risalah_sidang_perkara no. 33.puu-ix.2011, tgl. 3 agustus 2011

Upload: accountbebas

Post on 15-Oct-2015

38 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • MAHKAMAH KONSTITUSI

    REPUBLIK INDONESIA ---------------------

    RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 33/PUU-IX/2011

    PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG

    NOMOR 38 TAHUN 2008 TENTANG PENGESAHAN CHARTER OF THE

    ASSOCIATION OF SOUTHEAST ASIAN NATIONS (PIAGAM PERHIMPUNAN BANGSA-BANGSA ASIA

    TENGGARA) TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA

    TAHUN 1945

    ACARA

    MENDENGARKAN KETERANGAN SAKSI/AHLI DARI PEMOHON DAN PEMERINTAH

    (IV)

    J A K A R T A

    RABU, 3 AGUSTUS 2011

  • 1

    MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

    -------------- RISALAH SIDANG

    PERKARA NOMOR 33/PUU-IX/2011

    PERIHAL Pengujian UU No. 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Charter of The Association of Southeast Asian Nastions (Piagam Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara) [Pasal 1 ayat (5) dan Pasal 2 ayat (2) huruf n] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 PEMOHON

    1) Perkumpulan Institut Keadilan Sosial 2) Perkumpulan INFID 3) Aliansi Petani Indonesia (API) 4) Serikat Petani Indonesia (SPI) 5) Perkumpulan KIARA 6) Front Nasional Perjuangan Buruh

    Indonesia (FNPBI)

    7) Perhimpunan Indonesia untuk Buruh Migran Berdaulat (Migrant Care)

    8) Asosiasi Pendampingan Perempuan Usaha Kecil (ASPPUK)

    9) Salamuddin 10) Dani Setiawan 11) Haris Rusly

    ACARA Mendengarkan Keterangan Saksi/Ahli dari Pemohon dan Pemerintah (IV)

    Rabu, 3 Agustus 2011, Pukul 10.03 12.02 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat

    SUSUNAN PERSIDANGAN 1) Moh. Mahfud MD 2) Achmad Sodiki 3) Harjono 4) M. Akil Mochtar 5) Muhammad Alim 6) Maria Farida Indrati 7) Hamdan Zoelva 8) Ahmad Fadlil Sumadi 9) Anwar Usman

    (Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota)

    Luthfi Widagdo Eddyono Panitera Pengganti

  • 2

    Pihak yang Hadir A. Pemohon: 1) Lukman Hakim 2) Salamuddin

    (Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia) (Peneliti Institute for Global Justice)

    B. Kuasa Hukum Pemohon: 1) Ahmad Suryono C. Saksi dari Pemohon: 1) Cupitno 2) M. Fadlil Kirom

    (eks karyawan pabrik PT Yudiya Wangi) (Petani bawang merah)

    D. Pemerintah: 1) Mualimin Abdi 2) Herlisa 3) Gusmardi Bustami 4) Lasminingsih 5) Rachmat Budiman 6) Abdul Kadir Jaelani 7) Raudin

    (Direktur Litigasi Kemenkumham) (Kementerian Perdagangan) (Kementerian Perdagangan) (Kementerian Perdagangan) (Direktur Perjanjian Polkamwil Kemenlu) (Kasub Direktorat Perjanjian Politik & Kemanan Kemenlu) (Sekretaris Dirjen. HPI Kemenlu)

    E. Ahli dari Pemerintah: 1) Mohammad Fajrul Falaakh 2) Sumadi Brotodiningrat

  • 3

    1. KETUA: MOH. MAHFUD MD

    Sidang Mahkamah Konstitusi untuk mendengar keterangan Saksi

    dan Ahli yang diajukan oleh Pemohon maupun oleh Pemerintah dalam Perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 33/PUU-IX/2011 dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum.

    Pemohon silakan perkenalkan. 2. KUASA HUKUM PEMOHON: AHMAD SURYONO

    Terima kasih, Yang Mulia. Pada kesempatan ini kami akan menghadirkan dua orang Saksi karena yang sidang kemarin kami sudah mengajukan tiga Ahli dan dua Saksi. Untuk kesempatan kali ini kita akan menghadirkan dua Saksi, yang pertama Saudara Cupitno, eks karyawan pabrik PT Yudiya Wangi yang di-PHK karena perusahaan mengalami kerugian karena kalah bersaing dengan produk impor. Yang kedua, Bapak Muhammmad Fadlil Kirom, petani yang, petani bawang di daerah Jawa Tengah yang tidak bisa bersaing dengan bawang impor. Demikian.

    3. KETUA: MOH. MAHFUD MD Sekarang sudah hadir semua? 4. KUASA HUKUM PEMOHON: AHMAD SURYONO

    Mohon maaf, Yang Mulia. Bapak Fadlil Kirom sedang dalam perjalanan.

    5. KETUA: MOH. MAHFUD MD Ha? 6. KUASA HUKUM PEMOHON: AHMAD SURYONO

    Bapak Fadlil Kirom sedang dalam perjalanan. Bapak Cupitno sudah ada.

    7. KETUA: MOH. MAHFUD MD Terus siapa lagi yang di sebelah-sebelah Saudara, itu siapa?

    SIDANG DIBUKA PUKUL 10.03 WIB

    KETUK PALU 3X

  • 4

    8. KUASA HUKUM PEMOHON: AHMAD SURYONO

    Yang di sebelah kami, Salamuddin, Pemohon, Prinsipal, salah satu Prinsipal, Bapak Lukman Hakim salah satu Prinsipal, Yudha Fathoni. Demikian.

    9. KETUA: MOH. MAHFUD MD Baik, Pemerintah? 10. PEMERINTAH: MUALIMIN ABDI

    Terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb. Selamat pagi, salam sejahtera untuk kita semua. Pemerintah, hadir. Saya akan sebutkan dari yang sebelah kanan. Ibu Herlisa dari Kementerian Perdagangan, saya sendiri Mualimin Abdi dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Sebelah kiri saya Ibu Lasminingsih dari Kementerian Perdagangan, kemudian sebelah kirinya ada Pak Gusmardi Bustami, Direktur Jenderal Kerjasama Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan, kemudian sebelah kirinya lagi ada Pak Rachmat Budiman, Direktur Perjanjian Polkamwil Kementerian Luar Negeri, kemudian ada Pak Abdul Kadir Jaelani dari Kementerian Luar Negeri, kemudian di sebelahnya lagi ada Pak Raudin, Sekretaris Direktorat Jenderal HPI Kementerian Luar Negeri. Kemudian di belakang ada rekan-rekan dari Kementerian Luar Negeri, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

    Yang Mulia, Pemerintah dapat menginformasikan sesuai surat yang Pemerintah kirimkan bahwa sedianya kami atau Pemerintah menghadirkan lima atau enam ahli, tapi hari ini yang berketepatan atau berkesesuaian waktunya baru dua, Pak Mohammad Fajrul Falaakh dan Bapak Sumadi Brotodiningrat.

    Oleh karena itu, jika diizinkan, kiranya Yang Mulia dapat menjadwalkan kembali untuk Ahli Pak Marjuworo, Prof. Jusman Simanjuntak, Pak Anis Baswedan, dan Faisal Basri, Yang Mulia. Terima kasih.

    11. KETUA: MOH. MAHFUD MD

    Baik, nanti Ahli-Ahli yang lain kita lihat perkembangan dari pemeriksaan atau keterangan hari ini apakah diperlukan beliau-beliau hadir, kalau memang nanti dari kedua Ahli yang dihadirkan hari ini belum mewakili keseluruhan yang diinginkan disampaikan oleh Pemerintah, kita bisa buka sidang lagi.

    Baik, sekarang kita dengarkan dulu sumpah yang akan dilakukan oleh Saudara Cupitno, sebagai Saksi, dimohon maju ke depan! Cupit namanya ya? Saudara beragama Islam? Nah, silakan Pak Alim.

  • 5

    12. HAKIM ANGGOTA: MUHAMMAD ALIM

    Luruskan tangannya ke bawah. Ikuti lafadz sumpah yang akan saya tuntunkan!

    Bismillaahirrahmaanirrahiim. Demi Allah saya bersumpah, sebagai Saksi akan memberikan keterangan yang sebenarnya, tidak lain dari yang sebenarnya.

    13. SAKSI DISUMPAH OLEH HAKIM ANGGOTA: MUHAMMAD ALIM

    Bismillaahirrahmaanirrahiim. Demi Allah saya bersumpah, sebagai Saksi akan memberikan keterangan yang sebenarnya, tidak lain dari yang sebenarnya.

    14. HAKIM ANGGOTA: MUHAMMAD ALIM Sudah. 15. KETUA: MOH. MAHFUD MD

    Berikutnya Ahli akan disumpah oleh Pak Fadlil. Pak Fajrul Falaakh, Bapak Sumadi Brotodiningrat. Pak Fajrul, Islam? Pak Broto, Sumadi, Islam? Ya, baik. Pak Fadlil.

    16. HAKIM ANGGOTA: AHMAD FADLIL SUMADI Dimohon mengikuti kata sumpahnya dari saya.

    Bismillaahirrahmaanirrahiim. Demi Allah saya bersumpah, sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya.

    17. AHLI DISUMPAH OLEH HAKIM ANGGOTA: AHMAD FADLIL

    SUMADI

    Bismillaahirrahmaanirrahiim. Demi Allah saya bersumpah, sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya.

    18. HAKIM ANGGOTA: AHMAD FADLIL SUMADI Cukup, terima kasih. Silakan duduk kembali. 19. KETUA: MOH. MAHFUD MD

    Silakan duduk, Pak.

  • 6

    Sekarang kita dengarkan dulu Saksi, Saudara Cupitno, maju! Ya, silakan. Apakah Saudara sudah menyiapkan keterangan-keterangan, langsung disampaikan ke Majelis, ataukah perlu panduan dari Pemohon? Silakan saja, Pak.

    20. SAKSI DARI PEMOHON: CUPITNO

    Ya, terima kasih, Yang Mulia. Perkenalkan, nama saya Cupitno. Alamat tinggal, Kampung Picung, RT 01 RW 05, Desa Pasar Kemis, Kecamatan Pasar Kemis, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten. Agama saya Islam, status sudah berkeluarga, satu..., dengan satu orang istri dan dua orang anak. Pekerjaan saya, dulu saya bekerja di karyawan..., menjadi karyawan PT Yudiya Wangi, yang bekerja dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2010. Sekarang saya bekerja di perusahaan yang memproduksi sepatu dengan nama perusahaan PT Chingluh Indonesia, yang beralamatkan di Cikupa, Tangerang.

    Langsung saja kepada pokok yang akan saya sampaikan kepada Yang Mulia. Yang pertama, cerita singkat tentang perjalanan PT Yudiya Wangi yang sempat mengalami kejayaan dan diakhiri dengan kebangkrutan. PT Yudiya Wangi adalah perusahaan kecil yang memproduksi aneka macam biskuit yang beralamatkan di Kampung Kebon Kelapa, Desa Pasar Kemis, Kecamatan Pasar Kemis, Kabupaten Tangerang, dan PT Yudiya wangi berdiri sejak tahun 1990 dan mulai berproduksi tahun 1991 sampai dengan tahun 2010. PT Yudiya wangi dari tahun ke tahun mengalami kejayaan dan terbukti mampu ikut membantu berdirinya dua perusahaan cabangnya di dua tempat yang berbeda, Yang Mulia, dengan nama perusahaan cabang PT Ascot dan PT. Gizi Nusantara Food.

    PT Yudiya wangi mengalami penurunan kapasitas produksi sejak tahun 2008 sampai dengan tahun 2010. Hal ini disebabkan karena produk yang dijual di pasaran lokal kurang laku, sehingga mengalami penumpukan barang di gudang. Pengurangan kapasitas produksi dilakukan untuk mengimbangi permintaan dari pemesan yang semakin menurun. Akibat hal tersebut, perusahaan terpaksa merumahkan karyawannya selama dua minggu dalam sebulan, hal ini berlanjut sampai tahun 2010. Posisi saya ketika itu menjabat sebagai Staf Bagian Maintanance Produksi, sekaligus Ketua Serikat Buruh Tingkat Kerja Federasi Nasional Buruh Indonesia (FNPBI). Dalam perusahaan tersebut, saya memiliki kurang lebih 200 anggota yang bergabung dengan Federasi Nasional Perjuangan Buruh Indonesia dari jumlah total 300 karyawan. Ketika itu, saya banyak menanyakan tentang kondisi perusahaan kepada pihak manajemen. Hal ini sering saya tanyakan karena berhubungan dengan nasib pekerja atau dengan para anggota saya yang tidak jelas. Dari berbagai rapat dengan pihak manajemen atau perusahaan, diketahui bahwa penyebab tidak lakunya produk di lapangan adalah karena terdapat banyak produk luar atau biskuit yang

  • 7

    lebih menarik dengan harga yang terjangkau. Keadaan semakin diperparah dengan biaya produksi yang semakin tinggi dan kenaikan bahan baku biskuit yang mahal. Dengan kondisi demikian, pemilik perusahaan lebih memilih tutup, tiga karyawan di-PHK dengan penawaran pengunduran diri.

