retorika - budi utomo malang

117
SUSANDI SEBUAH PENGANTAR RETORIKA SUSANDI, M.Pd.

Upload: others

Post on 19-Oct-2021

11 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: RETORIKA - Budi Utomo Malang

SUSANDI

SEBUAH PENGANTAR

RETORIKA

SUSANDI, M.Pd.

Page 2: RETORIKA - Budi Utomo Malang
Page 3: RETORIKA - Budi Utomo Malang

i

KATA PENGANTAR

Dalam kehidupan sehari-hari, peranan berbicara sangat penting.

melalui kegiatan berbicara, seseorang akan mampu mempengaruhi orang

lain, mengubah suasana, meyakinkan, menghibur, dan sebagainya. Dengan

menyadari hal tersebut, perlu kecermatan berbicara untuk mencapai

maksud pembicara. Kegiatan ini dapat berwujud ceramah, diskusi, pidato

dan lain-lain.

Buku ini berisi pembahasan tentang retorika (berpidato). Buku

ini dimaksudkan untuk membantu para siswa, mahasiswa, dan guru

dalam meningkatkan kemampuan dalam berbicara, khususnya berpidato.

Walaupun buku ini dirujuk dari berbagai sumber, tetapi buku ini

juga masih butuh penyempurnaan. Untuk itu, penyusun sangat

mengharapkan kritik dan saran yang positif dari berbagai pihak.

Semoga buku ini bermanfaat bagi pembaca. Atas bantuan rekan-

rekan hingga penyelesaian buku ini, saya ucapkan terima kasih.

Malang, Desember 2018

Penyusun

Page 4: RETORIKA - Budi Utomo Malang

ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................ i

DAFTAR ISI ................................................................................................................ ii

BAB I SEJARAH RETORIKA .................................................................. 1

BAB II DASAR-DASAR RETORIKA ..................................................... 21

1. Pengertian Retorika............................................................. 21

2. Penyimpangan Pemakaian Retorika ............................ 31

3. Ciri Penanda Retorika sebagai Ilmu ............................. 35

4. Bidang Cakupan Retorika ................................................. 35

5. Beberapa Dimensi Ideologi Retorika ............................ 44

6. Latar Belakang yang Berbeda .......................................... 45

7. Pentingnya Retorika.............................................................. 47

BAB III BERBAHASA DAN BERPIDATO ............................................ 48

1. Keterampilan Berbahasa dan Berpidato .................... 48

2. Pengertian Pidato ................................................................. 50

3. Tujuan Pidato ......................................................................... 51

4. Metode Pidato ........................................................................ 54

BAB IV PERSIAPAN PIDATO .................................................................. 58

1. Menentukan Topik dan Tujuan ...................................... 58

2. Menganalisis Situasi dan Pendengar............................ 63

3. Memilih dan Menyempitkan topik ................................ 65

4. Mengumpulkan Bahan........................................................ 65

Page 5: RETORIKA - Budi Utomo Malang

iii

5. Membuat Kerangka Uraian............................................... 65

6. Menguraikan Secara Mendetail ...................................... 66

7. Melatih Suara Nyaring ........................................................ 67

BAB V PELAKSANAAN PIDATO........................................................... 72

1. Struktur Pidato ...................................................................... 72

2. Tatakrama Pidato ................................................................. 76

3. Posisi Berpidato .................................................................... 77

4. Faktor Penunjang Keefektifan Berpidato................... 77

BAB VI UNSUR TEKNIK PIDATO .......................................................... 79

1. Berani Tampil di depan Umum ....................................... 79

2. Bisa Berkonsentrasi ............................................................. 79

3. Pandai Mengolah Intonasi................................................ 80

4. Bisa Merangkai Kata yang Menarik............................... 80

5. Pandai Menghidupkan Suasana ...................................... 81

6. Mengenal Penampilan/Busana ....................................... 82

7. Catatan/Konsep ..................................................................... 83

8. Pidato dengan atau tanpa Teks ....................................... 83

9. Pidato sebagai Informasi ................................................... 84

10. Pidato sebagai Penerangan............................................... 84

11. Pidato sebagai Komando.................................................... 85

12. Pidato sebagai Ungkapan Perasaan .............................. 86

13. Latihan Nafas agar Tidak Gugup..................................... 86

14. Kontak Pandang ..................................................................... 87

Page 6: RETORIKA - Budi Utomo Malang

iv

BAB VII DAYA TARIK PIDATO ................................................................ 89

1. Menyulap Pidato ................................................................... 89

2. Suara dalam Pidot .............................................................. 93

3. Humor dalam Pidato ........................................................... 96

4. Kinesik dalam Pidato .......................................................... 97

5. Hal Lain yang Perlu Diperhatikan ................................. 101

BAB VIII TATAKRAMA BERPIDATO ..................................................... 104

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 110

BIOGRAFI PENULIS ......................................................................................... 112

Page 7: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[1]

SEJARAH RETORIKA

1.1 Pengantar

Retorika sebagai disiplin ilmu telah berkembang kurang lebih dua

ribu tahun. Di dalam waktu yang demikian itu, retorika berkembang. Pada

saat tertentu, retorika berkembang pesat dengan munculnya tokoh-tokoh

retorika yang berpikiran cemerlang dan menghasilkan karya-karya besar

di bidang retorika. Pada saat lain, retorika dipandang sebagai ilmu yang

tidak bermanfaat bahkan diragukan kebenarannya. Oleh karena itu,

retorika mengalami kesuraman yaitu tidak ada perkembangan yang

berarti. Pada saat lain lagi, retorika dibangkitkan lagi dengan adanya

pemikiran-pemikiran baru. Hal ini sebenarnya merupakan hal biasa di

dalam setiap disiplin ilmu.

Jika kita ingin memahami dengan baik tentang retorika, maka kita

harus mengetahui, memahami dan menguasai secara baik sejarah dan

perkembangan retorika. Sebelum hal ini diuarikan secara rinci, pembagian

sejarah retorika dibahas berdasarkan ketentuan para ahli retorika.

Di dalam retorika: Teori dan Praktik. Lathief Rousdy membagi

sejarah retorika itu menjadi 4 tahap, yaitu: (1) zaman Yunani; (2) zaman

Romawi; (3) abad Pertengahan; dan (4) sesudah Perang Dunia I (1978: 8 -

20).

1

Page 8: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[2]

Di dalam Diksi dan Gaya Bahasa, Gorys Keraf membagi sejarah

retorika menjadi 5, yaitu: (1) zaman Yunani; (2) zaman Romawi; (3) abad

Pertengahan; (4) zaman Pertengahan; dan (5) retorika Modern (1981: 2 -

17).

Di dalam Retorika dalam Menulis, M. Syafi’i membagi sejarah

retorika menjadi 5, yaitu: (1) retorika klasik; (2) retorika menjelang Abad

Pertengahan; (3) retorika Abad Pertengahan; (4) retorika Masa Transisi;

dan (5) retorika Modern (1988: 7 - 26).

Di dalam Retorik: Kiat Berhitung, Oka dan Basuki membagi

sejarah retorika 2 secara garis besar, yaitu retorika klasik dan retorika

baru. Sejarah retorika klasik dibagi oleh mereka atas 3, yaitu (1) retorika

zaman Yunani; (2) retorika zaman Romawi; (3) retorika sampai abad XIX.

Sejarah retorika baru dibagi mereka atas 4, yaitu (1) retorika I. A. Richards;

(2) retorika Kennertt Burke; (3) retorika General Semantik; dan (4)

retorika Tagmemik (1990: 72 - 150).

Di dalam Retorika Terampil Berpidato, Berdiskusi,

berargumentasi, dan bernegosiasi, Dori Wuwur Hendrikus membagi

sejarah retorika itu atas 5, yaitu: (1) retorika zaman Yunani Kuno; (2)

retorika zaman Romawi Kuno; (3) retorika abad Pertengahan; (4) retorika

Renesans dan Humanisme; dan (5) retorika zaman Modern (1994: 1 - 15).

Jika kita perhatikan secara seksama pembagian sejarah retorika

berdasarkan keenam sumber di bagian terdahulu, maka tampak

kesamaan. Oleh karena itu, sejarah retorika secara garis besar dibagi atas

dua bagian, yaitu: (1) Sejarah retorika Klasik; dan (2) sejarah retorika

Modern. Sejarah retorika klasik dibagi 4, yaitu (1) retorika bangsa Yunani

Kuno; (2) retorika Romawi kuno; (3) retorika Abad Pertengahan; (4)

Page 9: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[3]

retorika zaman Renesans dan Humanisme. Sejarah retorika modern dibagi

empat, yaitu: (1) retorika I. A. Ricards; (2) retorika Kenneth Burke; (3)

retorika General Semantik; dan (4) Retorika Tagmemik.

A. Sejarah Retorika Klasik (Retorika Zaman Yunani Kuno)

Bangsa Yunani adalah bangsa tertua yang memperhatikan

retorika. Kata dan istilah retorika berasal dari bahasa Yunani, yaitu

rhetorike yang bermakna seni berpidato. Mengacu kepada pendapat

Edward Sapir bahwa suatu kata mewadahi konsep budaya dari bangsa

yang dimilikinya, maka kata retorika yang bermakna seni berpidato dan

hal yang berkaitan dengannnya terdapat di dalam sistem kebudayaan

Yunani. Dengan demikian, bangsa Yunani telah memiliki konsep tentang

retorika beserta dengan nilai-nilainya di dalam sistem kebudayaannya

(Oka dan Basuki, 1990: 73).

Retorika mula-mula tumbuh dan berkembang di Yunani pada

abad V dan VI sebelum Masehi. Bukti-bukti retorika itu berkembang di

Yunani dapat dilihat di dalam buku Illiad dan Oessey karya pujangga besar

bangsa Yunani yaitu Homerous (900 – 800 SM). Ia menceritakan bahwa

dua orang yang bernama Nestor dan Achilles dengan kepiawaiannya

berpidato telah berhasil baik membakar semangat prajurit untuk maju ke

medan perang, membela kasus di depan umum dan membeberkan

kebesaran bangsa Yunani. Homerus mengungkapkan bahwa keberhasilan

adalah bukti dari suatu tindakan. Keberhasilan ditentukan oleh berbagai

faktor antara lain bakat, pengetahuan, latihan, kondisi pembicara, situasi

politik yang sedang berlangsung, dan motif. Khususnya di dalam berpidato

Nestor dan Achilles, berhasil berkat proses belajar dan latihan.

Page 10: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[4]

Bukti lainnya bahwa bangsa Yunani memberikan perhatian dan

penilaian yang tinggi terhadap kebudayaan retorika khususnya berpidato

dapat dilihat dari catatan Thucydides seorang sejarahwan Yunani. Ia

menceritakan bahwa bangsa Yunani telah mempunyai dua orang orator

kebanggaan, yaitu Demosthenes dan Pericles.

Berdasarkan keterangan di atas, maka pakar retorika Yunani

Klasik berkesimpulan bahwa pidato dan keahlian berpidato merupakan

bagian kehidupan yang sangat dihargai oleh bangsa Yunani. Hal ini secara

jelas dikemukakan oleh Evverett Lee Hunt guru besar “Publik Speaking”

bahwa seni berpidato atau retorika pada abad V sebelum Masehi di Yunani

dianggap sebagai sarana untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi

dan membuka jalan hidup lebih baik. Oleh karena itu, salah satu penyebab

menjamurnya sekolah-sekolah retorika dan guru retorika di Yunani.

1. Retorika Attic

Retorika sebagai ilmu pertama-tama dibina di Syracusa, ibukota

Sycilia sekitar 567 sebelum masehi (Oka dan Basuki, 1990:75). Latar

belakang pembinaan ini sejalan dengan gerakan rakyat Sycilia yang

menentang pemerintahannya yang tiranis dan menuntut suatu sistem

pemerintahan yang demokratis. Oleh karena itu, pemimpin menempuh

jalan lain agar tidak terjadi pertumpahan darah, yaitu (1) mempopulerkan

gagasan sistem pemerintahan yang demokratis di tengah masyarakat

untuk memperoleh dukungan; (2) mengirim utusan kepada penguasa

untuk menyampaikan tuntutatn hati nurani rakyat. Di dalam kedua

kegiatan itu, kecakapan berpidato dan menampilkan gagasan dibutuhkan,

Page 11: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[5]

maka perkembangan suatu ilmu yang membuat orang mampu berpidato

yang dinamakan retorika.

Corax, tokoh yang sangat menonjol ketika itu. Ia selain retor atau

orator, juga retorisi atau pakar retorika. Ia menerbitkan buku “Tehne”

sebagai buku teori retorika pertama.

Tokoh lainnya yang sangat menonjol adalah Tissias murid Corax.

Ia mengembangkan gagasan Corax. Ia memusatkan perhatian kepada dua

aspek retorika, yaitu argumen dan kemungkinannya.

Retorika yang versi Corax dan Tissias populer di kota Atena.

Mereka berdua memberikan pelajaran retorika kepada orang-orang yang

berkeinginan mendapat posisi tertentu di pemerintahan. Murid mereka

antara lain Gorgias, Lysias dan Isocrates. Mereka bertiga mengembangkan

corak retorika yang dikenal sebagai retorika sofis.

Secara umum dapat dikatakan bahwa terangkatnya retorika

menjadi suatu objek yang perlu dipelajari untuk mendapatkan

kemmapuan menyuguhkan suatu gagasan adalah berkat kedua retor dan

retorisi Corax dan Tissias. Retorika mereka disebut sebagai retorika Attic.

2. Retorika Sofis

Akhir abad V sebelum Masehi, muncul kelompok filosof yang

dikenal sebagai kaum Sofis. Tokoh pionernya adalah Gorgias. Ia

mengemukakan bahwa pidato dan kecakapan berpidato merupakan faktor

yang menentukan di panggung politik.

Gorgias juga mengungkapkan bahwa ada dua aspek retorika yaitu:

(1) aspek bahasa dan (2) aspek yang menyangkut penataan pidato dan

penampilannya. Berkait dengan aspek ini, ia menganjurkan agar seorang

Page 12: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[6]

pembicara memilih bentuk-bentuk kata yang mempunyai kesamaan bunyi.

Bentuk-bentuk kata yang demikian setelah diurutkan letaknya di dalam

kalimat akan merangsang perhatian pendengarnya. Ia juga

mengemukakan bahwa seorang pembicara agar memanipulasi emosi

pendengarnya dengan memanfaatkan gaya bahasa repetisi, paralelisme

dan anteisme.

Berkaitan dengan aspek kedua, yaitu penataan dan penampilan

retorika, Gorgias berpendapat bahwa pembicara dianjurkan untuk

memilih kemungkinan yang sebanyaknya. Kemungkinan-kemungkinan ini

dapat digunakan untuk menopang gagasan. Pembicara juga diharapkan

memanfaatkan materi bahasa yang cocok dan menampilkannya secara

persuasif.

Jika diperhatikan pandangan Gorgias itu, maka tampak perbedaan

pandangan dengan retorika terdahulu. Retorika Attic lebih

memperhatikan masalah persuasi kebenaran yang sudah diyakini dengan

pemakaian bahasa dan penampilan yang sederhana serta membatasi

kemungkinan-kemungkinan. Pandangan retorika Gorgias justru

kemungkinan-kemungkinan dan peranan bahasa dan teknik penampilan

merupakan hal yang mendasar.

Tokoh lainnya yang termasuk kaum retorika adalah Lysias. Ia

mendapat pendidikan retorika dari Tissias ketika bermukim di Italia

Selatan. Latar Belakang Lysias mempelajari retorika lebih sungguh-

sungguh adalah tragedi meninggal saudaranya oleh lawan politiknya.

Lyssias juga sangat memperhatikan aspek gaya bahasa. Ia

dipengaruhi oleh Gorgias, khususnya memanfaatkan kemungkinan-

kemungkinan dan memanipulasi emosi pendengar. Salah satu sumbangan

Page 13: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[7]

pemikirnya adalah ajarannya tentang cara menata antenseden dari

persoalan yang akan diampilkannya. Secara teknis yang dikembangkan

Lysias adalah aspek narasi atau narratio.

Tokoh lainnya adalah Protagoras. Ia penegak retorika Sofis.

Keahliannya di dalam mengajar dan melatih berpidato membuat ia cukup

dikenal. Teknik yang ditempuhnya adalah teknik debat. Oleh karena itu ia

selalu menganjurkan kepada murid-muridnya agar memiliki kecerdikan

karena hal itu merupakan alat utama untuk memenangkan suatu kasus.

Kebenaran sering dikaburkan oleh kecerdikan berdebat. Ia sering disebut

pendidik debat.

Tokoh lainnya ada Isocrates. Ia mendapat pendidikan retorika

dari retorisi seperti Protagoras, Prodicus dan Gorgias. Di dalam bidang

retorika, ia lebih banyak berkecimpung di dalam bidang pengajaran. Ia

telah mendirikan sebuh sekolah retorika. Rumahnya dijadikan tempat

mendidik murid-muridnya.

Ia seorang Iogografer, yaitu orang yang berkeahlian menulis

paskah pidato banyak memberikan latihan mengarang pidato. Ia

berkeyakinan bahwa dengan pengarahan berupa latihan mengarang

terpimpin seorang murid yang berbakat akan cepat menjadi seorang ahli

pidato yang baik.

Walaupun Isocrates termasuk kaum Sofis, ia berbeda pandangan

dengan pendahulunya. Gorgias, Protagoras, dan Lysias melihat retorika

sebagai alat politik dan mendudukkan kemenangan sebagai tujuan akhir.

Sebaliknya, Isocrates justru memandang kebenaranlah yang

harus dimenangkan. Persyaratannya adalah pembicara harus bekecapan

Page 14: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[8]

membeberkan secara sistematis dan dengan bahasa yang menarik. Oleh

karena itu ia diberi gelar sebagai tokoh moralitas kaum Sofis.

3. Retorika Plato

Plato belajar filsafat dan ilmu pengetahuan lebih kurang sepuluh

tahun dari Sokrates tokoh yang lebih dikenal sebagai Bapak Filsafat

Yunani. Ia sangat banyak dipengaruhi oleh gurunya untuk

mengembangkan filsafatnya. Ia dilahirkan pada 428 Sebelum Masehi di

Atena. Di samping filsafat, ia juga mengembangkan retorika yang

dipengaruhi oelh Socrates.

Pada 338 Sebelum Masehi, Plato mendirikan sebuah perguruan

tinggi yang diberi nama Akademi. Perguruan tinggi yang pertama di dunia

ini dipakai Plato untuk mengembangkan gagasan-gagasan ilmu

pengetahuan dan filsafat serta menulis buku-buku.

Ditinjau dari segi pendidikan retorika, Akademi Plato sangat besar

pengaruhnya di dalam mengimbangi sekolah-sekolah retorika. Akademi

Plato ini dianggap sebagai saingan berat dari sekolah retorika yang

didirikan oleh Isocrates.

Plato dipengaruhi Socrates di dalam bidang retorika. Pokok-

pokok pikiran retorika Socrates dimuatnya di dalam bukunya “Dialog”. Di

dalam buku itu antara lain Socrates mengemukakan bahwa retorika

kurang baik untuk masyarakat umum. Alasannya adalah retorika tidak

berlandaskan prinsip-prinsip kebenaran yang universal, melainkan hanya

bertolak dari prinsip-prinsip situasional dan temporal. Sokrates

mengungkapkan bahwa yang lebih penting adalah meneruskan kebenaran

sebagaimana adanya dan menghindari kesalahan-kesalahan yang sama

Page 15: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[9]

yang pernah terjadi sebelumnya. Socrates sebenarnya tidak sedemikian

simpatik terhadap retorika. Penyebabnya adalah kondisi dan retorisi

ketika itu sebgagian besar menyalahgunakan retorika. Dengan demikian,

Plato sesungguhnya mengembangkan studi retorika Socrates, yaitu

menjunjung kebenaran sebagai inti masalah retorika. Perbedaan yang ada

antara retorika Sofis dan retorika Plato Socrates dapat dilihat secara nyata.

Retorika Sofis lebih kecerdikan bersilat lidah demi mendapat kemenangan

sedangkan retorika Plato Socrates lebih memperhatikan usaha

menampilkan kebenaran secara rasional dan ilmiah filosofis.

4. Retorika Aristoteles

Pembicaraan tentang retorika klasik Yunani dan studi retorika

pada umumnya, kita memang tidak bisa melupakan peranan Aristoteles. Ia

adalah sarjana pertama yang menampilkan uraian sistematika dan ilmiah

tentang retorika. Oleh karena itu, retorika menjdi sebuah disiplin ilmu

yang sejajar kedudukannya Logika dan Gramatika.

Aristoteles lahir pada 384 Sebelum Masehi di Stagira Yunani. Ia

mengikuti pendidikan tinggi Akademik milik Plato. Ia murid sekaligus

kolega Plato kurang lebih dua puluh tahun lamanya. Walaupun pengaruh

Plato demikian besar terhadapnya, bukan berarti seluruh pandangan

gurunya itu diterima secara utuh. Tidak sedikit pandangannya

bertentangan dengan Plato atau menolaknya.

Aristoteles tidak menyepakati teori idealisme Plato. Ia

menggantikannya dengan pendekatan matematis. Plato menganggap alam

raya itu statis, sedangkan Aristoteles menggantikannya dengan teori

kedinamisan. Walaupun demikian jejak-jejak pandangan Plato mesih

Page 16: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[10]

tampak di dalam pandangan Aristoteles. Fenomena ini disebut Meyer

Reinbol “Aristotle’s philosophy is Platonusm modified by common sence”

(Oka dan Basuki, 1990:84).

Ia juga dikenal sebagai orang yang berotak cemerlang sebab

berbagai ilmu dikuasainya secara baik meliputi biologi, psikologi, logika

formal. Metode ilmiah, istilah-istilah ilmu pengetahuan dan filsafat sampai

hari ini kita mewarisi darinya.

Pada 335 Sebelum Masehi, ia mendirikan perguruan tinggi yang

kedua setelh Akademi Plato, yaitu Lyceum. Perguruan tinggi ini

merupakan tempat mahasiswa mengembangkan gagasan, ilmu dan filsafat

sekaligus sebagai tempat mempublikasikan karya-karyanya.

