riset hak masyarakat adat kasus kasepuhan - naskah final
TRANSCRIPT
Hak Masyarakat Adat:
Ketegangan Antara Kewajiban Negara
dan
Realitas Kebutuhan
Studi Kasus
Kasepuhan Sirnaresmi dan Citorek
Oleh:
Tim Riset Pusaka
Bekerja sama dengan
dan
Atas dukungan:
RESPECT
Daftar Isi hal. 2
Kata Pengantar
Bagian I. Pendahuluan hal. 3
Bagian II. Metodologi dan Penelitian hal. 14
Bagian III. Temuan Penelitian dan Analisis hal 24
Bagian IV. Kesimpulan dan Rekomendasi hal. 116
Catatan: wewengkon berasal dari kata wengku, struktur lengkung dari bambu atau kayu pada tepi anyaman atau jalinan yang dibuat untuk menangkap ikan atau menyerok sampak dan lain-lain.
2
BAGIAN PERTAMAPENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.1.1 Pembangunan dan Minoritas
Persoalan pemberdayaan masyarakat telah menjadi tantangan utama bagi berbagai pihak
dalam beberapa dekade belakangan. Lembaga-lembaga negara, lembaga-lembaga
pembangunan nasional dan internasional, lembaga-lembaga pendidikan dan penelitian,
dan lembaga-lembaga keuangan telah memberikan perhatian serius dalam isu ini, baik
yang berkarakter pro-developmentalism maupun counter-developmentalism. Salah satu
isu yang terkait erat dengan persoalan pemberdayaan masyarakat adalah masalah
minoritas dan keterpinggiran atau peminggiran (minority dan marginalization).
Kelompok-kelompok minoritas menjadi pusat perhatian dalam kajian pemberdayaan
masyarakat karena dipandang tidak cukup mendapatkan manfaat dari proses
pembangunan yang berlangsung selama ini. Sengaja maupun tidak, sudah terjadi
sebentuk peminggiran terhadap kelompok-kelompok minoritas. Yang dipahami sebagai
kelompok minoritas di sini adalah kelompok-kelompok masyarakat yang secara sosial,
budaya, maupun secara politik merupakan kelompok yang kecil dalam jumlah, sementara
dalam kualitas wacana pun nilai, pandangan, dan kepentingan mereka tidak masuk
menjadi wacana arus utama (mainstream discourse).
Peminggiran terhadap sebuah kelompok minoritas dapat terjadi dalam dua cara yaitu
ketika negara tidak melakukan apa yang menjadi kewajibannya untuk dilaksanakan,
ataupun negara melakukan apa yang menjadi kewajibannya untuk tidak dilakukan.
Landasan konseptual hukum dalam konteks ini adalah bahwa negara merupakan
organisasi dengan otoritas politik dan hukum tertinggi yang dapat mencegah ataupun
memaksakan kehendaknya dalam upaya memenuhi hak-hak warganya. Dengan demikian
negara dapat mengontrol relasi sosial antara berbagai kelompok sosial politik dan budaya
3
dalam interaksi mereka melalui berbagai instrumen politik dan hukum yang memang
(idealnya) diciptakan untuk menopang otoritas negara tersebut.
Dari perspektif hak asasi manusia hal itu menjadi pertanyaan dalam konteks kewajiban
negara untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi (to respect, to protect, and to
fulfill) hak asasi warga negaranya. Tidak terpenuhinya hak asasi kelompok minoritas
dapat terjadi akibat tindakan negara (act of commission) atau akibat kelalaian atau
pembiaran oleh negara (act of omission). Meskipun demikian ada sebuah prinsip utama
yang dianut dalam perdebatan mengenai hak asasi manusia (HAM), khususnya dalam
konteks hak-hak ekonomi, sosial, budaya (ekosob) adalah prinsip progressive realization.
Prinsip ini mempunyai makna bahwa negara mempunyai kewajiban terhadap hasil dari
upaya-upaya dalam tiga aspek (menghormati, melindungi, dan memenuhi) atau yang
disebut obligation to result dan juga mempunyai kewajiban terhadap proses pelaksanaan
upaya tersebut atau obligation to conduct. Artinya, kalaupun hasilnya belum bisa
sepenuhnya dinikmati oleh sekelompok warga negara pada suatu waktu tertentu, namun
upaya-upaya yang menjadi kewajiban negara telah dilakukan, maka negara dapat
dikatakan sudah mulai dan sedang menjalankan kewajibannya. Artinya lagi, negara tidak
dapat dikatakan sebagai sudah melakukan pelanggaran HAM terhadap warganya.
Hal inilah yang membedakan karakter hak-hak ekosob dan hak-hak sipil dan politik
(sipol). Pelanggaran terhadap sebuah hak sipol dapat dengan serta merta atau dengan
segera dibuktikan. Pelarangan terhadap keinginan sejumlah orang untuk membentuk
sebuah organisasi dapat dengan segera dijustifikasi sebagai pelanggaran terhadap
kebebasan berorganisasi yang dijamin oleh Deklarasi Universal HAM (DUHAM)
maupun Konstitusi Negara Republik Indonesia. Demikian pula halnya dengan mencekal
orang untuk tidak boleh berbicara di depan umum adalah pelanggaran HAM orang
tersebut untuk berbicara di ruang publik.
Karakter lainnya adalah bahwa jika hak-hak sipol lebih berkarakter individual, maka hak-
hak ekosob lebih bersifat kolektif. Ikatan sosial, budaya, dan pola-pola ekonomi
umumnya berkaitan dengan nilai-nilai sebuah kelompok masyarakat dan konsep-konsep
4
dasar mengenai hak-hak mereka. Hal itulah yang menyebabkan bahwa pemenuhan hak
sekelompok masyarakat menjadi lebih rumit secara prosedural dan dalam karakter
standard-standard pemenuhannya atau pelanggarannya.
Meskipun demikian terdapat sejumlah standard minimum bagi pemenuhan hak-hak
ekosob. Dalam konteks minoritas, pembicaraan mengenai standard pemenuhan hak-hak
ekosob menemukan relevansinya yang kuat karena minoritas senantiasa berkonotasi
kolektivitas, menyangkut sebuah kelompok sosial di dalam sebuah negara.
1.1.2 Masyarakat Adat Sebagai Kelompok Minoritas: Kontekstualisasi Situasi dan
Problematika Umum
Diskursus masyarakat adat di Indonesia mulai muncul pada akhir periode 1980-an dan
mulai menemukan momentumnya setelah Earth Summit atau KTT Bumi di Rio de
Janeiro 1992. Karakter diskursus masyarakat adat di Indonesia secara umum sangat
diwarnai oleh diskursus ‘induk’nya di arena internasional, yaitu indigenous peoples.
Namun harus diakui bahwa sudah tersedia ‘lahan’ yang cukup potensial bagi bertumbuh-
kembangnya diskursus ini di Indonesia.
Dalam sejarah hukum dan perundang-undangan di Indonesia telah dikenal terminologi
masyarakat hukum adat sejak Cornelis van Vollenhoven mengemukakan istilah ini
sekaligus mencoba merumuskan konsep adatrecht pada penghujung abad 19 dan awal
abad 20 melalui kelompok studi Leiden School. Sejak itu, diskursus
adatrechtsgemeenschap menemukan momentumnya dalam sejarah hukum Indonesia.
Adatrechtsgemeenschap yang secara sederhana dapat dipadankan dengan istilah ‘adat
law community’ dalam bahasa Inggris atau masyarakat hukum adat seolah-olah
merupakan ‘persambungan’ bagi kelompok gerakan lingkungan dan hak asasi manusia di
Indonesia dengan gerakan indigenous peoples di dunia internasional (Henley and
Davidson dalam Henley and Davidson Ed. 2007: 20) Namun, berbeda dengan
kontekstualisasi pengertian masyarakat hukum adat yang lebih menekankan aspek hukum
dalam menyoroti kelompok-kelompok masyarakat yang dimaksud, maka kelompok-
5
kelompok gerakan lingkungan dan HAM pada masa akhir 1980-an dan awal 1990-an
lebih memilih istilah ‘masyarakat adat’ dengan pertimbangan bahwa istilah ini lebih
mengakomodir dimensi kultural dan religius kelompok masyarakat yang dimaksud dan
tidak mempersempitnya menjadi sekedar sebuah entitas hukum belaka.
Persambungan atau pemadanan ini terjadi karena adanya sejumlah keserupaan dalam
karakter gerakan indigenous peoples dan gerakan-gerakan rakyat di kawasan kampung-
kampung seantero Indonesia terhadap kebijakan pembangunan yang dilaksanakan oleh
negara.
Pada 1982 PBB membentuk United Nations Working Group on Indigenous Population
(UN – WGIP) menyusul laporan dari special raporteur yang ditunjuk oleh The United
Nations Sub-Commission on Prevention of Discrimination and Protection of Minorities,
sebuah badan yang secara hirarkis cukup rendah dalam struktur otoritas PBB namun
sangat bersemangat dalam mengusung isu indigenous peoples dan relatif tidak terlalu
tergantung pada negara (R. H. Barnes, Gray and Kingbury 1995: 14). Adalah José
Martinez Cobo, sang special raporteur yang merumuskan definisi indigenous peoples
yang kemudian menjadi rujukan utama bagi UN – WGIP dalam seluruh kerjanya,
walaupun secara resmi tidak pernah diadopsi. Ada lima persoalan penting yang menjadi
sorotan dalam definisi Cobo, yaitu:
- Self-definition atau yang kemudian lebih mengemuka sebagai self-
identification, yaitu otonomi dalam mendefinisikan diri sendiri. Hal ini
merupakan respon terhadap berbagai pendefinisian yang selama ini dilekatkan
oleh pihak luar (dominant sector of society) terhadap diri mereka;
- Historical continuity atau kesinambungan sejarah masa lampau sejak sebelum
masa pendudukan oleh penjajah dengan keberadaan mereka sekarang ini;
- Non-dominance sector of society, atau merupakan kelompok masyarakat yang
tidak dominan dalam keseluruhan masyarakat bangsa;
- Ancestral territories atau wilayah yang diidentifikasi sebagai warisan leluhur
atau nenek moyang dari kelompok tersebut; dan
6
- Ethnic identity atau adanya pertalian etnis dalam kelompok masyarakat
tersebut (R. H. Barnes, Gray and Kingbury 1995: 26)
Cobo melihat persoalan ini berdasarkan perspektif minoritas terhadap kelompok-
kelompok yang diperiksanya dalam studi tersebut.
Selain definisi tentative yang dikemukakan oleh Cobo, diskursus indigenous peoples juga
diwarnai secara kental oleh rumusan yang tercantum dalam Konvensi ILO 169 yang
membedakan antara indigenous peoples dan tribal peoples. Dalam konvensi ini yang
dimaksud dengan kedua terminologi adalah:
“Sesuai isi dari Pasal 1 [1.b.], Indegenous Peoples dalam konvensi ini dirumuskan
sebagai masyarakat di negara-negara merdeka yang dianggap sebagai Bangsa Pribumi
yang penetapannya didasarkan pada asal-usul [keturunan] mereka di antara penduduk
lain yang mendiami suatu negara, atau suatu wilayah geografis di mana suatu negara
terletak, pada waktu terjadi penaklukan atau penjajahan atau penetapan batas-batas
negara yang baru, tanpa menilik pada status hukum mereka, dan masih tetap memiliki
sebagian atau seluruh bentuk kelembagaan nasional, ekonomi, budaya dan politik
mereka. Sedangkan Tribal Peoples, sesuai isi dari pasal 1 [1.a] dirumuskan sebagai
mereka yang berdiam di negara-negara merdeka dimana kondisi-kondisi sosial, kultural
dan ekonominya membedakan mereka dari masyarakat lainnya di negara tersebut, dan
yang statusnya diatur seluruhnya maupun sebagian oleh adat dan tradisi masyarakat
tersebut atau dengan hukum dan peraturan khusus...”1.
Dari definisi tersebut tampak bahwa persoalan territory, historical continuity dan cultural
distinctiveness merupakan kata-kata kunci untuk memahami kelompok indigenous
maupun tribal peoples. Persoalan yang agak unik dari definisi Konvensi ILO dalam
konteks Indonesia adalah bahwa meskipun dari definisi tersebut komunitas-komunitas
masyarakat adat di Indonesia lebih ‘sesuai’ dengan kriteria definisi tribal peoples namun
dalam seluruh dinamika gerakan yang diusung oleh organisasi seperti Aliansi Masyarakat
Adat Nusantara (AMAN) misalnya, kiblatnya adalah gerakan indigenous peoples di
tingkat internasional. Sekali lagi ini membuktikan bahwa gerakan masyarakat adat di
Indonesia cukup banyak distimulasi dan dipengaruhi oleh diskursus indigenous peoples.
1 Konvensi ILO 169; terjemahan Indonesia terbitan Elsam dan LBBT tanpa tahun; hal. 7
7
Dalam konteks gerakan sosial, aspek-aspek yang mencirikan eksitensi indigenous peoples
tersebut dapat ditempatkan dalam dua kategori, yaitu yang menjadi tujuan dan merupakan
klaim pendukung. Faktor self-identification dan ancestral territory adalah tujuan dari
gerakan, yaitu otonomi dalam pengurusan diri sendiri, sedangkan faktor cultural
distinctiveness adalah klaim pendukung bagi tercapainya tujuan ini, termasuk di
dalamnya adalah historical continuity, ethnic identity, dan non-dominance sector of the
society. Dengan demikian ada persoalan kuasa dan proses yang terkait dengan ekspresi
kuasa tersebut. Hal ini menjadi lebih jelas bila kemudian yang menjadi fokus
pemeriksaan adalah gerakan masyarakat adat di Indonesia.
Secara genealogis, sulit untuk dapat menyatakan saat ini bahwa masih terdapat sebuah
kelompok masyarakat yang bisa disebut sebagai sebuah kelompok etnis dengan sifat yang
‘murni’ dalam pengertian belum terjadi pencampuran dengan etnis atau kelompok
masyarakat lain. Namun dari perspektif budaya, dalam artian nilai dan konsep-konsep
yang menjadi panduan dalam dinamika kehidupan sebuah kelompok masyarakat, dapat
dikatakan bahwa masih terdapat kelompok-kelompok masyarakat dengan budaya yang
khas dalam hal-hal tertentu. Contoh yang umum adalah pandangan tentang tanah dan
lingkungan, tentang kekuatan dan peran sosok adikodrati, konsep mengenai tujuan hidup
manusi, konsep mengenai pola pengelolaan sumberdaya alam, ritual-ritual dalam siklus
pertanian maupun siklus lahir-kawin-mati.
Akan tetapi gerakan masyarakat adat di Indonesia bukan terutama dipicu oleh kehendak
untuk mendorong konteks budaya yang bersifat lokal ini untuk diperlakukan secara
khusus, atau untuk mempertahankan ‘kemurnian’nya, melainkan lebih dipicu oleh
dorongan untuk membebaskan diri dari dominasi negara yang berlebihan. Dominasi ini
termanifestasi dalam bentuk aneksasi tanah dan pengabaian terhadap kultur setempat.
Dengan demikian dari perspektif HAM dapat dikatakan bahwa telah terjadi (dari sudut
pandang gerakan masyarakat adat) pelanggaran HAM oleh negara baik dengan tindakan
(commission) maupun karena pengabaian (omission). Dengan dominasi yang eksesif dari
negara, kelompok-kelompok masyarakat adat telah kehilangan otonomi dalam mengurus
8
diri sendiri dan mengelola sumberdaya dalam kawasan yang secara tradisional
merupakan wilayah yang telah dikelola secara turun temurun. Di samping itu, hilangnya
otonomi ini berdampak pada tidak dapat diwujudkannya konsep-konsep hak yang telah
berkembang dalam kultur dan konsep nilai setempat.
Wujud yang paling menonjol dari dominasi ini adalah penerapan UU No. 5 Tahun 1979
dan penyerahan konsesi-konsesi kehutanan dan pertambangan kepada sejumlah
konglomerasi nasional dan internasional berdasarkan sejumlah undang-undang dan
peraturan-peraturan yang menyertainya dalam kedua sektor tersebut. Jika UU No. 5/1979
oleh negara telah diakui sebagai sebuah kekeliruan sejarah politik yang ‘tidak sesuai
dengan jiwa UUD 1945’2, dan telah coba diperbaiki negara dengan melahirkan UU No.
22/1999 kemudian dengan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka wujud
dominasi negara terhadap kelompok masyarakat adat melalui penyerahan konsesi tanah
dan hutan kepada perusahaan di bidang pertambangan dan kehutanan masih terus
berlangsung sampai dengan saat ini. Tidak ada perubahan substansial dalam perlakuan
negara terhadap masyarakat adat dalam konteks ini. Dari perspektif politik-hukum dapat
dikatakan bahwa tingkat partisipasi masyarakat adat dalam pembangunan sangatlah
diabaikan, baik itu dalam perumusan kebijakan di tingkat daerah maupun di tingkat
nasional. Karena kebijakan yang dihasilkan sejauh ini tidak cukup mempertimbangkan
keberadaan dan kepentingan masyarakat adat. Sementara dari perspektif ekonomi-politik
dapat pula dikatakan bahwa kesejahteraan masyarakat adat bukanlah tujuan utama dari
berbagai proyek pembangunan skala besar yang dilaksanakan oleh atau dengan bantuan
negara, melainkan hanya menjadi objek eksploitasi. Dari perspektif budaya, nilai dan
konsep yang tumbuh di tengah masyarakat adat bukannya oleh negara difasilitasi untuk
mengalami transformasi yang relevan dengan perkembangan masyarakat dominan
melainkan dibiarkan terkubur oleh hegemoni nilai-nilai dari luar. Semua pernyataan ini
adalah inti dari latar belakang lahirnya gerakan masyarakat adat di Indonesia3, yang
melihat bahwa dominasi politik-hukum dan ekonomi politik terhadap masyarakat adat
telah menempatkan mereka sebagai kelompok yang sangat diabaikan dalam
pembangunan.
2 Bagian menimbang dari UU No 22/19993 Dokumen KMAN I Hotel Indonesia 1999
9
Secara politik, quantity of participation maupun quality of discourse masyarakat adat
tidak mendapatkan cukup ruang. Secara budaya nilai-nilai lokal sangat lambat atau tidak
menemukan ruang untuk bertransformasi, dan secara ekonomi mode of production
mereka tidak lagi menjadi pola utama dalam arus ekonomi mainstream sekarang ini.
Globalisasi informasi dan teknologi malah menempatkan mereka menjadi kelompok yang
menerima informasi ‘tangan kedua’ dibandingkan dengan kelompok masyarakat
perkotaan. Dari berbagai perspektif inilah, masyarakat adat kemudian dapat dipandang
sebagai kelompok minoritas yang perlu mendapatkan perhatian khusus dari negara dalam
pembangunan.
1.1.3 Studi Kasus Kasepuhan Sinaresmi dan Kasepuhan Citorek Sebagai Dasar
Analisis Situasi Masyarakat Adat
Dengan latar belakang lahirnya diskursus masyarakat adat seperti itu, maka riset yang
dilakukan kali ini hendak memusatkan perhatian pada dua komunitas, yang sejauh ini
mengklaim diri mereka sebagai bagian dari kelompok yang menyebut diri atau disebut
(oleh beberapa pihak) sebagai masyarakat adat. Kedua komunitas tersebut adalah
Kasepuhan Citorek dan Kasepuhan Sinaresmi. Yang pertama berada dalam daerah
administrasi Kabupaten Lebak, Banten, sedangkan yang kedua berada dalam Kabupaten
Sukabumi, Jawa Barat.
Dilihat dari perspektif indigenous peoples dengan lima aspek yang menjadi definisi kerja
Cobo tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa kedua komunitas ini sampai tingkat
tertentu dapat dikategorikan sebagai masyarakat adat. Pertama, kedua komunitas
mengidentifikasi diri sebagai masyarakat adat dengan alasan bahwa mereka memiliki
kesinambungan sejarah dengan masa lalu, baik jaman kolonial maupun pra-kolonial.
Klaim kesinambungan sejarah ini dapat dilihat dari sejarah terbentuknya kelompok-
kelompok Kasepuhan (Adimihardja, Kusnaka 1992) maupun dari sejarah lisan yang
mereka tuturkan. Sejarah ini terkait dengan jatuhnya kerajaan Pajajaran oleh Islam dan
tercerai-berainya pengikut-pengikut setia kerajaan ini keberbagai daerah di Jawa Barat.
10
Dalam masa penjajahan Belanda keadaan komunitas-komunitas ini tidak cukup tercatat
sebagai kelompok khas selain dari disebutnya Sunda secara keseluruhan oleh Van
Vollenhoven sebagai salah satu dari 19 adatrechtskringen atau wilayah adat di Indonesia
(Peter Burns dalam Henley and Davidson Ed.2007: 80). Ini berarti bahwa Sunda secara
keseluruhan merupakan sebuah wilayah dengan kekhasan adat dan hukum adatnya
menurut Van Vollenhoven. Meskipun demikian dalam konsep kepercayaan Sunda
Wiwitan4, kelompok-kelompok yang menyebut diri sebagai komunitas kasepuhan ini
meyakini bahwa mereka mewarisi tradisi dan aturan-aturan adat dari masa lampau yang
telah sangat lama. Tradisi dan aturan-aturan tersebut terutama terjaga dan terus hidup
sampai saat ini di dalam berbagai kasepuhan yang ada kini. Dan salah satu unsur dalam
kepercayaan tersebut adalah tentang ruang hidup, yang barangkali dapat disejajarkan
dengan konsep wilayah atau teritori. Ada kasepuhan yang mengenal wilayah adat yang
jelas, sekurang-kurangnya menurut identifikasi mereka, sementara ada pula kasepuhan
yang tidak mengenal wilayah adat yang tegas secara geografis sebagaimana umumnya
dipahami. Ruang hidup atau wilayah dari jenis kedua ini lebih dekat dengan konsep
kawasan pengembaraan dari kelompok-kelompok nomadik.
Selain dari konsep ruang hidup atau wilayah, komunitas kasepuhan juga memandang diri
mereka sebagai pewaris dari kepercayaan dan nilai-nilai budaya tertentu, yang
membedakan mereka dari kelompok masyarakat lain. Meskipun dalam kehidupan sehari-
hari mereka berbaur dengan masyarakat lain dalam sebuah desa yang sama, namun dari
aspek kepercayaan dan nilai-nilai serta relasi sosial mereka mempunyai struktur tersendiri
dengan pimpinan utamanya seorang ‘Abah’ (untuk Kasepuhan Sinaresmi) atau ‘Oyot’
(untuk Kasepuhan Citorek), yang lebih menyerupai pemimpin kelompok aliran
kepercayaan daripada seorang pemimpin politik dengan wilayah hukum yang jelas.
Seorang Abah memiliki pengikut yang tersebar di sejumlah desa dan tempat. Pada hari-
hari tertentu, seperti Seren Taun yang merupakan puncak upacara syukur atas panen, para
pengikut seorang Abah biasanya berkumpul di tempat di mana terdapat rumah adat yang
menjadi tempat kediaman Abah atau Oyot.
4 Sunda wiwitan sering disebut sebagai kepercayaan ‘asli’ masyarakat Sunda.
11
Beberapa aspek sosial budaya inilah yang mendorong komunitas-komunitas tersebut
kemudian turut mengidentifikasi diri sebagai masyarakat adat ketika terminologi ini
mulai bergaung dengan kuat seiring mencuatnya gerakan masyarakat adat di Indonesia.
Namun keterlibatan mereka dalam gerakan yang mengusung isu masyarakat adat lebih
dipengaruhi atau diakibatkan oleh relasi yang tak seimbang dengan negara ketimbang
kesadaran akan keunikan sosial budaya mereka. Hal ini dapat dilihat dari respon mereka
terhadap negara setelah menjadi bagian dari gerakan masyarakat adat yang tidak jauh
bergeser dari tuntutan mengenai hak atas tanah dan sumberdaya hutan serta keamanan
dalam mengelola kawasan yang secara tradisional telah dikelola secara turun temurun.
Dengan demikian harus dibedakan dengan tegas antara kesadaran dalam mengidentifikasi
diri sebagai sebuah kelompok masyarakat adat, dengan tujuan dari upaya membangun
kesadaran itu sendiri.
1.2 Tujuan Penelitian
Berdasarkan gambaran situasi dan latar pemikiran seperti itu, penelitian ini hendak
mencari jawaban atas sejumlah pertanyaan yang merupakan manifestasi dari ketegangan
dalam hubungan antara kedua komunitas masyarakat adat tersebut – sebagai kelompok
minoritas – dengan negara, dan melihat sejauh mana klaim-klaim diri sebagai
masyarakat adat selaras dengan tuntutan-tuntutan yang disampaikan oleh mereka dan
sejauh mana tuntutan ini diwarnai oleh realitas kebutuhannya.
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk:
1. Mengidentifikasi pandangan masyarakat adat mengenai posisinya dalam konteks
kenegaraan dan kepemerintahan di Indonesia; termasuk di dalamnya konsep self-
identification sebagai masyarakat adat.
12
2. Mengidentifikasi bentuk interaksi macam apa yang produktif bagi masyarakat
adat dan juga bagi masyarakat lain di lingkungan masyarakat adat: Interaksi
bermotif kebutuhan atau bentuk-bentuk interaksi dengan motif lain? Bagaimana
bentuk interaksi tersebut?
3. Menyisir kesenjangan antara perilaku dan nilai yang dipegang oleh masyarakat
adat; termasuk di dalamnya soal kenegaraan dan kepemerintahan serta kaitannya
dengan klaim-klaim hak yang dituntut sebagai masyarakat adapt
Sedangkan tujuan khusus dari riset ini adalah: untuk merumuskan sebuah rekomendasi
bagi kerangka kerja ke depan terhadap masyarakat adat sebagai Kelompok Minoritas
berdasarkan analisis terhadap temuan penelitian di dua komunitas kasepuhan, yaitu:
Kasepuhan Sinaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat
dan Kasepuhan Citorek, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten.
Hasil riset ini akan menyajikan temuan di masing-masing komunitas secara terpisah
mengingat sejumlah perbedaan kondisi sosial budaya dan ruang politik yang memisahkan
keduanya. Temuan-temuan tersebut akan menjadi alas analisis yang diharapkan akan
dapat memunculkan sejumlah rekomendasi yang relevan dengan tujuan penelitian ini.
13
BAGIAN KEDUA
PENDEKATAN DAN METODOLOGI
2.1 Permasalahan Penelitian
Permasalahan penelitian yang diuraikan di dalam riset ini mencakup latar sejarah
problematika yang dihadapi masyarakat adat, gambaran umum persoalan yang dihadapi
dalam masa sekarang ini, asumsi yang dibangun berdasarkan latar sejarah dan gambaran
umum, dan pertanyaan penelitian yang diperlukan untuk membuktikan kebenaran atau
pun kekeliruan dari asumsi yang dibuat.
2.1.1 Latar Sejarah Permasalahan Penelitian
Isu masyarakat adat dalam perspektif kelompok minoritas merupakan persoalan lama
dengan nuansia politik hukum yang baru. Boleh dikatakan sebagai substansi lama
karakter baru, sosok lama baju baru. Sejak era kolonialisme persoalan ini telah menjadi
topik kajian dan pemikiran di kalangan pemerintah, pemikir politik, dan akademisi.
Adalah Francisco de Vitoria, seorang profesor teologi terkemuka dari Universitas
Salamanca, Spanyol, penghujung abad XV dan awal abad XVI yang berani melawan
tindakan tirani terhadap masyarakat Indian oleh bangsa Spanyol dengan sebuah
penegasan mengenai esensi kemanusiaan orang Indian. Di samping itu ia juga mengkritik
paham atau pandangan yang dianut rejim-rejim penakluk yang mengatakan bahwa tanah
orang Indian berhasil diduduki setelah melalui sebuah perang yang “adil”. Sementara
keadilan yang dimaksud melulu didasarkan atas penilaian orang Eropa pendatang.
Sikapnya ini memberi dukungan yang berarti bagi upaya Bartolome de las Casas, seorang
pastor Katholik Roma yang bertugas menjalankan misi di tengah masyarakat Indian.
Perbedaannya hanya bahwa de Vitoria tidak pernah berlayar melintasi Atlantik. Kritik de
las Casas terutama ditujukan kepada kebijakan pemerintah Spanyol mengenai sistem
encomienda yang memberi mandat kepada para pendatang Spanyol untuk menguasai
14
tanah di Dunia Baru, sekaligus menjadi penguasa atas semua tenaga kerja orang Indian
yang hidup di atas kawasan yang mereka “temukan”. Sementara de Vitoria
mengembangkan konsep yang menunjukkan bahwa orang Indian memiliki sejumlah
otonomi asli dalam sistem politik kekuasaan mereka serta memiliki hak otonom atas
tanah mereka (Annaya 1996: 10).
Hal yang serupa dapat dijumpai di tanah air ketika van Vollenhoven dengan Leiden
School-nya mencoba membangun sebuah kerangka pikir dari perspektif hukum untuk
menegaskan eksistensi penduduk pribumi di hadapan rejim kolonial Belanda. Demikian
pula upaya politik etis yang muncul sebagai respon terhadap kebijakan cultuurstelsel atau
yang dikenal sebagai sistem Tanam Paksa yang diberlakukan setelah berakhirnya Perang
Jawa yang membangkrutkan kas pemerintahan kolonial. Meskipun politik etis tersebut
didorong oleh kaum liberal di Belanda masa itu, namun ini hanya kedok humanisme
kelompok tersebut, yang tujuan utamanya adalah swastanisasi perkebunan-perkebunan
besar di Hindia Belanda. Sedikit banyaknya angin politik bagi kaum liberal ini diperoleh
dari publikasi dua buku yang menggambarkan penderitaan rakyat Jawa di bawah sistem
Tanam Paksa, yaitu Max Havelaar, karya Douwes Dekker dan Suiker Contracten
(Kontrak-Kontrak Gula) karya Frans van de Putte (Kartodirdjo, Djoened Poesponegoro
dan Notosusanto 1975: 83 – 5).
Dapatlah dikatakan bahwa isu masyarakat adat, dengan terminologi yang berbeda, dan
konteks politik hukum yang berbeda sesungguhnya telah berusia berabad-abad lamanya.
2.1.2 Gambaran Umum Permasalahan Penelitian
Persoalan masyarakat adat menguat di Indonesia setelah sekian lama kelompok
masyarakat ini melakukan perlawanan terhadap kebijakan pembangunan negara yang
dipandang tidak adil. Ketidak-adilan tersebut dapat ditelusuri dalam dua domain, yaitu
aspek kebijakan dan aspek sosial budaya. Kebijakan pembangunan negara yang selama
ini sangat menekankan pada aspek pertumbuhan ekonomi dengan indikator-indikator
ekonomi makro kurang memperhatikan persoalan pemerataan hasil pembangunan.
15
Kelompok-kelompok masyarakat adat yang umumnya berdiam di kawasan pedesaan
umumnya tidak menjadi beneficiary atau penerima manfaat yang seimbang dengan nilai
kehilangan yang mereka alami.
Eksploitasi hutan secara besar-besaran dan pemberian konsesi pertambangan, maupun
pengembangan perkebunan skala besar umumnya dilakukan dengan cara penggusuran
pemukiman penduduk dan atau pengambil-alihan kawasan kelola masyarakat yang
sebagian di antaranya mengklaim diri sebagai masyarakat adat. Sementara dari aspek
pelibatan tenaga lokal sebagai tenaga kerja di dalam perusahaan-perusahaan besar yang
menjalankan proyek-proyek pembangunan tersebut sangatlah minim jika tidak mau
mengatakan tidak ada. Jika tidak menjadi buruh kasar, maka penduduk kampung yang
terkena langsung dampak proyek-proyek tersebut hanyalah menjadi penonton yang telah
kehilangan akses ke sumber-sumber daya yang selama ini menjadi gantungan hidup
mereka. Salah satu indikasi dari realitas ekonomi politik seperti ini adalah
terkonsentrasinya penduduk miskin di kawasan pedesaan. Laporan Biro Pusat Statistik
untuk periode 2006 dan 2007 menunjukkan bahwa lebih dari 60 persen penduduk miskin
terkonsentrasi di kawasan pedesaan5. Dengan proyeksi linear antara lamanya proyek-
proyek pembangunan skala besar berlangsung di kawasan pedesaan dengan tingkat
kesejahteraan masyarakat di kawasan pedesaan – termasuk di dalamnya masyarakat adat
– dapat memperlihatkan bahwa tidak ada relevansi langsung antara lama dan besarnya
proyek-proyek pembangunan berlangsung di suatu daerah dengan tingkat kesejahteraan
penduduk pedesaan di daerah tersebut. (PERLU DATA LENGKAP DAN GRAFIK)
Salah satu faktor yang menyebabkan kondisi seperti ini berlangsung sedemikian lama
adalah kebijakan negara mengenai pembangunan dan pemerataan kesejahteraan bagi
masyarakat di kawasan pedesaan, termasuk masyarakat adat. Persoalannya bukan hanya
menyangkut Konstitusi dan sejumlah peraturan perundangan nasional, melainkan juga
pada peraturan pelaksananya dan peraturan-peraturan daerah yang menyertainya.
Terdapat banyak celah bagi multi tafsir terhadap peraturan perundangan yang ada
sementara monopoli atas tafsir dalam prakteknya tetap berada pada tangan negara dan
5 Biro Pusat Statistik; Berita Resmi Statistik, September 2006; Statistik Indonesia, Badan Pusat Statistik, 2007.
16
dalam prakteknya sejauh ini tafsir tersebut tetap lebih condong kepada pemberian
manfaat yang besar kepada pihak perusahaan pemilik proyek-proyek besar ketimbang
kepada masyarakat adat. Salah satu tafsir yang sangat sentral adalah mengenai hak
menguasai negara terhadap bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
(Pasal 33 ayat 3 UUD 1945) dan bagaimana kuasa tersebut digunakan untuk sebesar-
besar kemakmuran rakyat.
Sementara itu aspek sosial budaya masyarakat adat merupakan persoalan lain yang
kurang mendapat perhatian dari negara. Sangat sering terjadi bahwa kehidupan sosial
budaya masyarakat adat disimplifikasi menjadi serupa dengan gambaran pemerintah.
Terminologi yang bersifat minor yang dikenakan kepada sebuah komunitas masyarakat
adat adalah contoh simplifikasi tersebut. ‘Masyarakat tertinggal’; ‘suku terasing’;
‘komunitas adat terpencil’ adalah sejumlah terminologi yang masih terus bergaung
sampai saat ini, seolah-olah persoalan masyarakat adat hanyalah aksesibilitas ataupun
kerinduan akan ‘modernitas’ yang telah hinggap duluan di kawasan perkotaan. Sementara
pengamatan dari dekat menunjukkan bahwa ada banyak nilai budaya dan religi yang
menjadi alat kontrol bagi dinamika sosial masyarakat adat. Nilai-nilai yang terkait dengan
tanah dan ruang adalah unsur utama dari klaim identitas masyarakat adat. Dalam praktek
pembangunan nilai-nilai ini tidak cukup dihormati apalagi dilindungi oleh negara. Tata
ruang masyarakat adat dalam waktu singkat bisa lenyap ditelah proyek perkebunan skala
besar atau pun pertambangan. Pengabaian terhadap nilai budaya dan struktur sosial
setempat dapat dilihat dengan gamblang ketika masih berlakunya UU No. 5/1979 tentang
Pemerintahan Desa. Walaupun UU ini telah digantikan oleh UU No. 32/2004 namun
upaya secara politik hukum untuk membantu masyarakat adat memulihkan sistem kontrol
sosial politiknya masih jauh dari yang diharapkan.
