riskesdas-laporan prov. ntb

204
1 LAPORAN RISKESDAS 2007 PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT DEPARTEMEN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN 2008

Upload: muhammad-faizul-anwar

Post on 21-Nov-2015

41 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

rudi

TRANSCRIPT

  • 1

    LAPORAN RISKESDAS 2007

    PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

    DEPARTEMEN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN

    2008

  • 2

    DAFTAR ISI

    I. STATUS GIZI 1.1. Status Gizi Balita 1.2. Indeks Masa Tubuh 1.3. Konsumsi Energi dan Protein 1.4. Garam Iodium

    II. KESEHATAN IBU DAN ANAK 2.1. Status Imunisasi 2.2. Perkembangan Balita 2.3. Cakupan Pelayanan Kesehatan Bayi

    III. PENYAKIT MENULAR IV. PENYAKIT TIDAK MENULAR

    4.1. Penyakit Tidak menular Utama, Penyakit Sendi, Penyakit Keturunan, dan factor Resiko Penyakit Tidak Menular

    4.2. Gangguan Mental Emosional 4.3. Penyakit Mata 4.4. Kesehatan Gigi 4.5. Disabilitas

    V. PERILAKU 5.1. Merokok 5.2. Konsusmsi Buah dan Sayur 5.3. Minuman Beralkohol 5.4. Aktivitas Fisik 5.5. Pengetahuan tentang Flu Burung 5.6. Pengetahuan Tentang HIV/AIDS 5.7. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat

    VI. AKSES DAN PEMANFAATAN PELAYANAN KESEHATAN 6.1. Akses dan Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan 6.2. Tempat Berobat dan Sumber Biaya 6.3. Ketanggapan Pelayanan Kesehatan

    VII. KESEHATAN LINGKUNGAN VIII. BOMEDIS

  • 3

    BAB I PENDAHULUAN

    Latar belakang Untuk mencapai visi masyarakat yang mandiri untuk hidup sehat, Departemen

    Kesehatan mengembangkan misi: memmbuat rakyat sehat. Sebagai penjabarannya

    telah dirumuskan 4 strategi utama dan 17 sasaran. Balitbangkes mempunyai fungsi

    menunjang sasaran 14, yaitu berfungsinya sistem informasi kesehatan yang evidence

    based di seluruh Indonesia. Untuk itu diperlukan data status dan upaya kesehatan

    yang berbasis komunitas yang meliputi seluruh wilayah.

    Di era reformasi ini, banyak urusan termasuk bidang kesehatan, yang telah

    didesentralisasikan ke tingkat kabupaten / kota. Sejalan dengan Undang-Undang

    nomer 32 tahun 2004, perencanaan bidang kesehatan berada di tingkat kabupaten /

    kota. Untuk menunjang proses perencanaan pembangunan kesehatan yang akurat,

    diperlukan data yang evidence based berupa status dan upaya kesehatan berbasis

    komunitas di tiap kabupaten / kota.

    Hasil survei yang berbasis populasi seperti Surkesnas (SDKI, Susenas modul, SKRT)

    yang selama ini dilakukan belum memadai untuk perencanaan kesehatan oleh

    kabupaten / kota karena tingkat keterwakilan hasil survei yang baru sampai tingkat

    kawasan atau propinsi.

    Disamping itu sampai saat ini belum tersedia peta status kesehatan (termasuk data

    biomedis) dan upaya kesehatan tingkat kabupaten / kota, sehingga belum ada dasar

    yang kuat untuk menentukan alokasi anggaran dari pusat yang berbasis status

    kesehatan antar kabupaten / kota.

    Atas dasar berbagai pertimbangan di atas, maka sangat diperlukan adanya riset

    kesehatan dasar, yang bisa menyediakan informasi tentang status (termasuk data

    biomedis) dan upaya kesehatan yang berbasis komunitas dengan representasi sampai

    tingkat kabupaten/kota.

    Kemajuan teknologi kesehatan dan demand masyarakat di bidang kesehatan,

    membuat informasi yang dibutuhkan bukan hanya aspek kesehatan masyarakat, tetapi

    juga biomedis. Oleh karena itu untuk riset kesehatan dasar kali ini diteliti pula berbagai

    penyakit yang diderita masyarakat melalui pemeriksaan biomedis, baik dari spesimen

    darah maupun urin.

  • 4

    Batasan Riskesdas Riskedas adalah riset berbasis masyarakat tingkat kabupaten/kota yang

    menggambarkan informasi kesehatan dasar termasuk biomedis, dengan menggunakan

    sampel susenas kor.

    Dalam riset kesehatan dasar ini:

    1. Populasi riset ini adalah seluruh rumah tangga.

    2. Sampel: rumah tangga mewakili kabupaten / kota sebesar 18 ribu blok sensus (BS),

    tiap kabupaten / kota ditarik sampel antara 12 - 88 BS, tergatnug besarnya

    penduduk di kabupaten / kota tersebut.

    3. Tiap blok sensus diambil 16 rumah tangga, sehingga riskesdas ini meliputi sekitar

    280.000 RT.

    4. Pada riskesdas ini juga dilakukan pemeriksaan urin iodium pada 30 kabupaten /

    kota terpilih, dari tiap rumah tangga terpilih diambil seluruh anak usia sekolah (6-12

    th)

    5. Spesimen biomedis diambil sebanyak 15% BS daerah urban (menurut batasan

    BPS) yaitu sekitar 960 BS, diperkirakan mencakup 30.000 spesimen.

    Dibandingkan dengan survei berbasis komunitas yang selama ini dilakukan, tingkat

    keterwakilan Riskesdas adalah sebagai berikut.

    Tingkat keterwakilan informasi

    Indikator

    SDKI

    SKRT

    KOR

    Susenas

    Riskesdas

    Sampel 35.000 10.000 280.000 280.000

    Pola Mort Nasional S/J/KTI -- Nasional

    Perilaku -- S/J/KTI Kabupaten Kabupaten

    Gizi -- S/J/KTI Propinsi Kabupaten

    Sanling -- S/J/KTI Kabupaten Kabupaten

    Penyakit -- S/J/KTI -- Prop/Kab

    Cedera & Kecelakaan Nasional S/J/KTI -- Prop/Kab

    Disabilitas -- S/J/KTI -- Prop/Kab

    Gigi & Mulut -- -- -- Prop/Kab

    Biomedis -- -- -- Nas/Kota

    Keterangan:

    S: Sumatera, J: Jawa-Bali, KTI (Kawasan Timur Indonesia)

  • 5

    Pertanyaan Penelitian Pernyataan riset kesehatan dasar adalah sebagai berikut:

    1. Bagaimana status kesehatan masyarakat di tiap wilayah: nasional. Propinsi dan

    kabupaten / kota?

    2. Bagaimana keadaan faktor-faktor yang mempengaruhi status kesehatan

    masyarakat di tiap wilayah: nasional, propinsi dan kabupaten / kota?

    3. Bagaimana masalah kesehatan masyarakat yang spesifik di setiap kabupaten / kota

    dan propinsi?

    Tujuan Riskesdas Tujuan Riskesdas adalah sebagai berikut:

    1. Menyediakan informasi untuk perencanaan kesehatan di tingkat nasional, provinsi

    dan kabupaten / kota.

    2. Membandingkan perkembangan status dan upaya kesehatan baik tingkat propinsi

    maupun kabupaten / kota.

    3. Menyediakan data yang evidence based untuk acuan alokasi pembiayaan

    pemerintah pusat ke propinsi dan kabupaten / kota.

    4. Memberikan pemetaan masalah kesehatan, baik antar propinsi maupun kabupaten /

    kota.

    Kerangka Pikir Kerangka pikir riset kesehatan dasar menggunakan kerangka pikir Blum (1974, 1981)

    yang menyatakan bahwa status kesehatan masyarkat itu dipengaruhi oleh 4 faktor

    yang saling berinteraksi yaitu: faktor lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan dan

    keturunan. Bagan kerangka pikir Blum adalah sebagai berikut:

  • 6

    Pada Riskesdas tahun 2007 ini belum semua indikator baik pada status kesehatan

    maupun ke 4 faktor2 yang mempengaruhi status kesehatan tersebut. Indikator yang

    digunakan untuk mengukur status kesehatan dan faktor2 yang mempengaruhinya pada

    Riskesdas 2007 adalah sebagai berikut:

    Status kesehatan diukur dengan:

    1. Mortalitas (deskripsi kematian dan prola penyebab kematian untuk semua umur)

    2. Morbiditas yang meliputi prevalensi penyakit menular dan penyakit tidak mmenular

    3. Disabilitas

    4. Status gizi baik untuk balita, ibu hamil WUS maupun semua umur dengan

    menggunakan IMT.

    5. Kesehatan jiwa

    Faktor lingkungan diukur dengan:

    1. Konsumsi gizi meliputi konsumsi energi, protein, vitamin dan mineral.

    2. Lingkungan fisik meliputi air minum, sanitasi, polusi dan sampah.

    3. Lingkungan sosial (tingkat pendidikan, tingkat ekonomi, perbandingan kota desa

    dan perbandingan antar propinsi / kabupaten / kota.

    Faktor perilaku diukur dengan:

    1. Perilaku merokok / konsumsi tembakau dan alkohol

    Status Kesehatan

    Keturunan Kependudukan

    Pelayanan Kesehatan

    Lingkungan Fisik & Kimia

    Biologis

    Perilaku Sosial Budaya

  • 7

    2. Perilaku mengkonsumsi sayur dan buah

    3. Perilaku aktivitas fisik

    4. Perilkau gosok gigi

    5. Perilaku hygienis (cuci tangan, buang air besar)

    6. Pengetahuan sikap dan perilaku terhadap flu burung, HIV/AIDS

    Faktor pelayanan kesehatan diukur dengan:

    1. Akses terhadap pelayanan kesehatan termasuk untuk upaya kesehatan berbasis

    masyarakat.

    2. Utilisasi pelayanan kesehatan

    3. Ketanggapan pelayanan kesehatan

    4. Cakupan program KIA (pemeriksaan kehamilan, pemeriksaan bayi dan imunisasi).

    Pengorganisasian Riskesdas Pengorganisasian riskesdas dibagi menjadi berbagai tingkat sebagai berikut:

    1. Organisasi tingkat pusat

    2. Organisasi tingkat wilayah (4 wilayah)

    3. Organisasi tingkat provinsi

    4. Organisasi tingkat kabupaten

    5. Tim pengumpul data

    Organisasi Riskesdas tingkat pusat Organisasi Riskesdas di tingkat pusat adalah sebagai berikut:

    1. Tim Penasehat terdiri dari Menteri Kesehatan, para pejabat eselon I di lingkungan

    Departemen Kesehatan, Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional

    dan Kepala Badan Pusat Statistik.

    2. Tim Pengarah terdiri dari Kepala Badan Litbangkes, Staf Ahli Menkes, Kepala

    Badan Litbang Depdagri, Ketua Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan, Direktur

    Statistik Ketahahan Sosial BPS, Direktur Statistik Kependudukan BPS, Kepala

    Pusat Pendidikan dan Pelatihan Badan PPSDM Kesehatan.

    3. Tim Pakar terdiri dari para pakar di bidang kesehatan dan kedokteran, peneliti

    senior dari Litbangkes, Badan Pusat Statistik dan LIPI.

    4. Tim Teknis terdiri dari Kepala Pusat Litbang Gizi dan Makanan Badan Litbang

    Kesehatan, Direktur Statistik Kesra BPS, Peneliti senior Badan Litbangkes.

    5. Tim Manajemen terdiri dari Sekretaris Badan Litbangkes, pejabat eselon II, III, IV di

    lingkungan Badan Litbangkes.