Khusus di dalam bidang retorika, tidak sedikit pujian orang yang

disampaikan padanya. Donald C. Bryant mengatakan bahwa Aristoteles

adalah orang yang pertama menampilkan gagasan retorika secara orisinal.

Dudle beiley menganggap bahwa Aristoteleslah yang menggariskan secara

jelas tujuan, ruang lingkup dan metode retorika (Oka dan Basuki, 1990: 85)

Berbagai pandangan Aristoteles dapat dibaca di dalam bukunya

“Rhetoric” yang telah diterjemahkan Lane Cooper ke dalam bahasa Inggris

pada tahun 1960. di dalam buku ini, Aristoteles menyatakan bahwa secara

sadar atau tidak sadar seseorang sebenarnya telah menggunakan retorika

dan dialektika, yaitu ketika dia mengungkapkan buah pikiran,

mempertahankan pendirian dan menolak pendapat orang lain.

Page 17: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[11]

B. Retorika Zaman Romawi Kuno

Setelah Yunani runtuh simbol kejayaan digantikan oleh kerajaan

Romawi Kuno. Retorika termasuk hal yang diboyong oleh Romawi atas

kemenangan ekspansi militer mereka ke Yunani. Oleh karena itu, retorika

berbumi di Romawi. Retorika berkembang subur. Salah satu sebab adalah

sistem pemerintahan Romawi yang berbentuk republik memiliki senat,

yaitu badan yang mewakili wewenang untuk memutuskan kebijakan-

kebijakan penting. Kondisi ini menyadarkan para senator

memperlengkapi diri dengan kecakapan berpidato atau retorika. Hal itulah

yang menyebabkan sekolah-sekolah retorika, buku retorika dan pamor

guru retorika menjadi semakin terhormat di tengah-tengah masyarakat

Romawi. Di Romawi lahir dua retorika legendaris, yaitu Cicero dan

Quintilianus. Kedua retorika ini dianggap mewakili perkembangan

retorika di Romawi.

C. Retorika Abad Pertengahan

Sejak zaman Yunani sampai zaman Romawi, retorika selalu

berkaitan dengan kenegarawanan. Para orator umumnya terlibat dalam

kegiatan politik. Ada dua cara untuk memperoleh kemenangan politik: talk

it out ('membicarakan sampai tuntas) atau shoot it out (menembak sampai

habis). Retorika subur pada cara pertama, cara demokrasi. Ketika

demokrasi Romawi mengalami kemunduran, dan kaisar demi kaisar

memegang pemerintahan, "membicarakan" diganti dengan "menembak".

Retorika tersingkir ke belakang panggung. Para kaisar tidak senang

mendengar orang yang pandai berbicara.

Page 18: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[12]

Abad pertengahan sering disebut abad kegelapan, juga buat

retorika. Ketika agama Kristen berkuasa, retorika dianggap sebagai

kesenian jahiliah. Banyak orang Kristen waktu itu melarang mempelajari

retorika yang dirumuskan oleh orang-orang Yunani dan Romawi, para

penyembah berhala. Bila orang memeluk agama Kristen, secara otomatis

ia akan memiliki kemampuan untuk nmnyampaikan kebenaran. St.

Agustinus, yang telah mempelajari retorika sebelum masuk Kristen tahun

386, adalah kekecualian pada zaman itu.

Dalam On Christian Doctrine (426), ia menjelaskan bahwa para

pengkhotbah harus sanggup mengajar, menggembirakan, dan meng-

gerakkan - yang oleh Cicero disebut sebagai kewajiban orator. Untuk

mencapai tujuan Kristen, yakni mengungkapkan kebenaran, kita harus

mempelajari teknik penyampaian pesan. Satu abad kemudian, di Timur

muncul peradaban baru. Seorang Nabi menyampaikan firman Tuhan,

"Berilah mereka nasihat dan berbicaralah kepada mereka dengan

pembicaraan yang menyentuh jiwa mereka" (Alquran 4:63). Muhammad

saw. bersabda, memperteguh firman Tuhan ini, "Sesungguhnya dalam

kemampuan berbicara yang baik itu ada sihirnya".

Ia sendiri seorang pembicara yang fasih - dengan kata-kata singkat

yang mengandung makna padat. Para sahabatnya bercerita bahwa

ucapannya sering menyebabkan pendengar berguncang hatinya dan

berlinang air matanya. Tetapi ia tidak hanya menyentuh hati, ia juga

mengimbau akal para pendengarnya. Ia sangat memperhatikan orang-

orang yang dihadapinya, dan menyesuaikan pesannya dengan keadaan

mereka. Ada ulama yang mengumpulkan khusus pidatonya dan me-

namainya Madinat al-Balaghah (Kota Balaghah). Salah seorang sahabat

Page 19: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[13]

yang paling dikasihinya, Ali bin Abi Thalib, mewarisi ilmunya dalam

berbicara. Seperti dilukiskan Thomas Carlyle, "every antagonist in the

combats of tongue or of sword was subdited by his eloquence and valor".

Pada Ali bin Abi Thalib, kefasihan dan kenegarawanan bergabung kembali.

Khotbah-khotbahnya dikumpulkan dengan cermat oleh para pengikutnya

dan diberi judul Nahj al-Balaghah (Jalan Balaghah).

Balaghah menjadi disiplin ilmu yang menduduki status yang mulia

dalam peradaban Islam. Kaum Muslim menggunakan balaghah sebagai

pengganti retorika. Tetapi, warisan retorika Yunani, yang dicampakkan di

Eropa Abad Pertengahan, dikaji dengan tekun oleh para ahli balaghah.

Sayang, sangat kurang sekali studi berkenaan dengan kontribusi Balaghah

pada retorika modern. Balaghah, beserta ma'ani dan bayan, masih

tersembunyi di pesantren-pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan

Islam tradisional.

D. Retorika Modern

Retorika modern diartikan sebagai seni berbicara atau

kemampuan untuk berbicara dan berkhotbah (Hendrikus, 1991); sehingga

efektivitas penyampaian pesan dalam retorika sangat dipengaruhi oleh

teknik atau keterampilan berbicara komunikator.

Abad Pertengahan berlangsung selama seribu tahun (400-1400). Di

Eropa, selama periode panjang itu, warisan peradaban Yunani diabaikan.

Pertemuan orang Eropa dengan Islam - yang menyimpan dan

mengembangkan khazanah Yunani - dalam Perang Salib menimbulkan

Renaissance. Salah seorang pemikir Renaissance yang menarik kembali

minat orang pada retorika adalah Peter Ramus. Ia membagi retorika pada

Page 20: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[14]

dua bagian. Inventio dan dispositio dimasukkannya sebagai bagian logika.

Sedangkan retorika hanyalah berkenaan dengan elocutio dan pronuntiatio

saja. Taksonomi Ramus berlangsung selama beberapa generasi.

Renaissance mengantarkan kita kepada retorika modern. Yang

membangun jembatan, menghubungkan Renaissance dengan retorika

modern adalah Roger Bacon (1214-1219). Ia bukan saja memperkenalkan

metode eksperimental, tetapi juga pentingnya pengetahuan tentang

proses psikologis dalam studi retorika. Ia menyatakan, "... kewajiban

retorika ialah menggunakan rasio dan imajinasi untuk menggerakkan

kemauan secara lebih baik". Rasio, imajinasi, kemauan adalah fakultas--

fakultas psikologis yang kelak menjadi kajian utama ahli retorika modern.

Aliran pertama retorika dalam masa modern, yang menekankan proses

psikologis, dikenal sebagai aliran epistemologis. Epistemologi membahas

"teori pengetahuan"; asal-usul, sifat, metode, dan batas-batas

pengetahuan manusia. Para pemikir epistemologis berusaha mengkaji

retorika klasik dalam sorotan perkembangan psikologi kognitif (yakni,

yang membahas proses mental).

George Campbell (1719-1796), dalam bukunya The Philosophy of

Rhetoric, menelaah tulisan Aristoteles, Cicero, dan Quintillianus dengan

pendekatan psikologi fakultas (bukan fakultas psikologi). Psikologi

fakultas berusaha menjelaskan sebab-musabab perilaku manusia pada

empat fakultas - atau kemampuan jiwa manusia: pemahaman, memori,

imajinasi, perasaan, dan kemauan. Retorika, menurut definisi Campbell,

haruslah diarahkan kepada upaya "mencerahkan pemahaman,

menyenangkan imajinasi, menggerakkan perasaan, dan mempengaruhi

kemauan".

Page 21: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[15]

Richard Whately mengembangkan retorika yang dirintis Campbell.

Ia mendasarkan teori retorikanya juga pada psikologi fakultas. Hanya saja

ia menekankan argumentasi sebagai fokus retorika. Retorika harus

mengajarkan bagaimana mencari argumentasi yang tepat dan meng-

organisasikannya secara baik. Baik Whately maupun Campbell me-

nekankan pentingnya menelaah proses berpikir khalayak. Karena itu,

retorika yang berorientasi pada khalayak (audience-centered) berutang

budi pada kaum epistemologis - aliran pertama retorika modern.

Aliran retorika modern kedua dikenal sebagai gerakan belles lettres

(Bahasa Prancis: tulisan yang indah). Retorika belletris sangat meng-

utamakan keindahan bahasa, segi-segi estetis pesan, kadang-kadang

dengan mengabaikan segi informatifnya. Hugh Blair (1718-1800) menulis

Lectures on Rhetoric and Belles Lettres. Di sini ia menjelaskan hubungan

antara retorika, sastra, dan kritik. Ia memperkenalkan fakultas citarasa

(taste), yaitu kemampuan untuk memperoleh kenikmatan dari pertemuan

dengan apa pun yang indah. Karena memiliki fakultas citarasa, Anda

senang mendengarkan musik yang indah, membaca tulisan yang indah,

melihat pemandangan yang indah, atau mencamkan pidato yang indah.

Citarasa, kata Blair, mencapai kesempurnaan ketika kenikmatan inderawi

dipadukan dengan rasio - ketika rasio dapat menjelaskan sumber-sumber

kenikmatan.

Aliran pertama (epistemologi) dan kedua (belles lettres) terutama

memusatkan perhatian mereka pada persiapan pidato - pada penyusunan

pesan dan penggunaan bahasa. Aliran ketiga - disebut gerakan elokusionis

- justru menekankan teknik penyampaian pidato. Gilbert Austin, misalnya

memberikan petunjuk praktis penyampaian pidato, "Pembicara tidak

Page 22: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[16]

boleh melihat melantur. Ia harus mengarahkan matanya langsung kepada

pendengar, dan menjaga ketenangannya. Ia tidak boleh segera melepaskan

seluruh suaranya, tetapi mulailah dengan nada yang paling rendah, dan

mengeluarkan suaranya sedikit saja; jika ia ingin mendiamkan gumaman

orang dan mencengkeram perhatian mereka". James Burgh, misal yang

lain, menjelaskan 71 emosi dan cara mengungkapkannya.

Dalam perkembangan, gerakan elokusionis dikritik karena per-

hatian - dan kesetiaan - yang berlebihan pada teknik. Ketika mengikuti

kaum elokusionis, pembicara tidak lagi berbicara dan bergerak secara

spontan. Gerakannya menjadi artifisial. Walaupun begitu, kaum

elokusionis telah berjaya dalam melakukan penelitian empiris sebelum

merumuskan "resep-resep" penyampaian pidato. Retorika kini tidak lagi

ilmu berdasarkan semata-mata "otak-atik otak" atau hasil perenungan

rasional saja. Retorika, seperti disiplin yang lain, dirumuskan dari hasil

penelitian empiris.

Pada abad kedua puluh, retorika mengambil manfaat dari perkem-

bangan ilmu pengetahuan modern - khususnya ilmu-ilmu perilaku seperti

psikologi dan sosiologi. Istilah retorika pun mulai digeser oleh speech,

speech communication, atau oral communication, atau public speaking. Di

bawah ini diperkenalkan sebagian dari tokoh-tokoh retorika mutakhir:

1. James A Winans

Ia adalah perintis penggunaan psikologi modern dalam pidatonya.

Bukunya, Public Speaking, terbit tahun 1917 mempergunakan teori

psikologi dari William James dan E.B. Tichener. Sesuai dengan teori James

bahwa tindakan ditentukan oleh perhatian, Winans, mendefinisikan

Page 23: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[17]

persuasi sebagai "proses menumbuhkan perhatian yang memadai baik dan

tidak terbagi terhadap proposisi-proposisi". Ia menerangkan pentingnya

membangkitkan emosi melalui motif-motif psikologis seperti kepentingan

pribadi, kewajiban sosial dan kewajiban agama. Cara berpidato yang

bersifat percakapan (conversation) dan teknik-teknik penyampaian pidato

merupakan pembahasan yang amat berharga. Winans adalah pendiri

Speech Communication Association of America (1950).

2. Charles Henry Woolbert

Ia pun termasuk pendiri the Speech Communication Association of

America. Kali ini psikologi yang amat mempengaruhinya adalah

behaviorisme dari John B. Watson. Tidak heran kalau Woolbert

memandang "Speech Communication" sebagai ilmu tingkah laku. Baginya,

proses penyusunan pidato adalah kegiatan seluruh organisme. Pidato

merupakan ungkapan kepribadian. Logika adalah dasar utama persuasi.

Dalam penyusunan persiapan pidato, menurut Woolbert harus

diperhatikan hal-hal berikut: (1) teliti tujuannya, (2) ketahui khalayak dan

situasinya, (3) tentukan proposisi yang cocok dengan khalayak dan situasi

tersebut, (4) pilih kalimat-kalimat yang dipertalikan secara logis. Bukunya

yang terkenal adalah The Fundamental of Speech.

3. William Noorwood Brigance

Berbeda dengan Woolbert yang menitikberatkan logika, Brigance

menekankan faktor keinginan (desire) sebagai dasar persuasi.

"Keyakinan", ujar Brigance, "jarang merupakan hasil pemikiran. Kita

Page 24: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[18]

cenderung mempercayai apa yang membangkitkan keinginan kita,

ketakutan kita dan emosi kita". Persuasi meliputi empat unsur: (1) rebut

perhatian pendengar, (2) usahakan pendengar untuk mempercayai

kemampuan dan karakter Anda, (3) dasarkanlah pemikiran pada

keinginan, dan (4) kembangkan setiap gagasan sesuai dengan sikap

pendengar.

4. Alan H. Monroe

Bukunya, Principles and Types of Speech, banyak kita pergunakan

dalam buku ini. Dimulai pada pertengahan tahun 20-an Monroe beserta

stafnya meneliti proses motivasi (motivating process). Jasa, Monroe yang

terbesar adalah cara organisasi pesan. Menurut Monroe, pesan harus

disusun berdasarkan proses berpikir manusia yang disebutnya motivated

sequence.

Beberapa sarjana retorika modern lainnya yang patut kita sebut

antara lain A.E. Philips (Effective Speaking, 1908), Brembeck dan Howell

(Persuasion: A Means of Social Control, 1952), R.T. Oliver (Psychology of Per-

suasive Speech, 1942). Di Jerman, selain tokoh "notorious" Hitler, dengan

bukunya Mein Kampf, maka Naumann (Die Kunst der Rede, 1941), Dessoir

(Die Rede als Kunst, 1984) dan Damachke (Volkstumliche Redekunst, 1918)

adalah pelopor retorika modern juga.

Dewasa ini retorika sebagai public speaking, oral communication,

atau speech communication -diajarkan dan diteliti secara ilmiah di

lingkungan akademis. Pada waktu mendatang, ilmu ini tampaknya akan

diberikan juga pada mahasiswa-mahasiswa di luar ilmu sosial. Dr. Charles

Hurst mengadakan penelitian tentang pengaruh speech courses terhadap

Page 25: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[19]

prestasi akademis mahasiswa. Hasilnya membuktikan bahwa pengaruh itu

cukup berarti. Mahasiswa yang memperoleh pelajaran speech (speech

group) mendapat skor yang lebih tinggi dalam tes belajar dan berpikir,

lebih terampil dalam studi dan lebih baik dalam hasil akademisnya

dibanding dengan mahasiswa yang tidak memperoleh ajaran itu. Hurst

menyimpulkan:

Data penelitian ini menunjukkan dengan jelas bahwa kuliah

speech tingkat dasar adalah agen synthesa, yang

memberikan dasar skematis bagi mahasiswa untuk berpikir

lebih teratur dan memperoleh penguasaan yang lebih baik

terhadap aneka fenomena yang membentuk kepribadian.

Penelitian ini menjadi penting bagi kita, bukan karena dilengkapi

dengan data statistik yang meyakinkan atau karena berhasil memberikan

gelar doktor bagi Hurst, tetapi karena erat kaitannya dengan prospek

retorika di masa depan.

Page 26: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[20]

DASAR-DASAR RETORIKA

1. Pengertian Retorika

Retorika adalah kecakapan berpidato di depan umum (study

retorika di Sirikkusa ibu kota Sislia Yunani abab ke 5 SM). Retorika (dari

bahasa Yunani ῥήτωρ, rhêtôr, orator, teacher) adalah sebuah teknik

pembujuk-rayuan secara persuasi untuk menghasilkan bujukan dengan

melalui karakter pembicara, emosional atau argumen (logo), awalnya

Aristoteles mencetuskan dalam sebuah dialog sebelum The Rhetoric

dengan judul 'Grullos' atau Plato menulis dalam Gorgias, secara umum

ialah seni manipulatif atau teknik persuasi politik yang bersifat

transaksional dengan menggunakan lambang untuk mengidentifikasi

pembicara dengan pendengar melalui pidato, persuader dan yang

dipersuasi saling bekerja sama dalam merumuskan nilai, keprcayaan dan

pengharapan mereka. Ini yang dikatakan Kenneth Burke (1969) sebagai

konsubstansialitas dengan penggunaan media oral atau tertulis,

bagaimanapun, definisi dari retorika telah berkembang jauh sejak retorika

naik sebagai bahan studi di universitas. Dengan ini, ada perbedaan antara

retorika klasik (dengan definisi yang sudah disebutkan diatas) dan praktek

kontemporer dari retorika yang termasuk analisa atas teks tertulis dan

visual.

2

Page 27: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[21]

Retorika adalah memberikan suatu kasus lewat bertutur

(menurut kaum sofis yang terdiri dari Gorgias, Lysias, Phidias, Protagoras

dan Socrates akhir abad ke 5 SM). Retorika adalah ilmu yang mengajarkan

orang tentang keterampilan, tentang menemukan sarana persuasif yang

objectif dari suatu kasus (Aristoteles) Study yang mempelajari

kesalahpahaman serta penemuan saran dan pengobatannya (Richard awal

abad ke 20-an) Retorika adalah yang mengajarkan tindak dan usaha yang

efektif dalam persiapan, penetaan dan penampilan tutur untuk membina

saling pengertian dan kerjasama serta kedamaian dalam kehidupan

bermasyarakat.

Tujuan retorika adalah persuasi, yang di maksudkan dalam

persuasi dalam hubungan ini adalah yakinnya penanggap penutur

(pendengar) akan kebenaran gagasan topic tutur (hal yang di bicarakan)

si penutur (pembicara). Artinya bahwa tujuan retorika adalah membina

saling pengertian yang mengembangkan kerjasama dalam menumbuhkan

kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat lewat kegiatan bertutur.

Berbagai pengertian retorika telah dibuat oleh ahli retorika.

Kondisi ini dilatarbelakangi oleh berbagai pengaruh ilmu pengetahuan

yang dianut, pendekatan yang dipilih, metode dan teknik analisis yang

digunakan.

Masalah keragaman pengertian retorika itu bukanlah luar biasa.

Hal yang sama juga berlaku di dalam ilmu pengetahuan lain. Berbagai

pengertian retorika itu perlu dipelajari perkembangannya. Di bawah ini,

berbagai pengertian retorika itu dipaparkan.

Ketika istilah retorika diperkenalkan di Yunani pada abad V

Sebelum Masehi, retorika dipahami sebagai kecakapan berpidato. Saat

Page 28: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[22]

yang sama Corax dan Tissias berpengertian yang sama. Pengertian

retorika berkembang di kota Atena atau semenanjung Atika (Attic) yang

kemudian dikenal sebagai retorika Attic. Mereka berpengertian bahwa

retorika adalah kecakapan bertutur atau berpidato untuk memenangkan

suatu kasus.

Pengertian retorika kaum Sofis itu dikecam oleh Plato. Ia

mengatakan bahwa retorika Sofis itu bisa membuat orang meninggalkan

kebenaran, mungkin akan menginjak-injak kebenaran karena demi

mementingkan dan memenangkan suatu kasus. Ia menganjurkan bahwa

jika orang menginginkan kebenaran terwujud di dalam kehidupannya,

maka ia harus meninggalkan ajaran kaum Sofis.

Plato berpengertian bahwa retorika adalah seni bertutur

membeberkan kebenaran. Mengacu kepada pengertian retorika Plato itu,

seorang ahli retorika tidak perlu bersilat lidah menggunakan kata-kata

yang berbunga atau bertingkah laku yang berlebihan dalam bertutur. Ia

menyarankan agar penutur atau pembicara meneliti secermat-cermatnya

kebenaran gagasan yang dituturkan dan menampilkan secara sederhana.

Setelah Plato meninggal dunia, Aristoteles murid Plato

mengembangkan pengertian retorika. Ia berpengertian bahwa retorika

adalah ilmu dan seni yang mengajar orang untuk terampil menyusun tutur

secara efektif (Oka dan Basuki, 1990: 27). Kata efektif di dalam rumusan

pengertian retorika itu sangat luas dan dalam. Pertama adalah sebuah

tutur dikatakan efektif kalau ia menampilkan kebenaran. Keyakinan ini

sejalan dengan pandangan Plato, yaitu bahwa manusia memiliki intuisi etis

yang membuat mereka bisa membedakan antara yang benar dan tidak

benar. Memang bisa saja orang menampilkan ketidakbenaran di dalam

Page 29: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[23]

tuturnya—dan ini menunjukkan sifat-sifat efektifnya—tetapi karena

kebenaran tidak bisa ditutup-tutupi dengan ketidakbenaran, tutur itu

cepat atau lambat akan ternyata keefektifannya. Kedua ada sebuah tuturan

akan efektif jika disiapkan dan ditata secara ilmiah. Sebelum sebuah tutur

ditampilkan, topik tuturnya perlu diolah. Dengan demikian, seorang

penutur harus mengetahui secara memadai hal-hal yang berhubungan

dengan unsur-unsur topik tutur, kaitan antar bagian yang satu dengan

bagian yang lain, serta nilai fungsi budaya yang menyertainya. Bagian-

bagian itu perlu ditata secara sistematis, ditopang dengan ulasan-ulasan

yang meyakinkan, ditampilkan dengan bahasa yang sesuai dengan daya

tanggap pendengarnya.