    Kedua, kesimpulan dari isi cerita yang saya sampaikan bahwa saya benar-benar menyaksikan tutupnya Perusahaan PT Yudiya Wangi disebabkan karena produknya kalah saing di pasaran dengan produk-produk luar negeri dan saya benar-benar menyaksikan sebanyak 300 karyawan di-PHK atau diputus hubungan kerjanya.

    Demikian yang saya sampaikan, Yang Mulia. Terima kasih. 21. KETUA: MOH. MAHFUD MD

    Baik, Saudara Cupitno, silakan duduk. Pemohon, ada yang perlu didalami lagi?

    22. KUASA HUKUM PEMOHON: AHMAD SURYONO Beberapa pertanyaan, Yang Mulia? 23. KETUA: MOH. MAHFUD MD Silakan. 24. KUASA HUKUM PEMOHON: AHMAD SURYONO

    Saudara Saksi, saya ingin sedikit menanyakan beberapa hal. Yang pertama, apakah benar pada saat Anda dan sekitar 200-an orang karyawan di-PHK itu karena tidak kemampuan perusahaan untuk melakukan produksi karena kalah bersaing?

    25. SAKSI DARI PEMOHON: CUPITNO Betul.

    26. KUASA HUKUM PEMOHON: AHMAD SURYONO

    Saya lanjutkan. Secara spesifik, apakah kalah bersaing itu memang karena head to head atau berhadap-hadapan dengan produk biskuit impor, bukan dengan produk biskuit lokal sejenis?

    27. SAKSI DARI PEMOHON: CUPITNO Betul.

  • 8

    28. KUASA HUKUM PEMOHON: AHMAD SURYONO

    Saya ingin meminta ilustrasi Anda, biskuit yang diproduksi oleh, oleh pabrik Anda itu, kira-kira berada pada level yang mana? Misalnya, misalnya, merek A, misalnya produk perusahaan Anda selevel atau setipe dengan produk A. Kira-kira berada di tipe yang mana, sehingga head to head anda itu kalah dengan yang, yang dari ci, direct dari luar negeri.

    29. SAKSI DARI PEMOHON: CUPITNO

    Kalau menurut saya sih, memang contohnya itu seperti produk Mayora. Itu masih di bawah, di bawah Mayora itu, Pak. Ya.

    30. KUASA HUKUM PEMOHON: AHMAD SURYONO Masih di bawah Mayora ya? 31. SAKSI DARI PEMOHON: CUPITNO Ya, produk Mayora. 32. KUASA HUKUM PEMOHON: AHMAD SURYONO

    Tapi sebelum, mulai kapan itu mulai terjadi penurunan produksi, mulai tahun kapan?

    33. SAKSI DARI PEMOHON: CUPITNO Tahun 2008, Yang Mulia. 34. KUASA HUKUM PEMOHON: AHMAD SURYONO 2008? 35. SAKSI DARI PEMOHON: CUPITNO Ya. 36. KUASA HUKUM PEMOHON: AHMAD SURYONO 2008? 37. SAKSI DARI PEMOHON: CUPITNO Ya, betul.

  • 9

    38. KUASA HUKUM PEMOHON: AHMAD SURYONO

    Sebelum 2008, mohon bandingkan antara sebelum 2008 dengan setelah 2008, apakah ada perbedaan yang signifikan antara produksinya?

    39. SAKSI DARI PEMOHON: CUPITNO

    Oh, itu jelas. Sebelum tahun 2008, perusahaan PT Yudiya Wangi itu terus mengalami peningkatan produksi. Dan memang tadi sudah saya jelaskan, terbukti bahwa perusahaan Yudiya Wangi itu ikut membantu berdirinya dua perusahaan di tempat yang berbeda. Dan tahun 2008, di sinilah perusahaan Yudiya Wangi itu mengalami penurunan produksi, sampai dengan awal tahun 2010.

    40. KUASA HUKUM PEMOHON: AHMAD SURYONO

    Kira-kira Anda bisa sebutkan beberapa jenis produk luar negeri, biskuit yang menjadi pesaing dari PT Yudiya, perusahaan Anda itu?

    41. SAKSI DARI PEMOHON: CUPITNO

    Itu ber..., yang saya sebutkan itu, saya di situ kalau untuk produk-produknya saya kurang paham, kurang hafal karena yang disebutkan itu hanya kalah saing dengan produk-produk luar negeri.

    42. KUASA HUKUM PEMOHON: AHMAD SURYONO

    Satu lagi, terakhir. Mengenai laju perumahan karyawan, itu dari tahun 2008?

    43. SAKSI DARI PEMOHON: CUPITNO Dari tahun 2.000 se, 2008. 44. KUASA HUKUM PEMOHON: AHMAD SURYONO 2008? 45. SAKSI DARI PEMOHON: CUPITNO Ya. 46. KUASA HUKUM PEMOHON: AHMAD SURYONO Dilakukan secara sekaligus atau bertahap?

  • 10

    47. SAKSI DARI PEMOHON: CUPITNO Itu secara bertahap. 48. KUASA HUKUM PEMOHON: AHMAD SURYONO

    Secara bertahap. Dengan ham..., dengan total karyawan 300, hampir seluruh karyawan dirumahkan?

    49. SAKSI DARI PEMOHON: CUPITNO Ya, hampir seluruhnya dirumahkan. 50. KUASA HUKUM PEMOHON: AHMAD SURYONO Cukup, Yang Mulia. 51. KETUA: MOH. MAHFUD MD

    Baik. Pemerintah, apa mau ada pertanyaan kepada Saksi? Cukup? Cukup. Majelis Hakim? Tidak ada. Baik, kita teruskan kepada Ahli. Silakan Pak Fajrul!

    52. AHLI DARI PEMERINTAH: MOHAMMAD FAJRUL FALAAKH

    Assalamualaikum wr.wb. Salam sejahtera, Majelis yang saya muliakan.

    Pada pagi hari ini saya diminta oleh Pemerintah untuk memberikan keterangan ahli. Dan terutama yang akan saya sampaikan keterangan atau analisis saya terkait objek pengujian.

    Sepanjang yang sudah saya baca dari berkas yang ada, objek perkara ini adalah perjanjian internasional yaitu ASEAN Charter atau Piagam ASEAN yang dikemas dalam atau dengan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 tanggal 6 November 2006, eh, 2008. Saya menyadari arti penting perkara ini dalam kaitan dengan hubungan internasional, hubungan Indonesia dan ASEAN maupun dengan wewenang pengadilan nasional untuk melakukan judicial review.

    Mungkin hal ini, perkara semacam ini tidak perlu terjadi apabila Undang-Undang Dasar 1945 dengan tegas menentukan kedudukan hukum internasional dalam tradisi atau dengan menganut teori monish state. Konstitusi Afrika Selatan tahun 1997 misalnya bersikap sekurang-kurangnya mengenai hak asasi manusia bahwa apabila tidak ada ketentuan hak asasi manusia di dalam konstitusi Afrika Selatan, maka otomatis berlaku konvensi HAM Internasional.

    Di antara contoh yang khas dalam tradisi berkonstitusi adalah juga artikel keenam dari clause 2 United States Constitution 1789 yang

  • 11

    menyatakan kurang lebih begini, The constitution and all treaties made or which shall be made under the authority of the united states shall be the supreme law of the land and the judges in every state shall be bound thereby. Nah itu kalau negara itu menganut katakanlah teori monish state, kita juga mungkin tidak akan mengalami perkara semacam ini. Artinya isu perjanjian internasional dijadikan objek pengujian pada pengadilan nasional, kalau misalnya negara ini adalah menganut teori dualis yang kemudian memberlakukan hukum internasional melalui undang-undang dan mengutamakan supremasi parlemen. Inggris misalnya menerbitkan European Communities Act Tahun 1972 dan menyatakan bahwa aturan-aturan dari European Community Treaty section 2.1 dengan tegas menyatakan, Without further in enactment are to be given legal effect or used in the United Kingdom. Artinya bahwa treaty dari komunita, komunitas Eropa atau European European Community setelah diakomodir dengan apa, undang-undang European Communities Act Tahun 1972 oleh Inggris, lalu tidak dipertanyakan lagi menjadi bagian dari the supreme law of the land.

    Nah, tapi lalu bagaimana soalnya ketika pengadilan nasional dihadapkan kepada perjanjian internasional seperti ASEAN Charter. Apakah pengadilan nasional dapat menjangkau perjanjian internasional? Dalam arti, ketika perjanjian internasional itu misalnya dikemas sebagai undang-undang atau dikemas dengan undang-undang. Bagaimana kalau perjanjian internasional itu dikemas dengan Keppres zaman dulu? Apakah lalu TUN yang akan mengadili? Atau kalau perjanjian internasional itu dikemas sebagai Peraturan Presiden, sehingga diuji oleh Mahkamah Agung. Jadi dengan demikian, ada tiga fori, tiga forum untuk dapat menguji perjanjian internasional semata-mata karena kemasannya. Itupun mungkin bukan soal kemasan tata letak barangkali ya, karena jadi lampiran dari peraturan perundang-undangan nasional.

    Nah, saya akan mencoba membicarakan masalah ini lebih lanjut, ada tiga bagian yang ingin saya sampaikan di hadapan Majelis. Yang pertama mengenai ASEAN Charter, satu, apa hanya untuk menyatakan beginilah persepsi saya dengan tentang ASEAN Charter ini dan kemudian membicarakan mengenai ratifikasi dari ASEAN Charter, dan terakhir, apa ini, perjanjian internasional dalam hal ini khususnya ASEAN Charter sebagai objek pengujian di dalam Mahkamah Konstitusi.

    Mengenai ASEAN Charter, ASEAN Charter adalah naskah perjanjian internasional berbahasa Inggris, sudah sama-sama kita ketahui. Subjek perjanjian adalah state dan penandatangan (signatories) adalah 10 kepala negara pemerintahan negara-negara ASEAN pada tanggal 20 November 2007 di Singapura. ASEAN Charter adalah produk 10 negara ASEAN. Dia adalah multilateral agreement, bukan produk Republik Indonesia sendirian.

    Dengan Pasal 3 ASEAN Charter, maka ASEAN diubah, yaitu dari organisasi politik yang longgar association, berdasarkan Bangkok Declaration Tahun 1967 menjadi ASEAN sebagai inter-governmental

  • 12

    organisation yang berstatus badan hukum publik. Pasal 3 dengan tegas menyatakan, punya legal personality, atau istilah lainnya charter association, atau istilah yang banyak digunakan di Kementerian Hukum dan bank, dan HAM ini adalah soal (Ahli berbahasa Belanda), berubahnya perkumpulan biasa menjadi perkumpulan berbadan hukum, cuma ini perkumpulan tingkat internasional dan publik.

    Nah, jadi Pasal 1 angka 5 dari ASEAN Charter adalah salah satu tujuan dan Pasal 2 ayat (2) huruf n adalah salah satu prinsip ASEAN sebagai badan hukum. Menguji kedua ketentuan ini berarti menjangkau prinsip dan kebijakan badan hukum publik internasional, yaitu ASEAN.

    Nah, ASEAN Charter pada tanggal 20 November 2007 itu juga belum mengikat karena membutuhkan tindakan selanjutnya sebagaimana dikehendaki oleh para pihak di dalam ASEAN Charter itu sendiri. Nah, kapan mengikat? Agar mengikat, ASEAN Charter pada Pasal 47 sudah menentukan ketentuan tentang ratifikasi depository dan entry into forces.

    Dengan tegas ayat (2) dari Pasal 47 juga mengatakan bahwa harus dilakukan ratifikasi oleh semua anggota ASEAN. Satu saja tidak meratifikasi, tidak terjadi Charter ini. Menurut apa? Menurut ketentuan-ketentuan internal dari negara itu masing-masing. Tetapi cukupkah dengan hanya ratifikasi sesuai dengan prosedur internal? Tidak. Ayat (3) dari Pasal 47 ASEAN Charter menyatakan harus dilanjutkan dengan insrument of ratification dan tidak didaftarkan di Kemenkumham atau percetakan negara, akan tetapi deposited with the Secretary-General of ASEAN. Jadi harus didaftarkan di depository kepada Sekretariat Jenderal ASEAN. Bahkan kemudian dinyatakan, apakah dengan depository itu lalu berlaku, semacam diundangkan? Tidak juga. Arti ayat (4)-nya mengatakan, dari Pasal 47 bahwa this Charter shall enter into force on the thirtieth day following the date of deposit of the tenth instrument of ratification. Jadi bahwa daya laku dari ASAEN Charter ini adalah kalau notifikasi dari ratifikasi yang ke-10 karena ini adalah Charter dari 10 negara, sudah disampaikan kepada Sekretariat Jenderal.

