revisi noviyanti_59_studi strategi adaptasi nelayan lobster terhadap perubahan iklim di desa...

15
STUDI STRATEGI ADAPTASI NELAYAN LOBSTER TERHADAP PERUBAHAN IKLIM DI DESA KARANGWANGI KECAMATAN CIDAUN KABUPATEN CIANJUR, JAWA BARAT Noviyanti Soleha, Herri Y Hadikusumah, Tatang Suharmana E Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran ABSTRAK Perubahan iklim telah menyebabkan kerentanan di berbagai wilayah, terutama di wilayah pesisir. Kelompok nelayan merupakan kelompok masyarakat yang paling rentan terhadap perubahan cuaca dan lingkungan. Di Desa Karangwangi tercatat 117 orang bermata pencaharian sebagai nelayan lobster. Perubahan iklim yang terjadi memaksa nelayan lobster untuk beradaptasi. Mata pencaharian nelayan yang sangat bergantung pada kondisi alam menyebabkan adanya ketergantungan terhadap pola cuaca dan aktivitas penangkapan lobster. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengetahuan lokal mengenai iklim melalui pengamatan kondisi lingkungan di sekitar laut, mengetahui tanda dari flora dan fauna lainnya sebagai tanda bahwa waktu panen lobster telah tiba dan mengetahui strategi adaptasi yang dilakukan oleh nelayan lobster Desa Karangwangi terhadap perubahan iklim. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan hasil data bersifat deskriptif. Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari informan kunci melalui wawancara mendalam dan dilakukan pengamatan berkaitan dengan aktivitas penangkapan lobster. Data sekunder diperoleh dari Kantor Desa Karangwangi, buku dan jurnal yang berkaitan dengan penelitian ini. Berdasarkan hasil penelitian didapat bahwa sebelum melakukan penangkapan lobster para nelayan mengamati kecepatan, arah dan besarnya angin, tingginya ombak dan waktu pasang surut, serta kecerahan langit. Pengetahuan tersebut lebih banyak diperoleh dari pembelajaran dan pengalaman pribadi dibandingkan dengan pengetahuan yang sifatnya turun temurun. Tanda waktu panen lobster telah tiba adalah dengan adanya flora, yaitu Sagassum spinuligerum dan fauna laut, yaitu lumba-lumba, ikan hiu, ikan layur, ikan sidat, gurita, kepiting, rajungan, ikan tongkol dan ikan tuna yang melimpah jumlahnya. Pola iklim yang berubah membuat para 1

Upload: noviyanti-soleha

Post on 08-Dec-2015

221 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Ekologi Manusia

TRANSCRIPT

Page 1: REVISI Noviyanti_59_Studi Strategi Adaptasi Nelayan Lobster Terhadap Perubahan Iklim Di Desa Karangwangi (2)

STUDI STRATEGI ADAPTASI NELAYAN LOBSTER TERHADAP PERUBAHAN IKLIM DI DESA KARANGWANGI KECAMATAN CIDAUN KABUPATEN

CIANJUR, JAWA BARAT

Noviyanti Soleha, Herri Y Hadikusumah, Tatang Suharmana EDepartemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Padjadjaran

ABSTRAK

Perubahan iklim telah menyebabkan kerentanan di berbagai wilayah, terutama di wilayah pesisir. Kelompok nelayan merupakan kelompok masyarakat yang paling rentan terhadap perubahan cuaca dan lingkungan. Di Desa Karangwangi tercatat 117 orang bermata pencaharian sebagai nelayan lobster. Perubahan iklim yang terjadi memaksa nelayan lobster untuk beradaptasi. Mata pencaharian nelayan yang sangat bergantung pada kondisi alam menyebabkan adanya ketergantungan terhadap pola cuaca dan aktivitas penangkapan lobster. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengetahuan lokal mengenai iklim melalui pengamatan kondisi lingkungan di sekitar laut, mengetahui tanda dari flora dan fauna lainnya sebagai tanda bahwa waktu panen lobster telah tiba dan mengetahui strategi adaptasi yang dilakukan oleh nelayan lobster Desa Karangwangi terhadap perubahan iklim. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan hasil data bersifat deskriptif. Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari informan kunci melalui wawancara mendalam dan dilakukan pengamatan berkaitan dengan aktivitas penangkapan lobster. Data sekunder diperoleh dari Kantor Desa Karangwangi, buku dan jurnal yang berkaitan dengan penelitian ini. Berdasarkan hasil penelitian didapat bahwa sebelum melakukan penangkapan lobster para nelayan mengamati kecepatan, arah dan besarnya angin, tingginya ombak dan waktu pasang surut, serta kecerahan langit. Pengetahuan tersebut lebih banyak diperoleh dari pembelajaran dan pengalaman pribadi dibandingkan dengan pengetahuan yang sifatnya turun temurun. Tanda waktu panen lobster telah tiba adalah dengan adanya flora, yaitu Sagassum spinuligerum dan fauna laut, yaitu lumba-lumba, ikan hiu, ikan layur, ikan sidat, gurita, kepiting, rajungan, ikan tongkol dan ikan tuna yang melimpah jumlahnya. Pola iklim yang berubah membuat para nelayan beradaptasi dengan mengubah kalender penangkapan lobster mereka mengikuti perubahan dan pergeseran musim, para nelayan lobster memiliki mata pencaharian sampingan, seperti menjadi petani, peternak bahkan buruh dan para nelayan melakukan inovasi dan modifikasi pada alat penangkap lobster guna meningkatkan hasil tangkapan.