  • 8

    Organisasi Riskesdas tingkat wilayah Untuk seluruh Indonesia, operasionalisasi riskesdas dibagi menjadi 4 wilayah. Tiap

    Puslitbang diberi tanggung jawab opeerasional satu wilayay, dengan pembagian

    sebagai berikut:

    Tabel Pembagian tannggung jawab operasional wilayah Riskesdas

    Wilayah Korwil Propinsi

    I Puslitbang Ekologi &

    Status Kesehatan

    NAD, Sumut, Sumbar, Riau, Keppri,

    Jambi, Sumsel dan Babel

    II Puslitbang Biomedis &

    Farmasi

    DKI Jakarta; Banten; Jateng; DI

    Jogjakarta; Kalteng; Kaltim; Kalbar; Kalsel

    III Puslitbang Sistem &

    Kebijakan Kesehatan

    Bali; NTB; NTT; Jatim; Maluku; Maluku

    Utara; Irian Jaya Barat; Papua

    IV Puslitbang Gizi &

    Makanan

    Jabar; Bengkulu; Lampung; Sulut; Sulteng;

    Sulbar; Sulsel; Sultra; Gorontalo

    Di masing-masing wilayah dibentuk organisasi Riskesdas yang pada umumnya adalah

    sebagai berikut:

    Penanggung Jawab Wilayah Ka Puslitbang

    Wakil Penanggung Jawab Wilayah Peneliti Senior

    Penanggung Jawab Teknis Propinsi Kabid/Kabag/Peneliti Senior

    Wakil Penanggung Jawab Teknis

    Propinsi

    Kabid/Kabag/Peneliti Senior

    Penanggung Jawab Teknis Kab/Kota Peneliti Puslitbang / Dosen Poltekkes

    Penanggung Jawab Administratif Staf Bidang/Bagian

    Organisasi tingkat Propinsi Susunan organisasi Riskesdas di tingkat propinsi adalah sebagai berikut:

    Pengarah: Sekretaris Daerah,

    Kepala Litbangda

    Tim Pelaksana:

    Ketua Kadinkes Provinsi

  • 9

    Kabid operasional Kasubdin yang ditunjuk

    Kabid teknis Peneliti Balitbangkes

    Sekretaris Kasi Litbang / Kasi Puldata

    Anggota Peneliti Balitbangkes, Ka BPS, Direktur Poltekes,

    Ka.Labkesda Propinsi

    Sekretariat Pengelola logistik dan keuangan

    Adapun tugasnya adalah:

    1. Rekruitmen tenaga pelatih tingkat Kab/Kota

    2. Mengkoordinasikan Riskesdas di kab/kota

    3. Persiapan lapangan

    4. Diseminasi dan sosialisasi

    5. Identifikasi sumberdaya (dana, SDM)

    6. Mengelola keuangan dan logistik

    7. Monitoring pelaksanaan Riskesdas

    8. Membuat laporan pelaksanaan Riskesdas

    Organisasi di tingkat Kabupaten/Kota Susunan organisasi Riskesdan tingkat kabupaten / kota adalah sebagai berikut:

    Pengarah Sekretaris daerah

    Tim Pelaksana

    Ketua Umum Kadinkes Kab/Kota

    PJ Operasional Kasubdin atau Kabag

    PJ Teknis Peneliti Balitbangkes / Poltekkes / Dinkes / PT

    Sekretaris Kasi Litbang/lainnya yang ditunjuk Dinkes

    Anggota Ka BPS Kab/Kota, Ka. Lab RSU

    Sekretariat Pengelola logistik dan keuangan

    Tugasnya adalah sebagai berikut:

    1. Menyusun POA, termasuk identifikasi SDM & Dana

    2. Merekrut tenaga pengumpul data

    3. Mempersiapkan Lapangan Riskesdas

    4. Mengambil Sketsa RT dalam BS, DSRT terpilih dan fotocopi blok I-IV Susenas Kor

    dari BPS kab/kota

    5. Mengelola keuangan dan logistik

  • 10

    6. Monitoring pelaksanaan Riskesdas

    7. Membuat laporan pelaksanaan Riskesdas

    8. Mengkoordinasikan dengan Puskesmas untuk memobilisasi Responden Biomedis

    ke RS/Lab yang ditunjuk terdekat.

    9. Mengirimkan kuesioner ke masing masing korwil.

    10. Mengumpulkan, mengemas, dan mengirimkan spesimen urine dan garam (30

    Kab/Kota terpilih) ke Lab yang ditunjuk.

    11. Fotocopy bukti pengiriman kuesioner, spesimen urine, dan sampel garam dikirim ke

    PJO masing masing Propinsi

    Manfaat Riskesdas Manfaat Riskesdas antara lain adalah:

    1. Tersedianya informasi status dan upaya kesehatan berbasis komunitas dengan

    keterwakilan sampai ke tingkat kabupaten / kota.

    2. Tersedianya informasi biomedis yang mewakili daerah perkotaan.

    3. Tersedianya peta masalah kesehatan antar propinsi dan antar kabupaten yang

    sangat bermanfaat untuk penentuan prioritas program per wilayah.

    4. Terjadinya sharing pengetahuan dan pengalaman melaksanakan riset kesehatan

    berskala nasional bagi seluruh peneliti Balitbangkes Depkes.

    Keterbatasan Riskesdas Riset Kesehatan Dasar memrupakan riset berbasis komunitas dengan skala terbesar

    dan dilaksanakan secara swakelola. Sebagai pengalaman pertama tentu ada beberapa

    kelemahan atau kekurangan yang maasih terjadi meski sudah diupayakan sebaik

    mungkin. Beberapa keterbatasan Riskesdas adalah sebagai berikut:

    1. Meski Riskesdas dirancang dengan keterwakilan sampai tingkat kabupaten / kota,

    tetapi tentu saja tidak semua informasi bisa mewakili kabupaten / kota. Hanya

    angka kejadian denganproporis yang relatif besar yang bisa mewakili kabupaten /

    kota. Beberapa angka kejadian yang kecil proporsinya mungkin hanya bisa mewakili

    tingkat propinsi atau bahkan tingkat nasional.

    2. Khusus untuk data biomedis, ketewakilan hanya sampai ke tingat daerah perkotaan.

    3. Validitas data tentu belum seperti yang diharapkan, untuk itu upaya kita menjaga

    validitas data akan diuraikan dalam metodologi.

  • 11

    4. Kecilnya dana, adanya tsunami anggaran dan bencana di beberapa wilayah

    membuat pelaksanaan Riskesdas relatif tidak serentak, ada yang sudah mulai pada

    Juli 2007, tetapi ada pula yang dilakukan pada Pebruari tahun 2008, bahkan untuk 5

    propinsi (Papua, Irjabar, Maluku, Maluku Utara dan NTT) baru dilaksanaan pad

    bulan April Mei, 2008.

    5. Pengumpulan data yang tidak serempak, membuat peerbandingan antar propinsi

    harus hati-hati, khususnya pada penyakit yang bersifat seasonal.

    Persetujuan Etik Riskesdas Riset kesehatan dasar ini telah mendapatkan persetujuan etik dari Komisi Etik

    Balitbangkes Depkes pada tanggal (terlampir).

  • 12

    BAB II METODE PENELITIAN

    Persiapan Riskesdas Riset kesehatan dasar berskala nasional ini memerlukan persiapan yang panjang. Oleh

    karena itu persiapan riskesdas telah dilakukan setahun sebelumnya. Sejak gagasan

    riskesdas digulirkan pada triwulan I tahun 2006, serangkaian kegiatan yang padat dan

    melelahkan terus dilakukan. Rangkaian kegiatan tersebut adalah sebagai berikut:

    Penyusunan proposal riskesdas Gagasan riskesdas segera direalisasikan dengan membentuk tim kecil yang bertugas

    mengembangkan proposal riskesdas yang diarahkan langsung oleh Kepala

    Balitbangkes Depkes. Tim kecil ini mengadakan pertemuan konsinyasi tiap hari Kamis -

    Jumat di Puslitbang Gizi & Makanan Bogor. Tim inilah yang kelak menjadi tim inti

    riskesdas. Luaran dari kerja tim ini adalah proposal awal dan jadwal kasar riskesdas,

    dari tahap persiapan sampai pelaksanaannya nanti di tahun 2007.

    Penyusunan indikator riskesdas Untuk menyusun indikaktor yang akan digali melalui riset kesehatan dasar, dilakukan

    serangkaian pertemuan dengan berbagai pihak, antara lain:

    1. Pertemuan pendahuluan dengan para penelitian Balitbangkes, untuk

    mengumpulkan indikator yang dikumpulkan melalui berbagai survei seperti Susenas

    Kor/Modul, Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT), Survei Demografi dan

    Kesehatan Indonesia (SDKI) dan Survei Kesehatan Daerah (Surkesda).

    2. Petemuan dengan lintas program, lintas sektor termasuk mengundang pakar dari

    Universitas (UI, UGM, Unhas, Unram, dll), untuk menggali indikator kesehatan

    masyarakat dari para pemegang program dan para pakar kesehatan masyarakat.

    3. Pertemuan dengan perhimpunan dokter spesilais dan pakar biomedis untuk

    menggali berbagai indikator yang bisa didapat dari pemeriksaan biomedis

    Pengembangan instrumen riskesdas Setelah indikator yang akan digali melalui riskesdas disepakati, tim inti riskesdas

    kembali melakukan konsinyasi setiap Kamis-Jumat, untuk mengembangkan instrumen

  • 13

    riskesdas. Setelah serangkaian pertemuan konsinyasi, akhinya berhasil dirampungkan

    instrumen riskesdas sebagai berikut.

    1. Instrumen riskesdas bidang kesehatan masyarakat berupa kuesioner dan pedoman

    pengisiannya yang meliputi:

    Kuesioner rumah tangga Kuesioner individu Kuesioner gizi

    2. Instrumen riskesdas biomedis berupa pedoman pengambilan spesmen dan

    manajemen penyimpanan spesimen, baik untuk spesimen darah maupun urin.

    Penjajagan kerjasama dengan BPS Riskesdas digagas bergandengan dengan susenas, agar variabel pada susenas bisa di

    gunakan untuk analisis lanjut data riskesdas, misalnya anakisis kesenjangan status

    kesehatan antara kelompok masyarakat terkaya dengan termiskin. Disamping itu BPS

    adalah lembaga pemerintah yang sangat berpengalaman dalam melaksanakan survei

    berskala besar. Oleh karena itu riskesdas semula akan dilaksanakan bersama BPS.

    Untuk itu beberapa kali pertemuan diadakan khusus untuk membahas kerjasama ini.

    Sebagai langkah nyata, uji coba riskesdas yang dilaksanakan di Kabupaen Sukabumi

    dan Kabupaten Bogor didisain untuk dilaksanakan bersama antara BPS dengan

    Balitbangkes Depkes.

    Uji coba riskesdas di Kabupaten Bogor dan Kabupaten Sukabumi Untuk uji coba riskesdas ini, digunakan blok sensus yang telah dipakai oleh BPS

    sebelumnya. Seluruh mantis (mantri statistik di Kaupaten Bogor dan Kabupaten

    Sukabumi direkrut sebagai pengumpul data, bersama dengan sejumlah tenaga alumni

    poltekkes (poli teknik kesehatan). Para pengumpul data ini dilatih selama 5 hari di

    Bapelkes Ciloto, pada tanggal . Selanjutnya tim pengumpul data gabungan mantis

    dengan alumni poltekkes ini diterjunkan ke lapangan, mengumpulkan data di blok

    sensus terpilih di Kabupaten Bogor dan Kabupaten Sukabumi. Uji coba riskesdas baik

    untuk kuesioner kesehatan masyarakat maupun pengumpulan sepsimen biomedis ini

    dilakukan pada tanggal

    Hasil dari uji coba riskesdas ini adalah sebagai berikut:

    1. Kuesioner riskesdas banyak menggunakan istilah kesehatan, sehingga para mantis

    tidak sepenuhnya memahami istilah-istilah tersebut.

  • 14

    2. Pelaksanaan riskesdas dengan kuesioner yang cukup tebal memerlukan waktu

    yang relatif lama, karena seluruh individu dalam setiap rumah tangga terpilih

    dilakukan wawancara dan pengukuran.

    3. Banyak masukan untuk perbaikan kuesioner baik secara substantif maupun alur

    pertanyaannya.

    4. Juga banyak masukan dari aspek pendanaan, berapa biaya yang layak untuk

    pengumpulan data di lapangan, termasuk perlunya biaya tambahan untuk daerah

    sulit.

    Pengalaman uji coba riskesdas di Kabupaten Bogor dan Kabupaten Sukabumi,

    dilakukan kajian terhadap rencana kerja sama dengan BPS. Disepakati bahwa dalam

    pengumpulan data, mantri statistik tidak mungkin dimanfaatkan karena 2 alasan:

    1. Pekerjaan rutin mantri statistik untuk melaksanakan berbagai survei yang

    dilaksanakan oleh BPS dengan jadwal yang ketat, tidak memungkinkan mantri

    statistik untuk menyisihkan waktu bagi pelaksanaan riskesdas.

    2. Mantri statistik belum memahami berbagai istilah kesehatan yang banyak

    digunakan pada instrumen riskesdas.

    BPS tetap membantu pelaksanaan riskesdas sebagai konsultan di tingkat pusat dan

    meyediakan daftar sampel rumah tangga teroilih dalam blok sensus yang dipilih

    sebagai sampel susenas.

    Penambahan indikator dan perbaikan instrumen Setelah uji coba riskesdas, pertemuan tim riskesdas terus dilanjutkan dan beberapa

    tambahan variabel yang ingin dimasukkan ke dalam instrumen riskesdas terus

    bertambah. Dari Unicef memberikan bantuan khusus untuk pemeriksaan spesimen urin

    dan tes garam beryodium di sekuruh rumah tangga sampel. Perilaku konsumsi gizi juga

    ditambahkan sehingga melahirkan instrumen khusus gizi. Selain itu tambahan variabel

    kesehatan gigi dan mulut juga disepekati. Penyempurnaan terus dilakukan sampai

    detik-detik akhir sebelum kuesioner digandakan.

    Sosialisasi riskesdas ke seluruh propinsi. Langkah selanjutnya adalah melakukan sosialisasi riskesdas ke seluruh propinsi. Tidak

    ada anggaran khusus untuk kegiatan ini, sehingga tim riskesdas meminta Dinas

    Kesehatan di seluruh propinsi untuk menginformasikan kapan ada pertemuan jajaran

    kesehatan seluruh propinsi, pada saat itulah tim riskesdas hadir unatuk menyampaikan

    rencana kegiatan riskesdas. Seluruh besar propinsi memberi respon positif, pada

  • 15

    umumnya sosialisasi riskesdas dilakukan pada rakerkesda (rapat kerja kesehatan

    daerah) atau pertemuan serupa lainnya. Beberapa propinsi mengundang tim riskesdas

    untuk sosialisasi 2 kali atau lebih, bahkan beberapa kabupaten / kota juga mengundang

    tim dari Balitbangkes untuk sosialisasi riskesdas di wilayahnya.

