revolusi mental dan doa
DESCRIPTION
Good ArticleTRANSCRIPT
REVOLUSI MENTAL
Sabtu, 10 Mei 2014 | 16:03 WIB
INDONESIA saat ini menghadapi suatu paradoks pelik yang menuntut jawaban dari para
pemimpin nasional. Setelah 16 tahun melaksanakan reformasi, kenapa masyarakat kita
bertambah resah dan bukannya tambah bahagia, atau dalam istilah anak muda sekarang
semakin galau?
Dipimpin bergantian oleh empat presiden antara 1998 dan 2014, mulai dari BJ Habibie, KH
Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, hingga Susilo Bambang Yudhoyono,
Indonesia telah mencatat sejumlah kemajuan di bidang ekonomi dan politik. Mereka
memimpin di bawah bendera reformasi yang didukung oleh pemerintahan yang dipilih rakyat
melalui proses yang demokratis.
Ekonomi semakin berkembang dan masyarakat banyak yang bertambah makmur. Bank
Dunia bulan Mei ini mengatakan ekonomi Indonesia sudah masuk 10 besar dunia, jauh lebih
awal dari perkiraan pemerintah SBY yang memprediksi baru terjadi tahun 2025. Di bidang
politik, masyarakat sudah banyak menikmati kebebasan serta hak-haknya dibandingkan
sebelumnya, termasuk di antaranya melakukan pergantian pemimpinnya secara periodik
melalui pemilu yang demokratis.
Namun, di sisi lain, kita melihat dan merasakan kegalauan masyarakat seperti yang dapat kita
saksikan melalui protes di jalan-jalan di kota besar dan kecil dan juga di ruang publik lainnya,
termasuk media massa dan media sosial. Gejala apa ini?
Pemimpin nasional dan pemikir di Indonesia bingung menjelaskan fenomena bagaimana
keresahan dan kemarahan masyarakat justru merebak. Sementara, oleh dunia, Indonesia
dijadikan model keberhasilan reformasi yang menghantarkan kebebasan politik serta
demokrasi bersama pembangunan ekonomi bagi masyarakatnya.
Izinkan saya melalui tulisan singkat ini menyampaikan pandangan saya menguraikan
permasalahan bangsa ini dan menawarkan paradigma baru untuk bersama mengatasinya.
Saya bukan ahli politik atau pembangunan. Untuk itu, pandangan ini banyak berdasarkan
pengamatan dan pengalaman saya selama ini, baik sebagai Wali Kota Surakarta maupun
Gubernur DKI Jakarta. Oleh karena itu, keterbatasan dalam pandangan ini mohon dimaklumi.
Sebatas kelembagaan
Reformasi yang dilaksanakan di Indonesia sejak tumbangnya rezim Orde Baru Soeharto
tahun 1998 baru sebatas melakukan perombakan yang sifatnya institusional. Ia belum
menyentuh paradigma, mindset, atau budaya politik kita dalam rangka pembangunan bangsa
(nation building). Agar perubahan benar-benar bermakna dan berkesinambungan, dan sesuai
dengan cita-cita Proklamasi Indonesia yang merdeka, adil, dan makmur, kita perlu melakukan
revolusi mental.
Nation building tidak mungkin maju kalau sekadar mengandalkan perombakan institusional
tanpa melakukan perombakan manusianya atau sifat mereka yang menjalankan sistem ini.
Sehebat apa pun kelembagaan yang kita ciptakan, selama ia ditangani oleh manusia dengan
salah kaprah tidak akan membawa kesejahteraan. Sejarah Indonesia merdeka penuh dengan
contoh di mana salah pengelolaan (mismanagement) negara telah membawa bencana besar
nasional.
Kita melakukan amandemen atas UUD 1945. Kita membentuk sejumlah komisi independen
(termasuk KPK). Kita melaksanakan otonomi daerah. Dan, kita telah banyak memperbaiki
sejumlah undang-undang nasional dan daerah. Kita juga sudah melaksanakan pemilu secara
berkala di tingkat nasional/daerah. Kesemuanya ditujukan dalam rangka perbaikan
pengelolaan negara yang demokratis dan akuntabel.