    Nanti Bapak-Bapak dari Kemen, Kementerian Luar Negeri saya kira bisa mengoreksi saya, tetapi sepanjang yang saya ketahui dari berbagai pemberitaan, Indonesia diberitakan sebagai negara yang terakhir meratifikasi. Dalam hal ini DPR meratifikasi terakhir dibanding sembilan negara lainnya. Tetapi, ternyata yang mengirimkan notification of ratification terakhir bukan Indonesia, justru melainkan Thailand. Apa yang ingin saya katakan, kaitannya dengan ayat (4) dari Pasal 47 ASEAN Charter adalah berarti ASEAN Charter itu entry into force-nya adalah hari ke-30 setelah notifikasi yang terakhir, yaitu yang dilakukan oleh Muang Thai atau Thailand. Walaupun ratifikasinya yang paling akhir justru malah Indonesia. Tapi ketika memberitahukan kepada Sekretariat Jenderal ASEAN, yang belakangan justru adalah Thailand.

    Nah, di Indonesia ratifikasi ASEAN Charter mengikuti Pasal 11 dari Undang-Undang Dasar 1945, yaitu dengan persetujuan DPR. Ratifikasi

  • 13

    ASEAN Charter dituangkan dalam atau dengan undang-undang karena permintaan dari Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 juncto lampiran dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Terhadap ratifikasi ini, berlaku Konvensi Wina Tahun 1999, Vienna Convention on the Law of Treaties bahwa ratifikasi adalah tindakan internasional (international act) dilihat oleh Vienna, apa ini, Convention. Tindakan internasional dari siapa? Dari suatu negara di dalam menyatakan persetujuannya untuk diikat oleh suatu perjanjian internasional. Nah, jadi ratifikasi tidak bisa hanya dilihat semata-mata sebagai sebuah tindakan di dalam negeri persetujuan-persetujuan begitu saja, sebagaimana persetujuan-persetujuan lain.

    ASEAN Charter dinyatakan berlaku pada hari ke-30 setelah depository dari instrumen ke-10 dari ratifikasi itu pada Sekretariat Jenderal ASEAN. Nah, setelah entry into force, maka berlaku Pasal 26 yang tadi saya kutip, yaitu pacta sunt servanda dan juga prinsip rebus sic stantibus, jadi perjanjian mengikat para pihak yang menandatangani. Tapi yang menarik kemudian adalah bahwa setelah entry into force dari ASEAN Charter Pasal 54 dari, dari ASEAN Charter menyatakan, This Charter Sell Registered by Secretary General of ASEAN With the Secretariat of the United Nations. Puswanto Artikel 102, paragraf 1, of the Charter of the United Nations.

    Jelas secara singkat dari pemahaman saya mengenai ASEAN Charter adalah bahwa prosedur pembentukan ASEAN Charter hingga memiliki kekuatan berlaku sebagai bagian perjanjian internasional bukanlah prosedur pembentukan undang-undang, sebagaimana dimaksud oleh Pasal 5 juncto Pasal 20 juncto Pasal 22A Undang-Undang Dasar 1945. Melalui ratifikasi yang oleh Vienna Convention disebut sebagai international act, maka pemerintahan negara Indonesia ikut melaksanakan tertib internasional atau ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

    Nah, itu pemahaman saya mengenai ASEAN Charter. Sekarang khusus mengenai ratifikasi yang ingin saya kemukakan, dimana oleh, oleh ASEAN Charter sendiri di, di, apa, di, dihormati sebagai prosedur internal masing-masing negara. Nah, ratifikasi ASEAN Charter dengan atau dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 termasuk rezim perjanjian internasional vide Pasal 10 Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan amandemen tahun 2001 dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dan Undang-Undang Nomor 8, ya, Nomor 8 Tahun 2011 revisi Undang-Undang MK, maupun Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 dan revisinya tahun 2011, nanti akan saya elaborasi apa relevansi kutipan-kutipan berbagai undang-undang ini.

    Ratifikasi dengan prosedur internal berbentuk undang-undang ini atau pada kesempatan lain bentuknya adalah Perpres dan Keppres untuk

  • 14

    perjanjian lainnya oleh konvensi Wina Tahun 1969 disebut sebagai international act dari negara yang akan mengikatkan diri kepada suatu perjanjian internasional. Dengan demikian, ratifikasi dengan atau dalam undang-undang, atau Perpres, atau Keppres adalah administrasi kenegaraan versi Indonesia bagi ratifikasi perjanjian internasional. Kadang-kadang di dalam sejumlah literatur disebutkan hukum internasional itu, ini kepala besarnya orang ADM, hukum internasional itu adalah hukum tata negara untuk urusan luar negeri, kira-kira gitu. Jadi kalau di Pasal 11 disebutkan ada ratifikasi persetujuan oleh DPR, itulah hukum tata negara untuk urusan luar negeri.

    Nah, tetapi ASEAN Charter tidak berhenti sebagai peraturan perundang-undangan Indonesia karena kekuatan berlakunya atau entry into force adalah dengan depository of instrument of ratification, bukan hanya oleh Indonesia, tetapi juga oleh 10 negara ASEAN di Sekretariat Jenderal ASEAN. Jadi, di sini tidak berlaku Pasal 7 ayat (5) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 bahwa kekuatan hukum peraturan perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki, sebagaimana dimaksud Pasal 7 ayat (1). Jadi mulai Undang-Undang Dasar, Undang-Undang Perpu, dan seterusnya turun ke bawah, apalagi karena perjanjian internasional bisa dikemas sebagai undang-undang, juga bisa dikemas dalam Perpres dan Keppres, bingung kita mana hierarkinya. Di sisi lain, tidak semua persetujuan DPR terhadap tindakan Presiden diwujudkan dalam peraturan perundang-undangan. Persetujuan DPR terhadap calon hakim yang dimajukan oleh, apa ini, Komisi Yudisial atau juga persetujuan DPR yang diberikan kepada calon anggota Komisi Yudisial yang diangkat oleh Presiden. Ini relevansinya adalah Pasal 11 Undang-Undang Dasar kita yang mengatakan bahwa perjanjian internasional itu membutuhkan persetujuan DPR, maka frasa persetujuan DPR tidak perlu disamakan dengan frasa persetujuan DPR pada Pasal 20 ayat (2) yang menghasilkan undang-undang. Jadi, persetujuan DPR terhadap perset..., perset, apa ini, perjanjian internasional harus diberlakukan sebagai persetujuan pada rezim, kalau kita boleh menggunakan istilah itu..., apa ini..., Pasal 11 itu sendiri yang dimaksudkan, untuk Perjanjian Internasional.

    Oleh karena itu, semata-mata bahwa ASEAN Charter dikemas dalam atau dengan undang-undang, tidak perlu membuat kita terjebak oleh tata letaknya. Jadi tata letaknya saja, gitu, dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008, sehingga mengaburkan kepada substansi bahwa ASEAN Charter adalah perjanjian internasional publik, international agreement treaty charter yang dihasilkan oleh 10 negara ASEAN. Begitu pula dengan perjanjian internasional yang dikemas dengan Perpres dan Keppres.

    Dengan demikian, persetujuan DPR terhadap perjanjian internasional yang diwujudkan dengan dokumen undang-undang atau Keppres adalah memenuhi keharusan Pasal 9 sampai dengan 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Perjanjian Internasional

  • 15

    juncto Pasal 8 huruf b Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. Tetapi pengemasan perjanjian internasional dalam undang-undang haruslah tetap dipahami sebagai pengesahan, sebagaimana dimaksud oleh Pasal 9 sampai 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 atau yang dalam bahasa Konvensi Wina adalah international act.

    Nah, dengan status yang semacam itu, sekarang pertanyaannya adalah apakah ini dapat diuji oleh Mahkamah Konstitusi? Benar bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang menguji undang-undang, tetapi Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi sejak tahun 2003 maupun revisinya tahun 2011, tidak menentukan bahwa undang-undang yang dimaksud juga mencakup ratifikasi perjanjian internasional yang dikemas dengan undang-undang. Bagaimana apabila ratifikasi itu dikemas dengan Keppres atau Perpres?

    Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan, Setiap RUU dibahas oleh DPR dan presiden untuk mendapat persetujan bersama.

    Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 dan revisinya Tahun 2011 menyatakan, Undang-Undang adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPR dengan persetujuan bersama presiden.

    Ternyata, baik Undang-Undang Mahkamah Konstitusi maupun Undang-Undang tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, tidak merujuk Pasal 11 Undang-Undang Dasar 1945. Undang-undang yang dibuat belakangan itu tadi juga tidak merujuk Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional dan juga tidak merujuk Konvensi Wina tentang The Law of Treaties. Nah, dan memang undang-undang yang menjadi objek wewenang Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, tidak mutatis mutandis sama dengan Undang-Undang Ratifikasi Perjanjian Internasional berdasarkan Pasal 11 UUD 1945.

    Jadi, secara substantif, ASEAN Charter yang disahkan dengan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 bukanlah wet informal the shell sehingga bukan merupakan undang-undang yang dapat dimohonkan pengujian di Mahkamah Konstitusi. Secara substantif suatu Perpres yang mengesahkan perjanjian internasioanal, juga bukan Perpres yang dapat diuji oleh Mahkamah Agung. Secara substantif suatu Keppres yang mengesahkan perjanjian internasional juga bukan Keppres yang dapat digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara.

    Menurut internal procedure di Indonesia, berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000, sebagai pengaturan lebih lanjut dari Pasal 11 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, ratifikasi perjanjian internasional tidak memerlukan pengujian oleh Mahkamah Konstitusi. Notabene Pasal 24C dihasilkan dalam Amandemen Tahun 2001. Tidak diperlukan pula pengujian oleh Mahkamah Agung bagi Perpres, Keppres, perjanjian internasional. Apabila MK dan MA berwenang menguji perjanjian internasional, maka banyak ratifikasi konvensi atau perjanjian

  • 16

    internasional yang berpotensi dibatalkan di forum pengadilan yang tidak tunggal karena pengambilan bentuk kemasan berupa peraturan perundang-undangan yang berbeda-beda.

    Data yang saya akses pada tanggal 29 Juli dari, dari jaringan dokumentasi dan informasi hukum dari Kemenkumham ada sebanyak 296 konvensi perjanjian internasional. Tentu akan berbeda apabila Undang-Undang Dasar 1945 dihubungakan dengan Undang-Undang Perjanjian Internasional Tahun 2000, Undang-Undang MK, dan Undang-Undang tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Ketentuan-ketentuan tadi mengadopsi judicial preview oleh Mahkamah Konstitusi pada proses ratifikasi perjanjian internasional.

    Mudahnya pasal, kalau Pasal 11 Undang-Undang Dasar 1945 dengan tegas-tegas menyatakan bahwa memang presiden membuat perjanjian perdamaian dengan negara lain dengan persetujan DPR, DPR memberi persetujan setelah memperhatikan pertimbangan MK. Nah, bisa saja kalau dirumuskan judicial review semacam itu, tetapi itu akan dipertimba, dilihat sepenuhnya oleh Konvensi Wina dan juga negara-negara lain sebagai urusan internal Indonesia. Suatu barang yang, apa ini, belum selesai diratifikasi oleh Indonesia, silakan diselesaikan dengan tata cara internal.

    Majelis yang saya muliakan, sekarang saya sampai pada kesimpulan. Yang pertama, tidak menjadi original intent Pasal 11 Undang-Undang Dasar 1945 bahwa perjanjian internasional dan persetujuan DPR atau ratifikasi terhadap perjanjian international disamakan dengan undang-undang sebagaimana dimaksud Pasal 5, 20, dan 22A Undang-Undang Dasar 1945.

    Yang kedua, karena itu terjadi error in subjectum litis pada Perkara Nomor 33/PUU-IX/2011. Karena perjanjian internasional tentang badan hukum publik internasional, yaitu ASEAN Charter diperlakukan secara formal dan material sama dengan undang-undang, sehingga dapat dimohonkan pengujian di MK.

    Ketiga, Undang-Undang Dasar 1945 tidak memberi wewenang kepada Mahkamah Konstitusi atau menentukan Mahkamah Konstitusi sebagai forum untuk menguji perjanjian internasional seperti ASEAN Charter yang diratifikasi dengan atau dalam undang-undang. Begitupula MA bukan forum bagi pengajuan Perpres perjanjian internasional dan PTUN juga bukan forum bagi pengujian Keppres perjanjian internasional.

