resusitasi jantung paru pada kegawatan kardiovaskuler

8
RESUSITASI JANTUNG PARU PADA KEGAWATAN KARDIOVASKULER I. Pendahuluan Istilah resusitasi atau reanimasi di dalam kamus-kamus diartikan sebagai menghidupkan kembali atau memberi hidup baru. Dalam arti luas resusitasi merupakan segala bentuk usaha medis, yang dilakukan terhadap mereka yang berada dalam keadaan gawat atau kritis, untuk mencegah kematian. Kematian di dalam klinik diartikan sebagai hilangnya kesadaran dan semua refleks, disertai berhentinya pernafasan dan peredaran darah yang ireversibel. Oleh karena itu resusitasi merupakan segala usaha untuk mengembalikan fungsi sistem pernafasan, peredaran darah dan saraf, yang terhenti atau terganggu sedemikain rupa sehingga fungsinya dapat berhenti sewaktu- waktu, agar kembali menjadi normal seperti semula. Karenanya timbullah istilah “Cardio – Pumonary – Resuscitation” (CPR) yang dalam bahasa Indonesia menjadi Resusitasi Jantung Paru (RJP). (1) Berhasil tidaknya resusitasi jantung paru tergantung pada cepat tindakan dan tepatnya teknik pelaksanaannya. Pada beberapa keadaan, tindakan resusitasi tidak dianjurkan (tidak efektif) antara lain bila henti jantung (arrest) telah berlangung lebih dari 5 menit karena biasanya kerusakan otak permanen telah terjadi, pada keganasan stadium lanjut, gagal jantung refrakter, edema paru refrakter, renjatan yang mendahului “arrest”, kelainan neurologik berat, penyakit ginjal, hati dan paru yang lanjut. (2) Permasalahan yang sering kita hadapi, bagaimana cara menangani kegawatan kardiovaskuler lewat resusitasi jantung paru dengan tindakan dan teknik pelaksanaan yang tepat. Tujuan penulisan ini untuk memberi jawaban pertanyaan di atas secara praktis, sehingga pembaca dapat mengenal dan melakukan resusitasi jantung paru pada kegawatan kardiovaskuler. II. Resusitasi jantung paru pada kegawatan kardiovaskular A. Definisi Resusitasi mengandung arti harfiah “Menghidupkan kembali” tentunya dimaksudkan usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk mencegah suatu episode henti jantung berlanjut menjadi kematian biologis. (3) B. Klasifikasi Resusitasi jantung paru terdiri atas 2 komponen utama yakni, 1. Bantuan hidup dasar / BHD adalah usaha yang dilakukan untuk menjaga jalan nafas (airway) tetap terbuka, menunjang pernafasan dan sirkulasi dan tanpa menggunakan alat-alat bantu. Usaha ini harus dimulai dengan mengenali secara tepat keadaan henti jantung atau henti nafas dan segera memberikan bantuan sirkulasi dan ventilasi. Usaha BHD ini bertujuan dengan cepat mempertahankan pasok oksigen ke otak, jantung dan alat-alat vital lainnya sambil menunggu pengobatan lanjutan. Pengalaman menunjukkan bahwa resusitasi jantung paru akan berhasil terutama pada keadaan “henti jantung” yang disaksikan (witnessed) dimana resusitasi segera dilakukan oleh orang yang berada di sekitar korban. 2. Bantuan hidup lanjut / BHL adalah usaha yang dilakukan setelah dilakukan usaha hidup dasar dengan memberikan obat-obatan yang dapat memperpanjang hidup pasien. (3) 3. Tunjangan Hidup Terus Menerus. C. Etiologi henti jantung dan nafas Beberapa penyebab henti jantung dan nafas adalah,

Upload: fajar-maulana

Post on 04-Jan-2016

50 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Resusitasi Jantung Paru Pada Kegawatan Kardiovaskuler

RESUSITASI JANTUNG PARU PADA KEGAWATAN KARDIOVASKULER

I. Pendahuluan

Istilah resusitasi atau reanimasi di dalam kamus-kamus diartikan sebagai menghidupkan kembali atau memberi hidup baru.

