rinitis alergi

61
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayahNyalah penulis dapat menyelesaikan tugas referat dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher di RSUD Karawang, mengenai anatomi dan fisiologi laring, faring , dan esofagus. Dalam pembuatan karya tulis ini, penulis mengambil referensi dari literatur dan jaringan internet. Dan ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. H. Yuswandi Affandi, Sp.THT-KL dan Dr. M. Ivan Djajalaga, M.Kes, Sp.THT-KL sebagai konsulen Ilmu Kesehatan THT-KL, orang tua kami yang telah memberikan dukungan baik secara moral dan materil, tidak lupa juga kami ucapkan terima kasih kepada rekan-rekan yang telah membantu dan bekerjasama dalam pembuatan referat ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca pada umumnya. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran diharapkan dari para pembaca.

Upload: syahmibest

Post on 29-Jun-2015

906 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: rinitis alergi

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan

hidayahNyalah penulis dapat menyelesaikan tugas referat dalam Kepaniteraan Klinik

Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher di RSUD Karawang,

mengenai anatomi dan fisiologi laring, faring , dan esofagus. Dalam pembuatan karya

tulis ini, penulis mengambil referensi dari literatur dan jaringan internet.

Dan ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. H. Yuswandi Affandi,

Sp.THT-KL dan Dr. M. Ivan Djajalaga, M.Kes, Sp.THT-KL sebagai konsulen Ilmu

Kesehatan THT-KL, orang tua kami yang telah memberikan dukungan baik secara

moral dan materil, tidak lupa juga kami ucapkan terima kasih kepada rekan-rekan

yang telah membantu dan bekerjasama dalam pembuatan referat ini.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca pada

umumnya. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh

karena itu kritik dan saran diharapkan dari para pembaca.

Penulis

Desember

2010

Page 2: rinitis alergi

DAFTAR ISI

Kata Pengantar .....................................................................................

Daftar Isi .................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN .........................................................................

BAB II ANATOMI DAN FISIOLOGI .................................................

2.1. Anatomi Hidung .....................................................................

2.2 Kompleks Ostiomeata ............................................................

2.3. Perdarahan Hidung ..............................................................

2.4. Persarafan Hidung ..............................................................

2.5. Mukosa Hidung ...............................................................

2.6. Sistem Transport Mukosilier ...................................................

2.7. Fsiologi Hidung ...............................................................

2.7.1. Fungsi Respirasi ..............................................................

2.7.2. Fungsi Penghidu ..............................................................

2.7.3. Fungsi Fonetik .............................................................

2.7.4. Refleks Nasal .............................................................

BAB III Rinitis Alergi ...........................................................................

3.1. Definisi .......................................................................................

Page 3: rinitis alergi

3.2. Etiologi ........................................................................................

3.3. Epidemiologi ...........................................................................

3.4. Morbiditas dan Mortalitas ...................................................

3.5. Patofisiologi ............................................................................

3.6. Gambaran Histologik ................................................................

3.7. Klasifikasi ............................................................................

3.8. Diagnosis ............................................................................

3.8.1. Anamnesis ...............................................................

3.8.2. Pemeriksaan Fisik ............................................................

3.8.3. Pemeriksaan Penunjang ....................................................

3.9. Terapi .......................................................................................

3.10. Komplikasi ...........................................................................

3.11. Prognosis ...........................................................................

BAB IV KESIMPULAN ............................................................................

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................

Page 4: rinitis alergi

BAB I

PENDAHULUAN

Rinitis alergi merupakan inflamasi dari membran nasal(1) dan ditandai oleh gejala-

gejala yang terdiri dari kombinasi berikut ini: bersin, hidung tersumbat, rasa gatal dan

rinore.(2)

Definisi rhinitis alergi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on

Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore,

rasa gatal, dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai

oleh Ig E.

Alergen yang paling umum diantaranya adalah debu, binatang peliharaan, jamur

dan serbuk sari. Alergen timbul dengan waktu dan tempat yang bervariasi,

mengetahui alergen yang berada dalam lingkungan dengan waktu yang spesifik

dalam setahun membantu diagnosis dan pengobatan serta pencegahan rinitis alergi.

Terpaparnya alergen dapat menyebabkan inflamasi pada saluran nafas atas dan

bawah,termasuk hidung dan paru. Para ahli percaya bahwa saluran nafas pasien harus

dievaluasi secara menyeluruh, bukan sebagai bagian tersendiri. Penelitian juga

menunjukan bahwa sebagian besar pasien asthma juga memiliki penyakit rinitis

alergi. Reaksi alergi dari saluran nafas atas dapat berdampak pada saluran nafas

bawah dan demikian pula sebaliknya, dalam penelitian itu pula didapatkan bahwa

pasien dengan rinitis alergi yang tidak diobati memiliki resiko dua kali lipat untuk

masuk IGD dan tiga kali lipat resiko untuk dirawat di RS atas eksersebasi asthma. (3)

Namun, didapatkan pula hasil bahwa pengobatan bagi penyakit rinitis alergi akan

membuat kemajuan penyembuhan signifikan bagi penyakit asthma.(4)

Rinitis alergi adalah penyebab paling umum dari rinitis, dan berdampak sekitar

20% dari populasi masyarakat. Walaupun termasuk penyakit yang umum dijumpai,

efek pada kehidupan sehari-hari tidak dapat diremehkan. Pasien dengan rinitis alergi

Page 5: rinitis alergi

merasa penyakitnya sama beratnya dengan asma berat dalam penurunan aktivitas

harian. Pekerja dengan riwayat alergi yang tidak kunjung sembuh dilaporkan 10%

kurang produktif dibandingkan pekerja yang tidak memiliki riwayat alergi, dan

pekerja yang menjalani pengobatan untuk rinitis alergi dilaporkan 3% kurang

produktif. Hal ini menunjukkan bahwa pengobatan yang efektif dapat menekan

keseluruhan biaya dari penurunan produktivitas.(5)

BAB II

Page 6: rinitis alergi

ANATOMI DAN FISIOLOGI

2.1. Anatomi hidung

Hidung luar berbentuk pyramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah: 1)

pangkal hidung (bridge), 2) batang hidung (dorsumnasi), 3) puncak hidung (hip), 4)

ala nasi, 5) hidung luar; dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi

oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan

atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri 1) tulang hidung (os

nasal), 2) prosesus frontalis os maksila, dan 3) prosesus nasalis os frontal; sedangkan

kerangka tulang rawan terdiri dari bebrapa pasang tulang rawan yang terletak di

bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2)

sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago alar

mayor, dan 4) tepi anterior kartilago septum.

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang

dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri.

Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang

belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan

nasofaring.

Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di belakang

nares anterior, disebut vetibulum. Vestibulum ini dilapisis oleh kulit yang mempunyai

banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise.

Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral,

inferior dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk

oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah 1) lamina perpendikularis os

etmoid, 2) vomer, 3) krista nasalis os maksila, dan 4) krista nasalis os palatina.

Page 7: rinitis alergi

Bagian tulang rawan adalah 1) kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan 2)

kolumela. Septum dilapisi oleh mukosa hidung.

Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling

bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media, lebih kecil

lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka

suprema ini biasanya rudimenter.

Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan

labirin etmoid, sedangkan konka media, superior, dan suprema merupakan bagian

dari labirin etmoid.

Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang

disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior,

medius dan superior. Meatus inferior terletak diantara konka inferior dengan dasar

hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara

(ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara konka media dan

dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal,

sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang

di antara konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan

sinus sfenoid.

Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila

dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh

lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina

kribriformis merupakan lempeng tulang berasal dari os etmoid, tulang ini berlubang-

lubang (kribrosa = saringan) tempat masuknya serabut-serabut saraf olfaktorius. Di

bagian posterior, atap rongga hidung dibentuk oleh os sfenoid.

Page 8: rinitis alergi

Gambar 1. Anatomi hidung

2.2. Kompleks ostiomeatal (K OM )

Kompleks ostiomeatal (KOM) merupakan celah pada dinding lateral hidung yang

dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting yang

membentuk KOM adalah prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus

semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan resesus frontal. KOM merupakan unit

fungsional yang merupakan tempat ventilasi dan drenase dari sinus-sinus yang

letaknya di anterior yaitu sinus maksila, etmoid anterior dan frontal. Jika terjadi

obstruksi pada celah yang sempit ini, maka akan terjadi perubahan patologis yang

signifikan pada sinus-sinus yang terkait.

2.3. Perdarahan hidun g

Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anterior dan

posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a. karotis interna. Bagian

bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris interna, di

Page 9: rinitis alergi

antaranya ialah ujung a. palatina mayor dan a. sfenopalatina yang keluar dari foramen

sfenopalatina bersama n. sfenopalatina dan memasuki rongga hidung dibelakang

ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari

cabang-cabang a. fasialis. Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari

cabang-cabang a. sfenopalatina, a. etmid anterior, a. labialis superior dan a. palatine

mayor, yang disebut pleksus kiesselbach (little’s area). Pleksus kiesesselbach

letaknya superficial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber

epistaksis (perdarahan hidung), terutama pada anak. Vena-vena hidung mempunyai

nama yang sama dan brjalan berdampingan denga arterinya. Vena di vestibulum dan

struktur luar hidung bermuara ke v. oftalmika yang berhubungan dengan sinus

kavernosus. Vena-vena dihidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan fakor

predispsisi untuk mudahnya penyeabaran infeksi sampai ke intracranial.

Gambar 2. Perdarahan hidung

Page 10: rinitis alergi

2.4. Persarafan hidung

Bagian depan dan atas rongga hidung menfapat persarafan sensoris dari n.

Etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n. Nasosiliaris, yang berasal dari n.

Oftalmikus (N. V-1). Rongga hidung lainna, sebagian besar mendapat persarafan

sensoris, juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung.

Ganglion ini menerima serabut saraf simpatis dari m. Petrosus superfisialis mayor

profundus. Ganglion sfenopalatina terlaetak di belakang dan sedikit di atas ujung

posterior konka media.fungsi penghidupan berasal dari n. Olfaktorius. Saraf ini turun

melalui lamina kribrsa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan keudian

berakhir pada sel-sel reseptor penghidup pada mukosa olfaktorius di daerah

sepertiaga atas hidung.

Gambar 3. Persarafan hidung

Page 11: rinitis alergi

2.5. Mukosa hidung

Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi

atas mukosa pernapasan (mukosa olfaktorius). Mukosa pernapasan terdapat pada

sebagian besar ronggaa hidung dan permukaaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis

semu yang mempunyai silis (ciliated peudostratified collumner epithelium) dan di

antaranya terdapat sel-sel goblet. Mukosa penghidup terdapat pada atap rongga

hidung, konka superior dan sepertia berlapis semu tidak bersilia (pseudostratified

collumner non ciliated epithelium) epitelnya dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu sel,

penunjang, sel basal dan sel reseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna

cokalat kekuningan. Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih

tebal dan kadang-kadang terjadi metaplasia, menadi sel epitel skuamosa. Dalam

keadaan normal mukosa respratori berwarna nerah muda dan selalu basaah karena

diliputi oleh palut lender (mucous blanket) pada permukaannya. Di bawahepitel

terdapat tunika propria yang banyak mengandung pembuluh darah, kelenjar mukosa

dan jaringan limfoid. Pembuluh darah pada mukosa hidung mempunyai susunan

yangkhas. Arteriol terltak pada bagian yang le3bih dalan dari tuniak propria dan

tersusun secara parallel dan longitudinal. Artriol ini memberikan pendarahab pada

anyaman kapiler perglanduler dan sub epitel. Pembuluh eferen dari anyaman kapiler

ini membuka ke rongga sinusoid vena yang besar yang dindingnya dilapisi oleh

jaringan elastic dan otot polos. Pada bagian ujungnya sinusoid mempunyai sfingter

oto. Selanjutnya sinusoid akan mengalirkan darahnya ke pleksus vena yang lebih

dalam lalu ke venaula. Dengan susunan demikian mukosa hidung menyerupai

jaringan kavernosa yang erektil, yang mudah mengmbangkan dan mengerut.

Vasodilatasi dan vasosonstriksi pembuluh darah ini dipengaruhi oleh saraf otonom.

Page 12: rinitis alergi

2.6. Sistem transport mukosilier

Sistem transport mukosilier merupakan system pertahanan aktif rongga hidung

terhadap virus, bakteri, jamur atau partikel berbahaya lain yang terhirup bersama

udara. Efektivitas system transport mukosilier dipengaruhi oleh kualitas silia dan

palutlendir. Palut lender ini dihasilkan oleh sel-sel goblet pada pada epitel dan

kelenjar seromusinosa subnukosa. Bagian bawah dari palut lender terdiri dari cairan

serosa sedangkan bagian permukaan banyak mengandung protein plasma seperti

albumin, IgG, IgM dan factor komplemen. Sedangkan cairan serosa mengandung

laktoferin, lisozim, inhi bitor lekoprotease sekretorik, dan IgA sekretorik (s-IgA).