    Keempat, terakhir, artikel 24 sampai dengan 28 ASEAN Charter sendiri sudah menentukan pihak yang dapat bersengketa, termasuk tentang penafsiran charter, yaitu member states. Sekaligus di dalam Pasal 24 sampai 28 itu diatur mengenai penyelesaian sengketa hingga PBB. Saat ini ASEAN Charter juga sudah mengadopsi protokol untuk di ASEAN Charter on Dispute Settlement Mechanisme yang dihasilkan pada tahun 2010 di Hanoi.

    Demikian keterangan yang bisa saya sampaikan, mudah-mudahan berguna. Wassalamualaikum wr. wb.

  • 17

    53. KETUA: MOH. MAHFUD MD

    Baik, diteruskan dulu, biar nanti yang mau tanya dihimpun dulu, dicatat dulu.

    Bapak Drs. Soemadi Brotodiningrat, silakan. 54. AHLI DARI PEMERINTAH: SOEMADI BROTODININGRAT

    Assalamualaikum wr. wb. 55. KETUA: MOH. MAHFUD MD

    Waalaikumsalam. 56. AHLI DARI PEMERINTAH: SOEMADI BROTODININGRAT

    Selamat pagi dan salam sejahtera bagi kita semua. Majelis yang saya muliakan, pertama-tama perkenankan saya memperkenalkan diri. Nama saya Soemadi Brotodiningrat, saya adalah Pensiunan Pejabat Dinas Luar Negeri. Yang semasa aktif, antara lain pernah bertugas sebagai Direktur Jenderal Hubungan Ekonomi Luar Negeri pada yang waktu itu dinamakan Departemen Luar Negeri. Merupakan suatu kehormatan bagi saya diberi kesempatan untuk mengemukakan pandangan dalam rangka uji materi tentang undang-undang Nomor 38 Tahun 2008, mengenai pengesahan Charter of the Association of Southeast Asian Nations atau ASEAN Charter.

    Sebagai Praktisi Hubungan Luar Negeri yang bukan ahli hukum, sebenarnya saya sependapat dengan keterangan Pemerintah yang saya baca dari risalah. Yang intinya adalah tentang perlunya membatasi uji materi ini pada segi legi, legalitasnya saja. Khususnya kaitan antara Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 dengan Undang-Undang Dasar 1945, serta status lampirannya, yaitu Piagam ASEAN atau ASEAN Charter terhadap Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 tersebut. Mungkin yang sedikit dapat saya tambahkan, dalam hal ini adalah bahwa saya juga membenarkan keterangan Pemerintah, yang saya juga baca dari risalah. Bahwa dalam praktik kebiasaan internasional, negara-negara memiliki prosedur tersendiri untuk memberlakukan suatu perjanjian internasional. Prosedur semacam ini biasanya ditentukan dalam perjanjian internasional itu sendiri.

    Dalam kaitan ini, seandainyapun Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 dibatalkan, keterikatan terhadap Piagam ASEAN tidak secara otomatis akan berubah. Namun karena dalam uji materi ini Majelis Mahkamah Konstitusi telah pula mendengarkan pandangan yang mengaitkan persoalan hukum ini dengan permasalahan yang lebih luas, maka untuk melengkapi bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan, kiranya ada baiknya bagi Mahkamah Konstitusi untuk juga

  • 18

    mendengarkan pandangan yang mungkin berbeda dengan apa yang telah didengar hingga saat sekarang.

    Saya akan menyampaikan pandangan dari perspektif yang sesuai dengan pengalaman saya sebagai Praktisi Hubungan Internasional, khususnya hubungan ekonomi internasional yang akan saya ungkapkan melalui beberapa poin sebagai berikut; 1. Perkembangan dan kecenderungan dalam hubungan ekonomi

    internasional. 2. Peningkatan kerja sama ekonomi regional, termasuk ASEAN. 3. Interrelationship atau saling hubungan antara Indonesia, ASEAN, dan

    Piagam ASEAN dari segi hubungan luar negeri. Perkenankan saya mulai dengan poin yang pertama,

    perkembangan dan kecenderungan dalam hubungan ekonomi internasional. Untuk itu, saya ingin menyampaikan satu quotation sebagai berikut, Despite reason move toward desertion of national identitys. The trend of humanistry has been toward ever closer integration, if the world people are to secure there future, they have know to move toward global unity true widening coorporation on in the integral basis. Ini bukan pernyataannya Ronald Reagan, Margareth Thatcher, atau Alan Greenspan yang merupakan ikon kapitalisme, tetapi seruan dari the self commission yang diketau, yang diketuai oleh Almarhum Presiden Julius Nyerere dari Tanzania dan beranggotakan 26 tokoh dari negara-negara selatan yang banyak di antara mereka berhaluan sosialis. Sekretaris Jenderalnya adalah Manmohan Singh yang selama satu dekade terakhir ini selaku Perdana Menteri India telah berhasil mengangkat perekonomian negara tersebut ke taraf kemajuan yang mengesankan. Memang it is the find along way, sejak konsepsi kemandirian ekonomi dimanifestasikan dengan doktrin swadesi, yang intinya adalah hanya mengkonsumsi yang diproduksi sendiri.

    Sekarang pemikiran kemandirian ekonomi cenderung berkembang ke arah keamanan dan keunggulan ekonomi yang hanya dapat dicapai dengan memanfaatkan peluang kerja sama internasional. Apakah itu science and technology driven? Apakah itu market driven? Apakah itu polosit driven? Ataupun kombinasi antara ketiganya adalah sudah menjadi kenyataan bahwa kerja sama internasional dalam bentuk free trade agreement, dalam bentuk regional retreatment, maupun lebih luas lagi dalam bentuk economic patrnership agreement di tingkat global, regional, maupun bilateral merupakan pendorong bagi pertumbuhan ekonomi dan keberhasilan pembangunan. Tidak perlu seorang ahli, orang awam pun dapat melihat dengan jelas perbedaan performa ekonomi antara negara-negara yang menjalankan ekonomi terbuka dan mereka yang menutup diri. Silakan bandingkan kedua Korea, dua etnis yang sama dengan dua negara yang berlainan dengan dua performa ekonomi yang sangat berlainan karena menjalankan dua kebijakan ekonomi yang berlainan pula.

  • 19

    Saya juga tidak sependapat dengan pengaitan antara keterbukaan ekonomi serta kerja sama internasional dalam bentuk FTA, RTA ataupun IPA ini dengan paham atau ideologi tertentu. Kita ambil contoh China yang merupakan pelaku penting dalam kerja sama internasional termasuk perdagangan bebas, jelas tidak dapat kita katakan sebagai penganut paham neoliberal. Saya juga tidak melihat bahwa kecenderungan sekarang ini mengarah kepada free fight competition, yang nampak justru kecenderungan kerja sama dan persaingan yang semakin rule base, yang antara lain ditandai dengan semakin banyaknya skema-skema kerja sama yang legally finding. Memang disadari bahwa sistem kerja sama internasional yang secara inherent bercirikan persaingan ini dapat memunculkan winners dan losers, baik antar negara maupun di dalam negara. Namun manfaat yang diperoleh dari kerja sama internasional dalam bentuk FTA, RTA ataupun IPA tersebut, secara umum dinilai masih lebih besar bagi khalayak yang lebih banyak, termasuk kepentingan konsumen yang di dalam wacana di Indonesia ini agak jarang dikemukakan, masih dinilai lebih banyak. Sikap menutup diri hanya akan menjadikan semuanya menjadi losers. Upaya menolong para losers perlu dilakukan, namun tanpa menghilangkan peluang kemanfaatan yang dibawa oleh FTA, RTA ataupun IPA tersebut.

    Perkenankan saya beranjak ke poin saya yang kedua, peningkatan kerja sama ekonomi regional, termasuk ASEAN. Saya juga akan memulainya dengan meng-quote seorang Ahli Sri Langka bernama Goth Fred Regulithe sebagai berikut, And doubtedly the potential of coorperation among developing country would be highest for a group of country in relatively close proximity to each other, such cooperation would generally and compass, command political, economic, and social interest.

    Saya kemukakan quotations ini untuk menunjukkan bahwa kerja sama regional di antara negara berkembang, bukan hanya sekedar semata-mata kelatahan, meniru Eropa, tetapi memang didasarkan pertimbangan kepentingan yang rasional. Memang kalau, kalau dilihat kerja sama yang menjurus ke arah integrasi ekonomi regional ini telah terjadi di berbagai penjuru dunia. Kita tahu ada Mercosur dan ada grup Andean di Amerika Latin. Kita tahu ada COMESA, ada Ecowas, ada Sadek di Afrika. Dan bahkan di Afrika sudah ada Uni Afrika.

    Sekarang ini hampir semua negara di dunia telah mengikatkan diri atau menjadi anggota satu kelompok regional. Sejumlah kecil yang masih berada di luar kerja sama atau pengelompokan bukannya merasa bangga karena mandiri, namun berkecil hati karena merasa tersisihkan.

    Di Asia, di mana keterbukaan ekonomi dan kerja sama internasional merupakan pendorong penting yang menjadikannya sebagai pusat gravitasi ekonomi global, kerja sama dan integrasi ekonomi regional telah berkembang dengan pesat. Studi dari Asian Development Bank, beberapa waktu yang lalu antara lain mengemukakan, saya quote, Asia strength the raise precisely from the

  • 20

    opened diversity and dynamism of each interconnected economics, Asian economics, Asian economics are principle connected flue market, flue trade fairs no flow, direct investment and other form of economics exchange, but were market lead government are following, Asian leaders have committed to walk together more closely. Dalam kaitan inilah kita banyak mendengar pembicaraan atau wacana mengenai proses pengembangan arsitekur ekonomi regional Asia. Sudah barang tentu dalam proses ini kemungkinan dampak negatifnya pun juga tidak dapat diabaikan. Karena itulah institusi seperti Asian Development Bank dan forum kerja sama seperti APEC dan di tingkat global bahkan The G-20, mulai memikirkan bagaimana mengatasinya, antara lain melalui konsep apa yang dinamakan inclusive grow.

    Dalam proses pengembangan arsitekur ekonomi regional ASEAN, Asia ini, peran dan kontribusi ASEAN sebagai kelompok, sangatlah signifikan. Jejaring kemitraan yang telah dikembangkan oleh ASEAN sejak puluhan tahun telah menempatkan ASEAN di bangunan utama dari arsitektur yang dikembangkan, meskipun ASEAN bukan kekuatan yang terbesar. Keberhasilan ASEAN untuk mendapatkan kedudukan sentral ini, di samping karena upaya diplomasi, juga ditunjang oleh dinamika kerja sama dan integrasi internal ASEAN sendiri. Dalam hal ini Piagam ASEAN telah memperkuat sentralitas ASEAN dalam arsitektur regional. Dan pembentukan komunitas ASEAN diperlukan untuk mempertahankan sentralitas tersebut.

    Sekarang saya akan beralih ke poin yang ketiga, yaitu hubungan antara Indonesia, ASEAN, dan Piagam ASEAN. Sebagaimana diketahui, Indonesia adalah salah satu anggota pendiri founding member daripada ASEAN yang sejak tahun 1967 tidak pernah mengurangi komitmennya terhadap ASEAN. Sejak itu pemerintahan di Indonesia telah beberapa kali berganti, tetapi komitmen terhadap ASEAN tidak pernah berubah. Sampai sekarang ASEAN tetap menjadi the cornerstone, kebija, jadi kebijata, kebijakan luar negeri Indonesia.

    Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa komitmen ASEAN tersebut bukan merupakan kebijakan dari satu pemerintah tertentu, melin, melainkan sudah menjadi komitmen nasional. Sebagai ekonomi yang terbesar, Indonesia telah pula turut mendorong perluasan dan pendalaman kerja sama serta integrasi ekonomi ASEAN, antara lain melalui preferensi perdagangan barang, perdagangan jasa, kerangka persetujuan investasi, dan kemudahan mobilitas manusia menuju ke pasar dan basis produksi tunggal yang akan membuat ekonomi ASEAN menjadi lebih dinamis dan kompetitif. Dalam hubungan ini, kerja sama dan integrasi ekonomi ASEAN tersebut telah berjalan melalui proses yang panjang dan dalam proses tersebut Indonesia tidak pernah bertindak gegabah. Setiap langkah selalu diambil secara terukur dengan memperhatikan kepentingan dan pendapat para pemangku kepentingan di dalam negeri.

  • 21

    Ada pun arti penting ASEAN bagi Indonesia telah sama-sama kita ketahui, selama empat setengah dekade ASEAN telah menciptakan stabilitas dan suasana relatif damai di kawasan yang telah memungkinkan para anggotanya, termasuk Indonesia dapat berkonsentrasi pada pembangunan ekonomi. Peningkatan interaksi dan transaksi ekonomi antar negara ASEAN, juga telah memberikan manfaat bagi Indonesia, meskipun mungkin keuntungan ekonomi yang diraih oleh Indonesia belum sebanyak beberapa mitranya yang lain. Nanti untuk ini para ahli ekonomi akan, akan dapat memberikan angka-angkanya. Begitu pula dari segi diplomatik, ASEAN juga telah menambah bobot dan menaikkan profil Indonesia di percaturan internasional. Dan meskipun masih ada hal-hal, dalam kerja sama ASEAN yang belum memenuhi harapan, namun secara keseluruhan, kiranya dapat dikatakan bahwa Indonesia menjadi better of, dengan adanya ASEAN daripada seandainya ASEAN tidak ada.