Kata Kunci: Nelayan Lobster, Adaptasi, Perubahan Iklim, Desa Karangwangi

PENDAHULUAN

Global warming atau pemanasan global adalah fenomena meningkatnya suhu bumi. Suhu adalah salah satu parameter dari iklim dengan begitu peningkatan suhu akan berpengaruh pada iklim bumi, terjadilah perubahan iklim secara global. Meningkatnya titik beku air laut akibat pemanasan global akan menghambat proses pertukaran panas, sehingga dapat merubah sirkulasi air laut dan mengakibatkan terjadinya perubahan iklim. Perubahan iklim memberikan dampak yang cukup besar terhadap pembangunan sosial ekonomi Indonesia.

1

Page 2: REVISI Noviyanti_59_Studi Strategi Adaptasi Nelayan Lobster Terhadap Perubahan Iklim Di Desa Karangwangi (2)

Dengan potensi Indonesia sebagai negara maritim, banyak penduduk Indonesia yang bermata pencaharian berkaitan dengan laut, salah satunya sebagai nelayan.

Masyarakat nelayan adalah golongan yang sangat merasakan dampak dari perubahan cuaca dan iklim. Masyarakat nelayan adalah masyarakat yang hidup, tumbuh, dan berkembang di kawasan pesisir, yakni suatu kawasan transisi antara wilayah darat dan laut (Ningsih dan Juhadi, 2012). Hubungan antara nelayan dengan lingkungannya (pesisir dan laut) diliputi situasi ketidakpastian. Angin kencang dan gelombang tinggi yang seringkali terjadi menyebabkan pola aktivitas melaut berubah yang berujung pada penurunan pendapatan nelayan (Helmi dan Arif, 2012).

Di Desa Karangwangi tercatat sebanyak 117 orang bermata pencaharian sebagai nelayan lobster. Nelayan lobster tersebut memiliki kalender dalam memanen lobster dari alam. Akibat perubahan iklim yang terjadi kini kalender tersebut mengalami pergeseran mengikuti perubahan musim setiap tahunnya.

Strategi adaptasi nelayan dipandang sebagai hal yang terkait dengan kemampuan respon masyarakat terhadap perubahan ekologis. Hal tersebut sangat penting untuk dipelajari karena strategi adaptasi yang dilakukan oleh nelayan memungkinkan nelayan mengatur sumberdaya terhadap persoalan-persoalan spesifik, seperti fluktuasi hasil tangkapan dan menurunnya sumberdaya perikanan, khususnya lobster pada penelitian ini. Strategi adaptasi tidak hanya bermanfaat untuk menyelamatkan perekonomian nelayan, tetapi juga untuk menjaga ekosistem laut dan pesisir melalui suatu pola pemanfaatan yang lestari. Kajian-kajian yang mengaitkan antara perubahan ekologis dengan respon nelayan masih sulit ditemukan. Bagaimana hubungan antara masyarakat (nelayan) dan sumberdaya alam serta keadaan cuaca atau iklim. Sebagian ahli memandang hal tersebut sebagai bagian dari persoalan adaptasi.

ALAT, BAHAN, DAN METODE

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat perekam, buku catatan, alat tulis dan kamera. Penelitian dilakukan di Desa Karawangi Kabupaten Cianjur pada 10 s.d 17 Mei 2015. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara purposive (sengaja), dengan pertimbangan bahwa lokasi penelitian merupakan desa yang sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai nelayan lobster.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif bersifat deskriptif analisis. Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer diperoleh melalui teknik wawancara mendalam (in-depth interview) dengan beberapa informan kunci yang bermukim di Desa Karawangi menggunakan pedoman wawancara sebagai pertanyaan dasar dan melakukan pengamatan secara langsung mengenai aktivitas penangkapan lobster di Muara Cilaki dan Pantai Kukumbung Desa Karangwangi. Selain data primer, pengumpulan data dalam penelitian ini juga menggunakan data sekunder. Sumber data sekunder dapat diperoleh dari Kantor Desa Karawangi, buku, internet, jurnal-jurnal penelitian, skripsi, tesis dan laporan penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini.

HASIL DAN DISKUSI

Tercatat sebanyak 117 orang di Desa Karangwangi bermata pencaharian sebagai nelayan lobster yang tersebar dalam sepuluh kelompok. Sebuah kelompok nelayan lobster disebut

2

Page 3: REVISI Noviyanti_59_Studi Strategi Adaptasi Nelayan Lobster Terhadap Perubahan Iklim Di Desa Karangwangi (2)

juga dengan KUB (Kelompok Usaha Bersama) diketuai oleh satu orang yang bertindak sebagai bandar dan beranggotakan 10-14 orang nelayan lobster. Bandar atau ketua KUB adalah orang yang bertindak sebagai pengumpul hasil tangkapan lobster dari anggota-anggota nelayan lobsternya.