Dalam arti luas resusitasi merupakan segala bentuk usaha medis, yang dilakukan terhadap mereka yang berada dalam

keadaan gawat atau kritis, untuk mencegah kematian. Kematian di dalam klinik diartikan sebagai hilangnya kesadaran dan

semua refleks, disertai berhentinya pernafasan dan peredaran darah yang ireversibel. Oleh karena itu resusitasi merupakan

segala usaha untuk mengembalikan fungsi sistem pernafasan, peredaran darah dan saraf, yang terhenti atau terganggu

sedemikain rupa sehingga fungsinya dapat berhenti sewaktu-waktu, agar kembali menjadi normal seperti semula. Karenanya

timbullah istilah “Cardio – Pumonary – Resuscitation” (CPR) yang dalam bahasa Indonesia menjadi Resusitasi Jantung Paru

(RJP). (1)

Berhasil tidaknya resusitasi jantung paru tergantung pada cepat tindakan dan tepatnya teknik pelaksanaannya. Pada beberapa

keadaan, tindakan resusitasi tidak dianjurkan (tidak efektif) antara lain bila henti jantung (arrest) telah berlangung lebih dari

5 menit karena biasanya kerusakan otak permanen telah terjadi, pada keganasan stadium lanjut, gagal jantung refrakter,

edema paru refrakter, renjatan yang mendahului “arrest”, kelainan neurologik berat, penyakit ginjal, hati dan paru yang

lanjut. (2)

Permasalahan yang sering kita hadapi, bagaimana cara menangani kegawatan kardiovaskuler lewat resusitasi jantung paru

dengan tindakan dan teknik pelaksanaan yang tepat.

Tujuan penulisan ini untuk memberi jawaban pertanyaan di atas secara praktis, sehingga pembaca dapat mengenal dan

melakukan resusitasi jantung paru pada kegawatan kardiovaskuler.

II. Resusitasi jantung paru pada kegawatan kardiovaskular

A. Definisi

Resusitasi mengandung arti harfiah “Menghidupkan kembali” tentunya dimaksudkan usaha-usaha yang dapat dilakukan

untuk mencegah suatu episode henti jantung berlanjut menjadi kematian biologis. (3)

B. Klasifikasi

Resusitasi jantung paru terdiri atas 2 komponen utama yakni,

1. Bantuan hidup dasar / BHD adalah usaha yang dilakukan untuk menjaga jalan nafas (airway) tetap terbuka,

menunjang pernafasan dan sirkulasi dan tanpa menggunakan alat-alat bantu. Usaha ini harus dimulai dengan

mengenali secara tepat keadaan henti jantung atau henti nafas dan segera memberikan bantuan sirkulasi dan

ventilasi. Usaha BHD ini bertujuan dengan cepat mempertahankan pasok oksigen ke otak, jantung dan alat-alat

vital lainnya sambil menunggu pengobatan lanjutan. Pengalaman menunjukkan bahwa resusitasi jantung paru akan

berhasil terutama pada keadaan “henti jantung” yang disaksikan (witnessed) dimana resusitasi segera dilakukan

oleh orang yang berada di sekitar korban.

2. Bantuan hidup lanjut / BHL adalah usaha yang dilakukan setelah dilakukan usaha hidup dasar dengan memberikan

obat-obatan yang dapat memperpanjang hidup pasien. (3)

3. Tunjangan Hidup Terus Menerus.

C. Etiologi henti jantung dan nafas

Beberapa penyebab henti jantung dan nafas adalah,

1. Infark miokard akut, dengan komplikasi fibrilasi ventrikel, cardiac standstill, aritmia lain, renjatan dan edema paru.

2. Emboli paru, karena adanya penyumbatan aliran darah paru.

3. Aneurisma disekans, karena kehilangan darah intravaskular.

4. Hipoksia, asidosis, karena adanya gagal jantung atau kegagalan paru berat, tenggelam, aspirasi, penyumbatan

trakea, pneumothoraks, kelebihan dosis obat, kelainan susunan saraf pusat.