    Menjelang abad ke 21 ini, dipicu oleh dinamika internal dan didorong oleh perkembangan lingkungan eksternal, ASEAN telah bertekad untuk mengembangkan suatu kawasan yang terintegrasi dengan membentuk suatu komunitas terbuka, damai, stabil, dan sejahtera, saling peduli, dan diikat bersama dalam kemitraan yang dinamis.

    Seiring dengan aspirasi pembentukan komunitas tersebut, telah pula disepakati perumusan Piagam ASEAN yang akan menjadi landasannya. Sehingga memperkuat ASEAN menjadi organisasi yang rule based dan yang memiliki legal personality. Dalam proses pengembangan ASEAN ini, Indonesia telah berperan penting. Lamanya waktu dan intensitas pembahasan yang diperlukan untuk perumusan Piagam ASEAN dan proses ratifikasinya, menunjukkan keseriusan dalam mempertimbangkan ratifikasinya.

    Dalam kaitan ini, kemungkinan dampak timbulnya losses karena penerapan Pasal 1 poin 5 tentang Penciptaan Pasar Tunggal dan Pasal 2 poin n tentang Penghapusan Hambatan Menuju Integrasi Ekonomi Kawasan, telah diantisipasi dan diimbangi dengan dirumuskannya Pasal 1 poin 6 tentang Pengurangan Kemiskinan atau Poverty Alleviation. Pasal ini diperkuat lagi dengan ASEAN Economic Community Blueprint, Pasal C1 tentang SMI (Small and Medium Enterprise Development), pengembangan UKM, dan, dari ASEAN Socio-Cultural Community Blueprint, Pasal B1 tentang Poverty Alleviation dan Pasal B2 tentang Social Safety Net and Protection from the Negative Impact of Integration and Globalization.

    Saya ingin menutup pandangan ini, keterangan ini, dengan mengatakan bahwa kesamaan pendapat saya dengan keterangan Pemerintah tentang segi legalitas dari uji materi tentang Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008, serta pandangan saya tentang permasalahan substansif yang dikaitkan dengan itu semua, terutama yang menyangkut Pasal 1 poin 5, dan Pasal 2 poin n dari Piagam ASEAN. Kiranya dapat

  • 22

    disimpulkan bahwa saya tidak melihat adanya salah langkah dari pihak Pemerintah Indonesia dalam menjalankan peran aktifnya untuk mengembangkan kerja sama dan integrasi ASEAN, termasuk dalam merumuskan Piagam ASEAN.

    Demikian pula, tidak melihat, saya tidak melihat adanya salah langkah dari DPR dan Pemerintah dalam mengesahkan Piagam ASEAN tersebut melalui Undang-Undang Dasar, Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008.

    Akhirnya, perkenankan saya mengakhiri pandangan ini dengan satu personal note. Saya ini adalah orang Solo, meskipun sudah lama saya menghilangkan sentimen kedaerahan yang negatif, saya masih memelihara afinitas yang positif terhadap kota kelahiran saya, Solo. Saya masih sering pulang ke Solo dan berbesar hati melihat viberen bisnis, viberen-nya bisnis UKM, misalnya di pusat grosir di Gladak. Saya ikut prihatin bahwa ternyata masih ada juga nasib, yang nasibnya kurang beruntung seperti Ibu Nurul Hidayati, dan Ibu Suratih, yang saya baca dari risalah yang lalu. Sebagai sesama orang Solo, saya bersimpati dan siap mendukung prakarsa yang efektif untuk menolong mereka. Namun, para yang Mulia, sejujurnya saya tidak yakin bahwa pembatalan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 ataupun Pasal 1 poin 5 dan Pasal 2 poin n Piagam ASEAN yang jelas akan menimbulkan implikasi serius bagi tata kelola hubungan luar negeri, secara efektif akan merupakan sarana yang dapat mengatasi masalah yang dihadapi oleh Ibu Nurul dan Ibu Surati tersebut.

    Demikian, terima kasih atas perhatian. Wassalamualaikum wr.wb. 57. KETUA: MOH. MAHFUD MD

    Terima kasih, Pak Soemadi. Ini ada Saksi baru datang, tapi nanti saja karena ini terlambat. Kita fokuskan dulu kepada dua Ahli ini. Sebelum Hakim, saya persilakan kepada Pemerintah dulu kalau ada yang ingin diperdalam agar, kalau memang ada, kalau memang sudah jelas, saya tawarkan ke Pemohon. Kalau tidak juga, nanti Majelis Hakim.

    58. PEMERINTAH: MUALIMIN ABDI Cukup, Yang Mulia. 59. KETUA: MOH. MAHFUD MD Cukup? 60. PEMERINTAH: MUALIMIN ABDI Ya.

  • 23

    61. KETUA: MOH. MAHFUD MD

    Cukup. Pemohon ada yang mau ditanyakan? 62. KUASA HUKUM PEMOHON: AHMAD SURYONO Ada, Yang Mulia. 63. KETUA: MOH. MAHFUD MD Silakan. 64. KUASA HUKUM PEMOHON: AHMAD SURYONO

    Mohon izin untuk pertanyaan Bapak Soemadi disampaikan oleh Prinsipal, Yang Mulia. Untuk Ahli Pak Fajrul Falaakh, saya ingin menanyakan beberapa hal. Yang pertama, apakah ada hubungan antara ASEAN Charter dengan ASEAN Economy Community?

    65. AHLI DARI PEMERINTAH: MUHAMMAD FAJRUL FALAAKH

    Jawab. Kalau dalam ASEAN Charter, ASEAN Economy Community itu adalah komponen atau istilah-istilah orang..., orang..., apa..., para Diplomat adalah pilar, ya 3 pilar.

    66. KUASA HUKUM PEMOHON: AHMAD SURYONO

    Saya..., saya bisa ja..., saya bisa simpulkan ya, jawaban Bapak, ya. Jawaban Bapak, ya ada hubungan.

    67. AHLI DARI PEMERINTAH: MUHAMMAD FAJRUL FALAAKH Saya enggak menjawab hubungan karena pertanyaannya beda. 68. KUASA HUKUM PEMOHON: AHMAD SURYONO Oke. Kemudian, pertanyaan selanjutnya (...) 69. AHLI DARI PEMERINTAH: MUHAMMAD FAJRUL FALAAKH Wong unsur kok, hubungan. 70. KETUA: MOH. MAHFUD MD Silakan.

  • 24

    71. KUASA HUKUM PEMOHON: AHMAD SURYONO

    Apakah hukum-hukum, Pak, yang termasuk undang-undang ratifikasi, apakah hanya berkaitan dengan urusan tata letak atau administratif semata-mata? Apakah tidak memiliki constitutional value? Seperti..., mohon maaf, saya contohkan ketika publik dulu melihat pembentukan Satgas mafia hukum yang oleh beberapa pihak dinilai memiliki constitutional value walaupun tidak ditentukan secara implisit dalam konstitusi. Bagaimana pendapat Bapak mengenai hal tersebut, apakah undang-undang..., undang-undang..., hukum termasuk Undang-Undang Ratifikasi hanya berkaitan dengan tata letak atau administratif semata-mata?

    72. AHLI DARI PEMERINTAH: MUHAMMAD FAJRUL FALAAKH

    Undang-Undang ini memiliki constitutional value dalam arti karena ini adalah ekspresi, ekspresi dari tindakan meratifikasi. Value-nya di situ, gitu. Jadi, kalau saya punya ijazah, value-nya adalah ini dokumen kelulusan, tapi kepintaran saya tidak di ijazah itu.

    73. KUASA HUKUM PEMOHON: AHMAD SURYONO

    Saya lanjutkan dengan pertanyaan selan..., yang sebelumnya ya, Pak, ya. Kalau memang..., apa..., tadi saya sempat me-review beberapa pernyataan Bapak tadi mengenai kenapa Perpres, kenapa undang-undang, kenapa Keppres, kemudian kenapa kalau misalnya Perjanjian Undang-Undang Ratifikasi ketika Keppres kemudian tidak diujikan ke PTUN, itu kan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan konstitusional. Pertanyaan saya adalah apakah mungkin, bagaimana jika materi dari Undang-Undang Ratifikasi atau setiap perjanjian internasional yang diratifikasi, baik melalui undang-undang maupun peraturan Presiden juncto Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 karena Keppres sudah tidak diberlakukan lagi sebagai peratifikasi, kemudian dinilai atau pada pemberlakuannya..., sesaat setelah pemberlakuannya, memiliki nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai konstiitusi?

    74. AHLI DARI PEMERINTAH: MUHAMMAD FAJRUL FALAAKH

    Itu pelajaran judicial review, rezimnya pakai concrete judicial review. Yang di-review..., yang di-review bukan norma, yang di-review adalah tindakan konkret. Gampangnya kalau seseorang membuat pernyataan, katakanlah yang dipadang merugikan, itu mungkin masuk dalam rezim pencemaran nama baik, tapi apakah ada kerugian fisik kalau saya mengatakan seseorang itu dengan ungkapan-ungkapan, katakanlah metaforik yang buruk, gitu. Karena kata-kata itu sendiri pernyataan bebas saja.

  • 25

    Jadi Pasal 1 ataupun pasal berapa itu..., dari ASEAN Charter itu adalah seperti..., kalau mau saya sederhanakan, para partisi diplomasi luar negeri mungkin keberatan, itu seperti AD/ART, organisasi. Jadi kalau kita tidak setuju bahwa ada organisasi itu akan meng..., apa misalnya..., me..., menyebarluaskan ajaran yang tertentu, dimana itu adalah kebebasan berfikir juga, maka yang harus dinilai nanti apakah tindakan dia menyebarkan luas..., menyebarluaskan ajaran tertentu itu merugikan saya. Jadi tindakan menyebarkan, bukan pernyataan akan menyebarluaskan. Jadi tindakan..., andaikata ada, adalah tindakan tadi pasar tunggal itu yang saya enggak tahu maknanya, bukan lalu pernyataan akan membentuk pasar tunggalnya.

    75. KUASA HUKUM PEMOHON: AHMAD SURYONO Kembali ke pertanyaan yang satu tadi (...) 76. AHLI DARI PEMERINTAH: MUHAMMAD FAJRUL FALAAKH

    Ya.

    77. KUASA HUKUM PEMOHON: AHMAD SURYONO

    Karena Bapak tadi menjelaskan bahwa kita harus kepada perbuatan bukan pernyataannya, Pak, ya?

    78. AHLI DARI PEMERINTAH: MUHAMMAD FAJRUL FALAAKH Ya. 79. KUASA HUKUM PEMOHON: AHMAD SURYONO

    Bapak kan tadi mengatakan bahwa ASEAN Economic Community itu adalah bagian dari ASEAN Charter.

    80. AHLI DARI PEMERINTAH: MUHAMMAD FAJRUL FALAAKH Ya, pilar. 81. KUASA HUKUM PEMOHON: AHMAD SURYONO Pilar. 82. AHLI DARI PEMERINTAH: MUHAMMAD FAJRUL FALAAKH Ya.

  • 26

    83. KUASA HUKUM PEMOHON: AHMAD SURYONO

    Sejauh mana Bapak bisa menjelaskan ASEAN Economic Community itu sebagai pilar?

    84. AHLI DARI PEMERINTAH: MUHAMMAD FAJRUL FALAAKH Saya tidak bisa menjelaskan. 85. KUASA HUKUM PEMOHON: AHMAD SURYONO Tidak bisa menjelaskan? 86. AHLI DARI PEMERINTAH: MUHAMMAD FAJRUL FALAAKH

    Ya, saya tidak perlu memaksa diri menjadi Ahli tentang ASEAN Charter. Saya bisa menjelaskan mengenai kedudukan perjanjian internasional dalam konteks ketatanegaraan. Jadi (...)

    87. KUASA HUKUM PEMOHON: AHMAD SURYONO

    Yang Mulia, bisakah saya menyampaikan sebuah pernyataan kepada Ahli? Pernyataan, Bapak, ASEAN Economic Community sebagai pilar, sebenarnya juga menjadi dasar bagi penerapan free trade agreement seperti yang disampaikan oleh Bap..., Ahli kedua tadi, Pak Soemadi, dan itu menjadi landasan hukum bagi perjanjian-perjanjian bilateral maupun regional yang melahirkan ketentuan-ketentuan atau peraturan-peraturan perundang-undangan yang berakibat pada kerugian langsung maupun potensi kerugian yang berhubungan dengan saksi-saksi dan keterangan saksi-saksi maupun bukti-bukti yang kami ajukan di Mahkamah.