Pada tahun 1954, W. Rhys Robert mengutip pengertian retorika

Aristoteles. Ia menerjamahkannya ke dalam bahasa Inggris. Pengertian

retorika adalah kemampuan atau kecakapan mengobservasi suatu kasus

yang dapat dijadikan alat persuasi (rhetoric may be defined as the faculty

of observing in any given case the available means persuation) (Oka dan

Basuki, 1990: 28).

Pengertian retorika Aristoteles itu kemudian dikembangkan dan

dijadikan pegangan umum oleh ahli retorika berikutnya. Dua retorikus

dari zaman Romawi, yaitu Cicero dan Quantilianus mengembangkan

pengertian retorika Aristoteles. Demikian juga ahli retorika Sesudah

Masehi bahkan sampai permulaan abad XX. Jika terdapat perbedaan, maka

hal itu hanyalah susunan redaksi atau penekanannya. Landasan

filosofisnya masih tetap berdasarkan ajaran Aristoteles (D. Fogarty, 1959,

di dalam Oka dan Basuki, 1990: 28). Berbagai pengertian retorika yang

Page 30: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[24]

sama dengan pengertian retorika Aristoteles ini dibeberkan di bahagian

selanjutnya.

Pada tahun 1966, di dalam College Compasition and

Communication, D. Beckett berpengertian bahwa retorika adalah seni

mengafeksi pihak lain dengan tutur, yaitu dengan cara memanipulasi

unsur-unsur tutur dan respon pendengar (66). Pada tahun 1967, di dalam

Rhetoric: Its Fungtion and Its Scope, Donald C. Bryant berpengertian

bahwa retorika sebagai suatu tutur yang mempersuasi dan memberikan

informasi rasional kepada pihak lain (di dalam Glorfelf, dkk., 1967:181).

Pada tahun 1967, di dalam New Rhetories, Martin Steinmann, Jr

berpengertian bahwa retorika sebagai upaya pemilihan yang efektif

terhadap cara-cara pengungkapan yang sinonim. Rumusan ini didasarkan

pandangan bahwa bahasa menyediakan materi dan kemungkinan susunan

yang sering bersinonim satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, retorika

adalah tentang bagaimana orang harus memilih salah satu kemungkinan

materi yang ada sebagai bentuk cara mengungkapkan yang persuasif.

(1967: 22).

Pada tahun 1965, di dalam artikel: The Fungstion of Rhetoric as

Affective Axpression, Albert P. Dunhamel berpengertian bahwa retorika

adalah suatu ide untuk mempersuasi (di dalam Natanson and Johnstone,

Jr., 1965: 80). Pada tahun 1969, Bishob Whatley berpengertian bahwa

retorika adalah seni yang mengajarkan kaidah dasar pemakaian bahasa

yang efektif (di dalam Daniel Fogarty, 1969).

Selain pengertian yang berakar pada ajaran Aristoteles,

pengertian lain juga berkembang pada awal abad XX. Pengertian retorika

yang berkembang oleh kaum retorika baru atau retorika modern ini

Page 31: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[25]

berbeda dengan pengertian terdahulu. Di bahagian selanjutnya dibahas

satu persatu.

Jika Aristoteles dan pengikutnya memandang retorika sebagai

keterampilan menyusun dan menampilkan tutur untuk mempersuasi

pihak lain, maka perintis retorika baru atau modern tidak menyepakati

persuasi sebagai akibat logis dari setiap tutur yang ditata secara baik.

Mereka juga beranggapan bahwa retorika bertujuan lebih dari

mempersuasi. Persuasi itu hanya penting bagi masyarakat yang masih

terbelakang tingkat kecerdasannya, khususnya pada lampau. Persuasi bagi

masyarakat modern yang tingkat kecerdasannya telah tinggi, persuasi itu

tidak bermanfaat banyak. Oleh karena itu hal yang lebih penting daripada

persuasi adalah membina kerjasama, saling pengertian, dan kedamaian di

bumi melalui kegiatan tutur. Dengan usaha pembinaan ini,

kesalahpahaman dan bentuk-bentuk kesalahpengertian yang diakibatkan

oleh tindak tutur harus dikurangi, kalau mungkin dihilangkan. Atas dasar

pemikiran di atas, I.A Richards di dalam bukunya Philosophy of Rhetoric

berpengertian bahwa retorika adalah suatu studi yang mempelajari

kesalahpahaman serta penemuan sarana pengobatannya ialah dengan

mempelajari bahasa sebaik-baiknya dan menggunakannya dengan tepat

(1965: 3).

Berbeda dengan pengertian I A. Richard di atas, Kernet Burke

berpengertian bahwa retorika adalah ilmu yang mengajar orang untuk

mengidentifikasi di dalam pengertian luas. Identifikasi itu memuat antara

lain identifikasi diri, masalah yang akan dituturkan, bahasa yang akan

dipakai, penutur dan hasil yang duharapkan. Dengan demikian setiap

tindak identifikasi adalah termasuk tindak retorika. Berhasil tidaknya

Page 32: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[26]

seseorang memproses identifikasi ini akan menentukan keberhasilan

membina kerjasama dan kesalingpengertian. Di dalam identifikasi ini,

kunci membedakan antara retorika model Aristoteles dan model retorika

baru atau modern.

Retorika pendukung ajaran General Sematik berbeda lagi dengan

retorika Kernet Burke. Kaum pendukung General Sematik pada dasarnya

menyepakati bahwa filsafat identika bersumber pada ajaran Aristoteles

yang merupakan cikal bakal kesalahpahaman yang merintangi kerjasama

dan kesalingpahaman. Di tengah masyarakat yang sudah tinggi

kecerdasannya seperti sekarang ini sudah tidak pada tempatnya lagi jika

orang berfikir secara identikisme. Misalnya adalah mengidentifikasi

sebuah tutur dengan masalah yang dituturkan. Hal yang demikian tidak

kena lagi karena sebuah tutur hanya sebuah peta dari masalah yang

dituturkan. Mengingat bahwa bahasa yang tersusun menjadi tutur itu

adalah peta komunikasi yang terbaik sampai sekarang ini, maka kewajiban

setiap penutur mempelajari bahasa dengan sebaik-baiknya. Dengan

ungkapan lain, pada zaman sekarang ini, orang harus menggunakan

bahasa secara ilmiah.

Sejalan dengan pemikiran di atas, aliran retorika General Sematik

berpengertian bahwa retorika adalah yang mengajar orang untuk

memetakan bagian dari suatu persoalan sebaik-baiknya. Dikatakan

demikian karena pada dasarnya setiap orang tidak pernah mengetahui

keseluruhan dari sesuatu itu.

Para pendukung teori Tagmemik memandang bahwa ada dua

kelemahan dasar pada retorika yang mendahuluinya. Kelemahan pertama

terletak pada tujuannya yaitu untuk mempersuasi pendengar. Tujuan ini

Page 33: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[27]

akan cepat sekali mendorong seseorang mengadakan penilaian

sebelumnya. Oleh karena itu, obyektifitas topik tutur mudah sekali akan

dikorbankan. Kelemahan kedua adalah kurang lengkapnya metode yang

dipakai untuk membahas topik tutur. Mereka berpendapat bahwa retorika

tradisional tidak sistematik sehingga gambaran topik tutur tidak

sempurna.

Richard E. Young dan Alton L. Beccker serta K. L. Pike

berpengertian bahwa retorika adalah ilmu yang mengajarkan

penggarapan masalah tutur secara heuristik untuk ditampilkan secara

sistematis guna membina saling pengertian dan kerjasama. Pandangan

yang heuristik ini adalah suatu prosedur mengajarkan bahwa di dalam

memandang sesuatu yang dijadikan persoalan atau topik tutur melalui dua

perangkat sudut pandangan yang saling berpotongan.

Demikian sejumlah ragam pengertian retorika yang telah

berkembang selama ini. Meskipun demikian masih terdapat berbagai

pengertian bahwa retorika yang berkembang di dunia ini. Di bawah ini,

pengertian retorika yang lainnya masih dikemukakan agar dapat dipahami

perkembangan berikutnya. Di dalam Dictionary of Language and

Linguistics, Hartman dan Stork berpengertian bahwa retorika adalah

sistem atau telaah peranti stilistik bahasa atau tuturan resmi, misalnya

gaya bahasa, organisasi, tujuan dan pendengar (1976: 198).

Di dalam international reading assisiation, A dictionary of reading

and Resisted Terms, Olive S. Niles berpengertian bahwa retorika adalah:

(1) telaah teori dan prinsip-prinsip komunikasi efektif; (2) seni atau ilmu

penetahuan bahasa di dalam karangan atau syair; (3) penggunaan bahasa

secara efektif di dalam pidato untuk mempengaruhi atau meyakinkan

Page 34: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[28]

pendengar; (4) ketidakluasan hati di dalam berbahasa, bombastis; dan (5)

buku teks retorika (1990-1981: 281).

Di dalam A Handbook of English Language Teaching: Terms and

Practice. Brian dan Seaton berpengertian bahwa retorika adalah seni

mempergunakan kata secara keren atau berkesan di dalam tutur dan tulis:

artifisial pemakaian bahasa yang sering dikaitkan dengan maksud

ketidaktulusan hati (1982: 155). Di dalam kamus linguistik, Harmurti

Kridalaksana berpengertian bahwa retorika adalah sistem atau

penyelidikan mengenai alat-alat statistik ragam bahasa resmi.

Di dalam Longman Dictionary af Applied Linguistics, Richards,

John and Heidi berpengertian bahwa retorika adalah telaah bagaimana

menulis efektif sesuai dengan tujuan. Istilah retorika di dalam pengertian

umum di Akademi Amerika dan Universitas adalah retorika atau

keterampilan retorikal yang bertipe pemfikusan bagaimana

mengungkapkan secara korek diri sendiri dan secara efektif yang

berhubungan dengan topik tulisan dan tuturan, pendengar dan tujuan

komunikasi. Di dalam tata bahasa tradisional retorika adalah telaah gaya

secara gramatikal dan analisis logikal. Cicero pada zaman Romawi adalah

orator dan penulis yang menggambarkan “seni atau kepintaran” yang

berhubungan dengan wacana yang sesuai dengan tujuannya (1985: 254).

Di dalam The Principles of Pragmatics (diterjemahkan Prissip-

prinsip Pragmatik oleh Oka 1993), Geoffrey Leech menguraikan retorika

secara agak rinci. Ia mengemukakan bahwa penggunaan istilah retorik

secara tradisional mengacu pada kajian mengenai pemakaian bahasa

secara efektif di dalam komunikasi. Retorika memusatkan diri pada situasi

ujar yang berorientasi tujuan dan di dalam situasi itu termasuk pembicara

Page 35: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[29]

memakai bahasa dengan tujuan menghasilkan suatu efek tertentu pada

pikiran pendengar (1983 di dalam Oka, 1993: 22).

Di dalam The Cambridge Encyclopedia of Language, David Crystal

berpengertian bahwa retorika adalah kajian keefektifan berbicara dan

menulis (1989: 429).

Di dalam Retorik: Kiat Bertutur, Oka dan Basuki berpengertian

bahwa retorika adalah ilmu yang mengajarkan tindak usaha yang efektif di

dalam persiapan, penataan dan penampilan tutur untuk membina saling

pengertian, kerjasama dan kedamaian di dalam kehidupan bermasyarakat

(1990: 30).

Jika ditelaah secara seksama berbagai pengertian retorika di atas

dan di bahagian terdahulu, maka diperoleh gambaran bahwa pengertian

retorika itu demikian berkembang dari mulai retorika zaman Yunani

sampai dengan zaman modern. Pada awalnya, retorika itu diartikan

sebagai seni dan kecakapan berpidato di depan umum. Kemudian,

pengertian retorika berkembang menjadi seni dan ilmu bertutur untuk

meyakinkan pendengar atau untuk memenagkan suatu kasus. Pada abad

modern pengertian retorika lebih berkembang lagi yaitu mencakup ilmu

tentang bagaimana menggunakan bahasa secara efektif di dalam lisan

maupun di dalam tulis.

2. Penyimpangan Pemaknaan Retorika

Di dalam sejarah perkembangan telaah retorika, berbagai

penyimpangan pengertian retorika muncul. Hal ini terjadi antara lain

disebabkan oleh: (1) penyamaan retorika dengan studi sastra; (2)

penyamaan dengan gaya bahasa dan pendiksian; (3) penyamaan retorika

Page 36: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[30]

dengan pedoman karang-mengarang; dan (4) penyamaan retorika dengan

kecakapan bersilat lidah (Oka dan Basuki, 1990: 33-37). Keempat

penyimpangan makna retorika ini dipaparkan di bawah ini dan di

bahagian selanjutnya.

2.1 Penyamaan Retorika dengan Studi Sastra

Pada zaman Pertengahan dan Renaisans, retorika lebih dikenal

sebagai studi sastra. Latar belakangnya adalah pandangan umum dari

zaman pertengahan yang mengatakan bahwa hanya karya sastra yang

memakai bahasa yang baik. Oleh karena itu, penutur disarankan jika ingin

bahasa yang baik, maka ia harus mempelajari sastra. Penutur juga

disarankan memakai bahasa yang digunakan oleh sastrawan di dalam

kegiatan bertuturnya. Dengan mempelajari retorika, keinginan mereka

dapat terpenuhi. Dengan anggapan yang demikian, garis pemisah antara

studi retorika dengan studi sastra tidak jelas. Dengan demikian, studi

retorika disamakan dengan studi sastra.

Penyamaan studi retorika dengan studi sastra itu dibina di

lembaga-lembaga pendidikan seperti di Amerika (Oka dan Basuki, 1990:

34). Jika fenomena ini dihubungkan dengan pengertian retorika menurut

Aristoteles, maka jelas terlihat bahwa pengertian itu merupakan

penyimpangan. Hal ini disebabkan oleh studi sastra khususnya kritik

sastra merupakan bahagian studi retorika, khususnya retorika terapan.

2.2 Penyamaan Retorika dengan Gaya Bahasa dan Pendiksian

Beberapa ahli beranggapan bahwa retorika itu tidak lain adalah

gaya bahasa atau pendiksian. Hal itu dilatarbelakangi oleh anggapan

bahwa retorika itu berkaitan dengan cara-cara menampilkan tutur yang

Page 37: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[31]

menarik, memberi petunjuk cara-cara memilih materi bahasa, baik kata,

ungkapan dan istilah yang kemudian ditata menjadi kalimat serta

menyusunnya menjadi tuturan yang menarik.

Pengertian seperti terurai di atas tampaknya cukup menarik.

Namun jika ditelaah secara seksama tampak bahwa perumusan itu sangat

sempit. Retorika diakui memang juga membahas masalah gaya bertutur

dan pendiksian. Namun bahagian itu hanya merupakan sebahagian kecil

dari keseluruhan pembahasan retorika sebagai ilmu. Bahagian ini hanya

perupakan aspek teknis retorika. Aristoteles menamakannya “lexsis”. Di

samping itu terdapat dua unsur inti yaitu “pisits” (hal-hal yang

berhubungan dengan persuasi) dan “taxis” (penataan tutur secara

sistematis) (F. Burwick, 1967 di dalam Oka dan Basuki, 1990: 34 - 35).

Jika studi retorika disamakaan dengan studi gaya bahasa dan

pendiksian, maka hal itu merupakan penyimpangan. Hal itu disebabkan

oleh masalah retorika lebih luas daripada hanya bahagian lexis.

2.3 Penyamaan Retorika dengan Pedoman Karang Mengarang

Di dalam pembelajaran bahasa Inggris di Amerika, retorika

dianggap sebagai pedoman karang mengarang. Hal itu terbukti dari buku

pegangan misalnya “Composition and Rhetoric” dan “Rhetoric and

Grammar”(Glorfeld, dkk., 1967 di dalam Oka dan Basuki, 1990: 35).

Memang dibenarkan bahwa orang harus menerapkan prinsip-prinsip

retorika di dalam karang-mengarang. Namun demikian, retorika bukan

disamakan dengan karang mengarang. Retorika sebenarnya tidak hanya

memberikan pedoman karang mengarang, melainkan juga kegiatan

bertutur lainnya. Setiap kegiatan bertutur pada dasarnya berkaitan erat

dengan retorika. Lebih tepat jika dikatakan bahwa pedoman karang

Page 38: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[32]

mengarang adalah penerapan atau aplikasi retorika di dalam menata tutur

bertulis.

Kecenderungan menyamakan retorika dengan pedoman karang

mengarang ini agaknya bersumber pada dorongan untuk memberi nilai

praktis kepada retorika. Walaupun demikian, penyamaan retorika dengan

pedoman karang mengarang tidak dapat dibenarkan. Hal yang demikian

terjadi disebabkan oleh minimalnya pengetahuan guru dan penulis buku

retorika. Dengan jelas diuangkapkan oleh James J. Murphy di dalam

bukunya “The Four Faces Rhetoric: A Progress Report (College

Composition and Communication, 1966)” bahwa banyak sekali guru di

Amerika yang belum memiliki pengetahuan yang baik tentang retorika,

walaupun mereka telah terlibat dengan retorika di dalam tugasnya sehari-

hari, khususnya di dalam pembelajaran bahasa. Gejala yang demikian juga

terlihat di Indonesia sebab belum lama membina pembelajaran bahasa

Indonesia.

2.4 Penyamaan Retorika dengan Kecakapan Bersilat Lidah

Di dalam sejarah perkembangan retorika, berbagai pihak

menganggap bahwa retorika adalah ilmu yang mengajarkan kecakapan

bersilat lidah, dan/atau ilmu yang mengajarkan kecakapan

mempermainkan bahasa untuk mempengaruhi pendengar. Pengertian

yang demikian itu jelas seklai keliru serta menyimpang dari pengertian

retorika yang sebenarnya.

Dua penyebab atau yang melatarbelakangi pengertian yang

demikian. Penyebab pertama adalah akibat pemanfaatan retorika ala Sofis

yang berpengertian bahwa retorika adalah alat memenangkan suatu

kasus. Di dalam mencapai kemenangan itu, penutur harus memiliki

Page 39: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[33]

keterampilan yang baik mempermainkan bahasa, menggunakan ulasan

dan bergaya tutur yang mencekam emosi. Keteramplan yang demikian di

Indonesia disebut kecakapan bersilat lidah, berpokrol bambu atau

berdebat kusir. Kecakapan itu termasuk kecakapan berdebat tanpa logika,

tanpa kegunaan yang jelas dan hanya mempercundangi pendengar untuk

memenangkan suatu kasus.

Penyebab kedua adalah adanya anggapan dan penilaian yang

kurang wajar terhadap retorika. Anggapan dan penilaian terhadap

retorika itu tidak didasarkan penelitian, tetapi juga diprasangkai dan

dirasakan tidak senang terhadapnya. Dengan ungkapan lain, retorika

dipandang secara negatif. Misalnya adalah filsof John Locke juga tidak

senang terhadap retorika.

Jika diamati tentang penyimpangan dalam retorika di atas dan

sebelumnya, maka penyimpangan yang keempat yang perlu dihilangkan

sama sekali. Pengertian yang demikian itu jelas merugikan sebab retorika

bukanlah ilmu bersilat lidah, melainkan ilmu yang membimbing secara

efektif agar seseorang berhasil memberikan kebenaran kepada orang lain.

Retorika itu juga diperlukan sebagai pembimbing di dalam memahami

masalah bertutur secara ilmiah.

3. Ciri Penanda Retorika sebagai Ilmu

Keberadaan suatu ilmu ditandai oleh seperangkat ciri. Cri-ciri ini

difungsikan sebagai penanda di samping sebagai pembeda dengan ilmu-

ilmu lainnya. Retorika sebagai ilmu juga memiliki ciri. Di bawah ini, ciri-

ciri retorika sebagai ilmu dibeberkan.

Page 40: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[34]

4. Bidang Cakupan Retorika

Bidang cakupan retorika itu sangat luas meliputi manusia dan

kegiatan bertuturnya. Oleh karcna itu, pokok masalah bidang cakupan

retorika itu antara lain: (1) manusia sebagai persona tutur; (2) kegiatan

bcrtutur; (3) topik tutur dan (4) tutur (Oka dan Basuki, 1990:40).

(1) Manusia sebagai Persona Tutur

Manusia sebagai persona tutur memiliki bcrbagai daya antara

lain: (a) instink bertutur; (b) makhluk pemakai simbol; (c) instink etis; dan

(4) kemampuan kejiwaan (Oka dan Basuki, 1990:41 - 45). Di bawah ini

keempat daya ini ditampilkan menurut pandangan retorika.

(a) Manusia memiliki instink bertutur

Instink bertutur atau naluri bertutur dimaksudkan daya jiwa yang

memungkinkan manusia meagausai bahasa untuk bertutur dengan cara

mempelajarinya. Daya ini merupakan warisan biologis yang dibawanya

bersama dengan kelahirannya. Hal ini dibuktikan oleh Prof. Kellong

bersama istrinya. Mereka mengadakan percobaan yaitu mengajar bayinya

bersama seekor kera. Percobaan dipusatkan kepada pcnguasaan bahasa.

Terbukti bahwa hanya anak yang mampu bertutur kemudian sedangkan

kera hanya mampu menghafal beberapa kata. Mereka berkesimpulan

bahwa hanya manusia yang memiliki daya jiwa untuk menguasai bahasa.

Naluri bertutur atau daya jiwa itu memungkinkan manusia untuk

mempelajari dan menguasai bahasa. Hal ini perlu dibina agar tercapai

kemapuan kecakapan bertutur. Oleh karena itu, kecakapan bcrtutur bukan

hanya milik keluarga lainnya, suku-suku lainnya atau kumpulan

masyarakat lainnya. Dengan demikian, retorika berperan dan berfungsi

Page 41: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[35]

sebagai ilmu yang paling berwenang untuk membina kecakapan bertutur

melalui pengajaran retorika.

