resum aswaja aziz 2010 stitnu pacitan 2010
TRANSCRIPT
BAB IMENELUSURI PEMIKIRAN KEAGAMAAN NAHDLATUL ULAMA’
AHLUSSUNAH WALJAMA’AH
A.Nahdlatul ‘Ulama’ Dan Kontek Islam Indonesia1. Sejarah Penyebaran Islam di Indonesia
Menurut catatan sejarah, kerajaan Perlak yang berdiri tahun 840 M adalah kerajaan Islam
pertama di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara. Tentang fakta itu dapat dipastikan bahwa
masuknya agama Islam terjadi jauh sebelum tahun berdirinya kerajaan itu, karena kerajaan itu
didirikan ketika sebagian besar penduduknya telah cukup lama memeluk agama Islam. Pada abad
IX Dinasti Abbasiyah yang berpusat di Baghdad konon mengirimkan delegasi dakwah yang terdiri
dari orang-orang Arab yang berakidah Ahlussunnah wal Jama’ah, bermazhab Syafi’i dan
bertashawuf mu’tabar ke wilayah Sumatera Utara. Pada tahun 1042, berdiri kerajaan Islam Samudra
Pasai. Menurut Ibnu Bathutah, kerajaan ini, dengan raja pertamanya Al-Malikus Shaleh, menganut
paham Ahlussunnah wal Jama’ah dan memilih mazhab Syafi’i.
Meski tidak ada catatan yang pasti, diperkirakan kalau Islam masuk ke Pulau Jawa pada
akhir abad XIV atau awal abad XV. Ini antara lain dapat dibuktikan dengan tulisan di batu nisan
Maulana Malik Ibrahim tentang tahun wafatnya, yakni tahun 1419 M, setelah runtuhnya kerajaan
Majapahit, yang beragama Hindu. Di awal abad XV, dengan dukungan Walisongo, Raden Fatah
mendirikan Kerajaan Islam Demak. Dalam penyebaran agama Islam, cara berdakwah para wali
yang jumlahnya sembilan orang itu, dirasa sesuai dengan sifat dan pembawaan masyarakat Jawa,
sehingga dalam waktu yang relatif singkat hampir seluruh masyarakat Jawa memeluk agama Islam.
Setelah Demak, berdiri beberapa Kerajaan Islam di Ternate, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan
Nusa Tenggara pada abad XVI, sehingga agama Islam menjadi agama yang dianut mayoritas
penduduk nusantara.
Ada beberapa faktor pendukung bagi cepatnya penyebaran Islam di bumi nusantara.
Pertama, sebagai agama tauhid (tawhîd), Islam menampilkan manusia dalam kedudukan yang
sama (musâwah) dan bebas dari penghambatan sesama makhluk (hurriyyah). Prinsip
tauhid ini merupakan ajaran yang sama sekali baru yang menarik dan membebaskan
manusia dari belenggu lama yang membagi manusia ke dalam kelas-kelas.
Kedua, watak Ahlussunnah wal Jama’ah yang moderat telah membentuk perilaku dan sikap para
penyebar Islam. Seperti diketahui, para wali dan penyebar Islam di nusantara adalah
penganut Ahlussunnah wal Jama’ah yang teguh. Dengan penuh kearifan, dakwah
mereka lakukan secara tadrîj (evolusi) dan sejauh mungkin memperkecil beban yang
bisa dirasakan masyarakat (taqlîl al-takâlif).
Ketiga, Islam dapat menjadi agama rakyat karena disampaikan dengan penuh kedamaian dan
menghormati tradisi dan nilai secara arif berdasarkan prinsip-prinsip:
1) Nilai lama yang secara diametral bertentangan dengan akidah disikapi dengan cara
menolaknya secara argumentatif.
1
2) Nilai lama yang tidak sesuai dengan syari’at diluruskan secara bertahap.
3) Nilai lama yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam dibiarkan terus
keberadaannya dan diberikan nafas Islam.