    88. KETUA: MOH. MAHFUD MD

    Ya, baik, tidak usah dijawab, Bapak, itu kan pernyataan. Nanti Saudara tulis lagi di kesimpulan Saudara saja.

    89. KUASA HUKUM PEMOHON: AHMAD SURYONO Ya. Yang Mulia, bolehkah Prinsipal kami (...) 90. KETUA: MOH. MAHFUD MD Silakan.

  • 27

    91. KUASA HUKUM PEMOHON: AHMAD SURYONO

    Mempertanyakan ke Pak Soemadi? Silakan. 92. PEMOHON: SALAMUDDIN

    Terima kasih. Saya ingin mengajukan pertanyaan kepada, nama saya Salamuddin dari Institute Global Justice, Prinsipal. Ingin mengajukan pertanyaan kepada Pak Brotodiningrat tentang tadi pernyataan soal pasar tunggal, ya.

    Apakah Bapak mengetahui apa sesungguhnya yang ingin dicapai dari satu pasar tunggal atau basis produksi tunggal yang disertai dengan kebebasan di dalam lalu lintas barang, jasa, orang, dan investasi dan disertai dengan seluruh penghapusan hambatan perdagangan. Yang ingin saya tanyakan, pasar tunggal semacam apa yang ingin dicapai dari satu konsepsi yang disebutkan dalam Pasal 1 ayat (5) itu? Seperti apa? Apakah Bapak punya gambaran dia akan sepeti Uni Eropa? Atau Bapak punya gambaran seperti apa? Tolong kami diberi penjelasan.

    Yang kedua, apakah untuk menuju pasar tunggal itu harus melewati free trade agreement, kemudian harus melewati pasar bersama, dan kemudian bisa mencapai antara suatu regional dengan regional yang lainnya, atau dengan negara atau kawasan lainnya? Mohon diberi penjelasan tentang batas-batas yang ingin dicapai dari konsepsi pasar tunggal semacam itu. Terima kasih.

    93. KETUA: MOH. MAHFUD MD Silakan, Pak Soemadi! 94. AHLI DARI PEMERINTAH: SOEMADI BROTODININGRAT

    Pertanyaan itu bisa saya jawab kalau saya menjadi negosiator suatu pasar tunggal. Yang ingin dicapai tentunya adalah suatu pasar tunggal yang menguntungkan semua pihak. Pembentukan suatu pasar tunggal merupakan suatu proses dan di dalam proses itu akan kelihatan mana, apa itu namanya, hal-hal yang merugikan, mana hal-hal yang, yang menguntungkan, mana hal-hal yang perlu didahulukan, mana hal-hal yang dibelakangkan. Di dalam suatu perundingan dagang seperti itu, ada scheduling-nya, di mana di dalam, di dalam scheduling itu masing-masing peserta akan diberi kesempatan untuk memperbaiki keadaannya masing-masing sebelum kita melangkah ke dalam satu kebebasan. Dan semua kebebasan itu saya kira kebebasan dalam pengertian ada batasnya kerena semuanya adah, adalah rule base. Ada hal-hal yang masih banyak di, apa itu namanya, dibatasi di dalam persetujuan pasar tunggal seperti itu.

  • 28

    Dan di samping itu yang ingin saya ingatkan, di dalam semua persetujuan pasar seperti itu akan ada dinamakan safeguard. Safeguard itu adalah suatu pengaman apabila suatu ketika kalau toh pun pasar tunggal itu sudah, atau trade agree, free trade agreement itu sudah berlaku, kalau ada hal-hal yang merasa dirugikan dari tin, dari, dikarenakan karena persetujuan itu, pihak yang merasa dirugikan dengan memberikan bukti, bisa diberi kesempatan untuk mengadakan safeguard.

    Sehingga sebetulnya semua, apa itu namanya, hal-hal telah dipikirkan agar semua, agar, agar pasar tunggal seperti itu bisa menciptakan suatu pasar yang menguntungkan bagi semua pihak. Tapi saya kit, saya, saya kira tadi saya suda, juga mengatakan, bagaimana pun di dalam suatu competition, apakah ada itu free trade atau tidak, itu akan ada yang winners, ada, ada yang losers.

    Para losers ini pun saya kira perlu diperhatikan melalui satu usaha menolong, apa itu namanya, usaha untuk memberikan pertolongan dengan cara lain, tanpa merugikan, apa, tanpa mengurangi manfaatnya. Jadi saya kira yang ingin saya mohonkan untuk dipikirkan, di samping kita memikirkan kerugiannya, saya kira nanti para ahli ekonomi kalau di, bisa diajukan akan bisa menjelaskan, apakah peluang yang bisa dimanfaatkan oleh kita. Jelas bahwa, apa itu namanya, challenge yang akan ada, tapi jangan dilupakan juga peluangnya ada. Dan sampai sekarang kesimpulannya adalah bahwa peluang, apa itu namanya, secara keseluruhan peluang suatu persetujuan regional trade agreement atau winniker mark participt argreement seperti itu, dianggap masih jauh lebih besar dari pada kerugiannya.

    Yang kedua mengenai, apa tadi yang kedua? 95. PEMOHON: SALAMUDDIN

    Yang kedua, apakah untuk menuju pasar tunggal itu harus melewati FTA-FTA (Free Trade Agreement-Free Trade Agreement), kemudian pasar bersama seperti yang dilakukan di Eropa, lalu kemudian bisa melakukan kesepakatan perdagangan bebas dengan regional atau kawasan lain di luar, apa, pasar yang persatukan yang ditunggalkan tadi? Misalnya ASEAN berhak melakukan perjanjian perdagangan bebas dengan China, dengan India, dengan Australia, New Zealand, dan seterusnya. Apakah semacam itu ruang lingkup atau tujuan yang ingin dicapai dari suatu pasar tunggal itu?

    96. AHLI DARI PEMERINTAH: SOEMADI BROTODIINGRAT

    Pasar tunggal itu tentu dinegosiasikan lewat suatu perundingan, perjanjian suatu free trade ya. Jadi ini bukan soal tahap, tetapi perundingan atau agreement itu dirundingkan untuk mencapai suatu

  • 29

    tujuan. Pasar tunggal atau..., apa itu namanya..., dalam hal bilateral juga suatu persetujuan..., apa itu namanya..., free trade. Apakah..., kalau ditanyakan, apakah untuk..., apa itu namanya..., menjangkau pihak ketiga harus melewati pasar tunggal dulu? Belum tentu.

    Sekarang misalnya pasar tunggal ASEAN itu belum sepenuhnya tercapai, meskipun sudah 90%, kalau dari perdagangan barang ya. Tapi kalau..., kalau perdagangan jasa kan belum, investasi belum. Tanpa menunggu itupun bisa juga terjadi antara satu grup dengan pihak ketiga, apakah itu grup, apakah itu negara.

    Di dalam..., apa itu namanya..., negosiasi seperti itu, keadaan menjadi kompleks karena di antara grup itu sendiri harus ada kesepakatan dulu sebelum menghadapi pihak ketiga.

    Saya sekarang kebetulan sedang menegosiasikan, misalnya antara Indonesia dengan EFTA. EFTA merupakan satu kumpulan dari beberapa negara. Itu dimungkinkan, meskipun EFTA sendiri bukan merupakan suatu pasar tunggal. Jadi, itu bisa saja diadakan.

    97. PEMOHON: SALAMUDDIN

    Komitmen yang ingin dicapai itu adalah sampai sejauh, misalnya ASEAN bisa melakukan, membuat perjanjian perdagangan bebas dengan China, atau dengan Uni Eropa, dan seterusnya?

    98. AHLI DARI PEMERINTAH: SOEMADI BROTODIINGRAT

    Agak beda dengan Uni Eropa. Kalau Uni Eropa, itu memang kewenangan masalah perdagang itu sudah diserahkan oleh negara kepada komisi, oleh satu institusi tunggal. ASEAN ini belum ada Sekretariat ASEAN belum berfungsi seperti komisinya Eropa. Jadi masih merupakan suatu kumpulan dari..., apa itu namanya..., wakil-wakil negara.

    Jadi yang dirundingkan dengan pihak ketiga itu sebagai ASEAN itu, masih dirundingkan bukan oleh Sekretariat ASEAN, tetapi oleh..., apa itu namanya..., dewan dari negara-negara anggota.

    99. PEMOHON: SALAMUDDIN

    Enggak, pertanyaan saya apakah komitmen yang ingin dicapai itu sampai sejauh itu oleh..., oleh..., oleh konsepsi penyatuan pasar tunggal ASEAN ini?

    100. AHLI DARI PEMERINTAH: SOEMADI BROTODIINGRAT

    Saya kira dalam suatu perundingan, itu akan terlihat sejauh mana perundingan itu akan menguntungkan kedua belah pihak.

    Jadi, saya kira yang ingin dicapai adalah suatu keuntungan yang ingin diraih. Apakah keuntungan itu nantinya bisa diraih kalau kita

  • 30

    sampai sama sekali bebas atau keuntungan itu bisa diraih kalau ada rambu-rambu tertentu yang masih menjaganya, semuanya itu akan tergantung dari perundingan itu. Jadi goal-nya akan bisa ditentukan pada saat perundingan, dinamika perundingan itu sendiri sampai di mana para perunding itu dengan..., mestinya konsultasi dengan para stakeholder bisa menentukan bahwa keuntungannya akan diraih kalau itu sampai pada suatu tahap tertentu.

    101. KETUA: MOH. MAHFUD MD Oke, Majelis Hakim Pak Harjono. 102. HAKIM ANGGOTA: HARJONO

    Terima kasih, Pak Ketua. Saya tujukan kepada Pak Fajrul Falaakh sebagai Ahli.

    Apa yang disampaikan Pak Fajrul, menurut saya ada satu pendapat bahwa sebetulnya pelaksanaan Pasal 11, itu tidak harus dalam bentuk undang-undang karena ada kendala di situ pada saat diberi bentuk undang-undang. Karena perjanjian internasional kalau sudah masuk ketentuan Pasal 11, bisa saja di ratifika..., ke dalam bisa dimintai persetujuan oleh DPR, itulah kemudian sementara ini dimaknai sebagai undang-undang, ya. Sebetulnya Pasal 11 sendiri tidak mengatakan itu sebagai undang-undang, tapi ketentuan tentang hukum kita yang menyebutnya sebagai undang-undang. Karena juga ada perjanjian internasional yang tidak lewat persetujuan DPR diberi bentuk yang lain. Itu yang saya tangkap dari peryataan Ahli.

    Kemudian menyangkut apa yang dimasalahkan oleh Pemohon, perjanjian ini sebetulnya agreement of promises, suatu pernjanjian tentang janji-janji yang akan dilakukan, ya. Karena ini tidak bisa entry into force effectively, baik di treaty accept, gitu ya. Karena ada hal-hal yang harus dilakukan oleh negara untuk melakukan itu. Dan perjanjian ini memang dimaksudkan hanya untuk 10 itu saja karena tidak ada proses-proses asesi pada perjanjian ini. Secara sportive technician, inilah perjanjian ini berlaku. Oleh karena itu, inten..., apa itu..., kehendak untuk terikat ya, to be bound itu digantungkan kepada depository ke- 10 dari pemasukan dari ratifikasi, instrumen ratifikasi. Jadi memang limited pada 10 itu.

    Tapi menyangkut persoalan treaty of promises itu, ada ketentuan yang masuk dalam perjanjian itu, yaitu dalam pasal..., dalam Artikel 5 ayat (2) itu bunyinya begini, Member States shall take all necessary measures, including the enactment the nextment of probably domestic legalization, to effective implement of proffesion of discartered and to comply with the obligation of members. Itulah yang saya sebutkan bahwa ini treaty of promises karena masih ada ketentuan itu. Selama promises itu belum dilakukan, ya treaty itu enggak ada artinya apa-apa,

  • 31

    masih tergantung pada Pasal 5 ayat (2). Hanya masalahnya adalah berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Pak Fajrul menyangkut Undang-Undang Nomor 38, Pasal 5 ayat (2) itu memungkinkan ada undang-undang, memungkinkan ada undang-undang untuk implementasi itu. Apakah hal yang serupa bahwa kalau Undang-Undang Nomor 32 adalah non-subject to be review oleh Mahkamah Konstitusi, derivasi yang terdapat pada Pasal 5 ayat (2) nanti juga termasuk to be subject, to be review oleh Mahkamah Konstitusi, ini pertanyaan saya. Terima kasih.