Glikopdrotein yang dihasilkan oleh sel mucus penting untuk pertahanan local

yang bersifat antimicrobial. IgA berfungsi untuk mengeluarkan mikroorganisme dari

jaringan dengan mengikat antigen tersebut pada lumen saluran napas, sedangkan IgG

beraksi didalam mukosa dengan memicu reaksi inflamsi jika terpajang dengan

antigfen banteri. Pada sinu maksila, system transport mukosilier menggerakkan secret

sepanjang dinding anterior, medial, posterior dan lateral serta atap rongga sinus

membentuk gambaran serta atap rongga sinus membentuk gambaran halo atau

bintang yang mengarah ke ostium alamiah. Setinggi ostium secret akan lebih kental

tetapi drenasenya lebih cepat untuk mencegah tekanan negative dan berkenbangnya

infeksi. Kerusakan mukosa yang ringan tidak akan menghebntikan atau mengubah

transport, dan secret akan melewati mukosa yang rusak terebut. Tetapi jika secret

lebih kental, secret akan trhenti pada mukosa yang mengalami defek.

Gerakan system transport mukosilier pada sinus frontal mengikuti gerakan spiral.

Secret akan berjalan menuju septum interfrontal, kemudian kea tap, dinding lateral

dan bagian inferior dari dinding anterior dan posteror menujuaresesus forntal.

Gerakan spiral menuju keostiumnya terjadi pada sinus sphenoid, sedangkan pada

sinus etmoid terjadi gerakan rectilinear jika ostiumnya terletak di dasar sinus atau

gerakan spiral jika ostium terdapat pada salah dindingnya.

Page 13: rinitis alergi

Pada dinding lateral terdapata 2 rute besar transprort mukosilier. Tute pertama

merupakan gabungan sekresi sinus frontal, maksila dan etmoid anterior. Secret ini

biasanya bergabung di dekat infundibulum etmoid selanjutnya berjalalan menuju tepi

bebas prosesus unsinatus, dan sepanjang dinding medial konka inferior menuju

nasofaring melewati bagian antero inferior orifisium tuba eustachius. Transport aktif

berlanjut ke batas epitel bersilia dan epitel skuamosa pada nasofaring, selanjutnya

jatuh ke bawah dibantu dengan gaya gravitasi dan proses menelan.

Rute kedua merupakan gabungan sekresi sinus etmoid posterior dan sphenoid

yang bertemu di resesus sfenoetmoid dan menuju naso faring pada bagian postero-

superior orifisium tuba eustachius.

Sekret yang berasal dari meatus superior dan septum akan bergabung dengan

sekret rute pertama, yaitu di inferior dari tuba eustachius. Secret pada septum akan

berjalan vertical kea rah bawah terlebih dahulu kemudian ke belakang dan menyatu di

bagian inferior tuba eustachius.

2.7. Fisiologi hidung

Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi

fisiosgis hidung dan sinus paranasal adalah: 1) fungsi respirasi untuk mengatur

kondisi udara (air conditioning), penyaring udara, humikifikasi, penyeimbang dalam

pertukaran tekanan dan mekanise inunologik local; 2) fungsi pengidu karena

terdapatnya mukosa olfaktorus dan reservoir udara untuk menampung stimulus

penghidu; 3) fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses

bicara dan mencegah hantaran tuara sendiri melalui kondukdi tulang; 4) fungsi statik

dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma dan

pelindung panas, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas; 5) refleks nasal.

Page 14: rinitis alergi

2.7.1 Fungsi respirasi

Udara inspirasi masuk kehdung menuju system repirasi melalui nares

anterior, lalu naik ke atas stinggi konka media dan kemudian turun ke bawah

kea rah nasorafing. Aliran udara edi hidung ini benbentuk lingkungan atau

arkus.

Udara yang dihirup akan menglami humidifikasi oleh palut lender. Rada

musin panas, udara hamper jenuh olehuap air, sehingga terjadi sedikit

penguapan udara inspirasi oleh palut lender, sedangkan pada musim dingin

akan terjadi sebaliknya.

Suhu udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar 37 derajat

celcius. Fungsi pengatur suhu ini dimungkinkan oleh benyaknya pembuluh

darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas.

Partikel debu, virus, bakteri dan jamur yang terhirup bersama udara akan

dasaring di hidung oleh: a) rambut (vibrissae) pada vesti bulum nasi, b0 silis,

c) palut lender. Debu dan bakteri akan melekat pada palut lender dan partikel-

partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin.

2.7.2. Fungsi penghidu

Hidung juga bekerja sebagai indera penghidu dan pencecep dengan

adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan

sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan

cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik napas dengan kuat.

Fungsi hidung untuk membantu indra pencecep adalah untuk

membedakan rasa manis yang berasal dari berbagai macam bahan, seperti

perbedaan rasa manis strawberi, jeruk, pisang atau coklat. Juga untuk

membedakan rasa asam yang berasal dari cuka dan asam jawa.

Page 15: rinitis alergi

Gambar 4. Sistem olfaktoris

2.7.3. Fungsi fonetik

Resonasi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan

bernyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonasi berkurang atau

hilang, sehingga terdengar suara sengau (rinolalia). Hidung membantu

pembentukkan konsonan nasal (m, n, ng), rongga mulut tertutup dan hidung

terbuka dan palatum mole turun untuk aliran udara.

Page 16: rinitis alergi

2.7.4. Refleks nasal

Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan

saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Iritasi mukosa hidung akan

menyebabkan refleks bersin dan nafas berhenti. Rangsangan bau tertentu akan

menyebabkan rekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.

Page 17: rinitis alergi

BAB III

RINITIS ALERGI

3.1. Definisi

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada

pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta

dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen

tersebut (Von Pirquet, 1986).

Definisi rhinitis alergi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on

Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore,

rasa gatal, dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai

oleh Ig E.(6)

3.2. Etiologi

Rinitis alergi dapat disebabkan oleh hal-hal berikut ini: 1. faktor herediter

(riwayat rinitis alergi dalam keluarga) 2. faktor lingkungan (pajanan debu dan jamur)

3. pajanan alergen (serbuk sari, bulu hewan, dan makanan) 4. perokok pasif (terutama

dalam masa kanak-kanak) 5. polusi pabrik. Pada bayi dan balita, alergen berupa

makanan seperti susu, telur, kedelai serta debu dan alergen inhalan merupakan

penyebab utama dari rinitis alergi dan menjadi komorbid dari penyakit dermatitis

atopi, otitis media, dan astma. Pada anak yang lebih besar, serbuk sari mejadi faktor

penyebab rinitis alergi.(7)

3.3. Epidemiologi

Page 18: rinitis alergi

Rhinitis alergi berdampak pada kurang lebih 40 juta penduduk Amerika Serikat.

