nasal obstruction (unilateral) & nassal bleedingo Penegakkan dx : biopsi (diambil pd bagian yg tdk nekrosis)

(Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher, 2001)

DD hidung berbau :polip hidung, sinusitis

POLIP HIDUNG• Karena polip bisa terjadi akibat peradangan kronis pada mukosa hidung yang berturbulensi,

terutama didaerah sempit terutama didaerah osteomeatal. Terjadi prolaps submukosa yang diikuti oleh reepitelisasi dan pembentukan kelenjar baru.juga terjadi penyerapan natrium oleh permukaan sel epitel yang berakibat retensi air sehingga terbentuk polip. Cara mendiagnosis :

• Anamnesis : keluhan utamaà hidung tersumbat, rinore mulai jernih sampai purulen, disertai bersin-bersin, nyeri kepala, bila ada infeksi disertai post nasal drip dan rinore purulen.

• Pemeriksaan fisik : menyebakan deformitas hidung luar sehingga hidung tampak mekar karena pelebaran batang hidung. Pada rinoskopi anterior tampak masa yang pucat yang berasal dari meatus medius dan mudah digerakan.

• Stadium polip mackay dan lund (1997) : stadium 1 polip terbatas di meatus medius; stadium 2 keluar dari meatus medius, tampak di rongga hidung tapi belum memenuhi rongga hidung; stadium 3 polip yang massif. Etiologi

• Adanya peradangan kronik dan berulang pada mukosa hidung dan sinus • Adanya gangguan keseimbangan vasomotor• Adanya peningkatan cairan intersitial dan edema mukosa hidung• Fenomema bernoulli menjelaskan bahwa udara yang mengalir melalui tempat yang sempit

akan mengakibatkan tekanan negatif pada daerah sekitarnya. Jaringan yang lemah akan terhisap oleh tekanan negatif ini sehingga mengakibatkan edema mukosa danpembentukan

polip. Fenomena ini menjelaskan mengapa polip kebanyakan berasal dari area yang sempit di komplek ostiomeatal (KOM) di meatus medius. Patogenesis

• Edema mukosa di daerah meatus medius à stroma akan terisi oleh cairan interseluler à mukosa yang sembab menjadi polipoid à Mukosa yang sembab makin membesar à turun ke dalam rongga hidung sambil membentuk tangkai à polipMikroskopis

• Tampak epitel pada polip serupa dengan mukosa hidung normal yaitu epitel bertingkat semu bersilia dengan submukosa yang lembab. Sel-selnya terdiri dari limfosit, plasma, eosinofil, neutrofil dan makrofag, mukosa mengandung sel-sel goblet. Pembuluh darah sangat sedikit dan tidak mempunyai serabut saraf. Polip yang sudah lama dapat mengalami metaplasia epitel karena sering terkena aliran udara, menjadi epitel transisional, kubik atau gepeng berlapis tanpa keratinisasi.Diagnosis

• Pada anamnesis kasus polip keluhan utama biasanya ialah hidung tersumbat. Sumbatan ini menetap, tidak hilang-timbul dan semakin lama semakin berat. Pasien sering mengeluhkan terasa ada massa di dalam hidung dan sukar membuang ingus. Gejala lain ialah gangguan penciuman (anosmia atau hiposmia). Gejala sekunder dapat terjadi bila sudah disertai kelainan organ di dekatnya berupa: adanya post nasal drip, sakit kepala, nyeri muka, suara nasal (bindeng), telinga rasa penuh, mendengkur, gangguan tidur dan penurunan kualitas hidup.

• Dengan pemeriksaan rinoskopi anterior biasanya polip sudah dapat dilihat. Polip yang masif sering sudah menyebabkan deformitas hidung luar. Kalau ada fasilitas endoskopi untuk pemeriksaan hidung, polip yang masih sangat kecil dan belum keluar KOM dapat terlihat. Pemeriksaan penunjang berupa foto Rontgen polos atau CT scan dibuat untuk mendeteksi adanya sinusitis. Pemeriksaan biopsi dapat diindikasikan jika ada massa unilateral pada pasien usia lanjut, jika penampakan makroskopis menyerupai keganasan atau bila pada foto, Rontgen ada gambaran erosi tulang.Terapi

• Pengobatannya berupa terapi medikamentosa dan operasi. Terapi medikamentosa ditujukan untuk polip yang masih kecil (belum memenuhi rongga hidung) yaitu pemberian kortikosteroid sistemik yang diberikan dengan dosis tinggi dalam jangka waktu singkat. Dapat juga berupa kortikosteroid intranasal atau kombinasi keduanya. Pada pengobatan kor-tikosteroid sistemik harus perhatikan kontraindikasi dan efek samping. Bila ada tanda infeksi perlu diberikan antibiotika.

• Tindakan pengangkatan polip atau polipektomi dapat dilakukan menggunakan senar polip dengan anestesi lokal, untuk polip yang besar tetapi belum memadati rongga hidung. Operasi pengangkatan polip dan operasi sinus pada polip hidung biasanya diindikasikan pada polip yang sudah sangat besar atau kasus polip berulang atau bila jelas ada kelainan di KOM. Jenis operasinya ialah etmoidektomi atau Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF). Dapat juga dilakukan terapi kombinasi, yaitu pemberian medikamentosa sebelum dan setelah tindakan operasi. Antibiotika diberikan bila ada tanda infeksi dan sebagai profilaksis pasca operasi. Perlu juga diperhatikan pengobatan alergi bila merupakan faktor penyebab timbulnya polip.

DD perdarahanDD benda asing

9. Komplikasi dari penanganan ekstraksi benda asing?