rhenald kasali blogspot com 16

Upload: arya-setyaki

Post on 03-Apr-2018

245 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 7/28/2019 Rhenald Kasali Blogspot Com 16

    1/17

  • 7/28/2019 Rhenald Kasali Blogspot Com 16

    2/17

  • 7/28/2019 Rhenald Kasali Blogspot Com 16

    3/17

    Diposkan oleh Rhenald Kasali di 10:58 Tidak ada komentar:

    dan surga adalah dua janji yang selalu digunakan untuk menjerat.

    Mengenal Resiko

    Hidup dan kemajuan memang selalu berjalan beriringan dengan resiko. Sebuah kata bijak saya

    temukan di sebuah situs. Bunyinya begini: "The person risks nothing does nothing,has nothing

    and is nothing, He may avoid suffering and sorrow but he cannot fell, learn, grow and love."

    Kurang lebih artinya beginilah. "Orang-orang yang tidak menjalani hidup beresiko akan tak

    memiliki apa-apa, dan ia nothing(tak ada apa-apanya). Mereka menghindari kepahitan dan rasa

    sakit, tetapi tidak bisa merasa, belajar, tumbuh dan mencintai."

    Mungkin Anda pernah membaca kata bijak lain yang bunyinya lebih spesifik lagi. Kalau

    diterjemahkan kira-kira jadinya begini. "Mereka yang tak pernah melakukan kesalahan apa-apa

    bukan berarti hebat. Jangan-jangan mereka tak pernah melakukan apa-apa." Bukankah untukmenyatakan cinta pada lawan jenis saja Anda mnghadapi resiko ditolak? Bahkan para komedian

    baru yang banyak muncul dalam setahun belakangan ini di forum Stand up Commedypun

    mengakui, mereka menghadapi resiko tidak lucu. Tetapi sebagai manusia kita memiliki sebuah

    kehebatan, yaitu belajar.

    Siapakah yang harus belajar? Rakyat biasa, para profesional yang menggerakkan dunia usaha,

    yang digaji oleh para pelaku money game, atau juga penegak hukum dan pembuat undang-

    undang? Saya kira semua pihak harus mulai mewaspadainya. Orang tua dan guru saja tidak

    cukup belajar. Indonesia adalah bangsa yang populasinya sedang tumbuh secara cepat. Kelas

    menengahnya juga tumbuh dan semakin banyak orang yang baru mulai naik kelas, mulai punya

    tabungan dan membeli kendaraan baru. Selalu akan ada orang-orang baru yang menjadi sasaran

    penipuan. Dan yang paling penting sebenarnya adalah bangsa ini harus bergerak lebih cepat

    untuk menghadang para penipu.

    Undang-undang dan peraturan harus dibuat lebih cepat untuk membatasi ruang gerak toxicentrepreneur, dan penegak hukum harus cepat menangkap dan menghukum mereka.

    Masalahnya, para penipu sadar betul bahwa uang haram yang mereka dapatkan itu juga diminati

    oleh ribuan oknum penegak hukum. Sementara ribuan anak-anak muda tengah diracuni oleh

    buku-buku yang menyajikan kata-kata jalan pintas seperti: cara cepat kaya, punya banyak

    apartemen tanpa modal, kerja cerdas, jangan bekerja untuk cari uang-buatlah uang bekerja sendiri

    untuk Anda, bagaimana membuat usaha baru langsung difranchise-kan, dan seterusnya. Mereka

    belajar bahwa kaya adalah hak mereka, dan jalan pintas boleh dilakukan, sedangkan kerja keras

    sudah tak zamannya lagi. Padahal dengan cara-cara demikian mereka hanya akan bermuara

    dalam usaha money games dan berlabuh di rumah tahanan atau pelarian yang mengasingkan.

    Kalau sudah begini, para penerbit buku pun harus ikut bertanggungjawab.

    Rhenald Kasali

    Founder Rumah Perubahan

    Rekomendasikan ini di Google

    JUMAT, 22 JUNI 2012

    Assertiveness - Jawapos 18 Juni 2012

    Di atas pesawat komersial armada Amerika, seorang pria Asia masuk tergopoh-gopoh membawa

    sebuah tas besar. Di belakangnya, ikut seorang perempuan muda menggendong bayi yang baru

    berusia satu setengah tahun. Tangan kanan pria itu menenteng tas besar sedangkan tangan

    kirinya yang tengah digips menggantung pada kain segitiga, layaknya pasien patah tangan.

    Di pintu masuk, pramugari bule menghardiknya. "Itu tak bisa dibawa masuk, terlalu besar" Ujarnya

    tegas. ""Lalu bagaimana?"tanya pria itu. "I don't know, " Ujarcrewbule tadi. "We will call your

    agent,"tambahnya ketus.

    Pria itu mencoba memasukkan tas itu ke dalam bak kabin di atas kepala penumpang. Seorang

    pria tua berdiri dan menolongnya. Dan seorang pria lainnya ikut membantu. Mereka sudah lebih

    dulu duduk, dan bak kabin sudah cukup penuh. Mereka bertiga menyusun letak tas dan mati-

    matian memasukkan tas besar itu karena ukurannya pas sekali. Setelah berupaya keras, tas itu

    pun berhasil masuk. Dan semua penumpang bersorak gembira, seakan menunjukkan

    ketidaksukaan pada pelayanan airlines yang buruk.

    Pria tadi beserta istri dan anak bayinya lega duduk di kursi, dan crewtadi tak mempedulikannya.

    Pria itu adalah saya, dan perempuan tadi adalah istri saya, yang tahun 1998 kembali ke tanah air

    setelah lebih dari 6 tahun menuntut ilmu di negeri Paman Sam. Bodoh, lugu, ribet, namun tetap

    santun. Itu saya alami dan betapa gregetan menghadapi crewyang kaku dan tak melayani. Kalau

    saya ingat, saya hanya bisa berbatin, "pantas airlinesnya bangkrut."

    Beberapa hari yang lalu saya mendapat kiriman sebuah film pendek dari teman-teman saya dari

    jaringan global Yale School of Management. Di situ tergambar seorang crewyang menegurpenumpang yang masih memakai ponsel di dalam pesawat. Pria itu mohon-mohon waktu

    beberapa detik karena emergency. Tetapi crew tak peduli, ponsel diambil dan dicemplungkan ke

    dalam gelas kopi. Dan ia pun beranjak pergi. Film itu ditutup sebuah pesan: Be assertive, or you

    loose customers!

    Bukan Agresif

    2011 (13)

    converted by Web2PDFConvert.com

    http://www.web2pdfconvert.com/?ref=PDFhttp://www.web2pdfconvert.com/?ref=PDFhttp://rhenald-kasali.blogspot.com/search?updated-min=2011-01-01T00:00:00-08:00&updated-max=2012-01-01T00:00:00-08:00&max-results=13http://void%280%29/http://rhenald-kasali.blogspot.com/2012/06/assertiveness-jawapos-18-juni-2012.htmlhttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=1900678470367809521&postID=4600674431813844185&target=facebookhttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=1900678470367809521&postID=4600674431813844185&target=twitterhttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=1900678470367809521&postID=4600674431813844185&target=bloghttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=1900678470367809521&postID=4600674431813844185&target=emailhttp://rhenald-kasali.blogspot.com/2012/06/seorang-guru-di-langit-biru-jawa-pos-25.html#comment-formhttp://rhenald-kasali.blogspot.com/2012/06/seorang-guru-di-langit-biru-jawa-pos-25.html
  • 7/28/2019 Rhenald Kasali Blogspot Com 16

    4/17

    Diposkan oleh Rhenald Kasali di 03:26 Tidak ada komentar:

    Dalam kamus, kata assertive diartikan tegas dan assertiveness adalah ketegasan. Namun

    sebenanya assertiveness adalah sebuah training tentang keberanian menyatakan apa yang

    dipikirkan atau dirasakan secara jujur dan terbuka tanpa mengganggu hubungan. Assertiveness

    tak dapat disebarkan tanpa latihan, itu sebabnya harus ada dalam kurikulum sekolah dan

    diajarkan kepara calon eksekutif.

    Celakanya, "tegas" di sini sering diartikan sebagai perilaku yang garang. Tengoklah pendapat-

    pendapat tentang kepala negara yang sering kita dengar. "Presiden tidak decisive, tidak tegas."

    Tetapi tengoklah bagaimana mereka menyampaikannya. Semua itu disampaikan dengan tone

    tinggi, sangat garang. Agresif. Persis seperti crewairlines yang memasukkan ponsel ke dalam

    gelas kopi ataucrewyang membentak saya 14 tahun yang silam.

    Di jalan-jalan raya di Jakarta, ribuan caci maki juga semakin sering dilontarkan oleh orang-orangyang tidak sabar. Sepeda motor begitu mudah membunyikan "klakson amarah" hanya karena

    kendaraan lain kurang sigap memacu kecepatan.

    Di lain pihak kita juga banyak menyaksikan orang-orang yang membiarkan haknya dilanggar orang

    lain.

    Beberapa hari lalu misalnya, guru-guru TK dan PAUD Rumah Perubahan menyelenggarakan

    pentas seni kenaikan kelas. Mereka menyewa tenda yang disepakati harganya dua juta rupiah,

    dan warnanya biru. Esoknya tenda dipasang, namun bukan berwarna biru. Apa yang dilakukan

    para guru? Anda benar, mereka memdiamkannya dengan alasan tenda sudah terpasang.

    Hal serupa juga sering kita saksikan di check in counterdi Bandara. Orang-orang yang tak

    berbudaya, merapat ke depan tanpa menghormati antrean, dan petugas membiarkannya, bahkan

    melayaninya. Di satu pihak ada kelompok agresif, di lain pihak ada kelompok yang susah bilang

    "tidak." Jadilah kekacauan.

    Membangun Bangsa, Bangun Budayanya

    Di banyak negara maju, pemerintah tidak hanya mengurus pertahanan-keamanan dan

    kesejahteraan saja, melainkan juga kebudayaan. Kebudayaan bukan sekedar seni pertunjukan

    atau ekonomi kreatif, melainkan bagaimana masyarakat saling mengikat diri,

    membentukspiritkesatuan. Dan tanpa assertiveness ikatanpun pupus.Assertiveness ditanam

    sejak usia dini dan dipelihara dalam kehidupan sehari-hari.

    Hongkong dan Taiwan beberapa tahun ini gencar mengkampanyekan kata "terima kasih" dan cara

    tersenyum. Maklum mereka memang malas tersenyum, padahal ekonominya hidup dariservice.

