riset akutansi kritis _ kabari bos

19
[Upgrade Cbox] refresh name email / url message Go help · smilies · cbox

Upload: cloveristic

Post on 16-Jan-2016

41 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

RAK

TRANSCRIPT

Page 1: Riset Akutansi Kritis _ KABARI BOS

4/21/2015 Riset Akutansi Kritis | KABARI BOS

http://siapbos.blogspot.com/2011/04/risetakutansikritis.html 1/19

Sudahkah Anda Memberi Kabar POSTS COMMENTS

HOME BISNIS KABAR OPINI MAKALAH REFERENSI RESENSI Search...

PostingLama →

Browse » Home » penelitian » Riset Akutansi Kritis

Riset Akutansi KritisSopanah, SE, MSi

BAB I.PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANGSaat dilangsungkan Millenium Summit pada bulan September 2000, Pemerintah

Indonesia bersama 188 negara lainnya sepakat menandatangani Deklarasi MilleniumPBB, sebuah program ambisius yang bertujuan untuk mengurangi kemiskinan,meningkatkan kesehatan dan pendidikan, mendorong adanya perdamaian, hak azasimanusia dan daya dukung lingkungan hidup. Pertemuan itu menghasilkansekumpulan tujuan yang disebut dengan Millenium Development Goals (MDGs) dansejumlah kebijakan khusus yang terukur dan dapat dicapai di tahun 2015.Pemerintah Indonesia, yang turut menandatangani kesepakatan ini berkomitmenpenuh untuk melaksanakan dan juga memonitor perkembangannya.

Komitmen bersama terhadap pemenuhan hakhak dasar manusia, dirumuskandalam delapan Tujuan Pembangunan Milenium yakni 1). Penghapusan kemiskinan(Eradicate extreme poverty and hunger), 2). Pendidikan untuk semua (Achieveuniversal primary education), 3). Persamaan gender (Promote gender equality andempower WOMEN ), 4). Perlawanan terhadap penyakit (Combat HIV/AIDS, malaria,and other diseases), 5). Penurunan angka kematian anak (Reduce child mortality),6). Peningkatan kesehatan ibu (Improve Maternal Health), 7). Pelestarian lingkunganhidup (Ensure Environmental Sustainability), 8). Kerja sama global (Develop a globalpartnership for development).

Untuk memenuhi target MDGs di tahun 2015, maka indikator dari 8 tujuanMDGs harus diintegrasikan dalam Rencana Kerja Strategi PenanggulanganKemiskinan Daerah (SPKD) dan dijabarkan dalam Anggaran Pendapatan danBelanja Daerah (APBD) sehingga menjadi acuan dalam pelaksanaan programpembangunan di daerah. Diakui bahwa kinerja penanggulangan kemiskinan diIndonesia tidak lepas dari kebijakan, dan kebijakan tidak dapat dipisahkan daripendanaan atau penganggaran (APBD).

Dalam bidang pendidikan misalnya, bagaimana pemerintah daerah lewatprogram pembangunan dengan mengacu pada indikatorindikator yang ada dapatmemastikan bahwa pada tahun 2015 semua anak dapat menyelesaikan pendidikandi tingkat pendidikan dasar dan lanjutan dan pada semua jenjang pendidikan tidaklebih dari tahun 2015. Di bidang kesehatan, bagaimana pemerintah daerah lewatprogram pembangunan dapat menurunkan angka kematian anak, meningkatkankesehatan ibu dan memerangi HIV/AIDS, Malaria, dan penyakit menular lainnya.Sementara di bidang lingkungan untuk air bersih, bagaimana memastikan proporsipenduduk dengan akses yang berkelanjutan terhadap sumber air bersih yang amanbaik di desa maupun di kota.

Jika pemerintah daerah mengintegrasikan indikatorindikator sepertimeningkatkan usia harapan hidup, meningkatkan angka partisipasi murni,

Beranda

MEDIA BELAJAR ANAK

LOKER 2011 KABARIBOS

16 Apr 15, 06:39 AMSaya nak komen:blog anda jom letakblog anda di blogsaya ye.

4 Apr 15, 01:06 PM [Upgrade Cbox] refresh name email / urlmessage Go

help · smilies · cbox

Page 2: Riset Akutansi Kritis _ KABARI BOS

4/21/2015 Riset Akutansi Kritis | KABARI BOS

http://siapbos.blogspot.com/2011/04/risetakutansikritis.html 2/19

menurunkan angka melek huruf dan meningkatan pendapatan perkapita pendudukmaka dengan sendirinya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) akan meningkat dantarget MDGs dapat tercapai di tahun 2015. Akhirnya pembangunan akan menjaditerasa adil bagi masyarakat atau masyarakat menganggap bahwa memangpemerintah itu ada dan peduli terhadap kehidupannya ( Sutoro, 2008),

Penanggulangan kemiskinan menjadi salah satu agenda/prioritas pemerintahnasional. Hal itu meniscayakan pemerintah daerah juga melaksanakan agendatersebut. Guna mengupayakan proses penanggulangan kemiskinan secara integratifmaka dibuatlah Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPKD) yangpenyusunannya secara partisipatif. Strategi diupayakan dapat menjadi ruh padasetiap program pada satuan kerja perangkat daerah (SKPD) pada setiapprogramnya. Berbagai tantangan guna mewujudkan hal tersebut antara lain masihbelum adanya data secara integral mengenai kemiskinan dan masih adanya egosektoral yang kadang menghambat koordinasi.

Melalui skema desentralisasi, pemerintah daerah diwajibkan menyiapkan RencanaPembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang mengacu pada RPJMN.Terbentuknya Komite Penanggulangan Kemiskinan Daerah (KPKD) di pemerintahKota/Kabupaten yang menyusun Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPKD)sebagai dasar pengarusutamaan (mainstreaming) penanggulangan kemiskinan daerah,sekaligus mendorong gerakan sosial dalam mengatasi kemiskinan. Komitmen nasional inimengharuskan pengurangan kemiskinan di aras daerah menyatu dengan sistem perencanaandan penganggaran daerah (APBD) sebagai salah satu bentuk dukungan komitmen pemerintahdaerah untuk mensukseskan tercapainya MDGs..

Tidak ada konsensus global tentang penyebab kemiskinan. Menurut Hardojo dkk (2008)Paling sedikit ada empat faktor yang menyebabkan kemiskinan dan seringkali dalam bentukkombinasi dua atau lebih dari faktorfaktor tersebut. Pertama, tidak adanya akses ke pasarkerja. Dengan demikian, salah satu strategi utama pengentasan kemiskinan adalahmenciptakan lebih banyak lapangan kerja. Kedua, kemiskinan disebabkan kerusakanlingkungan dan hilangnya habitat. Ketiga, pelayanan sosial yang kurang memadai. Anggaranpemerintah tidak selalu di alokasikan dengan semestinya untuk kepentingan rakyat. Keempat,tidak di ikut sertakan dalam proses pembuatan kebijakan. Kemiskinan bukan hanyakekurangan material, melainkan juga tentang marginalisasi, esklusi, dan kurangnyapemberdayaan. Oleh karena itu anggaran pemerintah juga mengacu pada pemenuhankebutuhan sosial politik.

Terdapat dua pendekatan pemikiran yang dapat dilakukan untuk mengentaskankemiskinan sebagai tujuan MDGs. Pertama, teori bahwa pertumbuhan ekonomi sendiri akanmenciptakan pembangunan yang berkelanjutan dan membantu rakyat mengatasi kemiskinanmereka (pro growth). Lapangan kerja menjadi jalan keluar utama yang dapat di ciptakanmelalui pertumbuhan ekonomi, dengan membiarkan “pasar” mengurus pengentasankemiskinan. Kedua, pengentasan kemiskinan didasarkan pada kebijakan pro poor yang pekaterhadap perbedaan sosial dan ekonomi. Pendekatan ini berargumentasi bahwa pasar tidaklahnetral atau adil bagi semua. Kelompok tertentu dalam masyarakat termarginalkan oleh prosespertumbuhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan redistribusi dan tindakan afirmatif yangsecara aktif dan eksplisit menangani ketidaksetaraan dari pasar.

Pendekatan dan momentum baru itulah yang turut membiakkan dan menyebarluaskangagasan reformasi kebijakan daerah menuju pro poor budget di semua daerah di Indonesia.Kalangan organisasi masyarakat sipil (CSOs) paling gencar mempromosikan dan melakukanadvokasi anggaran pro poor. Secara empirik sudah ada sejumlah daerah (Jembrana, Solok,Blitar, Sragen, Sinjai, Purbalingga, Tanah Datar, Belitung Timur) yang telah tampil sebagaikampiun dalam mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan melalui skema propoor budget. Pendidikan dan kesehatan “gratis” bagi rakyat miskin merupakan tema yangkonkret dan utama dalam pro poor budget itu. Studi Eko (2007), misalnya, menyebut kampiunkampiun yang inovatif itu sebagai “daerah budiman”, yakni daerah yang memilikiketerbatasan anggaran (APBD) tetapi mengeluarkan belanja sosial yang relatif tinggi untukmempromosikan kesejahteraan rakyat. Di berbagai Kota/kabupaten di Indonesia sampai

Page 3: Riset Akutansi Kritis _ KABARI BOS

4/21/2015 Riset Akutansi Kritis | KABARI BOS

http://siapbos.blogspot.com/2011/04/risetakutansikritis.html 3/19

dengan saat ini masih banyak daerah yang belum masuk dalam daftar “daerah budiman”tersebut. Oleh Karena itu studi ini hendak menelusuri dan mendeskripsikan bagaimanastrategi kebijakan daerah yang berbasis pro poor budget/ pro gender budgeting diKota/Kabupaten di Indonesia dalam rangka upaya pencapaian MGDs.

Sebelum membahas tentang makna anggaran yang berpihak pada rakyat miskin (ProPoor Budget) akan di paparkan dahulu konsep tentang anggaran. Anggaran sebagai sebuahkebijakan bukan sekedar urusan administrasi dan manajerial yang sering dikerangkai denganilmu akuntansi, melainkan juga mengandung pilihan ideologi dan sarat dengan kekuasaanpolitik[1]. Jika dipandang dari perspektif ekonomi politik, anggaran adalah barang langkayang menjadi ajang tempur beragam aktor (pemerintah, instansi, birokrat, parpol, pengusaha,ormas, rakyat kecil dan lainlain). Rakyat yang tidak mempunyai kekuasaan umumnya kalahbertarung dalam mengakses anggaran sehingga banyak diantara mereka jatuh miskin. Jikarakyat miskin, sebenarnya telah terjadi alokasi anggaran yang timpang sebagai bukti konkritkegagalan negara menjalankan fungsi kesejahteraannya.