Penelitian di Scandinavia menunjukan bahwa prevalensi kumulatif pada laki-laki

adalah sebesar 15% dan 14% pada wanita. Prevalensi dari penyakit ini bervariasi di

tiap negara , yang mungkin dipengaruhi oleh perbedaan letak geografis dan tipe serta

potensi alergen. Rinitis alergi dapat terjadi pada setiap individu dan muncul pada tiap

ras. Prevalensi penyakit ini sangat bervariasi antara populasi dan budaya yang

disebabkan oleh perbedaan genetik, faktor geografi atau perbedaaan lingkungan. Pada

anak-anak, rinitis alergi lebih sering muncul pada laki-laki dibanding perempuan.

tetapi pada usia dewasa dapat terjadi dengan angka prevalensi yang sama besar antara

lelaki dan wanita. Onset sering terjadi pada masa anak-anak, usia remaja dan dewasa

muda, dengan usia onset rata-rata 8-11 tahun. tetapi rinitis alergi dapat muncul pada

usia berapa saja, dalam 80% rinitis alergi terjadi pada usia 20 tahun. prevalensi dari

penyakit ini telah dilaporan sebanyak 40% pada anak-anak, dan menurun sesuai

dengan usia.(8)

3.4. Morbiditas dan mortalitas

Walaupun rinitis alergi bukan merupakan penyakit yang mengancam nyawa,

(kecuali diikuti oleh astma berat atau anafilaksis) morbiditas dari kondisi ini dapat

signifikan. Rinitis alergi sering muncul bersama dengan asma dan dapat dikaitkan

dengan eksersebasi asma, otitis media, disfungsi tuba eustachius, sinusitis, polip

nasal, konjungtivitis alergi, dan dermatitis alergi. dapat pula menyebabkan kesulitan

belajar, gangguan tidur, dan kelelahan. Rinitis alergi dapat menyebabkan gangguan

kehidupan sehari-hari sehingga terjadi penurunan kualitas hidup. Gejala seperti

kelelahan dan mengantuk akibat pengobatan menyebabkan gangguan pada pekerjaan

dan sekolah bahkan kecelakaan lalu lintas.(8)

3.5. Patofisiologi

Page 19: rinitis alergi

Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap

sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/ reaksialergi alergi teriri dari 2 fase

yaitu alergi fase cepat (rafs) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1

setelahnya dan late phase allergicreaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL)

yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hipr-raktifitas) setelah

pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.

Gambar 5. Patofisiologi rinitis alergi (paparan pertama pada alergen)

Gambar diatas menunjukkan paparan terhadap antigen. Pada kontak pertama

dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai

sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel

di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen

pendek peptida dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek

peptida MHC kelas II (Major Histo Compatibility Complex) yang kemudian

dipresentasikan pada sel Thelper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin

seperti interleukin 1 (lL 1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi

Th 1 dan Th 2. Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti lL 3, lL 4, lL 5 dan

lL 13. lL 4 dan lL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B,

sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi Imunoglobulin E (lgE).

lgE di sirkulasi darah akan masuk kejaringan dan diikat oleh reseptor lg E di

Page 20: rinitis alergi

permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga ke dua sel ini menjadi

aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang

tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang

sama, maka kedua rantai lgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi

(pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia

yang sudah terbentuk (Preformed Mdiators) terutama histamin. Selain histamin juga

dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2),

Leukotrien D4 9LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating

Factor (PAF) dan berbagai sitokin. (lL3, lL4, lL6, lL6, (PAF) dan berbagai sitokin.

(lL3, lL4, lL5, lL6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Fakor)

dll. Inilah yang disebut Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).

Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga

menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin. Histamin juga akan menyebabkan

kelenjar klukosa dan sel goblekmengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler

meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah gidung tersumbat akibat

vasodilatasi sinosoid. Selain histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga

mengakibatkan rangsangan pada klukosa hidung sehingga teri pengeluaran Inter

Celluler Adhesion Molecule 1 (lCAM 1).

Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul komotaktik yang

menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak

berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6 8 jam

setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel

inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung

serta peningkatan sitokin seperti seperti IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte Macrophag

Colony Stimulating Factor (GMCSF) dan ICAM 1 pada sekret hidung. Timbulnya

gejala hiperaktif atau hiperrresponsif hidung akibat peranan eosinofil dan mediator

inflamasi dari granulnya seperti Eosiniphilic derived protein (EDP), Major Basic

Protein (MPB) dan Eosinophilic peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain factor

Page 21: rinitis alergi

spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang,

perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi.

Gambar 6. Patofisiologi rinitis alergi ( early and late phase reaction )

3.6. Gambaran histologik

Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh darah (vascular bad)

dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mucus. Terdapat juga pembesaran

ruang interseluler dan penebalan membrane basal, seta ditemukan infiltrasi sel-sel

eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung.

Page 22: rinitis alergi

Gambaran yang demikian terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan serangan,

mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus menerus/persisten

sepanjanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu

terjadi proliferasi jaringan ikat dan hyperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa

hidung menebal.

Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas :

1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara penapasan, misalnya

tungau debu rumah (D. pteronyssinus, D.farinae, B.tropicalis), kecoa,

serpihan epitel kulit binatang (kucing, anjing), rerumputan (Bermuda grass)

serta jamur (Aspergillus, Alternaria).

2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya

susu, sapi, telur, coklat, ikan laut, udang kepting dan kacang-kacangan.

3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya

penisilin dan sengatan lebah.

4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa,

misalnya bahan komestik, perhiasan.

Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran, sehingga

memberi gejala campuran, misalnya tungau debu rumah yang memberi gejala asma

bronkial dan rinitis alergi.

Dengan masuknya antigen asing ke dalam tuuh terjadi reaksi yang secara

garis besar terdiri dari:

1. Respons PrimerTerjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (ag).

Reaksi ini bersifat non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag

tidak berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respons

sekunder.

2. Respons SekunderReaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai 3

kemungkinan ialah sistim imunitas selular atau humoral atau keduanya

Page 23: rinitis alergi

dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai.

Bila Ag masih ada atau memang sudah ada defek dari sistim imunologik,

maka berlanjut menjadi respons tertier.

3. Respons TertierReaksi imunologik yang terjadi ini tidak menguntungkan

tubuh. Reaksi ini dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari

daya eliminasi Ag oleh tubuh.

Gell dan coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau reaksi

anafilaksis (immediate hypersentitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik/sitolitik, tipe 3

atau reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberkulin (delayed

hypersensitivity). Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak dijumpai

dibidang THT adalah tipe 1 yaitu rinitis alergi.