Sejarah Nelayan Lobster di Desa Karangwangi

Nelayan lobster di Desa Karangwangi adalah orang yang sumber kehidupannya baik primer ataupun sekunder berasal dari aktivitas melaut, mencari dan menangkap lobster. Lobster yang ditangkap hidup secara alami di laut bukan hasil budidaya. Lobster secara langsung dan tidak langsung menjadi pokok kehidupan mereka. Secara langsung, lobster dapat dijadikan konsumsi pribadi sebagai pemenuhan kebutuhan diri dan keluarganya terhadap bahan pangan. Secara tidak langsung, lobster dapat dijual dan hasil dari penjualannya diperoleh bahan-bahan pangan lainnya, seperti beras, sayur-mayur, dan lauk-pauk; kebutuhan sandang, seperti pakaian; kebutuhan papan, seperti rumah dan kebutuhan penunjang kehidupan lainnya.

Mata pencaharian sebagai nelayan lobster sudah dilakukan setelah kemerdekaan Indonesia. Sekitar tahun 1970-1980, jumlah nelayan lobster yang ada di Desa Karangwangi ±17 orang. Seiring dengan bertambahnya tahun, bertambahnya jumlah penduduk, adanya jumlah lobster yang melimpah, kurangnya variasi mata pencaharian selain bertani dan berkebun, dan tingginya permintaan pasar domestik dan eksport menyebabkan mata pencaharian sebagai nelayan lobster ini banyak dilakukan oleh warga sebagai salah satu mata pencaharian yang menjanjikan.

Pada tahun 1990 jumlah warga yang bermata pencaharian sebagai nelayan lobster mencapai ±400 orang. Jika dibandingkan dengan tahun 2014 yang tercatat sebanyak 117 orang maka jumlah tersebut berkurang signifikan. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya (1) saat ini banyak pilihan mata pencaharian lain, yaitu menjadi PNS, wiraswasta, berdagang, TNI, POLRI, dan guru yang bagi sebagian orang pendapatannya lebih stabil daripada menjadi nelayan lobster; (2) berkurangnya jumlah tangkapan lobster karena pengaruh lingkungan dan manusia; (3) faktor keberanian dan kekuatan juga mempengaruhi mata pencaharian ini. Mata pencaharian nelayan lobster ini tidak bersifat turun temurun. Seseorang yang ingin menjadi nelayan lobster harus gigih, pantang menyerah, kuat secara fisik dan mental, tidak takut terhadap ombak beserta resiko laut lainnya dan tentunya dapat berenang.

Jenis Lobster yang Ditangkap

Udang lobster laut (Panulirus spp.) atau biasa disebut dengan udang barong atau udang karang adalah salah satu komoditas perikanan yang potensial dan bernilai ekonomis penting. Pemintaan pasar domestik dan ekspor ke Negara Hongkong, Taiwan, Singapura, Jepang dan Cina pada udang barong terus meningkat (DKP, 2011).

Lobster atau udang barong hidup pada habitat di perairan pantai yang banyak terdapat bebatuan atau pada daerah terumbu karang. Batuan dan terumbu karang dapat dijadikan oleh udang barong sebagai tempat bersembunyi dari predator dan juga berfungsi sebagai daerah mencari makan. Habitat umum untuk lobster laut sangat dipengaruhi oleh hidrodinamik dan turbiditas air laut (Musbir, dkk., 2014)

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan selama dua hari di TPI Muara Cilaki diketahui dua jenis lobster yang selalu ditangkap, yaitu lobster hijau (Panulirus versicolor) dan lobster merah (Panulirus longipes). Namun, dari hasil wawancara diperoleh jenis lobster lain, yaitu lobster batik atau mutiara (Panulirus ornatus).

3

Page 4: REVISI Noviyanti_59_Studi Strategi Adaptasi Nelayan Lobster Terhadap Perubahan Iklim Di Desa Karangwangi (2)

Lobster batik (P.longipes) dan lobster bambu (P.versicolor) adalah spesies udang barong yang berasosiasi dengan terumbu karang dalam area yang terlindung dari gelombang lautan. Sejumlah anakan lobster lebih senang untuk berlindung pada karang dan pecahan batu karang juga pada pinggiran akar pohon mangrove untuk menghindari penangkapan (Acosta dan Butler, 1997).

Habitat spesies P. longipes adalah perairan karang atau bebatuan yang dangkal tetapi terkadang dijumpai juga pada kedalaman 130 meter). Perairan yang disukai lobster adalah perairan yang jernih dengan arus sedang atau kadang-kadang sedikit keruh (Musbir, dkk., 2014).

