rhinitis atrofi

33
BAB I PENDAHULUAN Rinitis atrofi (ozaena) adalah infeksi hidung kronik, yang ditandai adanya atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka dan pembentukan krusta. Disebut juga rinitis chronica atrophicanscum foetida. Secara klinis, mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat mengering, sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk. 1 Rinitis atrofi merupakan suatu penyakit yang jarang secara umum ditemui pada masa sekarang ini. Meskipun kekerapannya sering dijumpai pada negara- negara berkembang, rinitis atropi juga cukup sering didapatkan sebagai suatu sekuele dari tindakan-tindakan medis.1 Rinitis atrofi merupakan istilah yang sering dipakai dalam dunia kedokteran. Rinitis atrofi juga dikenal sebagai suatu rinitis kering, rinitis sika atau ozaena. Penyakit ini dikenal dengan cirinya yang khas yaitu bau yang muncul dari rongga hidung. 1 Foetor ex nasi berarti bau busuk dari dalam hidung. Gejala ini termasuk salah satu penyebab seorang pasien mencari pertolongan pada dokter. Namun, pada rinitis atrofi, foetor ex nasi tidak dirasakan oleh penderita sehingga perasaan tidak nyaman dirasakan oleh orang sekitarnya, bukannya oleh pasien. Terlebih lagi 1 | Rhinitis Atrofi

Upload: yetioktarina

Post on 09-Sep-2015

169 views

Category:

Documents


30 download

DESCRIPTION

rhinitis atrofi

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

Rinitis atrofi (ozaena) adalah infeksi hidung kronik, yang ditandai adanya atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka dan pembentukan krusta. Disebut juga rinitis chronica atrophicanscum foetida. Secara klinis, mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat mengering, sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk.1Rinitis atrofi merupakan suatu penyakit yang jarang secara umum ditemui pada masa sekarang ini. Meskipun kekerapannya sering dijumpai pada negara-negara berkembang, rinitis atropi juga cukup sering didapatkan sebagai suatu sekuele dari tindakan-tindakan medis.1 Rinitis atrofi merupakan istilah yang sering dipakai dalam dunia kedokteran. Rinitis atrofi juga dikenal sebagai suatu rinitis kering, rinitis sika atau ozaena. Penyakit ini dikenal dengan cirinya yang khas yaitu bau yang muncul dari rongga hidung.1Foetor ex nasi berarti bau busuk dari dalam hidung. Gejala ini termasuk salah satu penyebab seorang pasien mencari pertolongan pada dokter. Namun, pada rinitis atrofi, foetor ex nasi tidak dirasakan oleh penderita sehingga perasaan tidak nyaman dirasakan oleh orang sekitarnya, bukannya oleh pasien. Terlebih lagi penyakit ini lebih sering menyerang perempuan, sehingga menimbulkan keluhan tersendiri bagi pasien.1Menurut Boies, frekuensi penderita rinitis atrofi pada wanita dan laki-laki adalah 3 : 1. Penyakit ini lebih sering mengenai wanita, terutama pada usia pubertas. Sering ditemukan pada masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi rendah dan di lingkungan yang buruk dan di negara sedang berkembang.1,2,3Ozaena lebih umum di negara-negara sekitar Laut Tengah daripada di Amerika Serikat. Menurunnya insidens campak, scarlet fever, dan difteria di Eropa Selatan sejak perang dunia ke II tampaknya timbul bersaman dengan suatu penurunan tajam dalam insidens ozaena.1Rinitis atrofi mempunyai etiologi dan patogenesis yang sampai sekarang belum dapat diterangkan dengan memuaskan, sehingga pengobatannya belum ada yang baku. Pengobatan ditujukan untuk menghilangkan faktor penyebab dan untuk menghilangkan gejala. Pengobatan dapat diberikan secara konservatif atau jika tidak menolong dilakukan operasi. Oleh karena itu, pada makalah ini akan dibahas mengenai rinitis atrofi.1

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG2.1.1 Anatomi HidungHidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Hidung bagian luar menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas; struktur hidung luar dibedakan atas tiga bagian, yang paling atas terdapat kubah tulang yang tak dapat digerakkan; di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan; dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan. Bentuk hidung luar seperti piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah : 1) pangkal hidung (bridge), 2) batang hidung (dorsum nasi), 3) puncak hidung (hip), 4) ala nasi, 5) kolumela,dan 6) lubang hidung (nares anterior). 1Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari : 1) tulang hidung (os nasal) , 2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal ; sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor dan 3) tepi anterior kartilago septum. 1