2.1.3 Asumsi pokok
Dalam konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dikatakan bahwa
pembangunan hanya dapat bersifat berkelanjutan jika menyentuh tiga aspek, yaitu
economically viable, socially equitable, dan environmentally sustainable. Dengan
17
demikian salah satu asumsi dasarnya adalah bahwa setiap pembangunan memiliki tiga
karakter, yaitu harus memberi manfaat secara ekonomi, secara sosial membawa
pemerataan manfaat dan dalam aspek lingkungan menjaga kelangsungan lingkungan
hidup yang menjadi fondasi bagi ruang di mana pembangunan berlangsung. Tesisnya
adalah bahwa hanya dengan menyentuh ketiga aspek tersebut secara baik dan merata
sebuah konsep pembangunan dapat berlangsung dengan memberi manfaat yang jelas dan
oleh karenanya menjadi sebuah pembangunan yang benar-benar dibutuhkan. Implikasi
dari konsep ini adalah munculnya konsep para pihak dalam pembangunan, yang antara
lain memprioritaskan kelompok-kelompok rentan seperti kelompok perempuan dan anak-
anak serta kelompok-kelompok minoritas termasuk masyarakat adat (indigenous peoples)
Dengan asumsi dasar yang tersirat dalam konsep pembangunan berkelanjutan tersebut
serta realitas pembangunan di Indonesia dengan seluruh implikasi dan dampaknya, maka
asumsi yang dijadikan landasan untuk melakukan penelitian ini adalah bahwa telah
terjadi peminggiran terhadap masyarakat adat, sebagai salah satu pihak minoritas, dalam
kebijakan negara mengenai pembangunan. Peminggiran ini terjadi akibat
instrumentalisasi hukum di Indonesia, baik pada tingkat nasional maupun pada tingkat
daerah. Artinya, dalam konteks pembangunan berkelanjutan tidak terpenuhi sekurang-
kurangnya dua tuntutan, yaitu karakternya yang semestinya economically viable dan
socially equitable.
2.1.4 Pertanyaan Penelitian
Riset ini perlu membuktikan apakah asumsi tersebut benar atau salah. Untuk itu riset ini
harus dapat menjawab sejumlah pertanyaan yang dapat membawa kepada kesimpulan
mengenai benar tidaknya asumsi tersebut. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah:
1. Apakah negara (Pemerintah) masih terus mendesakkan keseragaman model
pengelolaan pemerintahan di tingkat desa (lokal) sebagaimana pernah terjadi
dengan pemberlakuan UU Pemerintahan Desa? Jika hal itu masih terjadi berarti
pemerintah masih terus menjalankan kebijakan yang tidak memprioritaskan
kelompok rentan?
18
2. Adakah ketegangan (gap) antara konsep hak menguasai negara (HMN) dengan
konsep adat soal pengelolaan sumberdaya alam? Jika ada, apa saja permasalahan
yang menjadi sumber timbulnya ketegangan dan apa wujudnya?
3. Apakah masyarakat adat sendiri memang ingin menarik diri dari keterlibatan
(engagement) dengan politik publik? Atau apakah mereka ingin diperlakukan
secara khusus? Jika ya, mengapa? Dan bagaimana wujud perlakuan khusus
tersebut?
4. Khusus untuk situasi internal terkait dengan posisi dan peran kaum perempuan:
Apakah terjadi peminggiran terhadap kaum perempuan dalam komunitas adat
tersebut? Jika ya, apakah peminggiran tersebut karena sistem patriarchy internal
dalam masyarakat adat itu?
2.2 Cakupan Penelitian
Berdasarkan asumsi pokok dan pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas, penelitian ini
memeriksa sejumlah arena yang menjadi cakupan dalam pertanyaan. Secara khusus akan
dikaji mengenai kebijakan negara tentang masyarakat adat dan juga aspek ekonomi,
sosial dan budaya dari komunitas yang menjadi target penelitian. Dalam dua bidang
kajian ini lingkup penelitian dikembangkan menjadi sebagai berikut:
1. Peraturan perundangan nasional dan kebijakan-kebijakan daerah mengenai
pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat dan pengelolaan sumberdaya alam
(tanah dan hutan) dan ketegangan yang timbul dalam berhadapan dengan konsep
nilai anutan dalam komunitas masyarakat adat;
2. Problem-problem ekonomi, sosial dan budaya yang muncul di tingkat komunitas
dalam relasi sosial antar mereka, maupun yang muncul dalam relasi dengan
negara (problem struktural) dalam wujud ketegangan-ketegangan yang timbul
baik di dalam komunitas maupun dengan negara. Persoalan internal misalnya
akan diperiksa mengenai peran kaum perempuan dalam komunitas kasepuhan
dalam mekanisme pengambilan keputusan; persoalan yang timbul dengan
komunitas lain dalam desa yang sama – karena masyarakat kasepuhan berbaur
19
dengan masyarakat lainnya dalam sebuah desa yang sama; maupun pandangan
mereka mengenai struktur sosial internal mereka dan perannya dalam pemenuhan
hak-hak dasar warga kasepuhan. Problem struktural akan secara khusus dikaji
persoalan hubungan antara masyarakat adat dengan Taman Nasional Gunung
Halimun Salak dan dengan PT Perhutani;
3. Upaya-upaya yang telah dilakukan komunitas target dalam menghadapi problem
sosial dan struktural yang telah disebut pada (1) dan (2) di atas dan hambatan-
hambatan yang mereka hadapi dan solusi-solusi yang mereka tawarkan dalam
relasi masyarakat sekitar dan dalam relasi dengan negara (yang perlu dilakukan
negara dan yang tidak perlu dilakukan negara). Upaya-upaya ini layak diperiksa
untuk melihat respon komunitas masyarakat adat di kedua kasepuhan tersebut
terhadap problem sosial dan struktural yang mereka hadapi;
4. Kebutuhan-kebutuhan dasar masyarakat adat di dua komunitas tersebut terkait
dengan klaim diri sebagai masyarakat adat dan tuntutan-tuntutan yang muncul.
Pemeriksaan kebutuhan masyarakat adat di dua kasepuhan ini dilakukan dengan
asumsi bahwa dengan terungkapnya kebutuhan akan terlihat relevansi antara
klaim yang dikemukakan, upaya yang dilakukan dalam merespon problem sosial
dan struktural, dan realitas kebutuhan. Dari pemeriksaan ini diharapkan muncul
(atau tidak muncul) gap antara nilai dan perilaku masyarakat adat tersebut.
Selaras dengan tujuan penelitian yang telah disampaikan terdahulu, cakupan penelitian
ini bergerak mulai dari aras kebijakan negara dan konsep nilai anutan masyarakat adat
sampai kepada praktek-praktek penerapan kebijakan dan konsep nilai tersebut pada
tingkat lapangan. Dengan demikian diharapkan dapat kelihatan bukan saja ketegangan
antara dua sistem, yaitu sistem negara dan adat, melainkan juga dapat dicermati gap
antara kebijakan dan praktek maupun antara konsep nilai dan perilaku.
2.3 Alur Logika Penelitian dan Informasi yang Dibutuhkan
20
Pertanyaan yang muncul kemudian ketika menghadapi cakupan riset dari hulu ke hilir
seperti ini adalah logika penelitian seperti apa yang dapat menjawab persoalan-persoalan
yang dimunculkan dalam penelitian ini.Menghadapi pertanyaan seperti ini tim peneliti
sekali lagi bergerak dari sebuah asumsi dasar dalam penelitian ilmu-ilmu sosial bahwa
perilaku dan tindakan sekelompok masyarakat atau individu pada dasarnya merefleksikan
sejumlah sistem nilai yang dipengaruhi atau dibentuk oleh kebudayaan dalam masyarakat
tersebut (atau dalam masyarakat tempat individu tersebut berkembang). Dengan demikian
menjadi jelas bahwa ada sejumlah sistem nilai yang membentuk atau mempengaruhi
dinamika sosial budaya sebuah masyarakat. Bagaimana bentuk perubahan yang terjadi
kemudian sangat tergantung dari konstelasi berbagai sistem nilai tersebut, dan bagaimana
masyarakat atau individu menanggapi kehadirannya.
Dengan berpijak pada asumsi dasar ini penelitian akan bergerak dari pemeriksaan
terhadap perilaku dan gejala-gejala dalam masyarakat adat dalam merespon berbagai
persoalan ketika berhadapan dengan realitas negara maupun dalam relasi sosialnya
sebagai langkah awal. Pemeriksaan ini akan dilakukan paralel dengan pemeriksaan akar
persoalan yang timbul dalam hubungan eksternal dan relasi internal. Dari sini diharapkan
akan membawa penelitian kepada sumber-sumber konsep nilai masyarakat maupun
kebijakan-kebijakan negara yang – sebagaimana diasumsikan – merupakan latar belakang
yang menggerakkan dan mempengaruhi dinamika kehidupan masyarakat adat. Implikasi
dari logika seperti ini adalah perlu ditetapkan secara cermat dan tepat data dan informasi
yang diperlukan terkait dengan perilaku, permasalahan, dan konsep nilai yang hendak
diperiksa.
Untuk dapat sampai kepada sebuah analisis yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan
penelitian, tim peneliti telah menetapkan sejumlah data dan informasi yang diperlukan.
Data dan informasi tersebut pada dasarnya mencakup data dan informasi dari tangan
pertama (primer) maupun sekunder, yang dapat disajikan sebagai berikut:
1. Profil komunitas, yaitu gambaran demografis yang meliputi populasi dan akses ke
pendidikan, kesehatan, pekerjaan
21
2. Argumen-argumen di balik identifikasi diri diri sebagai satu komunitas adat,
meliputi faktor-faktor sosial-buday, ekonomi dan politik yang mengikat mereka
sebagai sebuah komunitas di tengah kehadiran mereka bersama dengan warga lain
di dalam sebuah desa. Apakah terjadi pembauran dengan komunitas lain?
3. Praktek penerapan model pengelolaan pemerintahan yg dipaksakan oleh
pemerintah dan bagaimana respon masyarakat adat, respon birokrasi, respon
pihak eksekutif, respon penyedia pelayanan publik terhadap pemakasaan itu, jika
memang ada. Adakah resistensi atau kompromi yang terjadi? Apa bentuknya?
4. Praktek penguasaan negara terhadap sumberdaya alam dan ketegangan yang lahir
dari praktek ini dalam perhadapannya dengan konsep adat baik itu berujung pada
resistensi yang kuat maupun pada kompromi.
5. Nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat dan bagaimana masyarakat adat
menghadapi realitas ini. Adakah gejala-gejala ekslusivisme sebagai respon
terhada konstelasi berbagai nilai yang hadir di tengah komunitas?
6. Apa yang sebaiknya dilakukan negara dan tidak dilakukan negara kepada mereka
sebagai komunitas adat?
7. Relasi antara kaum perempuan dengan berbagai pihak dalam komuntias
masyarakat adat: pandangan kaum laki-laki terhadap perempuan, posisi
perempuan dalam konsep nilai adat, bentuk-bentuk sub-ordinasi, penindasan, atau
ketidak-adilan terhadap perempuan.
2.4 Pendekatan dan Metode
Ada sejumlah pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini. Pendekatan pertama
adalah pendekatan hak. Dengan pendekatan ini pemeriksaan terhadap kewajiban negara
dalam menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak asasi manusia bagi masyarakat
adat di kedua komunitas kasepuhan tersebut akan menggunakan pedoman dalam
Konvensi-konvensi HAM yang telah diratifikasi oleh Indonesia, khususnya Kovenan
Internasional Hak Ekonomi, Sosial, Budaya (ICESCR).
22
Pendekatan kedua adalah pendekatan struktural. Dengan pendekatan ini maka hubungan
antara masyarakat adat dan negara dipandang sebagai relasi struktural yang ditandai oleh
adanya sejumlah hak dan kewajiban dan tata-aturan serta mekanisme yang telah
ditetapkan dalam mengatur hubungan tersebut. Demikian pula dalam konteks relasi
internal komunitas akan dilihat relasi antara masyarakat dengan struktur-struktur dan
otoritas-otoritas yang ada.
Kedua pendekatan ini akan menjadi landasan dalam menjalan metode pengumpulan data
dan informasi. Metode yang digundakan dalam riset ini adalah (i) riset dokumen; (ii)
wawancara mendalam; (iii) focus groups discussion; dan (iv) pengamatan-pengamatan
dan pencatatan langsung. Penggunaan seluruh metode ini pada prinsipnya dilandasi
perspektif kedua pendekatan tersebut sehingga pertanyaan-pertanyaan yang dirancang
maupun model pencatatan yang dilakukan sangat diwarnai perspektif hak dan relasi
struktural dalam masyarakat.
23
BAGIAN KETIGA
TEMUAN PENELITIAN DAN ANALISA
Bab ini, pada bagian pertama, menyajikan hasil-hasil penelitian lapangan baik yang
diperoleh melalui studi dokumen maupun yang dari lapangan melalui metode-metode
tersebut di atas. Sedangkan pada bagian kedua akan disajikan analisis terhadap data dan
informasi yang telah diperoleh.
3.1 Temuan Penelitian di Komunitas Sinaresmi
3.1.1 Profil Komunitas
Kasepuhan Sinaresmi berada di Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten
Sukabumi, Jawa Barat. Keberadaan ini ditandai dengan adanya rumah adat, yang menjadi
kediaman Abah, pemimpin spiritual Kasepuhan Sinaresmi. Di Sirnaresmi terdapat tiga
komunitas kasepuhan, yaitu Ciptagelar, Sinaresmi, dan Ciptamulya. Oleh karenanya
harus dipahami bahwa penelitian ini berlangsung di Desa Sirnaresmi, tentang komunitas
Kasepuhan Sinaresmi. Hal ini merupakan implikasi dari konsep batas-batas ruang hidup
atau wilayah adat di kalangan Kasepuhan Sinaresmi lebih bersifat mitologis dan tidak ada
batas geografis yang jelas, maka data geografis yang sampaikan dalam hasil penelitian ini
adalah data geografis Desa Sinaresmi.
Letak geografis dan administrasi desa6
Secara geografis, Desa Sirnaresmi terletak antara 106˚ 27′ – 106˚ 33′ BT dan
6˚ 52′ – 6˚ 44′ LS. Secara administratif, Desa Sirnaresmi termasuk di dalam Kecamatan
Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat. Luas Desa Sirnaresmi adalah 4917
hektar berdasarkan data monografi desa Triwulan 1, 2008.
Batas – batas administrasi Desa Sirnaresmi adalah :
1. Sebelah utara, berbatasan dengan Kabupaten Lebak, Propinsi Banten
2. Sebelah timur, berbatasan dengan Kecamatan Kelapa Nunggal.
3. Sebelah selatan dan barat, berbatasan dengan Desa Cicadas.
6 Sumber: Monografi dan Administrasi Desa Sirnaresmi Triwulan 1 2008.
24
Dalam administrasi pemerintahan Desa Sirnaresmi dibagi atas tujuh dusun, yaitu: Dusun
Sirnaresmi, Cibombong, Cikaret, Cimapag, Situmurni, Cipulus dan Sukamulya. Tiap
dusun dikepalai oleh seorang Kepala Dusun. Ketujuh dusun tersebut sekaligus
merupakan tujuh Rukun Warga (RW) dari Desa Sirnaresmi, dan kepala dusun sekaligus
merupakan ketua RW. Dusun Sirnaresmi, tempat di mana FGD penelitian ini diadakan,
merupakan salah satu dari 7 dusun yang ada di Desa Sirnaresmi.
Batas – batas Dusun Sirnaresmi adalah :
1. Sebelah utara, berbatasan dengan Sungai Cibareno.
2. Sebelah selatan, berbatasan dengan Dusun (Kampung) Cibongbong.
3. Sebelah timur, berbatasan dengan Dusun (Kampung) Cikaret.
4. Sebelah barat, berbatasan dengan Desa Cicadas.
Di dalam tujuh dusun ini terdapat lebih kurang 30 kampung dan babakan, setiap dusun
terdiri dari beberapa kampung dan babakan, yang jarak antara dusun dan antar kampung
berjauhan. Perlu dijelaskan di sini mengenai konsep ’kampung’ dan ’babakan’. Kampung
adalah sebutan untuk pemukiman yang sudah cukup banyak penduduknya dan ’berusia
lebih tua’. Terhadap siapa? Terhadap kampung tetangganya yang ’lebih muda’. Sebutan
dari seorang warga kampung yang ’lebih tua’ kepada yang lebih muda adalah ’babakan’.
Dapat terjadi penduduk sebuah babakan menyebut pemukimannya sebagai kampung.
Tidak ada standard yang pasti mengenai jumlah rumah sebuah kampung atau babakan.
Faktor pemukiman mana yang lebih dulu ada itulah yang paling menentukan sebutan atau
istilah yang digunakan. Walaupun dalam pembicaraan penduduk sering mengatakan
bahwa jumlah rumah hunian dalam sebuah babakan berkisar antara beberapa rumah
sampai belasan rumah, namun dalam pengamatan langsung di lapangan ternyata faktor
’usia’ yang paling menentukan munculnya instilah ini dalam pembicaraan. Implikasi dari
konsep ini adalah bahwa informasi mengenai jumlah kampung dalam satu desa atau
dusun dapat berbeda antara yang diterima dari penduduk ‘kampung’ dan dari penduduk
‘babakan’.
25
Dusun terjauh dari pusat desa adalah Dusun Sukamulya, yang terletak lebih tinggi dari
yang lain, di mana terdapat pusat Rumah Gede Kasepuhan Cipta Gelar. Beberapa
kampung yang dapat disebutkan di sini (menurut keterangan penduduk kampung
Sirnaresmi) adalah Sirnaresmi, Cijangkorang, Citeureup, Pasir Kapudang, Cibongbong,
Ciptamulya, Mekarjaya, Cipagon, Cikaret 1, Cikaret 2, Cibalandongan, Sorandil,
Cimapag, Garehong. Sementara beberapa babakan yang terekam dari pembicaraan
dengan penduduk Sirnaresmi adalah Kawung Luwuk, Cihandam, Manggu.
Iklim dan Topografi
Desa Sirnaresmi berada pada ketinggian yang bervariasi antara 300 – 600 meter di atas
permukaan laut ( m dpl ) dengan bentuk permukaan bumi (kontur) yang berbukit dan
bergunung – gunung serta memiliki kemiringan lereng berkisar antara 25 – 45 %.
Temperatur rata-rata di musim kemarau berkisar 28˚ C sedangkan di musim penghujan
berkisasr 21 – 25˚C. Curah hujan bervariasi antara 2120 – 3250 mm/tahun dengan
kelembaban udara 84 % (RMI, 2000)7.
Aksesibilitas
Untuk menuju Desa Sirnaresmi pertama – tama ditempuh dengan bus melalui jalan lintas
Bogor – Pelabuhan Ratu dengan waktu tempuh sekitar 4 jam. Jarak Sirnaresmi terhadap
beberapa pusat pemerintahan dan sentra bisnis dapat dilihat dalam Tabel 1; sedangkan
alternatif kendaraan umum yang dapat digunakan dapat dilihat di Tabel 2.
Kondisi jalan yang dilewati adalah jalan aspal yang keadaannya cukup baik, hanya
sepanjang sekitar 1 kilometer menjelang masuk desa merupakan jalan batu belum diaspal.
Kondisi jalan pada umumnya baik dan kendaraan pribadi roda empat dapat digunakan
sampai ke Desa Sirnaresmi, hanya perlu sedikit berhati-hati ketika melewati jalan batu
menjelang masuk Sirnaresmi. Berdasar data Monografi Desa Sirnaresmi tahun 1997,
infrastruktur yang mendukung desa adalah jalan desa yakni 2100 meter jalan batu dan
3700 meter jalan tanah, Namur dalam data monografi terakhir tidak ada keterangan 7 Rimbawan Muda Indonesia (RMI) adalah sebuah NGO berkantor di Bogor, yang memberikan perhatian besar kepada pelestarian hutan dan kesejahtaraan masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Dalam sepuluh tahun belakangan menghasilkan banyak dokumentasi dan penelitian advokasi di seputar wilayah Sukabumi dan Lebak terkait dengan komunitas kasepuhan.
26
mengenai rentang jalan dengan berbagai kualitas tersebut. Umumnya penduduk desa
sudah menggunakan listrik untuk penerangan dan keperluan lain seperti televisi dan
radio-tape. Fasilitas keagamaan berupa mesjid dan mushola serta fasilitas pendidikan
yaitu gedung sekolah dasar semua sudah menggunakan listrik. Listrik masuk Sirnaresmi
pada 1998 dan masyarakat merasakan betul manfaatnya.
Tabel 1. Jarak Desa Sirnaresmi terhadap beberapa wilayah
Sumber : Monografi Sirnaresmi, Triwulan 1 2008.
Tabel 2. Beberapa alternatif kendaraan umum (public transportation) dan waktu tempuh
menuju Kampung Sirnaresmi
Dari Ke Alternatif Kendaraan Waktu tempuh
Bogor Pelabuhan Ratu Bis AC / Non AC ± 4 jam
Pelabuhan Ratu Persimbangan ke
Sirnaresmi
Minibus Elf ± 1.5 jam
Persimpangan Kampung Sirnaresmi Ojek motor ± 15 menit
Pelabuhan Ratu Kampung Sirnaresmi Ojek motor ± 1 jam
Sumber : Pengamatan Mei 2008
Komunikasi dengan mobile phone sudah dapat dilakukan dari desa ini. Di Sirnaresmi
sudah ada tower milik operator telepon seluler XL sejak tahun 2006 lalu. Dalam bidang
informasi, media utama adalah televisi. Media cetak, seperti koran, hanya dapat diperoleh
Wilayah Jarak
Kecamatan Cisolok 23 km
Pelabuhan Ratu (pusat
wisata dan area bisnis)
33 km
Kabupaten Sukabumi 103 km
Ibukota Propinsi 203 km
Jakarta, Ibukota Negara 183 km
27
di Pelabuhan Ratu. Siaran televisi dapat dinikmati sepanjang hari, tergantung pada
ketersediaan linstrik (ketika riset sedang dilakukan dalam minggu keempat Mei 2008, dua
kali terjadi pemadaman bergilir yang berlangsung sepanjang hari di desa ini). Penduduk
umumnya menyukai siaran berita dan tayangan musik serta filem-filem nasional yang
menceriterakan jaman kerajaan masa lampau dengan nuansa kesaktiannya.
Tata Guna Lahan
Tata guna lahan di Desa Sirnaresmi berdasarkan Pemetaan Partisipatif yang dilakukan
RMI ( 2001 ) adalah hutan alam, hutan ulayat, kebun / talun / huma, makam, sawah dan
pemukiman ( Tabel 4 ).
Tabel 4. Penggunaan lahan di Desa Sirnaresmi
No. Jenis Tata Guna Lahan Hektar %
01. Hutan ulayat 1.013,00 21
02. Hutan alam lainnya 2.948,48 60
03. Kebun, talun, dan huma 303,40 6
04. Makam 7,00 1
05. Sawah 559,98 11
06. Pemukiman 74,18 1
07. Luas total 4.906,04 100
Sumber : Pemetaan Partisipatif Desa Sirnaresmi ( 2001 )8.
Catatan: Terdapat selisih sekitar 11 hektar antara data ini dengan data luas desa menurut
monografi Desa Sirnaresmi Triwulan 1, 2008.
Kebun: Di kalangan warga kasepuhan pengertian kebun adalah areal garapan yang
ditanami palawija dan sayur mayur. Singkong, talas, tomat, cabai, dan mentimun adalah
tanaman yang dapat dijumpai di dalam sebuah kebun. Umumnya kebun berdekatan
dengan tempat tinggal warga, sehingga dapat dengan segera memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari. 8 Saat ini Pemda Sukabumi dengan melibatkan perwakilan komunitas-komunitas kasepuhan sedang melakukan survey untuk pemetaan ulang mengenai tata ruang dalam kabupaten, termasuk di dalamnya pemetaan tata guna lahan komunitas kasepuhan dengan dukungan dana dari JIO, sebuah perusahaan pertambangan emas (sumber: wawancara Ugis Suganda, 28 Mei 2008)
28
Talun: Ada yang menyebutnya dengan kebon kayu, karena umumnya ditanami pohon
kayu, baik pohon buah-buahan maupun bukan. Kebon kayu atau talun yang dibiarkan
dalam waktu bertahun-tahun tanpa ditebang untuk diambil kayunya akan menyerupai
hutan, sehingga sering diidentifikasi sebagai hutan rakyat dalam konsep kehutanan
akademis. Rambutan, nangka, jengkol, mangga, manii, akasia, durian adalah beberapa di
antara pohon kayu yang mudah dijumpai dalam sebuah talun atau kebon kayu. Pada
umumnya terletak cukup jauh dari pemukiman penduduk.
Huma: Adalah ladang tempat menanam padi non-irigasi. Selain padi dapat pula dijumpai
labuh, berbagai jenis kacang, yang ditanam dengan sistem tumpang sari. Ladang yang
dibiarkan tanpa diolah disebut sebagai reuma, untuk membedakannya dengan huma yang
diolah. Reuma yang telah lebih dari 3 tahun tidak diolah dan ditumbuhi ilalang dan
sejumlah pohon kayu disebut trasan. Sedangkan reuma yang belum ditumbuhi pohon
kayu dan tidak diolah dalam selang waktu dua tahun untuk mengembalikan
kesuburannya, dan dibuka kembali menjadi ladang kadang disebut sebagai jami pada
waktu sedang dibuka kembali (dan sebelum benar-benar menjadi huma lagi).
Areal pemakaman di Sirnaresmi kurang lebih 7 hektar luasnya dengan letak yang lebih
tinggi dari pemukiman. Pertimbangan memilih lokasi pemakaman yang lebih tinggi dari
pemukiman adalah agar areal pemakaman jangan sampai dialiri sampah dan kotoran dari
areal pemukiman ketika ada hujan. Tempat pemakaman adalah tempat ziarah penduduk
sebelum memulai siklus tanam untuk memanjatkan doa dan meminta ’restu’ dari leluhur
mereka. Selain itu juga merupakan tempat ’melapor’, yaitu menceriterakan apa saja yang
telah mereka lakukan dalam satu siklus tanam yang telah berlalu.
Sawah: Adalah areal irigasi yang ditanami padi sawah dengan aturan-aturan perbintangan
berdasarkan hitungan kalender lunar (kalender Islam). Kegiatan bertani di sawah
umumnya dipandu oleh pembacaan terhadap kedudukan konstelasi bintang ’kidang’ dan
’kereti’ atau ’karti’ ( RMI, 2000 ; FGD dengan masyarakat Mei 2008 ). Dasar
perhitungan tersebut adalah sebagai berikut:
29
a Tanggal kereti turun beusi, tanggal kidang turun kujang, tilem kidang turun
kungkang. Konstelasi ’kidang’ dan ’karti’ yang bermakna warga kasepuhan
harus sudah mempersiapkan alat – alat untuk bertani.Biasanya konstelasi bintang
ini akan terlihat pada bulan Dzulhijjah.
b Kidang ngarangsang ti wetan, kerti ngarangsang ti kulon / kidang kerti pa ha-
reup – hareup yang merupakan tanda musim kemarau yang lama, ini dijadikan
tanda saat membakar ranting dan daun di huma, biasanya jatuh pada bulan
Muharam.
c Kerti mudun, kidang matang mencrang di tengah langit konstelasi yang berarti
tiba saat menanam padi di huma ( ngaseuk ), biasanya jatuh pada bulan Muharam.
d Kidang medang turun kungkang artinya bintang kidang dan kereti mulai hilang
dari pandangan, yang biasanya menandakan akan datang kungkang ( hama padi),
umumnya terjadi pada bulan Rajab / Ruwah.
e Kerti kidang ka kulon, konstelasi ini menjadi tanda datangnya musim hujan, dan
biasanya jatuh pada bulan Hapit / Rayagung.
Pemukiman: Areal pemukiman di Desa Sirnaresmi seluas 74,18 ha mencakup bangunan
rumah, bangunan tradisional dan sarana desa seperti balai desa, masjid, mushalla,
toko/warung, sekolah, pos yandu dan lapangan. Dari 4906,46 ha penggunaan lahan,
hanya 0,015% luasan pemukiman.
Hutan ulayat: Yang dimaksud dengan areal hutan ulayat di sini adalah leuweng awisan
dan leuweng garapan, yaitu kawasan hutan yang boleh digarap oleh masyarakat.
Umumnya kawasan ini berada pada lereng-lereng di seputar kampung. Sedangkan pada
kawasan yang lebih tinggi lagi terdapat hutan yang dalam konsep kasepuhan disebut
dengan leuweng titipan dan leuweng tutupan.
Dengan tata guna lahan seperti tersebut di atas, seluruh ruang hidup masyarakat di
Sinaresmi atau dalam Desa Sirnaresmi dapat dikelompokkan menjadi tiga kawasan, yaitu
paling tinggi adalah areal pemakaman, di tengah adalah pemukiman, dan di tempat paling
rendah adalah sawah dan empang, tempat masyarakat memelihara ikan.
30
Vegetasi dan sumberdaya air
Dalam dokumen Rencana Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun Salak 2007 –
2026, diketahui terdapat 700 jenis tumbuhan berbunga di hutan alam dan terdapat pohon-
pohon yang tingginya mencapai 40 – 45 meter dengan diameter 120 cm pada ketinggian
1000 – 1200 m dpl, jenisnya antara lain: rasamala (altingia excelsea), saninten
(castanopsis argentea), pasang (quercus sp), huru (litsea sp), pinus (pinus merkusii),
damar (agathis sp) dan puspa (schima wallichii). Lebih dari 100 jenis tumbuhan hutan
dimanfaatkan untuk obat traditional, upacara adat dan bahan bangunan.
Menurut keterangan masyarakat, hasil hutan yang paling sering digunakan oleh
masyarakat di Sirnaresmi (dan Citorek), antara lain: tanaman kayu jenis Manii (aprika),
jenjeng (sengon), manglit, lamee, puspa, rasamala, huru hiris, huru polet, huru leuher,
huru limo, huru merah, ki damar, pinus, suren, albasia, manglit, surian, tisuk, mindi,
jabon, tangkalak, padali, teurep, muncang, lengsar, mahoni, aren, bambu, rotan, manggis,
pinang, pisang, durian, nangka, mangga, jengkol, kecapi, petai, kemang, alpukat, kelapa,
pete, bacang, dukuh, kupah, salak, cengkeh, karet dan sebagainya. Kayu rasamala adalah
jenis kayu keras dan sangat mahal harganya, sering sekali digunakan sebagai tiang
rumah. Terdapat pula jenis tanaman obat-obatan, seperti: rumput fatimah dan walang
untuk pengobatan nyeri payudara, taras tulang dan ki cantung untuk nyeri otot.
Desa Sirnaresmi mempunyai 4 mata air yaitu mata air Cipanengah, Cisodong, Cidongkap
dan Cisolok dengan empat sungai yang mengalir di sekeliling desa, yaitu Cidongkap,
Cipanengah, Cisodong dan Cibareno. Kawasan mata air (sarah cai) ini berada dalam
leuweung (hutan) titipan yaitu kawasan yang benar–benar harus dijaga kelestariannya dan
tidak boleh digunakan untuk kepentingan apapun. Leuweung titipan adalah kawasan
terlarang bagi aktivitas manusia – dapat dibandingkan dengan zona inti dalam Taman
Nasional.
Demografi
31
Jumlah penduduk Desa Sirnaresmi adalah 5138 jiwa dengan jumlah laki – laki 2533 jiwa
dan perempuan 2605 jiwa terdiri dari 1.1492 KK yang tersebar ke dalam 7 dusun. Tidak
ada satu pun WNA di sini. Pemeluk Islam 5130 orang dan 8 orang pengikut Gereja
Kristen Pasundan. Ke delapan orang ini Sejas 1960-an telah menjadi penganut Kristen
ketika mereka mengikuti juragan mereka di Pelabuhan Ratu yang merupakan penganut
Kristen. Terdapat 7 buah masjid dan 18 buah mushola. Tidak ada rumah ibadat agama
lain di luar Islam di Sirnaresmi. Data penduduk menurut kelompok usia dapat dilihat
dalam Tabel 5 berikut:
Tabel 5: Data penduduk menurut usia
0 – 5 tahun Tidak ada data
4 – 6 tahun 414 jiwa
7 – 12 tahun 638 jiwa
13 – 15 tahun 297 jiwa
16 – 20 tahun Tidak ada data
20 – 26 tahun 581 jiwa
27 – 40 tahun 1116 jiwa
41 tahun ke atas Tidak ada data
Sumber: Monografi Desa Sirnaresmi Tripulan 1, 2008
Dalam data monografi Desa Sirnaresmi 2008 disebutkan bahwa usia 4- 15 tahun adalah
kelompok pendidikan sedangkan usia 20 – 40 tahun adalah kelompok tenaga kerja. Tidak
diperoleh penjelasan yang memuaskan mengapa data 0 – 5 tahun; 16 – 20 tahun; dan di
atas 40 tahun tidak tercatat dalam monografi tersebut.
Tidak ada data mengenai komposisi penduduk menurut tingkat pendidikan dalam
monografi desa tahun 2008 maupun 2007, namun menurut keterangan penduduk
sebagian besar kelompok tenaga kerja sudah mengenyam pendidikan dasar dan
menengah. Terdapat beberapa orang yang sempat mengenyam pendidikan sampai
perguruan tinggi, salah satunya adalah Ugis Suganda, narasumber dalam wawancara
penelitian ini. Tetapi ada sedikit data hasil participatory rural appraisal tahun 2000
32
mengenai komposisi penduduk menurut pendidikan, yaitu sebanyak 338 orang tidak
tamat SD, 825 tamat SD (15 orang diantaranya tamat SLTA). Tidak ada data mengenai
jumlah penduduk yang sedang mengenyam pendidikan di perguruan tinggi.
Sosial-Ekonomi
Sebagian besar warga Desa Sirnaresmi bekerja sebagai petani atau buruh tani di sawah
ataupun ladang. Selain itu sebagian dari kelompok ini mengandalkan sumber mata
pencaharian dari pekerjaan sampingan seperti menjadi pandai besi, penyadap nira,
pengrajin anyam-anyaman, dan penambang emas tradisional. Pekerjaan menjadi
penyadap nira merupakan pekerjaan yang cukup memberikan manfaat melalui proses
nilai tambah menjadi gula aren dan gula semut. Cangkul dan golok, parang dan beliung
adalah hasil kerja pandai besi menurut pesanan pembeli.
Sawah, kebun, talun, dan huma adalah sumber utama ekonomi masyarakat Kasepuhan
Sinaresmi yang berdiam di Desa Sirnaresmi. Sawah ditanami padi, kebun berisi palawija
dan sayur mayur, talun adalah kebun campuran yang berisi banyak tanaman komoditi dan
buah-buahan. Nangka, petai dan jengkol, rambutan, cengkeh, durian dan pohon aren
adalah tanaman yang hampir dapat dijumpai dalam semua talun masyarakat. Huma
adalah ladang untuk padi tadah hujan. Pohon aren adalah salah satu pohon yang sangat
dipelihara oleh masyarakat Sinaresmi. Menurut kata-kata mereka, ‘ini tanaman tidak ada
bagiannya yang tidak dipake orang di sini’. Akarnya untuk ramuan, batangnya untuk
bangunan rumah, daunnya untuk atap, serabutnya untuk ijuk atap, lidinya untuk sapu,
buahnya untuk untuk disadap menjadi nira. Gula semut, pandai besi, dan kerajinan tangan
anyaman adalah tiga industri rumah tangga yang paling berkembang di Sirnaresmi.
Terdapat 61 pelaku ekonomi dalam bidang industri rumah tangga ini.
Sawah di daerah kasepuhan biasanya berbentuk terasering dengan sistem irigasi non
teknis yang airnya berasal dari sungai Cibareno, Cipanengah, Cisodong, dan Cisono.
Sedangkan jenis padi yang ditanam di sawah adalah jenis padi lokal, yang dalam dialek
setempat disebut dengan pare gede yang masa pertumbuhannya sampai siap panen
mencapai 5-7 bulan.