    Pelatihan bagi pelatih dan surveyor Untuk mengumpulkan data dengan benar, diperlukan pelatihan untuk memahami

    instrumen penelitian, baik kuesioner riskesdas untuk kesehatan masyarakat maupun

    pedoman pengambilan dan manajemen spesimen untuk biomedis. Mengingat survei ini

    berskala besar untuk seluruh kabupaten / kota di Indonesia, pelatihan dilakukan secara

    berjenjang sebagai berikut:

    Pelatihan untuk pelatih inti (Pupi) Semua penanggung jawab teknis propinsi dan wakilnya (66 orang) adalah pelatih inti.

    Mereka mengiktui pelatihan di Hotel Grand Lembang, selama seminggu, yaitu pada

    tanggal .

    Pelatihnya adalah para peneliti senior Balitbangkes yang menjadi tim inti riskesdas.

    Pelatihan untuk pelatih (Pup) Seluruh pelatih inti, yaitu para penanggung jawab teknis propinsi dan wakilnya

    bertindak sebagai pelatih pada pelatihan untuk pelatih yang diselenggarakan di

    masing-masing wilayah, dikoordinir oleh masing-masing penanggung jawab wilayah

    (Puslitbang). Pesertanya adalah seluruh penanggung jawab teknis kabupaten / kota,

    yaitu:

    1. Para peneliti di Balitangkes Depkes.

    2. Para dosen poltekkes atau staf Dinas Kesatan di daerah yang direkrut sebagai

    penanggung jawab teknis kabupaten / kota

    Selain model ceramah, diterapkan pula metoda micro teaching karena pada pserta

    pelatihan nanti akan bertindah sebagai pelatih surveyor.

    Jumlah penanggung jawab teknis kabupaten / kota yang mengiktui pelatihan bagi

    pelatih ini sesuai dengan jumlah kabupaten / kota di Indonesia, yaitu sebanyak 461

    orang.

    Pelatihan surveyor Seluruh penanggung jawab teknis kabupaten / kota dibawah koordinasi penanggung

    jawab teknis propinsi dan wakilnya, menjadi pelatih pada pelatihan surveyor yang

    dilaksanakan di seluruh Indonesia. Biasanya pelatihan surveyor dari beberapa

    kabupaten / kota dijadikan satu, sehingga dalam satu propinsi biasanya ada beberapa

  • 16

    tempat pelatihan surveyor. Pada riskesdas ini jumlah surveyor yang direkrut adalah

    sebanyak orang, sebagian besar adalah alumni poltekkes dan sebagian lagi adalah

    stag Dinas Kesehatan setempat. Pelatihan dilakukan selama 5 haru penuh, termasuk 1

    hari praktek pengumpulan data dan pengukuran di lapangan.

    Pelatihan petugas biomedis. Untuk biomedis, pelatihan petugas pengambil spesimen dan manajemen spesimen

    juga dilakukan. Pesertanya adalah para analis atau petugas laboratorium dari rumah

    sakit daerah atau laboratorium. Peltihanya adalah peneliti dan Puslitbang Biomedis dan

    petugas Labkesda setempat. Pelatihan dilaksanakan di tiap propinsi.

    Rapat koordinasi teknis di wilayah Masalah pertanggung-jawaban keuangan riskesdas juga tidak kalah rumitnya, karena

    pelaksana riskesdas berada di blok sensus di seluruh pelosok tanah air, sementara

    pertanggung-jawaban keuangan harus dikirimkan ke pusat, karena dananya memang

    dari pusar. Untuk melancarkan aliran dana dan petangung-jawaban kegiatan riskesdas,

    dilakukan pertemuan teknis antara tim riskesdas pusat dengan para penanggung jawab

    operasional tingkat propinsi (salah satu eselon III di Dinas Kesheatan Propinsi) dan

    penanggung jawab operasional tingkat kabupaten/kota (salah satu eselon III di nDinas

    Kesehatan Kabupaten / Kota). Pertemuan ini dikoordinir oleh masing-masing

    Puslitbang selaku penanggung jawab wilayah.. Luaran dari pertemuan ini adalah

    kesamaan persepsi tentang alokasi dana per wilayah dan sistem pertanggung-

    jawabannya.

    Rapat kordinasi di tiap propinsi Rapat koordinasi di tiap propinsi dilakukan sebelum pelaksanaan pengumpulan data di

    lapangan. Rapat koordinasi diselenggarakan di ibu kota propinsi, dihadiri secara

    lengkap oleh berbagai pihak yang terlibat dalam riskesdas di propinsi yang

    bersangkutan, yaitu:

    1. Seluruh tim riskesdas propinsi

    2. Para penanggung jawab operasional tingkat propinsi dan wakilnya.

    3. Para penanggung jawab operasional tingkat kabupaten / kota dan wakilnya

    4. Para penanggung jawab teknis propinsi (yaitu peneliti senior dari Balitbangkes)

    5. Para penaggung jawab teknis kabupaten / kota (yaitu para peneliti dari

    Balitbangkes, dosen poltekkes atau staf Dinas Kehatan setempat).

    6. Wakil dari rumah sakit yang ikut dalam pengambilan sampel biomedis.

  • 17

    7. Wakil dari BPS propinsi dan kabupaten / kota sebagai penyedia daftar rumah

    tangga yang telah terpilih sebagai sampel susenas.

    Luaran dari rapat koordinasi ini adalah jadwal pelaksanaan pengumpulan data di

    masing-masing kabupaten / kota, baik untuk kesehatan masyarakat maupun biomedis.

    Pelepasan oleh Menteri Kesehatan Pada tanggal dilakukan kegiatan khusus yaitu pelepasan tim riskesdas oleh Ibu Menteri

    Kesehatan, yang dilaksanakan di Aula Departemen Kesehatan. Setelah mendengarkan

    laporan singkat persiapan pelaksanaan riskesdas oleh Kepala Balitbangkes Depkes,

    Ibu Menteri Kesehatan berkenan melepas tim riskesdas, dari peneliti sampai surveyor,

    untuk bergegas ke lapangan melaksanakan riskesdas di seluruh kabupaten / kota di

    Indonesia.

    Pengumpulan data di lapangan Tahap yang paling penting adalah pengumpulan data di tiap kabupaten / kota.

    Biasanya pengumpulan data diawali dengan pembekalan singkat oleh penanggung

    jawab teknis dan penanggung jawab operasional kabupaten / kota yang bersangkutan,

    dirumuskan strategi pengumpulan data yang digunakan, dilakukan pembagian wilayah,

    baru kemudian pengumpulan data dilaksanakan. Beberapa kabupaten / kota ada yang

    menyelenggarakan pelepasan surveyor oleh Bapak Bupati / Walikota setempat.

    Pengumpulan data tidak bisa serentak dilakukan karena:

    1. Ada tsunami anggaran, sehingga pencairan dana bervariasi. Wilayah I dan II bisa

    mencairkan anggaran sebleum tsunami, sehingga bisa melaksanakan pengumpulan

    data lebih awal, sedangkan wilayah III dan IV lebih lambat. Bahkan 5 propinsi yang

    daerahnya sulit (Papua, Irian Jaya Barat, Maluku, Maluku Utara dan Nusa Tenggara

    Timur), baru dilaksanakan pada tahun 2008.

    2. Kesiapan daerah juga bervariasi, seingga pelaksanaan antar propinsi dan

    kabupaten / kota tidak sama.

    3. Kondisi geografis sampel terpilih. Di daerah kepulauan dan terpencil, memerlukan

    tambahan transport daerah sulit yang cairnya belakangan, sehingga pengumpulan

    data juga terlambat.

    Riskesdas Kesehatan Masyarakat Disain penelitian Disain riskesdas adalah penelitian potong lintang dengan cara survei ke masyarakat.

  • 18

    Cara pengambilan dan besar sampel Cara pengambilan dan besar sampel sama dengan Susenas Kor. (rincian lebih lanjut

    ajab diurai sesuai dengan uraian pada hasil susenas kor oleh BPS.

    Jumlah BS dan rumah tangga terpilih per kabupaten / kota di seluruh Indonesia dapat

    dilihat pada lampiran.

    Informasi yang dihasilkan Informasi kesehatan masyarakat mencakup informasi tentang status kesehatan

    masyarakat dan faktor2 yang mempengaruhi status kesehatan sebagai berikut:

    Status kesehatan masyarakat meliputi:

    1. Angka kematian dan pola penyakit penyebab kematian

    2. Angka kesakitan:

    Penyakit menular (ISPA, pnemonia, campak, typhoid, malaria, diare, TBC, DBD, hepatitis, filariasis)

    Penyakit tidak menular (jantung, DM, tumor, sendi, hipertensi, stroke, gangguan refraksi, katarak, asma, kes. gigi & mulut)

    3. Disabilitas/ketidak-mampuan

    4. Status gizi balita, WUS, dan ibu hamil

    5. Kesehatan mental

    Faktor yang berpengaruh terhadap status kesehatan, meliputi:

    1. Faktor lingkungan

    Air minum Sanitasi layak Polusi Sampah

    2. Faktor perilaku

    Konsumsi makanan rumah tangga Pengetahuan, sikap dan perilaku (flu burung, HIV/AIDS, perilaku hygienis,

    tembakau, alkohol, aktivitas fisik, pola konsumsi)

    Konsumsi garam beriodium 3. Faktor program/pelayanan kesehatan

    Akses terhadap pelayanan kesehatan Ketanggapan pelayanan kesehatan (rawat inap dan berobat jalan)

  • 19

    Instrumen yang digunakan Instrumen yang digunakan dalam riskesdas ini adalah:

    1. Kuesioner, terdiri dari: kuesioner rumah tangga, kuesioner individu, kuesioner gizi

    dan kuesioner autopsi verbal (kematian)

    2. Alat pengukuran dan pemeriksaan: timbangan berat badan, microtoise, alat ukur

    panjang badan bayi, tensimeter digital, pita lila, alat ukur lingkar perut, kartu snelen,

    pinhole, kaca mulut, tes cepat iodium, kartu peraga

    Pengumpul data Instrumen riskesdas banyak menggunakan istilah kesehatan, sehingga diperlukan

    surveyor yang biasa dengan istilah-istilah kesehatan. Oleh karena itu diperlukan

    surveyor yang berpendidikan kesehatan sebagai berikut:

    1. Minimal lulusan D III Kesehatan yang berdomisili di kabupaten setempat

    2. Apabila tidak ada lulusan DIII Kesehatan, dimanfaatkan tenaga kesehatan

    setempat.

    Tiap tim surveyor kesehatan masyarakat terdiri dari 4 orang (1 Ketua merangkap

    anggota dengan 3 anggota). Jumlah surveyor di tiap kabupaten di seluruh Indonesia

    dapat dilihat pada lampiran.

    Untuk membekali mereka sebelum pengumpulan data, seluruh surveyor dilatih terlebih

    dahulu selama 6 hari efektif, menggunakan 10 jam / hari, termasuk 1 hari praktek

    lapangan. Rincian jadwal pelatihan dibuat standar, dengan urutan seperti terlampir.

    Waktu pengumpulan data Dilaksanakan bervariasi, paling awal bulan Juli 2007, ada yang Pebruari 2008.

    Menjaga Kualitas Data Dalam Riskesdas diupayakan penjagaan kualitas data sebagai berikut:

    1. Pelatihan surveyor berjenjang (dari MOT, TOT sampai training)

    2. Ada video wawancara dan video pengukuran

    3. Ada praktek lapangan

    4. Ketua tim bertugas memeriksa kelengkapan pengisian kuesioner

    5. Editing dilakukan oleh peneliti

    6. Entry data dilakukan oleh tenaga terlatih

    7. Cleaning data dilakukan oleh tim manajemen data yang berpengalaman

    8. Imputasi data dilakukan oleh peneliti terlatih.

    9. Validasi data ke lapangan (sekian %)

  • 20

    Analisis data Untuk proses analisis data dilakkan berbagai peersiapan sebagai berikut:

    1. Pembahasan outline penulisan pelaporan

    2. Pembahasan jenis informasi terpilih yang akan dimuat di laporan.

    3. Pembahasan dummy table, dipilih bentuk tabel yang informatif

    4. Sebelum dianalisis, dilakukan pembobotan sesuai pembobotan BPS. (Catatan: N

    tertimbang tidak perlu disebutkan).

    Riskesdas Biomedis Disain penelitian Cross sectional, survey

    Cara pengambilan dan besar sampel Riskesdas di bidang biomedis dilakukan dengan cara memeriksa spesimen darah dan

    spesimen urin.

    Pengumpulan spesimen darah dilakukan di 33 provinsi di Indonesia dengan populasi

    penduduk di daerah urban di Indonesia. Pengambilan sampel darah dilakukan pada

    seluruh anggota rumah tangga (kecuali bayi) dari rumah tangga terpilih di blok sensus

    terpilih di daerah urban sesuai susenas kor 2007. Jadi rangkau pengambilan

    sampelnya adalah sebagai berikut:

    1. Blok sensus yang terpilih digunakan susenas, dipilih yang terletak di daerah urban.

    Dari blok sensus daerah urban ini dipilih 15% (oleh BPS).