(b) Manusia sebagai makhluk pemakai simbol

Manusia adalah makhluk rasional yaitu makhluk yang berdaya

pikir. Dengan menggunakan daya pikir itu, manusia mampu mencegah

pcrsoalan yang dihadapinya. Kernett Burke melengkapi anggapan manusia

sebagai makhluk berpikir juga makhluk pemakai simbol. Kemampuan

memakai simbol membedakan manusia dengan binatang. Simbol utama

yang dipakai manusia adalah bahasa. Manusia menggunakan bahasa untuk

menggeneralisasi, mengklasifikasi, menspesialisasi dan mengabstraksi.

I. A. Richards sepemahaman dengan Kernett Burke. Ia

menyatakan bahwa manusia dan segi retorika adalah makhluk pemakai

simbol. Simbol yang dipakai manusia itu adalah simbol verbal atau simbol

linguistik dan simbol nonverbal. Simbol verbal atau simbol linguistik yang

menjadi pusat perhatian retorika. Ia dipergunakan untuk mengungkapkan

diri dan merespons. Pemanfaatan kedua aspek itu dapat dipergunakan

secara simultan misalnya di dalam diskusi dan secara sepihak misalnya di

dalam berkothah, berceramah atau kuliah.

(c) Manusia sebagai makhluk yang memiliki naluri etis

Setiap manusia bersama kelahirannya pasti membawa naluri etis

(instink etis). Naluri ini yang memandu mereka untuk membedakan yang

benar dengan yang salah. Buah pikiran ini bermula dari Plato, kemudian

diambil alih oleh Aristoteles. Aristoteles berulang mengingatkan bahwa di

dalam membeberkan sesuatu, penutur janganlah mengorbankan nilai-

nilai kebenaran. Pengetahuan kebenaran dengan cara ajaran Sofis

merugikan diri penutur.

Page 42: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[36]

(d) Manusia memiliki kemampuan kejiwaan.

Pada umumnya orang mengatakan bahwa manusia memiliki

kemampuan berfikir, merasa, mengimajinasi, mengidentifikasi.

Seperangkat kemampuan ini digunakan oleh manusia untuk menganalisis

persoalan yang kemudian manusia menuturkannya kepada orang lain

melalui bahasa. Di dalam retorika, kemudian kejiwaan itu berbeda antara

indivisu yang satu dengan individu yang lain.

(2) Kegiatan Bertutur di dalam Pandangan Retorika

Kegiatan bertutur pada dasarnya berpola sama dengan berbagai

tingkah laku manusia. Kernett Burke melihat bahwa kehidupan manusia

itu pada dasarnya sejajar dengan kejadian di atas pentas. Hal yang

demikian dapat dimaklumi sebab ia juga berprofesi sebagai sastrawan dan

kritikus sastra kritikus sastra dan kritikus drama. Oleh karena itu, ia

memandang masalah manusia itu termasuk kegiatan bertutur didekatinya

secara dramatistik.

Kernett Burke mengemukakan bahwa setiap tingkah laku

manusia terdapat 5 komponen dasar yang meliputi:

1. Tindakan (Act), yaitu suatu yang bertempat atau yang masih berupa

fenomena yang dapat berwujud nyata atau abstrak yang masih ada di

benak pembicara;

2. Medan (Scene), yaitu tempat atau situasi yang melingkupi

berlangsungnya suatu tindakan. Misalnya adalah rumah, lapangan,

hutan;

3. Pelaku (Agent), yaitu pelaku atau pendorong terjadinya suatu

tindakan. Yang termasuk pelaku ini adalah manusia dan kegiatan

Page 43: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[37]

mental yang mendorong terjadinya suatu proses tindakan. Gagasan,

ide, keinginan, cita-cita bisa digolongkan sebagai pelaku;

4. Sarana Tindak (Agency), yaitu sarana yang digunakan untuk

menjalankan tindakan. Misalnya adalah cara-cara atau alat melakukan

tindakan;

5. Tujuan (Purpose), yaitu arah keseluruhan tindakan yang dilakukan

pcmbicara. Misalnya segala sesuatu yang merangsang terjadinya suatu

tindakan. Hal ini diistilahkan oleh Burke sebagai motif.

Berdasarkan kelima komponen di atas, jelas bahwa kegiatan

bertutur itu biasanya berlangsung di suatu medan tertentu,

dilatarbelakangi motif tertentu, ditampilkan oleh seorang penutur dengan

cara-cara atau alat-alat tertentu. Misalnya adalah di dalam tutur tidak

resmi (mengobrol) kita mclihat sikap orang pastilah berusaha

menonjolkan dirinya. Secara sadar atau tidak, unsur ini pasti ada.

Retorika di samping menampilkan gambaran yang membuat

orang mendapatkan pemahaman yang baik tentang kegiatan bertutur, juga

berusaha memberikan tuntunan atau bimbingan. Misalnya adalah

pembicara disadarkan akan motir tutur, bagaimana membaca medan,

menampilkan tutur yang sesuai dengan kebutuhan dan memilih sarana

tutur yang perlu untuk suatu peristiwa tutur tertentu.

(3) Bahasa di dalam Pandangan Retorika

Bahasa juga merupakan pokok persoalan yang termasuk cakupan

retorika. Retorika memandang bahasa tidak sama dengan linguistik,

Fisiologi, Sosiologi. Walaupun demikian, kesamaan masih banyak didapat

Page 44: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[38]

kesamaannya dikaitkan dengan banyak sekali ilmu itu dimanfaatkan oleh

pakar retorika.

Ahli-ahli retorika sepakat hahwa bahasa itu adalah sistem yang

berupa bunyi bahasa di dalam bahasa lisan dan huruf di dalam bahasa tulis

yang digunakan sebagai alat komunikasi. Bahasa itu mempunyai daya

simbolis yang besar sehingga melalui bahasa manusia dapat dilakukan

penggeneralisasian, penspesialisan, pengklasifikasian, dan

pengabstraksian. Walaupun demikian, bahasa itu bersifat abstrak karena

ia secara tidak langsung menunjuk sesuatu seperti halnya dcngan tanda.

Bahasa memungkinkan lebih dari satu sehingga menimbulkan kemenduan

makna atau ambiguitas. I. A. Richards, aliran General Semantik juga

mengingatkan hahwa kemampuan bahasa itu terbatas sekali. Bahasa

hanya mampu memetakan benda-benda atau hal-hal yang menjadi topik

tutur. Sebagaimana sebuah peta, bahasa itu tidak pernah sama dengan

sesuatu yang dituturkan. Oleh karena itu, aliran General Semantik

mengingatkan setiap pembicara agar mempergunakan bahasa dengan

sebaik-baiknya. Tujuan itu tercapai dengan menelaah bahasa secara

ilmiah.

Bahagian-bahagian yang termasuk cakupan retorika di dalam

bidang bahasa itu ada empat, yaitu (1) memilih corak bahasa; (2) memilih

macam bahasa; (3) mencoba materi bahasa; dan (4) memilih gaya bahasa.

Keempat unsur ini diuraikan di bawah ini.

(1) Memilih corak bahasa

Di dalam pernakalan bahasa, retorika menyadari bahwa bahasa

tidak hanya mengenal satu corak bahasa. Corak bahasa tu ada yang resmi,

ada yang tidak resmi. Masing-masing corak bahasa itu mempunyai bidang

Page 45: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[39]

pemakaiannya sendiri-sendiri. Misalnya adalah corak bahasa pergaulan

hanya tepat atau baik digunakan ketika mengobrol dengan teman, tetapi

tidak boleh dipakai di dalam bertutur resmi. Oleh karena itu, setiap

pembicara dianjurkan untuk memilih corak bahasa yang efektif atau yang

baik, yaitu corak bahasa yang sesuai dan tepat dengan situasi tutur, bentuk

tutur, lingkungan sosial dan budaya, situasi politik yang sedang

berlangsung.

(2) Memilih macam bahasa

Bahasa memiliki macam atau unsur berupa kata, ungkapan dan

istilah. Setiap materi bahasa ini harus disesuaikan dengan situasi

pemakainya. Oleh karena itu, kemampuan memilih materi bahasa itu

diperlukan. Ciri umum macam bahasa adalah di satu pihak ia bisa

mewadahi gagasan pembicara, di lain pihak ia memiliki kemampuam

mengucapkan kembali gagasan yang diemban pembicara.

(3) Mencoba materi bahasa

Unsur-unsur bahasa itu tidak akan berdaya jika tidak ditata secara

efektif. Di dalam retorika, kalimat ditata menjadi kalimat yang utuh, padu

dan mantap dan bervariasi panjangnya dan strukturnya. Di samping itu,

kelima dipertautkan sehingga untaian kalimat menjadi tutur yang

gamblang yang mudah dimengerti oleh penanggapnya.

Di dalam tutur tulis, retorika juga mengembangkan penataan

paragraf. Anton L. Beccker (di dalam Oka dan Basuki, 1990:51)

menyarankan bahwa untuk menampilkan suatu gagasan inti di dalam

setiap paragraf, kemudian membatasi gagasan itu dan memperjelasnya

dengan sejumlah ulasan.

(4) Memilih gaya bahasa

Page 46: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[40]

Di dalam retorika, gaya bahasa (style) berperan penting. Peranan

gaya bahasa mungkin dapat disamakan dengan fungsi-fungsi aroma di

dalam masakan, Di dalam retorika, pembicara disarankan agar selalu

memilih gaya bahasa yang mampu memikat perhatian pendengar di

samping bernilai ketepatan.

(4) Topik Tutur di dalam Pandangan Retorika

Topik tutur adalah segala sesuatu yang ditampilkan pembicara

atau penutur sebagai pokok tuturan. Topik tutur itu dapat berupa

ungkapan diri (buah pikiran, cetusan perasaan, kemauan, imajinasi, fantasi

dan cita-cita), pengetahuan dan pengalaman, lingkungan sekitar atau alam

raya. Ketiga perangkat bidang ini kaya akan topik sumber tutur. Walaupun

demikian, memilihnya bukanlah pekerjaan yang mudah.

Setelah topik tutur terpilih, kita mengolahnya dan

menganalisisnya. Hal ini berkaitan dengan metode. Di dalam retorika,

cara-cara ilmiah bagaimana menyikapi topik tutur itu ditentukan. Kita

harus bersifat obyektif untuk mengubah dan menganalisisnya.

Retorika juga menyarankan untuk mempertimbangkan berbagai

faktor sebelum dan bersamaan dengan pcnganalisisan topik tutur.

Misalnya adalah kita disarankan mempertimbangkan kemampuan diri kita

di dalam menggarap topik itu, kegunaan dan nilai topik, persepsi

menanggap tutur. Analisis ini dilakukan untuk memenuhi ulasan, bukti dan

contoh. Aristoteles (di dalam Oka dan Basuki, 1990:53-54) mengingatkan

kita bahwa di dalam mendekati topik tutur hendaknya menggunakan dua

pendekatan. Pcndekatan pertama adalah pendekatan dari dalam topik ini

sendiri. Pendekatan kedua adalah pendekatan dari

Page 47: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[41]

luar. Pendekatan pertana menghasilkan ulasan-ulasan artistik yaitu ulasan

dari hasil pcnganalisisan perorangan. Pendekatan kedua menghasilkan

ulasan-ulasan nonartistik, yaitu ulasan yang sebenarnya sudah merupakan

kenyataan. Pentingnya kedua pendekatan itu digunakan adalah keduanya

bcrfungsi penuh di dalam menopang dan mempertahankan gagasan yang

terkandung di dalam topik tutur.

(5) Tutur di dalam Pandangan Retorika

Tutur adalah bentuk bahasa yang mengemban simpulan gagasan

dan suatu topik tutur yang dipilih. Tutur itu dapat berbentuk lisan dan

tulis.

Di dalam retorika, manusia tidak mengidentifikasi tutur dengan

gagasan yang diwadahinya. Penyamaan keduanya akan cepat menutup

kemungkinan hadirnya tuturan lain terhadap gagasan yang sama. Di

samping itu, penyamaan itu dapat mengembangkan penilaian-penilain

yang tidak objektif. Misalnya tutur Bung Karno berjudul “Lahirnya

Pancasila” diidentikkan dengan Pancasila. Akibatnya tutur orang lain

tentang Pancasila tidak sama dengan yang diucapkan oleh Bung Karno

langsung dicap jelek sekali. Duduk perkara sebenarnya bukan demikian.

Tutur Pancasila Bung Karno adalah salah satu tutur yang memiliki

kedudukan yang sejajar dengan tutur Pancasila yang lain.

Di dalam retorika, setiap tutur haruslah ditata secara baik. I. A.

Richards mengungkapkan bahwa “Sebuah tutur yang baik kalau di satu

pihak ia mampu secara tepat mewadahi gagasan pembicara dan di lain

pihak ia mampu mengungkapkan kembali gagasan itu kepada

penanggapnya serta membuat pembicara bersedia bekerjasama” (di

Page 48: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[42]

dalam Oka dan Basuki, 1990:55). Mengacu kepada pandangan I. A.

Richards itu, tutur harus diusahakan, dipersiapkan, ditata, ditampilkan

secara baik. Ketiga hal ini minimal dikuasai oleh pembicara apabila ia

berkeinginan agar tuturannya baik.

Khususnya tentang corak tutur telah dikembangkan di dalam

retorika. Aristoteles misalnya telah meletakkan tiga dasar corak tutur,

yaitu (1) tutur pengarahan (delibrative); (2) tutur pembakar semangat

(epidiatic); dan (3) tutur penghakiman (forentic or judikatif). Ketiga corak

tutur ini diuraikan di bawah ini:

Corak tutur pengarahan (delibrative) lebih memusatkan perhatian

pada masa-masa yang akan datang. Oleh karena itu, tutur ini pada

umumnya menggambarkan kemungkinan hal-hal yang akan terjadi.

Ulasan yang banyak dimanfaatkan adalah ulasan nasihat, gambaran

imajinatif, janji-janji atau ancaman bilamana yang mendengar tidak

menjalankan.

Corak tutur pembakar semangat (epidiatic) perhatian kepada

keadaan yang sedang berlangsung. Tutur ini pada umumnya

memanfaatkan peristiwa-pwristiwa yang sedang berlangsung untuk

diulas dan dijadikan pembakar semangat pendengar.

Corak tutur penghakiman (forenic or judicative) lebih

memusatkan perhatian kepada masa lampau atau masa yang sudah terjadi.

Di dalam tutur penghakiman dikemukakan pembelaan atau penghukuman.

Di samping itu, terdapat corak tutur berperan atau exposition. Tutur ini

biasa dipakai oleh para ilmuwan di dalam membeberkan hasil-hasil

penelitiannya. Di dalam membeberkan topik

Page 49: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[43]

tuturnya, tutur berperan mengungkapkan sebagaimana adanya tanpa

suatu pretensi apapun (Oka dan Basuki, 1990:56).

5. Beberapa dimensi ideologi retorika

1. Dimensi filosofis kemanusiaan, dari dimensi ini, kita mengedepankan

pemahaman dari sudut identitas (ciri pembeda) antara eksistensi.

Identitas pembedanya:

• antara makhluk manusia dengan selain manusia

• antara manusia yang berbudaya

• antara yang mempunyai pengetahuan, keterampilan, pandangan

hidup

5. Dimensi teknis, berbicara adalah sebuah teknik penggunaan symbol

dalam proses interaksi informasi.

6. Dimensi proses penampakan diri atau aktualisasi diri. Berbicara itu

adalah salah satu keperluan yang tidak bisa ditinggalkan

4. Dimensi teologis, menyampaikan ajaran agama sesuatu yang wajib

(dakwah)

Bicara juga ada seninya. Pernahkah anda mengamati seorang

penjual obat di pasar, ketika sedang menawarkan dagangannya? Atau,

pernahkah anda ikut demonstrasi di kampus anda? Kalau pernah coba

amati gaya bicara sang korlap!

Retorika bukan cuma menekankan pada output verbal seseorang

ketika berbicara, namun juga output non verbalnya. Percaya atau tidak,

gerakan bola mata kita atau arah pandangan mata kita, bahkan benda apa

yang kita pegang saat berbicara, berpengaruh pada dipercaya tidaknya

ucapan kita oleh orang lain. Seni berbicara memang erat kaitannya dengan

Page 50: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[44]

seni mempengaruhi orang lain. Salah satu kuncinya adalah kenali audiens

anda. Dengan mengenali siapa yang anda ajak bicara, anda bisa

memprediksi apa dan bagaimana anda harus bicara, agar ucapan anda bisa

dipercaya.

6. Latar Belakang yang Berbeda

Proses komunikasi pada intinya adalah proses yang berusaha

mencari mutual understanding di antara dua pihak yang berkomunikasi

itu. Proses itu bisa gampang, bisa jadi sulit. Mutual understanding bisa

tercipta jika ada kemiripan antara frame of reference dan field of experience

kedua belah pihak.

Dua pihak yang berkomunikasi membawa latar belakang

pemahaman yang berbeda pula. Di benak setiap orang yang

berkomunikasi, umumnya telah tercipta image, persepsi dan gambaran

tentang lawan komunikasinya. Dalam banyak kasus, image bahkan dapat

tercipta sebelum bertemu muka dengan si-obyek image.

Image sendiri bukanlah suatu fenomena yang buruk. Image yang

tepat, dapat membantu kita dalam proses komunikasi, namun demikian,

kita harus menyadari bahwa Image dapat dimanipulasi atau dikondisikan,

secara sadar maupun tidak sadar, oleh diri kita sendiri, atau obyek lain

diluar diri kita.

Feedback

frame of

reference dan

field of

experience

frame of

reference dan

field of

experience

Komunikan Pesan

Saluran

Komunikator

Page 51: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[45]

Suatu proses komunikasi akan menghasilkan mutual understanding

jika ada kedekatan antara frame of reference dan field of experience dari

para peserta proses komunikasi.

Untuk menjadi komunikator yang efektif, anda sedapat-dapatnya

harus mengenali karakteristik audiens anda, untuk menentukan teknik

komunikasi apa yang harus anda gunakan untuk menyampaikan pesan

anda. Karakter tersebut dapat diketahui salah satunya dengan bertanya

kepada panitia. atau melihat apa jenis acara tersebut. Oleh sebab itu,

komunikator harus mempersiapkan diri jauh sebelum acara dimulai. Agar

ketika sudah berada di depan podium, komunikator tidak lagi gugup

karena kurangnya persiapan.

7. Pentingnya Retorika

Persepsi adalah proses yang terintegrasi dalam individu, yang

terjadi sebagai reaksi atas stimulus yang diterimanya (bersifat individual).

Sebuah konsensus (kesamaan persepsi kolektif pada satu isu tertentu)

yang tercapai melalui diskusi sosial akan menimbulkan opini publik.

Sedangkan pada diri individu sendiri, opini bisa bersifat laten atau manifes.

Opini yang bersifat laten disebut sikap. Sikap adalah suatu predisposisi

terhadap sesuatu obyek, yang didalamnya termasuk sistem kepercayaan,

perasaan, dan kecenderungan perilaku terhadap obyek

Page 52: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[46]

tersebut. Sikap bisa dipelajari, bersifat stabil, melibatkan aspek kognisi

dan afeksi, dan menunjukkan kecenderungan perilaku.

Page 53: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[47]

BERBAHASA DAN BERPIDATO

1. Keterampilan Berbahasa dan Berpidato

Jauh sebelum manusia mempunyai tradisi baca tulis, manusia

sudah berbahasa juga. Bahasa yang digunakan adalah bahasa lisan. Karena

itu dapat dipastikan bahwa bahasa yang mula-mula adalah bahasa lisan.

Istilah bahasa lisan baru muncul setelah bahasa tulis. Dulu tidak

dibedakan antara bahasa lisan dengan bahasa tulis karena setiap bahasa

adalah lisan. Itulah sebabnya sampai sekarang ada yang beranggapan

bahwa bahasa lisan itu dasar komunikasi. “Oral language is basic of

communication” dcmikian kata Dacanay. Sedangkan bahasa tulis hanyalah

rekaman bahasa lisan.

Dalam pelaksanaan bahasa lisan, komunikator menyampaikan

informasi dengan berbicara sedangkan dalam pelaksanaan bahasa tulis,

komunikator menyampaikan informasi dengan menulis dan komunikasi

menerima informasi dengan membaca. Berdasarkan hal itu, ada empat

kegiatan berbahasa yaitu keterampilan menyimak, berbicara, membaca,

dan menulis.

Dalam komunikasi sehari-hari, penggunaan keempat

keterampilan berbahasa itu tidak sama. Hal ini telah dibuktikan Paul T.

Rankin mengenai penggunaan waktu untuk keempat keterampilan

berbahasa terhadap 68 orang dari berbagai pekerjaan dan jabatan selama

dua bulan. Hasil survai Donald E. Bird (1951: 166) terhadap mahasiswa

3

Page 54: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[48]

Stephene College Girls di New York menunjukkan bahwa mereka dalam

perkuliahan menggunakan waktu berkomunikasi sebagai berikut:

Menyimak 45%

Berbicara 25%

Membaca 15%

Menulis 18%

Uraian di atas menunjukkan bahwa kegiatan berbicara menyita

waktu 25% dari semua kegiatan berbahasa kita. Suatu jumlah yang cukup

banyak yaitu urutan kedua setelah menyimak.

Kegiatan berbicara memang banyak dilakukan orang dalam

kehidupan bermasyarakat. Ada-ada saja yang dibicarakan. Kenyataan

telah membuktikan bahwa hampir semua orang tahan tidak makan satu

hari tetapi tidak tahan untuk tidak berbicara satu jam.

Wujud kegiatan berbicara itu dapat kita lihat misalnya ketika

pelaku pemerintahan menguraikan kebijaksanaan pemerintahannya;

orang tua memberi nasihat kepada anaknya; pemuka agama

membeberkan isi kitab suci disebut berkotbah; seorang tokoh partai

mengemukakan kelehihan partainya yang dinamakan berkampanye, dan

sebagainya.