Gambar I : Anatomi Hidung Bagian LuarBagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os. internum di sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh septum, dinding lateral terdapat konka superior, konka media, dan konka inferior. Celah antara konka inferior dengan dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konka media dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas konka media disebut meatus superior. 1

Gambar 2 : Anatomi Hidung Bagian DalamSeptum nasi Septum membagi kavum nasi menjadidua ruang kanan dan kiri. Bagian posterior dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh kartilago septum (kuadrilateral), premaksila dan kolumela membranosa; bagian posterior dan inferior oleh os vomer, kristamaksila, Krista palatine serta krista sfenoid. 1Kavum nasi Kavum nasi terdiri dari: 11. Dasar hidung Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatine os maksila dan prosesus horizontal os palatum.2. Atap hidung Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal, prosesus frontalisos maksila, korpus os etmoid, dan korpus os sphenoid. Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui oleh filament-filamen n.olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian teratas septum nasi dan permukaan kranial konka superior3. Dinding Lateral Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila, os lakrimalis, konka superior dan konka media yang merupakan bagian dari os etmoid, konka inferior, lamina perpendikularis os platinum dan lamina pterigoideus medial.4. Konka Fosa nasalis dibagi menjadi tiga meatus oleh tiga buah konka; celah antara konka inferior dengan dasar hidung disebut meatus inferior; celah antara konka media dan inferior disebut meatus media, dan di sebelah atas konka media disebut meatus superior. Kadang-kadang didapatkan konka keempat (konka suprema) yang teratas. Konka suprema, konka superior, dan konka media berasal dari massa lateralis os etmoid, sedangkan konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada maksila bagian superiordan palatum.Meatus Nasalis Superior Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit antara septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media. Kelompok sel-sel etmoid posterior bermuara di sentral meatus superior melalui satu atau beberapa ostium yang besarnya bervariasi. Di atas belakang konka superior dan di depan korpus os sfenoid terdapat resesus sfeno-etmoidal, tempat bermuaranya sinus sfenoid. 1 Meatus Nasalis MediaMerupakan salah satu celah yang penting yang merupakan celah yang lebih luas dibandingkan dengan meatus superior. Disini terdapat muara sinus maksila, sinus frontal dan bahagian anterior sinus etmoid. Di balik bagian anterior konka media yang letaknya menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang berbentuk bulan sabit yang dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk bulan sabit yang menghubungkan meatusmedius dengan infundibulum yang dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai prosesus unsinatus. Di atas infundibulum ada penonjolan hemisfer yaitu bula etmoid yang dibentuk oleh salah satu sel etmoid. Ostium sinus frontal, antrum maksila, dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di infundibulum. Sinus frontal dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di bagian anterior atas, dan sinus maksila bermuara di posterior muara sinus frontal. Adakalanya sel-sel etmoid dan kadang-kadang duktus nasofrontal mempunyai ostium tersendiri di depan infundibulum. 1 Meatus Nasalis Inferior Meatus inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus, mempunyai muara duktus nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3 sampai 3,5 cm di belakang batas posterior nostril. 1

Gambar 3 : Muara Sinus Paranasalis

Kompleks ostiomeatal (KOM) Kompleks ostiomeatal (KOM) adalah bagiandari sinus etmoid anterior yang berupa celah pada dinding lateral hidung. Pada potongan koronal sinus paranasal gambaran KOM terlihat jelas yaitu suatu rongga di antara konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan ressus frontal. 1 Serambi depan dari sinus maksila dibentuk oleh infundibulum karena sekret yang keluar dari ostium sinus maksila akan dialirkan dulu ke celah sempit infundibulum sebelum masuk ke rongga hidung. Sedangkan pada sinus frontal sekret akan keluar melalui celah sempit resesus frontal yang disebut sebagai serambi depan sinus frontal. Dari resesus frontal drainase sekret dapat langsung menuju ke infundibulum etmoid atau ke dalam celah di antara prosesus unsinatus dan konka media. 1