5. Gagal ginjal, karena hiperkalemia

Henti jantung biasanya terjadi beberapa menit setelah henti nafas. Umumnya, walaupun kegagalan pernafasan telah terjadi,

denyut jantung masih dapat berlangsung terus sampai kira-kira 30 menit. Pada henti jantung, dilatasi pupil kadang-kadang

tidak jelas. Dilatasi pupil mulai terjadi 45 detik setelah aliran darah ke otak terhenti dan dilatasi maksimal terjadi dalam

Page 2: Resusitasi Jantung Paru Pada Kegawatan Kardiovaskuler

waktu 1 menit 45 detik. Bila telah terjadi dilatasi pupil maksimal, hal ini menandakan sudah terjadi 50 % kerusakan otak

irreversibel. (1)

D. Diagnosis

1. Tanda-tanda henti jantung

1. Kesadaran hilang (dalam 15 detik setelah henti jantung)

2. Tak teraba denyut arteri besar (femoralis dan karotis pada orang dewasa atau brakialis pada bayi)

3. Henti nafas atau mengap-megap (gasping)

4. Terlihat seperti mati (death like appearance)

5. Warna kulit pucat sampai kelabu

6. Pupil dilatasi (setelah 45 detik). (4)

2. Diagnosis henti jantung sudah dapat ditegakkan bila dijumpai ketidak sadaran dan tak teraba denyut arteri besar

1. Tekanan darah sistolik 50 mmHg mungkin tidak menghasilkan denyut nadi yang dapat diraba.

2. Aktivitas elektrokardiogram (EKG) mungkin terus berlanjut meskipun tidak ada kontraksi mekanis, terutama pada

asfiksia.

3. Gerakan kabel EKG dapat menyerupai irama yang tidak mantap.

4. Bila ragu-ragu, mulai saja RIP. (4)

E. Penatalaksanaan henti jantung dan nafas

Resusitasi jantung paru hanya dilakukan pada penderita yang mengalami henti jantung atau henti nafas dengan hilangnya

kesadaran.oleh karena itu harus selalu dimulai dengan menilai respon penderita, memastikan penderita tidak bernafas dan

tidak ada pulsasi. (3) Pada penatalaksanaan resusitasi jantung paru harus diketahui antara lain, kapan resusitasi dilakukan dan

kapan resusitasi tidak dilakukan.

1. Resusitasi dilakukan pada :

Infark jantung “kecil” yang mengakibatkan “kematian listrik”

Serangan Adams-Stokes

Hipoksia akut

Keracunan dan kelebihan dosis obat-obatan

Sengatan listrik

Refleks vagal

Tenggelam dan kecelakaan-kecelakaan lain yang masih memberi peluang untuk hidup.

2. Resusitasi tidak dilakukan pada :

Kematian normal, seperti yang biasa terjadi pada penyakit akut atau kronik yang berat.

Stadium terminal suatu penyakit yang tak dapat disembuhkan lagi.

Bila hampir dapat dipastikan bahwa fungsi serebral tidak akan pulih, yaitu sesudah ½ – 1 jam terbukti tidak ada

nadi pada normotermia tanpa RJP. (4)

Pada penatalaksanaan resusitasi jantung paru penilaian tahapan BHD sangat penting. Tindakan resusitasi (yaitu posisi,

pembukaan jalan nafas, nafas buatan dan kompresi dada luar) dilakukan kalau memang betul dibutuhkan. Ini ditentukan

penilaian yang tepat, setiap langkah ABC RJP dimulai dengan : penentuan tidak ada respons, tidak ada nafas dan tidak ada

nadi. Langkah-langkah yang dilakukan dalam resusitasi jantung paru adalah sebagai berikut : (4)

A. Bantuan Hidup Dasar

Airway (jalan nafas)

Berhasilnya resusitasi tergantung dari cepatnya pembukaan jalan nafas. Caranya ialah segera menekuk kepala korban ke

belakang sejauh mungkin, posisi terlentang kadang-kadang sudah cukup menolong karena sumbatan anatomis akibat lidah

jatuh ke belakang dapat dihilangkan. Kepala harus dipertahankan dalam posisi ini.

Page 3: Resusitasi Jantung Paru Pada Kegawatan Kardiovaskuler

Bila tindakan ini tidak menolong, maka rahang bawah ditarik ke depan.

Caranya ialah,

Tarik mendibula ke depan dengan ibu jari sambil,

Mendorong kepala ke belakang dan kemudian,

Buka rahang bawah untuk memudahkan bernafas melalui mulut atau hidung.