Namun, di saat yang sama, sejumlah tradisi atau budaya yang tumbuh subur dan berkembang
di alam represif Orde Baru masih berlangsung sampai sekarang, mulai dari korupsi,
intoleransi terhadap perbedaan, dan sifat kerakusan, sampai sifat ingin menang sendiri,
kecenderungan menggunakan kekerasan dalam memecahkan masalah, pelecehan hukum, dan
sifat oportunis. Kesemuanya ini masih berlangsung, dan beberapa di antaranya bahkan
semakin merajalela, di alam Indonesia yang katanya lebih reformis.
Korupsi menjadi faktor utama yang membawa bangsa ini ke ambang kebangkrutan ekonomi
di tahun 1998 sehingga Indonesia harus menerima suntikan dari Dana Moneter Internasional
(IMF) yang harus ditebus oleh bangsa ini dengan harga diri kita. Terlepas dari sepak terjang
dan kerja keras KPK mengejar koruptor, praktik korupsi sekarang masih berlangsung, malah
ada gejala semakin luas.
Demikian juga sifat intoleransi yang tumbuh subur di tengah kebebasan yang dinikmati
masyarakat. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi yang pesat malah memacu sifat kerakusan
dan keinginan sebagian masyarakat untuk cepat kaya sehingga menghalalkan segala cara,
termasuk pelanggaran hukum.
Jelas reformasi, yang hanya menyentuh faktor kelembagaan negara, tidak akan cukup untuk
menghantarkan Indonesia ke arah cita-cita bangsa seperti diproklamasikan oleh para pendiri
bangsa. Apabila kita gagal melakukan perubahan dan memberantas praktik korupsi,
intoleransi, kerakusan, keinginan cepat kaya secara instan, pelecehan hukum, dan sikap
oportunis, semua keberhasilan reformasi ini segera lenyap bersama kehancuran bangsa.
Perlu revolusi mental
Dalam pembangunan bangsa, saat ini kita cenderung menerapkan prinsip-prinsip paham
liberalisme yang jelas tidak sesuai dan kontradiktif dengan nilai, budaya, dan karakter bangsa
Indonesia. Sudah saatnya Indonesia melakukan tindakan korektif, tidak dengan menghentikan
proses reformasi yang sudah berjalan, tetapi dengan mencanangkan revolusi mental
menciptakan paradigma, budaya politik, dan pendekatan nation building baru yang lebih
manusiawi, sesuai dengan budaya Nusantara, bersahaja, dan berkesinambungan.
Penggunaan istilah ”revolusi” tidak berlebihan. Sebab, Indonesia memerlukan suatu
terobosan budaya politik untuk memberantas setuntas-tuntasnya segala praktik-praktik yang
buruk yang sudah terlalu lama dibiarkan tumbuh kembang sejak zaman Orde Baru sampai
sekarang. Revolusi mental beda dengan revolusi fisik karena ia tidak memerlukan
pertumpahan darah. Namun, usaha ini tetap memerlukan dukungan moril dan spiritual serta
komitmen dalam diri seorang pemimpin—dan selayaknya setiap revolusi—diperlukan
pengorbanan oleh masyarakat.
Dalam melaksanakan revolusi mental, kita dapat menggunakan konsep Trisakti yang pernah
diutarakan Bung Karno dalam pidatonya tahun 1963 dengan tiga pilarnya, ”Indonesia yang
berdaulat secara politik”, ”Indonesia yang mandiri secara ekonomi”, dan ”Indonesia yang
berkepribadian secara sosial-budaya”. Terus terang kita banyak mendapat masukan dari
diskusi dengan berbagai tokoh nasional tentang relevansi dan kontektualisasi konsep Trisakti
Bung Karno ini.