33
Di kebun maupun talun dapat dijumpai banyak pohon (menurut bahasa lokal) manii dan
jenjeng (Akasia). Dua jenis pohon kayu ini dalam beberapa tahun belakangan menjadi
alternatif ekonomi bagi masyarakat. Saat riset dilakukan di Desa Sirnaresmi Mei 2008,
harga kayu manii adalah Rp. 700 ribu/m3 . Pada umumnya pembelinya dari orang
sekampung atau sesama penduduk desa. Pengolahan kayu dilakukan dengan chain-saw
(istilah ini sudah diserap dalam bahasa lokal menjadi senso) yang dapat disewa Rp.
50.000/hari hanya gergajinya saja atau Rp. 150.000/m3 dengan tenaga pemilik chain-saw
yang melakukan pengolahan kayu.
Tidak ada data resmi maupun hasil wawancara yang dapat menggambarkan berapa
jumlah jiwa usia kerja yang merantau ke luar desa atau keluar komunitas untuk mencari
penghidupan di daerah lain. Juga tidak ada data mengenai berapa orang yang kuliah
sampai selesai. Namun peserta FGD 28 – 29 Mei 2008 mengatakan bahwa yang selesai
kuliah umumnya mencari kerja di luar kampung atau daerah lain. Namun sebuah
peristiwa perpindahan belasan keluarga ke Riau pada tahun 2006 mungkin dapat menjadi
alas refleksi tentang kondisi sosial ekonomi masyarakat kasepuhan ini.
Pada pertengahan 2006 belasan keluarga dan anak muda yang pindah berdomisili ke
daerah kampung Talangmamak, di Kabupaten Indragiri Hulu. Penduduk kampung
Talangmamak juga mengklaim diri sebagai masyarakat adat. Uniknya, perpindahan ini
terjadi menurut sebuah kesepakatan informal antara Ugis Suganda yang ketika itu masih
menjadi Dewan Nasional AMAN dengan Dewan Nasional AMAN dari Riau yang berasal
dari kampung Talangmamak. Isi pembicaraan antara mereka adalah mengenai kesediaan
dari pemuka adat di Talangmamak untuk memberikan sebagian lahan bagi penduduk
Kasepuhan Sinaresmi bila mereka mau pindah ke Riau. Melihat keterbatasan lahan kelola
di Sirnaresmi dan sekitarnya, perlu diteliti lebih jauh apakah ada alasan ekonomi di balik
perpindahan ini. Salah satu keluarga muda yang pindah tersebut adalah anak dari Ugis
Suganda.
Mengenai perpindahan sekelompok penduduk ke Riau ini ada pula versi lain yang
34
menyatakan bahwa perpindahan ini terkait dengan paham aliran kepercayaan tertentu.
Kelompok ini merupakan kelompok pengajian yang disebutkan berhubungan dengan
ajaran dan nama “Isa Bugis”. Mereka sering menjadi buah bibir dari warga di Sirnaresmi.
Kelompok yang menyerupai gerakan mesianik dengan berkiblat pada tokoh tertentu,
kegiatannya adalah pengajian dan pengajaran yang berbeda dengan ajaran Islam
umumnya. Masyarakat setempat khawatir karena beberapa warga Kasepuhan pengikut
kelompok ini keluar dan pergi ke daerah Riau, yang konon menjadi tempat
pengembangan komunitas aliran ini.
Menurut pendapat masyarakat yang diungkapkan dalam FGD 28 – 29 Mei 2008,
keterbatasan lahan yang dialami masyarakat diakibatkan oleh pertambahan penduduk dan
adanya perluasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Sementara SPPT
atau Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang, yang di Sirnaresmi mencapai 808 buah,
umumnya digunakan oleh masyarakat sebagai alat transaksi keuangan. Surat pajak ini
biasanya dijadikan jaminan dalam mendapatkan kredit motor. Jumlah wajib pajak 583
orang dari 1492 KK, mengindikasikan bahwa sebagian besar keluarga belum tercatat
sebagai wajib pajak, baik itu pajak tanah (SPPT) maupun pajak lainnya. Sementara itu
tidak ada sebidang tanah pun yang bersertifikat di Desa Sirnaresmi. Masyarakat
umumnya masih bertanya-tanya tentang manfaat sertifikasi tanah, namun menurut Ugis
Suganda (wawancara Mei 2008) sertifikasi akan menimbulkan masalah tanah antara
penduduk.
Dalam bidang kesehatan, masyarakat menyatakan bahwa manfaat Puskesmas dan
Posyandu sangat dirasakan, terutama bagi kaum perempuan hamil. Meskipun demikian
pengobatan tradisional masih dimanfaatkan terus oleh masyarakat khususnya untuk
penyakit-penyakit ringan. Posyandu berjumlah 7 buah, masing-masing 1 buah di tiap
dusun. Sementara Puskesmas pembantu berjumlah 2 buah.
Dalam bidang pendidikan persoalan yang terungkap dalam FGD adalah jumlah dan
kualitas guru serta kurangnya buku-buku penunjang belajar murid. Untuk empat sekolah
tingkat dasar, yaitu 3 SD dan 1 madrasah, hanya terdapat 15 guru. Meskipun dari segi
35
fasilitas fisik bangunan gedung sekolah cukup baik dalam arti bangunan tembok
permanen, namun fasilitas meja dan kursi tidak cukup memadai, karena sebagian yang
terlihat di dalam kelas SD Negeri Sirnaresmi, misalnya, sudah mulai rusak. Gedung
sekolah SD Negeri Sirnaresmi terdiri dari dua bangunan, masing-masing terdiri dari 3
kelas. Bangunan lama dibangun oleh Pemda Sukabumi sedangkan bangunan baru adalah
hasil bantuan Bank Dunia melalui Program Pengembangan Kecamatan (PPK) 2006.
Perbedaan kualitas fasilitas dalam kelas kedua bangunan ini cukup mencolok mata.
Untuk pendidikan SMP masyarakat harus menyekolahkan anak-anak mereka di daerah
Pelabuhan Ratu. Menurut rencana pemerintah akan dibangun sebuah SMP dalam waktu
dekat di Desa Cimapag, kurang lebih 4 km dari pusat Desa Sirnaresmi.
Sejumlah program pemerintah dalam bidang kesehatan, pendidikan, dan ekonomi
masyarakat akan disajikan pada bagian selanjutnya dalam tulisan ini, terkait dengan
hubungan natara kasepuhan sebagai sebuah entitas sosial politik dengan negara.
Beberapa fasilitas umum, selain infrastruktur kesehatan dan pendidikan, yang dapat
dijumpai di Desa Sirnaresmi disajikan dalam Tabel 6.
Tabel 6. Jenis infrastruktur fisik di Desa Sirnaresmi
No. Jenis Fasilitas Keterangan
01. Pemerintahan
Balai desa Ada di Kampung
Sirnaresmi
02. Pendidikan
SDN 1 Sirnaresmi
SDN 2 Sirnaresmi
SDN 3 Sirnaresmi
Madrasah Diniyah
Menurut rencana akan segera dibangun
sebuah SMP di Cimapag dalam waktu
Dusun Sirnaresmi
Dusun Cimapag
Dusun Cipulus
Dusun Sirnaresmi
36
dekat
03. Kesehatan
Pos Yandu
Puskesmas pembantu
7 buah, ada di setiap dusun
2 buah
04. Keagamaan
Masjid
Mushola
7 buah
18 buah
05. Ekonomi
Warung
Toko
85 buah
2 buah
06. Olah raga
Lapangan sepak bola
Lapangan bulu tangkis
Lapangan terbuka
4 buah
3 buah
4 buah
Sumber : Sensus PRA- KS, 2000 dan direvisi berdasarkan monografi Desa Sirnaresmi Triwulan
1, 2008
Di samping infrastruktur kesehatan, pendidikan dan pemerintahan, di Desa Sirnaresmi
juga terdapat beberapa organisasi sosial dan kemasyarakatan. Ada empat kelompok
gugus depan (Gudep) pramuka bagi anak-anak kelompok pendidikan dasar, 1 kelompok
karang taruna dan 7 kelompok PKK. Kelompok karang taruna umumnya giat dalam olah
raga voli dan membantu dalam penyelenggaraan kegiatan kampung, seperti seren taun.
Kegiatan ibu-ibu PKK secara umum tidak bergeser jauh dari urusan ekonomi dan
kesehatan rumah tangga.
Dalam bidang pemerintahan, Desa Sirnaresmi memiliki 4 bidang urusan, yang masing-
masing dipimpin oleh seorang Kaur (kepala urusan), yaitu Kaur Pemerintahan, Ekonomi
dan Pembangunan (Ekbang), Kesehatan dan Sosial (Kesos), dan Ketentraman dan
37
Ketertiban (Tramtib). Kepala desa dibantu juga oleh seorang Sekretaris Desa dan seorang
staff administrasi dan keuangan.
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa
komunikasi intra komunitas. Meskipun menurut warga, dialek yang digunakan warga
kasepuhan berbeda dari bahasa Sunda yang umumnya digunakan orang di Jawa Barat.
Kemampuan berbahasa Indonesia rata-rata cukup baik, terutama di kalangan penduduk
usia muda. Beberapa penduduk yang sudah berusia tua agak kesulitan mengungkapkan
gagasan dalam bahasa Indonesia ketika berlangsung FGD, meskipun mereka tampak
memahami apa yang ditanyakan dalam bahasa Indonesia oleh anggota tim peneliti. Oleh
karena itu pula tayangan acara di televisi umumnya dapat diikuti dan dipahami oleh
penduduk kasepuhan.
Sebagaimana telah disebutkan pada bagian sebelumnya, selain 8 orang yang menjadi
pengikut Gereja Kristen Pasundan, semua penduduk memeluk agama Islam. Dengan
adanya 7 buah masjid dan 18 buah mushola, yang tersebar di tiap dusun agama Islam
masih merupakan salah satu soko guru bangunan sosial budaya masyarakat kasepuhan.
Meskipun demikian nilai-nilai tradisi juga merupakan rujukan yang belum lekang oleh
pengaruh Islam. Dalam siklus pertanian dan siklus lahir-kawin-mati pengaruh tradisi
masih kuat terlihat. Ziarah ke makam leluhur sebelum memulai siklus pertanian dan
hitungan hari baik berdasarkan neptu (nilai hari), serta arah hadap lumbung atau leuit
yang harus dari utara ke selatan adalah beberapa tradisi yang masih kuat pengaruhnya
bagi perilaku sosial masyarakat.
Identifikasi Diri
38
Terlepas dari ada atau tidaknya wacana masyarakat adat, masyarakat kasepuhan9
umumnya memandang diri mereka sebagai sebuah komunitas10. Berdasarkan sumber
informasi tutur diperoleh dari narasumber, yang merupakan pemuka adat dalam
kasepuhan ( Amil Buchori dari Sinaresmi dan Ugis Suganda dari Ciptagelar, dua-duanya
berdiam di Desa Sirnaresmi) faktor yang mempersatukan warga komunitas ini antara lain
adalah faktor sejarah lisan dan sistem nilai budaya yang berkembang di dalam komunitas.
Sejak mereka bersentuhan dengan wacana masyarakat adat, dan beberapa di antara
pemuka adatnya mulai melihat pentingnya organisasi dalam menunjang tuntutan11, dan
dengan adanya ketegangan yang dialami dalam berhadapan dengan pihak Perhutani dan
Taman Nasional Gunung Halimun Salak, ada semacam rasa kesamaan nasib yang
mempersatukan komunitas-komunitas kasepuhan. Secara umum masyarakat kasepuhan
membedakan diri dari masyarakat lain berdasarkan sejumlah faktor, yang terungkap
dalam FGD. Faktor-faktor tersebut adalah:
- Ikatan sosial dan solidaritas yang dibentuk oleh kesamaan garis keturunan
atau kekerabatan dan wilayah.
- Dialek sehari-hari; komunitas kasepuhan membedakan dialek warga
kasepuhan sebagai dialek sunda kula, sedangkan menurut mereka di tempat
lain di Jawa Barat dialek yang digunakan adalah sunda kuring. Kula dan
Kuring mempunya pengertian sama, yaitu: ’saya’ atau ’aku’.
- Sebutan orang-orang yang menjadi tokoh: Laki laki = Ki; Perempuan = Ni
- Perilaku sehari-hari, misalnya ketika hendak melakukan hajatan tertentu selalu
minta ridho atau restu dari orang tua dan leluhur. Juga adanya derep, yaitu
ikut menikmati hasil panen (mendapat sebagian hasil panen) bila ikut kegiatan
9 Menurut Adimihardja (1992;4), istilah Kasepuhan berasal dari kata sepuh yang berawalan ka dan berakhiran an. Sepuh adalah sinonim dari kolot (bahasa Sunda) yang berarti ’tua’. Sebutan Kasepuhan menunjukkan suatu sistem kepemimpinan dari suatu komunitas atau kelompok sosial, dimana semua aktivitas anggotanya berasaskan adat kebiasaan para orang tua (sepuh atau kolot). Kasepuhan berarti adat kebiasaan warisan orang tua atau adat kebiasaan nenek moyang.
10 Istilah ‘komunitas’ di sini dipakai untuk menunjukkan adanya ikatan sosial budaya dan ada solidaritas antar warga sebuah kelompok masyarakat, baik secara genealogis maupun teritorial.11 Ugis Suganda dan Amil Buchori adalah dua orang pemuka adat kasepuhan yang cukup aktif dalam
AMAN sejak 1999. Dan sejak 2003 ikut terlibat dan ikut membidani lahirnya organisasi masyarakat di Jawa (Persatuan Masyarakat Adat Pulau Jawa, atau Pamapuja). Dalam satu dua tahun belakangan kegiatan mereka di organisasi agak mengendur dan lebih berkonsentrasi dalam upaya pengakuan oleh Pemda Sukabumi, antara lain melalui upaya pemetaan.
39
memanen meskipun tidak ikut kegiatan-kegiatan sebelumnya seperti
menyiapkan lahan dan menanam.
- Sistem pertanian masih secara tradisional dan pola bercocok tanam menurut
sistem perbintangan dan kalender lunar (Islam) yang salah satu implikasinya
adalah seren taun selalu bergeser 10 hari tiap tahun berdasarkan pergeseran
bintang kidang dan karti.
- Waktu bertani diatur oleh buku taun sandi bulan.
- Masih kuatnya nilai penghormatan terhadap bumi dan langit sebagai simbol
ibu dan bapak
Di samping itu, faktor sejarah sangat berperan dalam membentuk kesadaran
masyarakatnya dalam mengidentifikasi diri sebagai sebuah komunitas. Hal ini dapat
dilihat dari kuatnya cerita lisan mengenai asal usul kasepuhan yang dihubungkan dengan
kejatuhan Pajajaran (yang Hindu) akibat serbuan serangan Kesultanan Banten (yang
Islam). Dalam mitos Sunda, raja yang sangat terkenal akan keberanian dan
keberhasilannya membawa kemakmuran dan keadilan bagi rakyatnya adalah Prabu
Siliwangi. Sedangkan kerajaan yang diperintah Prabu Siliwangi adalah kerajaan Sunda
Hindu terakhir yang berpusat di Pakuan Pajajaran ( sekarang Bogor, Jawa Barat ) sekitar
1579 ( Adimihardja, Kusnaka, 1992 ). Namun nama Siliwangi hampir tidak dijumpai
dalam prasasti yang ditemukan di tatar Pasundan. Nama itu lebih sering mengapung
dalam babad, wawacan dan pantun. Sesungguhnya Prabu Siliwangi tak lain adalah Sri
Baduga Maharaja, yaitu raja ke-5 yang pernah bertahta di Kerajaan Sunda pada tahun
1482 – 1521 M ( Sutaarga, dirujuk Adimihardja, 1992 ).
Sejak runtuhnya Pajajaran dan berakhirnya kekuasaan Prabu Siliwangi, banyak penduduk
yang masih setia pada Pajajaran meninggalkan ibukota kerajaan dan menyingkir ke
pelosok – pelosok ( Pleyte 1904, dirujuk oleh Adimihardja 1992 ). Bekas ibukota
kerajaan tidak diketahui kisahnya sampai pada 1687 ketika sebuah ekspedisi pasukan
Belanda menemukan bekas puing-puingnya
40
Menurut sejarah lisan masyarakat Kasepuhan Sinaresmi, mereka adalah bagian dari
masyarakat yang menyingkir tersebut (wawancara dengan Ugis Suganda dan Buchori).
Hal ini dibuktikan dengan sumber Banten yang ditulis oleh Roesjan ( 1954 ) yang disitir
oleh Adimihardja ( 1992 ) yang mengemukakan bahwa pada tahun 1579 Pakuan
Pajajaran digempur habis – habisan oleh tentara Banten. Sebanyak 800 anggota lingkaran
dalam kerajaan melarikan diri ke lereng Gunung Cibodas dan Gunung Palasari. Di antara
mereka ada yang menyingkir ke Jayanga ( sekarang Jasinga ) dan sekitar Bayah, bahkan
ada yang melarikan diri ke daerah pertapaan Sang Hyang Sirah dan Borosngora di
Ujungkulon. Ada pula yang menggabungkan diri dengan penghuni Parahyang ( Baduy ).
Di duga bahwa kelompok yang menyingkir ini adalah gabungan dari kelompok istana
atau ibukota dengan rakyat kebanyakan. Sebuah pantun Sunda dari Bogor, berjudul
’Dadap Malang Sisi Cimandiri ’ yang dikisahkan oleh juru pantun Ki Baju Rambeng
pada tahun 1908, menceriterakan tentang bagaimana rakyat Pakuan menyelamatkan diri
dari gempuran tentara Banten. Di antara mereka ada yang menyingkir ke arah barat dan
selatan ke sekitar Gunung Kendeng dan Halimun, di daerah pegunungan itulah mereka
masih menjalankan ritual yang sudah menjadi tradisi sejak Pajajaran masih jaya.
Di samping sejarah lisan yang menyerupai sejarah tertulis hasil penelitian tersebut, juga
terdapat versi lain dari sejarah lisan terbentuknya Kasepuhan Sinaresmi. Menurut Amil
Buchori, terbentuknya kasepuhan ini adalah dari sejarah perpindahan komunitas nomadik
yang kemudian menetap, akibat pengaruh perkembangan sosial politik. Secara singkat
sejarah perpindahan tersebut adalah sebagai berikut:
1. tahun 611 – 807 di wilayah Seni
2. tahun 807 – 1001 di wilayah Kadu Luhur
3. tahun 1001 – 1181 di wilayah Jasinga
4. tahun 1181 – 1381 di wilayah Lebak Binong Banten
5. tahun 1381 – 1558 di wilayah Cipatat Urug
6. tahun 1558 – 1720 di wilayah Lebak Larang Banten
7. tahun 1720 – 1797 di wilayah Lebak Binong Banten
8. tahun 1797 – 1834 di wilayah Pasir Talaga
9. tahun 1834 – 1900 di wilayah Tegal Lumbu Banten
41
10. tahun 1900 – 1937 di wilayah Cisono Banten
11. tahun 1937 – 1960 di wilayah Cicemet, Cikaret
12. tahun 1960 – 1982 di wilayah Cikaret, Ciganas
13. tahun 1982 – 2002 di wilayah Sirnaresmi, Ciptagelar
Dalam tiap perpindahan, penduduk menggarap lahan di wilayah baru dan hanya
meninggalkan tradisi ‘nyekar’ ke wilayah-wilayah sebelumnya. Itupun bila ada
peninggalan makam leluhur. Komunitas Kasepuhan Sinaresmi menggambarkan latar
belakang asal muasal leluhur mereka sebagai mempunyai kaitan dengan prosesi ritual
adat dalam kegiatan perladangan. Menjelang permulaan kegiatan berladang dan setelah
syukuran panen, para sesepuh adat, perangkat dan pemimpin Kasepuhan melakukan acara
ritual ngembang atau ziarah kubur ke beberapa kuburan yang dianggap mempunyai
hubungan dengan sejarah keberadaan dan leluhur mereka, yang ada disekitar kawasan
hutan dalam Desa Sirnaresmi dan di luar desa, seperti: kuburan di Cipatat Urug - Bogor,
di Cisono, Tegallumbu, Lebak Larang, Lebak Binong daerah Banten. Tempat-tempat ini
diyakini berhubungan dengan tempat dan asal muasal leluhur mereka.
Di samping faktor sejarah, ada pula sistem nilai yang mengikat kelompok kasepuhan.
Dapat di lihat pengaruh Islam yang cukup kuat, namun masih juga tampak tradisi yang
dipengaruhi Hindu seperti kepercayaan akan adanya ‘roh’ yang menghuni tempat-tempat
tertentu dan perlu diberi sesajen pada waktu-waktu dan ritual-ritual tertentu. Kisah
mitologis mengenai Dewi Sri Pohaci sebagai asal usul padi di kalangan komunitas ini
yang perlu dihormati dengan tindakan tertentu adalah salah satu buktinya.
Selain dari itu dapat dijumpai adanya tradisi dan sistem nilai yang sudah mendapatkan
pengaruh baik dari Hindu maupun dari Islam yang berkembang di tengah komunitas-
komunitas kasepuhan. Pengetahuan dan tradisi nenek moyang tersebut disebut “tatali
paranti karuhun”, yang memuat pedoman, norma dan sistem nilai, pandangan moral dan
etik secara tidak tertulis, sebagai kaidah dan acuan bersikap dan berperilaku dalam
melakukan interaksi dengan sesama dan dengan lingkungan alam yang harmonis.
Pelanggaran adat ataupun kelalaian terhadap “tatali paranti karuhun” tidak mengenal
42
sanksi nyata dari aturan atau dari struktur adat. Komunitas kasepuhan meyakini bila
terjadi pelanggaran ataupun kelalaian kepatuhan terhadap tata nilai adat ini, maka akan
terjadi malapetaka atau Kabendon. Wujudnya dapat berbentuk sakit penyakit, kegagalan
panen, bencana yang tidak diduga, penderitaan, keburukan dan sebagainya(Adimihardja,
1992). Untuk kasus kriminal, umumnya dibawa ke lembaga peradilan umum negara.
Salah satu tata nilai dalam ‘tatali paranti karuhun’ adalah: “tilu sapamulu, dua sakarupa,
hiji eta-eta keneh”, yang secara harfiah artinya ‘tiga se wajah, dua se rupa, satu yang itu
juga”. Tata nilai ini mengandung pengertian bahwa hidup hanya dapat berlangsung
dengan baik dan tenteram bila dipenuhi tiga syarat, yaitu (1) tekad, ucap dan lampah,
(niat atau pemikiran, ucapan dan tindakan) harus selaras dan dapat dipertanggung
jawabkan kepada incu-putu (keturunan warga kasepuhan) dan sesepuh (para orang tua
dan nenek moyang); (2) jiwa, raga dan perilaku, harus selaras dan berahlak; (3)
kepercayaan adat, negara dan agama, harus selaras, harmonis dan tidak bertentangan satu
dengan lainnya.
Keselarasan ini merupakan sebuah cerminan relasi langit dan bumi karena menurut
kepercayaan mereka adalah keturunan Pancer Pangawinan. Pancer memiliki arti akar
utama yang yang tumbuh sedangkan pangawinan adalah mengawinkan antara bumi
dengan langit/semesta, manusia dengan kemanusiaannya, dan mengawinkan raga dengan
hati, yang ghaib dengan lahir, ucap dan ‘ lampah ‘ atau tingkah laku.
Ekspresi atau cerminan dari tata nilai ini dalam kehidupan masyarakat Kasepuhan
Sinaresmi dapat dilihat dari tradisi mereka. Dalam kehidupan sosial dan ekonomi terdapat
ungkapan, sebagai berikut: “mipit kudu amit, ngala kudu menta”, artinya kalau ingin
memanen atau memetik hasil di sawah dan ladang, terlebih dahulu memohon doa kepada
pencipta; “nganggo kudu suci, dahar kudu halal, kawalan ucap kudu sabenerna”, artinya
segala yang dipakai, digunakan dan dimakan harus didapatkan dengan cara-cara yang
sesuai dengan aturan yang berlaku, halal, harus baik dan suci, tidak berbohong, berkata
benar dan jujur; “nyanghulu ka hukum, nyanghujar ka nagara, mupakat jeung balarea”,
artinya segala keputusan yang diambil harus berdasarkan musyawarah bersama, hidup
43
harus sesuai dengan hukum yang berlaku dan berlindung pada negara.
“Kasatuan” atau persatuan merupakan salah satu nilai dan ciri khas komunitas
Kasepuhan, bukan hanya persatuan dalam arti adanya ikatan geneologis dan sejarah
leluhur yang sama, tetapi adanya ikatan yang sama dan rasa se nasib se penanggungan
dalam lingkup incu putu pengikut Kasepuhan dan warga lainnya dalam lingkup kesatuan
teritori adat dan desa. Istilah kasatuan digunakan oleh sejumlah warga kasepuhan untuk
menegaskan identifikasi diri sekaligus sebagai wujud sikap kritis terhadap istilah
kasepuhan yang menurut mereka diintrodusir oleh pihak luar (menurut wawancara
dengan Ugis Suganda dan Amil Buchori, istilah kasepuhan pertama kali diperkenalkan
oleh Solihin G.P pada 1968 ketika menjabat pertama kali sebagai gubernur Jawa Barat).
Secara umum masyarakat kasepuhan juga mempunyai konsep dan pola budaya yang khas
dalam arsitek perumahan dan perkampungan, pakaian, klaim dan hak wilayah, perasaan
terikat dengan tanah, melakukan ritual adat mulai dari kelahiran hingga kematian, ritual
adat pertanian sawah dan ladang yang khas, adanya lembaga sosial yang dipimpin oleh
seorang Abah dengan jabatannya diwariskan turun temurun kepada anak lelaki. Peran
utama lembaga adat adalah bertanggungjawab dalam penyelenggaraan upacara adat
semisal seren taun, mewakili masyarakat kasepuhan dalam berurusan dengan pihak luar,
dan menjadi penjaga konsep moral dan etika masyarakat kasepuhan. Penjagaan moral dan
etika ini umumnya melalui petuah dan wangsit atau ramalan. Salah satu contoh adalah
ramalan dalam cerita lisan yang berbunyi Lajang damar taminyakan yang artinya, bahwa
akan ada lampu yang tanpa minyak. Ini kemudian diterjemahkan sebagai masuknya
listrik ke kasepuhan.
Masyarakat percaya untuk membangun rumah perlu waktu yang tersendiri dan ritual adat,
dengan memperhatikan pendapat pemimpin kasepuhan. Misalnya, jika rumah dibangun
pada bulan Muharram dan pintu menghadap ke kidul (selatan) maka dilarang membuka
pintu ini pada hari sabtu dan minggu (ahad), sebab ini akan memberikan pertanda buruk
bagi pemilik rumah. Arsitektur rumah warga Kasepuhan mempunyai bentuk –bentuk
khas, yang dalam bahasa lokal disebut: bapang, sontog, tagog anjing, julang ngapak,
44
jingjing reugis dan julang ngapak.12 Setiap rumah terdapat bagian-bagian, yakni:
Pangdaringan atau bangunan berbentuk segi empat, terbuat dari bahan kayu dan ditutupi
dengan tirai/ pintu dari kayu; Hawu untuk tempat masak; Sepen untuk ruangan tidur.
Rumah pemimpin Kasepuhan biasanya menggunakan tiang awi sejenis bambu, berfungsi
sebagai tempat penyimpanan benda pusaka dan ajaran tradisi. Bambu yang kosong
dipahami juga sebagai simbol dari jiwa manusia yang lahir kedunia (Wawancara
Sirnaresmi, Mei 2008).
Ciri khas berpakaian kaum pria seluruh komunitas kasepuhan (termasuk Baduy) adalah
menggunakan ikat kepala terbuat dari kain batik, baju koko dan sarung. Sedangkan
perempuan menggunakan kebaya dan kain sarung. Sering kali ini ditafsirkan sebagai
pengaruh Islam oleh masyarakat setempat. Cara berbusana harus menggambarkan
komunitas sebagai orang berakhlak dan terhormat, misalnya untuk perempuan dianggap
kurang baik kalau menggunakan baju kaos, celana jeans atau rok yang ketat dan
memperlihatkan lekukan tubuh dan bagian tertentu yang terbuka. Demikian halnya pria
dianggap tidak sopan bila tidak mengenakan baju apabila di hadapan umum dan ketika
bertatap muka dengan tamu yang datang.
KELEMBAGAAN ADAT DAN HUBUNGAN DENGAN NEGARA
Sekilas sejarah terbentuknya Kampung Sirnaresmi
Terbentuknya Kampung Sirnaresmi berawal dari adanya kekacauan yang ditimbulkan
DI / TII di Cicemet ( sekarang bagian dari Desa Sirnaresmi ). Oleh sebab itu warga
pindah ke suatu tempat yang sesuai untuk berladang dan berkebun, di tempat itu mereka
membuat rumah, terbentuklah suatu babakan yang diberi nama Cikaret. Seiring dengan
pertumbuhan pennduduk, Cikaret menjadi suatu kampung ( hasil wawancara dengan Ugis
Suganda Mei 2008 ).
12 Bapang berbentuk bangunan dengan dua bidang atap; Sontog menyerupai bentuk bangunan limas; Tagog anjing adalah bangunan dengan satu atap dan bagian depannya ada serambi untuk istirahat; Julang ngapak, bangunan atapnya menyerupai bentuk sayap disisi kiri dan kanan; Jinjing reugis menyerupai bentuk julang ngapak tetapi salah satu sayapnya dihilangkan; Gajah nyusu adalah bentuk bangunan terdiri dari rumah utama dan rumah tambahan.
45
Pada tahun 1959, diadakan pertemuan antara tokoh masyarakat dari Kabupaten Bogor,
Sukabumi, Lebak, Pandeglang dan Serang, dengan penguasa perang saat itu di kawasan
ini yakni KOREM Surya Kancana. Mereka bersama – sama merumuskan sistem
pengamanan DI / TII dengan sebutan “ Pagar Beutis ‘. Dengan izin dari Ama Rusdi,
sebagai tuan rumah dan sesepuh kampung, Juru Penerangan Kecamatan Cicurug,
Muchidin, mengusulkan penggantian nama Kampung Cikaret menjadi Sirnaresmi.
Penggantian nama kampung tersebut kemudian dikukuhkan oleh Mayor Isak Djuarsa,
Danrem Surya Kencana, Bogor. Sirna memiliki arti hilangnya kekacauan dari kerusuhan
yang dilakukan DI / TII dan arti resmi adalah lebih pada terbentuknya kampung baru
secara sah dan aman. Kebetulan bahwa penduduk kampung baru ini adalah warga dari
beberapa kasepuhan, sehingga kampung baru ini kemudian berkembang menurut tradisi
dan nilai adat sekaligus mengikuti irama administrasi dan birokrasi negara.
Pengelolaan Pemerintahan di Tingkat Desa Sirnaresmi: manifestasi relasi adat
dengan negara
Sebagaimana telah dikatakan pada bagian sebelumnya, Kasepuhan Sinaresmi tidak
mempunyai wilayah yang jelas dalam konteks geografis dan sebagian besar penduduknya
terkonsentrasi dalam Desa Sirnaresmi dan desa-desa sekitaranya. Pada dasarnya
pengurusan kehidupan di tingkat desa dan kasepuhan berjalan beriringan, dan sangat kuat
diwarnai karakter konsultatif antara kelembagaan desa dan kelembagaan kasepuhan.
Gambaran tentang struktur kedua kelembagaan ini dapat dilihat di bawah ini:
Desa:
- Kepala Desa
- Sekretaris Desa
- Badan Permusyawaratan Desa (BPD)
Adat:
46
Tabel 7. Jabatan dan tugas lembaga adat kasepuhan
Jabatan Adat Tugas
Tutunggul Memimpin kasepuhan
Sabah ( Penasehat ) Memberikan nasehat kepada Tutunggul Lembur
Ganek dan Girang Serat Ganek: Menjadi pengawal/ajudan; Girang serat: Bertugas
mengatur keperluan / acara adat berfungsi seperti sekretaris.
Bendahara (kata serapan) Mengatur keuangan kasepuhan
Dukun Mengobati orang sakit dan mencegah wabah
Ma Beurang Menolong ibu – ibu untuk melahirkan
Candoli Padaringan
(tukang nyiuk beas )
Mengambil beras dari tempat penyimpanan beras untuk
dimasak pada acara adat terutama selamatan dan juga
membantu untuk memasaknya.
Bengkong Mengkhitan ( sunat ) anak - anak
Paninggaran Melakukan perburuan
Penghulu Memimpin do’a saat kegiatan adat dilaksanakan
Juru Pemakayaan Tani Mengatur kegiatan pertanian, di sawah dan di huma
Kolot Lembur Memimpin kampung / dusun
Sumber : Profil Sirnaresmi, RMI ( 1999), wawancara Mei 2008.
‘Tutunggul ‘ adalah pimpinan tertinggi dalam struktur adat kasepuhan. Di Sirnaresmi
biasa disebut dengan ‘Abah’ sedangkan di Citorek disebut ‘Oyot’. Jabatan ini diperoleh
seorang anak lelaki langsung dari Tutunggul sebelumnya berdasarkan wangsit yang
diterima dari leluhur. Wangsit merupakan pertanda yang diperoleh melalui mimpi atau
peristiwa lain. Selain wangsit, ada juga pertimbangan atas kelebihan (bakat) yang ada
pada seorang anak yang dilihat oleh orang lain (umumnya kalangan para tetua adat).
Seorang Tutunggul memiliki beberapa bawahan dengan tugasnya masing-masing.
Mereka termasuk dalam barisan sesepuh girang, yaitu pengurus adat yang berada di
Kampung Gede. Kampung gede adalah tempat di mana rumah adat (rumah besar atau
imah gede) berada. Di rumah adat inilah berdiam Abah, dan dari sinilah pengurusan
47
kasepuhan dilaksanakan dan dikontrol. Seorang Abah biasanya dibantu oleh beberapa
orang sabah atau penasehat. Seringkali kelompok sabah ini disebut pula dengan baris
kolot. Sementara orang di dalam struktur adat yang bertugas menemani/mengawal Abah
dalam segala urusan disebut ganek. Di samping ganek juga ada girang serat yang
berfungsi selayaknya sekretaris bagi Abah. Meski demikian kedua posisi ini tidak
menerima perintah langsung dari Abah menurut struktur adat. Yang menerima perintah
langsung dari Abah atau Tutunggul adalah adalah Canoli Padaringan, Mak Beurang,
Bengkong, Juru pamakayan, Paninggaran, Dukun, Panghulu dan Kolot Lembur.
Menjelang seren taun, para tokoh adat berkumpul di pusat kasepuhan (biasanya tempat
kediaman abah) untuk membicarakan keperluan acara, masa ini disebut ponggokan.
Sehari sebelum diselenggarakannya seren taun, para kolot lembur ( kepala kampung )
yang menginduk ke kasepuhan melaporkan keadaan kepada Sesepuh Girang
( Adimihardja, 1992 ). Laporan tersebut menyangkut jumlah jiwa manusia yang
menginduk pada kasepuhan, dihitung mulai dari bayi hingga orang tua ( jiwa usik ).
Selain itu mereka juga harus melaporkan jumlah ternak yang dipelihara ( kambing dan
kerbau ). Proses pelaporan ini disampaikan melalui dukun yang kemudian akan
menyampaikan laporan ke Tutunggul ditandai dengan penyerahan seekor ayam jantan
sebagai simbol bahwa jiwa yang menginduk ke kasepuhan agar dijaga kesejahteraan
hidupnya.
Bagi masyarakat biasa dari luar kasepuhan maupun warga biasa kasepuhan, komunikasi
dengan seorang Abah cukup sulit dalam konteks mencari tahu keterangan mengenai adat
kasepuhan. Seorang Abah terselubung dalam peran mitologis dan legenda dan legitimasi
untuk ini dapat dilihat dari batasan-batasan yang diungkapkan tokoh adat. Peran Abah
secara sosial baru tampak pada upacara seren taun ketika Abah menjadi sosok sentral
dalam ritual ini. Konon waktu untuk dapat berbicara dengan Abah secara bebas sebagai
sesama manusia biasa hanya berkisar satu bulan dalam setahun (kalender lunar Islam).