Pengetahuan Nelayan Lobster Desa Karangwangi Terhadap Kondisi Lingkungan

Manusia dalam berinteraksi dengan lingkungannya menggunakan kebudayaan sebagai pedoman hidupnya dan sebagai alat untuk memenuhi seluruh kebutuhannya serta sebagai jembatan yang mengantarkannya ke berbagai sumber daya atau energi yang ada di dalam lingkungan (ekosistem). Berdasarkan unsur-unsurnya, kebudayaan memiliki tujuh unsur universal. Ke tujuh unsur tersebut adalah bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi dan sistem kesenian. Pada umunya kebudayaan tidaklah diwariskan secara genetika tetapi diperoleh manusia setelah kelahirannya melalui proses belajar (Suparlan, 2005 dalam Iskandar, 2009).

Berdasarkan hasil wawancara di lapangan dapat diketahui kebudayaan masyarakat nelayan dalam unsur sistem pengetahuan, khususnya mengenai pengetahuan kondisi yang baik untuk menangkap lobster atau tidak melalui pengamatan kondisi lingkungan di sekitar laut. Hal yang diperhatikan diantaranya kecepatan, arah dan besarnya angin, tingginya ombak dan waktu pasang surut, serta kecerahan langit.

Waktu untuk penangkapan lobster sebenarnya dapat dilakukan setiap hari. Namun, pada kondisi tertentu tidak dilakukan karena dapat membahayakan nyawa nelayan lobster tersebut. Kondisi yang membuat nelayan tidak melaut, seperti terjadinya angin yang kencang, besar dan tingginya ombak dan gelapnya langit. Untuk patokan pasang surut, seluruh nelayan melakukan observasi langsung ke laut dan menggunakan pengetahuan dari nenek moyang mereka mengenai hubungan sistem kalender hijriah dengan kondisi pasang surut laut karena sistem kalender hijriah menggunakan bulan sebagai acuan. Telah diketahui bahwa bulan merupakan penentu dari pasang surut air laut. Beberapa nelayan lobster mengatakan bahwa pasang surut air laut yang terbaik terjadi di pertengahan bulan hijriah, yakni tanggal 13-15. Pada tanggal tersebut, pasang tepat terjadi di tengah hari dan tengah malam.

Air laut terjadi pasang naik dan pasang surut disebabkan gaya tarik bulan atau gaya tarik bulan dan matahari terhadap bumi berdasarkan Hukum Newton. Hukum Newton berbunyi, “Dua benda tarik menarik dengan kekuatan yang berbanding lurus dengan besarnya massa I dan massa II dan berbanding terbalik dengan pangkat dua jaraknya”. Menurut Hukum Newton ini makin besar jaraknya makin kecil gaya tariknya. Pasang sebenarnya disebabkan oleh gaya gravitasi bulan dan matahari terhadap bumi akan tetapi karena bulan lebih dekat jaraknya terhadap bumi maka gaya gravitasi bulan yang lebih utama menyebabkan pasang. Pasang karena matahari hanya 5/11 pasang karena bulan, tetapi jika bulan dan matahari bekerja bersamaan, yaitu pada waktu bulan baru dan bulan purnama maka terjadilah pasang yang sangat besar. Pasang surut umumnya terjadi dua kali dalam sehari. Jika pasang terjadi pukul 12.00 siang dan pukul 24.00 malam, surut akan mulai pukul 06.00 pagi dan pukul 18.00 sore (Kamshory dan Syafii, 2014).

4

Page 5: REVISI Noviyanti_59_Studi Strategi Adaptasi Nelayan Lobster Terhadap Perubahan Iklim Di Desa Karangwangi (2)

Tengah bulan qomariyah (13-15) biasanya bumi diterangi oleh sinar bulan yang bulat penuh. Puncak fenomena pasang surut air laut terjadi di tanggal-tanggal ini. Malam ke-13 bulan menuju fullmoon (purnama penuh) sedangkan malam 14 dan 15 bulan pada posisi fullmoon. Selanjutnya, malam ke-16 bulan kembali menunju sabit. Malam ke-15 adalah puncak dari purnama sehingga malam ke-16 adalah adalah antiklimaks (Kamshory dan Syafii, 2014).

Dengan demikian, kebudayaan pembacaan tanda-tanda alam diperoleh dengan cara belajar. Berbagai pengetahuan penduduk lokal tersebut diwariskan kepada turunannya melalui tiga kategori tahapan perkembangan, yaitu parental, peer group dan individual learning (Iskandar, 2009). Penyebaran pengetahuan mengenai kondisi alam tersebut dominan melalui proses peer group. Informasi pada proses ini terjadi antar anggota nelayan dalam satu KUB ataupun dengan anggota KUB yang lainnya.