Dari kenyataan di atas dapat disimpulkan bahwa berpidato

merupakan salah satu kegiatan berbicara, dan berbicara merupakan satu

kegiatan berbahasa.

2. Pengertian Pidato

Page 55: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[49]

Pidato adalah penyampaian gagasan, pikiran atau informasi

kepada orang banyak secara lisan dengan cara-cara tertentu. Pidato dapat

diartikan sebagai seni membujuk seperti yang dikatakan Aristotelcs, The

art of persuasion. Jadi, orang dikatakan berpidato dengan baik apabila dia

mampu membujuk para pendengarnya untuk memahami, menerima, dan

mematuhi pesan-pesan yang dikemukakannya.

Dalam pelaksanaannya, pembicara menyampaikan informasi, ide,

pikiran, atau pendapat secara lisan di depan umum. Oleh karena itu, dalam

pidato terdapat tiga unsur yaitu:

1. Pembaca

2. Isi pembicaraan

3. Pendengar

Baik pada jaman dulu, sekarang maupun masa yang akan datang,

pidato tetap memegang peranan penting dalam masyarakat. Orang yang

mempunyai keahilan dalam berpidato dapat dengan mudah membeberkan

ide-idenya sehingga dapat diterima oleh pendengarnya.

Dalam sejarah dapat kita ketahui orang-orang yang ahli pidato

(orator) yang tersohor. Misalnya Hitler, dengan keahliannya dia mampu

mengajak bangsanya untuk berperang. Demikian pula Bung Tomo, dengan

pidatonya dia mampu membakar semangat arek-arek Surabaya berperang

melawan kolonialis. Contoh lain mantan Presiden RI Soekarno yang

keahlian berpidatonya sulit dilupakan.

3. Tujuan Pidato

Page 56: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[50]

Tujuan pidato ada bermacam-macam. Setiap pembicara

merumuskan tujuan berpidato karena tujuan setiap pidato tergantung dan

keadaan dan apa yang dikehendaki oleh pembicara. Namun secara umum,

tujuan pidato dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu:

i. Memberitahukan

ii. Menghibur dan menyenangkan

iii. Membujuk atau mempengaruhi.

Bila pidato itu bertujuan memberitahukan, maka reaksi yang

diharapkan oleh pembicara ialah agar pendengar paham atau mengerti

pesan yang dikemukakan pembicara. Jadi, pidato itu selesai diharapkan

para pendengar mengetahui sesuatu yang sebelumnya tidak tahu. Karena

itu, pembicara harus mengutamakan kejelasan isi pidato.

Contoh pidato yang bertujuan untuk memberitahukan.

“Bapah-bapak, Ibu-ibu, Saudara/Saudari yang terhormat. Assalamu

alaikum wr.wb.”

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, kita

berterima kasih karena semua pembangunan gedung SMU ini tidak

terdapat hambatan berarti.

Terlebih dahulu kami selaku ketua panitia pembangunan,

menyampaikan banyak terima kasih kepada Bapak, Ibu dan

Saudara yang telah memberikan bantuan moral maupun materil

yang tulus ikhlas dalam pembangunan gedung ini.

Selain itu, kami tidak lupa atas bantuan subsidi dan Pemerintah Pusat

serta dan Bapak Pejabat Wilayah dan Desa. Untuk itu, kami

mengucapkan terima kasih.

Page 57: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[51]

Bapak-bapak, Ibu dan Saudara yang terhormat! Dengan selesainya

gedung SMU ini maka terpenuhilah harapan masyarakat,

khususnya wali murid yang telah lama menginginkan adanya

gedung SMU yang memenuhi persyaratan.

Sehubungan dengan hal tersebut, sampailah waktunya dimana kami

telah menerima gedung SMA di desa kami yang segera akan

ditempati.

. . . . . . . . . . . . . . . . . .

Terima kasih. Wassalarnu alaikum wr.wb.

Bila tujuan pidato untuk menghibur atau menyenangkan maka

reaksi yang akan diharapkan oleh pembicara dan pendengar yaitu

perasaan puas dan senang. Pidato semacam ini terdapat sewaktu diadakan

jamuan makan, pesta, atau pertemuan-pertemuan gembira lainnya

misalnya pidato sambutan dalam pesta ulang tahun seorang teman. Dalam

kesempatan seperti itu, pembicara berusaha menciptakan suasana lebih

semarak dan lebih menggembirakan para tamu. Caranya bcrmacam-

macam, antara lain memuji-muji yang berulang tahun pada saat itu

mengenai kecantikannya, kelakuannya maupun kelebihan lain yang

dimilikinya. Di samping itu memuji para undangan yang datang dengan

meyelipkan humor yang segar dan orisional.

Selain untuk kedua tujuan di atas, pidato bcrtujuan membujuk

atau mempengaruhi pendengar. Dalam pidato itu, pembicara berusaha

mendorong, meyakinkan, dan akhirnya mengajak para pendengar untuk

melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu seperti yang

dikehendaki oleh si pembicara. Pembicara mendorong para pendengar,

maksudnya dia berusaha memberi semangat dan membangkitkan

Page 58: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[52]

kegairahan. Jadi, berusaha membakar emosi para pendengar. Pembicara

mempengaruhi keyakinan atau sikap mental pendengar bahwa sesuatu itu

baik atau tidak baik. Untuk meyakinkan para pendengar, pembicara

menampilkan bukti-bukti, fakta-fakta, contoh-contoh, perbandingan-

perbandingan, dan alasan-alasan yang masuk akal. Setelah pendengar

didorong dan diyakinkan, barulah pembicara mempengaruhi pendengar,

agar mau berbuat dan bertindak. Tindakan yang diharapkan pembicara

bermacam-macam. Ada yang berupa dukungan moril dan ada pula gerakan

mengumpulkan uang, menusuk tanda gambar tertentu, mengadakan

demonstrasi, pemogokan, dan sebagainya.

Perlu ditambahkan bahwa dalam menyiapkan pidato, pembicara

tidak cukup hanya menyiapkan tujuan utama tetapi juga tujuan khusus.

Tujuan khusus artinya tanggapan yang khusus diharapkan dan pendengar

setelah pembicara selesai berpidato. Tujuan khusus itu merupakan suatu

hal yang diharapkan untuk dikerjakan, diyakini, dirasakan, diketahui, atau

disenangi oleh pendengar.

Contoh: Topik : Membaca

Tujuan Umum : Memberitahukan

Tujuan khusus : Agar pendengar memahami pentingnya

membaca.

Atau:

Topik : Membaca

Tujuan Umum : Membujuk

Tujuan Khusus : Agar pendengar rajin membaca.

Contoh di atas menunjukkan bahwa dalam topik yang sama,

pembicara dapat menetapkan tujuan yang berbeda. Tentu saja, penetapan

Page 59: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[53]

tujuan yang berbeda akan menimbulkan uraian dan penyampaian yang

berbeda pula.

4. Metode Pidato

Ada empat macam metode untuk berpidato yaitu:

i. Metode Naskah

Dalam pidato resmi sering kita melihat pembicara membawa

naskah yang sudah disiapkan sebelumnya untuk dibacakan di muka

umum. Metode pidato semacam ini disebut metode naskah.

Metode naskah ini memang masih sering digunakan dalam situasi

resmi, terutama pidato yang disiarkan melalui radio atau televisi.

Pembicara memakai metode naskah alasannya agar keliru sebab

setiap kata yang diucapkan oleh pejabat dalam situasi resmi akan

disebarluaskan oleh wartawan dan akan dipakai sebagai panutan oleh

khalayak. Selain itu, naskah pidato akan disimpan sebagai dokumenn

atau arsip.

Memang ada kemungkinan metode naskah digunakan orang

karena pembicara belum biasa atau belum ahli berpidato dengan

alasan takut tidak lancar. Jadi, metode ini cocok bagi orang yang masih

dalam taraf belajar.

Perlu disadari bahwa rnetode naskah ini dirasakan agak kaku

sebab seolah-olah ada batas antara komunikator dengan komunikan.

Mata pembicara sering tertuju pada naskah sehingga kontak batin

dengan komunikan tidak terbina dengan baik. Lebih-lebih pembicara

bukan seorang ahli maka ia tidak bisa memberikan tekanan dan

Page 60: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[54]

variasi suara untuk menghidupkan pembicaraan agar lekas tidak

mcmbosankan.

ii. Metode Menghafal

Metode ini merupakan lanjutan dan metode naskah. Naskah yang

sudah disiapkan sebelumnya bukan sekedar dibaca saja tetapi dihafal

seluruhnya kata demi kata. Dalam pelaksanaan pidato, pembicara

tinggal menyuarakan naskah yang telah dihafalkan tadi persis dengan

naskah yang asli. Agaknya metode pidato ini hanya bisa dilakukan

untuk pidato yang pendek saja. Pidato panjang yang memerlukan

waktu beberapa jam jelas tidak mungkin menggunakan metode ini.

Pidato yang menggunakan metode ini biasanya kurang menarik

dan menjemukan karena pembicara cenderung berbicara cepat dan

tergesa-gesa malahan kata-kata yang diucapkan itu maknanya tidak

dihayati. Jadi hanya sekedar mengeluarkan hafalannya saja.

Kelemahan metode ini ialah pembicara tidak menyesuaikan reaksi-

reaksi dari pendengar karena ia sudah terikat dengan naskah yang

sudah dihafal. Meskipun demikian, jika pembicara sudah terampil

menguasai situasi, biasanya pidato tersebut juga akan berhasil seperti

diharapkan.

iii. Metode Improptu

Pembicara yang menggunakan metode ini tidak mempunyai

persiapan lebih dahulu. Pembicara tidak menyiapkan naskah, tidak

membaca naskah, tidak perlu menghafal naskah. Bahkan menulis

Page 61: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[55]

pokok-pokok isi pidato pun tidak. Jadi, pembicara benar-benar

spontanitas.

Biasanya pidato semacam ini dilakukan oleh orang yang ditunjuk

secara mendadak. Kelemahan penggunaan metode ini ialah kurang

bisa dilakukan oleh orang yang belum ahli berpidato. Kebaikannya

adalah sangat efektif bagi orang yang ahli berpidato karena rangkaian

kalimat yang sudah dibuat secara spontan kadang dirasakan lebih

menarik dan segar daripada yang sudah direncanakan sebelumnya.

iv. Metode Ekstemporan

Metode ini dianggap paling efektif di antara ketiga metode pidato

di atas. Karena itu, metode ini sangat dianjurkan.

Sebelum berpidato, sang pembicara menyiapkan garis-garis besar

(out line) isi pidato dengan cara menuliskan hal-hal yang dianggap

penting. Penulisan isi pidato tidak perlu secara utuh, tetapi cukup

menuliskan pokok-pokoknya saja dan disusun secara sistematis.

Dengan kata lain, kerangkanya sudah disiapkan, tetapi dagingnya

diberikan secara spontanitas dalam berpidato. Kerangka dan catatan-

cacatan hanya digunakan untuk menghafalkan susunan isi pidato.

Kebaikan metode ini ialah pembicara dapat melihat urutan isi

pidato atau hal-hal lain jika lupa. Kebaikan yang lain, pembicara

mempunyai kesempatan yang luas untuk membina kontak batin

dengan pendengar sehingga pidato lebih komunikatif.

Selain metode naskah, hafalan, improptu, dan metode

ekstemporan ada juga metode gabungan antara metode-metode di

Page 62: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[56]

atas. Meskipun demikian, pembicara pasti menggunakan salah satu

dari keempat metode di atas sebagai metode yang lebih dominan.

Page 63: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[57]

PERSIAPAN PIDATO

Pada pembahasan sebelumnya dikatakan bahwa hampir 25%

waktu kita pergunakan untuk berbicara. Berdasarkan kenyataan itu

memang terasa aneh bahwa kita tidak tahu berbicara, demam panggung,

merasa grogi, atau merasa malu ketika ia disuruh berbicara. Memang tidak

masuk akal, tetapi hal ini sering kita alami atau temukan.

Untuk mengatasi hal di atas, kita perlu mempersiapkan pidato

kita. Persiapan pidato mencakup:

1. Menentukan topik dan tujuan;

2. Menganalisis pendengar dan situasi;

3. Memilih dan menyempitkan topik;

4. Mengumpulkan bahan;

5. Membuat kerangka uraian;

6. Menguraikan secara mendetail;

7. Melatih dengan suara nyaring (Gorys Keraf, 1980: 317-318)

1. Menentukan topik dan tujuan

Yang pertama diperhatikan dalam mempersiapkan sebuah pidato

adalah menentukan topik dan tujuan. Hal ini sangat bergantung kepada

pendengar yang dihadapi dan keinginan si pembicara. Setiap pidato dalam

satu kesempatan sekurang-kurangnya harus mengandung satu topik yang

4

Page 64: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[58]

ingin disampaikan kepada pendengar dan tentunya mengharapkan suatu

reaksi dari pendengar. Pembicara tentu menginginkan agar pokok-pokok

pembicaraan yang diyakini dan dipahami oleh pendengar. Oleh karena itu,

diperlukan data dan fakta untuk membuktikan pokok-pokok pembicaraan

tadi.

Topik dan tujuan pembicaraan merupakan dua hal yang tidak

terpisahkan. Topik merupakan persoalan yang akan ditemukan,

sedangkan tujuan pcmbicaraan merupakan tanggapan yang diharapkan

dari pendengar.

Dalam hal menentukan topik pembicaraan, perlu diperhatikan

hal-hal sebagai berikut:

a. Topik yang dipilih hendaknya sudah diketahui oleh pembicara dan ada

kemungkinan untuk memperoleh lebih banyak keterangan atau

informasi untuk melengkapinya.

b. Topik yang disampaikan hendaknya menarik perhatian bagi si

pembicara sendiri.

c. Persoalan yang dibicarakan hendaknya juga menarik perhatian

pendengar.

Suatu topik dapat menarik perhatian pendengar karena:

1) Topik itu mengenai persoalan para pendengar sendiri.

2) Topik itu merupakan suatu jalan keluar dan suatu persoalan yang

tengah dihadapi.

3) Merupakan persoalan yang ramai dibicarakan dalam masyarakat

atau persoalan yang jarang terjadi.

4) Persoalan yang dibawakan merupakan konflik pendapat.

Page 65: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[59]

d. Tingkat kesulitan persoalan yang dibahas hendaknya disesuaikan

dengan tingkat kemampuan para pendengar.

e. Persoalan yang disampaikan hendaknya dapat diselesaikan dalam

waktu yang disediakan. Bila pidato itu melampaui waktu yang

ditentukan dapat menimbulkan perhatian pendengar berkurang dan

bahkan akan lenyap sama sekali.

Selain topik, perlu diperhatikan pula judul pidato. Topik

mengandung materi pembicaraan atau persoalan yang diuraikan serta

objek atau aktivitas yang perlu diketahui pendengar. Sebaliknya, judul

adalah etiket yang diberikan untuk menimbulkan rasa ingin tahu terhadap

persoalan yang diuraikan. Judul adalah semacam slogan yang

menampilkan topik dalam bentuk yang menarik. Judul yang baik

hendaknya bersifat relevan, provokatif, dan singkat.

Tujuan Pembicaraan

Tujuan pembicaran tergantung dari keadaan dan keinginan

pembicara. Tujuan pembicara tersebut dapat dibedakan atas tujuan umum

dan tujuan khusus.

a. Tujuan Umum

Tujuan umum beserta reaksi-reaksi umum yang terdapat dalam

satu uraian dapat dibedakan atas:

Tujuan Umum Reaksi yang diinginkan Sifat dan jenis uraian

mendorong membangkitkan emosi persuasif

meyakinkan persesuaian pendapat persuasif

intelektual, keyakinan persuasif

Page 66: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[60]

bertindak tindakan tertentu persuasif

dari pendengar

memberitahukan pengertian yang tepat instruktif

mengenai suatu hal

menyenangkan minat dan kegembiraan reaktif

Tujuan suatu uraian dikatakan mendorong bila pembicara

berusaha memberi semangat, membangkitkan kegairahan, atau menekan

perasaan yang kurang baik, serta menunjukkan rasa hormat dan

pengabdian. Reaksi yang diharapkan adalah menimbulkan inspirasi atau

membangkitkan emosi para pendengar. Misalnya, pidato Ketua Umum

PSSI dihadapan para pemain yang akan bertanding di luar negeri yang

bertujuan agar mereka memiliki semangat bertanding yang cukup tinggi.

Tujuan meyakinkan maksudnya apabila pcmbicara berusaha

mempengaruhi keyakinan, sikap mental, dan intelektual para pendengar.

Alat yang sangat penting dalam uraian ini adalah argumentasi. Untuk itu

dibutuhkan bukti-bukti, fakta dan contoh-contoh kongkrit yang

meyakinkan para pendengar. Reaksi yang diharapkan dari pendengar

adalah adanya persesuaian pendapat, intelektual, keyakinan dan

sebagainya atas persoalan yang dibawakan.

Tujuan bertindak maksudnya adalah jika pembicara menghendaki

adanya tindakan akan reaksi fisik dari pendengar. Misalnya berupa seruan

persetujuan atau ketidaksetujuan, pengumpulan dana, penandatanganan

suatu resolusi, pengadaan suatu demonstrasi. Dasar dari tindakan tersebut

adalah keyakinan yang mendalam atau terbakarnya emosi atau kedua-

duanya.

Page 67: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[61]

Tujuan memberitahukan maksudnya bila pembicara ingin

memberitahukan atau memberi informasi tentang sesuatu kepada

pendengar agar mereka mengerti dan memahami atau memperluas

pengetahuan mereka. Reaksi yang diharapkan adalah menimbulkan minat

dan kegembiraan pada hati pendengar.

b. Tujuan Khusus

Tujuan khusus dapat diartikan sebagai suatu reaksi atau

tanggapan khusus yang diharapkan dari pendengar setelah pembicara

selesai menyampaikan pidatonya. Tujuan khusus ini merupakan suatu hal

yang diharapkan untuk dikerjakan, dirasakan, diyakini, dimengerti, dan

disenangi pendengar.

Misalnya seorang pembicara akan menyampaikan suatu pidato

dengan topik “Cara Belajar yang Efektif” maka dapatlah dibuat tujuan

khusus sebagai berikut:

Topik : Cara Belajar yang Efektif

Tujuan Umum : Mendorong

Tujuan Khusus : Untuk menarik sebanyak mungkin agar pendengar

tertarik untuk melaksanakan cara belajar efektif.

Perlu diketahui bahwa bisa saja topiknya sama tetapi tujuan khususnya

dan umumnya berbeda. (lihat pembahasan semula)

Page 68: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[62]

2. Menganalisis Situasi dan Pendengar

a. Menganalisis Situasi

Dalam menganalisis situasi perlu diperhatikan hal-hal sebagai

berikut:

1) Maksud pengunjung mendengarkan uraian

2) Adat kebiasaan atau tata cara kehidupan mendengar

3) Susunan acara; pembicara pada waktu awal, penengahan,

atau pada akhir acara. Pada waktu pagi, siang, sore, atau

malam hari; sesudah atau sebelum perjamuan, dan

sebagainya.

4) Tempat pembicaraan berlangsung; di alam terbuka atau di

dalam ruangan, ada tempat duduk atau tidak, ada penerangan

atau tidak, dan sebagainya.

Dengan menganalisis hal-hal tersebut akan didapatkan jalan

keluar untuk menyiapkan cara-cara bagaimana pembicara haruis

menyesuaikan diri dalam menyampaikan pidato dan memberi

jalan untuk menentukan sikap yang harus diambil dalam

menghadapi para pendengar.

b. Menganalisis Pendengar

Ada beberapa hal yang dapat digunakan untuk menganalis

pendengar yang akan dihadapi:

1) Data-data Umum

Yang diperlukan dalam data-data umum ini adalah: jumlah

pendengar, usia, pekerjaan, pcndidikan, dan keanggotaan

sosial politik.

2) Data-data khusus

Page 69: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[63]

Data-data khusus yang perlu mendapat perhatian meliputi:

a) Pengetahuan pendengar mengenai topik yang dibawakan

Dalam hal ini pembicara berusaha menemukan seberapa

dalam pengetahuan pendengar tentang topik yang akan

disampaikan. Jika pendengar terdiri dari orang-orang

yang tingkat pengetahuannya berbeda maka pembicara

dapat mengambil pengetahuan rata-rata pendengar.

b) Minat dan keinginan pendengar

Dalam hal ini pembicara harus berusaha mengetahui apa

yang diperlukan oleh pendengarnya, terutama keperluan

yang dapat menghubungkan pendengar dengan topik

pembicaraannya.

c) Sikap pendengar

Secara garis besar, sikap pendengar terhadap topik

pembicaraan akan lahir dalam satu bentuk berikut:

menaruh perhatian atau sama sekali apatis. Sedangkan

terhadap pembicara sendiri para pendengar dapat

mengambil sikap bersahabat atau sikap angkuh. Sikap

apatis selalu timbul jika pendengar tidak melihat adanya

hubungan antara pokok pembicaraan dengan

kepentingan atau persoalan hidup pendengar.

Page 70: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[64]

3. Memilih dan Menyempitkan Topik

Topik yang akan disajikan biasanya ditentukan terlebih dahulu oleh

panitia. Namun kadang-kadang persoalan yang disajikan itu diserahkan

sepenuhnya kepada pembicara.

Pemilihan topik hendaknya disesuaikan dengan sifat pertemuan,

data serta informasi tentang situasi dan pendengar yang akan hadir dalam

pertemuan. Topik yang disajikan hendaknya tidak terlalu luas melainkan

harus dibatasi sesuai dengan waktu yang tersedia.

Contoh

Topik : Pengajaran Menulis di SMU

Pembahasan Topik : Masalah pengajaran narasi di SMU

4. Mengumpulkan Bahan

Sebelum menyusun suatu naskah pidato, terlebih dulu

mengumpulkan bahan yang diperlukan. Bahan itu harus berhubungan

dengan topik yang akan dibahas. Lebih banyak dan lebih lengkap bahan

yang diperoleh maka akan memperlancar pembicara dalam menyusun

naskah pidato. Bahan itu dapat diperoleh dari buku, majalah, surat kabar.

