review hanta yuda + analisa politik poltracking

297
Sindrom Partai Gagal Vitalisasi kekuasaan partai politik pada era reformasi ini jadi berita gembira bagi demokrasi Indonesia (menjadikan partai sebagai institusi utama dalam negara demokrasi modern) sekaligus kabar buruk karena akan jadi ancaman bagi masa depan demokrasi apabila partai menyimpang dan gagal menjalankan fungsi intermediasi dalam negara demokrasi. Pasalnya, kegagalan partai dengan postur kekuasaan yang kuat itu akan bikin demokrasi mengidap sindrom partai gagal, suatu kondisi ketika postur kekuasaan dan kewenangan partai sangat kuat, tetapi menyimpan banyak penyakit dan penyimpangan demokrasi. Itu disebabkan kekuasaan partai menguat, tetapi tak diimbangi dengan sistem imunitas berupa penguatan sistem dan pelembagaan internal organisasi sehingga mudah terjangkit virus penyimpangan partai. Efek sindrom Sindrom partai gagal akan berimbas terhadap institusi demokrasi (eksekutif-legislatif-yudikatif) dan perilaku elite politik (pejabat publik) yang perekrutannya melibatkan partai politik. Karena itu, problem di lembaga legislatif, eksekutif, bahkan yudikatif hari-hari ini sangat mungkin merupakan imbas dari sindrom partai gagal. Partai politik gagal mengantisipasi berbagai virus penyakit kronis dan penyimpangan sulit terbantahkan. Paling tidak ada empat penyimpangan virus politik yang gagal diantisipasi partai-partai (partai gagal) secara bervariasi: virus pragmatisme yang kian menggerogoti perilaku para elite, kader, dan konstituen partai; virus kartelisme yang menyerang perekrutan dan suksesi kepengurusan di dalam partai; virus

Upload: ekho109

Post on 25-Jun-2015

1.538 views

Category:

News & Politics


6 download

DESCRIPTION

dikompilasi dari poltracking.com

TRANSCRIPT

Page 1: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Sindrom Partai Gagal

Vitalisasi kekuasaan partai politik pada era reformasi ini jadi berita gembira bagi demokrasi Indonesia (menjadikan partai sebagai institusi utama dalam negara demokrasi modern) sekaligus kabar buruk karena akan jadi ancaman bagi masa depan demokrasi apabila partai menyimpang dan gagal menjalankan fungsi intermediasi dalam negara demokrasi.

Pasalnya, kegagalan partai dengan postur kekuasaan yang kuat itu akan bikin demokrasi mengidap sindrom partai gagal, suatu kondisi ketika postur kekuasaan dan kewenangan partai sangat kuat, tetapi menyimpan banyak penyakit dan penyimpangan demokrasi. Itu disebabkan kekuasaan partai menguat, tetapi tak diimbangi dengan sistem imunitas berupa penguatan sistem dan pelembagaan internal organisasi sehingga mudah terjangkit virus penyimpangan partai.

Efek sindrom

Sindrom partai gagal akan berimbas terhadap institusi demokrasi (eksekutif-legislatif-yudikatif) dan perilaku elite politik (pejabat publik) yang perekrutannya melibatkan partai politik. Karena itu, problem di lembaga legislatif, eksekutif, bahkan yudikatif hari-hari ini sangat mungkin merupakan imbas dari sindrom partai gagal.

Partai politik gagal mengantisipasi berbagai virus penyakit kronis dan penyimpangan sulit terbantahkan. Paling tidak ada empat penyimpangan virus politik yang gagal diantisipasi partai-partai (partai gagal) secara bervariasi: virus pragmatisme yang kian menggerogoti perilaku para elite, kader, dan konstituen partai; virus kartelisme yang menyerang perekrutan dan suksesi kepengurusan di dalam partai; virus oligarkisme yang menginternalkan model kepemimpinan dan pengambilan keputusan di dalam partai; serta virus faksionalisme yang semakin melemahkan kelekatan organisasi partai.

Menguatnya pragmatisme para politisi merupakan imbas kegagalan partai politik menjalankan sistem kaderisasi dan ideologisasi. Keterikatan politikus dengan ideologi partai sangat lemah. Akibat kealpaan ini, kaderisasi partai cenderung menghasilkan politikus tanpa ideologi. Karena itu pula, gejala lompat pagar para politisi belakangan ini merupakan indikasi kuat tentang kegagalan partai menjalankan ideologisasi dan kaderisasi.

Pragmatisme politik tak hanya menghinggapi elite politik, tetapi juga kader, anggota, dan pemilih partai. Gejala ini mengindikasikan kegagalan partai menjalankan fungsi pendidikan politik bagi kader dan pemilih. Dampak pragmatisme ini memerosotkan militansi kader sehingga mesin organisasi partai tak berjalan optimal. Pada situasi rendahnya militansi kader

Page 2: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

dan menguatnya pragmatisme pemilih, partai cenderung menggunakan cara instan menarik simpati pemilih dengan menggunakan kekuatan politik uang.

Menguatnya virus kartelisme dalam seleksi kepemimpinan politik (pencalonan kepala daerah, anggota legislatif, dan pemimpin lembaga yudikatif serta komisi negara) yang tak transparan, oligarkis, dan transaksional merupakan bukti kegagalan partai menjalankan fungsi perekrutan politik secara demokratis, transparan, dan berbasis meritokrasi. Indikasinya, kepala daerah dan anggota legislatif banyak terjerat kasus korupsi dan produktivitas kinerja lembaga legislatif rendah. Partai terkartelisasi juga menyebabkan terpisahnya pemimpin partai dengan konstituen serta ideologi tak mencerminkan perilaku partai.

Virus oligarki menjangkit partai memang sudah menjadi gejala umum sebagaimana disinyalkan Robert Michels seabad silam tentang hukum besi oligarki: bahwa setiap organisasi partai politik pada hakikatnya hanya dikuasai segelintir elite. Alih-alih menerapkan model kepemimpinan demokratis berbasis sistem untuk mengantisipasi gejala itu, partai justru cenderung memelihara berkembang biaknya personalisasi kekuasaan dan menyuburkan kepemimpinan oligarkis.

Faksionalisasi juga sebenarnya merupakan gejala umum yang menghinggapi partai. Namun, partai politik-partai politik gagal mengelola dan mengantisipasi potensi faksionalisme itu. Faksionalisme yang berkepanjangan jelas menyebabkan semakin melemahnya konsolidasi organisasi. Para elite partai saling melemahkan dan tidak saling mendukung. Implikasi kegagalan mengelola faksionalisme, faksi yang terpinggirkan cenderung membentuk partai baru atau para politikus berpindah ke partai lain, seperti gejala belakangan ini.

Maka, partai perlu meningkatkan sistem imunitas melawan virus pragmatisme, kartelisme, oligarkisme, dan faksionalisme melalui penguatan kelembagaan dan demokratisasi sistem internal partai.

Sistem imunitas

Paling tidak ada empat agenda institusionalisasi dan demokratisasi demi sistem imunitas. Pertama, ideologisasi kader dengan menggalakkan program pengakaran ideologi bagi kader dan anggota partai melalui sistem kaderisasi yang melembaga serta gerakan pendidikan politik bagi pemilih sembari mengintensifkan hubungan partai dan pemilih melalui program pengakaran partai.

Kedua, revitalisasi ideologi, gagasan, dan platform partai melalui transformasi komunikasi politik. Strategi menjual popularitas tokoh dan jargon politik mulai ditransformasikan dengan menawarkan platform, gagasan, serta program yang menarik dan inovatif agar menjadi partai berorientasi program dan kinerja.

Ketiga, demokratisasi sistem perekrutan dan penjaringan jabatan publik (presiden, gubernur, bupati, wali kota, dan anggota legislatif) di dalam partai melalui mekanisme konvensi partai

Page 3: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

yang terbuka, berbasis meritokrasi, dan melibatkan anggota partai. Tentu konvensi yang demokratis dan transparan perlu didahului dengan pemilu pendahuluan yang melibatkan kader dan anggota sebagai pemilik saham terbesar di partai. Hal ini dapat mengurangi potensi politik uang, memutuskan rantai oligarki elite di partai, sekaligus mengelola faksionalisme secara terlembaga.

Keempat, modernisasi organisasi dan demokratisasi sistem pengambilan keputusan dengan melembagakan sistem kepemimpinan kolektif-kolegial sembari perlahan memutus mata rantai oligarki dan personalisasi politik dengan melepaskan diri dari ketergantungan pada sosok personal dan segelintir elite.

Sumber: http://nasional.kompas.com/read/2011/05/27/03211859/Sindrom.Partai.Gagal

Page 4: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Titik Balik Demokrat?

Kepercayaan publik yang kian luntur terhadap Partai Demokrat tecermin dalam hasil jajak pendapat Kompas, Senin (4/7). Menurut jajak pendapat itu, hanya tersisa 35,6 persen pemilih Partai Demokrat dalam Pemilu 2009 yang akan tetap kembali memilihnya.

Pasalnya, publik kian tak yakin Partai Demokrat dapat mendorong upaya pemberantasan korupsi dan mewujudkan pemerintahan yang bersih setelah mencuatnya kasus mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin dan Ketua Divisi Komunikasi Publik Partai Demokrat Andi Nurpati.

Padahal, sebelumnya partai yang kelahirannya dibidani Susilo Bambang Yudhoyono ini—belum genap berusia delapan tahun—berhasil meraih kemenangan spektakuler dalam pemilu legislatif 2009 dengan memperoleh 20,8 persen suara dan 148 kursi DPR sekaligus meraih prestasi gemilang memenangi pemilihan presiden dalam satu putaran. Saat itulah puncak keemasan perjalanan Partai Demokrat.

Namun, belum genap pula berusia 10 tahun, partai yang dideklarasikan pada 9 September 2001 itu mulai memperlihatkan tanda-tanda mengalami titik balik sejarahnya. Gejala ini memunculkan pertanyaan reflektif: apa saja kekuatan utama Partai Demokrat pada 2009, lalu apa pula tanda-tanda melemahnya kekuatan itu.

Kekuatan 2009

Paling tidak ada empat penyangga kekuatan elektabilitas Partai Demokrat yang berhasil mengantarkannya sebagai pemenang Pemilu 2009. Pertama, kekuatan figur sentral Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono. Meskipun persentase dukungan terhadap Yudhoyono jauh lebih tinggi dari perolehan dukungan terhadap Partai Demokrat, elektabilitas keduanya berkorelasi positif. Artinya, dukungan terhadap Yudhoyono berpengaruh pada Partai Demokrat. Karena itu, kekuatan figur Yudhoyono merupakan salah satu kunci kemenangan Partai Demokrat pada 2009.

Kedua, kekuatan kinerja pemerintah. Partai Demokrat berhasil mengklaim program-program populis dan keberhasilan pemerintah—seperti bantuan langsung tunai, bantuan operasional sekolah, dan PNPM Mandiri—menjadi prestasinya. Meski Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla juga berperan penting, klaim keberhasilan itu berhasil dicitrakan sepenuhnya sebagai kesuksesan Partai Demokrat. Karena itu, kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah juga jadi faktor penting kemenangan Partai Demokrat pada 2009.

Ketiga, kekuatan Partai Demokrat sebagai partai yang paling positif citranya dalam persepsi pemilih berdasarkan survei-survei menjelang Pemilu 2009. Partai Demokrat dianggap sebagai

Page 5: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

partai paling bersih dari korupsi. Citra bersih dan antikorupsi ini juga mendukung kemenangan Partai Demokrat pada Pemilu 2009.

Keempat, kekuatan soliditas internal. Kalaupun ada faksionalisme di Partai Demokrat, tentu tak sekuat di Partai Golkar karena adanya kekuatan figur Yudhoyono sebagai pemersatu partai. Faktor soliditas dan keberhasilan mengelola faksionalisme ini juga jadi faktor pendukung kemenangan Partai Demokrat pada Pemilu 2009.

Keempat faktor inilah penyangga utama kekuatan Partai Demokrat pada 2009. Lalu, bagaimana kondisinya hari-hari ini? Apakah keempat modalitas itu masih kukuh dan dapat diandalkan pada 2014?

Titik kritis 2014

Tanda-tanda Partai Demokrat mulai mengalami titik kritis terindikasi dari melemahnya empat penyangga kekuatan elektoralnya selama ini. Pertama, kekuatan figur dan karisma Yudhoyono mulai mengalami titik balik. Yudhoyono yang tidak dapat dicalonkan lagi dalam Pemilu 2014 akan berpengaruh terhadap Partai Demokrat, apalagi jika tingkat kepuasan dan kepercayaan publik terhadap Presiden Yudhoyono semakin merurun. Artinya, figur Yudhoyono tak dapat lagi diandalkan sebagai jualan utama Partai Demokrat pada 2014. Kalaupun masih, dipastikan daya tariknya tak sekuat pada 2009. Hal ini menjadi titik kritis bagi Partai Demokrat pada 2014 mengingat Partai Demokrat sejak awal mengalami personalisasi dan menjadikan figur sebagai jualan utama.

Kedua, kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah semakin menurun. Indikasi itu terlihat dari tren penurunan dalam hasil jajak pendapat dan survei belakangan ini. Pemerintah dinilai gagal menuntaskan kasus-kasus besar, seperti Bank Century, mafia perpajakan, rekening gendut pejabat kepolisian, dan yang paling anyar adalah kasus Nazaruddin. Jika tak ada prestasi luar biasa dan kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah terus menurun, hal itu akan menjadi kabar buruk bagi Partai Demokrat.

Ketiga, citra Partai Demokrat sebagai partai bersih dan antikorupsi semakin memudar, terutama setelah mencuatnya kasus Nazaruddin dan Andi Nurpati. Sebelumnya beberapa kasus juga menyerempet nama-nama petinggi Partai Demokrat di pusat dan di daerah. Sinyalemen itu setidaknya terbaca dari jajak pendapat Kompas pada 4 Juli bahwa 71,5 persen menganggap citra Partai Demokrat buruk. Memburuknya citra Partai Demokrat menjadi titik kritis dalam menghadapi Pemilu 2014.

Keempat, soliditas Partai Demokrat semakin melemah akibat menguatnya pertarungan faksi-faksi internal yang dipicu kasus Nazaruddin. Bahkan, belakangan mulai muncul isu kongres luar biasa. Para elite dalam faksi cenderung saling melemahkan. Seandainya gagal mengelola faksionalisme itu, terancamlah Partai Demokrat pada Pemilu 2014.

Keempat hal inilah titik kritis Partai Demokrat pada 2014 yang dapat diprediksi sejak awal. Tahun lalu, bertepatan dengan kongres partai ini di Bandung, saya menulis di harian ini

Page 6: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

tentang ”Problem Gigantisme Demokrat” (21/5/2010). Partai Demokrat mengidap ”politik gigantisme”, suatu kondisi di mana postur elektoral meraksasa dalam rentang usia relatif pendek, sementara postur kelembagaan tak sanggup mengimbangi, menyebabkan beberapa risiko komplikasi politik, di antaranya problem ketergantungan pada figur Yudhoyono dan ancaman faksionalisme.

Posisi Yudhoyono sebagai ”Bapak” bagi semua ”kelompok” dan faksi politik di dalam Partai Demokrat menyebabkan elite Partai Demokrat tak terbiasa menyelesaikan persoalan internal secara mandiri dan terlembaga. Dampaknya, sumber konflik itu tak pernah tuntas. Kondisi inilah yang akan jadi bom waktu bagi Partai Demokrat ketika kekuasaan dan karisma Yudhoyono memudar.

Akhirnya, semua berpulang kepada Yudhoyono dan elite Partai Demokat. Sejauh mana kesungguhan dalam mengurangi ketergantungan pada figur Yudhoyono sembari menyiapkan calon presiden 2014; sukses menuntaskan kasus besar untuk meningkatkan kepercayaan publik; serius membersihkan citra partai; dan berhasil mengelola faksionalisme. Jika keempat itu gagal, hampir dapat dipastikan Demokrat akan mengalami titik balik sejarahnya.

Hanta Yuda AR, Direktur Eksekutif Pol-Tracking

Sumber : Kompas, 7 Juli 2011

Page 7: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Pemuda dan Mimpi Indonesia

Artikel ini saya tulis berawal dari diskusi ringan dengan seorang teman yang bercerita tentang te tangganya di sebuah kota kecil di JawaBarat yang memiliki visi sederhana, tetapi agak ganjil, mengenai anak laki-lakinya (seorang pemuda). Dia berencana menyekolahkan putranya hingga pendidikan tinggi di kota tempat tinggalnya-ketimbang kuliah di kota besar--sehingga bisa menghemat biaya. "Penghematan"itu akan digunakan untuk biaya suap masuk pegawai negeri sipil jika saatnya tiba.

Lalu saya menimpali, lebih parah lagi, tetangga saya di kampung telah "menunaikan"visi ganjil itu, setelah menyekolahkan anak perempuannya (seorang pemudi) hingga pendidikan sarjana di sebuah kota besar, lalu masuk pegawai negeri dengan uang pelicin (suap) yang sudah disiapkannya sejak lama. Jumlahnya lumayan fantastis. Setara dengan 60 bulan gaji pegawai negeri golongan III-A. Itu artinya, dia butuh waktu kerja 5 tahun untuk bisa kembali modal.

Apakah kedua fenomena ini ada korelasinya dengan maraknya korupsi dan terungkapnya berbagai kasus mafia pajak dan mafia hukum belakangan ini? Tentu banyak perspektif untuk membaca kedua fenomena itu. Salah satunya, potret tentang semakin lunturnya visi dan mimpi para generasi muda tentang Indonesia, di satu sisi; dan kian pupusnya harapan sebagian warga untuk menikmati janji-janji kemerdekaan Indonesia seperti terekam dalam Pembukaan UUD 1945, di sisi lain.

Tiga mimpi kolektif pemuda Indonesia dalam Sumpah Pemuda 1928--berbangsa satu, bangsa Indonesia; bertumpah darah satu, tanah air Indonesia; serta berbahasa satu, bahasa Indonesia--tidak hanya mengandung pesan persatuan, tetapi sejatinya juga tersirat pesan tentang keadilan dan persamaan bagi semua, bahwa Indonesia untuk semua warga. Hal itu ditegaskan 17 tahun kemudian dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai janji-janji kemerdekaan, bahwa dua tujuan utama negara-mimpi kolektif bangsa Indonesia--adalah memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Optimisme kolektif Fenomena ini tentu memunculkan pertanyaan penting bagi para pemuda Indonesia: bagaimana peran dan fungsi pemuda Indonesia dalam mengawal perjalanan bangsa?Paling tidak, ada dua perspektif untuk menjawab pertanyaan itu. Pertama, perspektif masa kini, berhubungan dengan posisi strategis pemuda dalam mengawal perjalanan bangsa. Kedua, perspektif masa depan, berkaitan dengan apa saja yang perlu dipersiapkan untuk masa depan dalam menggapai mimpi individu setiap pemuda tentang dirinya dan tentang Indonesia.

Wajah Indonesia memang sedang terkoyak persoalan korupsi, kemiskinan, pengangguran, serta sejumlah tumpukan problem bangsa yang belum kunjung membaik. Akses pendidikan, misalnya, masih menjadi barang mewah bagi sebagian warga. Tetapi tetap saja semua itu bukan menjadi alasan bagi para pemuda untuk berhenti dan terus pesimistis memandang

Page 8: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

masa depan Indonesia. Karena itu, selain kritis, para pemuda Indonesia harus tetap optimistis dalam melihat masa depan.

Bangsa ini sedang menanti bangkitnya anak-anak muda untuk mulai membangun sebuah mimpi Indonesia masa depan. Membangun optimisme kolektif bahwa suatu saat para anak muda akan mampu mewujudkan mimpi Indonesia, dan menjadi terhormat di antara bangsa-bangsa lain di dunia. Bahkan lebih dari itu, bangsa ini perlu bermimpi untuk suatu saat memimpin dunia.

Mengawal perjalanan bangsa dengan membangun optimisme kolektif itulah mestinya yang menjadi ruh perjuangan gerakan pemuda dan mahasiswa hari-hari ini, sekaligus mengantisipasi gejala pesimisme massal yang semakin mendera Indonesia. Pada ruang kosong inilah setiap pemuda dan mahasiswa--gerakan pemuda dan mahasiswa dituntut harus tetap kritis dalam mengawal perjalanan bangsa, tetapi juga optimistis menatap masa depan Indonesia. Itulah yang dimaksud dengan gerakan mahasiswa dan gerakan kepemudaan yang inklusif dan integral: gerakan moral, gerakan intelektual, sekaligus gerakan membangun optimisme kolektif bangsa. Menyiapkan masa depan Mewujudkan mimpi Indonesia yang lebih inklusif--mimpi bagi semua warga negara--sejatinya perlu disiapkan sejak sekarang. Memang tak mudah melakukannya, mungkin hasil utuh baru dirasakan 30-40 tahun ke depan, atau paling tidak di usia seabad Republik Indonesia pada 2045 nanti semua akan terwujud.

Paling tidak ada tiga karakter dan kapasitas yang perlu dikapitalisasi setiap generasi muda untuk memenangi "pertarungan" masa depan sekaligus dalam mewujudkan mimpi Indonesia. Pertama, diperlukan generasi muda yang memiliki kualitas integritas yang tinggi. Pasalnya, Indonesia di masa depan sangat membutuhkan anak muda yang berintegritas tinggi, serta me miliki mentalitas antikorupsi. Indikasi diperlukannya integritas tinggi dan mentalitas antikorupsi ini terlihat dari problem korupsi yang kian menggerogoti sendi-sendi kehidupan bangsa. Inilah salah satu upaya untuk memperbaiki wajah Indonesia di masa depan. Karena itu, pemerintah dan institusi pendidikan perlu memfasilitasi terbangunnya mentalitas antikorupsi di kalangan pemuda, pelajar, dan mahasiswa.

Kedua, kapasitas keahlian dan intelektual yang cukup mumpuni. Para mahasiswa, misalnya, perlu mendalami studinya secara serius agar menjadi spesialis keilmuan tertentu, yaitu memiliki spesialisasi dalam menguasai suatu bidang pengetahuan secara mendalam sesuai dengan bidang studinya masing-masing. Para pemuda perlu memiliki skill tertentu untuk bersaing di dunia kerja. Indonesia di masa depan jelas memerlukan generasi muda yang profesional dan menguasai ilmu pengetahuan secara "mendalam"untuk memenangi kompetisi sekaligus mewujudkan mimpi Indonesia. Karena itu, negara wajib menyediakan akses dan fasilitas pendidikan yang murah dan terjangkau.

Ketiga, karakter kepemimpinan yang peduli dan profesional. Karakter ini tidak bisa didapatkan di dalam ruang-ruang kelas. Kepemimpinan didapatkan dari pengalaman aktivitas keorganisasian, baik di kampus maupun di lingkungan masyarakat. Di situlah para pemuda dan mahasiswa ditempa untuk menyelesaikan berbagai konflik dan persoalan, diasah

Page 9: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

kemampuan manajerialnya, dan dilatih untuk peduli dan memahami lingkungan serta masyarakatnya. Di sini pula, kepekaan sosial dan kekritisan sering kali tumbuh. Justru para pemuda dan mahasiswa yang memiliki karakter kepemimpinan inilah yang di masa depan diperlukan untuk menggerakkan masyarakat dalam meraih kesuksesan kolektif sekaligus menggapai kegemilangan Indonesia.

Akhirnya, pada momentum 72 tahun Sumpah Pemuda ini, setiap pemuda Indonesia perlu membuat visi diri serta memproyeksikan mimpi individunya pada 10, 20, bahkan 30 tahun ke depan untuk Indonesia, akan memiliki peran dan posisi apa dan di mana di tengah-tengah masyarakat dalam menyongsong masa depan Indonesia. Pada posisi itulah potensi terbesar bagi setiap pemuda untuk mewujudkan mimpi tentang Indonesia sekaligus melunasi mimpi "Sumpah Pemuda"dan "janji-janji kemerdekaan Indonesia"yang mulia dan inklusif itu.

Hanta Yuda AR, Direktur Eksekutif Pol-Tracking Institute

Sumber : Koran Tempo, 28 Oktober 2010

Page 10: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Penyimpangan Partai Politik

Pemilu kepala daerah 2010 dan masa depan partai politik mencemaskan. Fenomena politik dinasti dan politik uang ternyata masih mendominasi panggung politik era Reformasi.

Gejala politik dinasti terlihat dari bermunculannya calon kepala daerah (cakada) dari kalangan keluarga pejabat yang sedang berkuasa di beberapa pilkada. Sementara fenomena politik uang juga masih mendominasi proses politik di pilkada dan perekrutan cakada di internal partai. Fenomena seperti ini tidak hanya terjadi di pilkada, tetapi sebelumnya juga terjadi pada pemilu legislatif.

Para petinggi partai memungut dan memasang tarif bagi para calon anggota legislatif (caleg) dan menempatkan keluarganya pada posisi strategis dalam daftar caleg di Pemilu 2009. Politik dinasti dan politik uang yang tak sejalan dengan prinsip meritokrasi dalam sistem perekrutan partai di negara demokrasi ternyata justru menjadi karakter utama partai-partai dewasa ini.

Pada titik inilah telah terjadi penyimpangan parpol. Padahal, posisi partai merupakan institusi paling esensial dan instrumen inti dalam demokrasi modern (Katz, 1980). Fenomena ini memunculkan pertanyaan mendasar: mengapa itu bisa terjadi, dan bagaimana dampaknya bagi masa depan demokrasi di Indonesia?

Katalisator penyimpangan

Tradisi politik dinasti dan politik uang menjadi penyakit kronis partai memang tak terbantahkan. Paling tidak ada lima faktor pendorong (katalisator) penyimpangan itu secara bervariasi: imbas liberalisasi sistem pemilu, efek kegagalan partai dalam mengikat konstituen, implikasi rapuhnya sistem kaderisasi dan perekrutan di internal partai, akibat kuatnya oligarki di organisasi partai, serta dampak dari menguatnya pragmatisme politik.

Konstruksi sistem pemilu yang kian liberal menyebabkan partai-partai membutuhkan kandidat cakada dan caleg yang populer atau memiliki modal finansial mumpuni. Situasi itu menyebabkan faktor popularitas dan kemampuan finansial calon menjadi paling diprioritaskan.

Strategi instan yang digunakan adalah melirik figur terkenal dari kalangan keluarga petahana (incumbent) kepala daerah (elite partai) atau kalangan artis, yang diyakini dapat menjadi modal untuk meraup suara.

Kegagalan partai mengikat konstituennya juga mendorong para elite politik cenderung mencari siasat untuk menarik konstituen dengan menempatkan cakada dan caleg paling

Page 11: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

populer sehingga aspek kualitas dan integritas acapkali dilupakan. Sementara cara instan untuk menarik simpati konstituen ditempuh dengan menggunakan kekuatan politik uang.

Rapuhnya sistem kaderisasi dan pola perekrutan di internal partai, terutama mekanisme seleksi cakada dan caleg, juga menyebabkan partai terperangkap pada kebutuhan finansial dan popularitas kandidat. Kompetensi, rekam jejak, dan integritas lagi-lagi menjadi pertimbangan terakhir dalam kriteria penjaringan cakada ataupun caleg.

Peluang politik uang dan politik keluarga juga didorong oleh suburnya oligarki dan sentralisasi kebijakan dalam struktur partai. Sistem perekrutan cakada dan caleg tidak dilakukan secara demokratis dan transparan. Sementara mekanisme pemilu internal—yang dapat meminimalisasi peluang politik uang dan politik keluarga—belum menjadi sistem yang terlembaga di partai.

Menguatnya pragmatisme politik dan merosotnya militansi kader—yang menyebabkan mesin organisasi partai tidak dapat berjalan optimal—juga mendorong suburnya politik uang dan politik dinasti. Pendekatan kekuatan uang dan karisma dinasti dijadikan strategi instan untuk menggerakkan mesin organisasi atau pengganti kinerja mesin organisasi dalam pilkada dan pemilu legislatif.

Kelima faktor (katalisator) inilah penyebab politik uang dan politik dinasti semakin menggerogoti kelembagaan internal partai dan merusak sendi-sendi demokrasi dan demokratisasi yang sudah berjalan hampir 12 tahun di Indonesia.

Episentrum korupsi-nepotisme

Sistem penjaringan cakada dan caleg yang bertumpu pada kekuatan uang dan oligarki keluarga akan menjadi pintu masuk bagi perilaku koruptif-nepotisme para kepala daerah dan anggota legislatif. Karena cakada yang membeli ”tiket politik” atau caleg yang ”membeli kursi” sudah hampir pasti berpikir bahwa biaya politik yang dikeluarkannya harus kembali.

Di titik inilah, korupsi akan menjadi jalan pintas untuk mengembalikan kapital yang telah dikeluarkan. Sementara politik keluarga akan menyuburkan kultur nepotisme di birokrasi pemerintahan.

Wajah legislatif dan pemerintahan sejatinya adalah potret partai. Karena itu, baik buruknya parlemen dan pemerintah amat tergantung dari kualitas partai sebab hampir semua anggota legislatif dan sirkulasi kepemimpinan eksekutif (presiden, gubernur, bupati, dan wali kota) melalui mekanisme partai.

Bahkan, proses seleksi dan pemilihan hampir semua anggota lembaga tinggi dan komisi negara melibatkan DPR (partai secara tidak langsung). Dengan situasi maraknya korupsi di berbagai institusi saat ini, maka tak berlebihan jika menyematkan posisi parpol sebagai biang utama (episentrum) korupsi-nepotisme.

Page 12: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Pada titik inilah, partai semakin menjadi episentrum praktik korupsi-nepotisme di republik ini. Kondisi ini tentu akan membahayakan masa depan demokrasi karena partai tidak kunjung terinstitusionalisasi (terlembaga) sebagai organisasi modern dan demokratis. Karena itu, membereskan persoalan bangsa ini harus dimulai dengan mereformasi kelembagaan dan perilaku partai politik.

Oleh : Hanta Yuda AR

Sumber : Kompas, 28 Juni 2010

Page 13: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Rapor Merah DPR

Ulang tahun ke-65 Dewan Perwakilan Rakyat miskin apresiasi dan sepi ucapan selamat dari rakyat.

Kendati Ketua DPR Marzuki Alie menyampaikan beberapa prestasi DPR dalam pidatonya, Senin (30/8/2010), tetap sulit bagi kita memberikan apresiasi positif atas kinerja dan perilaku anggota DPR belakangan ini. Selain kinerja tak begitu menggembirakan, masih banyak perilaku tidak terhormat yang ditampilkan para wakil rakyat yang menyandang status terhormat itu.

Potret buram DPR periode sebelumnya—terjerat korupsi, tersandung skandal seks, dan rendahnya tingkat kehadiran—ternyata masih mendominasi wajah DPR periode 2009-2014. Alih-alih memperbaiki citra, wajah DPR yang 70 persen diisi pendatang baru itu justru semakin memperburuk wajah DPR dengan rencana pembangunan gedung baru yang disertai fasilitas ruang rekreasi, kolam renang, pusat kebugaran, dan ruang spa.

Pembangunan gedung mewah ini akan menguras APBN Rp 1,6 triliun sama dengan biaya Jaminan Kesehatan Masyarakat untuk 22 juta penduduk miskin (Kompas, 1/9/2010). Ini jelas mencederai rasa keadilan masyarakat dan kian mendegradasi kepercayaan publik kepada DPR.

Rapor merah

Jika integritas (perilaku koruptif), disiplin (tingkat kehadiran), dan empati para wakil rakyat masih dinilai rendah dan belum layak diapresiasi, lalu bagaimana dengan kinerja DPR dalam menjalankan fungsi esensialnya—legislasi, pengawasan, dan penganggaran—sebagai anggota parlemen? Siapa paling bertanggung jawab atas wajah buram DPR hari-hari ini?

Kinerja DPR 2009-2014 dalam menjalankan fungsi-fungsi kedewanan masih penuh rapor merah. Paling tidak, ada tiga potret masih merahnya rapor dilihat dari aspek fungsi utama parlemen. Pertama, rendahnya produktivitas dalam menjalankan fungsi legislasi. Delapan bulan pertama 2010, DPR baru menyelesaikan pembahasan tujuh RUU. Itu pun hanya satu RUU, yakni RUU revisi UU No 22 Tahun 2002 tentang Grasi, yang masuk Program Legislasi Nasional (Kompas, 31/8/2010).

Kedua, dalam menjalankan fungsi penganggaran, DPR seolah hanya memperjuangkan kepentingan diri sendiri dan kurang berempati terhadap kondisi masyarakat yang sedang mengalami tekanan ekonomi. Hal ini terlihat dari ide kontroversial pembangunan gedung baru DPR senilai Rp 1,6 triliun, dana aspirasi Rp 15 miliar per anggota (Rp 8,4 triliun), serta rumah aspirasi Rp 200 juta per anggota (Rp 112 miliar dan Rp 3,3 triliun untuk infrastruktur). Ironisnya, semua anggaran itu ditanggung rakyat melalui APBN.

Page 14: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Ketiga, fungsi pengawasan seolah hanya jadi alat bagi partai dan DPR bernegosiasi dengan pemerintah. Ketidakjelasan dan ketidaktuntasan kasus Bank Century jadi potret paling terang dari ketidakseriusan DPR. Padahal, gegap gempita skandal ini telah menguras energi bangsa dan mengganggu jalannya pemerintahan. Ketiga rapor merah ini kian menggerogoti citra kelembagaan DPR yang sebenarnya sudah buruk di mata rakyat. Berdasarkan survei Transparency International Indonesia, DPR dan parpol masih merupakan lembaga terkorup dalam persepsi publik. Hasil jajak pendapat Kompas beberapa bulan lalu menunjukkan, DPR dan parpol memiliki tingkat kepercayaan publik yang sangat rendah.

Kegagalan partai

Merosotnya citra DPR merupakan potret kegagalan parpol. Rendahnya kualitas dan produktivitas DPR merupakan tanggung jawab partai sebab semua anggota DPR diseleksi melalui mekanisme partai. Karena itu, penyimpangan (malafungsi) partai berpengaruh terhadap kualitas dan produktivitas para wakil rakyat. Paling tidak, ada lima potret malafungsi partai yang menyebabkan buramnya wajah DPR secara bervariasi: akibat rapuhnya sistem perekrutan dan penjaringan calon anggota legislatif (caleg), dampak ketidakjelasan sumber pemasukan keuangan partai, efek disfungsi aspirasi dan artikulasi partai, implikasi dari macetnya fungsi pendidikan politik, serta kekeliruan sistem komunikasi politik partai dalam kampanye.

Rendahnya integritas dan kualitas kinerja anggota DPR jelas mengindikasikan ada yang keliru dengan sistem perekrutan. Sistem penjaringan caleg di beberapa partai terperangkap pada praktik politik uang akibat kebutuhan finansial partai dan biaya kampanye. Sementara kompetensi, rekam jejak, dan integritas menjadi pertimbangan terakhir dalam kriteria penjaringan. Apalagi, setelah terpilih, juga diwajibkan memenuhi setoran ke partai.

Pada situasi seperti inilah—pendekatan politik uang dalam penjaringan caleg, mahalnya ongkos kampanye, serta beban setoran ke partai—jadi pintu masuk perilaku koruptif anggota DPR karena korupsi jadi jalan pintas untuk mengembalikan biaya politik yang telah dikeluarkan.

Disfungsi artikulasi dan agregasi kepentingan oleh partai juga mendorong penyimpangan di DPR. Selain tugas partai, fungsi aspirasi juga memang jadi tugas DPR, tetapi tidaklah pantas jika sumber dananya diambil dari uang rakyat (APBN). Fungsi pendidikan politik juga tak dijalankan partai. Alih-alih memberikan pendidikan politik, elite partai justru menularkan pragmatisme politik kepada pemilih dengan membangun relasi bersifat transaksional sehingga relasi wakil rakyat-konstituen dibangun dengan uang. Karena itu, tak mengherankan, wakil rakyat kerap didatangi proposal permintaan bantuan akibat pragmatisme konstituen.

Kekeliruan sistem komunikasi politik, terutama metode mengumbar janji dalam kampanye, menyebabkan problem bawaan bagi para anggota DPR. Akibatnya, partai dan caleg terjebak

Page 15: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

janji kampanye sendiri. Padahal, fungsi DPR bukan eksekutor kebijakan. Tuntutan konstituen atas janji-janji kampanye ini mendorong perilaku menyimpang anggota DPR.

Malafungsi partai ini mendorong penyimpangan di DPR sehingga kualitas dan citra DPR tidak kunjung membaik. Karena itu, rapor merah DPR hakikatnya juga rapor merah bagi partai karena potret buram DPR merupakan cerminan kegagalan partai-partai di DPR. Karena itu, untuk membereskan persoalan di DPR, harus dimulai dengan mereformasi sistem kelembagaan internal dan perilaku partai melalui UU Partai Politik dan UU Pemilu. Selain revisi UU, perlu juga kesadaran para elite partai dan anggota DPR untuk segera mereformasi diri. Jika partai dan DPR tidak segera berbenah, ulang tahun DPR sejatinya belum layak dirayakan rakyat, melainkan hanya pantas dirayakan sendiri oleh politisi di Senayan.

Oleh : Hanta Yuda AR, Direktur Eksekutif Pol-Tracking Institute

Sumber : Kompas, 2 September 2010

Page 16: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Setahun Pemerintah Tersandera

Satu tahun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono- Boediono ramai disambut berbagai aksi demonstrasi kekecewaan, tetapi sepi apresiasi dari rakyat.

Meskipun SBY telah menyampaikan berbagai capaian pemerintah dalam satu tahun ini, agak sulit untuk memberikan apresiasi positif atas kinerja pemerintah di tengah banyaknya tumpukan persoalan.

Menjelang satu tahun pemerintahan, rakyat justru ”dihadiahi” kenaikan harga kebutuhan pokok dan tarif dasar listrik. Rumah-rumah penduduk ”dikirimi teror” ledakan tabung gas. Selain itu, persoalan kemiskinan, pengangguran, dan korupsi yang seharusnya mendesak dibereskan justru masih menjadi tumpukan problem bangsa yang tidak kunjung membaik.

Di bidang hukum dan pemberantasan korupsi, beberapa kasus yang mendapatkan perhatian publik, seperti kasus Bank Century, rekening ”gendut” pejabat kepolisian, kriminalisasi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, dan penganiayaan aktivis antikorupsi Indonesia Corruption Watch, mengambang hingga saat ini. Padahal, SBY menegaskan akan memimpin langsung pemberantasan korupsi di negeri ini. Pemberantasan korupsi terkesan masih sebatas retorika.

Wajar jika tingkat kepuasan publik terhadap pemerintahan SBY-Boediono hari-hari ini kian menurun. Indikator menurunnya apresiasi publik terhadap kinerja pemerintah terlihat dari berbagai hasil survei beberapa lembaga survei belakangan ini.

Empat sumbatan

Situasi seperti ini tentu memunculkan pertanyaan penting: mengapa kinerja pemerintah masih kurang efektif dan terkesan tersumbat kinerjanya, lalu bagaimana upaya jalan keluarnya?

Salah satu indikasi penyebab utama rendahnya kinerja dan kurang efektifnya pemerintahan karena selama ini pemerintah tersandera secara politik.

Paling tidak, ada empat sumbatan politik yang berpotensi menyandera jalannya pemerintahan secara bervariasi. Pertama, pemerintah tersandera politik pencitraan berbasis retorika yang menjadi andalan utama SBY dalam memimpin pemerintahan.

Kedua, tersandera politik akomodatif yang melahirkan koalisi kebesaran yang dijalankan SBY dalam membangun legitimasi politik. Ketiga, tersandera politik kompromi yang melahirkan kabinet kompromi partai-partai. Keempat, tersandera politik transaksional (barter politik) yang menjadi basis relasi partai-partai mitra koalisi. Keempat sumbatan ini semuanya bersumber dari personalitas SBY.

Page 17: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Kungkungan politik pencitraan berbasis verbal (pidato) menyebabkan SBY seolah masih menjadi kandidat presiden di musim pemilu, dan belum menjadi presiden sesungguhnya yang berkuasa dan memerintah. Kekuatan presiden hanya sebatas imbauan dan anjuran, dan kerap tak menjadi realitas.

Presiden seolah masih sibuk membangun persepsi publik tentang citra pemerintah. Pandangan bahwa persepsi politik jauh lebih penting dan menentukan ketimbang realitas sesungguhnya—yang seharusnya dijadikan paradigma dalam kampanye pemenangan pemilu—masih dijadikan paradigma SBY dalam memimpin pemerintahan. Hal inilah yang menyebabkan jalannya pemerintahan seolah tersandera politik pencitraan.

Politik akomodatif yang sangat mementingkan keseimbangan dan harmoni politik menyebabkan SBY cenderung merangkul dan memuaskan semua kalangan dengan keinginan mengakomodasi semua partai di pemerintahan. Politik akomodatif SBY ini cenderung tidak menghendaki ”oposisi” dan membutuhkan pengaman (sekuritas) politik yang berlebihan dengan membangun koalisi sebesar-besarnya.

Pilihan memperluas koalisi dengan merangkul Partai Golkar pada awal pemerintahan—bahkan sebenarnya PDI-Perjuangan juga ditawari—untuk bergabung dalam koalisi setidaknya memperkuat itu. Implikasinya postur koalisi menjadi kebesaran (oversized coalition) dengan menguasai 75 persen kursi di parlemen. Koalisi kebesaran dengan persilangan kepentingan yang luas seperti inilah yang menyebabkan pemerintah tersandera kepentingan partai-partai.

Politik kompromi yang melahirkan ”kabinet kompromi partai” juga menyandera jalannya pemerintahan selama ini. Logika politik dengan mengedepankan kompromi dengan melibatkan para petinggi partai-partai ke dalam kabinet memang memiliki korelasi secara mutualistik. Partai-partai mendapat keuntungan akses kekuasaan beserta keuntungan ekonomi-politik.

Sementara, SBY memperoleh penguatan dukungan untuk memenuhi kebutuhan sekuritas politik dalam berhadapan dengan parlemen. Namun, konsekuensi melibatkan para petinggi partai dalam kabinet akan melahirkan loyalitas ganda (split loyalty). Di satu sisi loyalitas pada presiden, di sisi lain tetap loyal kepada partai asal. Pada situasi seperti inilah kinerja kabinet tersandera dualisme loyalitas menteri dan agenda politik partai-partai koalisi di dalam kabinet.

Pemerintah juga tersandera ”koalisi transaksional” yang berbasis barter politik. Tarik ulur sikap politik Golkar terhadap kasus Bank Century, pergantian Menteri Keuangan Sri Mulyani, serta pembentukan Sekretariat Gabungan (Setgab) Koalisi menjadi salah satu contoh paling gamblang tentang tersanderanya pemerintahan akibat politik transaksional dan barter politik.

Page 18: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Belakangan, keberadaan setgab koalisi terbukti justru jadi blunder politik bagi SBY karena kerap mengintervensi (merecoki) pemerintah dengan menjadikan setgab sebagai alat bagi partai-partai mitra koalisi—terutama Partai Golkar—untuk bernegosiasi dengan Presiden. Di titik inilah pemerintah semakin tersandera pola relasi politik transaksional.

Empat solusi

Setidaknya ada empat solusi yang perlu ditempuh untuk melepas empat sumbatan politik itu agar pemerintah tidak tersandera. Pertama, SBY harus segera meninggalkan politik pencitraan berbasis retorika verbal dan mulai beralih mengandalkan politik pencitraan berbasis kinerja dan kerja keras yang lebih tulus dan sungguh-sungguh. Kedua, reorientasi koalisi, dari pendekatan kuantitas (jumlah partai koalisi) ke kualitas (soliditas koalisi). Konsekuensinya, diperlukan perampingan koalisi melalui evaluasi terhadap partai mitra koalisi. Partai yang rendah komitmennya layak dikeluarkan dari koalisi.

Ketiga, perampingan koalisi harus disertai upaya penguatan soliditas dan komitmen melalui revisi kontrak koalisi. Masalahnya, kontrak koalisi selama ini masih terlalu normatif dan umum, menyebabkan partai-partai anggota koalisi memiliki tafsir berbeda. Karena itu, perlu revisi kontrak koalisi yang lebih jelas, konkret, rinci, dan disertai sanksi. Keempat, diperlukan reshuffle kabinet berbasis evaluasi kinerja. Menteri yang berkinerja buruk perlu diganti.

Jika SBY tidak responsif dan tidak segera berubah haluan—dengan meninggalkan politik pencitraan berbasis retorika, mengurangi politik akomodatif dan politik kompromi, serta meninggalkan politik transaksional— maka hampir dipastikan empat tahun mendatang pemerintahan tetap tersandera. Akhirnya, semua berpulang kepada SBY. Apakah evaluasi setahun pemerintahan akan menjadi momentum untuk keluar dari ”problematik pemerintah yang tersandera” atau sebaliknya justru semakin memperkuat ”gurita politik penyandera pemerintah”?

Oleh : Hanta Yuda AR, Direktur Eksekutif Pol-Tracking

Sumber : Kompas, 27 Oktober 2010

Page 19: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

The problem of presidential-multiparty system

The discourse on the need to increase the level of parliamentary threshold — the minimum threshold that is required to gain seats in the parliament — from 2.5 percent in the 2009 legislative elections to 5 percent in the 2014 elections in the revised elections law has been increasingly discussed.

The main argument to increase the parliamentary threshold is to simplify the number of political parties, while at the same time improving the quality of democracy and the effectiveness of the presidential government.

The problem is that the extreme multiparty system is considered as one culprit that inhibits the workings of the presidential government and disrupts the quality of democracy.

This condition raises important questions. First, how does the fragmented multiparty system influence the political stability and the work of the presidential system in Indonesia?

Juan Linz and Arturo Velenzuela (1994) build an interesting thesis that the presidential system applied over a multiparty political structure tends to result in a conflict between presidential and parliamentary institutions and will present an unstable democracy.

This view is also strengthened by Scott Mainwaring and Matthew Soberg Shugart (1997), who believe that this combination will give birth to a minority president and a divided government, a condition in which the president is very difficult to get political support in the parliament.

In 1998, the reform has led to democracy and the purification of the presidential system in Indonesia.

However, the formulation of the purer presidentialism mandated is also difficult to implement when it is combined with the multiparty political structure.

The combination of the vulnerable presidential system and the multiparty system had been proven strong enough in the five years of the administration of Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) — Jusuf Kalla (JK), as well as in the one-year of the era of the SBY-Boediono administration.

At least, there are three political facts that portrait the instability and vulnerability of the government. First, the control of the parliament over the government is so strong, so the policies of the President is very difficult to gain political support in the parliament.

Page 20: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

The questionnaire rights and the threat of withdrawing support for example have always been tools for the parties in the House to negotiate with the President.

The second fact, in the process of forming and reshuffling the Cabinet, the political parties — especially the parties in the House of Representatives — have cut the prerogative right of the President to intervene. The third fact, the support of the government coalition of political parties is not effective.

Although quantitatively the percentage of a coalition of parties supporting the government is very high — 75 percent of the seats in the House — it is very fragile and easily cracked. The Bank Century case becomes the clearest portrait of the fragility.

This political reality is proof of the vulnerability of the combination of presidential and multiparty systems. Moreover, the personality and leadership style of Yudhoyono are ones that are compromising and accommodating.

This is what has caused the presidentialism in the era of the SBY-JK and SBY-Boediono administrations be run half-heartedly (the half-hearted presidentialism). Then, is there any compromise that still allows the establishment of parties and that ensures the government runs effectively and stable?

The multiparty extreme (the high number of political parties), as it is now, needs to be pushed into a simple multiparty system, especially in regards to the number of parties in the parliament, on a daily basis, the President deals with the parties in the parliament, not the parties participating in the elections.

Therefore, what needs to be simplified is the number of parties in the parliament, not the number participating in the elections, to guarantee democracy and freedom.

At least, there is a five-tiered strategy of simplifying the parliament through institutional engineering: to apply the district electoral system (plurality/majority system) or mixed systems (mixed proportional); to minimize the number of electoral districts (district magnitude); to apply the threshold of seats in the parliament (parliamentary threshold); to simplify the number of factions in the parliament through the tightening of requirements for the formation of a faction (factional threshold), as well as making regulations to be directed to the formation of two political blocs (supporters and opposition).

The implementation of the electoral system — the First Past The Post system (FPTP), in which one representative is elected from each electoral district — based on proven experience of some countries will limit the number of parties.

An alternative solution if the district system still experiences resistance is to combine the district system and the proportional to become the mixed system.

The German experience provides some lessons that are interesting enough for Indonesia.

Page 21: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Strategies to reduce the scope of electoral districts will also be a catalyst toward the simplification of political parties. Because the smaller the scale of electoral districts and the less number of seats contested, the smaller also the opportunity for small parties to gain seats.

The increase of the parliamentary threshold in the 2014 elections will also simplify the parliament. If the parliamentary threshold, is consistently applied, the number of political parties will continue to decrease until the ideal number, approximately five political parties in parliament.

After that, the need to simplify the number of factions through the tightening of requirements for the formation of factions.

Ideally, there are only about three or four factions in the House so that the government can run more effectively. The next stage, the factions in the House need to be engineered institutionally into the “two- party system” in the parliament, that is, the two blocs of permanent coalitions in the parliament, the coalition government and opposition supporters.

The main objective is to simplify the polarization of political forces in the parliament to make the political process more efficient and stable.

Writer : Hanta Yuda AR, Executive Director Pol-Tracking Institute

Source : The Jakarta Post, 03 August 2010

Page 22: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Corruption and the high-cost district head elections

President Susilo Bambang Yudhoyono’s concern about practices of money politics in the district head elections and high-cost democracy had been expressed again in the state address in the Joint Session of the House of Representatives and the Regional Representatives Council on Aug. 16, 2010.

The phenomenon of high-cost district head elections was previously mentioned by Home Minister Gamawan Fauzi. It is a paradox of the expensive cost of district head elections and the demand of a government that is clean from corruption.

To become a governor, one needs funding of around Rp 100 billion (US$11.14 million), while the governor’s salary is only Rp 8.7 million per month.

This phenomenon has a correlation with a recent report of the Indonesia Corruption Watch (ICW) that states that the regional budget has become the biggest contributor to the potential losses to the state due to corruption cases that have occurred in the first half of 2010. According to ICW data, corruption cases of the regional budget in 2010 have cost the state about Rp 596.23 billion, out of a total of Rp 1.2 trillion in state losses due to corruption.

The spread of corruption to the area and the many regional heads that have been arrested for corruption clearly indicate that there is something wrong with the system and the district head election process, because district head elections are then also often accompanied by the practices of money politics.

It is money politics that has caused the cost of district head elections and the cost of democracy to increase.

At least, there are four factors causing money politics and the high cost of the district head election: the impact of the liberalization of the district head election system; the effect from the failure of the parties to bind constituency and the failure of a candidate of a district head to lure voters; the impact of the strengthening of pragmatism of party members and voters; and the implication of a strong oligarchy and the fragility of the internal recruitment system of a candidate for a district head.

The system of the district head elections has increased administration costs, the cost of political campaigns, and the nomination fees. The General Election Commission calculated that the cost of implementation of the district head elections during 2010-2014 reached Rp 15 trillion. Furthermore, there are also fees for political consultants.

Page 23: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

The failure of the party to bind the constituency and the inability of a candidate of a district head to lure voters also have caused the high political cost in the district head elections.

The inability to lure and bind these constituencies has provoked the party elite and the candidate for a district head to use an instant way through money politics. Such a practice has clearly caused the cost of the district head election to inflate.

The strengthening of political pragmatism and the decline of the militancy members of the party — which have caused the the party organization machinery to not run optimally — have also encouraged the proliferation of money politics. It is coupled with the pragmatism voter factor.

This situation has led to the use of the power of money as an instant strategy to move forward the party machinery or as a replacement of the performance organization machinery in the district head election campaign. This of course has also led to the more expensive cost of the district head elections.

The opportunities of money politics and the more expensive cost of district head elections have also been encouraged by the proliferation of oligarchy, the centralization of party policy, and the fragility of the system of members and the party’s internal recruitment.

The recruitment system of the district head election, that is not done in a democratic and transparent way, will invite money politics in the nomination process. The party leaders tend to set high tariffs in the nomination of a district head.

They see this district head election as a source of income for the elite and the party organization. The cost spent in the nomination process is usually higher than the component of the campaign fund of the district head election.

All four of these factors have caused the proliferation of money politics practices and the more expensive cost of district head elections.

This condition will further erode the quality and moral integrity of the elected district heads. Because the selection system of district head elections that relies on the strength of money will incite the corrupt behavior of the head districts.

A candidate for district head that does not have much money and has spent much in the elections surely thinks that the political costs must be recovered. At this point, the regional budget corruption will be a shortcut to recover the capital that has been used.

Therefore, there are three aspects of the administration of the district head election that needs to be reorganized. First, the aspect of system implementation. It is necessary to pool the executive and legislative elections at the local level. There should be integration of the implementation of district head elections throughout Indonesia. If the executive and

Page 24: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

legislative elections are united, it means that there are only two elections, the national and local elections.

The unification and integration of district head elections and Regional Legislative Council elections will obviously save money in the management, supervision or security of the elections. The separation of the national and local elections will also encourage local issues to appear on the surface, and that will be in accordance with the spirit of regional autonomy.

Second, from the aspect of campaign funds, there should be necessary rules limiting the total spending and spending in the campaigns of district head elections. The expenditures of the candidates for district head elections should be limited to the implementation of the district head elections.

This is to minimize the occurrence of corrupt practices in the regional budget, as the candidates for district heads tend to recover the capital when they are elected. The rules about the limitations of these expenditures should be regulated in the legislation.

Third, from the political party point of view, the candidates of district heads should have internal awareness — which will be enforced through regulatory legislation — for the parties to implement the recruitment system of candidates for district heads democratically and transparently. This is to avoid money politics in the process of nomination by the party.

Writer : Hanta Yuda AR, Director Executive Pol-Tracking Institute

Source : The Jakarta Post, 27 August 2010

Page 25: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Kerentanan Presidensial-Multipartai

Written by Poltracking on 29 January 2014.

Kerisauan publik atas problem efektivitas pemerintahan akibat banyaknya partai tecermin dalam hasil jajak pendapat Kompas, Senin (26/7).

Mayoritas publik (94 persen) menyetujui jika jumlah parpol di Indonesia disederhanakan. Pasalnya, penyelenggaraan negara dengan model banyak partai seperti sekarang ini dalam kemasan sistem pemerintahan presidensial dianggap kurang efektif.

Berbagai studi menunjukkan, paduan sistem presidensial dengan multipartai memang problematik. Juan Linz dan Arturo Velenzuela (1994) berpendapat, sistem presidensial yang diterapkan di atas struktur politik multipartai (presidensial-multipartai) cenderung melahirkan konflik antara lembaga presiden dan parlemen serta menghadirkan demokrasi yang tidak stabil.

Pandangan ini diperkuat Scott Mainwaring dan Matthew Soberg Shugart (1997) bahwa presidensial-multipartai akan melahirkan presiden minoritas (minority president) dan pemerintahan terbelah (divided government), kondisi di mana presiden sangat sulit mendapatkan dukungan politik di parlemen. Hasil studi di Amerika Latin ini memunculkan pertanyaan penting bagi kita: bagaimana praktik presidensial-multipartai di Indonesia?

Kerentanan multipartai

Ternyata sistem presidensial produk amandemen konstitusi juga sulit diimplementasikan di atas struktur politik multipartai. Koalisi yang tidak lazim dalam tradisi presidensialisme justru menjadi kebutuhan mendasar dan sulit dihindari dalam presidensial-multipartai. Apalagi koalisi yang terbangun sangat rapuh dan cair karena karakter partai-partai dalam berkoalisi tidak disiplin dan pragmatis. Ditambah lagi faktor personalitas dan karakter kepemimpinan presiden yang cenderung kompromistis dan akomodatif menyebabkan presidensialisme kian tereduksi dan dijalankan setengah hati (presidensialisme setengah hati).

Kekhawatiran tentang kerentanan presidensial-multipartai terbukti selama lima tahun masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla serta hampir satu tahun pemerintahan SBY-Boediono. Paling tidak ada empat fakta politik yang menjadi potret kerentanan multipartai yang mereduksi sistem presidensial. Pertama, tingginya kompromi dalam pembentukan dan perombakan kabinet. Pada pembentukan dan reshuffle kabinet, parpol—terutama partai-partai di DPR—kerap memangkas hak prerogatif presiden dengan melakukan intervensi. Sebaliknya presiden cenderung selalu mengakomodasi kepentingan parpol.

Kedua, dukungan koalisi pendukung pemerintah tidak efektif. Walaupun secara kuantitas persentase koalisi partai pendukung pemerintahan sangat gemuk—didukung 75 persen kekuatan di DPR—sangat rapuh dan mudah retak. Kasus Century potret paling anyar

Page 26: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

kerapuhan itu. Ketiga, kontrol parlemen terhadap pemerintah cenderung berlebihan (legislative heavy) sehingga kebijakan presiden sangat sulit—perlu waktu terlalu lama—untuk mendapatkan dukungan politik di parlemen. Hak angket dan ancaman penarikan dukungan akan selalu menjadi alat bagi partai di DPR untuk bernegosiasi dengan presiden.

Keempat, perjalanan pemerintahan dibayangi ancaman impeachment. Isu ”cabut mandat” pada masa SBY-JK dan ”pemakzulan” pada era SBY-Boediono cukup menguras energi politik bangsa. Menariknya, sikap kompromistis dan akomodatif SBY justru jadi faktor pengaman kursi kepresidenan dari ancaman itu. Meskipun kenyataannya ancaman-ancaman itu sulit terealisasi, bahkan mungkin tidak akan terjadi, ancaman semacam ini tetap saja akan memengaruhi efektivitas jalannya pemerintahan.

Keempat realitas politik inilah bukti kerentanan presidensial-multipartai pada periode pertama ataupun kedua kepresidenan SBY. Bagaimana mengantisipasi situasi seperti ini? Di satu sisi multipartai merupakan keniscayaan dari pluralitas masyarakat dan kebebasan berpartai tetap harus dibuka. Namun, di sisi lain, multipartai ekstrem (jumlah partai sangat banyak) terbukti menyebabkan kerentanan dan ketidakefektifan sistem pemerintahan presidensial?

Menuju ”dwipartai”

Solusi jalan tengahnya, kebebasan mendirikan partai tetap dibuka, tetapi perlu segera didorong jadi multipartai sederhana, bahkan ”dwipartai” di parlemen. Sebab, dalam politik kesehariannya, presiden berhadapan dengan partai di parlemen, bukan partai-partai peserta pemilu. Oleh karena itu, yang perlu disederhanakan jadi sistem ”dwipartai” adalah partai di parlemen, bukan jumlah peserta pemilu, agar demokrasi dan kebebasan berpartai tetap terjamin.

Ada lima paket strategi penyederhanaan parlemen–penataan ulang desain institusi politik—melalui rekayasa institusional yang dapat ditempuh DPR dan pemerintah melalui revisi UU Politik. Pertama, menerapkan sistem pemilu distrik (plurality/majority system) atau sistem campuran (mixed member proportional). Penerapan sistem distrik, tepatnya sistem First Past The Post (FPTP)—satu wakil dipilih dari setiap daerah pemilihan—berdasarkan pengalaman beberapa negara terbukti ampuh mengurangi jumlah partai.

Solusi alternatif jika sistem distrik masih mengalami resistensi adalah menggabungkan sistem distrik dan proporsional menjadi sistem campuran. Pengalaman Jerman menerapkan sistem pemilu campuran menarik untuk dijadikan pelajaran.

Kedua, memperkecil besaran daerah pemilihan (district magnitude). Strategi memperkecil daerah pemilihan (dapil) secara evolutif juga akan menjadi katalisator menuju penyederhanaan parpol. Semakin kecil besaran dapil dan semakin sedikit jumlah kursi yang diperebutkan, semakin kecil pula peluang bagi partai gurem mendapatkan kursi.

Page 27: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Ketiga, menaikkan ambang batas kursi di parlemen (parliamentary threshold). Peningkatan angka parliamentary threshold di Pemilu 2014 juga akan semakin menyederhanakan parlemen. Jika parliamentary threshold diterapkan secara konsisten, jumlah parpol akan terus berkurang secara alamiah sampai dengan jumlah yang ideal, sekitar lima partai di parlemen. Keempat, selanjutnya perlu penyederhanaan jumlah fraksi melalui pengetatan persyaratan ambang batas minimal pembentukan fraksi (fractional threshold). Idealnya hanya sekitar 3 atau 4, bahkan 2 fraksi saja di DPR agar pemerintahan berjalan lebih efektif.

Kelima, tahapan selanjutnya, jika fraksi di parlemen masih lebih dari dua, fraksi di DPR perlu direkayasa dan ”dipaksa” secara konstitusional menjadi dua blok politik melalui regulasi koalisi permanen. Model dua kekuatan politik inilah strategi kita menuju sistem ”dwipartai” di parlemen, yaitu hanya ada dua blok koalisi besar permanen di parlemen: pendukung pemerintah dan di luar pemerintahan.

Tujuan utama menyederhanakan polarisasi kekuatan politik di parlemen menjadi ”dwipartai” agar proses politik lebih efisien dan stabil. Di luar itu pemerintahan juga perlu didukung personalitas serta gaya kepemimpinan presiden yang kuat. Dengan konstruksi presidensial seperti ini, harapannya proporsi energi politik presiden untuk mengurus kesejahteraan rakyat jauh lebih besar ketimbang disibukkan urusan bernegosiasi dengan partai, dengan begitu demokrasi akan lebih bermanfaat bagi rakyat.