Dan umumnya seputar hari raya seren taun. Seren taun adalah puncak perayaan siklus
pertanian masyarakat kasepuhan.
48
Dalam prakteknya otoritas penuh berada di tangan ‘Tutunggul’ atau ‘Abah’. Seluruh
struktur di bawahnya adalah pelaksana, yang senantiasa sebelum melakukan tugasnya
harus mendapatkan ‘restu’ dari Abah. Seorang Abah bukanlah pelaku langsung.
Demikian pula dalam hubungan dengan otoritas desa seorang Abah lebih dalam posisi
konsultatif. Hal ini dapat dipahami bahwa penduduk desa umumnya adalah warga
kasepuhan, termasuk struktur pemerintahan desanya sendiri adalah warga kasepuhan,
misalnya Sekretaris Desa saat ini (Mei 2008) adalah Amil Buchori, salah seorang dari
pengurus adat Kasepuhan Sinaresmi. Demikian pula dengan posisi dalam Badan
Perwakilan Desa terdiri dari pemuka adat dan kalangan muda yang dipandang cukup
cerdas, punya kapasitas dan kemauan bekerja di kantor desa.
Hubungan antara adat, agama, dan negara dapat dilihat dalam urusan perkawinan.
Masyarakat kasepuhan mengenal tiga tatacara perkawinan, yaitu (i) sah menurut adat; (ii)
sah menurut (agama); dan (iii) sah menurut negara. Perkawinan adat diatur oleh aturan
buhun atau sistem kepercayaan mereka (dapat dibandingkan dengan Kaharingan di
kalangan masyarakat Dayak Meratus di Kalimantan Selatan; dan sejumlah adat lain).
Perkawinan agama disahkan oleh penghulu/imam dan perkawinan negara diatur dalam
catatan sipil.
Legitimasi politik utama dari seorang yang hendak menjadi kepala desa di Sirnaresmi
adalah ‘restu’ dari Abah dan kokolot lembur atau para baris kolot. Ini adalah bentuk lain
dari relasi struktur kasepuhan dengan struktur negara yang direpresentasikan oleh desa.
Hal ini agak membingungkan orang luar, karena Abah tidak pernah mengungkapkan
aspirasi politiknya secara terang-terangan kepada umum. Sementara siapa pun yang
menghadap Abah dalam rangka pencalonan dirinya menjadi Kades akan menyatakan
bahwa Abah sudah merestui dirinya. Namun dalam kenyataannya, ‘restu’ Abah yang
sesungguhnya diberikan kepada seseorang akan disampaikan kepada orang terdekatnya
dalam struktur adat untuk dilanjutkan dalam tindakan politik praktis. Orang terdekat ini
biasanya dari kalangan kokolot lembur yang termasuk dalam sesepuh girang. Kokolot
lembur atau sesepuh girang kemudian mengutus orang kepercayaannya untuk
‘membisiki’ warga komunitas kasepuhan. Tindakan ‘membisiki’ ini biasanya dilakukan
49
pada malam sebelum pemilihan esok harinya. Tindakan politik praktis mempengaruhi
opini warga ini dalam istilah beberapa warga disebut ‘gerilya’. Hal yang menarik adalah
bahwa untuk menjadi kepala desa Sirnaresmi seorang kandidat perlu menarik simpati dari
tiga orang Abah yang memimpin tiga kasepuhan, yaitu Siinaresmi, Ciptagelar, dan Cipta
Mulya. Yang juga menarik adalah ungkapan nyata dari masyarakat bahwa ‘money
politics’ terjadi dalam pemilihan kepala desa. Ternyata yang dimaksud adalah
pertimbangan kemampuan finansial calon atau kandidat kepala desa.
Relasi antara sistem adat dan negara dapat juga dilihat secara longgar dalam tradisi
pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam. Hal ini masih kental diwarnai tradisi dan
oleh karena itu peran lembaga adat pun masih cukup kuat dalam konteks ini. Peraturan
adat mengenai tidak boleh mengambil kayu untuk bangunan rumah atau bangunan apa
pun yang memiliki api dapur – berlangsung antara 15 bulan Ruwah sampai 15 bulan
Hijriah – masih dilaksanakan masyarakat kasepuhan sampai sekarang. Uniknya,
peraturan ini dapat dikatakan berlaku dalam desa Sirnaresmi karena penduduk desa
adalah warga kasepuhan. Dengan demikian, aturan adat yang mengikat warga kasepuhan
sekaligus juga mengikat penduduk desa, meskipun tidak secara formal dan mengikat
secara hukum negara. Sebaliknya, aturan desa juga berimbas langsung pada warga
kasepuhan melalui kepala desa dan perangkatnya.
Kepala desa, yang dipilih langsung masyarakat dan disahkan Bupati Sukabumi, adalah
struktur negara yang menjadi perangkat penerusan kebijakan negara yang akan dijalankan
di desa, dan karena itu berimplikasi terhadap warga desa yang sekaligus adalah warga
kasepuhan. Otoritas sebagai bagian dari struktur pemerintahan negara ini dapat dilihat
dalam sejumlah proyek yang dilaksanakan pemerintah, baik itu merupakan proyek
pemerintaha maupun yang merupakan kerja sama dengan lembaga-lembaga
pembangunan tingkat internasional.
Beberapa di antaranya dapat disebutkan di sini:
a. PPK atau Program Pengembangan Kecamatan
b. PNPM atau Program Nasional Pengembangan Masyarakat Mandiri
50
c. PHBS atau program Pola Hidup Bersih dan Sehat
d. MMK atau Masyarakat Mandiri Kesehatan
Program-program ini melibatkan sejumlah dinas seperti:
- Dinas Pertanian
- Dinas Kesehatan
- Dinas Pendidikan
Dalam pelaksanaannya di tingkat desa, program ini termanifestasi dalam bentuk
kegiatan-kegiatan sektoral di bawah bendera program desa yang dikoordinir kecamatan.
Bidang kesehatan misalnya mencakup:
a. Kesling atau kesehatan lingkungan
b. Tumbang atau tumbuh dan berkembang
c. Tabulin atau tabungan ibu bersalin
Bidang pendidikan, misalnya, berbentuk program Gemar Motekar untuk pemberantasan
buta huruf sedangkan program gemar binangkit adalah untuk pengembangan ekonomi
rakyat. Salah satu program PPK yang masih berjalan sampai saat penelitian dilakukan
adalah Proyek Pengembangan Kecamatan Indeks Pengembangan Manusia Sekolah
Lapang Akselerasi Ekonomi Produktif atau PPK IPM SL AEP. Program dengan nama
sangat panjang dan rumit ini adalah program peningkatan kemampuan baca tulis di
kalangan warga desa dengan kelompok sasarannya adalah:
- Kelompok keaksaraan fungsional ( KF, serupa dengan pemberantasan buta
huruf)
- Paket A
- Paket B
- Paket C
Khusus Paket A sumber dananya dari APBD Kabupaten, sedangkan untuk KF, Paket B
dan C sumber dananya dari APBD Propinsi. Perbedaan sumber dana ini berdampak pada
perkembangan dan capaian dari pelaksanaan program. Total dana untuk Paket A adalah
Rp. 16.800.000, sedangkan untuk KF, Paket B dan C berjumlah Rp. 81.416.500.
51
Semua program ini sampai ke desa melalui Pemerintah Daerah Kabupaten, Kecamatan,
baru kemudian di sampaikan kepada semua kepala desa. Mekanisme yang digunakan
umumnya adalah kepala desa diundang untuk membicarakan berbagai program ini di
Kabupaten bersama dengan pemerintahan kecamatan. Setelah itu pemerintah desa
bertugas dan bertanggung jawab untuk sosialisasi program ini ke desanya masing-masing
melalui para kepala dusun. Dalam rangka sosialisasi inilah salah satu kegiatannya adalah
‘meminta restu’ dari ‘Abah’ atau ‘Tutunggul’ kasepuhan. Menurut hasil wawancara dan
diskusi terfokus, belum pernah terjadi dalam ingatan narasumber maupun peserta diskusi,
kelembagaan kasepuhan menolak sebuah program.
Salah satu wujud nyata dari program PPK adalah gedung sekolah dasar SD Negeri
Sirnaresmi sebanyak tiga kelas yang dibangun pada 2006 dengan dukungan World Bank.
Juga Puskesmas Pembantu adalah hasil dari program bidang kesehatan yang mencakup
PHBS dan MMK.
Di samping itu ada pula proyek Gerhan atau Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan
Lahan yang digalang oleh Departemen Kehutanan pada 2007 di Kasepuhan melalui
Dinas Kehutanan. Areal percontohan seluas 25 ha mengambil lokasi kebun-kebun
masyarakat. Benih disiapkan oleh Dinas Kehutanan sebanyak 7000 pohon. Areal ini
terletak di blok Gunung Bugis I, Sirnaresmi, Cisolok.
Semua proses dan mekanisme penerapan proyek ini berlangsung seperti yang telah
disebutkan di atas. Kunjungan dari aparat pemerintahan biasanya pada saat mulai
dilaksanakannya sebuah program dan sekali-sekali pada saat mereka melalukan evaluasi
(menurut penuturan anak Amil Buchori ketika sedang memandu tim peneliti ke kawasan
percontohan Gerhan dan program PPK dll., Mei 2008). Proyek Gerhan sendiri tidak
menunjukkan hasil yang jelas, karena menurut keterangan pemandu dan beberapa orang
yang ditemui di dalam kebun mereka yang menjadi bagian dari areal Gerhan, pohon-
pohon yang ramai dalam kebun tersebut sudah lama adanya dan ditanam oleh mereka
52
sementara proyek Gerhan 2007 belum menunjukkan hasil apa pun, dan cukup banyak
tanaman pohon tersebut yang mati setelah di tanam di dalam areal kebun.
Pengembangan Taman Nasional menjadi Taman Nasional Gunung Halimun Salak dan
program-program Perhutani mungkin merupakan program pemerintah yang sejauh ini
menimbulkan ketegangan eksplisit. Dari perpektif konflik, ketegangan ini sudah manifest
meskipun tidak dalam bentuk bentrokan antara kedua pihak dengan cara kekerasan.
Berbeda dengan program-program lain yang mengambil lahan kelola masyarakat atau
tidak membatasi akses mereka ke tanah dan hutan, maka program Taman Nasional
Gunung Halimun Salak maupun kebijakan Perhutani dipandang nyata-nyata membatasi
akses masyarakat ke tanah dan hutan.
Dalam pandangan masyarakat, pengalaman mereka dalam menghadapi kebijakan dan
struktur manajemen TNGHS dan Perhutani diungkapkan dalam pembedaan yang jelas,
yaitu:
- Perhutani membolehkan masyarakat menggarap dalam kawasan hutan tetapi
harus membayar pungutan
- TNGHS membuat hutan dijaga tetapi masyarakat tidak boleh menggarap di
mana mereka pandang lahan potensial. Masyarakat hanya boleh menggarap
dalam kawasan yang menurut zonasi peruntukannya memang untuk digarap
oleh masyarakat adat. Kebijakan ini sejalan dengan kebijakan zonasi umum
dari sebuah taman nasional.
- Di bawah TNGHS masyarakat mengkhawatirkan bahwa suatu saat nanti
masyarakat sama sekali tidak bisa memperoleh kayu dari kawasan di sekitar
kampung mereka, meskipun itu hanya untuk bangunan rumah dan bukan
untuk diperdagangkan.
Dalam proses perluasan TNGHS semua peserta FGD menyatakan bahwa masyarakat
tidak diajak konsultasi mengenai implikasi dan dampak dari perluasan. Bahkan banyak
masyarakat tidak tahu menahu apa dan bagaimana itu taman nasional, sehingga ada
peserta yang bertanya mengenai boleh tidaknya menggarap dalam taman nasional dan
53
untuk apa taman nasional. Dalam penyelenggaraan TNGHS ada perangkan manajemen
taman nasional yang oleh masyarakat dikenal dengan kader konservasi, yang diambil dari
kalangan penduduk desa dan warga kasepuhan. Fungsi dan tugasnya adalah distribusi
informasi mengenai kebijakan taman nasional dan rencana-rencana terkait
keberadaannya.
Meskipun demikian, dapat dikatakan bahwa otonomi daerah dan politik lokal turut
mempengaruhi tanggapan sebuah pemerintah daerah terhadap kebijakan nasional. Dalam
konteks TNGHS misalnya, berbeda dengan Bupati Sukabumi yang menerima kehadiran
taman nasional, Bupati Lebak yang sekarang (Mulyadi Jayabaya, akan berakhir pada
2008) justru menolak perluasan taman nasional. Argumen yang dikemukakan Bupati
Lebak adalah perlu dipertegas dulu mana yang menjadi kawasan garapan masyarakat adat
kasepuhan dan mana yang bukan. Ini menjadi masuk akal secara politik mengingat
bahwa cukup banyak komunitas kasepuhan yang berdiam dalam Kabupaten Lebak.
Di samping proyek TNGHS dan kehadiran sosok Perhutani, program Bantuan Langsung
Tunai (BLT), Komunitas Adat Terpencil (KAT) dan PHBS menurut masyarakat tidak ada
manfaat yang jelas dirasakan. Yang sangat dibutuhkan adalah program-program
pemberdayaan dalam sektor pertanian dan ekonomi yang terkait dengan kondisi sosial
budaya dan lingkungan mereka.
Pandangan terhadap Negara
Selain dari program-program yang telah disebutkan di atas, masyarakat juga
mengungkapkan sejumlah pandangan mengenai hubungan kasepuhan dengan negara.
Umumnya pandangan yang muncul bersifat normatif terkait dengan kebijakan negara
dalam bidang pendidikan, kesehatan, informasi dan komunikasi, dan kebijakan
pembangunan umumnya.
Di bidang pendidikan misalnya masyarakat merasakan kekurangan tenaga guru yang
berkualitas dan buku-buku yang menunjang perkembangan pengetahuan anak didik. Hal
ini menurut mereka merupakan kewajiban negara yang harus dilakukan. Ini bisa
54
dipahami karena sepanjang sejarah hidup masyarakat kasepuhan yang ada sekarang, apa
yang mereka kenal sebagai ‘sekolah’ datang dari negara/pemerintah. Program yang telah
disebutkan di atas bersifat sangat terbatas pada upaya membuat semua penduduk
memiliki kemampuan baca tulis. Namun dalam konteks ‘sekolah’ masyarakat merasakan
perlunya hal-hal seperti perpusatakaan atau taman bacaan.
Dalam bidang informasi komunikasi, masyarakat memandang perlu diperkuat dan
dipertegas peran negara dalam mengatur jenis informasi apa yang dapat dikonsumsi
masyarakat. Tayangan-tayangan televis yang bernuansa kekerasan dan disiarkan pada
jam-jam di mana anak-anak belum tidur (antara siang sampai pkl 21.00)cukup banyak
dikritik oleh masyarakat dan menurut mereka hal ini merupakan tanggung jawab negara
untuk mengatur jenis tayangan yang sesuai dengan konsumsi publik menurut kematangan
usia.
Dalam teknik pertanian, dengan keterbatasan lahan kelola masyarakat sangat
membutuhkan pengetahuan, teknik, dan jenis-jenis tanaman yang dapat membantu
mereka meningkatkan ekonomi. Dalam hal ini peran negara diharapkan menjadi lebih
nyata dalam mendukung inisiatif masyarakat untuk mengembangkan ekonomi mereka
melalui sektor pertanian. Namun terhadap bibit padi sawah misalnya, mereka cukup kritis
terhadap bibit yang ditawarkan pemerintah, karena mengkhawatirkan persoalan rentan
terhadap hama penyakit.
Masyarakat mengharapkan pembagian peran dan otoritas yang cukup jelas antara negara
dan masyarakat. Hal ini terungkap dalam pandangan dan harapan tentang bagaimana
relasi mereka dengan TNGHS sebaiknya ditata. Mengapa pembagian peran dan otoritas
ini perlu dilakukan adalah karena masyarakat memandang bahwa cara pandang dan
sistem pengelolaan sumberdaya alam yang mereka praktekan berdasarkan sistem nilai
yang mereka anut sekarang ini cukup memadai untuk memenuhi kebutuhan mereka
maupun menjadi kelangsungan sumberdaya alam. Salah satu yang mereka kemukakan
adalah sistem tataruang yang mereka anut seperti tergambar di bawah ini
55
1. Leuweung Titipan adalah wilayah hutan yang sama sekali tidak dapat diganggu
untuk kepentingan apapun, karena titipan berarti warisan dari karuhun yang harus
selalu dijaga.Ada kepercayaan bahwa leuweung titipan ini dijaga oleh hal yang
tidak nampak oleh mata, siapa yang melanggarnya pasti akan tertimpa ‘kabendon’
atau kemalangan.
2. Leuweung Tutupan adalah hutan yang berfungsi untuk menutupi leuweung
titipan yang dilindungi oleh hukum negara.
3. Leuweung Awisan adalah hutan yang akan dijadikan tempat pemukiman
masyarakat kesepuhan di masa yang akan datang. Hutan ini diakui oleh semua
warga sebagai hutan keramat. Jenis hutan ini tidak boleh diekspoitasi oleh
siapapun tanpa seizin Sesepuh Girang. Penggunaan hutan tersebut dimungkinkan
apabila telah diterima semacam wangsit dari nenek moyang melalui Sesepuh
Girang.
4. Leuweung Garapan / Sampalan adalah lahan yang dapat diusahakan oleh
masyarakat baik untuk menanam padi ( huma ) / kebun. Ada 2 sampalan yaitu,
sampalan kebo dan sampalan untuk tanaman produksi. Keberadaan sampalan
kebo sekarang ini tidak banyak lagi ditemukan semenjak adanya SPPT dari
pemerintah dimana sampalan dibagi – bagi oleh pemerintah ke desa .Oleh pihak
desa, warga bisa memanfaatkannya asalkan ditanami tanaman produksi.
Menurut hasil penggalian informasi (Ugis Suganda dan Amil Buchori Mei 2008, dan
hasil FGD Mei 2008), permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan kawasan Halimun
menurut Balai Taman Nasional Gunung Halimun, antara lain :
Kondisi tata batas di lapangan yang tidak jelas sehingga terjadi tumpang tindih
dengan masyarakat dan Perum Perhutani
Sumberdaya manusia yang terbatas, baik dari segi kuantitas dan kualitas maupun
distribusinya di lapangan
Apresiasi masyarakat terhadap Taman Nasional masih rendah
Tingkat ketergantungan masyarakat dengan sumberdaya hutan masih tinggi,
mengakibatkan adanya pencurian hasil hutan (kayu dan non kayu)
56
Masih adanya perburuan satwa dan perambahan hutan secara tradisional
Upaya yang dilakukan dalam menanggulangi permasalah tersebut oleh pihak taman
nasional seringkali represif, terutama dalam perlindungan dan pengamanan kawasan.
Upaya penyuluhan, patroli rutin, operasi gabungan dan upaya represif/pencegahan hukum
dilakukan dalam penanggulangannya, selain kegiatan pelatihan dan pemberian bantuan
ekonomi untuk masyarakat yang tinggal di daerah penyangga. Upaya ini tidak
menyelesaikan persoalan dasarnya karena konflik laten telah mulai ada sejak dahulu,
sejak kawasan ini belum dijadikan kawasan konservasi.
Jika pihak pengelola mau melihat dari sejarah panjang kawasan Halimun maka tentunya
upaya penyelesaiannya tidak setengah-setengah dan hanya menyelesaikan dalam jangka
pendek. TAP MPR No. IX/ 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan
Sumberdaya Alam seharusnya dijadikan landasan dalam melakukan kaji ulang terhadap
berbagai peraturan pengelolaan sumberdaya agraria/sumberdaya alam yang selama ini
telah terbukti menimbulkan penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan struktur
penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan serta menimbulkan berbagai
konflik.
Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 175/Kpts-II/2003 yang menetapkan perluasan
TNGH menjadi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak seluas 113.357 ha seharusnya
tidak hanya menyandarkan alasan bahwa alasan penggabungan keduanya adalah
merupakan satu kesatuan yang harus dijaga dan dilestarikan. Pengakuan, penghormatan,
dan perlindungan hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas
sumberdaya agraria/sumberdaya alam seharusnya juga dipertimbangkan dalam upaya
penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah
(landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat.
Dengan cakupan arealnya yang sangat luas, tidak mengherankan bahwa masyarakat
meyakini terdapat ’ratusan ribu’ masyarakat adat dan lokal dalam kawasan taman
nasional. Oleh karena itu perlu ada perhatian terhadap masyarakat ini. Apakah
57
masyarakat adatnya perlu pengakuan khusus? Terkait dengan ini upaya untuk mendorong
sebuah peraturan daerah khusus nampaknya sudah cukup kuat di kalangan warga
Kasepuhan Sinaresmi, dengan terlibatnya Ugis Suganda menjadi anggota tim pemetaan
wilayah adat bersama perangkat pemerintah daerah. Perda ini diharapkan mengatur
tentang hak-hak masyarakat adat kasepuhan. Keterlibatan ini diharapkan dapat
menjembatani keluhan masyarakat mengenai jarangnya komunikasi dengan masyarakat
oleh pihak Pengelola Taman Nasional mengenai program-program yang dikembangkan
oleh Pengelola TNGHS. Salah satunya adalah program pengembangan MKK atau Model
Kampung Konservasi, yang menurut masyarakat tidak dibicarakan bersama mereka,
meskipun isi program ini cukup baik, yaitu masyarakat dilibatkan dalam pemulihan hutan
yang rusak dan kemudian dapat menikmati hasil hutan yang direhabilitasi tersebut.
Cukup banyak pendapat yang menyatakan bahwa jika harapan dan aspirasi masyarakat
dalam kawasan tidak diperhatikan konflik yang telah lama berlangsung tidak akan
selesai. Masalah perbatasan adalah salah satu yang krusial yang hendak ditindak lanjuti
melalui pemetaan. Masyarakat memandang perlu adanya perubahan kebijakan dalam
pengelolaan kawasan yang lebih memperhatikan hak dan aspirasi masyarakat di dalam
kawasan. Konsep pengelolaan yang melibatkan masyarakat secara lebih substantif,
misalnya, merupakan salah satu butir yang penting bagi masyarakat. Beberapa isu
penting terkait pengelolaan TNGHS yang dapat digali dari pembicaraan langsung, baik
wawancara maupun FGD adalah:
1. Masih terdapat ketidakjelasan Tata Batas wilayah kelola sebagai kawasan hutan
negara, padahal pengelola TN dan HL harus bertanggung jawab terhadap pengelolan
hutan di dalamnya.
2. Di dalam wilayah yang ditunjuk sebagai kawasan TNGHS terdapat Enclave yang
belum dipertegas statusnya dengan penataan batas.
3. Pada kenyataanya 2/3 kawasan hutan di wilayah Halimun sudah dikelola untuk
pertanian dan pemukiman.
4. Ada perbedaan persepsi, masyarakat yang merasa berhak, pengelola TN juga merasa
berhak, sehingga menyebabkan konflik berkepanjangan dan yang ditengarai rentan
dengan penyimpangan (bahkan penipuan).
58
5. Berbagai masalah sengketa mungkin sebagian dapat diselesaikan dengan kebijakan
pengukuhan hutan yang ada dan pemberian hak kelola.
6. Selayaknya dapat dilakukan pemetaan partisipatif yang melibatkan masyarakat. Ada
indikasi land use yang aktual dilakukan oleh masyarakat yang memungkinan untuk
dikeluarkan dari kawasan hutan, dengan dukungan dokumen-dokumen yang
dibutuhkan, seperti Berita Acara Tata Batas (BATB).
7. Pada saat penataan batas sebaiknya sudah ada kaidah-kaidah teknis dan hukum untuk
menyelesaikan masalah-masalah ini. Trayek batas, pal batas sementara, diumumkan,
pemancangan batas, permanen segera diselesaikan dengan menggunakan prosedur
tata batas sesuai SK Menhut 32/2001.
8. Perlu menggali dokumen kesejarahan masyarakat, dokumen dinas Kehutanan dan
BPN. Pemerintah juga harus dapat membuktikan klaimnya atas tanah negara,
termasuk kawasan hutan negara (Pembuktian terbalik).
9. Selain masalah di lapangan, ada penumpukan masalah yang terjadi di pusat untuk
pengambilan keputusan mengenai pengecualian wilayah-wilayah tertentu dari
kawasan hutan, serta ijin-ijin yang akan diterbitkan. Konflik kewenangan ini perlu
diselesaikan dengan kebijakan yang memberikan kewenangan yang jelas kepada
masing-masing pihak sesuai dengan kemampuan untuk menyelesaikan permasalahan.
Atas temuan-temuan tersebut di atas, ada harapan-harapan yang disampaikan warga,
terutama kaum muda (seperti Dede dan Omid, anak pak Amil Buchori). Beberapa usulan
dan harapan yang muncul diantaranya adalah sebagai berikut;
1. Diharapkan terbuka proses menuju pembagian peran yang jelas dan proses
pengambilan keputusan yang melibatkan multipihak dan partisipatif atas hak
pemilikan atau pengelolaan kawasan hutan.
2. Dalam waktu dekat diharapkan ada batas kawasan hutan yang sudah diukur dengan
melibatkan instansi pemerintah dan masyarakat.
3. Per1u dibangun kesamaan persepsi dalam melihat dan menangani masalah
perambahan di kawasan hutan.
59
4. Diharapkan ada collaborative action yang bisa dibangun oleh Warga Kasepuhan,
Pusaka, AMAN dan Respect.
Posisi dan Peran Kaum Perempuan dalam Komunitas Kasepuhan
Cukup sulit untuk mendapatkan informasi yang mendalam mengenai peran kaum
perempuan dan relasinya dengan kaum pria dalam Kasepuhan Sinaresmi. Ada dua asumsi
mengenai informasi yang diperoleh secara sangat terbatas, yaitu informasi itu sungguh
mewakili apa yang dirasakan dan dialami kaum perempuan di Sinaresmi, atau informasi
itu diberikan dalam konteks menjaga dan menghormati tradisi yang sangat
mengagungkan harmoni internal dan menghindari konflik sosial. Namun riset ini
bergerak berdasarkan sebuah pendapat yang pernah diajukan oleh Prof. Dr. Nurhayati
Hakim (1991) yang dikutib dari paper Ulfa Hidayati, RMI, yang disampaikan dalam
diskusi Lokakarya Community-Based Land Rehabilitation and Management Project,
Cipanas 25 – 27 Agustus 2003, diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Pemberdayaan
Masyarakat dan Desa, Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia mengenai
pembagian kerja antara kaum laki-laki dan perempuan di sawah dan ladang. Hasil
penelitian Prof. Dr. Nurhayati Hakim menunjukkan bahwa untuk semua jenis pekerjaan
di sawah (mulai dari mengolah tanah sampai dengan menjual hasil ke pasar), rata-rata
kontribusi perempuan adalah 21 poin, sedangkan kontribusi laki-laki hanya 12 poin13.
Kaum perempuan kasepuhan umumnya menyatakan bahwa posisi mereka dalam
komunitasnya sangat dihargai dan diperlakukan sejajar dengan kaum pria (wawancara
dengan istri Amil Buchori, Mei 2008). Namun dari pengamatan selama satu minggu di
lapangan, nampak jelas beban kaum perempuan lebih tinggi dari kaum pria. Mereka
terlibat langsung dalam pekerjaan di sawah dan kebun sementara sebaliknya keterlibatan
kaum pria dalam pekerjaan di rumah dan dapur sangatlah tidak substantif.
Salah satu bukti yang umumnya selalu dikemukakan adalah pembagian waris kepada
anak. Pembagian waris kepada anak perempuan dan laki-laki sama rata. Yang mendapat
lebih hanyalah anak bungsu, baik itu laki-laki ataupun perempuan. Namun dalam
13 Dewi, K dalam Terompet, Edisi No. 12 Tahun II/1994
60
prioritas pendidikan akan tampak jelas perlakukan tidak seimbang. Anak laki-laki
mendapat prioritas lebih tinggi daripada anak perempuan untuk memperoleh kesempatan
bersekolah. Alasan yang diungkapkan dapat menyingkap perlakuan tidak seimbang, yaitu
bahwa anak laki-laki dipandang akan mendatangkan rejeki ke rumah orang tuanya,
sedangkan anak perempuan umumnya ‘dibawa orang laki-laki’ masuk ke rumah pihak
laki-laki. Nampak adanya prasangkan misoginis dan androginis dalam memberikan akses
pendidikan ke kaum pria dan kaum perempuan.
Dalam kasus perceraian dapat juga dilihat persoalan ketimpangan gender. Jika sepasang
suami istri bercerai, akan diperiksa siapa sumber kesalahan. Jika suami terbukti bersalah
maka suami akan meninggalkan rumah dengan semua harta kepada istrinya. Sedangkan
kalau istri bersalah maka istri diharuskan meninggalkan rumah tanpa dibekali apa pun.
Dalam konteks ini, masyarakat mengatakan bahwa harta di rumah berada di bawah
otoritas hak lelaki. Sehingga jika lelaki bersalah, maka tebusannya kepada istrinya adalah
menyerahkan sepenuhnya rumah dan harta kepada istrinya, dan hukumannya adalah
meninggalkan rumah. Sementara kalau istri bersalah maka istri harus meninggalkan
rumah dengan tangan kosong karena harta dalam rumah berada di bawah otoritas suami.
Hal ini nampak dalam konsep ‘penyerahan reseki” dari suami kepada istri. Dianggap
bahwa pencari reseki adalah suami yang kemudian membawa reseki itu ke rumah dan
menyerahkannya kepada istri.
Dalam pengambilan keputusan di tingkat komunitas, kaum perempuan praktis tidak
dilibatkan samasekali. Ini tercermin dalam struktur adat Kasepuhan Sinaresmi. Abah
selalu laki-laki dan jabatan ini turun langsung kepada anak laki-laki. Semua kokolot
lembur adalah laki-laki. Dan dua unsur inilah pemegang otoritas sosial, politik, dan dan
budaya dalam komunitas ini. Tidak ada representasi kaum perempuan. Bahwa paraji atau
dukun bersalin ada kaum perempuan, dan sering disebutkan oleh masyarakat sebagai
bagian dari ‘adat’, tidak dapat dijadikan sebuah argumen keseteraan karena perannya
dalam pengambilan kebijakan kasepuhan tidak ada.
3.2 Temuan Penelitian di Kasepuhan Citorek
61
3.2.1 Profil Komunitas
Geografi administratif
Komunitas Kasepuhan Citorek umumnya berdiam dan hidup di empat desa di wilayah
Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten, yakni: Desa Citorek Tengah,
Citorek Timur, Citorek Kidul (Selatan) dan Citorek Barat. Selain di keempat desa
tersebut, incuputu pengikut Kasepuhan Citorek terdapat pula di kampung tetangga desa
sekitar, antara lain: Kampung Cirompang, Desa Cirompang, Kecamatan Sobang,
Kampung Sanpai, Desa Lebak Situ, Kecamatan Lebak Gedong dan Kampung Cibarani,
Desa Cibarani, Kecamatan Cirinten, semuanya berada di Kabupaten Lebak.
Pusat pemerintahan dan perkampungan utama warga Desa Citorek Timur berada di
Kampung Guradog dan Desa Citorek Tengah berada di Kampung Naga. Keduanya
merupakan perkampung tua yang letak perkampungannya hampir berhimpitan. Di
Kampung Guradog terdapat ’Rumah Gede’ yang didiami oleh ’Oyot’, pimpinan
Kasepuhan Citorek, yang juga menjadi pusat aktivitas dan kebudayaan kasepuhan.
Sedangkan, Desa Citorek Barat merupakan desa yang baru dimekarkan dari Desa Citorek
Tengah pada tahun 2005 lalu, pusat pemerintahannya di Kampung Cibengkung. Posisi
Kampung Cibengkung di punggungan bukit, sekitar 1 Kilometer dari Desa Citorek
Tengah. Paling jauh adalah Desa Citorek Selatan. Pusat pemerintahannya berada di
Kampung Ciusul, sekitar 6 Km dari Desa Citorek Tengah.
Kampung-kampung di Desa Citorek Barat tersebar berjauhan, kampung paling barat
Desa Citorek Barat adalah Kampung Cisii dan Kampung Cibedug, dua kampung
terluar disisi barat yang wilayah pemerintahannya berbatasan dengan Desa Sukamulya
dan Desa Kanekes (Baduy). Kampung Cibedug merupakan perkampungan komunitas
Kasepuhan Cibedug, yang perkampungannya berada di dalam hutan dan terdapat situs
megalitik, disebut Candi Cibedug. Paling selatan ada Kampung Ciparay dan lokasi
perladangan Cirotan, yang wilayah pemerintahannya berbatasan dengan Desa Cihambali.
62
Kegiatan riset lapangan ini hanya menemukan dua data sekunder dari Desa Citorek
Tengah dan Citorek Timur, desa lainnya belum ditemukan informasi dan data luas desa.
Secara umum, berdasarkan hasil survei dan pengukuran Peta Wewengkon Komunitas
Kasepuhan Citorek yang wilayahnya berada di keempat desa, diketahui memiliki Luas
sebesar 7.416 hektar. Lihat Lampiran Peta Wewengkon Adat Citorek.14 Diperkirakan
luas keempat wilayah administrasi pemerintahan desa lebih luas dibandingkan luas
wewengkon adat Citorek. Batas-batas desa sudah ditentukan oleh pemerintah, sedangkan
batas-batas wewengkon adat berdasarkan pengakuan dan klaim masyarakat setempat.
Iklim dan topografi
Kondisi topografi wilayah di dominasi daerah berbukit-bukit dan sedikit tanah dataran.
Letak ketinggiannya dari permukaan laut berada diatas 750 mdpl dan sebagian besar
merupakan kawasan hutan alam dan hutan tanaman (kebon atau talun). Udara masih
terasa sejuk dan dingin di waktu pagi hari, sekitar 23o – 25o C (pengamatan Mei 2008).
Curah hujan di daerah ini tergolong tinggi dan utamanya daerah selatan dari kawasan
Gunung Halimun yang menghadap samudera Hindia, rata-rata di atas 2000 mm per
tahun. Musim hujan paling sering berlangsung dalam lima bulan per tahun, mulai dari
bulan Oktober hingga Februari. Dari segi fisik tanah, kawasan Gunung Halimun sangat
baik sebagai daerah peresapan dan penyimpanan air. (Hendrayanto dalam Hendarti,
2007;27).
Menurut keterangan masyarakat (Mei 2008), kurang lebih lima bulan terakhir situasi
iklim dan lamanya hujan sudah tidak dapat diperkirakan. Misalnya di bulan Mei dan Juni
adalah musim panas, tetapi terjadi beberapa kali hujan. Situasi iklim dan hujan yang tidak
menentu berdampak pada perkembangan dan hasil pertanian tanaman masyarakat,
khususnya sayur-sayuran dan buah-buahan, yang semakin merosot hasilnya dan
gangguan hama penyakit tiba-tiba.
14 Peta Wewengkon adat atau Peta Wilayah Adat yang dimaksudkan disini adalah wilayah atau tanah ulayat yang di klaim masyarakat Kasepuhan Citorek berdasarkan hak adat pengakuan masyarakat setempat dan masyarakat sekitar sudah sejak lama, memiliki batas-batas dengan tanda alam, tempat dan terdapat tugu batu di puncak gunung, yakni: batas sebelah utara di Gunung Kendeng, selatan di Pasir Soge, barat di Gunung Nyungcung, timur di Parakan Saat.