3.7. Klasifikasi

Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya,

yaitu:

1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis). Di indonesia

tidak dikenal rinitis alergi musiman, hanya ada di negara yang mempunyai 4

musim. Alergen penyebabnya spesifikm, yaitu tepungsari (pollen) dan spora

jamur. Oleh karena itu nama yang tepat ialah polinisis atau rino

konjungtivitis karena gejala klinik yang tampak ialah gejala pada hidung

dan mata (mata merah, gatal disertai lakrimasi).

2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial). Gejala pada penyakit ini

timbul intermiten atau terus menerus, tanpa variasi musim, jadi dapat

ditemukan sepanjang tahun. Penyebab yang paling sering ialah alergen

inhalan, terutama pada orang dewasa, dan alergen inhalan utama aladalah

alergen diluar rumah (outdoor). Alergen ingestan sering merupakan

penyebab pada anak-anak dan biasanya disertai dengan gejala alerg yang

lain, seperti urtikaria gangguan pencernaan. Gangguan fisiologik pada

Page 24: rinitis alergi

golongan perenial lebih ringan dibandingkan dengan golongan musiman

tetapi karena lebih persisten maka komplikasinya lebih sering ditemukan.

Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO

initiative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, yaitu

berdsarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi:

1. Intermiten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu

atatu kurang dari 4 minggu.

2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari

4 minggu.

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi

dua:

1. Ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian,

bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.

2. sedang-berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.

3.8. Diagnosis

Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan :

3.8.1 Anamnesis

Anamnesis sangat penting, karena seirng kali serangan tidak terjadi

dihadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari

Anamnesis saja.(1) Anamnesis secara detail perlu dilakukan untuk

mengevaluasi rhinitis alergi terutama mengenai sifat, durasi, dan waktu dari

gejala; kemungkinan pencetus atau trigger , respon dari obat-obatan, gejala

penyerta; riwayat keluarga tentang penyakit alergi; paparan dari lingkungan,

tempat kerja; serta efek terhadap kualitas hidup pasien.(2) Anamnesis secara

Page 25: rinitis alergi

menyeluruh dapat menolong dalam mengidentifikasi pencetus yang spesifik

dari rhinitis.

Gejala yang berhubungan dengan rhinitis alergi antaralain bersin berulang,

sumbatan hidung, rasa gatal (pada hidung, mata, telinga, langit-langit mulut),

rinorea (hidung berair), gangguan penciuman, sakit kepala, nyeri pada

telinga, mata berair, mata merah, bengkak pada mata, rasa lelah atau lemas,

tidak enak badan serta mengantuk.(3) Menentukan umur saat onset gejala dan

apakah gejala tersebut berlangsung terus menerus sejak onset tersebut perlu

dilakukan dimana onset dari rinitis alergi dapat juga terjadi pada masa

dewasa, dan gejala sebagian besar pasien terjadi pada umur 20 tahun.

Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang.

Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada hari atau bila

terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme

fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning prosess) bersin ini

terutama merupakan gejala pada RAFC dan kadang-kadang pada RAFL

sebagai akibat dilepaskannya histamin. (1)

Tentukan pola waktu dari gejala dan apakah gejala tersebut terjadi secara

konsisten dalam waktu tahunan (seperti rinitis perennial), hanya terjadi pada

saat waktu atau musim tertentu (rhinitis musiman), atau kombinasi dari

keduanya. Selama periode eksaserbasi, tentukan apakah gejala tersebut terjadi

secara harian atau secara episodic. Tentuka juga apakah gejala berlangsung

sepanjang hari atau hanya di waktu tertentu dalam satu hari. Informasi ini

dapat menolong dalam menegakan diagnosis dan mentukan kemungkinan

pencetus.

Tentukan juga sistem organ yang dipengaruhi serta gejala spesifiknya.

Beberapa pasien mempunyai keterlibatan pada hidung, dan sebagian yang lain

mempunyai keterlibatan dari berbagai organ. Beberapa pasien umumnya

mempunyai keluhan bersin-bersin, gatal, mata berair, dan hidung berair , dan

Page 26: rinitis alergi

yang lain mungkin hanya mengeluh hidung tersumbat. Keluhan hidung

tersumbat yang signifikan, khususnya bila unilateral, kemungkinan mengarah

ke obstruksi struktural seperti polip, benda asing, atau deviasi septum.

Tentukan apakah gejala berhubungan degnan faktor pencetus tertentu

yang spesifik seperti terpapar serbuk bunga di ruang terbuka, spora jamur saat

melakuanpekerjaan taman, binatang tertentu, atau debu sewatu membersihkan

rumah. Pencetus iritan seperti asap, polusi, dan bau yang kuat dapat

memperburuk gejala pasien dengan rhinitis alergi. Hal tersebut juga

merupakan pencetus dari rhinitis vasomotor. Banyak pasien mempunyai

kedua rhinitis alergi dan rinitis vasomotor. Pasien lain mengkin

menggambarkan gejala sepanjang tahun yang tidak terlihat berhubungan

dengan pencetus spesifik. Hal tersebut dapat saja rhinitis nonalergi, tetapi

alergen yang sepanjang tahun, seperti debu tungau atau pajanan binatang

harus dianggap pencetus pada situasi ini.

Pasien dengan rhinitis alergi mungkin mempunyai kondisi atopi lain

seperti asma(5,6) atau dermatitis atopi.(7) Pasien dengan riwayat dermatitis

atomi mempunyai 70% peluang untuk mempunyai rhinitis alergi, asma, atau

keduanya. Pasien dengan riwayat asma juga mempunyai insidensi yang tinggi

untuk memiliki rhinitis alergi. Pada 20 % pasien rhinitis alergi juga

mempunyai gejala asma dan rinitis alergi yang tidak terkontrol akan

memperburuk asma(8) atau bahkan dermatitis alergi.(7) Dicari juga kondisi

yang mungkin terjadi akibat dari komplikasi rinitis alergi. Sinusitis terjadi

cukup sering. Kemungkinan komplikasi yang lain termasuk otitis media,

gangguan tidur atau sleep apnea, masalah gigi, dan abnormalitas langi-langit

mulut. Rencana pengobatan mungkin dibedakan bila satu dari komplikasi

tersebut terjadi. Polip nasi dapat terjadi berhubungan dengan rhinitis alergi,

walaupun apakah rhinitis alergi secara nyata penyebab dari polip nasi masih

belum jelas. Polip mungkin tidak respon terhadap pengoobatan medis dan

Page 27: rinitis alergi

mungkin juga predisposisi terhadap sinusitis atau gangguan tidur(karena

sumbatannya).