Gambar 4: Kompleks OstiomeatalVaskularisasi hidung Bagian atas hidung rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a.karotis interna. Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris interna, di antaranya adalahujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posteriorkonka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang cabang a.fasialis.1 Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina, a.etmoidanterior, a.labialis superior, dan a.palatina mayor yang disebut pleksus Kiesselbach (Littles area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis (pendarahan hidung) terutama pada anak.1 Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya . Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakanfaktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi hingga ke intracranial.1Innervasi hidung Bagian depan dan atas ronggahidung mendapat persarafan sensoris dari n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari n.oftalmikus (N.V-1). Rongga hidung lannya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatinum selain memberikan persarafan sensorisjuga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerimaserabut-serabut sensoris dari n.maksila (N.V-2), serabut parasimpatisdari n.petrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus profundus.2 Ganglion sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media. Nervus olfaktorius. Saraf ini turun dari lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung. 22.1.2 Fisiologi hidung Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah : 31) Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal2) Fungsi penghidu, karena terdapanya mukosa olfaktorius (penciuman) dan reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu3) Fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses berbicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang 4) Fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas5) Refleks nasal. Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Iritasi pada mukosa hidung aka menyebabkan refleks bersin dan nafas berhenti.

2.2 RINITIS ATROFI (OZAENA)2.2.1 DefinisiRhinitis ozaena atau rhinitis atrofi adalah suatu penyakit infeksi hidung dengan tanda adanya atrofi progresif tulang dan mukosa konka. Secara klinis mukosa hidung menghasilkan sekret kental dan cepat mengering sehingga terbentuk krusta berbau busuk. 3Lebih sering mengenai wanita pada usia antara 1-35 tahun, terbanyak pada usia pubertas. Sering ditemukan pada masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi rendah dan di lingkungan yang buruk dan di negara sedang berkembang. 3Secara histopatologik tampak mukosa hidung menjadi tipis, silia menghilang. Metaplasia epitel torak bersilia menjadi epitel kubik atau gepeng berlapis, kelenjar-kelenjar bergenerasi dan atrofi serta jumlahnya berkurang dan berbentuk menjadi kecil. 3

2.2.2 EpidemiologiBeberapa kepustakaan menuliskan bahwa rinitis atrofi lebih sering mengenai wanita, terutama pada usia pubertas. Baser dkk mendapatkan 10 wanita dan 5 pria, dan Jiang dkk mendapatkan 15 wanita dan 12 pria. Samiadi mendapatkan 4 penderita wanita dan 3 pria. Menurut Boies frekwensi penderita rhinitis atrofi wanita : laki adalah 3 : 1. Tetapi dari segi umur, beberapa penulis mendapatkan hasil yang berbeda. Baser dkk mendapatkan umur antara 26-50 tahun, Jiang dkk berkisar 13-68 tahun, Samiadi mendapatkan umur antara 15-49 tahun. Penyakit ini sering ditemukan di kalangan masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi rendah dan lingkungan yang buruk dan di negara sedang berkembang. 1, 2, 4 Ozaena lebih umum di negara-negara sekitar Laut Tengah daripada di Amerika Serikat. Menurunnya insidens campak, scarlet fever, dan difteria di Eropa Selatan sejak perang dunia ke II tampaknya timbul bersaman dengan suatu penurunan tajam dalam insidens ozaena. 1Di RS H. Adam Malik dari Januari 1999 sampai Desember 2000 ditemukan 6 penderita rinitis atrofi, 4 wanita dan 2 pria, umur berkisar dari 10-37 tahun.42.2.3 EtiologiPenyebab rinitis atrofi (Ozaena) belum diketahui sampai sekarang. Terdapat berbagai teori mengenai penyebab rinitis atrofik dan penyakit degeneratif sejenis. Beberapa penulis menekankan faktor herediter. Namun ada beberapa keadaan yang dianggap berhubungan dengan terjadinya rinitis atrofi (Ozaena), yaitu : 1,3,5 Infeksi setempat/kronik spesifik. Paling banyak disebabkan oleh Klebsiella Ozaena. Kuman ini menghentikan aktifitas sillia normal pada mukosa hidung manusia. Selain golongan Klebsiella, kuman spesifik penyebab lainnya antara lain Stafilokokus, Streptokokus, Pseudomonas aeuruginosa, Kokobasilus, Bacillus mucosus, Diphteroid bacilli, Cocobacillus foetidus ozaena. Defisiensi vitamin A. Defisiensi Fe. Sinusitis kronis. Kelainan hormon. Ketidakseimbangan hormon estrogen. Penyakit kolagen. Penyakit kolagen yang termasuk penyakit autoimun. Ketidakseimbangan otonom. Terjadi perubahan neurovaskular seperti deteriorisasi pembuluh darah akibat gangguan sistem saraf otonom. Variasi dari Reflex Sympathetic Dystrophy Syndrome (RSDS). Herediter. Supurasi di hidung dan sinus paranasal. Golongan darah. Berhubungan dengan trauma atau terapi radiasi. Trauma dapat terjadi karena kecelakaan ataupun iatrogenik, yaitu efek lanjut pembedahan, sedangkan terapi radiasi pada hidung segera merusak pembuluh darah dan kelenjar penghasil mukus.Selain faktor-faktor di atas, rinitis atrofi juga bisa digolongkan atas : rinitis atrofi primer yang penyebabnya tidak diketahui dan rinitis atrofi sekunder, akibat trauma hidung (operasi besar pada hidung atau radioterapi) dan infeksi hidung kronik yang disebabkan oleh sifilis, lepra, midline granuloma, rinoskleroma dan tbc.1,5 Radiasi pada hidung umumnya segera merusak pembuluh darah dan kelenjar penghasil mukus dan hampir selalu menyebabkan rinitis atrofik. Berbagai infeksi seperti eksantema akut, scarlet fever, difteri dan infeksi kronik telah diimplikasikan sebagai penyebab cedera pembuluh darah submukosa. Penyebab dari lingkungan juga telah diajukan karena angka insiden yang lebih tinggi pada masyarakat sosio ekonomi rendah.1,5