Oleh karena itu, konsep anggaran pro poor sebaiknya dipahami dalam konteks perannegara mengurangi kesenjangan (Suhirman, 2004). Banyak yang memberikan makna tentangpro poor budget. Cadaty dkk (2000) mengkaitkan pro poor dengan adanya formulasianggaran yang transparan dan partisipatif. Sementara Fridolin (2006) dalam Hardojo dkk(2008;36) memberi tiga makna anggaran pro poor. Pertama, anggaran yang berpihak padaorang miskin. Kedua, praktek penyusunan dan kebijakan di bidang anggaran yang sengaja (bydesigned) ditujukan untuk membuat kebijakan, program, dan proyek yang berpihak padakepentingan masyarakat miskin. Ketiga, kebijakan anggaran yang dampaknya dapatmeningkatkan kesejahteraan atau terpenuhinya kebutuhan dasar orang miskin.

Anggaran harus memprioritaskan dan menjembatani berbagaikebutuhan/permintaan yang seringkali berbenturan, padahal kemampuan pemerintahuntuk meningkatkan anggaran sangat terbatas. Untuk itu anggaran harus memilikiprioritas mengenai kebutuhankebutuhan dasar yang harus dipenuhi. Anggaranharus menentukan sumber daya apa yang tersedia untuk tahun mendatang sertabagaimana pemerintah menggunakannya seperti barang dan pelayanan apa yangakan diberikan dengan anggaran tersebut. Dengan anggaran pemerintah dapatmerencanakan kegiatan setahun rnendatang dan menjadi bagian dan kinerjapemerintah yang dapat dinilai dan harus di pertanggungjawabkan

Secara konseptual, pro poor policy adalah tindakan politik yang bertujuanmengalokasikan hakhak dan sumber daya kepada individu, organisasi, dan wilayah yangterpinggirkan oleh pasar dan negara[2]. Anggaran pro poor merupakan bentuk tindakanafirmatif dalam pengarusutamaan kemiskinan yang kini menjadi komitmen global dalamMDGs yang dalam konteks Indonesia sudah dijabarkan dalam SNPK, RPJMD, dan SPKDyang disusun ratarata mengandung tujuantujuan pengurangan kemiskinan dan promosikesejahteraan.

Studi ini berangkat dengan sebuah keyakinan bahwa desain institusional itu pentingtetapi tidak cukup untuk melahirkan APBD yang berpihak para masyarakat miskin yang dapatmenciptakan kesejahteraan sosial. Tetapi juga diperlukan perubahan struktural kekuasaan(negara) yang sebelumnya mendominasi dalam pengambilan kebijakan (APBD) menjadipartisipatif yang melibatkan masyarakat. APBD adalah persoalan pertaruhan kekuasaan(negara) dan kepentingan yang beragam. APBD menjadi arena kontestasi beragam aktorpolitik di tingkat lokal (kepala daerah, DPRD, birokrat, partai politik, pengusaha, organisasimasyarakat sipil, dan lainlain), yang masingmasing mempunyai kepentingan secara beragampula. Politik anggaran daerah yang berorientasi pada pengurangan kemiskinan (pro poor) danberpihak kepada kesejahteraan tidak mungkin turun dari langit, tetapi selalu diawali dengankontestasi politik yang dimenangkan oleh koalisi pro poor atas kekuatan pro elite.

Oleh karena APBD menjadi arena kontestasi beragam aktor politik maka diperlukandorongan nilai universal yang menyangkut demokrasi, partisipasi, transparansi danakuntabilitas. Disamping itu diperlukan kebebasan memperoleh informasi.Konsekuensi dari transparansi pemerintahan adalah terjaminnya akses masyarakatdalam berpartisipasi, utamanya dalam proses pengambilan kebijakan maupaunpenyusunan APBD. Sehingga, partisipasi masyarakat menjadi kata kunci dan sangatpenting karena pada dasarnya bentuk kebijakan otonomi dan desentralisasi wajibhukumnya mengedepankan aspirasi dan kepentingan masyarakat (Achmadi, dkk,2002; 74).

Di banyak negara berkembang, proses penyusunan anggaran dimonopoli oleh

Page 4: Riset Akutansi Kritis _ KABARI BOS

4/21/2015 Riset Akutansi Kritis | KABARI BOS

http://siapbos.blogspot.com/2011/04/risetakutansikritis.html 4/19

aparat pemerintah dan biasanya tidak memberi ruang bagi partisipasi publik atauproses konsultasi. Bahkan, di beberapa tempat aparat pemerintah memperlakukandokumen dan informasi anggaran dan keuangan sebagai dokumen rahasia. Selamaproses pembuatan kebijakan, seringkali hanya sedikit informasi mengenai anggaranyang tersedia bahkan untuk anggota legislatif sekalipun. Di banyak kasus, informasitersebut sengaja ditutup, atau tidak dibuka sama sekali dan anehnya tidak adaseorangpun menanyakan informasi tersebut. Dan ketika dokumen tersebut harusdibuka tidak ada prosedur yang jelas tentang informasi apa yang sebaiknyadisediakan dan oleh siapa. Lebih jauh lagi, format anggaran juga seringkali tidakmudah dibaca dan diakses oleh masyarakat biasa. Hal ini membuat masyarakat sulituntuk bisa mengerti apalagi mengomentari dokumen anggaran yang diajukan,sebagaimana banyak terjadi pada saat pemerintah melakukan dengar pendapatdengan publik mengenai anggaran. Akibatnya banyak orang menjadi apatis dankurang bersemangat unluk memberikan masukan selama proses anggaranberlangsung.

Terjadinya perubahan paradigma dalam proses penyusunan APBD yangmengedepankan partisipasi dan transparansi telah dibuktikan dengan beberapa hasilriset. Riset yang dilakukan Sopanah (2004) telah membuktikan bahwa adanyapartisipasi dan transparansi dalam penyusunan APBD akan memperkuatpengawasan yang dilakukan oleh DPRD. Jaminan regulasi penyusunan APBDdidasarkan pada UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 33/2004tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah menuntut adanyapartisipasi masyarakat dan transparansi anggaran dalam keseluruhan siklusanggaran. Demikian juga dalam UU No.17/2003 tentang Keuangan Negaramengamanatkan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD yang nyatanyata dalamPP No. 105/2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerahserta PP No. 108/2000 Berdasarkan UU No.25/2004 tentang Sistem PerencanaanPembangunan Nasional mekanisme partisipasi dalam perencanaan danpenganggaran sudah diatur sedemikian rupa yang kemudian diperjelas melalui SEBersama BAPPENAS dan Mendagri No.1354/M.PPN/03/2004050/744/SJ tentangPedoman Pelaksanaan Forum Musrenbang dan Perencanaan Partisipatif Daerahmengapresiasi ruang partisipasi masyarakat dengan polapola perencanaan danpenyusunan APBD yang bottom up planning. Sementara itu pedoman pengelolaankeuangan daerah juga mengatur persoalan partisipasi masyarakat yang tertuangdalam Permendagri No.59/2007 tentang Perubahan Permendagri No.13/2006tentang Pedomaan Pengelolaan Keuangan Daerah. Menyadari pentingnyapartisipasi masyarakat diperlukan langkahlangkah strategis agar partisipasimasyarakat bisa berjalan kondusif. Sehingga, partisipasi masyarakat menjadi pentingbagi sebuah pemerintahan sebagai upaya untuk meningkatkan arus informasi,akuntabilitas, memberikan perlindungan kepada masyarakat, serta memberi suarabagi pihak yang terimbas oleh kebijakan publik yang diterapkan Sisk (2002; 188).

Partisipasi masyarakat dalam penganggaran harus dilakukan pada setiaptahapan dalam siklus anggaran mulai dari penyusunan, ratifikasi, pelaksanaan,sampai dengan pertanggungjawaban (Mardiasmo, 2002;70). Selain partisipasimasyarakat dalam proses APBD, prinsipprinsip lain dalam penyusunan anggaranseperti transparansi dan akuntabilitas, disiplin anggaran, keadilan anggaran, efisiensidan efektifitas serta taat azas. Hambatan dalam pengembangan partisipasimasyarakat dalam penyusunan APBD diantaranya tidak adanya sosialisasi kemasyarakat dan sulitnya mengakses berbagai kebijakan publik. Minimnya partisipasimasyaraka juga di sebabkan kurangnya dukungan pemerintah dalam bentuk Perda.Oleh karena itu, studi ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi untukdibentuknya Perda tersebut (Sopanah, 2005).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Sopanah dan Wahyudi (2005a)[3] diJawa Timur sebagai contoh kasus penyelenggaraan pemerintahan daerah masihjauh dari prinsipprinsip penyusunan APBD yang partisipatif, transparan danakuntabel, adil, disiplin, efektif dan efisien serta taat azas. Ketidakefektifan partisipasimasyarakat dalam proses Penyusunan APBD disebabkan karena: Pertama, Tidakadanya sosialisasi dari Pemerintah Daerah dan DPRD. Kedua, MekanismeMusrenbang (musyawarah perencanaan pembangunan) dari tingkat Kelurahan,Kecamatan hingga Kota yang ditempuh hanya sekedar formalitas belaka. Ketiga,Ketidakpedulian (partisipasi) masyarakat khususnya masyarakat menengah kebawahmasih relatif kecil yang disebabkan karena hanya sedikit Lembaga SwadayaMasyarakat (LSM) yang melakukan advokasi kebijakan anggaran publik. Kasus

Page 5: Riset Akutansi Kritis _ KABARI BOS

4/21/2015 Riset Akutansi Kritis | KABARI BOS

http://siapbos.blogspot.com/2011/04/risetakutansikritis.html 5/19

diatas bukan hanya melanggar dari ketentuan dan prinsipprisip penyusunan APBDmelainkan akan berimplikasi terhadap ketidakberpihakan kebijakan penganggaranpada rakyat miskin sebagai salah satu prioritas pengentasan kemiskinan dan upayapencapaian MDGs.

Berbagai kasus yang terjadi di Jawa Timur diantaranya di Kota Malang,Kabupaten Malang, Kota Batu, Kabupaten Blitar, Kabupaten Jember, KabupatenBanyuwangi, Kabupaten Sidoarjo, Kota Surabaya indikasi penyimpangan dalamproses penyusunan APBD yang tidak sesuai dengan prinsipprinsip penyusunanAPBD. Indikasi itu diantaranya: pertama, tidak ada sosialisasi APBD sehinggadicurigai APBD tidak transparan dan akuntabel. Kedua, APBD yang disusun tidaksesuai dengan dokumen perencanaan, molor dalam pembahasan dan pengesahansehingga APBD tidak disiplin anggaran. Ketiga, APBD Tidak propoor budget dangender budget artinya APBD tidak memihak rakyat miskin dan tidak berkeadilangender. Keempat, banyak Markup dan pemborosan oleh karenanya APBDdikatakan tidak efisien, efektif dan ekonomis. Kelima, terjadi kesenjanganpendapatan aktual dan potensi sehingga APBD tidak rasional & tidak terukur, danKenam, Tolak ukur keberhasilan program kegiatan tak jelas karena tidakmenggunakan pendekatan kinerja (Sopanah dan Wahyudi, 2005b).