Oleh karena rhinitis alergi mempunyasi komponen genetik yang

signifikan, riwayat atopi dalam keluarga yang positif membuat diagnosis lebih

mungkin. Faktanya, semakin besar nya resiko rhinitis alergi dapat terjadi bila

kedua orang tua mempunyai atopi dibandingkan salah seorang dari orang tua.

Bila seorang anak mempunyai seorang dari orangtuanya yang memiliki alergi,

peluang untuk mendapatkan rhinitis alergi sekitar 30%. Hal ini meningkat

sampai 50-70% bila kedua orangtuanya mempunyai alergi atau asma.

Bagaimanapun, penyebab rhinitis alergi merupakan multifaktorial, dan

seorang yang tidak mempunyai riwayat rhinitis alergi dalam keluarga, dapat

mempunyai rhinitis alergi.

Riwayat lengkap dari lingkungan pasien sangat penting dan dapat

menolong dalam mengidentifikasi pencetus spesifik alergi. Hal ini termasuk

investigasi faktor resiko untuk menunjukan alergen tahunan seperti tungau,

spora, hewan peliharaan. Faktor beresiko pada tungau umumnya ada pada

karpet berbulu, area suhu panas, dan lembab, serta tempat tidur yang tidak

memiliki pelindung terhadap tungau. Kelembaban yang kronis pada rumah

merupakan pembentukan dari munculnya faktor resiko munculnya spora

jamur. Riwayat hobi dan aktivitas rekreasi membantu kita untuk

memnentukan resiko dan pola waktu paparan dari serbuk sari. Selain itu

tanyakan mengenai lingkungan kerja dan sekolah termasuk paparan terhadap

alergen tahunan (tungau, spora, bulu hewan) allergen dalam pekerjaan yang

khusus seperti hewan laboratorium, produk hewani, serbuk kayu,material

organic, karet, ataupun enzim/ bahan kimia).

Respon terhadap pengobatan seperti antihistamin mendukung diagnosis

rinitis alergi, walaupun bersin-bersin, rasa gatal, dan rinorea berhubungan

dengan rhinitis nonalergi yang juga membaik dengan antihistamin.(4) Respon

Page 28: rinitis alergi

terhadap kortikosteroid intranasal mendukung rhinitis alergi, walau beberapa

kasus rhinitis non alergi juga (khususnya rhinitis nonalergi dengan sindrom

eusinofil [NARES]) membaik dengan steroid hidung.

3.8.2. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan menyeluruh dilakukan untuk menemukan penyakit lain yang

mungkin ada seperti asma, eksim, dan cystic fibrosis, yang seringkali muncul

sehubungan dengan rhinitis alergi. Evaluasi melingkupi kepala, mata, telinga,

hidung dan kerongkongan. Pada saat pemeriksaan, perhatikan gejala-gejala

berikut :

1. Kepala

Allergic shiners adalah lingkaran hitam, bengkak sekitar mata (kelopak

bawah mata) dan dihubungkan dengan vasodilatasi atau kongesti

hidung.“Nasal Crease” yaitu lipatan horizontal atau garis melintang yang

melewati dari dorsum nasi bagian sepertiga bawah yang disebabkan oleh

garukan berulang kea rah atas pada puncak hidung dengan menggunakan

punggung tangan “Allergic salute”. Morgan-Dennie lines, garis dibawah

kelopak mata, mungkin dapat terlihat.

2. Mata

Tentukan apakah ada eritema dan edema pada konjungtiva palpebra dan

hipertrofi papil dari konjungtiva tarsal. Kemosis pada konjungtiva mungkin

terjadi. Pasien biasanya mengalami mata berair. Katarak dapat terjadi akibat

menggaruk mata yang gatal.

Page 29: rinitis alergi

3. Telinga

Membran timpani harus diperiksa untuk menilai adanya infeksi kronis

atau efusi telinga tengah. Peran dari allergic rhinitis dalam media otitis kronis

tidak jelas, tetapi penurunan jumlah infeksi telah dicatat pada anak-anak

dengan rhinitis alergi yang mengikuti terapi.

4. Hidung

Pemeriksaan hidung sering menolong dalam menegakan diagnosis. Pada

rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid

disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa

inferior tampak hipertrofi pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila

fasilitas tersedia. Lakukan penilaian terhadap karakter dan banyaknya lendir

hidung. Ingus biasanya cair bening atau putih dan sedikit, jarang bewarna

kuning atau hijau. Bila didapati ingus yang berwarna, kental, dan banyak,

diagnosis infeksi virus atau sinusitis dipertimbangkan. Darah kering

umumnya ditemukan sebagai trauma sekunder akibat dari menggosok hidung.

Periksa septum nasi untuk melihat adanya deviasi septum atau perforasi

septum yang mungkin dapat disebabkan oleh rhinitis kronik, penyakit

granulamatosis, pecandu kokain, penggunaobat dekongestan berlebih, akibat

operasi sebelumnya. Periksa rongga hidung untuk melihat adanya masa

seperti polip dan tumor. Polip jarang ditemukan pada anak-anak.

5. Rongga mulut

Pemeriksaan pada pertumbuhan gigi dapat informatif. Perubahan warna

pada gigi seri dan lengkungan pada langit-langit mulut tinggi berhubungan

dengan pernafasan mulut yang lama. Serta maloklusi sering berhubungan

dengan pernafasan melalui mulut yang kronis. Permukaan berbenjol-benjol

atau granuler dan edema (cobblestone appearance), pada faring posterior juga

Page 30: rinitis alergi

merupakan tanda dari hipertrofi folikular dari mukosa jaringan limfoid akibat

dari kongesti hidung yang kronik. Dinding leteral faring menebal. Lidah

tampak seperti gambaran peta (geographic tongue). Tentukan ukuran tonsil,

yang mungkin dapat meberikan petunjuk ukuran dari adenoid. Adenoid yang

besar dapat menimbulkan gejala dan tanda rhinitis alergi. Sumbatan hidung

yang kronis akibat hipertrofi adenoid sering ditemukan pada anak-anak

dengan otitis media dan sinusitis berulang.

6. Leher

Tentukan apakah terdapat pembesaran kelenjar getah bening atau

pembesaran tiroid.

7. Paru – paru

Dicari apakah terdapat tanda-tanda dari asma.

8. Kulit

Dievaluasi apakah terdapat tanda dermatitis atopi

3.8.3. Pemeriksaan penunjang

Tes Alergi

Tes ini dilakukan untuk menegakkan bukti secara objektif akan adanya

penyakit atopi. Ia juga dapat menentukan agen penyebab reaksi alergi

tersebut, yang akan dapat membantu dalam penanganan secara spesifik.