Pengetahuan Nelayan Lobster Terhadap Waktu Panen Lobster Berkaitan Kemunculan Flora dan Fauna Lain

Saat musim panen lobster tiba para nelayan mengetahui waktu tersebut berdasarkan tanda dari flora dan fauna yang keberadaannya mudah dijumpai dan jumlahnya banyak. Flora dan fauna tersebut bukan dari jenis yang habitatnya di darat, melainkan jenis tumbuhan dan binatang laut. Tumbuhan laut yang sering dijumpai saat panen lobster adalah makroalga atau penduduk setempat menyebutnya dengan sebutan ganggeung atau ganggang. Rumput laut atau ganggang adalah salah satu tumbuhan laut yang hidup di perairan pantai yang dangkal dengan subtrat dasar berupa pasir, pasir bercampur lumpur, karang mati maupun pecahan karang mati. Kehadiaran ganggang pada paparan terumbu karang dengan kedalaman perairan yang dangkal berkisar antara 1–5 meter. Jenis yang dapat dijumpai adalah Chaetmorpha crassa, Chaetomorpha spiralis, Codium sp., Padina antillarum, Euchema cotonii, Euchema spinusom, Borgesenia sp., Valonia sp., Ulva lactuca, Colpomenia spinuosa, Valonia aegagropila dan Sargassum spinuligerum. Makroalga yang memiliki dominansi dan jumlah yang tertinggi secara kualitatif berdasarkan hasil pengamatan di laut adalah Sargassum spinuligerum.

Kehadiran komunitas makroalga disuatu perairan memiliki peran yang cukup besar terhadap kehidupan biota laut sebagai tempat berlindung dan sebagai tempat mencari makan (Magruder, 1979 dan Kadi, 2004). Selain itu komunitas makroalga juga dapat berperan sebagai habitat bagi organisme laut lainnya, baik yang berukuran besar maupun kecil seperti Ampiphoda, kepiting dan biota laut lainnya, terutama lobster.

Sementara itu, fauna yang sering ditemukan saat panen lobster adalan lumba-lumba, gurita, ikan sidat, ikan layur, ikan tuna, ikan tongkol, ikan hiu, kepiting dan rajungan. Banyaknya fauna yang sering dijumpai saat panen lobster bisa dihubungkan dengan sistem jaring-jaring makanan di laut. Makroalga merupakan makanan bagi ikan-ikan kecil, ikan kecil merupakan makanan bagi ikan predator yang lebih besar.

Pergeseran Kalender Penangkapan Lobster Sebagai Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim

Pada umumnya Indonesia memiliki dua musim, yaitu musim hujan dan musim kemarau. Secara umum musim hujan terjadi antara bulan Oktober-Maret dengan puncaknya sekitar bulan Desember-Februari, disebabkan Monsun Dingin Asia. Sedangkan musim kemarau terjadi antara bulan April-September dengan puncaknya sekitar bulan Juni-Agustus, disebabkan Monsun Dingin Australia. Variasi cuaca dan iklim sangatlah perlu diperhatikan karena sebagian wilayah Indonesia terletak di Belahan Bumi Utara dan sebagian di Belahan Bumi Selatan. Musim hujan di Indonesia didefinisikan sebagai periode dengan jumlah curah

5

Page 6: REVISI Noviyanti_59_Studi Strategi Adaptasi Nelayan Lobster Terhadap Perubahan Iklim Di Desa Karangwangi (2)

hujan 150 mm dalam sebulan sedangkan musim kemarau didefinisikan sebagai periode dengan jumlah curah hujan kurang dari 150 mm dalam sebulan (BMG,2006 dalam Fadholi, 2013).

Patokan musim tersebut digunakan para nelayan lobster untuk menentukan kalender dalam memanen lobster dari alam. Musim panen lobster biasanya mulai pada bulan Agustus akhir hingga bulan Desember sebelum musim angin barat tiba. Kondisi oseanografi khususnya suhu dapat mengalami fluktuasi baik harian maupun musim dan dapat ditemui adanya kondisi yang ekstrim. Sumber daya lobster bergantung pada kondisi lingkungan sehingga ketika terjadi perubahan kondisi lingkungan menyebabkan lobster akan merespon dengan menghindar dari lingkungan yang tidak sesuai. Respon ini menunjukan bahwa pada sumber daya lobster terdapat batas-batas toleransi terhadap perubahan berbagai kondisi lingkungan sebagaimana diungkapkan oleh Nybakken (1992) bahwa setiap spesies dalam komunitas mempunyai daya toleransi tertentu terhadap tiap – tiap faktor dan semua faktor lingkungan.

Musim kemarau yang panjang akan mengakibatkan keuntungan yang berlimbah karena pada musim kemarau salinitas air laut tinggi dan suhu laut hangat sesuai untuk kegiatan bertelur lobster. Lobster akan banyak mudah ditemukan di sekitar batu karang yang letaknya tidak jauh dari garis pantai. Pada saat musim kemarau angin relatif lemah sehingga proses pemanasan di permukaan terjadi lebih kuat. Tingginya intensitas penyinaran dan dengan kondisi permukaan laut yang lebih tenang menyebabkan penyerapan panas ke dalam air laut lebih tinggi sehinga suhu air menjadi maksimum (Rasyid, 2010).