Forum Warga sebagai wahana demokratisasi di tingkat lokal (MajalayaSejahtera) telah diusulkan oleh Syifudian (2004) melalui fasilitasi prosespembentukan multi stakeholder. Forum warga merupakan salah satu bukti adanyapartisipasi masyarakat dalam proses penyusunan kebijakan. Bukti lain tentangadanya partisipasi dalam proses penyusunan APBD di Kota Tarakam ditunjukan olehSuroso (2006)[4] yang menyatakan telah terjadi pemihakan kepentingan rakyatdengan adanya implemtasi Perda yang sungguhsungguh dan tidak sekedarmenjalankan musrenbang secara formal prosedural belaka.

Partisipasi masyarakat dalam pemerintahan lokal juga di tunjukan di AfrikaSelatan oleh Storey dan Woolbridge (dalam Sisk, 2002;252) yang terdiri dari empattahapan yaitu: mobilisasi, negosiasi, pengambilan keputusan bersama, danpemerintah lokal yang demokratis. Di Porto Alegre Brazil telah menjadi inspirasi bagiseluruh negara didunia menyangkut aktivitas anggaran yang partisipatif. Ada tiga halyang menjadi asal usul lahir dan berkembangnya gagarasan partisipatif. Pertama,transisi pemerintahan dari otoriitarian menuju demokratis, kedua, perubahan nasionaltentang moneter yang mempengaruhi pengaturan keuangan, dan ketiga karenaperubahan karakter negara bagian yang lebih dinamis (Navaro, 2004 dalam Basyir,Wahyu (ed), 2006; 23).

Berangkat dari persoalan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa selama ini prosespenyusunan APBD masih menjadi dominasi negara (kekuasaan), dalam hal ini beberapamekanisme penyusunan APBD terkesan formalitas mengingat masih kuatnya struktur negarasebagai alat untuk memobilisir proses penyusunan tersebut dari tingkatan pemerintah daerahsampai pada level terkecil RT/RW. Musrenbang sebagai mekanisme satu jalur tidakmemberikan celah bagi warga masyarakat untuk mengajukan usulan program kegiatan dalambentuk lain. Alihalih bisa di selaraskan dengan kegiatan musrenbang, jasmas (jaring aspirasimasyarakat) yang dilakukan oleh anggota dewan pun hanya mewakili partai dan konstituendimana mereka dipilih dan bukan lagi mewakili masyarakat secara keseluruhan. Oleh karenaitu perlu kiranya mencari terobosan untuk mereformulasi proses penganggaran yang lebihpartisipatif, transparan dan akuntabel[5].

Logika perubahan proses penyusunan APBD dari yang semula di dominasi negara danstruktur kekuasaan menjadi proses penyusunan partisipatif adalah dalam rangka merubahproses peran dan bentuk serta isi APBD yang lebih mencerminkan anggaran yang pro poorbudget. Perubahan itu bukannya tidak mungkin untuk diorientrasikan pada proses peningkatankesejahteraan dan penurunan angka kemiskinan serta peningkatan pelayanan publiksebagaimana yang ditargetkan dalam pencapaian Millinium Development Goals (MDGs..

Oleh karena itu studi ini disusun untuk mengetahui bagaimana proses penyusunanAnggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) yang semula di dominasi oleh negara (kaumpro elite) dirubah menjadi partisipatif dalam proses penganggaran berbasis pro poor budget.Jika hal ini tercapai maka target pencapaian Millinium Development Goals (MDGs) yaituPenghapusan kemiskinan, Pendidikan untuk semua, Persamaan gender,Perlawanan terhadap penyakit, Penurunan angka kematian anak, Peningkatankesehatan ibu, Pelestarian lingkungan hidup, dan Kerja sama global dapat tercapai ditahun 2015.B. RUMUSAN MASALAH:1. Bagaimana realitas proses penyusunan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah

Page 6: Riset Akutansi Kritis _ KABARI BOS

4/21/2015 Riset Akutansi Kritis | KABARI BOS

http://siapbos.blogspot.com/2011/04/risetakutansikritis.html 6/19

(APBD)?2. Bagaimana sistem mekanisme dan prosedur penerapan anggaran yang pro rakyat miskin

(Pro Poor Budget)?.3. Bagaimana menggeser dominasi negara menuju partisipasi masyarakat dalam

proses penyusunan APBD?C. TUJUAN PENELITIAN:1. Mengetahui realitas dalam proses penyusunan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah

(APBD).2. Mengetahui sistem mekanisme dan prosedur penerapan Anggaran yang pro rakyat miskin

(Pro Poor Budget).3. Membuat Strategi untuk merubah dominasi negara dalam proses penyusunan

APBD menuju partisipatif (Pro Poor Budget).D. KONTRIBUSI PENELITIAN1. Secara teoritis dapat dijadikan sebagai acuan untuk pengembangan teoriteori

akuntansi sektor publik dengan mengkonstruksi kembali format penganggaranakuntansi sektor pubik yang partisipatif dan pro poor budget.

2. Dapat dijadikan sebagai acuan bagi pemerintah pusat dan daerah untukmengambil kebijakan dalam proses penganggaran daerah khusunya dalam ruangpartisipasi masyarakat dalam proses penyusunan anggaran.

3. Dapat dijadikan pegangangan bagi Lembaga Sosial Masyarakat LSM atau pegiatsosial dalam rangka mengadvokasi anggaran berbasisi rakyat miskin (Pro PoorBudget) sebagai upaya mengurangi kemiskinan yang merupakan Agendapencapaian MDGS.

4. Bagi Masyarakat akan terpenuhi hakhak masyarakat khususnya masyarakatmiskin yang tertuang dalam MDGs melalui pengalokasian anggaran di masingmasing daerah.

BAB IIKAJIAN TEORI SOSIOLOGIS

A. PARADIGMA ILMU PENGETAHUANKata paradigma[6] berasal dari bahasa Yunani para deigma (disamping) dan

dekynai (memperlihatkan: yang berarti model, teori, persepsi, asumsi, atau kerangkaacuan. Dalam pengertian yang lebih umum, paradigma adalah cara kita “melihat”dunia, bukan berkenaan dengan pengertian visual dari tindakan melihat, melainkanberkenaan dengan mempersepsi, mengerti, menafsirkan. Sejak abad pencerahansampai era globalisasi seperti ini, ada empat paradigma yang di kembangkan olehpara ilmuwan dalam menemukan hakikat realitas. Salim (2001) menyebutkankeempat paradigma tersebut yaitu positivisme, postpositivisme, critical theory, dankonstruktivisme. Perbedaan keempat paradigma ini dapat di lihat dari cara merekadalam memandang realitas dan melakukan penemuanpenemuan ilmu pengetahuanditinjau dari tiga aspek pertanyaan: ontologis, epistemologis, dan metodologis.Beberapa sosiolog membagi paradigma sebagai berikut[7]. Burel dan Morgan (1979)membagi paradigma menjadi 4 yaitu: positivism (fungsionalist), interpretive, radicalhumanis dan radical structuralist. Chua (1986) membagi paradigma menjadi tigayaitu positivism (fungsionalist), interpretive, dan critis. Sedangan Sarantakos (1990)membagi paradigma menjadi empat yaitu positivism (fungsionalist), interpretive, critisdan Postmodern. Berdasarkan hal tersebut Universitas Brawijaya dalam ProgramDoktor Ilmu Akuntansi (PDIA) selain menerapkan paradigma yang sebutkan, jugamenambahkan paardigma baru yaitu Pardigma Spiritualis[8].

Berikut beberapa penjelasan tentang keempat paradigma tersebut.1. Paradigma Fungsionalis, Para sosiolog yang menganut paradigma fungsionalis adalah

orangorang yang telah menjadi pakar dalam debat “orderconflict”. Paradigma inimenekankan objektivitas pada pandangan Sociology of Regulation. Para pakar paradigmaini berpendapat bahwa ilmu sosial dibangun dari objekobjek dan relasirelasi yangkonkrit sehingga dapat diukur secara objektif. Kekurangan pada teoriteori yang tergolongdalam paradigma ini adalah bahwa teoriteori tersebut tidak dapat menjelaskan adanyaperubahan sosial yang terjadi di masyarakat.

2. Paradigma Interpretif, Para penganut paradigma interpretif lebih menekankan aspek

Page 7: Riset Akutansi Kritis _ KABARI BOS

4/21/2015 Riset Akutansi Kritis | KABARI BOS

http://siapbos.blogspot.com/2011/04/risetakutansikritis.html 7/19

partisipan daripada aspek pengamat. Tetapi penganut paradigma ini tetap menekankanpada aspek regularitas karena adanya asumsi bahwa masyarakat merupakan suatu entitasyang bersatu dan teratur. Paradigma ini merupakan produk langsung dari aliran “GermanIdealism”.

3. Paradigma Radikal Humanis, Paradigma ini hampir serupa dengan paradigma interpretifnamun lebih menekankan pada perubahan dan transformasi yang terjadi di masyarakat.Pandangan ini dibangun atas asumsiasumsi yang bertentangan dengan paradigmafungsionalis, menekankan kesadaran individu untuk melawan struktur dan keteraturansosial yang telah ada, yang akhirnya melahirkan perubahan.

4. Paradigma Radikal Strukturalis, Pada umumnya memiliki banyak kesamaan denganparadigma fungsionalis. Perbedaannya, paradigma ini menekankan bahwa perubahansudah menjadi bagian integral dalam masyarakat saat ini. Penganut teori ini berusahamemformulasikan hubungan berbagai aspek yang mempengaruhi perubahan yang terjadidi masyarakat. Keempat paradigma baru ini diharapkan dapat mencakup semuapandangan dan aliran yang terdapat dalam pembelajaran ilmu sosial.

B. ASAL MUASAL PARADIGMA KRITISTitik awal intelektual dari paradigma kritis radical humanis dapat di telusuri dari

doktrin idealisme Jerman dan pemikiran Kantian bahwa kenyataan dasar dari alamsemesta adalah lebih spiritual daripada bendabenda dialam. Paradigma humanismeradical didasarkan pada idelisme objektif dalam karya Hegel. Dalam bukunya Hegelmendemonstrasikan bagaimana pengetahuan melewati serangkaian bentukbentukdari kesadaran sampai suatu “pengetahuan absolut” , dimana individu berada padasatu “roh absolut” yang meluas kealam semesta. Yang dapat dikenal dari “HegelianMuda” adalah pemuda Karl Mark (18181883) yang bersebrangan dalam esensisistem Hegelian dan menyatukannya dengan suatu kritikan pada masyarakat dizamannya.