    2. Dari blok sensus urban yang terpilih ditentukan 16 rumah tangga.

    3. Besar sampel adalah 15.536 RT dari 971 BS.

    4. Seluruh anggota rumah tangga (kecuali bayi) yang menanda-tangani inform-

    concern diambil sampel darahnya. Pengambilan darah tidak dilakukan pada

    responden yang sakit berat, riwayat perdarahan dan menggunakan obat pengencer

    darah secara rutin.

    Untuk spesimen urin, pengambilan sampelnya adalah sebagai berikut:

    1. Dipilih 30 kabupaten/kota secara stratified random sampling berdasarkan strata

    GAKY (gangguan akibat kurng yodium)

    2. Dari tiap kabupaten/kota seluruh blok sensus terpilih menjadi sampel.

    3. Spesimen urin diambil dari anggot keluarga

    Spesimen yang diambil Untuk spesimen darah, pengambilan spesimen dilakukan pada penduduk usia > 15

    tahun (kecuali wanita hamil), dilakukan pengambilan darah vena sejumlah 15 cc. Untuk

  • 21

    usia < 15 tahun dan wanita hamil diambil sejumlah 5 cc. Pemeriksaan darah rutin dan

    glukosa darah dilakukan di lab daerah setempat. Sisa darah diproses dan dikirim ke

    laboratorium Balitbangkes untuk pemeriksaan lebih lanjut sesuai kaidah pemrosesan

    dan pengiriman yang benar (lihat buku pedoman pengambilan, penyimpanan,

    pengemasan dan pengiriman specimen darah Balitbangkes)

    Informasi yang dihasilkan Informasi status kesehatan melalui pemeriksaan biomedis meliputi:

    1. Penyakit menular (Dengue, Malaria, Avian Influenza, filaria, , Rubella, HIV,

    Hepatitis, PMS, TORCH, CMV)

    2. Penyakit yg dapat dicegah dg imunisasi (DPT, Campak,TB, Hepatitis B)

    3. Penyakit tdk menular/kronik degeneratif (DM, Dislipidemia, Thyroid, kelainan fungsi

    ginjal, Kardiovaskuler, Risiko Keganasan)

    4. Kelainan gizi (Anemia, Micronutrients)

    5. Penyakit kelainan bawaan (Thalassemia, dll)

    6. Kadar yodium dalam urine

    Informasi biomedis hanya mewakili daerah perkotaan (sesuai batasan BPS).

    Pengambil spesimen Pengambilan spesimen darah dilakukan oleh petugas laboratorium yang

    berpengalaman.

    Dilakukan pula pelatihan manajemen spesimen terlebih dulu, agar spesimen yang

    diambil dapat dikelola dengan baik sehingga tidak rusak.

    Pengambilan spesimen urin dilakukan oleh surveyor bersaman dengan pengumpulan

    data kesehatan masyarakat.

    Waktu pengumpulan spesimen Pengumpulan spesimen biomedis dara tidak bisa serentak karena kesiapan daerah

    yang berbeda-beda.

    Menjaga kualitas spesimen Untuk menjaga kualitas spesimen biomedis, dilakukan langkah-langkah sebagai

    berikut:

    1. Dibuat video dan buku pedoman khusus biomedis. Pedoman pengambilan,

    penyimpanan, pengepakan dan pengiriman spesimen darah riset kesehatan dasar

    2. Petugas dipilih yang berpengalaman dan dilakukan pelatihan pengambilan,

    penyimpanan, pengepakan dan pengiriman spesimen darah.

    3. Pengiriman spesimen dilakukan seaman dan sesegera mungkin.

  • 22

    4. Spesimen yang sampai di Jakarta disimpan secara memadai.

    Pemeriksaan Spesimen Pemeriksaan gula darah dan hematologi diperiksa di laboratorium daerah yang

    memenuhi ketentuan. Pemeriksaan spesimen darah biomedis lainnya dilakukan di

    laboratorium Balitbangkes Jakarta. Pemeriksaan kadar iodium urin dilakukan di

    laboratorium gizi Puslitbang Gizi & Makanan Bogor, laboratorium GAKI di Semarang

    dan Magelang.

    Catatan:

    Berhubung keterbatasan dana, pemeriksaan serologis darah akan dilakukan pada

    tahun 2008, sehingga hasilnya belum bisa dilaporkan saat ini.

    Pemeriksaan Glukosa Darah Semua Responden usia > 15 tahun, kecuali wanita hamil (alasan etika) diberi

    pembebanan 75 gram glukosa oral setelah puasa 10 14 jam. Khusus untuk

    responden yang sudah diketahui positif menderita Diabetes Mellitus (DM) (konfirmasi

    oleh dokter) hanya diberi suplemen makanan 300 kalori (alasan medis dan etika).

    Pengambilan darah vena dilakukan setelah 2 jam pembebanan. Darah didiamkan

    selama 20 30 menit, segera disentrifus dan dijadikan serum. Serum segera diperiksa

    dengan menggunakan alat kimia klinis otomatis.

    Nilai rujukan (WHO, 1999)

    Normal (Non DM) < 140 mg/dl, Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) 140 - < 200 mg/dl,

    Diabetes Mellitus (DM) > 200 mg/dl.

    Responden

    Belum diketahui DM Pasti DM (konfirmasi Dokter)

    Beban glukosa oral 75 gram Suplemen makanan 300 kalori

    Pemeriksaan hematologi Pemeriksaan spesimen urin

  • 23

    Response Rate

    Response Rate Rumah Tangga Riskesdas terhadap Susenas

    Kabupaten/Kota di Nusa Tenggara Barat, 2007

    Riskesdas Susenas Kode Kabupaten/ Kota N % N %

    Riskesdas/ Susenas

    5201 Lombok Barat 635 0.25 640 0.23 99.2 5202 Lombok Tengah 666 0.26 672 0.24 99.1 5203 Lombok Timur 695 0.27 704 0.25 98.7 5204 Sumbawa 630 0.24 640 0.23 98.4 5205 Dompu 599 0.23 608 0.22 98.5 5206 Bima 617 0.24 640 0.23 96.4 5207 Sumbawa Barat 628 0.24 640 0.23 98.1 5271 Kota Mataram 593 0.23 608 0.22 97.5 5272 Kota Bima 584 0.23 608 0.22 96.1

  • 24

    BAB III

    GAMBARAN UMUM 3.1. Keadaan Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat terdiri dari 2 (dua) pulau besar yaitu pulau Lombok dan

    pulau Sumbawa, dengan luas wilayah 20.153,10 Km2 dan jumlah penduduk 4.292.491

    jiwa dengan kepadatan penduduk 213 jiwa per Km2 terdiri dari penduduk laki-laki

    2.043.689 jiwa dan perempuan 2.248.802 jiwa.b Jumlah penduduk per Kabupaten/Kota

    terlihat pada tabel 3.1.

    Tabel 3.1

    Jumlah Kecamatan, Desa/Kelurahan dan Peduduk per Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Barat tahun 2007

    No Kabupaten/ Kota Jumlah

    KecamatanJumlah Desa/ Kel

    Jumlah Penduduk

    1 Lombok Barat 15 121 796.1072 Lombok Tengah 12 124 831.2863 Lombok Timur 20 119 1.056.3124 Sumbawa 23 165 406.8885 Dompu 8 68 208.8676 Bima 14 177 412.5047 Sumbawa Barat 5 49 97.0138 Kota Mataram 3 50 356.1419 Kota Bima 3 38 127.373 NTB 103 911 4.292.491

  • 25

    3.2. Keadaan Fasilitas Kesehatan

    Tabel 3.2 Jumlah RSU, Puskesmas, Puskesmas Pembantu (Pustu), Polindes dan Posyandu

    menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Barat tahun 2007

    Fasilitas Kesehatan No Kabupaten/ Kota RSU Puskesmas Pustu Polindes Posyandu

    1 Lombok Barat 1 19 75 86 8222 Lombok Tengah 1 22 70 96 1.1933 Lombok Timur 1 29 76 102 1.1764 Sumbawa 1 17 84 66 5135 Dompu 1 9 46 37 2936 Bima 1 20 68 90 5137 Sumbawa Barat - 6 17 14 1418 Kota Mataram - 8 17 8 2839 Kota Bima - 5 25 22 111 NTB

    3.3. Keadaan Tenaga Kesehatan Gambar 3.1. Jumlah Tenaga Kesehatan menurut Sebelas Kategori Provinsi NTB Tahun 2007

    66357

    115

    3,787

    190 369 297 377 319 19

    1,487

    0500

    1000150020002500300035004000

    DR A

    HLI

    DR DRG

    KEPE

    RAW

    ATAN

    FARM

    ASI

    SANI

    TASI

    KESM

    AS GIZI

    TEKN

    IK M

    EDIS

    AKFI

    S

    LAIN

    -LAI

    N

  • 26

    3.4. Perkembangan Indek Pembangunan Manusia 3.5. Sepuluh Penyakit Terbanyak Tahun 2007

    TABEL PERKEMBANGAN IPM NTB

    52,71

    55,457,24

    58,5559,94 60,6

    62,4 63

    46485052545658606264

    1996 1999 2000 2001 2002 2004 2005 2006

    -

    50 000

    100 000

    150 000

    200 000

    250 000

    Series1 202 564 80 473 62 628 51 461 46 096 44 990 31 815 31 020 30 435 25 423

    Inf. akut laPeny.pd OPeny. LainPeny. Kul Diare Peny. Kul Peny. TekAsma Disentri P.Pulpa &

    1302 21 1303 2001 0102 2002 12 1403 0103

  • 27

    BAB III HASIL PENELITIAN

    I. STATUS GIZI 1.1. Status Gizi Balita 1.1.1. Status Gizi menurut Kabupaten/Kota

    Dalam pembahasan kategori status gizi balita berdasarkan indikator BB/U sering

    digabungkan antara gizi buruk dan gizi kurang dengan menggunakan istilah gizi kurang+buruk. Status sangat kurus dan kurus berdasarkan indikator BB/TB digabung dengan menggunakan isitilah kurus+sangat kurus. Status sangat pendek dan pendek berdasarkan indikator TB/U digabung dengan menggunakan

    istilah pendek+sangat pendek.

    Tabel 1.1.1 Sebaran Balita menurut Status Gizi (BB/U) dan Kabupaten/Kota

    di Propinsi Nusa Tenggara Barat, Riskesdas 2007

    Kategori status gizi BB/U

    Kabupaten/Kota

    Gizi buruk Gizi kurang Gizi baik Gizi lebih Lombok Barat 7,8 19,8 65,6 6,8 Lombok Tengah 4,2 14,0 78,7 3,1 Lombok Timur 7,3 18,2 72,4 2,2 Sumbawa 11,1 16,7 67,6 4,6 Dompu 11,6 18,4 66,9 3,1 Bima 15,7 17,5 63,2 3,6 Sumbawa Barat 9,9 11,5 73,2 5,4 Kota Mataram 3,9 9,5 84,0 2,6 Kota Bima 8,4 18,4 69,5 3,7 NTB 8,1 16,7 71,4 3,7

    *) BB/U = berat badan menurut umur Secara umum, prevalensi gizi kurang+buruk di propinsi NTB adalah 24,8% berarti

    belum mencapai target nasional perbaikan gizi tahun 2015 (20%) dan MDGs 2015

    (18,5%). Dari 9 kabupaten/kota hanya ada 1 kabupaten yang sudah mencapai

    target nasional dan target MDGs 2015, yaitu Kota Mataram. Sedangkan prevalensi

    tertinggi gizi kurang+buruk ada di Kabupaten Bima (33,2%).

    Di provinsi NTB masalah gizi lebih juga perlu diperhatikan. Secara umum,

    prevalensi balita gizi lebih sebesar 3,7 %, dengan Kabupaten Lombok Barat yang

  • 28

    perlu diwaspadai karena memiliki prevalensi gizi lebih mendekati 10%.

    Tabel 1.1.2. Sebaran Balita menurut Status Gizi Berdasar TB/U*

    dan Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Barat, Riskesdas 2007

    Kategori status gizi TB/U Kabupaten/Kota Sangat Pendek

    Pendek

    Normal

    Lombok Barat 21,3 20,4 58,3 Lombok Tengah 27,0 18,1 55,0 Lombok Timur 23,1 20,0 56,9 Sumbawa 24,3 23,9 51,8 Dompu 23,4 18,9 57,7 Bima 27,5 19,1 53,4 Sumbawa Barat 28,4 18,2 53,4 Kota Mataram 16,7 18,5 64,8 Kota Bima 26,6 22,9 50,6 PROVINSI NTB 23,8 19,9 56,3

    *) TB/U= Tinggi Badan menurut Umur Prevalensi balita pendek+sangat pendek di propinsi NTB adalah 43,7% . Angka

    tersebut berada di atas angka nasional (36,5%). Dan secara umum masalah balita

    pendek+sangat pendek di provinsi NTB masih cukup tinggi karena memiliki

    prevalensi di atas 20%. Prevalensi tertinggi Balita pendek+sangat pendek ada di

    Kota Bima (49,5%).