Kedaulatan rakyat sesuai dengan amanat sila keempat Pancasila haruslah ditegakkan di Bumi
kita ini. Negara dan pemerintahan yang terpilih melalui pemilihan yang demokratis harus
benar-benar bekerja bagi rakyat dan bukan bagi segelintir golongan kecil. Kita harus
menciptakan sebuah sistem politik yang akuntabel, bersih dari praktik korupsi dan tindakan
intimidasi.
Semaraknya politik uang dalam proses pemilu sedikit banyak memengaruhi kualitas dan
integritas dari mereka yang dipilih sebagai wakil rakyat. Kita perlu memperbaiki cara kita
merekrut pemain politik, yang lebih mengandalkan keterampilan dan rekam jejak ketimbang
kekayaan atau kedekatan mereka dengan pengambil keputusan.
Kita juga memerlukan birokrasi yang bersih, andal, dan kapabel, yang benar-benar bekerja
melayani kepentingan rakyat dan mendukung pekerjaan pemerintah yang terpilih. Demikian
juga dengan penegakan hukum, yang penting demi menegakkan wibawa pemerintah dan
negara, menjadikan Indonesia sebagai negara yang berdasarkan hukum. Tidak kalah
pentingnya dalam rangka penegakan kedaulatan politik adalah peran TNI yang kuat dan
terlatih untuk menjaga kesatuan dan integritas teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI).
Di bidang ekonomi, Indonesia harus berusaha melepaskan diri dari ketergantungan yang
mendalam pada investasi/modal/bantuan dan teknologi luar negeri dan juga pemenuhan
kebutuhan makanan dan bahan pokok lainnya dari impor. Kebijakan ekonomi liberal yang
sekadar mengedepankan kekuatan pasar telah menjebak Indonesia sehingga menggantung
pada modal asing. Sementara sumber daya alam dikuras oleh perusahaan multinasional
bersama para ”komprador” Indonesia-nya.
Reformasi 16 tahun tidak banyak membawa perubahan dalam cara kita mengelola ekonomi.
Pemerintah dengan gampang membuka keran impor untuk bahan makanan dan kebutuhan
lain. Banyak elite politik kita terjebak menjadi pemburu rente sebagai jalan pintas yang
diambil yang tidak memikirkan konsekuensi terhadap petani di Indonesia. Ironis kalau
Indonesia dengan kekayaan alamnya masih mengandalkan impor pangan. Indonesia secara
ekonomi seharusnya dapat berdiri di atas kaki sendiri, sesuai dengan amanat Trisakti.
Ketahanan pangan dan ketahanan energi merupakan dua hal yang sudah tidak dapat ditawar
lagi. Indonesia harus segera mengarah ke sana dengan program dan jadwal yang jelas dan
terukur. Di luar kedua sektor ini, Indonesia tetap akan mengandalkan kegiatan ekspor dan
impor untuk menggerakkan roda ekonomi.
Kita juga perlu meneliti ulang kebijakan investasi luar negeri yang angkanya mencapai
tingkat rekor beberapa tahun terakhir ini karena ternyata sebagian besar investasi diarahkan
ke sektor ekstraktif yang padat modal, tidak menciptakan banyak lapangan kerja, tetapi
mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya.
Pilar ketiga Trisakti adalah membangun kepribadian sosial dan budaya Indonesia. Sifat ke-
Indonesia-an semakin pudar karena derasnya tarikan arus globalisasi dan dampak dari
revolusi teknologi komunikasi selama 20 tahun terakhir. Indonesia tidak boleh membiarkan
bangsanya larut dengan arus budaya yang belum tentu sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa
kita.
Sistem pendidikan harus diarahkan untuk membantu membangun identitas bangsa Indonesia
yang berbudaya dan beradab, yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral agama yang hidup di
negara ini. Akses ke pendidikan dan layanan kesehatan masyarakat yang terprogram, terarah,
dan tepat sasaran oleh nagara dapat membantu kita membangun kepribadian sosial dan
budaya Indonesia.