Teori kritis mewakili garis prinsip dari pengembangan dalam tradisi idealisobjektif dan terletak dalam region subjectif paling rendah dalam paradigma humanisradikal. Tiga sekolah yang mengakui adanya perkembanagn teori kritis yaituLucasian, Gramsci dan Frankfrut School. Ketiganya secara pemikiran berbeda padalevel substantif, tetapi semuanya dipredikatkan pada inversi Marx dan sistempemikiran Hegelian. Teori kritis merupakan merk dari teori filosofi sosial yangmencoba untuk beroperasi secara simultan pada level filosofis, teoritis, dan praktis.

Teoriteori kritik berpandangan bahwa dominasi bersifat struktural, yaknikehidupan masyarakat seharihari dipengaruhi oleh institusi sosial yang lebih besarseperti politik, ekonomi, budaya, diskursus, jender, ras. Teori Sosial kritismengungkapkan struktur ini untuk membantu masyarakat dalam memahami akarglobal dan rasional penindasan yang mereka alami Pada level ini, teori sosial kritisberkeyakinan bahwa struktur dominasi direproduksi melalui kesadaran palsumanusia, dilanggengkan oleh idiologi (Marx) reifikasi (George Lukacs), hegemoni(Gramsci), pemikiran satu dimensi (Marcuse), metafisika keberadaan (Derida). Kinikesadaran palsu dipelihara oleh ilmuilmu sosial positivis seperti ekonomi dansosiologi yang menggambarkan masyarakat sebagai entitas yang dikendalikan olehhukum kaku. Akibatnya orang diajak untuk berpikir bahwa bahwa satusatunyaprilaku yang beralasan berkaitan dengan penyesuaian dan polapola keajegan ini.Teori sosial kritis mematahkan kesadaran palsu dengan meyakini adanya kuasamanusia, baik secara pribadi maupun secara kolektif untuk mengubah masyarakat.[9]

Dalam dataran praksis empiris, teori sosial terhegemoni oleh strukturkapitalisme, maka dalam dataran teoritismetodologis, ilmuilmu sosial jugaterkooptasi oleh dominasi positivisme sebagai produk teoritik dari sistem kapitalisme.Positivisme yang menekankan aspek kuantitatif, empiris, dan causal laws telahmendominasi metodologi ilmuilmu sosial sehingga memarginalkan metodologiantipositivisme yang lebih kualitatif, normatif, dan interpretatif. Implikasi negatifnyaadalah ilmuilmu sosial telah jauh keluar dari induknya dan mengagungagungkanlogika kalkulatif berdasar angkaangka sebagaimana metodologi dalam ilmuilmu

Page 8: Riset Akutansi Kritis _ KABARI BOS

4/21/2015 Riset Akutansi Kritis | KABARI BOS

http://siapbos.blogspot.com/2011/04/risetakutansikritis.html 8/19

eksakta.Peran ilmu dalam prespektif positivis hanyalah untuk mengklasifikasi dan

menyusun fakta berdasarkan metode yang benar (metodological correctness).Positivisme adalah bentuk idiologi represif yang punya karakter “penyerahan realitassosial kepada bentuk yang dapat dikalkulasi dan dikontrol”. Ilmuilmu sosial positivistelah mencampakkan filsafat moral dan nilainilai etika. Menurut ilmuwan sosialpositivis, ilmuilmu sosial harus bebas nilai sehingga karyakarya yang dihasilkanbersifat objektif empirik. Dua disiplin ilmu sosial yang telah benarbenar all outmenerapkan positivisme adalah ilmu ekonomi dan psikologi.[10] Di dalam ilmu politikpun telah ada pendekatan dominan positivisme, yakni behavioralisme yang inginmembawa ilmu politik mengikuti jejak ilmu ekonomi dan psikologi. Positivisme telahmengkooptasi ilmuwanilmuwan sosial untuk membawa ilmuilmu sosialmenggunakan metodologi ilmuilmu eksakta. Padahal, konsep ilmu bebas nilaisebagaimana dianut oleh para positivis semakin banyak ditinggalkan orang. Ilmuwan,mulai dari penganut pendekatan phenomenologik, mulai mengimplisitkan nilai : mulaidari observasi, analisis sampai kesimpulan. Malah ilmuwan mutakhir denganpendekatan teori kritis mulai mengeksplisitkan idiologi dalam pengembangan ilmu.

Akibat negatif dari positivisme ini adalah bahwa ilmuwan sosial tidak pekaterhadap objek studinya karena hilangnya nilainilai moral etika yang ada dalamdirinya. Ilmuwan sosial juga cenderung gagal dalam memahami fenomena sosialkarena empirisitas yang mereka anut tanpa mengindahkan makna di balik fenomenasosial tersebut. Selain itu, tujuan ilmuilmu sosial sebagai problem solving, merekatolak karena akan terjadi pemihakan. Sikap demikian telah mendorong ilmuilmusosial positivis jauh dari kenyataan objek studinya sehingga daya analisisnya selalumengalami ketumpulan dan kebiasan.

Berbeda dari paradigma ilmu sosial diatas, kemunculan teori kritis berpendapatbahwa untuk mengerti sifat teori perlu diperhatikan hubunganhubungan dialektikaldiantara paradigmaparadigma yang berhubungan. Dengan kata lain,teori/pengetahuan harus dilihat dalam kontekskonteks sosialhistoris yangmembentuk perkembangannya. Teori kritis menolak pemisahan antara pengetahuandan kepentingan sebagaimana yang diajukan oleh ahli positivis karena pengetahuanselalu berlandaskan atas kepentingan. Pemisahan kepentingan dan pengetahuanterlihat seperti kecurigaan penganut dari teori ini, bagi mereka ini merupakan carauntuk mereproduksi status quo dan mendorong untuk menyesuaikan diri dengankenyataan sosial. Persamaannya, teori ini bersebrangan dengan sifat bebas nilai dariilmu pengetahuan, atas alasan gagasan seperti ini dapat dengan mudah dipengaruhimistifikasi dan sangat problematis karena hal yang dikalim sebagai bebas nilai itusebagai suatu nilai tersendiri.

Melihat kenyataan dominasi positivisme yang memacetkan metodologi ilmuilmusosial di atas, perlu kiranya para ilmuwan sosial yang antipositivisme dan masihmemegang teguh filsafat moral dan etika untuk mendekonstruksi positivisme.Dekonstruksi positivisme tidak bisa dilakukan secara parsial dan sendirisendiri olehmasingmasing disiplin ilmu sosial. Namun, harus dilakukan secara bersamasamabaik dalam ilmu ekonomi, psikologi, sosiologi, dan ilmu politik. Dalam ilmu ekonomipun telah ada kegelisahan terhadap dominasi positivisme. Hal ini dapat dilihat dalamkaryakarya Gunnar Myrdal (1969) dan Amartya Zen (1988).[11] Oleh karena itu,perlu dibentuk forum lintas disiplin ilmu sosial untuk mengonsolidasi diri.C. PERKEMBANGAN TEORI KRITIS

Menurut kamus ilmiah populer, kritis adalah Tajam/tegas dan teliti dalammenanggapi atau memberikan penilaian secara mendalam. Sehingga teori kritisadalah teori yang berusaha melakukan analisa secara tajam dan teliti terhadaprealitas. Secara historis, berbicara tentang teori kritis tidak bisa lepas dari MadzhabFrankfurt. Dengan kata lain, teori kritis merupakan produk dari institute penelitiansosial, Universitas Frankfurt Jerman yang digawangi oleh kalangan neomarxisJerman. Konfrontasi intelektual yang cukup terkenal adalah perdebatan epistemologi

Page 9: Riset Akutansi Kritis _ KABARI BOS

4/21/2015 Riset Akutansi Kritis | KABARI BOS

http://siapbos.blogspot.com/2011/04/risetakutansikritis.html 9/19

sosial antara Adorno (kubu Sekolah Frankfurt paradigma kritis) dengan Karl Popper(kubu Sekolah Wina paradigma neo positivisme/neo kantian). Konfrontasi berlanjutantara Hans Albert (kubu Popper) dengan Jürgen Habermas (kubu Adorno).Perdebatan ini memacu debat positivisme dalam sosiologi Jerman. Habermas adalahtokoh yang berhasil mengintegrasikan metode analitis ke dalam pemikiran dialektisTeori Kritis.

Teori kritis adalah anak cabang pemikiran marxis dan sekaligus cabangmarxisme yang paling jauh meninggalkan Karl Marx (Frankfurter Schule). Cara danciri pemikiran aliran Frankfurt disebut ciri teori kritik masyarakat “eine KritischeTheorie der Gesselschaft”. Teori ini mau mencoba memperbaharui danmerekonstruksi teori yang membebaskan manusia dari manipulasi teknokrasimodern. Beberapa tokoh Teori Kritis angkatan pertama adalah Max Horkheimer,Theodor Wiesengrund Adorno (musikus, ahli sastra, psikolog dan filsuf), FriedrichPollock (ekonom), Erich Fromm (ahli psikoanalisa Freud), Karl Wittfogel (sinolog),Leo Lowenthal (sosiolog), Walter Benjamin (kritikus sastra), Herbert Marcuse (muridHeidegger yang mencoba menggabungkan fenomenologi dan marxisme, yang jugaselanjutnya Marcuse menjadi “nabi” gerakan New Left di Amerika).

Pada intinya madzhab Frankfurt tidak puas atas teori Negara Marxian yangterlalu bertendensi determinisme ekonomi. Determinisme ekonomi berasumsi bahwaperubahan akan terjadi apabila masalah ekonomi sudah stabil. Jadi basic strurtur(ekonomi) sangat menentukan suprastruktur (politik, sosial, budaya, pendidikan danseluruh dimensi kehidupan manusia). Kemudian mereka mengembangkan kritikterhadap masyarakat dan berbagai sistem pengetahuan. Teori kritis tidak hanyamenumpukkan analisisnya pada struktur sosial, tapi teori kritis juga memberikanperhatian pada kebudayaan masyarakat (culture society). Generasi pertama teorikritis ini adalah Max Horkheimer (18951973), Theodor Wiesengrund Adorno (19031969) dan Herbert Marcuse (18981979) yang kemudian dilanjutkan oleh Generasikedua mazhab Frankfurt yaitu Jurgen Habermas yang terkenal dengan teorikomunikasinya.