63
Aksesibilitas
Sudah semenjak tahun 1990-an, jalan-jalan tanah yang menghubungkan antara desa dan
kampung dikerjakan masyarakat dan pemerintah. Awal tahun 2000 hingga tahun 2003,
jalan dari Cipanas ke Citorek hingga ke Cikotok dikerjakan dan sebagian jalan dalam
kampung di aspal. Situasi ini mendorong masyarakat untuk mengembangkan tanaman
pertanian yang komersial dan dipasarkan sendiri ke luar kampung. Semakin mudahnya
akses transportasi, membuat kebanyakan orang tua di Citorek menyekolahkan anaknya ke
sekolah lanjutan atas hingga perguruan tinggi.
Kondisi jalan masih dominan jalan tanah berbatu dan jembatan kayu dengan kondisi
sudah rusak, berkelok-kelok naik turun bukit dipinggiran tebing, tetapi setiap hari ada
saja kendaraan umum ’ELF’ jenis mini bus (ELF adalah salah satu merk Mitsubisi yang
kemudian menjadi sebutan umum bagi kendaraan penumpang ini). Untuk menuju ke
Citorek dapat melalui jalur selatan dari Cikotok ke Citorek atau melalui arah utara dari
Cipanas (Trans Bogor – Lebak) ke Citorek. Masyarakat di Sirnaresmi menggunakan
kendaraan jenis hardtop double gardan untuk menuju kampung-kampung di daerah
ketinggian dengan sewa yang cukup mahal, berkisar 300 – 400 ratus ribu sekali jalan.
Untuk mengatasinya masyarakat biasanya mencari teman beberapa orang untuk menyewa
bersama-sama. Sedangkan di Desa Citorek Kidul dan Citorek Barat, masih banyak jalan
rintisan tanah dan berbatu. Jembatannya masih jembatan gantung dan terbuat dari kawat
besi dan kayu serta alas lantai jembatan dari besi plat atau balok. Sebagian jembatan
antara kampung hanya bisa dilalui kendaraan motor roda dua.
Kebanyakan penduduk Citorek dan Sirnaresmi sudah menggunakan alat penerangan
lampu dan berbagai peralatan rumah tangga elektronik dari tenaga listrik milik PLN
(Perusahaan Listrik Negara). Jaringan listriknya berasal dari kota di Rangkas dan
Pelabuhan Ratu. Sedangkan akses terhadap media informasi dan komunikasi tidak terlalu
rumit, kebanyakan warga yang mampu memiliki media televisi dengan antena dan radio.
Informasi setiap hari dapat didengar dan ditonton dari televisi siaran nasional dan lokal.
Koran dan majalah dapat diperoleh di kabupaten. Demikian pula, pendudukan
64
kebanyakan masyarakat sudah memiliki media hiburan dengan tape dan video cassette
maupun compact disc. Sedangkan untuk surat menyurat menggunakan pos, hanya dari
kantor pos umum di kabupaten.
Sedangkan untuk media komunikasi surat menyurat masih menggunakan pos, hanya dari
kantor pos umum di kabupaten. Saat ini, sedang dibangun tower pemancar untuk pesawat
telepon seluler milik Indosat di Citorek Tengah dan Citorek Kidul. Diperkirakan Juli
nanti sudah bisa beroperasi alat-alat penerima dan pengirim untuk telepon seluler. Pada
beberapa titik di ketinggian tertentu sudah diperoleh signal telepon seluler, tapi
tergantung keadaaan cuaca. Media informasi dan hiburan lain yang diminati adalah
menggunakan tape dan video cassette maupun compact disc.
Situasi ini tentu akan sangat mempengaruhi intensitas komunikasi dan interaksi
masyarakat dengan dunia luar.
Tataguna Lahan
Berdasarkan hasil Pemetaan Partisipatif oleh Masyarakat Wewengkon Adat
Kasepuhan Citorek (2005), yang meliputi empat wilayah desa di Citorek, diperoleh
bentuk penggunaan dan luas lahan, sebagai berikut: areal pemukiman (34,084 ha), sawah
(1.712,041 ha), reuma (sejenis areal belukar bekas ladang), huma dan kebon ( 2.081,500
ha), leuweung atau hutan (3.588,375 ha).
Pada tabel 6, dapat dilihat gambaran luas dan penggunaan lahan di dua desa, yaitu: Desa
di Citorek Tengah dan Citorek Timur tahun 2008. .15 Diketahui sedikitnya masyarakat
mengelola wilayahnya untuk enam fungsi dan kegunaan, yang mana keberadaan kawasan
hutan paling luas dan dibanding non-hutan. Jika dibandingkan lahan non-hutan yang
sudah dimanfaatkan dengan jumlah penduduk yang ada sekarang, maka dapat
diperkirakan akan adanya keterbatasan produktivitas masyarakat dan sempitnya lahan
untuk kegiatan produksi sosial ekonomi. Realitasnya memang demikian. Ditemukan di
15 Hingga penulisan riset ini, data sekunder dari dua desa, yakni: Desa Citorek Barat dan Desa Citorek Timur, belum kami peroleh dikarenakan buku data potensi kedua desa sedang dipinjam oleh pihak kabupaten dan juga petugas yang diperkirakan menyimpan data sedang tidak ada di kampung.
65
lapangan, areal pemanfaatan ruang hidup dan areal pengelolaan masyarakat diatas
tumpang tindih dengan kawasan hutan yang ditetapkan sebagai TNGHS, Perum
Perhutani dan Pertambangan.
Tabel 8. Luas Wilayah dan Pemanfaatan Lahan di Lokasi Studi
Nama Lokasi Desa
Sirnaresmi
(ha)
Citorek
Tengah (ha)
Citorek
Timur (ha)
Citorek
Kidul (ha)
Citorek
Barat (ha)
Luas Wilayah 4.906 1.704,9 3.396,08 2.125 0
Hutan 3.961 700 2.652,5 0 0
Sawah 559,98 395 482,03 0 0
Ladang 303,40 332 85,42 0 0
Perkampungan 74,18 23 16 0 0
Perkebunan 250 158,7 0 0
Fasum 7 4,9 1,34 0 0
Σ Penduduk 4.803 3.752 2.775
Sumber Data: Profil Desa 2007
Vegetasi dan sumberdaya air
Berdasarkan Penelusuran Ruang Kelola Masyarakat Wewengkon Adat Citorek (Santosa,
2006), diperoleh hasil inventarisasi flora dan fauna yang mempunyai nilai komersial,yang
paling sering digunakan dan mempunyai manfaat, yaitu: 23 jenis tanaman di kawasan
hutan alam dan 24 jenis tanaman di kawasan hutan tanaman budidaya, 30 jenis tanaman
obat-obatan, 39 jenis burung, 15 jenis satwa melata dan 13 jenis satwa besar. Pada
umumnya, kekayaan alam ini berada di hutan alam dan dapat ditemukan hingga di
ketinggian 1200 m dpl.
Ada sekitar 43 mata air di Citorek yang mengalir ke 39 sungai kecil dan lima sungai
besar. Sungai besar tersebut adalah Sungai Ciantalwangi, Cimadur, Cikidang, Cibanteng
dan Citorek.
66
Beberapa sungai di daerah ini sudah terjadi pendangkalan akibat perubahan fungsi dan
penggunaan lahan oleh aktivitas pengusahaan hutan dan konversi lahan pertanian,
padahal sungai merupakan sumber kehidupan masyarakat sekitar dan sepanjang daerah
aliran sungai untuk kepentingan pertanian, air minum, mandi, cuci dan sebagainya.
Komunitas Kasepuhan setempat memiliki kesamaan dan kebiasaan dalam merawat
lingkungan mata air, yaitu: menjadikan kawasan hutan penyangga sumber mata air, yang
disebut leuweng titipan, tidak boleh digarap. Masalahnya, warga dan perusahaan
seringkali melanggar dan tidak ada sangsi.
Hendrayanto (2007;29), menunjukkan terjadinya perubahan penutupan lahan hutan di
kawasan TNGHS selama 10 tahun (1992 – 2001), luas hutan alam berkurang dari 33.692,
6 ha di tahun 1992 menjadi 31.430,2 ha di tahun 2001, atau dalam tempo 10 tahun terjadi
pengurangan hutan alam seluas 2.262 ha (283 ha/th). Sejalan dengan perubahan tersebut,
terjadi peningkatan hutan tanaman dari 1.994, 9 ha di tahun 1992 menjadi 2.797 ha di
tahun 2001. Daerah penutupan lahan semakin luas, kecuali kebun teh, rumput dan sawah.
Perubahan ini sangat mempengaruhi situasi hidrologis dan berkurangnya kemampuan
fungsi dan jasa lingkungan hutan.
Demografi16
Berdasarkan wawancara dengan Oyot Kasepuhan Citorek (Didi), berdasarkan kebiasaan
ngajiwa,17 diperkirakan jumlah incuputu pengikut Kasepuhan sekitar 12.000 jiwa dan
tersebar di beberapa desa dan kota. Saat ini diperoleh data penduduk di Desa Citorek
Timur sebanyak 3.752 jiwa dan Desa Citorek Tengah sebanyak 2775 jiwa.
Umumnya, warga kasepuhan beragama Islam dan taat menjalankan rukun agama Islam.
Pengaruh ajaran dan hukum Islam sangat kuat dalam kehidupan sosial budaya dan
pandangan dasar nilai tradisi atau adat, yaitu ”tatali paranti karuhun”, sehingga hampir
setiap kampung dan dusun terdapat mushollah dan masjid di pusat desa, disamping itu
16 Sampai penulisan laporan ini belum dapat diperoleh data demografi keempat desa yang termasuk dalam Kasepuhan Citorek menyangkut populasi, dan komposisi penduduk secara lebih rinci.17 Ngajiwa, merupakan kebiasaan masyarakat untuk mencatat dan mendaftarkan jiwa pengikut kasepuhan, harta kekayaan hewan berkaki empat, yang dilakukan pada acara Seren Taon. Kegiatan ini dilakukan untuk mengevaluasi keberadaan incuputu dan kehidupan sosial ekonomi mereka.
67
terdapat rumah pengajian dan kegiatan pengajian keliling tingkat anak, remaja laki-laki
dan perempuan hingga dewasa. Waktu pengajian dan kumpul-kumpul sering dilakukan
pada hari Jumat dan Sabtu. Tidak ada pemeluk agama lain di Kasepuhan Citorek.
Pengenalan dan hubungan masyarakat setempat dengan pendidikan dari luar sudah sejak
lama terjadi, utamanya pendidikan non formal di bidang keagamaan. Daerah ini telah
menjadi tempat penyebaran agama Islam sejak lama. Saat ini, sarana pendidikan umum di
wilayah Citorek adalah:
- Sekolah Dasar: 2 unit SD di Desa Citorek Timur dan 3 unit di Desa Citorek
Tengah;
- SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama) 1 unit di Citorek Tengah;
- 1 SLTA Pilihan, di Desa Citorek Tengah.
- Disamping itu ada lembaga pendidikan keagamaan swasta (madrasah)
Kebanyakan penduduk di kedua lokasi pernah mengenyam pendidikan SD, sedangkan
untuk sekolah lanjutan hingga ke perguruan tinggi masih terbatas. Alasannya, biaya yang
terlalu mahal dan jauh dari lokasi desa, yakni di kota kabupaten atau propinsi.
Berdasarkan Tabel 9 di bawah, diketahui komposisi penduduk di Desa Citorek Timur dan
Citorek Tengah menurut tingkat pendidikan di Citorek Tengah dan Citorek Timur.
Tabel 9: Data komposisi penduduk menurut pendidikan di dua desa.
Uraian Desa Citorek Timur Desa Citorek Tengah
Belum sekolah 392 jiwa 143 jiwa
Tidak pernah sekolah 872 jiwa 934 jiwa
Tidak tamat SD 176 jiwa 766 jiwa
Tamat SD/ sederajat 1421 jiwa 1127 jiwa
SLTP/sederajat 689 jiwa 725 jiwa
SLTA/sederajat 214 jiwa 181 jiwa
D1 4 jiwa 0
D2 2 jiwa 13 jiwa
D3 2 jiwa 0
68
S1 5 jiwa 12 jiwa
Sumber: data dari anggota BPD Desa Citorek, Mei 2008
Meskipun tidak diperoleh data komposisi penduduk menurut pekerjaan namun menurut
keterangan masyarakat kebanyakan penduduk Citorek bekerja sebagai petani dan buruh
tani. Seperti juga tidak adanya informasi mengenai komposisi menurut jenis kelamin
tidak mempengaruhi pendapat masyarakat bahwa jumlah penduduk perempuan lebih
banyak dari penduduk laki-laki.
Sosial Ekonomi dan Sistem Pertanian Sawah dan Ladang
Mata pencaharian utama penduduk adalah di bidang pertanian, usaha tanaman
perkebunan dan usaha penambangan. Kegiatan pertanian, terdiri dari: sawah padi dan
usaha padi ladang yang masih dikelola dengan pengetahuan dan teknologi sederhana,
serta sistem irigasi teknis untuk lahan sawah; usaha kebun tanaman atau kebon, yaitu
pengembangan usaha kebun campuran tanaman sayur-sayuran, tanaman tahunan, buah-
buahan dan phon kayu komersial dan konservasi. Selain itu yang paling menonjol dan
menjadi sumber pendapatan uang keluarga adalah usaha tambang yang banyak
melibatkan remaja dan pemuda dewasa.
Untuk kegiatan pertanian sawah masyarakat sudah menggunakan sistem irigasi teknis
yang dikendalikan dan didistribusikan oleh pintu air dan irigasi tradisional. Saat ini (Mei
2008), di Citorek sedang dibangun dan diperbaiki beberapa bangunan irigasi. Kehidupan
ekonomi masyarakat paling dominan ditopang oleh sektor pertanian. Umumnya bekerja
sebagai petani atau buruh tani. Pola pertaniannya berbentuk sawah dan ladang (huma)
masih dengan sistem tebang bakar dan lahan digarap secara bergulir, dengan tahapan-
tahapan kegiatan, sebagai berikut:
- menyediakan lahan,
- macul, nyacar dan ngaduruk (membakar dan membersihkan lahan),
- ngadruk (membersihkan kotoran bakaran),
- ngasep (menanam padi di Huma),
- ngored (membersihkan rumput) dan
69
- ngetem (memanen padi).
Pola tebang bakar dan sistem bergulir di huma sudah terbatas dilakukan, dikarenakan
terbatasnya lahan dan kecenderungan masyarakat mengkonversi ladang untuk pertanian
kebun menetap. Dinas Kehutanan dan pengelola Taman Nasional yang mempunyai
otoritas terhadap kawasan hutan di wilayah desa, melarang masyarakat untuk
menggunakan sistem tebang bakar, yang dianggap mengancam kelestarian ekosistem
hutan. Masyarakat juga mempunyai kebon yang dalam wujud fisiknya serupa dengan
talun di Sinaresmi.
Tahapan kegiatan di sawah, biasanya dimulai dengan mengolah tanah sawah ‘tangtu’,
sawah milik Kasepuhan yang dikerjakan dan dipanen secara bersama. Tahapan kegiatan
di sawah, berturut-turut, yakni:
- melakukan perbaikan dan membuat pematang sawah (mopok galang atau
ngagalenganan,
- mencangkul dan melipat tanah (macul badag), mencangkul halus (macul alus),
meratakan tanah (nyogolan),
- pembenihan dan menyebar benih padi (sebar) dan
- menanam padi (tandur).
Jenis padi yang paling sering ditanam berasal dari padi lokal, namanya antara lain (dalam
bahasa lokal): padi batu, gadog, loyor, jamudin, bunar dan sisid naga. Masyarakat
cenderung menolak benih padi dari pemerintah yang merupakan hasil rekayasa teknologi,
meskipun usia panennya pendek. Kekhawatiran akan datangnya hama serupa dengan
respon di Sinaresmi.
Tahapan sesudah menanam adalah membersihkan rumput (ngoyos) yang dilakukan dua
kali, membersihkan lahan pematang (babat) dan akhirnya panen (dibuat). Kegiatan
selanjutnya menjemur (dilantaikan) padi selama satu bulan hingga kering dan dipikul
(diunjal) dimasukkan ke lumbung padi (leuit).
70
Sepanjang kegiatan di ladang dan di sawah, terdapat pula larangan-larangan dan
pantangan. Jika terdapat pelanggaran terhadap norma dan tingkah laku sosial dari ajaran
tatali paranti karuhun, misalnya perbuatan asusila, hal ini diyakini dapat menimbulkan
bencana (kabendon) dan mengakibatkan padi terserang hama dan penyakit lainnya hingga
panen tidak berhasil. Masyarakat punya kepercayaan jika seseorang melanggar atau
melakukan perbuatan melanggar adat, maka akan mendapat celaka dan kesusahan, yang
dalam ungkapan lokal disebut: cilaka ka ku dirimu; katula ku pokalua. Artinya segala
sesuatu tergantung dari perbuatannya.
Sekitar satu bulan setelah padi dimasukkan ke lumbung pada dilakukan acara seren taun,
yaitu acara syukuran atas perlindungan dan hasil usaha padi yang telah diberikan “Sang
Pencipta”. Dalam proses acara ini terdapat kegiatan Ngajiwa, para incu putu
mendaftarkan jiwa dan anggota keluarganya, mendaftarkan kekayaan hewan berkaki
empat (seperti kerbau, lembu dan lain-lain) dan mengevaluasi kemajuan usaha anggota
kasepuhan. Hadiahan, adalah upacara selamatan dilakukan dengan mengucapkan doa dan
dilanjutkan acara makan dan hiburan berbagai kesenian, atraksi dan pemutaran film.
Selain mendapatkan sumber penghidupan dari padi dan palawija, masyarakat juga
menjual kayu-kayu tertentu yang diambil dari kebon mereka. Jenis kayu manii dijula
seharga rata-rata Rp. 15.000 untuk ukuran 3 m x 10 cm x 15 cm. Pembelinya adalah
warga kasepuhan sendiri, tengkulak yang biasa memborongnya perkebon, atau
pengumpul. Pengumpul dan tengkulak adalah warga kasepuhan juga dan biasanya
menjual kayu-kayu ini ke luar kasepuhan.
Di Citorek dapat dijumpai lembaga-lembaga sosial ekonomi, seperti pedagang atau
penjual kebutuhan sehari-hari masyarakat berupa hasil-hasil pertanian. Juga terdapat
tukang ijon dan kredit yang memberikan pinjaman uang di muka sebelum melakukan
pemanenan hasil bumi maupun penagih kredit untuk barang-barang yang sudah diambil
di muka. Teridentifikasi pula ada lembaga ekonomi berbentuk usaha kelompok tani yang
dikelola secara kolektif untuk pengerjaan tanah, pengumpulan hasil dan pemasaran,
lembaga simpan pinjam, warung kelontong besar dan kecil, industri rumah tangga untuk
71
usaha kue penganan dan kerajinan alat rumah tangga, pedagang pengumpul dan
tengkulak.
Pranata sosial ekonomi ini hanya dikendalikan beberapa orang pemilik modal dan mereka
juga merupakan tokoh informal dan menjadi ’patron’ di kampung, sehingga mempunyai
pengaruh dan posisi dalam organisasi sosial di desa.
Sarana Umum Lainnya
Kasus kriminal dan gangguan keamanan belum pernah terjadi selama 10 tahun terakhir,
walaupun demikian di setiap desa dalam kasepuhan ini terdapat sarana keamanan Pos
Kamling, yang menjadi tempat ’nongkrong’ di malam hari. Ada Hansip yang bertugas
menjaga lingkungan dan keamanan, akan tetapi umumnya mereka hanya berfungsi pada
acara pesta ”gawe” atau hajatan dengan mendukung tugas-tugas pemerintah desa.
Di Citorek terdapat puskesmas pembantu, posyandu dan tempat pelayanan kesehatan
sementara. Petugas kesehatan pemerintah terdapat di setiap desa dan ada pula petugas
dari warga yang dilatih untuk menangani urusan kehamilan dan kelahiran. Meskipun
sudah ada sarana kesehatan, peralatan, obat-obatan dan tenaga medis yang terlatih dengan
penanganan kesehatan masa kini, tetapi masyarakat masih menggunakan cara-cara dan
obat-obatan tradisional untuk penyakit tertentu, seperti: pijat urut dan minum jamu dari
ramuan tanaman tertentu. Kecuali penyakit yang dianggap luar biasa dan sulit
disembuhkan, maka dilakukan upacara adat dan melibatkan perangkat Kasepuhan.
Sarana air bersih MCK (Mandi, Cuci dan Kakus) tersedia disetiap lingkungan kampung
dipinggir sungai dengan bangunan tembok semen terbuka untuk cuci dan kamar mandi
tertutup. Air bersih disalurkan dengan menggunakan bambu atau pipa pralon untuk
umum dan pribadi. Masyarakat sudah menggunakan sabun dan detergen untuk MCK.
Komuntas Kasepuhan sebagaimana layaknya masyarakat desa umumnya, mempunyai
kebiasaan dan hobby di bidang olah raga, di pusat desa terdapat lapangan sepak bola,
lapangan bulu tangkis, lapangan voli dan meja pingpong. Pada acara perayaan
72
menyambut Hari Kemerdekaan 17 Agustus dan Seren Taun, sering ada perlombaan olah
raga, pertunjukkan bela diri dan kesenian.
Pola Perkampungan
Pola perkampungan dan arsitek bangunan maupun pengelolaan ruang dalam rumah dan
wilayah dianggap sebagai ciri khas dan identitas budaya komunitas Kasepuhan Citorek.
Pola perkampungan di Citorek umumnya rumah penduduk berkumpul dan berhimpitan
di tanah dataran dan punggungan bukit, serta berada dekat pinggiran sungai dan jalan
utama. Disekeliling areal pemukiman dibuat jalan setapak mengelilingi kampung.
Bangunan umum dan rumah Imah tempat tinggal pemimpin Kasepuhan atau Oyot tidak
diatur letaknya secara khusus. Menurut penuturan penduduk (Mei 2008), pada awal
perkampungan dibuka yang terlebih dahulu dibangun adalah rumah pemimpin
Kasepuhan dan rumah ibadah masjid, yang atapnya menghadap ke barat yang merupakan
arah kiblat dalam agama Islam.
Arsitektur bangunan rumah kebanyakan sudah berubah dari rumah panggung dengan
bahan kayu dan atap rumbia, berubah menjadi rumah beton permanen bergaya modern
yang terbuat dari bahan batu, pasir, semen dan besi, jendela kaca,lantai keramik, atap
genteng atau seng dan dinding yang di cat. Besar kecil dan bentuk bangunan rumah yang
berbeda-beda menggambarkan secara eksplisit status dan kedudukan warga pemilik
rumah.
Perubahan ini secara masif terjadi tahun 2000an18, disebabkan semakin terbukanya akses
jalan ke kota kabupaten. Faktor-faktor yang mendukung keinginan masyarakat
menggunakan bangunan beton adalah karena kurangnya bahan kayu, tekanan dan
sulitnya untuk mendapatkan dan mengakses kayu di hutan.
Disekeliling kampung dan dekat dengan areal persawahan penduduk terdapat Leuit atau
18 Desa Ciparay atau Citorek Timur sekarang, kebanyakan bangunan berbentuk modern dan rumah beton permanen dan semi permanen, perubahan bentuk dan konstruksi ini terjadi semenjak kejadian terbakarnya kampung pada tanggal 10 Oktober 2001, yang membakar 403 rumah dan 4 fasilitas umum.
73
lumbung tempat menyimpan padi, yang berbentuk khas (Lihat Gambar) dan dibangun
berjejer berkelompok disepanjang jalan kampung ke areal pertanian. Bangunan Leuit
terbuat dari bahan kayu dan kakinya terdapat piringan untuk menangkal tikus.
Menurut pengalaman dan keyakinan warga di Citorek, perubahan ini akan mendatangkan
’kabendon’, sehingga perlu ada upacara-upacara yang membuat kelalaian ini bisa tidak
mendatangkan bahaya maut bagi warga. Perubahan ini tidak serta merta menghilangkan
keramahan warga dalam melayani tamu dan kerabat. Para tamu dan kerabat dilayani dan
diperhatikan, sebagaimana fungsi rumah untuk tempat berlindung, berusaha, berdiskusi
dan silaturahmi.
3.2.2 Identifikasi Diri
Sumber utama pembentuk identitas masyarakat kasepuhan adalah sejarah, kebudayaan,
dan relasi dengan Negara. Faktor sejarah kasepuhan Citorek tidak jauh berbeda dengan
sejarah lisan yang disampaikan oleh warga Kasepuhan Sinaresmi maupun kasepuhan
lainnya yang umumnya berawal dari kekalahan Pajajaran dari Kesulatanan Islam Banten.
Yang membedakan adalah Citorek mempunyai konsep wilayah adat yang disebut
wewengkon. Warna Islam sangat kental mewarnai kehidupan komunitas. Ada
kecenderungan di beberapa orang kokolot lembur menyatakan pandangan tentang tidak
boleh adanya perpindahan agama ke luar Islam di kalangan warga. Jika terjadi
pernikahan dengan warga kasepuhan maka pihak luar harus masuk Islam. Demikian
pendapat bahwa laki-laki adalah pemimpin atau wali merupakan pandangan yang diserap
dari Islam (FGD Mei 2008).
Komunitas Kasepuhan Citorek sering pula menyebutkan dirinya sebagai warga papatok
pancar pangawinan, komunitas yang memiliki hubungan seketurunan dengan pemimpin
kerajaan di masa lalu. Kata pancer atau lelugu dalam bahasa Sunda berarti asal usul,
sedangkan pangawinan sering dihubungkan dengan cerita bareusan pangawinan. Ikatan
geneologis sudah kurang digunakan menjadi alasan identitas, kecenderungan identitas
yang muncul berdasarkan ikatan teritorial dan emosional sebagai warga incu putu, yang
menganut kepercayaan dan menjalankan tradisi ”Tatali paranti karuhun” dan berinduk
74
pada pemimpin kasepuhan tertentu. Ada banyak pengikut ataupun warga Kasepuhan
tidak secara langsung berhubungan sedarah dengan leluhur pertama, tetapi mereka dapat
menjadi warga Kasepuhan karena kawin dan atau secara teritorial berdiam dan hidup
dalam wilayah komunitas yang menjalankan tradisi dan perilaku sebagaimana warga
Kasepuhan. Sistem kekerabatanlah (kinship) yang menjadi pengikat antar warga.
Bahasa, arsitektur, tata ruang, dan sistem sosial adalah beberapa faktor yang menurut
masyarakat kasepuhan membedakan mereka dari masyarakat Sunda umumnya di Jawa
Barat. Bahasa yang digunakan serupa dengan Sinaresmi, yaitu dialek Sunda Kula. Tidak
ada perbedaan berarti dalam kriteria identifikasi diri masyarakat Citorek dengan
Sinaresmi dalam melihat diri mereka sebagai warga kasepuhan, yaitu:
- Ikatan sosial dan solidaritas yang dibentuk oleh kesamaan garis keturunan
atau kekerabatan dan wilayah.
- Dialek sehari-hari; komunitas kasepuhan membedakan dialek warga
kasepuhan sebagai dialek sunda kula, sedangkan menurut mereka di tempat
lain di Jawa Barat dialek yang digunakan adalah sunda kuring. Kula dan
Kuring mempunya pengertian sama, yaitu: ’saya’ atau ’aku’.
- Sebutan orang-orang yang menjadi tokoh: Laki laki = Ki; Perempuan = Ni
- Perilaku sehari-hari, misalnya ketika hendak melakukan hajatan tertentu selalu
minta ridho atau restu dari orang tua dan leluhur. Juga adanya derep, yaitu
ikut menikmati hasil panen (mendapat sebagian hasil panen) bila ikut kegiatan
memanen meskipun tidak ikut kegiatan-kegiatan sebelumnya seperti
menyiapkan lahan dan menanam.
- Sistem pertanian masih secara tradisional dan pola bercocok tanam menurut
sistem perbintangan dan kalender lunar (Islam) yang salah satu implikasinya
adalah seren taun selalu bergeser 10 hari tiap tahun berdasarkan pergeseran
bintang kidang dan karti.
- Waktu bertani diatur oleh buku taun sandi bulan.
- Masih kuatnya nilai penghormatan terhadap bumi dan langit sebagai simbol
ibu dan bapak
75
Arsitektur tradisional yang mengikuti model bapang, sontog, tagog anjing, julang
ngapak, jingjing reugis dan julang ngapak sudah jarang digunakan, terutama setelah
kebakaran besar melanda kampung ini beberapa tahun lalu. Setelah itu sejumlah warga
mulai membangun rumah tembok permanen dengan pertimbangan ketahanan rumah.
Namun pembagian ruang berdasarkan sistem Pangdaringan, Hawu dan Sepen masih
dianut masyarakat. Tataruang masyarakat kasepuhan serupa tapi tak sama dengan
tataruang Sinaresmi. Ada kawasan pemukiman, garapan, dan kawasan hutan yang tidak
boleh digarap, karena berfungsi lindung dan konservasi. Yang membedakan adalah
bahwa tataruang di Citorek berada dalam sebuah wewengkon sementara tataruang di
Sinaresmi berada dalam wilayah desa.
Dalam riset lapangan ditemukan beberapa cerita, pendapat dan persepsi yang beragam
tentang asal usul komunitas Kasepuhan di kedua lokasi. Beberapa baris kolot di Citorek
dalam wawancara dan Diskusi Kelompok Terfokus (DKT atau FGD) menceritakan pada
dasarnya asal usul leluhur penduduk pertama di wilayah Citorek berasal dari sebuah
tempat di sekitar daerah Guradog (Kecamatan Maja, Kabupaten Lebak) yang bermigrasi
ke Citorek jauh sebelum adanya pemerintahan kolonial Belanda. Sepanjang ingatan yang
diketahui warga Citorek, pada 1840-an, dalam masa pemerintahan Belanda, terjadi
perpindahan penduduk dari Guradog ke Citorek, yang kampungnya dinamakan sama
dengan kampung asal, yaitu: Guradog, sedangkan nama kawasan disebut Citorek, diambil
dari nama sungai besar di daerah ini.
Perkembangannya, seringkali warga di Citorek melakukan perpindahan ke daerah sekitar
dengan tujuan untuk mencari tempat yang lebih aman dari gangguan pihak luar, seperti:
pemerintah Belanda, tekanan masyarakat luar, gerakan DI/TII Kartosuwiryo dan untuk
usaha pertanian. Komunitas Kasepuhan di Kampung Ciusul, Desa Citorek Selatan,
menghubungkan asal usul leluhurnya tidak hanya dengan Guradog, tetapi juga dengan
daerah sekitar, seperti: Cicantolwangi, Cikotok, Pasir Nangka, Cisii dan Cirotan, yang
mana terdapat peninggalan kuburan tua dan bekas-bekas kebon (hutan tanaman). Hal ini
terlihat dalam cara berkomunikasi dan koordinasi dari kolot lembur Kampung Ciusul,
yang tidak langsung kepada Pemimpin Kasepuhan Citorek di Kampung Guradog, tetapi
76
melalui kolot lembur di Kampung Naga, Desa Citorek Tengah. Kolot lembur di Kampung
Naga dan Kampung Cibengkung (Desa Citorek Barat), secara geneologis masih punya
hubungan darah langsung.
Di Kampung Cibedug, Desa Citorek Barat, tempat pusat Kasepuhan Cibedug, terdapat
peninggalan batu megalitikum, yang diklaim sebagai bagian dari identitas dan
berhubungan dengan sejarah leluhur mereka di Komunitas Kasepuhan Cibedug19.
Meskipun terdapat peninggalan batuan megalitik di Kampung Cibedug, tetapi komunitas
Kasepuhan Citorek belum pernah menceritakan hubungan mereka dan leluhur mereka
dengan benda prasejarah tersebut. Mereka menceritakan juga hubungan komunitas
Citorek dengan kuburan tua di Guradog, tempat mangkatnya Kiai Buyut Sainda, yang
dianggap sebagai bagian dari leluhur mereka. Masyarakat selalu melakukan kunjungan
ziarah ke kuburan tua ini. Cerita lainnya yang dianggap kurang meyakinkan dan miskin
informasinya oleh Ki Idong, yakni: adanya cerita bahwa di tempat tertentu di Ciusul yang
dahulu dinamakan Lebak Sabagi adalah tempat para pemimpin Kasepuhan berkampung
dan berbagi wilayah lalu pergi memimpin di daerah masing-masing.
3.2.3 Kelembagaan Adat dan Hubungan dengan Negara
Komunitas Kasepuhan setempat mempunyai ungkapan, sebagai berikut: sa adat, sa
agama dan sa nagara, tapi ngahiji adat na, (se adat, se agama dan se negara, tapi tetap
adat kebiasaannya satu), yang mana menggambarkan adanya tiga unsur pranata sosial
dalam kehidupan masyarakat kasepuhan, yaitu:
a. Baris Kolot, merupakan lembaga adat yang berfungsi mengurus kehidupan
incu putu sehari-hari, utamanya dalam memberikan nasehat, pengetahuan,
arahan dan masukan. Baris kolot di Citorek berjumlah 7 orang dan berdiam di
beberapa kampung, yaitu: Kolot Lembur Naga, Kolot Lembur Cibengkung,
19 Komunitas Kasepuhan Cibedug diperkirakan berasal dari kelompok leluhur yang berbeda dengan Kasepuhan Citorek. Ada beberapa tempat yang disebutkan sebagai tempat-tempat leluhur mereka tinggal, sebelum menetap di Kampung Cibedug sekarang. Kampung tesebut, yakni: Kampung Sajra, Lebak Menteng, Cidikit, Sinagar, Bojong Neros, dan Sanghiyang. Mereka memiliki klaim sendiri atas wilayah adatnya (wewengkon) yang berbatasan dengan wewengkon Citorek dan wilayah desa sekitar, termasuk dengan Desa Kanekes (Baduy). Selanjutnya Lihat Andri Santosa, dkk, dalam ”Nyanghulu Ka Hukum, Nyanghunjar Ka Nagara: Sebuah Upaya Masyarakat Cibedug Memperoleh Pengakuan”, Yogyakarta; 2007.
77
Kolot Lembur Ciusul, Kolot Lembur Babakan Pasir Nangka, Kolot Lembur
Cirompang, Kolot Lembur Sampai dan Kolot Lembur Cibarani.
Kolot lembur merupakan pimpinan kelompok komunitas dalam satuan sosial
kampung, pemukiman dan tingkatan desa, yang berperan membantu urusan
Kasepuhan di tingkatan unit sosial tertentu. Hal ini menggambarkan adanya
kepemimpinan dan otoritas yang bertingkat dalam struktur organisasi
Kasepuhan. Para baris kolot sangat menonjol perannya dalam ritual adat
Seren taon, acara pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam lainnya.
Jabatan Kolot Lembur tidak dipilih, tetapi merupakan jabatan yang diperoleh
dengan cara diwariskan dari pejabat sebelumnya dalam keluarga tertentu dan
tidak semua orang dapat menjadi kolot lembur.
b. Lembaga agama (Islam) yang dikepalai seorang penghulu agama disebut
Amil. Petugas Amil berasal dari jajaran baris kolot dan biasanya mereka
mempunyai latar belakang pendidikan dan pengalaman dalam urusan
keagamaan (Islam) yang lebih baik dibandingkan dengan masyarakat umum.
Peran dan fungsi lembaga keagamaan dalam upacara keagamaan, perkawinan,
kematian, khitanan, pengajian dan sebagainya. Proses dan tata cara
pelaksanaan urusan keagamaan dan bahkan beberapa prosesi adat sudah
menggunakan tata cara dan hukum Islam.
c. Lembaga ‘pamarentah’ yang dikepalai seorang disebut Jaro Adat, peran dan
fungsinya membantu kasepuhan dalam mengurusi urusan incu putu dan
dengan berurusan dengan pemerintah negara dan pihak-pihak luar lainnya,
serta aktif secara langsung mengurusi keperluan warganya. Hubungan Jaro
adat dan Jaro pamarentah negara bersifat koordinatif.