    Tabel 1.1.3

    Sebaran Balita menurut Status Gizi Berdasar BB/TB* dan Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Barat, Riskesdas 2007

    *) BB/TB= Berat Badan menurut Tinggi Badan Secara umum, prevalensi balita kurus+sangat kurus di propinsi Jawa Barat

    Kategori Status Gizi BB/TB Kabupaten/Kota Sangat Kurus Kurus Normal Gemuk

    Lombok Barat 10,0 7,3 69,1 13,6 Lombok Tengah 4,9 4,1 76,3 14,7 Lombok Timur 6,1 8,9 75,4 9,6 Sumbawa 13,4 7,3 60,2 19,1 Dompu 11,5 10,0 64,4 14,0 Bima 11,0 9,9 68,9 10,2 Sumbawa Barat 6,9 7,3 64,1 21,7 Kota Mataram 5,0 9,1 76,8 9,1 Kota Bima 8,2 6,1 69,0 16,7 NTB 7,9 7,6 71,6 12,9

  • 29

    adalah 15,5%, sehingga berada pada batas kondisi yang dianggap kritis (di atas

    15%). Dari 9 kabupaten/kota di NTB, hanya Kabupaten Lombok Tengah yang

    berada di bawah batas keadaan serius menurut indikator status gizi BB/TB (di

    bawah 10%). Prevalensi teringgi balita kurus+sangat kurus terdapat di Kabupaten

    Dompu (21,5%).

    Masalah kegemukan di provinsi NTB juga perlu diperhatikan karena prevalensinya

    sudah diatas 10%.

    Ringkasan tabel status gizi balita menurut kabupaten/kota

    1. Secara umum prevalensi gizi kurang+buruk di Provinsi Nusa Tenggara Barat

    belum mencapai target nasional perbaikan gizi 2015 maupun target MDGs

    2015.

    2. Masalah gizi yang dihadapi provinsi NTB adalah masalah gizi AKUT DAN KRONIS karena prevalensi kurus+sangat kurus dan prevalensi pendek+sangat pendek termasuk tinggi (>10% dan >20%)

  • 30

    1.1.2. Status Gizi menurut Karakteristik Responden

    Tabel 1.1.4 Sebaran Balita menurut Status Gizi (BB/U) dan Karakteristik Responden

    di Propinsi Nusa Tenggara Barat, Riskesdas 2007

    Kategori Status Gizi BB/U Karakteristik Responden Gizi Buruk Gizi Kurang Gizi Baik Gizi Lebih

    Kelompok umur (Bulan) 0 - 5 5,1 8,6 78,9 7,4 6 -11 8,0 10,9 76,7 4,4 12-23 5,1 17,1 72,8 4,9 24-35 10,6 16,8 69,8 2,7 36-47 9,8 20,5 66,3 3,4 48-60 7,6 17,0 72,4 3,0

    Jenis kelamin Laki-laki 9,2 16,2 71,2 3,5 Perempuan 7,0 17,3 71,7 4,0

    Pendidikan KK Tdk tamat SD & Tdk sekolah 9,6 16,7 68,8 4,9

    Tamat SD 8,4 18,5 69,6 3,5 Tamal SLTP 7,5 14,7 75,0 2,9 Tamat SLTA 7,4 17,2 72,5 2,9 Tamat PT 3,0 13,9 80,2 2,9

    Pekerjaan Tdk kerja/sekolah/ibu RT 9,0 17,8 70,0 3,2 TNI/Polri/PNS/BUMN 2,1 13,3 82,1 2,4 Pegawai Swasta 8,6 9,9 75,2 6,4 Wiraswasta/dagang/jasa 7,4 17,1 71,1 4,3 Petani/nelayan 9,6 16,9 69,5 4,1 Buruh & lainnya 7,7 17,6 71,7 3,0

    Tempat tinggal Kota 6,9 18,3 72,5 2,2 Desa 8,8 15,8 70,8 4,6

    Tingkat pengeluaran per kapita

    Kuintil 1 9,2 19,3 67,1 4,3 Kuintil 2 10,9 15,7 69,8 3,6 Kuintil 3 7,5 16,6 73,2 2,6 Kuintil 4 6,6 16,1 72,8 4,4 Kuintil 5 4,8 14,4 77,3 3,5

    Status gizi BB/U balita menurut karakteristik responden:

    1. Ditinjau dari kelompok umur, maka terlihat bahwa prevalensi balita gizi

    kurang+buruk di provinsi Jawa Barat mulai tinggi pada kelompok umur 12-

  • 31

    23 bulan dan tertinggi pada kelompok umur 36-47 bulahn. Sedangkan

    masalah gizi lebih tertinggi pada kelompok umur 0-5 bulan.

    2. Menurut jenis kelamin tidak terlihat perbedaan berarti antara masalah gizi

    menurut BB/U.

    3. Berdasarkan pendidikan kepala keluarga (KK) terlihat bahwa semakin tinggi

    pendidikan KK maka semakin besar prevalensi baik untuk balita gizi

    kurang+buruk maupun balita gizi lebih.

    4. Pada keluarga dengan KK memiliki pekerjaan sebagai

    ABRI/Polri/PNS/BUMN ditemukan lebih banyak balita yang memiliki status

    gizi baik dan paling sedikit memiliki balita gizi kurang+buruk serta gizi lebih.

    5. Tidak banyak perbedaan status gizi menurut BB/U bagi yang tinggal di kota

    maupun desa.

    6. Dilihat dari pendapatan keluarga per kapita per bulan, maka jumlah balita

    yang gizi kurang+buruk meningkat seiring dengan menurunnya

    pendapatan keluarga. Sebaliknya semakin tinggi kuintil pendapatan

    keluarga semakin banyak jumlah balita yang berstatus gizi normal.

  • 32

    Tabel 1.1.5 Sebaran Balita menurut Status Gizi (TB/U) dan Karakteristik Responden

    di Propinsi Nusa Tenggara Barat, Riskesdas 2007

    Kategori Status Gizi TB/U Karakteristik Responden Sangat

    Pendek Pendek Normal Kelompok umur (Bulan)

    0 - 5 15,2 13,1 71,7 6 -11 34,7 14,0 51,3 12-23 25,3 18,4 56,3 24-35 30,3 21,2 48,5 36-47 27,4 21,3 51,3 48-60 17,2 21,3 61,4

    Jenis kelamin Laki-laki 24,4 20,0 55,6 Perempuan 23,2 19,8 57,1

    Pendidikan Tdk tamat SD & Tdk

    sekolah 27,0 21,3 51,7

    Tamat SD 28,5 18,1 53,4 Tamal SLTP 19,3 18,8 61,9 Tamat SLTA 18,4 19,6 62,0 Tamat PT 17,9 22,0 60,2

    Pekerjaan Tdk kerja/sekolah/ibu RT 31,0 19,1 50,0 TNI/Polri/PNS/BUMN 15,6 24,3 60,1 Pegawai Swasta 14,8 17,3 67,9 Wiraswasta/dagang/jasa 18,9 19,3 61,8 Petani/nelayan 24,9 19,7 55,4 Buruh & lainnya 26,8 20,1 53,1

    Tempat tinggal Kota 21,4 20,0 58,6 Desa 25,2 19,8 55,0

    Tingkat pengeluaran per kapita Kuintil 1 24,4 19,5 56,1 Kuintil 2 28,7 20,0 51,4 Kuintil 3 23,4 20,5 56,1 Kuintil 4 23,7 18,3 58,0 Kuintil 5 16,8 21,0 62,2

    Status gizi TB/U balita menurut karakteristik responden:

    1. Prevalensi balita pendek+sangat pendek tertinggi pada kelompok umur 24-

    35 bulan.

    2. Berdasarkan jenis kelamin, terlihat prevalensi balita laki-laki pendek+sangat

    pendek sedikit lebih tinggi dibanding dengan balita perempuan.

  • 33

    3. Ditinjau dari segi pendidikan KK, terlihat prevalensi blita pendek+sangat

    pendek jauh lebih tinggi pada pendidikan KK tidak sekolah/tidak tamat SD

    dibanding tingkat pendidikan lainnya.

    4. Menurut pekerjaan utama KK terlihat bahwa pada keluarga yang kepala

    keluarganya tidak bekerja/sekolah/ibu rumah tangga memiliki prevalensi

    tertinggi pada balita pendek+sangat pendek dan prevalensi terendah

    untuk balita dengan tinggi badan normal menurut umur.

    5. Berdasarkan tempat tinggal, prevalensi balita pendek+sangat pendek yang

    tinggal di Kota lebih rendah dari balita yang tinggal di Desa.

    6. Semakin tinggi kuintil pengeluaran keluarga per kapita per bulan semakin rendah prevalensi balita pendek+sangat pendek dan semakin tinggi

    prevalensi balita dengan tinggi badan normal.

  • 34

    Tabel 1.1.6 Sebaran Balita menurut Status Gizi (BB/TB) dan Karakteristik Responden

    di Propinsi Nusa Tenggara Barat, Riskesdas 2007

    Kategori Status Gizi TB/U Karakteristik Responden Sangat

    Kurus Kurus Normal Gemuk Kelompok umur (Bulan)

    0 - 5 4,9 2,2 63,6 29,4 6 -11 9,5 4,7 61,2 24,7 12-23 8,0 7,8 72,6 11,6 24-35 10,6 7,1 68,2 14,1 36-47 7,4 9,9 71,5 11,3 48-60 6,9 8,0 76,8 8,3

    Jenis kelamin Laki-laki 8,5 8,1 68,8 14,5 Perempuan 7,4 7,1 74,4 11,2 Pendidikan

    Tdk tamat SD & Tdk sekolah 8,0 8,0 71,1 12,9

    Tamat SD 6,7 5,1 72,9 15,3 Tamal SLTP 8,8 6,7 73,2 11,3 Tamat SLTA 10,6 9,4 68,7 11,4 Tamat PT 3,1 9,7 74,5 12,7

    Pekerjaan Utama KK Tdk kerja/sekolah/ibu RT 5,8 9,1 70,8 14,3 TNI/Polri/PNS/BUMN 2,4 9,0 74,4 14,2 Pegawai Swasta 11,3 4,8 75,3 8,7 Wiraswasta/dagang/jasa 6,4 7,6 73,5 12,5 Petani/nelayan 10,9 8,9 65,2 15,0 Buruh & lainnya 7,0 5,5 77,2 10,4

    Desa/Kota Kota 8,6 6,4 73,1 11,8 Desa 7,5 8,3 70,7 13,5

    Tingkat pengeluaran per kapita 7,9 7,6 71,6 12,9

    Kuintil 1 9,0 10,3 68,2 12,5 Kuintil 2 9,2 6,2 72,5 12,1 Kuintil 3 8,4 6,0 71,7 13,9 Kuintil 4 4,6 5,8 75,3 14,3 Kuintil 5 7,4 9,0 72,0 11,6

    Status gizi TB/U balita menurut karakteristik responden

    1. Prevalensi tertinggi balita kurus+sangat kurus berada pada kelompok

    umur 24-35 bulan, sedangkan prevalensi tertinggi balita gemuk berada

    pada kelompok umur 0-5 bulan.

  • 35

    2. Balita laki-laki yang kurus+sangat kurus serta gemuk, cenderung lebih

    banyak daripada balita perempuan.

    3. Tidak ditemukan pola hubungan yang jelas antara tingkat pendidikan KK

    dengan prevalensi balita kurus+sangat kurus. Demikian pula halnya antara

    pekerjaan utama KK serta tingkat pengeluaran perkapita.

    4. Tidak ditemukan perbedaan prevalensi balita kurus+sangat kurus yang

    berarti berdasarkan karakteristik tempat tinggal, tetapi dalam hal masalah

    balita gemuk di daerah Kota cenderung lebih tinggi dari di daerah Desa.

    1.2. Indeks Massa Tubuh 1.2.1. Indeks Massa Tubuh menurut Kabupaten/Kota

    Dalam pembahasan status gizi orang dewasa akan lebih difokuskan pada masalah

    kegemukan yang terdiri dari masalah berat badan (BB) lebih dan masalah obese

    karena lebih ditujukan untuk upaya pencegahan kejadian penyakit degeneratif di

    kalangan orang dewasa. Dalam ulasan selanjutnya masalah BB lebih dan Obese

    akan digabung dengan menggunakan istilah kegemukan.

    Tabel 1.2.1

    Sebaran Penduduk Umur 15 Tahun Keatas Menurut Indeks Massa Tubuh dan Kebupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Barat, Riskesdas 2007

    Status Gizi Kabupaten/Kota Kurus Normal BB Lebih Obese

    Lombok Barat 15,7 70,4 6,5 7,4 Lombok Tengah 19,0 69,2 6,3 5,5 Lombok Timur 17,5 66,8 7,4 8,3 Sumbawa 12,1 76,6 6,7 4,7 Dompu 20,7 69,2 5,0 5,1 Bima 22,8 66,5 5,8 4,9 Sumbawa Barat 11,5 74,5 7,5 6,5 Kota Mataram 15,9 64,4 8,5 11,3 Kota Bima 19,0 65,2 7,3 8,5 NTB 17,3 68,8 6,8 7,0

    Kurus : IMT =27k

    Masalah kegemukan (berat badan lebih+obese) pada orang dewasa di Provinsi

    NTB sudah terlihat tinggi dengan prevalensi 13,8%. Semua kabupaten/kota di

    provinsi Jawa Barat memiliki prevalensi kegemukan pada orang dewasa yang

  • 36

    tinggi (di atas 10%), dengan prevalensi kegemukan tertinggi di Kota Mataram

    (19,8%)

    Tabel 1.2.2

    Sebaran Penduduk Laki-laki Umur 15 Tahun Keatas Menurut Indeks Massa Tubuh dan Kebupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Barat, Riskesdas 2007

    Untuk penduduk laki-laki, prevalensi kegemukan termasuk rendah (di bawah 10%)

    dengan prevalensi tertinggi di Kota Mataram dan terendah di kabupaten Bima

    Tabel 1.2.3

    Sebaran Penduduk Perempuan Umur 15 Tahun Keatas Menurut Indeks Massa Tubuh dan Kebupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Barat, Riskesdas 2007

    Dari tabel terlihat bahwa prevalensi kegemukan untuk penduduk perempuan

    termasuk tinggi (18%). Prevalensi tertinggi ada di Kota Mataram dan terendah di

    Kabupaten Sumbawa.