Menurut Goerge Ritzer (2008) teori kritis berfungsi untuk mengkritisi: 1: TeoriMarxian yang deterministic yang menumpukan semua persoalan pada bidangekonomi; 2. Positivisme dalam Sosiologi yang mencangkok metode sains eksakdalam wilayah sosialhumaniora katakanlah kritik epistimologi; 3. Teori teorisosiologi yang kebanyakan hanya memperpanjang status quo; 4. Kritik terhadapmasyarakat modern yang terjebal pada irrasionalitas, nalar teknologis,nalarinstrumental yang gagal membebaskan manusia dari dominasi; 5. Kritik kebudayaanyang dianggap hanya menghancurkan otentisitas kemanusiaan. Merekamengembangkan apa yang disebut dengan kritik ideology atau kritik dominasi.Sasaran kritik ini bukan hanya pada struktur sosial namun juga pada ideologidominan dalam masyarakat.

Menurut Held (1980) Teori Kritis berangkat dari 4 (empat sumber) kritik yangdikonseptualisasikan oleh Immanuel Kant, Hegel, Karl Marx dan Sigmund Freud.1.Kritik dalam pengertian Kantian. Immanuel Kant melihat teori kritis daripengambilan suatu ilmu pengetahuan secara subyektif sehingga akan membentukparadigma segala sesuatu secara subyektif pula. Kritik dalam pengertian pemikiranKantian adalah kritik sebagai kegiatan menguji kesahihan klaim pengetahuan tanpaprasangka. 2. Kritik dalam pengertian Hegelian. Kritik dalam makna Hegelianmerupakan kritik terhadap pemikiran kritis Kantian. Menurut Hegel, Kant berambisimembangun suatu “metateori” untuk menguji validitas suatu teori. Menurut Hegelpengertian kritis merupakan refleksidiri dalam upaya menempuh pergulatan panjangmenuju ruh absolute. Kritik dalam pengertian Hegel didefinisikan sebagai refleksi diriatas tekanan dan kontradiksi yang menghambat proses pembentukan dirirasiodalam sejarah manusia. 3. Kritik dalam pengertian Marxian. Menurut Marx, konsepHegel seperti orang berjalan dengan kepala. Dialektika Hegelian dipandang terlaluidealis, yang memandang bahwa, yang berdialektika adalah pikiran. Pikiran hanya

Page 10: Riset Akutansi Kritis _ KABARI BOS

4/21/2015 Riset Akutansi Kritis | KABARI BOS

http://siapbos.blogspot.com/2011/04/risetakutansikritis.html 10/19

refleksi dari kekuatan material (modal produksi masyarakat). Sehingga teori kritisbagi Marx sebagai usaha mengemansipasi diri dari penindasan dan elienasi yangdihasilkan oleh penguasa di dalam masyarakat. Kritik dalam pengertian Marxianberarti usaha untuk mengemansipasi diri dari alienasi atau keterasingan yangdihasilkan oeh hubungan kekuasaan dalam masyarakat. 4. Kritik dalam pengertianFreudian. Madzhab frankfrut menerima Freud karena analisis Freudian mampumemberikan basis psikologis masyarakat dan mampu membongkar konstrukkesadaran dan pemberdayaan masyarakat. Freud memandang teori kritis denganrefleksi dan analisis psikoanalisanya. Artinya, bahwa orang bisa melakukan sesuatukarena didorong oleh keinginan untuk hidupnya sehingga manusia melakukanperubahan dalam dirinya. Adopsi Teori Kritis atas pemikiran Freudian yang sangatpsikologistik dianggap sebagai pengkhianatan terhadap ortodoksi marxisme klasik.Berdasarkan empat pengertian kritis di atas, teori kritis adalah teori yang bukanhanya sekedar kontemplasi pasif prinsipprinsip obyektif realitas, melainkan bersifatemansipatoris. Sedang teori yang emansipatoris harus memenuhi tiga syarat :Pertama, bersifat kritis dan curiga terhadap segala sesuatu yang terjadi padazamannya. Kedua, berfikir secara historis, artinya selalu melihat prosesperkembangan masyarakat. Ketiga, tidak memisahkan teori dan praksis.

Agenda kerja dari teori sosial kritis adalah menggugat dominasi epistemologipositivistik dan ingin membuka ruang akademik bagi pendekatanpendekatan ilmuilmu sosial lainnya untuk saling tukar konsepsi dan teori. Harapannya, denganpembukaan ruang berpikir (think space) yang sama bagi ilmuwanilmuwan sosialdengan berbagai pendekatan yang berbeda dapat memajukan ilmuilmu sosial ketaraf kritisisme. Teoriteori kritis pada dasarnya adalah semua teori sosial yangmempunyai maksud dan implikasi praktis sangat berpengaruh terhadap teoriperubahan sosial aliran kritik. Teori kritik tidak sekedar teori yang melakukan kritikterhadap ketidakadilan sistem yang dominan yaitu sistem sosial kapitalisme,melainkan suatu teori untuk mengubah sistem dan struktur tersebut. Teori kritissecara radikal memiliki pandangan tentang kajian antara teori dan praktek. Dengandemikian, teori kritis sesungguhnya justru merupakan teori perubahan sosial atautrasformasi sosial. Pandangan teori kritis pada dasarnya secara epistemologimembenahi pandangan yang umum berlaku, bahwa urusan teori ilmu sosial adalahsekedar urusan makna memberi makna realitas sosial atau proses sosial belaka,tanpa memiliki implikasi pada praktik politik. Bagi teori kritik, justru tugas teori adalahmembuat sejarah. Secara umum diakui, dalam pengertian pandangan dan mitos,yang disebut sebagai tugas “teori dan penelitian ilmiah” bagi ilmuilmu sosialhanyalah semata menyediakan penjelasan, tanpa adanya tugas tentang bagaimanaseharusnya suatu masyarakat berbuat, atau hanya menggambarkan bagaimanarealitas sosial sesungguhnya.

Teori sosial menurut teori kritik, bukan sekedar berurusan dengan benar atausalah tentang fakta atau suatu realitas sosial, tetapi bertugas untuk berkemampuanmemberikan proses penyadaran kritis atau prespektif kritis kepada masyarakattentang bagaimana kepercayaan masyarakat telah membentuk realitas sosialtersebut, bagi teori kritik, citacita akan keadilan sosial mustahil dapat dicapai tanpamelibatkan kesadaran mereka yang tertindas untuk terlibat dalam aksi refleksi kritis,bagi teori kritis verifikasi kebenaran teori sosial tidak diukur oleh rumus ataupunangka, tetapi melalui verifikasi praktis yang berupa aksi masyarakat memilikikesadaran kritis yang bertindak atas interes mereka sendiri. Dengan demikianperubahan sosial itu sendirilah yang merupakan verifikasi kebenaran dari teori sosial.Atas dasar itu, teori kritis memiliki dimensi aksi dan politis. Bagi mereka tidakmungkin dipisahkan antara teori sosial dan teori politikD. PROSES PENYUSUNAN APBD SEBAGAI REALITAS SOSIAL

Secara umum Anggaran Daerah (APBD) adalah rencana pendapatan danbelanja daerah dalam periode tertentu (1 tahun). Pada awalnya fungsi APBD adalahsebagai pedoman Pemerintah Daerah dalam mengelola keuangan daerah untuk satu

Page 11: Riset Akutansi Kritis _ KABARI BOS

4/21/2015 Riset Akutansi Kritis | KABARI BOS

http://siapbos.blogspot.com/2011/04/risetakutansikritis.html 11/19

periode. Selanjutnya, fungsi anggaran yang lebih rinci adalah sebagai insrumenkebijakan fiskal, alat distribusi dan alat stabilisasi. Kemudian sebelum anggarandijalankan harus mendapat persetujuan dari DPRD sebagai wakil rakyat maka fungsianggaran juga sebagai alat pengawasan dan pertanggungjawaban terhadapkebijakan publik (Sopanah, 2004). Dengan melihat fungsi anggaran tersebut makaseharusnya anggaran merupakan power relation antara eksekutif, legislatif danrakyat itu sendiri. Selanjutnya Wiratraman, 2004, menyatakan bahwa anggaranmenjadi salah satu indikator respon negara atau daerah dalam memenuhi hakhakrakyat untuk memperoleh akses yang layak secara sosial ekonomi.

Anggaran baik dari sisi pendapatan (revenue) maupun sisi belanja (spending)memegang peranan penting dalam menunjang kapasitas dan legitimasi pemerintah.Fozzard (2001) menyatakan bahwa masalah pokok dalam penganggaran dapatdipilah menjadi dua persoalan besar yaitu: Pertama, apa yang menjadi dasar bagialokasi sumber daya. Ada lima pendekatan untuk menjawab hal ini: 1. Pendekatanpublic good (market failure) yaitu bagaimana barangbarang publik yang gagaldisediakan pasar menjadi layak dan perlu disediakan dan dianggarkan olehpemerintah. 2. Pendekatan marginal utility atau cost effectifness, yaitu bagaimanabelanja yang hemat tetapi efektif, melalui perhitungan tiap unit dan antar unitpengeluaran. 3. Pedekatan allocatif efficiency, yaitu memastikan adanya efisiensialokasi cost and benefit. 4. Pendekatan pilihan warga, dan 5. Pendekatan keadilanyaitu bagaimana anggaran diukur dari keberhasilan peran pemerintah mengurangikemiskinan dan ketimpangan sosial.

Persoalan kedua adalah bagaimana proses penganggaran dijalankan?. Adalima pendekatan yaitu: 1. Pendekatan penganggaran administratif, yaitu alokasipenganggaran berdasarkan tugas dan fungsi berbagai lembaga dan dinaspemerintah untuk mencapai sasaran tertentu. 2. Pendekatan nasionalisme,bagaimana mengalokasikan anggaran agar lebih efisien dan efektif melampauiberbagai tugas dan fungsi berbagai lemabaga dan dinas pemerintah. 3. Pendekatanincremental, alokasi penganggaran berdasarkan perubahan gradual dan bertahap,sesuai dengan kebijakan politik dan aturan main yang ada. 4. Pendekatan publicchoice, yaitu bagaimana mengutamakan kepentingan publik daripada kepentinganbirokrat, dan 5. Pendekatan principal dan agen, yaitu bagaimana memperluas perandari masyarakat dalam kebijakan penganggaran.

Proses pengangaran di Indonesia menjadi realitas yang menarik setelahreformasi dan desentralisasi yang mendorong media dengan bebas melibut berbagaikasus yang menyakut anggaran termasuk korupsi anggaran publik. Liputan mediamasa telah “mempolitisasi” kesadaran warga atas hakhaknya terhadap anggaran.Oleh karena itu anggaran menjadi isu yang menarik untuk diteliti.