Oleh : Hanta Yuda AR, Direktur Eksekutif Pol-Tracking Institute

Sumber : Kompas, 28 Juli 2010

Page 28: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

The Golkar factional competition

Who will replace outgoing Vice President Jusuf Kalla as the next chairman of Golkar when the party holds its congress in October? Some figures are certainly ahead in the race.

They are, among others, Aburizal Bakrie (a business tycoon and the current chief welfare minister), media tycoon Surya Paloh, and upstart Golkar legislator Yuddy Chrisnandi.

Finally, all of a sudden the youngest son of former president Soeharto, Hutomo "Tommy" Mandala Putra, also announced his intention to join the race. Tommy's sister, Siti "Tutut" Hardiyati Rukmana may also join her brother win the chairmanship of the party, which was founded by their father, Soeharto. Tommy's financial power will be able to change the party constellation.

There are least possibilities for the congress.

First, there could be four factions: Aburizal, Paloh, Yuddy and Cendana (the Soeharto clan). Of these four factions, Aburizal's and Paloh's seem to be the most prepared in terms of power and strategy. In addition, they meet all the organizational requirements.

Second, there might only be three factions: Aburizal, Paloh and Cendana. This could happen if Tutut joins the race, while Tommy and Yuddy quit. Yuddy will likely support Tutut. All of them have similar power, political capital, personality, financial strength. With the political map like this, the three factions have relatively balanced power.

Third, the race could crystallize into two blocs: Aburizal and Paloh. This could happen if the Cendana candidates are stopped by the party's rules.

The next question is, if Tommy is hampered by the organizational requirements, to whom will he divert his support? It seems the Cendana clan do not want the Golkar Party to be controlled by Aburizal and his supporters (Akbar Tandjung, Agung Laksono and Ginandjar Kartasasmita), who are considered traitors by the Cendana clan. The family would throw their weight behind Surya Paloh.

Therefore, the pattern of the Golkar congress five years ago in Bali would be likely happen again: a discourse that the Triple-A alliance (Aburizal, Akbar and Agung) would be matched by the new alliance of Paloh, Yuddy and Tommy/Tutut.

If the Triple-A tend to direct Golkar to join the government, the alliance of Paloh-Tommy-Yuddy is based on similar ideas to make the party an independent one, free from power. If this alliance could be achieved, the convention will be interesting to see. In a situation like this, it is not impossible for Paloh to win the larger battle.

Page 29: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Apart from the leadership issue, Golkar needs to remember it is experiencing a political famine. The indications were seen from the decline in votes from election to election during the reform era. In the 1999 elections, votes from Golkar decreased drastically from 74.1 percent to 22.3 percent. The percentage of votes dropped again in the 2004 elections, to 21.5 percent, and in the 2009 elections to 14 percent. The Golkar Party also failed in the presidential election of July 8, 2009, with candidate Kalla taking only 12 percent of votes.

There are at least four diseases eroding away at the number of votes for Golkar in the 2009 elections. The diseases are supposed to be work for the new management.

First, the political engine of the organization is less effective, because the elite are too busy enjoying the power. The political energy of the elite has been drained for external affairs, so the internal affairs lack attention.

Second, the prolonged elite factionalism has led to the weakening of the organization. Since the fall of the New Order, divisions in Golkar continue to occur.

In presidential elections from 1999 to 2009, the Golkar elite have never been united in their support of presidential and vice presidential candidates.

Third, pragmatism has undermined the militancy of Golkar members, thus causing the political engine of the organization not to run optimally.

Fourth is the decline in the quality of the recruitment system. The elite are too busy securing high positions in the government. As a result, many do not operate effectively. Some have jumped the fence, joining other parties. In addition, the pattern of recruitment of members is not based on the merit system, thus strengthening the practice of nepotism in the elite environment of the Golkar Party.

Golkar needs to take major measures to stem its declining popularity among voters.

First, reconciliation amongst factions. The momentum of defeat has to be used to consolidate the party.

Second, the ideology of revitalization to improve the militancy of the party should not undermine the organization.

Third, the regeneration of cadres should be conducted to refresh the party. Fourth, the restructuring of the organizational structure and the organizations under the party should also be performed.

Fifth, the reorientation of the leadership of the party. The leadership of the party should also pay attention to internal matters. Therefore, Golkar's future leader should be visionary, transformative, innovative and qualified in performing managerial roles.

Page 30: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Sixth, political repositioning should also be considered. By being outside the government, the Golkar Party will have the space and time to make corrections internally.

The six agendas of this rescue can only be done by a leader who is oriented toward bringing independence to the Golkar Party.

Writer : Hanta Yuda AR, Director Executive Pol-Tracking Institute

Source : The Jakarta Post, 26 September 2009

Page 31: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

PAN congress: A momentum to round out SBY’s victory

The National Mandate Party (PAN) is almost certain to elect Coordinating Economic Minister Hatta Rajasa as its new chairman, with strong backing from party founder Amien Rais. President Susilo Bambang Yudhoyono also clearly supports his close aide.

Hatta has shown strong intent to control the PAN. In addition to being used for political bargaining when dealing with Yudhoyono, control of the party will minimize the potential opposition to the government. Yudhoyono has also an interest in keeping the PAN as a solid part of his coalition.

Besides the Yudhoyono factor, Amien as the charismatic leader of the PAN will play a role in determining who chairs the party. Amien has an interest in gaining clout over the PAN leadership.

Although Hatta’s chances are better than those of other contenders, winning the race without Amien’s consent would not be a perfect victory.

Therefore the Amien factor can also be regarded as key in rounding out the victory. This factor is quite important in the race for party chairman.

Based on experiences from the leadership race in the party’s 2005 congress, Amien gave his blessings to Soetrisno Bachir and shunned Hatta’s bid.

However, his position and influence at this 2010 PAN congress are not as strong as in the previous congress, especially now with the Yudhoyono factor in the equation. Therefore Hatta’s chances of winning are safe.

Hatta is also renowned as an accomplished lobbyist, an expert in political communication and a staunch supporter of Yudhoyono’s.

Amien’s stance of challenging the PAN’s place in Yudhoyono’s coalition seems to be unrealistic. If he challenged Yudhoyono directly and lost, he would lose all credibility within the party.

If Hatta wins the chair, as expected, the victory would complete Yudhoyono’s victory. The next question then becomes, who really won the competition?

Officially, it would be Hatta.

Page 32: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

However, the real winner from the PAN congress would actually be Yudhoyono.

The President’s position as chief patron of the Democratic Party clearly gives him some interest in increasing the party’s clout. One way to do this Democratic Party would be to check the development of other parties. Hence Yudhoyono’s move to call up the chairpersons of coalition parties to his Cabinet is a way of shoring up the government and keeping the parties under his influence.

Therefore, if Hatta won the PAN chair, it would complete the power of the coalition supporting Yudhoyono. United Development Party (PPP) chairman Suryadharma Ali is already under the control of Yudhoyono, through his appointment as minister of religious affairs. The National Awakening Party’s (PKB) Muhaimin Iskandar is also towing the line, after being named the minister of manpower and transmigration.

Tifatul Sembiring, the minister of information and communications, had been the chairman of the Prosperous Justice Party (PKS) at the time of his appointment, but has since stepped down from the party post. Golkar Party chairman Aburizal Bakrie a former coordinating economic minister and coordinating public welfare minister, is also close to Yudhoyono.

Thus not only does Yudhoyono control the Democratic Party, he also controls other parties indirectly. In this context, the Democrats benefit from this situation, whereas the other parties are actually at a disadvantage.

This means there is a risk the PAN will fall under the shadow of Yudhoyono, and in the long term this situation will taint the party’s image ahead of the 2014 elections.

The PAN will no longer be perceived by traditional and potential voters as a party that carries the spirit of reform, should this image of being part of the ruling coalition persist.

Even if the government’s image improves, the PAN will not share the improvement in image. This will affect the PAN’s chances at the polls in 2014.

Writer : Hanta Yuda AR, Director Executive Pol-Tracking Institute

Source : The Jakarta Post, 08 January 2010

Page 33: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Golkar: Electoral strength and dilemma

It is predicted the Golkar Party will have difficulty meeting the target to garner 30 percent of the votes in the 2009 elections, at least according to several poll results.

In December 2008 the Indonesian Survey Institute (LSI) indicated that support for the Golkar Party had dramatically decreased to 13.3 percent, while support for the Democratic Party (PD) experienced a significant jump, to 23 percent. The position of Golkar is still below that of the Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P), who has 17.7 percent.

Golkar’s electoral strength is showing a decreasing trend. In the 1997 election, the last election of the New Order era, Golkar won an absolute victory, with 74.1 percent of the vote. In the 1999 election, Golkar’s vote dropped dramatically to 22.3 percent of the vote.

Golkar’s percentage decreased yet again in the 2004 legislative elections, with only 21.5 percent of vote, while the PDI-P garnered 18.5 percent and Democratic Party (PD) 7.4 percent. As indicated by the LSI’s survey results of 13.3 percent, Golkar has fallen into a danger zone; it could go from having the status of a major political party to being just a medium-sized contender. (It is important to note however, that the LSI is also working for a major political party.)

One interesting phenomenon is that as the support for Golkar decreases, the support for the Democrat Party is likely to rise significantly. Both parties are in fact governing parties. The Golkar Party is led by the Vice President, which suggests that the Democratic Party is more appealing than the Golkar Party. Why has this happened?

If the government is considered successful, the popularity and the reelection chances of President Yudhoyono will increase, and this will have a positive impact on the perception of the Democratic Party: Its popularity will also increase. Meanwhile, Golkar will not necessarily get maximum sympathy from the people, perhaps because of the strategic position of Yudhoyono, which is considered greater than that of Jusuf Kalla and the Golkar Party.

However, if the government is considered to have failed, the Golkar Party will still be directly affected. This is because the public cannot simply set aside the reality that Jusuf Kalla is the Vice President and his party supports the government: This could cause trouble for Golkar.

Public support for the Golkar Party is not only influenced by external factors like the government’s popularity, but is also influenced by internal factors. There are two potential threats from inside the Golkar Party.

Page 34: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

First, the potential fractionalization among the elite. The fractionalization could undermine the solidity of the party, making it susceptible to internal conflicts, which would be counterproductive for Golkar in the 2009 election.

Second, the pattern of undemocratic practices and aspirations. The Golkar Party still selects its leaders, especially the candidates for regional heads, on the basis of their economic contributions. On the other hand, the intervention of party officials from the central board (DPP) is still strong. The selection process of regional leaders does not apply transparent democratic principles; it still depends heavily on the desires of the party elite rather than those of the constituents.

There are two possible scenarios for the Golkar Party in the upcoming elections.

First, a fall in the number of votes in the legislative elections would have an impact on Jusuf Kalla’s leadership of the Golkar Party. Kalla would be perceived as the one most responsible for the defeat of Golkar. If this happens, the political bargaining power of Golkar in the presidential election race would decrease. Jusuf Kalla could benefit from this, as he could still run as a vice presidential candidate.

Second, if the number of votes exceed that of the 2004 elections or reach 30 percent, the party would nominate its own presidential candidate, it could not simply nominate a vice presidential candidate, as this would undermine its political prestige.

By strengthening the demand for Golkar to nominate its own prominent figure as a presidential candidate and not just a vice presidential candidate, this victory would create a dilemma for Jusuf Kalla. The popularity and electability of Jusuf Kalla are still in doubt; he may not be strong enough to compete with the other candidates.

Golkar’s political strategy to overcome the political competition will be severely tested. The Golkar Party, which is ideologically a center party, has two strong competitors: The PDI-P and the Democrat Party.

It is unlikely Golkar can obtain 30 percent of the vote. It seems more plausible that it will maintain the same number of votes as in 2004. In addition, Golkar’s electoral strength will also depend on the perception of voters, which is closely related to their strategy and the innovation of the image projection of the party. Without political innovation, the voters will have difficulty distinguishing the Golkar Party from other political parties.

Writer : Hanta Yuda AR, Executive Director Pol-Tracking Institute

Source : The Jakarta Post, 05 March 2009

Page 35: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Problem Gigantisme Demokrat

Sulit bagi kita untuk tidak mengatakan bahwa faktor utama kemenangan Partai Demokrat pada Pemilu 2009 lebih disebabkan kuatnya daya magnet personalitas Susilo Bambang Yudhoyono ketimbang faktor kinerja pengorganisasian mesin partai.

Padahal, partai yang kelahirannya dibidani SBY ini belum genap berusia delapan tahun, tetapi berhasil meraih prestasi elektoral secara gemilang: menjadi pemenang pemilu legislatif—memperoleh suara 20,8 persen dan 148 kursi DPR— sekaligus memenangi pemilihan presiden dalam satu putaran.

Kemenangan spektakuler ini menjadi berita gembira, sekaligus kabar buruk bagi Partai Demokrat karena akan menjadi "ancaman" bagi masa depan partai. Pasalnya, postur politik elektoral—dukungan suara di pemilu—yang bongsor itu menyebabkan Partai Demokrat mengidap "politik gigantisme", suatu kondisi di mana postur elektoral partai sangat besar dalam waktu cepat, tetapi kondisi organisasi kurang sehat.

Hal itu disebabkan bobot politik elektoral "meraksasa" dalam rentang usia yang relatif pendek, sementara postur kelembagaan—infrastruktur, jaringan, dan sumber daya organisasi—tidak sanggup mengimbanginya.

Efek gigantisme

Seperti halnya manusia yang mengalami gigantisme—kondisi kelebihan pertumbuhan, dengan besar dan tinggi tubuh di atas normal—berisiko menderita berbagai macam penyakit. Politik gigantisme —imbas dari popularitas dan elektabilitas SBY—yang dialami Partai Demokrat, tentu juga mengandung beberapa risiko komplikasi politik secara bervariasi: problem kepemimpinan akibat ketergantungan pada SBY, ancaman faksionalisme (konflik internal), krisis pengakaran partai, serta problem identitas partai.

Problem kepemimpinan partai muncul akibat ketergantungan Partai Demokrat pada nama besar SBY. Hal ini memang menjadi "berkah politik", tetapi sekaligus akan menjadi "bencana". Menjadi berkah karena popularitas SBY berkontribusi "meraksasakan" bobot elektoral partai.

Menjadi bencana karena secara kelembagaan partai jadi sangat bergantung kepada SBY. Jika dilihat dari perspektif institusionalisasi partai, ini jelas tak sehat. Kepemimpinan dan pola pengambilan keputusan terpusat pada "keinginan" SBY sebagai pemilik "veto" di partai. Problem ini akan menjadi kendala terbesar bagi Partai Demokrat untuk bertransformasi menjadi partai modern dan demokratis.

Page 36: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Ketergantungan terhadap sosok dan karisma SBY juga menyimpan potensi konflik dan faksionalisme internal. Posisi SBY sebagai "Bapak" bagi semua "kelompok" dan faksi politik di internal Partai Demokrat menyebabkan elite partai tidak terbiasa menyelesaikan persoalan internal secara mandiri dan terlembaga. Kelemahan penyelesaian secara "adat"—pendekatan politik patron—menyebabkan sumber konflik itu sendiri tidak pernah tuntas. Kondisi seperti ini akan menjadi ancaman serius bagi Partai Demokrat ketika SBY tidak lagi memiliki kekuatan karisma dan kekuasaan.

Kemunculan problem pengakaran partai juga disebabkan faktor utama kemenangan partai lebih disebabkan kuatnya popularitas dan elektabilitas figur SBY ketimbang prestasi pengorganisasian jaringan struktur partai. Hal ini menunjukkan bahwa Partai Demokrat sesungguhnya didukung mayoritas massa mengambang (swing voters) sehingga basis konstituennya sangat cair, dan akar partai di masyarakat amat rapuh. Partai seperti ini akan lebih mudah menjadi partai mengambang dan cepat mengalami degradasi kekuatan elektoral.

Problem identitas partai juga dialami Partai Demokrat sejak kelahirannya hingga menjadi pemenang Pemilu 2009 karena terpersonalisasi oleh sosok SBY. Sejak berdiri, partai ini sangat identik dengan SBY ketimbang identitas ideologis dan orientasi program.

Wacana "nasionalis-religus" dan "partai tengah" yang diusung partai, tenggelam oleh persepsi bahwa "Partai Demokrat adalah partainya SBY". Lagi-lagi, dalam jangka pendek persepsi seperti ini memang menguntungkan, tetapi jadi ancaman dalam perspektif masa depan partai.

Institusionalisasi

Keempat problem internal inilah menyebabkan Partai Demokrat tidak kunjung terlembaga sebagai partai yang kuat dan modern, sementara postur politik elektoralnya telanjur mengalami gigantisme. Pada titik inilah, politik gigantisme menjadi problematik bagi masa depan Partai Demokrat. Oleh karena itu, kongres seharusnya menjadi momentum untuk memperkuat kelembagaan dan memodernisasi sistem internal partai.

Paling tidak ada beberapa agenda institusionalisasi organisasi (memperkuat postur kelembagaan) untuk mengimbangi postur elektoral partai. Pertama, melakukan modernisasi organisasi dengan melembagakan sistem kepemimpinan kolektif-kolegial (modern party), sembari perlahan melepaskan diri dari ketergantungan pada figur SBY.

Kedua, mengakarkan partai di masyarakat melalui pengakaran program dan ideologi partai agar dapat diterima masyarakat, serta mengintensifkan hubungan antara partai dan konstituen (party rooting).

Ketiga, menegaskan identitas partai melalui revitalisasi ideologi dan platform partai. Strategi "menjual" popularitas SBY mulai ditransformasikan dengan strategi menawarkan platform dan program yang menarik dan inovatif (bertransformasi menjadi partai berorientasi program dan kinerja).

Page 37: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Keempat, reformasi dan demokratisasi sistem internal, terutama memperbaiki sistem kaderisasi dan mekanisme perekrutan. Hal itu terkait dengan sejauh mana partai mampu menciptakan prosedur internal yang demokratis dan memerhatikan faktor meritokrasi dalam sistem kaderisasi dan penjaringan.

Jika merujuk peta politik menjelang Kongres Partai Demokrat II, kandidat ketua umum tampaknya telah mengerucut pada Andi Mallarangeng (47) dan Anas Urbaningrum (41). Seandainya kedua "darah muda" di Partai Demokrat ini berduet —sebagai ketua umum dan sekjen—maka dengan segala keunggulan dan potensi yang dimiliki keduanya akan menjadi angin segar bagi proses transisi dan transformasi Partai Demokrat menjadi partai modern yang berbasis pada sistem kelembagaan yang demokratis itu.

Akhirnya, semua berpulang kepada SBY dan elite Partai Demokrat. Apakah kongres akan menjadi momentum untuk keluar dari problematik politik gigantisme— memperkuat kelembagaan partai—atau hanya sekadar ajang suksesi kepengurusan? Selamat berkongres!

Oleh : Hanta Yuda AR, Direktur Eksekutif Pol-Tracking Institute

Sumber : Kompas, 21 Mei 2010

Page 38: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Reorientasi Koalisi

Tiga partai mitra koalisi—Golkar, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Persatuan Pembangunan—berdiri di dua kaki, berkoalisi dengan pemerintah sekaligus menjalankan peran oposisi di DPR.

Meskipun ketiga partai ini telah menandatangani kontrak koalisi dan mendapatkan jatah posisi menteri di kabinet, tetapi mengambil posisi diametral dengan pemerintah dalam voting Rapat Paripurna DPR tentang Angket Bank Century. Fenomena koalisi politik dua kaki seperti ini juga kerap dijumpai pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK) lima tahun silam.

Walaupun secara kuantitas persentase koalisi partai-partai pendukung pemerintahan SBY-Boediono sangat gemuk—didukung 75 persen kekuatan di DPR—tetapi sangat rapuh dan mudah retak. Kasus Century menjadi potret paling anyar tentang kerapuhan itu. Kondisi ini tentu memunculkan pertanyaan: mengapa koalisi mudah retak (terancam pecah), padahal usia pemerintahan belum genap setengah tahun?

Sumber keretakan

Paling tidak ada empat jawaban—sumber keretakan koalisi dalam menyikapi kasus Century—yang bisa diajukan untuk menjawab pertanyaan ini. Pertama, imbas dari kerentanan kombinasi sistem presidensial-multipartai. Koalisi yang tidak lazim dalam tradisi sistem presidensial justru menjadi kebutuhan mendasar dan sulit dihindari dalam situasi multipartai. Kebutuhan akan koalisi inilah yang menjadi pemicu awal sistem presidensial sering tampil dengan gaya parlementer (presidensialisme setengah hati), dan pemerintah kerap terserimpung oleh manuver politik dua kaki partai-partai, seperti halnya sikap Golkar, PKS, dan PPP dalam kasus Century.

Kedua, efek dari lemahnya ideologi partai dan kuatnya kepentingan pragmatisme untuk investasi politik 2014. Hal inilah yang menyebabkan karakter partai-partai dalam berkoalisi tidak disiplin, sangat oportunistis, dan pragmatis. Akibatnya, koalisi yang terbangun akan selalu rapuh dan cair karena koalisi dibangun di atas fondasi kepentingan pragmatisme kekuasaan ketimbang kedekatan ideologi atau persamaan platform.

Ketiga, akibat dari terlalu lenturnya kontrak koalisi. Kontrak politik yang seharusnya menjadi pengikat sekaligus pedoman dalam berkoalisi terlalu normatif dan general. Karena itu pula tidak mengherankan jika partai-partai anggota koalisi memiliki tafsir berbeda dan masing-masing mengklaim melaksanakan kontrak koalisi.

Keempat, implikasi dari akumulasi beberapa kekeliruan komunikasi politik SBY dan Partai Demokrat dengan mitra koalisi. SBY patut diakui sangat terampil membangun komunikasi

Page 39: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

publik—politik pencitraan—tetapi kurang pandai dalam mengelola komunikasi elite. Fungsi komunikasi elite yang sebelumnya sering diperankan JK kini menjadi celah kelemahan SBY. Hal ini diperparah beberapa pernyataan kontroversial—kurang bersahabat—dan gertak reshuffle yang dilontarkan beberapa politisi Partai Demokrat yang justru semakin merusak hubungan komunikasi dengan mitra koalisi.

Reorientasi

Karakter personal SBY yang sangat mementingkan keseimbangan (harmoni politik) dan ingin memuaskan semua pihak mendorongnya merangkul hampir semua partai ke dalam kabinet. Hal ini menyebabkan SBY dan Partai Demokrat terperangkap pada logika kuantitas, yaitu lebih sibuk memperbesar jumlah anggota koalisi ketimbang membina soliditasnya. Padahal, sebesar apa pun koalisi, tanpa membina soliditas dan memperbaiki aturan main dalam berkoalisi, partai-partai tetap berpotensi menjalankan politik dua kaki.

Inilah salah satu kekeliruan orientasi koalisi yang dibangun SBY dan Partai Demokrat selama ini, terlalu terfokus pada orientasi kuantitas (merangkul partai sebanyak-banyaknya, tetapi tidak solid) ketimbang kualitas (kohesivitas dan soliditas koalisi). Karena itu, ke depan orientasi untuk memenuhi kebutuhan pengaman pemerintahan (politik sekuritas) perlu direvisi, dari orientasi kuantitas (persentase) ke orientasi kualitas (soliditas). Untuk konteks ini, me-reshuffle kabinet dan melibatkan PDI Perjuangan ke dalam koalisi tak begitu relevan karena tak ada jaminan koalisi akan lebih solid.

Reorientasi koalisi ini juga perlu diikuti beberapa langkah praktis. Pertama, kontrak koalisi (MOU) perlu direvisi agar lebih konkret, jelas, dan disertai sanksi. Kedua, diperlukan forum koordinasi anggota koalisi yang bersifat permanen dan dipimpin langsung oleh Presiden SBY atau setidaknya petinggi Partai Demokrat. Peran ini tidak lagi diserahkan kepada Hatta Rajasa (Ketua Umum PAN), yang justru dapat membuat ”ketersinggungan” partai-partai lain.

Ketiga, mengubah strategi komunikasi ”gertakan” dan ”ancaman” menjadi lebih kompromistis dan dua arah (komunikasi simetris), dengan memperlakukan mitra koalisi sebagai pihak yang saling membutuhkan (simbiosis politik mutualisme). Di titik inilah sangat diperlukan keterampilan berkomunikasi dan seni berkompromi dalam membina soliditas koalisi.

Sikap kompromistis SBY, yang dianggap sebagian pengamat sebagai kelemahan, justru akan menjadi kekuatan dalam memimpin koalisi. Memang hal ini akan mereduksi prinsip sistem presidensial, tetapi inilah konsekuensi yang harus ditempuh oleh Presiden yang berkuasa dalam sistem berdemokrasi yang belum sempurna (presidensialisme setengah hati). Kata kuncinya terletak pada tiga hal: komunikasi, koordinasi, dan kompromi.

Oleh : Hanta Yuda, Direktur Eksekutif Pol-Tracking Institute

Sumber : Kompas, 13 April 2010

Page 40: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Too many parties weaken political leaders

The General Elections Commission (KPU) has approved 18 new political parties to contest the 2009 general elections. There will therefore be a total of 34 political parties contesting next year's elections, compared to only 24 in the 2004 elections. The effort to simplify the multiparty system has failed.

Some believe that a multiplicity of parties presents obstacles to the effectiveness of government. The combination of presidential and multiparty systems with many parties tends to generate political instability, making the President's position weaker. In a fragmented multi-party system, it is difficult for one party to form the basis for government.

If there is no single powerful party, the possibility of a deadlock between the legislative and executive branches of government is also greater (Scott Mainwaring, 1993). This thesis is also illustrated in the case of the combined presidential and multi-party system in the SBY-JK administration.

Interpellations have been frequently launched by the DPR (House of Representatives). The right of parliamentary questioning of the executive, combined with the threat of withdrawal of support have become the means for political parties to pressure the President.

The combination of presidential and multi-party systems comprising many parties presents a difficulty. It has been shown to make democracy unstable. Referring to the study of Juan Linz and Arturo Velenzuela (1994) in Latin America, the Presidential system, superimposed on a multi-party structure with many parties may undermine the process of strengthening democracy, as it tends to create conflicts between the president and parliament.

This thesis is strengthened by the argument of Scott Mainwaring and Matthew Soberg Shugart (1997) that this combination also tends to form a divided government, in which the President will have difficulties in getting enough political support in parliament. The experience of Latin American countries shows that the combination of presidential and multi-party systems comprising a multiplicity of parties has sometimes led to political failures and helped create unstable democracies.

The two-party system can actually be more flexible than a multiplicity of parties. The experience of some countries with two parties, alongside the presidential system, shows that it tends to produce a stable government, as in the United States. Two main parties alongside the parliamentary system also tends to produce stable government, as in the United Kingdom.

The development of a multiplicity of parties in Indonesia tends to be illustrative of divergence and fragility. This has been so since 1998. On many occasions political parties

Page 41: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

have split into smaller parties. If the members of the parties do not agree, they just form a new party.

The tendency of parties to fractionalize is related to weak ideology and weak membership. Undemocratic trends in the formation of political elites, alongside conflicting aspirations, often triggers the break-up of political parties, especially over selection of party leaders.

Arguments over leadership and succession often generate discontent about mechanisms and decision-making. This is reinforced by the tendency of the political elite to come from, or become part of, a political oligarchy and the personalization of leadership roles in party organizations.

Ideally, to maintain stability in a presidential system, the president should belong to the majority party, which is the party that is supported by the majority of seats in the parliament. This majority then strengthens the stability of the government and makes it easier for the President to get support from the parliament to launch political initiatives.

This operating majority is difficult for the President to mobilize when there are many parties, unless the President can pull together a coalition. In a presidential system combined with a multiparty system with many parties, a coalition becomes a necessity and weak coalitions can lead to weak government.

The fragility of coalitions can be caused by several factors. First, in a coalition, the parties' ideology or policy platform is not the main determining factor. Coalition-building relies more on balancing political interests.

Second, the composition of parties in a coalition tends to be dynamic (reflecting relative strengths and election results). The composition of the cabinet reflects the shape of the coalition that supports the government.

The presidential system ordained by the 1945 Constitution to be applied alongside the multi-party system tends to lead to political compromises. The nature and progress of the Yudhoyono-Kalla administration reflects these compromises.

There are five detectable characteristics or trends tending to lead to compromises when the presidential system works in the context of a multi-party system comprising many parties.

First, the underlying fragile coalition in the parliament. Second, the interventions and positions of the political parties combined with the President's accommodation of their interests in the course of cabinet formation. This tends to reduce the President's room for maneuver. Third, evolution of composition of the cabinet reflecting the shape of the coalition is difficult to avoid and leads to ministers having dual loyalties.

Fourth, the extent of influence of parliament upon the government tends to be exaggerated and can undermine the stability of government (or lead to ups and downs in the relations

Page 42: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

between the government and parliament). Finally all of this can lead to some disharmony in relations between the President and the Vice President.

The combination of a presidential and multi-party system with many parties will be complicated and produces an unstable democracy. This combination also tends to produce a minority president, with a divided government, where the President will find it difficult to get political support in the parliament.

Writer: Hanta Yuda AR, Executive Director Pol-Tracking Institute

Source: The Jakarta Post, 25 August 2008

Page 43: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Again on independent candidates

The discourse on independent candidates has led to a dispute. The small number of candidates, two, who will contest the Jakarta gubernatorial election has become one of the triggers in the debate. The possibility of independent candidates running for president in 2009 will also create dispute.

However, the independent candidate proposal is not a new thing in Indonesian political discourse.

Learning from elections of regional leaders in various areas in Indonesia, the nomination of candidates by political parties has been based on economic and pragmatic considerations, not on the long-term interests of the public. It is no secret that these days the nominations of candidates are based on who will provide the biggest economic advantage to the political parties.

The tradition of independent candidates can be found in several countries in the world. For example, in the U.S. candidates from outside the Democratic Party and the Republican Party have participated in elections since the period of president Roosevelt in 1912. There was John B Anderson in 1980 and also Ross Perot in 1992.

The nomination of independent candidates in the presidential system is different from that of a parliamentary system.

The parliamentary system is applied in most European countries like England, the Netherlands and Germany. The role of parties is absolute in determining figures who will occupy leadership at the local and national levels. Hence, it is likely that career politicians with unwavering allegiance to the party will be tapped.

Therefore, the problem of whether candidates will be determined by independent candidates or political parties comes from different logics between the presidential and parliamentary systems. The two logics overlap in the Indonesian political system.

All presidential candidates should have the same opportunity. The participation of candidates without political party backgrounds will increase the level of competition. Of course, only candidates who have an emotional bond with their constituents will win the election.

The more serious problem is to prepare bureaucrats to implement the rules. If an independent candidate were to win the presidential election, but there is no purification of the presidential system, the winner would be trapped in a deadlock with the legislative.

Page 44: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Independent candidates will not be effective in doing their job because there is no strong support from the parliament. The case of President Susilo Bambang Yudhoyono is one example. Yudhoyono, who only has minor support in the parliament, is not as strong and as effective as he would be in a pure presidential system.

The problem is exacerbated with the involvement of economic, security and prosperity dimensions. Indonesia has big security and economic problems to deal with that make the President's political position very vulnerable. The President should have a strong political position, guaranteed by the Constitution.

The presidential system gives authority to the President to decide and implement the government's agenda. To strengthen the position of the President in a checks and balance function with Parliament, the president should be provided with veto power.

Veto power gives the president the right in the legislative area to refuse draft laws sent by parliament to the President.

But the parliament can cancel the veto (override) with majority support (about a two-third vote in the parliament).

In the U.S., which adopts the disassociation system of power into the executive, legislative and judiciary, they control but do not dominate each other. The president has the veto right to kill laws proposed by the Congress.

Besides the problems of independent candidates and the veto right for the president, to maintain stability in the presidential system, the president needs to have a strong personality, which is sustained by toughness, compromise, good lobbying and courage to use the prerogative rights according to the Constitution.

Writer: Hanta Yuda AR, Executive Director Pol-Tracking Institute

Source: The Jakarta Post, 12 July 2007

Page 45: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Dinastitokrasi dan Oligarki Politik

Kronisme dan nepotisme masih menjadi isu sentral politik era reformasi. Hal itu terlihat dari menguatnya kecenderungan para petinggi partai dalam menempatkan keluarganya pada posisi strategis dalam daftar calon anggota legislatif (caleg) Pemilu 2009. Fenomena politik keluarga ini tidak hanya terjadi di pusat, tetapi juga di daerah (caleg DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota).

Cengkeraman elite

Fenomena politik keluarga ini setidaknya disebabkan empat hal. Pertama, imbas dari sistem pemilu dan persaingan yang kian liberal. Karena itu, nama besar dan ketokohan sejumlah keluarga petinggi parpol diyakini dapat menjadi modal meraup suara.

Kedua, potret kegagalan parpol dalam mengikat konstituennya. Karena itu, elite parpol cenderung mencari siasat untuk menarik konstituennya dengan menempatkan caleg yang layak jual. Cara instan yang digunakan adalah melirik figur terkenal dari kalangan keluarga elite partai.

Ketiga, lemahnya sistem kaderisasi dan pola rekrutmen di internal parpol, terutama mekanisme dalam penentuan caleg.

Keempat, terlalu besarnya daya cengkeram kekuasaan para elite parpol, terutama elite di tingkat pusat.

Dari keempat faktor itu, yang paling dominan menyuburbiakkan politik keluarga adalah faktor keempat, kuatnya daya cengkeram kekuasaan elite.

Maraknya politik keluarga di tubuh parpol akan mengarah pada dinastitokrasi politik. Pada saat itu, suatu partai dikuasai dan dikelola sebuah keluarga besar. Parpol seolah menjadi kerajaan keluarga yang dikuasai dan dikelola turun-temurun. Kondisi ini akan membahayakan proses demokrasi yang dibangun karena akan memengaruhi kelembagaan politik internal partai. Parpol pun tidak akan kunjung terlembaga sebagai organisasi modern dan demokratis.

Dinastitokrasi politik tidak hanya akan menutup peluang kader atau aktivis partai yang benar-benar berjuang meniti karier politik dari bawah, tetapi juga mendorong berkembangnya personalisasi kekuasaan dan menyuburkan kepemimpinan oligarkis partai. Pada tahap itulah akan bertambah subur oligarki elite dan dinastitokrasi politik di internal parpol. Realitas politik itu seolah menguatkan tesis Robert Michels tentang Hukum Besi Oligarki (The Iron Law of Oligarchy) bahwa di setiap organisasi partai politik, pada hakikatnya hanya dikuasai segelintir elite.

Page 46: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Memutus rantai

Selain diperlukan perbaikan sistem kaderisasi dan meritokrasi internal partai, agenda demokratisasi untuk menyelamatkan parpol dari bencana dinastitokrasi politik adalah memutus mata rantai oligarki elite di tubuh partai. Ini terutama rantai proses kebijakan penentuan caleg, baik kekuasaan untuk menyusun daftar caleg (hulu proses rekrutmen) maupun kekuasaan dalam menentukan caleg terpilih (hilir proses rekrutmen).

Mekanisme penetapan caleg terpilih yang sebelumnya masih menggunakan nomor urut berkontribusi dalam menyuburkan praktik oligarki elite di tubuh parpol. Namun, hal itu terselamatkan oleh keputusan Mahkamah Konstitusi tentang suara terbanyak. Untuk jangka panjang, keputusan MK ini akan memutus mata rantai oligarki elite parpol meski tidak serta-merta memberantas semuanya. Kewenangan elite partai yang semula cukup besar dalam penentuan caleg terpilih otomatis akan berkurang.

Namun, cengkeraman kekuasaan elite partai masih cukup kuat dalam proses menyusun daftar caleg yang merupakan bagian hulu dari rantai kebijakan dalam proses rekrutmen caleg. Untuk memutus mata rantai oligarki yang kedua ini, penyusunan daftar caleg di parpol seharusnya dipilih lewat proses internal yang transparan, bukan lagi kewenangan penuh elite partai. Karena itu, ke depan, diperlukan sistem pemilu internal yang melibatkan kader dan konstituen partai untuk memilih bakal caleg atau pejabat publik dari suatu partai.

Pemilu 2009 kemungkinan besar menjadi kesempatan terakhir bagi sejumlah tokoh karismatik dan elite oligarki yang selama ini menjadi patron di sejumlah parpol. Sebelum takhta kekuasaan partai itu diserahkan kepada dinasti keluarganya, demokratisasi parpol merupakan agenda mendesak bagi masa depan kepartaian di Indonesia, setidaknya untuk menyelamatkan parpol dari bencana dinastitokrasi dan oligarki politik.

Oleh: Hanta Yuda, Direktur Eksekutif Pol-Tracking Institute

Sumber: Kompas, 6 Februari 2009

Page 47: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

PDIP Gantikan Golkar, Mungkinkah?

Wacana perombakan Kabinet Indonesia Bersatu dan kedekatan the ruling party (Partai Demokrat) dengan partai oposisi (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan/PDIP) mulai hangat lagi diperbincangkan. Meskipun Megawati kerap menegaskan bahwa koalisi di antara kedua partai itu kecil kemungkinan terwujud, peluang ini masih tetap terbuka. Jika dilihat dari pernyataan beberapa petinggi PDIP, seperti Taufiq Kiemas, Puan Maharani, Tjahjo Kumolo, dan Pramono Anung, misalnya, koalisi antara Partai Demokrat dan PDIP bukan tidak mungkin akan terwujud.

Isu reshuffle kabinet dan PDIP yang menempati posisi Golkar tampaknya akan semakin hangat dan semarak di akhir tahun ini. Pertanyaannya, siapa saja yang berkepentingan dengan penggelindingan isu reshuffle? Sejauh mana peluang Golkar dikeluarkan dari koalisi, dan apa keuntungannya bagi PDIP jika masuk pemerintahan?

Empat perspektif

Penggelindingan isu reshuffle paling tidak dapat dibaca dalam empat perspektif politik. Pertama, dari perspektif kepentingan partai mitra koalisi, terutama Partai Golkar. Isu reshuffle boleh jadi sengaja diembuskan untuk memperkuat posisi tawar partai-partai di hadapan presiden. Berdasarkan pengalaman lima tahun lalu, misalnya, isu reshuffle kerap dijadikan alat bagi partai-partai mitra koalisi untuk melakukan negosiasi dan tawar-menawar politik dengan presiden.

Kedua, isu reshuffle kabinet juga dapat dilihat dari perspektif kepentingan Partai Demokrat. Isu reshuffle kabinet--mengganti Golkar dengan PDIP--dan kedekatan Demokrat dengan PDIP sengaja diembuskan politikus Demokrat untuk menggertak Golkar. Apalagi Golkar selama ini dikenal paling sering bermanuver di koalisi. Selain itu, isu reshuffle bisa dibaca sebagai efek dari dinamika internal Partai Demokrat. Di balik isu reshuffle sangat mungkin ada kepentingan Demokrat atau kepentingan "faksi politik" di internal partainya Yudhoyono itu. Karena itu, isu reshuffle boleh jadi justru sengaja diembuskan Partai Demokrat sendiri sebagai imbas dari menguatnya faksionalisme politik di internal Demokrat.

Ketiga, isu reshuffle juga bisa dilihat dari perspektif kepentingan partai oposisi PDIP. Partai oposisi mungkin saja berkepentingan untuk masuk ke dalam kabinet dalam rangka optimalisasi kekuasaan dan memperkuat akses ekonomi politik ke pemerintahan. Apalagi belakangan ini beberapa politikus partai itu sedang terancam terjerat masalah hukum.

Keempat, isu reshuffle dibaca dari perspektif kepentingan pemerintah (presiden) sebagai strategi pengalihan isu. Karena, isu reshuffle berpotensi dijadikan sebagai pengalihan berbagai isu dan persoalan--terutama persoalan mafia hukum dan korupsi--yang tak kunjung terselesaikan oleh pemerintah belakangan ini.

Page 48: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Pada keempat perspektif inilah, isu reshuffle kabinet sejatinya dapat dibaca hanya sebagai gertak politik dan pertarungan kepentingan partai-partai besar di parlemen, terutama antara Demokrat dan Golkar. Mengeluarkan Golkar Partai Golkar, sebagai partai terbesar kedua di parlemen, tentu saja ingin menggapai kekuasaan yang lebih optimal.

Selama setahun bersama SBY-Boediono, Golkar di bawah kepemimpinan Aburizal Bakrie (Ical) tampaknya memang belum memperoleh hal itu. Benar bahwa Ketua Umum Golkar menduduki jabatan strategis sekaligus prestisius sebagai ketua harian sekretariat gabungan koalisi. Meskipun demikian, Golkar sejatinya belum memiliki ruang manuver yang leluasa dalam mempengaruhi kekuasaan pemerintahan. Karena itu pula, munculnya aspirasi yang cukup kuat di kalangan Golkar agar ada reshuffle kabinet sejatinya dalam rangka optimalisasi kekuasaan itu, melalui tambahan jatah kursi menteri di pemerintahan.

Paling tidak bagi Golkar, skenario dan target politik seperti di masa pemerintahan Yudhoyono-Kalla dapat tercapai. Tingkat representasi Golkar di kabinet pada saat itu--pemerintahan Yudhoyono-Kalla-mengalami grafik naik. Kenaikan dari awal pemerintahan (dua kursi menteri) hingga kemudian terjadi dua kali reshuffle menjadi tiga dan kemudian empat kursi menteri.

Apalagi, belakangan ini kasus "mafia pajak Gayus" yang kerap dikaitkan dengan persoalan pajak perusahaan Ical yang juga Ketua Umum Partai Golkar berpotensi menyandera partai beringin itu. Pada kondisi seperti ini, sangat mungkin Golkar memperkuat peran politik dua kakinya, berkoalisi di pemerintahan sekaligus memperkuat peran oposisi di parlemen.

Di titik inilah, pertimbangan Yudhoyono untuk mengeluarkan Golkar dari pemerintah menjadi relevan dan cukup beralasan dalam rangka menata ulang koalisi dan memperkokoh soliditas internal koalisi. Hanya, kendalanya, apakah Yudhoyono memiliki nyali politik yang cukup besar untuk mengeluarkan Golkar dari kabinet. Sebab, jika berharap Golkar yang berinisiatif keluar dari pemerintahan, hampir tidak mungkin terjadi, karena Golkar sulit menjauh dari kekuasaan.

Keuntungan PDIP

Jika kita amati, gaya beroposisi PDIP pada periode kedua pemerintahan Yudhoyono memang relatif lebih "lunak" ketimbang lima tahun sebelumnya. Meskipun ketua umumnya, Megawati, kerap melakukan kritik keras terhadap pemerintah, posisi "keras" Megawati itu sering kali dinetralkan atau diimbangi sikap "lunak" Taufiq Kiemas, melalui strategi politik akomodatif dan kompromistiknya.

Terlepas dari berbagai kepentingan politik terselubung partai-partai, terutama kepentingan Demokrat untuk menggertak Golkar, isu kedekatan Demokrat dengan PDIP tetap berpeluang terwujud. Hanya, faktor Megawati tetap menjadi kendala terbesar "perkawinan politik" antara PDIP dan Demokrat.

Page 49: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Seandainya PDIP memutuskan bergabung ke dalam pemerintahan, selain menuai risiko negatif, juga memiliki keuntungan secara elektoral--tentunya selain optimalisasi kekuasaan dan akses ekonomi politik--bagi PDIP. Setidaknya ada tiga keuntungan bagi tingkat elektabilitas PDIP. Pertama, PDIP berpotensi dipersepsikan sebagai partai yang konstruktif, akomodatif, dan obyektif, terutama bagi pendukung Yudhoyono. Persepsi ini jelas berdampak positif bagi elektabilitas PDIP di tengah inkon sistensi partai-partai mitra koalisi. Walaupun demikian, juga berisiko dianggap sebagai partai tidak konsisten.

Kedua, sikap PDIP ini akan membuka peluang bagi pemilih di luar massa tradisional PDIP--terutama kelompok pemilih Yudhoyono-Boediono yang berasal dari basis massa partai-partai mitra koalisi--untuk memberi dukungan elektoral. Tentu juga disertai risiko negatif hengkangnya pendukung fanatik partai.

Ketiga, PDIP akan mendapat dampak positif secara elektoral, bukan hanya efek dari menurunnya kepuasan publik terhadap pemerintah, tetapi juga sebaliknya, imbas dari persepsi positif publik terhadap kinerja pemerintah, seperti halnya efek politik bagi Partai Demokrat.

Pada titik inilah keputusan mengeluarkan Golkar dan memasukkan PDIP ke dalam kabinet memiliki keuntungan sekaligus kerugian bagi tiap partai, Demokrat, Golkar, maupun PDIP. Karena, setiap pilihan politik jelas mengandung risiko politik.

Akhirnya, andaikata Yudhoyono akan merombak kabinet, inilah momentum yang tepat untuk menentukan partai-partai mana yang layak diajak berkoalisi, dan partai mana pula yang pantas dikeluarkan dari pemerintahan. Kita tunggu saja, apakah Megawati dan PDIP akan masuk pemerintahan, dan SBY memiliki nyali politik cukup besar untuk mengeluarkan Golkar dari kabinet? Saya termasuk yang "berharap" sekaligus yang "ragu"hal itu terjadi.

Page 50: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Pintu Masuk Pemandulan Angket Century

ANGKET Dewan Perwakilan Rakyat untuk mengungkap kasus Bank Century sudah bergulir lama. Badan Pemeriksa Keuangan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, serta beberapa mantan pejabat tinggi Bank Indonesia pun sudah dipanggil Panitia Khusus (Pansus) Angket, termasuk mantan Gubernur BI Boediono, yang kini menjadi wakil presiden. Usul angket yang dipicu oleh adanya beberapa keganjilan dalam kebijakan penggelontoran dana talangan (bailout) kepada Bank Century sebesar Rp 6,7 triliun ini memang cukup menguras konsentrasi publik. Bahkan mampu menenggelamkan isu program 100 hari pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono.

Pansus Angket Century ingin mengungkap jawaban atas pertanyaan penting: benarkah ada unsur penyelewengan kekuasaan (abuse of power) dan betulkah uang negara Rp 6,7 triliun tersebut juga mengalir ke jantung kekuasaan? Pada titik inilah, atas nama konstitusi, hak angket menjadi amat penting keberlanjutannya, bahkan wajib hukumnya bagi anggota Dewan melakukan penyelidikan dan investigasi secara tuntas.

Hak angket memang merupakan hak konstitusional DPR. Namun selama ini hak angket kerap terhenti prosesnya di tengah jalan akibat terjadinya kompromi politik. Terlalu banyak contoh yang menunjukkan usulan angket hanya menjadi “gertakan” partai untuk bernegosiasi dengan pemerintah. Kalaupun lolos, seperti angket bahan bakar minyak dan angket daftar pemilih tetap, masyarakat tidak pernah tahu persis bagaimana hasilnya. Karena itu, kendatipun tahap awal angket Century sudah tercapai, hasilnya masih belum terang. Maka penting untuk mengantisipasi agar tidak bernasib sama dengan angket-angket sebelumnya, yang selalu mengalami “pemandulan” sebelum pekerjaan pansus dituntaskan.

Modus Pemandulan

Berdasarkan pengalaman, ada beberapa modus upaya pemandulan panitia angket yang menyebabkan delapan kali angket di DPR periode 2004-2009 mengalami antiklimaks atau layu sebelum berkembang. Pertama, terjadinya kompromi dan negosiasi politik antara pemerintah dan partai-partai mitra koalisi dalam menyelesaikan permasalahan. Hak angket dijadikan pemerintah untuk memberi barter politik. Sebaliknya, partai juga menjadikan angket sebagai alat untuk memperkuat bargaining dalam bernegosiasi dengan presiden untuk mendapatkan barter politik itu. Jika kompromi ini terjadi, substansi persoalan akan mudah diselesaikan di belakang layar.

Kedua, kooptasi anggota pansus oleh kekuatan oligarki elite partai. Kuatnya cengkeraman oligarki elite di partai politik kerap mempengaruhi proses angket di DPR. Urusan penting di pansus angket hanya diselesaikan segelintir elite melalui lobi-lobi di hotel. Ruang gerak anggota pansus dibatasi oleh kekuatan oligarkis di partai-partai mitra koalisi pemerintah,

Page 51: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

sehingga angket pun layu sebelum berkembang akibat kompromi tingkat tinggi itu. Realitas politik seperti ini sudah disinyalir Robert Michels tentang Hukum Besi Oligarki (The Iron Law of Oligarchy) bahwa di setiap organisasi partai politik pada hakikatnya hanya dikuasai oleh segelintir elite.

Ketiga, pembungkaman anggota pansus dengan “amplop tebal” sering kali menjadi senjata ampuh pemandulan angket. Potensi terjadinya money politics dalam kerja-kerja pansus sangat rentan. Apalagi proses kerja di pansus berpotensi besar terjadinya money politics. Siapa saja yang akan dipanggil dan apa saja yang akan ditanyakan berpotensi menjadi lahan transaksi politik. Apalagi kultur politik transaksional di lingkup internal partai seperti ini sudah dimulai dari proses rekrutmen calon anggota legislatif dan suksesi kepengurusan partai. Hal ini terbawa ke parlemen sehingga potensi terjadinya money politics sangat rentan.

Keempat, angket dijadikan sebagai bargaining antara pemerintah dan anggota pansus yang bermasalah atau terlilit kasus hukum. Anggota pansus seperti ini jelas akan mudah “diancam” dan membuka potensi terjadinya kompromi dan tawar-menawar politik. Dengan demikian, upaya pemandulan angket akan lebih mudah dilakukan.

Kelima, agenda kerja dan rapat-rapat pansus dibuat tertutup, sehingga akan sulit bagi pers, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat untuk melakukan pengawasan serta mendapatkan akses informasi. Proses kerja dan rapat pansus yang selama ini kurang transparan berpeluang besar terjadinya kolusi dan transaksi-transaksi politik.

Kelima faktor inilah yang menyebabkan delapan kali angket DPR periode 2004-2009 selalu mengalami antiklimaks, yang perlu diwaspadai akan menjadi pintu masuk pemandulan angket Century. Inilah gambaran sistem kepartaian Indonesia yang terkartelisasi, ketika partai sangat tergantung dalam hal finansial sehingga menyebabkan partai lebih mendekat ke penguasa dan menjauh dari rakyat. Dan semua partai memiliki kepentingan yang sama, yaitu untuk memelihara kelangsungan hidupnya dan politik transaksional pun semakin subur (Kartz and Mair, 1994).

Karena itu, kendatipun angket Century telah lolos, tetap berpotensi terjadinya pemandulan di bagian ujung dari proses angket, sehingga diperlukan kontrol publik agar proses angket tidak mengalami antiklimaks. Sekadar contoh, rapat-rapat pansus angket, misalnya, harus terus dilakukan secara terbuka. Tujuannya agar seluruh masyarakat dapat mengawasi proses pelaksanaan hak angket dan melihat siapa wakil rakyat yang benar-benar memperjuangkan kasus Bank Century dan siapa yang menikung di tengah jalan. Pengawasan publik (pers, NGO, perguruan tinggi, dan mahasiswa) merupakan agenda inti proses pengawalan angket agar tetap di jalurnya dan terhindar dari upaya pemandulan.

Jika partai-partai di DPR tidak memiliki kesungguhan dalam mengusut tuntas skandal ini, hak angket ini sejatinya tidak layak dikatakan atas nama rakyat. Angket hanya menjadi “mainan” elite partai dan parlemen, dan inilah bentuk pengkhianatan DPR terhadap aspirasi

Page 52: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

rakyat untuk kesekian kalinya. Karena itu, untuk mengungkap skandal ini, tidak boleh ada negosiasi ataupun bargaining yang mengorbankan kebenaran dan rasa keadilan bagi rakyat.

Penulis: Hanta Yuda AR, Direktur Eksekutif Pol-Tracking Institute

Sumber: Koran Tempo, 7 Januari 2010

Page 53: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Korupsi dan Industrialisasi Pilkada

Fenomena kian menyebarnya korupsi di daerah mengindikasikan ada yang keliru dalam sistem pemilihan kepala daerah (pilkada) selama ini. Pasalnya, selain sistem pemilihan langsung mensyaratkan modal besar yang harus dimiliki seorang calon kepala daerah, pilkada kerap disertai dengan praktek politik uang dan pemakelaran pencalonan kepala daerah. Politik uang dan pemakelaran inilah yang menyebabkan biaya pilkada semakin menggelembung dan ongkos demokrasi semakin tinggi.

Fenomena ini tampaknya memiliki korelasi dengan temuan Indonesia Corruption Watch (ICW), di mana sektor keuangan daerah menjadi penyumbang potensi kerugian negara terbesar akibat kasus korupsi yang terjadi dalam semester pertama tahun 2010, sekitar Rp 596,23 miliar, dari total Rp 1,2 triliun kerugian negara akibat korupsi.

Kondisi seperti ini memunculkan semacam paradoks antara tingginya ongkos pilkada dan tuntutan pemerintahan yang bersih dari korupsi. Sebab, untuk menjadi seorang gubernur, misalnya, dibutuhkan dana sekitar Rp 100 miliar, padahal gaji gubernur hanya Rp 8,7 juta per bulan. Situasi ini memunculkan pertanyaan penting: mengapa biaya pilkada semakin menggelembung, faktor apa yang menjadi sumber pemicunya, lalu bagaimana solusi jalan keluarnya?

Industrialisasi pilkada

Paling tidak ada satu jawaban tunggal untuk menjawab pertanyaan mengapa ongkos pilkada menjadi sangat tinggi: karena pilkada dimaknai sebagai industri politik yang kental dengan politik transaksional. Logika transaksional ini selanjutnya melahirkan praktek pemakelaran dan menyuburkan praktek mafia dalam pilkada. Paling tidak, ada lima potensi lokus transaksi biaya politik yang menjadi potret tentang fenomena politik transaksional dan industrialisasi pilkada.

Pertama, transaksi antara elite ekonomi (pengusaha penyandang dana politik) dan calon kepala daerah. Kedua, transaksi politik antara calon kepala daerah dan elite partai pendukung untuk membeli “tiket sewa perahu”. Ketiga, transaksi antara tim kampanye (calon kepala daerah) dan penyelenggara atau petugas pilkada di lapangan--praktek kolutif semacam inilah yang mendorong terjadinya kecurangan. Keempat, transaksi antara calon kepala daerah dan konsultan pemenangan. Kelima, transaksi politik antara tim kampanye (calon kepala daerah) dan pemilih. Siklus politik transaksional ini membentuk semacam jaringan “mafia pilkada”, yang aktornya terdiri atas calon kepala daerah, cukong politik (pengusaha penyandang dana), elite partai, penyelenggara atau petugas pilkada, serta tim sukses calon kepala daerah sebagai perantara atau calo politik. Praktek mafia dan siklus balas jasa seperti inilah yang

Page 54: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

menyebabkan tingginya ongkos politik di pilkada dan memicu maraknya kasus korupsi kepala daerah.

Sumber pemicu

Ada empat sumber pemicu terjadinya praktek politik uang dan tingginya ongkos politik dalam pilkada: imbas dari liberalisasi sistem pilkada; efek dari kegagalan partai dan calon kepala daerah mengikat dan memikat pemilih; dampak dari menguatnya pragmatisme pemilih dan kader partai; serta implikasi dari rapuhnya sistem rekrutmen calon kepala daerah di lingkup internal partai.

Sistem pemilihan kepala daerah yang kian liberal tak hanya menyebabkan biaya penyelenggaraan (KPUD), pengawasan (Panwaslu), dan pengamanan (Kepolisian) menjadi tinggi, tetapi juga memerlukan biaya politik dan kampanye calon kepala daerah yang sangat tinggi. Kegagalan partai dalam mengikat konstituen dan ketidaksanggupan calon kepala daerah memikat pemilih juga menyebabkan semakin tingginya biaya politik di pilkada. Karena akan mendorong para elite partai dan calon kepala daerah menggunakan cara instan melalui politik uang.

Menguatnya pragmatisme pemilih dan merosotnya militansi kader partai--yang menyebabkan mesin partai tidak dapat berjalan optimal--juga mendorong suburnya politik uang. Sebab, pendekatan kekuatan uang lagi-lagi dijadikan strategi instan untuk menggerakkan mesin partai atau pengganti kinerja mesin partai dalam kampanye pilkada. Hal ini tentu juga menyebabkan biaya pilkada semakin mahal.

Peluang politik uang dan penggelembungan biaya pilkada juga didorong oleh rapuhnya sistem rekrutmen calon kepala daerah di lingkup internal partai. Sistem perekrutan calon kepala daerah yang tidak dilakukan secara demokratis dan transparan akan memunculkan politik uang dalam proses pencalonan. Para petinggi partai cenderung memasang tarif tinggi dalam pencalonan kepala daerah, karena setoran dari calon kepala daerah sekaligus menjadi sumber pemasukan bagi elite dan organisasi partai.

Keempat faktor inilah penyebab semakin suburnya praktek politik uang dan semakin mahalnya ongkos pilkada. Kondisi ini akan semakin menggerogoti kualitas dan integritas kepala daerah yang terpilih. Sebab, sistem penjaringan calon kepala daerah yang bertumpu pada kekuatan uang akan menjadi pintu masuk bagi perilaku koruptif para kepala daerah. Calon kepala daerah yang mengeluarkan biaya tinggi juga sudah hampir pasti berpikir bahwa biaya politik yang dikeluarkannya harus kembali. Di titik inilah, korupsi keuangan daerah akan menjadi jalan pintas untuk mengembalikan kapital yang telah dikeluarkan para kepala daerah.

Penyederhanaan pilkada

Fenomena maraknya korupsi para kepala daerah akibat tingginya biaya politik di pilkada mengindikasikan perlunya penataan ulang sistem penyelenggaraan pilkada, karena biaya

Page 55: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

politik perlu ditekan agar tidak menjadi pemicu korupsi. Karena itu, setidaknya ada tiga aspek yang perlu ditata ulang. Pertama, aspek sistem penyelenggaraan, diperlukan penyederhanaan sistem pemilu, yaitu penyatuan pemilu eksekutif dan legislatif di tingkat nasional/lokal dengan penyerentakan pelaksanaan pilkada kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Itu artinya, hanya ada dua kali pemilu, yaitu pemilu nasional (pemilu presiden/wakil presiden dan pemilu DPR/DPD) dan pemilu lokal (pemilihan bupati/wali kota, dan pemilihan anggota DPRD. Sementara gubernur--sebagai perwakilan pemerintahan pusat di daerah--perlu dikaji apakah cukup dipilih melalui mekanisme di DPRD.

Kedua, dari aspek dana kampanye, diperlukan penyederhanaan biaya kampanye melalui aturan pembatasan pengeluaran belanja kampanye calon kepala daerah, agar pelaksanaan pilkada semakin murah dan relatif adil. Hal ini untuk meminimalkan terjadinya praktek korupsi keuangan daerah, karena calon kepala daerah cenderung ingin mengembalikan modal ketika terpilih. Ketiga, dari aspek mekanisme penjaringan, diperlukan penyederhanaan sistem rekrutmen melalui kesadaran internal partai--atau dipaksakan melalui regulasi perundangan--untuk menerapkan sistem penjaringan calon kepala daerah secara demokratis dan transparan. Selain itu, partai-partai harus menjalankan fungsi pendidikan politik bagi kader dan konstituennya. Karena itu, membereskan persoalan bangsa ini, termasuk di pilkada, harus dimulai dengan mereformasi kelembagaan dan perilaku partai politik.

Penulis: Hanta Yuda AR, Direktur Eksekutif Pol-Tracking Institute

Sumber: Koran Tempo, 23 November 2010

Page 56: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Kekeliruan Sekretariat Gabungan Koalisi

Terlalu sulit untuk tidak mengaitkan pembentukan Sekretariat Bersama–kemudian dikoreksi menjadi Sekretariat Gabungan (Setgab)–Partai Koalisi dengan beberapa peristiwa politik belakangan ini. Pengunduran diri Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, kasus pajak Grup Bakrie, kasus lumpur Lapindo yang belum tuntas, dan penggalangan hak menyatakan pendapat oleh Dewan Perwakilan Rakyat dalam kaitannya dengan kasus Century. Wajar jika hari-hari ini semakin menguat anggapan bahwa kehadiran Setgab dan “dimundurkannya” Sri Mulyani merupakan produk politik transaksional dan politik kartel di antara penguasa-pengusaha. Sri Mulyani menyebut fenomena ini dengan istilah “kawin politik”.

Padahal, secara ide dan gagasan, pembentukan Setgab sebenarnya perlu diapresiasi. Setidaknya hal ini menunjukkan adanya iktikad baik untuk memperkuat komunikasi dan koordinasi–yang selama ini menjadi titik kelemahan koalisi–dengan memperbaiki manajemen koalisi. Sekaligus sebagai bentuk koreksi terhadap fenomena rapuhnya barisan koalisi di DPR ketika pemungutan suara dalam kasus Century. Jika gagasan pembentukan Setgab merupakan salah satu solusi tepat untuk mengukuhkan koalisi, lalu pertanyaannya: apa yang keliru dengan pembentukan Setgab Partai Koalisi?