Penarikan rahang bawah paling baik dilakukan bila penolong berada pada bagian puncak kepala korban. Bila

korban tidak mau bernafas spontan, penolong harus pindah ke samping korban untuk segera melakukan pernafasan

buatan mulut ke mulut atau mulut ke hidung. (5, 6, 7)

Breathing (Pernafasan)

Dalam melakukan pernafasa mulut ke mulut penolong menggunakan satu tangan di belakang leher korban sebagai ganjalan

agar kepala tetap tertarik ke belakang, tangan yang lain menutup hidung korban (dengan ibu jari dan telunjuk) sambil turut

menekan dahi korban ke belakang. Penolong menghirup nafas dalam kemudian meniupkan udara ke dalam mulut korban

dengan kuat. Ekspirasi korban adalah secara pasif, sambil diperhatikan gerakan dada waktu mengecil. Siklus ini diulang satu

kali tiap lima detik selama pernafasan masih belum adekuat.

Pernafasan yang adekuat dinilai tiap kali tiupan oleh penolong, yaitu perhatikan :

gerakan dada waktu membesar dan mengecil

merasakan tahanan waktu meniup dan isi paru korban waktu mengembang

dengan suara dan rasakan udara yang keluar waktu ekspirasi.

Tiupan pertama ialah 4 kali tiupan cepat, penuh, tanpa menunggu paru korban mengecil sampai batas habis. (5)

Circulation (Sirkulasi buatan)

Sering disebut juga dengan Kompresi Jantung Luar (KJL). Henti jantung (cardiac arrest) ialah hentinya jantung dan

peredaran darah secara tiba-tiba, pada seseorang yang tadinya tidak apa-apa; merupakan keadaan darurat yang paling gawat.

Sebab-sebab henti jantung :

Afiksi dan hipoksi

Serangan jantung

Syok listrik

Obat-obatan

Reaksi sensitifitas

Kateterasi jantung

Anestesi. (5)

Untuk mencegah mati biologi (serebral death), pertolongan harus diberikan dalam 3 atau 4 menit setelah hilangnya sirkulasi.

Bila terjadi henti jantung yang tidak terduga, maka langkah-langkah ABC dari tunjangan hidup dasar harus segera dilakukan,

termasuk pernafasan dan sirkulasi buatan.

Henti jantung diketahui dari :

Hilangnya denyut nadi pada arteri besar

Korban tidak sadar

Korban tampak seperti mati

Hilangnya gerakan bernafas atau megap-megap.

Pada henti jantung yang tidak diketahui, penolong pertama-tama membuka jalan nafas dengan menarik kepala ke belakang.

Bila korban tidak bernafas, segera tiup paru korban 3-5 kali lalu raba denyut a. carotis. Perabaan a. carotis lebih dianjurkan

karena : (5)

1. Penolong sudah berada di daerah kepala korban untuk melakukan pernafasan buatan

Page 4: Resusitasi Jantung Paru Pada Kegawatan Kardiovaskuler

2. Daerah leher biasanya terbuka, tidak perlu melepas pakaian korban

3. Arteri karotis adalah sentral dan kadang-kadang masih berdenyut sekalipun daerah perifer lainnya tidak teraba lagi.

Bila teraba kembali denyut nadi, teruskan ventilasi. Bila denyut nadi hilang atau diragukan, maka ini adalah indikasi untuk

memulai sirkulasi buatan dengan kompresi jantung luar. Kompresi jantung luar harus disertai dengan pernafasan buatan. ( 5,

7)

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam melakukan ABC RJP tersebut adalah,

1. RJP jangan berhenti lebih dari 5 detik dengan alasan apapun

2. Tidak perlu memindahkan penderita ke tempat yang lebih baik, kecuali bila ia sudah stabil

3. Jangan menekan prosesus xifoideus pada ujung tulang dada, karena dapat berakibat robeknya hati

4. Diantara tiap kompresi, tangan harus melepas tekanan tetapi melekat pada sternum, jari-jari jangan menekan iga

korban

5. Hindarkan gerakan yang menyentak. Kompresi harus lembut, teratur dan tidak terputus

6. Perhatikan komplikasi yang mungkin karena RJP. (5)

ABC RJP dilakukan pada korban yang mengalami henti jantung dapat memberi kemungkinan beberapa hasil,

1. Korban menjadi sadar kembali

2. Korban dinyatakan mati, ini dapat disebabkan karena pertolongan RJP yang terlambat diberikan atau pertolongan

tak terlambat tetapi tidak betul pelaksanaannya.