Sementara itu, saat musim hujan jumlah tangkapan lobster mengalami penurunan. Saat hujan salinitas air laut menurun karena bercampur dengan air hujan yang tawar dan suhu laut menjadi dingin. Kondisi tersebut kurang sesuai untuk bertelur dan kehidupan lobster sehingga lobster akan berpindah ke laut yang lebih dalam yang memiliki salinitas lebih stabil. Suhu yang dingin tersebut disebabkan karena pada musim tersebut kecepatan angin sangat kuat dan curah hujan tinggi. Tingginya curah hujan berarti intensitas penyinaran relatif rendah dan permukaan laut yang lebih bergelombang mengurangi penetrasi panas ke dalam air laut, hal inilah yang mengakibatkan suhu permukaan mencapai minimum (Rasyid, 2010).

Semua organisme laut (kecuali mammalia) bersifat poikilotermik, yaitu tidak dapat mengatur suhu tubuhnya. Selama hidupnya suhu tubuh organisme perairan sangat tergantung pada suhu air laut tempat hidupnya. Oleh karena itu, adanya perubahan suhu air akan membawa akibat yang kurang menguntungkan bagi organisme perairan diantaranya kematian, menghambat proses pertumbuhan, mengganggu proses respirasi, dan lain-lain

Pengaruh suhu air pada tingkah laku lobster paling jelas terlihat selama pemijahan. Suhu air laut dapat mempercepat atau memperlambat mulainya pemijahan pada beberapa jenis lobster dan ikan. Suhu air dan arus selama dan setelah pemijahan adalah faktor - faktor yang paling penting yang menentukan kekuatan keturunan dan daya tahan anakan pada spesies - spesies lobster dan ikan. Suhu ekstrim pada daerah pemijahan (spawning ground) selama monsun pemijahan dapat memaksa lobster dan ikan untuk memijah di daerah lain daripada di daerah tersebut. Perubahan suhu jangka panjang dapat mempengaruhi perpindahan tempat pemijahan dan fishing ground secara periodik (Reddy, 1993).

Inovasi dan Modifikasi dalam Peralatan Penangkapan Lobster Sebagai Adaptasi dalam Bidang Teknologi

Perubahan yang terjadi terhadap keadaan alam, seperti iklim yang tidak dapat diprediksi lagi membuat nelayan lobster melakukan inovasi dan modifikasi dalam peralatan penangkap lobster yang meraka gunakan. Hal ini bertujuan untuk menaikkan jumlah tangkapan lobster.

6

Page 7: REVISI Noviyanti_59_Studi Strategi Adaptasi Nelayan Lobster Terhadap Perubahan Iklim Di Desa Karangwangi (2)

Terdapat empat alat yang digunakan dalam penangkapan lobster. Pertama adalah dengan mengunakan pancingan. Pancingan untuk lobster pada umumnya tidak berbeda dengan pancingan yang digunakan untuk memancing ikan. Namun, untuk pancingan lobster harus memiliki tiga buah kail dan umpannya dapat berupa makroalga, seperti Sargassum sp. dan jenis ikan-ikan kecil, seperti ikan layur.

Alat yang kedua adalah jaring ampar. Penggunaan jaring ampar tidak berubah dari waktu ke waktu. Jaring ditempatkan atau di kaitkan di sekitar batu karang dan dibiarkan semalam, esok harinya jaring diambil. Peletakkan jaring ampar di dekat batu karang dikarenakan lobster banyak beraktivitas di sekitar batu karang dan di batu karanglah tempat hidup makroalga yang menjadi sumber makanan dan tempat berpijah lobster. Penggunaan jaring ampar ini tidak memerlukan alat bantu lainnya.

Alat yang ketiga adalah jaring pasang. Pengambilan lobster menggunakan alat ini disebut dengan nyumen, yaitu berenang melawan arus menggunakan ban dengan membawa jaring. Alat bantu lainnya yang dibutuhkan adalah ban dan piring plastik. Jaring ini dipasang di perairan diantara bebatuan karang. Penggunaan ban ini baru mulai digunakan sekitar tahun 1995 dengan piring plastik sebagai dayung sederhana. Sebelumnya, saat ban belum digunakan nelayan hanya memakai kompan atau dirigen kecil yang diikatkan di bahu kanan, bahu kiri, pinggang bagian kanan dan pinggang bagian kiri tubuhnya dan tidak menggunakan alat bantu dayung apapun. Seiring dengan perkembangan zaman, jumlah kendaraan yang semakin banyak dan bervariasi, mereka mencetuskan ide dengan penggunaan ban dalam kendaraan sebagai pengganti kompan atau dirigen. Mereka akan naik ke atas ban dan dengan posisi duduk dan berenang ke tempat pemasangan jaring yang diinginkan. Ukuran ban yang digunakan dari waktu ke waktu juga terjadi perubahan. Sebelumnya digunakan ban dengan ukuran yang kecil karena pada masa lalu kendaraan masih sangat terbatas. Saat ini digunakan ban dalam dari truk besar. Bentuk ban yang digunakan juga mengalami modifikasi. Dahulu ban yang digunakan hanya berbentuk bulat, tetapi saat ini ban bulat tersebut dibentuk lonjong seperti perahu dengan cara mengikatnya menggunakan tali tambang. Bentuk ban yang melonjong seperti perahu ini memudahkan nelayan dalam membawa jaring dan peralatan lainnya yang dibutuhkan. Penggunaan ban dengan segala modifikasinya kini telah dipakai oleh seluruh nelayan. Jaring yang digunakan biasanya memiliki panjang 25-30 meter dengan tinggi 1,5 meter dan ukuran lubang jaring 2-4 inchi.