Tiga kekeliruan

Selain pilihan waktunya kurang tepat, pembentukan Setgab menyisakan beberapa persoalan. Paling tidak, ada tiga kekeliruan Susilo Bambang Yudhoyono dalam pembentukan Setgab yang justru akan menjadi blunder politik bagi pemerintah. Pertama, kekeliruan penunjukan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie (Ical) sebagai Ketua Harian Setgab. Sebab, hal itu akan menyebabkan “ketersinggungan” partai-partai mitra koalisi lainnya–Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Kebangkitan Bangsa. Posisi Ical sebagai ketua harian di satu sisi memang akan memperkuat jalinan komunikasi antara Partai Demokrat dan Partai Golkar. Namun di sisi lain menyimpan potensi konflik internal dan kerapuhan soliditas koalisi, karena akan memperlemah ikatan komunikasi dengan partai-partai mitra koalisi selain Partai Golkar.

Ketersinggungan partai-partai mitra koalisi dan superioritas Partai Golkar di dalam Setgab inilah yang akan menyebabkan koalisi menjadi tidak berimbang (koalisi asimetris). SBY seolah memperkuat satu “sekrup koalisi”, tetapi menyebabkan mengendurnya sekrup-sekrup lainnya. Pada titik inilah penunjukan Ical justru akan melemahkan soliditas koalisi dan pada akhirnya kehadiran Setgab justru menjadi blunder politik bagi pemerintahan SBY.

Kedua, kekeliruan SBY dalam memberikan wewenang terlalu kuat kepada Setgab–khususnya wewenang ketua harian. Fungsi dan kewenangan Setgab yang terlalu kuat justru berpotensi besar akan “merecoki” pemerintah. Jika benar pernyataan Sekretaris Jenderal Partai Golkar

Page 57: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Idrus Marham bahwa Ketua Harian Setgab dapat memanggil menteri dan semua kebijakan pemerintah harus melalui Setgab terlebih dulu, kehadiran Setgab dan posisi Ical sebagai ketua harian jelas mereduksi kekuasaan presiden dan bertentangan dengan prinsip sistem presidensial.

Karena itu pula, menjadi tidak berlebihan jika para pengamat berpendapat posisi Ical seperti layaknya perdana menteri dalam sistem parlementer karena memegang kendali koalisi dan kebijakan pemerintah. Kuatnya kewenangan ketua harian ini justru juga akan menjadi blunder politik bagi SBY, karena berpotensi besar akan mengintervensi (merecoki) Presiden dengan menjadikan Setgab sebagai alat bagi partai-partai mitra koalisi–terutama Partai Golkar–untuk bernegosiasi dengan Presiden.

Ketiga, pembentukan Setgab tidak disertai dengan kontrak koalisi (MoU koalisi) yang jelas dan konkret. Idealnya, sebelum Setgab dibentuk, kontrak koalisi yang masih sangat normatif dan general direvisi terlebih dulu. Padahal rapuhnya koalisi selama ini merupakan imbas dari terlalu lenturnya kontrak koalisi. Hal ini pulalah yang menyebabkan partai-partai anggota koalisi memiliki tafsir berbeda dan masing-masing mengklaim melaksanakan kontrak koalisi. Karena itu, pembentukan Setgab justru akan menjadi “liar” dan kurang bermakna bagi upaya untuk mengukuhkan koalisi tanpa disertai kontrak koalisi yang lebih spesifik dan tegas.

Ketiga kekeliruan ini akan menjadi blunder politik bagi pemerintah SBY dan koalisi akan tetap rapuh. Setidaknya kekalahan koalisi dalam voting pemilihan Deputi Gubernur Bank Indonesia di Komisi XI DPR–calon yang diusung Partai Demokrat kalah lima suara oleh yang dicalonkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan–menjadi potret paling anyar tentang kerapuhan dan ketidakefektifan Setgab Partai Koalisi.

Perlu direvisi

Ada tiga hal yang perlu direvisi agar kehadiran Setgab benar-benar dapat mengukuhkan koalisi, bukan justru menjadi blunder politik bagi pemerintah SBY. Pertama, forum komunikasi dan koordinasi yang bersifat permanen semacam Setgab memang diperlukan, tetapi mesti disertai dengan kontrak koalisi yang jelas dan lebih konkret. Karena itu, kontrak koalisi perlu direvisi agar lebih tegas, jelas, dan disertai sanksi.

Kedua, Setgab dipimpin langsung oleh SBY memang sudah tepat, tetapi posisi ketua harian sebaiknya diserahkan kepada politikus senior Partai Demokrat atau diberikan secara bergiliran kepada semua partai anggota koalisi agar terbentuk koalisi simetris. Posisi ini tidak diserahkan kepada Ical secara tetap, yang justru dapat membuat “ketersinggungan” partai-partai lain.

Ketiga, posisi dan wewenang Setgab hendaknya terbatas pada forum koordinasi dan komunikasi anggota koalisi saja. Kontrol dan koordinasi di Setgab mestinya lebih pada parlemen (manajemen koalisi di DPR), bukan mengintervensi proses di kabinet, agar tidak mereduksi kekuasaan presiden dalam sistem presidensial.

Page 58: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Akhirnya, semua berpulang kepada SBY. Apakah Setgab Partai Koalisi benar-benar dijadikan sebagai instrumen untuk mengukuhkan barisan koalisi atau hanya produk politik kartel atau “kawin politik” demi memenuhi hasrat mitra koalisi (Partai Golkar)

Penulis: Hanta Yuda AR, Direktur Eksekutif Pol-Tracking Institute

Sumber: 22 Mei 2010

Page 59: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Fenomena Nasional Demokrat

Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar Aburizal Bakrie (Ical) semakin resah dan mulai menabuh genderang perang secara terbuka terhadap organisasi masyarakat Nasional Demokrat (Nasdem) pimpinan Surya Paloh. Ical mengancam akan memecat fungsionaris Golkar yang menjadi anggota Nasdem dan menginstruksikan kepada seluruh jajaran Partai Golkar di daerah untuk melarang anggotanya menjadi anggota Nasdem (Koran Tempo, 25 Agustus 2010).

Keresahan serupa sebelumnya juga dikemukakan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam pidatonya pada suatu acara, SBY mengeluhkan adanya kelompok yang gencar melakukan gerakan kampanye keliling Indonesia menjelek-jelekkan pemerintah. Meskipun pernyataan SBY ini bersayap dan tanpa menyebutkan nama pihak yang dimaksudkan, sulit untuk tidak mengatakan bahwa sindiran SBY itu ditujukan kepada Nasdem, yang memang sangat agresif dan marak mendeklarasikan diri di berbagai daerah belakangan ini.

Kegundahan kedua tokoh penting ini tentu memunculkan pertanyaan penting pula: Mengapa SBY merasa perlu mengomentari keberadaan dan kegiatan Nasdem, bukankah selama ini juga banyak pihak oposisi lainnya yang sangat kritis dan bersuara lebih keras daripada Nasdem? Lalu, mengapa pula Ical begitu serius dan sangat memperhitungkan keberadaan Nasdem? Padahal organisasi ini hanya berbentuk ormas, bukan atau belum menjadi partai politik. Respons SBY dan Ical--yang juga pengendali dua partai terbesar Demokrat dan Golkar--ini justru menunjukkan bahwa keberadaan Nasdem memang fenomenal dan layak diperhitungkan.

Potensi

Keresahan SBY paling tidak dapat dibaca dari besarnya potensi Nasdem tumbuh menjadi kekuatan politik yang kuat, dan menjadi kekuatan oposisi sekaligus lawan politik bagi Demokrat di Pemilu 2014. Alasan kekhawatiran Ical lebih spesifik dan mendasar lagi. Jika Nasdem bermetamorfosis menjadi partai, Golkar adalah kekuatan politik yang paling dirugikan karena organisasi itu berpotensi besar akan menggerus kekuatan elektoral Golkar pada Pemilu 2014. Pasalnya, para tokoh berpengaruh dan figur kuat Golkar, seperti Sri Sultan Hamengku Buwono X, Surya Paloh, Siswono Yudhohusodo, dan Syamsul Muarif, merupakan penggerak utama Nasdem. Tidak hanya itu, posisi strategis di Nasdem juga banyak ditempati kader-kader muda potensial Golkar, seperti Ferry Mursyidan Baldan, Jeffrie Geovanie, dan Meutya Hafidz.

Jadi, alasan keresahan SBY maupun Ical ada kemungkinan seragam, karena Nasdem bukan murni ormas, melainkan berpotensi besar akan menjadi partai politik. Apalagi, sebagai organisasi, Nasdem memiliki peluang dan beberapa potensi yang cukup menjanjikan menjadi

Page 60: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

partai secara bervariasi: kekuatan gagasan (ide) Restorasi Indonesia sebagai platform dan roh perjuangan partai; memiliki massa pendukung yang berpotensi terus berkembang; memiliki kekuatan finansial cukup mumpuni; memiliki kekuatan infrastruktur dan jaringan organisasi yang dapat diandalkan; memiliki media dan tokoh (figur) potensial secara elektoral.

Meskipun Nasdem memiliki potensi dan peluang besar untuk bertransformasi menjadi partai politik, ia juga akan menghadapi tantangan-tantangan yang juga tidak ringan. Paling tidak ada empat tantangan bagi Nasdem jika akan bertransformasi menjadi partai. Pertama, kemampuan melakukan konsolidasi internal untuk mengantisipasi potensi hengkangnya pengurus dan kader setelah Nasdem menjadi partai. Karena itu, kemampuan dan kepiawaian Surya Paloh dalam menyatukan kelompok dan kepentingan di lingkup internal Nasdem akan menjadi ujian terdekat bagi kualitas kepemimpinannya.

Kedua, konsolidasi institusi (organisasi) dalam rangka menjadikan Nasdem sebagai partai modern dan demokratis. Modernisasi dan demokratisasi internal ini ditempuh melalui pelembagaan sistem kepemimpinan kolektif-kolegial (modern party)--sembari berhati-hati agar tidak terjebak mengalami ketergantungan pada figur Surya Paloh--serta menerapkan prinsip meritokrasi dalam sistem kaderisasi dan rekrutmen.

Ketiga, konsolidasi ide dalam rangka mentransformasikan gagasan Restorasi Indonesia menjadi gagasan besar partai. Konsolidasi ideologi berupa agenda pengakaran partai (party rooting)--dengan mengintensifkan hubungan antara partai dan konstituen--agar ideologi, platform, dan program dapat diterima masyarakat mutlak diperlukan. Keempat, konsolidasi elektoral untuk memenuhi angka parliamentary threshold (PT) di pemilu legislatif. Karena itu, Nasdem memerlukan strategi jitu untuk menembus angka PT dalam situasi multipartai kompetitif saat ini.

Apalagi, dilihat dari nama-nama para deklaratornya, Nasdem juga didukung oleh para politikus lintas partai dan tokoh-tokoh yang selama ini dikenal independen dan berintegritas tinggi, seperti Buya Syafi'i Ma'arif dan Anies Baswedan. Keberadaan para tokoh independen dan akademisi ini tentu semakin menunjukkan bahwa keberadaan Nasdem memang menarik. Hal ini memunculkan pertanyaan lanjutan: kekuatan apa yang menyebabkan Nasdem berhasil menghimpun dukungan dari para tokoh independen dan para politikus lintas partai?

Politik gagasan

Setidaknya ada satu jawaban yang dapat diajukan untuk menjawab pertanyaan tersebut, yaitu karena kekuatan gagasan (ide). Gagasan segar tentang Restorasi Indonesia setidaknya menjadi roh pemersatu bagi tokoh-tokoh tersebut untuk berhimpun dan mendukung Nasdem. Politik gagasan memang menjadi menarik dan "seksi"di tengah perkembangan praktek politik uang dan politik patron di berbagai partai politik belakangan ini. Faktor inilah yang ada kemungkinan menjadi pertimbangan para tokoh-tokoh independen tersebut tertarik bergabung di Nasdem.

Page 61: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Kalau ternyata Nasdem bertransformasi menjadi partai dan tetap menjaga konsistensinya dengan mengusung politik gagasan di tengah deru politik uang dan politik patron (politik dinasti) saat ini, maka kehadiran Nasdem layak menjadi harapan dan angin segar bagi masa depan kepartaian Indonesia. Tentu dengan satu catatan amat penting: tetap konsisten mengusung politik gagasan, sekaligus mampu mengantisipasi jebakan politik uang dan politik patron. Tantangan inilah yang akan menjadi ujian dan pembuktian bagi Nasdem.

Namun, seandainya tantangan itu gagal diantisipasi dan ternyata, setelah menjadi partai, Nasdem juga terjebak dalam politik uang dan syahwat kekuasaan, kehadiran Nasdem sejatinya belum layak disambut dengan sukacita, melainkan baru pantas dirayakan para elite ormas Nasdem.

Penulis: Hanta Yuda AR, Direktur Eksekutif Pol-Tracking Institute

Sumber: 1 September 2010

Page 62: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Rekayasa Penyederhanaan Partai

Pemilihan Umum 2014 masih empat tahun lagi. Namun partai politik di Dewan Perwakilan Rakyat sudah mulai mewacanakan substansi materi seputar regulasi penyelenggaraan pesta demokrasi lima tahunan itu. Paling tidak, wacana tentang perlunya peningkatan angka parliamentary threshold (PT)--ambang batas persyaratan minimal untuk mendapatkan kursi di parlemen--mulai hangat diperbincangkan.

Argumen diperlukannya peningkatan PT itu adalah untuk menyederhanakan sistem kepartaian dan mengukuhkan demokrasi presidensial di Indonesia, yang sudah mengalami purifikasi. Sementara itu, di sisi lain, sistem multipartai merupakan hal yang sulit dihindari, bahkan keniscayaan bagi realitas politik dan kemajemukan masyarakat Indonesia.

Kondisi ini tentu memunculkan pertanyaan penting: bagaimana implikasi multipartai terfragmentasi yang sulit dihindari itu terhadap praktek sistem presidensial di Indonesia dalam konteks stabilitas politik dan pemerintahan? Lalu, bagaimana solusi jalan tengahnya agar kebebasan mendirikan partai tetap terjamin, tetapi di sisi lain jalannya pemerintahan juga efektif dan stabil?

Kombinasi rentan

Juan Linz dan Arturo Velenzuela membangun satu tesis menarik bahwa sistem presidensial yang diterapkan di atas struktur politik multipartai cenderung melahirkan konflik antara lembaga presiden dan parlemen, serta akan menghadirkan demokrasi yang tidak stabil. Pandangan ini juga diperkuat oleh Scott Mainwaring dan Matthew Soberg Shugart, yang berpendapat bahwa kombinasi tersebut akan melahirkan presiden minoritas (minority president) dan pemerintahan terbelah (divided government), kondisi di mana presiden sangat sulit mendapatkan dukungan politik di parlemen.

Kekhawatiran para ilmuwan politik mancanegara tentang kerentanan kombinasi presidensial-multipartai sudah cukup terbukti selama lima tahun masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Jusuf Kalla, serta satu tahun pemerintahan SBY-Boediono. Paling tidak, ada tiga fakta politik yang menjadi potret instabilitas dan kerentanan pemerintahan. Pertama, kontrol parlemen terhadap pemerintah cenderung berlebihan (legislative heavy), sehingga kebijakan presiden sangat sulit-membutuhkan waktu terlalu lama--untuk mendapatkan dukungan politik di parlemen. Hak angket dan ancaman penarikan dukungan, misalnya, selalu menjadi alat bagi partai-partai di DPR untuk bernegosiasi dengan presiden.

Fakta kedua, dalam proses pembentukan dan reshuffle kabinet, partai politik--terutama partai-partai di DPR--kerap memangkas hak prerogatif presiden dengan melakukan intervensi. Fakta ketiga, dukungan koalisi parpol pendukung pemerintah tidak efektif. Walaupun secara kuantitas persentase koalisi partai-partai pendukung pemerintahan sangat gemuk-didukung

Page 63: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

oleh 75 persen kekuatan di DPR--ia sangat rapuh dan mudah retak. Kasus Century menjadi potret paling terang tentang kerapuhan itu.

Kombinasi presidensialisme dan kondisi multipartai ini semakin problematik karena karakter partai-partai dalam berkoalisi tidak berdisiplin, sangat oportunistik, dan pragmatis. Akibatnya, koalisi yang terbangun selalu rapuh dan cair karena koalisi dibangun di atas fondasi kepentingan pragmatisme kekuasaan ketimbang kedekatan ideologi atau persamaan platform. Ketiga realitas politik ini menjadi bukti kerentanan kombinasi sistem presidensial dan multipartai, sekaligus mereduksi sistem presidensial menjadi presidensialisme setengah hati.

Rekayasa institusional

Multipartai ekstrem (jumlah partai sangat banyak) seperti saat ini perlu segera didorong menjadi multipartai sederhana, terutama jumlah partai di parlemen. Sebab, dalam politik kesehariannya, Presiden berhadapan dengan partai-partai di parlemen, bukan partai-partai peserta pemilu.

Karena itu, yang perlu disederhanakan adalah jumlah partai di parlemen, bukan jumlah peserta pemilu, agar demokrasi dan kebebasan berpartai tetap terjamin.

Paling tidak, ada lima paket strategi penyederhanaan parlemen melalui rekayasa institusional (institutional engineering) yang dapat ditempuh DPR dan pemerintah melalui revisi Undang-Undang Politik secara bervariasi: menerapkan sistem pemilu distrik (plurality/majority system) atau sistem campuran (mixed member proportional); memperkecil besaran daerah pemilihan (district magnitude); menerapkan ambang batas kursi di parlemen (parliamentary threshold); penyederhanaan jumlah fraksi di parlemen melalui pengetatan persyaratan ambang batas pembentukan fraksi (fractional threshold); serta membuat regulasi koalisi permanen untuk diarahkan ke dua blok politik (pendukung dan oposisi).

Penerapan sistem pemilu distrik, tepatnya sistem First Past The Post--satu wakil dipilih dari setiap daerah pemilihan--berdasarkan pengalaman beberapa negara terbukti ampuh membatasi jumlah partai. Solusi alternatif jika sistem distrik masih mengalami resistensi adalah mengabungkan sistem distrik dan proporsional menjadi sistem campuran. Pengalaman Jerman menarik dijadikan pelajaran bagi Indonesia.

Strategi memperkecil cakupan daerah pemilihan dan penerapan sistem pemilu distrik secara evolutif juga akan menjadi katalisator menuju penyederhanaan parpol. Sebab, semakin kecil besaran daerah pemilihan dan semakin sedikit jumlah kursi yang diperebutkan, semakin kecil pula peluang bagi partai kecil mendapatkan kursi.

Peningkatan angka parliamentary threshold di Pemilu 2014 juga akan semakin menyederhanakan parlemen. Jika parliamentary threshold diterapkan secara konsisten, jumlah parpol akan terus berkurang secara alamiah sampai ke jumlah yang ideal, sekitar lima sampai tujuh parpol di parlemen. Karena itu, semangat untuk menaikkan parliamentary

Page 64: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

threshold di Pemilu 2014 relevan dan rasional dalam rangka mengukuhkan demokrasi presidensial dan mengefektifkan pemerintahan.

Setelah itu, perlu penyederhanaan jumlah fraksi melalui pengetatan persyaratan pembentukan fraksi. Idealnya, hanya ada sekitar tiga atau empat fraksi di DPR agar pemerintahan dapat berjalan lebih efektif. Tahapan selanjutnya, fraksi-fraksi di DPR itu perlu direkayasa secara institusional menjadi sistem "dwipartai"di parlemen, yaitu hanya ada dua blok koalisi besar yang permanen di parlemen, koalisi pendukung pemerintah dan koalisi di luar pemerintahan. Tujuan utamanya, menyederhanakan polarisasi kekuatan politik di parlemen agar proses politik lebih efisien dan stabil. Jika posisi politik presiden sudah kukuh, tentunya tetap dengan kontrol parlemen (checks and balances), proporsi energi politik presiden untuk memikirkan kesejahteraan rakyat jauh lebih besar, dan demokrasi akan lebih bermanfaat bagi rakyat.

Penulis: Hanta Yuda AR, Direktur Eksekutif Pol-Tracking Institute

Sumber: 02 Juli 2010

Page 65: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Hanta Yuda: Kenali 3 Modus Korupsi Politisi

Berikut ini wawancara detikcom dengan Hanta, Minggu (11/3/2012):

Pendapat Anda dengan pernyataan Busyro bahwa parpol bisa menjadi persemaian koruptor?

Saya sepakat dengan 'peringatan' Pak Busyro bahwa salah satu bibit tempat persemaian koruptor adalah parpol. Ada beberapa modus korupsi politisi yang perlu diwaspadai.

Modus apa saja?

Menurut saya modus korupsi politisi itu ada 3: yakni karena keserakahan (untuk kepentingan pribadi dan gaya hidup hedonisme), modus untuk kembali modal ketika kampanye; atau mendapatkan 'tugas' untuk mengisi pundi-pundi partai.

Maksud 'tugas' mengisi pundi-pundi partai?

Modus untuk mengisi pundi-pundi partai itu akibat dari problem sistem pendanaan partai yang tak transparan mulai dari tahap pemasukan hingga pengeluaran.

Sumber pemasukan partai, (selain dari APBN/APBD yang tak signifikan dibandingkan kebutuhan operasional dan kampanye), adalah mengandalkan sumbangan pengusaha, secara legal maupun 'ilegal'. Juga setoran kader dan pengurus yang menjadi pejabat publik, seperti anggota DPR. Hal inilah mendorong terjadinya korupsi anggaran.

Ada kelemahan di UU?

Iya, undang-undang hanya membatasi sumbangan maksimal dari luar, tetapi tak membatasi besaran sumbangan pengurus kepada partai.

Bisa dijelaskan soal modus kembali modal?

Untuk modus kembali modal, akibat dari sistem pemilihan berbiaya tinggi. Setiap partai dan kandidat dituntut memiliki modal kampanye sangat besar. Nah hal ini juga mendorong anggota korupsi untuk balik modal.

Jadi bagaimana memutus mata rantai regenerasi koruptor?

Page 66: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Untuk memutus mata rantai regenerasi koruptor tersebut membereskannya harus dimulai dari partai politik, terutama terkait sistem pendanaan partai dan pembatasan belanja kampanye bagi partai dan caleg/kandidat. Dua solusi utama itulah untuk mengatasi regenerasi koruptor tersebut.

Sumber: http://news.detik.com/read/2012/03/11/151347/1863839/158/2/hanta-yuda-kenali-3-modus-korupsi-politisi

Page 67: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Hanta Yuda: Konvensi Capres Lebih Menguntungkan untuk Golkar

Berikut ini wawancara detikcom dengan alumnus UGM ini, Kamis (27/10/2011).

Ical maju capres tanpa konvensi Golkar, menurut analisa Anda kenapa?

Saya kira itu keengganan dan kekhawatiran ketua umum dan pendukungnya di Golkar, kalau mengadakan konvensi khawatir kalah. Mungkin berkaca dari konvensi 2004, di mana ketika saat itu Akbar Tandjung kalah dengan Wiranto. Ya boleh dikatakan kurang PD (percaya diri).

Meskipun mereka mengatakan dalam pengalamannya, capres Golkar yang menang konvensi 2004 kalah di pilpres. Tapi menurut saya itu ada problem lain. Yang jelas menguntungkan partai, dan Golkar di 2004 terbukti menjadi pemenang pemilu.

Konvensi ini lebih bagus ketimbang survei internal?

Terobosan konvensi bagus dan demokratis, tetapi kader dan konstituen partai sebagai ‘pemilik saham’ terbesar di partai harus dilibatkan. Bahkan mestinya proporsi suara kader dan anggota partai lebih dominan dari elite atau pengurus partai. Karena itu, konvensi yang demokratis dan transparan perlu didahului dengan pemilu pendahuluan (primary election) dilingkup internal partai yang bersangkutan. Hal ini untuk mengurangi potensi politik uang sekaligus untuk memutuskan rantai oligarki elite di partai. Sehingga harus dibuka kesempatan yang sama kepada seluruh kader maupun di luar kader untuk mendaftarkan diri.

Konvensi ini menguntungkan konstituen dan anggota partai, karena kader atau anggota tak hanya dilibatkan dalam tahapan pemilihan (eleksi) tetapi juga mulai dari tahap seleksi di partai (konvensi).

Selama ini publik hanya melihat tahapan eleksi. Di seleksi ini, publik tidak terlibat sama sekali. Seleksi ini tertutup, transaksional, oligarki. Untuk itulah konvensi penting dilakukan. Di Indonesia itu kan ketum parpol yang dominan. Kalau jadi ketum, ketua dewan pembina, seolah itu sudah menjadi tiket.

Apa yang harus dilakukan agar konvensinya benar-benar berjalan baik?

Kalau mau konvensi, jangan seperti yang dilakukan Golkar pada 2004. Tapi semacam primary election di internal. Itu dikombinasikan dengan metode survei untuk pemilu internal. Poinnya, konvensi jangan elitis, proporsi bukan hanya ketua pengurus tapi suara anggota dan kader partai. Anggota dan kader partai, merupakan pemilik saham tertinggi yang harus

Page 68: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

dilibatkan. Jadi konvensi diperluas, dikombinasikan dengan pemilu internal yang transparan, meritokratis.

Dengan begini maka masyarakat bisa terlibat. Capresnya kemudian punya posisi kuat di partai, juga terbuka untuk hindari money politik.

Keuntungan bagi partai?

Kalau didahului primary election, maka bisa mendorong citra partai sebagai partai yang demokratis dan aspiratif. Karena pemilu internal semacam itu pasti menjadi liputan media.

Selain itu akan menggairahkan seluruh infrastruktur internal, kader, pengurus, yang kurang bergerak maka sekarang jadi gerak. Karena itu jadi ada dinamika di internal. Dan dengan konvensi maka berpotensi meningkatkan soliditas.

Sebab ini wadah dari pelembagaan faksionalisme. Karena konvensi bisa melembagakan persaingan. Meskipun bagi ketua partai, berat buat buka konvensi.

Bukankah survei juga bisa mewakili aspirasi di tingkat akar rumput Golkar juga?

Survei juga bagus, tapi harus dikombinasikan dengan konvensi. Namun surveinya juga harus terbuka dan harus digelar dengan benar. Kalau hanya survei semata yang dijadikan dasar, dikhawatirkan validitasnya, dan seterusnya.

Jika Ical capres, bagaimana peluangnya?

Karena ada kasus lumpur Lapindo dan mafia pajak Gayus Tambunan, saya rasa Pak Ical tidak akan terlalu mulus. Kalau kedua hal itu clear, jadi peluang mulus Ical. Tantangan Ical lainnya berasal dari internal Golkar. Sebab di dalam tubuh Golkar ada beberapa faksi. Ini menjadi tantangan bagi Ical untuk mengusung strategi agar faksionalisme tidak kuat mencuat dan merugikan dia.

Ical mengkondisikan agar posisi tiket capres 2014 tetap jadi miliknya. Hal itu tentu sah-sah saja. Tapi pilpres masih tiga tahun lagi. Tentu saja pengumuman capres cepat ada implikasinya. Negatifnya adalah adanya risiko seperti bonsai. Ibarat bonsai, jika ada satu tangkai yang menjulang tinggi, maka tangkai akan dipotong.

Dipotong oleh lawan politik. Namun positifnya punya banyak waktu untuk sosialisasi. Mungkin takut terlambat keluar. Karena kalau terlambat, maka public relations dan strategi periklanan nantinya juga akan terlambat. Sedangkan plusnya, Ical makin dikenal.

Apakah Anda lihat pencapresan cepat ini akan diikuti partai lainnya?

Saya kira semua punya strategi dan mekanisme sendiri, masing-masing punya kandidat. Tapi kan ada ambang batas 15 persen untuk bisa mengusung presiden. Kalau sekarang banyak

Page 69: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

yang memunculkan nama-nama, itu seperti testing the water, sejauh mana penerimaan publik. Nanti publik ada waktu untuk menilai dan melihat track recordnya.

Masing-masing punya kelebihan dan kekurangan. Tapi seorang kandidat untuk maju harus punya kekuatan figur. Di sini ada citra figur penerimaan dan elektabilitas juga. Lalu harus ada dukungan parpol, kekuatan kapital, dukungan media dan massa, dna juga dukungan internal partai.

Memunculkan nama tidak salah dalam tahapan pengenalan, belum tahapan pengiklanan. Ini bukan berarti nama yang muncul hanya tokoh yang itu-itu saja, bisa saja orang baru, tokoh muda. Seperti dulu saat SBY muncul yang disambut baik masyarakat dan media. Kalau sekarang SBY dimasukkan survei, saya kira masih nomor satu. Kalau ada konstituen dia yang solid, maka mereka pasti menunggu arah SBY menunggu siapa.

Sumber: http://news.detik.com/read/2011/10/27/231557/1754408/158/hanta-yuda-konvensi-capres-lebih-menguntungkan-untuk-golkar

Page 70: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Kandidat Muda dan Kekuasaan Patron

Sebagai satu-satunya lembaga politik yang diberi otoritas dalam kandidasi presiden, partai berada di tengah ketidakpercayaan publik. Secara internal, partai adalah lembaga politik yang cenderung tertutup, sentralistik, dan oligarkis.

Terkait hal ini, Richard Gunther dan Larry Diamond (2003) dalam Species in Political Parties: A New Typology membagi partai berdasarkan pengalaman partai-partai di dunia selama beberapa dekade ke dalam 15 spesies (jenis) dari 5 genus (kelompok besar): partai elite; partai massa; partai etnis; partai elektoral; dan partai pergerakan.

Partai-partai di Indonesia yang tampil sebagai kekuatan politik hanya masuk dalam dua genus: partai elite dan partai elektoral. Dari dua genus itu, beberapa partai besar di Indonesia (Demokrat, Golkar, PDI-P) sebagai refleksi kekuatan politik kepartaian yang mapan punya karakter atau tipologi saling beririsan di antara tiga jenis partai: catch-all party, personalistic party, dan clientelistic party.

Irisan dari tiga spesies partai itu menghasilkan empat karakter khusus partai di Indonesia. Pertama, secara ideologi, semua partai merapat ke tengah untuk mendapatkan basis massa dari semua pemilahan sosial yang ada, baik agama, suku, dan tingkat ekonomi. Kedua, partai dikelola secara personal sehingga struktur organisasi tidak berpengaruh signifikan karena keanggotaan, pendanaan, dan kaderisasi masuk melalui jejaring dan selera individual.

Ketiga, loyalitas kader dan anggota tidak didasarkan pada preferensi ideologi, apalagi platform, karena mereka mendekat akibat tarikan dari tiga modal yang dimiliki patron. Keempat, partai dioperasionalisasikan untuk mengakomodasi ambisi pemimpin elite sehingga keputusan dan kebijakan partai berayun secara oportunis dan bertumpu pada fluktuasi popularitas figur.

Masih buram

Singkat cerita, dalam isu kandidasi presiden menuju Pilpres 2014, maksimal hanya akan terjadi tetra-polar kekuatan peta politik secara nasional. Hal ini didasarkan pada banyak kajian survei dan stabilitas angka elektabilitas di dalamnya.

Golkar sekalipun, di tengah turbulensi internal, jelas tampil sebagai kekuatan tersendiri. Demokrat dengan elektabilitas di atas 10 persen juga berpotensi memimpin kekuatan lain. Di sisi lain, PDI-P digadang jadi antitesa penting setelah kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono. Sementara beberapa partai menengah yang cenderung berada di pusaran 5 persen suara berpotensi pada dua pilihan: bersatu menjadi kekuatan tersendiri atau berpencar dan merapat ke tiga kutub politik yang ada.

Page 71: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Sementara itu, dalam wacana publik yang berkembang, figur yang bakal mampu memenangi panggung pemilu atau bahkan mengungguli presiden masih sangat buram, berserakan, dan memunculkan banyak kemungkinan. Di tengah banyak kemungkinan ini, PDI-P punya cadangan kader muda yang cukup seperti Jokowi (78,6), Pramono Anung (68,0), dan Budiman Sudjatmiko (64,0) masuk dalam 10 urutan teratas. Kader PKS, Anis Matta (61,9), kader PPP, Lukman Hakim Saifuddin (61,5), kader Golkar, Priyo Budi Santoso (61,2), dan kader Demokrat, Anas Urbaningrum (59,9)—masuk pada urutan ke-9, 11, 12, dan 14—juga mampu merepresentasikan potensi partai di luar otoritas politik patron partai dan tangan-tangan oligarki di dalamnya.

Namun, partai justru berada di tengah kegalauan politik. Kegalauan ini terjadi karena partai merefleksikan stagnasi pengelolaan partai yang hampir sama: pengelolaan partai dalam logika patron-klien. Artinya, eksistensi patron partai dan kultur politik clientelistic mengamputasi mekanisme politik dalam kandidasi presiden. Katakanlah, Megawati bertangan besi karena otoritas penuh yang dimilikinya, sementara Aburizal Bakrie mempunyai otoritas struktural untuk mencipta struktur peluang politik bagi siapa pun, termasuk dirinya.

Fenomena patron

Menurut Susan Stokes dan Luis Fernando Media (2002) dalam Clientelism as Political Monopoly, prasyarat jadi seorang patron di dalam partai sebenarnya sederhana. Tiga hal yang harus dia miliki: skill, link, dan resource. Namun, pengalaman politik kepartaian di Indonesia menunjukkan ada dua sumber lain: (1) genetika politik atau keturunan dan (2) tingkat penerimaan publik atau elektabilitas yang tinggi. Namun, uji kelayakan figur melalui survei assessment oleh pakar dan pembuat opini publik menunjukkan Puan Maharani yang punya kemewahan genetika politik di dalam PDI-P justru hanya menempati peringkat ke-31 dari 35 figur terseleksi dan 13 aspek yang dinilai.

James C Scott (2009) dalam Patron-Client Politics and Political Change in Southeast Asia menuturkan, sistem pemilu dan politik elektoral di Asia Tenggara dalam dekade terakhir ini berimplikasi pada perubahan struktur dan pengaruh relasi patron-klien di tubuh parpol. Salah satu pengaruh yang tampak adalah munculnya piramida relasi patron-klien.

Artinya, terjadi tingkatan-tingkatan patron dari pucuk pimpinan pemegang hak veto keputusan partai sampai tingkatan patron di level lokal dalam satu alur hierarki. Akhirnya, meski tingkat kapasitas dan kapabilitas figur muda di atas standar ketercukupan 60,0, mereka harus dengan susah payah menembus struktur piramida patron-klien, apalagi figur muda di luar kelembagaan partai.

Namun, di sisi lain, sekalipun struktur kekuasaan patron mampu mengelola efek destruktif dari faksionalisasi dalam partai, struktur kekuasaan ini akan jadi bom waktu bagi partai. Karena relasi patron-klien menciptakan mekanisme kekuasaan sentripetal di dalam partai. Artinya, patron sebagai ruling elite jadi poros berputarnya klien-elite atau ruled elite di

Page 72: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

sekeliling elite. Ketika modal patron terputus/lenyap atau kedirian patron yang secara insidental hilang, maka elite yang mengitarinya akan lepas terlempar secara sporadik.

Hal inilah yang menjelaskan turbulensi internal di dalam Partai Golkar terkait proses kandidasi Aburizal sebagai calon presiden. Hal ini juga yang menjelaskan stabilitas internal di dalam tubuh PDI-P karena kuatnya struktur kekuasaan sentripetal yang diputar Megawati sebagai patron.

Artinya, memperbincangkan kandidasi presiden hari-hari ini memang penting karena terjadinya proses deliberasi kandidasi terhadap nama-nama figur baru. Namun, pentingnya perbincangan ini menjadi sama sekali tidak berguna ketika mekanisme politik yang terjadi di dalam organisasi partai mengamputasi begitu saja proses deliberasi kandidasi yang terjadi di dalam diskursus masyarakat.

Arya Budi, S. IP

Peneliti dan Analis Politik Pol-Tracking Institute

Sumber: http://nasional.kompas.com/read/2012/10/18/10155524/Kandidat.Muda.dan.Kekuasaan.Patron

Page 73: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Kuasa Opini Publik

Satu bulan ini, Irshad Manji datang diketahui oleh publik karena kedatangannya ‘digoreng’ oleh media hingga menjadi opini publik. Kemudian Lady Gaga pun mengalami nasib yang sama, sementara pertunjukkan di desa dengan dangdutnya dan di kota dengan diskotiknya terus berjalan tanpa ada protes. Ini bukan soal pertarungan substansi budaya dan karakter bangsa semata, ini soal bagaimana kasus sepele menjadi kasus publik.

Alam demokrasi memberi ruang bagi media untuk berkuasa, karena media mampu membangun opini publik. Secara sederhana, opini publik adalah ketika obrolan ringan dan sepele di angkringan atau kedai kopi menjadi topik pemberitaan nasional sehingga banyak orang terlibat dalam topik obrolan itu. Kemudian, yang terjadi dalam demokrasi Indonesia saat ini adalah negara yang berkuasa atas publik memasukkan opini publik sebagai pertimbangan kunci dalam proses kebijakan publik. Alhasil kita dihadapkan pada tirani opini publik, sekalipun opini publik adalah hal yang paling rawan dalam tatanan demokrasi (Cornelis Lay, 2008). Karena korespondensi publik oleh media berpihak pada ayunan pendulum opini yang dominan, bukan pada sejauh apa topik atau kasus itu dilihat, didiskusikan, dan dikaji secara deliberatif. Berbeda dengan era orde lama, alam otoritarianisme mengkondisikan media sebagai pembentuk opini negara menjadi (seolah) opini publik. Alam sosial politik kita saat ini mengkondisikan media untuk melakukan fungsi amplifikasi, fungsi ketika media dijadikan sarana untuk memperkuat pernyataan yang dilontarkan seseorang untuk berubah menjadi pendapat umum yg berkembang. (Mc. Quail: 1996;52). Masalahnya, publik yang mana yang menjadi pendulum dominan dalam opini publik yang berayun kanan-kiri tak berimbang?

Era pra-demokrasi, JJ.Rousseau memberikan dua konseptualisasi penting terkait opini publik.  Apa yang dia sebut dengan the general will berbeda dengan the will of all. Istilah yang terakhir adalah hasil dari penjumlahan opini-opini individu menjadi sebuah hasil keseluruhan. Sementara apa yang disebut dengan the general will adalah bukan berhenti pada hasil total akumulasi pendapat-pendapat individual, tetapi terdapat proses deliberatif dimana setiap orang mengobrolkan dan mendiskusikan sebuah isu. Artinya, the general will inilah hal yang kita sebut dengan opini publik.  Kita tidak bisa membiarkan adanya split opinion dalam publikasi opini. Pasca temuan Gutenberg, media menjadi instrumen determinan untuk menciptakan isu publik.

Alhasil, decision making menempatkan opini publik sebagai konsiderasi dominan sekalipun dia adalah resource yang paling vulnerable. Karena opini publik kemudian dapat mengkristal menjadi pendapat umum yang mempunyai konsekuensi pada review proses kebijakan yang sangat dangkal akibat dua hal. Pertama, pedapat umum yang jika mengadaptasikan Rosseau adalah the will of all, adalah kalkulasi pendulum opini dominan yang kemudian menjadi sebuah opini populer dengan logika kerja selera dan kesukaan orang. Hal ini hampir seperti

Page 74: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

teori bendwagon effect, yaitu publik akhirnya tergiring untuk ‘ikut-ikutan’ memilih beropini berdasarkan arus dominan atau ayunan pendulum mayoritas opini di media massa. Tentu hal ini mengabaikan logika kerja problem solving dan fairness karena keberpihakan opini didasarkan logika kerja untung-rugi dalam relasi sosial setiap individu. Kedua, pendapat umum tidak mempunyai perangkat kerja pembentukan dan perumusan opini yang matang karena dia bergerak layaknya bola yang terus ditendang menggelinding ke arah yang tak tentu. Artinya, hampir tidak ada metodologi kebijakan yang mampu mengevaluasi pendapat umum jika pendulum determinan dari arus opini digunakan dalam pengambilan keputusan oleh otoritas negara.

Kita tentu tidak mengharapkan kebijakan yang keluar karena keberpihakan negara pada satu kelompok sementara kita adalah kelompok yang dikalahkan. Dalam proses ini aktor inti dalam pilar demokrasi yang awalnya dimainkan oleh partai politik akhirnya bergeser ke pressure group karena kapasitasnya representasi kelompok sosial yang hidup di alam bebas berpendapat dan “bebas menekan”; dan juga eksistensinya terkondisikan oleh alam demokrasi itu sendiri. Tentu dalam kondisi seperti ini, negara di tuntut untuk mampu melakukan sistem katalisasi dan ekstraksi ke dalam rumusan kebijakan yang tidak hitam putih. Bukan abu-abu tanpa kejelasan, tetapi keputusan yang mendasarkan pada paradigma multikulturalisme dan dasar bhineka tunggal ika dalam konteks Indonesia.

Arya Budi, S. IP

Peneliti dan Analis Politik Pol-Tracking Institute

Sumber: SKH Kedaulatan Rakyat, 25 Mei 2012

Page 75: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Sengkarut Bisnis dan Kandidasi Ical

Berdasarkan pemberitaan di Koran Tempo, 19 November 2012, setidaknya terdapat beberapa opsi yang ditawarkan oleh Grup Bakrie untuk berpisah. Pertama, dengan kembali melakukan tukar guling saham Bakrie yang ada di Bumi Plc sebesar 23,8% dengan 10% kepemilikan Bumi Plc di  BUMI. Opsi kedua, yaitu Bakrie membeli 18,9% saham BUMI milik Bumi Plc dengan nilai mencapai Rp 2,6 triliun. Opsi terakhir adalah Bakrie membeli 85% saham BRAU milik Bumi Plc dengan nilai tawaran mencapai US$ 950 juta. Opsi ini baru akan terjawab pada Desember mendatang.

Sejumlah opsi yang disodorkan Grup Bakrie kepada Rothschild memunculkan pertanyaan. Dari mana uang sebanyak itu akan didapatkan mereka?. Pertanyaan tersebut cukup berasalan, karena selama ini mereka sedang bergelut dengan lilitan utang.

Lembaga analis independen, Kata Data, pada bulan September menemukan fakta merujuk laporan keuangan 10 perusahaan terafiliasi dengan Bakrie Brothers –induk usaha Grup Bakrie– hingga kuartal pertama 2012 mencapai Rp 21,4 triliun, dengan utang jatuh tempo pada 2012 sebesar Rp 7,1 triliun. Belum lagi, utang dalam denominasi dolar yang mencapai US$ 5,7 miliar dan jatuh tempo pada 2012 sebesar US$ 275 juta.

Beban utang-utang itulah yang sebenarnya yang menjadi episentrum dari sengkarut bisnis Bakrie. Tak pelak, isu lilitan utang yang akut disertai dengan konflik dengan Rothschild berdampak pada tergerusnya saham perusahaan-perusahaan milik Grup Bakrie –selain faktor imbas krisis utang Eropa–.

Namun, Grup Bakrie bukanlah kelompok bisnis ‘kemarin sore’. Mereka selama ini mampu mengelola utangnya dan selalu mendapatkan pinjaman dari para kreditur, meskipun resiko default ada di depan mata.

Perhelatan Rapat Pimpinan Nasional (rapimnas) Partai Golkar, Oktober lalu, telah memutuskan, Aburizal Bakrie sebagai calon presiden 2014 dari partai berlambang pohon beringin itu. Sama halnya dengan dunia pasar modal yang volatilitasnya sangat sensitif terhadap rumor negatif. Dalam dunia politik, hal itu pun sejalan. 

Namun, seolah tidak terkena hembusan dari prahara bisnisnya, Ical –sapaan akrab Aburizal Bakrie–, orang nomor satu di Grup Bakrie itu dengan percaya diri siap melenggang dalam kontestasi pemilihan presiden (pilpres).

Peluang kandidasi Ical dalam pilpres 2014 nanti tentunya sangat berkaitan erat dengan bisnis Grup Bakrie. Relasi politik dan dilema yang dihadapi kelompok bisnis itulah yang sebenarnya dikhawatirkan oleh sosiolog ekonomi dari Standford University, Mark Granovetter (2005).  Dia menguraikan, jika kelompok bisnis sebagai jaringan sosial

Page 76: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

menguasai struktur politik dan pemerintahan, hal itu memungkinkan terjadinya penguasaan terhadap sumberdaya ekonomi dan regulasi demi kepentingan bisnis kelompok tersebut. Hal itu dikarenakan, karena jejaring sosial delam mendominasi pengaruh atas ekonomi dan politik di sebuah institusi bernama Negara.

Philippe C. Schmitter (1979) seperti yang dikutip Ramlan Surbakti (1992) juga menyinggung keterkaitan kelompok kepentingan dengan politik yang memicu munculnya korporatisme negara. Schmitter mengungkapkan, korporatisme negara adalah wujud dari sistem perwakilan kepentingan yang melibatkan pemerintah secara aktif dalam pengorganisasian kelompok kepentingan sehingga kelompok kepentingan itu terlibat dalam pembuatan regulasi. Hal itu tentunya memberikan bias kepada sistem demokrasi sekaligus membiarkan terjadinya biaya transaksi (transactional cost) yang bergerak senyap dalam perputaran ekonomi dan politik.

Karena itu, penting kiranya meminta komitmen kepada siapapun yang mengajukan diri menjadi capres untuk tidak mencampuradukan ranah bisnis pribadi dan ranah regulasi. Selain itu, tentunya upaya penguatan kelembagaan ekonomi dan politik negara juga  harus diperkuat dari sekarang.

Elektabilitas Ical

Persoalan lain yang dihadapi Ical adalah preferensi publik yang masih menginginkan  sosok capres lain dari Golkar, yaitu Jusuf Kalla (JK). Hal tersebut disimpulkan dari delapan survey terakhir yang seluruhnya menempatkan elektabilitas dan popularitas JK diatas Ical.

Potret perilaku pemilih itu tentunya harus menjadi pertimbangan penting bagi pimpinan Partai Golkar untuk mengatur taktik dalam pilpres mendatang.  Apabila benar yang disampaikan oleh Ketua Dewan Pertimbangan DPP Partai Golkar Akbar Tandjung 18 November lalu yang mengindikasikan tidak tertutup peluang bagi Golkar untuk merivisi calon presidennya, jika elektabilitas Ical masih tetap rendah. Tentunya hal itu layak dikaji secara serius oleh internal Partai Golkar.

Partai Golkar dan Ical memiliki waktu kurang dari dua tahun untuk memutuskan itu semua. Selain persoalan elektabilitas, peluang kandidasi Ical juga sangat mungkin terganjal sejumlah beban bisnis yang dimilikinya.  Tapi kita tahu, seorang politisi sekelas Ical tentunya tidak akan buru-buru menyerah, seperti dalam menjalankan bisnisnya, Ical selalu punya jalan keluar.

Agung Budiono

Analis Ekonomi Politik Pol-Tracking Institute

Sumber: Koran Tempo, 7 Desember 2012

Page 77: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Diaspora Faksi Demokrat

Sejak memenangi kursi eksekutif pada 2004, PD kembali memenangi kursi eksekutif dan legislatif sekaligus pada 2009. Sekalipun presiden cenderung tersandera oleh koalisi multi partai di dalam tatanan presidensial (Hanta Yuda, 2010), jabatan kursi presiden plus kursi besar di parlemen dapat merepresentasikan denga kuat salah satu dari tiga perwajahan partai, yaitu party in public office (Katz dan Mair, 1996). Silogisme politiknya sederhana: jabatan publik membuka akses partai terhadap sumber daya negara dari bentuk pork barrel politics—pengalokasian anggaran negara untuk kebijakan populer seperti BLT—hingga bentuk-bentuk rent seeking seperti akses terhadap project-project negara.

Namun, PD kini bagai ayam yang sekarat kelaparan di lumbung padi. Kelaparan simpati publik di tengah melimpahnya akses jabatan publik. Elektabilitas PD satu tahun terakhir terjun bebas bahkan hingga satu digit (baca:kurang dari 10%) dari perolehan pemilu 2009 yang hampir 21%. Terpilihnya Anas Urbaningrum pada Kongres partai 2010 silam sebagai ketua umum sebenarnya mengklarifikasi banyak studi politik post-Soeharto bahwa oligarkhi bercokol di dalam kelembagaan partai. Tak perlu menunggu tua untuk menjadi seorang oligark gerbong faksi dengan jabatan Ketua Umum partai. Namun, figur muda yang tampil memimpin partai besar ini justru menciptakan diaspora faksi dengan output terbongkarnya cara kerja partai akibat Nazarrudin’s effect. Nazarrudin, Angelina Sondakh, dan terakhir Andi Mallarangeng sulit dibantah sebagai politisi muda, namun terdiaspora dari bilik-bilik faksi dalam partai.

Faksi selalu mengalami dinamika, tetapi faksi di dalam partai adalah the way of party’s life karena partai adalah organ kekuasaan. Namun faksionalisasi di tubuh Partai Demokrat menjadi demikian dipertontonkan di depan publik dan mulai menggelinding menjadi bola pijar yang liar sejak faksionalisasi masih mengembrio sebagai clique faction pada kontestasi internal di Konggres Partai 2010 lalu. Dalam hal ini, ada tiga bentuk faksionalisasi di dalam partai (Belloni and Beller, 1978), yaitu clique faction, personal atau client-group faction, dan institutionalized atau organized faction. Klik adalah faksi yang tidak terkonsolidasi sehingga sifatnya cenderung parsial dan temporal, sementara personal faction adalah faksi yang terkonsolidasi dengan adanya tokoh sentral di dalamnya sehingga berdurasi lama sampai terjadi kompromi antarpimpinan faksi. Sedangkan institutionalized faction adalah faksi di dalam partai politik yang sudah terlembagakan sehingga eksistensi faksi berlaku dan diatur secara yuridis di dalam internal partai. Partai-partai di Indonesia termasuk Partai Demokrat tidak mempunyai tradisi pelembagaan faksi sejak pemilu untuk pertama kali diselenggarakan pada 1955. Hasilnya, faksi dilihat sebagai sebuah patologi sekalipun kehadirannya adalah sebuah keniscayaan politik di dalam partai sebagai lembaga kekuasaan.

Kini faksionalisasi yang ada di dalam Partai Demokrat cenderung bersifat client-group karena kekuasaan faksi yang ada disebabkan oleh terkonsolidasinya faksi dengan adanya

Page 78: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

orang yang mempunyai modalitas patron. Salah satu modalitas penting bagi seseorang untuk menjadi patron di dalam Partai Demokrat adalah jabatan eksekutif tertinggi di dalam partai. Tak perlu menunggu tua untuk menjadi patron dalam faksi dengan memegang posisi ketua umum partai. Artinya, modalitas struktural menjadi hal paling penting dan determinan bagi siapapun yang ingin mengendalikan faksi partai beserta massa elit yang ada di dalamnya. Sultanistik oligarchy yang disebut Jeffrey Winters (2011) untuk menjelaskan Indonesia era Orde Baru kini tersebar ke dalam kelembagaan partai yang ada. Sementara para oligarkh terdiaspora di dalamnya yang tersekat-sekat dalam bilik-bilik faksi. Hasilnya adalah partai politik menjadi institusionalisasi kepentingan para oligark yang sudah tak lagi mengenal oposisi biner tua-muda selama ini.

Sehingga Partai Demokrat adalah partai yang bernasib baik dengan dua kali memenangi pemilu, tapi bersumbu pendek. Bersumbu pendek karena partai tidak perlu menunggu pemegang veto player secara insidental hilang untuk mempersaksikan ke pada publik banyak ruled elite akan saling mengahantam dan menghancurkan karena tidak ada poros kekuatan politik yang menggerakkan para elit dalam satu orbit putaran ritmik. Demokrat menjadi partai bersumbu pendek akibat faksionalisasi berakhir pada dinamika faksi degeneratif.

Terkait dengan hal ini, terdapat tiga bentuk dinamika faksi di dalam partai politik (Francois Boucek, 2009). Pertama, dinamika faksi kooperatif dimana blok politik yang ada di dalam partai pada akhirnya bernegosiasi untuk sebuah kepentingan organisasi partai. Kedua adalah dinamika faksi kompetitif dimana faksi yang ada terkonsolidasi dengan baik sehingga menciptakan kompetisi dengan substansi kompetisi pada pengaruh kebijakan dan jabatan publik. Sementara dinamika faksi yang ketiga adalah dinamika degeneratif, sebuah dinamika yang saling menghancurkan dan berbenturan karena konsolidasi kelompok yang retak menstimulasi bertumbuknya kepentingan-kepentingan individu ruling elite atau elit yang memerintah di masing-masing faksi sekaligus ruled elit di bawahnya. Di dalam dinamika degeneratif inilah saat ini Partai Demokrat berada.

Untuk menjernihkan hal ini, kini di dalam Demokrat terdapat dua bilik faksi: bilik struktural yang mengendalikan day-to-day politics partai dan bilik kultral yang memegang mandat publik sebagai sumber legitimasi politik paling kuat di internal sekaligus ekseternal partai. Lebih jelasnya, bilik politik struktural yang ada dalam posisi ketua umum berlaku eksekutif sehingga mempunyai otoritas dalam proses rekruitmen politik plus keputusan-keputusan organisasional partai. Sementara bilik politik kultural berfungsi legislatif yang berkedudukan determinan dalam keputusan-keputusan strategis partai. Dalam beberapa kasus, ketua umum hanya menjadi manager organisasi, namun pada saat yang sama ketua dewan berpotensi dikebiri melalui keputusan-keputusan organisasional yang jika dihimpun adalah sebuah penciptaan kekuatan politik baru di dalam partai.

Sibernetika politik pun tak bisa terhindarkan dari kondisi kepartaian yang demikian degeneratif. Sibernetika yang bermakna otomatisasi perilaku politisi dan elit partai untuk mempertahankan kepentingannya menjadi demikian terekspresi di dalam ruang-ruang publik (baca: media). Sibernetika politik akibat dinamika faksi degeneratif di tubuh Partai Demokrat

Page 79: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

ditunjukkan dengan semakin terbukanya ekspresi politisi partai untuk setia menghamba pada patron di dalam faksi sementara partai adalah institusi yang paling bermanfaat sebagai legitimasi formal dalam prosedur demokrasi.

Berduyun-duyun masuknya orang-orang lintas elemen dari militer hingga aktivis ke Partai Demokrat hanya berurusan dengan power and resource sharing, minus ideological sharing. Muara sengkarut faksi PD adalah massive distrust. Partai politik yang digadang sebagai pilar demokrasi kita saat ini menjadi mandul, dan akhirnya kita mahfum publik merasa punya legitimasi untuk menuntut negara secara langsung di jalanan dan di gedung-gedung lembaga negara akibat partai terlalu sibuk dengan dirinya.

Arya Budi, S. IP.

Peneliti dan Analis Politik Pol-Tracking Institute.

Sumber: http://koran.tempo.co/konten/2012/12/19/295319/Diaspora-Faksi-Demokrat.

Page 80: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Politisi Kartel

Ada dua fenomena yang menjelaskan bekerjanya nalar kartel secara kolektif. Pertama, pada suatu waktu secara bergerombol anggota dewan melawan tuduhan kongkalikong. Perlawanan ini baik dengan merekonstruksi ruang publik melalui pernyataan-pernyataan di media massa maupun menggunakan hak-hak konstitusional parlemen seperti hak interpelasi.

Kedua, pada saat yang sama beberapa anggota dewan menyuarakan desakan penyebutan nama oknum anggota dewan secara langsung. Dalam logika politik yang paling awam, desakan penyebutan nama politisi pemeras oleh beberapa anggota dewan lain adalah usaha untuk menghindari penghakiman publik terhadap fraksi maupun badan kelengkapan dewan yang tersandera ini-itu.

Artinya, fenomena tersebut mengonfirmasi bahwa Indonesia bukan sekadar dijejali partai kartel (Kuskridho Ambardi, 2009). Eksistensi politisi pemeras keuangan lembaga negara, baik sebagai individu yang “kelaparan‘ maupun suatu gerombolan politik “pemangsa‘ menjelaskan eksistensi politisi kartel di negari ini. Dengan kata lain, anggota dewan lintas fraksi dan juga lintas komisi berperilaku dengan nalar yang sama: merombak otoritas parlemen–legislasi, budgeting, dan pengawasan–untuk membajak uang negara.

Jika merujuk pada konsep dilema representasi Richard S Katz (2001) dalam The Problem of Candidate Selection and Models of Party Democracy yang agaknya relevan dengan fakta predatory politics di Indonesia, para politisi di parlemen terjebak pada dua nalar tanggung jawab. Pertama, sekalipun seorang anggota dewan memperoleh legitimasi publik (bukan partai) melalui sistem pemilu daftar terbuka, munculnya nama politisi tetap berada dalam otoritas dan mekanisme internal partai. Hasilnya: politisi bertanggung jawab pada aktivitas operasional kepartaian.

Kedua, keuntungan politik atas legitimasi publik dari pencoblosan nama dalam surat suara memaksa para politisi terpilih untuk merawat–mempertahankan dan memperoleh–suara (baca: publik pemilih) di masing-masing daerah pemilihan. Hasilnya: kedua nalar tanggung jawab ini bermuara sebagai raison d‘etre politisi kartel untuk merombak fungsi lembaga-lembaga negara pemegang proyek sebagai pihak “wajib pajak‘ dalam relasi-relasi urusannya dengan parlemen.

Alhasil, seorang politisi Senayan yang lahir dalam logika loyalitas partai di Indonesia akan berakhir sebagai politisi kartel. Hal ini disebabkan oleh dua hal penting. Pertama, karena partai politik itu sendiri mempunyai perwatakan kartel untuk mengoperasikan fungsi-fungsi organisatoris yang kadang seremonial, seperti: kongres atau ulang tahun partai. Kedua, pengelolaan partai cenderung bersifat individual sehingga skema pengorganisasian tersebut memproduksi kanal-kanal aliran dana secara individual.

Page 81: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Di sisi lain, ada tiga motivasi yang mendasari muncul dan menguatnya politisi kartel. Pertama, kondisi kepartaian kita mengamini perilaku kartel tersebut karena jabatan publik dipahami sebagai pintu masuk political fund rising bagi partai. Kedua, politisi Indonesia mempunyai perwatakan rent seeking pascaterpilih sebagai anggota dewan.

Ketiga, politisi sebagaimana tesis Katz, berada dalam dua dilema politik sehingga akhirnya merombak institusi-institusi negara yang ada sebagai illegal donor untuk merawat konstituen dan memenuhi fatsun politik bagi partainya dengan sumbangan-sumbangan operasional untuk kegiatan partai. Institusi negara yang paling mungkin dibajak seperti isu yang muncul dalam beberapa hari terakhir ini adalah badan usaha milik negara (BUMN) dan kelembagaan pengepul dana negara di bawah beberapa kementerian yang masuk dalam radar pundi-pundi keuangan organisasi partai dan “ATM‘ para politisi kartel.

Namun, di dalam ruang-ruang yang berurusan dengan aktivitas elektoral (tahapan dan agenda-agenda politik pemilu), politisi kartel merapat dan bergerombol dalam satu blok kepentingan di masing-masing partai. Partai politik tak ubahnya sebentuk institusionalisasi kepentingan elektoral. Dalam institusionalisasi kepentingan elektoral, partai politik cukup bekerja pada tiga hal: legalisasi, administrasi, dan kompetisi. Ketidakhadiran partai dalam nalar representasi sosial adalah soal lain.

Secara administratif, partai berlomba-lomba menciptakan infrastruktur keorganisasian untuk memenuhi kualifikasi kepesertaan dalam pemilihan umum. Isu yang merebak tentang politisasi verifikasi parpol tempo hari pada dasarnya menunjukkan wajah parpol sebagai lembaga penghimpun kepentingan kartel.

Dan akhirnya pada tanggal pemungutan suara, partai berkompetisi untuk memenangi pemilu dengan perolehan suara terbanyak. Inilah yang disebut dengan naluri paling dasar bagi rata-rata parpol di dunia, khususnya di Indonesia. Partai yang ada saat ini tak ubahnya berperilaku vote-seeking behavior atau perilaku partai dalam bentuk apa pun yang dimaksudkan untuk memperolah suara sebanyak-banyaknya (Kareen Strom, 1999).

Hasilnya, tidak ada partai Islam, partai nasionalis, partai kiri atau partai kanan. Dalam nalar kompetisi, semua partai di Indonesia bekerja sebagai partai elektoral. Partai parlemen merekayasa kompetisi dengan mereduksi kompetitor baru melalui kualifikasi kepesertaan pemilu yang ketat. Dalam pentahapan pemilu 2014, kita menyaksikan semua partai saling menyikut untuk mendapatkan nomor peserta pemilu dan pada saat yang sama juga memperkecil lawan pesaing.

Partai parlemen akhirnya menegosiasikan aturan yang dibuatnya sendiri. Partai parlemen menggerakkan tangan-tangan politiknya untuk sebisa mungkin mengintervensi dan menekan KPU. Sementara partai-partai baru dan partai kecil nonparlemen yang tak lolos verifikasi dokumen–18 partai politik–menggeruduk dengan brutal untuk menelanjangi otoritas dan kewenangan KPU. Semua partai berebut nomor dan berkoalisi untuk satu kepentingan: kepesertaan pemilu. Representasi kepentingan publik soal lain.

Page 82: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Arya Budi, S. IP

Peneliti dan Analis Politik Pol-Tracking Institute

Sumber: http://www.jurnas.com/halaman/6/2012-12-13

Page 83: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Matinya Partai dan Politik Multikultur

Kelompok identitas ini menjelma sebagai kelompok penekan yang kuat. Sementara parpol tak memainkan peran apa pun dalam isu-isu sosial krusial: kebebasan menjalankan agama dan beribadah (konflik Gereja Yasmin dan kasus Ahmadiyah), kebebasan berekspresi (kasus Lady Gaga), serta kebebasan berpikir dan berbicara (kasus Irshad Manji).