    103. HAKIM KETUA : MOH. MAHFUD MD. Pak Muhammad Alim, oh, Pak Akil dulu, Pak Akil. Silakan, Pak Akil. 104. HAKIM ANGGOTA: M. AKIL MOCHTAR

    Ya, saya hanya ingin penegasan saja dari Ahli Pak Fajrul Falaakh. Kalau saya menyimak keterangan Ahli tadi, kesimpulannya bahwa traktat ini satu perjanjian yang sudah dirativikasi ini tidak masuk kategori satu bentuk undang-undang yang dapat diuji di Mahkamah, ya kalau tidak salah, Pak, ya?

    Saya hanya ingin kembali kepada Konstitusi kita, gitu, khususnya Pasal 24C ayat (1) ya yang menyatakan bahwa Mahkamah ini mempunyai kewenangan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final, untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Dengan memakai nomenklatur itu maka Mahkamah ini mempunyai wewenang untuk melakukan pengujian undang-undang itu, baik secara formal maupun secara materiil, dan itu ditegaskan lagi juga di dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi.

    Nah, kalau kita melihat bahwa bentuk undang-undang yang ada di Indonesia, itu memang ada beberapa macam spesifikasinya. Misalnya, Undang-Undang tentang APBN, lalu undang-undang yang lahir dari perjanjian international ini, lalu ada undang-undang yang memang hari-hari, itu undang-undang yang dibuat, dibahas bersama antara DPR dan... dan Presiden.

    Pengalaman kami ketika meratifikasi suatu perjanjian internasional, itu rancangannya kan selalu diusul oleh Pemerintah dalam bentuk rancangan undang-undang, sehingga ketika kita mengambil Pasal 11 ayat (1) maupun ayat (2), itu tidak..., memang secara tegas menyebutkan bahwa persetujuan itu harus dengan undang-undang, tapi itu adalah praktik yang lahir dari ketatanegaraan kita, menurut saya. Kenapa? Karena Pasal 11 ayat (3) itu sampai sekarang undang-undangnya kan belum ada, undang-undang pasal, eh, tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-undang itu. Ini ()

  • 32

    105. AHLI DARI PEMERINTAH : FAJRUL FALAAKH Ada. 106. HAKIM ANGGOTA: M. AKIL MOCHTAR Sudah ada ya? 107. AHLI DARI PEMERINTAH : FAJRUL FALAAKH Ya, ada. 108. HAKIM ANGGOTA: M. AKIL MOCHTAR Nah () 109. AHLI DARI PEMERINTAH : FAJRUL FALAAKH Nomor 24 Tahun 2000. 110. HAKIM ANGGOTA: M. AKIL MOCHTAR

    Ya, eh, maaf ya, Nomor 24 Tahun 2000. Nah, itu juga mengisyaratkan dengan undang-undang, kan begitu. Sama juga, misalnya bentuk persetujuan panglima TNI, sama juga bentuk persetujuan Kapolri, misalnya, tapi tidak dengan undang-undang itu. Tetapi untuk perjanjian internasionalnya ini harus dengan undang-undang. Kalau yang dua tadi contoh yang saya sebutkan itu tidak, kan gitu. Artinya, disebutkan kalau misalnya saya memberi dua contoh tadi panglima TNI dan Kapolri, boleh saja dewan tidak memberi persetujuan, Presiden mengangkat, boleh. Tapi kan tidak untuk perjanjian internasional ini karena di dalam konstitusi di dalam Pasal 11 itu disebutkan harus ada persetujuan, artinya tidak boleh tidak setuju. Kalau misalnya salah satu pihak tidak setuju, maka ratifikasi terhadap undang-undang, eh, perjanjian internasional itu tidak lahir dalam bentuk undang-undang.

    Pertanyaan saya, dengan meminjam Pasal 24C karena Mahkamah, apa, mempunyai kewenangan untuk menguji, baik materiil maupun formil, terlepas dari sifat undang-undang itu apakah atas pemberian kuasa atau memang dia undang-undang yang formal harus dibentuk, kalau, maka menurut saya, isi dari pada undang-undang itu harus tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Kalaupun meminjam Undang-Undang Nomor 10/2004, tadi juga dikutip oleh Ahli. Tetapi di dalam Pasal 44 ayat (1) dan ayat (2) itu dia disebutkan, Pak. Lampiran dari suatu undang-undang itu adalah bagian yang tidak terpisahkan dari undang-undang itu sendiri, kalau istilahnya

  • 33

    kita meminjam ini. Karena biasanya pengesahan rapat itu kan paling dua pasal atau tiga pasal, pengalaman kita juga begitu. Lalu di bawahnya adalah lampiran, tapi itu bagian dari undang-undang. Kalau melihat, melihat pengertian-pengertian itu yang saya sebutkan tadi, apa mungkin Mahkamah itu tidak boleh menguji satu undang-undang yang lahir dari perjanjian internasional ini? Terima kasih.

    111. KETUA: MOH. MAHFUD MD Bapak Muhammad Alim? 112. HAKIM ANGGOTA: MUHAMMAD ALIM

    Terima kasih, Pak Ketua. Sebetulnya saya sama juga dengan Pak Akil, cuma barangkali perlu saya tambah-tambah sedikit. Kalau kita membaca Pasal 1 ayat (2), ini saya dengar kalimatnya Pak Haryono ini, Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 itu Kedalulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Yang berdaulat itu adalah rakyat, bukan presiden lho, bukan juga Mahkamah pun yang berdaulat, rakyat. Dan rakyat itu diwakili oleh DPR, itu harus jujur diakui, itu yang memegang kedaulatan. Tetapi dia tidak sewenang-wenang karena harus sesuai dengan Undang-Undang Dasar.

    Nah, Undang-Undang Dasar sendiri mengatakan, Pasal 11 itu ayat (2)-nya mengatakan bahwa, saya baca, Presiden dalam membuat perjanjian internasional yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat terkait dengan beban anggaran keuangan negara dan lain-lain, itu harus dengan persetujuan DPR. Itulah barangkali dulu kalau hal-hal yang tidak terlalu penting biasa diratifikasi dengan Keppres karena tidak memberi beban barangkali yang luas kepada masyarakat.

    Ini harus benar-benar, dan, dan dalam, dalam ketentuan Pasal 11 ayat (3) yang di, di, apa, dilaksanaka, apa di, di, diapa namanya, diatur dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000, kan itu dengan undang-undang. Maka sesuatu undang-undang itu, itu meng, mengapa harus disetujui DPR itu, apa perjanjian internasional itu dengan undang-undang? Karena kalau menurut yang saya tahu, itu adalah primat hukum nasional, nasional itu utama. Undang-Undang Dasar apalagi, itu merupakan hukum yang tertinggi di negara ini.

    Nah karena dia primat hukum nasional, maka harus dia persetujuan DPR. Persetujuannya itu kalau dalam bentuk undang-undang, itu merupakan wewenang Mahkamah Konstitusi seperti yang dikatakan oleh Pak, Yang Mulia tadi Dr. Akil Mochtar bahwa itu adalah wewenang Mahkamah Konstitusi Pasal 24C ayat (1) huruf a Undang-Undang Dasar 1945 yang diulang dari Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2003, sebagaimana telah diubah dengan

  • 34

    Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011, eh Nomor 28 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Mahkamah Konstitusi.

    Jadi, berarti kalau memang itu konstitusi mengatakan begitu, ya tidak peduli apakah itu undang-undang merupakan ratifikasi atau undang-undang yang dibuat merupakan hal yang rutin dan lain-lain untuk diatur sendiri. Artinya intern berla, apa, lahirnya, itu tetap bisa diuji oleh undang, oleh Mahkamah Konstitusi. Soal substansi itu urusan lain, tapi kalau kewenangan menguji, apakah bisa, apa menurut Ahli itu sama sekali tidak boleh? Wong kedaulatan ada di tangan rakyat dan, dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar. Undang-undang dasar mengatakan harus diratifikasi. Ratifikasi itu kalau ini menurut Pasal, ayat 3 Pasal 11 ayat (3), itu dengan undang-undang.

    Nah undang-undang kalau yang dianggap penting diratifikasi dengan undang-undang seperti dalil yang dimohonkan ini, itu kan bukan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008, kalau tidak salah. Lalu kewenangan Mahkamah Konstitusi sudah jelas juga itu menurut konstitusi itu pasal, Pasal 24C ayat (1) huruf a.

    Barangkali itu saja, Pak Ketua. Terima kasih. 113. KETUA: MOH. MAHFUD MD Hakim Hamdan Zoelva. 114. HAKIM ANGGOTA: HAMDAN ZOELVA

    Kepada Ahli Fajrul Falaakh. Saya ada dua, pertama saya minta komentar dari Ahli, kemudian yang kedua pertanyaan.

    Kalau kita baca Pasal 11 ayat (2), ada dua jenis perjanjian internasional yang harus mendapat persetujuan DPR. Yaitu perjanjian yang berpengaruh kepada beban anggaran, artinya harus merubah, akhirnya bagaimana anggaran kita dibuat melalui persetujuan anggaran di DPR.

    Kemudian yang kedua adalah mengharuskan adanya perubahan undang-undang. Artinya, perjanjian internasional sedemikian rupa seperti halnya the law of the land, jadi harus mengubah. Membawa peru, membawa keharusan untuk mengubah undang-undang dan terkait dengan beban anggaran. Ini kalau melihat substansi ini, sehingga harus dengan persetujuan DPR, ya. Masalah bentuk hukumnya persetujuan itu undang-undang atau apa, itu persoalan lain. Gimana tanggapan terhadap materi ini? Itu pertama.

    Kemudian yang kedua, terlepas dari proses kapan berlakunya sebuah perjanjian internasional, seperti dalam ASEAN, setelah notifikasi, ratifikasi yang disampaikan oleh 10 negara baru berlaku efektif. Kalau pada saat berlaku efektif, ternyata norma yang ada dalam perjanjian itu adalah masuk dalam spesies norma yang mana ya? Apakah masuk norma yang harus dihormati oleh undang-undangkah, dalam hal ini

  • 35

    tempatnya norma Undang-Undang Dasar? Ataukah norma undang-undangkah? Ataukah norma yang di bawah undang-undangkah? Ataukah norma yang lain di luar norma Undang-Undang Dasar, undang-undang di bawah undang-undang? Di mana kita menempatkan ini? Ataukah dia benar-benar efektif dan masuk menjadi norma undang-undang atau norma yang di bawah undang-undang setelah di-adopt ke dalam bentuk yang lebih implementatif, mungkin dalam undang-undang, dalam, mungkin dalam peraturan pemerintah atau dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang lain, sehingga dia benar-benar efektif, atau begitu? Terima kasih.

    115. KETUA: MOH. MAHFUD MD Ada lagi? Wah, laris juga ini. Ibu Maria dulu. 116. HAKIM ANGGOTA: MARIA FARIDA INDRATI

    Terima kasih, Pak Ketua. Kepada Ahli, Pak Fajrul Falaakh. Bapak tadi menyatakan mengenai undang-undang ini, Undang-Undang Ratifikasi kalau kita bandingkan dengan undang-undang yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 ya, Bapak mengatakan bahwa ini tidak sama dengan undang-undang di sana dan tidak bisa kita melihat pada hierarkinya diletakkan di mana, ya.

    Maka saya menyatakan bahwa kalau begitu apakah Undang-Undang Ratifikasi, itu bukan merupakan suatu peraturan perundang-undangan yang langsung mengikat umum, ya? Kalau kita melihat pada teorinya Rather dikatakan bahwa peraturan perundang-undangan itu adalah peraturan yang bersifat umum dan berlaku keluar dan normatif. Tetapi kalau kita melihat tadi Pak Fajrul mengatakan ini tidak termasuk di dalam suatu hierarki perundang-undangan, apakah, saya mau menyatakan, apakah berarti Undang-Undang Ratifikasi ini hanya bajunya saja yang undang-undang, tapi materinya bukan materi dari peraturan perundang-undangan?

    Dan saya juga menanyakan, menurut Pak Fajrul, di mana kesepakatan Indonesia ini? Kita sebetulnya memakai yang monisme atau yang dualisme? Saya rasa ini sesuatu pertentangan di mana selalu orang menyatakan kalau ada ratifikasi perjanjian nasional, harus langsung dilaksanakan atau harus ada peraturan untuk melaksanakan lebih dahulu? Saya mohon tanggapan ini. Terima kasih.

    117. KETUA: MOH. MAHFUD MD Terakhir, Hakim Fadlil Sumadi.

  • 36

    118. HAKIM ANGGOTA: AHMAD FADLIL SUMADI

    Pertanyaan kepada Pak Fajrul. Yang saya tanyakan satu saja terkait dengan bentuk hukum dari Pasal 11 yang mewadahi, tadi disebut-sebut sebagai tindakan presiden dalam perjanjian dengan negara lain. Di situ tidak terdapat sebenarnya, bentuk kemasannya itu harus undang-undang. Oleh karena itu, tadi digambarkan oleh Pak Fajrul, bisa dalam keputusan presiden kemasannya itu, juga bisa dalam peraturan pemerintah, atau juga bisa undang-undang.