    Sebaliknya, pada tahun 1989, masyarakat Jepang digemparkan oleh buku "Japan That Can Say

    No" ("No" to leru nihon) yang ditulis pemimpin senior LDP, Shintaro Ishihara bersama almarhum

    pendiri Sony, Akio Morita. Pasalnya, orang-orang Jepang terlalu mendiamkan dan susah bilang"tidak", sehingga mudah didikte barat, dan kalau antreannya diserobot ya mereka diam saja. Pada

    tahun 1996, buku serupa ditulis di China: China Can Say No.

    Orang-orang yang pasif terlalu toleran terhadap maunya orang lain. Tetapi mereka tidak

    menghormati dirinya sendiri. Sebaliknya, orang-orang yang agresif memicu konflik. Kalau

    gilirannya diserobot, mereka rela berkelahi dan mengeluarkan kata-kata yang merendahkan

    martabat orang lain. Ia terlalu respek terhadap dirinya sendiri dan tak merubah prilaku buruk

    masyarakat.

    Di tengah-tengah ada kelompok pasif-agresif yang sarkastis. Tidak terima diserobot, tetapi tidak

    berani menegur atau memperbaiki cara-cara yang tidak tepat. Ngomongnya kasar, sinis, tetapi

    tidak di depan orang yang bersangkutan. Gerundelnya di belakang, beraninya hanya pada lantai,

    atau dinding atau pada teman-teman lewat gosip atau social media dengan nama samaran.

    Di Amerika Serikat, Kanada dan negara-negara Skandinavia, juga diThailand, assertiveness diajarkan di sekolah-sekolah sebagai wadah pembentuk karakter

    dan kepribadian. Dengan bekal assertiveness, bawahan tidak akan membiarkan atasannya

    korupsi. Bahkan di kampus sekalipun, dosen-dosen yang tidak

    memiliki assertiveness membiarkan rektornya korupsi. Paling-paling hanya gerundel di belakang.

    Sedangkan mereka yang berani berbicara terlalu keras. Akibatnya kampus hanya maju dari segi

    gedung-gedung yang tumbuh cepat, padahal di balik itu terjadi pembiaran dan pengrusakan.

    Rhenald Kasali

    Founder Rumah Perubahan

    Rekomendasikan ini di Google

    SELASA, 19 JUNI 2012

    The Power of Unreasonable - Sindo 14 Juni 2012

    Saya sedang menyiapkan bahan-bahan untuk sebuah seminar international di New York saat

    diminta berbicara di depan para petani herbal dalam Bogor Organic Festival hari Minggu lalu. Di

    depan saya berjajar sekitar seratus orang yang disebut Jhon Elkington dan Pamela Hartigan

    converted by Web2PDFConvert.com

    http://www.web2pdfconvert.com/?ref=PDFhttp://www.web2pdfconvert.com/?ref=PDFhttp://rhenald-kasali.blogspot.com/2012/06/power-of-unreasonable-sindo-14-juni.htmlhttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=1900678470367809521&postID=4996847253623383960&target=facebookhttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=1900678470367809521&postID=4996847253623383960&target=twitterhttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=1900678470367809521&postID=4996847253623383960&target=bloghttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=1900678470367809521&postID=4996847253623383960&target=emailhttp://rhenald-kasali.blogspot.com/2012/06/assertiveness-jawapos-18-juni-2012.html#comment-formhttp://rhenald-kasali.blogspot.com/2012/06/assertiveness-jawapos-18-juni-2012.html
  • 7/28/2019 Rhenald Kasali Blogspot Com 16

    5/17

    sebagai unreasonable models. Mereka duduk di bawah sebuah tenda besar di halaman kampus

    pasca sarjana IPB.

    Mereka disebut unreasonablekarena berbagai alasan. Investasi besar-besaran tetapi kok bukan

    untuk memupuk kekayaan? Investasinya kok seperti orang yang keasyikan konsumsi. Tidak mikir

    ROI atau ROA. Pokoknya senang diri, sepuas hati. Tetapi mereka ingin merubah sesuatu,

    memperbaiki atau entahlah kalau menghancurkan sistem yang sudah ada.

    Dalam bahasa di ranah inovasi, mereka disebut sebagai destructive innovator. Lihat saja apa yang

    dilakukan Helianti yang membuat kampung herbal di Yogya dan diam-diam menembus Eropa

    dengan beras warna-warni asli Indonesia. Ia membangun jaringan perlahan-lahan. Ketika sulit

    mengklaim status organik karena memerlukan banyak sertifikasi, ia justru menggunakan kata

    natural. Di kantornya hanya ada 10 orang, tetapi di belakangnya ada ribuan petani yang menanamdengan menghitung biaya bersama-sama. Mereknya, Javara mulai dikenal seperti arang batok

    kelapa Cococha yang ramah lingkungan yang dipasarkan Bambang Warih Kusumo. Kala orang

    Eropa dilanda krisis, mereka memilih masak di rumah ketimbang makan di luar.

    Ratu herbal lainnya siapa lagi kalau bukan Ning Hermanto yang selalu tampil dengan topi mahkota

    berwarna serba ungu. Media massa menjuluki pelopor mahkota Dewa ini sebagai Ratu Herbal. Ia

    mengajarkan para petani meracik daun-daunan mulai dari sirsak sampai sukun. Tetapi ketika ia

    menemukan formula untuk membuat telur asin bebas kolesterol, resepnya justru diobral ke sana

    kemari.

    Hari minggu itu, nenek Ambar yang menjadi pemasok telur asin ke berbagai supermarket yang

    belajar dari Ning harmanto juga hadir. Mereka sedang menapak agar bisa merevolusi. Dari UMKM

    menjadi pengusaha besar. Mimpi mereka, 5 tahun lagi kantor Kementerian Koperasi dan UMKM

    berganti nama menjadi Kementerian Usaha Menengah dan Besar. Bukan untuk gagah-gagahan,

    melainkan agar pengusaha-pengusaha baru jangan berpikir yang kecil-kecil terus.

    Social Enterprise

    Orang-orang yang unreasonable itu kini ada dimana-mana. Di Semarang ada, juga di Bali, Aceh,

    Papua, dan sebagainya. They seek profit in unprofitable pursuits, ujar Erlington dan Hartigan.

    Tetapi cara kerjanya 100% berbeda dengan cara yang ditempuh wirausaha konvensional.

    Kalau orang lain selalu melirik usaha-usaha yang sudah jelas dan jelas-jelas untung, mereka justru

    menciptakan keuntungan dari hal-hal yang dianggap tidak menguntungkan. Seorang anggota

    asosiasi yang saya pimpin (AKSI) menyebut usahanya di atas sebuah kali di Semarang sebagai

    MLM alias Multi Level Manusia.

    Caranya agak mirip dengan yang ditempuh oleh Orlando Rincon Banilla, pemuda yang dibesarkan

    di sebuah perkampungan drug dealer di Columbia. Di perkampungan kumuh itu ia memimpin

    gerakan kaum kiri yang berupaya mengembalikan sistem sosial dan keadilan. Karena

    leadershipnya menonjol, ia pun ditawari beasiswa untuk kuliah di Universitas Medellin. Di sana iamengambil double major: Antropologi dan sistem engineering. Disitulah ia mulai tertarik menjadi

    wirausaha dan membangun perusahaan yang diberi nama Open System.

    Tak pernah ia bayangkan perusahaan pembuat software ini maju pesat. Tv, internet, ponsel, PLN,

    dan perusahaan-perusahaan besar lain menjadi pelanggannya. Pada tahun 2004, kekayaan

    bersihnya mencapai $14 juta. Tetapi ia tidak puas. Ia berkelana ke India, melihat apa yang terjadi

    di Bangalore, lalu menelusuri surga IT di Irlandia. Tuhan membukakan matanya bahwa sistem

    business yang ia lihat sehari-hari adalah sistem ketidak adilan yang membuat orang muda

    terperangkap menjadi buruh atau pegawai.

    Open systempun ia tinggalkan.

    Mereka ini memang Unreasonable. Yang membuatnya untung saja tidak membuatnya tertarik.

    Orang seperti Orlando justru membangun Parquesoft. Ini agak mirip dengan Putra Sampoerna

    yang meninggalkan bisnis rokok yang menguntungkan dan yayasannya masuk ke sektorpendidikan yang unprofitabledanaktif mengembangkan angel investor. Parquesoft, yang didirikan

    Orlando adalah non profit innovation park yang mengumpulkan ribuan anak-anak kampung putus

    sekolah, menjadikan mereka pengusaha IT seperti dirinya.

    Anda ingin tahun bagaimana hasilnya? Lima tahun yang lalu saja, software buatan anak-anak

    kampung itu telah menembus 40 negara dan menjadikan mereka sebagai wirausaha yang terus

    naik kelas. Bisnis Orlando adalah bisnis Multi Level Manusia, dan orang-orang seperti mereka

    disebut adalah Social enterpreneurs yang kini menjadi tren dan mereka mendirikan social

    enterprise.

    Bagi saya social enterprise adalah ya enterprise. Namun berbeda dengan business enterprise

    tradisional. Social enterprise mempunyai social missionyang jelas. Profitnya juga tidak dipakai

    untuk memperbesar tabungan pendirinya di bank, melainkan diputar untuk kesejahteraan dan

    memberantas ketimpangan sosial. Seperti air sungai yang keruh sekalipun, sepanjang mengalir ia

    tak pernah menjadi busuk layaknya air kubangan. Demikianlah filosofi social entrepreneurs.Biarkan tak besar, asalkan mengalir dan berputar.

    Dan berbeda dengan pejuang-pejuang sosial yang berjuang melalui demo dan advokasi-advokasi

    politik beraliran dialektis-konfliktis, mereka menggunakan market tradingproduct yang

    diwirausahakan seperti layaknya pengusaha sejati. Tengok saja bagaimana almarhum Paul

    Newman yang aktif membiayai anak-anak penderita kanker. Di hari tuanya itu Paul Newman

    berwirausaha di sektor makanan dalam kemasan berskala besar.

    converted by Web2PDFConvert.com

    http://www.web2pdfconvert.com/?ref=PDFhttp://www.web2pdfconvert.com/?ref=PDF
  • 7/28/2019 Rhenald Kasali Blogspot Com 16

    6/17

    Diposkan oleh Rhenald Kasali di 00:19 Tidak ada komentar:

    Jadi, social enterprise ya samalah dengan bisnis yang Anda kenal. Ia adalah enterprise dengan

    social mission. Inilah topik yang akan saya bahas tanggal 19 Juni siang nanti di menara UOB.