Ketiga unsur pranata sosial dalam organisasi kasepuhan selalu aktif melakukan
komunikasi dan koordinasi dalam menjalankan tugas dan masih menggunakan
musyawarah mufakat untuk membahas hal-hal dalam kampung dan urusan keluar secara
bersama dengan pemerintah desa dan tokoh masyarakat. Organisasi kasepuhan sangat
78
besar perannya dalam mengurusi urusan incuputu, mulai dari kelahiran, pembinaan dan
mengontrol tata krama, perkawinan dan ritual adat istiadat dalam pertanian sawah
‘tangtu’ dan huma, serta kematian. Perkawinan umumnya dilakukan menurut aturan
dalam tiga otoritas utama tersebut, yakni perkawinan sah menurut agama, adat, dan
negara (catatan sipil). Namun yang paling utama adalah perkawinan menurut agama
(Islam) dalam menentukan sah tidaknya sepasang insan menjadi suami-istri.
Ketiga pranata sosial tersebut berada dalam organisasi sosial kasepuhan yang dipimpin
oleh Oyot (sebutan pimpinan kasepuhan). Sistem kepemimpinan kasepuhan berdasarkan
sistem garis keturunan laki-laki, termasuk untuk jabatan kokolot lembur di tingkat
kampung di Citorek. Penentuan siapa yang akan menjabat dalam keluarga, sangat
tergantung kepada “wangsit”, melalui peristiwa dan kejadian tertentu, termasuk melalui
mimpi, yang memberikan tanda dan simbol gaib. Sedangkan jabatan baris kolot,
penghulu agama, jaro adat, jabatannya bisa diwariskan dan juga bukan keharusan.
Pengaruh dari pimpinan adat dalam pemilihan seorang kepala desa tidak semenonjol
yang dapat dilihat di Sinaresmi. Pertimbangan kemampuan finansial, wawasan,
kedudukan sosial (misalnya status sebagai haji), dan relasi sosial politik nampaknya
sudah lebih dominan menjadi pertimbangan masyarakat dalam menentukan pilihan pada
seorang calon kepala desa di samping integritas dan loyalitas sang calon. Keterangan
lebih lanjut tentang hal ini dapat dilihat pada bagian berikut di bawah ini.
Pengelolaan Pemerintahan di Tingkat Desa: Manifestasi relasi adat – Negara
Dalam cerita-cerita tua yang terkait dengan urusan relasi sosial dalam masyarakat dan
dengan sumber-sumber kehidupan warga, peran dan posisi kasepuhan maupun otoritas
Oyot masih sebagai organisasi yang paling utama dan determinan dalam mengurusi relasi
sosial dalam pengurusan pengembangan hidup dan berhubungan dengan pihak luar.
Tidak begitu jelas kapan waktu dan terjadinya perubahan fungsi dan peran organisasi
kasepuhan di masyarakat. Diperkirakan sejak masyarakat hidup dalam tekanan dan
79
kendali rejim pemerintahan kolonial Belanda dan hingga adanya pemerintahan desa, telah
terjadi perubahan berarti dan kooptasi dalam pengurusan relasi-relasi dalam masyarakat
dan dalam pengurusan sumberdaya alam oleh negara.
Menurut Jaro Samdani (Wawancara dengan mantan Jaro Pamarentah Citorek Kidul, Mei
2008), otoritas pemerintah daerah (Pemda) dan pemerintah pusat sangat kuat berpengaruh
dan menentukan hubungan-hubungan sosial (ekonomi, politik dan hukum), yang
melemahkan kewenangan kelembagaan kasepuhan dan mengendalikan peran
pemerintahan desa.
Organisasi kasepuhan dibatasi otoritasnya hanya mengurusi kehidupan sosial budaya,
pembinaan akhlak dan upacara pertanian., Urusan yang menyangkut kewenangan dalam
aspek sosial, politik, hukum dan ekonomi dilakukan oleh pemerintah desa yang dipimpin
oleh Jaro Nagara (Kepala Desa).
Pemerintah desa tidak lebih dari perpanjangan birokrasi negara yang menyelenggarakan
kepentingan pemerintahan dan tugas pembantuan, mengurusi administrasi, melaksanakan
program pembangunan, mewakili kepentingan masyarakat dalam berhubungan dengan
pihak luar diurus oleh pemerintah desa. Pemerintah desa mempunyai struktur organisasi
sendiri dan didalamnya termasuk kelembagaan Kasepuhan menjadi salah satu mitra dan
bersama BPD (Badan Permusyawaratan Desa) menjadi perangkat Pemerintah Desa.
Masyarakat memandang tidak ada masalah dengan adanya pemerintah desa yang
strukturnya masih dikendalikan “persetujuan” pemerintah daerah. Mereka menafsirkan
ungkapan “mupakat kudu sarerea, ngahulu ka hukum, nyanghujar ka nagara”, yang
berarti posisi masyarakat harus patuh pada hukum dan pengaturan negara. Jaro nagara
dipilih melalui musyawarah oleh warga dan tidak ada kriteria khusus, yang berhubungan
dengan status dan latar belakang sebagai keturunan pancar pangawinan. Semua
persyaratan diatur umum saja dan berbakti pada kepentingan umum.20 Biasanya calon-20 Terdapat ungkapan dan pengetahuan warga Kasepuhan untuk menilai integritas dan loyalitas seorang
pemimpin, yakni: katara, katarik, katariwan, artinya seseorang yang ketahuan sebagai pejabat, harus bertanggung jawab, mempunyai kemauan untuk melayani dan mengabdi dan mengutamakan kepentingan umum, termasuk kalau mendapatkan rejeki, harus rela berkorban dan tidak mengutamakan diri sendiri,
80
calon ini sudah diketahui integritas, kapasitas dan pengetahuannya dalam kepemimpinan,
sehingga tidak ada kompetisi yang pertentangannya luar biasa, sebagaimana aksi-aksi
pemilihan lurah dan kepala desa di daerah Jawa. Fungsi utama seorang jaro nagara
adalah menjadi jembatan yang mempertemukan kepentingan negara dengan kepentingan
masyarakat kasepuhan. Program-program pemerintah masuk ke kasepuhan melalui jaro
nagara.
Program-program pembangunan dan pelayanan umum yang pernah dan hingga kini
dilaksanakan, antara lain: (1) KUT (Kredit Usaha Tani), (2) BLT (Bantuan Langsung
Tunai), PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat), (3) Program Fresh money
Pemerintah Provinsi Banten, (4) P3DT (Program Pembangunan Pendukung Desa
Tertinggal), (5) P2MP (Pusat Pengembangan Mutu Pendidikan), (6) Program Kaji Terap
dengan bantuan bibit tanaman hortikultural dari Dinas pertanian/ perkebunan, seperti
cabe dan kentang, (7) GNRHL (Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lingkungan,
bantuan rehabilitasi hutan dengan tanaman mahoni, albasia, lame, petani dan duren. (8)
Program Bantuan Perumahan dari KAT (Komunitas Adat Terpencil) Depsos untuk
pengadaan rumah penduduk sebanyak 250 rumah, yang kemudian direalisasikan tahun
2007 sebanyak 80 rumah.
Program ini kebanyakan untuk pembangunan infrastruktur dalam kampung,
pemberdayaan ekonomi, pelayanan kesehatan dan pendidikan. Perencanaan dan
pelaksanaan proyek ditentukan oleh pemerintah daerah dan instansi teknis terkait,
sedangkan pemerintah desa dan masyarakat hanya menerima dan menjalankan program
yang sudah disusun sedemikian rupa. Pada awal pelaksanaan proyek sering dilakukan
musyawarah untuk menggali kebutuhan dan memetakan situasi yang berhubungan
dengan proyek, tetapi hal ini tidak selalu dapat berlangsung dengan ideal dikarenakan
anggaran dan rancangan proyek dilakukan sendiri oleh instansi berwenang dan dengan
sedikit informasi dari masyarakat. Kesenjangan dalam proses inilah yang sering menjadi
sorotan masyarakat Citorek.
tetapi mengutamakan kapentingan banyak orang, sekalipun pemimpin tersebut tidak mendapatkan bagian rejeki tersebut.
81
Contoh pelajaran baik yang menunjukkan kegagalan proyek dapat dilihat pada kasus
Program Kaji Terap yang dilaksanakan beberapa waktu lalu (2008), warga kasepuhan
Citorek menolak kebijakan bantuan pemerintah Dinas Pertanian Kabupaten Lebak untuk
memberikan bibit padi unggul yang dapat berproduksi 2 kali dalam setahun. Alasan
penolakan karena program ini akan mengancam dan merusak sistem pertanian sawah
masyarakat yang sudah tertata dan berdimensi sosial religius. Carik Ciusul (Citorek)
mengatakan alasan-alasannya, yakni: (a) program ini akan mengganggu sistem pertanian
yang memberikan kesempatan kepada tanah untuk beristirahat setelah digarap selama 6
bulan; (b) sistem sawah 2 kali panen dan padi unggul, sudah ada pengalaman sering
mendapatkan gangguan hama (jenis walangsangit dan burung); (c) petani akan tergantung
pada pupuk yang harganya mahal dan tidak dijangkau penduduk; (d) padi lokal masih
bisa bertahan di konsumsi hingga 20 tahun, sedangkan padi unggul hanya tahunan; (e)
usaha-usaha masyarakat dalam memperoleh pendapatan uang tidak berkembang, seperti:
beternak, berkebun, budidaya ikan, buruh, tukang dan menambang, karena waktu
sepenuhnya digunakan untuk mengolah sawah.
Mencuatnya protes dan penolakan warga di Citorek sudah semakin terbuka berlangsung
seiring dengan perubahan politik. Semenjak tahun 2003, pemimpin-pemimpin di Citorek
bergabung bersama beberapa wakil komunitas dan pemerintah di 31 desa yang berada
dalam kawasan hutan Gunung Halimun membentuk organisasi Forum Komunikasi
Masyarakat Halimun - Jawa Barat (FKMHJB) yang menuntut pengakuan hak kelola
masyarakat kepada Departemen Kehutan dan Pemda setempat. Tahun 2005 hingga 2007,
komunitas di Citorek dan Cibedug yang mendapatkan dukungan OMS, melakukan
advokasi untuk pengakuan keberadaan dan wilayah adat mereka di kawasan hutan
Gunung Halimun, sudah ada naskah draft SK Bupati, sudah melakukan lobby dan
negosiasi, tetapi pemda Lebak belum juga bergeming untuk memenuhi aspirasi
masyarakat.
Organisasi sosial politik (Partai Politik) yang memiliki pengurus di Citorek, yaitu: PDIP,
GOLKAR, PPP, PKS, PAN, PKB dan sebagainya. Kebanyakan parpol yang ada masih
partai lama dan partai politik aliran yang berbasis agama Islam. Kehadiran partai politik
82
efektif dan dirasakan perannya hanya menjelang Pemilu dan Pilkada saja. Semua
pengurus partai politik datang berkampanye dan mempropagandakan program-program
partai dan pimpinan yang dijagokan. Biasanya mereka datang membagikan bantuan
pangan dan baju kaos, propaganda melawan kemiskinan dan ketidakadilan, janji-janji
memperjuangkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Pada era pemerintahan Orde Baru, partai politik (GOLKAR) yang menguasai
pemerintahan ketika itu, tidak hanya menggunakan taktik-taktik dengan bantuan dan
janji, tetapi juga melakukan tekanan secara tidak langsung melalui kontrol dan himbauan
aparat pemerintah daerah dan aparat keamanan negara.
Masa kini, meskipun terdapat pengurus dan pemilih yang mempunyai pilihan sendiri
untuk partai dan calon pemimpin daerah dan nasional dalam Pemilu DPR, DPD, DPRD,
Presiden dan Pilkada Gubernur, tetapi proses hingga hasil Pemilu dan Pilkada ini tidak
menimbulkan pertentangan berarti. Prosedur Pemilu dan Pilkada berlangsung menurut
ketentuan umum dan diurus oleh pemerintah desa dan kepanitiaan setempat.
Warga menganggap pesta demokrasi yang berlangsung dalam waktu tertentu menjadi
tempat untuk memperoleh ‘rejeki nomplok’ dengan adanya bantuan yang ditawarkan
Parpol dan para calon peserta Pilkada. Partisipasi masyarakat sangat maksimal dalam
hitungan angka, akan tetapi hal ini tidak berarti masyarakat sadar dengan pilihan politik
dan pemimpinnya serta akibat-akibatnya. Beberapa warga Citorek mengatakan ikut
Pemilu dan Pilkada karena kewajiban sebagai warga negara dan hanya ikut ramai-ramai
dalam pemilihan. Terkadang peserta menitipkan kartunya kepada orang yang lebih muda
dan berpendidikan yang dipercaya untuk mencoblos partai atau pemimpin yang
dikehendaki umum dan lebih baik. Masyarakat cenderung apolitis dan masa bodoh,
mereka mengaku tidak tahu dan kurang mau mengetahui proses politik, program dan
peran partai politik dan para pemimpin.
Pemerintah maupun partai politik yang berkepentingan sangat kurang pula menjelaskan
dan memberikan pengetahuan politik kepada masyarakat tentang keberadaan dan peran
83
negara, partai politik, pemilu, demokrasi dan posisi masyarakat. Seperti halnya,
pemerintah tidak pernah secara serius menjelaskan hak-hak masyarakat dan pemenuhan
hak dasar.
Ada satu warga incuputu Kasepuhan Citorek yang saat ini menjadi anggota legislatif dari
PDIP, yaitu: H. Ade Sumardi, Namun dalam pengalaman advokasi kebijakan
pemerintah daerah untuk pengakuan keberadaan dan hak-hak masyarakat Citorek, peran
H. Ade Sumardi, dirasakan kurang maksimal dan berbenturan dengan sistem dan
kehendak politik dari legislatif dan Pemda, sehingga masyarakat mengesankan posisi
yang lemah dan kurang dalam segi jumlah akan sangat mempengaruhi perjuangan politik
mereka di pemerintahan.
Hal ini yang menginspirasikan beberapa tokoh kasepuhan dan aparat pemerintah desa
untuk melakukan perhitungan dan ‘deal’ politik jika sudah ada komitmen dan kontrak
politik dari Parpol, anggota legislatif, kepala negara dan daerah, di masa pemilu
mendatang. Kontrak politiknya adalah memuat sejumlah kebutuhan masyarakat yang
harus diperjuangkan oleh calon partai dan tokoh yang dijagokan serta memuat
persyaratan-persyaratan tertentu.
Ketegangan dengan negara paling kental terasa dalam hubungan dengan kehadiran
Perhutani dan TNGHS. Ungkapan masyarakat terhadap kedua institusi yang mengurus
hutan dan lingkungan ini serupa dengan ungkapan yang muncul di Sinaresmi. Dalam
pandangan masyarakat, pengalaman mereka menghadapi kebijakan dan struktur
manajemen TNGHS dan Perhutani diungkapkan dalam pembedaan yang jelas, yaitu:
- Perhutani membolehkan masyarakat menggarap dalam kawasan hutan tetapi
harus membayar pungutan (retribusi sebesar 25% hasil garapan)
- TNGHS membuat hutan dijaga tetapi masyarakat tidak boleh menggarap di
mana mereka pandang lahan potensial. Masyarakat hanya boleh menggarap
dalam kawasan yang menurut zonasi peruntukannya memang untuk digarap
oleh masyarakat adat. Kebijakan ini sejalan dengan kebijakan zonasi umum dari
sebuah taman nasional.
84
- Di bawah TNGHS masyarakat mengkhawatirkan bahwa suatu saat nanti
masyarakat sama sekali tidak bisa memperoleh kayu dari kawasan di sekitar
kampung mereka, meskipun itu hanya untuk bangunan rumah dan bukan untuk
diperdagangkan. Tidak ada rasa aman dalam menggarap.
Pada awal 2007 masyarakat diminta membuat ‘kesepakatan’ dengan manajemen TNGHS
bahwa masyarakat tidak akan mengambil kayu dari kawasan taman nasional.
Kesepakatan ini terpaksa dibuat karena 6 orang warga terancam akan ditangkap karena
mengambil kayu dalam taman nasional. Kesepakatan dibuat sebagai imbalan atas
kebebasan keenam warga tersebut.
Posisi Negara dan Pengelolaan Sumberdaya Alam
Komunitas Kasepuhan Citorek memiliki wewengkon adat yang di klaim berdasarkan
kebiasaan dan pengakuan sosial dari komunitas sekitarnya yang sudah berlangsung sejak
lama. Kebiasaan yang dimaksud terkait dengan batas-batas kewenangan dan wilayah
kelola masyarakat Citorek dengan komunitas sekitar, yang batasnya mengikuti tanda
alam, yaitu: puncak bukit, sumber air dan aliran sungai yang mengalir ke Citorek adalah
wilayah adat Citorek. Pada awal abad XX, terdapat dokumen pemerintah Kolonial
Belanda yang mengukuhkan keberadaan komunitas Citorek dan kawasan hutan
sekitarnya.
Sistem penguasaan, pemilikan dan pemanfaatan tanah masih berdasarkan kebiasaan dan
konsensus sosial dari masyarakat setempat. Masyarakat dapat mempunyai hak untuk
mengolah lahan dan membuka hutan dalam lingkungannya, guna keperluan kehidupan
warga setempat. Membuka dan menggarap lahan hutan untuk pertanian dan perladangan
ataupun memungut hasil hutan, harus diketahui oleh pemimpin masyarakat dan warga
setempat. Bekas-bekas pengolahan yang menjadi belukar dan atau ditumbuhi dengan
tanaman pohon buah-buahan dan tanaman tahunan lainnya, menjadi bukti bahwa lahan
tersebut sudah pernah digarap dan kalau terus menerus diolah akan memperkuat hak
milik atas tanah si pembuka dan penggarap lahan.
85
Masa kini komunitas kasepuhan Citorek mempunyai pengetahuan dan kebiasaan dalam
mengelola dan memanfaatkan hutan berdasarkan fungsi dan kegunaan ruang untuk
kehidupan sosial budaya, ekonomi dan lingkungan, yang masih berpedoman pada ajaran
tatali paranti karuhun dan juga sudah mengalami perkembangan mode produksi ekonomi
yang komersial.
Pengetahuan masyarakat, misalnya hutan atau ‘leuweung’ di kelompokkan ke dalam,
yaitu: (a) leuweung kolot yang dikenal juga sebagai leuweung tutupan atau kawasan
hutan yang tidak dapat dikelola dan dianggap keramat; (b) leuweung titipan atau kawasan
hutan yang mempunyai fungsi lindung bagi daerah aliran sungai; (c) leuweung bukaan
atau sempalan, merupakan kawasan hutan tanaman yang sudah digarap oleh masyarakat
untuk huma, sawah dan kebon untuk tanaman komersial. Terdapat pula semacam aturan
tidak tertulis yang memuat himbauan dan larangan dalam mengelola dan memanfaatkan
hasil hutan di kawasan tersebut. Komunitas Kasepuhan Cibedug di Desa Citorek Kidul,
telah menegaskan aturan pengelolaan wilayah mereka dengan membuat kesepakatan
yang memuat aturan dan sangsi berdasarkan kebiasaan adat. (Ki Nurja, dkk dalam
Hendarti, 2007;110-114).
Namun, kebanyakan masyarakat yang mempunyai lahan garapan di kawasan hutan
produksi dan hutan lindung sudah menggunakan dan tergantung pada mekanisme dan
hukum negara. Pemanfaatan kayu dan bukan kayu, ataupun pengelolaan lahan garapan
sudah ditentukan oleh Perum Perhutani dan zonasi taman nasional. Jenis tanaman yang
ditanam bukan semata-mata karena mempunyai fungsi ekologi, melainkan dipengaruhi
oleh manfaat ekonomi dan kebutuhan pasar.
Kawasan hutan ini dahulu merupakan hak kolektif masyarakat yang juga berfungsi
sebagai ruang politik dan identitas dari komunitas atas sebuah wilayah dan sumber lahan
garapan (wawancara Mei 2008). Dalam peta-peta yang dibuat masyarakat dapat
ditunjukkan posisi dan letak lokasi hutan tersebut. Gambaran dan informasi peta ini
86
sudah mendapatkan pengakuan pemerintah desa, kasepuhan dan warga sekitar21, tetapi
pemerintah daerah dan instansi lainnya belum mengakui peta tersebut.
Dalam FGD di Citorek terungkap bahwa aspirasi yang menonjol adalah keinginan
masyarakat untuk adanya pengakuan dan perlindungan hukum terhadap keberadaan dan
hak atas pengelolaan sumberdaya alam. Masyarakat menginginkan adanya pembagian
hak dan kewewenangan yang jelas antara negara dan kasepuhan dalam pengelolaan
sumberdaya alam di wilayah wewengkon adat Citorek yang sudah di petakan pada tahun
2005 lalu. Namun kendala utama adalah mendapatkan pengakuan dari Pemerintah
Daerah. Kesulitan dalam mendapatkan sebuah Perda khusus mengenai keberadaan dan
pengelolaan sumberdaya alam tersebut membuat masyarakat Citorek ‘menurunkan’
tuntutannya dengan meminta pengesahan melalui Surat Keputusan Bupati, namun sampai
saat ini pun hal itu belum berhasil diperoleh.
Masyarakat memandang bahwa wewengkon harus dijaga keutuhannya, dan oleh karena
itu dalam relasi dengan negara mereka menghendaki agar wewengkon mereka juga
berada dalam satu ikatan administratif yang jelas diakui oleh pemerintah.
21
Peta-peta partisipastif yang pembuatannya melibatkan masyarakat dan difasilitasi RMI merupakan sebuah gerakan social untuk mengklaim hak-hak traditional berdasarkan cerita rakyat, tanda-tanda alam, bukti tugu dan tanaman. Gerakan ini berkembang tahun 2001 hingga sekarang, seiring dengan perubahan rejim dan terbukanya system politik. Proses pemetaan partisipatif di Sirnaresmi berlangsung tahun 2001 dan di Citorek berlangsung tahun 2003 – 2005. Komunitas di Citorek dan Sirnaresmi mengidentifikasi batas wilayahnya dengan nama gunung dan tempat, yang mempunyai cerita dan arti sendiri. Luas Wewengkon adat Citorek sebesar 7.416 ha. Teridentifikasi di wilayah tersebut terdapat lahan milik warga yang sudah memiliki SPPT sebesar 2.760 hektar. Cakupan lahan yang ber SPPT, yaitu: (1) Kampung/ lembur seluas 34,084 ha, kawasan ini sudah ber SPPT; (2) areal kebon, huma dan reuma, seluas 2.081, 500 hektar; (3) lahan sawah seluas 1.712, 041 ha, untuk kebon, huma, reuma dan sawah yang diukur termasuk yang sudah dan belum ber SPPT; (4) hutan (leuweng) seluas 3.588, 375 ha, kawasan hutan ini diluar SPPT. Diketahui pula, luas areal sawah, huma, kebon dan reuma, yang sudah ber SPPT sebesar 2.725, 916 hektar dan yang belum ber SPPT seluas 1.067, 625 hektar. Sedangkan Peta wilayah Desa Sirnaresmi yang dipetakan tahun 2001, diketahui luas keseluruhan wilayahnya sekitar 4.906 hektar, yang peruntukkan dan pemanfaatan tanah, terdiri dari: areal pemukiman seluas 74,18 hektar; Sawah 559, 98 ha; kebun/talun/huma seluas 303,40 ha; hutan alam lainnya seluas 2.948, 48 ha; hutan ulayat seluas 1.013 ha; makam seluas 7 ha. Peta ini disahkan dan ditandatangani oleh Pemimpin Kasepuhan dan Perangkat Kasepuhan, kolot lembur, Kepala Desa (Jaro), dan tokoh masyarakat.
87
Konsep klaim wewengkon ini berlaku juga di Komunitas Kasepuhan Cibedug, yang
secara administratif wilayahnya berada di Desa Citorek Barat. Sedangkan di Desa
Sirnaresmi tidak ditemukan konsep berdasarkan pengakuan sosial dan atau dokumen
pemerintahan yang mengukuhkan wilayah kelola masyarakat. Masyarakat hanya
mengklaim bahwa lahan tanah milik dan kawasan hutan yang berada di wilayah
administrasi pemerintah Desa Citorek adalah milik leluhur yang diwariskan kepada
masyarakat. Klaim pemilikan ini diperkuat dengan adanya bukti situs-situs sejarah dan
kuburan peninggalan leluhur warga Kasepuhan di wilayah ini, penguasaan pengetahuan
dan informasi tempat.
Dalam konsep tata ruang, masyarakat juga memandang bahwa konsep mereka cukup
selaras dengan konsep yang dijalankan oleh taman nasional. Yang menjadi pertanyaan
bagi mereka adalah jika mereka telah sekian lama memanfaatkan lahan seturut konsep
tataruang mereka tanpa menimbulakn degradasi yang fatal, mengapa akses mereka ke
sumberdaya hutan dan kawasan sangat dibatasi oleh kehadiran taman nasional?
Hak atas tanah yang diakui di kalangan warga kasepuhan bersumber dari dua sistem
hukum, yaitu: hukum adat dan hukum negara. Hak berdasarkan hukum adat diperoleh
seseorang berasal dari hak waris turun temurun, pembuka pertama tanah dan biasanya
memiliki surat bukti Surat Girik, Kikitir atau surat dengan Cap Singa dari pemerintah.
Sistem pemilikan tanah dengan bukti-bukti tersurat dari negara sangat melemahkan posisi
pemilik tanah yang tidak punya akses pengetahuan dan uang untuk mengurusi legalitas
hak adat atas tanah berdasarkan sistem hukum tanah negara. Hanya mereka yang dapat
membayar pajak mampu, yang mempunyai hak atas tanah adat dan memiliki surat Girik
atau Kikitir. Di Kampung Ciusul (Citorek), dari ratusan keluarga hanya ada 5 orang yang
punya surat girik dan kebanyakan surat Girik milik warga di Citorek Timur sudah hangus
terbakar dalam kebakaran kampung beberapa tahun lampau.
Di samping persoalan tanah dan hutan, masyarakat juga memandang pentingnya sosok
Negara dalam pengadaan sarana dan prasarana pendidikan dan kesehatan. Pengadaan
buku-buku penunjang belajar murid adalah persoalan tanggung jawab Negara yang
88
menjadi sorotan masyarakat, sementara pelayanan kesehatan sampai sekarang ini dinilai
cukup memenuhi kebutuhan masyarakat.
3.2.4 Posisi dan Peran Kaum Perempuan dalam Komunitas Kasepuhan
Menurut pendapat umum warga kasepuhan (FGD Mei 2008) keberadaan perempuan,
anak-anak dan orang tua berusia lanjut, dalam urusan keluarga dan perihal hak-hak
moral, sangat dihormati dan didahulukan. Terdapat ungkapan masyarakat, bahwa:
”perempuan itu panjang rambut tapi pendek langkah”, yang menggambarkan perempuan
mempunyai sifat-sifat lemah lembut dan kekuatan fisik yang tidak sebanding pria,
sehingga mereka harus dibantu dan dilindungi.
Dalam komunitas Kasepuhan tidak ada pemisahan atau prioritas pemilikan hak waris atas
tanah dan kekayaan lainnya, semuanya sama laki-laki maupun perempuan. Sedangkan,
untuk pendidikan dan managemen ekonomi keluarga, lebih diutamakan peran laki-laki
dibandingkan perempuan, namun ada pendapat yang mengatakan ada kecenderungan
kuat berkurangnya pembedaan ini. Demikian pula, peran perempuan dan laki-laki sama
dan tidak ada perbedaan berarti dalam pekerjaan di bidang pertanian, sawah, ladang,
kebon dan usaha budi daya perikanan darat. Kecuali pekerjaan dalam rumah, seperti: jahit
menjahit, merajut, mengurusi keperluan dapur dan belanja keluarga, kebanyakan diurus
oleh perempuan. Dengan realitas itu sesungguhnya beban kerja kaum perempuan,
sebagaimana dapat dilihat di Sinaresmi, lebih tinggi daripada kaum pria.
Dalam pengambilan keputusan di tingkat komunitas, kaum perempuan praktis tidak
berperan sama sekali. Semua perangkat kelembagaan kasepuhan adalah lelaki dan lelaki
adalah pemegang otoritas utama pula dalam desa-desa yang ada sampai saat ini. Dalam
FGD ditanyakan keberadaan dan posisi perempuan dalam lembaga BPD (Badan
Permusyawaratan Desa) yang tidak ada dikarenakan tidak memenuhi persyaratan batasan
umur (25 tahun) dan pendidikan (minimal SMP). Masyarakat Citorek mempunyai
kebiasaan memprioritaskan pendidikan hingga tingkat lanjutan atas kepada laki-laki.
Harapannya, pihak laki-laki dapat memberikan perlindungan dan membantu terhadap
perempuan.
89
Disamping itu mengurusi organisasi sosial dan pemerintahan harus mempunyai
kemampuan dan kepemimpinan yang loyal, mau mengabdi dan mengutamakan
kepentingan umum, sebagaimana ungkapan: katara, katarik, katariwan. Wujud
kepemimpinan ini dalam tradisi setempat diperankan oleh kaum pria.
Salah satu kenyataan yang menarik di tengah tekanan ruang dan ekonomi adalah bahwa
tidak ada TKW dari Citorek sampai saat ini.
3.3 Konflik Struktural
Bagian konflik ini sengaja dipisahkan tersendiri dengan menyatukan konflik struktural
yang dihadapi kedua komunitas kasepuhan yang menjadi kajian dari penelitian ini.
Konflik struktural yang dimaksud adalah konflik antara masyarakat adat di kedua
kasepuhan dengan negara yang direpresentasikan oleh TNGHS (dan sebelumnya oleh
Perum Perhutani). Konflik ini telah menimbulkan perubahan dalam dinamika sosial
politik di dalam kasepuhan sejalan dengan gencarnya isu masyarakat adat memasuki
kehidupan komunitas kasepuhan. Sumber konflik adalah perbedaan klaim antara kedua
pihak mengenai status tanah di kedua kasepuhan. Di Sinaresmi muncul keluhan bahwa
lahan garapan semakin terbatas dan akses ke sumberdaya hutan juga dibatasi, sementara
di Citorek bersifat lebih rumit karena masyarakat di sini memiliki konsep tanah adat
kasepuhan yang disebut wewengkon.
Tanah dan kekayaan alam merupakan ruang dan sumber kehidupan bagi masyarakat.
Dalam pandangan komunitas Kasepuhan, tanah tidak hanya sebagai alat produksi untuk
kepentingan ekonomi belaka, tetapi juga mempunyai manfaat dan nilai sosial dan budaya,
karenanya perlu ditata dan diurus dengan benar dan adil sehingga memberikan
kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyat.
Tanah negara dalam pemahaman masyarakat adalah tanah-tanah yang dikuasai oleh
pemerintah, meliputi: tanah garapan yang berada dalam kawasan hutan, tanah desa dan
kawasan hutan. Departemen Kehutanan dan Pemerintah Daerah setempat yang efektif
mengelola dan mengontrol pemilikan dan pemanfaatan tanah di kawasan ini. Sejak tahun
90
1945, Djawatan Kehoetanan menguasai kawasan hutan di wilayah Jawa Barat – Banten.
Sejak 1978 hingga sekarang, Perum Perhutani III Jawa Barat dan Banten diberikan hak
untuk mengelola hutan produksi di wilayah Jawa Barat dan Banten.22 Pada areal yang
sama di kedua lokasi studi, terdapat tanah pertanian, huma, kebon, hutan dan areal
tambang, yang dikuasai dan di klaim sebagai hak adat masyarakat setempat. Masyarakat
sangat tergantung pada areal tersebut untuk perkembangan sosial dan ekonomi. Dengan
demikian konflik dengan pihak Perhutani menjadi tak terhindarkan akibat tumpang tindih
klaim masyarakat dan kawasan di bawah otoritas Perhutani.
Setelah adanya sistem pertanahan dan hukum agraria, maka dikenal konsep legalitas
pemilikan yang berdasarkan alat bukti dan dilegalisir oleh pemerintah. Tanah-tanah milik
berdasarkan hak adat diminta didaftarkan oleh pemerintah, tetapi banyak warga tidak
mau ikut dan tidak ingin berurusan dengan birokrasi dan pendaftaran yang berbelit-belit,
mereka khawatir dengan pungutan biaya dan pajak. Hal ini berujung kemalangan karena
kemudian pemerintah tidak mengakui tanah milik berdasarkan hukum adat yang tidak
didaftar. Tanah-tanah yang belum didaftar dikategorikan sebagai tanah tak bertuan.
Pemerintah menyatakan tanah tak bertuan sebagai tanah negara. Petani dapat mengelola
lahan tersebut tetapi hanya punya hak garap (masyarakat menyebutnya tanah GG) yang
dibatasi pengelolaannya, tidak boleh dijual dan tidak diwariskan. Setiap pemilik Tanah
GG harus mempunyai surat bukti menggarap, yakni Surat Ijin Menggarap (SIM), yang
dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten dan sekarang disebut tanah ber-SPPT (Surat
Pemberitahuan Pajak Terhutang). Ada banyak lahan garapan yang sudah dikenakan SPPT
(istilah yang digunakan warga Citorek adalah ‘diputihkan’).23 Meskipun lahan sudah ber-
22 Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten mengelola 659.039, 46 ha hutan, yang terdiri atas hutan lindung 74 ha dan hutan produksi 429.264,71 ha, yang tersebar di 14 Kesatuan Pengusahaan Hutan (KPH). Perum Perhutani menghasilkan kayu dan bukan kayu serta jasa lingkungan yang di komersialkan. (Sumber: http://www.unit3.perumperhutani.com/home/index.php?option=com_content&task=view)
23 Pada tahun 2000 an, tanah garapan di areal hutan produksi statusnya ‘diputihkan’ yang memberikan kepastian hak garap kepada warga dan dengan diterbitkannya SPPT. Di Desa Citorek Selatan, penerimaan pajak dari pengelolaan lahan sebesar Rp. 18.000 di tahun 1980 dan setelah adanya pemutihan SPPT, luas lahan ber SPPT semakin banyak dan penerimaan pajak meningkat menjadi Rp. 8.720.135 pada tahun 2008. Berdasarkan hasil pemetaan diketahui lahan ber SPPT di wewengkon adat Citorek seluas 2.760 ha, meliputi areal perkampungan, kebon, huma, reuma dan sawah. Sedangkan di Desa Sirnaresmi sudah ada 320 ha lahan ber SPPT yang dimiliki 665 orang dan sekitar 669 KK tidak mempunyai lahan garapan.
91
SPPT warga tetap tidak nyaman menggarap karena kebanyakan lahan garapan berada
dalam kawasan yang di klaim sebagai TNGHS.24
Sebelumnya, kawasan hutan alam sudah dijadikan hutan lindung dan kawasan konservasi
Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH). Pada tahun 2003, Menteri Kehutanan
mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 175/Kpts II/2003 tentang
Penunjukkan Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun dan Perubahan Fungsi
Kawasan Produksi Tetap, Hutan Produksi Terbatas pada Kelompok Hutan Gunung
Halimun dalam dari 40.000 ha diperluas menjadi 113.357 ha dan namanya menjadi
Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS).25 Di sinilah masalah tersebut
mencuat dan melibatkan komunitas kasepuhan lainnya yang mengalami tekanan yang
sama akibat kehadiran TNGHS. Masalah belum berakhir dengan kehadiran TNGHS.
Areal kawasan hutan produksi dan hutan lindung yang semestinya tidak boleh dikelola
oleh karena fungsi lindungnya, tetapi oleh pemerintah dijadikan sebagai areal
pertambangan. Pada tahun 1992, pemerintah memberikan Kuasa Pertambangan (KP)
kepada PT. ANTAM untuk melakukan penambangan emas di kawasan hutan dan lahan
masyarakat daerah Pongkor (termasuk daerah Citorek) dengan areal KP seluas 4.058
hektar dalam jangka waktu 30 tahun. Kawasan KP ini semula seluas 4058 ha dan
diperluas menjadi 6047 ha. Pada tahun 2005, sekitar 4.188 kawasan hutan di wilayah
Citorek ditetapkan sebagai areal tambang Galena oleh Pemda Lebak yang mengeluarkan
Surat Keputusan Bupati Lebak Nomor. 503.2/76 – Distamben/KP.EK/2005 tentang
Pemberian Kuasa Pertambangan Eksplorasi Kode Wilayah (KW 05DE0105) Kepada PT.