Parpol sangat hirau dengan isu publik dan sirkulasi elite (baca: pemilu), tetapi gagal mengambil peran dalam fungsi agregasi kepentingan dan representasi cleavage sosial dalam kehidupan politik sehari-hari. Parpol terpasung oleh dirinya sendiri karena ruang demokrasi yang dia perankan panggung pemilu. Parpol mati fungsi dalam ruang demokrasi ekstra-pemilu, demokrasi yang tidak berurusan dengan perebutan kekuasaan negara, tetapi lebih pada tiga relasi kuasa: identitas, komunitas, dan mayoritas.

Artinya, selain akibat pemasungan diri sendiri, matinya parpol dalam kehidupan demokrasi sosial dewasa ini disebabkan oleh tiga ”TAS”: kerawanan negara dalam politik identitas, menguatnya komunitas sebagai aktor baru, serta kuatnya bola liar opini publik di bawah logika apa dan siapa yang mayoritas.

Politik identitas

Telah menjadi asumsi umum, setiap orang yang jadi warga negara Indonesia akan lebih senang memperkenalkan diri sebagai anggota Muhammadiyah, NU, FPI, fans club Lady Gaga, anggota JIL, atau identifikasi diri sejenis dibandingkan dengan menyebut dirinya anggota parpol, simpatisan, atau penggembira pemilu. Hanya anggota yang duduk di jajaran pengurus (pusat dan daerah) yang mengidentifikasi diri sebagai bagian dari parpol tertentu. Setiap orang yang mempunyai irisan identitas dalam aktor perantara demokrasi secara kolektif cenderung melihat diri di luar parpol (sekali lagi, kecuali pengurus parpol). Asumsi sederhana ini yang menggeser parpol kian jauh dari politik keseharian serta mendekatkan kelompok penekan dan kelompok kepentingan dalam politik multikultural.

Dalam pemilu, kita memahaminya sebagai mekanisme bergantian ”diperintah dan memerintah” dalam kesetaraan numerik, one man one vote but not one value. Kita memperlakukannya sebagai regularitas dalam demokrasi. Dalam regularitas ini, elite tetaplah elite, sementara rakyat berubah jadi massa.

Massa adalah kumpulan manusia yang tak berkehendak karena dibuat kenyang oleh food and game, dengan kenaikan gaji dan uang per tahun. Atau kehendaknya mati karena dinumerasi untuk suara politisi. Logika inilah yang jadi alasan mengapa warga negara lebih mengidentifikasi dirinya sebagai anggota ormas karena dengan menjadi bagian sebuah gerakan ormas, massa jadi rakyat yang berkehendak. Sementara mengidentifikasi diri sebagai anggota parpol jelas tak bermakna apa pun di luar tanggal pemungutan suara.

Page 84: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Pertarungan aliran

Rakyat yang berkehendak ini tersegmentasi jadi sekawanan dalam ruang-ruang demokrasi sosial setiap harinya. Dibiarkan bertumbukan dalam panggung deliberasi identitas. Kini ada empat aliran dalam politik identitas jika melihat beberapa kasus multikulturalisme beberapa minggu ini: agama, nasionalis, liberalis, dan oportunis. Pemetaan politik aliran oleh para Indonesianis, seperti Geertz, Feith, dan Castle, tak bisa berlaku lagi. Aliran agama adalah mereka yang berkepentingan untuk memengaruhi kebijakan dan keputusan publik berdasarkan preferensi dasar agama.

Aliran nasionalis adalah kelompok politik yang melihat fenomena politik berdasarkan prinsip-prinsip ideal dasar negara dan romantisme masa kemerdekaan. Aliran liberalis bukan berarti pandangan yang menyimpang dari konteks agama, melainkan aliran ini lebih menekankan upaya penerimaan atas semua bentuk perbedaan sehingga alasan aliran ini menerima bentuk baru adalah karena kebebasan ekspresi, bukan alasan fakta demografi nasional yang plural. Terakhir, aliran oportunis, aliran di mana parpol memilih memihak pendulum opini publik paling dominan. Aliran ini tidak meletakkan diri pada substansi deliberasi yang terjadi, tetapi lebih ke alasan elektoral.

Politik multikultural mempertarungkan relasi kuasa atas empat aliran ini. Dan, peserta dominan dalam panggung pertarungan adalah kelompok kepentingan. Negara rawan dalam peta baru politik identitas ini, dalam arti pembiaran pertarungan aliran dalam berbagai bentuk (termasuk kekerasan) adalah hal paling aman untuk menghindari klaim negara berideologi. Lebih baik membiarkan pertarungan berlangsung daripada mengeluarkan otoritas koersif yang berakibat negara jadi musuh bersama layaknya era 14 tahun terakhir. Hasilnya: negara tak hadir. Negara bukan wasit yang memisah ketika aturan main dihancurkan, tetapi penonton yang menikmati kebrutalan rezim mayoritas dalam demokrasi.

Demokratisasi di Indonesia seolah menyetujui tesis Joseph Schumpeter (1987) sekaligus mematahkan kesimpulannya. Teorinya tentang demokrasi realistis—bahwa tak ada kehendak umum (baca: rakyat), yang ada kehendak mayoritas—menjadi benar jika melihat Indonesia kini. Namun, fakta negeri ini juga mematahkan tesisnya di sisi lain, yakni tak ada pemerintahan oleh rakyat dalam demokrasi, tetapi pemerintahan oleh politisi.

Kini di Indonesia tak ada pemerintahan oleh rakyat dan oleh politisi. Karena politisi pun menjalankan perintah dari pemerintahan negeri lain. Sementara rakyat tak punya kuasa memerintah karena dua hal: dirinya telah jadi massa dan juga untuk menyebut rakyat di Indonesia bukanlah hal tunggal. Singkat kata, yang ada adalah pemerintahan oleh sekawanan (mob ruling). Kelompok penekan dan kelompok kepentingan adalah entitas demos yang terfragmentasi karena jelas permintaan dan penawaran setiap kawanan terhadap negara beda dengan kawanan demos lainnya.

Yang terjadi kemudian, kawanan (ormas atau kelompok kepentingan) ini jadi pilar penting demokrasi karena penciptaan opini publik jadi demikian kuat dimainkan kelompok

Page 85: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

kepentingan. Sementara itu, banyak studi menunjukkan, dalam sistem demokrasi, opini publik berpengaruh penting dalam pengambilan keputusan negara (Burstein 2010, Erikson et al.2002).

Dalam sejarah trajektori demokrasi, kita kembali diingatkan oleh kisah kematian filsuf Yunani, Socrates (469-399 SM), era demokrasi Athena. Socrates dikenal masyarakat Yunani kuno sebagai pengajar dan pencetus kebebasan berpikir dan berbicara, tetapi akhirnya dia mati sebagai ”martir” pertama demokrasi. Menurut Plato dalam Apologi, vonis hukuman mati Socrates dengan minum racun adalah putusan 500 juri dalam pengadilan Athena waktu itu. Sekalipun Socrates kalah tipis, era itu sudah menunjukkan wajah demokrasi sebagai hasil kuasa mayoritas.

Demokrasi yang terjadi saat ini jadi pembentukan wajah yang brutal, pemerintahan oleh kawanan, mob ruling. Prinsip mayoritas bukan soal kesetaraan numerik dalam pemilu, tetapi kita perlu berhati-hati melihat dan bersinggungan dengannya jika berada di luar lembaga-lembaga demokrasi: ruang-ruang sosial yang rentan terhadap pluralitas. Soekarno mengatakan, kita harus punya demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Namun, kok, sepertinya demokrasi kita belum cukup. Kita perlu menambahkan kebutuhan berdemokrasi sosial setelah ber-Indonesia sejauh ini.

Arya Budi, S. IP

Peneliti dan Analis Politik Pol-Tracking Institute

Sumber: http://cetak.kompas.com/read/2012/06/25/02213015/matinya.partai.dan.politik.multikultur

Page 86: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Presidensialisasi Partai Politik

Tepat pertengahan periode durasi pemerintahan, agenda-agenda elektoral mulai dimainkan baik oleh individu politisi maupun partai secara organisasi. Namun, yang terjadi adalah pola presidensialisasi parpol. Presidensialisasi adalah bukan sekadar personalisasi yang menjadi ciri pengelolaan partai sejak pemilihan langsung 2004. Artinya, presiden jadi sumber legitimasi elite dalam partai. Dulu Riswanda Imawan (2004) berujar, rakyat Indonesia telah berpindah dari level suporter menjadi voter. Akan tetapi, kini, justru elite yang berpindah dari aktor menjadi suporter terhadap patronnya. 

Memahami parpol

Untuk menjernihkan pemahaman ini, ada tiga cara untuk memahami parpol: keanggotaan, kecenderungan aliran (bukan ideologi), dan perilaku. Pertama, berdasarkan kluster konstituen, Indonesia hanya memiliki tiga partai, yaitu partai yang ”memakan” semua golongan, partai dengan representasi kelas sosial, dan partai dengan diferensiasi paham masyarakat. Secara ideologi hanya ada dua: partai nasional dan partai agama. Dalam kategori perilaku, kita hanya punya satu partai: partai elite.

Realitas kutu loncat atau perpindahan politisi dari satu partai ke partai lain sekalipun memiliki pertentangan arus aliran, menunjukkan tidak ada loyalitas lembaga. Yang ada presidency loyalty. Perpindahan politisi ini yang menjelaskan terpecahnya suara (split voting) dalam pemilu, yaitu orang yang memilih partai tertentu di level daerah, belum tentu memilih partai yang sama di level pusat. Dan, semakin jelas jika dihadapkan antara pilihan legislatif (partai) dan eksekutif (presiden). Presidency loyalty itulah yang menjelaskan kemunculan pernyataan politisi yang mendeklarasikan diri sebagai klien atas patron yang sedang berkuasa, bukan anggota, apalagi aktor politik. Muara atas hal ini cukup fatal: parpol bukan menjadi organisasi politik, melainkan pelembagaan kepentingan yang membajak demokrasi dengan pola dan motif pemburu rente. Tak mengherankan jika ada banyak ”partai faksi” yang muncul pascakongres partai atau kekalahan dalam pilpres.

Berbeda dengan parlementarisme, presidensialisme kita memungkinkan partai mengejar kursi eksekutif langsung sehingga orientasi kebijakan dan tujuan bisa jadi terletak pada perolehan kursi eksekutif, bukan legislatif. Ini yang menjelaskan pilpres bukan sekadar prestise partai sebagai organisasi, melainkan bagian dari driving goals. Perilaku partai mengikuti logika ini. Jika partai kalah di perolehan kursi terbanyak parlemen, belum tentu dia kalah untuk memimpin penyelenggaraan negara pasca-pemilu karena ruang menangkap kursi eksekutif bisa dilakukan tanpa menggantungkan pada proses pemilu legislatif yang sekuensial.

Menurut David Samuels (Presidentialiazed Parties, 2002), formasi konstitusional berimbas pada perilaku parpol. Thomas Poguntke and Paul Webb (Presidentialization of Politics,

Page 87: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

2007) misalnya, membeberkan pengalaman di 14 negara Eropa dan Amerika bahwa pemimpin eksekutif, baik dalam konsep presidensial maupun parlementer, punya otonomi yang semakin luas untuk tak selalu mengonfirmasi keputusan politiknya dengan elite (pemimpin politik) di partai ataupun secara organisasional dengan partai asalnya.

Hal ini berlaku sama di Indonesia ketika semua elite mengamini struktur budaya paternalistik (atau maternalistik pada periode 2002-2004 yang terjadi) di lembaga partai. Akhirnya, perwajahan patron-klien yang dominan sepanjang rezim Soeharto di level negara kini terdesentralisasi ke dalam tubuh parpol, yaitu ada dua pilihan: paternalistik atau maternalistik. Dua pilihan ini berkarakter sama selain hanya soal seksologi pucuk pemimpin yang membedakan.

Artinya, hasil survei yang menunjukkan sebuah partai mempunyai elektabilitas tinggi sama sekali tak menjamin capres yang diusung dari kader partai terkait akan bernasib baik. Salah jika partai harus dengan teguh menginginkan hanya dari kadernya yang pantas dicalonkan. Gerindra, misalnya, hanya mendapatkan suara kecil jauh di bawah tiga partai besar, tetapi patron partai Prabowo Subianto berada di posisi puncak dalam semua survei. Kita tak bisa mereplikasi logika parlementer dalam beberapa otoritas dan privilese yang dimiliki presidensialisme. Apalagi, koalisi yang dibangun dalam perebutan kursi eksekutif (baca: presiden) didasarkan pada pembagian kue kekuasaan, sama sekali tak ada perbincangan ideologi apalagi tentang platform.

Sesekali memang membangun konsensus bersama, konsensus dalam pola ini hanya mensyaratkan dua hal: hanya menyangkut isu publik yang dianggap populer atau strategis bagi pemangku kepentingan koalisi dan isu yang menyangkut nasib (elite) partai dalam koalisi. Presidensialisme mendorong partai pada vote-seeking behavior atau perilaku partai apa pun bentuknya ditujukan untuk memperoleh suara sebanyak-banyaknya (Strom, 1990). Kecenderungan presidensialisasi partai akhirnya membagi parpol dalam tiga model: partai yang terbajak elite, partai yang mencari elite, dan partai yang mencari partai lain.

Kepemimpinan manajerial

Fakta di Indonesia menunjukkan dari (partai atau elemen) mana pun kandidat eksekutif berasal, dia akan berakhir sama: manajer sebuah negara. Sekali lagi, yang akan hadir kemudian adalah state manager bukan state leader. Pemimpin eksekutif (baca: presiden) cukup memastikan warga negara bisa kenyang dan aman. Sepanjang dua hal ini diupayakan, maka dianggap tidak perlu untuk mengambil posisi tegas dalam turbulensi ekstranasional.

Proses penentuan capres dalam partai menunjukkan pola yang sama dengan rezim Soeharto: kronisme. Pola yang sudah lama kita hujat ketika negara mulai ditata dalam logika-logika demokrasi, seperti terselenggaranya tiga hal penting: pemilu yang sehat untuk memastikan hak politik setiap warga negara tak terbajak oligarki, proses pengambilan keputusan yang partisipatif melalui mekanisme bottom-up, dan kehadiran ruang-ruang deliberasi isu-isu publik di media sebagai bentuk amplifikasi rencana kebijakan negara. Namun, yang terjadi

Page 88: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

kini, kepemimpinan politik hadir atau dihadirkan tanpa proses klarifikasi sebagaimana tiga tatanan penting demokrasi tersebut.

Alhasil, elite yang muncul akan bernasib kesepian karena dirinya tak merefleksikan kepentingan partai dan tak membangun jawaban atas kebutuhan rakyat. Sehingga hanya akan sampai pada kepemimpinan manajerial, bukan kepemimpinan rakyat. Jika bisa kita ambil contoh, kasus di Paraguay ketika Fernando Lugo dimakzulkan oleh parlemen karena pembelaannya pada rakyat kecil yang digusur oleh perusahaan milik oposisi tak akan terjadi di Indonesia karena kepemimpinan yang dibangun adalah kepemimpinan manajerial. Pemimpin politik adalah elite penguasa.

Dalam bahasa agak sarkastis, menurut teoretikus elite (Pareto, Mosca, Machiavelli), elite penguasa hanya bertindak memimpin negara dalam dua cara: kelicikan dan kekerasan.

Arya Budi, S. IP

Peneliti dan Analis Politik Pol-Tracking Institute

Sumber: http://nasional.kompas.com/read/2012/07/23/04283541/Presidensialisasi.Partai.Politik

Page 89: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Nasib Politik Figur Muda

Hasil survei asssessment atau uji kelayakan figur oleh 100 public opinion makers dan pakar selama sejak Agustus 2012 sampai awal Oktober 2012 setelah metode meta-analisis dan FGD, menunjukkan bahwa ada banyak figur muda yang mempunyai potensial dan kepantasan dalam kandidasi 2014. Ada tiga belas aspek yang dinilai terhadap masing-masing figur seperti integritas, kapabilitas, visioner, kepemimpinan, pengalaman prestatif, keberanian memutuskan, empati/aspiratif, kematangan emosi, kewibawaan/charisma, komunikasi publik, komunikasi elit, akseptabilitas publik, dan terakhir adalah askeptabilitas partai. Jika semua nilai masing-masing figur dibuat rerata, maka secara keseluruhan rerata skor terendah figur yang terseleksi ada pada aspek akseptabilitas publik (53,7), dan rerata tertinggi pada aspek kapabilitas (62,2).

Kalkulasi assessment ini menunjukkan fenomena politik yang sejauh ini menjadi asumsi publik. Artinya, berdasarkan haris riset ini (dengan standard ketercukupan adalah 60,0), banyak figur muda baik sebagai kader partai maupun di luar kelembagaan partai yang mempunyai kapasitas dan kepantasan sebagai kandidat alternatif. Namun, hanya beberapa saja yang dapat diterima publik. Kuatnya potensi dan kapasitas beberapa figur muda dalam internal partai namun lemah dalam penerimaan publik (53,7) sangat kontras dengan fakta kepartaian di Indonesia era perjuangan kemerdekaan. Konstelasi politik kebangsaan yang kuat saat itu berkonfrontasi dengan aktor di luar konstelasi politik domestik, sehingga akhirnya tidak menciptakan model kekuasaan patron-klien yang kuat dalam setiap komunitas politik.

Saat ini, rendahnya penerimaan publik sekalipun mempunyai kapasitas (aspek kapabilitas di atas 60,0), terjadi karena partai segan dan enggan memberi peluang hadirnya kandidat muda potensial sebagai figur alternatif bagi publik pemilih. Artinya, figur-figur muda justru segan terhadap tokoh senior dalam internal partai, baik karena alasan struktural maupun kultural. Ini soal fatsun politik dalam tradisi kepartaian di Indonesia yang clientelistic sejak orde baru, dan tradisi ini mengkristal karena pengelolaan partai yang tertutup dan sentralistis. Pada saat yang sama, tokoh senior—terutama karena alasan struktural—enggan memberi dan menciptakan ruang demokratis dalam kandidasi eksekutif. Muaranya masih sama: fatsun politik dalam tradisi kepartaian kita, yaitu ketua umum ataupun tokoh senior dalam relasi struktural memahami dirinya sebagai investor utama partai. Dengan skill, links, dan resource sebagai investasi politik kepartaian, alhasil terciptalah ketergantungan politik kepada tokoh sentral dalam partai.

Padahal, masih berdasarkan assessment research Pol-Tracking Institute, dari 35 nama figur muda terseleksi, nilai total dari 13 aspek menunjukkan bahwa ada 4 kader partai yang masuk dalam peringkat 10 teratas: Jokowi (78,6), Pramono Anung (68,0), Budiman Sudjatmiko (64,0), dan Anis Matta (61,9). Sementara figur muda lain yang saat ini tercatat bukan sebagai

Page 90: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

kader atau fungsionaris partai seperti Anies Baswedan (73,2), Sri Mulyani (70,2), Khofifah (66,7), Chairul Tandjung (63,0),  dan Sandiaga Uno (62,1), dan Gita Wirjawan (61,6) berada di urutan ke-2, 3, 5, 7, 8, dan 10 secara berurutan. Keunggulan Jokowi dalam 10 aspek dari 13 aspek diuntungkan oleh momentum kemenangannya pada Pilkada DKI. Artinya, sangat mungkin hasilnya akan berbeda jika Jokowi tidak maju dalam Pilkada DKI dan tetap duduk sebagai walikota Solo.

PDIP adalah partai yang mempunyai stock figur paling banyak dibandingkan partai lain. Dalam 13 aspek yang dinilai, figur muda dari PDIP masuk dalam jajaran 10 teratas pada 11 aspek, mereka adalah Jokowi, Pramono Anung, dan Budiman Sudjatmiko. Namun, Puan Maharani yang selama ini digadang dan diisukan melanjutkan estafet kepemimpinan genetik setelah Meagawati, justru hanya mendapatkan penilaian pada peringkat ketiga puluh (51,3). Artinya, figur muda yang mempunyai struktur peluang politik baik karena struktur maupun kultur di dalam internal partai, tidak menjamin nilai kepantasan dan kapasitasnya sebagai kandidat potensial. Menurut Krister Lunwell dalam Determinants of Candidate Selection (2004) menyebutkan partai besar mempunyai kecenderungan seleksi kandidat yang lebih tersentralisasi daripada partai kecil. Tetapi ada lebih banyak studi yang menyatakan bahwa derajat tingkat sentralisasi atau desentralisasi partai politik tidak ditentungan oleh variabel-variabel kelembagaan seperti mekanisme dan badan-badan yang bekerja di dalam partai politik. Derajat sentralisasi partai lebih ditentukan oleh ruling elite  di dalam struktur kekuasaan partai.

Alhasil,  paling tidak kita perlu empat prasyarat pokok untuk mengimbangi bobot kapasitas figur dengan akseptabilitas publik dan partai. Pertama, tokoh senior dalam partai yang karena otoritas struktural maupun kulturalnya perlu menciptakan logika baru bahwa terdapat irisan antara garis partai, selera elit, dan keinginan publik sehingga peluang politik bagi figur muda potensial perlu dilihat sebagai akselerasi regenerasi kebangsaan. Kedua, figur muda potensial dalam internal partai perlu memposisikan dirinya sebagai client bagi patron dalam logika fatsun politik yang cenderung mengamputasi potensi yang ada. Ketiga, semangat anti-partai dari figur muda potensial yang berkarir di luar kelembagaan partai perlu untuk membangun kesadaran baru bahwa sampai saat ini partai politik adalah satu-satunya lembaga yang sah dalam proses kandidasi eksekutif. Terakhir secara kelembagaan, partai politik khususnya partai dengan elektabilitas tinggi (di atas 10 persen) perlu menciptakan mekanisme demokratis dalam kandidasi kursi eksekutif sehingga tercipta kongruensi antara garis partai dengan preferensi politik publik saat ini. Secara konstitusional, dapur kepemimpinan nasional adalah partai politik, dan selama ini publik harus mau tidak mau menerima kandidat yang dihidangkan dalam bursa pemilu. Di Indonesia, stabilitas demokrasi dengan penyelenggaraan pemilu secara periodik berpotensi memelihara model struktur kekuasaan partai yang patologis. Kita tidak perlu menciptakan dan menunggu pergolakan nasional layaknya era kemerdekaan guna membangun struktur peluang politik lahirnya semangat muda dalam kepemimpinan nasional. Sudah saatnya, kepemimpinan muda menjadi preferensi alternatif dalam kekosongan mentalitas kebangsaan saat ini.

Page 91: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Arya Budi, S. IP

Peneliti dan Analis Politik Pol-Tracking Institute

Sumber: Majalah Lider Edisi Oktober-November 2012

Page 92: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Jokowi dan Tampilnya Pengusaha

Kedua, dia akan dihadapkan pada struktur kekuasaan birokrasi yang ada di Pemerintahan DKI Jakarta.

Birokrasi merupakan kerajaan di dalam pemerintahan yang mempunyai nalar kekuasaan tersendiri: kinship, clientelistic, dan pro status-quo. Ketiga, ada kompleksitas kepentingan yang saling bersahutan di dalam demografi sosial politik Jakarta. Seperti relasi sosial yang rapuh dan cenderung primordial, kepentingan politik istana dan kepentingan DKI yang saling bersinggungan, sampai pada kepentingan bisnis yang melampaui skala kepentingan lokal dan nasional. Tantangan tersebut tentu berawal dari satu proses yang tidak sederhana.

Jika kita melacak jauh ke belakang, sebelum memenangi jabatan eksekutif di tingkat lokal (baca: Wali Kota Solo), Jokowi lebih banyak dikenal sebagai pengusaha mebel dibandingkan seorang politisi apalagi pejabat publik. Kita juga perlu ingat personal branding terhadap Jusuf Kalla sebagai wakil presiden dengan daya eksekusi kebijakan yang lebih cepat, seorang risk taker, dan penggagas resolusi beberapa persoalan sosial politik.

Dalam riset uji kelayakan yang dilakukan Pol-Tracking Institute dengan melibatkan 100 public opinion makers dan pakar, menunjukkan bahwa Jokowi unggul di 10 aspek dari 13 aspek yang diuji. 13 aspek yang diukur adalah integritas, kapabilitas/intelektualitas, visioner, leadership, pengalaman prestatif, keberanian mengambil keputusan, komunikasi publik, komunikasi elite, empati/aspiratif, kematangan emosi, physical appearance, akseptabilitas publik, akseptabilitas partai.

Dalam aspek keberanian mengambil keputusan, figur muda terseleksi dari kalangan pengusaha cenderung lebih unggul jika dibandingkan dari 12 aspek lain yang dinilai. Sebagai misal, Chairul Tandjung (68,8) mampu menembus peringkat ketiga dari 35 nama figur yang dinilai, sementara Sandiaga Uno (65,3) dan Hary Tanoesudibyo (62,5) berada pada posisi ketujuh dan kesembilan. Sementara rata-rata nilai dari 35 figur yang dinilai pada asepk keberanian memutuskan hanya berada di angka 59,2. Karakter kepemimpinan risk taker yang sering menjadi logika kerja pengusaha merupakan faktor tingginya nilai beberapa figur berlatar belakang pengusaha dalam aspek keberanian memutuskan.

Berdasarkan segmentasi latar belakang yang terseleksi untuk dinilai oleh 100 juri pakar dan public opinion makers, hanya ada tiga orang yang saat ini berlatar belakang pengusaha yang masuk dalam 35 figur muda terseleksi: Chairul Tandjung, Sandiaga Uno, dan Hary Tanoesudibyo. Dari 13 aspek yang diukur tersebut, Chairul Tandjung (63,0) menempati urutan ke-7, Sandiaga Uno (62,1) urutan ke-8, sementara Hary Tanoesudibyo (56,3) masuk urutan ke-23.

Page 93: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Melihat hasil ini, artinya, kandidat muda yang mempunyai latar belakang pengusaha sebenarnya mempunyai potensi menjadi kandidat ketika kemampuannya memimpin negara terbukti pada level lokal. Walaupun perlu kita akui bahwa keunggulan Jokowi dalam 10 dari 13 aspek yang dinilai lebih banyak disebabkan oleh momentum pilkada yang akhirnya membentuk memori para juri penilai selain juga faktor kapasitas personal Jokowi.

Namun ,kita jangan lupa bahwa baik Jokowi maupun Jusuf Kalla adalah kader partai, yaitu PDIP dan Golkar. Sementara secara konstitusional, partai politik adalah satu-satunya lembaga politik yang absah untuk melakukan kandidasi. Artinya, perlu asimilasi politik antara figur pengusaha muda dengan logika kepartaian.

Asimilasi politik ini bukan berarti penguasaan semua akses politik di dalam kuasa kapital yang berakhir pada pembajakan demokrasi. Kasus tumbangnya mantan perdana menteri Italia Silvio Berlusconi yang membajak demokrasi dengan monopoli politik via partainya Forza Italia dapat merefleksikan ekses buruk jika kendali ekonomi difungsikan sebagai nakhoda politik.

Di luar kekhawatiran over control figur pengusaha yang berpotensi membajak proses politik di dalam partai, kita juga perlu paham bahwa figur muda juga akan dihadapkan pada kondisi under control dalam struktur kekuasaan elite di internal partai. James C Scott (2009) dalam Patron-Client Politics and Political Change in Southeast Asia menuturkan bahwa sistem pemilu dan politik elektoral di negara-negara Asia Tenggara dalam dekade terakhir ini berimplikasi pada perubahan struktur dan pengaruh relasi patron-client di tubuh partai politik.

Salah satu pengaruh yang tampak adalah munculnya piramida relasi patron-client, artinya terjadi tingkatan-tingkatan patron dari pucuk pimpinan pemegang hak veto keputusan partai sampai tingkatan patron di daerah. Sehingga, budaya organisasi partai seperti ini akan berujung pada diskoneksi keinginan publik dengan partai sebagai linkage actor, karena keputusan partai berserah diri pada selera seorang patron partai, sementara keinginan publik yang terukur secara kapasitas dan kapabilitasnya adalah soal lain dalam proses kandidasi.

Artinya, jika budaya politik yang terjadi di dalam banyak internal partai di Indonesia adalah pengelolaan patron-client, maka kegagalan seorang patron dalam membaca aspirasi publik karena egoisme personal akan berujung pada antipati publik terhadap proses demokrasi elektoral. Singkat kata, proses politik di dalam partai berpengaruh pada perilaku politik publik di luar partai. Figur muda dan pengusaha dengan karakter kepemimpinannya bisa menjadi alternatif baru pada 2014 sebagai antitesis karakter kepemimpinan selama periode SBY yang berada dalam nalar harmoni politik dan penuh kehati-hatian keputusan dan sikap politik.

Di titik inilah kita memerlukan dua prasyarat penting, baik dari sisi aktor maupun sistem untuk merespons hadirnya figur muda dan pengusaha dalam konstelasi nasional nanti. Pertama, figur muda yang potensial harus benar-benar menyadari bahwa kerja politik

Page 94: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

kepartaian adalah bagian integral dalam roadmap kepemimpinan nasional, sehingga alergi dengan partai politik menjadi tidak relevan dalam konteks ini.

Di sisi lain, perlu kesadaran dan keterbukaan dari elite determinan di dalam partai untuk membuka ruang yang cukup dan adil bagi hadirnya figur muda potensial. Kedua, tradisi pengelolaan partai yang tertutup dan sentralistis perlu dirombak baik nalar dan cara bekerjanya menjadi lebih terbuka dan demokratis sehingga setiap figur muda dapat tambil melalui mekanisme internal yang adil. Di sisi lain, mekanisme kandidasi yang terbuka akan membangun kepercayaan publik pada lembaga kepartaian dari political distrust publik selama ini terhadap partai politik.

Arya Budi, S. IP

Peneliti dan Analis Politik Pol-Tracking Institute

Sumber: http://www.jurnas.com/halaman/6/2012-10-24/224551

Page 95: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Nasib Politik Partai Lokal

Pada 2009, paling tidak ada enam partai lokal di Aceh yang berkontestasi dan mampunyai kursi di DPRA ataupun di DPRK, namun kini temuan Komisi Independen Pemilihan (KIP) hanya mendapati tiga partai lolos verifikasi untuk maju menjadi peserta pemilu, yaitu Partai Aceh (PA) sebagai partai lama yang juga berkuasa dan Partai Damai Aceh (PDA) dan Partai Nasional Aceh (PNA) sebagai partai baru.

Apa yang terjadi di Aceh mengingatkan kita pada fusi partai politik era Orde Baru menghadapi Pemilu 1977. Partai Aceh hampir mirip mereplikasi Golkar sebagai partai rezim yang menguasai birokrasi dan ‘militer’. PDA bias menjadi PPP versi Aceh saat ini yang menjadi ruang ekspresi kaum santri dan misi-misi politik Islam.

Sementara PNA layaknya PDI era Soeharto sebagai partai yang lahir dan dipertahankan dengan cikal bakal rejim sebelumnya, sekalipun dalam konteks Aceh tentu berbeda karena PNA adalah faksionalisasi di dalam internal PA yang gagal dikelola. Hal ini akan berimplikasi serius baik bagi publik Aceh maupun ekspektasi kita terhadap partai lokal yang bermain dalam local politics, jika formasi ini terus mengalami repetisi pada pemilu ke depan.

Perampingan sistem

Perampingan sistem partai lokal terjadi karena mengadopsi dan mengadaptasi dua sumber regulasi. Pada dasarnya, model verifikasi tetap mengacu pada UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh atau lebih dikenal dengan UUPA. Pasal 90 UUPA menjelaskan bahwa partai lokal yang memenuhi electoral threshold 5 % dari jumlah kursi DPRA dapat mengikuti pemilu berikutnya. Kemudian Pasal 322 UU No.8 Tahun 2012 tentang Pemilu berbunyi: Keikutsertaan partai politik lokal di Aceh dalam Pemilu DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota sepanjang tidak diatur khusus dalam UUPA berlaku ketentuan undang-undang ini.

Pascaputusan MK No.52/PUU-X/2012 terhadap Pasal 8 ayat (1) dan (2) UU No.8/2012, maka terhadap norma pasal 8 ayat (1) dan (2) No.8 Tahun 2012 disebutkan baik partai politik yang memenuhi parliamentary threshold (PT) atau tidak atau partai baru, harus diverifikasi. Namun, karena UUPA tidak mengatur tentang verifikasi, maka pengaturan soal verifikasi diserahkan kepada KIP untuk diatur sesuai peraturan perundang-undangan, maka KIP meminta seluruh dokumen administrasi pendaftaran parlok yang memenuhi electoral threshold untuk diverifikasi secara administrasi dan disampaikan ke seluruh KIP kabupaten/kota.

Artinya, memang hanya Partai Aceh sebagai satu-satunya partai politik lokal yang memenuhi ET, sehingga tidak perlu diverifikasi lebih jauh. Sehingga singkat cerita, verifikasi faktual adalah minimal memiliki kepengurusan dan keanggotaan di 18 dari 23 kabupaten/kota di

Page 96: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Aceh. Akhirnya, dari 19 partai lokal yang mendaftarkan diri ke KIP Aceh dan mengikuti verifikasi administrasi dan faktual, hanya Partai Nasional Aceh dan Partai Damai Aceh yang lolos sementara Partai Aceh sudah di atas angin.

Jika merujuk pada tesis Lipset dan Rokkan (1967) soal garis konflik yang mendasari lahirnya partai politik, maka penyusutan jumlah partai lokal yang berkontestasi pada pemilu esok hari mau tidak mau menyuruh publik Aceh mengakomodasi lebih besar partai nasional dalam pilihan politiknya.

Dalam nalar teoritik, partai lokal di Aceh disebabkan oleh relasi center-periphery sehingga kontestasi elektoral yang hadir adalah oposisi biner partai nasional dan partai daerah. Namun partai lokal yang diharapkan mampu menyambung tuntutan publik khususnya melalui pengalaman di Aceh pasca-Helsinki hingga kini, tak pelak hanya menyambung tuntutan elite minus publik.

Partai Aceh memang secara efektif mampu mengakomodasi ekspresi dan kepentingan kelompok yang dulu selama tiga dekade (1976-2005) bergejolak di dalam garis konflik pusat-daerah ala Lipset dan Rokkan. Tetapi hasil verifikasi partai untuk Pemilu 2014, menunjukkan relasi konflik elite sebagai nalar partai lokal melakukan fungsi representasi kepentingan publik Aceh.

Jamak diketahui bahwa Partai Nasional Aceh adalah partai mantan gubernur Aceh Irwandi Yusuf yang pada awalnya merupakan kader Partai Aceh. Sehingga PNA sedikit banyak merupakan gerbong politik PA yang menyempal akibat turbulensi Pilgub Aceh pada 2011 lalu.

Sementara Partai Damai Aceh adalah pergantian ‘baju’ dari Partai Daulat Aceh (PDA) sebagai satu-satunya partai lokal di luar Partai Aceh yang mempunyai kursi di DPRA sekalipun hanya 1 (satu) kursi. Konstituen, simpatisa, dan struktur elit PDA adalah elemen politik yang berada di luar kontestasi elit yang pada era Soeharto memperjuangkan secession bagi Aceh, yaitu didominasi dari kelompok santri.

Kontelasi kelembagaan

Aceh adalah sebuah provinsi yang banyak mengkonversi struktur kelembagaan Negara di luar nalar pusat-daerah atau ekspresi institusional yang menjelaskan subordinasi antara Jakarta dan daerah. Sebagai misal, tidak ada penamaan daerah di dalam lembaga legislatif, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (DPRK), atau juga tidak ada nomenklatur penyelenggara pemilu di tingkat daerah seperti KPUD, tetapi Komisi Independen Pemilihan (KIP).

Ekspresi independensi terhadap konstelasi kelembagaan Negara ini ternyata tidak kongruen dengan konstelasi politik yang mengisi ruang-ruang kelembagaan ini. Jika kontestasi politik seperti ini mengalami repetisi yang terus mendominasi bilik-bilik suara, maka eksperimentasi

Page 97: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

partai lokal akan mengalami anti-klimaks karena publik kembali menggeser preferensi politiknya dalam nalar-nalar dependensi relasi pusat-daerah.

Sementara eksistensi partai lokal adalah kausalitas penting putusnya linkage yang diperankan oleh partai nasional di daerah. Hasilnya adalah partai nasional semakin kuat dan akan kembali tercipta pembalikan konversi lembaga Negara di daerah sebagai wakil dan perwajahan pemerintahan pusat.

Di sisi lain, ekspresi politik bagi publik di daerah (baca: Aceh) yang terlanjur antipati dengan pemerintahan pusat di Jakarta, termasuk elemen-elemen politik yang mengisinya dan semakin sempitnya ruang ekspresi politik karena hanya ada tiga partai, akhirnya akan meluap menjejali saluran-saluran tuntutan di luar kelembagaan Negara dan politik, baik di jalanan ataupun masyarakat sipil yang tak terkonsolidasi di dalam nalar demokrasi.

Arya Budi, S. IP

Manajer Riset Pol-Tracking Institute

Sumber:http://aceh.tribunnews.com/2013/01/16/nasib-politik-partai-lokal

Page 98: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Penuaan Dini Partai Politik

Partai-partai ini menderita progeria politik atau penuaan dini secara politik. Anatomi kelahiran dua partai ini hampir sama: belum lama lahir, tetapi mengalami akselerasi pematangan organisasi yang demikian cepat, seperti merapatnya banyak tokoh dan politikus, terbangunnya infrastruktur organisasi di daerah, tetapi juga terakselerasinya gejala partai yang patologis.

Regularitas pemilu menciptakan kondisi di mana selalu ada partai yang lahir sebagai kontestan baru secara kelembagaan, namun juga bisa dikatakan sebagai kontestan lama secara politik. Dalam teori kelahiran partai, ada dua kategori besar terbentuknya partai politik. Pertama adalah partai yang lahir karena aspirasi dari bawah. Dan kedua adalah partai yang hadir akibat turbulensi politik elite di atas, sehingga existing elites (lapisan elite) menciptakan magnet politik hingga kerumunan politikus dan simpatisan masuk dalam agenda pelembagaan partai. Hal penting yang perlu kita sadari bukan lagi pertanyaan "kenapa" partai lahir dan berkembang, melainkan bagaimana nasib partai dalam konteks politik saat ini? Partai yang lahir akibat tarikan existing elites di atas akan cenderung mempunyai basis massa yang cair. Tentu ini akan membingungkan publik sebagai pemilih. Apalagi identifikasi kesertaan di Indonesia lemah dalam dua ujung logika perilaku memilih saat ini. Pertama, pemilih dalam mengambil keputusan politik pada aktivitas elektoral tidak mengidentifikasi dirinya sebagai anggota partai politik. Kedua, ketika figur partai berhasil menjabat kepala daerah atau pemimpin eksekutif, publik lantas tidak melihat secara kongruen dari partai yang mengusung figur tersebut. Iklim sistem multipartai sangat mendukung skema politik seperti ini. Sebab, pengaruh politik tidak terdiferensiasi secara khusus, melainkan hanya pembedaan-pembedaan simbolis dan formal yang melekat dalam setiap partai politik. Partai agama semakin pudar merepresentasikan preferensi agama, sementara partai nasional semakin transaksional.

Dalam jagat ilmu politik, model perilaku partai dikenal dalam tiga bentuk: partai yang hadir untuk memperoleh suara (vote-seeking party); partai dengan ambisi jabatan politik, baik eksekutif maupun legislatif (office-seeking party); dan partai yang dibentuk untuk mengintervensi dan mengendalikan kebijakan (policy-seeking party). Namun Kaare Strom, dalam A Behavioral Theory of Competitive Political Party (1990), menyatakan bahwa perilaku tersebut muncul dalam kondisi-kondisi khusus kelembagaan dan pengelolaan organisasi partai. Artinya, jika iklim kepartaian yang berlangsung tidak kompetitif, atau terperangkap dalam logika penjara dilema koalisi, hanya akan ada satu perilaku partai: office-seeking party. Adalah keniscayaan politik bahwa partai dibentuk untuk memperoleh suara sebanyak-banyaknya dalam pemilu dan, jika kalah suara, iklim multipartai di Indonesia mengkondisikan perilaku partai untuk bertransaksi dalam koalisi demi jabatan politik.

Page 99: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Sementara itu, Richard Katz dan Peter Mair dalam Changing Models of Party Organization and Party Democracy: The Emergence of the Cartel Party (1995) menegaskan bahwa model perilaku partai yang muncul kemudian adalah model partai kartel, yaitu partai kolusif yang menjadi agen negara untuk menjarah sumber daya negara demi kebutuhan kolektif mereka sendiri (collective survival). Partai hadir untuk dirinya sendiri. Di sisi lain, tesis Katz dan Mair belum sepenuhnya benar untuk Indonesia, karena jelas di dalam partai ada mekanisme staffing yang membutuhkan sumber daya, di mana apa yang disebut collective survival juga melibatkan orang-orang di luar struktur elite partai. Alhasil, kekhawatiran munculnya partai pada setiap pemilu di Indonesia adalah, partai hadir untuk memenuhi kebutuhan kolektif elite yang membentuknya.

Namun partai ini terancam akan mengalami progeria politik jika terjadi salah perlakuan (mistreatment) dalam pengorganisasiannya. Progeria adalah istilah medis untuk menjelaskan penyakit penuaan dini pada seseorang. Artinya, sekalipun usianya masih sangat muda, fisiknya sudah menyerupai orang tua dengan segenap gejala patologis dan penampakan yang ada. Dengan demikian, penuaan dalam hal ini berbeda dengan kedewasaan dan kematangan, karena hal ini berkaitan dengan rapuhnya organisasi partai.

Dalam organisasi kepartaian, ada tiga ciri patologis dari partai yang sudah mengalami penuaan secara organisasional. Pertama, adanya konflik antara kepengurusan pusat dan daerah yang sering terjadi dalam proses kandidasi elite di tingkat daerah. Hal tersebut terjadi karena tidak sejalannya kebijakan pusat dan aspirasi dari bawah. Kedua, terjadinya faksionalisasi yang begitu jelas, sehingga berakibat pada berpisahnya gerbong faksi dari struktur kepengurusan partai atau melepas keanggotaannya dan berakhir sebagai partai baru. Ciri patologis kedua ini sering terjadi dalam sirkulasi pucuk pimpinan dalam struktur partai atau proses kandidasi kursi eksekutif.

Ketiga, keluar dan berpindahnya politikus atau elite partai secara sporadis ke partai lain tanpa adanya korelasi ideologis, karakter massa, dan relevansi platform. Dengan kata lain, partai yang mengalami progeria politik adalah partai yang baru saja mengikuti pemilu untuk pertama kalinya tapi sudah terserang tiga ciri patologis penuaan di atas secara bertahap.

Progeria politik di tubuh partai akan berbahaya bagi proses konsolidasi demokrasi Indonesia karena tiga alasan. Pertama, partai politik yang hadir memberikan alternatif hanya ketika pemilu diselenggarakan. Setelahnya, kerja partai adalah untuk partai itu sendiri, karena relasi resiprokal elite-partai. Kedua, kompetisi partai dalam sistem politik yang ada tidak berada dalam ruang ideologi, gagasan, dan platform, melainkan perebutan empati sosial yang justru menciptakan antipati elektoral. Ketiga, akhirnya rakyat pemilih akan mengalami ketidakpercayaan massal atau massive distrust terhadap institusi politik karena mulai memahami bahwa perilaku partai adalah untuk dirinya sendiri (collectively survival elite). Dengan demikian, partai politik memerlukan tindakan pencegahan (preventive action) untuk menghindari progeria politik di tubuh organisasinya.

Page 100: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Arya Budi, S. IP

Manajer Riset Pol-Tracking Institute

Sumber: Koran Tempo Edisi 18 Januari 2013

Page 101: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Koalisi Partai, Partai Koalisi

Dalam situasi tersebut, koalisi partai pendukung pemerintah tidak menjadi kebutuhan. Dalam komposisi parlemen, koalisi Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II saat ini terdiri atas enam partai: Partai Demokrat, Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Amanat Nasional.

Setiap partai memiliki kader dalam kabinet dengan komposisi 19 dari 34 menteri berasal dari partai politik. Koalisi yang awalnya untuk mempertemukan kepentingan pada isu-isu krusial—di antaranya kasus Bank Century dan Rancangan Undang-Undang tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta—ternyata sekadar quasi-political institution.

Pada kenyataannya, sekalipun koalisi di Indonesia tidak mempunyai perangkat legal untuk melakukan institusionalisasi politik, koalisi partai pendukung pemerintah yang terlembaga dalam sekretariat gabungan tak lebih dari kelembagaan semu dan tidak punya output politik berarti dalam penyelenggaraan negara.

Dekomposisi

Dalam konteks biopolitics (meminjam terminologi Lynton Caldwell, 1964), koalisi partai politik pendukung pemerintah akan sampai pada dua bentuk akhir yang sama sekali berbeda: dekomposisi atau fermentasi. Disebut dekomposisi atau pembusukan karena organ-organ penting koalisi tidak berfungsi akibat egoisme politik. Disfungsi bermuara pada lepasnya organ pembangun koalisi (partai politik) yang saling menghancurkan karena koalisi bersifat rent seeking.

Kedua, koalisi akan mengalami fermentasi politik dalam arti bahwa institusionalisasi koalisi akan semakin terstruktur, frekuensi konsensus internal lebih tinggi, dan output-nya adalah kristalisasi kepentingan bersama.

Namun, fermentasi politik terjadi tidak sekadar dengan menyelenggarakan negara secara bersama. Ada tiga prasyarat penting yang harus dipenuhi: elektabilitas dan popularitas presiden, partai berkarakter policy-seeking behavior, dan negosiasi spektrum ideologi partai.

Fakta menunjukkan bahwa koalisi akan berakhir pada dekomposisi. Layaknya ketela pohon yang salah penanganan, koalisi sekretariat gabungan akan menghitam dan membusuk. Dia tidak befermentasi menjadi tapai—dengan bentuk dan aroma baru yang lebih lembut dan rasa yang lebih tajam—karena salah kelola.

Dekomposisi koalisi terjadi karena tiga alasan penting. Pertama, perilaku elite dalam struktur partai yang berkoalisi masih ke arah rent seeking, sama sekali bukan policy-seeking behavior.

Page 102: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Artinya, jabatan dalam struktur kabinet dan kursi di parlemen adalah sumber daya partai, bukan bagian dari upaya intervensi partai dalam kebijakan negara.

Dalam beberapa studi, relevansi garis kebijakan partai politik dan kebijakan pemerintah memang kecil (Alan Ware, Parties in Government, 1996). Namun, pada sisi lain, Ian Budge dan Michel Laver (Party Policy and Government Coalition, 1992) yang meneliti di 13 negara demokrasi multipartai menjelaskan bahwa program partai yang dipromosikan sepanjang proses pemilu berpengaruh terhadap pemerintahan koalisi, tetapi tidak menjadi basis koalisi.

Kedua, koalisi yang ada tidak hirau pada jarak spektrum dan diferensiasi aliran partai. Nasib koalisi di Indonesia dipengaruhi oleh spektrum kepartaian yang tidak berada pada politik partai kiri dan partai kanan seperti banyak terjadi dalam praktik demokrasi Barat. Maka sulit untuk membangun relevansi antara jarak ideologi partai dan output koalisi yang berupa kebijakan dan keputusan politik negara.

Ketiga, hal yang justru dominan adalah elektabilitas dan popularitas presiden yang menciptakan fenomena magnet politik. Artinya, prasyarat penting terjadinya fermentasi politik dalam koalisi hanya dipenuhi oleh poin ini. Maka yang terjadi bukan lagi koalisi partai, melainkan partai koalisi.

Partai mencari hidup

Partai koalisi adalah partai yang mencari hidup dengan melakukan koalisi terhadap partai yang menang dalam pemilihan eksekutif (baca: pilpres). Vokalitas Golkar dan PKS dalam KIB II dapat dijelaskan dengan teori partai koalisi ini karena sejatinya kedua partai berkoalisi setelah kalah dalam pilpres. Partai mengerubungi dan merapat ke kursi presiden untuk mencari hidup.

Fenomena partai koalisi menjelaskan kegalauan presiden soal menteri parpol. Pidato presiden yang menyindir menteri/ketua umum partai menunjukkan bahwa sebenarnya tidak ada koalisi partai, melainkan partai koalisi. Jika ada koalisi partai, presiden akan menyelesaikan urusan dalam rumah tangga koalisi.

Alhasil, dalam menghadapi Pemilu 2014, beberapa partai koalisi menciptakan pengelolaan struktur kekuasaan politik sentripetal. Artinya, insentif partai berputar melalui kader di kabinet dengan presiden sebagai poros. Semakin kuat tarikan politik partai koalisi di parlemen, semakin kuat putaran insentif partai di kabinet.

Jika karakter sebagai partai koalisi (dan bukan koalisi partai), maka kita akan menyaksikan hal yang sama pasca-2014.

Arya Budi, S. IP

Page 103: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Peneliti dan Analis Politik Pol-Tracking Institute

Sumber: http://nasional.kompas.com/read/2012/09/03/08374990/Koalisi.Partai.Partai.Koalisi

Page 104: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

PKS, Merkantilisme Partai Politik

Dalam merkantilisme politik, sebuah partai akan menjadi kuat jika mempunyai harta atau logistik politik yang melimpah. Artinya, kekuatan kelembagaan partai politik tidak hanya dilihat melalui jumlah suara yang diperoleh saja, atau basis massa loyal yang dimiliki, tetapi juga penting bagi mereka untuk memiliki cadangan logistik yang melimpah agar secara maksimal menggunakan ruang-ruang kompitisi dalam agenda elektoral yang demikian liberal dan transaksional.

Merkantilisme partai politik terjadi karena dua alasan penting. Pertama, demokrasi elektoral yang terjadi di Indonesia dilihat sebagai sebuah agenda jual beli musiman. Layaknya dalam tradisi musim atau periode perdagangan dalam relasi sosial kita. Seperti ketika orang desa berbondong mengurumuni persimpangan jalan untuk memperdagangkan barang-barang yang dimilik tiap hari pasar Pon Wage Kliwon Legi Pahing dalam penanggalan Jawa. Periode perdagangan elektoral diadakan setiap lima tahun. Hasilnya, kalender menuju musim jual beli adalah kalender merkantelistik yang paling sibuk dengan merampas dan menjarah APBN di setiap pos kementrian yang dimilik masing-masing partai berdasarkan jatah kementriannya. Inilah yang sebagai politik kartel karena partai sudah berdamai untuk tidak saling mengganggu lapak di tiap kementrian yang dimiliki.

Kedua, perilaku pemilih yang semakin pragmatis sehingga menyebabkan semakin rendahnya pemilih loyal. Dalam banyak survei perilaku memilih sepanjang 2012 lalu, pemilih mengambang lebih dari 50% dan mencapai angka 60% dari total responden. Dalam kondisi seperti ini, partai politik memerlukan modal yang tidak sedikit untuk menarik pemilih secara instan menjelang pemilu.

Penghimpunan dana melalui mekanisme internal hanya cukup untuk memastikan aktivitas organisasi partai tetap berjalan namun sangat tidak cukup untuk menggerakkan partai bertarung di dalam ruang-ruang demokrasi yang demikian traksaksional. Alhasil, logika merkantilisme dengan pengumpulan modal sebanyak-banyaknya adalah cara terbaik untuk mengamankan pertarungan dan menciptakan bargaining politik antar partai. Soal massa dan pemilih dilihat sebagai konsekuensi dari mobilisasi dan distribusi logistik ke publik.

Walaupun demikian, jika kita lihat, pada dasarnya PKS adalah partai santri perkotaan yang dikenal justru mempunyai militansi gerakan karena semangat ikhwah (persaudaraan) dibangun melalui jejaring-jejaring kaderisasi sel di banyak institusi seperti lembaga pendidikan (sekolah, perguruan tinggi), institusi pekerjaan (perusahaan, perkantoran, dan lembaga Negara), dan institusi sosial (rumah, kelurahan, masjid). Berbeda dengan partai-partai Islam berbasis santri pedesaan (PKB, PPP) yang meletakkan loyalitas kader pada ceramah-ceramah Kyai di setiap pesantren. Sehingga baik dalam bayangan publik maupun deklarasi partai, PKS adalah partai jamaah yang sebenarnya mampu menghimpun pendanaan

Page 105: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

organisasi partai melalui loyalitas anggota. Namun, masuknya PKS di ‘ruang penjagalan sapi’, mau tidak mau, menciptakan kesadaran publik terhadap sifat merkatilistik partai.

Kasus yang terjadi dalam sengkarut proyek menteri pertanian adalah bentuk penjatahan dan negosiasi antar partai. Artinya, koalisi adalah bukan soal pembagian jatah posisi menteri tetapi pembagian jatah insentif politik melalui pos kementrian yang dimiliki masing-masing partai. Hal inilah yang menjelaskna hampir tidak adanya politisi di luar partai PKS yang bermain dalam impor daging. Hal ini juga yang menjelaskan hampir tidak adanya politisi lain di dalam kasus Wisma Atlit dan Hambalang di luar Partai Demokrat.

Negara dibajak dengan menggunakan logika tribalistik. Artinya, kasus daging sapi dilihat sebagai destruksi eksternal terhadap sebuah kelompok politik yang bersifat komunal. Komunalisme tercipta karena sistem kekerabatan di dalam partai telah dibangun dengan menggabungkan doktrin agama soal Siyyasah Islamiyah (berpolitik dalam Islam) dan ukhuwah (relasi ‘penyaudaraan’) melalui sel-sel kadersasi yang sangat ketat dari level kader tingkat grass root dalam institusi institusi pendidikan dan perkantoran hingga di level pusat dalam bilik-bilik gedung Senayan. Model kekerabatan dengan acuan doktrin agama digunakan untuk memastikan loyalitas massa. Akhirnya hal ini menciptakan respon komunal layaknya sebuah tribal atau suku yang merespon adanya musuh yang mendekat dan mengobrak-abrik harmoni kekerabatan para kader. Tak ubahnya, penangkapan LHI oleh KPK disebut sebagai sebuah konspirasi. Kader seolah tetaplah suci dan bersih dari bentuk-bentuk penistaan politik apapun, sehingga konspirasilah yang paling bersalah. PKS yang mendeklarasikan sebagai partai dakwah dan partai bersih akhirnya justru merespon dengan gegap gempita dan tidak terima kader terbaiknya disebut sebagai koruptor.

Jamak kita ketahui bahwa PKS bergerak menggunakan dua motif utama: agama, dan persaudaraan. Partai menjadi jalan dakwah dalam doktrin ini, tetapi perilaku partai ternyata tetap. Artinya, sekuat apapun doktrin agama yang digunakan sebagai dasar operasionalisasi partai, kanal keuangan partai mengalir melalui orang perorang. Personalisasi akhirnya menjadi lumrah dalam budaya politik kita. Setiap kader partai dengan jatah jabatan publik adalah agen-agen merkantilis yang terus berusaha mengumpulkan koin, di sisi lain selalu ada komisi yang ditentukan secara individual.

PKS sekuat apapun mendeklarsikan diri sebagai parti dakwah yang bersih dan peduli tetap masuk dalam interdependensi perdagangan elektoral antara supporter dan player, sementara voter tinggal sebagai basis legitimator pemenang tender dan lelang jabatan publik baik di level legislatif maupun kursi eksekutif. Partai politik akhirnya menjadi aktor-aktor merkantilis yang memperdagangkan merx atau komoditas di dalam pasar-pasar pemilu lima tahunan sebagai arena vox mercari atau arena untuk mempertukarkan rupiah dengan suara.

Partai yang bernasib seperti PKS akhirnya berpotensi menjadi melting pot party karena akan menciptakan migrasi politik dalam pengelolaan partai yang semakin akomodatif teradap variasi masyarakat yang multi aliran dan paham. Dalam kondisi seperti ini, demokrasi konsosiasional ala Arend Lijphart (1968) tidak akan kita temukan karena pembilahan sosial

Page 106: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

tidak serta merta terefleksi dalam praktek politik kepartaian. Masyarakat Islam tidak sedang direpresentasikan oleh partai Islam, karena entitas politiknya tak lebih dari legitimator kekuasaan melalui suara dalam pemilu.

Arya Budi, S.IP

Manager Riset Pol-Tracking Institute

Sumber: http://koran.tempo.co/konten/2013/02/06/300090/PKS-Merkantilisme-Partai-Politik

Page 107: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Kandidasi Karbit

Walhasil, layaknya penggunaan karbit untuk mempercepat pematangan buah, kandidasi karbit dilakukan untuk mempercepat naiknya elektabilitas partai, baik dalam survei maupun pemilu. Artinya, figur populer maupun tokoh dengan jejaring massa yang luas bak karbit yang berfungsi mengakselerasi efek elektoral bagi partai. Akhirnya, migrasi artis atau tokoh populer yang marak pada kalender pemilu, khususnya penyusunan dan penetapan calon anggota Dewan, hari-hari ini hampir dilakukan oleh semua partai politik. Dalam perspektif partai, artis adalah vote getter (pengepul suara), sedangkan dalam perspektif diri artis, kandidasi calon legislator adalah aktualisasi dan eksplorasi politik sekaligus "jalan lain" di tengah semakin kuatnya arus kompetisi jagat hiburan.

Berkaitan dengan hal ini, riset analisis media yang dilakukan oleh Pol-Tracking Institute menunjukkan bahwa, dalam penelusuran tema kandidasi, PKS dan PDIP adalah partai yang cenderung mencalonkan calon legislator dari dalam atau internal (baca: kader). Hal ini dapat dijelaskan oleh karena seleksi ideologi yang cenderung lebih ketat dalam rekrutmen kader atau calon legislator, sehingga setiap calon legislator diharapkan sudah mempunyai political career path baik secara struktur maupun kultur politik di dalam partai.

Sedangkan Golkar adalah partai ketiga yang juga lebih memilih kandidat dari internal dibanding dari luar. Hal ini dijelaskan oleh karena tingginya tingkat elektabilitas yang juga cenderung stabil dalam beberapa survei. Sehingga kalkulasi artis dan tokoh populer sebagai pengepul suara tidak banyak berkontribusi pada perolehan suara partai. Apalagi Golkar menerapkan sistem kaderisasi ketat dengan mengharuskan calon legislator dapat menunjukkan sertifikat pelatihan kader yang diselenggarakan di internal partai. Sementara itu, partai-partai di luar PKS, PDIP, dan Golkar cenderung memanfaatkan serta membuka akses kandidasi artis dan tokoh populer non-kader sebagai vote getter. Non-kader adalah tokoh masyarakat yang mempunyai gerbong massa, sehingga mampu menciptakan migrasi elektoral yang berimbas terhadap elektabilitas partai.

Dalam analogi yang sederhana, artis dan tokoh non-kader adalah doping atau minuman berenergi bagi partai yang efeknya langsung bisa dilihat karena kandidasi dilakukan tanpa "metabolisme" yang panjang di tubuh partai seperti bentuk-bentuk internalisasi dan ideologisasi partai dan tangga karier politik yang berjenjang hierarkis. Sedangkan dalam analogi yang sama, kader adalah makanan "nasi-sayur" yang memerlukan kaderisasi agak lama, intensif, dan berjenjang sebagai metabolisme di tubuh partai, sehingga tidak bisa langsung diusung atau berefek. Sehingga memang, kader di sini tidak bisa langsung "dinikmati" oleh partai untuk mendapatkan insentif elektoral sebagaimana artis atau figur berpengaruh non-kader.

Page 108: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Fenomena kandidasi karbit terjadi karena ada tiga pola rekrutmen politik yang terjadi dalam partai menjelang pemilu. Pertama adalah rekrutmen masif di mana partai membuka akses yang luas dengan mempublikasikan peluang kandidasi kepada khalayak publik atau non-partai. Pola pertama ini dilakukan secara masif melalui media layaknya promosi peluang kerja seperti yang dilakukan Partai Gerindra dan diikuti Partai Demokrat. Kedua adalah rekrutmen pasif, yaitu rekrutmen politik yang menetapkan proporsi non-kandidat dalam kandidasi anggota Dewan, seperti 20 persen pada Partai Golkar. Sedangkan pola yang ketiga adalah rekrutmen aktif yang berupa partai melakukan jemput bola ke beberapa artis atau tokoh dan mempublikasikannya sebagai kandidat partai terkait jauh hari sebelum agenda kampanye pemilihan legislatif. Hal ini jamak dilakukan oleh PAN, Hanura, dan PKB.

Kandidasi karbit seperti ini pada dasarnya menunjukkan terkomodifikasinya popularitas ke dalam selebritas politik. Artinya, kandidasi karbit adalah usaha "pencangkokan" popularitas figur yang tinggi seperti di jagat hiburan ataupun jagat pengajian terhadap tubuh organisasi partai dengan elektabilitas rendah. Fenomena ini juga menjelaskan bahwa politik Indonesia justru semakin kuat sebagai politik figur, bukan politik partai. Sebab, rekrutmen karbit yang kuat oleh partai mengakui nalar migrasi pemilih mengikuti figur atau artis idola, bukan partai dengan platform atau ideologinya.