    Orang-orang yang unreasonable ini adalah gabungan dari inovasinya Bill Gates dengan mangkuk

    sucinya Bunda Teresa. Bagi saya, inilah jalan menuju perubahan sosial yang sudah lama

    dirindukan para negarawan besar

    Rhenald Kasali

    Founder Rumah Perubahan

    +1 Rekomendasikan ini di Google

    Korupsi Orang Kampus - Jawapos 11 Juni 2012

    Beberapa tahun yang lalu saya pernah menulis tentang pengalaman saya sebagai guru. Di situ

    saya teringat dengan cerpen Oemar Bakri yang ditulis Fajar Gitarena, seorang guru SD di

    Jogjakarta. Ia bercerita tentang seorang guru yang sudah 30 tahun mengabdi dan akan segera

    pensiun. Namun kendaraannya tetap sama: sepeda motor tua yang mogok dan bannya sudah

    menipis.

    Saat motornya akan dijalankan untuk menghadapi pelepasan pensiun, Oemar Bakri menghadapi

    masalah. Bannya bocor, padahal lubang tambalannya sudah banyak. Di tanggal tua itu ia tak

    punya uang. Maka ia pergi ke bank. Naik bis tak perlu bayar, karena sopir dan keneknya dulu

    murid-muridnya. Di bank ia juga ditolong saat antre, karena pimpinan cabangnya mengenalinya

    sebagai gurunya. Namun saat pulang, uangnya dirampas copet. Ia lapor polisi dan polisi yang

    menangkap copet beserta copetnya ternyata murid-muridnya juga.

    Itulah realita yang dihadapi seorang guru. Murid-muridnya ada dimana-mana. Ada yang sukses

    menjadi pengusaha dan manager, namun tak sedikit yang harus menguras keringat hidup di jalan.

    Ada yang jadi penegak hukum namun juga ada yang ditangkap aparat karena melanggar hukum.

    Kampus dan sekolah mendidik yang baik-baik, namun hasilnya siapa yang tahu? Anak-anak kita

    tidak hanya belajar dari kita, melainkan juga pada orang-orang dimana mereka berada.

    Demikianlah yang saya alami, punya murid di KPK, Kepolisian, dan Mahkamah Agung yang

    sangat reformis, namun kemungkinan juga ada yang menjadi tahanan mereka.

    Alam semesta tidak berjalan sendiri-sendiri. Kita semua saling berinteraksi, dan apa yang kita

    lakukan akan menimbulkan akibat-akibat. Seorang yang berbuat harus rela bertanggung jawab.

    Menerima hukum sebab-akibat berarti menerima karma. Tak bisa menghindar, kendati bisa

    memutar-mutar menyulitkan pemeriksa, menyeret orang lain yang tak bersalah. Tetapi seperti

    obat nyamuk yang tidak basah, ujung kepalanya bisa terbakar juga.

    Misalokasi

    Korupsi di kampus belakangan juga ramai diberitakan. Dan sebagai pendidik saya tentu ikut

    merasa malu dan terpanggil untuk menegakkan dan mengembalikannya. Tetapi sistem politik

    seperti ini tampaknya sungguh merepotkan. Orang-orang kampus yang mau jadi pimpinan harus

    ikut melobi mentri, karena mentri punya suara yang besar. Melobi mentri berarti menemui tokoh-

    tokoh politik.

    Demikian pula anggarannya. Sejak dunia pendidikan mendapatkan alokasi anggaran yang besar,

    ada tendensi untuk mengalihkan spirit of entrepreneurship yang 10 tahun lalu didengung-

    dengungkan menjadi spirit of bureaucracy. Dulu, anda tentu masih ingat, di baliho-baliho besar di

    depan kampus-kampus PTN terpampang tulisan pengumuman pemilihan calon Rektor yang isinya

    mencari orang-orang yang memiliki jiwa kewirausahaan untuk memimpin kampus.

    Artinya Rektor harus pandai mencari uang dari fundraising, menjual patent dan seterusnya. Lihatsaja bagaimana Business School di NUS (Singapore) memiliki gedung yang megah bernama

    gedung Mochtar Riyadi, atau Warthon School yang memiliki professor dengan sponsor Sukanto

    Tanoto. Mereka mencari dana agar bisa menghasilkan pendidikan kelas dunia yang berbobot.

    Tetapi tengoklah apa yang terjadi saat ini? Rektor-rektor tertentu mencoba menjual independensi

    mimbar ilmiahnya agar menjadi satker (satuan kerja) Depdiknas. Alih-alih

    memperbesarresources secara entrepreneurial, mereka justru beralih ke negara dan melobi ke

    pejabat dan parlemen untuk mendapatkan anggaran negara. Selebihnya, anda tentu tahu sendiri

    apa akibatnya.

    Melobi uang negara dewasa ini berarti melobi pengambil keputusan anggaran aparatur negara,

    berarti mereka harus mendekat pada pelaku-pelaku politik, partai politik dan aroma uang pun

    tercium. Yang pasti mereka akan bertambah kuat secara politis karena uang sudah berbicara.

    Teori prilaku mengatakan, penjahat keuangan enggan berhubungan dengan banyak orang. Mereka

    hanya ingin memelihara orang yang sama.

    Apa akibatnya sistem yang demikian bagi sistem pendidikan di Indonesia ? Kampus-kampus akan

    tak bebas lagi berpikir, para pemimpin tak bebas dari kesucian ilmiah, pengelolaan keuangan

    semakin tersentralisasi, pemimpin tertinggi dapat menjadi sangat otoriter, bahkan akan terjadi

    pemborosan dan kebocoran keuangan secara besar-besaran. Kalau ini dibiarkan governance

    structure akan hanya menjadi bagian dari pencitraan.

    converted by Web2PDFConvert.com

    http://www.web2pdfconvert.com/?ref=PDFhttp://www.web2pdfconvert.com/?ref=PDFhttp://rhenald-kasali.blogspot.com/2012/06/korupsi-orang-kampus-jawapos-11-juni.htmlhttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=1900678470367809521&postID=6607743997226812010&target=facebookhttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=1900678470367809521&postID=6607743997226812010&target=twitterhttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=1900678470367809521&postID=6607743997226812010&target=bloghttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=1900678470367809521&postID=6607743997226812010&target=emailhttp://rhenald-kasali.blogspot.com/2012/06/power-of-unreasonable-sindo-14-juni.html#comment-formhttp://rhenald-kasali.blogspot.com/2012/06/power-of-unreasonable-sindo-14-juni.html
  • 7/28/2019 Rhenald Kasali Blogspot Com 16

    7/17

    Diposkan oleh Rhenald Kasali di 00:17 Tidak ada komentar:

    Pendidikan Indonesia akan semakin jauh dari pemupukan modal insani. Terjadi misalokasi besar-

    besaran dari uang untuk mendidik - menjadi uang untuk pembangunan fisik. Beasiswa sulit

    dikorupsi, tetapi bisa diperlambat pembayarannya. Tetapi gedung-gedung fisik dan peralatan,

    mudah diambil komisinya, diberi mark up dan seterusnya. Maka tak mengherankan bila para

    koruptor lebih tertarik membangun gedung-gedung super besar ketimbang memperbaiki mutu

    tenaga didik.

    Alokasi anggaran pun akan begitu sulit mengalir ke bawah untuk membiayai operasional

    pendidikan pada tingkat fakultas atau program studi. Jangan berharap gedung-gedung bersih

    fakultas yang dulu Anda saksikan bisa Anda nikmati di hari esok. Pengalaman saya, saat ini saja

    untuk mendapatkan tissue toilet saja susah setengah mati.

    Di negara-negara yang kaya saja, pemerintah tak mau membiarkan kampus-kampusnya steril darimasyarakatnya. Apalagi di negara yang gedung-gedung SD nya masih banyak yang harus

    dibangun. Kampus harusnya dipimpin orang-orang berdedikasi tinggi, dengan integritas yang tak

    bisa dibeli oleh kekuasaan.

    Kalau sudah demikian, orang-orang kepercayaan politisi akan menguasai kampus, dan orang-

    orang lugu yang dipercaya menjadi wali amanah akan repot menghadapi jago-jago silat yang

    pandai menekuk lutut mereka. Menghadapi orang-orang yang street smart itu diperlukan sebuah

    wawasan dan juri yang tak bisa dibeli pula.

    Tak bisa dibeli, bukan hanya oleh uang, tetapi juga oleh mulut manis, cara-cara halus, kiriman

    bunga, perhatian atau kehadiran dalam acara-acara tertentu. Tengoklah ke bawah, dan bicaralah

    dengan unit-unit terkecil, maka kebenaran akan ditemukan disana.

    Rhenald Kasali

    Founder Rumah Perubahan

    Rekomendasikan ini di Google

    SABTU, 09 JUNI 2012

    Nongkrong - Sindo 7 Juni 2012

    Istilah nongkrong muncul di halaman depan harian terkemuka dunia. The New York Times 28

    Mei 2012. Nongkrong marak di hampir semua kota besar maupun kecil di Indonesia, mulai dari

    Banca Aceh (kedai kopi), sampai ke Timika di Papua. Anak-anak muda dan orang tua gemar

    nongkrong, atau kata anak muda, hang out! Segelas besar minuman dingin untuk berlima,

    camilan tinggal diambil, fresh dan hangat, dan tentu saja free wifi.

    Bagi The New York Times, nongkrong adalah sebuah marketing insightyang hanya dilihat oleh

    segelintir pengusaha. Nongkrong itu artinya duduk-duduk, kongkow-kongkow, ngelirik kiri kanan,

    dan umumnya dipakai untuk mengosongkan diri.

    Saya kira The New York Times ada benarnya. Kebiasaan mengosongkan diri kalau sedikit

    dipoles bisa berubah menjadi sarana belajar yang efektif. Lihat saja anak-anak muda di Boston, di

    seberang kampus Harvard. Di sudut-sudut jalan Harvard Square Anda menemukan kafe-kafe donat

    atau kedai-kedai kopi yang buka 24 jam. Di dalamnya hanya ada anak-anak muda yang asyik

    berselancar di internet ditemani secangkir kopi dan sepotong donat coklat.

    Di meja-meja lainnya Anda temui mahasiswa kedokteran yang sedang mojok membaca buku.

    Dan di kiri kanannya mahasiswa MBA tengah membahas business case. Mereka lupa jam,

    sampai beberapa orang terpekur oleh alunan alunan musicterus berbunyi. Tetapi budaya mereka

    bukanlah budaya nongkrong di warung, setelah masa kuliah selesai mereka kembali menjadi

    manusia individual yang asyik dengan urusannya sendiri-sendiri. Budaya komunal yang biasa

    kongkow-kongkow hanya ada di beberapa wilayah di dunia, seperti masyarakat mediterania dan

    Indonesia.