Sasak untuk kegiatan pertambangan Galena. Kuasa Pertambangan ini kontroversial dan
mengundang silang pendapat antara Pemda, Balai Taman Nasional, Departemen
Kehutanan dan DPR RI.26
24 Dalam kawasan TNGHS terdapat penduduk sebanyak 99.782 jiwa yang tersebar di 108 desa, 26 kecamatan, 3 kabupaten dan 2 provinsi. Sebagaian besar warga tersebut mempunyai lahan garapan dalam kawasan TNGHS.
25 Lihat: http://www.dephut.go.id/index.php?q=id/node/313426 Lihat surat Kepala Balai Taman Nasional kepada Bupati Lebak No. S.100/IV-T.13/Lind/2007
(huruf biru, tidak begitu jelas), tertanggal 6 Desember 2007, meminta kepada Bupati untuk tidak menerbitkan SK Perijinan Baru dari PT. Sasak kepada PD. Lebak Niaga; Lihat Surat Dirjen PHKA, Departemen Kehutanan, No. S.100/IV-KKA/2008 (huruf biru, tidak begitu jelas), tertanggal 17 Februari 2008, yang meminta Pemda Lebak mencabut SIPD PD. Lebak Niaga; Lihat Surat Bupati
92
Kebijakan pengaturan dan pengelolaan kawasan hutan untuk produksi dan konservasi
taman nasional, serta kegiatan pertambangan, dilakukan tanpa ada informasi,
musyawarah dan mufakat dengan masyarakat setempat. Tanah dan kebon milik
masyarakat dirampas, tanah dan hasil hutan dikuras. Wilayah adat masyarakat dicaplok
begitu saja. Masyarakat diancam untuk dipindahkan dari dalam taman nasional.
Masyarakat dilarang dan dibatasi aksesnya untuk pemanfaatan lahan dan mengelola hasil
hutan.
Menurut tokoh masyarakat di kedua lokasi, pemerintah tidak adil dan bijaksana dalam
mengatur dan mengurusi sumberdaya alam. Masyarakat disingkirkan dan
dikriminalisasikan, sedangkan perusahaan yang mengelola hutan dan sumberdaya alam
lainnya, dibiarkan dan dilindungi dalam berusaha. Meskipun terdapat kasus perusahaan
tambang yang mencemari lingkungan dan Perum Perhutani yang mengabaikan
kewajibannya untuk merehabilitasi hutan tetapi tidak ada hukuman.27
Perlawanan masyarakat
Situasi politik nasional dan perubahan kepemimpinan sangat berpengaruh dalam
dinamika sosial politik dan ekonomi masyarakat di Kawasan Gunung Halimun.
Pemerintahan Abdurrahaman Wahid (2000) yang membuat pernyataan bahwa 40 persen
dari lahan perkebunan dirampas dari tanah rakyat, oleh sebab itu harus di bagikan
kembali kepada petani. Pernyataan ini dianggap kontroversial dan menimbulkan dampak
politik. Aksi rakyat semakin marak melakukan reklaiming dan okupasi lahan.
Situasi berubah, masyarakat setempat semakin berani menggarap lahan yang pernah
digarap dan masuk membuat ladang dalam areal hutan produksi Perum Perhutani yang
sudah ditebangi kayunya. Awalnya ada ketegangan antara warga dan petugas Perhutani.
Lebak kepada Menhut RI, No. 050/02-Bapp/2008, tertanggal 16 Januari 2008, tentang Usulan Pengurangan Rencana Perluasan TNGHS. Lihat Laporan Singkat Rapat Komisi IV DPR RI dengan Menteri Kehutanan RI, tanggal 8 April 2008, yang meminta Dephut melakukan harmonisasi Kepmen 175 dan Surat Bupati Lebak.
27 Dalam kawasan TNGHS terdapat 2 perusahaan tambang, yaitu: PT. ANTAM dan PT. Chevron, terdapat puluhan perkebunan besar dan kecil, seperti: PT. Nirmala Agung, PTPN VIII, PT. Hevea. Terdapat pula perusahaan air minum kemasan, industri garmen dan sebagainya.
93
Abah Anom (Alm), pemimpin Kasepuhan Ciptargelar, memimpin warganya membuka
areal hutan di Cicemet dan tinggal di lahan tersebut. Pemerintah menyebut aksi ini
sebagai perambah hutan, tetapi tidak ada aksi pengusiran.
Aksi brutal dilakukan oleh pekerja kayu dari luar desa yang menebang dan mengambil
kayu di areal hutan produksi dan hutan alam untuk dijual. Aparat tidak melarang dan
mencegah. Menurut keterangan tokoh masyarakat Kampung Cimapag (Sirnaresmi), aksi
ini dibiayai oleh para pemodal dan cukong kayu dari kota, disokong dari belakang oleh
aparat keamanan dan instansi kehutanan. Aksi ini dihentikan oleh warga Kampung
Cimapag, setelah aparat kepolisian dan dinas kehutanan tidak bertindak. Warga Cimapag
yang khawatir sumber air dan daerah penyangga semakin kritis, melakukan perlawanan
dengan menyita alat chainsaw dan mengusir pelaku yang mereka sebut sebagai illegal
logging.
Daerah perbukitan di Pondok Injuk sampai gundul tanaman kayunya akibat illegal
logging. Warga Cimapag menduduki daerah ini dan dijadikan lahan huma dan kebon,
ditanami tanaman pohon kayu dan buah-buahan, sayur-sayuran dan padi. Petugas Taman
Nasional dan operator project JICA (Japan International Cooperation Agency) yang
mempunyai proyek konservasi MKK (Masyarakat Kampung Konservasi) di daerah ini
melakukan negosiasi dengan masyarakat untuk pengelolaan kolaborasi di TNGHS. Ada
rancangan konsensus untuk sistem pengelolaan, hak dan kewajiban mengelola hutan,
tetapi hingga sekarang belum ada kesepakatan bersama.
Operator Perum Perhutani di KPH Sukabumi dan Banten melakukan pendekatan
persuasif dan berkompromi dengan warga penggarap lahan dengan membuat kesepakatan
yang keputusannya tidak diatur dalam kebijakan organisasi. Warga boleh menggarap
lahan di areal hutan produksi yang sudah ditebang tetapi warga wajib membayar atau
membagi hasil usaha garapan sebesar 25 persen, menanam dan merawat tanaman kayu.
Keluarga mampu tertentu tetap membayar upeti dan menganggap hal itu semacam ikatan
hubungan produksi antara penggarap dengan mantri hutan untuk memastikan haknya
menggarap dapat dijamin. Kewajiban membayar pajak semacam SPPT kepada
94
pemerintah tidak dilakukan dan tidak ada permintaan pungutan dari pemerintah.
Komunitas kasepuhan di Citorek menolak sistem ini dan meminta Perum Perhutani
membebaskan kewajiban pungutan bagi warga kasepuhan dan disepakati.
Pada 18 oktober 2003 wakil masyarakat dari sekitar 31 desa disekitar taman nasional
melakukan pertemuan dan membentuk Forum Komunikasi Masyarakat Halimun Jawa
Barat – Banten (FKMHJB). Dalam pertemuan tersebut dikemukakan keresahan
masyarakat dengan adanya TNGHS yang melakukan perluasan arealnya hingga ke lahan
garapan areal hutan produksi yang sedang dikelola masyarakat. Mereka khawatir
pemerintah dan operator taman nasional akan mengambil lahan-lahan tersebut dan sudah
ada ancaman untuk memindahkan warga. Sirnaresmi termasuk di dalam organisasi ini.
Berdasarkan keterangan Jajang (Juni 2008), salah satu ketua FKMHJB, forum
menyepakati untuk melakukan aksi kolektif mempertahankan lahan garapan, melakukan
reclaiming dan penebangan pohon secara bertahap. Forum akan melakukan negosiasi dan
lobby kepada Pemda dan Departemen Kehutanan untuk mendesak peninjauan kembali
SK Menhut tentang perluasan taman nasional. Forum meminta agar tanah, kebun dan
pemukiman masyarakat dikeluarkan dari taman nasional.
Carut marut situasi kebijakan ekonomi politik dan hukum nasional, yang ditandai dengan
pemberian hak pengelolaan sumberdaya alam kepada pemilik modal besar dan termasuk
dibolehkannya pertambangan di kawasan hutan lindung, percekcokan elit politik, kuatnya
desakan rakyat untuk peningkatan kesejahteraan, terus bergulir di kampung-kampung
sekitar Gunung Halimun.
Penduduk sekitar mendatangi sumber-sumber produksi yang dapat segera menghasilkan
pendapatan, utamanya areal penambangan PT. ANTAM. Penduduk setempat, eks pekerja
ANTAM bersama pekerja tambang dari luar desa, melakukan penambangan di kawasan
hutan areal konsesi ANTAM maupun ke kawasan hutan yang dianggap mengandung
bahan tambang emas, tembaga dan perak. Penambang ini disebut oleh pemerintah
sebagai “penambang liar” atau “penambang tanpa ijin” alias peti. Ada ribuan orang
terlibat dalam pekerjaan ini. Peralatan dan pengetahuan gurandil masih sangat sederhana,
95
dengan membuat terowongan dan tanpa mempedulikan lingkungan, keamanan dan
keselamatan kerja.
Sebagian besar pria muda dan dewasa di Citorek dan Sirnaresmi terlibat dalam kegiatan
pertambangan rakyat, yang memberikan pendapatan ekonomi sangat besar dibandingkan
ekonomi pertanian. Mereka pergi ke luar kampung atau ke bukit sekitar mencari urat
emas, perak, timah dan tembaga, setelah selesai kegiatan memotong rumput di sawah dan
memasukkan ikan ke dalam keramba. Kawasan hutan sekitar Kampung Cirotan, Desa
Ciusul, merupakan lokasi ‘lubang’ tambang yang paling sering dikunjungi warga, selain
di areal konsesi tambang ANTAM. Demikian pula hutan di lereng bukit sekitar empat
kilometer dari pusat Desa Sirnaresmi arah Pelabuhan Ratu adalah areal penambangan.
Kegiatan penambangan dilakukan dengan pengetahuan dan teknologi cara sederhana,
menggunakan alat pemukul batu untuk mendapatkan tanah dan batu yang mengandung
bahan tembaga dan emas, lalu menggunakan alat gelundung yang terbuat dari besi bundar
yang didalamnya ditaruh batuan tambang dan air raksa, lalu kemudian diputar dengan air,
hingga terpisah emas dan lumpur tanah. Cara yang lain adalah nganduk dengan
menggunakan alat dari kain beluderu tebal, handuk dan kain serupa, lalu pasir dan tanah
lumpur yang bercampur emas diletakkan dikain tersebut dan diguyur dengan air, sisa
besi, tembaga dan emas, tersangkut di kain tersebut. Tapi tekhnik ini jarang digunakan.
Di Pangeleseran, Desa Ciusul, tanah seluas 5 ha di lokasi, yang tidak begitu jelas
statusnya, milik desa (dikuasai bersama), milik keluarga atau milik negara, secara diam-
diam telah dirubah statusnya oleh Jaro Pamarentah dan menjadi milik pribadi. Lahan ini
sudah dijual Rp. 60 juta pada tahun 2002, yang dibeli oleh pengusaha tambang bernama
Yanyang, warga keturunan Cina, yang berdomisili di Jakarta. Di lokasi Cipulus (Citorek),
pengusaha asal Korea dan Cina membeli/menyewa lahan warga di Ciusul dan
mendapatkan SIPR (Sirat Ijin Pertambangan Rakyat) dari Pemda Lebak untuk
pengelolaan tambang.
96
Aparat keamanan setempat dan pemilik modal dari kota terlibat memberikan ‘bekingan’
bisnis ini. Persaingan antara kelompok dan tidak adanya penegakan hukum di lokasi
tambang Pongkor mengakibatkan terjadinya kerusuhan antara kelompok penambang
yang terjadi pada tahun 1998. Kerugian akibat kerusuhan ini mencapai miliaran rupiah.
Kini pemerintah membuat kebijakan operasi jaga wana dan aparat keamanan sangat
restriktif terhadap warga. Suhendri, anggota FKMHJB di Kampung Cisii, Desa Citorek
Barat, ditangkap oleh petugas Perum Perhutani (2004) dan di hukum penjara dengan
tuduhan melakukan penebangan dan pencurian kayu dalam areal milik Perum Perhutani.
Padahal Suhendri meyakini aksinya untuk menggarap lahan tidak ada persoalan. Kasus
terbaru (Mei 2008), dialami oleh Arnan, warga Kasepuhan dari Kampung Cimapag, Desa
Citorek Tengah, kayu rasamala miliknya, sisa potongan bahan rumah baris kolot, yang
ditebang dipinggiran kampung disita petugas taman nasional dan aparat kepolisian
mencari Arnan, yang sudah pergi menghindari kejaran petugas sampai dengan saat
penelitian ini dilakukan. Petugas menyatakan bahwa mereka mau menangkap Arnan
padahal sampai saat ini belum ada surat perintah penahanan terhadap Arnan.
Menurut warga Kasepuhan, semestinya kayu itu tidak perlu disita dan Arnan tidak perlu
dihukum, karena kayu itu untuk digunakan buat membuat rumah warga yang
memerlukan dan tidak diperdagangkan. Kalaupun dijual harganya dibawah harga
komersial sebesar Rp. 20.000 per potong. Sedangkan kayu yang diperdagangkan hanya
ada di kota Rangkas maupun Cipanas, yang harganya mencapai Rp. 120.000 per potong
dan ongkos angkut Rp. 20.000 per potong, artinya harga kayu tersebut Rp. 140.000.-.
Dengan harga ini sangat sulit bagi masyarakat untuk dapat membeli kayu di kota dan
karena itu memilih mengambil kayu diam-diam dari hutan asalkan tidak tertangkap.
Bagi mereka yang mempunyai posisi kuat secara sosial politik dan pengaruh di kampung,
biasanya hanya ditegur oleh petugas. Tetapi sedikit sekali yang mau mengambil resiko
untuk berurusan dengan petugas dan hukum, yang konon seringkali tidak hanya menahan
dan memenjarakan masyarakat, tetapi juga memeras keluarga pelaku dengan meminta
uang dalam jumlah yang besar untuk mengurangi waktu kurungan dan atau
97
mengintimidasi dengan berbagai macam cara sehingga keluarga mau mengeluarkan uang.
Hal ini terjadi juga dalam usaha pertambangan rakyat ’liar’.
Komunitas Kasepuhan dalam berbagai kesempatan pertemuan resmi dengan pemerintah
daerah dan pengambil kebijakan lainnya maupun dalam forum pertemuan masyarakat
sipil, menyampaikan keinginannya agar mendapatkan kebijakan dan payung hukum dari
pemerintah yang memberikan perlindungan dan pengakuan atas keberadaan komunitas
kasepuhan, hak-hak ulayat dan adat istiadat mereka.
Kebijakan ini diharapkan dapat membuat masyarakat mandiri dan otonom yang
mempunyai kewenangan untuk mengurusi ketertiban sosial, pengelolaan sumberdaya
alam, program pembangunan dan kesejahteraan, serta dapat menyelesaian ketegangan
antara pemerintah dan masyarakat. Kewenangan ini akan membantu keterbatasan
pemerintah untuk mengurusi dan mengelola sumberdaya alam.
Masyarakat tidak ingin pula pemerintah lepas tangan, tetapi diharapkan pemerintah dapat
terlibat mendukung dan memfasilitasi program pengembangan kesehateraan ekonomi
masyarakat, program yang berkaitan dengan pemenuhan hak-hak dan kebutuhan dasar,
seperti: pendidikan dan kesehatan, serta dalam menegakkan hukum dan menciptakan rasa
aman. Dalam FGD di Kasepuhan Citorek, tokoh masyarakat meminta dukungan
diberikan buku-buku yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan yang membuat rakyat
pintar dan buku-buku agama.
Pada tahun 2007, masyarakat Kasepuhan Citorek dan Cibedug bersama LSM RMI
(Rimbawan Muda Indonesia) melakukan advokasi kebijakan untuk mendapatkan
pengakuan keberadaan masyarakat Kasepuhan melalui Peraturan Daerah ataupun Surat
Keputusan Bupati Lebak. Masyarakat menyiapkan dokumen sejarah keberadaan
masyarakat, klaim atas wilayah, pengelolaan dan penataan sumberdaya alam. Pertemuan
dan lokakarya untuk menjaring aspirasi dan tukar pendapat antara masyarakat Pemda,
DPRD, Dinas Kehutanan, Balai Taman Nasional dan akademisi, sudah sering dilakukan.
Masyarakat melakukan lobbi dengan utusan mereka dan warga Kasepuhan yang menjadi
98
anggota legislatif aktif di fraksi PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan), yakni: H.
Ade Sumardi.
Sudah ada rancangan draft SK Bupati Lebak untuk Pengakuan Keberadaan Komunitas
Kasepuhan Cibedug di Desa Citorek Barat. Pada bagian menimbang yang menjadi dasar
pembuatan draft SK ini, tersirat bahwa SK ini ditujukan pemenuhan hak masyarakat
hukum adat dan untuk mencegah permasalahan pemanfaatan sumberdaya alam. Di
samping itu, dalam ketentuan mengingat mengambil UU No. 41 tahun 1999 tentang
Kehutanan, yang memuat ketentuan pengakuan keberadaan dan hak-hak masyarakat
hukum adat melalui peraturan daerah.
Namun hingga kini Pemda dan DPRD Lebak belum menerbitkan Perda ataupun
mengesahkan draft SK Bupati. Alasannya, karena masih menunggu Pilkada Bupati Lebak
dan belum jadi prioritas. Pemda Lebak mengutamakan adanya kebijakan Departemen
Kehutanan untuk mengeluarkan tanah garapan masyarakat dan areal pertambangan PD.
Lebak Niaga dari kawasan TNGHS, sebagaimana terungkap dalam Surat Bupati Lebak
yang ditujukan kepada Menhut RI, pada tanggal 17 maret 2008 dan dalam kunjungan
Tim Komisi IV DPR RI ke Kabupaten Lebak. Tetapi Menhut melalui Dirjen PKA telah
meminta Pemda Lebak mencabut SIPR PD. Lebak Niaga. Masyarakat berharap agar
pemerintah dalam pembuatan kebijakan dan peraturan yang berdampak langsung pada
masyarakat harus melibatkan masyarakat.
3.4 Analisis Sosial
Dengan cara yang tidak terlampau sulit, seseorang pengamat akan dengan segera
menangkap perbedaan antara Kasepuhan Sinaresmi dan Citorek. Sinaresmi adalah sebuah
kasepuhan yang sebagian besar warganya dan juga rumah-rumah adat tempat tinggal
Abahnya berada dalam satu desa, yaitu Desa Sirnaresmi, bersama dengan dua kasepuhan
lainnya, yaitu Kasepuhan Ciptamulya dan Kasepuhan Ciptegelar. Dengan kata lain
penduduk Desa Sirnaresmi adalah warga dari tiga kasepuhan. Sementara Citorek adalah
sebuah kasepuhan yang mencakup empat desa, yaitu Citorek Tengah, Timur, Barat, dan
Selatan. Hal ini diakibatkan oleh perbedaan mereka dalam konsep wilayah adat.
99
Kasepuhan Sinaresmi, seperti dua kasepuhan lainnya dalam Desa Sirnaresmi, tidak
memiliki batas-batas wilayah yang diklaim sebagai wilayah adat secara geografis.
Konsep mereka, sebagaimana telah dikatakan pada bagian sebelumnya, lebih bersifat
ruang mitologis terkait dengan konsep sejarah lisan mereka tentang asal usulnya sebagai
komunitas nomadik. Ruang yang dipahami atau dinarasikan sebagai wilayah adat adalah
rangkaian simbol-simbol historis yang terekam dalam sejarah lisan mereka. Salah
seorang narasumber (Amil Buchori) bahkan dengan tegas menyatakan bahwa pola hidup
Kasepuhan Sinaresmi adalah nomaden, dan ia memberikan sebuah data – yang belum
dapat diklarifikasi sumbernya – tentang sejarah kasepuhan ini yang tercatat sejak awal
abad ke-7 Masehi (lihat temuan di Sinaresmi), yang pada masa itu berdiam di daerah
Seni. Sekitar duaratus tahun kemudian mereka pindah ke daerah Kadi Luhur. Demikian
terus terjadi perpindahan dalam rentang rata-rata 200 tahun, sampai 1720. Setelah tahun
ini, perpindahan terjadi hanya dalam selang beberapa puluh tahun sampai akhirnya pada
1982 mereka berdiam di Sirnaresmi. Terlepas dari sahih tidaknya informasi mengenai
keberadaan kasepuhan sejak abad ke-7 ini, pernyataan ini sesungguhnya kontradiktif
dengan pernyataan mereka sendiri yang menyatakan bahwa komunitas kasepuhan
semuanya berawal dari jatuhnya Kerajaan Pakuan Pajajaran, ketika berada di bawah
pemerintahan Prabu Siliwangi atau Sri Baduga Maharaja (Adimihardja 1992: 15 – 7).
Seluruh rangkaian ruang perpindahan ini dalam wacana komunitas Sinaresmi dipandang
sebagai sejarah pembentukan identitas. Identitas sebagai komunitas dengan asal usul
yang sama, sebagai komunitas yang menyingkir dan mengembara dari satu tempat ke
tempat lain, sebagai komunitas dengan relasi sosial yang diatur menurut sistem nilai
warisan nenek moyang, sebagai komunitas yang sumber hidup utamanya adalah tanah
dan sumberdaya alam, termasuk identitas sebagai komunitas tanpa konsep wilayah adat
secara geografis. Dalam prakteknya mereka selalu mengolah lahan sumber hidupnya di
tempat di mana mereka berdiam dan tidak termasuk daerah di mana sebelumnya mereka
pernah berdiam. Semua daerah yang menurut sejarah lisannya pernah mereka diami,
hanya tinggal menjadi sekedar catatan sejarah tanpa sedikitpun ada klaim geografis
mengenai wilayah adat. Dengan tidak adanya klaim atas wilayah adat secara geografis,
100
maka komunitas Sinaresmi hanya menggarap lahan yang secara tradisional merupakan
wilayah desa.
Citorek sebaliknya memiliki konsep wilayah adat yang jelas, yang disebut wewengkon
dengan batas-batas tradisional yang dapat diidentifikasi oleh warga kasepuhan. Perbedaan
ini tidak dapat dikatakan sebagai akibat dari tradisi mengelola sebuah wilayah dalam
waktu yang panjang dalam hitungan generasi. Melihat bahwa sejarah lisan maupun
tertulis mengenai terbentuknya komunitas kasepuhan berawal dari kejatuhan Pajajaran
dan tersebarnya masyarakat yang masih setia kepada Pajajaran ke berbagai pelosok Jawa
Barat mengindikasikan bahwa sejarah lisan tersebut tidak cukup signifikan dalam
membentuk konsep wilayah adat secara geografis. Dari sekian banyak komunitas yang
disebut kasepuhan, yang oleh Adimihardja (1992: 4) disebutkan bahwa pola sosial
budaya mereka masih menunjukkan karakteristik budaya Sunda abad ke-16, di mana
tidak ada wilayah adat, dan yang ada hanya wilayah kerajaan. Namun kemudian ada
beberapa komunitas yang kemudian berinisiatif membangun konsep wilayah adat. Hal
yang sama dengan Citorek dapat dijumpai di Cibedug, Baduy dan beberapa kasepuhan
lainnya. Adanya fakta bahwa kedua komunitas kasepuhan ini mempunyai sejarah asal-
usul serupa, memiliki konsep tata ruang yang serupa, yaitu adanya leuweng titipan,
tutupan, dan garapan, konsep ruang dalam rumah tinggal yang serupa, dengan landasan
tatali paranti karuhun yang juga serupa, maka pertanyaannya adalah mengapa ada
komunitas yang kemudian memiliki konsep wilayah adat sementara yang lainnya tidak?
Untuk menjawab ini kiranya perlu penelitian yang lebih mendalam tentang komunitas-
komunitas kasepuhan.
Komunitas di dua kasepuhan ini dapat disebut sebagai masyarakat teritorial genealogis di
mana faktor kekerabatan dan wilayah menentukan ikatan sosial mereka (Hadikusuma
1992: 110 – 10). Adanya ikatan dan perasaan bersama dalam kelompok. Dan karena
Islam sangat mempengaruhi cara pandang tentang diri mereka, mereka juga dapat
dikategorikan sebagai masyarakat adat-keagamaan (Hadikusuma 1992: 111 – 2).
Sinaresmi dan Citorek dikelola berdasarkan adat dan agama, sementara adat itu sendiri
menunjukkan warna keagamaan yang kental. Salah satu buktinya adalah bahwa sistem
101
kalender adat menggunakan sistem kalender lunar Islam. Dan kegiatan reguler dalam
kasepuhan salah satunya adalah pengajian. Keselarasan antara adat dan agama adalah dua
hal yang senantiasa diupayakan. Status ‘haji’ misalnya cukup dihormati di dua komunitas
ini bersama dengan status sebagai ‘ulama’ atau ‘imam’.
Karakter genealogisnya tidak melulu berdasarkan asal usul keturunan dan ikatan melalui
perkawinan melainkan juga dipengaruhi oleh sosok ‘Abah’ sebagai tokoh sentral dalam
aspek spiritual dan budaya. Dengan demikian kelompok masyarakat ini dapat disebut
sebagai paduan dari ‘ego-oriented kingsgroup’ dan ‘ancestor-oriented kingsgroup’
(Soekanto 2001: 48 – 9). Oleh karena itu bisa dipahami bahwa legitimasi politik seorang
kepala desa, salah satunya, adalah ‘restu’ dari sang Abah atau Oyot, di samping para
tetua adat dan alim ulama.
Proses dan intensitas interaksi relasi masyarakat dengan lingkungan luar sudah sejak
lama dan sering terjadi yang membentuk mempengaruhi karakter dan pandangan
masyarakat dalam konteks pluralitas, ikatan sosial dan penerimaan terhadap sistem nilai
yang baru. Perbedaan etnis, warna kulit dan asal usul masih bisa ditolerir sejauh semua
ini merupakan komplementer terhadap kesamaan agama (Islam) dan adat. Pernah di masa
lampau komunitas kasepuhan melarang pernikahan dengan Belanda dan Cina (pernyataan
dari Ugis Suganda) dan kemudian ada petuan untuk tidak menikah dengan ‘orang timur’.
Dalam perkembangannya tafsir terhadap makna ‘orang timur’ adalah orang dengan
sistem nilai yang berbeda dengan mereka. Sedikit banyaknya hal ini masih terlihat
sampai sekarang. Kedelapan orang yang menjadi penganut Gereja Kristen Pasundan
diperkenankan tinggal di pinggiran desa dan tidak boleh beribadat dan mendirikan gereja
di dalam lingkup desa dan kasepuhan. Di Citorek menurut keterangan para baris kolot
(dalam FGD Mei 2008) tidak ada warga non-muslim. Dan mereka secara eksplisit
menyatakan keberatannya bila ada warga kasepuhan yang menjadi non-muslim.
Baik Sinaresmi maupun Citorek adalah komunitas dengan identitas Islam yang cukup
kental. Karakter Islam ini sangat kuat sehingga legitimasi tindakan-tindakan sosial
102
budaya mereka terutama ditegaskan oleh pandangan Islam. Perkawinan, misalnya,
meskipun menganut konsep adat, agama, dan negara, masyarakat Citorek baru menerima
sebuah perkawinan sebagai ‘sah’ bila sudah dilakukan menurut Islam. Artinya, bisa
dipandang bahwa perkawinan secara adat dan negara bersifat komplementer dan bukan
substansial. Hal yang sama dapat dijumpai di Sinaresmi. Semua perkawinan berpijak di
atas legitimasi agama sebagai yang utama. Namun dalam berhadapan dengan sistem
administrasi negara mau tidak mau perkawinan menurut hukum negara harus mereka
lakukan. Dan proses seperti ini merupakan pola umum dalam perkawinan yang sah
menurut agama dan negara, di mana negara baru akan mensahkan sebuah perkawinan
setelah ada kejelasan keabsahannya menurut agama.
Pandangan terhadap perempuan dipengaruhi juga oleh karakter sosial masyarakatnya
yang demikian. Keharmonisan, yang salah satu ukurannya adalah dalam rumah tangga
dengan pembagian peran kaum pria sebagai kepala rumah tangga dan wali keluarga
sementara kaum perempuan bertanggung jawab atas pengasuhan anak dan urusan dapur
menggambarkan warna patriarchy yang kuat dalam masyarakat ini. Meskipun dalam
urusan waris misalnya tidak ada pembedaan. Prioritas pendidikan dan perhatian lebih
kepada anak lelaki masih merupakan hal yang wajar dalam kedua komunitas. Dan bila
semua ini berjalan ‘normal’ dan tidak terusik berarti ada ‘keharmonisan’ dalam rumah
tangga dan masyarakat.
Dalam konteks struktur sosial dan budaya masyarakat di kedua lokasi diperoleh
hubungan-hubungan kekerabatan dalam keluarga inti masih kuat, tetapi hubungan sosial
dalam lingkup masyarakat yang lebih luas di desa sudah semakin mengendur dan
melemah. Bersamaan dengan perubahan sosial budaya tersebut, terjadi perkembangan
dan apresiasi terhadap hak-hak individu semakin besar dan dianggap normal.
Hal-hal tertentu dalam pekerjaan sawah tangtu, acara seren taon dan pesta perkawinan
masih dilakukan dengan cara gotong royong dan melibatkan keluarga besar. Namun
relasi produksi antara warga dan institusi sosial dilakukan dengan kekuatan dan relasi
produksi ekonomi modern yang berdasarkan perhitungan ekonomi dan berdasarkan
103
kepentingan individual, seperti adanya sistem kontrak dan sewa tenaga kerja, sistem ijon,
sistem bagi hasil, penggunaan pupuk dan peralatan modern lainnya.
Pengaruh budaya dari luar melalui interaksi sosial, media massa, pendidikan formal,
institusi hukum formal, institusi ekonomi dan program-program pembangunan sangat
kuat mempengaruhi struktur sosial budaya dan corak produksi. Kehidupan sosial budaya
dan pola hidup warga, seperti kebebasan dan cara berbusana, pengobatan modern,
konsumerisme, arsitektur perumahan, yang bersumber dari luar dan ‘modern’, sudah
menggejala menjadi kecenderungan umum dan pilihan masing-masing individu. Namun
demikian, adat istiadat masih tetap dihormati dan masih menganut kepercayaan terhadap
kekuatan gaib. Hal-hal yang tidak dapat dijangkau oleh akal pikiran, selalu dikaitkan
dengan adanya kekuatan gaib, seperti adanya ‘kabendon’ yang secara simbolik dianggap
kekuatan hukum karma bagi mereka yang melanggar kebiasaan umum dan ajaran tatali
paranti karuhun.
Komunitas kasepuhan Citorek dan Sinaresmi memiliki persoalan krusial yang serupa,
yaitu persoalan otoritas, kontrol dan pemanfaatan terhadap alat produksi utama, yaitu:
tanah dan kawasan hutan, yang saling tumpang tindih antara kuasa dan kepentingan
masyarakat, perusahaan dan negara. Jika kawasan kelola komunitas kasepuhan Sinaresmi
merupakan bagian intergral dari kawasan kelola tradisional seluruh Desa Sirnaresmi,
sedangkan kawasan kelola tradisional Citorek merupakan wewengkon adat. Ini pula yang
menjadi landasan pemetaan partisipatif yang menghasilkan peta wewengkon pada
Desember 2005.
Dalam wilayah kelola traditional “wewengkon” maupun dalam wilayah desa, terdapat
hak-hak inidividu, hak garap dan hak adat, yang haknya diperoleh bersumber dari pada
pengakuan sosial dan hukum kebiasaan masyarakat. Namun, sejauh ingatan sejarah
masyarakat, semenjak era pemerintahan kolonial Belanda hingga sekarang ini telah
terjadi konflik dan ketegangan yang berhubungan dengan urusan otoritas dan kontrol atas
tanah dan sumberdaya alam. Secara kasuistik telah terjadi konflik terbuka pada tanah
garapan dan kawasan kelola yang efektif digunakan oleh masyarakat, yang mana di lahan
104
yang sama dikelola pula oleh Perum Perhutani, TNGH dan perusahaan pertambangan,
yang klaim dan pengelolaannya berbasiskan pada sistem kebijakan dan hukum negara.
Realitasnya, regulasi dan kontrol negara sangat menentukan sehingga membuat konsep
hak tanah adat dan tanah milik, hukum adat tentang tanah dan otoritas masyarakat
maupun organisasi kasepuhan semakin berkurang. Konsep hak yang ada bersumber dari
pemberian negara, seperti: SPPT, Surat Girik, dan sebagainya. Otoritas pengelolaan dan
penyelesaian konflik bersumber dari kebijakan dan instansi berwenang, seperti: Perum
Perhutani, Balai Taman Nasional, Petugas Jagawana, aparat kepolisian, kejaksaan dan
pengadilan umum, Pemda, dan sebagainya.
Hal lainnya, hak-hak milik dan hak garapan individu atas tanah sangat menonjol
dibandingkan klaim warga atas hak kolektif adat atas tanah. Hak milik dan hak garap
individu langsung dikelola dan dikontrol oleh masing-masing individu. Tanah milik dan
garapan masyarakat inilah yang sering menjadi persoalan karena berada dalam areal yang
juga di klaim oleh negara dan perusahaan untuk kepentingan hutan produksi, hutan
lindung, taman nasional dan areal pertambangan. Masyarakat kasepuhan yang sebagian
besar adalah petani dan mengandalkan alat produksi tanah tidak dapat menerima klaim
hak negara dan pengelolaan sumberdaya alam oleh perusahaan.
Keterbatasan atau ‘kekhawatiran’ masyarakat mengenai tidak amannya kawasan kelola
mereka bersumber dari hadirnya sosok TNGHS maupun (sebelumnya) Perhutani.
Sebagaimana telah dikemukakan dalam bagian sebelumnya perbedaan pengalaman riil
dalam urusan pengelolaan lahan ketika berhadapan dengan kedua institusi ini adalah
bahwa di bawah Perhutani relasi mereka adalah penggarap di dalam kawasan yang
dimiliki oleh Perhutani dan oleh karena itu harus membayar retribusi sebesar 25% hasil
garapan. Sebaliknya dalam relasi dengan TNGHS, secara normatif ada ketentuan
mengenai zona garapan masyarakat adat. Namun kekhawatiran bahwa setiap waktu dapat
terjadi pelarangan atau pembatasan ketat terhadap masyarakat dalam mengakses lahan
kelola dan hasil hutan – misalnya kayu untuk bangunan rumah – tetap bergaung di tengah
masyarakat. Hal ini karena kegamangan dalam status mereka secara hukum di hadapan
105
negara, seperti yang dapat dilihat dalam bagian berikutnya mengenai analisis kebijakan.
Kegamangan ini dapat dipahami karena secara psikologis masyarakat kasepuhan pernah
mengalami kondisi dilemahkan status penguasaan mereka atas tanah dengan adanya
pengalaman dengan pendaftaran tanah dan lahirnya SPPT.