Pemerintah pusat telah mengeluarkan berbagai kerangka regulasi formal untukmengatur pemerintahan daerah (UU No. 32/2004 beserta peraturan pelaksanaannya),perencanaan daerah (UU No. 25/2004 beserta SEB Bappenas dan Mendagri tentang pedomanMusrenbangda) dan penganggaran/keuangan daerah (UU No. 17/2003, UU No. 33/2004, PPNo. 58/2006, Permendagri No. 13/2006 dan lainlain). Ketiga kerangka regulasi itu mempunyai makna dan tujuan yang berbedabeda bahkan sering tidak sejalan. UU pemerintahandaerah, sebagai regulasi umum, pada prinsipnya melakukan desentralisasi kepada daerahsehingga daerah mempunyai keleluasaan dalam mengelola kewenangan, perencanaan dankeuangan

Tatakelola pemerintahan daerah yang baik dan bersih menghendaki beberapaprasyarat diantaranya yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan daerahterdapat beberapa tahapan diantaranya mulai dari tahap proses perencanaan danpenganggaran, tahap pengesahan, tahap implementasi sampai pada tahap laporanpertanggungjawaban. Semua tahap harus dilewati dan masingmasing mempunyaiprinsip sebagai mana yang sudah diatur dalam peraturan perundangundangan.Menurut FITRA (2005) tahap penyusunan anggaran harus memegang beberapaprinsip diantaranya harus mengedepankan: (1). partisipasi masyarakat dalampenyusunan anggaran (2). transparansi dan akuntabilitas anggaran (3). disiplinanggaran (4). keadilan anggaran (5). efesiensi dan efektivitas anggaran (6). taat asasdalam penyusunan anggaran. Jika prinsipprinsip tersebut dapat di laksanakandengan baik maka pengalokasian anggaran untuk kepentingan rakyat (pro poorbudget) akan dapat tercapai dengan hasil yang maksimal.

Page 12: Riset Akutansi Kritis _ KABARI BOS

4/21/2015 Riset Akutansi Kritis | KABARI BOS

http://siapbos.blogspot.com/2011/04/risetakutansikritis.html 12/19

Partisipasi masyarakat dalam penyusunan anggaran sangat penting mengingatketerlibatan publik dalam proses anggaran untuk:1. Meningkatkan perencanaan dan alokasi sumber daya. Keterlibatan publik dalam

proses perencanaan anggaran dapat membantu berbagai upaya mengidentifikasisejumlah kebutuhan masyrakat yang harus diprioritaskan sehingga dapatmeningkatkan. efektifitas penggunaan sumber daya yang terbatas.

2. Meningkatkan pengelolaan keuangãn. Walaupun pemerintah memiliki sistempengawasan dan prosedur audit tersendiri, monitoring dan publik pentingdilakukan untuk mengawasi kemungkinan terjadinya penyalahgunaan keuangan.Di benbagai kasus, pengawasan publik terhadap anggaran akan meningkatkanhubungan antara pembayar pajak dengan pemerintah daerah, karena parapembayar pajak yang menjadi salah satu sumber penerimaan pemenintah dapatmelacak kemana dan untuk apa dana yang mereka bayarkan itu digunakan.

3. Menguatkan demokrasi. Warga negara seringkali memihki pemahaman yangterbatas mengenai bagaimana sebaiknya negara itu difungsikan sehinggamenumbuhkan ketidakpercayaan masyarakatterhadap pemerintah. Pada saatyang bersamaan, aparat pemerintah seringkali merasa dipojokkan denganberbagai kebutuhan dan permintaan yang seningkali berbenturan rnengingatketerbatasan sumber daya yang tersedia. Keterlibatan masyarakat dalam dialogdialog mengenai isuisu anggaran akan meningkatkan kemampuan merekamembaca anggaran sehingga dapat menjembatani konfhk dan melakukn diskusidan debat yang Iebih konstruktif dan sehat mengenai kebijakan anggaran danprioritasprioritasnya.

E. MENGAPA PRO POOR BUDGET?Mengapa pro poor budget? Ada tiga hal penting yang mendasari argumen mengapaharus mengembangkan pro poor budget di Indonesia. Pertama, konteks kondisionalyang mengharuskan, yaitu kondisi kemiskinan yang mengharuskan negara berpihakpada anggaran pro poor. Kedua, konteks yang menghambat (disabling), yaitukebijakan socialekonomi yang kurang berpihak kepada orang miskin sehingga harusdireformasi. Ketiga, konteks yang memungkinkan (enabling) berkembangnyaanggaran pro poor, yaitu arus desentralisasi dan demokrasi lokal.

Konteks yang mengharuskan. Indonesia hingga sekarang menghadapiproblem besar berupa kemiskinan. Secara empirik, angkaangka kemiskinan direpublik ini memprihatinkan meski agenda pembangunan sudah berjalan selamaempat dasawarsa. Pembangunan yang berjalan selama empat dasawarsa terakhirtelah membuahkan pertumbuhan dan kemajuan secara luar biasa. Tetapi, ledakanpertumbuhan dan mobilitas sosial belum menjadi Fondasi yang kokoh bagi humanwell being, kesejahteraan dan keadilan sosial. Ketimpangan jauh lebih besar danserius ketimbang kemajuan dan kemakmuran yang dihasilkan oleh pembangunan.Oleh karena itu, anggaran pro poor sebenarnya mempunyai relevansi dan titik pihakempirik dan preskriptif ke depan. Secara empirik, Indonesia menghadapi masalahkemiskinan serius, yang salah satunya disebabkan oleh alokasi anggaran yang tidakberpihak kepada rakyat miskin. Alokasi anggaran lebih banyak dikonsumsi olehaparat dan dialokasikan untuk menyelamatkan ekonomi makro. Secara preskriptif,anggaran pro poor adalah bentuk tindakan afirmatif untuk menjawab masalahkemiskinan.

Konteks yang menghambat. Secara politik, anggaran pro poor sebenarnyamerupakan mandat konstitusi, kewajiban pemerintah ataupun kesepakatan MDGsyang ditandatangani pemerintah Indonesia. Skema pro poor sebenarnya telahdijabarkan dalam RPJMN, SNPK, dan SPKD. Di atas kertas, dokumendokumenkebijakan nasional dan daerah mengandung visi dan prioritas penanggulangankemiskinan. Tetapi, yang terjadi adalah kesenjangan antara kebijakan danperencanaan di satu sisi dan penganggaran di sisi lain. Penganggaran selalu tidaktunduk pada kebijakan dan perencanaan. Oleh karena itu, anggaran pro poorsebenarnya mempunyai relevansi dan titik pihak empirik dan preskriptif ke depan.

Page 13: Riset Akutansi Kritis _ KABARI BOS

4/21/2015 Riset Akutansi Kritis | KABARI BOS

http://siapbos.blogspot.com/2011/04/risetakutansikritis.html 13/19

Secara empirik, Indonesia menghadapi masalah kemiskinan serius, yang salahsatunya disebabkan oleh alokasi anggaran yang tidak berpihak kepada rakyatmiskin. Alokasi anggaran lebih banyak dikonsumsi oleh aparat dan dialokasikanuntuk menyelamatkan ekonomi makro. Secara preskriptif, anggaran pro poor adalahbentuk tindakan afirmatif untuk menjawab masalah kemiskinan.

Konteks yang memungkinkan (enabling). Sentralisme pemerintahan danpembangunan di masa lain, yang selalu menekankan pendekatan top down danseragam, telah terbukti tidak peka terhadap keragaman lokal, menciptakanketimpangan antar daerah, dan tidak mampu menjangkau penduduk miskin secaramerata. Arus desentralisasi dan demokrasi lokal selama satu dekade tentumerupakan pembalikan atas sentralisme, sekaligus menjadi konteks yangmemungkinkan lahirnya kebijakan daerah yang lebih pro poor. Desentralisasimemang menimbulkan jebakan yang serius dalam bentuk kehadiran oligarki, elitecapture, dan korupsi yang merajalela, tetapi ia juga membuka kesempatan yangbesar bagi reformasi kebijakan dan anggaran daerah yang lebih pro poor.D. MENGGESER DOMINASI NEGARA MENUJU PARTISIPASTIF ANGGARAN

YANG PRO POOR BUDGET

Langkah awal dalam menggeser dominasi Negara menuju partisipatif dalampenyusunan APBD telah di tandai dengan adanya reformasi keuangan daerah yangmelahirkan berbagai kebijakan baru dalam proses penyusunan APBD yang lebihpartisipatif, transparan dan akuntabel. Untuk dapat melanjutkan reformasi diperlukankomitmen elite dan partisipasi rakyat yang tinggi. Jika ada partisipasi rakyat, tetapitidak ada komitmen elite, hasilnya penyerobotan elite. Jika ada komitmen elite, tetapitidak ada partisipasi rakyat maka yang terjadi adalah reformasi oleh elite. Reformasielitis ini membuat rakyat pasif dan tergantung sehingga reformasinya rapuh dan tidakberkelanjutan. Jika tidak ada partisipasi rakyat dan tidak ada komitmen maka yangterjadi adalah status quo.

Syarat penting yang harus di penuhi untuk dapat memperkuat partisipasimasyarakat sipil adalah adanya kessadaran akan hak sosial dan hak politik untukterlibat dalam menentukan dan memperbaiki kehidupan bersama. Baik karenakepentingannya sendiri (memperoleh pelayanan publik yang baik dan terjangkau)maupun kepentingan publik yang ideal (kota yang lebih hijau dan nyaman,transportasi yang lancar dan aman) maka warga negara berkumpul danmengorganisir diri dalam sebuah tindakan bersama. Masyarakat sipil yang kuat danaktif menjadi syarat bagi herjalannya demokrasi karena masyarakat sipil seperti itudapat memberikan kritik dan usulan kebijakan yang diperlukan.

Selain komitmen elit dan kekuatan partisipasi masyarakat yang kuat dalammenggeser dominasi negara yang selama ini sangat kuat maka di perlukan payunghukum berupa Peraturan Daerah yang akan melindungi hakhak rakyat di tingkatanlokal (daerah). Oleh karena itu diperlukan perubahan radikal srukturalis untukmelegitimasi tuntutan dari masyarakat dalam mewujudkan anggaran yang partisipatifmenuju pro poor budget.

BAB IIIMETODE PENELITIAN

1. PARADIGMA PENELITIAN

Studi ini masuk dalam ranah paradigma critis[12] yang menilai objek ataurealitas secara kritis yang tidak hanya melalui pengamatan manusia. Secaraepistemologis[13], dalam paradigma ini hubungan antara pengamat dengan realitasyang menjadi objek merupakan suatu hal yang tidak bisa di pisahkan. HerbertMarcuse, sebagaimana yang diulas oleh Harold Bleich[14], memberikan tiga prinsipteori kritis: pertama, ia secara integral terkait dengan realitas konkret. Wilayahdiskursifnya adalah realitas sosial, bukan berada dalam alam abstrak dan ahistoris.