    Seven Eleven

    Adalah Henri Honoris, generasi ke 3 dan penerus dari pemegang hak distribusi Fuji Film di

    Indonesia yang melihat marketing insight itu. Di usianya yang masih muda Henri dipanggil

    pulang ayahnya untuk menyelamatkan usaha keluarga yang mulai dying. Siapa lagi yang masih

    mau membeli film-film rol? Semua sudah serba digital, dan generation Csudah hadir.

    Bisnis fotografi Fuji Film di Indonesia drop dari sekitar 2 triliyun rupiah (2002) menjadi Rp.212 miliar

    pada tahun 2010. Itupun lebih banyak cetakan-cetakan saja, baik foto studio maupun perkawinan.

    Outlet-outlet Fuji banyak ditutup dan sebagian besar asetnya menganggur.

    Prinsip yang dibangun Henri sederhana saja. Perusahaan keluarga tak bisa diteruskan dengan

    cara yang sama. Pilihannya adalah cara yang ditempuh oleh Putra Sampoerna (jual!) atauperbaiki. Kalau tidak, ya mati! Cuma itu. Henri memutuskan untuk memperbaikinya: Change!

    Pada tahun 2006 ia menyurati Seven Eleven yang berkedudukan di Dallas-Texas. Tetapi seperti

    kenyataan yang diterima hampir semua pengusaha kita saat itu, 7-Eleven menolaknya mentah-

    mentah. Kami belum tertarik. Perhatian kami masih ditujukan ke Brazil, India dan Vietnam, ujar

    mereka.

    converted by Web2PDFConvert.com

    http://www.web2pdfconvert.com/?ref=PDFhttp://www.web2pdfconvert.com/?ref=PDFhttp://rhenald-kasali.blogspot.com/2012/06/nongkrong-sindo-7-juni-2012.htmlhttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=1900678470367809521&postID=6448963717790070329&target=facebookhttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=1900678470367809521&postID=6448963717790070329&target=twitterhttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=1900678470367809521&postID=6448963717790070329&target=bloghttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=1900678470367809521&postID=6448963717790070329&target=emailhttp://rhenald-kasali.blogspot.com/2012/06/korupsi-orang-kampus-jawapos-11-juni.html#comment-formhttp://rhenald-kasali.blogspot.com/2012/06/korupsi-orang-kampus-jawapos-11-juni.html
  • 7/28/2019 Rhenald Kasali Blogspot Com 16

    8/17

  • 7/28/2019 Rhenald Kasali Blogspot Com 16

    9/17

  • 7/28/2019 Rhenald Kasali Blogspot Com 16

    10/17

    Diposkan oleh Rhenald Kasali di 03:55 Tidak ada komentar:

    Mana Janji Suci-nya? Saya kira Andapun tak perlu muluk-muluk membuatmission statementdi

    depan, padahal bisnis Anda belum tentu bergerak. Buat saja janji suci dan ucapkanlah berulang-

    ulang agar ia memiliki kekuatan gaib. Pengalaman saya dalam membangun usaha, justru yang

    belum apa-apa sudah di visi-misi kanlah yang gugur di depan. Visi-misi baru Anda perlukan pada

    tahapan formalisasi, tahap lepas landas setelah keruwetan start-up Anda lewati. Mari kita buat

    mantra yang gaib itu.

    Rhenald Kasali

    Founder Rumah Perubahan

    Rekomendasikan ini di Google

    Keluar Dari Kecakapan Ujian

    Setiap kali memasuki masa Ujian Nasional (UN), bangsa ini heboh. Sebelum ujian heboh, setelah

    ujian juga gaduh. Dengan dalih memberi motivasi, guru-guru malah membuat anak-anak stres dan

    bersedih menjelang UN. Orang tua dipanggil, anak menangis karena suasana yang dibangun para

    guru adalah para murid itu banyak dosa dan telah melakukan kesalahan pada orangtua. Alhasil

    bukannya plong, malah banyak murid yang mengalami histeria yang disebut kesurupan atau

    kerasukan setan.

    Mengapa ujian nasional menjadi segala-galanya dalam hidup ini? Apakah tidak ada cara lain untuk

    membuka pintu masa depan anak selain ujian?

    Saya ingin mengajak bangsa ini keluar dari metode pendidikan cara pabrikan yang menghasilkanproduk-produk yang standar, yang seakan-akan anak adalah output hasil produksi. Kita seperti

    sedang melewati sebuah area "ban berjalan" dengan seorang manajer Jepang, yang mengawasi

    ada-tidaknya produk yang cacat (defect), di luar standar.

    Mereka yang berada di luar standar itu dalam pendidikan kita sebut berbakat khusus (special

    talent), namun di pabrik kita sebut produk gagal. Jelajahilah mesin pencari Google dan ketiklah

    kata special talent, maka Anda akan menemukan anak-anak seperti inilah yang ditawari

    beasiswa. Namun apa yang kita lakukan dengan anak-anak itu di sini?

    Kecakapan Bakat

    David McClelland pernah menyatakan bahwa suatu bangsa harus dibangun dengan sistem

    kecakapan, bukan kekerabatan, apalagi didasarkan warna kulit atau sentimen-sentimen kesamaan

    lahiriah. Sistem kecakapan itu mulai diperbincangkan oleh Confucius, diterapkan oleh Dinasti Han

    di China pada abad ke 2 SM, dan dibawa ke dunia barat, lalu disebarkan ke seluruh dunia.

    Pada awal peradaban modern, manusia yang dulu percaya pada kecakapan otot beralih ke

    kecakapan intelegensia (IQ). Di era world 1.0, saat lapangan pekerjaan terbesar hanya bisa

    diberikan oleh negara, sistem kecakapan dipersandingkan antara IQ dengan ujian pengetahuan.

    Demikianlah generasi tua Indonesia mengikuti ujian seleksi masuk Universitas Negeri atau seleksi

    menjadi PNS melalui pemeriksaan kecapan tertulis. Yang diuji adalah rumus-rumus, mulai dari

    bahasa, IPA, matematika, hingga Pancasila. Rumus-rumus itu dihafalkan dituangkan pada kertas.

    Sedangkan sekolah swasta dan dunia usaha memilih kecakapan intelegensia.

    Ujian tertulis dengan ujian pengetahuan menjadi penting karena jumlah pesertanya massal dan

    negara harus bertindak secara adil. Negara adalah segala-galanya.

    Tetapi itukan dulu. Sekarang ini pilihan masyarakat sudah begitu luas. Pekerjaan bukan hanya ada

    di pemerintahan, dan sekolah tinggi yang bagus bukan hanya Universitas Negeri. Masyarakatnya

    boleh memilih, mau hidup di world 0.0, atau menjadi pengusaha global, konsultan, seniman atau

    professional di world 2.0 (globalisasi dini) atau world 3.0 (lihat kolom saya: Empat Dunia Yang

    Membingungkan).

    Artinya masyarakat bangsa ini tak menggantungkan lagi kehidupannya untuk menjadi PNS. PNS

    bukanlah segala-galanya. Dunia ini sendiri begitu terbuka, penuh kesesakan dan pilihan, bahkan

    persaingan dan saling melengkapi. Dunia yang sesungguhnya itu bukan membutuhkan

    kecakapan ujian, melainkan kecakapan-kecakapan impak, yaitu apa yang sebenarnya dapat

    dilakukan seseorang dari pendidikan yang ditempuhnya. Kalau seseorang belajar tentang

    pertanian, maka ia bisa buat apa dengan ilmunya itu? Kalau ia belajar membuat robot, apa impak

    yang bisa diperbuat? Kalau sekolah kedokteran, bisakah berkiprah di sektor kesehatan? Demikian

    seterusnya.

    Kecakapan seperti ini disebut kecakapan bakat (talent merit) dan pernah merisaukan Mendiknas

    Singapura 20 tahun lalu saat negara merasa segala-galanya. Sekarang ini Singapura telah beralih

    ke sistem kecakapan bakat yang memungkinkan anak-anak menemukan pintu masa depannya

    dengan lebih damai dan lebih membahagiakan.

    Untuk memberikan ilustrasi, saya ceritakan kembali pengalaman saya saat mengajar mata kuliahInternational Marketing. Mata kuliah ini diberikan kepada mahasiswa senior di Program S1 dan

    sebagai prasyaratnya mereka harus sudah lulus Dasar-Dasar Marketing. Suatu ketika saya iseng

    menanyakan berapa mahasiswa yang mendapat nilai A di kelas marketing yang diambil satu dua

    semester sebelumnya, dan saya minta mereka maju kedepan. Dan sungguh saya tak percaya

    bagaimana anak-anak yang kurang bergaul, kurang pandai mengekspresikan pikiran, bahkan

    dikenal sebagai anak yang berbicara sinis, dan berpenampilan tidak marketable dari kacamata

    rekan-rekannya, bisa diberi nilai A.

    converted by Web2PDFConvert.com

    http://www.web2pdfconvert.com/?ref=PDFhttp://www.web2pdfconvert.com/?ref=PDFhttp://rhenald-kasali.blogspot.com/2012/06/keluar-dari-kecakapan-ujian.htmlhttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=1900678470367809521&postID=7613960627343958804&target=facebookhttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=1900678470367809521&postID=7613960627343958804&target=twitterhttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=1900678470367809521&postID=7613960627343958804&target=bloghttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=1900678470367809521&postID=7613960627343958804&target=emailhttp://rhenald-kasali.blogspot.com/2012/06/mantra.html#comment-formhttp://rhenald-kasali.blogspot.com/2012/06/mantra.html
  • 7/28/2019 Rhenald Kasali Blogspot Com 16

    11/17

    Diposkan oleh Rhenald Kasali di 03:55 Tidak ada komentar:

    Begitulah the power of exam merit. Mereka mendapatkan nilai A dalam transkrip nilai karena

    bertemu dengan pengajar-pengajar yang hanya berorientasi pada hasil ujian, bukan pendidik yang

    mengubah cara mereka berpikir. Di atas kertas pada saat ujian mereka benar-benar cerdas,

    hafalannya bagus, analisisnya ok, tetapi mengapa untuk hal sederhana saja tak mampu

    mengaplikasikan pengetahuannya? Saya jadi teringat kisah seorang teman yang belajar bahasa

    Inggris di Amerika Serikat supaya bisa kuliah S2 di Amerika. Belajar bahasa Inggris di

    masyarakat yang berbahasa Inggris kok di kamar memakai headset?