Sementara populasi terus bertambah dan menimbulkan tekanan ekonomi pada lahan yang
terbatas. Jumlah penduduk Desa Sirnaresmi pada 2000, menurut hasil Participatory rural
appraisal (PRA) Kasepuhan Sinaresmi oleh RMI, adalah 4.378 jiwa dengan jumlah laki –
laki 2.189 jiwa serta terdiri dari 1.163 KK yang tersebar ke dalam 7 kadusunan. Khusus
untuk Kampung Sirnaresmi terdapat 115 KK dengan komposisi 197 perempuan dan 219
laki – laki. Sedangkan pada 2008 jumlah penduduk Sirnaresmi hádala 5138 jiwa terdiri
dari 2533 perempuan dan 2605 laki-laki, dalam 1492 KK. Artinya dalam delatan tahun
terjadi pertumbuhan penduduk (tanpa menghitung yang pindah keluar, misalnya yang ke
Riau) sebesar 760 jiwa dan pertambahan KK sebesar 329. Artinya, jika menggunakan
ukuran batas maksimum pemilikan bagi petani kecil sebagaimana diusulkan dalam proses
penyusunan Undang-Undang Pokok Agraria 1960, yaitu 2 hektar (Elsam 1996: 20), maka
dibutuhkan ketersediaan lahan garapan seluas 658 hektar bagi keluarga baru tersebut.
Dalam kenyataannya hal ini tidak mungkin terjadi bagi warga kasepuhan, sekurang-
kurangnya pada waktu sekarang ini, ketika UU No. 41/1999 masih menjadi rejim
kehutanan terkuat di Indonesia.
Tekanan pertambahan penduduk, keterbatasan lahan garapan, dan peraturan perundangan
yang membatasi akses masyarakat ke hutan dan tanah, akhirnya menimbulkan
ketegangan struktural. Ketegangan ini kemudian berkembang menjadi konflik yang
disertai kekerasan dan kriminalisasi (penangkapan, intimidasi, dan pemerasan). Konflik
struktural yang berakar pada perbedaan klaim atas tanah dan sumberdaya hutan kemudian
berkembang menjadi konflik yang rumit akibat tidak adanya penegakan hukum dalam
kawasan yang menjadi sumber konflik. Sebagaimana digambarkan dalam bagian
sebelumnya, masyarakat cukup memahami konsep tanah negara, demikian pula tentang
peraturan perundangan dan kebijakan yang berkaitan dengan keberadaan TNGHS
maupun (sebelumnya) Perum Perhutani. Namun pelanggaran terhadap peratuan
106
perundangan dan kebijakan oleh sejumlah pihak tanpa ada penegakan hukum yang jelas
menyebabkan masyarakat menjadi tidak percaya kepada realisasi yang benar dari
peraturan dan kebijakan tersebut. Kasus penangkapan penduduk dan pencarian penduduk
yang diduga sebagai ‘perambah’ dan ‘pencuri’ di dalam kawasan TNGHS adalah
manifestasi dari tidak adanya law enforcement.
Lebih dari itu adalah bahwa tidak adanya law enforcement telah menimbulkan perluasan
konflik bukan hanya antara masyarakat dengan otoritas-otoritas negara, melainkan antar
otoritas-otoritas itu sendiri. Silang pendapat antara Pemda, Balai Taman Nasional,
Departemen Kehutanan dan DPR RI tentang adanya Kuasa Pertambangan di dalam
kawasan TNGHS adalah bukti carut marut dan lemahnya penegakan hukum. Bahwa
konflik struktural ini demikian kompleks dan bersumber dari lemahnya penegakan
hukum serta dibatasinya akses masyarakat terhadap tanah dan sumberdaya hutan diakui
baik oleh warga kasepuhan maupun oleh struktur pemerintahan desa setempat.
Persoalan-persoalan yang muncul di dua komunitas ini tidak dapat dikatakan sebagai
persoalan yang bersifat khas Kasepuhan yang dapat membedakan mereka dengan
masyarakat lainnya. Persoalan tersebut dapat ditemukan di berbagai wilayah dan
komunitas di Indonesia. Tuntutan atas keamanan wilayah kelola, kebutuhan akan
pemberdayaan melalui pelatihan maupun pendidikan adalah persoalan umum semua
masyarakat di Indonesia. Dan sebagaimana komunitas desa (atau nama lain), kampung
atau dusun di manapun, solidaritas sosial merupakan salah satu warna khas, yang
memberikan aksen ‘komunitas’. Ikatan sebagai sebuah komunitas inilah yang mendorong
masyarakat untuk memperjuangkan bersama keamanan lahan kelola. Pengakuan melalui
sebuah Perda atas keberadaan komunitas kasepuhan dan wilayah garapan adalah salah
satu strategi yang digunakan masyarakat dalam menyelesaikan ketegangan hubungannya
dengan negara dalam hal klaim atas wilayah. Hal ini menjadi agenda dalam upaya
pemetaan wilayah adat yang saat ini sedang dikerjakan oleh Pemda Sukabumi bersama
masyarakat dengan dana yang berasal dari sebuah perusahaan pertambangan JIO (belum
diperoleh keterangan dari mana asal, dan pemegang saham perusahaan ini).
107
Seluruh konsep diri sebagai masyarakat adat di dua kasepuhan ini bila dibenturkan
dengan definisi Cobo, maupun kriteria-kriteria yang digunakan oleh AMAN misalnya
(sebagai organisasi yang mengklaim diri punya cakupan nasional dan dengan fokus
perhatian pada pemberdayaan masyarakat adat – yang dapat dilihat dari semboyannya
yaitu menjadikan masyarakat ‘Berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan
bermartabat secara budaya’), tidak menunjukkan keselarasan yang penuh. Di satu sisi
persoalan wilayah adat adalah salah satu kriteria utama baik dalam definisi Cobo maupun
AMAN, yang jika diterapkan di Sinaresmi tidak memenuhinya. Di sisi lain struktur
kelembagaan adat di kedua komunitas ini lebih berfungsi secara simbolik dan tidak
eksplisit operasional. Apa yang disebut sebagai ‘hukum’ adat adalah norma-norma umum
yang merupakan prinsip kemanusiaan yang dapat dijumpai di masyarakat mana pun
dengan variasi bahasa dan dialeknya masing-masing. Citorek memang dapat
menunjukkan wewengkon yang merupakan kawasan kelola tradisional. Namun otoritas
Abah atau Oyot dalam wewengkon ini praktis tidak adat secara riil. Fungsinya lebih
menyerupai seorang imam di masjid atau seorang pendeta di gereja yang dalam urusan
tanah masyarakat tidak menjadikannya sebagai rujukan untuk mendapatkan legitimasi
sosial maupun hukum.
Namun demikian dalam konteks minoritas, kedua komunitas ini dapat dikatakan selaras
dengan pengertian yang terkandung di dalamnya. Dan jika ‘masyarakat adat’ dipahami
sebagai sebuah komunitas masyarakat yang dinamis, dan ‘adat’ itu sendiri adalah
kebiasaan-kebiasaan yang bersifat dinamis, maka kontekstualisasi makna ‘masyarakat
adat’ perlu dilakukan untuk menunjukkan relevansi klaim status dengan realitas sosial
yang ada dan dengan tuntutan-tuntutan yang muncul dalam relasi dengan pihak lain
(negara misalnya).
Dari tuntutan atau aspirasi yang berkembang dalam diskusi, wawancara maupun
pembicaraan santai, apa yang diharapkan dari negara di dua komunitas ini adalah:
- rasa aman dalam hal wilayah kelola
108
- pengakuan hukum terhadap status keberadaan sebagai masyarakat adat
(implikasinya adalah otonomi komunitas yang memberikan rasa aman dalam
mengurus kawasan kelola yang dipetakan dan disahkan oleh negara)
- pemberdayaan dalam bidang pertanian dan ekonomi kecil
- perhatian dalam bidang pendidikan (umum maupun keagamaan)
- akses ke pasar dari produk-produk mereka
Harapan terhadap tanggung jawab negara ini mencerminkan karakter masyarakat
dominan yang membutuhkan perlindungan hukum bagi setiap usaha sosial ekonominya,
membutuhkan akses ke pendidikan dan ke pasar yang dapat menopang kehidupan sosial
ekonomi secara umum. Secara singkat adalah sikap adil negara dalam melihat komunitas-
komunitas ini dalam realitas keberadaan mereka di tengah kehadiran berbagai pihak
(perusahaan, parpol, LSM, dll) dalam kehidupan mereka. Sementara perbedaan kapasitas
antar pihak ini dengan komunitas jelas dirasakan oleh warga komunitas.
Lemahnya penegakan hukum di dalam konflik struktural yang dihadapi masyarakat
dalam kasus TNGHS menjadi sorotan hampir semua warga yang terlibat dalam FGD.
Apa yang seharusnya dilakukan oleh negara justru tidak dilakukan. Peran negara juga
dibutuhkan masyarakat dalam mengatur dan menjaga relasi sosial antar warga, khususnya
menyangkut keamanan kebun dan sawah mereka. Salah satu cetusan yang muncul dalam
FGD adalah soal kerbau warga yang sering masuk ke kebun dan sawah warga lain,
sementara tindakan nyata dari kasepuhan tidak ada, demikian pula tidak ada tindakan dari
pemerintah desa. Warga dibiarkan untuk menyelesaikannya sendiri. Ketegangan seperti
ini menggambarkan bahwa ada ruang-ruang yang harus diatur secara aturan publik, dan
dorongan serta kesadaran ke arah tersebut sudah muncul dengan kuat di masyarakat,
tidak hanya menyangkut kasus konflik dengan TNGHS melainkan juga menyangkut
relasi sosial di dalam komunitas.
Pengaturan kehidupan dalam ruang publik menjadi semakin niscaya jika melihat
kehadiran otoritas-otoritas sosial politik yang ada di dalam kedua kasepuhan ini. Selain
agama, adat, dan pemerintahan negara, juga terdapat otoritas partai, ormas, dan juga
109
media masa. Berbeda dengan yang lainnya, media masa berkemampuan membentuk
pandangan masyarakat (bisa berupa pembodohan atau pencerdasan). Relasi antara
otoritas ini belum cukup kompleks, karena sampai saat ini relasi yang telah terjalin
dengan koordinasi yang teratur hanya antara otoritas agama, adat, dan negara. Namun
dalam acara seren taun, misalnya posisi otoritas media massa semakin kental terasa
pengaruhnya. Demikian pula organisasi sosial kemasyarakat seperti PKK, karang taruna
dan kelompok pengajian adalah otoritas-otoritas dengan jangkauannya masing-masing.
Dan terutama kehadiran ormas seperti FKMHJBB, dengan visi perjuangannya untuk
mendapatkan pengakuan terhadap hak atas wilayah adat masyarakat, baik itu hak kelola
maupun dalam konteks wilayah adat seperti wewengkon.
Kehadiran FKMHJBB menyiratkan suatu kenyataan bahwa ada kesadaran akan
pentingnya organisasi sebagai alat perjuangan bagi masyarakat. Kesadaran ini baru pada
tataran konseptual, artinya baru pada taraf pembentukan organisasi dengan visi dan misi,
merumuskan mekanisme kerja, dan memilih orang-orang yang duduk dalam
kepengurusan organisasi. Memang organisasi ini telah terlibat dalam jaringan kerja
dengan sejumlah LSM dan telah melakukan upaya advokasi ke pemerintah daerah.
Kesadaran akan pentingnya berorganisasi sebagai strategi penting dalam menggapai
tujuan mungkin bukan merupakan sebuah keistimewaan pada masa sekarang ini. Namun
bahwa membangun jaringan dengan organisasi lain merupakan strategi yang penting dan
berdayaguna akan sangat tergantung hasilnya pada kecermatan dan ketepatan konteks.
Dengan kata lain membangun jaringan dengan pihak lain atau organisasi lain
membutuhkan kecerdasan tersendiri. Akan tetapi untuk dapat menilai sejauh mana
kinerja organisasi seperti FKMHJBB dalam menyokong upaya masyarakat seseorang
perlu melihat lebih jauh bagaimana dinamika internal organisasi ini dalam
menerjemahkan semua konsep ideal menjadi tindakan yang selaras di lapangan termasuk
dalam membangun jaringan kerja dengan organisasi lain. Pengkajian terhadap persoalan
ini seyogyanya membutuhkan sebuah upaya tersendiri lagi.
110
3.5 Analisis Kebijakan
Menurut Kovenan Ekosob yang sudah diratifikasi oleh negara Indonesia, hak-hak yang
diakui oleh Kovenan ini adalah hak-hak untuk:
- Menentukan nasib sendiri (pasal 1);
- Kesetaraan bagi laki-laki dan perempuan (pasal 3);
- Pekerjaan dan kondisi pekerjaan yang baik (pasal 6 dan 7);
- Membentuk dan bergabung dalam serikat kerja (pasal 8);
- Perlindungan terhadap keluarga, ibu dan anak (pasal 10);
- Standar kehidupan yang memadai, termasuk pangan, sandang dan papan yang
layak (pasal 13);
- Tingkat kesehatan dan layanan kesehatan tertinggi yang dapat dicapai (pasal 12);
- Pendidikan (pasal 13);
- Pendidikan dasar yang wajib dan gratis (pasal 14);
- Berpartisipasi dalam kehidupan kebudayaan; mengambil manfaat dari kemajuan
ilmiah; dan mengambil manfaat dari perlindungan ilmiah, sastra, atau produk
artistik lain jika ia adalah penulis/pembuatnya (pasal 15)
Dalam upaya pemenuhan kewajiban negara Indonesia untuk melindungi, menghormati,
dan memenuhi hak-hak rakyat tersebut, perlu diingat karakter hak Ekosob dan prinsip-
prinsip yang terkandung di dalamnya yang perlu dipatuhi dalam interpretasi terhadap isi
Kovenan ini, yaitu karakter atau sifat tak terpisahkannya hak yang satu dengan hak
lainnya, karakter pencapaian secara bertahap (progressive realization) dan prinsip
(antara lain) non-diskriminatif dan (oleh karena itu) kesetaraan antara laki-laki dan
perempuan.
Dengan gambaran hak, karakter dan prinsip Kovenan tersebut dapat dikatakan bahwa
tuntutan/aspirasi yang disampaikan masyarakat di dua kasepuhan terhadap negara selaras
dengan isi Kovenan mengenai kewajiban negara untuk memenuhi hak warga negara.
Namun dalam konteks komunitas, pemenuhan terhadap hak-hak ini memiliki
problematika tersendiri. Hanya Pasal 1 Kovenan yang bernuansa komunitas atau nuansa
kelompok masyarakat. Jika aspirasi masyarakat kedua kasepuhan ini adalah untuk
mendapatkan pengakuan secara hukum sebagai komunitas masyarakat adat, maka
111
otonomi yang dimaksud harus melewati sejumlah persyaratan dalam perundangan-
undangan Indonesia. Hal yang sama akan berlaku bagi sebuah komunitas masyarakat
(adat) yang mengklaim hak intelektual atas sebuah inovasi (Pasal 15).
UUD 1945 Amandemen kedua, dalam Pasal 18 B ayat (2) menyatakan: Negara mengakui
dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Pasal ini jelas menyatakan adanya syarat pengakuan dan penghormatan terhadap sebuah
kelompok masyarakat yang mengklaim diri sebagai ‘masyarakat hukum adat28’ untuk
diakui oleh negara dengan status seperti itu. Klausul yang sama dapat dijumpai dalam
sejumlah peraturan perundangan. Undang-Undang No. 5/1960 tentang Undang-Undang
Pokok Agraria (UUPA) mengakui keberadaan masyarakat hukum adat dan hak ulayat.
‘sepanjang menurut kenyataanya masih ada, tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional dan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan
lain yang lebih tinggi’ (Pasal 3). UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,
Pasal 51 ayat 1 (b); UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 67; UU No. 7 tahun
2004 Tentang Sumberdaya Air Pasal 6 adalah sejumlah undang-undang yang dapat
disebutkan sebagai contoh, yang mencantumkan persyaratan bagi pengakuan dan dengan
demikian berimplikasi pada pemenuhan hak mereka sebagai komunitas. Beberapa pakar
hukum menamakan kondisi ini sebagai pengakuan bersyarat. Simarmata dalam kajiannya
tentang Pengakuan Hukum Terhadap Masyarakat Adat di Indonesia (Simarmata 2006:
58) menggambarkan kondisi ‘bersyarat’ ini dalam ulasannya mengenai pengakuan
terhadap masyarakat adat di lima propinsi dan lima kabupaten di Indonesia.
Persoalan utama dalam ketegangan antara masyarakat adat dan negara tentang klaim hak
adalah sifat hak yang berbeda yang menjadi concern masing-masing pihak dalam relasi
mereka. Dalam urusan pengakuan sebagai komunitas ada implikasi hak kolektif (hak
komunal) yang menjadi klaim dari masyarakat adat. Sementara hak-hak yang diatur oleh
28 Di sini digunakan asumsi bahwa apa yang dimaksud oleh terminologi ‘masyarakat hukum adat’ dalam peraturan perundangan Indonesia adalah subjek yang sama dengan yang dimaksud oleh terminologi ‘masyarakat adat’ dalam riset ini.
112
berbagai peraturan perundangan di Indonesia berkarakter hak individu. Undang-undang
No 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi menegaskan hal ini dalam Pasal 51 bahwa
masyarakat adat dapat menjadi pemohon, seperti perorangan, badan hukum publik atau
privat, dan lembaga negara. Artinya bahwa masyarakat adat sebagai sebuah badan hukum
(baik publik atau privat) yang sudah diakui negara dapat memilik status pemohon. Dan
ini serupa dengan hak untuk menjadi pemohon bagi legal entity yang lain, yang bersifat
individual. Untuk memperoleh pengakuan sebagai sebuah komunitas yang diakui sebagai
sebuah legal entity dalam perundang-undangan Indonesia, masyarakat adat harus dapat
memenuhi beberapa persyaratan untuk dapat diakui:
- Masih ada atau masih hidup
- Selaras dengan perkembangan jaman
- Tidak bertentangan dengan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia
- Dan diatur dengan undang-undang
Persoalan menjadi sangat rumit bagi masyarakat adat dengan adanya persyaratan ini
karena tidak ada rujukan yang jelas tentang kriteria untuk ‘masih hidup’ serta ‘selaras
dengan perkembangan jaman’. Dan kalaupun kedua kriteria ini terpenuhi kepastian status
sebagai masyarakat adat atau bukan tetap tergantung pada undang-undang, yang dalam
praktek hukum di Indonesia dimulai dengan adanya Perda pengakuan dan rekomendasi
ke pemerintah pusat mengenai ada tidak dan perlu tidaknya sebuah masyarakat adat
diakui melalui undang-undang. Dengan demikian kalau pun sebuah Perda mengakui hak
masyarakat adat niscaya akan diperiksa kesesuaiannya dengan peraturan perundangan
yang lebih tinggi.
Namun jika kita melihat dalam konteks tuntutan/aspirasi masyarakat adat di dua
kasepuhan ini, aspirasi mereka terentang dari konsep hak-hak individual yang tercantum
dalam Kovenan sampai hak kolektif yang dicirikan oleh self-determination within the
state. Hak-hak mana jelas dijamin dalam UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia. Pasal 6 UU ini menegaskan perlunya perhatian dan perlindungan terhadap hak
masyarakat adat, termasuk hak ulayat mereka, dengan catatan bahwa ‘selaras dengan
113
perkembangan jaman’. Sayangnya sampai saat ini belum ada satu pun tafsir resmi atau
sebuah peraturan perundangan yang menjelaskan secara pasti apa yang dimasud dengan
empat persyaratan di atas.
Dalam kerangka Kovenan, pemenuhan hak-hak masyarakat di dua kasepuhan ini dalam
konteks hak individu sesungguhnya tidak menghadapi problematika sebagaimana yang
dihadapi hak komunal atau kolektif. Pedoman Maastricht menjelaskan aspek apa saja
yang merupakan pelanggaran terhadap Kovenan dalam hal perhormatan, perlindungan
dan pemenuhan hak warga negara. Sebagaimana telah dijelaskan dalam Bab 1 dan 2
bahwa pelanggaran oleh negara terhadap hak warga negara yang tercantum dalam
Kovenan ini dapat berupa pembiaran atau pun berupa tindakan. Dan panduan ini menjadi
pedoman atau piranti-piranti pengingat agar pelanggaran tersebut jangan terjadi.
Dengan adanya UU HAM dan Kovenan Ekosob maupun Kovenan Hak Sipil dan Politik
(Sipol) sebetulnya masyarakat adat dapat memaksimalkan perjuangan mereka untuk
dapat memenuhi hak-hak dasarnya dalam konteks individu-individu warga sebuah
komunitas masyarakat adat. Tidak adanya rasa aman yang telah menjadi sejarah panjang
penderitaan mereka menyebabkan mereka sampai pada ‘kesimpulan’ bahwa status hak
individu tidak memberikan jaminan apa pun pada keamanan dalam mengakses
sumberdaya alam dalam ruang hidup tradisional mereka. Terutama ketika terjadi
‘kompetisi’ dengan berbagai legal entity yang diakui negara seperti badan hukum privat
dan publik dan lembaga-lembaga negara. Pengalaman menunjukkan bahwa dalam situasi
perhadapan dengan pihak lain seperti itu mereka selalu dikalahkan.
Terkait dengan UU Kehutanan No 41/1999, ketegangan antara masyarakat adat dan
negara bukan hanya menjadi ceritera dari kasepuhan, melainkan juga dari sejumlah
komunitas masyarakat adat di Indonesia. Hal ini adalah dampak dari klausul dalam UU
ini yang menyatakan bahwa sebua hutan adalah hutan negara. Dan hutan adat adalah
hutan negara yang terletak dalam wilayah masyarakat hukum adat (Pasal 1 butir 6).
Provisi inilah yang menjadi rujukan bagi setiap pihak yang hendak mengembangkan
usaha di bidang kehutanan dengan melakukan eksploitasi hutan. Celakanya peluang
usaha ini tertutup bagi masyarakat adat karena mereka ‘belum diakui’, karena harus
114
membuktikan diri dulu bahwa mereka masih ada, sesuai dengan perkembangan jaman
dan lain-lain.
Hal lain yang perlu diingat terkait dengan keadilan terhadap kaum perempuan adalah
bahwa negara Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala bentuk
Diskriminasi Rasial (CERD) dan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap Perempuan (CEDAW). Tanggung jawab negara dalam melaksanakan kedua
konvensi ini di berbagai komunitas masyarakat adat dengan nilai-nilai patriarkhi yang
kuat akan menjadi tantangan serius ke depan, termasuk di kedua komunitas kasepuhan
ini. Tantangan ini bukan hanya persoalan akses dan peluang untuk partisipasi politik
dalam konteks pemilihan umum (untuk perempuan 30% misalnya), melainkan perubahan
paradigma secara mendasar yang mengoreksi seluruh prinsip patriarkhi yang dijalankan
selama ini.
115
Bab 4
Kesimpulan dan Rekomendasi
1. Dalam pelayanan publik kebutuhan masyarakat kedua kesepuhan ini memerlukan
perhatian yang lebih serius dari negara, jika merujuk ke berbagai hukum
internasional yang telah diratifikasi maupun juga perundang-undangan nasional.
Akses ke sektor pendidikan, kesehatan, dan ekonomi skala kecil melalui
pengembangan pertanian dan industri rumah tangga adalah persoalan-persoalan
yang mengemuka secara jelas dan berulang-ulang dari pihak masyarakat
kasepuhan. Pemenuhan hak-hak dasar masyarakat dalam sektor ini tidak akan
menimbulkan komplikasi politik dan hukum yang serius bagi negara terkait
dengan pertanyaan mengenai otonomi komunitas dan hak-hak kolektif karena
hak-hak ini dapat dipenuhi bagi setiap warga kasepuhan tanpa harus memberikan
pengakuan hukum atas status mereka sebagai masyarakat adat.
2. Aspek informasi adalah sektor penting lain yang perlu diperhatikan dalam kaitan
dengan rekomendasi pertama di atas. Televisi barangkali sudah bukan merupakan
benda istimewa namun media cetak sangat langka di kedua komunitas. Hal ini
tidak sejalan dengan program pengentasan buta huruf yang digalakkan pemerintah
melalui program keakasaraan fungsional. Koran, tabloid, dan buku-buku bacaan
adalah barang sangat langka. Karena itu anak-anak sekolah hanya mengenal buku
pelajaran dan sangat miskin buku bacaan, sementara orang tua hanya
mengandalkan televisi sebagai sumber berita dan acara hiburan.
3. Jika adat dilihat dalam perspektif dinamis maka apa yang tertangkap di lapangan
dalam klaim-klaim adat mesti diletakkan dalam kerangka perluasan otonomi
sampai ke tingkat desa, sebuah bentuk otonomi yang terbatas dalam ruang lingkup
yang oleh undang-undang disebut sebagai ‘desa atau yang disebut dengan nama
lain’. Wewenang terbatas ini harus memberi hak tertentu kepada komunitas
masyarakat adat (desa atau yang disebut dengan nama lain) untuk dapat
mengakses sumberdaya alam dalam wilayah mereka. Wewenang terbatas ini perlu
diberi perlindungan melalui perundang-undangan untuk dapat memberikan
116
kekuatan hukum bagi komunitas ketika berhadapan dengan pihak lain dalam
‘kompetisi mendapatkan akses ke sumberdaya alam’.
Harus ada produk kebijakan dan hukum, yang isinya merumuskan secara tegas
pengakuan keberadaan masyarakat adat, kewenangan dan hak mereka dalam
pengelolaan sumberdaya alam, penyelesaian sengketa dan pemenuhan hak yang
memprioritaskan warga miskin dan tidak bertanah. Gagasan pengelolaan secara
bersama antara masyarakat dan dengan melibatkan stakeholder lainnya di
kawasan hutan Halimun perlu dipertimbangkan menjadi sebuah model. Tidak
kalah pentingnya, kebijakan serupa itu dapat menguraikan paradigma pengelolaan
sumberdaya alam yang memperhatikan kepentingan sosial, keberlanjutan ekologi,
kemandirian dan kesejahteraan masyarakat. Kebijakan ini diharapkan pula dapat
menyelesaikan sengketa agraria dan penataan otoritas dan kepentingan sektoral
dalam pemerintahan.
Untuk mencapai hal ini, sangat perlu adanya keseriusan dan kemauan politik
Pemerintah daerah dan legislatif untuk memenuhi hak-hak masyarakat kasepuhan
dan memfasilitasi proses dan program pembangunan sosial. Pengalaman
sebelumnya, Pemda dan legislatif belum menjadikan advokasi masyarakat
kasepuhan sebagai prioritas dan inisiatif rancangan perda dan atau SK Bupati
boleh ada karena desakan dan gagasan OMS yang concern terhadap permasalahan
masyarakat adat. Strategi dan aksi advokasi lainnya yang penting adalah
partisipasi rakyat yang masih parsial dan fokus pada kelompok komunitas tertentu
harus diperluas dan dengan tekanan yang lebih massif untuk perubahan kebijakan.
Potensi untuk adanya produk kebijakan dan hukum di tingkat daerah kabupaten
lebih “memungkinkan”, utamanya di Kabupaten Lebak, dikarenakan sudah ada
pengalaman yang bisa menjadi preseden penagkuan terkait dengan Perda Baduy
dan peluang-peluang adanya aktor pejabat legislatif dan bupati, serta organisasi
masyarakat sipil (OMS) yang mendukung inisiatif perlindungan hukum bagi
komunitas kasepuhan.
117
4. Perluasan ruang bagi isu pluralitas dan kesetaraan gender adalah masalah yang
perlu ditanggapi dengan hati-hati. Identitas primordial yang kuat saat ini
memerlukan pendekatan yang cermat. Pendekatan hak adalah salah satu yang
mungkin dilakukan. Kelambatan dalam menangani isu ini akan berdampak pada
ketertundaan selama satu generasi. Oleh karena itulah media informasi cetak dan
buku-buku bacaan adalah alat yang sangat penting dalam mendorong isu
pluralitas di kalangan anak-anak usia sekolah, usia di mana fleksibilitas terhadap
nilai-nilai masih sangat terbuka. Kaum tua adalah kelompok yang telah mencapai
tahapan establish dalam menganut sebuah sistem nilai.
5. Penegakan hukum di tingkat desa adalah persoalan yang tidak terlepas dari relasi
masyarakat adat dengan badan hukum publik maupun privat dan lembaga negara.
Kasus-kasus pidana umumnya dipercayakan kepada aparat hukum negara, namun
kasus-kasus yang menyangkut konflik sumberdaya alam membutuhkan sebuah
komitmen penegakan hukum yang lebih serius dari negara. Hal ini terkait dengan
kenyataan bahwa masih terus terjadinya pencurian kayu di Taman Nasional,
penambangan di dalam kawasan taman, dan perlakuan yang tidak seimbang
terhadap masyarakat yang hanya mengambil kayu untuk bangunan rumah. Upaya
penegakan hukum dalam hal ini perlu melibatkan masyarakat secara lebih
substantif. Upaya yang serupa telah dilakukan oleh sejumlah komunitas di daerah
lain seperti Toro di Sulawesi Tengah, Bentek di Lombok Barat, dan Meratus di
Kalimantan Selatan, adalah beberapa contoh yang menunjukkan efektivitas cukup
tinggi dalam menjaga tegaknya hukum dalam sebuah kawasan taman nasional.
Relasi ini dapat ditingkatkan dengan insentif yang lebih riil bagi sebuah
komunitas, terutama dalam akses mereka ke sumberdaya alam yang menjadi
gantungan hidupnya.
6. Proses pengambilan keputusan di tingkat komunitas kedua kasepuhan ini
berlangsung melalui proses musyawarah. Keputusan di tingkat desa senantiasa
secara budaya membutuhkan legitimasi adat. Oleh karena itu, dengan kenyataan
bahwa sejumlah tokoh adat menjadi pengurus inti pemerintahan desa, proses
pengambilan keputusan di tingkat desa semestinya dapat dipengaruhi melalui
struktur adat. Kesulitannya adalah jumlah partisipasi dan kualitas wacana dalam
118
proses pengambilan keputusan. Terbatasnya keterlibatan kaum perempuan dan
kelompok muda dalam struktur-struktur pengambilan keputusan ini memberikan
gambaran bahwa keputusan masih terkonsentrasi pada tangan struktur ini.
Musyawarah adalah media legitimasi bagi struktur tetapi bukan merupakan media
distribusi wewenang dari struktur kepada kelompok di luar mereka.
7. Rencana-rencana pembangunan yang hendak dilakukan dalam komunitas ini
dapat dilakukan melalui jalur negara maupun non-negara. LSM adalah salah satu
kelompok sosial yang telah membangun otoritas di tengah kasepuhan.
Keunggulan LSM adalah fleksibilitas dan egaliternya karakter mereka. Sedangkan
keunggulan pendekatan melalui jalur negara adalah kecenderungan untuk ‘patuh’
yang tinggi di kalangan pemerintah desa.
8. Orientasi politik pemerintah daerah yang berkuasa adalah faktor yang perlu
diperhitungkan dengan cermat bila melakukan sebuah program pemberdayaan
masyarakat adat dalam komunitas kasepuhan. Ketepatan dalam membaca
orientasi ini akan mempengaruhi tingkat pencapaian dari program.
9. Sebagaimana telah dikemukakan dalam bagian pendahuluan tulisan ini, karakter
gerakan masyarakat adat di Indonesia lebih dipicu oleh dominasi negara yang
berlebihan. Dominasi ini lahir dari relasi negara dan korporasi besar yang sangat
lekat seraya menyingkirkan hak-hak masyarakat secara umum dalam bentuk
aneksasi tanah dan sumberdaya. Dalam konteks ini protes masyarakat kasepuhan
harus dilihat sebagai tuntutan rakyat atas keadilan negara terhadap warga negara.
Keadilan ini bukan hanya menyangkut penegakan hukum melainkan juga koreksi
atas perundang-undangan yang tidak memberi peluang bagi rakyat untuk
mengakses sumber daya alam dan mengekspresikan hak-hak dasar mereka.
10. ‘Sebuah upaya bersama’ dari kerjasama antara komunitas, Respect, dan Pusaka,
seperti yang diungkapkan dalam FGD dapat dilihat dari trend perjuangan rakyat
menggunakan network sebagai salah satu strategi menyampaikan persoalan dan
tuntutan mereka. Network ini akan lebih berdayaguna bilamana diletakkan dalam
kerangkan memperkuat peran civil society organisation untuk mendorong
keadilan bagi rakyat.
- Depok, Juni 2008 –
119
Daftar Pustaka
Adimihardja, Kusnaka (1992). Kasepuhan Yang Tumbuh Di Atas Yang Luruh:
Pengelolaan Lingkungan Secara Tradisional Di Kawasan Gunung
Halimun, Jawa Barat. Bandung: Transito
Anaya, James S. (1996). Indigenous Peoples in International Law. New York: Oxford
Univeristy Press
Badan Pusat Statistik (2007). Statistik Indonesia 2007
Barnes, R. H.; Gray, Andrew; Kingbury, Benedict, eds. (1995). Indigenous Peoples of
Asia, Ann Arbor, Michigan: The Association for Asian Studies
Buletin Terompet, Edisi 12 Tahun II/1994
Catatan Hasil Kongres Masyarakat Adat Nusantara, Hotel Indonesia,
Jakarta, 15 – 22 Maret 1999
Davidson, Jamie S.; Henley, David, eds (2007). The Revival of Tradition in Indonesian
Politics: The deployment of adapt from colonialism to indigenism.
New York: Routledge
Elsam (1996): Tanah Sebagai Komoditas; Kajian Kritis atas Kebijakan Pertanahan Orde
Baru, Jakarta: Elsam
Hadikusuma, Hilman H. Prof. S.H. (1992). Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia.
Bandung: Mandar Maju
Hanafi, Imam, dkk. (2004). ”Nyoreang Alam Ka Tukang, Nyawang Anu Bakal Datang:
Penelusuran Pergulatan di Kawasan Halimun, Jawa Barat – Banten”. Bogor: RMI.
Hendarti, Latipah, penyunting (2007). Menepis Kabut Halimun: Rangkaian Bunga
Rampai Pengelolaan Sumber Daya Alam Di Halimun. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia
Kartodirdjo, Sartono; Poesponegoro, Marwati Djoened; Notosusanto, Nugroho, eds.
(1975). Sejarah Nasional Indonesia. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan
Konvensi ILO 169 ( tanpa tahun ) Mengenai Bangsa Pribumi dan Masyarakat Adat Di
Negara-negara Merdeka. ELSAM dan LBBT
120
Simarmata, Rikardo (2006). Pengakuan Hukum Terhadap Masyarakat Adat Di Indonesia;
Jakarta: Regional Initiative on Indigenous Peoples’ Rights and
Development (RIPP) UNDP Regional Centre in Bangkok
Soekanto, Soerjono (2001). Hukum Adat Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada
Santosa, Andri, dkk, ”Nyanghulu Ka Hukum, Nyanghunjar Ka Nagara: Sebuah Upaya
Masyarakat Cibedug Memperoleh Pengakuan”, Bogor, RMI, 2007.
Santosa, Andri, dkk, Penelusuran Ruang Kelola Masyarakat Wewengkon Adat Kasepuha
Citorek, Bogor, RMI, 2006.
Aprianto, Afif, paper “Hasil Riset Kelembagaan Adat Kasepuhan Citorek”, 2006.
Hidayati, Ulfa, Dinamika Perempuan Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam: Pemaknaan
Persoalan Hidup dan Jawabannya. (Pengalaman Belajar Bersama Kawan-
Kawan Perempuan Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten
Bogor, Jawa Barat), Makalah, Disampaikan dalam Lokakarya Community
Based Land Rehabilitation and Management Project, Cipanas, 25 – 27
Agustus 2003, diselenggarakan oleh Direktorat Pemberdayaan Masyarakat
dan Desa, Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia.
Hidayati, Ulfa (Editor), Akses dan Kontrol Perempuan atas Tanah dan Sumberdaya Alam
Studi Awal Bersama di Desa Mekarsari, Kecamatan Cibeber, Kabupaten
Lebak, Provinsi Banten – Indonesia, Rimbawan Muda Indonesia &
Voluntary Service Overseas, April 2004
121