Dalam konteks kepartaian, fenomena kandidasi karbit oleh partai menunjukkan kuatnya pendulum nalar partai elektoral yang kuat dalam konstelasi politik di Indonesia. Partai elektoral hanya berurusan dengan perolehan suara, sehingga perilaku partai baik sikap politik parlemen, program sosial, maupun rekrutmen politik yang ditampilkan off air maupun on air berakhir pada perhitungan numerik hasil pemilihan.

Terkait dengan partai elektoral, Indonesia mengikuti fenomena di beberapa negara yang sudah menunjukkan gejala business firm model dalam pengelolaan organisasi partai (Hopkin, 1999). Yaitu, partai yang dikelola layaknya model lembaga bisnis dengan membiayai staf dan jabatan tertentu di dalam organisasi partai dan juga membiayai calon anggota Dewan dari partai. Partai seperti ini memang berpotensi menang dalam pemilu, tapi bersumbu pendek karena jaringan akar rumput dibangun melalui mekanisme distribusi sumber daya, bukan nilai. Walhasil, kita mafhum dengan fakta politik Partai NasDem yang menderita kusta politik dengan berpisahnya banyak kader dari level pusat sampai cabang, dan kegaduhan sporadis di Partai Demokrat.

Akhirnya, partai yang terlalu jauh dan masif memanfaatkan artis dan publik populer sebagai vote getter (baca: kandidasi karbit) karena alasan elektoral (baca: menuju Pemilu 2014) akan mempunyai tingkat kolaps yang lebih tinggi daripada partai yang lebih mengutamakan kader yang sudah terinternalisasi. Namun figur populer seperti artis menjadi sah dan menjadi "gizi" partai jika rekrutmen yang dilakukan tidak didorong oleh keterdesakan agenda elektoral plus kondisi kritis partai. Sehingga figur publik di luar dimensi jagat politik menjadi kader partai karena adanya periode internalisasi ideologi.

Page 109: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Walhasil, figur publik dan artis berfungsi ganda: sebagai vote getter dan juga terutama sebagai kader partai. Jika tidak, mereka akan terjebak dan kaget pada nalar kerja politik seperti kasus Angie.

Arya Budi

Manager Riset Pol-Tracking Institute

Sumber, http://koran.tempo.co/konten/2013/03/11/303517/Kandidasi-Karbit

Page 110: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Demokrat, Sebuah Pertarungan Antagonistik

Sekuel teatrikal politik Partai Demokrat setelah "monolog" kasus Nazaruddin kini telah memasuki episode yang demikian baru dan mengejutkan sejak pertemuan Majelis Tinggi Partai pada tempo hari. Lepas dari detail strategi penyelamatan partai, termasuk soal integritas ke DPD malam lalu, poin paling penting dari episode ini adalah pengambilalihan otoritas eksekutif yang ada dalam struktur DPP di bawah Ketua Umum Anas Urbaningrum melalui rejuvinasi kewenangan Majelis Tinggi, sebagaimana dalam pidato Ketua Majelis Tinggi Susilo Bambang Yudhoyono pada 8 Februari lalu. Dalam struktur organisasi partai, Majelis Tinggi, yang hanya berwenang pada penunjukan orang di level pusat dan provinsi (AD/ART Partai Demokrat Pasal 13 ayat 5), kini bertransformasi sebagai badan eksekutor dengan kontrol veto hampir pada semua keputusan partai.

Satu hasil survei dengan angka elektabilitas satu digit (8,3 persen) kini menjadi early warning system bagi partai sekalipun, secara teoretis, perilaku memilih publik begitu fluktuatif. Apalagi hasil survei sangat mungkin berbeda antarlembaga tergantung metode sampling dan instrumentasi teknisnya di lapangan (bentuk pertanyaan, cara bertanya, dan format kuesioner). Bagi para Sengkuni-merujuk pada diskursus yang dilempar Ketua Umum Anas Urbaningrum (AU) untuk menyebut para pembisik dalam persekongkolan faksi lawannya-survei adalah legitimator absah setelah sidang opini yang diputar di media gagal untuk menelanjangi otoritas dan legitimasi AU sebagai ketua umum partai.

Kini, dalam posisi seperti ini, AU, yang seolah tak melawan, mampu menciptakan persepsi publik sebagai korban political harassment oleh struktur kekuasaan oligarkis para Sengkuni, dan SBY sebagai Duryodhana. Sekalipun dalam persepsi elite Demokrat SBY adalah seorang savior atau juru selamat, kini, dalam persepsi publik, SBY justru masuk peran antagonistik karena partai menjadi demikian penting daripada publik keseluruhan. Dengan political salvation (penyelamatan politis) terhadap partai secara langsung itu, disengaja atau tidak SBY mengubah dirinya sebagai pemimpin komunitas politik partai daripada komunitas politik bangsa. Akhirnya, periode ini mereplikasi babak pertempuran antagonistik dalam lembaga kepartaian.

Namun, pada saat yang sama, AU sebagai orang tertinggi dalam day-to-day politics struktur eksekutif partai tetap mendasarkan diri pada hukum positif partai yang berlaku-sebelum pernyataan tersangka tertera dalam surat keterangan KPK. Seolah tanpa urat malu mendapat "panggilan" bertubi-tubi dalam persidangan para eks pembantunya, seperti Nazaruddin dan Angelina Sondakh, ketua umum dianggap sebagai posisi yang tak secara langsung berurusan dengan proyek-proyek korup pengepul dana partai dan dapur pribadi. Di sisi lain, jika kesaksian Nazaruddin benar soal invisible hand yang dimainkan AU dalam menjarah uang

Page 111: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

negara, khususnya untuk merebut kursi ketua umum partai pada 2010, AU dan gerbong politik yang didanainya tak ubahnya sebentuk Kurawa.

Di dalam glossary pewayangan Jawa, Kurawa adalah gerombolan buto yang bergerak melawan Pandawa di bawah kendali Sengkuni sebagai penasihat Raja Duryodhana. Namun, dalam dramaturgi on air Partai Demokrat, kita menyaksikan Anas memimpin gerombolan Kurawa melawan arogansi Duryodhana yang telah dititahkan (baca: dipersepsikan) oleh para Sengkuni sebagai pembantu dekat dan pembisiknya sebagai savior atau juru selamat bagi partai. Dalam politik, setiap perilaku, termasuk diam dan tunduk, adalah bagian dari usaha perebutan kekuasaan karena elite behavior tak lepas dari power seeking oriented.

Pada saat yang sama, SBY adalah makhluk politik layaknya gagasan filsuf politik kontemporer Hannah Arendt (1906-1975) bahwa vita activa atau tindakan manusia adalah soal kapasitasnya untuk memperebutkan pengaruh dan menggunakannya sebagai agenda penguasaan sumber daya, seperti jabatan, materi, gagasan, dan martabat. Singkatnya, publik justru disuguhi oleh serial perang antagonistik antara Kurawa dan Duryodhana dalam mawacarita sengkarut faksi dalam partai pemerintah.

Terkait dengan hal ini, hampir semua sarjana politik sepakat bahwa partai bukanlah sebuah entitas tunggal. Paling tidak, partai adalah sebentuk organ politik dengan beberapa kepentingan yang saling berbenturan di dalamnya. Bahkan, dalam banyak studi, politik intraparty, seperti yang terjadi di Demokrat, jarang dipertontonkan dengan lugas ke publik.

Dengan nalar kerja kekuasaan yang otoritatif sebagaimana substansi pidato SBY sebagai primus inter pares Demokrat, memang mudah membersihkan partai dari aktivitas korup kader. Namun, sebagai partai dengan spektrum kepentingan kelompok yang luas, akan sulit bagi Partai Demokrat melakukan rekonsiliasi konflik dengan menguburkan narasi demokrasi yang ada di dalam partai. Selain soal elektabilitas partai yang prospektif karena vote feeding atau kontribusi elektoral oleh kekuatan figur SBY sebagai presiden, pengorganisasi partai yang cenderung demokratis sejauh ini adalah alasan Demokrat menjadi semacam melting pot party. Yaitu, partai yang dilihat sebagai tanah kebebasan bagi siapa pun untuk mengaktualisasi ide dan kepentingan politiknya sehingga mampu menarik kalangan aktivis pergerakan dan militer, pengusaha dan aktvis buruh, serta agamawan dan kelompok liberal.

Tapi memang, dalam pertarungan antagonistik, komunikasi elite tidak terjadi di dalam ruang-ruang lobi dan bilik-bilik negosiasi empat mata. Sebab, pluralitas kepentingan di dalam politik intraparty seperti yang sedang terjadi di Demokrat adalah sebuah conditio per quam atau kondisi inheren bagi partai sebagai sebuah organisasi kekuasaan-spektrum kepentingan yang luas di tubuh Demokrat sebagai partai gigantis yang menyerap banyak kepentingan sejak didirikan pada 2003-komunikasi elite justru terjadi melalui ruang-ruang publik dalam bahasa-bahasa semiotik dan kadang perseteruan yang sangat eksplisit. Begitu pun, sebagai partai penguasa, bukan sebuah kebutuhan, apalagi keharusan, bagi Demokrat untuk terus melakukan repetisi publikasi aib politik melalui konferensi pers setelah perundingan dan negosiasi kepentingan. Sebab, dalam pidato SBY yang berisi solusi dan poin-poin strategi

Page 112: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

political salvation atau penyelamatan politis bagi Demokrat, pesan yang tersurat menyimpan makna bahwa benar telah terjadi pertarungan.

Apa yang terjadi di tubuh Demokrat bisa jadi mengkonfirmasi teori elite klasik ala Vilfredo Pareto (1848-1923) bahwa governing elite atau elite yang memerintah dapat berkuasa karena menggabungkan sumber kekuasaan dengan kelicikan sebagai sebuah cara kerja politik. Akhirnya, ketika sengkarut partai pemerintah menjelma sebagai pertarungan antagonistik, publik bukan lagi sebuah ruled mass atau entitas yang hanya diperintah, melainkan lebih sekadar entitas pasif yang hanya dilihat secara krusial dalam tanggal pemungutan suara. *

Penulis: Arya Budi, Manajer Riset Pol-Tracking Institute

Page 113: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Kongres di-Luar ke-Biasa-an Partai Demokrat

Perkembangan politik intraparty PD menunjukkan bahwa KLB Bali mendatang akan digiring pada aklamasi dengan opsi yang ditentukan oleh Majelis Tinggi (MT). Tentu orang yang paling berkuasa akhirnya adalah SBY sebagai Ketua MT, bukan lagi kader atau konstituen daerah yang direpresentasikan oleh DPD dan DPC layaknya Kongres 2010 di Bandung. Akhirnya memang KLB Bali menjadi semacam Kongres (di Luar Kebiasaan) bagi Demokrat dan khalayak publik yang awalnya simpatik dengan mekanisme demokratis pada Kongres 2010.

Namun perkembangan politik intraparty yang dikontestasikan ke publik secara sporadis menunjukkan adanya tiga kluster wacana yang diputar oleh elite demokrat, yaitu wacana triangulasi faksi "MAS" Demokrat, wacana tumbal politik, dan wacana zero sum game.

Terkait dengan kluster wacana MAS Demokrat adalah munculnya beberapa orang kader internal partai yang secara pribadi siap maju berdasarkan pemetaan triangulasi faksi "MAS" sebelumnya. Yaitu faksi Marzuki yang ditampilkan oleh Marzuki Alie dan Max Sopacua, faksi Anas yang ditampilkan dengan kesiapan Saan Mustopa dan Tridianto, serta faksi SBY yang ditunjukkan dengan kesiapan Jero Wacik dan Syarifuddin Hasan. Sedangkan di luar kader "MAS" Demokrat tersebut, ada beberapa orang kader yang disebut sebagai tumbal politik namun tidak siap. Dalam hal ini, ada dua kelompok yang menjadi tumbal politik. Pertama adalah kelompok tumbal Istana alias menteri Demokrat (Amir Syamsuddin, Roy Suryo, dan E.E. Mangindaan). Sedangkan kelompok kedua adalah orang-orang yang ditumbalkan untuk mengacaukan konsolidasi masing-masing kepentingan faksi, seperti Ani, Toto Riyanto, dan Soekarwo.

Sedangkan pada saat yang sama, kader Demokrat juga melempar wacana ada satu kelompok lagi yang dianggap mampu mendamaikan dengan mekanisme kompetisi zero sum game atau pertarungan dengan kekalahan masing-masing pihak. Orang-orang dalam wacana ini yang dapat mendamaikan paling tidak faksi M dan faksi A, namun menguntungkan faksi S, orang-orang yang masuk wacana politik ini yaitu Pramono Edhie, Mahfud Md., Djoko Susilo, dan Gita Wirjawan.

Dengan kata lain, triangulasi faksi "MAS" Demokrat adalah aktor-aktor krusial yang akan mewarnai dan menentukan proses dan hasil KLB. Di titik ini, terdapat dua kemungkinan terhadap triangulasi faksi ini. Pertama, KLB akan berjalan sesuai dengan gagasan aklamasi jika terjadi konsolidasi antar-faksi, terutama Marzuki cs dan SBY cs menjelang KLB. Di sisi lain, faksi M adalah kelompok yang paling bisa berdamai karena tidak berada dalam pertentangan biner SBY-Anas. Artinya, faksi M berpotensi sebagai faktor determinan

Page 114: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

konstelasi KLB karena berpotensi merapat ke SBY ataupun Anas. Kedua, melihat perkembangan yang ada, kecenderungan diaspora kader dan elite sangat kuat yang dapat dilihat dengan kesiapan Max, Tri, dan Jero yang mengaburkan konsolidasi masing-masing fraksi. Demokrat yang pada 2010 dikembangkan dengan nalar demokrasi akan bersambut gayung dengan sunatullah politikus untuk berkuasa.

Selain dua skema antara konsekuensi atas kemungkinan konsolidasi faksi menjelang KLB dan kecenderungan diaspora faksi baru-baru ini, konstelasi KLB hanya akan bermain pada wacana yang pertama atau wacana MAS Demokrat, karena wacana tumbal politik dan wacana zero sum game akan berlaku pasif. Sedangkan orang-orang yang terlibat dalam wacana "MAS" Demokrat akan berlaku aktif. Sementara itu, hampir tiga faksi dalam perkembangan yang ada mengalami diaspora.

Faksi Anas mengalami diaspora, karena hilangnya sumber legitimasi dari Anas sebagai ketua umum untuk mengamankan dirinya masuk DCS atau struktur kepengurusan partai/parlemen yang strategis. Plotting politikus di Demokrat akan ditentukan oleh MT di bawah veto SBY, baik di level intraparty (kepengurusan), parlemen, maupun kabinet. Hal inilah yang menjelaskan terjadi diaspora faksi karena setiap orang berusaha mengamankan diri atau mengambil risiko sekaligus dengan menyatakan kesiapan maju sebagai ketua umum.

Sedangkan faksi Marzuki adalah sebentuk innocent group yang berpotensi memainkan konstelasi KLB. Namun, karena jejaringnya yang lemah, baik di level daerah maupun pusat-karena Marzuki selama periode 2010-2013 tidak memainkan plotting veto terhadap politikus Demokrat-faksi ini juga mengalami diaspora yang ditunjukkan oleh kesiapan Max yang awalnya membangun wacana Marzuki.

Faksi SBY yang paling mempunyai porsi kekuasaan paling besar dalam plotting veto pasca-Anas karena, selain secara kultural, gerbong ini adalah yang paling dominan dalam komposisi MT saat ini. Sehingga gagasan pengamanan menjadi logis dengan usaha Cikeas untuk melakukan prakondisi aklamasi dengan memastikan kepatuhan DPD melalui pernyataan yang harus ditandatangani soal keputusan-keputusan yang diambil oleh MT. Namun SBY akan berpotensi menjadi common enemy bagi faksi M dan faksi A jika tidak melakukan prakondisi sebelum KLB, seperti negosiasi skema posisi kepengurusan yang menempatkan faksi M dan faksi A pada taraf yang akomodatif.

Sedangkan membaca pergerakan politik yang ada dengan melihat munculnya statemen kesiapan dari enam orang yang masuk wacana "MAS" Demokrat, maka usaha aklamasi dalam KLB akan semakin kuat karena diaspora faksi tersebut berkontribusi pada rapuhnya kekuatan besar dan lemahnya provokasi politik di internal Demokrat. Di sisi lain, faksi M cenderung merapat ke SBY.

Walhasil, dengan pemetaan seperti ini, KLB menjadi sebentuk kongres di luar kebiasaan yang tentu akan menciptakan model struktur kekuasaan yang sama sekali baru di dalam Partai Demokrat. Artinya, hal ini akan menggiring pada dua kemungkinan ekstrem sebagai

Page 115: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

sebuah healing path (jalur penyelamatan) ataupun disaster path (jalan kehancuran) bagi Demokrat jika polar-polar kekuatan politik yang ada tidak dinegosiasikan dengan baik. *

Arya Budi,

PENELITI DAN ANALIS POLITIK POL-TRACKING INSTITUTE

Sumber: http://koran.tempo.co/konten/2013/03/26/305014/Kongres-di-Luar-ke-Biasa-an-Partai-Demokrat

Page 116: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Antara Dilema dan Urgensi Konvensi Partai

Konvensi adalah bentuk kandidasi eksekutif (baca: biasanya presiden) secara terbuka dengan variasi derajat pelibatan kader atau publik yang berbeda-beda. Richard S. Katz (The Problem of Candidate Selection and Models of Party Democracy, 2001) dalam bahasa yang lain menyatakan bahwa salah satu dari empat fungsi yang berkorelasi dengan kandidasi (terbuka) adalah refleksi perwajahan preferensi politik oleh publik. Artinya, dalam silogisme politik yang simpel: partai yang mempunyai kecenderungan tertutup dalam melakukan proses seleksi kandidat tidak mampu merefleksikan perwajahan publik. Dan yang muncul adalah perwajahan elite partai, karena majunya seorang kandidat partai untuk kursi jabatan publik didasari pada selera elite partai. Muara atas hal ini fatal: kandidat yang muncul dipaksakan agar diterima publik melalui fatamorgana figur dan simulacrum campaign (kampanye manipulatif). Hal inilah yang menjelaskan turbulensi (baca: evaluasi kandidat presiden) di beberapa partai seperti Partai Golkar, sementara nama kandidat sudah dideklarasikan. Singkatnya, konvensi yang digagas PD bisa berakhir sama jika derajat pelibatan di dalam memilih capresnya hanya berputar di kalangan elite (ketua DPD dan DPC, misalnya), karena kandidat hanya merefleksikan selera elite minus publik.

Melihat kultur kekuasaan dan pola konstelasi partai yang masih berpegang pada kuasa para patron partai, secara internal wacana konvensi bisa berakhir seperti pengalaman Golkar pada Pemilu 2004. Wiranto sebagai pemenang konvensi Golkar justru kalah dalam pilpres (putaran pertama), sedangkan Jusuf Kalla-yang kalah dalam konvensi-justru menang sebagai cawapres dengan capres SBY. Ini akibat dua hal: terbelahnya konsolidasi partai pasca-konvensi dan selera elite Golkar tak merefleksikan selera konstituen, apalagi publik pemilih secara umum.

Dalam pengalaman pengorganisasian partai-partai di dunia, ada tiga jenis demokratisasi dalam seleksi kandidat. Pertama adalah konvensi tertutup, yaitu partai politik menyelenggarakan pemilihan internal yang hanya bisa diikuti oleh anggota partai di seluruh daerah secara nasional. Kedua adalah konvensi terbuka, yaitu partai politik menyelenggarakan pemilihan untuk menentukan kandidat yang akan diusungnya dengan cara mengikutsertakan semua pemilih tanpa harus melihat keanggotaan partai. Dan ketiga adalah konvensi-kongres, yaitu partai membuka proses pemilihan kandidat di dalam rapat umum partai. Ada dua variasi dalam model konvensi-kongres ini. Pertama, semua anggota partai berhak hadir untuk memberikan suara dalam penentuan kandidat. Kedua, internal voters (anggota partai) hanya diwakili oleh delegasi atau selected voters seperti kantor cabang partai politik. Singkat kata, tidak satu pun partai di Indonesia mengadopsi seleksi kandidat demokratis dari variasi model tersebut.

Page 117: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Alhasil, ada empat kendala pokok yang menjelaskan ketabuan politik dalam kandidasi presiden terbuka di Indonesia. Pertama, sistem multi-partai di Indonesia (pluralism extreme) menciptakan segmentasi sosial yang bersifat cair dan terpencar ke banyak kutub politik. Sehingga konvensi atau proses seleksi kandidat terbuka sebuah partai belum tentu menarik bagi kebanyakan publik, karena kekuatan politik yang terbagi ke banyak kutub politik akan saling bersahutan dalam publisitas media yang menjadikannya tak terdengar jelas. Konvensi partai yang kuat dalam tradisi politik di Amerika terjadi karena sistem kepartaian berada dalam skema oposisi biner. Adanya dua kutub politik yang dominan dan kuat (Demokrat dan Republik) mengkristal menjadi pembilahan sosial yang akhirnya memunculkan tuntutan publik untuk melakukan kandidasi secara terbuka, karena kontestasi di dalam internal partai berbobot seimbang dengan kontestasi di luar versus partai lawan.

Kedua, banyak politikus partai di Indonesia belum cukup dewasa untuk menghadapi munculnya faksionalisasi politik sebagai sebuah keniscayaan di dalam organisasi partai. Penolakan sejumlah elite politik untuk menyelenggarakan konvensi atau mekanisme demokratis di tubuh partai di media beberapa hari ini lebih disebabkan oleh kekhawatiran akan munculnya konflik internal.

Ketiga, adanya eksklusivitas di dalam partai politik. Eksklusivitas ini menyangkut budaya politik di tubuh lembaga partai. Partai cenderung dikelola secara sentralistis, sehingga keputusan politik dan penentuan kandidat partai berada di bawah satu atau beberapa tangan elite partai di level pusat. Eksklusivitas inilah yang memunculkan tradisi konstelasi politik nasional: ketua umum partai adalah tiket paling efektif untuk mendapatkan kursi calon presiden. Paul Pennings dan Reuven Y. Hazan dalam Democratizing Candidate Selection: Causes and Consequences (2001) menegaskan bahwa ada banyak bentuk demokratisasi dalam metode seleksi kandidat, dan perbedaan bentuk tersebut sangat terkait dengan inklusivitas ruling elite dan derajat sentralitas dalam metode (struktur dan kultur) seleksi kandidat.

Keempat, kita menemui political disorder dalam kebanyakan publik (pemilih) Indonesia. Artinya, pemilih di Indonesia cenderung tidak mengekspos afiliasi politiknya secara terbuka, karena menjadi simpatisan partai masih banyak dilihat sebagai sebuah aib politik dan sosial. Di sisi lain, menunjukkan preferensi politik secara terbuka masih dinilai sebagai ketabuan sosial. Alhasil, karena preferensi politik sangat berjarak dengan perilaku personal dan sosial, asumsi dasarnya adalah kandidasi terbuka menjadi tidak penting bagi publik pemilih.

Namun, bagaimanapun juga, wacana eksperimentasi politik dengan kandidasi yang demokratis seperti konvensi partai menjadi penting dalam roadmap demokratisasi di Indonesia. Demokratisasi partai berpotensi dapat membuka lorong kandidasi dari otoritas veto seorang ruling elite dalam struktur kekuasaan partai. Dan lambat laun akan menumbangkan postulat klasik Robert Mitchels (1911) bahwa dalam setiap organisasi, khususnya organisasi politik, selalu ada oligarki di dalamnya. Sudah barang tentu publik-pemilih Indonesia yang semakin cerdas memerlukan partisipasi politik yang lebih adil di luar tanggal pemungutan suara. *

Page 118: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

ARYA BUDI,

PENELITI DAN ANALIS POLITIK POL-TRACKING INSTITUTE

http://koran.tempo.co/konten/2013/04/16/307134/Antara-Dilema-dan-Urgensi-Konvensi-Partai

Page 119: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Kepemimpinan Politik Pasca Yudhoyono

Secara umum, situasi yang terjadi di Partai Demokrat (PD) juga berlangsung di partai besar lain dan partai menengah. Pola kontestasi ini menentukan kepemimpinan politik Indonesia jangka pendek hingga 2019, dan sangat dimungkinkan dalam jangka menengah.

Dua Pola Kontestasi Politik

Pertama, kegagalan generasi “kedua” era Reformasi menjadi elite yang berkuasa, paling tidak melalui Pemilu 2014. Generasi ini adalah kelompok muda dibandingkan generasi “pertama” era Reformasi, seperti Wiranto dan Yudhoyono, yang berlatar belakang militer; serta Abdurrahman Wahid, Megawati, Amien Rais, dan Akbar Tandjung yang berlatar belakang aktivis dan politisi. Generasi kedua merupakan aktivis, intelektual publik, dan pimpinan organisasi mahasiswa di tingkat nasional pada 1998.

Kontestasi politik antara generasi pertama dan generasi kedua juga terjadi setelah Revolusi Kemerdekaan 1945. Saat itu, generasi pertama didominasi intelektual berpendidikan Belanda seperti Soekarno, Hatta, dan Sjahrir. Sementara generasi kedua terwakili kelompok tentara seperti Jenderal Soedirman dan tokoh kiri muda seperti DN Aidit dan Njoto.

Benedict Anderson di dalam Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance, 1944-1946, menjelaskan lahirnya kelompok tentara dalam jumlah besar --yang merupakan kekuatan baru-- yang dilatih pemerintah pendudukan Jepang. Mereka, secara umum, berusia sangat belia serta memiliki latar belakang pendidikan dan sosial-ekonomi beragam.

Ketegangan antara generasi pertama dan kedua pascakemerdekaan kerap terjadi. Selama sekitar 20 tahun, generasi pertama--yang direpresentasikan oleh Soekarno--berhasil mengendalikan kepemimpinan politik. Generasi kedua--yang didominasi perwira tinggi TNI AD dan elite Partai Komunis Indonesia--menguat posisinya pada tahun 1960-an dan mencapai puncaknya ketika Jenderal Soeharto merebut kepemimpinan politik pada tahun 1965-1966.

Saat ini, generasi kedua era reformasi menghadapi stagnasi peran di tiga parpol besar, yakni PD, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, dan Partai Golkar. Anas Urbaningrum sebagai ketua umum PD berhenti, yang kemudian digantikan Yudhoyono dan dibantu para tokoh senior PD. Hal serupa terjadi di parpol menengah. Pengecualian dapat ditemukan pada Partai Kebangkitan Bangsa. Muhaimin Iskandar mengendalikan kepemimpinan partai secara riil. Namun, pada saat bersamaan, PKB tertatih-tatih mempertahankan basis elektoralnya.

Situasi kedua adalah keengganan generasi pertama era Reformasi untuk melembagakan demokrasi internal di parpol. Terdapat paradoks, demokrasi secara liberal dijalankan di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten, tetapi titah personal masih menjadi kuasa di

Page 120: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

internal parpol. PD merupakan contoh konkret. Secara faktual, Yudhoyono telah menerapkan demokrasi “terpimpin” di dalam PD. PD saat ini tak lebih dari personalisasi Yudhoyono.

Anderson (1972) menjelaskan bagaimana dalam budaya Jawa, yang sangat memengaruhi politik Indonesia, pihak yang lebih muda harus menghormati yang lebih tua. Tak terlampau penting apakah kepatuhan dan penghormatan itu dilakukan dengan tulus atau tidak. Dalam konteks ini, kecil kemungkinan generasi kedua era Reformasi berani mengambil kepemimpinan politik tanpa restu generasi pertama, kecuali dalam kondisi yang luar biasa seperti revolusi.

Politik Pasca-Yudhoyono

Kelemahan generasi kedua era reformasi menjadi penyebab situasi di atas. Pertama, minimnya kemampuan dalam menggalang jaringan dan pendanaan untuk berebut pengaruh di parpol, termasuk di tingkat dewan pimpinan daerah dan dewan pimpinan cabang (DPC). Kedua, terbatasnya basis elektoral mereka dibandingkan generasi pertama.

Sebelum memiliki masalah hukum, Anas sebetulnya berada di jalur yang “benar” untuk melawan situasi itu. Tanpa restu Yudhoyono, dia terpilih menjadi ketua umum PD pada 2010. Sejak itu, dia memperkuat jaringan hingga ke tingkat DPC dan menggalang dana dengan otoritasnya sebagai ketua umum tanpa bergantung kepada Yudhoyono sebagai patron.

Apa yang akan dilakukan generasi pertama pada tahun 2014 dan setelahnya? Generasi pertama Reformasi masih akan menjadi elite yang berkuasa pada 2014-2019. Kecil kemungkinan generasi kedua mampu mendobrak kuasa para seniornya. Setelah itu, generasi pertama cenderung akan mewariskan kekuasaan kepada loyalis dan keluarga. Namun, pengalaman pada 1960-an dan 1990-an menunjukkan, cara ini sulit berhasil karena penerimaan publik yang rendah dan adanya resistansi elite.

Maka, pihak yang berpotensi menjadi elite yang berkuasa setelah 2019 bukanlah loyalis generasi pertama. Generasi kedua di dalam lingkar kekuasaan juga akan layu sebelum berkembang.

Ada dua tipologi kelompok yang bakal menguasai kepemimpinan politik di tahun 2019. Pertama, para kepala daerah yang sukses membuktikan integritas dan kredibilitas kepemimpinannya. Kedua, kelompok muda, antara lain intelektual dan pengusaha yang kini "menjaga jarak" dengan kekuasaan dan menunjukkan kredibilitas konkret di jalur nonpolitik.

Tata Mustasya ; Peneliti Senior Pol-Tracking Institute;

Ketua Yayasan Nusantara Emas

KOMPAS, 13 April 2013

Page 121: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Menimbang Konvensi Partai

Sehingga, untuk menghindari gagalnya penyelamatan partai, konvensi partai dalam pencapresan 2014 menjadi pilihan krusial.Dalam nalar founding patron, wacana konvensi partai yang dilempar oleh SBY sebagai orang yang paling berkuasa di PD dan di republik ini menjelaskan empat alasan atau motif politik krusial. Pertama, setelah sadar melakukan okupasi politik dengan menduduki fungsi ekskutif, legislatif, dan yudikatif sekaligus di dalam partai dengan empat posisi puncak struktur partai, gagasan konvensi penting untuk membersihkan klaim otoriter dari partai yang bergerak demokratis pada Kongres Bandung 2010 lalu. Kedua, tidak adanya stock figur. Ketiga, SBY tidak mau lagi menurunkan Demokrat melalui mekanisme ‘restu’ yang kini dimilikinya baik secara kultural dan struktural secara total. Keempat, konvensi menjadi alternatif internal yang berdampak eksternal, yaitu untuk menciptakan momentum atensi publik secara positif terhadap Partai Demokrat.

Namun yang perlu kita pahami dalam skala refleksi kepartaian Indonesia yang lebih luas, paling tidak ada dua catatan penting untuk melihat diskursus konvensi partai dalam kandidasi capres. Pertama, konvensi dalam system kepartaian multipartai ekstrem seperti di Indonesia hanya relevan bagi partai yang memperoleh persentase suara dua digit atau diatas 10%. Selain soal relevansi dengan kekuatan atau bargaining partai dalam mengusung capres, partai dengan kekuatan elektoral yang rendah--katakanlah di bawah 10%--akan sulit mendapatkan atensi publik dan akan tersaingi oleh diskursus atau isu politik yang dilempar oleh partai dengan kekuatan elektoral lebih besar atau diatas dua digit.

Sebagai misal, salah satu partai di Korea Selatan yang menjajal konvensi partai pada 2011 lalu mendapatkan atensi publik karena sistem kepartian multipartai sederhana (tidak lebih dari 5 partai) sehingga mempunyai cukup kekuatan elektoral untuk mengambil atensi publik.

Kedua, kultur politik di Indonesia sejak merdeka (pemilu 1955) hingga kini menunjukkan bahwa justru presiden yang melahirkan partai. Dalam arti bahwa orang kuat yang berpotensi menjadi presiden adalah raison d’etre lahirnya partai politik. Artinya, jika PD atau partai apapun yang melampaui perolehan suara dua digit berhasil mengadakan konvensi terbuka (kombinasi preferensi elit politik dan preferensi publik-pemilih), maka partai tersebut akan membalikkan sejarah kepartaian sejak Indonesia dideklarasikan sebagai negara. Sebabnya, partai yang melahirkan presiden, bukan presiden yang melahirkan partai sebagaimana pola umum sejak dulu.

Konvensi adalah bentuk kandidasi eksekutif (baca: biasanya presiden) secara terbuka dengan variasi derajat pelibatan kader atau publik yang berbeda-beda. Ada tiga jenis demokratisasi dalam seleksi kandidat yang jamak disebut konvensi ini. Pertama adalah konvensi tertutup, yaitu partai politik menyelenggarakan pemilihan internal yang hanya bisa diikuti oleh

Page 122: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

anggota partai di seluruh daerah secara nasional. Kedua adalah konvensi terbuka, yaitu partai politik menyelenggarakan pemilihan untuk menentukan kandidat yang akan diusungnya dengan cara mengikutsertakan semua pemilih tanpa harus melihat keanggotaan partai. Dan ketiga adalah konvensi-kongres, yaitu partai membuka proses pemilihan kandidat di dalam rapat umum partai. Ada dua variasi dalam model konvensi-kongres ini, pertama, semua anggota partai berhak hadir untuk memberikan suara dalam penentuan kandidat. Kedua, internal voters (anggota partai) hanya diwakili oleh delegasi atau selected voters seperti kantor cabang partai politik. Singkat kata, tidak satupun partai di Indonesia mengadopsi seleksi kandidat demokratis dari variasi model tersebut.

Dalam hal ini, Richard S.Katz (2001) dengan bahasa yang lain menyatakan bahwa salah satu dari empat fungsi yang berkorelasi dengan kandidasi (terbuka) adalah refleksi perwajahan preferensi politik oleh publik. Artinya, dalam silogisme politik yang simpel: partai yang mempunyai kecenderungan tertutup dalam melakukan proses seleksi kandidat tidak mampu merefleksikan perwajahan publik. Dan yang muncul adalah perwajahan elit partai karena majunya seorang kandidat partai untuk kursi jabatan publik didasarkan pada selera elit partai.

Muara atas hal ini fatal: kandidat yang muncul dipaksakan agar diterima publik melalui fatamorgana figur dan simulacrum campaign (kampanye manipulatif). Hal inilah yang menjelaskan turbulensi (baca: evaluasi kandidat presiden) di beberapa partai seperti Partai Golkar sementara nama kandidat sudah dideklarasikan. Singkatnya, konvensi yang di gagas PD bisa berakhir sama jika derajat pelibatan di dalam memilih capresnya hanya berputar di kalangan elit (ketua DPD dan DPC misalnya), karena kandidat hanya merefleksikan selera elit minus publik.

Di sisi lain, melihat kultur kekusaan dan pola konstelasi partai yang masih berpegang pada kuasa para patron partai, secara internal wacana konvensi bisa berakhir seperti pengalaman Golkar pada pemilu 2004. Wiranto sebagai pemenang konvensi Golkar justru kalah dalam pilpres (putaran pertama) sedangkan Jusuf Kalla yang kalah konvensi justru menang sebagai cawapres dengan capres SBY, akibat dua hal: terbelahnya konsolidasi partai pasca-konvensi dan selera elit Golkar tak merefleksikan selera konstituen apalagi publik pemilih secara umum.

Akhirnya, diskursus konvensi hanya menjadi mubazir bagi partai akibat biaya politik (transaksi yang terjadi inter-elit) dan biaya operasional, jika konvensi sebagai conceptual term tidak seperti yang publik bayangkan. Jelasnya, pelibatan publik (baik anggota/simpatisan maupun publik-pemilih) melalui election yang diselenggarakan partai menjadi penting daripada sekedar selection yang berputar di elit. Publik pemilih perlu wacana yang autentik daripada sekedar ‘bola liar’ yang dilempar.

Oleh: Arya Budi

(Manajer Riset Pol-Tracking Institute, Kandidat Arryman Fellow Northwestern University, USA)

Page 123: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2013/04/13/ArticleHtmls/Menimbang-Konvensi-Partai-13042013006021.shtml?Mode=1

Page 124: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Partai Gagap & Para Orang Kuat

Pada saat yang sama, politisi kebingungan untuk mengamankan kepentingannya tetap mendapatkan akses sumber daya negara baik berupa posisi, kursi, dan ‘gaji’. Alhasil, semakin banyak kita menyaksikan perpindahan—atau bahkan eksodus—politisi dari satu partai ke partai lainnya. Hampir semua partai akhirnya mengalami ‘tukar-tambah’ dan bahkan ‘tukar-kurang’. Bahkan dalam catatan Pol-Tracking Institute, Partai NasDem, Hanura, dan Gerindra adalah partai dengan tingkat penerimaan perpindahan politisi paling tinggi secara berturut-turut.

Kegagapan partai dan kebingungan politisi menjelang pemilu 2014 menunjukkan bahwa Indonesia tengah berada dalam the age of catch-all party. Yaitu sebuah periode politik dimana partai tidak lagi peduli dengan ideologi, platform, dan program baik sebagai organisasi politik maupun linkage actor (aktor penyambung) yang mentransformasikan kepentingan pemilih ke dalam kebijakan negara. Sebuah era dimana partai berusaha memakan semua jenis pembilahan sosial yang ada baik agama, kelas sosial, ras, dan profesi (Otto Kirchheimer, 1974). Konsekuensi dari abad kepartaian ‘pemakan semua’ ini adalah pragmatisme politik yang muncul dalam wujud rekruitmen calon legislatif terbuka dan head hunting tokoh publik menjelang batas pengajuan calon legislatif. Nalar partai berubah menjadi lembaga lapangan kerja dari yang secara ideal dibayangkan publik sebagai linkage atau penghubung antara demos dan cratos.

Klingemann, Hofferbert, dan Budge (1999) dalam studinya di 10 negara demokratis di Eropa Barat dan Amerika Utara, menyatakan bahwa pada dasarnya program atau platform partai berpengaruh terhadap kebijakan yang diambil negara. Namun lanjut mereka, para elit partai sebenarnya tidak terlalu peduli dengan kebijakan sehingga mengakibatkan partai mempunyai keluesan untuk bergerak dalam kotinum Kiri dan Kanan, apapun kebijakan akan didukung selama mampu berkontribusi elektoral untuk memposisikan elit pada kursi yang diinginkan. Indonesia sebagai ‘negara demokrasi baru’ sedikit banyak menganfirmasi fakta di negara-negara demokratis Eropa tersebut apalagi sistem kepartaian kita tidak mengenal Kiri-Kanan.

Hal ini terjadi karena para ‘orang kuat’ atau strongperson yang pada awalnya merapat-mengitari aktor tunggal era Soeharto, kini berpendar terdiaspora ke banyak partai di tengah tuntutan iklim demokrasi. Alhasil, fakta politik yang kita saksikan saat ini adalah pelembagaan personal menjadi sebentuk partai politik. Sebagai misal, rusaknya peran dan fungsi struktur lembaga (baca:eksekutif, legislatif, yudikatif) di dalam Partai Demokrat pasca Kongres Luar Biasa adalah akibat despotisme partai di bawah kuasa satu tangan SBY. Atau kemunculan Hanura dan Gerindra pada 2009 dan NasDem menuju 2014 adalah tak lebih dari pelembagaan personal melalui mobilisasi ruled elite akibat turbulensi antar ruling elite sebelumnya. Dan kini platform dan program sosial Partai Golkar adalah refleksi kepentingan

Page 125: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

figur Ketua Umum yang berniat teguh dalam kandidasi presiden. Sehingga akhirnya, program Golkar adalah program Aburizal Bakrie.

Para ‘orang kuat’ ini mampu meyakinkna publik bahwa terdapat partai politik dan massa simpatisan yang menginginkan dirinya tampil. Tujuannya sederhana namun krusial: mengakses dua sumber penting dari negara: power dan resource. Power menjadi penting di dalam sistem pemerintahan presidensial di Indonesia karena presiden mempunyai kuasa besar (kepala negara dan pemerintahan) dan sulit untuk dijatuhkan (pasal 7 UUD 1945), bahkan bebas dari kritik (baca:penghinaan) dalam diskursus RUU KUHP. Sedangkan resource negara adalah entitas yang masih bisa diakses melalui skema pembiayaan APBN dan penempatan posisi kroni di dalam jabatan-jabatan strategis seperti menteri, ditjend, atau komisaris BUMN dan lembaga negara lainnya dengan potensi dana yang besar.

Padahal menjadi presiden tidaklah gampang. Menurut Richard Neustadt (1919-2003), seorang penasihat tersohor presiden Amerika Serikat dari era Truman, Kennedy, dan Johnson, melalui bukunya Presidential Power (1960) mengatakan bahwa bagaimanapun juga presiden selalu diharapkan untuk “melakukan lebih” bahkan melebihi aturan atau otoritas yang mengijinkan dia melakukan sesuatu.  Kadang kondisi figure heavy seperti ini menciptakan megalomania politik. Artinya, dalam analogi yang agak sarkastik, orang gila tak akan pernah menyadari bahwa dirinya gila, bahkan menganggap dirinya waras sementara orang di luar dirinya adalah gila. Sekalipun riwayat kepemimpinan nasional sejak transisi 1999 menyebut bahwa presiden yang melahirkan-merawat partai, bukan partai yang melahirkan presiden, yaitu: Gus Dur lahirkan PKB, Mega dengan PDIP, dan kini SBY memegang penuh PD.

Alhasil, partai politik di Indonesia tidak diukur melalui derajat mewakili atau representativeness, jelasnya partai diukur dengan derajat kesetiaan elit terhadap patron partai atau despotism degree. Apa yang dikata ‘Bapak’ atau ‘Ibu’ maka itulah yang benar sekalipun bekerjanya informal power bertentangan dengan AD/ART partai dan kadang menjadi keputusan mengikat tanpa surat keputusan, cukup dengan SMS misalnya.  Partai di Indonesia menjadi partai despotik karena partai sebuah pelembagaan (kepentingan) orang kuat, dan elit mengerubungi orang kuat tersebut hingga menjadi partai politik. Perilaku partai (baca: sikap dan kebijkan politik) tidak dibimbing oleh konstitusi partai, melainkan oleh perilaku para orang kuat di dalam partai. Pada banyak kasus, partai menjadi gagap lalu politisi pun bingung antara setia pada kehendak patron yang menyimpang atau konstitusi partai makin tak relevan.

Kondisi tersebut berpotensi menciptakan militant ignorance (Scott Peck, 1978) sehingga semakin banyak orang-orang yang setia untuk tidak peduli dengan kelembagaan partai. Namun rakyat barang kali menaruh hati terhadap beberapa figur yang memunculkan harapan, entah berpartai maupun tidak. Partai perlu berbenah dan orang kuat perlu mengalah karena seburuk apapun partai dimata publik, partai menjadi keniscayaan yang dibutuhkan oleh demokrasi.

Arya Budi

Page 126: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

(Peneliti dan Analis Politik Pol-Tracking Institute)

http://koran.tempo.co/konten/2013/05/02/308771/Partai-Gagap-dan-Para-Orang-Kuat

Page 127: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Asimetrisme PKS dan Koalisi Semu

Bagi PKS, klaim partai dakwah dan partai bersih terlampau berat sejak skandal korupsi impor daging sapi serta isu-isu sensasional yang mengikutinya. Pada saat yang sama, Sekretariat Gabungan (Setgab) sebagai bentuk ‘pelembagaan’koalisi KIB II tak punya kuasa sanksi apapun tanpa prerogative presiden SBY. Akhirnya sikap kontra-SBY oleh PKS dan instabilitas koalisi KIB II dapat dilihat melalui dua titik pandang: 1) bentuk koalisi asimetris oleh partai anggota koalisi atau ‘zoom in condition’, dan 2) bentuk pseudo-coalition atau koalisi semu yang menjadi karakter koalisi partai pendukung pemerintahan SBY atau ‘zoom out condition’.

Jika polemik ini dilihat dalam zoom in perspective, kali ini sikap PKS kuat dimainkan oleh tiga "perwajahan" partai sekaligus (meminjam istilah Katz dan Mair, 1995): PKS sebagai organisasi (organization), PKS sebagai fraksi (legislative), dan PKS sebagai menteri (executive). Sikap politik asimetris PKS tidak hanya diekspresikan melalui parlemen, namun justru kuat diekspresikan partai sebagai organisasi dari level pusat sampai daerah. Pemasangan spanduk dan kampanye sikap lainnya adalah hal paling tampak di sini.

Ada beberapa alasan yang menjelaskan strategi koalisi asimetris PKS.Secara internal di dalam tatanan struktur organisasi PKS, sebenarnya memungkinkan petinggi teras partai menentukan sikap tanpa harus mendapatkan persetujuan musyawarah Majelis Syura partai yang beranggotakan 99 orang. Diktum yuridis soal sikap politik ini tercantum dalam AD/ART PKS pasal 12 ayat (4) huruf (g) dan huruf (h) yang kira-kira garis besarnya menyatakan bahwa Dewan Pimpinan Tingkat Pusat atau DPTP dapat menentukan sikap partai sesuai dengan anggaran dasar, anggaran rumah tangga, dan perundang-undangan yang berlaku. DPTP adalah badan pekerja teras partai yang dipimpin langsung oleh Ketua Majelis Syura dengan anggota Presiden Partai, Sekretaris Jenderal, Bendahara Umum, Ketua Majelis Pertimbangan, dan Ketua Dewan Syariah. Artinya, sikap PKS terkait penolakan kenaikan harga BBM oleh pemerintah terletak pada enam orang yang berada sebagai DPTP partai. Meskipun, kita mahfum dalam politik kepartaian selalu ada informal power yang bekerja di balik struktur formal partai.

Singkat kata, aturan main yuridis di internal itulah yang menjelaskan menteri dari PKS—Menkominfo, Mensos, dan Mentan—tampak bersikap asimetris dengan sikap partai sebagai organisasi dan fraksi di parlemen. Tidak ada satupun menteri yang masuk dalam jajaran struktur organisasi partai apalagi di jajaran eksklusif level DPTP. Namun, sebagaimana media memutar informasi, dua dari tiga menteri—Menkominfo dan Mensos—adalah anggota Majelis Syura partai. Artinya, ada dua asumsi politik yang dapat ditarik dari dualisme sikap PKS ini. Pertama, terjadi faksionalisasi politik di internal PKS antara anggota majelis syura dan DPTP partai yang mempunyai dasar yuridis menentukan sikap politik partai.

Page 128: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Kedua, justru terjadi konsolidasi politik untuk memisahkan partai di parlemen dan partai di kabinet sehingga sikap asimetris PKS sebagai partai koalisi adalah sebuah manuver politik. Secara ideal sebagai fatsun politik atas koalisi yang dibentuk, partai diharapkan simetris antara partai di parlemen dan di kabinet. Namun, PKS memisahkan kepentingan menteri dengan partai, artinya bagi PKS koalisi berarti ‘wakaf’ kader di kabinet sekalipun partai tetap mendapatkan insentif material dari penguasaan kursi di kabinet.

Lebih lanjut, kita juga perlu melihat PKS sebagai sebuah ‘jamaah’ gerakan politik Islam. Di dalam doktrin gerakan, PKS mengenal apa yang disebut dengan musyarakah al ijabiyah al banna’ah atau partisipasi positif (baca: koalisi yang bermanfaat) namun juga konstruktif (baca: kritik yang bermanfaat). Atau doktrin perihal tsiqah qiyadah yang mengharuskan jamaah tunduh patuh pada (keputusan) pemimpinnya. Artinya, sikap asimetris PKS antara organisasi, fraksi parlemen, dan menteri-partai kabinet mendapatkan legimitasi internal dengan doktrin ini sepanjang juga bermanfaat secara internal.

Sedangkan jika melalui zoom out perspective, pada dasarnya di dalam berberapa studi soal koalisi pemerintahan presidensial dengan multipartai (Scott Mainwaring 1992, Octavio Neto 2000, dan Michael Laver 2008), bergabungnya partai dengan kontrapetasi jatah (jumlah) dan pos (bidang) kementrian, memang hampir selalu mengalami anomali asimetris antara insentif partai di kabinet dan sikap partai di parlemen. Sekalipun, koalisi partai pemerintahan diasumsikan berkorelasi simetris antara partai koalisi di kabinet dan parlemen. Berbeda dalam koalisi sistem pemerintahan parlementer yang cenderung stabil, instabilitas koalisi dalam sistem pemerintahan presidensial terletak di tangan presiden sebagai episentrum determinan koalisi, bukan dalam nota kesepakatan koalisi.

Dalam sistem presidensial multipartai seperti Indonesia, jatah kursi menteri dari partai yang tersebar di 19 kementrian pada dasarnya hanya memberikan insentif elektoral kecil bagi partai politik. Berbeda dengan sistem parlementer dimana pos menteri dari partai koalisi mendapatkan insentif elektoral secara langsung karena kabinet di bawah Perdana Menteri berkorelasi simetris—dan sangat ditentukan—dengan sikap parlemen. Koalisi pemerintahan dalam sistem presidensial di Indonesia sebenarnya tidak secara langsung memberikan insentif elektoral, namun benar memberi insentif material besar bagi partai. Apalagi problem sistem pemerintahan ini didukung dengan fakta hasil studi bahwa hanya 4 dari 25 negara dengan demokrasi stabil adalah penganut sistem presidensial (Scott Mainwaring, 1990).

Pos menteri dalam koalisi presidensial seperti KIB II justru signifikan memberikan insentif material bagi partai dengan konsekuensi elektoral tak langsung. Logikanya sederhana. Pertama, menteri partai mempunyai otoritas untuk melakukan kebijakan pork barrel politics (politik alokasi anggaran negara) di kementriannya untuk mendistribusikan uang negara beberapa titik daerah dengan demografi pemilih potensial bagi partai.

Kedua, insentif material dilakukan melalui strategi fund rising partai yang mengambil income of office spoils (Gidlund, 1983) atau pendapatan hasil rampasan kursi jabatan. Insentif materi yang akhir-akhir ini jamak dibongkar KPK. Sebagai misal: kasus Hambalang di Kementerian

Page 129: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Pemuda dan Olah Raga (Demokrat) atau kasus daging sapi impor di Kementerian Pertanian (PKS). Singkat cerita, koalisi yang dilembagakan dengan Sekretariat Gabungan atau Setgab sejatinya adalah pseudo-institution atau sebentuk lembaga semu. Arah angin koalisi berhembus melalui determinasi presiden. Sistem koalisi inilah yang menjelaskan pembangkangan politik beberapa partai sebelumnya seperti Golkar, PKS, dan PPP dalam kasus Century, atau Golkar dan PKS dalam kasus interpelasi mafia pajak.

Akhirnya, ada tiga opsi politik koalisi dari instabilitas setgab yang diputar PKS kali ini, dengan memperhatikan karakter kepemimpinan SBY sejak 2004. Pertama, polemik koalisi akan berakhir anti-klimaks dimana tiga menteri PKS tetap dipertahankan SBY hingga 2014. Kedua, akan terjadi sanksi berkurangnya jatah menteri PKS di kabinet. Ketiga, seperti yang pernah dialami SBY (Menkopolhukam) pada 2003 dalam kabinet Megawati dulu: menteri PKS akan ‘dipaksa’ mundur secara gradual dengan tidak melibatkannya di dalam agenda-agenda kabinet. Namun apapun itu, publik hanya peduli output koalisi adalah program akselerasi kesejahteraan rakyat.

http://koran.tempo.co/konten/2013/07/02/314597/Asimetrisme-PKS-dan-Koalisi-Semu

Page 130: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Konvensi Setengah Hati Partai Demokrat

Tak bisa dipungkiri, wacana konvensi yang dibangun Partai Demokrat adalah sebuah strategi politik membangun atensi publik terhadap partai tersebut. Hal ini terjadi karena tiga slogan—bersih, cerdas, santun—yang dipromosikan SBY hampir tidak berlaku lagi bagi persepsi publik saat ini. Sulit bagi kita untuk percaya bahwa PD masih ‘tidak pada korupsi’, politik santun dan cerdas pun terasa kontradiktif melihat perseturuan dan komunikasi politik para politisi PD di media. Alhasil memang, konvensi adalah hal paling sederhana sekaligus solutif untuk memenuhi dua kebutuhan penting partai: simpati publik dan kandidat presiden penerus SBY.

Sayangnya, sekalipun politisi PD serempak mengatakan terbuka bagi siapapun (Koran TEMPO, 3 Juni 2013), mekanisme konvensi demokratis yang dibayangkan publik tetap berada di bawah kendali para oligarkh yang terlembaga dalam Majelis Tinggi (MT). Pada dasarnya, keputusan capres Partai Demokrat sesuai AD/ART (pasal 13, poin 5.a) hanya ditentukan oleh 9 orang Majelis Tinggi partai. Artinya, capres hasil konvensi—setelah melalui mekanisme penjaringan, pendaftaran, seleksi, kampanye, dan uji elektabilitas—tetap terletak pada preferensi elit melalui otoritas yang diberikan kepada 9 orang Majelis Tinggi partai. Kandidat yang lolos dalam konvensi PD akhirnya masuk dalam logika mandatoris elit partai. Konvensi PD menjadi semacam konvensi setengah hati.

Jika memang demikian, konvensi PD akhirnya serupa namun tak sama dengan konvensi Golkar pada 2003 silam yang akhirnya memenangkan Wiranto. Golkar (kepemimpinan Akbar Tandjung) dalam menyongsong pemilu presiden 2004, merealisasikan gagasan konvensi hanya dengan diikuti oleh elit partai politik di tingkat pusat dan daerah (provinsi dan kabupaten/kota) dengan proporsi bobot suara yang berbeda. Hasilnya jelas, Wiranto yang menang konvensi kalah dalam Pemilu presiden, sementara Jusuf Kalla yang kalah konvensi dan kemudian maju cawapres dengan SBY akhirnya menang pada 2004. PD akan bernasib sama jika mekanisme ‘uji publik’ via survei hanya menjadi pertimbangan minor dan sekedar penggaet atensi publik. Karena capres pilihan partai hanya merefleksikan preferensi elit minus publik.

Apalagi jika kita melihat konstelasi PD post-Anas, maka konvensi adalah piranti paling strategis bagi SBY untuk menutup peluang kepentingan politik kelompok ‘non-SBY’, karena determinasi konvensi hanya terletak pada dua pendulum: publik dan MT di bawah kendali SBY. Di sisi lain, terjadi diaspora faksi pasca-Anas.Namun, terlepas dari kritik mekanisme konvensi Partai Demokrat, kita harus jujur mengatakan bahwa konvensi dalam tataran ide adalah terobosan penting dalam roadmad konsolidasi demokrasi di Indonesia. Dalam sejarah politik kepartaian di Indonesia, kelahiran partai dan dinamika kepartaian selanjutnya justru disebabkan oleh presiden terpilih. Presiden yang melahirkan dan menentukan gerak dinamika partai politik, bukan justru sebaliknya:

Page 131: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Soekarno (PNI), Soeharto (Golkar), Gus Dur (PKB), Megawati (PDIP), dan SBY (PD). Padahal kelahiran partai adalah refleksi pembilahan sosial yang direpresentasikannya (Arendt Lijphart, 1969), sehingga jika mengikut gagasan konsosional demokrasi ala Lijphart tersebut maka presiden yang mengikuti ideology dan platform partai, bukan partai yang justru dibimbing presiden terpilih. Sejauh ini, tiket capres selalu otomatis dipegang oleh orang kuat (patron) partai sebagai investor terbesar partai baik karena genetik, logistik, maupun taktik.

Artinya, gagasan konvensi akan mengembalikan ide dasar ini. Karena struktur kekuasaan partai tidak lagi menggunakan legitimasi penuh ‘restu bapak’ atau ‘restu ibu’. Logika gagasan ini mirip seperti PDIP yang mulai membuka wacana pengusungan kandidat capres alternatif dari kalangan muda seperti Jokowi (Koran TEMPO, 29 Mei 2013). Hal ini mengubah logika kandidasi presiden selama ini: partai tak pernah melahirkan capres, tapi capres lah yang melahirkan dan merawat partai. Artinya, gagasan kandidasi non-patron menjadi mekanisme intra-party yang akan membalik pola kepemimpinan nasional dan logika politik kepartaian selama ini.

Selanjutnya, partai juga mempunyai kapasitas untuk melakukan injeksi ideologi, platform dan program melalui penguasaan kursi eksekutif, karena terjadi fatsun politik terhadap presiden terpilih dengan partai pengusungnya. Bukan seperti yang selama ini terjadi: nalar politik partai, slogan organisasi, dan kerja organisasi ditentukan oleh presiden dari partai.

Jika melihat korelasi konvensi dengan elektabilitas partai, konvensi akan menciptakan dua spektrum kemungkinan elektabiltias. Pertama, elektabilitas PD akan naik tak terlalu tinggi ketika konvensi hanya mempromosikan partai melalui pencakokan popularitas figur yang mengikuti konvensi. Kedua, elektabilitas PD akan naik signifikan jika konvensi adalah bentuk promosi program dan platform partai melalui pakta kesepakatan partai dengan calon peserta konvensi sebelumnya untuk membawa misi kepartaian.

Karena sejatinya secara teoritik berdasarkan pengalaman Amerika Serikat. Konvensi berfungsi untuk tiga hal: 1) memilih kandidat presiden yang paling kompatibel dengan partai dan publik, 2) mempromosikan program dan agenda partai sebagai institutional branding dalam tatanan sistem presidensial, dan 3) menjaga kohesi politik di internal partai melalui mekanisme yang menjadi kesepakatan elit partai.

Akhirnya, ada dua saran penting bagi PD. Pertama, preferensi elit melalui MT cukup terletak di awal saat melekukan seleksi terhadap calon peserta konvensi sehingga kandidat peserta konvensi adalah orang yang paling merfleksikan kepentingan PD. Artinya, secara kuantitas akan lebih baik tidak lebih dari tiga orang (dua atau tiga), baru setelahnya peserta terpilih melakukan kampanye konvensi dan berakhir dengan hasil pilihan publik tertinggi seperti 50+1 atau >30% tertinggi.

Kedua, jika tetap menggunakan mekanisme dengan MT diwakili tim independen partai berada di penjaringan awal dan MT di penentuan akhir, maka hasil survei harus dipublikasikan secara terbuka. Artinya, hasil survei atau poling publik akan berpotensi di

Page 132: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

tutup jika peraih tertinggi tidak sesuai dengan kepentingan elit partai (baca: SBY). Di titik ini, hasil preferensi publik harus dibuka kepada khalayak sehingga akan berfungsi ganda: 1) benar-benar menjadi bahan pertimbangan di MT, 2) menjadi bahan publik untuk mengukur tingkat kesesuaian hasil survei atau pengukuran hasil preferensi publik lainnya dengan keputusan MT.

Arya Budi

Manajer Riset Pol-Tracking Institute

http://koran.tempo.co/konten/2013/06/11/312437/Konvensi-Setengah-Hati-Partai-Demokrat

Page 133: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

PKS dan jebakan sistem kepartaian predatory

Setelah drama Partai Demokrat (PD) soal sengkarut Hambalang yang menyeret orang-orang penting di partai, kini sengkarut PKS soal daging impor yang ”menutup” kasus Hambalang mempunyai tipologi serupa tapi beda.

Pertama, kedua partai ini menjerat orang paling penting dalam struktur eksekutif partai (bendahara/mantan bendahara dan ketua umum/presiden). Kedua, orasi politik PD sebagai partai ”katakan tidak pada korupsi”, sejatinya sejajar dengan klaim PKS sebagai partai dakwah dan partai bersih. Namun, ada beberapa pembeda penting antara PD dan PKS. Faksionalisasi di PKS tidak sekuat di partai lain, apalagi kasus korupsi daging sapi justru menyebabkan faksionalisasi cenderung terkonsolidasi dalam logika partai sebagai organisasi kolektif. Faksionalisasi di PD yang kuat menyebabkan kasus kader adalah kasus individual, sementara bagi PKS, kasus kader cenderung disikapi sebagai kasus institusional.

Pembeda kedua, PKS tidak mempunyai penunggalan kekuasaan secara terpusat dalam pengelolaan partai. Sekalipun otoritas strategis ada di Majelis Syuro, otoritas organisatoris dan taktis tersebar dalam nalar struktur kuasa organisasi partai. Hal ini yang menjelaskan kasus korupsi di PKS dihadapi oleh partai, bukan saja oleh individu walaupun kausalitas faksionalisasi PD menjelaskan perbedaan ini. PKS termasuk partai yang terkonsolidasi bukan karena figur, namun doktrin. Hal ini berbeda dengan partai-partai lain, seperti PDIP yang terkonsolidasi oleh Megawati, PD oleh SBY, dan Golkar oleh Aburizal Bakrie.

Dalam struktur kekuasaan partai, biasanya faksionalisasi terkelola karena justru eksistensi orang kuat sehingga mampu mendamaikan atau juga memaksa faksi dan kader dalam satu suara. PKS adalah partai dengan relasi ikatan personal yang terinstitusionalisasi sebagai manifestasi doktrin. Padahal, secara organisatoris, PKS sebenarnya adalah partai dengan pendanaan internal yang kuat karena bekerjanya mekanisme voluntarisme anggota. Inilah yang disebut dengan kolektivisme-doktrin. Model kolektivisme-doktrin seperti ini memang akan menciptakan kekuatan yang solid secara internal karena didukung oleh tiga nalar penting: persaudaraan (emotional ties), agama (doctrine internalization), dan kelembagaan (organizational discipline). Namun, ketika kolektivisme ini ditempatkan pada konteks penyikapan kasus korupsi, maka akan sangat rawan dalam perspektif publik. Itu karena akan menciptakan persepsi kasus PKS sebagai corporative crime, kejahatan korupsi yang terkonsolidasi secara institutisonal. Akhirnya model kolektivisme-doktrin yang ditunjukkan oleh partai akan bergeser pada perilaku ashabiyah atau sebuah sikap fanatik akibat identitas individual yang terkait secara institusional, dan ideologis.