    Kalau demikian cara kita mendidik anak-anak ini, maka bisa saya bayangkan mengapa pengusaha

    mengeluh lulusan-lulusan kita tidak siap pakai, dan mengapa terdapat gap besar antara pilihan

    sekolah dengan pilihan profesi. Anak-anak mengeluh sekolahnya susah karena mereka tidak bisa

    mengekspresikan bakat yang mereka cintai. Guru mengeluh murid-murid tak mempersiapkanbelajar di rumah dengan baik. Orang tua mengeluh anak-anaknya menjadi pemberang. Dan tentu

    saja di masa depan, dari sistem pendidikan seperti ini hanya akan dilahirkan sarjana-sarjana

    kertas, atau ilmuwan-ilmuwanpaper, yang hanya asyik membuat makalah, bukan impact!

    Rhenald Kasali

    Founder Rumah Perubahan

    Rekomendasikan ini di Google

    Sistem Politik dan Prestasi Ekonomi

    Dalam buku Why Nations Failed, Daron Acemoglu dan James Robinson membandingkan duapengusaha yang dibesarkan dalam sistem politik yang berbeda. Bill Gates mewakili pengusaha

    yang dibesarkan dalam sistem politik Amerika Serikat dan Carlos Slim dari Meksiko.

    Apa yang membedakan keduanya patut kita renungkan di sini sehingga bisa dijadikan pegangan

    dalam mengembangkan kewirausahaan di tanah air. Apakah Indonesia akan puas dengan

    bangunan-bangunan usaha UMKM yang kecil-kecil dan informal dengan tax ratio yang rendah?

    Atau menjadikan mereka sebagai industrialis yang inovatif.

    Gates dan Slim

    Semua sudah tahu, Bill Gates tumbuh dalam sistem pemerintahan yang sangat mendorong

    terjadinya inovasi dan kompetisi. Bagi yang pro subsidi dan birokasi, itu namanya sistem yang

    "liberal". Namun, dalam pemerintahan yang relatif bersih, sistem itu mendorong tumbuhnya sektor-

    sektor usaha formal, karena perizinan begitu mudah dan transparan. Politisi tidak mengintervensi

    dunia usaha, semua terlihat transparan.

    Bunga bank di Amerika Serikat berkisar antara 2 3 persen sehingga memudahkan pengusahamenjadi start up. Infrastruktur begitu bagus sehingga pengusaha beroperasi dalam ekonomi biaya

    rendah dan SDM hebat mudah didapat asalkan gajinya cocok. Kalau bank tak mau membiayai

    sebuah investasi inovatif yang pasarnya belum jelas, ada venture capitalatau angel investor.

    Kalaupun Anda tidak mau menjalankan bisnis sendiri, Anda bisa menjual paten hasil temuan Anda.

    Karya cipta Anda dilindungi oleh undang-undang, hakimnya tak bisa disuap, pencuri atau

    pendomplengnya dihukum berat.

    Demikianlah Gates tumbuh menjadi besar walaupun memulainya dari sebuah garasi kecil.

    Didukung venture capital, lalu go public. Hal serupa juga kita saksikan pada Mark Zuckerberg

    (Facebook), Larry Page (Google) atau alm. Steve Jobs. Polanya serupa. Namun kalau mereka

    membandel, ya tetap saja dikenakan sangsi. Tak peduli apakah mereka orang terkenal, orang

    kaya, pengurus partai atau selebriti. Mereka tak perlu menaruh mantan jenderal, mantan birokrat

    senior atau pimpinan partai sebagai komisaris. Mereka adalah mereka, semua dilindungi undang-

    undang dan bila bersalah, ya dihukum.

    Itulah yang dihadapi oleh Gates yang diseret pengadilan pada tanggal 8 Mei 1998 dengan tuduhan

    menjalankan praktek monopoli saat ini membundlingInternet Explorer dengan Windows Operating

    System. Praktek ini diamati oleh Kejaksaan Agung Amerika Serikat dan FTC sejak 1991.

    Microsoft dinyatakan bersalah dan didenda besar.

    Hal serupa juga pernah dialami oleh orang-orang terkenal seperti Martha Stewart yang bahkan

    sempat dipenjara karena ketahuan melakukan insider tradingdengan menjual sahamnya secara

    besar-besaran sebelum harganya jatuh. Karier Stewart pun tamat.

    Bagaimana dengan Carlos Slim yang tahun lalu dinobatkan majalah Forbes sebagai orang terkaya

    di dunia dengan menyalib Bill Gates? Slim dibesarkan dalam sistem politik yang korup yang

    tidak memungkinkan dirinya menjadi usahawan besar selain berkongsi dengan penguasa. Negara

    seperti ini biasanya juga tidak menaruh perhatian pada hak-hak cipta. Usaha-usaha yang tumbuh

    di dalam sistem seperti ini biasanya hanya usaha-usaha kecil.

    Imigran yang ayahnya berasal dari Lebanon ini semula hanya menerima warisan sebuaha toko,

    yang lalu merambah ke usaha properti. Tetapi yang membuatnya kaya bukanlah usaha yang

    berbasiskan inovasi, melainkan Telmex. Telmex adalah perusahaan telekomunikasi yang mulanya

    milik negara dan pasarnya monopoli.

    Saat Carlos Salinas menjadi presiden, pemerintah mengumumkan untuk melepas 51% sahamnya

    kepada publik(1989). Meski Carlos Slim bukanlah penawar tertinggi, ia dinyatakan sebagai

    converted by Web2PDFConvert.com

    http://www.web2pdfconvert.com/?ref=PDFhttp://www.web2pdfconvert.com/?ref=PDFhttp://rhenald-kasali.blogspot.com/2012/06/sistem-politik-dan-prestasi-ekonomi.htmlhttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=1900678470367809521&postID=8015842968469113419&target=facebookhttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=1900678470367809521&postID=8015842968469113419&target=twitterhttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=1900678470367809521&postID=8015842968469113419&target=bloghttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=1900678470367809521&postID=8015842968469113419&target=emailhttp://rhenald-kasali.blogspot.com/2012/06/keluar-dari-kecakapan-ujian.html#comment-formhttp://rhenald-kasali.blogspot.com/2012/06/keluar-dari-kecakapan-ujian.html
  • 7/28/2019 Rhenald Kasali Blogspot Com 16

    12/17

    Diposkan oleh Rhenald Kasali di 03:54 Tidak ada komentar:

    pemenang. Tetapi bisakah ia membayar tunai semuadealyang sangat besar itu? Tentu tidak.

    Saya rasa Anda masih ingat kisah para pengusaha nakal kita yang melakukan praktek yang

    sama. Mereka menggoreng-goreng saham itu sampai harganya tinggi, lalu membayarnya dari

    kenaikan harga saham atau dari devidennya. Karena dekat dengan politisi, mereka bisa menekan

    penguasa supaya harga belinya murah. Tetapi kalau tak kebagian, mereka bikin ribut dan

    mempersoalkan kenapa harganya murah lewat parlemen.

    Di sini ada juga yang lebih pandai dari Carlos Slim. Mereka mengakali bupati atau gubernur yang

    ngiler mendapat dana kampanye. Gubernur atau bupati disuruh menguasai saham perusahaan

    asing yang menambang di daerahnya sebagai bagian dari pengalihan saham sesuai undang-

    undang. lalu operatornya diserahkan pada mereka. Atau mereka yang meminjamkan uang agar

    pemda menguasai sahamnya, lalu dijanjikan pendapatan tetap. Setelah dikuasai, pemda digusur,

    dan pembayaran dicicil. Lalu alamnya dikuras habis-habisan. Harga saham naik, alam rusak,namun rakyat tetap miskin.

    Mari kita kembali ke Carlos Slim. Melalui kongkalikong dengan pada para pejabat, ia menguasai

    sejumlah area usaha. Namun bagaimana kalau melanggar hukum? Berbeda dengan Gates yang

    kena sangsi, Slim selalu lolos. Ketika berhadapan dengan kasus monopoli di tahun 1996, Slim

    dibebaskan dan tak dikenai hukuman.

    UKM Indonesia

    Kisah tentang Carlos Slim mengingatkan saya pada seorang anak muda yang terinspirasi dengan

    gagasan-gagasan kewirausahaan. Ketika insinyur-insinyur muda Indonesia lebih tertarik membuat

    keripik, kebab dan jamur goreng melalui gerobakchise secara UMKM di kaki lima, anak muda ini

    justru menjalankan usaha kreatif di berbagai mal dan melawan investor asing. Ia pun berhasil.

    Uang sewa ratusan juta rupiah perbulan yang dituntut mal ia bayar. Dan ternyata hasilnya

    menguntungkan. Ia membuat kaos seperti ini : I Love Paris. Tetapi di bawahnya tertulis NotHotman. Bisa saja ia disomasi pengacara yang biasa berhasil mempailitkan lawan-lawan kliennya

    itu. Tapi syukurlah itu tak terjadi.

    Puncak kreativitasnya mentok saat ia menjual baju-baju yang ia desain untuk pasangan Cagub

    Jokowi-Ahok yang ternyata laku keras. Saat ia menjelaskan langkah itu, entah mengapa, tangan

    saya reflex memukul dahi saya sendiri. Oh My Ghost! CEO Mal itu pendukung Foke. Foke, dan

    juga mantan gubernur DKI sangat dekat dan biasa duduk bersama para manor mall Jakarta. Saat

    bersama-sama memasarkan Jakarta Great Sale beberapa tahun terakhir ini, Saya yang pernah

    jadi model iklannya melihat keakraban itu. Pengusaha mal mana yang bisa menjauh dari

    walikota?

    Anda tahu apa yang terjadi?

    Sejak saat itu kiosnya digeser ke belakang. Barang-barang dagangannya dikuasai pemilik mal,

    dan kiosnya yang laku itu diberikan pada orang lain. Ia dipindahkan ke belakang, meskipun

    sanggup membayar dan kiosnya digemari anak-anak muda.

    Padahal saya ini jualan Jokowi karena pasar, bukan ideologis", ujarnya. Ia pun sekarang luntang-

    lantung mencari perlindungan.

    Seorang pengacara yang aktif di komisi tiga DPR, teman Jokowi didatangi dan diminta bantuan.

    Tentu saja anggota dewan yang pro rakyat ini marah mendengar cerita itu. Ia siap membantu,

    tetapi ada syaratnya. Ia minta saham.

    Saham? Bukankah anak muda itu tokoh partai yang membawa harapan Indonesia ke depan?

    Apa tidak salah? Tidak pak, ia bersungguh-sungguh ujarnya.