    Status Gizi Kabupaten Kurus Normal BB Lebih Obese Lombok Barat 17,1 74,7 3,6 4,6 Lombok Tengah 21,1 72,1 4,2 2,6 Lombok Timur 19,7 71,2 5,1 4,0 Sumbawa 10,8 78,5 7,0 3,7 Dompu 20,5 72,8 3,4 3,4 Bima 25,5 69,0 2,7 2,8 Sumbawa Barat 9,9 81,4 4,3 4,3 Mataram 16,6 67,6 8,5 7,3 Kota Bima 20,7 68,5 6,4 4,4 NTB 18,6 72,5 4,9 4,0

    Status Gizi Kabupaten/Kota Kurus Normal BB Lebih Obese Lombok Barat 14,5 66,7 8,9 9,8 Lombok Tengah 17,4 67,1 7,9 7,6 Lombok Timur 16,0 63,5 9,1 11,4 Sumbawa 13,4 74,4 6,3 5,8 Dompu 20,6 66,2 6,5 6,8 Bima 20,4 64,3 8,6 6,8 Sumbawa Barat 13,1 67,5 10,6 8,8 Kota Mataram 15,2 61,1 8,5 15,3 Kota Bima 17,4 61,9 8,3 12,4 PROVINSI NTB 16,3 65,8 8,4 9,6

  • 37

    1.2.2. Indeks Massa Tubuh menurut Karakteristik Responden

    Tabel 1.2.4 Sebaran Penduduk Umur 15 Tahun Keatas Menurut Indeks Massa Tubuh dan Karakteristik Responden di Provinsi Nusa Tenggara Barat, Riskesdas 2007

    Kategori Status Gizi BB/U Karakteristik Responden

    Kurus Normal BB Lebih Obese Umur (Tahun)

    15-24 26,4 68,3 3,1 2,2 25-34 11,4 72,3 8,4 7,9 35-44 8,5 69,8 11,2 10,5 45-54 10,5 70,6 8,7 10,1 55-64 18,4 68,1 5,3 8,1 65-74 31,8 59,1 2,9 6,2 75+ 42,1 50,7 2,1 5,0

    Jenis Kelamin Laki-laki 38,0 54,2 3,7 4,1 Perempuan 34,8 51,2 6,2 7,7

    Pendidikan Tidak Sekolah 21,8 65,2 5,9 7,2 Tamat Tamat SD 15,2 69,9 6,7 8,1 Tamat SD 16,2 69,2 7,7 6,9 SLTP 20,5 68,8 5,5 5,2 SLTA 15,2 70,5 7,1 7,2 PT 8,6 71,9 9,9 9,6 Pekerjaan

    Tdk kerja/sekolah/ibu RT 31,9 58,3 4,3 5,5 TNI/Polri/PNS/BUMN 56,7 39,8 1,6 1,9 Pegawai Swasta 11,5 65,1 10,7 12,6 Wiraswasta/dagang/jasa 9,1 72,3 9,1 9,4 Petani/nelayan 13,1 67,0 9,8 10,1 Buruh & lainnya 15,9 73,5 5,9 4,8

    Tempat tinggal Kota 16,4 66,2 7,8 9,6 Desa 18,0 70,5 6,1 5,4 Tingkat pengeluaran per kapita

    Kuintil-1 21.8 68.1 6.2 3.9 Kuintil-2 18.0 71.1 5.1 5.8 Kuintil-3 16.4 69.9 6.1 7.7 Kuintil-4 16.1 68.6 7.1 8.2 Kuintil-5 15.3 66.9 9.1 8.8 Menurut karakterisitk responden terlihat bahwa, prevalensi kegemukan tertinggi

    pada kelompok umur 35-44 tahun dan perempuan lebih tinggi daripada laki-laki.

  • 38

    Tidak terdapat pola khusus berdasarkan tingkat pendidikan, namun prevalensi

    tertinggi ada pada tingkat pendidikan Perguruan Tinggi.

    Untuk pekerjaan, sangat jelas bahwa pekerjaan TNI/Polri/PNS/BUMN, memiliki

    prevalensi kegemukan yang jauh lebih rendah (3,5%) dibandingkan pekerjaan lain.

    Secara umum penduduk kota lebih tinggi prevalensinya daripada penduduk desa

    serta angka kejadian kejadian kegemukan cenderung meningkat sejalan dengan

    meningkatnya pengeluaran perkapita keluarga.

    1.2.3. Obesitas Sentral

    Tabel 1.2.5 Prevalensi Obesitas Sentral Pada Penduduk Umur 15 Tahun Ke Atas

    Menurut Kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Barat, Riskesdas 2007

    Obesitas Sentral Kabupaten/Kota Ya Tidak Lombok Barat 9.5 90.5 Lombok Tengah 9.6 90.4 Lombok Timur 14.8 85.2 Sumbawa 5.4 94.6 Dompu 8.2 91.8 Bima 7.3 92.7 Sumbawa Barat 11.8 88.2 Kota Mataram 16.8 83.2 Kota Bima 12.7 87.3 NTB 11.0 89

    *Lingkar perut laki-laki >90, perempuan > 82

    Prevalensi obesitas sentral di Provinsi NTB sedikit di atas 10%, sehingga juga

    memerlukan perhatian karena berkaitan dengan faktor resiko penyakit-penyakit

    degeneratif seperti penyakit jantung dan pembuluh darah (kardiovaskuler).

    Prevalensi obesitas tertinggi terdapat di Kota Mataram (16.8%).

    Tabel 1.2.6 Prevalensi Obesitas Sentral Pada Penduduk Umur 15 Tahun Ke Atas Menurut

    Karakteristik Provinsi Nusa Tenggara Barat, Riskesdas 2007

    Obesitas sentral* Karakteristik Responden Ya Tidak Umur

    15-24 Tahun 3.8 96.2 25-34 Tahun 11.5 88.5

  • 39

    35-44 Tahun 16.2 83.8 45-54 Tahun 15.7 84.3 55-64 Tahun 13.5 86.5 65-74 Tahun 10.4 89.6 75+ Tahun 8.6 91.4

    Jenis Kelamin Laki-Laki 3.1 96.9 Perempuan 17.6 82.4

    Pendidikan Tidak Sekolah 12.8 87.2 Tidak Tamat SD 12.2 87.8 Tamat SD 11.4 88.6 Tamat SMP 7.9 92.1 Tamat SMA 9.7 90.3 Tamat PT 14.3 85.7

    Pekerjaan 100 Tidak Kerja 8.6 91.4 Sekolah 1.9 98.1 Ibu RT 22.6 77.4 Pegawai 13.5 86.5 Wiraswasta 16.9 83.1 Petani/Nelayan/Buruh 7.1 92.9 Lainnya 6.8 93.2

    Tempat tinggal Kota 14.5 85.5 Desa 8.8 91.2

    Tingkat pengeluaran per kapita

    Kuintil 1 7.4 92.6 Kuintil 2 8.0 92 Kuintil 3 10.5 89.5 Kuintil 4 12.9 87.1 Kuintil 5 15.0 85

    NTB 11.0 89 *Lingkar perut laki-laki >90, perempuan > 82

    Berdasarkan karakteristik responden, tampak bahwa prevalensi obesitas sentral

    tertinggi pada kelompok umur 35-44tahun dan perempuan jauh lebih tinggi

    daripada laki-laki. Untuk karekteristik lain, secara umum prevalensi obesitas sentral

    sama dengan prevalensi kegemukan

    1.3 Konsumsi Energi dan Protein Status gizi dan konsumsi gizi merupakan indikator MDGs yang menempatkan

    pembangunan manusia sebagai fokus utama pembangunan. Target ke 2 MDGs

    adalah menurunkan proporsi penduduk yang menderita kelaparan menjadi

    setengahnya antara tahun 1990 2015.

  • 40

    Selama ini data konsumsi gizi (khususnya energi dan protein) diperoleh dari data

    SUSENAS yang tidak dirancang untuk mengukur tingkat konsumsi, namun

    dirancang untuk mengetahui pengeluaran konsumsi (Martianto dan Ariani, 2004;

    Suryana dan Kasrino, 1988). Konsekuensinya memiliki beberapa kelemahan ketika

    dikonversikan ke dalam konsumsi gizi. Pada RISKESDAS, data konsumsi energi

    dan zat gizi diperoleh dengan menggunakan metode yang dirancang untuk

    mengukur tingkat konsumsi energi dan zat gizi lainnya. Untuk itu dilakukan

    perhitungan komposisi anggota rumah tangga yang makan (jumlah, umur dan jenis

    kelamin), serta tamu yang ikut makan. Disamping itu juga dilakukan perhitungan

    jumlah minyak dari makanan gorengan yang dikonsumsi. Ini berarti data konsumsi

    energi dan zat gizi yang diperoleh dari RISKESDAS lebih baik dari data konsumsi

    dari data SUSENAS yang selama ini digunakan sebagai acuan, dan tingkat

    konsumsi energi dan zat gizi lain dari data RISKESDAS tidak dapat dibandingkan

    dengan tingkat konsumsi dari data SUSENAS karena metode pengumpulan data

    berbeda

    Tabel 1.3.1

    Prevalensi Rumah Tangga Defisit Energi dan Protein menurut Kabupaten/ Kota di Provinsi Nusa Tenggara Barat, Riskesdas 2007

    Energi < 80% Protein

  • 41

    Proporsi rumah tangga defisit konsumsi protein lebih sedikit dibanding konsumsi

    energi, namun demikian masih sekitar 49.3% rumah tangga yang defisit protein <

    80 % AKG. Rumah tangga dengan proprosi defisit protein tinggi berada di

    Kabupaten Lombok Tengah, Lombok Timur Dompu dan Kota Bima.

    Tabel 1.3.2 Prevalensi Rumah Tangga Defisit Energi dan Protein menurut Karakteristik

    Responden di Provinsi Nusa Tenggara Barat, Riskesdas 2007

    Karakteristik Energi < 80% Protein < 80%

    Tempat tinggal Kota 62.3 45.8 Desa 58.2 51.4

    Tingkat Pengeluaran per Kapita Kuintil 1 63.0 55.5 Kuintil 2 60.2 50.9 Kuintil 3 59.6 49.3 Kuintil 4 57.3 42.3 Kuintil 5 51.1 34.1

    NTB 59.8 49.4 1 menurut angka kecukupan energi yang dianjurkan (wnpg, 2004)

    Rumah tangga defisit energi lebih banyak di perkotaaan daripada di Desa, artinya

    konsumsi energi rumah tangga di Desa lebih tinggi daripada di Kota. Prevalensi

    rumah tangga defisit energi cenderung semakin sedikit menurut tingkat

    pengeluaran rumah tangga.

    Prevalensi defisit protein lebih banyak dijumpai di rumah tangga di Desa daripada

    di Kota. Proporsi RT defisit protein lebih sedikit pada rumah tangga yang berada

    pada pengeluaran rumah tangga di kuintil 5, namun demikian masih sekitar 34,1 %

    rumah tangga dengan pengeluaran rumah tangga di kuintil 5 yang defisit protein.

  • 42

    Tabel 1.3.3 Prevalensi Rumah Tangga Defisit Energi menurut Kuintil Pengeuaran per

    kapita per Bulan dan Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Barat, Riskesdas 2007

    1 menurut angka kecukupan energi yang dianjurkan (wnpg, 2004)

    Walaupun prevalensi rumah tangga defisit energi (

  • 43

    Pola kecenderungan yang sama pada tabel di atas di semua provinsi bahwa

    prevalensi umah tangga defisit protein lebih sedikit pada rumah tangga dengan

    tingkat pengeluaran pada kuintil 3, 4 dan 5. Pada RT dengan pengeluaran rumah

    tangga per kapita per bulan pada posisi tertinggi (kuintil 5) masih ada sekitar

    12.5% 42.6 % rumah tangga yang defisit protein < 80 % AKG.