Alat keempat adalah jodang. Jodang adalah jaring yang dikaitkan pada bambu atau besi berbentuk segi empat ataupun lingkaran pada umumnya. Ukuran jodang bervariasi, jodang berbentuk lingkaran memiliki diameter 1-1,2 meter. Penggunaan jodang ini biasanya dilengkapi dengan umpan. Umpan yang umumnya digunakan adalah “tamikil”, sejenis moluska dengan nama latin Chiton sp. ataupun dengan ikan-ikan kecil, seperti layur. Umpan ini diletakkan di bagian tengan jodang. Chiton sp. lebih sering digunakan karena lebih tahan lama dan dapat digunakan berkali-kali jika dibandingkan dengan ikan kecil yang mudah habis dan mudah membusuk. Chiton sp. memiliki tubuh bagian luar yang keras. Jodang diletakkan di perairan sempit di sekitar batu karang yang sulit di pasang jaring pasang. Pemasangan dan pengambilan jodang umumnya dibarengi dengan jaring pasang. Dibagian bambu ataupun besi jodang dikaitkan tali tambang dengan busa ataupun benda yang mengapung lainnya sebagai penanda letak jodang dan untuk penarikan jodang.

Peralatan keamanan dan keselamatan yang digunakan adalah sepatu dan jaket pelampung. Saat melakukan observasi di lapangan, tidak ada satupun nelayan yang memakai jaket pelampung. Menurut mereka jaket pelampung membatasi gerak mereka di atas ban. Sepatu ataupun kaos kaki tebal digunakan saat berenang agar menghindari luka di bagian kaki akibat

7

Page 8: REVISI Noviyanti_59_Studi Strategi Adaptasi Nelayan Lobster Terhadap Perubahan Iklim Di Desa Karangwangi (2)

tajamnya bebatuan karang dan bulu babi di sekitar batu karang. Ombak yang besar dapat menghempaskan nelayan ke bebatuan karang.

Mata pencaharian Sampingan Sebagai Adaptasi Terhadapa Perubahan Iklim

Adanya musim paceklik dan musim panen lobster membuat para nelayan lobster melakukan adapatasi dalam mata pencaharian. Seluruh nelayan memiliki mata pencaharian sampingan. Saat musim hujan atau ketika jumlah lobster menurun pada umumnya para nelayan yang memiliki sawah akan menjadi petani padi dengan sistem sawah tadah hujan. Menjadi petani tidak seutuhnya mengahalangi atau membuat mereka meninggalkan kegiatan mereka di laut, hanya saja porsi waktu yang digunakan lebih besar di persawahan dibanding dengan di laut. Selain menjadi petani, sebagian nelayan juga menjadi peternak. Hewan yang diternakan umumnya adalah sapi dan kambing. Saat musim panen lobster, urusan ternak akan dialihkan kepada istri, anggota keluarga yang lain atupun dengan memakai jasa buruh. Bagi para nelayan yang tidak memiliki sawah ataupun hewan ternak, alternatif mata pencaharian yang dapat dijalani adalah dengan menjadi buruh. Baik buruh tani, buruh ternak, buruh kelapa sawit ataupun kuli bangunan ke kota-kota besar.

Sebagai suatu proses perubahan adaptasi dapat berakhir dengan sesuatu yang diharapkan atau tidak diharapkan. Oleh karenanya, adaptasi merupakan suatu sistem interaksi yang berlangsung terus antara manusia dengan manusia dan antara manusia dengan ekosistemnya. Dengan demikian, tingkah laku manusia dapat mengubah suatu lingkungan atau sebaliknya, lingkungan yang berubah memerlukan suatu adaptasi yang selalu dapat diperbaharuhi agar manusia dapat bertahan dan melangsungkan kehidupan di lingkungan tempat tinggalnya (Bennett 1976 dalam Helmi dan Arif, 2012).

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat diperoleh kesimpulan bahwa (1) nelayan lobster di Desa Karangwangi sebelum melaut melakukan pengamatan terhadap kondisi lingkungan sekitar. Hal yang diperhatikan diantaranya kecepatan, arah dan besarnya angin, tingginya ombak dan waktu pasang surut, serta kecerahan langit. Pengamatan kondisi lingkungan di sekitar laut tersebut ada yang sifatnya turun temurun dari generasi yang lebih tua ke generasi yang lebih muda, tetapi lebih banyak berasal dari pembelajaran dan pengalaman pribadi; (2) kemunculan flora dan fauna laut dapat menjadi tanda bahwa masa panen lobster telah tiba. Saat masa panen lobster akan terdapat jumlah makroalga terutama jenis Sargassum sp. yang melimpah dan fauna laut yang banyak dijumpai adalah lumba-lumba, ikan hiu, ikan layur, ikan sidat, rajungan, kepiting, ikan tuna, ikan tongkol dan gurita (3) terjadinya perubahan iklim yang saat ini tidak dapat lagi diprediksi membuat nelayan lobster melakukan adaptasi. Adaptasi yang dilakukan diantaranya mengubah kalender masa panen lobster mereka mengikuti pergeseran musim, saat musim paceklik nelayan memiliki mata pencaharian sampingan, seperti menjadi petani, peternak ataupun sebagai buruh dan dalam bidang teknologi nelayan lobster melakukan inovasi dan modifikasi alat penangkap lobster untuk memaksimalkan jumlah lobster yang ditangkap.