    Saya ingin menutup kolom ini dengan sebuah pesan moral: Sistem politik seperti ini hanya akan

    menghasilkan pengusaha-pengusaha kecil, usaha gerobak kaki lima yang sulit untuk maju.

    Insinyur kita hanya akan jadi pengusaha camilan saja. Sementata yang membuat boiler, otomotif,

    permesinan, apalagi robot yang mampu menjelajahi asteroid, pasti bukan anak-anak kita.

    Di bagian atas, usaha-usaha besar yang sarat perizinan dan tanah (pertambangan dan

    infrastruktur) dikuasai mereka yang berkong-kalikong dengan politisi. Sementara di bagian bawah

    tak ada yang melindungi entrepreneuruntuk naik kelas. Tak ada akses pada modal besar denganbunga rendah seperti di negara-negara lain, atau seperti yang dinikmati para konglomerat di era

    orde baru. Dan tak ada jaminan hukum terhadap inovasi. Bagaimana mau menghasilkan industri-

    industri besar? Sistem politik seperti ini sungguh tak menguntungkan.

    Rhenald Kasali

    Founder Rumah Perubahan

    Rekomendasikan ini di Google

    Mereka yang Merombak Usaha Warisan

    Donald Trump termenung saat ditanya Steve Forbes tentang apa yang ia persiapkan untuk suksesibisnisnya. Ia hanya bisa berharap anak-anaknya bahagia dengan pilihan orang tuanya.

    Erick senang dengan klub bisnis dan itu cocok dengan personalitas saya. Adapun Don senang

    dengan bangunan-bangunan, dia fokus di gedung,ujarnya. Trump punya tiga anak, dua pria dan

    satu perempuan. Ia belum mempersiapkan apa-apa untuk anak gadisnya yang katanya masih

    terlalu dini. Jadi cerita difokuskan pada dua pangeran penerusnya. Seperti Trump, kebanyakan

    orang tua yang usahanya berhasil di sini juga memandang usaha lebih dari sekadar kereta hidup.

    converted by Web2PDFConvert.com

    http://www.web2pdfconvert.com/?ref=PDFhttp://www.web2pdfconvert.com/?ref=PDFhttp://rhenald-kasali.blogspot.com/2012/06/mereka-yang-merombak-usaha-warisan.htmlhttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=1900678470367809521&postID=8646643732037802410&target=facebookhttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=1900678470367809521&postID=8646643732037802410&target=twitterhttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=1900678470367809521&postID=8646643732037802410&target=bloghttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=1900678470367809521&postID=8646643732037802410&target=emailhttp://rhenald-kasali.blogspot.com/2012/06/sistem-politik-dan-prestasi-ekonomi.html#comment-formhttp://rhenald-kasali.blogspot.com/2012/06/sistem-politik-dan-prestasi-ekonomi.html
  • 7/28/2019 Rhenald Kasali Blogspot Com 16

    13/17

    Itulah hidupnya sendiri, personalitas dan identitas diri. Usaha dan bangunannya dilihat sama

    seperti seorang bikersmemandang Harley-nya atau dokter yang memandang ikan koi hobinya.

    Lain Trump, lain Peter Gontha yang dikenal dengan Java Jazz-nya. Bersama putrinya, Dewi

    Gontha, hari Selasa lalu keduanya berbagi cerita di depan kelompok Wanita Wirausaha di Jakarta.

    Gontha justru bangga dengan anak perempuannya yang sudah 8 tahun membesarkan Java Jazz

    dan kini mulai menjadi usaha hiburan yang terpandang.

    Meneruskan atau Merombak?

    Dalam old school business, orang-orang tua selalu beranggapan anaknya bahagia menjalani

    pilihan orang tua. Anaknya merupakan penerus bukan pembaharu. Rumah milik orang tua kelak

    menjadi rumah anak dan usaha yang dibangun orang tua akan diteruskan anak-anak danketurunannya. Demikianlah kita melihat Charles Saerang, Irwan Hidayat, dan Jaya Suprana

    meneruskan usaha yang diwariskan satu-dua generasi di atas mereka. Neneknya buka usaha

    jamu,cucunya ikut.

    Tapi bisakah hal itu dilakukan hari ini? Lihatlah fakta-fakta berikut ini. Saat diangkat sebagai CEO

    pada 1986, tak terlihat tanda-tanda apa pun anak ini akan menjual perusahaan yang didirikan

    kakeknya pada 1913. Ia begitu tekun membina warisan dari ayahnya dan mulai merekrut tenaga

    profesional asing untuk mempercepat proses pertumbuhan usaha. Tapi pada Maret 2005 publik

    dikejutkan, perusahaan berpendapatan bersih (saat itu) Rp15 triliun tersebut dijual kepada pihak

    asing.

    Perusahaan ini sangat besar, posisinya berada di urutan ketiga dalam industri dan merupakan

    salah satu legenda di sini. Perusahaan yang memproduksi 41,2 miliar batang rokok itu dijual

    Putera Sampoerna kepada Philip Morris dan ia beralih ke bisnis-bisnis baru, yakni perkebunan

    sawit, telekomunikasi, infrastruktur, dan microfinance. Tak dapat saya bayangkan hal ini bisaterjadi bila Aga Sampoerna (yang meninggal dunia 1994) masih ada. Ceritanya mungkin akan

    berubah.

    Tapi zaman berlalu, generasi baru pun berubah pikiran. Lebih dari setahun yang lalu saya didatangi

    seorang anak muda yang tergopoh-gopoh mencari saya. Setelah bertemu ia hanya minta waktu

    untuk menjelaskan visi usahanya. Namun ada satu hal yang ia wanti-wanti. Bapak, tolong jangan

    ceritakan ini kepada ayah saya sebelum menjadi kenyataan Fernando, nama anak muda itu,

    adalah putra Jimmy Iskandar yang dulu dikenal sebagai fotografer istana dan merintis usaha foto

    cetak kanvas.

    Jimmy Iskandar merintis Tarzan Photo sejak tahun 1948 sehingga wajar bila ia merasa bisnis ini

    sebagai bagian dari personalitasnya dan berharap anak-anaknya dapat meneruskan kejayaannya.

    Apakah yang diimpikan Fernando? Saya sudah membantu papa. Semuanya saya lakukan

    dengan sungguh-sungguh sampai hari ini.Tapi saya sudah menabung sejak lama, sekarang saya

    sedang menegosiasi tempatnya. Nanti pada saat peletakan batu pertama, papa dan mama baruboleh melihatnya,kata dia.

    Dan pada hari yang dijanjikan itu saya melihat orang tua Fernando sungguh terkejut. Sebuah

    maket besar yang akan segera dibangun muncul di hadapannya. Penerus itu berencana

    membangun usaha baru yang mirip Disneyland, tetapi digabung dengan pengembangan talenta

    anak. Usaha orang tua jalan terus, tetapi anak sudah punya mainan baru. Bagaimana ke depan?

    Apakah pembaharuan itu tidak baik?

    Benarkah meneruskan yang sama persis dengan yang dilakukan pendahulu akan lebih

    menguntungkan? Saya masih memiliki sejumlah kasus lain yang kalau saya ceritakan di sini tentu

    tak akan cukup mengisi seluruh halaman surat kabar ini yang menceritakan kisah tentang anak-

    anak yang mengubah arah usaha orang tuanya. Sayang bila orang tua tidak memahami

    perubahan-perubahan yang terjadi dan talenta yang dimiliki anak-anaknya. Saya ingin mengajak

    orang tua membaca kembali goresan pena Kahlil Gibran di bawah ini.

    Anak kalian bukanlah anak kalian. Mereka putra putri kehidupan yang merindu pada dirinya

    sendiri. Berikan kepada mereka cinta kalian, tetapi jangan gagasan kalian, karena mereka

    memiliki gagasan sendiri. Kalian boleh membuatkan rumah untuk raga mereka, tetapi tidak untuk

    jiwa mereka, karena jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan, yang tidak bisa kalian

    kunjungi, sekalipun dalam mimpi.

    Renungan itu saya tunjukkan ke hadapan banyak orang tua yang tak puas dengan apa yang

    dilakukan anak-anaknya yang mengambil jalan yang berbeda dengan kehendak orang tua. Usaha

    sudah besar, tetapi anak tak tertarik sama sekali.

    Talenta Pembaharuan

    Dalam old school business, anak-anak mampu menjadi penerus karena mereka dicetak melalui

    sistem persekolahan pabrikan. Metode pabrik yang mencetak murid secara massal dan terstandar

    adalah metode kuno yang hanya dipaksakan oleh pemerintah yang tidak paham terhadappendidikan. Biasanya persekolahan seperti itu menerapkan sistem kecakapan ujian (exam merit)

    sehingga kecakapan murid diukur dari nilai-nilai ulangan dan ujiannya.

    Dan supaya efisien, sekolah juga tidak mau repot-repot memahami gejolak lentera jiwa siswa,

    mereka cuma dibanding-bandingkan dengan angka sehingga didapat peringkat. Angka itu adalah

    angka kertas, bukan merupakan kesimpulan dari berbagai kecenderungan anak. Suatu ketika

    misalnya saya pernah mempertanyakan seorang mahasiswa yang diberi nilai A oleh dosen

    converted by Web2PDFConvert.com

    http://www.web2pdfconvert.com/?ref=PDFhttp://www.web2pdfconvert.com/?ref=PDF
  • 7/28/2019 Rhenald Kasali Blogspot Com 16

    14/17

    Diposkan oleh Rhenald Kasali di 03:54 Tidak ada komentar:

    marketingnya.

    Tapi setiap kali mengajaknya bicara, saya menemukan fakta lain. Wajahnya, bahasa tubuh,

    gestur, dan caranya berbicara sama sekali tidak marketable. Bagaimana mungkin anak ini bisa

    diberi nilai A? Anda tak usah bingung, ia dapat nilai A karena ukuran kecakapan di negeri ini

    adalah kecakapan ujian. Dosen yang bukan pendidik hanya fokus pada kertas ujian, jadi

    kecakapannya sulit diandalkan.

    Kalau cara mendidiknya demikian, talenta-talenta yang tersembunyi tetap tersembunyi dan sulit

    berkembang. Sistem ini sudah lama dibongkar di mana-mana,tetapi tampaknya masih berlaku di

    sekolah-sekolah pemerintah dan sekolah-sekolah berbasis agama di sini. Sekolah seperti ini

    cenderung mendidik dan menutup telinga dan mata hatinya pada talenta-talenta ciptaan Tuhan.