2.2.4 Klasifikasi Klasifikasi berdasarkan penyebabnya rhinitis atrofi dibedakan menjadi : Rhinitis atrofi primer dan sekunder. Rhinitis atrofi primer merupakan bentuk klasik rhinitis atrofi. Terjadi pada hidung tanpa kelainan sebelumnya. Penyebabnya adalah mikroorganisme Klebsiella Ozaena. Sedangkan rhinitis atrofi sekunder merupakan komplikasi dari suatu tindakan atau penyakit. Penyebabnya bisa karena bedah sinus, radiasi, trauma, serta penyebaran infeksi lokal setempat. 1

2.2.5 Patologi dan PatogenesisAnalisis terhadap mukosa hidung menemukan hal yang sama baik pada rinitis atrofi primer maupun sekunder. Mukosa hidung yang normal terdiri atas epitel pseudostratifikatum kolumnar, dan glandula mukosa dan serosa. Pada rinitis atrofi, lapisan epitel mengalami metaplasia squamosa dan kehilangan silia. Hal ini mengakibatkan hilangnya kemampuan pembersihan hidung dan kemampuan membersihkan debris. Glandula mukosa mengalami atrofi yang parah atau menghilang sama sekali sehingga terjadi kekeringan. Selain itu terjadi juga penyakit pada pembuluh darah kecil, andarteritis obliteran (yang dapat menjadi penyebab terjadinya rinitis atrofi atau sebagai akibat dari proses penyakit rinitis atrofi itu sendiri). 6Beberapa penulis menyatakan adanya metaplasi epitel kolumnar bersilia menjadi epitel skuamous atau atrofik, dan fibrosis dari tunika propria. Terdapat pengurangan kelenjar alveolar baik dalam jumlah dan ukuran dan adanya endarteritis dan periarteritis pada arteriole terminal. Oleh karena itu secara patologi, rinitis atrofi bisa dibagi menjadi dua : 1a) Tipe I : adanya endarteritis dan periarteritis pada arteriole terminal akibat infeksi kronik; membaik dengan efek vasodilator dari terapi estrogen. b) Tipe II : terdapat vasodilatasi kapiler, yang bertambah jelek dengan terapi estrogen. Sebagian besar kasus merupakan tipe I. Endarteritis di arteriole akan menyebabkan berkurangnya aliran darah ke mukosa. Juga akan ditemui infiltrasi sel bulat di submukosa. Taylor dan Young mendapatkan sel endotel bereaksi positif dengan fosfatase alkali yang menunjukkan adanya absorbsi tulang yang aktif. Atrofi epitel bersilia dan kelenjar seromusinus menyebabkan pembentukan krusta tebal yang melekat. Atrofi konka menyebabkan saluran nafas jadi lapang. Ini juga dihubungkan dengan teori proses autoimun; Dobbie mendeteksi adanya antibodi yang berlawanan dengan surfaktan protein A. 4 Defisiensi surfaktan merupakan penyebab utama menurunnya resistensi hidung terhadap infeksi. Fungsi surfaktan yang abnormal menyebabkan pengurangan efisiensi mucus clearance dan mempunyai pengaruh kurang baik terhadap frekuensi gerakan silia. Ini akan menyebabkan bertumpuknya lendir dan juga diperberat dengan keringnya mukosa hidung dan hilangnya silia. Mukus akan mengering bersamaan dengan terkelupasnya sel epitel, membentuk krusta yang merupakan medium yang sangat baik untuk pertumbuhan kuman.1 Perubahan histopatologi dalam hidung pada rinitis atrofi (Ozaena), yaitu : 3 Mukosa hidung. Berubah menjadi lebih tipis. Silia hidung. Silia akan menghilang. Epitel hidung. Terjadi perubahan metaplasia dari epitel torak bersilia menjadi epitel kubik atau epitel gepeng berlapis. Kelenjar hidung. Mengalami degenerasi, atrofi (bentuknya mengecil), atau jumlahnya berkurang. 2.2.6 Gejala KlinisKeluhan penderita rinitis atrofi (ozaena) biasanya berupa hidung tersumbat, gangguan penciuman (anosmia), ingus kental berwarna hijau, adanya krusta (kerak) berwarna hijau, sakit kepala, epistaksis dan hidung terasa kering. Keluhan subjektif lain yang sering ditemukan pada pasien biasanya napas berbau (sementara pasien sendiri menderita anosmia) jadi penderita sendiri (-), orang lain (+) penciumannya. Pasien mengeluh kehilangan indra pengecap dan tidak bisa tidur nyenyak ataupun tidak tahan udara dingin. Meskipun jalan napas jelas menjadi semakin lebar, pasien merasakan sumbatan yang makin progresif saat bernapas lewat hidung, terutama karena katup udara yang mengatur perubahan tekanan hidung dan menghantarkan impuls sensorik dari mukosa hidung ke sistem saraf pusat telah bergerak semakin jauh dari gambaran.1,2,6,Pemeriksaan THT pada kasus rinitis atrofi (ozaena) dapat ditemukan rongga hidung dipenuhi