Dari mana kita mulai
Kalau bisa disepakati bahwa Indonesia perlu melakukan revolusi mental, pertanyaan
berikutnya adalah dari mana kita harus memulainya. Jawabannya dari masing-masing kita
sendiri, dimulai dengan lingkungan keluarga dan lingkungan tempat tinggal serta lingkungan
kerja dan kemudian meluas menjadi lingkungan kota dan lingkungan negara.
Revolusi mental harus menjadi sebuah gerakan nasional. Usaha kita bersama untuk
mengubah nasib Indonesia menjadi bangsa yang benar-benar merdeka, adil, dan makmur.
Kita harus berani mengendalikan masa depan bangsa kita sendiri dengan restu Allah SWT.
Sebab, sesungguhnya Allah tidak mengubah nasib suatu bangsa kecuali bangsa itu mengubah
apa yang ada pada diri mereka.
Saya sudah memulai gerakan ini ketika memimpin Kota Surakarta dan sejak 2012 sebagai
Gubernur DKI Jakarta. Sejumlah teman yang sepaham juga sudah memulai gerakan ini di
daerahnya masing-masing. Insya Allah, usaha ini dapat berkembang semakin meluas
sehingga nanti benar-benar menjadi sebuah gerakan nasional seperti yang diamanatkan oleh
Bung Karno, memang revolusi belum selesai. Revolusi Mental Indonesia baru saja dimulai.
JOKO WIDODO
Calon presiden dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
(Sumber: Kompas cetak)
REVOLUSI DOA
Selasa, 13 Mei 2014 | 15:54 WIB
KITA memerlukan pemimpin yang taat beragama, yang bisa membawa perbaikan moral
bangsa. Begitu dikatakan mantan Wakil Presiden Hamzah Haz baru-baru ini. Hamzah Haz
juga menyarankan perlunya dibangun lebih banyak tempat ibadah, agar semakin banyak
orang berdoa sehingga semakin banyak pula orang yang memiliki moral yang baik.
Hamzah Haz tidak keliru jika ia menghubungkan doa dan moral yang baik. Hanya
masalahnya, doa manakah yang bisa membuahkan moral yang baik? Pertanyaan ini kebetulan
juga sedang digeluti sejumlah sarjana antropologi dan teologi Islam maupun Kristen.
Pergulatan mereka dikumpulkan di bawah tema ”Prayer, Power, and Politics” dalam jurnal
Interpretation, Januari 2014.
Para antropolog kultural memahami doa sebagai aktivitas ritual. Dari sudut kultural, ritus
adalah kesempatan, di mana orang menjalin hubungan baik dengan kelompoknya, maupun
realitas sosialnya, termasuk kekuasaan. Sementara karena pada hakikatnya kekuasaan selalu
relasional, kekuasaan mau tak mau juga memengaruhi ritus dan dirasakan secara riil oleh
mereka yang menjalankan aktivitas ritual itu. Di situlah terletak hubungan antara doa dan
kekuasaan. Dengan pendekatan di atas, Rodney A Werline, profesor studi agama-agama di
Barton College, North Carolina, meneliti bagaimana doa-doa dihidupi tokoh-tokoh Kitab
Suci Perjanjian Lama, seperti Hannah, Ruth, Salomo, dan Daniel. Dari penelitiannya terlihat
doa terjadi dalam cakupan relasi sosial dan historis yang amat luas.
Doa bisa berfungsi sebagai dinamika keluarga, sebagai ekspresi cinta di antara sahabat,
sebagai ratapan orang jujur yang tidak bersalah tetapi menjadi korban, sebagai teguran
pemuka agama terhadap umatnya dan sebagai upaya bagaimana mengobati luka sosial
umatnya, sebagai jalan bagi para pemimpin untuk menjalankan kepemimpinannya, juga
sebagai jalan menentang kekuasaan represif.