    Tabel 1.3.5 Prevalensi Rumah Tangga Defisit Energi (< 80%) menurut Tempat Tinggal

    dan Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Barat, Riskesdas 2007

    Kabupaten/ Kota Kota Desa Lombok Barat 40.9 41.8 Lombok Tengah 65.1 60.4 Lombok Timur 57.6 60.9 Sumbawa 52.2 74.2 Dompu 50.0 57.1 Bima 42.4 53.5 Sumbawa Barat 66.3 57.5 Kota Mataram 75.3 - Kota Bima 68.5 74.0 NTB 62.3 58.2

    1 menurut angka kecukupan energi yang dianjurkan (wnpg, 2004) Di sebagian besar kabupaten, proporsi defisit energi lebih banyak djjumpai pada

    rumah tangga di Kota dari pada di Desa.

    Tabel 1.3.6 Prevalensi Rumah Tangga Defisit Protein (< 80%) menurut Tempat Tinggal

    dan Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Barat, Riskesdas 2007

    Kabupaten/ Kota Kota Desa Lombok Barat 29.2 38.3 Lombok Tengah 50.8 62.9 Lombok Timur 56.5 66.3 Sumbawa 40.9 55.1 Dompu 39.5 55.1 Bima 30.3 42.7 Sumbawa Barat 42.6 34.8 Kota Mataram 46.6 0,0 Kota Bima 52.1 59.7 NTB 45.8 51.4

    1 menurut angka kecukupan protein yang dianjurkan (wnpg, 2004) Di semua kabupaten terlihat bahwa rumah tangga Kota lebih sedikit yang

    defisit protein daripada rumah tangga di Desa

  • 44

    1.4. Iodium

    Tabel 1.4.1 Sebaran Rumah Tangga yang Mengkonsumsi Garam menurut Kandungan

    Iodium dan Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Barat, Riskesdas 2007

    Kandungan Iodium

    Kabupaten/Kota Cukup Kurang Tidak Ada Lombok Barat 19.3 49.9 30.8 Lombok Tengah 34.9 36.1 29.0 Lombok Timur 30.0 13.2 56.8 Sumbawa 27.3 44.5 28.2 Dompu 11.4 9.0 79.6 Bima 12.7 16.1 71.2 Sumbawa Barat 51.0 23.1 26.0 Kota Mataram 49.4 26.9 23.7 Kota Bima 15.5 38.0 46.5 NTB 27.9 29.7 42.3

    Secara umum kualitas konsumsi garam beriodium RT di Provinsi NTB tidak baik

    (Kandungan Iodium Semi Kuantitatif kategori Cukup < 40%), hanya ada 2 dari 9

    kabupaten/kota yang mengkonsumsi garam dengan kandungan iodium semi

    kuantitatif di atas 40% yaitu Kabupaten Sumbawa Barat. Dan Kota Mataram.

    Kriteria kategori cukup, jika garam mengandung > 30 ppm iodat, kategori kurang,

    jika garam mengandung < 30 ppm iodate dan kategori tidak ada, jika garam tidak

    mengandung iodat.

    Tabel 1.4.2 Sebaran Rumah Tangga yang Mengkonsumsi Garam menurut Kandungan

    Iodium dan Karakteristik Responden di Provinsi Nusa Tenggara Barat, Riskesdas 2007

    Kandungan Iodium Karakteristik Responden Cukup Kurang Tidak Ada

    Pendidikan KK Tidak Sekolah 24.7 27.6 47.7 SD Tidak Tamat 21.4 35.7 42.9 SD Tamat 29.2 31.5 39.3 SMP Tamat 25.8 28.3 45.9 SLTA Tamat 30.5 30.9 38.6 SLTA+ 22.9 33.0 44.1

  • 45

    Pekerjaan KK Tidak Bekerja 29.8 33.3 36.9 Sekolah 28.0 31.9 40.0 Ibu Rumahtangga 30.5 28.1 41.4 Pegawai Negri/ Swasta 27.2 26.0 46.8 Petani/ Buruh/ Nelayan 27.5 30.6 41.8 Lainnya 19.8 31.8 48.3 Tempat tinggal

    Kota 38.5 27.6 33.8 Desa 21.9 30.9 47.2

    Kuintil Kuintil-1 22.0 29.6 48.4 Kuintil-2 24.0 29.4 46.6 Kuintil-3 27.0 31.8 41.2 Kuintil-4 36.9 32.3 30.8 Kuintil-5 58.4 22.5 19.2 NTB 27.9 29.7 42.3

    Kualitas konsumsi garam beriodium di Kota lebih baik dibanding di Desa. Menurut

    tingkat pendidikan Kepala Keluarga tidak banyak perbedaan kualitas konsumsi

    garam beriodium. Demikian pula tidak terlihat perbedaan kualitas konsumsi garam

    beriodium menurut pekerjaan Kepala Keluarga.

    Kualitas konsumsi garam beriodium membaik dengan meningkatnya Status

    Ekonomi berdasar kuintil.

    Tabel 1.4.3 Sebaran Rumah Tangga yang Mengkonsumsi Garam menurut Kandungan Iodium,

    Tempat Tinggal dan Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Barat, Riskesdas 2007

    Kota Desa

    Kabupaten/ Kota Cukup Kurang Tak Ada Cukup Kurang Tak Ada

    Lombok Barat 19.0 47.0 34.0 19.4 52.0 28.6 Lombok Tengah 53.5 34.7 11.8 30.9 36.4 32.7 Lombok Timur 38.3 13.0 48.7 19.4 52.0 28.6 Sumbawa 56.6 23.3 20.2 30.9 36.4 32.7 Dompu 35.1 8.1 56.8 24.4 13.4 62.2 Bima 41.4 13.8 44.8 14.9 53.2 31.8 Sumbawa Barat 62.1 24.1 13.8 6.1 9.7 84.2 Kota Mataram 49.4 26.9 23.7 10.5 16.1 73.4 Kota Bima 19.6 36.1 44.3 46.7 22.7 30.7 NTB 38.7 27.6 33.8 19.4 52.0 28.6

  • 46

    Secara umum kualitas konsumsi garam beriodium penduduk kota jauh lebih tinggi

    dari penduduk desa, kecuali di Kota Bima dimana kualitas garam iodium pada

    rumah tangga yang tinggal di desa lebih tinggi daripada rumah tangga di kota.

  • 47

    II. KESEHATAN IBU DAN ANAK

    2.1. Status Imunisasi Status Immunisasi dapat dikategorikan Lengkap, Tidak Lengkap, Belum

    pernah di Immunisasi, dan Immunisasi campak. Sebagai Definisi Operasional

    STATUS IMUNISASI adalah :

    1. Status Imunisasi Lengkap : sudah mendapat imunisasi BCG, Polio 3, DPT

    3, Hepatitis B 3 dan Campak menurut pengakuan/ catatan KMS/ catatan

    KIA.

    2. Status Imunisasi Tidak Lengkap: jika ada salah satu dari imunisasi BCG,

    Polio 3, DPT 3, Hepatitis B 3 dan Campak menurut pengakuan/ catatan

    KMS/ catatan KIA tidak diberikan.

    3. Belum pernah diimunisasi: sama sekali belum pernah mendapat imunisasi

    menurut pengakuan/ catatan KMS/ catatan KIA.

    4. Status Imunisasi Campak: digunakan oleh program sebagai indikator

    besarnya cakupan imunisasi lengkap.

    Tabel 2.1.1 Sebaran Anak Balita yang Mendapatkan Imunisasi Dasar menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Barat, Riskesdas 2007

    Jenis imunisasi Kabupaten/kota BCG Polio 3 DPT 3 HB 3 Campak

    Lombok Barat 91,0 57,2 61,8 53,2 95,6 Lombok Tengah 95,4 75,8 71,1 48,8 95,4 Lombok Timur 96,0 69,4 69,3 46,3 95,8 Sumbawa 97,4 79,2 73,8 42,6 96,6 Dompu 93,8 60,3 63,2 48,1 92,3 Bima 89,1 69,9 55,7 56,0 90,8 Sumbawa Barat 88,5 75,9 64,0 36,4 92,6 Kota Mataram 98,8 78,5 81,3 67,8 97,9 Kota Bima 94,4 63,9 50,0 40,0 94,1 NTB 94,4 69,8 67,4 50,0 95,1

    Cakupan imunisasi BCG, Polio 3, DPT 3, Hepatitis B3 dan campak pada anak

    balita rata-rata tertinggi (98.8%, 81.3%, 67.8%,97.9%) di Kota Mataram. Cakupan

    polio 3 tertinggi di Kabupaten Sumbawa. Cakupan imunisasi BCG dan Hepatitis B

    3 terendah (89.1% dan 36.4 %) di Kabupaten Sumbawa Barat, cakupan imunisasi

  • 48

    Polio 3 terendah (57.3%) di Kabupaten Lombok Barat, imunisasi DPT 3 terendah

    (50.0%) di kota Bima dan imunisasi Campak terendah di Kabupaten Bima (90.8%) .

    Tabel 2.1.2 Sebaran Anak Balita yang Mendapatkan Imunisasi Dasar menurut

    Karakteristik Responden di Provinsi Nusa Tenggara Barat, Riskesdas 2007

    Jenis imunisasi Karakteristik responden BCG Polio 3 DPT 3 HB 3 Campak Kelompok umur (bulan) 12 23 95,7 74,0 66,2 53,8 94,0 24 35 94,2 66,3 70,2 47,9 96,4 36 47 94,9 71,0 67,4 49,1 94,2 48 59 92,2 67,6 67,4 49,3 95,5 Jenis kelamin Laki-laki 93,7 69,3 65,7 50,5 94,9 Perempuan 94,9 70,2 69,2 49,7 95,2 Pendidikan KK Tidak sekolah 93,4 64,9 66,7 42,2 94,2 SD tidak tamat 91,4 68,8 66,4 46,4 94,3 SD tamat 95,3 72,4 66,7 49,6 96,4 SMP tamat 94,4 66,7 66,9 54,4 94,7 SLTA tamat 95,6 71,1 7,2 48,2 93,9 SLTA + 97,8 75,5 74,7 67,5 98,9 Pekerjaan KK

    Tidak bekarja 95,5 73,8 69,2 42,1 92,9 Ibu rumah tangga 86,0 58,6 64,0 50,0 92,9 PNS/Polri/TNI 97,6 73,8 73,0 63,0 97,6 Wiraswasta/swasta 96,0 71,5 69,2 51,4 95,8 Petani/buruh/nelayan 93,9 68,9 66,3 47,2 94,4 Lainnya 94,7 72,7 65,8 54,7 96,1

    Tempat tinggal Kota 95,7 71,9 72,3 55,4 96,7 Desa 93,4 68,4 64,4 46,9 94,1 Tingkat pengeluaran perkapita

    Kuintil-1 93,7 66,6 67,2 50,4 94,6 Kuintil-2 92,8 67,1 65,7 51,5 94,1 Kuintil-3 95,5 74,2 69,3 53,0 95,4 Kuintil-4 95,6 71,6 68,4 47,6 94,1 Kuintil-5 94,7 71,3 66,9 46,6 97,8 Cakupan imunisasi BCG, Polio 3 dan Hepatitis B 3 tertinggi pada kelompok umur

    12-23 bulan, sedangkan DPT 3 dan Campak tertinggi pada kelompok umur 24-35

    bulan. Umumnya cakupan imunisasi lebih tinggi di Kota dibandingkan Desa

    namun laki-laki dan perempuan hampir sama. Cakupan imunisasi tertinggi pada

  • 49

    Kepala Keluarga dengan pendidikan SLTA+, pekerjaan PNS/POLRI/TNI dan tidak

    ada pola tertentu menurut tingkat pengeluaran perkapita

    Tabel 2.1.3

    Sebaran Anak Balita yang Mendapatkan Imunisasi Lengkap* menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Barat, Riskesdas 2007

    Imunisasi dasar Kabupaten/Kota Lengkap Tdk lengkap Tidak sama sekali

    Lombok Barat 25,6 70,1 4,3 Lombok Tengah 38,0 60,1 1,8 Lombok Timur 32,0 65,2 2,7 Sumbawa 31,2 68,0 0,8 Dompu 26,0 71,2 2,7 Bima 36,8 58,8 4,4 Sumbawa Barat 18,8 78,1 3,1 Kota Mataram 51,0 49,0 0,0 Kota Bima 24,3 73,0 2,7 NTB 33,1 64,3 2,6

    *Imunisasi lengkap: BCG, DPT minimal 3 kali, Polio minimal 3 kali, Hepatitis B minimal 3 kali, Campak, menurut pengakuan, catatan KMS/KIA.