Strategi adaptasi tidak hanya bermanfaat untuk menyelamatkan perekonomian nelayan namun juga menjaga ekosistem laut dan pesisir melalui suatu pola pemanfaatan yang lestari. Kajian-kajian yang mengaitkan antara perubahan ekologis dengan respon nelayan masih sulit ditemukan. Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai adaptasi nelayan, dengan melakukan penilaian efektivitas dengan menggali indikator yang terkait dengan sustainable

8

Page 9: REVISI Noviyanti_59_Studi Strategi Adaptasi Nelayan Lobster Terhadap Perubahan Iklim Di Desa Karangwangi (2)

livelihoodasset, livelihood outcomes, dan sustainable fisheries. Perlu juga adanya penelitian mengenai teknik budidaya lobster air laut secara murah, mudah dan efesien agar nelayan lobster dapat mengurangi ketergantungannya dirinya terhadap iklim dan hasil lobster alami yang jumlahnya semakin berkurang disebabkan banyak faktor. Diperlukan pula bantuan dari pemerintah dalam pemulihan dan pelestarian habitat lobster yang telah rusak dan yang masih ada agar terjadi peningkatan hasil tangkapan lobster yang berkualitas.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis ucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah membantu dan mendukung kegiatan penelitian khususnya kepada masyarakat Desa Karangwangi dan pihak Cagar Alam Bojonglarang Jayanti yang telah membantu dalam menyediakan fasilitas dan prasarana demi kelancaran penelitian Kuliah Kerja Lapangan ini.

REFERENSI

Acosta, C.A and M.J. Butler. 1997. Role of mangrove habitat as a nursery for juvenile spiny lobster, Panulirus argus, in Belize. Mar Freshwater Res., 48,721-727.

Dinas Kelautan dan Perikanan dan Sulawesi Selatan. 2011. Laporan Statistik Perikanan Propinsi Sulawesi Selatan. Propinsi Sulawesi Selatan

Fadholi, Akhmad. 2013. Studi Dampak El Nino dan Indian Ocean Dipole (IOD) Terhadap Curah Hujan Di Pangkalpinang. Jurnal Ilmu Lingkungan , Vol 11(1):43 50

Helmi, Alfian dan Arif Satria. 2012. Strategi Adaptasi Nelayan Terhadap Perubahan Ekologis. Jurnal Makara, Sosial Humaniora, Vol. 16, No. 1

Iskandar, Johan. 2009. Ekologi Manusia dan Pembangunan Berkelanjutan.Program Studi Magister Ilmu Lingkungan, Universitas Padjajaran.

Kadi, A. 2005. Beberapa catatan kehadiran marga sargassum di perairan Indonesia. Jurnal Oseanologi di Indonesia, 4

Kamshory dan Syafii. 2014. Simulator Posisi Matahari dan Bulan Berbasis Web dengan WEBGL. Jurnal Nasional Teknik Elektro, Vol: 3 No. 2

Magruder, W.H. 1979. Seaweed of Hawai. The Oriental Puslishing Company, Honolulu.

Musbir, Sudirman dan Mahfud Palo. 2012. Penggunaan Atraktor Buatan yang Ramah Lingkungan Dalam Pemanenan Anakan Udang Lobster Laut (Panulirus spp.) Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1

Ningsih, Novia Retno; Juhadi, Saptono Putro. 2012. Pengaruh Pemanasan Global Terhadap Pola Mata Pencaharian Nelayan Serta Dampaknya Pada Minat Dan Hasil Belajar Anak Di Kelurahan Tegalkamulyan Kecamatan Cilacap Selatan Kabupaten Cilacap. Jurnal Edu Geography 1 (1)

Nybakken, J. 1992. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologis. Terjemahan. PT. Gramedia Pustaka Utama : Jakarta.

9

Page 10: REVISI Noviyanti_59_Studi Strategi Adaptasi Nelayan Lobster Terhadap Perubahan Iklim Di Desa Karangwangi (2)

Rasyid, Abd. 2010. Distribusi Suhu Permukaan Pada Musim Peralihan Barat-Timur Terkait dengan Fishing Ground Ikan Pelagis Kecil di Perairan Spermonde. Torani (Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan ) Vol. 20 (1)

Reddy, M.P.M. 1993. Influence of the Various Oceanographic Parameters on the Abundance of Fish Catch. Proceeding of International workshop on Apllication of Satellite Remote Sensing for Identifying and Forecasting Potential Fishing Zones in Developing Countries, India, 7-11 December 1993.

10