krusta hijau, kadang-kadang kuning atau hitam; jika krusta diangkat, terlihat rongga hidung sangat lapang, atrofi konka (konka nasi media dan konka nasi inferior mengalami hipotrofi atau atrofi), sekret purulen dan berwarna hijau, mukosa hidung tipis dan kering.1,3 Bisa juga ditemui ulat/ telur larva (karena bau busuk yang timbul). Sutomo dan Samsudin membagi ozaena secara klinik dalam tiga tingkat : 3a) Tingkat I : Atrofi mukosa hidung, mukosa tampak kemerahan dan berlendir, krusta sedikit. b) Tingkat II : Atrofi mukosa hidung makin jelas, mukosa makin kering, warna makin pudar, krusta banyak, keluhan anosmia belum jelas. c) Tingkat III : Atrofi berat mukosa dan tulang sehingga konka tampak sebagai garis, rongga hidung tampak lebar sekali, dapat ditemukan krusta di nasofaring, terdapat anosmia yang jelas.Perubahan kontinu pada kompleks penyakit degeneratif kronik ini mempunyai awitan yang timbul perlahan berupa atrofi hidung dini. Biasanya pertama mengenai mukosa hidung tampak beberapa daerah metaplasia yang kering dan tipis dimana epitel pernapasan telah kehilangan silia, dan terbentuk krusta kecil serta sekret yang kental. Dapat terjadi ulserasi ringan dan pendarahan.5Atrofi sedang tidak hanya mempengaruhi daerah mukosa hidung yang lebih besar namun terutama melibatkan suplai darah epitel hidung, secara perlahan memperbesar rongga hidung ke segala jurusan dengan semakin tipisnya epitel. Kelenjar mukosa atrofi dan menghilang, sementara fibrosis jaringan subepitel perlahan-lahan menyeluruh. Jaringan disekitar mukosa hidung juga ikut terlibat, termasuk kartilago, otot, dan kerangka tulang hidung. Akhirnya kekeringan, pembentukan krusta dan iritasi mukosa hidung dapat meluas ke epitel nasofaring, hipofaring dan laring. Keadaan ini dapat mempengaruhi patensi tuba Eustachius, berakibat efusi telinga tengah kronik dan dapat menimbulkan perubahan yang tidak diharapkan pada apartus lakrimalis termasuk keratitis sicca. 52.2.7 Diagnosis Untuk mendiagnosis rhinitis atrofi dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. 3,61) Anamnesa :Keluhan yang biasa timbul adalah : Foetor ex nasi atau bau busuk dari dalam hidung. Gejala ini termasuk salah satu penyebab seorang pasien mencari pertolongan pada dokter. Namun pada rhinitis atrofi, foetor ex nasi tidak dirasakan oleh penderita, melainkan dirasakan oleh orang sekitarnya sehingga menimbulkan perasaan tidak nyaman bagi semua orang. Terlebih lagi penyakit ini lebih sering menyerang perempuan sehingga menimbulkan keluhan tersendiri bagi pasien. Adanya krusta (pembentukan sekret kehijauan yang kental dan tebal yang cepat mengering). Hidung tersumbat, Gangguan Penghidu, Sakit kepala dan epistaksis.2) Pemeriksaan Fisik :Pada pemeriksaan rinoskopi anterior hidung didapatkan rongga hidung sangat lapang, konkha inferior dan media menjadi atrofi, ada sekret purulen dan krusta berwarna hijau.3) Pemeriksaan Penunjang :Pemeriksaan penunjang pada kasus rinitis atrofi (ozaena) yang dapat dilakukan antara lain : Foto rontgen hidung dan sinus paranasalis, hal ini dilakukan untuk meniyingkirkan sepsis pada sinus. Pada rontgen dapat menunjukkan membusurnya dinding lateral hidung yang, berkurang atau tidak adanya aliran, atau hipoplastik sinus maksilaris. CT scan sinus paranasalis, dimana pada pemeriksaan ini ditemukan : Penebalan mukoperiostium sinus paranasal, Kehilangan ketajaman dan kompleks sekuder osteomeatal untuk meresorbsi bula etmoid dan proses uncinate, Hipoplasia sinus maxillaries, Pelebaran kavum hidung dengan erosi dan membusurnya dinding lateral hidung, Resorpsi tulang dan atrofi mukosa pada konkha media dan inferior. Pemeriksaan mikroorganisme untuk menentukan kuman penyebab. Pemeriksaan histopatologi yang berasal dari biopsi konka media. Dari pemeriksaan histopatologi terlihat mukosa hidung menjadi tipis, silia hilang, metaplasia torak bersilia menjadi epitel kubik atau gepeng berlapis, kelenjar berdegenerasi atau atrofi, jumlahnya berkurang dan bentuknya mengecil. Uji resistensi kuman. Pemeriksaan darah tepi. Pemeriksaan serologi darah. Protein Serum. Pemeriksaan Fe serum Pemeriksaan darah rutin ANA dan anti-DNA antibodi. (VDRL test dan Wasserman test) untuk menyingkirkan sifilis.