    Ya, lalu terkait dengan kemasan itu, Pak Fajrul lebih melihat pada soal substansi. Substansinya adalah tindakan dan karena itu tindakan, maka ini tidak menjadi soal yang dapat diuji oleh Mahkamah Konstitusi.

    Ya, masih ada kaitannya dengan yang ditanyakan oleh Hakim Hamdan Zoelva. Di sini khususnya pada ayat (2) itu, bagaimana kalau sekarang perjanjian, apa, tindakan presiden yang melakukan perjanjian dengan negara lain itu menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat terkait dengan beban anggaran keuangan negara? Dan atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang? Harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Ah, yang harus dengan Dewan Perwakilan Rakyat itu ketika mengubah undang-undang itu, atau ketika mewadahi tindakan presiden dalam melakukan perjanjian internasional? Atau bahkan di sini yang berakibat pada beban keuangan negara itu misalnya Undang-Undang APBN, itu harus dengan undang-undang, tapi kalau tidak cukup diwadahi di dalam bentuk hukum, misalnya Perpres. Mana yang lebih tepat itu, pertanyaan saya kepada Pak Fajrul. Terima kasih.

    119. KETUA: MOH. MAHFUD MD Baik, Silakan, Pak Fajrul. 120. AHLI DARI PEMERINTAH: MUHAMMAD FAJRUL FALAAKH

    Baik, Yang Mulia, para Hakim. Saya kira sebetulnya lebih, seharusnya didahului dengan diskusi, apa ini, expert panel begitu atau semacam itulah, exclution. Karena saya menyadari betul bahwa ini isunya isu yang menyangkut anu, bisa, bisa menjadi preseden, jelas. Bisa menjadi preseden dalam bahasa yang lebih longgar lagi kalau MK membatalkan inilah pertama kali di Republik Indonesia sebuah pengadilan nasional membatalkan perjanjian internasional, yang pada dasarnya perjanjian internasional itu adalah form of as, apa ini, bentuk atau dihasilkan oleh sovereign act, kita akan (suara tidak terdengar jelas). Nah, kalau begitu kenapa dikasih kemasan undang-undang, kan kira-kira gitu. Nah tapi nanti, kemasan nanti karena pertanyaan terakhir.

  • 37

    Kalau saya melihat perjanjian internasional dalam konteks Pasal 11, itu digunakan, sayangnya sekarang ini kita tidak ada lagi penjelasan. Kalau dulu dalam penjelasan Undang-Undang Dasar kita bisa dicerahkan. Pasal 11 itu, Presidenlah yang membuat perjanjian meskipun di belakangnya dengan persetujuan DPR karena dalam kedudukan sebagai kepala negara. Keluar dialah figur dari sovereign itu, cuma Presiden bukan lagi raja. Jadi karena itu, kalau dulu dalam perjanjian internasional, ini teman-teman dari Kementerian Luar Negeri lebih, lebih lancar bercerita, ya cukup signatory itu sudah mengikat. Konvensi Wina masih mengakui cukup tanda tangan mengikat, tetapi bisa juga ratifikasi, bisa ini, bisa itu, accestion, dan seterusnya, tergantung perjanjian atau charter itu.

    Nah, ASEAN Charter memilih bukan hanya signatory, artinya semua pihak dalam ASEAN Charter sadar tanda tangan saja tidak cukup, masih harus diserahkan kepada ratifikasi sesuai dengan prosedur internal dari masing-masing negara, jadi klop sebetulnya dengan Pasal 11.

    Yang menarik adalah kita di Indonesia dalam beberapa waktu mempunyai praktik waktu yang berbeda dalam mengemas yang disebut persetujuan DPR, gitu. Sekedar contoh, sepanjang yang saya ketahui untuk Vietnam, cukup Presiden tanda tangan. Walaupun yang tanda tangan ASEAN Charter itu saya kira Perdana Menteri, saya kira waktu itu di Singapura, tapi kemudian untuk ra, model ra, bentuk ratifikasinya, Presiden tanda tangan. Saya enggak tahu tanda tangan itu maksudnya dokumen terpisah atau menandatangani dokumen ASEAN Charter yang dibawa dalam versi aslinya bahasa Inggris ke Vietnam itu. Filipina ketika prosedur internal ratifikasi adalah, apa istilahnya persetujuan senat, 16 atau 17 orang saja. Anggota senat di situ ya voting, satu tidak setuju, apa ini, against gitu. Nah, yang menarik kemudian bahwa kok bukan persetujuan senat itu dinyatakan, ya karena di sana dua kamar lalu kan masa disebut separuh undang-undang, enggak mungkin juga. Ternyata ada aturan di sana, apa, peraturan pemerintah atau semacam itu, pendek kata setelah senat memberi persetujuan, maka menjadi tugas kenegaraan Presiden untuk, istilah Inggrisnya ini to expedite, memproses persetujuan itu. Nah, kenapa itu juga tidak kita pilih, kalau Pre, DPR tadi Hakim Akil Mochtar mengatakan, Ketika DPR menyetujui, misalnya anggota BI dan sebagainya, cukup surat. Jadi itu, persetujuan itu surat, gitu, untuk otentifikasi dokumen, jadi bukan bentuk dari sebuah peraturan perundang-undangan.

    Nah, saya me, apa, menjawab pertanyaan Hakim Maria Farida. Tadi ada dua pertanyaan, apakah kalau begitu Undang-Undang Ratifikasi itu jadinya bukan peraturan atau Undang-Undang Ratifikasi itu hanya kemasan. Saya akan cenderung untuk mengonfirmasi, menjawab bahwa kemasan ya, tetapi bukan kemasan itu ya cuma amlop jadi ya enggak pakai amplop juga enggak apa-apa, juga tidak bisa, gitu. Ini adalah kemasan, tadi saya menggunakan istilah, katakanlah kalau boleh saya gunakan istilah administrasi kenegaraan untuk urusan luar negeri,

  • 38

    di Indonesia sekarang ini pilihannya adalah antara lain undang-undang. Tapi boleh toh ternyata atau bisa juga di, seperti di negara lain kemasannya cukup surat dari Presiden bahwa senat kami sudah menyetujui, ini. Dan orang ya sudah kalau itu dikatakan oleh negara yang bersangkutan sebagai prosedur kita hormati prosedur itu, sehingga tidak membawa komplikasi pada, bahwa bentuk ya, bentuk kemasan dari ratifikasi itu sendiri, apa ini, bisa menjadi titik masuk bagi tindakan-tindakan hukum yang lain di luar soal ratifikasi in casu pada persidangan ini adalah peluang untuk, apa ini, pengujian di Mahkamah Konstitusi.

    Nah, saya setuju dengan Pak Hakim Harjono tadi yang mengatakan bahwa memang ASEAN Charter ini sebetulnya ya treaty of promises. Bahkan kalau kita baca sendiri ASEAN Charter ini, ini bahasa sehari-harinya itu ya akta anggaran dasar pendirian badan hukum. Intergovernmental organization ASEAN itu, Pak Soemadi sebetulnya yang jauh bisa lebih cerita daripada saya, saya kan hanya baca dokumennya. Dulu adalah, bukan Ormas karena memang bukan organisasi massa, organisasi politik tingkat Asia Tenggara, loose organization, memang disebut association.

    Nah sekarang namanya tetap association, tetapi Pasal 3 dari charter menegaskan, kami adalah badan hukum, legal personality, public international. Dilihat dari negara, tapi ini juga bukan federasi negara-negara ASEAN, bukan, intergovernmental. Hampir mirip, teman-teman Kementerian Luar Negeri tolong koreksi saya, mirip, apa, European Economic Community, bukan European Union, bukan European Comission, bukan. Mirip European Economic Community sebagai sebuah badan hukum kayak, saya enggak tahulah, pokoknya badan hukum. Kira-kira semacam itu.

    Nah karena itu, wajar bahwa sebuah badan hukum merumuskan tujuan, merumuskan prinsip, merumuskan karena ini, apa ini badan hukum itu badan hukumnya adalah intergovernmental, maka menghormati kedaulatan masing-masing negara pihak, dan seterusnya, dan sebagainya.

    Nah, jadi karena itu, sejauh menyangkut misalnya implementasi cita-cita pasar tunggal apa pun maknanya di situ, jangan dilihat lalu hanya charter itu, apalagi Pasal 1 dan Pasal 2-nya, lihat Pasal 5. Apa yang dikatakan oleh Hakim Harjono tadi bahwa nanti akan dibuatkan domestic legislation, gitu, bahasa, bahasa politik, ekonomi politiknya kalau enggak setuju dengan legislasi dalam rangka ASEAN Charter, hadang di situ, review di situ, gitu. Karena butuh instrumen-instrumen, apa ini, nasional pada masing-masing negara. Intinya adalah tidak gampang-gampang, walaupun sudah disetujui oleh DPR untuk membuat charter, untuk kemudian legislasi, domestik legislasinya, apa ini.., bebas dan jadi masih bisa di-review.

    Berikutnya Hakim, siapa tadi, Hakim, saya kira Pak Hakim Muhammad Alim, ya. Pasal 24C memang memberi wewenang Mahkamah

  • 39

    menguji undang-undang, tapi Pasal 11C itu tidak disebut undang-undang. Perjanjian internasional, gitu. Itu yang saya katakan bahwa original intent Pasal 11, ini perjanjian internasional. Praktek kita saja yang kemudian mengemasnya dengan undang-undang. Makanya ketika kalau dikemasnya dengan Keppres seperti yang dulu, bahkan sekarang pun menurut Pasal berapa dari, 46, saya kira dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun berapa ini, 2004 yang sudah direvisi, semua keputusan yang berwatak regulasi harus dibaca peraturan.

    Nah, kalau kemudian ada yang menganggap ini peraturan, lalu dibawa, berarti Perpres. Keppres menjadi Perpres, perjanjian internasional dibawa ke Mahkamah Agung. Lalu ada Undang-Undang Ratifikasi diuji di Mahkamah Konstitusi, ada Undang-Undang Ratifikasi diuji di Mahkamah Agung. Padahal ini objeknya sama, sama-sama perjanjian internasional. Jadi, bentuk yang sekarang ini disebut sebagai bentuk peraturan perundang-undangan, entah itu undang-undang atau Perpres atau dulu juga Keppres, itu akhirnya adalah kemasan administrasi kenegaraan yang bukan tidak penting, penting. Tetapi bahwa itu kemudian otomatis menjadi tanda bahwa inilah kalau begitu objeknya MK atau objek, objeknya MA, di situ yang saya, pendapat saya memohon Majelis untuk jangan terjebak formalitas tentang tata letak dan mengaburkan kenyataan bahwa substansinya adalah perjanjian internasional.

    Tadi mungkin istilah yang saya kutip dari Bahasa Belanda penggunaannya tidak tepat, istilahnya tepat tapi belum tentu penggunaan saya tepat. Yaitu jadi Undang-Undang Ratifikasi tidak boleh dibaca sebagai wet informal sheen, dalam arti Pasal 24C karena undang-undang, oke kalau gitu kita uji, sebab ini material.

    Nah, pertanyaan Hakim Hamdan tepat dan memusingkan. Kalau gitu di mana hierarkinya? Makanya tadi usul saya, diskusi sajalah kita. Karena ber, apa ini, hierarchy of norms pada international law ada sendiri, pada hukum nasional juga ada.

    Nah, kita ditolong, kata teman-teman di Kemenlu bikin pusing, ditolong oleh teori monoisme dan teori dualisme. Banyak Ahli yang saya baca, saya bukan ahli hukum internasioal, mengatakan bikin pusing sajalah. Sudah yang penting kenyataannya saja. Kenyataannya saja, apakah sistem hukum nasional Indonesia dengan tegas menyatakan seperti artikel berapa, enam, clause 2 dari Konstitusi Amerika Serikat atau apakah hukum Indonesia memperlakukan hukum nasional itu seperti Inggris setelah menerbitkan Communities Act tahun 1972, itu. Nah, yang satu monisme yang satu, apa ini, dualisme. Nah, dua-duanya tidak, dua-duanya tidak. Pada kasus ASEAN Charter, dengan tegas dinyatakan seperti itu, tapi itu kan cuma charter.

    Nah, sekarang bagaimana dengan yang misalnya hak-hak ekonomi sosial dan budaya? Saya tidak bisa menganggap itu hanya kemasan atau misalnya, apa, ratifikasi dan menjadikannya sebagai

  • 40

    undang-undang nomor berapa tahun 2003 tentang Konvensi PBB tentang pemberantasan korupsi.

    Jadi, ternyata tergantung juga formulasi yang ada di dalam undang-undang yang intinya, apa ini, perlu dicermati di dalam setiap pemeriksaan, termasuk di Majelis ini, satu. Tetapi yang kedua, memang, memang termasuk dalam hukum perjanjian internasional ini, khususnya perjanjian inte