Page 134: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Prinsip kolektivitas di PKS merefleksikan apa yang dulu pernah dikatakan Hannah Arendt (The Origins of Totalitarianism, 1951) soal banalitas kejahatan (banality of evil) sebagai perilaku yang terjadi karena disiplin biroktarik organisasional dan kepercayaan pada tujuan akhir ”perjuangan”. Kolektivitas partai sebagai organisasi dalam konteks ini menjadi tidak relevan, karena kolektivitas menciptakan perilaku defensif terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di tengah persepsi publik atas kasus korupsi partai dan dukungan yang kuat terhadap KPK. Kejahatan korporatif yang diorganisasi partai— sebagaimana laporan Tempo edisi 20-26 Mei 2013—mempunyai nalar ”benar” secara internal (kelompok dan organisasi), namun ”salah” secara eksternal (hukum negara dan publik). Hal ini sama seperti gerakan teroris yang melakukan perampokan dan penjarahan untuk mendanai senjata dan peranti penghancur lainnya guna melancarkan aksi dalam logika berjuang di jalan Tuhan.

Namun, sekali lagi, publik dan logika negara jelas mengatakan hal ini adalah kriminal. Kekuatan organisatoris partai akhirnya justru menyeret kasus yang awalnya personal menjadi institusional. Kondisi ini menjadi sangat rawan karena akan menciptakan persepsi ”partai koruptif” daripada jika kasus korupsi dilokalisasi sebagai kasus individual. Sebagai misal, kontribusi doktrin kepartaian soal syiqah qiyadah bahwa pemimpin jamaah (kelompok) adalah orang paling suci. Hasilnya, bagi kader partai penangkapan petinggi dan pemanggilan orang-orang kuat partai adalah bentuk kriminalisasi. Tidak terjadi verifikasi dan koreksi internal terhadap perilaku ruling elite dalam partai Jika kita menengok sengkarut korupsi di tiga partai terakhir— Demokrat, Golkar, dan PKS—kasus partai meledak di media massa karena semua kasus tersimpul pada pucuk tertinggi kebijakan perputaran uang partai: Nazarrudin (bendahara umum PD) yang sudah menjadi terdakwa, Setya Novanto (bendahara umum Golkar) sekalipun baru disebut, dan Luthfi Hasan Ishaq (presiden dan mantan bendahara umum PKS). Uang menjadi modal penting, bahkan di atas ideologi dan platform. Herbert Alexander dalam Financing Politics: Money, Elections and Political Reform (2003) menyebutkan bahwa uang penting bagi politik karena sifat konvertabilitasnya sehingga dapat dipertukarkan dan dipindahtangankan untuk kebutuhan elektoral. Uang dapat digunakan untuk membeli dan memfasilitasi apa pun: barang, keterampilan, jasa manusia, pengendalian arus informasi, dan keputusan politik.

Akhirnya, kini kepemilikan uang bagi partai menjadi ukuran kekuatan politik, bahkan bagi partai dengan klaim partai paling ideologis sekalipun. Sejak lama, uang menjadi tracer element (elemen penjejak) tentang bagaimana kekuasaan dikelola, dan bagaimana agen-agen politik bekerja sebagaimana lembaga kepartaian. Dana politik belum termasuk bentuk-bentuk penggunaan anggaran negara untuk melahirkan kebijakan-kebijakan populis-pragmatis secara sektoral di setiap pos kementerian, (pork barrel politics). Seperti dana hibah, bantuan sosial, atau dana ”segar” selayak bantuan langsung tunai (BLT) yang dialokasikan lebih besar dan direncanakan sebagai satu paket kebijakan setiap menjelang pemilu. Ringkasnya, kasus PD dan PKS menjelaskan bahwa sekuat apa pun partai mengklaim diri bersih atau tidak pada korupsi, partai terjebak pada sistem kepartaian predatory karena pendanaan partai bekerja melalui mekanisme personal melalui triangulasi transaksi parlemen-istana-swasta. Golkar pun tak luput dari jebakan ini dengan pengungkapan kasus PON Riau yang menyeret orang penting dari kader Golkar, Gubernur Riau, dan juga ”menyentuh” bendahara partai. Namun,

Page 135: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

partai predator berbeda dengan predatory agent dalam nalar hayati kehidupan yang memberi keseimbangan melalui pengendalian populasi makhluk hidup dalam satu putaran rantai makanan.

Mengacu pada Douglas North (1981), karakter predatory merujuk pada agensi/kelompok atas sebuah grup atau kelas yang berusaha memaksimalkan pendapatan (income) bagi kepentingan kelompok tersebut melalui ”pengisapan” dan ”pemerasan” negara dan konstituen. Partai menjadi agen-agen predator yang mengoperasikan mekanisme pemangsa anggaran negara melalui pos-pos penting yang dimiliki di masing-masing kementerian. Jebakan sistem kepartaian predatory seperti ini terjadi karena dua simpul krusial. Pertama, koalisi partai pendukung pemerintahan terbangun melalui kesepakatan jatah kursi kementerian yang diharapkan simetris dengan dukungan partai di parlemen, namun tanpa menegosiasikan ideologi apalagi platform. Kedua, tidak adanya mekanisme yuridis yang memaksa lembaga kepartaian melakukan transparansi dan akuntabilitas keuangan secara terbuka. UU Pemilu No 8 Tahun 2012 hanya mengatur tiga hal: peserta pemilu, suara pemilu, dan kursi hasil pemilu. Kedua simpul ini mengakibatkan logika politik transaksional dan terbukanya ruang illegal budgeting. Akhirnya partai politik hanya bekerja pada dua ranah: ”kursi” dan ”gaji”, sementara itu partai minus pada ideologi, visi, dan aksi.

Arya Budi

Manajer Riset PolTracking Institute

http://nasional.sindonews.com/read/2013/05/30/18/744148/pks-dan-jebakan-sistem-kepartaian-predatory

Page 136: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Membongkar Partai Bayangan

Di balik ‘tahun kandidasi’ saat ini, kandidasi kursi eksekutif mungkin lebih menarik karena dua alasan. Pertama, panggung pilpres 2014 adalah panggung terbuka karena secara konstitusional incumbent kini absen, berbeda dengan 2004 (incumbent Megawati) dan 2009 (incumbent SBY). Kedua, nalar konstitusi Indonesia yang presidensial mengakibatkan jabatan presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan menjadi sangat kuat dan sekaligus ‘nikmat’ untuk diperebutkan.

Namun, baik kursi kandidat pileg maupun kursi kandidat pilpres sebenarnya berada di bawah kendali shadow party atau partai bayangan—meminjam istilah David Horowitz The Shadow Party (2006)—yang dipegang para ‘orang kuat’ dan orang penting yang tak terlihat. Fakta politik kita menunjukkan bahwa 6.576 caleg sementara ditentukan oleh para ‘orang kuat’ bersama ‘tim’ yang bentukannya di masing-masing 12 partai peserta pemilu 2014. Salah satu hasilnya, ragam caleg dari artis ‘bohay’, para kiai-ustadz, pasutri, hingga tersangka masuk ke DCS yang secara administratif 70% gagal (4.701 caleg). Pun demikian dengan capres 2014, sebising apapun lembaga survei bersahutan menyodorkan nama, capres yang tercantum di surat suara tetap berada dibawah ‘restu bapak’ dan ‘restu ibu’. Para orang kuat inilah yang menjelma menjadi shadow party, yang otoritas dan nalar kerja sesungguhnya ada di balik lambang-bendera dan AD/ART partai. Partai bayangan terjadi akibat genggaman determinasi keputusan/kebijakan yang kuat oleh para veto player. Hal ini menjelaskan bahwa organisasi partai di Indonesia adalah bentuk pelembagaan kepentingan personal dan kelompok. Para orang kuat mampu meyakinkan publik dengan mengadaptasikan diri melalui pembentukan partai secara konstitusional. Hal inilah yang menjelaskan instruksi SMS via handphone bisa sejajar dengan SK Partai berstempel.

Elaborasi riwayat pemilu sejak 1999 dan kajian survei perilaku memilih publik sejak 2002 (Saiful Mujani dkk, 2011) secara implisit mengisahkan bahwa publik Indonesia secara kumulatif seolah mempunyai otoritas untuk memilih pemimpin republik sekaligus yang mewakilinya. Namun, secara faktual pilihan-pilihan di surat suara—setelah berlakunya sistem proporsional terbuka pada 2004—berada di luar jangkauan publik. Hal ini lah yang menjelaskan mekanisme demokrasi elektoral di negeri ini berjalan dalam dua lapis. Lapis pertama adalah (elite) selection, sedangkan lapis kedua adalah (public) election.

Artinya, ada selection yang selalu mendahului election. Dalam selection inilah shadow party atau partai bayangan bekerja karena tak tertangkap mata publik. Di dalam elite selection ini, politik Indonesia post-Soeharto mengenal tiga bentuk. Pertama adalah seleksi institusional. Bentuk paling mudah untuk menjelaskan institutional selection adalah penambahan otoritas partai politik yang sudah direkayasa (baca: amandemen) via konstitusi, atau seperti tingginya threshold via Undang Undang. Hal ini yang menjelaskan figur-figur dengan kepantasan

Page 137: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

tinggi tereliminasi akibat tidak kompatibel dengan kekuatan partai atau tak berpartai. Kedua adalah seleksi kultural.

Seleksi ini menjadi bentuk paling khas dalam elite selection di Indonesia, karena manifestasi konkrit seleksi adalah relasi patron-client dan despotisme kepartaian seperti terjadi pada PDIP dimana Megawati berperan penuh dalam regenerasi kepemimpinan setelahnya, atau SBY yang didapuk memegang kendali fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif sekaligus di PD. Atau terdapat Ketua Dewan Syuro di PKS dan PBB yang secara struktural tidak terlibat day-to-day politics namun secara kultural memegang otoritas tertinggi dalam kebijakan dan keputusan strategis partai. Ketiga adalah transaksional. Bentuk seleksi transaksional nampak jamak terjadi pada proses kandidasi caleg, yaitu tahapan seseorang untuk masuk di DCS partai. Seleksi transaksional juga terjadi pada alokasi kuota pencalonan bagi calon non-kader, hingga menyebabkan calon legislator ganda di dua dapil bahkan di dua partai politik berbeda.

Namun sekali lagi, tiga bentuk selection ini menjelma dalam shadow party yang dikendalikan oleh para orang kuat pemegang kuasa veto atau veto players. Sebagai misal, shadow party dikendalikan oleh para veto players yang agak tampak seperti Megawati di PDIP, Wiranto di Hanura, Prabowo di Gerindra, atau SBY di Demokrat dan ‘tim’ yang tak tampak seperti pengusaha-pendana dan para ahli. Mereka mempunyai spektrum determinasi pengaruhnya masing-masing. Ada yang berada di lajur paling kanan layaknya logika warlordisme dengan otoritas total yang direktif bagai panglima, ada yang di tengah dengan pertarungan modalitas kuasa (harta dan tahta struktural sebagai ketua partai), dan ada yang di paling pojok yang berfungsi secara simbolik dan kultural.

Sedangkan para orang kuat itu mempunyai tiga perwajahan yang berbeda, yaitu pemodal, komunal, dan struktural. Perwajahan pemodal adalah yang mempunyai kapasitas sumber daya dana yang paling maksimal. Hal ini barang kali yang menjelaskan shadow party di Hanura tidak lagi hanya dikendalikan Wiranto seorang, namun juga Hary Tanoe. Perwajahan kedua adalah mereka yang membangun relasi perkoncoan. Relasi perwajahan ini akan menciptakan cara-cara kompetisi yang tribalistik. Seperti sistem suku yang menggunakan nalar penciptaan, penjagaan, dan pertahanan harta secara bersama. Sedangkan yang paling umum adalah dia yang memegang jabatan struktural di dalam kelembagaan partai sebagai perwajahan struktural, seperti ketua umum partai di beberapa partai medioker.

Partai bayangan terletak pada figur yang menentukan struktur, bukan struktur yang memberi kuasa pada figur. Golkar, PDIP dan Gerindra adalah partai yang paling mapan untuk melakukan konsolidasi politik menuju pencapresan karena pada dasarnya kekuatan partai bayangan tidak mengenal makna terminologis struktur Ketua Umum dan Ketua Dewan Pembina. Terminologi organisasional itu hanya soal ketentuan regulatif kepesertaan pemilu seperti SBY sebagai “Ketum plus-plus” pada hasil KLB PD akibat administrasi pemilu dan konstelasi faksi. Atau, sekuat apapaun wacana konvensi capres di PD, model mekanisme dan orang yang terpilih akhirnya tetap berpotensi menghasilkan kandidat sesuai ‘restu (para) Bapak’ karena tentu SBY juga berkepentingan terhadap orang yang akan melanjutkan kekuasaannya.

Page 138: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Alhasil, stabilitas pemilu memperkuat kuasa para orang kuat ini. Semakin mapan pemilu diselenggarakan maka akan semakin stabil shadow party bekerja karena tak terjangkau publik dan kontestasi rutin yang berlaku prediktif. Kondisi ini memaksa Indonesia berada dalam kondisi res-elite (bukan res-publica) akibat kepentingan yang terkonsolidasi tanpa publik, hanya ruling elite. Sementara publik-pemilih adalah legitimator atau pengabsahan konstitusional yang tersimplifikasi dalam ‘jumlah suara’ pemilu. Akhirnya publik bagai menerka ayam di dalam telur yang belum juga ditetaskan induknya. Artinya, demokrasi kita sebenarnya baru menyuruh rakyat untuk ‘menentukan’ bukan untuk ‘memilih.’ Hasilnya, orang-orang bermasalah tetap kembali diusung, dipertahankan, dan bahkan dibela. Lantas, apakah publik mampu ‘membongkar’ hasil kerja partai bayangan oleh para orang kuat ini? Semoga pemilu 2014 mampu manjawabnya.

Arya Budi

Manajer Riset Pol-Tracking Institute

http://koran.tempo.co/konten/2013/05/22/310708/Membongkar-Partai-Bayangan

Page 139: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Dilema Pembiayaan Partai

“Money is the mother’s milk of politics”, begitulah kata Jesse Unruh, seorang politisi California US pada 1960-an. Analogi Unruh ingin menunjukkan bahwa dalam tatanan demokrasi kepartaian, uang adalah keniscayaan dalam politik. Barang kali analogi ini pula yang menjelaskan korupsi politik tersimpul—berpangkal dan bermuara—pada lembaga kepartaian kita. Kasus yang menjerat petinggi teras partai seperti kasus Hambalang di Partai Demokrat atau kasus impor daging sapi di PKS, mungkin bukan sekedar individual greedy atau soal keserakahan politisi, namun lebih sebagai bentuk fund rising yang menjadi ‘agenda’ partai—atau faksi dalam partai.

Padahal, uang hanyalah satu dari empat sumber daya organisasi kepartaian, sekalipun uang juga telah lama menjadi tracer element atau elemen penjejak—Herbert Alexander, 1980—tentang bagaimana kekuasaan dikelola. Uang adalah sumber daya yang hanya bekerja di ranah operasional, sementara tiga sumber daya partai lainnya justru bekerja di ranah survival partai (ideologi), ranah pengelolaan faksional (pemimpin kharismatik), dan ranah elektoral (anggota atau kader partai).

Khalayak publik, apalagi para kader dan simpatisan partai, mungkin tak akan membayangkan bahwa PKS dengan institutional branding sebagai partai dakwah dan partai bersih akhirnya masuk ke dalam jebakan pembiayaan partai. Memang ada dua pola strategi ‘fund rising’ yang jamak terjadi pada partai-partai baik di negara demokratis maupun negara demokrasi-baru seperti Indonesia. Pertama adalah plutocratic income—meminjam istilah Gidlund (1983)—yang akhirnya menjebak PKS harus berhadap-hadapan dengan KPK terkait kasus impor daging sapi. Sederhananya, pemasukan plutokratik melibatkan ‘pendonor’ kaya—seperti perusahaan yang berkepentingan terhadap proyek negara yang berada di bawah kendali ‘kader’ partai—dalam pembiayaan partai.

Pembiayaan partai bisa meliputi baik agenda elektoral seperti kandidasi eksekutif dan legislatif, kampanye, atau pemungutan suara maupun agenda organisasional (kongres, musyawarah, pemilihan ketua partai, dan lain-lain.) Pembiayaan seperti terjadi di pusat maupun daerah—terutama pemilu kepala daerah. Plutocratic income seperti ini telah jamak menjadi mekanisme keuangan partai di Indonesia. Kasus ‘daging sapi’ PKS adalah contoh paling mudah dan tampak untuk mengkonfirmasi model pembiayaan seperti ini karena adanya pengusaha yang akhirnya menjadi pemasok dana partai (TEMPO, edisi 20-26 Mei) akibat kepentingannya terhadap kebijakan impor di Kementerian Pertanian yang ‘dipegang’ PKS.

Kedua adalah bentuk pembiayaan income of office spoils atau pemasukan hasil ‘rampasan jabatan’. Kasus Hambalang yang juga menjerat orang-orang teras di PD—Bendahara Umum, Ketua Umum, Sekretaris Majelis Tinggi/Menteri Partai—adalah contoh nyata bagaimana

Page 140: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

penguasaan kursi eksekutif di kementrian dan perolehan suara terbanyak di parlemen digunakan untuk menggerakkan mekanisme pembiayaan seperti ini. Walaupun uang mengalir melalui kanal faksi dan personal untuk kebutuhan Kongres Partai pada 2010, dana ‘rampasan’ tersebut jelas berkontribusi pada pembiayaan partai secara tak langsung. Kedua model pembiayaan partai ini terjadi karena tiga income regular partai—a) dana negara Rp 108,- per suara (hasil pemilu 2009); b) sumbangan ‘wajib’ kader yang menjabat kursi legislatif ataupun eksekutif; c) dan iuran anggota—tidak cukup untuk memutar roda organisasi partai apalagi memompa elektabilitas menjelang pemilu.

Pola umumnya, pembiyaan partai dengan arus masuk dana yang besar terletak pada pemimpin teras partai. Sebagai misal, korupsi di tiga partai beberapa bulan terakhir ini—Demokrat, Golkar, dan PKS—semua kasus tersimpul pada pucuk tertinggi kebijakan perputaran uang partai: Nazarrudin (Bendahara Umum PD) yang sudah menjadi terdakwa, Setya Novanto (Bendahara Umum Golkar) sekalipun baru disebut, dan Luthfi Hasan Ishaq (Presiden dan mantan Bendahara Umum PKS). Korupsi politik yang jamak terjadi di tubuh partai inilah yang kemudian memicu wacana pembubaran partai politik akibat tindakan sebentuk corporative crime (UU TPPU No.8/2010 pasal 6 dan 7) oleh partai dalam kasus korupsi.

Memang, kini terjadi deluted (pencairan) representasi sosial oleh parpol terutama 12 partai politik peserta pemilu. Semua partai mengklaim sebagai partai rakyat. Hingga hampir semua partai menjadi semacam catch-all partai sejak runtuhnya Soeharto (Riswanda Imawan, 2004). Namun, Indonesia sebenarnya masih percaya dengan teori klasik demokrasi konsosiasional Arend Lijphart (1969) bahwa sistem kepartaian sebuah negara adalah refleksi pembilahan sosial yang ada di dalam masyarakat. Partai di Indonesia tetap merefleksikan eksistensi kelompok sosial masjid dan geraja; nasionalis dan ‘abangan’ (Geertz, 1983); santri perkotaan dan santri pedesaan (Yon Machmudi, 2008); petani dan buruh; atau para pengusaha plus borjuasi kantoran. Artinya, ada dua diskursus yang muncul dalam pembiayaan partai.

Pertama adalah pembiayaan total partai oleh negara. Sebagai misal, dari 111 negara (Afrika, Asia, Eropa, Amerika) dengan partai jamak atau non-single party county—tidak termasuk Indonesia—paling tidak ada 65 negara (59%) yang sudah mempunyai regulasi pembiayaan partai oleh negara (Austin dan Tjerstrøm (ed.), 2003). Bahkan, kampanye kandidat di Prancis pun dibiayai negara (Karl-Heinz Nassmacher, 2003). Namun, kita juga harus jujur bahwa pembiayaan partai oleh negara berpotensi dapat mengaburkan fungsi linkage partai politik karena partai akhirnya bertanggung jawab kepada negara. Publik-pemilih hanya dihitung sebagai suara, karena tuntutan dan dukungan tidak terartikulasikan dalam program partai akibat partai hidup dari negara bukan dari publik (baca: kader dan konstituen). Partai akan kabur apakah sebagai lembaga intermediary atau selayak auxiliary state institution seperti komisi negara dan lembaga-berbiaya-negara lain yang bersifat ad hoc. Atau partai politik bagian dari negara karena ada pemerintahan yang mengatur income partai secara total ?

Kedua, jika partai politik dibiayai publik baik secara kolektif maupun individual, atau secara institusional ataupun kultural, maka partai akan mempertanggungjawabkan diri pada

Page 141: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

konstituen, anggota, dan kadernya. Penguatan pembiayaan partai secara ‘mandiri’ ini, bisa jadi akan memperkuat fungsi linkage bagi partai politik. Bentuk konkrit dari pembiayaan mandiri ini adalah party enterprise atau badan usaha milik partai yang dikelola sebagai bagian sayap organisasi bisnis partai. Di era Orde Lama, PNI pernah melakukan eksperimentasi ini dengan mendirikan Bank Umum Nasional, namun akhirnya beroperasi secara koruptif dan kolutif (Richard Robison, 2009). Pembiayaan seperti ini pun rawan dengan malpraktek pengorganisasian partai. Akhirnya, orang masuk partai atau menjadi bagian dari partai (anggota/kader) adalah lebih pada soal lapangan kerja, gaji, dan untung-rugi.

Lepas, dari dilemma pilihan-pilihan pembiayaan partai, pelembagaan biaya politik paling tidak mendarat pada dua hal: larangan (bans) dan batasan (limits), terhadap item-item pembiayaan politik. Sehingga hal yang perlu dilakukan adalah pengetatan regulasi soal pembiayaan partai seperti kampanye, penerimaan, pengelolaan, pembelanjaan, dan public disclosure lainnya.. Atau seperti di Amerika soal hard money dan soft money dalam pembiayaan kampanye. Akhirnya, UU paket politik—regulasi soal Parpol, KPU, Pileg, dan Pilpres—di Indonesia yang hanya mengatur ‘suara dan kursi’, juga perlu mengatur ‘uang’ dan ‘hutang’ secara lebih spesifik dan holistik.

Oleh Arya Budi

(Peneliti Pol-Tracking Institute)

http://koran.tempo.co/konten/2013/07/25/316974/Dilema-Pembiayaan-Partai

Page 142: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Pemilu dan Nepotisme Elektoral

Sejak 1999 sampai menuju 2014, pemilu akhirnya menjadi regularitas aktivitas sosial-politik elite dan publik. Pemilu sepanjang satu setengah dekade ini secara konstitusional memberikan ruang bagi siapa pun untuk mengakses kursi parlemen dan eksekutif. Namun, sepanjang periode ini pula, ruang akses tersebut hampir selalu dijejali dengan model kandidasi pra-Indonesia atau tepatnya pra-demokrasi, yaitu sebentuk nepotisme baru.

Nalar kekerabatan menjadi semakin kuat dicangkokkan dalam demokrasi elektoral. Tentu dengan mengadaptasi logika sumber legitimasi baru: pilihan rakyat. Dan bukan titah raja/presiden yang pada era pra-Indonesia dan era Orde Baru sebagai sumber legitimasi politik. Kini, secara ide, sekuat apa pun karisma raja-atau "raja" kepala daerah-tak akan mampu menembus kursi parlemen dan eksekutif jika di bawah angka threshold. Sekalipun "raja-raja" ini menjadi sumber kekuasaan masyarakat pra-Indonesia (Benedict Anderson, 1973). Kekerabatan politik berubah menjadi nalar nepotistik jika masuk diskursus demokrasi elektoral semacam pemilu.

Fakta elektoral di Indonesia menunjukkan bahwa politik kekerabatan-terutama di level lokal-hampir selalu menembus akses jabatan publik. Michael Buehler (2013), misalnya, menyandingkan politik klan Limpo di Sulawesi Selatan dengan politik dinasti Ratu Atut di Banten. Dia melihat adanya kemiripan antara keluarga Limpo, yang berakar dari Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo, dan kuatnya jejaring politik keluarga Gubernur Banten Ratu Atut. Seolah kini politik Indonesia berada di tengah-tengah perseteruan antara liberalisme dan komunalisme. Demokrasi elektoral memberikan ruang kesempatan bagi siapa pun untuk mengakses lorong kandidasi dalam pemilu baik eksekutif maupun legislatif. Sedangkan pada saat yang sama, nalar sosial kita memahami bahwa komunalisme dan kekerabatan adalah kebajikan politik sebagai pemeliharaan modal sosial.

Inkompatibelitas nalar sosial dengan nalar demokrasi ini menciptakan komunalisme menjadi sebentuk nepotisme baru. Nepotisme dalam demokrasi elektoral di Indonesia tidak hanya mengangkat para nepos (Latin: keponakan/cucu), tapi juga istri, anak, adik, kakak, dan juga kroni jejaring kekerabatan ke dalam proses elektoral. Sebagai misal, dalam sirkulasi kepemimpinan eksekutif, politik kekerabatan tak luput dari jebakan ini. Para kepala daerah yang telah selesai jabatannya-rata-rata dua periode jabatan-baik karena konsekuensi konstitusional maupun karena konsekuensi yudisial (baca: kasus hukum), digantikan oleh istri atau anaknya. Konkretnya, di Kota Cimahi, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Bantul, Kabupaten Kediri, dan Kabupaten Kendal, para istri menggantikan suaminya yang lengser sebagai kepala daerah. Sedangkan para bupati di Kabupaten Bangkalan dan Kabupaten Tangerang digantikan oleh anak laki-lakinya.

Page 143: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Politik dinasti seolah menjadi jebakan dalam berdemokrasi. Akses kekuasaan yang dibuka melalui pemilu justru memberikan sumber legitimasi semakin besar bagi "keluarga besar" karena para aristokrat berkuasa bukan dari penunjukan totaliter, melainkan mekanisme elektoral. Hal ini sudah mengakar jauh sejak era aristokrasi kerajaan di sepanjang Nusantara. Dalam tradisi kepemimpinan komunitas, orang yang berhak memimpin adalah dia yang sudah terbiasa bersinggungan dengan hal ihwal kepemimpinan. Anak raja pantas meneruskan takhta raja karena sang anak dianggap telah "terdidik" sebagai raja dalam aktivitas kerajaan. Hasilnya: kelas sosial apa pun di luar istana tak cukup pantas menjadi raja. Nalar sosial inilah yang menjelaskan kandidasi-sedarah selalu hampir memenangi pemilu.

Bahkan Filipina, yang sudah "diajari" Amerika menyelenggarakan pemilu sejak 1907, pun tak lepas dari politik kekeluargaan ini sampai pemilu 2016 ke depan (majalah Tempo edisi 27 Mei-2 Juli 2013, hlm. 114-116). Bobby M. Tuazon (2013) menyebutkan, politik Filipina berada di bawah kendali selama enam abad, yang akarnya dirunut sejak era para hacendado atau keluarga pemilik perkebunan atau hacienda. Sisa jejaknya, lanskap politik Filipini kini diwarnai oleh politik klan turunan Joseph Estrada. Bahkan petinju legendaris Manny Pacquio pun bergerak membentuk klan politik baru setelah kemenangannya pada 2010 sebagai anggota kongres, menggandeng adik dan istrinya ke kursi kekuasaan sebagai wakil distrik dan wakil gubernur.

Politik Filipina pun mafhum dengan dinasti Aquino dan Marcos selama puluhan tahun, baik di level nasional maupun lokal. Benigno "Noynoy" Aquino III, yang kini menjabat presiden, adalah generasi keempat setelah beberapa generasi: ibunya Corazon Aquino, ayahnya Benigno "Ninoy" Aquino Junior yang senator, kakeknya Benigno Aquino sebagai jubir dewan 1943-1944, dan terakhir buyutnya Servillano "Mianong" Aquino sebagai anggota kongres Malolos. Gurita keluarga Marcos pun masih terus bergerak sejak Ferdinan Marcos tumbang oleh people power pada 1986 terutama di Provinsi Ilocos Norte. Amerika juga tak lepas dari jebakan nepotisme elektoral bahkan dalam eskalasi nasional seperti jejaring keluarga Kennedy atau turunan keluarga Bush. Artinya, jika Presiden SBY tetap pada komitmen awal untuk tidak "menyiapkan" keluarganya dalam pemilu 2014, termasuk para nepos di luar istri dan anaknya, tentu demokrasi Indonesia paling tidak tetap dalam kondisi in progress.

Singkat kata, nepotisme, yang beradaptasi dengan bentuk-bentuk legitimasi elektoral, menjelma menjadi sebuah bentuk pembajakan demokrasi. Sebab, dalam beberapa kasus, model politik kekerabatan yang dicangkokkan dalam demokrasi elektoral hingga lolos dalam pemilu seperti ini lebih banyak didasarkan oleh dua hal: 1) distribusi sosial bagi siapa pun yang setia sepakat; dan 2) sekaligus intimidasi sosial bagi siapa pun yang tak loyal apalagi melawan. Orang menyebut nepotisme baru ini dengan sebutan-sebutan ilustratif macam bossism (Sidel 1999), sultanistic (Snyder 1992), cacique (Anderson 1988), atau warlordism (Clapham 1998).

Secara konstitusional dan gagasan demokrasi elektoral, tidak ada yang salah bagi kerabat pejabat mencalonkan diri dalam pemilu. Sepanjang memenuhi prosedur pemilu dan

Page 144: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

kualifikasi administratif kandidasi, setiap warga negara, baik kerabat horizontal (istri, kakak, adik, sepupu, dll) maupun vertikal (anak, bapak, ibu, cucu, dll), dijamin oleh konstitusi Indonesia.

Namun bentuk nepotisme baru ini sedikit banyak membajak demokrasi ke dalam pola-pola yang akhirnya cenderung destruktif. Kekerabatan bekerja melalui nalar "kekeluargaan" dalam mengelola negara. Hasilnya, konspirasi genetik menembus fungsi-fungsi kelembagaan negara, baik di ranah intra-eksekutif, intra-legislatif, maupun inter eksekutif dan legislatif. Akibatnya, pemeliharaan akses material negara secara koruptif oleh struktur pemerintahan dinastik akhirnya gagal mendistribusikan kesejahteraan bagi publik. *

Arya Budi,

PENELITI POL-TRACKING INSTITUTE

http://koran.tempo.co/konten/2013/08/28/319835/Pemilu-dan-Nepotisme-Elektoral

Page 145: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

2014, Catatan dan Sketsa DPR

Publik harus sadar bahwa di antara 6.607 Daftar Calon Legislator Tetap yang diumumkan KPU untuk memulai kampanyenya per 25 Agustus 2013, sebanyak 9 partai parlemen dari total 12 partai peserta pemilu memasang hampir semua anggota Dewannya yang kini in power (DPR RI periode 2009-2014). Berdasarkan temuan Pol-Tracking Institute, sekitar 90 persen anggota Dewan yang dicalonkan kembali tersebut menduduki nomor urut satu dalam daftar caleg. Artinya, sekalipun Pemilu 2014 menggunakan suara terbanyak daftar terbuka, perilaku pemilih sering memilih gambar partai daripada caleg. Suara partai itu umumnya akan dilimpahkan ke nomor urut satu, lalu ke nomor urut selanjutnya. Singkat kata, DPR RI periode 2014-2019 ke depan berpotensi diisi oleh mayoritas orang-orang yang sama, atau lebih dari 50 persen kinerja DPR post-2014 kira-kira hampir mirip periode 2009-2014 saat ini. Mungkinkah catatan DPR periode ini menjadi dasar sketsa buram periode 2014-2019 ke depan?

Publik mungkin mafhum bahwa DPR periode 2009-2014 dipenuhi catatan politik buram dari kasus hukum seperti korupsi, perilaku amoral seperti skandal seks, soal kedisiplinan seperti rendahnya tingkat kehadiran, hingga pilihan sikap dan kebijakan anti-publik seperti rencana gedung baru atau kunjungan ke luar negeri.

Berdasarkan data KPK, jika kita hitung sejak 2004 sampai per 30 Juni 2013, paling tidak ada 72 anggota Dewan yang ditangkap KPK sebagai tersangka. Tahun 2013 (per 30 Juni 2013) saja "tangkapan" KPK dari unsur anggota Dewan menempati urutan kedua terbesar setelah unsur swasta. Secara kuantitatif, wajah parlemen periode 2009-2014 ini sebenarnya diisi 70 persen pendatang baru, sehingga logika publik mungkin berasumsi bahwa parlemen kini bisa menjadi lebih baik daripada sebelumnya. Namun ternyata, wajah DPR tetap dipenuhi oleh terseretnya banyak nama anggota Dewan dalam beragam kasus, seperti simulator kemudi, Hambalang, daging sapi impor, hingga korupsi Al-Quran. Narasi korupsi para anggota Dewan ini hanyalah satu catatan dari beberapa catatan lain di luar fungsi-fungsi DPR RI sebagai lembaga legislatif.

Pertama, fungsi legislasi DPR periode ini pun berjalan tak jauh beda dengan periode sebelumnya. Jika kita merujuk data Formappi, dari 30 rancangan undang-undang atau RUU yang disahkan pada 2012, sebanyak 20 RUU merupakan kumulatif terbuka yang bukan merupakan regulasi prioritas. Ada tiga jenis RUU kumulatif tersebut: pemekaran wilayah (12 RUU), ratifikasi konvensi internasional (lima RUU) dan APBN (tiga RUU). Pada 2011, RUU prioritas yang disahkan sebanyak 18 RUU atau 19,35 persen dari total RUU dalam Prolegnas. Sedangkan pada 2012, RUU prioritas yang disahkan sebanyak 10 RUU atau 15,25 persen dari total RUU dalam Prolegnas. Artinya, penurunan produktivitas legislasi RUU prioritas tersebut berkorelasi dengan kalender Pemilu 2014 yang semakin dekat. Sebab, jika kita jumlahkan RUU prioritas dan RUU kumulatif terbuka, produktivitas DPR pada 2012

Page 146: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

meningkat bila dibanding pada 2011. Jelasnya, peningkatan ini terletak pada program legislasi terkait dengan pemekaran daerah. Tentu ada motif politik di balik kuantifikasi fungsi legislasi DPR ini: baik soal dugaan uang pelicin dari daerah maupun sebagai bentuk usaha menggalang suara di daerah menjelang pemilu.

Kedua, kita melihat terjadi paradoks fungsi penganggaran DPR terutama pada periode 2009-2014. DRP terlihat tidak terlalu mempermasalahkan pos anggaran yang diajukan pemerintah dalam APBN, kecuali isu-isu yang menarik atensi publik seperti kenaikan harga BBM, tapi pada saat yang sama DPR sangat kuat memperjuangkan pos anggaran bagi dirinya. Hal ini terlihat dari ide kontroversial pembangunan gedung baru DPR senilai Rp 1,6 triliun, dana aspirasi Rp 15 miliar per anggota (Rp 8,4 triliun), serta rumah aspirasi Rp 200 juta per anggota (Rp 112 miliar dan Rp 3,3 triliun untuk infrastruktur). Ada juga persoalan item bantuan dana negara yang diperuntukkan bagi korban lumpur Lapindo yang lekat dengan isu barter politik Golkar dengan PD dalam isu harga BBM. Terakhir, menjelang Pemilu 2014, dana reses anggota Dewan dinaikkan menjadi sekitar Rp 1 miliar. Hal ini belum termasuk kasus korupsi dan para mafia anggaran yang bekerja menggunakan jejaring proyek negara. Akhirnya, Badan Anggaran DPR sudah telanjur dibayangkan publik sebagai sentrum triangulasi korupsi: pemerintah, swasta, dan parlemen.

Ketiga, dalam hal pengawasan, anggota Dewan justru cenderung menjadikan parlemen sebagai panggung akrobat politik yang dipertontonkan di depan layar media. Sebagai misal, ketidakjelasan dan ketidaktuntasan kasus Bank Century menjadi potret paling terang dari ketidakseriusan DPR. Pun demikian dengan nasib hak angket mafia pajak. Jika bukan alasan pencitraan, fungsi pengawasan DPR dalam beberapa kasus bersifat reaksioner, seperti polemik hak interpelasi dalam kasus kongkalikong yang terkait dengan anggota Dewan dan jajaran pimpinan BUMN.

Lepas dari catatan buruk tersebut, tentu ada beberapa poin catatan yang bisa kita apresiasi, tapi poin itu tertutup oleh catatan-catatan buram kinerja Dewan. Dengan melihat komposisi yang ada dalam DCT di atas, sketsa DPR 2014-2019 berpotensi mempunyai potret yang mirip. Jika demikian, parlemen yang memegang fungsi representasi publik justru akan menciptakan public distrust yang akhirnya mengubah logika representasi publik menjadi representasi elite. Pada dasarnya, satu akar masalah yang penting terkait dengan efek destruktif perilaku anggota Dewan terhadap fungsi-fungsi parlemen adalah malfungsi partai politik.

Catatan buruk anggota Dewan ini terjadi karena beberapa bentuk malfungsi partai: kaderisasi partai dalam nalar kartel, sistem rekrutmen yang elektoralis, dan personalisasi partai politik oleh figur tunggal. Pertama, nalar kartel yang menjadi logika kaderisasi politik di dalam partai diwujudkan dalam bentuk transfer pengetahuan untuk mengamankan basis material organisasi partai dan individu di dalamnya. Akibatnya, siapa pun yang menang berpotensi membajak anggaran negara untuk menutup dana kampanye sebelumnya.

Page 147: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Kedua, partai politik cenderung melakukan rekrutmen elektoralis dengan menggandeng siapa pun yang berpotensi dapat mengatrol perolehan suara dalam pemilu, baik berdasarkan basis popularitas maupun basis material orang. Akibatnya, rekrutmen elektoralis ini mempekerjakan anggota tak becus. Akibatnya, legislasi parlemen demikian lambat dan kadang mandul kajian. Ketiga, penunggalan kuasa partai menyebabkan anggota Dewan melakukan representasi elite dengan mengikuti kehendak patron partai sekalipun bertolak belakang dengan nalar pemecahan masalah kebijakan publik ataupun aspirasi publik yang berkembang terkait dengan sebuah kebijakan. Namun kita tetap bisa berharap semoga catatan suram 2009-2014 tak menjadi sketsa buram periode 2014-2019.

Arya Budi,

Peneliti Pol-Tracking Institute

http://koran.tempo.co/konten/2013/09/18/322005/2014-Catatan-dan-Sketsa-DPR

Page 148: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Membaca Seleksi Calon Presiden 2014

Jika menggunakan alegori sosiolog Robert Michels (1984: 254), para pemimpin partai Indonesia yang sangat kuat hampir semuanya berbicara seperti raja Prancis, Le Roi Soleil, "Le Parti a'est moi" atau "partai adalah saya". Hal inilah yang menjelaskan apatisme publik terhadap agenda konvensi Demokrat, Rapimnas Golkar pada Oktober esok, atau keputusan PDIP di bawah kendali total Megawati, dan wacana kandidasi calon presiden partai lainnya. Bulan-bulan ke depan, publik disuguhi konstelasi para "pemilik" partai.

Efek krusial atas pencalonan presiden ini terjadi karena tiga alasan. Pertama, skema konstitusi Indonesia memberi otoritas yang sangat kuat bagi presiden (sistem presidensial), sehingga perolehan kursi presiden adalah insentif politik sangat besar bagi partai. Presiden mengendalikan pemerintahan sekaligus simbol negara, sulit diintervensi oleh parlemen, dan sangat sulit dijatuhkan.

Kedua, saat ini dalam perilaku memilih publik, Figure ID jauh lebih besar dibandingkan dengan Party ID. Publik akan jauh lebih tertarik untuk menyebut dirinya sebagai relawan atau fan SBY atau Jokowi dibanding menyebut dirinya sebagai relawan atau simpatisan Partai Demokrat atau PDIP. Ketiga, pada pemilu presiden 2014, kandidasi presiden menjadi krusial karena menjadi panggung bebas bagi siapa pun untuk bertarung akibat absennya inkumben SBY.

Di titik inilah, proses politik intra-partai yang terjadi beberapa bulan ke depan menjadi sangat krusial. Sebab, hanya institusi partailah yang absah mencalonkan presiden (UUD 1945 pasal 6A) dengan kualifikasi perolehan suara atau kursi tertentu (UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden). Proses seleksi (selection) di dalam partai yang sangat menentukan pilihan dalam pemilihan (election) menjadi lebih urgen diperhatikan.

Sebab, sejatinya, terdapat tiga tahap dalam politik elektoral, khususnya proses pemilu presiden di Indonesia. 1) Tahapan seleksi elite yang terjadi di dalam kontestasi di internal partai dan antar partai (politik koalisi) yang menentukan komposisi pilihan di kertas suara. 2) Tahapan kualifikasi konstitusional yang juga menjadi arena kontestasi tersendiri, seperti kualifikasi pendidikan capres, rekam jejak, dan lain-lain. 3) Public election (pemilu Juli 2014) yang sebenarnya hanya berfungsi sebagai pelegitimasi pilihan elite setelah proses seleksi.

Artinya, sekalipun elektabilitas menjadi semacam buku panduan bagi partai maupun kandidat, seleksi elite adalah proses pertama yang bisa jadi menegasikan elektabilitas. Negasi ini sangat mungkin terjadi karena kultur politik kepartaian kita cenderung memelihara status-quo jabatan ke dalam institusi partai. Budaya paternalistik atau maternalistik menjadi operasi kerja kekuasaan dalam partai. Artinya, sekuat apa pun elektabilitas atau sekeras apa pun

Page 149: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

kontestasi elite dan wacana yang muncul tenggelam, restu Bapak atau restu Ibu menjadi sebuah tahapan wajib dalam proses seleksi di partai.

Sampai saat ini, beberapa partai (seolah) sudah final mendeklarasikan calon presiden (dan bahkan calon wakil presiden) yang akan diusung, seperti Aburizal Bakrie (Golkar), Prabowo (Gerindra), atau Wiranto-Hary Tanoe (Hanura). Sementara partai-partai menengah lain yang tak cukup percaya diri memilih sikap politik menunggu-melihat (wait and see) dan "melemparkan batu ke air" (testing the water) dengan melemparkan wacana pencalonan tokoh populer. Singkatnya, kita bisa membaca seleksi capres 2014 melalui empat hal.

Pertama, 12 partai politik yang lolos sebagai peserta pemilu pada dasarnya adalah partai yang cukup mapan sebagai sebuah organisasi partai, karena partai ini sudah melalui tahapan kualifikasi konstitusional. Kualifikasi partai untuk bisa menjadi peserta pemilu mencerminkan infrastruktur dan suprastruktur partai yang mapan dari level pusat sampai daerah. Kemapanan hubungan multi-level struktur pusat-daerah adalah prasyarat penting bagi partai, karena deliberasi platform, aspirasi, dan agregasi terjadi dalam struktur relasi ini (Houten von Pieter, 2009). Artinya, pada aspek ini, semua partai mempunyai derajat kompetisi (competitiveness) besar.

Kedua, jika melihat pendulum politik parlemen dalam kaitan dengan presidential threshold, partai dengan tren elektabilitas dua digit (di atas 10 persen) berpeluang mencalonkan kandidat presiden, baik mandiri maupun berkoalisi. Terkait dengan hal ini, Partai Golkar dan PDIP adalah partai dengan riwayat elektabilitas dan perolehan suara stabil dua digit sejak Pemilu 1999 (Mujani, Liddle, Ambardi, 2011). Artinya, Golkar dan PDIP hampir dapat dipastikan sebagai partai pengusung capres 2014. Kemudian, jika berdasarkan tren elektabilitas sejak 2012 hingga Juli 2013, Partai Demokrat dan Gerindra adalah partai yang bersaing mengusung capres. Sebab, kualifikasi presidential threshold 25 persen suara, maksimal hanya ada empat pasangan kandidat yang maju.

Ketiga, tren elektabilitas tokoh yang digadang sebagai capres menunjukkan Jokowi, Prabowo, Ical, Megawati, dan Jusuf Kalla adalah tokoh dengan rerata elektabilitas teratas dari banyak penilaian (assessment) elektabilitas capres sepanjang Januari 2012-Juli 2013. Dengan melihat proses seleksi di internal partai dan intra-partai seperti penjelasan di atas, Prabowo dan Ical adalah kandidat yang hampir pasti maju sebagai capres Gerindra dan Golkar. Sedangkan PDIP berpotensi mencalonkan Jokowi dengan melihat pendulum pilihan publik dan genderang politik PDIP (baca: Megawati), dan PD akan menghadirkan tokoh hasil proses konvensi.

Keempat, selain banyaknya massa mengambang (undecided voters) dengan tren rerata 40-50 persen berdasarkan hasil pilkada dan survei beberapa bulan terakhir, perilaku memilih warga memiliki kecenderungan kuat sebagai uncertain voters atau pemilih tak tentu dengan fluktuasi pergerakan sikap asimetris. Pada 2014, seorang pemilih bisa jadi memilih empat kandidat dengan partai berbeda: calon legislator kabupaten/kota dari partai A, caleg provinsi

Page 150: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

dari partai B, caleg DPR RI dari partai C, dan kandidat presiden dari partai D. Singkatnya, publik-pemilih cenderung jauh lebih tertarik melihat figur dari pada partai.

Akhirnya, PDIP sebenarnya punya peluang menang yang besar jika mekanisme seleksi elite partai (baca: restu Megawati) memilih Jokowi, disusul Gerindra (Prabowo), Golkar (Ical), dan Demokrat. Belajar dari PD dan PKS, pembacaan ini tentu bisa berubah jika muncul "alat pembunuh" partai paling mematikan: kasus hukum/korupsi besar menimpa para "pemilik" partai.

Arya Budi,

PENELITI PADA POL-TRACKING INSTITUTE

Sumber: http://koran.tempo.co/konten/2013/10/11/324323/Membaca-Seleksi-Calon-Presiden-2014

Page 151: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Kabinet Minus Prestasi

Sentimen negatif masyarakat hari-hari ini ternyata tidak hanya pada persoalan penegakan hukum akibat banyaknya kasus korupsi yang tak kunjung dapat diatasi, tetapi juga pada kinerja pemerintahan SBY-Boediono secara keseluruhan. Hal itu terkonfirmasi dari temuan survei Pol-Tracking Institute yang dirilis tanggal 20 Oktober 2013 lalu.

Survei yang dilakukan pada 13-23 September 2013 secara serempak di 33 provisi di Indonesia dengan jumlah sampel 2010 responden dan menggunakan metode multi-stage random sampling itu menyebutkan, hanya 40,5% masyarakat yang menyatakan puas dengan kinerja Pemerintahan SBY-Boediono. Sedangkan  51,5 % lainnya merasa tidak puas dengan rincian 41,5% merasa kurang puas dan 10% sangat tidak puas. Sisanya, 8% menyatakan tidak tahu. Ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintahan SBY-Boediono tertinggi pada bidang ekonomi, yakni sebesar (70,9%). Lalu disusul bidang hukum (57,7%), bidang keamanan (45,8%), bidang kesehatan (43,4%), dan bidang pendidikan (37,3%).

Pada bidang ekonomi, tingginya ketidakpuasan masyarakat menjadi wajar jika melihat ketidaksetabilan ekonomi belakangan ini. Naiknya harga BBM beberapa waktu lalu berimbas pada melambungnya harga-harga kebutuhan pokok. Akibatnya, masyarakat kecil terus menjerit sementara pemerintah dalam menyelesaikan persoalan pangan sangat instan: melakukan impor sebanyak-banyaknya. Hal ini diperparah dengan kesenjangan ekonomi yang semakin tajam. Celakanya, pemerintah hanya melihat problem ini dari sisi kulit (makro) dengan mengklaim pertumbuhan ekonomi semakin naik, padahal secara rill (mikro) masyarakat di bawah tidak merasakannya.

Di bidang hukum juga sama. Masyarakat belum melihat hadirnya koordinasi sistematik dan sinergik antara Kepolisian, Kejaksaan, maupun KPK dalam menuntaskan berbagai mega skandal korupsi. Isu korupsi yang melibatkan pejabat negara—eksekutif, legislatif, dan yudikatif—dan terus terekspos media menjadi domain paling krusial yang membentuk persepsi publik “kurang simpatik” terhadap kinerja pemerintahan di bidang hukum.

Semenetara di bidang keamanan, ada dua hal bisa mempengaruhi persepsi publik. Pertama, masyarakat akhir-akhir ini cukup resah akibat banyak terbunuhnya para anggota polisi, hal ini penting karena polisi sebagai simbol penjamin keamanan seolah jatuh dan lumpuh. Kedua, tingkat kriminalitas yang terjadi di beberapa daerah dirasakan masyarakat masih tinggi. Untuk bidang kesehatan, publik masih gerah dengan biaya pengobatan dan pelayanan kesehatan yang masih jauh dari harapan.

Memang, di antara bidang di atas, tingkat ketidakpuasan di bidang pendidikan terbilang tidak terlalu tajam, yakni di kisaran angka 37,3%. Hal itu disebabkan oleh semakin meningkatnya insentif yang diberikan pemerintah kepada para pendidik maupun besarnya anggaran

Page 152: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

pendidikan dalam membantu para peserta didik yang kurang mampu. Meski begitu, jika dirangkum dari hasil temuan survei di atas, maka bisa disimpulkan bahwa “kabinet” pimpinan SBY-Boediono masih minus prestasi. Janji-janji manis saat dilantik pertama kali menjadi presiden belum bisa terealiasasikan.

Wajah ganda

Jika dianalisis, minusnya prestasi Kabinet Indonesia Bersatu jilid II bisa dipengaruhi beberapa faktor. Pertama, adanya “wajah ganda” presiden dan para menterinya menjelang Pemilu 2014. Hal ini masuk akal jika melihat 19 kursi menteri atau 55% komposisi kabinet yang saat ini berasal dari partai politik. Apalagi dari 19 menteri itu, 4 di antaranya adalah ketua umum partai yakni, PKB, PPP, PAN, dan Demokrat, termasuk Presiden Yudhoyono yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Ditambah lagi 10 menteri dari unsur partai yang turut maju sebagai calon anggota legislatif Pemilu 2014. Dengan posisi ganda itulah, konsentrasi para menteri termasuk presiden menjadi terpecah antara urusan partai dan urusan pemerintahan (negara).

Kedua, pemerintahan SBY-Boediono agaknya lebih banyak menyelesaikan masalah melalui “jalur retorika” daripada “aksi nyata”. Sebagai contoh, selama tiga tahun berturut-turut (2011-2013), Presiden SBY telah membuat tiga intruksi terkait pemberantasan korupsi, yakni Inpres No 9/2011, Inpres No 17/2011, dan Inpres No 1/2013. Namun dalam tataran pelaksanaan, intruksi tersebut tampak sebatas intruksi. Buktinya, korupsi semakin marak, bahkan lembaga eksekutif menjadi sindikasi dari tindak pidana korupsi itu sendiri.

Begitu pula sepanjang 2011 lalu, tidak kurang dari 19 kali SBY menyampaikan pesan toleransi dalam berbagai kesempatan, baik dalam pidato resmi maupun saat kunjungan. Tapi semua pidato SBY itu seperti tidak berbekas. Bahkan para pembantunya seperti Menteri Agama Suryadharma Ali dan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi juga tak ubahnya pemadam kebakaran dalam menyelesaikan kasus-kasus intoleransi. Ketika kasus telah terjadi baru beramai-ramai datang ke lokasi.

Khusnul khatimah

Karena itu, menjelang berakhirnya masa jabatan yang tinggal setahun lagi, Kabinet Indonesia Bersatu jilid II seyogyanya berusaha mengakhiri masa jabatannya dengan “khusnul khatimah”, bukan “su’ul khatimah”. Hasil temuan dari survei di atas bisa dijadikan refleksi sekaligus evaluasi. Prestasi pemerintah harus terus digenjot dengan cara mengoptimalkan kerja menteri dan wakil menteri yang sudah ada, bila perlu menambah wakil menteri khususnya bagi mentari yang merangkap jabatan sebagai ketua umum parpol maupun maju sebagai caleg 2014. Selain itu, Presiden secara intens juga perlu menindaklanjuti evaluasi kerja UKP4 dan Wantimpres untuk menjaga dan meningkatkan kualitas kinerja para menteri dari partai secara berkesinambungan.

Page 153: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Kita berharap Presiden dan para pembantunya bisa membedakan antara urusan parpol dan urusan negara. Ketika mereka sudah menjadi pejabat publik, seyogyanya karakter yang dimiliki adalah karakter negarawan, bukan politisi. Pasalnya, politisi itu berbeda dengan negarawan. Seorang politisi biasanya selalu berpikir tentang pemilu mendatang, sementara negarawan selalu berpikir tentang generasi mendatang. Politisi selalu berpikir tentang kesuksesan partai, sementara negarawan selalu berpikir untuk kesuksesan negara.

Ahmad Syafii Maarif (2013) mendefinisikan perbedaan politisi dan negarawan lebih tajam lagi. Menurutnya, politisi adalah seorang pragmatis yang pada umumnya tunavisi tetapi syahwatnya terhadap kekuasaan demikian dahsyat, sementara sosok negarawan adalah orang yang bervisi ke depan untuk kebesaran bangsa dan negara melampaui usianya. Semoga di akhir masa jabatan yang tinggal di ujung tanduk ini, Presiden dan para menterinya benar-benar bisa mempraktikkan karakter negarawan dalam memimpin bangsa ini, bukan karakter politikus. Semoga!

Oleh: Ali Rif'an

Peneliti Pol-Tracking Institute

Sumber: (Media Indonesia, 24 Oktober 2013)

Page 154: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Menyoal Caleg Menteri Parpol

Kekhawatiran publik akan tersendatnya kinerja kabinet pemerintahan di tahun politik sekarang ini terus mengemuka. Sebab, saat ini terdapat 10 menteri yang masuk daftar caleg untuk Pemilu Legislatif 2014. Mereka adalah lima menteri dari Partai Demokrat, yakni Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin, Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Syariefuddin Hasan, Menteri Perhubungan EE Mangindaan, Menteri Pemuda dan Olahraga Roy Suryo, dan Menteri Energi Sumber Daya Mineral Jero Wacik.

Kemudian dua menteri dari PKS, yakni Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring dan Menteri Pertanian Suswono. Dua dari PKB yaitu Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar dan Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal Helmy Faishal Zaini. Terakhir satu menteri dari PAN yaitu Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan.

Tentu saja, dengan masuknya para menteri partai politik (parpol) dalam bursa caleg, bisa dipastikan akan ada peran ganda saat mereka menjalankan tugas. Di satu sisi, mereka masih berposisi sebagai pembantu presiden yang harus menuntaskan agenda pemerintahan. Namun di sisi lain, mereka juga dituntut untuk melakukan kampanye ke dapil masing-masing dalam rangka menyongsong pemilu legistalif 2014.

Meski harus diakui bahwa kampanye ataupun sosialisasi yang dilakukan para menteri parpol tidaklah seperti caleg baru karena sudah memiliki modal popularitas, namun tetap saja konsentrasi mereka akan terpecah. Ibarat, "sambil menyelam sambil minum air", tidak menuntut kemungkinan mereka juga akan menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan politik kampanye ataupun sosialisasi. Itulah yang menjadi kekhawatiran publik akhir-akhir ini.

Sebenarnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sudah berkali-kali memberi peringataan kepada para menterinya untuk fokus mengurusi pemerintahan. Senin (22/7) lalu, misalnya, Presiden kembali mengungkapkan keresahan akan kinerja para pembantunya itu. SBY tegas mengatakan bahwa kegiatan parpol tak boleh mengganggu tugas dan kepentingan negara. SBY bahkan mempersilakan mundur para menterinya yang ingin fokus ke politik.

Tentu peringatan dan ultimatum Presiden SBY kepada para menterinya itu patut diapresiasi meski di sisi lain kita juga patut bertanya-tanya tentang konsistensi Presiden. Sebab, justru lima dari menteri yang maju menjadi caleg itu berasal dari partai binaannya sendiri. Pertanyaannya, mampukah SBY menindak tegas terhadap kadernya sendiri? Sebab, jika SBY tak mampu bertindak tegas terhadap kader partainya, sama halnnya ia menelan ludah sendiri.

Karena itu, SBY perlu memberikan keteladanan dan menunjukkan sikap konsisten. Kalau perlu segera memecat para pembantunya yang mbalelo. Seorang Presiden memiliki kewenangan penuh untuk menentukan nasib menterinya apa-kah masih layak di kursi menteri

Page 155: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

atau tidak. Kewenangan Presiden tersebut tertera dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Dalam pasal 24 dikatakan, menteri dapat diberhentikan, di antaranya karena tidak dapat melaksanakan tugas selama tiga bulan berturut-turut dan alasan lain yang ditetapkan presiden.

Karena itu, sudah saatnya paradigma seorang pemimpin atau pejabat publik itu dirubah. Artinya, kesuksesan seorang pejabat publik bukan karena lamanya ia menjabat, tapi bagaimana waktu yang singkat bisa menghasilkan kerja yang efektif. Memimpin sekali tapi berarti. Itu lebih baik daripada memimpin lama (apalagi) tidak berarti.

Sebab, yang terjadi di Republik ini, para pemimpin kerap berlomba-lomba memperpanjang jabatan ketimbang melakukan kerja-kerja yang efektif (berhasil guna) dan efisien (tepat guna). Jabatan digunakan untuk mengeruk pundi-pundi uang negara guna kepentingan pribadi dan kelompoknya (parpol). Memperpanjang jabatan kemudian menjadi upaya untuk dapat menikmati kue kekuasaan secara lama dan berkelanjutan. Kekuasaan diidentikan dengan tempat untuk menikmati kemewahan, bukan sebagai ajang pengabdian. Jabatan diposisikan sebagai arena untuk mendapatkan pelayanan dan perhatian rakyat, bukan tempat untuk melayani dan memperhatikan rakyat.

Tentu saja, jika mengacu pada teori kepemimpinan, ciri pemimpin efektif dan efisien adalah mereka yang mampu mengejawantahkan apa yang disebut akuntabilitas politik, bukan tribalisme politik. Menurut Fukuyama (2011), pemimpin atau pejabat publik yang mampu menjalankan kepemimpinan secara akuntabel ialah mereka yang dapat mempertanggungjawabkan kepada rakyat setiap kebijakan yang telah ditelurkannya. Mereka juga mampu mengutamakan kepentingan rakyat (publik) di atas kepentingan pribadi dan kelompok.

Sementara pemimpin tribalistik ialah seorang pemimpin yang lebih mementingkan citra dan lebih mengutamakan diri pribadi dan kelompoknya ketimbang kepentingan rakyat. Celakanya, untuk konteks Indonesia, kita lebih sering menjumpai model pemimpin yang kedua daripada yang pertama.

Karena itu, kita sangat berharap ke-10 menteri parpol tersebut benar-benar dapat memahami konsep kepemimpinan secara efektif dan efisien. Paradigma sekali memimpin tapi berarti agaknya harus dipegang oleh setiap pemimpin di setiap level di negeri ini. Kita tidak ingin para pemimpin dan elite politik terjebak pada konsep kepemimpinan tribalistik. Kita juga tidak ingin para pemimpin kita memiliki peran ganda dalam menjalankan roda pemerintahan.

Kepemimpinan yang efektif dan efisien sangat diperlukan karena selain bisa menghemat biaya negara dan menjadikan kerja pemerintahan lebih fokus sesuai yang ditargetkan. Juga, dapat memperlancar proses kaderisasi kepemimpinan nasional di segala jenjang.

Ali Ri’fan

Page 156: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Peneliti Pol-Tracking Institute, Mahasiswa Pascasarjana UI

Sumber : (Suara Karya, 30 Oktober 2013) http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=337573 

Page 157: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Pemilu dan Independensi KPU

Komisi Pemilihan Umum (KPU) akhirnya membatalkan kerja sama dengan Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) terkait pengamanan data Pemilu 2014. Pembatalan tersebut mendapat apresiasi dari banyak pihak. Pasalnya, sejak kerjasama itu digulirkan, berbagai kritik datang silih berganti. Ada yang memprediksi KPU pada pemilu mendatang berpotensi tidak independen. Ada pula yang menuding kerja sama KPU dan Lemsaneg adalah bagian dari skenario partai penguasa untuk memenangkan Pemilu 2014, dan lain-lain.

Jika ditelisik, kecurigaan publik tersebut tentu beralasan. Sebab, meskipun KPU dan Lemsaneg sama-sama lembaga penyelenggara negara atau yang dibentuk negara, tapi pada hakikatnya keduanya memiliki Tupoksi berbeda. Tugas KPU adalah menyelenggarakan pemilu yang seluruh rangkaiannya harus terbuka, sedangkan Lemsaneg merupakan lembaga yang bersifat rahasia, karena kerjanya adalah menjaga keamanan data-data kenegaraan.