Gambar 5. Gambaran radiologi72.2.8 Diagnosis BandingDiagnosis rinitis atrofi (ozaena) antara lain :1. Rinitis kronik TuberculosisSecara klinis rinitis aropi dan rhinitis kronik Tuberculosis sama, dapat dibedakan dengan pemeriksaan Foto Rontgen Thorak dan terdapat adanya riwayat penyakit TBC atau kontak erat pada pasien Tuberculosis oleh penderita.2. Rhinitis kronik lepraPenderita rinitis kronik lepra mempunyai riwayat atau sedang menderita penyakit Lepra3. Rinitis kronik sifilisRinitis kronik sifilis terjadi pada penderita yang sedang atau sudah pernah menderita penyakit sifilis sebelumnya4. SinusitisPada sinusitis sekret melimpah dapat bilateral atau unilateral, penderita dan orang lain disekitarnya membau. Dapat terjadi baik pada anak-anak maupun orang dewasa. Terkadang ditemukan hiposmia karena adanya obstruksi. Sedangkan pada Rinitis atrofi: sekret bilateral dan berbau dengan krusta berwarna kuning kehijauan, penderita tidak membau, sedangkan orang lain membau. Lebih banyak menyerang wanita daripada pria, terutama sekitar usia pubertas.5. Nasofaringitis kronisPada nasofaringitis kronis sekret post nasal bilateral, penderita membau, sedangkan orang lain tidak membau. Tidak ada perbedaan frekuensi antara pria dan wanita2.2.9 PenatalaksanaanHingga kini pengobatan medis terbaik rinitis atrofik hanya bersifat paliatif. Termasuk dengan irigasi dan membersihkan krusta yang terbentuk, terapi sistemik dan lokal dengan endokrin; steroid; dan antibiotik; vasodilator; pemakaian iritan jaringan lokal ringan seperti alkohol; dan salep pelumas. 1,3 Penekanan terapi utama adalah pembedahan, yaitu usaha-usaha langsung mengecilkan rongga hidung, dan dengan demikian juga memperbaiki suplai darah mukosa hidung. Tujuan pengobatan adalah menghilangkan faktor etiologi/ penyebab dan menghilangkan gejala. Pengobatan dapat diberikan secara konservatif atau kalau tidak menolong dilakukan operasi.1,3Konservatif Pengobatan konservatif ozaena meliputi pemberian antibiotik, obat cuci hidung, dan simptomatik. 1) Antibiotik spektrum luas sesuai uji resistensi kuman, dengan dosis adekuat sampai tanda-tanda infeksi hilang. Penelitian terakhir merujuk pengobatan akan terjadinya infeksi akut dengan menggunakan antibiotik aminoglikosida oral atau streptomisin injeksi. Meskipun penggunaannya seringkali cukup efektif, efek toksisitas dari obat akan muncul setelah kurun waktu 2 tahun pemakaian. Qizilbash dan Darf melaporkan hasil yang baik pada pengobatan dengan Rifampicin oral 600 mg 1 x sehari selama 12 minggu.2) Obat cuci hidung, untuk membersihkan rongga hidung dari krusta dan sekret dan menghilangkan bau. Antara lain : a. Betadin solution dalam 100 ml air hangat atau b. Campuran : NaCl NH4Cl NaHCO3 aaa 9 Aqua ad 300 cc 1 sendok makan dicampur 9 sendok makan air hangat c. Larutan garam dapur d. Campuran : Na bikarbonat 28,4 g Na diborat 28,4 g NaCl 56,7 g dicampur 280 ml air hangat Larutan dihirup ke dalam rongga hidung dan dikeluarkan lagi dengan menghembuskan kuat-kuat, air yang masuk ke nasofaring dikeluarkan melalui mulut, dilakukan dua kali sehari. Pemberian obat simptomatik pada rinitis atrofi (Ozaena) biasanya dengan pemberian preparat Fe.3) Obat tetes hidung , setelah krusta diangkat, diberi antara lain : glukosa 25% dalam gliserin untuk membasahi mukosa, oestradiol dalam minyak Arachis 10.000 U / ml, kemisetin anti ozaena solution dan streptomisin 1 g + NaCl 30 ml. diberikan tiga kali sehari masing-masing tiga tetes. 