    Kendati demikian, benihbenih kesadaran yang berlawanan justru tumbuh di sejumlah guru dan

    sekolah-sekolah tertentu yang diam-diam mereformasi dini dari merit exam ke talent exam. Mereka

    masih terseok-seok hanya karena satu hal, yaitu ujian nasional yang diberlakukan negara. Tapi

    baiklah kita kembali kepada anak-anak yang mengembangkan talentanya. Biasanya hal itu justru

    terjadi pada anak-anak yang dibawa orang tuanya bersekolah di luar negeri.

    Putra Sampoerna sempat bersekolah di Hongkong dan Australia, Dewi Gontha di Amerika Serikat,

    dan banyak lagi para pembaharu justru mendapatkan talenta-talenta asli mereka yang bisa jadi

    berbeda dengan kehendak orang tuanya. Jadi menurut saya mereka yang menemukan talenta-

    talenta khusus itu berpotensi memperbaharui usaha orang tua dalam arti yang lebih revolusioner,

    bisa sekarang, bisa juga setelah Anda tidak ada. Lantas untuk apa mencemaskan mereka?

    Bukankah justru yang harus dicemaskan mereka yang sekedar numpang hidup pada bisnis

    keluarga? Mereka ini mempunyai ciri-ciri persis seperti penumpang bus. Mereka boleh ngantuk,

    bahkan bisa tertidur, dan tak tahu arah jalan. Bisnis keluarga justru bisa berakhir di tanganmereka. Jadi, berikanlah kesempatan kepada anak-anak untuk mengenal talenta mereka sendiri.

    Anak-anak ini mungkin akan membongkar usaha yang Anda rintis.

    Tapi mereka tak akan membuatnya menjadi museum catatan sejarah yang gelap dan tak

    bertenaga. Mereka hanya memperbaharui dan merombak arah agar panjang usia. Jangan

    penjarakan jiwa mereka, sebab mereka mempunyai pikiran seluas cakrawala kosmos ini.

    RHENALD KASALI

    Founder Rumah Perubahan

    Rekomendasikan ini di Google

    Inklusivitas

    Mungkinkah orang-orang Indonesia menjadi Asteroidpreneur seperti yang saya ulas minggu lalu?

    Ketika ekonomi China berjaya, bukan hanya orang-orang Amerika dan Eropa yang terperangkap

    oleh sinarnya. Pengusaha-pengusaha asal Jepang, Korea, bahkan lawan psikologisnya, Taiwan

    juga ingin berinvestasi di sana. Dengan metode Guang Xi, jaringan kedaerahan dan kesukuan,

    bahkan pengusaha keturunan asal Indonesia juga berinvestasi dan memindahkan sekolah anak-

    anaknya ke China.

    China adalah magnet, sekaligus masa depan. Banyak orang percaya China akan menggantikan

    peran Amerika Serikat sebagai penguasa dunia. Sama seperti ucapan banyak orang terhadap

    Jepang sekitar 25 tahun yang silam. Dan saya menduga, pandangan ini kemungkinan akan

    bernasib sama seperti Jepang ketika Kaname Akatmatsu mengulas paradigma angsa terbang (the

    flying geese paradigm) dengan Jepang sebagai pemimpinnya di Asia.

    Angsa-angsa yang berada di depan selalu diikuti angsa-angsa lain kemanapun ia pergi. Ia menjadi

    navigator. Tetapi dalam perjalanannya ternyata tak banyak angsa yang bisa terus berada di depan.

    Ia bisa goyah dan gundah sehingga kedudukannya diganti yang lain.

    Begitu halnya dengan Jepang dan China yang kini sedang bergulat menghadapi kembalinya

    kepemimpinan Amerika Serikat dengan energy murah (khususnya shale gas, yang di fraktur dari

    batu-batu di perut bumi , dan biayanya hanya seperempat dari gas-gas alam asal Qatar atau

    Indonesia).

    Untuk menjadi pemimpin angsa terbang diperlukan Asteroidpreneur, bukan sekedar UKM-Preneur,

    apalagi kalau hanya coba-coba dan hanya bergelut di bidang usaha yang mudah-mudah saja

    dengan prinsip ATM (Amati, Tiru, Modifikasi). Kapan menjadi industrinya?

    UKM dan Motivator

    Salah satu ciri negara yang angsa-angsanya cuma ikut-ikutan terbang adalah pengusahanya

    kesulitan melompat. Usaha-usaha mikronya terbelengguseperti burung dara yang sayap-sayapnyadi jahit. Supaya bisa terbang tinggi, tentu saja belenggu-belenggu itu harus di lepas.

    Sejak krisis moneter menghantam Indonesia 15 tahun yang lalu, kita menaruh harapan pada

    UMKM. Jumlahnya terus meningkat, dari 51,5 juta (2010) menjadi 54,5 juta tahun ini. Tetapi di lain

    pihak gairah berindustri turun drastis. Tak ada lagi orang-orang seperti Sukanto Tanoto yang di

    awal tahun 1980-an berani membangun industri pulp and paper. Semua anak-anak muda cuma

    asyik membuat roti, kue, burger, lele, ikan bakar dan warung gerobak yang di grobak-chise kan.

    converted by Web2PDFConvert.com

    http://www.web2pdfconvert.com/?ref=PDFhttp://www.web2pdfconvert.com/?ref=PDFhttp://rhenald-kasali.blogspot.com/2012/06/inklusivitas.htmlhttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=1900678470367809521&postID=3512521202630360030&target=facebookhttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=1900678470367809521&postID=3512521202630360030&target=twitterhttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=1900678470367809521&postID=3512521202630360030&target=bloghttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=1900678470367809521&postID=3512521202630360030&target=emailhttp://rhenald-kasali.blogspot.com/2012/06/mereka-yang-merombak-usaha-warisan.html#comment-formhttp://rhenald-kasali.blogspot.com/2012/06/mereka-yang-merombak-usaha-warisan.html
  • 7/28/2019 Rhenald Kasali Blogspot Com 16

    15/17

    Diposkan oleh Rhenald Kasali di 03:53 Tidak ada komentar:

    Bisa diduga kemana muaranya para wirausahawan seperti ini. Ketika jenuh, mereka beralih

    menjadi motivator atau pembicara UKM. Modalnya apalagi kalau bukan spirit Robert Kyosaki yang

    mengajarkan bagaimana menjadi orang kaya. Tak sedikit pula yang menanamkan cara-cara

    pemasaran bombastis atau cara-cara spiritual. Kata seorang industrialis, perlu dibedakan benar-

    benar mana yang merupakan hasil dari suatu percobaan dengan coba-coba. Kelihatannya, lebih

    banyak yang iseng dengan coba-coba, bukan kesungguhan yang didasarkan bukti-bukti empiris

    yang dapat digeneralisasikan. Dan tentu saja, bisnis seperti ini lebih banyak h it and run. Tapi tak

    apa, sepanjang order sebagai motivator masih bisa jalan terus, bukan?

    Kita memerlukan UKM untuk menyelamatkan pengangguran, namun untuk memajukan bangsa,

    negeri ini juga bentuk industri-industri besar yang dibangun berbasiskan pengetahuan,

    sophisticated management dan profesionalisme. Indonesia butuh banyak pesawat-pesawat kecilyang bisa menembus daerah-daerah pedalaman seperti yang dilakukan Ibu Susi Pujiastuti (Susi

    Air) atau kapal-kapal penjelajah berbobot ringan yang dibuat dari teknologi material komposit yang

    dibuat Lisa Lundin di Banyuwangi.

    Kita memerlukan UMKM untuk membuat desain-desain baju dan keperluan konsumsi ringan, tetapi

    untuk membuat energy dan otomotif diperlukan usaha-usaha besar. Usaha-usaha besar adalah

    lokomotif untuk menarik usaha-usaha kecil.

    Inklusivitas

    Apa yang membuat anak-anak Amerika bisa menambang di Asteroid sementara kita sibuk melobi

    Bupati untuk menambang perut bumi? Ekonom MIT, Daron Acemoglu, bersama James A Robinson

    (Harvard) mencari jawabannya. Dalam buku barunya (Why Nations Failed) yang saya jadikan

    bacaan wajib di program doktoral di UI, diungkapkan pentingnya spirit inklusivitas.

    Dugaan saya, bangkit kembalinya Amerika bukan karena tangible assets atau kekayaan alamnya.Ketika Inggris masuk ke Benua Amerika pada abad ke 16 (yang kelak menjadi Amerika Serikat)

    bukanlah karena negeri ini kaya hasil bumi seperti yang dikuasai Spanyol atau Portugis.

    Melainkan karena hanya itulah yang tertinggal.

    Amerika menjadi bangsa besar justru karena prinsip inklusivitas. Abraham Lincoln menghapuskan

    perbudakan, Luther King menghancurkan segregasi warna kulit. Selera-selera picik terhadap

    superioritas ras, agama, atau kelompok-kelompok disingkirkan demi penghargaan pada kesamaan

    hak. Jangankan diskriminasi terhadap ras, terhadap gender saja bisa menjadi masalah besar.

    Dengan prinsip-prinsip itulah orang-orang pintar dari mancanegara pindah ke Amerika Serikat.

    Mereka bisa kuliah dengan tenang dan menjadi ilmuwan-ilmuwan terpandang. Ada kemerdekaan

    hakiki yang dirasakan, tatapi begitu seseorang mengeluarkan ancaman pada orang lain, hukum

    selalu ditegakan.

    Karena itulah banyak anak-anak pintar Indonesia yang tidak pulang mengabdi disini. Seperti

    ilmuwan-ilmuwan Indonesia yang saya temui di Silicon Valleyyang hidup tenang bersama dengananak-anaknya yang sudah mulai berkuliah di kampus-kampus terkenal. Mereka diperlakukan

    sama dengan orang-orang cerdas lainnya yang datang dari India, Pakistan, Iran, China, Korea,

    Rusia, Canada dan sebagainya.

    Cara ini sepertinya tengah di terapkan pemerintah Singapura yang dulu diduga mempunyai selera

    etnik terhadap para pelajar berprestasi kaum keturunan Tionghoa di Asia Tenggara. Singapura

    kini mulai membidik anak-anak pandai dari berbagai etnik, termasuk dari Indonesia. Tak

    mengherankan tak lama lagi mereka akan menjadi negeri yang tak kalah hebat dari China dan

    Amerika.

    Lantas apa yang akan dilakukan oleh para UKMpreneur Indonesia? Menurut hemat saya, ini lah

    saatnya anak-anak muda beralih dari UKM menjai industi. Dan untuk itu prinsip inkluivitas perlu

    dibangun. Ayo melompatlah! Jadilah Asteroidpreneur, jangan berpuas diri!