3. Korban belum dinyatakan mati dan belum timbul denyut jantung spontan. Dalam hal ini perlu diberi pertolongan

lebih lanjut yaitu bantuan hidup lanjut (BHL). (4)

B. Bantuan Hidup Lanjut

Drugs

Setelah penilaian terhadap hasil bantuan hidup dasar, dapat diteruskan dengan bantuan hidup lanjut (korban dinyatakan

belum mati dan belum timbul denyut jantung spontan), maka bantuan hidup lanjut dapat diberikan berupa obat-obatan. Obat-

obatan tersebut dibagi dalam 2 golongan yaitu,

1. Penting, yaitu :

Adrenalin

Natrium bikarbonat

Sulfat Atropin

Lidokain

2. Berguna, yaitu :

Isoproterenol

Propanolol

Kortikosteroid. (5)

Natrium bikarbonat

Penting untuk melawan metabolik asidosis, diberikan iv dengan dosis awal : 1 mEq/kgBB, baik berupa bolus ataupun dalam

infus setelah selama periode 10 menit. Dapat juga diberikan intrakardial, begitu sirkulasi spontan yang efektif tercapai,

pemberian harus dihentikan karena bisa terjadi metabolik alkalosis, takhiaritmia dan hiperosmolalitas. Bila belum ada

sirkulasi yang efektif maka ulangi lagi pemberian dengan dosis yang sama.

Adrenalin

Mekanisme kerja merangsang reseptor alfa dan beta, dosis yang diberikan 0,5 – 1 mg iv diulang setelh 5 menit sesuai

kebutuhan dan yang perlu diperhatikan dapat meningkatkan pemakaian O2 myocard, takiaritmi, fibrilasi ventrikel.

Lidokain

Page 5: Resusitasi Jantung Paru Pada Kegawatan Kardiovaskuler

Meninggikan ambang fibrilasi dan mempunyai efek antiaritmia dengan cara meningkatkan ambang stimulasi listrik dari

ventrikel selama diastole. Pada dosis terapeutik biasa, tidak ada perubahan bermakna dari kontraktilitas miokard, tekanan

arteri sistemik, atau periode refrakter absolut. Obat ini terutama efektif menekan iritabilitas sehingga mencegah kembalinya

fibrilasi ventrikel setelah defibrilasi yang berhasil, juga efektif mengontrol denyut ventrikel prematur yang mutlti fokal dan

episode takhikardi ventrikel. Dosis 50-100 mg diberikan iv sebagai bolus, pelan-pelan dan bisa diulang bila perlu. Dapat

dilanjutkan dengan infus kontinu 1-3 mg.menit, biasanya tidak lebih dari 4 mg.menit, berupa lidocaine 500 ml dextrose 5 %

larutan (1 mg/ml).

Sulfat Artopin

Mengurangi tonus vagus memudahkan konduksi atrioventrikuler dan mempercepat denyut jantung pada keadaan sinus

bradikardi. Paling berguna dalam mencegah “arrest” pada keadaan sinus bradikardi sekunder karena infark miokard,

terutama bila ada hipotensi. Dosis yang dianjurkan ½ mg, diberikan iv. Sebagai bolus dan diulang dalam interval 5 menit

sampai tercapai denyut nadi > 60 /menit, dosis total tidak boleh melebihi 2 mg kecuali pada blok atrioventrikuler derajat 3

yang membutuhkan dosis lebih besar.

Isoproterenol

Merupakan obat pilihan untuk pengobatan segera (bradikardi hebat karena complete heart block). Ia diberikan dalam infus

dengan jumlah 2 sampai 20 mg/menit (1-10 ml larutan dari 1 mg dalam 500 ml dectrose 5 %), dan diatur untuk meninggikan

denyut jantung sampai kira-kira 60 kali/menit. Juga berguna untuk sinus bradikardi berat yang tidak berhasil diatasi dengan

Atropine.