4) Vitamin A 3 x 10.000 U selama 2 minggu. 5) Preparat Fe. 6) Selain itu bila ada sinusitis, diobati sampai tuntas. Sinha, Sardana dan Rjvanski melaporkan ekstrak plasenta manusia secara sistemik memberikan 80% perbaikan dalam 2 tahun dan injeksi ekstrak plasenta submukosa intranasal memberikan 93,3% perbaikan pada periode waktu yang sama. Ini membantu regenerasi epitel dan jaringan kelenjar. Samiadi dalam laporannya memberikan : trisulfa 3 x 2 tablet sehari selama 2 minggu, natrium bikarbonat, cuci hidung dengan Na Cl fisiologis 3 x sehari, kontrol darah dan urine seminggu sekali untuk melihat efek samping obat, pembersihan hidung di klinik tiap 2 minggu sekali, cuci hidung diteruskan sampai 2-3 bulan kemudian dan didapatkan hasil yang memuaskan pada 6 dari 7 penderita.Operasi Tujuan operasi pada rinitis atrofi (ozaena) antara lain untuk : menyempitkan rongga hidung yang lapang, mengurangi pengeringan dan pembentukan krusta dan mengistirahatkan mukosa sehingga memungkinkan terjadinya regenerasi.1 Teknik bedah dibedakan menjadi dua kategori utama : 51) Implan dengan pendekatan intra atau ekstra nasal dan2) Operasi, seperti penyempitan lobulus hidung atau fraktur tulang hidung ke arah dalam.Beberapa teknik operasi yang dilakukan antara lain : 11) Young's operation Penutupan total rongga hidung dengan flap. Sinha melaporkan hasil yang baik dengan penutupan lubang hidung sebagian atau seluruhnya dengan menjahit salah satu hidung bergantian masing-masing selama periode tiga tahun. 2) Modified Young's operation Penutupan lubang hidung dengan meninggalkan 3 mm yang terbuka. 3) Lautenschlager operation Dengan memobilisasi dinding medial antrum dan bagian dari etmoid, kemudian dipindahkan ke lubang hidung. 4)Implantasi submukosa dengan tulang rawan, tulang, dermofit, bahan sintetis seperti Teflon, campuran Triosite dan Fibrin Glue. 5) Transplantasi duktus parotis ke dalam sinus maksila (Wittmack's operation) dengan tujuan membasahi mukosa hidung. Mewengkang N melaporkan operasi penutupan koana menggunakan flap faring pada penderita ozaena anak berhasil dengan memuaskan.Bila pengobatan konsevatif adekuat yang cukup lama tidak menunjukkan perbaikan, pasien dirujuk untuk dilakukan operasi penutupan lubang hidung. Prinsipnya mengistirahatkan mukosa hidung pada nares anterior atau koana sehingga menjadi normal kembali selama 2 tahun. Atau dapat dilakukan implantasi untuk menyempitkan rongga hidung.62.2.10 KomplikasiKomplikasi rinitis atrofi (ozaena) dapat berupa :1. Perforasi septum2. Faringitis3. Sinusitis4. Miasis hidung5. Hidung pelana2.2.11 PrognosisDengan operasi diharapkan perbaikan mukosa dan keadaan penyakitnya. Pada pasien yang berusia diatas 40 tahun, beberapa kasus menunjukkan keberhasilan dalam pengobatan.