Selain itu, bahan dapat pula diperoleh melalui wawancara dengan seorang

yang dapat memberi informasi sehubungan dengan topik yang akan

dibahas.

5. Membuat Kerangka Uraian

Agar memudahkan pembicara dalam menyusun suatu naskah

pidato, sebelumnya pembicara harus membuat kerangka uraian terlebih

dahulu. Kerangka uraian yang dibuat ini sebaiknya terperinci dan tersusun

Page 71: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[65]

baik. Dalam kerangka tersebut, topik yang akan dibahas dibagi menjadi

beberapa bagian atau subtopik. Tiap bagian itu dibagi pula menjadi bagian-

bagian yang lebih kecil yang menjelaskan bagian sebelumnya.

Bagi orang yang sudah biasa berpidato di hadapan umum,

kerangka seperti itu sudah cukup untuk digunakan sebagai pegangan

pembicaraannya. Namun bagi pertemuan tertentu atau bagi orang yang

menghendaki uraian naskah kerangka uraian itu harus dikembangkan lagi

menjadi suatu uraian atau karangan yang menarik dan menjadi suatu

naskah pembicaraan yang diinginkan.

6. Menguraikan Secara Mendetail

Uraian atau naskah pidato disusuri berdasarkan kerangka yang

telah dibuat sebelumnya. Dengan kerangka yang terinci dan tersusun baik,

penyusun naskah diharapkan tidak akan mengalami kesulitan yang

berarti.

Dalam penyusunan naskah hendaknya dipergunakan kata-kata

yang tepat, penggunaan kalimat yang efeklif, pemakaian istilah-istilah dan

gaya bahasa yang dikehendaki sehingga dapat memperjelas uraian.

Teknik penyusunan naskah di bawah ini tidak dapat dijadikan

pedoman:

a. Dalam bagian pengantar uraian perlu disampaikan suatu orientasi

mengenai apa yang akan diuraikan serta bagaimana usaha untuk

menjelaskan tiap bagian itu. Dengan cara ini diharapkan pendengar

akan lebih siap untuk mengikuti uraian itu dengan cermat dan penuh

perhatian.

Page 72: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[66]

b. Dalam memasuki uraian, pembicara tiap kali harus menekankan

bagian-bagian yang penting sebagai sudah dikemukakan pada bagian

awal orientasinya. Tiap bagian yang mendapat penekanan itu

kemudian diikuti dengan penjelasan, illustrasi, atau keterangan-

keterangan yang merupakan perincian yang perlu diketahui oleh

pendengar.

c. Pada akhir uraian, pembicara sekali lagi menyampaikan ikhtisar

seluruh uraiannya itu agar para pendengar dapat memperoleh

gambaran secara bulat mengenai seluruh persoalan yang baru saja

selesai dibicarakan.

7. Melatih dengan Suara Nyaring

Sebelum menyampaikan suatu uraian dihadapan umum,

hendaknya pembicara terlebih dahulu melakukan latihan membaca

naskah agar pada waktunya nanti dapat melakukan pidato dengan lancar.

Dengan melakukan latihan, seorang pembicara akan dapat membiasakan

diri dan menemukan cara dan gaya yang tepat.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam berbicara di

hadapan umum, baik berbicara di hadapan suatu kelompok kecil maupun

kelompok besar.

Pembicaraan pada Kelompok Kecil

a. Gerak-gerik

Seorang yang berbicara di hadapan umum tidak hanya melakukan

komunikasi melalui ucapan-ucapan, melainkan mengadakan komunikasi

melalui gerak-gerik: tatapan muka, air muka, senyum, gerakan tangan, dan

Page 73: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[67]

sebagainya. Semua gerik-gerik itu harus diekspresikan sesuai dengan isi

pembicaraan.

b. Teknik Bicara

Biasanya kecepatan berbicara akan turut menentukan

keberhasilan pidato seseorang. Kecepatan pembicaraan dapat diatur dan

disesuaikan dengan penting tidaknya isi uraian. Suatu pengertian yang

mungkin tidak mudah diterima para pendengar, temponya dapat

diperlambat. Sebaliknya, suatu pengertian yang sangat penting dapat

diulang sekali lagi. Begitu pula sesudah menyampaikan suatu pengertian

yang penting, janganlah langsung melanjutkan ke masalah lain. Hendaknya

berhenti sebentar untuk memberi kesempatan kepada pendengar untuk

merenungkannya.

Berbicara pada kelompok kecil tidak memerlukan alat pengeras

suara. Suara pembicara yang pelan akan meyebabkan pendengar

memasang telinganya dengan sungguh-sungguh untuk mendengar apa

yang diucapkan. Lafal dan volume harus jelas. Bila ada di antara pendengar

yang saling berbicara atau membuat gaduh, pembicara yang

berpengalaman biasanya akan berusaha untuk mengatasi kegaduhan itu.

Misalnya dengan merendahkan suaranya secara tiba-tiba maka

pembicaraan dan kegaduhan di antara pendengar akan kedengaran lebih

jelas sehingga para pendengar yang tertib tentu akan merasa jengkel dan

para pembuat gaduh akan menemukan diri mereka sebagai pengganggu

pembicaraan.

Page 74: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[68]

c. Transisi

Dalam suatu uraian tertulis, transisi antara subtopik yang lain

jelas dinyatakan oleh judul-judul bab, sub-sub judul atau pemisahannya

antara paragraf dengan paragraf. Dalam pembicaraan atau suatu uraian

lisan hal itu tidak terlihat.

Transisi dari suatu subtopik ke subtopik yang lain dalam suatu

uraian lisan dapar dilakukan dengan berbagai cara:

1) Sesudah menyelesaikan satu subtopik, pembicara berhenti sebentar

sebelum memulai dengan subtopik baru;

2) Pada saat menyampaikan subtopik baru, pembicara menggunakan

satu dua kalimat sebagai pengantar bagi subtopik yang baru tersebut;

3) Peralihan itu dapat juga dinyatakan dengan perubahan sikap; dan

sikap duduk berubah ke sikap berdiri atau mengambil cacatan-catatan

baru dengan menyingkirkan catatan lama, atau menggunakan alat

peraga baru dan menyingkirkan alat peraga lama.

d. Alat Peraga

Pembicara dapat membantu uraiannya dengan menggunakan

bermacam-macam alat peraga kalau dimungkinkan, seperti film, gambar,

overhead proyektor, mesin perekam, dan sebagainya.

Untuk menggunakan alat peraga, pembicara barus

mempertimbangkan hal-hal berikut:

1) Alat peraga cukup dapat dilihat dan dibaca oleh semua pendengar;

2) Alat peraga jangan terlalu banyak ragamnya sehingga sukar dipahami

atau diingat;

Page 75: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[69]

3) Penggunaan alat peraga hanya dilakukan jika benar-benar membantu

menjelaskan suatu hal yang tak dapat dilakukan melalui penjelasa

lisan;

4) Penggunaan alat peraga jangan sampai menimbulkan kehilangan

kontak antara pendengar dengan alat peraga.

Pembicaraan pada Kelompok Besar

Apa yang telah dikemukakan mengenai hal-hal yang perlu

diperhatikan dalam menghadapi kelompok kecil, berlaku pula untuk

menghadapi kelompok besar. Selain itu, ada beberapa petunjuk yang perlu

diperhatikan khususnya dalam menghadapi kelompok besar:

a. Pembukaan

Sebelum mulai berbicara, sebaiknya pembicara menggunakan

satu-dua menit untuk mengukur situasi, melayangkan pandangan

sebentar kepada para pendengar untuk mendapatkan suatu kesan singkat

mengenai semua yang hadir, menaksir jumlah pendengar, kesan tentang

kemampuan intelektual para pendengar, dan sebagainya.

Pembicara jangan tergesa-gesa menyajikan materi pembicaraan.

Sebaiknya pembicara terlebih dahulu mengucapkan terima kasih kepada

orang yang telah memperkenalkannya, menghubungkan pembicaraan

dengan pembicaraan sebelumnya, menggambarkan suasana umum

pertcmuan itu, serta kepentingannya bagi para pendengar.

b. Kecepatan Berbicara

Kecepatan dan volume suara harus disesuaikan dengan jumlah

pengunjung, besar ruangan, dan sifat mudah atau sulitnya topik

Page 76: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[70]

pembicaraan. Semakin banyak pengunjung hendaknya kecepatan

berbicarapun semakin diperlambat.

c. Artikulasi

Artikulasi pembicara hendaknya diusahakan agar senantiasa jelas

bagi para pendengar. Perlu diperhatikan bahwa biasanya semakin hanyak

pengunjung kemungkinan banyak gangguan dan suara hiruk-pikuk

semakin besar.

Page 77: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[71]

PELAKSANAAN PIDATO

1. Struktur Pidato

Secara sederhana, syukur pidato dapat dipisahkan menjadi tiga

bagian: pembukaan, isi dan penutup. Adapun hal-hal yang mungkin

terdapat dalam tiap-tiap bagian itu (tidak harus semua, boleh juga hanya

satu) adalah sebagai berikut:

Pembukaan

1. Ucapan terima kasih, ucapan salam, dan menyapa hadirin.

2. Perkenalan diri pembicara

3. Humor sebagai penyegar

4. Penyiapan pikiran pendengar terhadap isi pidato

Isi atau uraian:

1. Penjelasan-penjelasan

2. Alasan-alasan

3. Bukti-bukti yang mendukung

4. Ilustrasi-ilustrasi

5. Contoh-contoh

6. Perbandingan-perbandingan

7. Kontras-kontar, dan sebagainya.

5

Page 78: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[72]

Penutup:

1. Menyiapkan kesimpulan isi pidato

2. Menyampaikan harapan yang berisi anjuran atau harapan kepada

pendengar,

3. Menyampaikan salam penutup

Waktu yang dipergunakan untuk menyampaikan pembukaan, isi

dan penutup tidaklah sama. Perbandingannya adalah sebagai berikut:

1. untuk pidato singkat yang hanya m,emerlukan waktu lima menit,

perbandingan waktunya adalah:

Pembukaan : 1 menit

Isi : 3 menit

Penutup : 1 menit

2. Untuk pidato yang panjang disarankan tidak melebihi sepersepuluh

dari seluruh pidato. Isi atau uraiannya sekitar delapan sepersepuluh

dan penutupnya sepersepuluh atau lebih singkat lagi (Asul Wijayanto,

1979: 40). Jadi, perbandingan waktu antara pembukaan, isi, dan

penutup adalah 1 : 8 : 1. Tentu saja perbandingan itu tidak mutlak,

tergantung pada situasi.

a. Pembukaan Pidato

Membuka pidato memainkanperanan yang sangat penting, karena

kesan pertama bagi para pendengar adalah pada cara pembukaan pidato.

Kalau kesan pertama baik, maka pendengar akan menaruh simpati pada si

pembicara. Hal ini merupakan modal utama untuk keberhasilan pidato.

Sebaiknya, apabilakesan pertama sudah tidak baik, maka perhatian

Page 79: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[73]

pendengar sulit dikendalikan. Karena itu kita harus hati-hati dalam

membuka pidato.

Untuk membuka pidato, ada berbagai cara yang dapat dilakukan

misalnya membuka pidato dengan humor, dengan memperkenalkan diri;

memberikan pendahuluan secara umum; membuka pidato dengan cara

memberikan ilustrasi dan sebagainya.

b. Isi Pidato

Isi pidato merupakan uraian mengenai pokok persoalan yang

dipilih untuk mencapai tujuan terutama tujuan khusus pidato. Karena itu,

dalam menguraikan pokok pembicaraan harus berkiblat pada tujuan yang

ingin dicapai. Selain itu, uraian pokok persoalan juga diwarnai oleh

pendekatan yang dipilih oleh pembicara. Namun apapun tujuannya dan

pendekatannya, uraian dalam pidato harus jelas. Dalam wujud yang nyata,

uaraian itu berupa penjelasan-penjelasan yang dikuatkan oleh fakta-fakta,

alasan, contoh, dan perbandingan-perbandingan.

Ada tiga pendekatan dalam menyampaikan isi pidato, yaitu:

1) Pendekatan intelektual

Pendekatan ini dipakai apabila para pendengar umumnya orang-

orang yang berpendidikan tinggi. Dalam menghadapi orang-orang

terpelajar ini, pembicara tidak boleh asal bicara, melainkan harus

berbicara dengan mengutamakan penalaran. Setiap pernyataan yang

dikemukakan harus disertai alasan dan bukti yang kuat karena

pendengar memang sudah terbiasa berfikir logis.

Page 80: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[74]

2) Pendekatan moral

Pendekatan moral ini dipergunakan apabila para pendengar

umumnya orang-orang yang aktif dalam bidang moral, misalnya di

lingkungan keagamaan, kemanusiaan dan sebagainya.

3) Pendekatan emosional

Apabila para pendengar umumnya oarng-orang yang tidak

berpendidikan tinggi, maka sebaiknya digunakan pendekatan

emosional sewaktu berpidato. Pendekatan ini sudah terbukti paling

efisien untuk mengambil simpati pendengar yang tidak intelek.

Caranya, pembicara lebih dulu mengajak pendengar untuk bersahabat

baru kemudian ditanamkan atau disampaikan informasi, gagasan,

pendapat, atau kehendak si pembicara.

c. Penutup Pidato

Penutup pidato merupakan bagian yang amat penting karena apa

saja yang terakhir dikatakan pembicara biasanya lebih mudah dan lebih

lama diingat oleh pendengar. Selain itu, kesan terakhir penampilan

pembicara juga terekam dalam angan-angan pendengar. Oleh karena itu,

pembicara harus hati-hati memilih cara menutup pidato sebab

ketidaktepatan menutup pidato akan merusak keseluruhan isi pidato yang

sudah baik ditata.

Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk menutup pidato,

misalnya menutup pidato dengan mengemukakan rangkuman

(kesimpulan) isi pidato: menutup pidato dengan mengucapkan kalimat

berupa motto; mengemukakan ajaran, dan sebagainya.

Page 81: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[75]

2. Tata Krama Perpidato

Berpidato di hadapan umum merupakan suatu kehormatan.

Berhasil tidaknya pidato itu ditentukan oleh tata krama dalam berpidato.

Tata krama ini tentu disesuaikan dengan forum yang dihadapi, misalnya di

hadapan massa, di hadapan wanita, di hadapan orang terkemuka, di

hadapan sesama golongan, di hadapan pelajar, di hadapan pemeluk satu

agama, atau di hadapan rakyat desa. Perhatikan tata krama berpidato

berikut ini:

1. Jika berpidato di hadapan umum, hendaknya memperlihatkan hal-hal

sebagai berikut:

a. Berpakaianlah dengan rapi dan bersih; tidak bergaya pamer

dengan memakai perhiasan atau pakaian yang berlebihan

b. Gunakanlah kata-kata yang sopan dan jangan memperlihatkan

keangkuhan, kesombongan tetapi dengan rendah hati.

c. Jika pidato agak panjang, selingilah dengan humor yang sopan

agar tidak membosankan para pendengarnya.

2. Jika berpidato di hadapan wanita atau sebagian besar wanita dan yang

berpidato pria, gunakanlah kata-kata yang tidak menyinggung

perasaannya.

3. Jika berpidato di hadapan orang-orang terkemuka, hendaklah

mempersiapkan diri dengan baik, penuh keyakinan, dan tidak merasa

rendah diri.

4. Jika berpidato di hadapan sesama golongan, kita harus terbuka dan

terus terang dan agak santai namun jangan melupakan tata krama.

5. Jika yang mendengar pidato kita itu pelajar, kita harus mampu

meyakinkan mereka dengan argumentasi-argumentasi yang logis.

Page 82: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[76]

6. Jika berpidato di depan pemeluk suatu agama, kita harus menjaga agar

jangan sampai ada satu ucapan pun yang menyinggung martabat suatu

agama.

7. Jika yang mendengarkan pidato kita itu masyarakat desa, gunakanlah

kata-kata atau kalimat yang sederhana sehingga pidato kita itu mudah

dipahami.

3. Posisi Berpidato

Komunikasi akan lebih efektif jika si pembicara dapat dilihat oleh

pendengar. Daya tarik akan berkurang jika yang berpidato tidak dapat

dilihat oleh pendengar. Usahakanlah berdiri pada tempat tertentu

sehingga dapat dilihat oleh seluruh pendengar. Usahakanlah berdiri

jangan duduk. Berpidato dengan duduk haya dapat dibenarkan dengan

alasan tertentu. Ada juga pidato yang diucapkan di hadapan pendengar

yang sama-sama duduk di lantai misalnya pertemuan-pertemuan di desa.

Yang berpidato harus dapat menyesuaikan diri dengan situasi.

4. Faktor Penunjang Keefektifan Berpidato

Agar pidato sukses, di samping dapat menguasai massa, masih

diperlukan hal-hal berikut:

1. Pembicara dituntut seseorang yang bermoral. Jika pembicara tidak

bermoral baik dan hal itu diketahui oleh pendengar, maka pendengar

akan mencemooh. Pembicara yang bermoral baik san jujur akan sangat

terkesan bagi pendengar.

Page 83: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[77]

2. Pembicara hendaknya sehat jasmani dan rohani sehingga

penampilannya dapat bersemangat, gagah, simpatik. Jangan sekali-kali

menunjukkan fisik yang lemah di hadapan massa.

3. Sarana yang diperlukan hendaknya cukup menunjang, misalnya

publikasikan jika pidato itu disampaikan di hadapan massa, pengeras

suara harus memadai, waktu dan tempat yang sesuai.

4. Jika berpidato di hadapan massa diperhatikan: volume suara, tingkat

pengetahuan massa, keadaan sosial, kebiasaan, adat istiadat, agama,

dan waktu berbicara. Pembicara harus sabar dan menyesuaikan

gayanya dengan massa yang dihadapi.

Page 84: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[78]

UNSUR TEKNIK PIDATO

1. Berani Tampil di depan Umum

Seseorang yang mahir berpidato haruslah menguasai teknik

tampil di lingkungan umum. Lingkungan umum yang seringkali menjadi

ajang pergaulan seseorang, sedang lingkungan khusus adalah lingkungan

pasti dimana orang selalu hadir dalam kesehariannya.

Bagi seorang Kepala Dinas Kehutanan maka Kantor Kehutanan

adalah lingkungan khususnya sebab disanalah hak dan kewajibannya

setiap hari harus dipenuhi. Sementara lingkungan umumnya adalah dinas

terkait dan masyarakat tempat tinggalnya. Maka dalam kapasitasnya

tersebut, seorang Kepala Dinas diharuskan selalu mampu berpidato di

lingkungan: kantor dinas kehutanan, kantor dinas terkait, dan lingkungan

masyarakat. Di sinilah unsur keberanian itu diuji sebab semakin tinggi

status sosial dan jabatan seseorang maka akan semakin kerap pula dia

diminta untuk berpidato.

2. Bisa Berkonsentrasi

Dalam pidato, seseorang harus menyampaikan sesuatu yang

dirasakan bermanfaat untuk pendengarnya. Agar pidato itu bisa runtut

dengan makna yang jelas, tidak mengulang bahasan, dan pembicara tidak

gugup, maka seseorang harus bisa berkonsentrasi terhadap materi

pidatonya dan pendengarnya. Hal ini disebabkan oleh berkonsentrasi

6

Page 85: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[79]

hanya pada pidato apalgi hanya dengan mebaca teks akan membuat

sebuah pidato penjadi menjemukan dan hadirin tidak diperdulikan.

Dengan konsentrasi diharapkan akan timbul ketenangan pada pembicara

sehingga ia bisa berpidato dengan lancar.

3. Pandai Mengolah Intonasi

Agar sebuah pidato bisa menarik maka seseorang harus bisa

mengolah intonasi yakni tinggi rendah dan tekanan suara yang bervariasi.

Bagaimana dia mengucapkan kalimat biasa dan bagaimana mengucapkan

kalimat yang perlu untuk ditekankan kepada pendengar.

Teori penekanan kata ini biasanya berlaku pada suku kata kedua.

Jadi apabila Anda mengucapkan kata ‘kalimat’ maka yang ditekankan

adalah suku kata ‘li’. Dan dalam hal ini Anda melatihnya dengan baik maka

Anda akan bisa melakukannya dengan otomatis. Sementara secara

keseluruhan bisa pula dipilih kalimat mana yang akan ditekankan.

4. Bisa Merangkai Kata yang Menarik

Merangkai kata yang menarik itu ada dua pilihan, yakni terlebih

dahulu dikonsep dan dihafalkan bila Anda membaca teks pidato atau Anda

berlatih secara khusus untuk bisa melakukan hal itu. Cara yang terbaik

adalah bisa melakukannya dengan spontan serta siap setiap saat. Agar bisa

merangkai kata yang menarik, maka seseorang harus bisa menyelami

siapa pendengarnya dan apa yang menjadi perhatian mereka secara

khusus menyangkut hal yang aktual. Inilah yang diungkap pada awal

kegiatan pidato.

Selanjutnya, hal yang dapat dilakukan untuk menunjang

kemahiran merangkai kata adalah:

Page 86: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[80]

a. Gemar mendengarkan pidato yang menarik;

b. Gemar membaca;

c. Gemar berkomunikasi secara lisan dengan orang lain;

d. Gemar berlatih; dan

e. Memperhatikan humor bermutu.

Semua ini akan menjadi peluru bagi Anda yang siap untuk Anda

tembakkan setiap saat. Pidato yang menarik adalah bagian penting dari

suatu acara.

5. Pandai Menghidupkan Suasana

Suasana yang hidup adalah suatu suasana yang responsif artinya

terjalin komuniksi dan perhatian antara pendengar dan mereka yang

berada di atas panggung. Suasana yang hidup ini memang harus dilakukan

oleh pengisi acara yang meliputi antara lain:

a. Pembaca acara;

b. Penyambut/orang yang berpidato;

c. Pengisi acara.

Khusus bagi mereka yang berpidato, acara yang baik adalah

dengan cara humor. Prinsip humor yangbaik dalam berpidato adalah:

a. Membawa kesegaran;

b. Tidak porno;

c. Sesuai pendengar;

d. Tidak terlalu panjnag; dan

e. Tidak terlalu sering.