Terdapat dua tipe pemeriksaan yang sering digunakan bagi menilai secara

kausatif maupun kuantitatif sensitifitas suatu alergen: tes kulit dan esai serum

in vitro (in vitro serum assay).

Page 31: rinitis alergi

1. Tes Kulit

dapat dilakukan secara epikutan, intradermal atau kombinasi keduanya.

a. Tes cukit kulit merupakan tes kulit secara epikutan yang paling

sering digunakan. Secara umumnya tes ini tergolong cepat,

spesifik, aman dan ekonomis. Dengan adanya sistem tes

multipel yang tersedia, tes ini mudah dilaksanakan dan

prosedurnya selalu tidak pernah berubah. Namun bila hasil tes

ini diragukan, selanjutnya dilakukan tes secara intradermal.

b. Tes cukit kulit secara intradermal menggunakan pengenceran

berseri yang kuantitatif 1:5 merupakan tes pilihan bagi

kebanyakan ahli spesialis THT setelah dilakukan tes cukit kulit

secara epikutan. Tipe tes yang dikenal sebagai intradermal

dilutional testing (IDT), dulunya dikenal sebagai serial

endpoint titration (SET) ini sangat berguna dalam menentukan

tahap sensitifitas alergen, dan dalam rangka itu, amat

bermanfaat dalam penentuan terapi imunal yang tepat dan

aman bagi penderita rhinitis alergi.

2. Tes in vitro:

Tes ini melibatkan IgE serum yang spesifik dengan alergen dan

merupakan teknik yang mudah dikerjakan serta akurat dalam mendeteksi

adanya pengaruh atopi pada pasien dengan rhinitis alergi. Teknologi in vitro

juga sudah sangat dikembangkan sedemikian rupa sehingga efektifitasnya

sudah kurang lebih sama dengan tes cukit kulit. Tes ini aman, murah dan

cukup spesifik sehingga penderita tidak perlu bebas dari pengaruh

antihistamin atau obat-obat lain pada saat pada saat pemeriksaan dijalankan,

yang kalau pada tes cukit kulit, dapat mengganggu penilaian. Tes ini juga

sangat mudah dan cepat dikerjakan sehingga menjadi pilihan dalam

Page 32: rinitis alergi

menangani pasien anak-anak maupun dewasa yang disertai gangguan

anxietas. Walaupun tes in vitro yang pertama yaitu radioallergosorbent test

(RAST) sudah tidak dikerjakan lagi, terminologi RAST ini masih digunakan

secara umum dalam menjelaskan pemeriksaan IgE spesifik darah. Saat ini,

sudah banyak tipe esai in vitro yang ditinggalkan, karena peralihan ke tipe

baru yang lebih cepat, dapat diandalkan dan lebih efisien contohnya

ImmunoCap. Dengan tidak menggunakan tes yang dapat diandalkan, dapat

berakibat buruk kepada diagnosis atopi yang seterusnya membawa kepada

penanganan yang tidak adekuat. Dibawah merupakan bagan pelaksanaan tes

in vitro:

Gambar 7. Proses tes invitro

3.9. Terapi

Dalam menangani rinitis alergi perlu dipertimbangkan gejala utama, derajat

penyakitnya, kualitas hidup penderita, perbelanjaan yang digunakan selama terapi

serta alergen yang terlibat agar tiap terapi yang dipilih bertepatan dengan tiap

individu yang menderita rinitis alergi.

Page 33: rinitis alergi

Secara umumnya yang dipilih sebagai terapi terbagi kepada tiga kategori besar yaitu

menghindari kontak dengan alergen dan pengelolaan lingkungan, farmakoterapi dan

imunoterapi.

1. Pengelolaan Lingkungan

Mengurangi semaksimalnya kontak dengan alergen dapat menurunkan kadar

kambuhnya gejala rinitis alergi secara signifikan. Bagi penderita yang alergi terhadap

tepungsari (pollen), dapat dianjurkan mengurangi kegiatan di luar rumah selama

musim yang bersangkutan, menutup celah yang membolehkan udara luar masuk ke

dalam rumah atau mobil serta menggunakan pendingin udara. Pengendalian debu

rumah, jamur dan bulu binatang, yang berikut dapat dilakukan: (1) mengurangi tahap

kelembapan rumah sehingga dibawah paras 50%; (2) mencuci pakaian terutama alas

kasur dengan air hangat; (3) jauhkan karpet dan binatang piaraan dari ruang yang

sering digunakan penderita; (4) menggunakan bahan yang hipoalergenik; dan (5) bagi

penderita yang tinggal di daerah padat dan kotor, sedapatnya membasmi kecoa.

Gambar 8. Pengelolaan lingkungan terhadap alergen

Page 34: rinitis alergi

2. Farmakoterapi

Saat memilih terapi yang cocok bagi rinitis alergi, beberapa hal yang menjadi

pertimbangan adalah keadaan penyakit penderita saat itu, gejala yang paling

dominan, umur, gejala saluran pernafasan lain yang ada di penderita serta riwayat

pengobatan yang sebelumnya.

a. Antihistamin

Antihistamin banyak dipilih sebagai terapi lini pertama dan banyak dari

tipe antihistamin bisa dibeli tanpa resep dokter. Obat ini memblokir reseptor

H1 justru menghalangi terjadinya reaksi histamin seperti mencegah

peningkatan permeabilitas vaskuler, mencegah kontraksi otot polos,

meningkatkan produksi mukus dan mencegah pruritus. Oleh karena obat ini

menghilangkan gejala reaksi histamin di kulit, penderita tidak dianjurkan

untuk mengkonsumsinya beberapa hari sebelum dilakukan tes cukit kulit

karena hasilnya dapat menjadi negatif. Pada tes in vitro, mengkonsumsi

antihistamin tidak akan berpengaruh pada hasil tes.

Antihistamin sangat efektif pada reaksi alergi fase cepat (RAFC) sehingga

dapat mencegah gejala bersin, rinore dan pruritus namun kurang berpengaruh

pada reaksi alergi fase lambat (RAFL) contohnya sumbatan hidung (nasal

congestion/blockers). Antihistamin generasi pertama yang banyak bisa dibeli

tanpa resep mempunyai efek sedasi sehingga berpengaruh terhadap penurunan

prestasi dan tumpuan penderita, kadang dapat mengakibatkan kecelakaan saat

menyetir atau di tempat kerja. Efek samping yang lain adalah efek

antikolinergik yang dapat mengakibatkan mulut kering contohnnya

difenhidramin, hidroksizin, klorfeniramin dan bromfeniramin. Dua obat

terakhir yang disebutkan sebelumnya banyak ditemukan dalam preparat obat

flu di warung.