Page 14: Riset Akutansi Kritis _ KABARI BOS

4/21/2015 Riset Akutansi Kritis | KABARI BOS

http://siapbos.blogspot.com/2011/04/risetakutansikritis.html 14/19

Tidak mengherankan jika tema yang diusung meliputi dominasi, hegemoni,totaliterisme, emansipasi dan seterusnya. Teori ini punya perhatian terhadap praksisyang didesain untuk mentransformasikan struktur dominan di masyarakat. Iaberusaha membuka jalan untuk munculnya manusia yang terbebaskan danmengeliminasi represi. Kedua, berkaitan dengan fungsi teori kritis. Fungsi teori kritisadalah untuk menguji secara kritis kontradiksikontradiksi yang terjadi di masyarakatdan berupaya mencari akar penyebabnya dengan membongkar apa yangtersembunyi dan membuat yang implisit menjadi eksplisit. Ketiga, berkaitan denganpenggunaan beberapa idealitas masa lalu untuk menilai situasi sekarang. ini berartiteori kritis tidak menafikkan nilainilai masa lalu sepanjang nilainilai tersebutbermanfaat untuk proyek emansipasi.

Dalam bidang akuntansi Criticsm Paradigm berusaha untuk menjelaskanbahwa teori dan praktik akuntansi dapat berkembang terus sesuai dengan kreatifitaspeneliti dalam akuntansi yang bertujuan melakukan kritik, transformasi, pemulihan,emansipasi, pembongkaran terhadap suatu fenomena yang diteliti agar dipahamilebih baik. Teori dan praktik akuntansi juga diciptakan oleh manusia sebagai“penguasa” yang memanipulasi, mengkondisikan, dan mencuciotak (brainwash)orang lain agar memahami atau menginterpretasikan akuntansi sesuai denganinterpretasi yang diinginkan oleh yang berkuasa[15]. Dengan paradigma inidiharapkan ilmuilmu sosial khususnya akuntansi akan terus berkembang beranimenentang hegemoni kapitalisme dan metodologi positivisme yang sudahmapan[16].2. LOKASI DAN SUBJEK PENELITIAN

Lokasi penelitian dilakukan di wilayah Malang Raya yang terdiri dari 3 kota/Kabupaten. Subjek penelitian ini adalah pejabat pengambil kebijakan dalam prosespenganggaran, masyarakat yang terlibat dalam proses penyusunan APBD, LSM(NGO), Perguruan Tinggi, dan wartawan/media massa. Metode pemilihan subjekpenelitian akan disesuaikan dengan kebutuhan data.

3. Jenis dan Cara Pengambilan Data

Ada beberapa data yang diperlukan dalam penelitian ini yang akan diambil denganbeberapa cara yaitu:1. Data Sekunder

Datadata sekunder yang dibutuhkan antara lain RPJMD, SPKN, SPPN, KUAAPBD, LKPJ serta dokumendokumen lainnya yang terkait dengan masalahpenelitian. Datadata ini akan di kumpulkan oleh peneliti dengan cara mengakseske Dinas atau SKPD yang terkait.

2. Data PrimerData primer yang dibutuhkan berupa potret proses penyusunan APBD yang propoor budget. Data primer ini akan di kumpulkan peneliti melalui Observasi,Wawancara, Focus Group Discusion. Wawancara akan dilakukan dengan aktoraktor yang terlibat dalam proses penyusunan APBD yaitu Kepala Daerah,eksekutif, DPRD, Ormas, Tokoh Masyarakat, Perguruan Tinggi, NGO, CSO,Media Masa, Kelompok Perempuan dll. Sedangkan FGD akan digunakansebagai media untuk menyusun Model Penyusunan APBD yang Pro Poor Budgetdengan dukungan Peraturan Daerah.

4. Alat AnalisisStudi ini ingin merubah kebijakan dalam proses penyusunan APBD dari yang

didominasi oleh negara (kekuasaan) atau kaum pro elit menjadi kebijakan yangberpihak kepada rakyat miskin (pro poor budget). Oleh karena itu studi ini masukdalam ranah kritis dengan pendekatan radical structuralism. Pendekatan ini di ambilkarena proses perubahan yang diinginkan akan lebih mudah tercapai jika adaperaturan formal berupa Peraturan Daerah (PERDA) sebagai payung yang akanmelegitimasi perubahan.

Menurut teori strukturasi dalam penelitian sosial ada kemungkinan bisa

Page 15: Riset Akutansi Kritis _ KABARI BOS

4/21/2015 Riset Akutansi Kritis | KABARI BOS

http://siapbos.blogspot.com/2011/04/risetakutansikritis.html 15/19

digolongkan dua jenis metodologi. Dalam analisis institusional sifat strukturdiperlakukan sebagai ciriciri sistem sosial yang direproduksi secara kronologis.Dalam analisis prilaku strategis, fokusnya ditujukan pada modemode yangdigunakan para aktor dalam menyimpulkan sifat struktural selama pembentukanhubunganhubungan sosial itu dan masingmasing harus didasarkan pada prinsipyang memusatkan pada dualitas struktur. Analisis prilaku strategis berartimemberikan perhatian lebih banyak pada kesadaran diskursif dan praktis, dan padastrategistrategi pengendalian dalam batasbatas kontekstual yang telah ditetapkan.Sifatsifat latar interaksi yang dilembagakan secara metodologis sifatnya ditetapkan.Analisis strukturalis yang dipusatkan pada aktifitasaktifitas kelompokkelompok aktortertentu yang ada dalam situasi kontekstual

Teori strukturasi berkaitan dengan hubungan antara aksi agen dan struktursosial dalam produksi, reproduksi dan regulasi tatanan sosial (Conrad, 2000). Sistemsosial berisi beberapa aktivitas agen manusia, yang direproduksi antar waktu danruang. Struktur sebagai aturan berisi konstitusi makna (signifikasi) dan elemennormatif (legitimasi). Perintah terhadap sumberdaya alokatif dan otoritatifmemudahkan penggunaan kekuasaan (struktur dominasi). Dalam konteks studi iniyang disebut principal adalah negara (daerah) yang diberi mandat mengelola APBD,sedangkan yang disebut agen adalah rakyat yang sebenarnya adalah pemilik uangnegara[17]. Karena rakyat sebagai pemilik “uang negara” maka tuntutan terhadappelibatan masyarakat dalam penyusunan APBD sehingga APBD berpihak padakepentingan rakyat miskin adalah hak.Struktur legitimasi berisi aturan normatif dan kewajiban moral sebuah sistem sosial.Hal ini menunjukkan nilai dan ideal tentang apa yang penting dan apa yang harusterjadi di dalam tatanan sosial (Macintosh, 1990). Karena itu, dalam studi ini, strukturlegitimasi dapat dicapai dengan mengusulkan disusunnya Peraturan Daerah sebagaipayung hukum yang akan melindungi kepentingan rakyat. Tanpa ada regulasi yangmengatur maka akan sulit terjadi perubahan yang di inginkan rakyat.Dalam hal dominasi, kemampuan agen untuk memberikan pengaruh danmenggunakan sumberdaya kekuasaan berhubungan erat dengan dominasi di levelstruktur. Giddens (1984) mengemukakan dua tipe sumberdaya kekuasaan, yaitubahwa perintah terhadap sumberdaya alokatif (obyek, barang dan fenomena materilainnya) adalah sebuah fitur institusi ekonomi, sedangkan perintah atas sumberdayaotoritatif (kapabilitas untuk berorganisasi dan mengkoordinasi aktivitas aktor sosial)adalah sebuah fitur dari institusi politik. Dalam studi ini agen (rakyat) menginginkanperubahan dominasi ekonomi dari APBD yang alokasi ekonominya banyakmenguntungkan kaum pro elite menjadi alokasi yang menguntungkan kaum pro poor.Dalam konteks dominasi politik, APBD yang selama ini proses penyusunannyameninggalkan agen (rakyat) sebagai pemilik “uang negara” menginginkan perubahandengan melibatkan rakyat di setiap penyusunannya (partisipatif).Teori strukturasi memberikan sebuah cara untuk memahami proses sosial yangmembantu membentuk kontrol terhadap kekuasaan (negara). Sebagai alat kontrolmaka struktur signifikasi, struktur legitimasi dan strukur dominasi harus salingberhubungan. Oleh karena itu peran agen (rakyat) sangat di kedepankan untukmerubah struktur yang telah ada. Dengan menggunakan alat analisis TeoriStrukturasi Gidden penelitian ini diharapkan dapat membawa perubahan APBD yangberpihak kepada masyarakat miskin sehingga tujuan dari MDGs akan dapat tercapaidi tahun 2015.

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, Adib., Muslim, Mahmuddin., Rusmiyati, Siti., dan Wibisono, Sonny. (2002)Good governance dan Penguatan Institusi Daerah, Masyarakat TransparansiIndonesia, Jakarta.

Agus Salim, 2001, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, Tiara Wacana Yogyakarta.

Page 16: Riset Akutansi Kritis _ KABARI BOS

4/21/2015 Riset Akutansi Kritis | KABARI BOS

http://siapbos.blogspot.com/2011/04/risetakutansikritis.html 16/19

Basjir, Wahyu W, (ed), 2006, Keindahan Yang Menipu: Partisipasi DalamPenganggaran Daerah di Indonesia, IdeaPartnership, Yogyakarta.

Ben Agger, Postmoderinisme: Ideologi or Critical Theory, dalam The Discourse ofDomination: From the Frankfur School to Postmodernisme, hal 278306

Burrel, Gibson dan Gareth Morgan. 1993. Sociological Paradigms and OrganizationalAnalysis: Elements of the sociology of corporate life. USA: Ashgate PublishingCompany.

Chua, Wai Fong. 1986. Radical Developments in Accounting Thought. TheAccounting Review, Vol 61, No 4.

Conrad, Lynne, 2005, A Structuration Analysis Of Accounting Systems And SystemsOf Accountability In The Privatised Gas Industry, Critical Perspectif onAccounting, 16; 126.

Giddens, A. 1984, The constitution of society, Polity Press.

Eko, Sutoro (2007), “DAERAH BUDIMAN: Prakarsa dan Inovasi Lokal MembangunKesejahteraan”, Makalah disajikan dalam Konferensi Internasional: Lebih DariSekadar Penghapusan Kemiskinan: Memajukan Kebijakan Sosial yangKomprehensif di Era Desentralisasi”, yang diselenggarakan oleh PerkumpulanPrakarsa, Ford Foundation, OXFAM Great Britain, Kantor Menkro Kesra,Pemerintah Kota Makassar, Pemerintah Kabupaten Serdang Badagai, ADKASI,IESR dan KruHa, Jakarta 2628 Juni 2007.