Selain cara menggunakan humor dalam pidato untuk

menghidupkan suasana, maka orang yang berpidato harus mampu untuk

Page 87: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[81]

menjalin komunikasi secara langsung atau tidak langsung dengan

pendengarnya dan melemparkan isi yang aktual mengenai kehidupan

sosial, tugas kedinasan, mengenai data terbaru, atau apa pun yang perlu

disimak.

6. Mengenal Penampilan/Busana

Seorang tokoh nasional pernah suatu ketika berkunjung

mendadak ke lokasi kongres untuk melihat persiapan akhir. Namun

setelah selang beberapa waktu terkuaklah tujuan utamanya yakni ia

melihat apa warna latar belakang back ground yang ada. Sehingga ia bisa

berfikir tentang baju apa yang dikenakannya sehingga nampak serasi

dengan latar tersebut.

Menyimak kisah ini maka bisa dilihat bahwa sebenarnya

seseorang memang harus memikirkan penampilan busananya. Untuk

berpidato, biasanya memang diharapkan memakai pakaian resmi, seperti:

a. baju lengan panjang;

b. batik;

c. stelan jas;

d. kebaya; dan

e. seragam kantor.

Kostum santai seperti kaos panitia hanya bisa dimungkinkan

apabila seseorang berpidato langsung di event tersebut. Warna yang

dikenakan sebaiknya jangan mencolok.

7. Catatan/Konsep

Page 88: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[82]

Pidato memang perlu konsep baik untuk lisan atau tertulis.

Konsep itu bisa suatu point/isi pokok yang dihafal maupun ditulis. Namun

bisa pula sebuah teks pidato panjang yang dibacakan. Kenapa ini penting?

Tujuan utamanya adalah agar semua hal yang disampaikan itu bisa secara

sistematis dan tidak mengulang masalah serta tidak memakan waktu

untuk mengemukakannya. Dengan pidato yang terkonsep maka bukan saja

orang yang berpidato akan senang dan mudah, namun demikian pula

dengan pendengarnya. Ini penting.

Catatan dan konsep pidato mutlak disediakan dan dipelajari

sebelum seseorang berpidato dan wajib dikuasai. Catatan harus dinilai

kembali agar diketahui apakah ada hal yang dapat disempurnakan.

8. Pidato dengan atau tanpa Teks

Sesuatu apapun akan selalu memiliki dua sisi yakni sisi yang baik

dan sisi yang kurang baik. Kedua sisi ini diolah sedemikian rupa agar sisi

yang baik bisa ditonjolkan dan sisi yang kurang baik bisa ditekan.

Sementara itu seseorang juag harus mengukur kemampuan diri dan tugas

yang akan disandangnya agar hal di atas bisa dilakukan.

Menjawab pertanyaan apakah pidato dengan teks atau tidak,

maka kita harus mengetahui sisi positif dan negatifnya. Pidato dengan teks,

kebaikannya adalah: semua tersusun dengan rapi, tidak mengulang

bahasan, sangat mudah, dan panjang pendeknya bisa diatur sesuai waktu.

Kekurangannya adalah: terkesan kurang menguasai, bisa monoton,

pendengar kurang tertarik, dan kurang komunikatif. Pidato tanpa teks

kebaikannya adalah: spontan, terkesan menguasai, dan lebih komunikatif.

Page 89: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[83]

Sedangkan kekurangannya adalah: rawan pada pengulangan bahasan dan

terlalu meledak-ledak.

Untuk hal yang bersifat penting, tetap menggunakan teks seperti

penjelasan resmi pemerintah yang menyangkut data dan permasalahan

peka/politis. Sedang untuk pidato tanpa teks cukup baik apabila ini

berkenaan dengan hal yang biasa namun pokok persoalan dikemukakan di

awal agar tidak melantur ke kiri dan ke kanan.

9. Pidato sebagai Informasi

Pidato bisa digunakan sebagai sarana menyampaikan satu

informasi akurat dari pihak yang berkepentingan kepada pihak yang

terkait. Pidato informasi bisa berupa:

a. Penerangan tentang penyakit menular;

b. Penerangan mengenai undang-undang lalu lintas;

c. Penjelasan mengenai syarat pengurusan ijin usaha; dan

d. Penerangan mengajukan kredit usaha.

Pidato ini biasanya sudah dirancang dengan khusus, artinya

disiapkan suatu acara dengan para pendengarnya yang terkait dengan

informasi tertentu. Penerangan tentang undang-undang lalu lintas bisa

dilakukan di sekolah-sekolah tinggi agar mereka sadar akan tertib lalu

lintas. Ini harus dilakukan pihak kepolisian. Suatu hal pokok, pidato

informasi ini sama sekali tidak boleh salah menyangkut materi pokok.

10. Pidato sebagai Penerangan

Bila pada pidato yang bersifat informasi itu ada hal yang terkait

khusus dan teknis sehingga orang akan dikenakan dengan prosedur atau

Page 90: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[84]

aspek baru yang berkemabng serta berubah untuk ditaati. Maka dalam

penerangan ini lebih menjurus kepada mempertajam hal-hal yang selama

ini sudah dibenak dan dipelajari oleh masyarakat. Topik-topik yang dapat

dijadikan pidato informasi (baca: penerangan) adalah:

a. Peningkatan pendapatan masyarakat melalui himbauan pemanfaatan

pekarangan rumah.

b. Peningkatan kesadaran masyarakat akan pembayaran iuran pajak

bumi dan bangunan.

c. Penerangan tentang perlunya setiap keluarga memiliki jamban yang

sehat dan bersih.

Pidato penerangan tidak harus dilakukan oleh pihak terkait tapi

oleh siapa pun yang bisa memotivasi untuk berkembang ke arah yang lebih

baik seperti lurah, camat, pemuka agama.

11. Pidato sebagai Komando

Jenis pidato bisa dilakukan dalam lingkungan militer,

perancangan gerakan nasional, peringatan hari besar, dan penerimaan di

lingkungan baru. Sifat pidato ini adalah mendasar, tegas, dan dipatuhi.

Pidato sebagai komando memang merupakan suatu pidato yang

tergolong spesial, sebab komando yang disampaikan harus selalu disertai

dengan serangkaian tindakan yang positif sesuai dengan apa yang

digariskan. Bila ini diterjang, maka pidato komando itu akan dinyatakan

gagal dan tidak bermakna. Pidato komando memang dirancang sebagai

suatu perintah dan bukan suatu informasi pasif yang hanya berlaku

apabila ada urusan yang terkait.

Page 91: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[85]

12. Pidato sebagai Ungkapan Perasaan

Pidato yang termasuk sebagai pengungkapan perasaan ini adalah

pidato berduka cita, pidato syukuran, pidato pengangkatan atau pidato

pernikahan. Di mana orang yang menyambut atas nama lingkungan

dimana kejadian itu berlangsung atau pihak terkait larut dalam suasana

yang sama. Getaran lubuk hati yang paling dalam dapat dirasakan dalam

pidato itu sehingga bisa muncul rasa: terpacu untuk maju, keharusan yang

mendalam, atau syukur yang mendalam sesuai momen atau acara yang

sedang berlangsung. Pidato ini memang bolah menjadi ungkapan perasaan

bukan berarti larut dalam perasaan sehingga tidak mengenal lagi waktu

atau lingkungan sekitar.

13. Latihan Nafas agar Tidak Gugup

Inilah cara berlatih agar bisa berkonsentrasi dan tidak gugup

dalam berpidato. Duduklah bersila dengan kepala tegak lalu ikuti

instruktur di bawah ini:

1. Tarik nafas dalam-dalam kemudian tahan selama tiga kali hitungan

dalam hati, lalu keluarkan pelan lewat mulut tiga kali.

2. Kemudian lakukan nafas biasa kembali sejenak.

3. Lakukan instruksi satu dengan memejamkan mata perlahan-lahan dan

hitungan sama.

4. Tingkatkan menjadi lima dan delapan hitungan.

5. Bernafaslah biasa dan sejenak kemudian dengarkan suara di sekitar

Anda hingga yang sekecil-kecilnya:

a. suara orang bicara;

b. orang berjalan;

Page 92: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[86]

c. suara mobil;

d. hingga suara air mengalir.

6. Bernafaslah seperti biasa.

7. Tarik nafas dalam-dalam seperti pada hitungan pertama kemudian

tahan lebih lama di atas 15 hitungan kemudian lepas pelan dan

lakukan tiga klai.

8. Bukalah mata.

9. Lihatlah benda-benda yang bergerak.

10. Tataplah dengan tajam.

11. Kemudian rilekskan seluruh tubuh Anda dengan tiduran.

12. Bangkitlah.

13. Pikirkan satu tema pendek.

14. Mulailah berbicara seperti berpidato.

15. Ulang bila tersendat-sendat.

16. Perpanjang setiap kali berlatih.

17. bila mahir maka ajaklah teman Anda menjadi pendengar setia Anda.

14. Kontak Pandang

Bila berpidato maka seseorang diharapkan untuk bisa melakukan

kontak pandang dengan hadirin namun ini bukan berarti bersikap untuk

bersikap kurang manis, namun menjalin apa yang diungkapkan agar

berjalan baik. Untuk itu maka hindarilah bersikap: terlalu suka menunduk,

mata ke mana-mana, menatap ke depan, terlalu sering tertuju pada teks,

dan hanya memandang kerumunan tertentu saja.

Kontak pandang ini tidak harus dilakukan terus menerus namun

cukup sewajarnya saja bahkan kalau perlu dilakukan dengan menambah

Page 93: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[87]

senyuman. Kontak pandang sebelum berpidato dianjurkan untuk

menyatukan emosi antar pembicara dengan pendengar dan lakukan ini

sejenak sembari bersiap.

Page 94: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[88]

DAYA TARIK PIDATO

Berpidato adalah proses penyampaian pesan atau maksud kepada

pendengar (khalayak). Agar pidato dapat menarik perhatian pendengar,

seorang orator tidak saja memperhatikan topik yang akan disampaikan,

tetapi juga cara menyampaikan topik tersebut.

Untuk menciptakan sebuah pidato yang menarik, ada beberapa

hal yang perlu diperhatikan, yaitu:

1. Menyulap Topik pidato

Seringkali kita jumpai bahwa sebuah topik pidato yang

diumumkan sudah berhasil menarik perhatian para pendengarnya.

Apalagi jika pembicara juga sudah memiliki nama yang menonjol.

Meskipun demikian, pembicara harus berusaha agar topik itu tetap

menarik. Hal ini dilakukan untuk menjaga atau mempertahankan minat

para pendengar yang sudah timbul.

Menumbuhkan dan mempertahankan daya tarik erat sekali

hubungannya dengan mengendalikan perhatian. Pada hakekatnya,

tumbuhnya perhatian itu sangat tergantung pada kesesuaian topik itu

dengan kepentingan, keinginan, pengalaman, dan pengetahuan para

pendengar. Kalau ada kesesuaian tadi, maka syarat berikutnya adalah

wawasan pengetahuan dan pengalaman pembicara. Artinya, topik itu akan

7

Page 95: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[89]

semakin menarik bila pembicara mempunyai pengetahuan yang cukup

mengenai topik itu.

Ada dua hal yang biasa dilakukan pembicara untuk

mempertahankan perhatian pendengar, yaitu:

1. Setiap ada kesempaan, pembicara harus menyisipkan salah satu faktor

yang dapat mengendalikan atas menarik perhatian pendengar.

Hasilnya, perhatian pendengar akan tetap tertuju pada pidato yang

sedang didengarnya.

2. Jika pembicara sudah mengetahui bahwa pendengarnya telah tertarik,

maka kesempatan itu kemudian dimanfaatkan untuk memasukkan

gagasan-gagasan isi pidato. Pembicara yang baik tentu telah

mengetahui bagaimana menghubungkan gagasan-gagasan isi pidato

dengan sesuatu yang telah menarik perhatian pendengar tadi.

Kadang-kadang pembicara berhadapan dengan topik yang

memang menjemukan. Namun tidak perlu putus asa, sebab topik yang

menjemukan itu dapat “disulap” menjadi menarik. Dalam hubungan ini,

Prof. Winans menasehatkan, “untuk membuat topik yang menjemukan

menjadi menarik, cobalah mengasosiasikan dengan sesuatu yang memang

telah menarik”. Misalnya kalau gambar sepasang sepatu dalam iklan akan

lebih menarik, jika dipakai oleh seseorang ternama di bidangnya sessuai

dengan corak sepatu itu.

Adapun cara “menyulap” topik biasa menjadi menarik antara lain

seperti di bawah ini:

1. Menjaga Nyawa

Mempertahankan hidup adalah hal yang paling penting bagi

semua orang. Karena itu, segala sesuatu yang berhubungan dengan

Page 96: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[90]

mempertahankan hidup atau nyawa selalu menarik perhatian. Hal

semacam ini dapat dimanfaatkan oleh pembicara yang cekatan.

2. Memelihara dan Meningkatkan Kekayaan

Semua orang tertarik pada pembicaraan yang menyangkut harta

miliknya. Sebab pada umumnya orang cinta pada hartanya bahkan ada

yang mempertahankan hartanya sampai tewas. Pembicara yang

berpengalaman tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu.

3. Bangga Diri dan Martabat

Setiap manusia mempunyai sifat rasa senang dan bangga tas

dirinya. Karena sifat tersebut, setiap manusia terkadang tidak henti-

hentinya membicarakan dirinya, prestasinya, pengalamannya, dan

sebagainya.

Bangga diri dan martabat itu memang mempuntai potensi yang

besar untuk mengendalikan perhatian. Para pendengar akan segera

tersentak perhatiannya, manakala rasa bangga diri dan martabatnya

disentuh.

4. Kenikmatan dan Kepuasan Cita Rasa

Manusia sangat tertarik pada hal-hal yang berhubungan dengan

kenikmatan, kesenangan, keasyikan, hiburan, makanan yang lezat,

minuman yang segar, dan sebagainya. Hal semacam ini pun dapat

dimanfaatkan pembicara untuk membangkitkan perhatian pendengar.

5. Daya Tarik Seks

Dari dulu sampai sekarang, masalah seks selalu menarik

perhatian, dan di mana saja, kapan saja, dan bagi siapa saja. Karena itu,

Page 97: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[91]

apapun yang ada hubungannya dengan masalah seks tetap merupakan

sumber abadi yang menarik.

Gambar wanita cantik merupakan yang berharga dari sebuah

iklan untuk menarik perhatian pria dan juga wanita. Demikian pula

seorang pembicara yang cekatan, tidak pernah membiarkan hal-hal

yang menarik ini lewat begitu saja. Setiap ada kesempatan ia

mengaitkan topik pidatonya dengan masalah seks untuk

mengendalikan perhatian para pendengarnya. Perlu diingat bahwa

masalah seks yang ditampilkan janganlah masalah porno sebab dapat

berakibat sebaliknya. Karena itu, berhati-hatilah jika mengaitkan

masalah seks dengan isi pidato agar dapat menarik perhatian

pendengar.

6. Rasa Simpati

Pada umumnya manusia mampunyai rasa simpati terhadap

saudara, teman, masyarakat sekitar, suku bangsa dan sebagainya.

Demikian juga akan rasa simpati terhadap orang yang tertimpa

musibah. Perasaan simpati ini sering dimanfaatkan pembicara untuk

membangkitkan perhatian.

7. Rasa Ingin Tahu

Semua orang mempunyai rasa ingin tahu (curiousity). Rasa ingin

tahu itu ada yang sekadar ingin tahu dan ada pula rasa ingin tahu yang

mendalam dan mendetail. Sesuatu yang samar-samar terasa lebih

menarik perhatian daripada sesuatau yang telah nyata. Orang ingin

tahu apa sebenarnya sesuatu yang samar-samar itu. Hadiah yang

dibungkus meskipun isinya tidak seberapa akan lebih menarik

Page 98: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[92]

daripada yang tidak dibungkus, karena orang akan menduga-duga

atau ingin tahu apa isi hadiah itu.

2. Suara dalam Pidato

Sering kita lihat bahwa pembicara dalam memulai pidatonya

terasa alot dan tersendat-sendat. Perasaan gugup dan gelisah membuat

permulaan pembicaraan kurang berkesan atau kurang menarik. Perasaan

yang seperti itu menyebabkan suara pembicara kelihatan grogi, nada-nada

rendah dan bergetar. Suara demikian tidak menguntungkan dan akan

merusak perhatian pendengar.

Untuk menghindari suara yang demikian, maka perlu

diperhatikan hal-hal berikut ini:

1. Pembicara harus berusaha menenangkan diri sebelum maju ke depan.

Bila sudah berada di muka pendengar jangan langsung bicara. Selama

10 – 15 detik berdirilah dengan tenang, menyadari diri, sambil

membina kontak batin dengan para pendengar. Kontak batin ini dapat

dibina melalui pandangan mata. Pandanglah semua pendengar baik

yang di depan maupun yang di belakang, baik yang berada di sebelah

kanan maupun yang di sebelah kiri. Sementara itu bernafaslah dalam-

dalam untuk memperbesar percaya diri dan ketenangan diri.

2. Setelah dapat menguasi diri dan mengadakan kontak batin dengan

para pendengar, mulailah berbicara yaitu mengucapkan salam dan

sapaan-sapaan dengan penuh rasa simpati.

Agar kita dapat memperoleh gambaran yang menyeluruh

mengenai suara dalam pidato, maka secara berturut-turut akan

dikemukakanhal-hal berikut ini:

Page 99: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[93]

1. Volume suara

Dalam berpidato pakailah volume yang besar. Berpidato dengan

volume suara kecil terasa mantap dan kurang berwibawa. Sebaliknya,

dengan volume suara besar terasa lebih berbobot, mantap, dan

berwibawa.

Ada orang mengatakan bahwa suara itu sudah pembawaan sejak

lahir. Namun sebenarnya dapat diupayakan. Bila kebetulan anda dapat

berbicara dengan berbagai volume, pakailah volume yang besar dalam

pidato dan kalau tidak bisa usahakanlah berbicara dengan agak

menunduk yang biasanya dapat memperbesar volume suara. Namun

tetap wajar dan jangan kelihatan dibuat-buat. Selain volume besar

pembicara harus berbicara lantang, mudah didengar para pendengar.

2. Intonasi

Intonasi mencakup tekanan, nada, tempo, dan jeda. Tekanan

berhubungan dengan keras lemahnya suatu kata atau frasa yang

diucapkan. Nada mempersoalkan tinggi rendahnya kata atau frasa

atau kalimat diucapkan.tempo mengatur cepat lambatnya suatu kata,

frase, atau kalimat diucapkan. Jeda adalah perhentian atau saat-saat

pembicara berhenti berbicara.

Bila intonasi itu diterapkan dalam pidato maka bunyi pidato yang

ditangkap pendengar bukan bunyi yang rata (monoton), melainkan

bunyi yang berirama. Kadang-kadang pembicara mengungkapkan

kata-katanya dengan keras dan cepat, kemudian dengan suara yang

lemah. Lambat, nada rendah dan mencekam lalu berhenti agak lama

dan akhirnya disusul dengan suara keras dan cepat disertai nada

tinggi. Demikianlah intonasi yang tidak membosankan pendengar.

Page 100: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[94]

Namun perlu diperhatikan dengan seksama penggunaan intonasi yang

tepat.

3. Pelafalan

Yang dimaksud dengan pelafalan adalah cara mengucapkan kata-

kata secara jelas, enak dan mudah didengar sesuai dengan makna dan

maksud yang terkandung dalam kata-kata yang diucapkan itu.

Pelafalan memainkan peranan yang amat penting dalam

berpidato. Pembicara yang tidak dapat melafalkan kata-kata secara

tepat, dapat merusak pidato secara keseluruhan. Perlu disadari bahwa

pelafalan yang baik bukan berarti pengucapan kata yang keras atau

berteriak-teriak. Pelafalan yang baik menandakan pcnguasaan bahasa

yang matang.

Dalam berpidato pelafalan ini harus lebih diperhatikan lagi bila

menyangkut hal-hal seperti di bawah ini:

a. Menyebutkan nama orang, tempat, lembaga, dan sebagainya

b. Mengucapkan kata-kata mutiara, peribahasa, dan sebagainya.

c. Mengutip ucapan orang lain

d. Mensitir artikel, puisi dan sebagainya.

e. Mengucapkan kata-kata yang perlu mendapatkan perhatian

khusus.

3. Humor dalam Pidato

Humor barangkali unsur yang paling bermanfaat dalam

mengendalikan perhatian pendengar. Humor yang ditampilkan sewaktu

berpidato harus memenuhi syarat-syarat di bawah ini:

Page 101: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[95]

1. Relevan

Humor harus relevan dengan masalah yang sedang dibicarkan.

Jangan sampai humor itu menyimpang. Sehingga dapat menyeret

perhatian pendengar ke hal-hal lain yang tidak dibicarakan dalam

pidato itu. Selain itu harus diupayakan agar humor yang ditampilkan

dapat lebih memperjelas uraian.

Humor yang tidak relevan dapat dianggap sebagai mengada-ada.

Hal ini akan berpengaruh kurang baik terhadap perhatian pendengar.

Lebih-lebih bila humornya tidak mengenai sasaran. Akibatnya bisa

mengurangi simpati pendengar. Jadi apa pun wujudnya humor harus

relevan dengan apa yang sedang dibicarakan sehingga seolah-olah

tidak tampak bahwa pembicara tidak berhumor.

2. Sopan

Tema humor dalam pidato yang sering kita saksikan adalah

masalah seks. Tema ini dianggap sangat ampuh untuk mengendalikan

pcrhatian pendengar karena mempunyai dua kekuatan sekaligus.

Pertama, masalah seks itu sendiri sudah mempunyai daya pikat yang

tinggi. Kedua, bila humornya “kena” juga sangat efektif untuk

mengendalikan perhatian pendengar. Sebenarnya, pemilihan tema

seks sebagai bahan humor tidak dilarang, asal masih dalam batas-

batas kesopanan dan tidak porno.

Humor yang sopan selalu lebih dihargai daripada humor yang

cenderung ke arah porno atau kasar. Lebih-lebih jika humor porno

atau kasar itu tidak diterima oleh pendengar maka pendengar akan

bersikap sinis kepada pembicara. Akibatnya, pembicara menjadi serba

salah.