Kekuasaan sendiri bukanlah jelek atau baik. Namun, kekuasaan bisa digunakan untuk
membangun hidup atau merusak hidup masyarakat. Karena terjalin dengan kekuasaan dalam
sebuah realitas sosial dan kultural, doa juga bisa dijadikan jalan untuk membangun hidup,
tetapi doa pun bisa dimanfaatkan untuk merusaknya. Ini semua berarti, doa tak pernah bisa
dilepaskan dari etika.
Radikalitas doa
Lex orandi, lex credendi: bagaimana kita berdoa, itu menentukan bagaimana kita beriman dan
percaya. Aksioma tersebut menegaskan bahwa aturan-aturan dan hukum-hukum iman
sangatlah ditentukan oleh bagaimana kita berdoa. Seperti dipaparkan Nico Koopman,
profesor teologi sistematik dan etika di Universitas Stellenbosch, semasa rezim apartheid di
Afrika Selatan, aksioma itu diperluas menjadi lex orandi, lex credendi, dan lex (con)vivendi.
Artinya, bagaimana kita berdoa tidak hanya menentukan bagaimana kita beriman, tetapi juga
bagaimana kita hidup, bahkan bagaimana kita hidup bersama.
Di Afrika Selatan semasa rezim apartheid, doa dan upacara agama memang menjadi
ambivalen. Doa bisa untuk menindas ataupun untuk membebaskan. Di bawah rezim represif,
doa dan iman bahkan dilegitimasikan secara teologis untuk melestarikan penindasan. Karena
itu, doa juga perlu dikoreksi secara etis.
Maka, doa harus dibebaskan dari cengkeraman rezim represif, lalu dijadikan kekuatan untuk
meraih terjadinya masyarakat baru yang bebas dari penindasan. Doa harus bisa menjadi
kekuatan kritis untuk mendobrak masyarakat yang tidak adil. Di sini, seperti diajakkan filsuf
Nicholas Wolterstorff dari Amerika Serikat, kita perlu memahami kesucian itu bukan semata-
mata dari kategori kesucian sendiri, tetapi juga dari kategori keadilan.
Kata Wolterstorff, masyarakat yang tidak adil adalah masyarakat yang kehilangan
keutuhannya. Dalam masyarakat ini sekelompok orang tersudut di pinggiran, dan tak
terinkorporasikan ke dalam kehidupan yang sedang berkembang dalam masyarakat itu.
Masyarakat demikian bukanlah citra atau cerminan dari Tuhan dalam keutuhan-Nya. Dalam
keutuhan-Nya yang komunitarian, Tuhan tidak mengecualikan siapa pun. Karena itu,
masyarakat yang tidak adil dan mengecualikan itu adalah masyarakat yang tidak suci. Maka,
masyarakat baru yang kita cita-citakan hendaklah menjadi masyarakat kesucian dan
keutuhan, masyarakat di mana terjadi integritas dan komunitas, inklusi dan pemerataan
keadilan, serta kesatuan hidup yang subur berkembang.
Doa Kristiani sesungguhnya selalu merindukan datangnya masyarakat semacam itu.
”Datanglah kerajaan-Mu”, itulah yang didoakan mereka dalam doa Bapa Kami, seperti
diajarkan oleh Yesus sendiri. Maka, ahli kitab suci Afrika Selatan, William Domeris,
mengungkapkan, datanglah kerajaan-Mu itu adalah sebuah doa revolusioner. Doa ini
menyerang jantung kejahatan di dunia, dan memaklumkan matinya segala macam bentuk
penindasan, serta mengharap datangnya kerajaan baru di dunia. Dengan mendoakan
”datanglah kerajaan-Mu”, orang menatap berakhirnya zaman penindasan ini, dan pada saat
yang sama, seperti diajakkan Yesus, bersama-sama mengusahakan tegaknya kerajaan baru
sebagai realitas fisik, di mana penindasan diakhiri dan pembebasan Tuhan dimulai.
Mendoakan ”kedatangan kerajaan Tuhan” adalah melantunkan doa melawan pemerintah
yang tidak adil.
Melawan kemungkaran
Jelas doa pada hakikatnya berhubungan dengan realitas sosial, pembebasan, dan keadilan.