Dengan kata lain, Lemsaneg dibutuhkan dalam hal mengamankan data-data negara yang berpotensi mengancam pertahanan bangsa, bukan lembaga yang mengelola data atau perolehan suara pemilu. Hasil pemilu adalah data yang dinyatakan terbuka karena publik memiliki hak untuk mengakses atau mendapatkan informasi itu. Karenanya, melibatkan Lemsaneg untuk mengamankan data pemilu terkesan bias bahkan ahistoris. Mensinergikan kedua lembaga tersebut—yang sesungguhnya saling bertentangan fungsinya—boleh jadi bukan semakin memperkuat, tapi malah bisa saling memperlemah.

Memang, jika dilihat tujuan kerjasama sama KPU dan Lemsaneg tersebut, terdapat lima aspek yang ingin dibangun. Pertama, terkait pengamanan data elektronik dan komunikasi pimpinan KPU. Kedua, terkait pengamanan data center dan perangkat yang digunakan dalam penyelenggaraan Pemilu 2014. Ketiga, pengamanan dokumen elektronik dan distribusinya dalam pengelenggaraan Pemilu 2014. Keempat, penyediaan perangkat sistem pengamanan dan informasi dalam penyelenggaraan Pemilu 2014. Kelima, penyediaan dan pengembangan sumber daya manusia dalam pengamanan sistem dan jaringan teknologi dalam penyelenggaraan Pemilu 2014.

Meski tujuan di atas terlihat mulia, tapi kecurigaan publik terhadap kerjasama KPU dan Lemsaneg tersebut tak bisa dibendung. Kecurigaan tersebut bisa mendatang apatisme masyarakat terhadap pesta demokrasi lima tahunan nanti. Bukan tidak mungkin gejala “emoh nyoblos” pada Pemilu dan Pilpres 2014 terjadi bukan karena tak ada partai yang disukai ataupun capres yang diidamkan, melaikan disebabkan masyarakt sudah tidak lagi percaya dengan penyelenggara negara.

Independensi KPU

Page 158: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Karena itu, sekali lagi, sikap atau langkah KPU membatalkan kerja sama dengan Lemsaneg sangatlah tepat. Hal itu penting guna mengembalikan kepercayaan publik terhadap lembaga negara. Sebab, paca-terbongkarnya skandal suap yang dilakukan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mukhtar, kepercayaan publik terhadap lembaga negara kian merosot. Kini KPU menjadi benteng terakhir dari lembaga penyelenggara pemilu yang masih bisa diharapkan. Dengan demikian, independensi KPU dalam menjalankan fungsi-fungsinya adalah harga mati.

Independensi KPU ini tentu meliputi tiga hal. Pertama, independensi institusional. Dalam independensi ini, KPU harus sadar bahwa dirinya bukan bagian dari institusi pemerintah atau negara. Bukan pula subordinat partai politik (parpol). Karena itu, KPU harus mengambil “garis dermakasi” yang jelas dari institusi pemerintah lainnya dan partai politik. KPU tak seperti lembaga Kepolisian atau Militer, yang secara fungsi dan perannya langsung di bawah komando Presiden.

Kedua, independensi fungsional. Maksudnya, KPU tidak boleh diperintah lembaga mana pun dalam menjalankan pelaksanaan pemilu. KPU harus bekerja berlandaskan konstitusi, bukan faktor pesanan, tekanan, atau lainnya. Ketiga, independensi personal, yakni bermakna bahwa komisioner KPK adalah personel yang imparsial, jujur, dan berintegritas. Karenanya, para anggota KPU harus benar-benar mengabdi pada negara, serta mengabdi pada kebenaran atau objektivitas.

Tentu saja, untuk menjaga independensi dan profesionalitas, hal yang tak kalah penting dilakukan KPU adalah membuka saja data-data terkait penyelenggaraan pemilu secara luas dan masif. Hasil rekapitulasi di TPS misalnya, harus diberikan kepada para saksi partai politik, pengawas pemilu, dan diumumkan di tempat-tempat publik yang strategis. Dengan begitu, KPU benar-benar terlihat transparan dan—bahkan—berupaya memberikan edukasi politik kepada publik, mengajak masyarakat untuk aktif berpartisipasi.

Hal itu penting karena sebagai lembaga yang strategis, KPU bersifat nasional, tetap, dan memiliki derajat kelembagaan yang tinggi nan agung karena dibentuk lewat undang-undang. Tak pelak jika independensi KPU menjadi persoalan penting sekaligus esensial karena berkaitan dengan masa depan sebuah bangsa. Artinya, KPU memiliki andil sangat besar dalam menentukan arah bangsa ini, apakah akan karam atau tetap terus berlayar menuju pulau impian.

Ali Rif’an

Peneliti Pol-Tracking Institute

Sumber: Majalah TRIAS Politika, Edisi 15-31 Desember 2013.

Page 159: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Bahaya Korupsi Politik

Persoalan korupsi di negeri ini bagaikan benang kusut. Sukar menemukan ujung dan pangkalnya, namun begitu terasa menggrogoti sendi-sendi kehidupan berbangsa. Hasil rilis terbaru survei Transparency International (TI) tentang Corruption Perception Index (CPI) 2013 misalnya, menyebutkan dari 177 negara yang diteliti, Indonesia masih berada di peringkat 144, jauh di bawah negara-negara ASEAN lainnya.

Memang, skor Indonesia dalam survei tersebut meningkat, dari sebelumnya 28 (skor yang sudah bertengger 10 tahun terakhir), kini merangkak menjadi 32. Namun, jika melihat skor sempurna adalah 100 (yakni skor yang mengindikasikan suatu negara sangat bersih dari korupsi), Indonesia jelas masih tertinggal jauh. Indonesia masih terlalu jauh dibandingkan negara-negara seperti Denmark (91), Finlandia (91), Selandia Baru (89), Swedia (89), Norwegia (86), dan Singapura (86).

Pertanyaannya, apa yang menyebabkan skor Indonesia lamban, padahal pemberantasan korupsi begitu masif dilakukan di Tanah Air? Tentu karena korupsi yang terjadi di Indonesia kebanyakan bukanlah korupsi individual, bukan pula korupsi insidental, melainkan “korupsi politik”, yakni korupsi yang dilakukan berjamaah, terstruktur, masif, dan gerakannya samar. Korupsi politik biasanya melekat dan berlindung pada kekuasaan, berada dalam stadium untuk mempertahankan dan memperluas kekuasaan.

Seperti diungkapkan Blechinger (2002), adalah partai politik (parpol) yang kerap disebut sebagai bagian dari masalah korupsi politik itu. Dalam salah satu riset ICW, pernah dikatakan sumber pendapatan parpol antara lain berasal dari pejabat di eselon I. Dalam korupsi politik, strategi parpol biasanya memasang para kadernya di posisi-posisi strategis di pemerintahan—baik di BUMN maupun legislatif—untuk menggarap atau memantau proyek-proyek penting, supaya pundi-pundi uang bisa masuk ke kas partai.

Korupsi model ini biasanya sulit dilacak karena melibatkan pejabat-pejabat penting yang berkuasa penuh di negeri ini. Jika ada yang dijadikan tersangka, mereka biasanya hanya pelaku kelas teri—bukan aktor intelektual—yang kemudian dijadikan tumbal politik.

Akar Korupsi

Jika didiagnosis, menurut Peter Larmour sebagaimana dikutip Faisal Djabbar (2013), ada tiga akar timbulnya penyakit korupsi di bidang politik. Pertama, penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Para pemilik kekuasaan menggunakan jabatannya untuk keuntungan pribadi atau kelompoknya.

Page 160: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Kedua, peminggiran suara rakyat (duplicitous exclusion). Suara rakyat dikecualikan dari pengambilan kebijakan yang akan berdampak pada masyarakat itu sendiri. Partisipasi publik ditekan. Ketiga, perselingkuhan negara dan bisnis (business and state relation). Persekongkolan antara pejabat pemerintah (juga birokrat) dan pebisnis yang berpotensi memengaruhi kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah.

Korupsi politik biasanya akan masif terjadi menjelang pemilihan umum (pemilu). Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto (Kompas, 2013) pernah membeberkan tren atau pola-pola korupsi menjelang pemilu, khususnya korupsi politik yang terjadi di daerah. Pertama, penganggran bantuan sosial (bansos) dalam anggaran dan belanja daerah (APBD).

Gelontoran dana bansos dalam jumlah besar tak hanya muncul menjelang pilkada untuk membiayai petahana berkuasa. Dalam pemilu legislatif pun bansos APBD cenderung naik. Hal itu menjadi ajang bancakan anggota DPRD untuk dibagikan kepada calon konstituennya.

Kedua, munculnya proyek mercusuar. Bentuk proyek ini bisa berbagai macam, mulai dari pembangunan land mark kota, gedung pemerintahan, hingga proyek infrastruktur lain. Biasanya, jika ada proyek mercusuar di daerah, kemungkinan ada kompensasi yang diberikan kepada DPRD yang menyetujui anggarannya. Ketiga, ada kompensasi dalam dalam pembahasan APBD menjelang akhir tahun. Kompensasi ini diberikan eksekutif kepada DPRD, sebagai bekal mereka mempersiapkan diri menjelang pemilu.

Itulah beberapa catatan terkait penyakit korupsi yang terjadi di negeri ini. Tentu setelah tahu diagnosanya, penting kiranya mencarikan obat yang tepat bagi penyakit korupsi politik yang sudah merasuk ke tulang sum-sum bangsa ini.

Hemat penulis, obatnya ada pada pabrik yang memproduksi politikus itu sendiri, partai politik. Artinya, parpol harus bertanggung jawab terhadap terjadinya korupsi politik. Parpol harus benar-benar serius melakukan rekrutmen kader dan transparan terkait sumber pendanaan partai. Boleh jadi, dua kutub itulah yang (selama ini) menjadi sumbu “malapetaka” bangsa ini.

Ali Rif’an

Peneliti Pol-Tracking Institute, Mahasiswa Pascasarjana UI

Sumber : (Sinar Harapan, 17 Desember 2013)

Link : //www.shnews.co/detile-29658-bahaya-korupsi-politik.html

Page 161: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Audit Demokrasi Partai?

Setelah Demokrat dengan konvensinya, PKS beberapa waktu yang lalu juga menggulirkan agenda "demokratisasi" partai. PKS menyelenggarakan pemilihan raya yang melibatkan seluruh kader untuk memilih kader dalam pilpres 2014. Tentu gagasan utamanya bukan memilih capres PKS/PD, melainkan menggerakkan mesin partai secara internal dan membangun citra demokratis secara eksternal. Bagi Demokrat dan PKS, slogan partai bersih hampir pasti tak bisa lagi menjadi bahan promosi Pemilu 2014. Partai demokratis menjadi tawaran baru untuk dipromosikan ke publik melalui agenda konvensi atau pemira partai misalnya.

Dalam struktur budaya organisasi partai, ada dua tingkatan demokratisasi yang berlaku dalam beberapa proses politik partai. Tingkatan pertama adalah ketika terbukanya ruang kesempatan berpendapat dan adanya konsensus di dalamnya tanpa intervensi "hak veto" seorang atau sekelompok patron. Tingkatan kedua, adanya kesempatan berpendapat dengan keputusan tetap berada pada patron. Demokratisasi yang pertama sering diformulasikan melalui terminologi "konvensi" dalam demokrasi partai di Barat.

Di Indonesia, partai politik statis berada pada tingkatan demokratisasi kedua: adanya kesempatan partisipatif tapi dengan keputusan tetap berada pada seorang patron. Bentuk konkretnya: terdapat proses saling mendengarkan dalam proses politik krusial (kandidasi) dengan keputusan final diserahkan kepada ketua umum atau pembina partai. Majelis Tinggi di Demokrat atau Dewan Syuro di PKS tetap berkuasa final dan mengikat.

Untuk memahami hal ini, ada tiga sebab penting mandeknya demokratisasi di lembaga partai politik. Pertama, tidak adanya audit demokratisasi partai politik di Indonesia. Kita begitu hirau akan pelembagaan demokrasi melalui standar-standar elektoral. Akhirnya, partai politik sebagai lembaga yang secara konstitusional sangat kuat memegang otoritas di era demokratisasi justru lepas dari perhatian atas pertanyaan: bagaimana sebenarnya partai politik dikelola? Lembaga audit demokrasi internasional seperti Democracy Audit dan Freedom House yang telah banyak dikutip karena kajian-kajiannya dalam mengukur demokrasi negara-negara di dunia, belum mampu menyentuh demokratisasi partai.

Kedua, belum ada yang mampu menembus dan apalagi mengukur aspek transparansi dan akuntabilitas lembaga partai politik dan struktur teras pengurus partai. Kita mafhum dengan pengelolaan partai yang tertutup dan personal, sementara struktur menjadi simbol pemenuhan regulasi kelembagaan karena akhirnya alur keluar-masuk dana partai berada pada aktivitas personal yang terfragmentasi ke dalam faksi-faksi di tubuh partai. Seolah partai politik menjadi lembaga tak tersentuh dalam ruang demokrasi sekalipun berstatus lembaga demokrasi. Kita bisa menyentuh parlemen, jajaran kabinet, dan imperium birokrasi, tapi begitu sulit menembus kelembagaan partai yang juga sebagian sumber dananya berasal dari

Page 162: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

APBN. Pendekatan-pendekatan baru untuk mengukur demokrasi belum juga memasukkan aspek ini dalam mengaudit demokrasi di tubuh partai.

Ketiga, kalaupun kita sudah melakukan audit demokrasi terhadap partai politik, indikator dan standar yang digunakan adalah dengan mereplikasi pengalaman demokrasi Barat. Padahal jelas kita menganut asas penting dalam berdemokrasi di Indonesia: "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan." Standar audit yang kita lakukan masih beragam dengan ukuran yang kadang dipesan dan terdiferensiasi dalam banyak studi dan perspektif demokrasi.

Banyak teori Barat, baik yang klasik maupun modern, mengukur demokrasi dengan melihat derajat kualitas kompetisi yang terjadi antar-elite dan partai politik. Sebagai misal, Robert Dahl (1994) menggariskan ukuran demokrasi (polyarchy) ke dalam dua dimensi: kompetisi (contestation) dan partisipasi (inclusiveness). Intinya sederhana untuk mengukur demokrasi, yaitu dengan mengajukan pertanyaan bagaimana partai politik berkompetisi dan cara negara membangun mekanisme partisipatif dalam penyelenggaraan pemerintahan. Konsep yang berangkat dari pengalaman demokrasi Barat ini diadopsi negara untuk mengukur demokrasi di Indonesia melalui Indeks Demokrasi Indonesia (2009) ke dalam tiga aspek pokok: kebebasan sipil (civil liberties), hak-hak politik (political rights), dan lembaga demokrasi (democratic institutions).

Kita tidak akan menemukan musyawarah, baik secara harfiah maupun terminologi, dari 3 aspek, 11 variabel, dan 28 indikator yang dirumuskan dalam indeks tersebut. Publik akan mengalami distorsi jika negara masih menganggapnya sebagai suara dalam pemilu dan angka dalam catatan statistik.

Arya Budi, Peneliti Pol-Tracking Institute

Sumber: http://koran.tempo.co/konten/2013/12/20/330350/Audit-Demokrasi-Partai (Koran Tempo, 20 Desember 2013)

Page 163: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Partai Islam Harus Perluas Inklusivitas

Dalam sebuah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, partai Islam seharusnya mendapat porsi suara terbesar pada setiap kontestasi politik.

Pemilu sejak tahun 1955 sampai 2009 selalu menempatkan partai Islam pada posisi pinggiran. Suaranya tak pernah menjadi arus utama (mainstream) dalam preferensi dan pilihan-pilihan politik publik.

Perhitungan hasil suara enam partai Islam (PKS, PAN, PPP, PKB, PBB, dan PKNU) pada pemilu 2009 secara akumulatif sebenarnya memperoleh 43,7 persen, namun jumlah itu lebih kecil dari akumulasi suara partai-partai nasionalis (51,7 persen).

Fakta historis ini memperlihatkan secara meyakinkan bahwa kekuatan koalisi partai Islam tidak akan dapat berdampak secara signifikan terhadap strategi pemenangan elektoral mereka pada Pemilu 2014 mendatang. Koalisi tertutup antarpartai Islam hanya akan mempersempit peluang dan memperluas pemaknaan simbol-simbol politik yang salah oleh publik terhadap partai.

Wacana koalisi partai Islam hanya akan memperlihatkan secara eksplisit kelemahan politis di satu sisi dan kuatnya faksionalisasi partai-partai Islam pada sisi lain. Selain itu, juga tentang stigma negatif kepentingan kekuasaan para elite partai politik Islam.

Pada aspek lain, secara sosiologis, mayoritas masyarakat muslim Indonesia tidak lagi tertarik dengan isu pendirian negara Islam yang kompleks dan menimbulkan banyak gesekan di tengah pluralitas masyarakat kontemporer.

Menguatnya pandangan pragmatis terhadap berbagai dinamika politik kebangsaan juga menjadi faktor lain kelemahan partai Islam. Ideologi tidak lagi dipandang sebagai sebuah tata nilai keyakinan, melainkan tata operasional yang harus berujung pada realisasi kemakmuran ekonomi. Maka, sistem apa pun tidak penting selama senada dan senapas dengan Islam dan mampu menyejahterakan.

Kuatnya perbedaan pemahaman fikih Islam di kalangan umat Islam Indonesia, yang dimanifestasikan dalam muatan kepentingan-kepentingan partai Islam, menjadikan titik temu (kalimatun sawa) berbagai partai Islam menjadi semakin sulit. Kendatipun koalisi itu terbangun, kekuatannya tidak akan dapat menjadi strategi ampuh memenangi pemilu.

Akan tetapi, tentu saja cukup ampuh bila dijadikan bargaining position untuk "dijual" pada partai pemenang sebagai syarat mendapat posisi-posisi strategis pada struktur pemerintahan. Jika pola ini tetap dipaksakan, partai Islam akan kembali terpuruk dalam jebakan kekuasaan yang mendegradasi nilai perjuangan seperti kini dialami PPP dan PKS.

Page 164: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Bila mengacu pada hasil penelitian Oliver Roy terhadap kegagalan gerakan Islam politik di beberapa negara Timur Tengah, Afrika, dan Asia Selatan dalam bukunya The Failur of Political Islam, kegagalan Partai Islam dalam kontestasi elektoral lebih karena tidak mampu menawarkan gagasan-gagasan alternatif konkret di bidang ekonomi.

Selain itu, mereka cenderung defensif terhadap serbuan ide-ide barat. Di samping itu, kuatnya segmentasi etnis, kesukuan, manuver politik, persaingan pribadi, dan korupsi menjadi faktor lain yang mendegradasikan nilai politik partai Islam di hadapan publik muslim itu sendiri. Pola-pola degradatif tersebut tidak hanya terjadi pada konteks negara-negara muslim Timur Tengah, Afrika, dan Asia Selatan, tetapi juga terlihat jelas dalam fenomena partai-partai Islam di Indonesia.

Mengoreksi peluang elektoral partai Islam dalam kontestasi politik di Indonesia memang tidak mudah. Akan tetapi, bersandar pada kekuatan koalisi tidak akan mengubah secara signifikan peluang kemenangan partai Islam.

Mereka harus berani mengubah strategi-strategi pemenangan elektoral secara mendasar guna mengobati kekecewaan publik dan meraih kepercayaan seluas-luasnya dengan mengevaluasi serta mereposisi peran Islam kontemporer.

Memperluas Inklusivitas

Stigmatisasi partai Islam sebagai partai eksklusif dari kaum fundamentalis perlu menjadi titik tekan utama dalam "merentas jalan baru". Di tengah derasnya arus moderasi, sentimen sektarian aliran tidak lagi dapat menjadi amunisi partai Islam untuk meraih simpati publik guna menjatuhkan pilihan mereka pada partai-partai Islam. Derasnya arus modernisasi dan keterbukaan informasi mengharuskan partai Islam menjadi terbuka dan berorientasi pada program-program pembangunan serta pemberdayaan masyarakat. Mereka secara komprehensif harus antidiskriminasi. Mereka wajib mengedepankan nilai-nilai kebersamaan.

Ideologisasi yang kaku harus mulai ditanggalkan karena akselerasi teknologi dan informasi menjadikan ideologi publik lebih cair dan dan terbuka dengan berbagai perubahan serta nilai-nilai baru yang lebih rasional. Partai Islam harus berani mengakomodasi kebaikan nilai-nilai Barat dengan tetap mempertahankan norma Islam yang lebih positif.

Politik benalu dengan menempelkan kepentingan pada lingkaran posisi pemerintahan tidak akan dapat memulihkan kekecewaan publik pada prestasi-prestasi politik partai Islam. Kedekatan elite-elite partai Islam dengan lingkaran kekuasaan hanya akan mempersulit mereka dalam mentransformasi ideologi menjadi nilai-nilai operasional yang dirasakan masyarakat sebab prestasi politik apa pun dari kader-kader partai Islam di dalam pemerintahan akan selalu diidentikkan sebagai manifestasi dan keberhasilan politik partai penguasa.

Orientasi peran oposisi partai Islam akan memperkuat identitas dalam memperjuangkan kepentingan-kepentingan warga. Dengan begitu, masyarakat dapat merasakan keberpihakan

Page 165: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

mereka dalam memperjuangkan aspirasi dan harapan-harapan. Hal itu, selama ini, tersendat oleh eksplorasi kepentingan elite pemerintahan dan praktik rente partai politik terhadap sektor-sektor publik.

Peran oposisi pada dasarnya merupakan manifestasi dari politik kesabaran dan amr maruf nahi munkar yang selalu didengungkan para elite partai Islam itu sendiri. Untuk meraih kemenangan elektoral, partai Islam tidak harus selamanya memainkan langkah maju. Sesekali mereka harus melangkah mundur untuk membangun kekuatan dan mengambil simpati publik dalam memecahkan dilema elektoral.

Oleh Danis T Saputra W Peneliti Pol-Tracking Institute

Page 166: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Surplus Golongan, Defisit Karya

Sebagai partai mapan dengan elektabilitas konstan dua digit, dinamika internal Golkar dalam rapat pimpinan nasional yang lalu akan berpengaruh terhadap dinamika politik nasional. Paling tidak, ada empat kekuatan yang terekam media di dalam lingkup internal Golkar: Aburizal Bakrie, Akbar Tandjung, Jusuf Kalla, dan Agung Laksono.

Dinamika ini bukan hanya terkait dengan pencalonan presiden oleh Golkar yang bisa berpotensi ganda-penguatan atau justru pelemahan Ketua Umum-tapi juga dengan peta sikap politik Golkar terhadap kandidat calon presiden yang maju pada 2014. Kekuatan politik Golkar menjadi penting apakah mendukung atau memilih beroposisi. Walaupun, dalam sejarah sikap partai, Golkar hampir selalu memilih "ikut" duduk di Istana daripada hanya kuat di parlemen.

Kini, apakah Golkar menciptakan jalannya sendiri melalui pengajuan Ical sebagai calon presiden yang dideklarasikan pada pertengahan 2012 lalu. Peta golongan faksi-faksi yang bermunculan di media jelas semakin mendestruksi Golkar setelah rapimnas, jika tidak ada akomodasi kepentingan. Atau, Golkar semakin terlelap dalam glorifikasi dirinya sebagai partai paling tua dan mapan.

Di sisi lain, di luar problem internal yang selalu bersifat turbulen dan terus menjadi duri dalam daging Golkar, lawan Golkar saat ini sebenarnya adalah "Partai" Jokowi. Yaitu, para pemilih mengambang, pemilih apatis, dan undecided voters yang mengerubungi Jokowi secara sukarela.

Dalam banyak pengalaman negara demokratis, partisipasi politik dalam pemilu sangat ditentukan oleh hadirnya promising candidate dengan karakter kebijakan yang dimiliki (Ashenfleter dan Kelley, 1975). Kandidat yang mempunyai portofolio kebijakan tentu akan menciptakan atensi di tengah apatisme publik terhadap proses elektoral. Di sisi lain, personalitas Jokowi seolah menjadi oasis di tengah kering gersangnya kepemimpinan otentik. Singkatnya, Jokowi menjadi pemobilisasi pemilih untuk menggiring pemilih hingga PDIP memperoleh suara yang cukup (threshold 20 persen) dalam pencalonan Jokowi sebagai presiden. Lawan Golkar-dan partai politik peserta pemilu lainnya-adalah para promising candidate yang juga kader partai seperti Jokowi saat ini.

Pada sisinya sebagai sebuah organisasi partai, Golkar telah bergerak dari sebuah partai hegemonik yang berorientasi untuk menjaga program pembangunan negara (developmentalist) ke sebuah partai yang berorientasi pasar (baca: pemilih) yang disebut sebagai market-oriented party, bahkan sejak akhir kepemimpinan Harmoko (Rully Chairul Azwar, 2009). Artinya, semua program, sikap politik, dan maneuver Golkar adalah untuk menyasar atensi pemilih, bukan lagi soal realisasi AD/ART Bab V tentang Doktrin, Ikrar, dan

Page 167: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Paradigma Golkar. Artinya, lepas dari konsepsi ideal pelembagaan partai apakah menerjemahkan ideologi ke dalam program atau sikap politik lebih dulu, pilihan Golkar untuk menerjemahkan aspirasi/tuntutan publik masih belum mampu menarik atensi publik dibandingkan dengan kekuatan hadirnya promising candidate dalam Pemilu 2014.

Sebagai refleksi perbandingan, karakter kepartaian Indonesia, terutama Golkar, bisa melihat pengalaman di Meksiko. Pemilu presiden Meksiko 2012 kembali dimenangi oleh Enrique Peña Nieto dari Partido Revolucionario Institucional (PRI). PRI adalah partai yang menguasai Meksiko di bawa model kepemimpinan diktator selama beberapa dekade (1929-2000), partai yang awalnya dihukum rakyat pada pemilu tahun 2000 karena memerintah dengan tangan besi. Penjelasan atas kemenangan PRI di Meksiko ini adalah dua hal: transformasi PRI sebagai organisasi partai dan persepsi negatif publik terhadap keamanan serta pembangunan Meksiko di bawah kepemimpinan Partido Acción Nacional (PAN). PAN hadir pada 1938 sebagai partai oposisi melawan PRI yang monolitik hingga akhirnya Vicente Fox asal PAN memenangi pilpres Meksiko pada 2000.

Singkat cerita, Golkar bisa saja meniru PRI di Meksiko dengan transformasi ganda. Pertama, Golkar perlu mentransformasikan pesan-pesan platform pembangunan atau developmentalisme yang menjadi kosakata paranoid sejak kejatuhan Soeharto seperti transformasi GBHN, Repelita, dan lain-lain dalam model program-program yang lebih kompatibel dengan tuntutan akselerasi pembangunan dan demokratisasi saat ini.

Kedua, Golkar harus mentransformasikan partai sebagai sebuah organisasi politik yang demokratis, terbuka, dan akuntabel sehingga paling tidak bisa meminimalkan pesan koruptif dan transaksional yang melekat di Golkar. Paradigma baru yang digagas era Akbar Tandjung untuk beradaptasi dengan tuntutan demokratisasi setelah 1998 belum cukup untuk mentransformasikan Golkar sebagai sebuah organisasi partai.

Jika Golkar hanya memanfaatkan sisa-sisa basis pemilih Orde Baru, jejaring kader para patron Golkar di kino-kino dan organisasi sektoral, serta berusaha mengais para undecided voters melalui mekanisme transaksional, maka Golkar tak akan lebih dari sebuah golongan, dan gagal menjadi partai transformatif. Atau, surplus golongan namun defisit karya.

Arya Budi

Peneliti Pol-Tracking Institute

Sumber : http://www.tempo.co/read/kolom/2013/11/27/930/Surplus-Golongan-Defisit-Karya

Page 168: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Pemilu dan Kearifan Politik

Perilaku politik yang ditunjukan pejabat negara dan elite partai politik (parpol) hari-hari ini mengalami kemunduran luar biasa. Berbagai penyalahgunaan wewenang dan skandal korupsi terus dipertontonkan ke ruang publik. Kepercayaan publik pun kian memudar, sementara riak-riak apatisme politik semakin tajam.

Menjelang beberapa bulan lagi pemilu digelar, kini kegaduhan politik sudah mulai mengemuka. Pelanggaran-pelanggaran kecil kerap dilakukan para calon anggota legislatif (caleg), seperti pemasangan spanduk atau reklame yang membuat ruang publik semakin pengap dan tidak nyaman.

Lebih parah lagi, seperti diberitakan banyak media pada Oktober 2013 lalu, caleg DPRD Kabupaten Lumajang, Jawa Timur yang dikeroyok massa karena ketahuan mencuri handphone. Ketika ditanya, ia mencuri ternyata untuk mencari pendanaan biaya kampanye.

Tentu fenomena di atas—khusunya tentang kasus caleg mencuri—boleh jadi hanya bagian dari gunung es kasus serupa yang belum diketahui publik. Cara-cara kotor dalam mencapai kekuasaan kerap dipertontonkan para aktor politik kita. Hal itu bisa kita lihat dalam banyak pilkada. Serangan fajar—atau istilah yang lebih baru lagi “serangan dhuha”—kerap menjadi pemandangan yang tidak tabu lagi. Demi mengejar kekuasaan, praktik kotor seperti memanipulasi data, melakukan kekerasan dan intimidasi politik juga kerap dilakukan.

Celakanya, praktik semacam itu juga kadang terjadi di arena politik kampus, di mana perebutan tampuk tertinggi organisasi kerap diraih dengan cara-cara culas. Tidak heran jika para aktivis kampus ketika masuk organisasi yang lebih besar—seperti partai politik—cara-cara culas seperti itu masih dibawa.

Politik ala Machiavelli

Fakta tersebut menandakan politik ala Machiavelli lebih digandrungi di negeri ini. Melalui karyanya yang berjudul The Prince (1513), Niccolo Machaivelli kerap dituding sebagai “gurunya kejahatan” karena nasihat-nasihatnya yang amoral. Dalam pandangan Machiavelli, seorang pangeran (aktor politik) harus berani untuk melakukan apa pun yang diperlukan, betapapun tampak tercela, karena rakyat pada akhirnya hanya peduli dengan hasilnya, yaitu kebaikan negara (Skinner, 1985: 4).

Tentu saja, jika pandangan seperti itu terus dipraktikkan politikus kita, mengutip ungkapan Yasraf Amir Piliang (2005)—“ironi politik” akan terus terjadi di negeri ini. John Evan Seery dalam Political Return: Irony in Politics and Theory from Plato to the Anti-nuclear Movement menjelaskan, ironi politik adalah kondisi ketika dalam ruang-ruang politik hadir

Page 169: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

berbagai bentuk kontradiksi, pertentangan, disparitas, inkonsistensi, inkompatibilitas, dan paradoks yang menciptakan berbagai bentuk absurditas politik (Piliang, 2005: 170).

Ironi politik memproduksi berbagai ambivalensi yang kemudian mendorong seorang politikus berwajah ganda yang memproduksi kode-kode ganda lewat berbagai ucapan, bahasa, tindakan, dan tindak tanduk. Dalam kehidupan politik yang nyata, ironi politik terlihat dari wajah ganda sebagian elite politik kita. Di satu sisi mereka mengatakan sebagai wakil rakyat atau berjuang untuk kepentingan rakyat. Namun, sisi lain mereka sebenarnya sedang berjuang untuk kepentingan diri sendiri dan kelompoknya.

Bahkan, tak jarang dalam ironi politik, elite politik kemudian hanyut dalam fantasi atau ilusi-ilusi tentang gaya hidup (piknik ke luar negari, mobil mewah, pakaian bergaya, bonus, dan lain-lain), sementara tidak mempunyai kontak lagi dengan realitas rakyat yang mereka perjuangkan dan wakili.

Kearifan Politik

Menjelang Pemilu 2014 yang tinggal di ujung tanduk, para elite politik atau calon anggota legislatif kita penting untuk “mengerami” apa yang disebut kearifan politik. Kearifan politik bisa dimaknai sebagai proses berpolitik yang dilalui dengan cara-cara yang bijak dan bajik. Kearifan politik merupakan seni untuk mencapai kekuasaan politik dengan jalan yang benar.

Kearifan politik ialah menarik politik ke ruang nurani manusia yang paling jujur, tempat kebenaran berada dan mendekam terpenjarannya ambisi ego dan kepentingan yang dibungkus logika kebenaran. Kearifan merelokasikan politik pada titik kesadaran perennial yang hakikatnya sama di antara sesama makhluk politik.

Dengan demikian, kearifan politik mengembalikan esensi politik sebagai suatu yang melekat pada diri manusia yang potensial membuat kehidupan menjadi harmoni, damai, dan mengabdi hanya pada kebenaran serta memperjuangkan kebenaran itu secara elegan (Kurnianto, 2010).

Lebih dari itu, kearifan politik juga mengembalikan politik pada definisi alsinya, yakni ruang untuk mencapai tatanan sosial yang baik dan berkeadilan (Budiardjo, 2010). Artinya, orang yang masuk politik berarti sudah siap berjuang menciptakan tatanan sosial yang baik dengan berbagai risiko yang harus dihadapinya, termasuk hidup miskin.

Ali Rif’an

Peneliti Pol-Tracking Institute, Mahasiswa Program Pascasarjana UI

Sumber: (Sinar Harapan, 27 Desember 2013) Link : http://www.shnews.co/detile-30126-pemilu-dan-kearifan-politik.html

Page 170: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Parlemen Lokal atau Konstitusional

SEKALIPUN ”dinasti politik” telah lama menjadi obyek kajian politik lokal sejak beberapa tahun lalu, baru setelah publisitas kencang soal Gubernur Banten Ratu Atut muncul kesadaran publik atas fakta politik lokal yang mungkin tak jauh beda kompleksitasnya dibandingkan dengan politik nasional.

Para akademisi Barat (Indonesianis) pun membahas fenomena politik di sejumlah daerah ini karena politik nasional tidak lagi menunjukkan ”keunikan”.

Justru daerahlah yang banyak menunjukkan ”anomali” demokrasi. Pertanyaannya di mana parlemen lokal kita?

Lembaga legislatif, yang bertugas merancang peraturan daerah, menyetujui, dan mengawasi anggaran, serta pengawasan secara keseluruhan, ternyata sering abai terutama pada fungsi pengawasan.

Hanya pada kasus mantan Bupati Garut Aceng Fikri peran DPRD muncul dalam proses panjang pemakzulan. Konstitusi (Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004) bahkan melembagakan relasi DPRD-kepala daerah ke dalam 12 diktum (Pasal 25, 27, 29, 35, dan 42) dari kebijakan daerah, peraturan daerah, pengawasan, dinamika jabatan kepala daerah seperti kekosongan dan pemberhentian hingga hubungan internasional.

Muka lama

Di sisi lain melihat wajah parlemen di media massa kita seperti dihadapkan pada adagium baru soal demokrasi ”perwakilan dan permusyawaratan” Indonesia: mudah berdebat, tetapi sulit bersepakat.

Hasil Pemilu 2014 pun tampaknya juga bakal mirip dengan parlemen kita kini khususnya di level nasional.

Hasil kajian Pol-Tracking Institute menunjukkan bahwa dari 6.607 calon anggota legislatif nasional (daftar calon tetap) yang ditetapkan KPU untuk berkontestasi menuju Pemilu 2014 hampir semua (91 persen) anggota dewan petahana (2009-2014) yang kembali mencalonkan diri dan menempati nomor urut puncak.

Potensi keterpilihan para caleg petahana ini cukup besar karena tiga hal.

Pertama, caleg petahana mendapatkan ”bantuan” negara untuk bertemu pemilih melalui dana aspirasi ketika reses.

Page 171: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Kedua, caleg petahana memperoleh limpahan suara dari pemilih yang hanya mencoblos nama/lambang partai karena kebanyakan partai akan melimpahkan ke nomor urut puncak.

Ketiga, publik-pemilih kita cenderung melihat figur/sosok dalam representasi sosiologis (kekerabatan, suku, agama, dan lain-lain) atau psikologis (muda, tampan, cantik, menawan, dan lain-lain) dibandingkan dengan pilihan rasional seperti kinerja dan produktivitas.

Akhirnya, demokrasi perwakilan dan permusyawaratan kita adalah sebuah repetisi simbolik, padahal demokrasi ”perwakilan dan permusyawaratan” sudah ada sebelum terlembaganya model demokrasi ini dalam konstitusi.

Sebagai contoh, lembaga ninik-mamak di Minangkabau sebagai forum musyawarah-mufakat para tetua, bate-salapanga di Gowa (kerajaan Makassar) sebagai pemangku perwalian rakyat, adek-pitu di Bone (kerajaan Bugis), atau Puang ri Wajo yang memangku kedaulatan rakyat Tana Wajo.

Di Bali terdapat paruman yang menjadi forum musyawarah oleh para ketua adat Bali (kelihan/bendesa) yang dipilih masyarakat.

Lembaga-lembaga di tingkat lokal ini justru mampu mengampu asas-asas ”perwakilan dan permusyawaratan” walaupun dalam beberapa kasus mengalami disfungsi dan politisasi (Siti Zuhro dkk, 2011).

Di sisi lain, banyak orang kemudian mempermasalahkan pemilu karena masih belum mampu membersihkan parlemen sebagai cawan demokrasi ini atau paling tidak mengganti isinya dengan yang lebih jernih.

Namun, sebenarnya, nalar demokrasi sosial masyarakat Indonesia sejak awal republik ini telah menerima pemilu sebagai sebuah konstitusionalisasi aspirasi.

Khalayak umum mungkin mafhum bahwa Pemilu 1955 adalah pemilu pertama di Indonesia setelah merdeka pada 1945 sebagai pemilu yang paling demokratis.

Klaim paling demokratis ini merujuk pada jumlah dan karakter peserta pemilu yang bukan hanya diikuti oleh organisasi partai, tetapi juga paguyuban bahkan perseorangan.

Di sisi lain, klaim pemilu demokratis juga merujuk pada partisipasi publik yang masif (87,65% dari total 57.535.752 pemilih) tanpa intervensi negara alias sukarela.

Herbert Feith adalah orang yang mencatat isu di balik pemilu era Orde Lama itu dengan baik. Pemilu itu diselenggarakan di bawah Kabinet Sukiman ketika Indonesia menganut sistem ”parlementer setengah hati”.

Kompleksitas kepentingan

Page 172: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Fakta historis soal demokrasi elektoral itu mengonfirmasi bahwa masyarakat di daerah dalam beberapa kasus justru lebih siap menerima pelembagaan demokrasi dengan parlemen konstitusional.

Problemnya kini politik lokal mengalami kompleksitas kepentingan. Jika sejauh ini ada tiga pihak—pemerintah daerah di bawah kepala daerah, DPRD, dan swasta atau pengusaha—yang mengendalikan dan ”merawat” sumber daya secara kolektif, pada dasarnya ada empat hal lain yang menjelaskan demokrasi perwakilan dan permusyawaratan di tingkat lokal menjadi tak lagi bernyawa.

Pertama, adanya politik identitas yang sangat kuat seperti sentimen suku, agama, atau putra daerah dan pendatang.

Kedua, kehadiran kekuatan-kekuatan ekstra-parlementer yang mewujud ke dalam aktor kolektif dengan beberapa bentuk gerakan koersif dan intimidatif, seperti premanisme, mafia, atau kartel di setiap daerah.

Ketiga, disfungsinya tokoh-tokoh sosial seperti wali nagari, datuak, kelihan, atau kiai untuk memperkuat civic virtue atau nilai kewargaan.

Keempat, kesulitan organisasi-organisasi masyarakat sipil atau kelompok kepentingan seperti ormas dalam melakukan konsolidasi dan advokasi publik.

Semoga Pemilu 2014 menghasilkan produk yang lebih baik.

KOMPAS, 16 Desember 2013,

Arya Budi (Peneliti Pol-Tracking Institute)

Page 173: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

DPR dan Pasar Gelap Politik

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) saat ini, ibarat pasar, lebih cocok disebut “pasar gelap politik”. Meminjam istilah Yasraf Amir Piliang (2011), pasar gelap politik adalah tempatnya para broker, perantara, pedagang, dan para mafioso politik yang memainkan taktik dan strategi guna mencari keuntungan sebanyak-banyaknya meski menabrak kepentingan publik.

Dalam pasar gelap politik, aneka keputusan, seperti hak angket ataupun menyusunan anggaran dan legislasi dilakukan melalui tawar menawar, negosiasi, bahkan transaksi di bawah tangan. Juga, sarat dengan kekerasan politik, seperti saling sandera menyandera antara anggota dewan, anggota koalisi, hingga antara anggota dewan dan pihak eksekutif.

Itulah, kenapa kursi Senayan hari-hari ini bak panggung teater yang menyuguhkan pertunjukan memilukan sehingga masyarakat semakin kecewa dibuatnya. Potret kekecewaan itu telihat dalam hasil survei Pol-Tracking Institute yang dirilis 20 Oktober 2013 lalu. Dalam survei tersebut dikatakan, hanya 12,64 persen masyarakat yang menjawab kinerja DPR baik. Sisanya 61,85 persen menilai tidak baik, dengan rincian 46.2 persen menyatakan kurang baik, 15,65 persen buruk, dan sisanya 25,68 persen menyatakan tidak tahu.

Jika ditelisik, ada beberapa alasan kenapa persepsi publik buruk terhadap DPR saat ini. Pertama, terkait minimnya kualitas kerja anggota DPR dalam memenuhi targetan Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Berdasarkan temuan Pol-Tracking Institute, dari tahun ke tahun, ada grafik menurun terkait target Prolegnas DPR RI. Tahun 2005 misalnya, dari 55 Rancangan Undang-Undang (RUU) hanya 14 yang mampu disahkan menjadi Undang-Undang (UU). Begitu halnya pada 2006, dari 76 RUU hanya 39 yang berhasil menjadi UU. Pada 2007, dari 78 RUU hanya tercapai 40 UU, 2008 (dari 81 RUU hanya tercapai 61 UU), 2009 (93 RUU hanya tercapai 24 UU), 2010 (70 RUU hanya tercapai 14 UU), 2011 (dari 91 RUU hanya tercapai 22 UU), dan 2012 (dari 69 RUU hanya 30 UU).

Rendahnya capaian DPR terkait menyusunan UU itulah yang secara perlahan namun pasti membuat publik semakin tidak percaya dengan kinerja parleman. Sebab, legislasi atau menyusun UU merupakan salah satu fungsi pokok DPR, selain pengawasan dan penganggaran. Jika fungsi pokok saja tak mampu dijalankan dengan baik, bagaimana dengan fungsi-fungsi lain yang di bawah legislasi.

Kedua, terkait dengan etika (moral) anggota DPR. Tentu saja berbagai aksi anggota DPR yang sering diwarnai perang pernyataan di depan publik dalam menyikapi sebuah persoalan turut serta menurunkan citra DPR. Apalagi perang pernyataan itu kerap diakhiri dengan debat kusir, keluar kata-kata "preman", dan tindakan emosional lainnya. Celakanya, hal itu diperparah dengan tindakan memalukan lainnya seperti skandal seks dan tertangkapnya salah seorang anggota DPR sedang melihat gambar porno saat sidang paripurna berlangsung.

Page 174: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Ketiga, terkait dengan sindikasi kasus korupsi. Berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sejak 2004 hingga Juni 2013, paling kurang terdapat 72 anggota DPR yang telah ditangkap dan dijadikan tersangka oleh KPK. Kasus-kasus yang menjerat anggota DPR ini juga unik dan kadang menohok logika publik. Misalnya, skandal korupsi pengadaan Al-Qur'an, dan kasus suap kuota impor daging sapi, yang membuat publik terluka sehingga memiliki perasaan sinis terhadap DPR.

Padahal, secara kuantitatif, wajah DPR saat ini (periode 2009-2014) sebenarnya 70 berisi pendatang baru (baca: wajah baru). Dengan wajah baru, asumsi yang muncul adalah kinerja DPR periode sekarang akan lebih baik dari periode sebelumnya. Namun kenyataan sebaliknya. Senayan tetap menjadi ruang yang pekat dengan aroma korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Bahkan riak keangkuhan kerap ditunjukan oleh para anggota DPR sekarang.

Kini di antara 6.607 daftar calon tetap anggota DPR yang telah diumumkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) kembali memuat wajah-wajah lama. Sekitar 90 persen anggota DPR itu kembali mencalonkan diri pada Pemilu 2014. Mereka bahkan mendominasi nomor urut satu dalam daftar caleg. Tentu, hal ini akan menjadi preseden buruk karena DPR RI periode 2014-2019 ke depan berpotensi diisi oleh wajah-wajah lama dan "barangkali" juga dengan kinerja dan watak yang sama, lambat dan korup. Pada titik inilah publik bertanya, mungkinkah anggota DPR periode mendatang akan lebih baik dari periode sekarang?

Ada solusi mengatasinya. Pertama, meningkatkan komunikasi politik untuk memenuhi target Prolegnas antar ketua fraksi maupun kementerian terkait guna mencegah terjadinya deadlock. Kedua, menegakkan mekanisme sanksi oleh partai bagi anggota DPR yang lalai dan abai menjalankan fungsi dan tugas kedewananan. Terakhir, mendorong Badan Kehormatan (BK) PDR untuk terus menjaga marwah parlemen agar benar-benar menjadi lembaga yang terhormat.

Sementara itu, bagi caleg penting kiranya merubah cara pandang (paradigma) dalam melihat arena politik. Artinya, setiap politikus harus mampu menjadikan medan politik sebagai lahan untuk berderma. Sehingga DPR ke depan tidak lagi seperti pasar gelap politik, tetapi tempat bersinggahnya para negarawan yang hidup-matinya berjuang demi kesejahteraan rakyat dan kemajuan bangsa.

Ali Rif’an

Peneliti Pol-Tracking Institute, Mahasiswa Program Pascasarjana UI

Sumber: (Suara Karya, 23 Januari 2014) http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=343099

Page 175: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Hilangnya Keadaban Politik

Kehidupan politik kita hari-hari ini semakin jauh dari keadaban. Janji reformasi telah dikhianati. Keadilan dan kesejahteraan sebagai cita-cita agung para pendiri bangsa juga diselewengan. Demokrasi menjadi semakin anomali, sementara politik kian sakit. Pertarungan politik saat ini bukan lagi pertarungan gagasan, melainkan pertarungan citra

Politik bukan lagi medan perjuangan, melainkan profesi. Selain mendatangkan kegaduhan luar biasa, politik hari ini mendatangkan bencana yang tak terkira. Bencana korupsi, bencana penyalahgunaan kekuasaan, bencana dinasti politik, bencana keserakahan, dan seterusnya. Tentu bukan politiknya yang salah, melainkan aktor di dalamnya.

Kini, politikus kita justru lebih banyak yang terjebak pada apa yang disebut seduksi politik. Kecenderungan politik abad virtualitas yang bertumpu pada permainan murni penampakan, artifisialitas, imagologi, dan mimikri (mimicry) sebagai cara untuk survive di abad informasi. Politik seduksi ini juga disebut “politik rayuan” yang oleh Jean Baudrillard dalam Seduction sarat strategi penampakan (Piliang, 2005: 392).

Politik seduksi adalah dunia politik yang dibangun oleh permainan citra. Wajah-wajah politikus sebagai perayu, ditampilkan dengan berbagai tampilan mimikri dalam rangka menimbulkan efek-efek pesona. Tak heran jika politikus—khususnya menjelang Pemilu 2014—lebih sibuk mengurus “gincu” daripada menyusun gagasan segar untuk bangsa ini. Mereka lebih sibuk membuat tim pemenangan, mengurus dana kampanye, dan iklan politik, ketimbang melakukan “diagnosis” atas segala problem kebangsaan yang ada.

Memang, orang sering menyebut modal politikus ada tiga M; mind (gagasan), massa, dan money (uang). Namun, pada praktiknya modal ketigalah yang lebih dominan dimiliki politikus kita saat ini. Jika itu yang terus terjadi, politik kemudian—meminjam bahasa Donny Gahral Adian (2013)—bukan lagi ruang bagi rakyat untuk memperjuangkan kedaulatannya, melainkan panggung tempat kapital beradu demi kekuasaan.

Peran Parpol

Sudah saatnya keadaban politik menjadi panglima. Tanpa keadaban, politik tak ubahnya panggung yang berisi para pesolek dan demagog. Tanpa keadaban, politik menjadi majal. Politik hanya menghasilkan seremoni lima tahunan yang menyajikan “menu prasmanan” setengah basi. Tanpa keadaban, demokrasi yang kita elu-elukan juga akan terjungkal. Tentu dalam arena politik, lembaga paling bertanggung jawab menentukan keadaban politik adalah partai politik (parpol).

Parpol merupakan “kawah candradimuka” para politikus. Ibarat kampus, parpol harus memiliki kurikulum yang jelas, khususnya kurikulum yang terkait etika. Lebih dari itu, agar

Page 176: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

output lulusan bagus, kampus politik bernama partai politik harus melakukan penyaringan kader secara ketat.

Dengan menyaringan ketat dan kurikulum tepat, output yang dihasilkan bisa dipastikan baik, karena yang terjadi saat ini, partai belum memiliki kurikulum yang jelas, penyaringannya pun asal-asalan.

Bahkan, tak jarang, banyak orang yang ingin masuk parpol lewat jalur belakang (transaksional). Dengan hanya bermodal uang, ia bisa dengan mudah melenggang jadi elite parpol tanpa tes (integritas) terlebih dahulu. Politik model itulah yang kini menghiasi ruang publik. Padahal, Plato (427 SM-347 SM) jauh-jauh hari mengatakan, seyogianya seorang pemimpin (politikus) itu lahir dari manusia “kepala”, bukan manusia “dada”, apalagi “perut”.

Jika dielaborasi, manusia kepala adalah orang-orang bijak dan bajik, lebih mementingkan isi daripada bungkus. Manusia dada adalah mereka yang lebih menonjolkan kekuatan fisik, haus citra dan kekuasaan. Manusia perut lebih mementingkan nafsu keserakahan. Ketika berpolitik, manusia tipe ini biasanya sangat berorientasi ingin mendapatkan keuntungan berlimpah dari medan politik.

Tentu pandangan Plato di atas penting untuk direnungkan, khususnya bagi parpol dalam memilih kader. Sebagai pilar demokrasi, partai politik harus mampu mencetak kader terbaik untuk bangsa ini. Parpol yang baik tidak kehabisan stok kader. Idealnya, parpollah yang membesarkan figur, bukan figur membesarkan parpol. Ketika parpol sudah mampu membesarkan figur—melahirkan kader-kader terbaiknya untuk bangsa—berarti parpol tersebut sudah matang secara organisasi.

Sebagai kawah politikus, parpol memiliki peran esensial dalam membawa arah mata angin kehidupan berbangsa. Paling tidak, parpol harus mampu mewujukan gagasan Trisakti Bung Karno yang lamat-lamat semakin dilupakan; berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Tentu gagasan founding father itu akan terlaksana bila para politikus kita berpolitik dengan penuh keadaban.

Ali Rif an, Peneliti Pol-Tracking Institute

Sumber: (Sinar Harapan, 24 Januari 2014)http://www.sinarharapan.co/epaper/2014/01/24/

Page 177: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Menguatnya Pengusaha Partai

Setelah Harry Tanoesudibjo (HT), belum lama ini pemilik maskapai penerbangan Lion, Air Rusdi Kirana, "tiba-tiba" masuk di posisi penting partai: Wakil Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Masuknya Rusdi dalam struktur partai mirip HT yang juga "tiba-tiba" merangkap banyak status di Hanura-ketua dewan pakar, ketua bappilu, sekaligus calon wakil presiden partai-setelah pecah kongsi dengan Surya Paloh di NasDem (Tempo, 21 Januari 2013).

Setelah tumbangnya Soeharto, roadmap demokrasi Indonesia dibayangkan masuk fase kepemimpinan sipil. Namun, kepemimpinan sipil ini ternyata beralih pada kepemimpinan para saudagar kaya, yaitu kepemimpinan para plutokrat.

Pada saat yang sama, skema konstitusi dan pendulum praktek politik saat ini bergerak pada apa yang disebut dengan partitokrasi: kendali negara dan kehidupan warga di dalamnya oleh partai. Partitokrasi adalah kondisi di mana pasang-surut politik sebuah negara ditentukan oleh partai politik yang ada. Partitokrasi Indonesia ditandai oleh eksklusivitas partai sebagai sebuah lembaga politik yang sulit disentuh (tertutup). Dia berjarak dengan pemilih, sehingga partai bekerja dengan nalarnya sendiri. Namun, pada saat yang sama, partai juga mempunyai otoritas determinan dalam penyelenggaraan negara, seperti seleksi kursi eksekutif/legislatif, regulasi di parlemen, hingga posisi-posisi penting lembaga negara dan komisi-komisi independen lainnya. Hasilnya, partai sebagai sebuah lembaga demokrasi menawarkan bentuk "peluang usaha" baru bagi para plutokrat kaya di Indonesia.

Kepemimpinan Partai Golkar tak luput dari "jual-beli saham" partai. Setelah Harmoko pada pengujung Orde Baru dan Akbar Tandjung pada awal Reformasi, Aburizal Bakrie kini mengendalikan Golkar setelah mengalahkan sesama konglomerat, Jusuf Kalla. Gerindra pun dibangun tak lepas dari kekayaan kakak-beradik Prabowo Subianto Djoyohadikusumo dan Hashim Djoyohadikusumo.

Murdaya Poo di Demokrat, yang sebelumnya di PDIP, menjadi pemasok besar keuangan Demokrat, sebelum akhirnya sang istri ditangkap. Atau Surya Paloh menciptakan NasDdem. Akibatnya, politikus menjadi "karyawan" partai karena alih tangan "kuitansi pembelian" partai.

Padahal, saat ini, terjadi distrust publik terhadap partai politik. Survei Pol-Tracking Institute, baik pada Oktober 2013 maupun Desember 2013, menunjukkan bahwa tak lebih dari 20 persen pemilih yang merasa dekat dengan partai politik. Sisanya, 80 persen, tidak mempunyai kedekatan apa pun dengan partai.

Terkait dengan hal ini, David Horowitz dan Richard Poe (2006) pernah mengungkap aktor-aktor partai bayangan atau shadow party yang bekerja di balik partai politik di Amerika

Page 178: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Serikat. Partai bayangan adalah kelompok yang bekerja di belakang partai yang mampu mengendalikan kebijakan dan sikap politik partai melalui kekuatan material yang mereka miliki. Uang menjadi sumber pengaruh politik dalam fenomena shadow party seperti ini. Tapi, dalam politik Indonesia kekinian, para aktor partai bayangan yang biasa bermain dua kaki dengan memasok logistik di lebih dari satu partai mulai secara eksplisit menjelma sebagai aktor politik di dalam partai yang "terlihat" sungguh-sungguh bekerja untuk partai sebagai lembaga demokrasi.

Jika Jeffry Winters (2011) menyebutkan bahwa karakter para orang kaya pengendali politik (oligark) di Indonesia-termasuk juga Filipina-sebagai sebuah bentuk oligarki sultanistik, karakter para oligark menuju pemilu keempat post-Soeharto kini mengalami rejuvenasi. Terjadi peremajaan peran dan karakter para oligark dengan tujuan utama memegang kendali penuh jabatan publik melalui pendudukan struktur kepengurusan partai, bukan sekadar mengamankan kekayaan dengan suplai logistik ke partai.

Ketika partai tak lagi mampu menciptakan distingsi atau pembeda satu sama lain antarpartai, ketersediaan logistik dianggap menjadi krusial untuk menarik perhatian 186 juta pemilih sebagai para calon pembeli dalam nalar ini. Hopkin dan Paulocci (1999), dalam The Business Firm Model of Party Organization, menyampaikan pengalaman Italia dan Spanyol terkait dengan pengelolaan partai menggunakan nalar institusi bisnis. Hal ini mirip dengan perilaku partai Indonesia saat ini, terjadi apa yang disebut dengan self-interest axiom atau aksioma kepentingan diri sendiri. Artinya, partai tak lagi mampu mengikat para pemilihnya dalam program partai, yang terjadi juga akibat hilangnya ideologi partai. Akibatnya, partai berperilaku "tidak stabil" dan cenderung ambigu. Partai dengan genealogi partai Islam menggandeng wacana pluralisme, dan partai sekuler mendekati ceruk massa umat Islam. Kiai tersingkir karena sumbangan logistik dari para saudagar dilihat lebih berpengaruh untuk "menjajakan" partai ke calon pemilih.

Tentu fenomena ini tak serta-merta menjustifikasi semua pengusaha kaya yang masuk dalam arena tarung politik 2014 adalah salah, tapi nalar bisnis untung-rugi dalam mekanisme pasar elektoral berpotensi mewarnai lanskap politik Indonesia.

Arya Budi, Peneliti Pol-Tracking

Tempo, 25 Januari 2014

Sumber: http://koran.tempo.co/konten/2014/01/25/333180/Menguatnya-Pengusaha-Partai.

Page 179: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Korupsi dan Senjakala Partai Politik

Partai politik (parpol) yang selama ini telah bermain-main dengan korupsi akan diganjar publik dengan tidak lagi dipilih pada Pemilu 2014 mendatang. Hal ini terekam jelas dalam hasil survei Pol-Tracking Insititute baru-baru ini. Dalam survei tersebut dikatakan, korupsi (49%) merupakan faktor paling berpengaruh terhadap kegagalan partai pada pemilu dibandingkan faktor lainnya. Sementara itu,  citra partai politik (24%) dan kinerja partai (23,7%) dianggap oleh publik sebagai faktor kesuksesan partai dalam pemilu, baru kemudian tokoh partai (11,9%) menjadi variabel ketiga.

Tak heran berdasarkan survei itu, PDIP (18,5%) dan Golkar (16,9%) mempunyai tingkat keterpilihan (elektabilitas) cenderung stabil dua digit. Sementara, Partai Demokrat dan PKS paling tidak stabil jika memperhatikan hasil Pemilu 2009. Partai Demokrat turun drastis dari 20,85% pada Pemilu 2009 menjadi 8,8%, dan PKS dari 7,88% di Pemilu 2009 menjadi 2,9%.

Merosotnya elektabilitas Partai Demokrat dan PKS tentu tidak mengagetkan jika melihat kondisi kedua partai itu belakangan. Partai Demokrat misalnya telah menjadi bulan-bulanan media karena banyak kader terbaiknya terseret kasus korupsi. Sedangkan PKS telah dihantam badai “tsunami politik” maha dahsyat akibat orang nomor satu di partai dakwah tersebut diseret dan dibui oleh KPK.

Hal itu wajar belaka jika melihat pertimbangan pemilih saat ini, yang salah satunya sangat dipengaruhi oleh media massa (Firmanzah dalam Marketing Politik, 2012: 115). Kemampuan media massa untuk mendistribusikan informasi merupakan kekuatan untuk membentuk opini publik. Opini publik sendiri sangat ditentukan oleh seberapa besar informasi yang diberikan kepada masyarakat. Ketika pemberitaan media massa tentang suatu parpol bersifat positif, masyarakat cenderung melihat keberadaan partai tersebut sebagai sesuatu yang positif. Begitu sebaliknya, ketika media massa ramai-ramai memberitakan memberitakan keburukan partai, masyarakat cenderung menilainya negatif. Itulah hukum besi media massa.

Apalagi saat ini korupsi merupakan isu penting yang terus mendapat pemberitaan luas di berbagai media massa. Artinya, sekuat apapun partai politik, bakal tergerus dan tumbang jika keterlibatan dengan korupsi semakin jelas terpapar ke publik. Persepsi publik terkait papol yang kadernya tersangkut korupsi bahkan akan meluas dan melebar, merubah cukup drastis lanskap penilaian publik atas parpol.

Tak hanya terkait citra, tapi juga masuk ke manajemen internal, kaderisasi, solidaritas, dan pendanaan partai. Sebab, ketika kader partai terjerat korupsi, ada dua argumen yang mengitari di belakangnya. Jika korupsi itu dilakukan secara individual, maka letak

Page 180: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

kesalahannya pada kaderisasi. Sementara jika korupsi itu adalah korupsi berjamaah—atau disebut juga korupsi politik—maka hal itu merupakan kesalahan struktural.

Dalam konteks korupsi kader Demokrat dan PKS, opini publik semakin menjadi-jadi karena kedua partai tersebut juga dianggap “inkonsisten” dengan jargon yang mereka usung. Jargon “Katakan Tidak pada Korupsi” yang diusung Demokrat dan sebutan “Partai Dakwah” ala PKS justru menjadi blunder. Publik yang pada awalnya punya ekspektasi tinggi terhadap kedua partai tersebut lantas kecewa.

Apalagi tipologi pemilih rasional-kritis saat ini cenderung bertambah. Pemilih rasional-kritis adalah mereka yang melihat atau memilih parpol bukan lantaran kedekatan atau faktor suka an sich, tatapi lebih kepada apakah parpol tersebut memiliki platform yang jelas dan bisa menyelesikan persoalan kebangsaan atau tidak. Pemilih rasional-kritis melihat apakah sebuah parpol konsisten dan sejalan dengan fatsun politik yang telah dibangun. Jika tidak, maka pemilih rasional-kritis biasanya akan mengganjarnya dengan tidak lagi memilihnya dalam pemilu.