    Cakupan imunisasi dasar lengkap di provinsi NTB masih di bawah angka nasional

    (..). Cakupan tertinggi di Kota Mataram dan terendah di Kabupaten Sumbawa

    Barat. (18,8%)

    Tabel 2.1.4 Sebaran Anak Balita yang Mendapatkan Imunisasi Lengkap*

    menurut Karakteristik Responden di Provinsi Nusa Tenggara Barat, Riskesdas 2007

    Status imunisasi Karakteristik responden Lengkap Tidak lengkap Tidak sama sekali

    Kelompok umur (bulan) 12 23 39,1 57,8 3,1 24 35 31,0 66,6 2,4 36 47 32,7 65,6 1,7 48 59 30,0 67,0 3,0 Jenis kelamin Laki-laki 32,7 45,9 2,7 Perempuan 33,6 43,4 2,4 Pendidikan KK Tidak sekolah 29,8 67,9 2,4 SD tidak tamat 29,6 66,1 4,4 SD tamat 32,8 65,6 1,6 SMP tamat 33,9 63,3 2,8 SLTA tamat 33,3 64,8 1,9 SLTA o+ 44,9 52,0 3,1

  • 50

    Pekerjaan KK Tidak bekarja 25,5 70,6 3,9 Ibu rumahtangga 32,8 59,4 7,8 PNS/Polri/TNI 42,4 56,5 1,2 Wiraswas/swasta 34,7 63,4 2,0 Petani/buruh/nelayan 30,5 66,9 2,5 Lainnya 43,8 53,8 2,5

    Tempat tinggal Kota 36,7 62,0 1,2 Desa 31,1 65,6 3,3 Tingkat pengeluaran perkapita

    Kuintil-1 31,2 65,7 3,1 Kuintil-2 31,9 65,8 2,3 Kuintil-3 35,8 62,7 1,5 Kuintil-4 33,9 63,8 2,3 Kuintil-5 33,5 63,1 3,4 Menurut karakteristik responden, cakupan imunisasi dasar lengkap tertinggi pada

    kelompok umur 12-23 bulan, tidak banyak berbeda antara balita laki-laki dan

    perempuan. Adanya kecenderungan semakin tinggi pendidikan orang tua,

    semakin tinggi pula cakupan imunisasi dasar lengkap, sedangkan menurut

    pekerjaan kepala keluarga, tertinggi pada pekerjaan PNS/Polri/TNI. Umumnya

    rumah tangga di kota lebih sadar untuk memberikan imunisasi pada balitanya

    dibandingkan Kota, sedangkan menurut tingkat pengeluaran tidak ada pola

    tertentu.

    2.2. Pemantauan pertumbuhan balita dan distribusi vitamin A

    Pemantauan pertumbuhan sangat penting dilakukan untuk mengawal tumbuh

    kembang yang optimal. Makin dini diketahui adanya penyimpangan pertumbuhan

    (growth faltering), makin dini upaya untuk mencegah penurunan status gizi yang

    umumnya terjadi mulai umur 3-6 bulan.

  • 51

    Tabel 2.2.1

    Sebaran Balita menurut Frekuensi Penimbangan Enam Bulan Terakhir dan Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Barat, Riskesdas 2007

    Frekuensi penimbangan (kali) Kabupaten/kota Tdk pernah 1-3 kali > 4 kali

    Lombok Barat 15,3 26,9 57,9 Lombok Tengah 11,8 31,8 56,4 Lombok Timur 15,9 21,8 62,3 Sumbawa 10,2 45,4 44,4 Dompu 14,1 34,4 51,6 Bima 8,3 24,8 66,9 Sumbawa Barat 15,2 27,3 57,6 Kota Mataram 11,9 28,7 59,4 Kota Bima 12,8 38,5 48,7 NTB 13,1 28,7 58,2

    Pada bagian ini, analisis dilakukan untuk balita umur 6-59 bulan. Frekuensi

    penimbangan dalam 6 bulan terakhir dikelompokkan menjadi tidak pernah, 1-3

    kali, dan 4-6 kali. Tabel menunjukkan bahwa 13.1 persen balita tidak pernah

    ditimbang, terendah di Kabupaten Bima (8.3%) dan tertinggi di Lombok Timur

    (15.9%). Sebaliknya balita yang rutin ditimbang sebesar 58.2 persen, terendah di

    Kabupaten Sumbawa (44.4%) dan tertinggi di Kabupaten Bima (66.9%).

    Tabel 2.2.2 Sebaran Balita menurut Frekuensi Penimbangan Enam Bulan Terakhir dan Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Barat, Riskesdas 2007

    Frekuensi penimbangan

    Karakteristik responden Tdk pernah 1-3 kali

    > 4 kali

    Kelompok umur (bulan) 0 5 5,6 57,9 36,4 6 11 1,8 20,6 77,6 12 23 5,1 26,4 68,5 24 35 12,5 29,8 57,7 36 47 21,4 25,5 53,1 48 59 23,8 26,8 49,4 Jenis kelamin Laki-laki 13,9 28,2 58,0 Perempuan 12,4 29,2 58,5 Pendidikan kk Tidak sekolah 17,1 24,1 58,3 SD tidak tamat 17,6 24,1 58,3 SD tamat 10,5 32,5 57,0

  • 52

    SMP tamat 8,5 30,3 61,1 SLTA tamat 12,1 27,9 60,0 SLTA+ 13,3 36,2 50,5 Pekerjaan kk Tidak bekerja 20,3 31,3 48,4 Ibu rumahtangga 3,3 47,5 49,2 PNS/POLRI/TNI/BUMN/BUMD 15,7 31,5 52,8 Wiraswasta/ pegawai swasta 15,7 28,6 55,7 Petani/ buruh/ nelayan 11,9 27,2 61,0 Lainnya 11,1 24,4 64,4 Tempat tinggal Kota 14,4 28,4 57,2 Desa 12,4 28,8 58,8 Tingkat pengeluaran perkapita Kuintil-1 14,9 26,9 58,2 Kuintil-2 16,4 26,8 56,7 Kuintil-3 11,2 32,9 56,0 Kuintil-4 11,9 28,4 59,8 Kuintil-5 9,7 29,5 60,8

    Pada Tabel ini terlihat bahwa penimbangan rutin (4-6 kali) tertinggi pada

    kelompok umur 6-11 bulan, tidak ada perbedaan antara jenis kelamin dan sedikit

    lebih tinggi di daerah Desa (58.8%),. Ada tren penurunan cakupan penimbangan

    cukup tajam menurut umur, pada umur 6-11 bulan cakupan cukup tinggi (77.6%)

    dan menurun tajam pada umur 48-59 bulan (49.4%).

    Tidak banyak perbedaan sebaran, diihat menurut tingkat pendidikan dan jenis

    pekerjaan kepala keluarga serta tingkat pengeluaran rumahtangga.

    Tabel 2.2.3 Sebaran Balita menurut Tempat Penimbangan Enam Bulan Terakhir dan

    Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Barat, Riskesdas 2007 Tempat penimbangan Kabupaten/kota RS Puskesmas Polindes Posyandu Lainnya

    Lombok Barat 3,7 3,7 0,0 89,8 2,8 Lombok Tengah 2,7 1,7 1,7 93,1 0,7 Lombok Timur 1,3 0,7 2,3 94,5 1,3 Sumbawa 1,0 7,9 0,0 90,1 1,0 Dompu 1,7 3,4 1,7 93,2 0,0 Bima 0,7 4,1 0,7 93,8 0,7 Sumbawa Barat 0,0 7,1 3,6 85,7 3,6 Kota Mataram 3,2 5,3 1,1 78,9 11,6 Kota Bima 2,9 14,3 0,0 80,0 2,9 NTB 2,1 3,4 1,3 91,1 2,1

  • 53

    Posyandu masih merupakan tempat yang paling tinggi sebagai tempat

    penimbangan balita (91.1%) dengan sebaran terendah di Kota Bima (80.0%) dan

    tertinggi di Kabupaten Lombok Timur (94.5%). Tempat yang paling tidak populer

    untuk penimbangan balita adalah Polindes.

    Tabel 2.2.4 Sebaran Balita menurut Tempat Penimbangan Enam Bulan Terakhir dan

    Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Barat, Riskesdas 2007

    Tempat penimbangan Karakteristik responden RS Puskesmas Polindes Posyandu Lainnya Kelompok umur (bulan) 0 5 8,0 6,0 4,0 78,0 4,0 6 11 1,1 2,9 0,0 95,4 0,6 12 23 1,8 3,9 0,4 92,3 1,8 24 35 1,1 1,8 0,4 93,8 2,9 36 47 2,1 4,7 2,6 88,5 2,1 48 59 1,0 2,4 1,9 92,7 1,9 Jenis kelamin Laki-laki 2,7 3,3 0,9 91,1 2,0 Perempuan 1,4 3,3 1,4 91,6 2,2 Pendidikan kk Tidak sekolah 1,4 2,1 0,0 95,2 1,4 SD tidak tamat 2,1 0,4 0,0 95,8 1,7 SD tamat 1,4 1,7 1,7 94,9 ,3 SMP tamat 1,4 2,7 1,8 92,7 1,4 SLTA tamat 2,2 6,6 1,1 87,2 2,9 SLTA o+ 6,4 9,6 6,4 71,3 9,6 Pekerjaan kk Tidak bekerja 5,9 2,0 3,9 86,3 2,0 Ibu rumahtangga 8,3 ,0 3,3 83,3 5,0 PNS/POLRI/TNI/BUMN/BUMD 5,6 8,9 0,0 75,6 10,0 Wiraswasta/ pegawai swasta 1,4 6,8 1,1 89,0 1,8 Petani/ buruh/ nelayan 1,3 1,6 0,9 95,1 1,1 Lainnya 1,2 4,8 2,4 1,2 1,2 Tempat tinggal Kota 2,8 5,3 1,5 85,8 4,7 Desa 1,7 2,1 1,0 94,5 0,6 Tingkat pengeluaran perkapita

    Kuintil-1 0,9 1,9 1,6 95,0 0,6 Kuintil-2 1,6 0,8 0,8 96,1 0,8 Kuintil-3 1,9 3,9 ,8 90,3 3,1 Kuintil-4 4,6 3,3 2,5 87,1 2,5 Kuintil-5 2,4 8,3 0,5 84,5 4,4

  • 54

    Posyandu sebagai pilihan penimbangan balita lebih rendah di daerah Kota

    dibanding Desa, dan terjadi tren penurunan fungsi posyandu sebagai tempat

    penimbangan balita dengan meningkatnya tingkat pengeluaran keluarga.

    Tabel 2.2.5 Sebaran Anak Umur 6-59 Bulan yang Menerima Kapsul Vitamin A

    Menurut Kabupaten/Kota Di Provnsi Nusa Tenggara Barat, Riskesdas 2007

    Kabupaten/kota Menerima kapsul vitamin ATidak menerima

    kapsul vit A Lombok Barat 78,6 21,4 Lombok Tengah 83,6 16,4 Lombok Timur 85,0 15,0 Sumbawa 72,8 27,2 Dompu 85,7 14,3 Bima 82,0 18,0 Sumbawa Barat 82,5 17,5 Kota Mataram 88,2 11,8 Kota Bima 86,4 13,6 NTB 82,0 18,0

    Kapsul vitamin A diberikan kepada balita umur 6-59 bulan dua tahun sekali tiap

    bulan Februari dan Agustus. Pada Tabel ini terlihat cakupan kapsul vitamin A

    sebesar 82.0%, dengan variasi sebaran yang tidak terlalu banyak, terendah di

    Kabupaten Sumbawa (72.8%) dan tertinggi di Kota Mataram (88.2%).

    Tabel 2.2.6

    Sebaran Anak Umur 6-59 Bulan yang Menerima Kapsul Vitamin A menurut Karakteristik Responden di Provinsi Nusa Tenggara Barat,

    Riskesdas 2007

    Karakteristik responden Menerima kapsul vitamin A Tidak menerima kapsul vitamin A

    Kelompok umur (bulan) 6 11 79,2 20,8 12 23 88,6 11,4 24 35 85,2 14,8 36 47 79,3 20,7 48 59 77,7 22,3 Jenis kelamin Laki-laki 79,9 20,1 Perempuan 84,7 15,3

  • 55

    Pendidikan kk Tidak sekolah 80,1 19,9 SD tidak tamat 80,1 19,9 SD tamat 84,5 15,5 SMP tamat 81,5 18,5 SLTA tamat 83,0 17,0 SLTA+ 85,2 14,8 Pekerjaan kk Tidak bekerja 69,8 30,2 Ibu rumahtangga 86,1 13,9 PNS/POLRI/TNI/BUMN/BUMD 78,1 21,9 Wiraswasta/ pegawai swasta 85,1 14,9 Petani/ buruh/ nelayan 81,4 18,6 Lainnya 89,5 10,5 Tempat tinggal Kota 84,9 15,1 Desa 80,9 19,1 Tingkat pengeluaran perkapita Kuintil-1 83,9 16,1 Kuintil-2 77,2 22,8 Kuintil-3 80,2 19,8 Kuintil-4 86,3 13,7 Kuintil-5 85,3 14,7

    Variasi cakupan kapsul vitamin A juga tidak banyak terjadi menurut klasifikasi

    daerah, jenis kelamin, umur balita, pendidikan dan pekerjaan Kepala Keluarga,

    dan tingkat pengeluaran keluarga. Namun cakupan vitamin A terendah tampak

    pada jenis pekerjaan kepala keluarga tidak bekerja.

    Tabel 2.2.7 Sebaran Balita menurut Kepemilikan KMS dan Kabupaten/Kota

    Di Provinsi Nusa Tenggara Barat, Riskesdas 2007 Kepemilikan KMS*

    Kabupaten/ kota 1 2 3 Lombok Barat 22,5 46,9 30,6 Lombok Tengah 29,9 33,0 37,1 Lombok Timur 16,1 49,8 34,2 Sumbawa 5,6 52,8 41,6 Dompu 7,9 60,4 31,7 Bima 14,2 25,7 60,1 Sumbawa Barat 11,9 52,4 35,7 Kota Mataram 20,3 43,9 35,8 Kota Bima 19,1 48,9 31,9 NTB 18,5 44,1 37,5

    *Catatan: 1 = Memiliki KMS dan dapat m