Menurut Mun’im Sirry dan A Rashied Omar, asisten profesor teologi dan peneliti studi Islam
pada Universitas Notre Dame, Indiana, hakikat doa macam ini juga menjadi hakikat doa
dalam tradisi Islam. Menurut kedua sarjana Islam itu, tidaklah benar anggapan bahwa Islam
lebih menekankan tata cara doa sebagai praktik formalitas doa belaka, hingga doa itu tak bisa
membawa transformasi moral bagi pelakunya. Sarjana-sarjana Islam modern menentang
keras anggapan itu dengan berusaha menunjukkan adanya makna sosial dalam doa Islam.
Sirry dan Omar sendiri mengemukakan pendapatnya dengan bertolak dari ayat Al Quran
29:45: ”Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan
dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan-perbuatan keji dan
mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya
daripada ibadat-ibadat lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Menurut kedua sarjana Islam di atas, berabad-abad lamanya sejak adanya agama Islam,
raison d’être dari doa Islam adalah menjauhi fasha (ketidaksenonohan, ketidaklaziman,
kekejian) dan mungkar. Selain Al Quran dan hadis, banyak kisah dan telaah yang
menegaskan hakikat doa demikian itu. Misalnya, ada kisah di mana seorang pemuda dari
Madinah berdoa bersama Nabi Muhammad. Toh, pemuda itu tetap melakukan perbuatan
yang salah dan tidak pantas. Nabi Muhammad hanya menanggapi hal itu dengan kata-kata
ini: ”Doanya akan mencegah dia untuk melakukan perbuatan yang tidak pantas.” Nabi juga
pernah ditanya, ”Apakah pendapat Anda tentang seseorang yang berdoa di siang hari, tapi
menjadi pencuri di malam hari?” Nabi kembali menjawab, ”Doanya akan menahan dia untuk
berbuat yang tidak baik.”
Tampaknya Nabi Muhammad yakin, doa pasti mengubah seseorang. Jika orang tidak diubah
oleh doanya, doanyalah yang kiranya kurang benar. Karena itu, doa atau shalat tidak dengan
sendirinya mencegah orang untuk berbuat fasha dan mungkar. Kemungkaran itu baru bisa
dicegah apabila doa itu dijalankan dengan benar, penuh komitmen, kejujuran, ketulusan, dan
kepasrahan bahwa Allah akan membantu manusia dalam memperjuangkan kebaikan dan
memberantas kejahatan.
Kata ahli tafsir Al Quran, Muhammad Husyan Tabatabai, jika shalat dijalankan dengan
komitmen dan kejujuran, lebih dari institusi atau pengajar mana pun, shalat sendirilah yang
akan melatih orang dengan lebih baik untuk menjalankan kebajikan dan menolak kejahatan.
Ini dibenarkan oleh hadis yang berkata, orang yang doanya tak mencegah dia melakukan
ketidaklaziman dan kesalahan tak akan memperoleh tambahan dari Tuhan; ia hanya akan
makin jauh dari-Nya.
Menegur pemimpin
Hamzah Haz yang juga sesepuh PPP itu bicara soal doa karena gemas terhadap kondisi moral
bangsa yang terus merosot. Setiap warga negara Indonesia kiranya juga gemas seperti dia.
Kita adalah negara ber-Tuhan dan beragama. Mestinya kita juga warga negara yang pendoa.
Memang, setiap hari Jumat masjid-masjid penuh, setiap hari Minggu gereja-gereja penuh,
pada hari-hari raya agama umat berbondong-bondong berdoa dengan khusyuk. Tetapi
mengapa korupsi merajalela, meracuni lembaga mana pun, eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Pejabat-pejabat mengkhianati kepercayaan rakyat dan kehilangan rasa malunya.