Page 35: rinitis alergi

Generasi kedua sangat kecil sekali kemungkinan mengikat reseptor H1

sentral, sehingga mengurangi efek sedasi serta tidak berefek antikolinergik.

Golongan ini diabsorpsi secara baik, kerja cepat dan menghilangkan gejala

dalam waktu sejam. Pemakaiannya cukup sekali sehari dan tidak

menimbulkan efek penggunaan jangka panjang contohnya loratadin dan

levosetirisin.

b. Kortikosteroid intranasal

Kortikosteroid intranasal mungkin adalah terapi yang paling efektif bagi

tiap tingkat gejala rinitis alergi. Keberkesanan maksimal timbul pada minggu

pertama sampai kedua dari hari pertama penggunaan. Efektifitasnya

tergantung pemakaian yang sering dan keadaan hidung yang adekuat untuk

inhalasi obat. Obat ini turut bekerja pada RAFL sehingga mencegah

terjadinya peningkatan sel inflamasi yang mendadak. Formulasi mutakhir

seperti triamsinolon, budesonid dan flutikason mempunyai ciri absorpsi

sistemik yang minimal dengan hampir tiada efek samping sistemik sehingga

aman pada tiap golongan umur termasuk anak-anak. Efek samping lokal

seperti hidung kering dan epistaksis dapat diregulasi dengan instruksi

pemakaian yang benar.

c. Kortikosteroid sistemik

Preparat ini sesuai bagi gejala sangat berat yang menetap. Pemberiannya

adalah melalui intramuskuler atau per oral. Jika lewat oral, penurunan dosis

secara tapering off diberikan dalam tiga sampai tujuh hari. Obat ini bertindak

terhadap inflamasi justru menurunkan gejala rinitis alergi secara signifikan.

Namun pada penggunaan jangka panjang dapat timbul efek samping yang

serius seperti penekaan aksis HPA dan efek samping kortikosteroid sistemik

lain yang lazim ditemukan.

Page 36: rinitis alergi

d. Dekongestan

Dekongestan bekerja pada reseptor α-adrenergik di hidung, menimbulkan

efek vasokonstriksi sehingga kongesti nasal dikurangi. Kongesti rongga

hidung berkurang namun obat ini tidak mengatasi gejala lainnya seperti

rinore, bersin dan pruritus. Obat ini banyak ditemukan dalam preparat flu

yang bisa dibeli tanpa resep namun pemakaian pada penderita dengan

kelainan jantung dan hipertensi harus dengan berhati-hati. Dekongestan

intranasal seperti oksimetazolin dapat menimbulkan kekambuhan kongesti

nasal serta menimbulkan ketergantungan pada pemakaian lebih dari tiga hari

(rinitis medikamentosa).

e. Antikolinergik intranasal

Obat ini berpengaruh dalam mengurangi gejala rinore namun tidak gejala

lainnya. Contohnya adalah ipatrium bromida dan obat ini dapat digunakan

dengan obat alergi lainnya terutama bagi penderita dengan rinitis alergi tipe

sepanjang tahun (perennial).

f. Kromolin intranasal

Preparat ini harus digunakan sebelum munculnya gejala untuk menjadi

efektif. Penggunaannya harus sepanjang paparan terhadap alergen dengan

dosis sehingga empat kali sehari dan cukup aman bagi penderita.

g. Inhibitor leukotrien

Obat ini mengatasi kelebihan plasebo dalam menangani rinitis alergi

namun masih jauh ketinggalan efeknya berbanding antihistamin dan

kortikosteroid intranasal.

Page 37: rinitis alergi

Gambar 9. Farmakoterapi untuk rinitis alergi

3. Imunoterapi

Tujuan terapi ini adalah untuk meningkatkan ambang batas (threshold) sebelum

munculnya gejala pada penderita yang terpapar pada alergen. Mekanisme kerja terapi

imun ini masih belum jelas dimengerti. Teori yang bersangkutan adalah wujudnya

blok antibody (blocking antibody) dan regulasi kaskade imun yang memacu

terjadinya reaksi alergi.

Indikasi imunoterapi adalah penggunaan farmakoterapi jangka panjang, terapi

farmakologi yang tidak adekuat dan tidak dapat ditoleransi oleh penderita serta

sensitifitas signifikan terhadap alergen. Sebelum memulai imunoterapi, harus

ditentukan alergen yang tepat pada penderita. Di Amerika Serikat yang biasa

dilakukan adalah penyuntikan alergen secara subkutan yang gradual sehingga timbul

reaksi sistemik yang ringan atau reaksi lokal yang berat. Teknik lain adalah

pemberian secara sublingual yang terutama dianuti di Eropa. Teknik ini lebih aman

dan mudah dilakukan sendiri oleh penderita di rumah.

Masih belum ada penelitian yang adekuat mengenai lama pelaksanaan

imunoterapi ini namun pada kebanyakan penderita, cukup hanya dua hingga tiga

tahun sebelum ambang batas terhadap alergen dapat ditingkatkan.

Page 38: rinitis alergi

3.10. Komplikasi

Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah:

1. Polip hidung

Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan slah satu

faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung.

2. Otitis media efusi yang sering residif, terutama pada anak-anak.

3. Sinusitis paranasal.

3.11. Prognosis

Sebagian besar pasien dapat hidup normal. Hanya pasien yang mendapat

imunoterapi untuk alergen spesifik yang dapat sembuh dari penyakitnya dan banyak

juga pasien yang melakukan pengobatan simtomatik saja secara intermiten dengan

baik. Rinitis alergi mungkin dapat timbul kembali dalam 2-3 tahun setelah

pemberhentian imunoterapi. Gejala rinitis alergi akan menurun pada pasien bila

mencapai umur 4 dekade.

BAB IV

KESIMPULAN

Page 39: rinitis alergi

Berdasarkan teori – teori di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa rinitis alergi

terjadi akibat alergen yang masuk ke dalam tubuh manusia dan alergen tersebut

menimbulkan reaksi antigen – antibodi. Beberapa alergen yang sering ditemukan

adalah debu rumah tangga, bulu hewan, dsb. Untuk mendiagnosis rinitis alergi, harus

dilakukan anamnesis secara tepat terhadap gejala – gejala yang ada pada rinitis alergi,

serta dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

Rinitis alergi disebabkan oleh alergen yang masuk ke dalam tubuh manusia,

sehingga pengobatan utama untuk rinitis alergi adalah pengelolaan lingkungan untuk

menghindari paparan alergen. Pengobatan berikutnya dengan farmakoterapi, tetapi

sampai saat ini pemberian obat – obatan hanya untuk menghilangkan gejala dari

rinitis alergi saja

DAFTAR PUSTAKA

1.

Page 40: rinitis alergi

2.

3.

4.

5.