Fozzard, Adrian, 2001, The Basic Budgeting Problem: Approach to ResourceAllocation In The Public Sector and Their Implication for Pro Poor Budget,dalam CAPEODI Working Paper 147.

Hardojo, Antonio P, Triwibowo, D, Rostanty, M, Shodiq, S.H., Sutoro, E., Thubany,S.H., Farhan, Y., 2008, Mendahulukan Si Miskin: Buku Sumber bagi AnggaranPro Rakyat, Lkis, Yogyakarta.

Harold Bleich, The Philosophy of Herbert Marcuse (Washington: University Press ofAmerica, 1977) dalam Jurnal Ilmu Sosial Transformatif, Edisi 15 Tahun IV,2003.

Held, David, 1980, Intriduction To Critical Theory, University of California Press,Berkeley and Los Angeles

Lorens Bagus, 1996, Kamus Filsafat, Gramedia, Jakarta.

Macintosh NB, Scapens RW, 1990, Structuration theory in management accounting,Acounting Organization Society, 15(5):455–577

Mardiasmo, 2002, Akuntansi Sektor Publik, Penerbit Andi, Yogyakarta

Najih, M, Sirajudin dan Sopanah, 2006, Hak Rakyat Mengontrol Negara, MembangunModel Partisipasi Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, MCWYappika, InTrans, Malang

Ritzer, George dan Goodman, Douglas, 2008, Teori Sosiologi, Cetakan Pertama,Kreasi Wacana, Yogyakarta

Ritzer, G dan D.J. Goodman. 2003. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: PenerbitPrenada Media. Diterjemahkan dari Moder Sociological Theory. Sixth Edition.

Sarantakos, Sotirios. 1993. Social Research. Australia. Macmillan EducationAustralia PTY LTD.

Sisk, Timothy D. (ed.) (2002) Demokrasi ditingkat Lokal: Buku Panduan InternasionalIDEA Mengenai Keterlibatan, Keterwakilan, Pengelolaan Konflik danKepemerintahan, Seri 4, Internasional IDEA, Jakarta.

Sopanah (2003) Pengaruh Partisipasi Masyarakat dan Transparansi Kebijakan

Page 17: Riset Akutansi Kritis _ KABARI BOS

4/21/2015 Riset Akutansi Kritis | KABARI BOS

http://siapbos.blogspot.com/2011/04/risetakutansikritis.html 17/19

Publik Terhadap Hubungan antara Pengetahuan Dewan tentang Anggarandengan Pengawasan Keuangan Daerah, dalam Proceding SNA VI, Surabaya,1617 Oktober 2003

_______ (2004) Memantau APBD Dalam Kerangka Peningkatan Akuntabilitas PublikDi Era Otonomi Daerah, Jurnal Manajemen Akuntansi dan Bisnis, Volume I,Nomor 2 Juni, FE Universitas Merdeka Malang

_______ (2005) “Working Paper Lokakarya Rencana Aksi Nasional PelaksanaanDesentralisasi dan Otonomi Daerah Studi Kasus APBD 2005 Kota Batu”disampaikan pada acara Lokakarya Rencana Aksi Nasional PelaksanaanDesentralisasi dan Otonomi Daerah diselenggarakan oleh Pusat KajianPengembangan Otonomi Masyarakat dan Daerah (PUSKAPOMDA) FISIPUniversitas Indonesia bekerjasama dengan Pusat Studi Otonomi dan Kebijakan(PSO&K) Universitas Muhammadiyah Malang di Universitas MuhammadiyahMalang, Malang, 16 Desember 2005

Sopanah dan Wahyudi, Isa, (2005a) Strategi Penguatan Masyarakat sipil dalammeminimalisasi Distorsi Penyusunan APBD Kota Malang, dalam ProcesingSimposium Riset II ISEI, Percepatan Pertumbuhan Ekonomi dan PenguranganPengangguran, Surabaya 2324 November 2005

______________________ (2005b) Strategi Penguatan Partisipasi Rakyat terhadapPengawasan dalam Proses Penyusunan dan Pelaksanaan APBD KotaMalang, dalam Procesing Simposium Riset II ISEI, Percepatan PertumbuhanEkonomi dan Pengurangan Pengangguran, Surabaya 2324 November 2005

Soetono, B., Rosianasari, E.S, Farouk, P.U., 2006, Menggagas Penyusunan danImplementasi Perda Yang Partisipatif, Transparan dan Akuntabel, YIPDADKASI, Didukung oleh Justice For The Poor World Bank, Jakarta.

Suhardi, Suryadi, dan Julmansyah (2001) Partisipasi Politik masyarakat dalamPengembangan Demokrasi, Riset tentang Kasus Legislasi Peraturan daerahtentang Badan Perwakilan Desa di Kabupaten Sumbawa, diterbitkan ataskerjasama Konsorsium untuk Studi Pengembangan Partisipasi (KONSEPSI),LP3ES dan Pustaka Pelajar atas dukungan The Ford Fundation,

Sukoharsono, Eko Ganis, 2008, Kuliah Metpen Non Positif Tanggal 8 September2008 Tentang Paradigma Dalam Riset Akuntansi, PDIA, Universitas BrawijayaMalang.

Sutoro, Eko (2008), Benih Perubahan di atas FondasiPolitik yang Rapuh (Studi tentang Politik AnggaranDaerah Kota Kendari, Sulawesi Tenggara) Ire’s Insight WorkingPaper/Eko/I/February/2008. Institute for Research and Empowerment (IRE)Yogyakarta

Syaifudian, Hetifah (Dalam Sumarto, Hetifah Sj), 2004, Inovasi Partisipasi dan GoodGovernnace, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Triyuwono, Iwan, 2008, Kuliah Filsafat Tanggal 15 Desember 2008 TentangParadigma Kritis, PDIA, Universitas Brawijaya Malang

Wahyudi, Isa, 2004, Logos (Jurnal IlmuIlmu Sosial dan Humaniora) Volume 2 No 1,LPPM Universitas Muhammadiyah Gresik

Peraturan Perundangundangan :

Undangundang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah

Undangundang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan PemerintahPusat dan Daerah

Page 18: Riset Akutansi Kritis _ KABARI BOS

4/21/2015 Riset Akutansi Kritis | KABARI BOS

http://siapbos.blogspot.com/2011/04/risetakutansikritis.html 18/19

Undangundang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara

Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan danPertanggungjawaban Keuangan Daerah

Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 13 Tahun 2006 tentangPedoman Pengelolaan Keuangan Daerah

Surat Edaran Bersama Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)dan Menteri Dalam Negeri No.1354/M.PPN/03/2004050/744/SJ tentangPedoman Pelaksanaan Forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan(Musrenbang) dan Perencanaan Partisipatif Daerah.

[1] Anggaran sebagai fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi terkadang banyak kompromi karena banyak

kepentingan. Ideologi yang berhaluan liberalkapitalis selalu merekomendasikan pengurangan fungsi

distribusi yang dilakukan oleh negara. Sedangkan ideology pasarsosialis merekomendasikan peran Negara

yang kuat dan aktif dalam kebijakan pembangunan social ekonomi. Negara harus mengutamakan distribusi

dan alokasi anggaran untuk kesejahteraan rakyat (Hardojo, dkk, 2008).

[2] Karena mengandung keberpihakan secara afirmatif, kebijakan pro poor menekankan bahwa indicator social

ekonomi orang miskin harus diperbaiki lebih cepat dari pada kelompok lain (Vandemortele, 2003 dalam

Hardojo 2008; 37).

[3] Pada saat hasil riset ini dipresentasikan dalam Simposium Riset EkonomiIndonesia menjadi diskusi yang menarik karena penggunaan metode kualitatif yangsangat jarang dalam riset terdahulu.[4] Dalam Proseding Seminar dan Lokakarya Nasional: Menelaah Perda untuk Menjamin Transparasi dan

Akuntabilitas Pengimplementasian Perda, (Soetono (ed), 2006)

[5] Hasil diskusi dengan beberapa warga juga menyatakan bahwa Caleg yang telahterpilih sebagian besar melupakan daerah pemilihannya, mereka hanyamengutamakan konstituennya.[6] Istilah paradigma semakin penting karena karya ilmuwan Amerika Thomas Kuhn yang selalu bekerja dalam

paradigma tertentu. Dalam Lorens Bagus, 1996, Kamus Filsafat, Gramedia, Jakarta.

[7] Penjelasan Kuliah Filsafat Tanggal 15 Desember 2008 (Triyuwono, 2008)

[8] Lebih lanjut Triwuyono menjelaskan dengan paradigma spiritualis diharapkan munculnya kesadaran

ketuhanan dimanapun dan oleh siapapun. Sebagai contoh akunatnsi syariah yang telah di populerkan oleh

Triyuwono di harapkan menjadi jalan untuk mengurangi kapitalis.

[9] Agger, Ben. Teori Sosial Kritis : Kritik, Penerapan dan Implementasi. Kreasi Wacana. Yogyakarta. 2003.

[10] Muhadjir, Noeng. Metodologi Penelitian Kualitatif. Penerbit Raka Sarasin. Yogyakarta. 2002.

[11] Lihat Fakih, Mansour. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Insist dan Pustaka Pelajar.

Yogyakarta. 2002.

[12] Paradigma ini mengajukan metode dialog transformasi untuk menemukan kebenaran realitas yang hakiki

[13] Paradigma ini lebih menekankan konsep subjectivitas dalam menemukan suatu ilmu pengetahuan, karena

nilai yang dianut pengamat ikut campur daalm menentukan kebenaran tentang sesuatu (Agus Salim, 2001).

[14] Harold Bleich, The Philosophy of Herbert Marcuse (Washington: University Press of America, 1977) dalam

Jurnal Ilmu Sosial Transformatif, Edisi 15 Tahun IV, 2003.

[15] Penjelasan Kuliah Metode Penelitian Non Positive Tanggal 8 Sepetember 2008 oleh Sukoharsono

[16] Wahyudi, Isa, 2004, Kritik Teoriteori Sosial, Logos, Jurnal IlmuIlmu Sosial dan Humaniora. Volume 2 No 1,

2004, LPPM Universitas Muhammadiyah Gresik

[17] Uang Rakyat dan Uang Negara sebenarnya mengandung makna tentang sumber, peruntukan, dan

kepemilikan. Sumber dari Uang Negara adalah Pajak, Retribusi, Hibah dan lainlain yang kesemuanya

adalah untuk kepentingan rakyat (Najih, dkk, 2006).

Page 19: Riset Akutansi Kritis _ KABARI BOS

4/21/2015 Riset Akutansi Kritis | KABARI BOS

http://siapbos.blogspot.com/2011/04/risetakutansikritis.html 19/19

Copyright © 2009 by KABARI BOS Powered By Blogger Design by ET