Mengapa doa tidak berefek bagi kebaikan moral bangsa? Dari penjelajahan singkat mengenai
tradisi doa di atas, kita bisa menjawab: doa kita mandul karena terpisah dari masalah-masalah
etika, sosial, dan moral yang dihadapi bangsa. Doa melulu menjadi praktik formal-ritual yang
tidak bersentuhan dengan permasalahan masyarakat. Doa hanya menjadi kesalehan yang
steril terhadap masalah sosial.
Dalam doa macam itu kita menemukan kenyamanan dan kemapanan, dan kehilangan
kepedulian sosial. Lebih fatal lagi, doa macam ini membuat kita munafik, seakan-akan kita
sudah menjadi baik karena sudah berdoa, tanpa ingin memberantas kemungkaran yang ada di
sekitar kita. Doa tak lagi memberi kita kekuatan dan inspirasi untuk menggugat dan
mendobrak segala bentuk represi yang menimpa banyak orang, lebih-lebih mereka yang
miskin dan sederhana.
Mengapa kita sampai terjerumus ke dalam keadaan demikian? Doa memang bersifat pribadi.
Tetapi kita tahu, penghayatan kita terhadap doa juga tergantung pada para pemuka umat,
pemimpin jemaat, imam, ustaz, kiai, pendeta, atau pastor. Dari mereka-mereka itulah kita
belajar berdoa. Karena itu merekalah yang paling berkewajiban mengajari kita bagaimana
berdoa dengan benar.
Misalnya, dengan mendalami lagi tradisi doa yang diajarkan Al Quran dan Kitab Suci, di
mana Tuhan menghendaki agar jika berdoa janganlah kita melepaskan diri dari masalah
kemanusiaan, masalah sosial, lebih-lebih masalah mereka yang miskin dan menderita. Kalau
itu tidak dilakukan, patutlah kita curiga, para petinggi doa itu diam-diam sedang menikmati
kemapanan, dan mendukung penguasa yang benci terhadap kekuatan doa yang memberi
inspirasi orang untuk menggugat dan mendobraknya.
Kita mendengar, calon presiden dari PDI Perjuangan, Jokowi, bercita-cita mengadakan
revolusi mental. Revolusi mental itu kiranya akan makin efektif jika disertai revolusi doa.
Artinya, bagaimana doa kita dilepaskan dari sangkar keamanan dan kemapanan
individualnya, dibebaskan dari kepentingan untuk membenarkan kelompok-kelompok
tertentu saja hingga menjadi eksklusif terhadap kepentingan seluruh bangsa. Revolusi doa itu
kiranya perlu membangunkan kesadaran moral, sosial, dan etika dalam doa yang dihayati
warga negara.
Untuk itu, revolusi mental dan doa itu kiranya harus dimulai dari para pemimpin bangsa.
Sebab, seperti dikatakan Hassan al-Banna, pendiri Persaudaraan Muslim di Mesir, paling
tidak dalam tradisi Islam, doa itu seperti latihan harian dalam organisasi sosial dan praktis.
Begitu muazin menyerukan doa dimulai, umat berkumpul, mereka punya hak dan kewajiban
sama, tetapi mereka berdiri di belakang imam yang mengatur ketertiban dan kesatuan
mereka. Imam itu pemimpin. Kalau ia salah dalam memimpin, umat berhak dan wajib
menegurnya. Itulah demokrasi dalam doa.
Para pemimpin kita ibarat imam itu. Kalau mereka salah berdoa, kita pun ikut salah dalam
doa kita. Jangan-jangan inilah sebabnya mengapa kita terjerumus ke dalam kemerosotan
moral, yakni karena para pemimpin kita tidak pernah berdoa, agar kekuasaannya digunakan
untuk melayani rakyat dan tidak untuk memperkaya diri sendiri. Kalau demikian, doa dan
mental merekalah yang terlebih dahulu harus direvolusi. Memang bisa-bisa kemungkaran
yang harus dibongkar oleh doa dari bangsa ini adalah mental busuk, egois, dan korup para
pemimpin bangsa kita sendiri.
Sindhunata Wartawan, Pemimpin Redaksi Majalah Basis, Yogyakarta