Alasannya sederhana, parpol yang tak memiliki platform dan tidak konsisten dengan fatsun politik berarti pragmatis dan oportunis. Pemilih rasional-kritis tidak rela memberikan suaranya untuk partai seperti itu. Berbeda dengan pemilih tradisional, tipe pemilih ini menentukan pilihan lebih karena faktor ideologi, primordialisme, dan kesukuan. Pemilih model ini biasanya sudah menentukan pilihannya jauh-jauh hari, lebih mementingkan simbol-simbol partai, afiliasi, dan berwatak “ngotot”. Tak penting platform atau fatsun politik, yang penting partai tersebut bisa mewakili ideologi, agama, kesukuan, RAS, serta simbol-simbol lainnya dari sang pemilih.

Kita patut bersyukur, pemilih tradisional pelan-pelan mulai berkurang. Terbukti, hasil survei Pol-Tracking Institute periode 13 September-11 Oktober 2013 mengatakan, 55% publik menyatakan bahwa masalah suku tidak mempengaruhi pilihan mereka terhadap capres. Sementara untuk etnis, 60% publik tidak terpengaruh.

Meski ditujukan pada capres, hasil survei tersebut juga linear jika dikaitkan dengan parpol, di mana konfigurasi pemilih rasional-kritis semakin subur. Ini artinya, dengan semakin banyak ceruk pemilih rasional-kritis, tantangan parpol ke depan semakin berat. Parpol dituntut tak hanya mampu mengusung platform yang apik guna meyakinkan pemilih, tapi juga harus mampu menjaga fatsun politik, marwah politik, dan trust publik, khususnya terkait sindikasi korupsi. Jika tidak, senjakala akan datang dan siap-siaplah ditinggalkan pemilih pada Pemilu 2014 nanti.

Ali Rif'an, Peneliti Pol-Tracking Institute

Sumber (Majalah TRIAS Politika, 30 Januari 2014)

Page 181: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Partai Islam, Sketsa Buram 2014

Beberapa minggu terakhir ini, hasil survei menunjukkan tingkat elektabilitas partai Islam terus menurun. Survei Pol-Tracking Institute pada Oktober 2013 lalu menunjukkan bahwa total elektabilitas partai berbasis massa Islam tak lebih dari 15% dengan rincian: PKB 4,6%; PPP 3,4%; PKS 2,9%; PAN 2%; dan PBB 0,7%. Artinya, gabungan (koalisi) Partai Islam tersebut masih kalah dengan PDIP (18,5%) ataupun Golkar (16,9%), dan juga belum mampu menembus presidential threshold 2014 sebesar 25% suara. Pun demikian dengan hasil survei terbaru Pol-Tracking Institute pada Desember 2013 yang menunjukkan Partai Islam masih kalah pamor: PKB 4,59%; PPP 4,50%; PKS 3,00%; PAN 2,67%; dan PBB 0,25%. Singkatnya, gabungan elektabilitas lima Partai Islam belum mampu mengungguli elektablitas PDIP 22,44% pada survei Pol-Tracking Desember 2013 tersebut. Dalam riwayat survei menjelang pemilu 2014, kita akan sangat sulit menemukan elektabilitas partai Islam menembus dua digit.

Walaupun, secara ideologi dan terlembaga di dalam AD/ART partai, sebenarnya hanya ada tiga partai Islam: PPP (AD/ART Bab II Pasal 2), PKB (AD/ART Bab III Pasal 4), dan PKS (AD/ART Bab I Pasal 2). Namun jika kita bicara basis massa, maka PAN adalah termasuk ‘partai Islam’ walaupun di dalam AD/ART berpijak pada nasionalisme religius (AD/ART Bab III). Partai peserta pemilu di luar partai parlemen saat ini, ada PBB yang juga melembagakan ideologi Islam (AD/ART Bab II Pasal 3).

Jika dihitung dari total kursi partai-partai Islam, hanya ada sekitar 21,61% dari jumlah kursi pada pemilihan umum tahun 2009. Dengan kata lain, tiga partai nasional teratas—Partai Demokrat (PD), Partai Golkar (Golkar), dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mampu memegang setidaknya 62,86% dari total kursi. Selanjutnya, kembali ke beberapa pemilu sebelumnya, naiknya Partai Islam, dalam kondisi yang sama, total perolehan suara partai Islam pada pemilu 2004 adalah 38,1%, dan pemilu 1999 hanya mendapatkan 36,8%. Artinya, hanya ada dua kutub ideologi partai (secara platformatik) di Indonesia yaitu partai berkecenderungan pada gagasan nasionalistik dan partai dengan mengambil gagasan Islam sebagai gerakan politik. Paling tidak dalam regulasi internal partai.

Walaupun partai Islam muncul karena basis pembilahan sosial berdasarkan agama, rendahnya suara partai Islam di Indonesia menunjukkan bahwa demografi pemilih Indonesia tidak berpengaruh pada gagasan klasik Arend Lijphart (1968) soal consociational democracy. Lijphart menyatakan bahwa peta demografi sosial sebuah negara merefleksikan peta demografi politik kepartaian di dalamnya. Sebagai misal, berdasarkan survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia dan Majalah TEMPO pada Pilkada DKI 2012 lalu, diketahui bahwa hanya 56% pemilih Hidayat-Didik (PKS) yang akan mengikuti elit partai untuk memilih Foke-Nara. Sementara 30% diketahui pasti akan memilih Jokowi-Basuki, dan sisanya belum memutuskan pilihan.

Page 182: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Ada perbedaan penting antara partai Islam saat ini dengan partai Islam era 1955. Dulu Masyumi dan NU menjadi poros kekuatan tersendiri, sehingga tercipta poros kekuatan politik nasional, islam, dan komunis. Alhasil, kekuatan politik partai Islam hanya berlaku sepanjang politik aliran ala Clifford Geertz (1926-2006) dengan membagi demografi Indonesia menjadi santri, priyayi, dan abangan dalam ekspresi politik. Sekarang era politik rasional. Kiai tidak lagi menjadi sumber legitimasi politik atas pilihan publik.

Fakta kepartaian saat ini sangat berbeda dengan pemilu yang pertama kalinya diselenggarakan pada 1955. Pemilu 1955 menciptakan empat poros politik (baca: partai dengan perolehan suara dua digit) yaitu, Partai Nasional Indonesia atau PNI dengan 22,32% suara, Masyumi dengan 20,92% suara, Nahdlatul Ulama dengan 18,41% suara, dan Partai Komunis Indonesia dengan suara 16,4%. Fakta elektoral ini menunjukkan bahwa benar partai Islam adalah kekuatan politik, tetap dia belum bisa disebut memenangi pemilu 1955. Setelah runtuhnya pemerintahan Soeharto, kelompok Islam hanya mampu diwakili oleh sosok presiden yaitu Abdurrahman Wahid pada akhir tahun 1999, itupun dipilih melalui parlemen bukan melalui pemilihan langsung, dan berakhir sebelum periode resminya. Dengan kata lain, partai Islam sebagai sebuah sayap politik tidak pernah menjadi partai yang memimpin setelah berakhirnya periode kediktatoran, partai Islam di Indonesia sebagai sebuah komunitas politik berkecenderungan menurun.

Rendahnya elektabilitas partai Islam tersebut disebabkan oleh dua alasan penting. Pertama, secara internal masyarakat Islam tidak terkonsolidasi sebagai kekuatan politik tunggal, dan sejarah mencatat bahwa konsolidasi ini tak pernah berhasil sejak Indonesia lahir sebagai sebuah negara. Masyarakat Islam secara kultural terfragmentasi, sehingga ekspresi politik Islam menjadi lebih terfragmentasi. Era perjuangan, ada kelompok Islam pondok dan Islam sekolahan (Muhammadiyah), kini fragmentasi menjadi lebih variatif dengan adanya santri perkotaan (PKS). Jika secara kultural, terdapat kaum nahdliyin, maka dalam ekspresi politik akan berlipat ganda menjadi ‘nahdliyin Muhaimin’ dan ‘nahdliyin Gus Dur’. Ekspresi politik Islam yang bersatu padu hanya terjadi beberapa waktu dalam kelembagaan non partai: Serikat Islam di bawah HOS Cokroaminoto, itupun kemudian terpecah dengan adanya faksi SI Merah di bawah Semaoen. Fragmentasi kultural melipatgandakan fragmentasi ekspresi politik masyarakat Islam, dan hal inilah yang menjelaskan partai politik Islam tak pernah menang dalam sejarah pemilu di Indonesia.

Kedua, secara eksternal, banyaknya partai nasional yang hadir bukan dengan serta merta memecah suara existing political party berbasis massa, tetapi juga mengambil ceruk suara dari massa partai Islam yang juga terpecah. Hal inilah yang menjelaskan partai Islam saat ini tidak pernah memperolah angka elektabilitas dua digit atau di atas 10%, dan dalam sejarah kepartaian di Indonesia, partai Islam hanya mampu sampai di pemenang kedua (Masyumi pada pemilu 1955). Di sisi lain, perilaku memilih publik yang terus bergeser dan bergerak ke tengah juga merupakan faktor eksternal yang menjelaskan kemunduran partai Islam. Publik pemegang hak pilih tidak terkonsolidasi sebagai segmentasi sosial dari partai Islam, perilaku memilih publik menjadi demikian kabur karena semua partai dianggap berperilaku sama: partai elit. Partai tidak sedang memperjuangkan preferensi politik Islam, dan perjuangan

Page 183: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Islam bagi publik saat ini bukan menjadi prioritas utama dan tunggal. Dalam perspektif pemilih, yang pertama adalah soal kesejahteraan dan keamanan. Sementara partai politik termasuk partai Islam berperilaku sama, memenangkan pemilu dan memperoleh kekuasaan (Strom, 1992), selesai sampai di situ.

Sementara itu, secara ideologis, partai politik Islam Indonesia saat ini tetap berdiri dalam asumsi sebagai wakil konstituen tradisional sedangkan muslim tradisional berpaling untuk memilih partai nasionalis. Sehingga hal ini adalah penyebab menurunnya PKB dan PPP yang berasosiasi sebagai akomodator muslim tradisional di Indonesia. Dan PKS sebagai wakil muslim moderat cenderung menjadi kelompok eksklusif yang mengumpulkan penduduk kota dan terpelajar. Alhasil, sayap Islam selalu yang menjadi nomor dua ditengah pluralitas politik yang cair. Partai Islam seolah akan berada dalam sekam jika tak menyadari fakta politik dan bergesernya bandul perilaku memilih publik saat ini.

Penulis: Arya Budi, Peneliti Pol-Tracking Institute

Sumber: Sindo, 18 Januari 2014

Page 184: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Politik Pemuda?

Dalam satu dekade ini, sejak pemilihan presiden langsung mulai digelar pada 2004 hingga menjelang 2014, wacana kepemimpinan muda muncul sejalan dengan gagasan mengganti generasi Orde Baru. Tapi, polemik kasus korupsi Anas Urbaningrum bisa menjadi preseden buruk atas hadirnya tokoh-tokoh muda segar dalam Pemilu 2014 setelah satu dekade ini. Anas Urbaningrum, yang memberi harapan baru bagi politik pemuda dalam Kongres Demokrat-partai pemenang Pemilu 2009 dan partai pemerintah-pada 2010, kini terjerembap "lumpur Hambalang". Namun, apakah terperosoknya Anas dalam Hambalang adalah sebentuk senjakala politik pemuda?

Pada 2010, bertepatan dengan terpilihnya Anas Urbaningrum sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, pada tahun yang sama Edward Samuel Miliband atau Ed Miliband terpilih sebagai pemimpin Partai Buruh (Labour Party) di Inggris pada usia 41 tahun. Namun, kedua politikus muda ini mengalami nasib berbeda. Ed Miliband terus memimpin oposisi mengawal pemerintahan David Cameron dari Partai Konservatif, sementara Anas Urbaningrum "tersandung" kasus Hambalang, diikuti sekuel publisitas konflik antar-faksi partainya sendiri, Partai Demokrat. Setelah mengalahkan kakaknya sendiri, David Miliband, di kongres "kompetisi bersaudara" Partai Buruh, Ed merepresentasikan generasi baru setelah Tony Blair dan Gordon Brown.

Di Indonesia, Anas tumbang di tengah jalan dan partai kembali dipegang secara kultural dan struktural oleh generasi yang sudah terlalu akrab dengan jabatan publik. Tentu skema konstitusi Indonesia (presidensial) dan Inggris (parlementer) serta sistem politik yang berbeda tidak bisa menjadi dasar perbandingan Indonesia dengan Inggris, karena bisa jadi ini adalah soal mentalitas dan kesiapan personal politik pemuda. Pertanyaannya, apa yang menyebabkan penyintasan politik pemuda di Indonesia bersumbu pendek?

Ringkasnya, ada dua bentuk kegagapan politik pemuda saat ini. Pertama, pemuda-aktivis terjebak dalam mekanisme dan kultur politik kepartaian yang oligarkis dan paternalistik (kalau tidak juga maternalistik), yang juga cenderung berwatak kolutif. Kedua, pemuda-aktivis gagap dalam hal otoritas dan kekuasaan yang besar, sehingga pengaruh dan otoritas yang besar dalam jabatan partai menciptakan kecenderungan penyalahgunaan kekuasaan secara koruptif.

Selain Demokrat, terpilihnya Anis Matta pada awal 2013 sebagai pemimpin PKS menggantikan LHI sebenarnya juga menunjukkan refleksi lain politik pemuda. Sayangnya, kedua partai inilah yang juga digebuk alat pembunuh partai paling mematikan: kasus korupsi pimpinan partai. Kini, Anis Matta yang memimpin PKS pun berada di tengah gempuran isu korupsi partai.

Page 185: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Kini, pemuda berangsur tak lagi terkonsentrasi ke dalam gerakan politik ekstra parlementer setelah Pemilu 1999 berhasil terselenggara secara fair. Aktivis kampus atau pemuda dengan latar belakang organisasi gerakan mahasiswa dan organisasi pemuda lainnya secara gegap-gempita masuk ke partai politik. Tidak sedikit pemuda dan mantan aktivis kampus berada di antara 6.607 calon legislator 2014.

Alhasil, partai pun menyediakan organ lembaga untuk mengakomodasinya. Tak bisa dibantah, semua partai, terutama 12 partai peserta Pemilu 2014, mempunyai organisasi sayap kepemudaan. Sebagai misal adalah Tunas Indonesia Raya (Gerindra), Angkatan Muda Partai Golkar, Taruna Merah Putih (PDIP), Angkatan Muda Demokrat, Pemuda Hanura, Gerakan Pemuda Kebangkitan Bangsa, Gerakan Pemuda Ka'bah, Garda Pemuda Nasdem, Matahari Nusantara (PAN), serta Pemuda Bulan Bintang, Pemuda Penegak Keadilan dan Persatuan Indonesia.

Bisa jadi, senjakala politik pemuda dengan refleksi kasus Anas bisa terjadi karena ketidaksiapan pemuda dalam kelembagaan partai politik di Indonesia. Misalnya, berdasarkan assessment research Pol-Tracking Institute oleh 100 public opinion makers dan pakar pada Oktober 2012 terhadap 35 figur muda terseleksi, dari skor total 13 aspek yang dinilai, hanya ada empat kader partai yang termasuk dalam peringkat 10 teratas.

Meskipun demikian, jika semua nilai masing-masing figur dibuat rerata, secara keseluruhan rerata skor terendah figur yang terseleksi ada pada aspek akseptabilitas publik (53,7), dan rerata tertinggi pada aspek kapabilitas (62,2). Artinya, berdasarkan hasil riset ini (dengan standar ketercukupan adalah 60,0), sebenarnya banyak figur muda-baik sebagai kader partai maupun di luar kelembagaan partai-yang mempunyai kapasitas dan kepantasan sebagai pemimpin politik, namun tidak terlalu dikenal publik. Kalkulasi assessment ini menunjukkan fenomena politik yang sejauh ini menjadi asumsi publik.

Padahal, dulu dalam satu era (1950-1959), sirkulasi kursi eksekutif jabatan perdana menteri Indonesia dipegang oleh para figur muda. Apakah sejarah kembali berulang? Kita lihat saja pada Juli 2014!

Penulis: Arya Budi, Peneliti Poltracking Institute

Sumber: Tempo, 18 Februari 2014

Page 186: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Akun Twitter @SBYudhoyono

Tak ada kata terlambat untuk kebaikan, mungkin istilah tersebut yang ada di benak Presiden Yudhoyono, ketika secara bulat memutuskan membuat akun Twitter dan bergabung sebagai netizen (warga mayantara). Karena, setelah hampir dua periode memimpin negeri ini, baru sekarang Presiden seperti menyadari pentingnya media sosial, di tengah pemberitaan media mainstream, baik cetak maupun elektronik, yang cenderung kurang berimbang.

Kasus demi kasus yang mendera Demokrat sebagai efek Nazaruddin (Nazaruddin effect) menjadi santapan empuk media untuk menggerus citra maupun elektabilitas partai. Apalagi pemilihan umum sebentar lagi akan digelar, tentu aktivitas di media sosial ini diharapkan dapat memberi alternatif informasi sekaligus mengundang empati publik terhadap partai yang dipimpinnya. Namun presiden harus waspada, mengingat saat ini merupakan periode akhir kepemimpinannya, bukan fase awal ia akan kembali menjadi presiden, jadi, basisnya kerja bukan citra. Karena, bila tidak, niat dan keinginan baik ini justru akan menjadi blunder komunikasi politik di hadapan publik.

Reduksi makna

Reduksi makna dalam 140 karakter yang ditawarkan Twitter berpotensi membuka peluang munculnya tafsir yang bisa berujung kontroversi maupun konflik. Karena itu, untuk menghindari hal-hal tersebut, ada baiknya Presiden Yudhoyono mulai mengubah gaya komunikasi politik yang selama ini high context, dengan menjadi leader (top down) dan follower (bottom up) secara bersamaan sebagaimana spirit netizen berinteraksi. Artinya, posisi Yudhoyono sebagai Presiden, dalam pola komunikasi yang interaktif ini menjadi pelengkap, bukan hal utama. Agar inti pesan dapat diperoleh dan berikutnya bisa dikelola kedua belah pihak sebagai masukan positif dan partisipatif-emansipatorik.

Komunikan atau penerima informasi di media sosial secara demografis merupakan orang muda, tinggal di kota-kota besar, dan dari sisi pendidikan cukup mapan. Mereka adalah gambaran kelas menengah yang tumbuh dan terus akan berkembang menjadi pendukung utama pembangunan kehidupan politik bangsa.

Dalam bahasa Arifin (1984), mereka memiliki unsur pengendalian yang bersumber pada kesadaran Aku yang tinggi dan filter konseptual (Fisher: 1990) yang baik pada informasi yang diproses, sehingga kemampuan konseptual seorang komunikator untuk mengontrol komunikasi sangat terbatas.

Sampai pada konteks ini, Presiden Yudhoyono dan tim yang dibentuk harus cukup cermat dalam beradaptasi. Pertama, dengan pola komunikasi dua arah dan limitasi aturan yang cukup

Page 187: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

jelas, setiap pengguna Twitter memiliki kebebasan dalam menyampaikan ide, kritik, maupun saran kepada presiden dalam beragam bentuk ekspresi. Jadi, bila kemungkinan terburuk sampai terjadi, apa pun bentuknya, Presiden Yudhoyono dituntut untuk lebih bijak dalam menyikapi.

Kedua, dengan latar belakang pengguna Twitter yang didominasi kelas menengah, sudah seharusnya pendekatan yang dilakukan lebih persuasif dan inovatif. Tentu dengan tetap mengedepankan nalar dan orisinalitas pendapat, agar para pengguna yang cukup kritis ini tak jenuh dan dapat merasakan langsung manfaat kehadiran pemimpin di tengah-tengah mereka.

Ketiga, kicauan atau twit yang disampaikan tak harus formal atau sekadar pencitraan semata, karena publik lebih menghendaki otentisitas pemimpin dalam kehidupan sehari-harinya. Kesan elitis yang sering dipertontonkan para pejabat publik sudah berlalu dan di masa mendatang, pemimpin yang justru dinantikan adalah mereka yang mampu menjadi bagian dari diri rakyat secara keseluruhan.

Keempat, sebaran informasi di linimasa (timeline) Twitter begitu cepat dan terkadang kurang akurat. Ketepatan informasi dan kepastian fakta menjadi legitimasi atau kelebihan dari informasi yang nanti akan disebarluaskan melalui akun milik presiden ini. Sebab, Presiden memiliki sumber daya yang solid dalam memastikan sebuah kejadian. Keunggulan ini bisa menjadi kelemahan, bila rasa keingintahuan masyarakat tak direspons maksimal dan akan semakin menguatkan persepsi mereka bahwa presidennya lambat dan kurang tanggap.

Respons publik

Satu hal yang sudah seharusnya diingat oleh Yudhoyono, baik sebagai pribadi maupun institusi yang memegang kendali penuh pemerintahan, bahwa ia adalah sosok simbolik yang bersamanya melekat berbagai predikat. Setiap pernyataan, wacana, dan sikap yang dibuat tak bisa dipisahkan secara diametral dan dikotomik dari posisinya sebagai presiden, karena memori rakyat tak melihat ada jeda yang jelas dengan berbagai peran yang saat ini melekat pada dirinya. Sehingga menjadi wajar melihat animo dan berbagai respons publik menyikapi akun Twitter baru milik Presiden, padahal sampai sekarang belum begitu banyak kicauan yang dibuat. Antusiasme ini dapat dilihat dari jumlah pengikut (followers) yang sudah menyentuh angka ratusan ribu orang.

Apa yang terjadi dari realitas ini adalah kerinduan publik akan sosok pemimpin yang dekat dengan mereka. Figur yang tak berjarak dan yang bisa membuat mereka terlibat dalam interaksi membangun negeri ini. Realitas ini sudah seharusnya dibaca dengan baik agar tak berakhir antiklimaks. Karena tak bisa dimungkiri, saat ini wibawa pemerintah turun dan semakin jatuh akibat terlalu dalam terlibat day to day politics, hukum yang tak tegak, perilaku kekerasan, dan konflik horizontal.

Karena itu, perlu perbaikan segera terhadap implementasi kebijakan maupun optimalisasi kerja di kabinet dalam tahun politik seperti sekarang. Jangan sampai rakyat dikorbankan dan

Page 188: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Presiden Yudhoyono hanya diam membenarkan, karena memang menjadi bagian dari sengkarut tersebut. Dalam bahasa Poole, Seibold, dan McPhee (1986), memandang perlu adanya refleksivitas dalam setiap upaya membangun perbaikan organisasi, termasuk birokrasi. Hal ini merujuk pada kesadaran diskursif, yakni kemampuan untuk menjelaskan kepada publik atas sejumlah sikap, kebijakan, dan tindakan pemerintah, sehingga publik dapat memahaminya dengan baik-yang diikuti kesadaran praktis yang berorientasi pada tindakan dan spontanitas pemerintah dalam merespons sebuah masalah, dalam bentuk ketegasan, blusukan atau incognito, yang alami tanpa basa-basi.

Media sosial, khususnya Twitter, dapat menjadi sumber utama informasi dalam menyampaikan pernyataan maupun tindakan pemerintah secara utuh. Dan diharapkan, bersama rakyat di dunia nyata (the real world) maupun followers di dunia maya (cyberspace community), Presiden Yudhoyono dapat mengguncang dunia, lebih baik daripada 10 pemuda yang dimiliki oleh Presiden Sukarno. *

Sumber : Koran Tempo, Rabu, 17 April 2013

Page 189: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Politik Dromologi

Menjelang Pemilu 2014, perang pencitraan mulai menyesaki ruang-ruang publik. Berbagai cara untuk mendongkrak elektabilitas partai terus dilakukan. Mulai dari membombardir iklan politik di media elektronik, menyebar atribut kampanye, hingga safari politik.

Celakanya, dalam sejumlah iklan politik, organisasi kemasyarakatan (ormas) yang selama ini antipolitik praktis ditarik-tarik mendukung salah satu parpol. Bahkan, angkutan umum dijadikan medium untuk kampanye politik. Lebih lucu lagi, partai yang selama ini tak pernah bersafari ke pondok pesantren mendadak mendatanginya.

Belakangan, kita menyaksikan pemandangan menggelikan ihwal tarik-menarik penggunaan atribut Gus Dur antara PKB dan PPP. PPP yang selama ini dianggap berseberangan dengan pemikiran mendiang Gus Dur tiba-tiba berniat untuk memasang atribut Gus Dur.

Fenomena itulah yang oleh Yasraf A Piliang disebut politik dromologi, yakni politik yang berlari kencang. Yasraf mengutip Paul Virilo dalam Lost Dimension mengatakan bahwa di dalam dunia yang dikuasai oleh kecepatan, perang politik ruang sekarang berubah menjadi perang politik waktu (Piliang, 2005:428).

Artinya, di dalam politik dromologi, strategi politik bukan lagi persoalan menguasai wilayah teritori (ruang), melainkan bagaimana mampu mengubah persepsi masyarakat dalam (waktu) cepat. Itulah mengapa politik hari-hari ini berlomba berlari kencang menjelang Pemilu 2014 yang sudah di depan mata.

Jalan pintas

Sayangnya, politik yang berlari kencang kini sering menabrak aturan main. Banyak di antara partai politik yang ingin memenangi pemilu menggunakan jalan pintas. Bahkan demi berlari kencang, watak pragmatis dan transaksional menjadi hal yang harus dimiliki parpol. Lihat saja, sekarang ini banyak parpol berlomba menarik pengusaha untuk bergabung ke dalam partai. Tujuannya tentu jelas bahwa partai ingin mendapatkan "amunisi baru" guna mendukung serangan udara menjelang pemilu.

Para pemilik modal itu kemudian menempati posisi sangat strategis di partai. Contoh kasat mata adalah bergabungnya Bos MNC Group Hary Tanoesoedibjo ke Partai Hanura beberapa waktu lalu dan Bos Lion Air Rusdi Kirana ke PKB baru-baru ini. Hary Tanoe menduduki posisi ketua Dewan Pembina Partai Hanura, sementara Rusdi Kirana menjabat wakil ketua umum DPP PKB.

Page 190: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Pada titik inilah, tukang becak pun tahu jika tidak ada deal-deal politik (transaksi politik) mustahil Hary dan Rusdi tiba-tiba melejit di posisi elite parpol. Sebagai akibatnya, parpol yang dikendalikan oleh pemilik modal pada gilirannya tak hanya berwatak pragmatis, tapi juga memiliki nalar kapitalistis.

Dalam dunia politik, nalar kapitalistis ini sangat berbahaya karena waktu dan kecepatan ditafsirkan berdasarkan dimensi keuntungan semata, yang meminggirkan model pengorganisasian ruang-waktu lainnya. Apalagi, nalar kapitalistis sesunggguhnya berdimensi tunggal: dimensi kecepatan penumpukan kapital dengan menihilkan dimensi perenungan, refleksi, pembangunan kearifan, dan pencarian makna hidup yang sejati.

Dalam pandangan Paul Virilio, politik yang terjebak dalam pola kecepatan informasi yang kapitalistis akan terbawa dalam pola temporalitas, kesementaraan, fragmentasi, dan diskontinuitas, yang di dalamnya minus perenungan (politik). Buntutnya, politik akan kehilangan nilai luhur. Hal itu disebabkan karena kecepatan--yang dikontruksi atas motif kepentingan ekonomi dan kecepatan pengumpulan kapital--telah menciptakan manusia politik berwatak "homo-animalis" atau "homo-criminalis". Ciri manusia politik semacam itu biasanya akan melakukan berbagai tindakan tak manusiawi, kekerasan, dan kejahatan dalam rangka membangun kekuasaan ekonomi-politik.

Itulah mengapa politik dromologi kerap mendatangkan sebuah paradoks. Sebab, dalam politik dromologi, kecepatan politik justru menggiring pada proses penghancuran politik itu sendiri (prinsip, kualitas, nilai, makna). Untuk itu, politik dromologi sudah semestinya diiringi dengan etika politik. Etika plitik berfungsi sebagai aturan main dalam politik. Etika politik memberikan patokan-patokan orientasi dan pegangan-pegangan normatif bagi politikus yang mau memiliki kualitas tatanan dan kehidupan politik dengan tolok ukur martabat manusia.

Dalam partai politik, etika politik ini juga bisa disebut fatsun politik. Fatsun politik inilah yang harus dijadikan pegangan dalam setiap tindak-tanduk partai. Fatsun politik tak hanya tertulis di AD/ADT sebuah parpol, tapi aturan-- bisa berupa etika sosial--yang lazim dihormati di masyarakat. Bagi parpol yang benar-benar "mengerami" fatsun politik, sekencang apa pun ia berlari, pasti tidak akan menabrak aturan. Di sinilah, politik dromologi pada gilirannya tidak lagi menjadi sebuah paradoks, tapi bisa mendatangkan sesuatu yang positif. Semoga.

Penulis: Ali Rif’an, Peneliti Pol-Tracking Institute

Sumber: Harian REPUBLIKA, 04 Maret 2014

Page 191: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Mandat Partai atau Publik?

Isu penghentian Gede Pasek Suardika sebagai anggota DPR RI—sekaligus juga sebagai anggota dan fungsionaris Demokrat—menjelang tiga bulan pemilu 2014 mengingatkan saya pada kasus Effendi Choiry dan Lili Wahid yang diberhentikan oleh PKB dengan kausalitas sama: politik intra-party. Pertanyaannya, lepas dari nalar hukum yang mendasari otoritas partai (baca: fraksi) terkait penghentian tersebut, bagaimana sebenarnya nilai representasi dan mandat politik diatur—atau lebih tepatnya diterjemahkan—dalam pengisian kursi legislatif di Indonesia?

Namun yang lebih penting, untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu menengok kembali pemilu 2009 lalu sebagai landasan pengalaman sehingga pertanyaan ini tak lagi muncul setelah Arpil 2014 esok. Secara umum, sistem pemilu legislatif 2014 mirip dengan 2009: sistem proporsional terbuka atau open list system. Surat suara menampilkan daftar caleg, bukan sekedar gambar partai. Tapi mirip bukan berarti sama. Jawabannya bisa jadi terletak pada hal yang sering dianggap orang remeh temeh dalam diskursus dan problema pemilu: pencoblosan surat suara. Padahal balloting system sebagai satu bagian integral keseluruhan sistem pemilu telah lama menjadi perbincangan serius di banyak negara (Pippa Noris, 2004). Dia tak kalah pentingnya dengan ambang batas suara atau threshold dan kualifikasi kepesertaan pemilu.

Dalam satu ulasan di KOMPAS 24 Maret 2009, Eep Saefulloh Fatah melalui artikel berjudul “Suara Kosong dan Absennya Mandat” memulai jawaban terkait pertanyaan di atas dengan menyuguhkan ulasan perihal ambiguitas sistem pemungutan suara. Menurutnya, surat suara yang sah dengan ditandai hanya pada gambar/nomor partai dan tidak pada nomor/nama caleg, dianggap sebagai sebuah suara kosong. Singkatnya, kebijakan sistem surat suara tersebut dianggap menegasikan semangat rekoneksi para anggota dewan dengan konstituennya melalui model proporsional terbuka. Namun demikian, problematisasi sistem penanda surat suara menjelang 2009 dalam ulasan tersebut justru menciptakan pertanyaan baru yang belum selesai dijawab menjelang April 2014 esok. Apakah memang sebaiknya caleg terpisah oleh kelembagaan partai atau justru melekat sebagai satu kesatuan institusi partai dengan mandat politik yang jelas berdasarkan garis partai?

Pada dasarnya, prinsip dasar gagasan open list system dalam pemilu Indonesia mungkin bisa sedikit membantu angka partisipasi pemilu yang rendah akibat ketidakpercayaan publik terhadap institusi partai. Survei nasional Pol-Tracking Institute pada Oktober dan Desember 2013 lalu—satu semeseter menjelang April 2014—menunjukkan Party ID publik yang sangat rendah: 17-19%. Artinya, ada sekitar 80% atau lebih, publik terombang-ambing tak tentu partai mana yang akan mereka pilih. Akibatnya, publik bertumpu pada figur yang mereka kenal. Sistem daftar terbuka dalam balloting system di Indonesia memfasilitasi hal ini. Sistem

Page 192: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

pemungutan suara ini dibayangkan mampu meningkatkan angka partisipasi karena caleg berperang sebagai linkage publik-partai-negara. Caleg mengalami transformasi peran sebagai street level politicians atau politisi-politisi level jalanan. Caleg dibayangkan sebagai cermin refleksi partai.

Di titik ini, caleg diharapkan mampu merepresentasikan secara bergantian sekaligus antara mandat partai yang mengajukan namanya di KPU (representasi mandate), representasi atas kepentingan publik yang memilihnya (representasi delegate), dan representasi atas penilaian personal terbaiknya terkait sebuah kebijakan/isu (representasi trustee). Terkait dengan hal ini, caleg-caleg yang akhirnya lolos murni—bukan hasil PAW atau recall partai—di DPR diharuskan taat pada partai sekaligus sumber legitimasinya berasal langsung dari publik-pemilih. Apalagi jika caleg tersebut memeroleh suara melampaui Bilangan Pembagai Pemilih (BPP) di dapilnya.

Hal ini berbeda dengan logika pengisian kursi eksekutif (presiden dan wakil presiden)  yang juga sudah dipilih langsung oleh publik sejak 2004. Mirip dengan caleg, pasangan capres-cawapres diusung oleh partai atau gabungan partai (UUD Pasa 6A) dan kemudian dipilihan oleh publik secara langsung. Pasangan terpilih mempunyai sumber legitimasi langsung dari pemilih. Akibat sumber legitimasi langsung dari demos, partai pengusung—biasanya berbentuk koalisi dalam model sistem pemerintahan presidensial multi-partai seperti Indonesia (Hanta Yuda, 2010)—tak mempunyai otoritas untuk menjatuhkan presiden. Benar bahwa logika pengisian kursi eksekutif (baca: lembaga kepresidenan) tidak masuk dalam sistem kelembagaan kolektif-kolegial seperti parlemen, namun sudah masuk dalam sistem besar antar-lembaga: trias politika. Untuk menjatuhkan presiden, perlu melibatkan parlemen (legislatif) dan MK (yudikatif) dan itupun sangat sulit dilakukan menurut konstitusi Indonesia saat ini.

Persoalannya bukan terletak pada status institusi parlemen dan kepresidenan, namun pada logika sumber legitimasi seseorang menang atau lolos dalam pemilu. Kasus Lily Wachid, Effendi Choiri, dan terakhir Gede Pasek, menunjukkan betapa mudahnya sebuah partai politik ‘menjatuhkan’ politisinya di parlemen sekalipun politisi tersebut mendapatkan mandat langsung dari publik. Tentu cerita akan berbeda jika sistem pemungutan suara di Indonesia masing menggunakan sistem daftar tertutup atau closed list system sebelum 2009 dimana publik hanya bisa memilih gambar partai dan partai politik mempunyai otoritas penuh untuk memutuskan siapa kadernya yang akan masuk Senayan.    

Sebagai misal, kasus paling terkini adalah pencopotan Gede Pasek Suardika sebagai anggota dewan sekaligus sebagai politisi/anggota (baca: caleg) Partai Demokrat. DPP Demokrat melalui fraksi Demokrat di parlemen. Prosesnya cukup melayangkan surat pencopotan keanggotaan Gede Pasek di DPR RI kepada Sekretariat Jendral DPR RI (nasional.kompas.com, 16 Januari 2014). Alasan pencopotan akibat pelanggaran ‘kode etik partai’ tentu tidak terlalu penting dipersoalkan dalam nalar birokratik Sekjend DPR. Jika kita konsisten dengan nalar representasi melalui sistem pemilu proporsional daftar terbuka, maka

Page 193: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

prosedur delegitimasi anggota dewan hasil pilihan publik pada pemilu tentu tidak semudah seperti perusahaan memberhentikan karyawannya.

Atau, nalar representasi kembali melalui sistem daftar tertutup bisa menjadi opsi lain di balik dilemma logika representasi dan konstitusi ini. Tentu pilihan ini dalam diskursus pelembagaan partai politik sebagai kerangka besar pelembagaan demokrasi akan lebih baik. Namun kita harus ingat catatan penting kausalitas memilih sistem pemungutan daftar terbuka: kelembagaan partai yang lemah dan distrust publik pada partai. Jika catatan terakhir ini mampu ‘dihapus’ oleh partai politik dengan mentrasnformasi organisasi kepartaian sebagai lembaga yang akuntabel, demokratis, dan terbuka, maka sistem daftar tertutup bisa menjadi pilihan. Disiplin partai menjadi lebih bernyawa baik bagi calon anggota dewan maupun publik pemilih. Semua kembali pada kesadaran para aktor politik.

Penulis: Arya Budi, Manajer Riset PoltrackingSumber: Kompas, 25 Februari 2014Link: http://epaper.kompas.com/kompas/books/140225kompas/index.html#/7/

Page 194: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Tokoh Lokal Kaliber Nasional?

Masuknya nama Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini ke dalam radar isu kandidasi capres-cawapres akhir-akhir ini merefleksikan kapasitas figur daerah. Kecenderungan ini nampak juga dengan naiknya Jokowi ke pentas ibu kota dari jabatan seorang walikota hingga elektabilitasnya menembus angka 37% meninggalkan figur lainnya sebagai kandidat capres (Survei Opini Publik Pol-Tracking Institute, Desember 2013). Terlepas dan polemik isu yang melatarbelakangi figur-figur daerah tersebut, pertanda bahwa orang-orang pemegang kursi eksekutif di tingkat lokal dalam skema tata pemerintahan kini (baca: otonomi daerah) dan pendulum politik Indonesia saat ini menjadi relevan untuk bersaing dengan para ‘orang kuat’ yang telah melembagakan diri dengan partai.

Terkait dengan hal ini, jika merujuk temuan Pol-Tracking Institute terhadap riset asesmen kepala daerah yang berpotensi sepanjang Januari-April 2013, banyak kepala daerah yang secara kapasitas siap dan  terkualifikasi. Melalui tiga metode secara bertingkat: meta-analisis, focus group discussion, dan penilaian oleh 100 juri public opinion maker dan expert, riset ini menemukan beberapa nama kepala daerah terkualifikasi. Jika menggunakan standar nilai ketercukupan 70,00, paling tidak ada enam kepala daerah yang potensial sebagai alternatif sirkulasi kepemimpinan nasional pada Pilpres 2014. Mereka adalah Joko Widodo (82,54), Tri Rismaharini (76,33), Syahrul Yasin Limpo (70,31), dan Isran Noor (70,14).

Politik Lokal

Lalu pertanyaannya, problem kandidasi ini soal kelembagaan partai atau justru perilaku para strongperson dalam partai? Sepanjang kepemimpinan nasional di negeri ini, parpol tak pernah melahirkan presiden, justru orang kuat yang jadi presiden yang melahirkan partai. Kita tahu Sukarno yang melahirkan Partai Nasional Indonesia, Soeharto membentuk Golkar, Gus Dur melembagakan NU dengan PKB, Megawati merevolusi PDI menjadi PDI-P, dan SBY menginisiasi PD yang pada akhirnya dia pegang penuh baik secara kultural maupun struktural.

Padahal setelah pelaksanaan otonomi daerah sejak 2001—implementasi UU No.22 Tahun 1999 dan revisinya UU No.32 No.2004—sebenarnya banyak ‘presiden kecil’ yang melakukan eksperimentasi kebijakan populis, efektif, dan inovatif di tingkatan demografi bangsa yang lebih kecil di daerah. Mereka memimpin dengan campur tangan pusat yang minor, berbeda dengan 32 tahun era orde baru. Hal ini pula yang menjelaskan banyak indonesianis—akademisi dan ilmuan luar yang mempelajari Indonesia— berpindah ke politik lokal dari yang awalnya melihat nalar kerja rejim di Jakarta. Politik lokal tak kalah pelik dengan politik nasional (Nordholt dan Klinken, 2007). Lalu, sekali lagi, ini soal kelembagaan partai atau soal orang kuat partai?

Page 195: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Ada beberapa alasan yang perlu kita ajukan untuk menjawab pertanyaan ini. Pertama, elite dan rakyat terbiasa dengan struktur patronase. Relasi perwatakan dilayani dan melayani mewarisi pelembagaan demokrasi dalam rentang berdirinya NKRI. Sehingga politik Indonesia sedikit banyak bekerja dengan nalar kekuasaan seperti ini. Artinya, eksistensi patron partai dan kultur politik clientelistic mengamputasi mekanisme politik dalam presidential candidacy. Kedua, partai dikelola secara personal akibatnya struktur organisasi tidak berpengaruh signifikan karena kaderisasi, keanggotaan, dan pendanaan, masuk melalui jejaring dan selera individual. Ketiga loyalitas kader dan anggota tidak didasarkan pada preferensi ideologi dan apalagi platform karena mereka mendekat akibat tarikan dari tiga modal yang dimiliki patron: skills, links, dan resources (Stoke dan Medina, 2002).

 Terakhir, partai dioperasionalisasikan untuk mengakomodasi ambisi ruling elite sehingga keputusan dan kebijakan partai berayun secara oportunis dan bertumpu pada fluktuasi popularitas figur. Hasilnya, secara ideologi, semua partai merapat ke tengah untuk mendapatkan basis massa dari semua pembilahan sosial yang ada baik agama, suku, dan tingkat ekonomi. Bahkan kecenderungan ini semakin menguat  setelah Pemilu 1999 (Riswanda Imawan, 2004). Kita memasuki periode the age of catch-all party.

Padahal, pergerakan politik Indonesia menciptakan banyak peluang kepemimpinan transformatif. Kelas menengah kita terus bergerak pada jumlah yang terus bertambah sebagai consuming class. Saat ini, paling tidak ada 50 juta kelas konsumsi tersebut dan sangat berpotensi akan berlipat pada beberapa tahun mendatang (McKinsey, 2012). Artinya, semakin banyak orang yang sejahtera maka akan semakin tinggi porsi pemilih rasional, karena memang demokrasi mensyaratkan tingkat ekonomi dan pendidikan yang mencukupi (Lipset, 1967).

Sehingga, sekalipun makin kuatnya kecenderungan partai despotik—partai yang terbentuk-berkembang akibat penghambaan pada figur sentral—publik pemilih yang berada di luar demarkasi politik kepartaian diharapkan mampu menunjukkan preferensi memilih transformatif. Kecenderungan perilaku memilih rasional ini sudah ditunjukkan sejak tumbangnya orde baru. Tidak ada partai yang konsisten memenangi—baca suara terbanyak— tiga kali pemilu: 1999 (PDI-P), 2004 (Golkar), 2009 (Demokrat).

Banyak negara di dunia dengan sistem politik sama sebagai negara presidensial yang mempunyai pengalaman presidential candidacy dari daerah. Sebagai misal, Iran dengan Mahmoud Ahmadinejad (walikota Teheran), Uruguay era kepemimpinan Tabaré Vázquez (2005-2010) yang juga seorang walikota Montevideo (1990-1995), atau Nigeria di bawah Umaru Yar’Adua (2007-2010) yang awalnya adalah gubernur Katsina di Nigeria. Banyak contoh dari presiden AS yang berangkat dari Gubernur negara bagian seperti George Walker Bush (Gubernur Texas 1995-2000), Bill Clinton (Gubernur Arkansas selama 12 tahun), Jimmy Carter (mantan Gubernur Georgia), atau Franklin D. Roosevelt mantan Gubernur New York. Mereka adalah contoh untuk menjelaskan bahwa Indonesia dengan democratic environment seperti saat ini berpotensi melahirkan kepemimpinan dari daerah. Poin

Page 196: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

pentingnya bukan pada ‘dari daerah’ namun pada kapasitasnya sebagai eksekutor yang berpengalaman, prestatif, dan bervisi kebangsaan. 

Terakhir, Pemilu 2014 adalah panggung yang membuka kesempatan sekaligus banyak kemungkinan bagi siapapun. Tentu, para tokoh daerah potensial harus melalui skema konstitusi: partai sebagai satu-satunya black box (Kotak hitam) untuk dilewati (UUD 1945, Pasal 6A). Partisipasi publik baik berupa tuntutan dan dukungan terhadap proses politik intraparty seperti wacana konvensi bisa menjadi pintu masuk penting. Semoga orang-orang terbaik negeri ini mendapatkan tempat. Jika tidak, maka kita hanya menyaksikan kandidasi tanpa kandidat, namun hanya segelintir para orang kuat.

Penulis: Arya Budi Manager Riset Poltracking Institute

http://www.suarapembaruan.com/pages/e-paper/2014/03/03/index.html#/10/

Page 197: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Penyimpangan Parlemen

Masyarakat semakin sulit memberi apresiasi positif atas kinerja anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) belakangan ini. Hal itu tecermin dari semakin merosotnya tingkat kepercayaan dan kepuasan publik terhadap DPR berdasarkan berbagai survei opini publik. Buruknya citra DPR dalam persepsi publik ini menyebabkan segala kebijakan yang dikeluarkan lembaga itu--terutama berkaitan dengan penambahan fasilitas dipastikan selalu mendapat penolakan karena dianggap mencederai rasa keadilan masyarakat.

Potret paling anyar tentang kuatnya penolakan publik terlihat dari kritik keras terhadap kebijakan penggelontoran dana sebesar Rp 20,3 miliar untuk merenovasi ruang rapat Badan Anggaran. Sebelumnya, pada pembuka tahun 2012, DPR juga dikritik karena mengalokasikan Rp 2 miliar untuk biaya renovasi toilet dan Rp 3 miliar untuk renovasi tempat parkir. Masyarakat juga pernah menentang keras rencana pembangunan gedung baru yang disertai fasilitas ruang rekreasi, kolam renang, pusat kebugaran, dan ruang spa, yang berpotensi menguras APBN sebesar Rp 1,6 triliun. Namun rencana itu akhirnya dibatalkan DPR.

Inilah risiko lembaga perwakilan yang mengalami defisit kepercayaan tetapi dianggap surplus fasilitas, akan sulit mendapatkan dukungan publik. Memburuknya citra DPR itu disebabkan oleh berbagai perilaku tidak terhormat, seperti korupsi misalnya, yang ditampilkan beberapa wakil rakyat yang menyandang status terhormat itu. Jika integritas (perilaku koruptif) wakil rakyat masih dinilai rendah dan belum layak diapresiasi, lalu bagaimana sesungguhnya kinerja DPR dalam menjalankan fungsi-fungsi esensialnya sebagai anggota parlemen?

Kinerja Rendah

Untuk menjawab pertanyaan di atas, paling tidak kita dapat melihatnya dari tiga fungsi utama parlemen. Fungsi pertama adalah membuat undang-undang (legislasi). Produktivitas dan kualitas DPR dalam menjalankan fungsi legislasi terbilang masih rendah. DPR hanya berhasil menyelesaikan kurang dari 30 persen dari target Rancangan Undang-Undang (RUU) dalam Program Legislasi Nasional 2011. Selain secara kuantitas tidak memenuhi target Prolegnas, secara kualitas juga masih bermasalah dan tak sejalan dengan konstitusi maupun aspirasi rakyat. Hal itu terlihat dari banyaknya undang-undang yang diuji ke Mahkamah Konstitusi, dan di antara UU tersebut ada beberapa pasal yang dibatalkan MK.

Padahal, melalui fungsi legislasi ini, sejatinya DPR diharapkan menjadi episentrum penuntasan demokratisasi dan reformasi politik. Sebab, proses legislasi di DPR dapat menjadi instrumen penting dalam menyelesaikan problematika kerancuan dan penyimpangan sistem politik Indonesia selama ini. Persoalan efektivitas pemerintahan akibat dari inkompatibilitas

Page 198: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

kombinasi antara sistem presidensial dan sistem multipartai ekstrem; problem politik biaya tinggi akibat dari liberalisasi sistem pemilu; persoalan korupsi politik dan mafia anggaran akibat rapuhnya sistem pendanaan partai, merupakan sekelumit persoalan yang mestinya dapat diantisipasi melalui pembenahan sistem melalui regulasi perundangan-undangan di DPR.

Katakanlah misalnya RUU Pemilu yang sedang dibahas DPR saat ini, masih jauh dari semangat untuk mengantisipasi persoalan-persoalan itu. Regulasi pembatasan belanja atau pengeluaran kampanye (limited spending) untuk mengantisipasi praktek korupsi anggaran karena motif untuk mengembalikan modal akibat biaya politik tinggi, ternyata tidak tersentuh sama sekali. Perdebatan paling krusial justru pada persoalan angka persentase parliamentary threshold. Itu pun bukan dilandasi dengan semangat benar-benar untuk melakukan upaya penyederhanaan partai politik secara komprehensif, melainkan lebih pada kepentingan masing-masing partai di Pemilu 2014.

Fungsi kedua, pengawasan (controlling), juga belum dijalankan secara optimal karena seolah hanya dijadikan sekadar alat bagi partai-partai di DPR untuk bernegosiasi dengan pemerintah. Padahal, jika dijalankan secara serius, fungsi pengawasan ini dapat menjadi instrumen penting untuk mendorong peningkatan kinerja pemerintah dalam penyelesaian berbagai kasus-kasus besar yang tidak tuntas hingga saat ini.

Ketidakjelasan dan ketidaktuntasan kasus Bank Century menjadi potret paling terang tentang ketidakseriusan DPR dalam menjalankan fungsi pengawasan. Padahal gegap gempita skandal ini di awal telah menguras energi bangsa dan mengganggu jalannya pemerintahan. Namun kegaduhan politik ini ternyata berakhir antiklimaks dan tanpa kejelasan. Hak angket dan hak interpelasi DPR sebagai instrumen pengawasan selama ini cenderung hanya menjadi alat bagi partai-partai di DPR untuk bernegosiasi dan memperkuat posisi tawarnya di dalam pemerintahan. Perbedaan politik antara pemerintah dan parlemen biasanya akan berakhir melalui proses tawar-menawar politik yang beraroma "politik transaksional".

Sementara itu, dalam menjalankan fungsi penganggaran, sering kali terjadi kebocoran, bahkan praktek korupsi anggaran sering kali menjadi pemasukan tidak resmi bagi partai politik. Praktek mafia anggaran ini berawal dari rapuhnya sistem pendanaan partai politik di satu sisi, dan besarnya celah-celah kelemahan sistem penganggaran dan peluang penyimpangan di sisi lain. Pada situasi kebutuhan finansial dalam sistem pemilihan berbiaya tinggi, sistem pendanaan partai yang bermasalah, serta besarnya celah penyimpangan dalam sistem penyusunan anggaran inilah, akan terdorong terjadinya korupsi di parlemen dalam bentuk praktek percaloan anggaran dan permainan proyek pemerintah oleh anggota legislatif. Karena itu, wajar jika setiap penambahan fasilitas bagi DPR yang dinilai berkinerja rendah kerap ditolak publik.

Partai Gagal

Page 199: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Potret tentang rendahnya kualitas dan produktivitas DPR sejatinya merupakan refleksi atas kegagalan partai, sebab semua anggota DPR diseleksi melalui mekanisme partai. Bahkan partai di era reformasi saat ini memiliki posisi dan kekuasaan politik amat kuat dan strategis: tak hanya mendominasi proses sirkulasi di legislatif (DPR) tetapi juga pergantian elite kepemimpinan politik di eksekutif serta kepemimpinan di lembaga yudikatif dan komisi-komisi negara melalui proses di parlemen.

Kegagalan partai dengan postur kekuasaan yang kuat itu menyebabkan demokrasi Indonesia mengidap "sindrom partai gagal", suatu kondisi di mana postur kekuasaan dan kewenangan partai sangat kuat, tetapi menyimpan banyak "penyakit" dan penyimpangan (deviasi demokrasi), akibat kekuasaan partai menguat tetapi tidak diimbangi dengan "sistem imunitas" berupa penguatan sistem dan pelembagaan internal, sehingga mudah terjangkit virus penyimpangan partai. Pada situasi seperti inilah berimbas pada citra dan kinerja DPR. Karena buruknya citra dan rendahnya kinerja DPR adalah kegagalan partai politik.

Karena itu, sejauh mana prospek DPR mampu mendorong reformasi politik dan ikut mendorong kinerja pemerintah dalam penuntasan kasus-kasus besar, seperti korupsi dan penegakan hukum pada 2012, sangat bergantung pada komitmen partai politik. Tanpa komitmen baru dari partai-partai di parlemen, DPR akan tetap sekadar menjadi "arena" permainan politik saling sandera dan permainan anggaran demi kepentingan elektoral 2014, maka sulit berharap DPR akan menjadi bagian dari solusi perbaikan bangsa.

Hanta Yuda AR, Direktur Eksekutif Poltracking

Sumber : KORAN TEMPO, 24 Januari 2012Link: http://koran.tempo.co/konten/2012/01/24/262298/Penyimpangan-Parlemen

Page 200: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

GEGAR DEMOKRAT DAN PERJALANAN ANAS

Susilo Bambang Yudhoyono merupakan berkah politik bagi Partai Demokrat karena magnet elektoralnya sungguh berkontribusi “meraksasakan” partai itu pada dua musim pemilihan umum silam. Yudhoyono pun secara absah menjadi patron tunggal serta pilar utama pemersatu partai, setidaknya hingga Kongres 2010 di Bandung, dan pengaruh kekuasaan di Demokrat bergerak menuju satu sumber (sentripetal). Namun ini sekaligus menjadi potensi musibah politik karena Demokrat kian tepersonalisasi dan terjebak ketergantungan pada sosok “matahari tunggal” bernama Yudhoyono.

Pada titik itulah kemenangan Anas Urbaningrum di Bandung menjadi kabar baik karena regenerasi dan suksesi kepemimpinan di Demokrat berjalan demokratis. Tapi kemenangan Anas tanpa mengantongi restu sang patron juga menjadi berita buruk bagi Demokrat, karena menjadi cikal munculnya matahari kembar dan titik awal terpendarnya kekuasaan Yudhoyono, yang terlampau kuat dan kokoh, tapi juga hampir mustahil dinobatkan sebagai “putra mahkota” pelanjut tongkat estafet kepemimpinan nasional dari Yudhoyono.

Pada situasi itulah Anas menjalankan tiga langkah politik sekaligus pada fase awal proyek politik 2014 bagi dirinya: kompatibilitas-soliditas-elektabilitas. Pertama, ikhtiar menjalin persahabatan “intim” dengan Yudhoyono. Pemosisian Edi Baskoro sebagai sekjen merupakan upaya mengurangi kesan “inkompatibilitas” dirinya dengan Yudhoyono. Kedua, memperkuat basis jaringan politik ke pengurus daerah. Untuk agenda konsolidasi ini, Anas terbilang sangat rajin berkeliling menyambangi DPD/DPC. Ketiga, Anas juga mengkapitalisasi popularitas dan elektabilitas dirinya menuju 2014 dengan membangun basis dukungan publik melalui berbagai strategi, diantaranya jaringan “Sahabat Anas”.

Setahun berlalu, Anas tak hanya menjadi “satelit politik” untuk menerjemahkan kebijakan politik Yudhoyono seperti halnya ketua umum sebelumnya – Subur Budhisantoso dan Hadi Utomo – tetapi  telah berhasil menjadi “matahari” kedua bersanding dengan Yudhoyono di singgasana struktur kekuasaan Demokrat, dan perlahan seolah-olah menciptakan gaya sentrifugal (menjauhkan) DPD dan DPC dari pengaruh Yudhoyono.

Luis Medina dan Susan Stokes (2002) mensyaratkan paling tidak tiga modal yang harus dimiliki seorang patron dalam struktur kekuasaan partai: skill, links, dan material resources. Yudhoyono dan Anas memiliki modalitas yang relatif sama dari ketiga aspek itu. Namun keduanya memiliki kemewahan politik yang berbeda. Yudhoyono, sebagai pendiri sekaligus “pengepul” utama suara partai, tentu memiliki posisi istimewa yang tak tergantikan. Sedangkan Anas memiliki kaki-kaki politik cukup kuat di DPD/DPC karena memiliki lebih ketimbang Yudhoyono dalam membangun relasi intensif ke daerah.

Page 201: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Ditengah suksesnya Anas berada di episentrum panggung kekuasaan Demokrat bersanding dengan Yudhoyono, partai itu justru mulai mengalami gegar politik akibat entakan Nazaruddin seputar dugaan keterlibatan beberapa nama dalam skandal proyek Wisma Atlet dan Hambalang, serta dugaan politik uang di Kongres 2010. Sejak itulah Anas hendak didesak ke pinggir panggung, dan integritasnya dipertanyakan. Ia diduga tersandung kasus hukum dan terjebak dalam pusaran politik uang akibat ketidaksabarannya menghimpun dana secara instan dan tak patut.

Perjalanan proyek 2014 Anas pun memasuki fase kedua, dan sejak itu pula proses hukum Anas mulai bergulir di KPK. Demokrat pun terbelah, antara kubu yang membela dan yang mendesak Anas mundur. Rentetan rangkaian peristiwa politik di Demokrat pun bagaikan resonansi bunyi yang terus bergema, yang pesan utamanya meminta Anas legawa meletakkan jabatan ketua umum. Hasil survey pun tak jarang seolah-olah dijadikan legitimator sahih untuk menekan Anas turun dari singgasana.

Pada fase ini, praktis Anas lebih disibukkan menangkis serangan ketimbang melakukan kerja politik bagi dirinya menuju 2014. Anas sadar betul bahwa posisi ketua umum merupakan pertaruhan bagi karier politiknya. Untuk mempertahankan posisi itu, Anas kerap menjalankan dua strategi politik: game theory dan “judoka theory”. Dalam game theory dikenal strategi bersifat interaktif di antara aktor-aktor yang sedang berkompetisi. Anas tidak membuat strategi baru, tapi secara cermat hanya merespons langkah lawanya, dan taktik Anas adalah meminimalkan bahkan menihilkan “kemenangan” lawan. Karena itu pula berbagai manuver politik pelengseran Anas berakhir gagal.

Kecerdikan Anas juga terlihat dari kepiawaiannya memanfaatkan sikap Yudhoyono yang kerap mengambang dan bersayap, sehingga kekuatan Yudhoyono justru seolah-olah menjadi perisai politik bagi dirinya. Ibarat pejudo (judoka), Anas menggunakan tenaga lawan untuk membanting lawan dan mengunci anggota tubuh lawan. Dua jurus politik inilah yang menyebabkan Anas terlihat tangguh dan tak goyah sedikit pun ketika desakan mundur kian kencang.

Yudhoyono memahami betul situasi itu. Jika diteruskan, pola permainan seperti ini tentu akan berdurasi panjang dan kemenangan bergantung pada stamina politik. Sedangkan gegar politik Demokrat yang kian kencang akan mengganggu agenda politik Yudhoyono pada 2014. Akhirnya, dalam kapasitasnya sebagai Ketua Majelis Tinggi Partai yang merupakan struktur tertinggi di Demokrat, Yudhoyono  mengambil alih posisi eksekutif partai sembari melucuti semua kewenangan politik Anas sebagai ketua umum.

Yudhoyono juga paham betul, sebelum menjadi tersangka, Anas hanya bisa dilengserkan melalui forum KLB. Sementara dukungan DPD/DPC terhadap Anas saat itu masih cukup kokoh, menggusur Anas melalui KLB justru membahayakan posisi Yudhoyono di Demokrat. Karena itu, jalan paling aman menunggu keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi. Akhirnya Anas ditetapkan sebagai  tersangka, dan terpaksa turun dari panggung kehormatan

Page 202: Review hanta yuda + analisa politik poltracking

partai berlambang bintang mercy itu. Sejak itu pula Anas mulai menapaki fase ketiga titik balik perjalanan politiknya.

Kendati Anas terbilang sukses mendirikan “panggung politik” di Duren Sawit sembari membuat publik penasaran menunggu “halaman selanjutnya”, terlalu berat baginya mengkonstruksi seluruh peristiwa ini seolah-olah murni politik. Sebab, politik dan hukum bekerja dalam landasan logika yang berbeda. Politik bekerja pada ranah persepsi dan opini publik. Sedangkan proses hukum di KPK berbasis fakta dan bukti.

Kini tinggal tiga sisa amunisi politik Anas: melainkan kartu truf, bermanuver di internal melalui loyalis tersisa, dan membangun aliansi di luar Demokrat. Jika Anas sekedar berpolitik untuk mengamankan karir politiknya, kita tak perlu berharap berlebihan dari permainan “kartu truf” itu, kecuali jika Anas memiliki permainan zero sum, dan tampaknya Anas kembali bermain dengan game theory,  tentu untuk dirinya, bukan untuk kita.

Ruang manuver di kalangan internal juga kian sempit, momentum KLB akan menjadi pertaruhan terakhir bagi eksistensi “faksi Anas”, tapi peluang untuk menang dalam pertarungan kian kecil karena faksi Anas sudah mengalami diaspora dan tak sekuat ketika ia masih berada di puncak struktur kekuasaan Demokrat. Sementara membangun aliansi perlawanan bersama tokoh lintas partai tak menguntungkan bagi Anas, kecuali target Anas memang hanya menyerang Yudhoyono.

Akhirnya, perjalanan politik Anas sangat bergantung pada proses hukum di KPK. Jika ia tak terbukti bersalah, karier politiknya baru menempuh sang fajar. Namun, jika sebaliknya, perjalanan politik Anas boleh jadi kian redup karena telah mendaki senjakala. Sejarah pun akan mencatat siapa yang membenamkan karier politik Anas sesungguhnya. Apakah integritas dirinya sendiri atau factor di luar dirinya akibat menjadi “matahari” pada waktu dan tempat yang kurang tepat, atau justru kedua momentum bertemu dan berkelindan?

Hanta Yuda AR, Direktur Eksekutif Poltracking

Sumber: Majalah Tempo, 24 Maret 2013