    Rhenald KasaliFounder Rumah Perubahan

    Rekomendasikan ini di Google

    Perjalanan Dinas

    Seorang pembaca menulis, kalau dari 4,7 juta PNS menghabiskan biaya perjalanan dinas sebesar

    Rp 23,9 Triliun (2012), maka rata-rata perorang PNS hanya menghabiskan biaya sebesar Rp 5,1

    juta rupiah. Namun yang membuat hatinya tersayat-sayat adalah fakta ketika ia membaca

    perjalanan dinas 560 orang anggota DPR yang tahun ini dianggarkan sebesar Rp 140 milliar. Kalau

    dibagi rata, maka setiap orang wakil rakyat yang kaya-kaya dan senang belanja itu menghabiskan

    sekitar Rp 250 juta.

    "Wajar" Katanya, "Bila mereka diprotes mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di luar negeri."

    Perjalanan dinas yang besar telah menjadi ciri birokrasi dan kekuasaan pasca reformasi. Di

    berbagai media kita membaca, anggaran perjalanan dinas terus dicuri orang-orang tak bertanggung

    jawab dengan tiket-tiket bodong. Namun anehnya, bukan dikurangi, budgetini justru terus

    diperbesar. Dari rencana semula Rp 2,9 Triliun (2009) menjadi Rp 15,2 Triliun. Lalu hanya selisih

    converted by Web2PDFConvert.com

    http://www.web2pdfconvert.com/?ref=PDFhttp://www.web2pdfconvert.com/?ref=PDFhttp://rhenald-kasali.blogspot.com/2012/06/perjalanan-dinas.htmlhttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=1900678470367809521&postID=702702288961365953&target=facebookhttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=1900678470367809521&postID=702702288961365953&target=twitterhttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=1900678470367809521&postID=702702288961365953&target=bloghttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=1900678470367809521&postID=702702288961365953&target=emailhttp://rhenald-kasali.blogspot.com/2012/06/inklusivitas.html#comment-formhttp://rhenald-kasali.blogspot.com/2012/06/inklusivitas.html
  • 7/28/2019 Rhenald Kasali Blogspot Com 16

    16/17

    dua tahun, angkanya sudah berlipat dua tahun ini menjadi Rp 23 triliun.

    Bagaimana bangsa ini mengatasi masalah ini?

    Rampingkan Semuanya

    Organisasi pemerintahan yang gemuk adalah ciri pemerintahan World 1.0 yang saya bahas

    minggu lalu, sedangkan di era early globalization yang ditandai dengan desentralisasi dan

    deregulasi, pemerintahan yang sehat dan pro rakyat tidak memerlukan PNS dalam jumlah besar.

    Kalau pemerintahan mau sehat dan rakyatnya memiliki daya juang yang tinggi, berikan ruang yang

    besar pada masyarakat untuk berpartisipasi. Inilah ideologi pemerintahan di World 2.0.

    Tetapi alih-alih menjadi ramping, di era desentralisasi ini, jumlah pejabat ditingkat pusat justru

    berlipat ganda. Jumlah pejabat eselon satu dalam beberapa tahun terakhir ini telah berlipat dua.Kalau yang diatasnya berlipat dua, otomatis yang dibawahnya ikut berlipat- sudah begitu jumlah

    badan dan komisi-komisi terus bertambah, dan maing-masing menuntut tambahan sekretars

    jenderal dan deputy yang kedudukannya setara dengan eselon 1. Dan sekarang pun ada eselon 1

    dan ada eselon 1A.

    Sementara jumlahnya terus bertambah, kualitas layanan tidak membaik. Fungsi pemerintah pusat

    berkurang tetapi orangnya terus bertambah. Di berbagai daerah, masalahnya juga sama saja.

    Daerah-daerah terus menuntut pemekaran, dan semua pegawai tidak tetap menuntut di PNS-kan.

    Di beberapa propinsi saya menemukan kepemimpinan-kepemimpinan buruk yang mengakibatkan

    PNS adalah satu-satunya pilihan bagi kaum muda untuk bekerja. Industri tidak digerakkan dan

    pertanian dibiarkan mati suri.

    Padahal sejak tahun 1990-an negara-negara yang perekonomiannya sehat telah mengajarkan kita

    bahwa pemerintahan yang kuat adalah pemerintahan yang ramping. Ramping jumlah orangnya,dan ramping strukturnya. Negara harus bertobat untuk mengurus semua hal kalau tidak bisa

    mengaturnya. Lebih baik bekerja dengan struktur yang simpel dengan orang-orang terpilih yang

    diberi gaji besar daripada menjadi semacam lembaga sosial yang menampung pengangguran

    dengan gaji kecil-kecil sehingga banyak orang mempunyai alasan untuk mengambil penghasilan di

    luar dari pendapatan resmi.

    Pegawai yang besar jumlahnya dengan gaji yang kecil telah mengakibatkan tak ada kontrol dan

    tak ada pembinaan. Orang-orang yang semula bagus, entah mengapa, setelah lima sepuluh tahun

    bekerja di birokrasi banyak yang terkontaminasi, menjadi kurang produktif dan tidak disiplin.

    Birokrasi telah berubah menjadi organisasi yang sangat gugup dan begitu kuat untuk melayani

    dirinya sendiri. Boleh dikata apapun yang dibutuhkan para pegawai ada di tempat setiap kantor

    kementerian atau badan-badan milik pemerintah, meski tidak merata dan tergantung pada power

    yang mereka miliki.

    Banyak kantor kementerian yang setiap level direktorat jenderalnya memiliki balai diklat sendiri-

    sendiri lengkap dengan prasarana yang hebat, namun sayang kualitas trainernya maaf, masih

    perlu di upgrade kembali. Mereka masing-masing memiliki fasilitas ruang rapat yang bagus,

    termasuk vila yang besar di puncak, tetapi lebih senang menyewa kamar di hotel. Sebagian

    kementerian punya lapangan sepakbola, kolam renang dengan kualitas sedikit di bawah stadion

    nasional dan tentu saja segudang fasilitas lainnya.

    Kalau mau bepergian, urus kenaikan pangkat sampai urus kematian ada seksi pembaca doa.

    Semuanya lengkap ada didalam. Pendeknya, Birokrasi memiliki kemampuan melayani atasan

    sendiri yang prima. Par Excellence.

    Namun keterampilan melayani keatas yang berlebihan ini tidak diikuti dengan kemampuan

    melayani masyarakat dengan baik. Perijinan dan infrastruktur justru mendapat keluhan terbesar.

    Belum lagi pelayanan-pelayanan rutin. Prosesnya berbelit-belit, lama dan terkesan kurang orang,

    kurang dukungan prasarana. Padahal birokrasi kita gemuk dan sudah terlalu banyak orang.Bukankah ini sudah saatnya berbenah?

    Evaluasi-Eliminasi

    Merampingkan birokrasi memang tak semudah membalikkan tangan. Apalagi ditengah-tengah

    sistem politik seperti ini akan semakin besar tantangannya. Namun apapun bentuk sistem

    politiknya saya kira sudah saatnya dilakukan 3E, yaitu Evaluasi, Estimasi, dan Eliminasi.

    Inilah saatnya melakukan evaluasi apakah kita ingin terus hidup seperti ini atau berubah. Birokrasi

    tak bisa diperkuat hanya melalui kepemimpinan perseorangan. Ia harus dibongkar, bahkan

    dirancang ulang. Evaluasi ini hanya meliputi 3R, yaitu Requirement,return, dan reward. Tetapi

    dengan sistem dan budaya yang seperti ini, umumnya evaluasi hanya dilakukan untuk mengejar

    kenaikan imbal jasa (reward), sedangkan kinerjanya (return) dan kualifikasi (requirement)

    diabaikan.

    Para pemimpin hendaknya menyadari bahwa dalam setiap lembaga terjadi tiga hal berikut inidalam pengelolaan SDM, yaitu abuse, diuse dan misuse. Intinya, hanya ada sedikit orang yang

    melakukan pekerjaan segudang (abuse) dan ada banyak orang yang kerjanya hampir tidak ada

    atau terlalu sedikit (disuse). Sementara itu, bagian terbesar pegawai di birokrasi justru

    mengalami misuse: Terlalu banyak orang melakukan hal yang salah.

    Pengalaman saya di birokrasi menemukan ketiga hal diatas menjadi sangat biasa dalam pekerjaan

    sehari-hari. Menteri-menteri lebih sibuk mengurusi panggilan parlemen dan melakukan perjalanan

    converted by Web2PDFConvert.com

    http://www.web2pdfconvert.com/?ref=PDFhttp://www.web2pdfconvert.com/?ref=PDF
  • 7/28/2019 Rhenald Kasali Blogspot Com 16

    17/17

    Posting Lebih Baru Posting LamaBeranda

    Langganan: Entri (Atom)

    Diposkan oleh Rhenald Kasali di 03:52 Tidak ada komentar:

    dinas atau hal-hal teknis. Tak ada yang memikirkan kelembagaan dan masa depan kementerian.

    Ketika merasa frustasi, menteri-menteri lalu memilih bekerja dengan staf-staf khusus dan pejabat-

    pejabat tertentu saja, sedangkan sisanya urus diri masing-masing.

    Biaya perjalanan dinas yang membengkak bagi saya adalah sebuah alarm peringatan bahaya,

    bahkan birokrasi kita telah semakin tambun dan sibuk urus dirinya sendiri. Inilah saatnya untuk

    meremajakan, melakukan transformasi mendasar untuk menciptakan pelayanan yang lebih baik

    Rhenald Kasai

    Founder Rumah Perubahanl

    Rekomendasikan ini di Google

    Template Simple. Gambar template oleh Storman. Diberdayakan oleh Blogger.

    http://www.blogger.com/http://www.istockphoto.com/googleimages.php?id=5972475&platform=blogger&langregion=inhttp://rhenald-kasali.blogspot.com/feeds/posts/defaulthttp://rhenald-kasali.blogspot.com/http://rhenald-kasali.blogspot.com/search?updated-max=2012-06-05T03:52:00-07:00&max-results=7http://rhenald-kasali.blogspot.com/search?updated-max=2012-08-02T14:45:00-07:00&max-results=7&reverse-paginate=truehttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=1900678470367809521&postID=8899422984849380794&target=facebookhttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=1900678470367809521&postID=8899422984849380794&target=twitterhttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=1900678470367809521&postID=8899422984849380794&target=bloghttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=1900678470367809521&postID=8899422984849380794&target=emailhttp://rhenald-kasali.blogspot.com/2012/06/perjalanan-dinas.html#comment-formhttp://rhenald-kasali.blogspot.com/2012/06/perjalanan-dinas.html