Page 102: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[96]

3. Segar

Humor yang ditampilkan dalam pidato harus segar. Artinya,

jangan membuat humor dengan bahan/macam yang sudah sangat

dikenal atau diketahui umum. Carilah bahan baru yang segar kalau

bisa ciptaan Anda sendiri. Jangan meniru-niru humor orang lain yang

Anda anggap berhasil sebab ada resikonya. Selain belum tentu cocok

dengan situasi yang ada, kemungkinan humor itu sudah pernah

didengar oleh pendengar yang Anda hadapi. Kalau hal itu terjadi maka

penghargaan dan perhatian pendengar terhadap pidato akan

berkurang.

4. Kinesik dalam Pidato

Kinesik adalah keseluruhan gerak anggota tubuh yang menyertai

orang yang sedang berbicara. Bagian tubuh yang sering digerakkan untuk

menyertai pembicaraan adalah tangan, telapak tangan, jari, kepala, raut

muka dan masih banyak lagi. Kinesik ini juga merupakan suatu faktor yang

dapat dimanfaatkan untuk menambah daya tarik pidato asal

penggunaannya tepat.

Jika pembicara sudab berdiri di depan pendengar maka semua

mata akan tertuju kepada diri pembicara. Penampilan pembicara secara

keseluruhan menjadi perhatian pendengar. Dari sepatu, model, dan warna

celana dan baju sampai kaca mata atau kopiah serta gerak-gerik

pembicara, semuanya diperhatikan pendengar. Boleh disebutkan bahwa

dari ujung kaki sampai ke ujung rambut pembicara diperhatikan oleh

pendengar.

Page 103: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[97]

Menurut penyelidikan ahli psikologi, umumnya pendengar akan

tertarik pada sesuatu yang baik menurut pandangannya, sebaliknya orang

akan segera merasa bosan manakala melihat sesuatu yang tidak pada

tempatnya, tidak teratur, dan asal-asalan saja. Seorang pcmbicara yang

mengenakan pakaian yang tidak cocok, sering melipat-lipat lengan baju,

atau memasuk-masukkan tangan ke saku, dapat mengurangi kepercayaan

dan penghargaan pendengar. Oleh karena itu, berpakaian rapi bagi

pembicara sangat penting. Hal ini bukan saja memperbaiki kesan, tetapi

juga dapat menambah percaya diri.

Pada umumnya pendengar menghendaki agar seluruh badan

pembicara dapat dilihat dengan jelas. Sehubungan dengan ini, sebaiknya

pembicara tidak berdiri di belakang meja atau lainnya yang menyebabkan

ia tidak terlihat nyata oleh pendengar. Dalam pidato yang juiniah

pendengarnya banyak, biasanya panitia menyediakan panggung atau

mimbar, maksudnya memang agar pembicara lebih jelas kelihatan oleh

pendengar yang paling belakang.

Bila mungkin, di tempat pembicara jangan ada orang-orang yang

turut duduk, sebab hal itu bisa berpengaruh kurang baik terhadap

pembicara. Perhatian pembicara bisa terbagi antara pembicara dengan

orang-orang yang duduk sejajar atau di belakang pembicara. Lebih-lebih

bila orang itu berbisik-bisik kepada orang di sebelahnya, mengangkat kaki

terbatuk-batuk, mengaruk-garuk kepala, dan sebagainya. Jadi, perhatian

pendengar tidak bisa seluruhnya tertuju kepada pembicara.

Hitler pernah berkata bahwa berpidato dalam ruangan yang

penuh, pembicara lebih mudah membawa pendengar ke arah yang

dikehendaki. Meskipun demikian tidak berarti bahwa di ruang yang tidak

Page 104: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[98]

penuh atau setengah kosong maksud pembicara tidak akan tercapai.

Pembicara masih bisa berhasil asal tahu cara yang seharusnya dilakukan.

Bagaimana caranya? Berhasilnya pembicara dalam ruangan yang

penuh disebabkan oleh masing-masing pendengar merasa erat

hubungannya dengan yang lain. Karena itu, agar pidato bcrhasil, ruangan

yang tidak penuh atau setengah kosong diupayakan agar seolah-olah

penuh dengan jalan meminta supaya peserta duduk dekat dengan

pembicara dan juga duduk berdekatan dengan sesama pendengar. Jangan

dibiarkan ada kursi yang kosong di depan karena bisa menjadi pembatas

antara pembicara dengan para pendengar.

Dengan cara seperti di atas, maka watak pcndengar akan segera

melebur menjadi watak massa. Agar lebih jelas, watak individu dan watak

massa menurut ilmu jiwa massa ditampilkan di bawah ini:

1. Watak orang perseorangan (individu)

a. Secara perorangan, orang selalu menggunakan akal pikirannya

yang sehat dan wajar.

b. Sadar akan kepribadiannya sendiri

c. Bisa menerima uraian-uraian yang mendalam dan ilmiah.

d. Tidak mudah tersinggung karena gejala tindakan menggunakan

pertimbangan-pertimbangan objektif.

e. Tidak mudah bersikap apriori.

2. Watak Massa

a. Diliputi oleh emosi yaitu oleh perasaan solidaritas bersama,

bukan akalnya.

b. Karena itu, masa muda dipengaruhi, digerakkan, mudah menaruh

simpati, dan sebagainya.

Page 105: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[99]

c. Massa mudah mengikuti tanpa berpikir panjang.

d. Massa tidak bisa mengikuti uraian yang mendalam dan ilmiah.

e. Massa mudah tersinggung perasaannya.

f. Massa selalu bersikap apriori.

Kembali kepada gerakan anggota tubuh yang sudah terbukti

sangat ampuh untuk menyokong keberhasilan pidato. Sebuah gambar bisa

lebih nyata daripada rangakaian kalimat satu halaman. Setiap jeritan bisa

bcrmakna daripada kata-kata yang dipilih dan disusun dengan sebaik-

baiknya. Demikian pula satu gerakan tubuh misalnya menyilangkan jari

telunjuk di depan mulut yang tertutup bisa lebih besar pengaruhnya

daripada kalimat yang berisi larangan berbicara. Jadi. gerakan anggota

tubuh dapat menambah daya tarik pidato.

Petunjuk yang sempurna mengenai gerakan yang tepat itu tidak

ada. Bahkan suatu petunjuk dapat menyesatkan pembicara karena

gerakan anggota tubuh yang didasarkan petunjuk yang sudah ada, bisa

terasa janggal karena tidak sesuai dengan situasi. Gerakan kepala, tangan,

kaki, atau lainnya harus merupakan gerakan yang asli dan serta merta

(spontanitas) karena gerakan itu sebenarnya hasil dan akibat perhatian,

kesiapan, kegemaran, keadaan pendengar, dan sebagainya. Jadi, gerakan

anggota tubuh yang tidak selaras dengan hal-hal tersebut bisa terasa

hambar dan malah menggelikan dan menjemukan pendengar. Demikian

pula jika gerakan terlalu banyak, bisa menimbulkan kesan seperti badut

atau pemain sandiwara.

5. Hal-hal Lain yang Perlu Diperhatikan

Page 106: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[100]

Selain aspek-aspek di atas, ada beberapa petunjuk yang belum

diketahui untuk menambah daya tarik pidato, yaitu:

1. Ketika sedang berpidato, pandanglah semua pendengar secara

teratur. Jangan sampai pandangan hanya tertuju pada sekelompok

hadirin tertentu sehingga kelompok yang lain merasa diabaikan. Hal

ini bisa mengurangi perhatian hadirin yang merasa diabaikan.

Memandang hadirin sebaiknya bukan hanya dengan main kepala,

tetapi juga dengan mata hati. Artinya, pembicara jangan hanya

menangkap apa yang tampak, tctapi juga harus tanggap terhadap

reaksi hadirin. Hasil pengamatan dengan mata hati itu akan berguna

untuk mengambil sikap dalam menyesuaikan diri untuk melanjutkan

pidatonya.

2. Jangan tampil dengan wajah cemberut atau pandangan liar yang

mengesankan galak. Penampilan yang demikian sangat merugikan

karena tidak akan memperoleh simpati hadirin. Sebaliknya, bila

pembicara tampil dengan wajah cerah maka pembicara akan mampu

menciptakan suasana yang menarik.

3. Mengawali pidato jangan mengucapkan pemintaan maaf karena tidak

siap, tidak mengetahui masalahnya secara sungguh-sungguh, tidak

tertarik pada masalah yang akan dibicarakan, dan sebagainya.

Permintaan maaf di atas hanya akan mengecewakan hadirin dan juga

akan mengurangi kepercayaan terhadap pembicara. Sebaliknya,

usahakan hadirin siap menerima uraian isi pidato dengan perhatian

yang penuh dan kepercayaan yang tinggi.

4. Dalam berpidato jangan mengajukan pertanyaan yang

membahayakan bila dijawab “tidak”. Misalnya, “Apakah Saudara-

Page 107: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[101]

saudara telah memahami apa yang telah saya katakan tadi?” Kemudian

dijawab oleh hadirin secara serentak “Tidak”. Kalau demikian, maka

kiamatlah sudah pidato itu karena pembicara kalah.

5. Menutup pidato jangan berkepanjangan, berputar-putar, seolah-olah

seperti kendaraan tanpa rem. Hal seperti itu selain menjemukan juga

dapat mengaburkan gagasan yang ditanamkan dalam isi pidato. Selain

itu, kesan tcrakhir pidato itu juga kurang baik sebab hadirin merasa

bosan bahkan bisa muak. Karena itu, segera akhiri pidato bila saatnya

sudah tiba.

6. Jangan mengoreksi atau menentang pembicara sebelumnya. Hal ini

akan mengurangi simpati pendengar kepada pembicara yang

menentang itu sebab sebagian pendengar pasti ada yang bersimpati

kepada pembicara yang ditentang itu.

7. Cobalah berpidato dengan membawa catatan seperlunya (kecuali

memang menggunakan metode naskah). Catatan itu baiknya berisi

pokok-pokok pidato saja, pokok-pokok pembukaan, pokok-pokok

butir utama, dan butir-butir pendukung isi pidato, serta pokok-pokok

mengenai penutup pidato.

8. Bila sebagian besar ada yang sengaja terbatuk-batuk, memindah--

mindahkan kursi, menjatuhkan botol minuman, atau berbincang--

bincang dengan teman dekatnya; pembicara harus memperlambat

ucapan-ucapannya atau berhenti sama sekali. Tindakan seperti itu

biasanya sangat ampuh untuk menghentikan kegaduhan. Bila

kegaduhan sudah bisa diatasi, pembicara dapat melanjutkan

pidatonya. Ingat pembicara jangan “ngotot”berbicara selagi

pendengar juga berbicara sampai gaduh.

Page 108: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[102]

9. Jangan terlalu sering menggunakan bentuk tegun. Bentuk tegun

adalah bunyi atau kata yang dipakai untuk memikirkan sesuatu yang

akan diucapkan.

10. Pemilihan kata, ungkapan, pola kalimat, dan gaya bahasa harus

diperhatikan untuk meningkatkan daya tarik pidato. Dengan kata lain,

pcmbicara harus menggunakan siasat pemakaian bahasa untuk

menimbulkan efek tertentu.

Page 109: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[103]

TATA KRAMA BERPIDATO

Istilah tata krama berasal dari bahasa Jawa yang berarti adat

sopan santun. Tata krama berpidato artinya sopan santun berpidato atau

kebiasaan berpidato yang baik, yang tidak melanggar norma kesopanan.

Itu semua dilakukan agar semua tujuan pidato dapat dicapai secara

maksimal oleh pembicara.

Tata krama berpidato secara umum sebenarnya hampir sama,

tetapi karena yang dihadapi itu bermacam-macam dan masing-masing

mempunyai sifat khusus, maka tata krama berpidato juga tergantung pada

siapa yang dihadapi waktu itu. Itulah sebabnya maka setiap pembicara

harus mengetahui bagaimana tata krama berpidato di hadapan para

pendengar yang berbeda-beda.

1. Berpidato di Depan Umum

a. Berpakaianlah dengan rapi, bersih dan necis, tetapi tidak bcrgaya

pamer dengan memakai perhiasan yang mahal-mahal dan pakaian

yang kelewat mahal.

b. Jangan memperlihatkan kesombongan, keangkuhan, atau

kepongahan, tetapi berpidatolah dengan sopan dan rendah hati.

Rendah hati bukan berarti rendah diri, karena yang terakhir ini

berarti minder.

8

Page 110: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[104]

c. Berpidatolah dengan kata-kata yang balus meskipun menyalahlan

pihak lain. Sedapat-dapatnya cara mengeritik atau menentang

pihak lain itu tidak terus terang melainkan dengan cara semu.

d. Apabila pidato agak panjang, perlu diselingi humor, sekedar untuk

membangkitkan gairah, tetapi harus tetap diperhatikan bahwa

humor barus bersifat sopan dan tidak menusuk perasaan.

e. Pada akhir pidato sampaikan maaf bila terdapat kekeliruan,

kekurangan, atau hal yang tidak berkenan di hati. Kemudian juga

sampaikan terima kasih atas perhatian pendengar.

2. Berpidato di Depan Wanita

a. Bila yang hadir sebagian besar wanita atau semuanya wanita

sedang berpidato pria, maka hendaklah lebih hati-hati dalam

mengeluarkan ucapan. Biasanya kaum wanita mudah tersinggung

perasaannya.

b. Jangan sekali-kali mengucapkan kata yang kasar atau kurang

senonoh walaupun dimaksudkan sebagai humor, agar tidak

dinilai tidak ceroboh atau kasar.

c. Sebutan bagi kaum wanita umumnya ibu-ibu atau Saudari.

d. Dalam setiap kesempatan besarkanlah hati-hati kaum wanita

dengan antara lain menunjukkan peranannya yang amat penting

dalam berbagai bidang.

Page 111: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[105]

3. Berpidato di Depan Orang Terkemuka

Pada dasarnya tata krama berpidato di depan orang-orang

terkemuka tidak jauh berbeda dengan hal-hal yang telah diuraikan di

atas, namun karena sifatnya yang berbeda maka perlu diperhatikan

pula hal di bawah ini:

a. Jangan merasa rendah diri tetapi percayalah pada diri sendiri.

Untuk itu lakukanlah persiapan yang lebih sempurna.

b. Sebaiknya jangan sombong jangan merasa lebih tahu akan segala

hal. Ingatlah bahwa manusia tidak mungkin mengetahui semua

hal atau masalah sacara sempurna.

c. Berpidato di hadapan orang terkemuka merupakan kehormatan.

Karena itu, tempatkanlah kehormatan itu pada proporsi yang

sewajarnya.

d. Percayalah pada anggapan bahwa orang-orang yang hadir itu

memang akan mendengarkan dan memperhatikan isi pidato

karena memang mereka merasa perlu untuk mendengarkannya.

e. Perlu disadari sepenuhnya bahwa berpidato di hadapan orang

terkemuka, jangan sekali-kali pidato itu berubah atau bersifat

memberi kuliah atau menggurui. Tetapi kalau memang karena

tugas menuntut demikian, boleh saja.

4. Berpidato di Depan Semua Golongan

a. Berpidato di depan sesama golongan dapat dilaksanakan agak

santai, tetapi juga masih tetap memperhatikan tata krama.

Page 112: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[106]

b. Pembicara dapat lebih bebas dalam menganalisis suatu masalah,

baik yang menyangkut kepentingan golongan maupun

kepentingan pihak luar.

c. Para pendengar biasanya lebih mudah menerima gagasan atau

pendapat yang disampaikan oleh pembicara asal disertai alasan,

bukti, dan contoh yang masuk akal.

5. Berpidato di Depan Pemeluk Suatu Agama

a. Sebagian besar rakyat Indonesia adalah pemeluk agama yang taat,

oleh karena itu rasanya keagamaan para pendengar jangan

sampai tersinggung.

b. Pcmbicara harus hati-hati jangan sampai terlontar ucapan yang

dapat merugikan martabat dan suatu agama. Bahkan sebaiknya

pembicaraan harus berusaha menjunjung tinggi martabat agama

terutama yang dipeluk oleh sebagian besar atau semua yang hadir

sebagai pendengar.

6. Berpidato di Depan Pemuda/Pelajar

a. Pada umumnya pemuda/pelajar memiliki pengetahuan yang luas

dan mempunyai daya banding yang tinggi. Selain itu, para

pemuda/pelajar biasanya mudah bereaksi terhadap sesuatu yang

tidak sesuai dengan pendapatnya atau keinginannya. Karena itu,

berpidato di hadapan pemuda/pelajar barus mengutamakan

penalaran karena mereka sudah biasa berpikir kritis.

b. Pembicara barus berusaha agar tidak menentang atau melawan

kehendak atau pendapat pendengar secara langsung. Lebih baik

pembicara memakai metode, ‘Ya, tetapi, …’

Page 113: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[107]

c. Sesuai dengan sifat muda para pendengarnya, pembicara

hendaknya membimbing dan membesarkan semangatnya, dan

jangan sekali-kali hanya memberondong dengan kritik-kritik saja.

d. Pembicara akan lebih berhasil bila mampu mengambil contoh-

contoh dari dunia remaja, menghubung-bubungkan dengan tokoh

yang menjadi idola remaja, dan juga mampu menyelipkan ragam

bahasa remaja dalam pidatonya.

7. Berpidato di Depan Rakyat Desa

a. Pada umumnya rakyat di pedesasaan masih terikat pada adat

istiadat, tebal rasa kegotong-royongannya, dan rasa

kekeluargaannya. Pembicara yang ingin berhasil harus berusaha

memanfaatkan hal-hal tersebut di atas.

b. Rakyat pedesaan biasanya rela berkorban untuk kepentingan

umum. Pembicara dapat memanfaatkan kesempatan ini dengan

berupaya sebaik-baiknya agar pendengar terpikat dan mau

menerima atau menjalankan kehendak pembicara. Tetapi rakyat

pedesaan yang umumnya masih polos itu jangan dibohongi, sebab

sekali saja mereka merasa tertipu, selamanya tidak akan percaya

lagi. Pembicara jangan memberi janji-janji kosong yang tidak

ditepati.

c. Berpidato di hadapan rakyat pedesaan yang tingkat

pendidikannya belum tinggi barus menggunakan kata-kata yang

sederhana, sehingga mudah dipahami. Bila perlu satu pokok

persoalan yang dianggap sulit dijelaskan berulang-ulang agar

benar-benar dapat dipahami oleh para pendengar.

Page 114: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[108]

8. Posisi Berpidato

a. Dalam berpidato, baik disediakan podium atau tidak, pembicara

harus berdiri. Maksudnya agar pembicara dapat dilihat dengan

mudah oleh para pendengarnya. Pembicara yang tidak dapat

dilihat oleh para pendengar, secara psikologis kurang menarik.

Berpidato dengan duduk menurut tata krama dianggap tidak

sopan.

b. Bila undangan sangat terbatas dan sernuanya duduk di lantai,

pembicara boleh duduk saja, asal tempatnya mudah dilihat.

Page 115: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[109]

DAFTAR PUSTAKA

Arsjad, Maidar G. dan Mukti U.S. 1991. Pembinaan Kemampuan Berbicara

Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga.

Basuki dan Oka. 1990. Retorika: Kiat Bertutur. Malang: A3.

Hendrikus, Dori Wuwur. 1995. Retorika: Terampil Berpidato, Berdiskusi,

Berargumentasi, Bernegosasi. Ende Flores: Kanisisus.

John and Heidi, Richards. 1988. Longman Dictionary of Applied Linguistics.

London: Longman.

Keraf, Gorys. 1981. Diksi dan Gaya Bahasa. Ende Flores: Nusa Indah.

Keraf, Gorys. 1980. Komposisi. Ende Flores: Nusa Indah.

Kridalaksana. Harimurti. 1982. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia.

Leech, Geoffrey. (terjemahan Oka). 1993. The Principlesof Pragmatics.

Jakarta: UI Press.

Niles, Olive S. 1980-1981. International Reading Association; A Dictionary

of Reading And Realated Terms. USA: News By.

Rahmat, Jalaluddin. 1994. Retorika Modern: Pendekatan Praktis. Bandung:

Rosda Karya.

Rousdiy, Lathief. 1973. Retorika Teori dan Praktik. Medan: UMSU.

Seaton and Brian. 1982. A Handbook of English Language Teaching Terms

and Practice. London: Longman.

Page 116: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[110]

Suryountoro, S. 1979. Contoh-contoh Pidato Praktis Populer. Gresik:

Bintang Pelajar.

Syafi’i, M. 1988. Retorika Dalam Menulis. Jakarta: Dikbud.

Tarigan, H.G. 1986. Berbicara Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa.

Bandung: Angkasa.

Wahab, Abdul. 199l. Isu Linguistik: Pengajaran Bahasa dan Sastra.

Surabaya: Airlangga University Press.

Wiyanto, Asul. 1979. Pidato, Ceramah dan Diskusi. Gresik: Bintang Pelajar.

Zain dan Badudu. 1996. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustaka

Sinar Harapan.

Page 117: RETORIKA - Budi Utomo Malang

[111]

BIOGRAFI

SUSANDI, dilahirkan di Aek Kanopan, Sumatera Utara pada 20 Juli 1985.

Di tanah kelahirannya pendidikan dasar, lanjut, dan menengah

ditempuhnya. Dilanjutkan menempuh S1 Pendidikan Bahasa dan Sastra

Indonesia FPBS Universitas Negeri Medan, lalu S2 Pendidikan Bahasa

Indonesia PPS Universitas Negeri Malang.

Selain menjadi dosen di jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra IKIP Budi

Utomo Malang untuk matakuliah Teori Sastra, Apresiasi Sastra, Linguistik

Umum, Fonologi, Morfologi, Membaca, Pragmatik, Jurnalistik,

Perpustakaan Sekolah, Dasar Pemandu Acara, PPBI, Menyimak, Berbicara,

Metode Pembelajaran Bahasa Indonesia, dan Retorika ia juga mengajar

matakuliah Beberapa judul buku yang pernah beliau tulis adalah,

Pengantar Linguistik Umum, Penulisan Karya Ilmiah, dan Retorika. Motto

hidupnya adalah berupaya berbuat yang terbaik bagi diri sendiri, keluarga,

dan lingkungannya.