BAB IIIKESIMPULAN

Rinitis atrofi merupakan infeksi hidung kronik, yang ditandai oleh adanya atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka. Secara klinis mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat mengering sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk.Wanita lebih sering terkena terutama usia pubertas. Sering ditemukan pada masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah dan sanitasi lingkungan yang buruk.Diagnosis ditegakkan dari gejala dan tanda klinis yang ditemukan. Pada anamnesis, didapatkan keluhan berupa napas berbau, ada ingus kental yang berwarna hijau, ada krusta hijau, ada gangguan penghidu, sakit kepala, dan hidung terasa tersumbat. Pada pemeriksaan hidung didapatkan rongga hidung sangat lapang, konka inferior dan media menjadi atrofi, ada sekret purulen, dan krusta yang berwarna hijau. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan histopatologik yang berasal dari konka media, pemeriksaan mikrobiologi dan uji resistensi kuman dan tomografi komputer (CT scan) sinus paranasal. Oleh karena etiologinya multifaktorial, maka pengobatannya belum ada yang baku. Pengobatan ditujukan untuk mengatasi etiologi dan menghilangkan gejala. Pengobatan yang diberikan dapat bersifat konservatif, atau kalau tidak dapat menolong dilakukan pengobatan operatif. Pengobatan konservatif dengan pemberian antibiotika berspektrum luas atau sesuai dengan uji resistensi kuman, dengan dosis yang adekuat. Obat cuci hidung juga diberikan untuk menghilangkan bau busuk. Pengobatan operatif dengan operasi penutupan lubang hidung atau penyempitan lubang hidung dengan implantasi atau dengan jabir osteoperiosteal.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ballenger JJ and Snow JB. Atrophic Rinitis Dalam: Ballenger JJ and Snow JB. Ballenger's Otorhinolaryngology Head & Neck Surgery 16th Ed. Hamilton:BC Decker inc; 2003 h: 750-751.2. Lalwani AK. Nonallergic & Allergic RinitisDalam: Lalwani AK.Current Diagnosis and Treatment in Otolaryngology - Head and Neck Surgery. New York: McGrawhill; 2007 Ch:133. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-6. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007.4. Endang, M. & Nusjirwan, R. Rinorea, Infeksi Hidung dan Sinus dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-5. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.20065. Adams, L. G. et al. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Ed. ke-6. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.19976. Vanessa IDA. Rinitis Atrofi. Mataram:Fakultas Kedokteran Universitas Mataram. 2008 h:1-117. Yucel A, Aktepe O, et al. Atrophic Rinitis: a case report. Turk J Med sd. 2003 July 2008;33:405-7

1

22 | Rhinitis Atrofi

16 | Rhinitis Atrofi