Propranolol

Suatu beta adrenergic blocker yang efek anti aritmianya terbukti berguna untuk kasus-kasus takhikardi ventrikel yang

berulang atau fibrilasi ventrikel berulang dimana ritme jantung tidak dapat diatasi dengan Lidocaine. Dosis umumnya adalah

1 mg iv, dapat diulang sampai total 3 mg, dengan pengawasan yang ketat.

Kortikosteroid

Sekarang lebih disukai kortikosteroid sintetis (5 mg/kgBB methyl prednisolon sodium succinate atau 1 mg/kgBB

dexamethasone fosfat) untuk pengobatan syok kardiogenik atau shock lung akibat henti jantung. Bila ada kecurigaan edema

otak setelah henti jantung, 60-100 mg methyl prednisolon sodium succinate tiap 6 jam akan menguntungkan. Bila ada

komplikasi paru seperti pneumonia post aspirasi, maka digunakan dexamethason fosfat 4-8 mg tiap 6 jam.

EKG

Diagnosis elektrokardiografis untuk mengetahui adanya fibrilasi ventrikel dan monitoring.

Tindakan defibrilasi untuk mengatasi fibrilasi ventrikel. Elektroda dipasang sebelah kiri putting susu kiri dan di sebelah

kanan sternum atas.

Keputusan untuk mengakhiri resusitasi

Keputusan untuk memulai dan mengakhiri usaha resusitasi adalah masalah medis, tergantung pada pertimbangan penafsiran

status serebral dan kardiovaskuler penderita. Kriteria terbaik adanya sirkulasi serebral dan adekuat adalah reaksi pupil,

tingkat kesadaran, gerakan dan pernafasan spontan dan refleks. Keadaan tidak sadar yang dalam tanpa pernafasan spontan

dan pupil tetap dilatasi 15-30 menit, biasanya menandakan kematian serebral dan usaha-usaha resusitasi selanjutnya

biasanya sia-sia. Kematian jantung sangat memungkinkan terjadi bila tidak ada aktivitas elektrokardiografi ventrikuler secara

berturut-turut selama 10 menit atau lebih sesudah RJP yang tepat termasuk terapi obat.

Page 6: Resusitasi Jantung Paru Pada Kegawatan Kardiovaskuler

III. KESIMPULAN

Resusitasi mengandung arti harfiah “Menghidupkan kembali” tentunya dimaksudkan usaha-usaha yang dapat dilakukan

untuk mencegah suatu episode henti jantung berlanjut menjadi kematian biologis. Resusitasi jantung paru terdiri atas 2

komponen utama yakni : bantuan hidup dasar / BHD dan Bantuan hidup lanjut / BHL Usaha Bantuan Hidup Dasar bertujuan

dengan cepat mempertahankan pasok oksigen ke otak, jantung dan alat-alat vital lainnya sambil menunggu pengobatan

lanjutan. Bantuan hidup lanjut dengan pemberian obat-obatan untuk memperpanjang hidup Resusitasi dilakukan pada :

infark jantung “kecil” yang mengakibatkan “kematian listrik”, serangan Adams-Stokes, Hipoksia akut, keracunan dan

kelebihan dosis obat-obatan, sengatan listrik, refleks vagal, serta kecelakaan lain yang masih memberikan peluang untuk

hidup. Resusitasi tidak dilakukan pada : kematian normal stadium terminal suatu yang tak dapat disembuhkan.

Penanganan dan tindakan cepat pada resusitasi jantung paru khususnya pada kegawatan kardiovaskuler amat penting untuk

menyelematkan hidup, untuk itu perlu pengetahuan RJP yang tepat dan benar dalam pelaksanaannya.

Page 7: Resusitasi Jantung Paru Pada Kegawatan Kardiovaskuler

DAFTAR PUSTAKA

1. Safar P, Resusitasi Jantung Paru Otak, diterbitkan Departemen Kesehatan Republik Indonesia, hal : 4, 1984.

2. Alkatri J, dkk, Resusitasi Jantung Paru, dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Editor Soeparman, Jilid I, ed. Ke-

2, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, hal : 281, 1987.

3. Soerianata S, Resusitasi Jantung Paru, dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Kardiologi, Editor Lyli Ismudiat R, Balai

Penerbit FKUI, Jakarta, hal : 106, 1998.

4. Sunatrio DR, Resusitasi Jantung Paru, Editor Muchtaruddin Mansyur, IDI, Jakarta, hal : 193.