Perkembangan Islam yang berhaluan Ahlussunnah wal Jama’ah bertambah pesat ketika
generasi penerus Walisongo dan penyebar Islam lainnya mengembangkan strategi dan pendekatan
penyebaran Islam melalui lembaga pesantren. Pesantren tampil dan berperan sebagai pusat
penyebaran dan pendalaman agama Islam secara lebih terarah. Dari pesantren lahir lapisan
masyarakat dengan tingkat kesadaran dan paham agama yang relatif utuh dan lurus.
Pada tahap-tahap awal, lembaga pesantren memang lebih memfokuskan perhatiannya pada upaya
pemantapan tauhid dan pembinaan tashawuf. Pesantren kurang memperhatikan pendalaman
keilmuan Islam. Ini antara lain disebabkan literatur ke-Islaman, karya ulama-ulama terkemuka
masih sangat terbatas.
Pada pertengahan abad XIX kontak langsung antara umat Islam di nusantara dan dunia
Islam lainnya, termasuk umat Islam di negara-negara Arab, mulai terbuka. Sebelumnya karena
kepentingan politik penjajah Belanda, hal itu sulit dilakukan. Kontak dengan dunia Islam itu bukan
saja melalui jama’ah haji ke Tanah Suci, tapi juga melalui sejumlah pemuda nusantara yang belajar
di negara-negara Arab. Banyaknya literatur di pusat studi Islam di Timur Tengah, telah
memungkinkan para pelajar dari Indonesia mencapai tingkat pengetahuan yang lebih luas dan
pandangan yang lebih terbuka.
Di antara para pelajar dari nusantara adalah KH. M. Hasyim Asy’ari, KH. A. Wahab
Hasbullah dan KH. M. Bisri Sansuri. Ketiganya belajar di Makkah saat ide Muhammad Abduh dan
paham Wahabi sedang gencar-gencarnya diperbincangkan dan disebarluaskan. Ide Muhammad
‘Abduh antara lain adalah ajakan terhadap umat Islam agar segera bangkit dari dunianya yang beku
dan melepaskan diri dari keterikatannya dengan pemikiran mazhab yang mengakibatkan kebekuan
itu. Kaum Wahabi menilai praktek-praktek keagamaan umat Islam telah bercampur dengan syirik,
tercampur dengan keyakinan lama yang belum ternetralisasikan, sehingga perlu dibersihkan.
Paham dan gerakan Wahabi, yang dirintis oleh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab, merumuskan dan
menyajikan paham keagamaan dalam bentuk yang sistematis. Ide dasarnya berpangkal pada ajaran-
ajaran Ibnu Taimiyah, yang dalam banyak hal mengikuti garis mazhab Imam Ahmad ibn Hanbal.
Saat ‘Abd al-‘Aziz ibn Sa’ud berhasil merebut kekuasaan di Hijaz (sekarang Arab Saudi), paham
Wahabi dinyatakan sebagai paham negara yang resmi. Hal ini menjadikan paham dan gerakan
Wahabi cepat menyebar. Selain itu, penyebaran paham ini juga dibawa oleh para jama’ah haji dari
berbagai penjuru dunia, di samping oleh para pelajar yang memperdalam ilmu agama di Makkah.
2. Kelahiran Nahdlatul ulama’
Menulis sejarah lahirnya Nahdlatul Ulama tidak cukup hanya melihat niat para pendiri atau
tujuan pendiriannya.Harus dilihat pula aspek konteks globalnya, yakni konteks yang
2
menghubungkan pengalaman mereka (para pendiri itu) saat sebagai santri di pengajian di Mekkah dan ketika kembali ke Tanah Air.
Aspek ini menarik untuk dilihat ketika KH Hasyim Asy'ari dan para kiai pendiri NU belajar di
lingkungan Masjidil Haram.Salah seorang syekh terkenal di sana adalah Syekh Ahmad Zaini
Dahlan (w. 1886).Penulis buku Syarh Ajurumiyyahyangbanyakdiajarkandi pesantren-pesantren ini
adalah kawan akrab Syekh Nawawi Banten dan punya banyak murid dari Nusantara. Ada sekitar
dua puluhan karya tulis yang dihasilkannya.Salah satunya berjudul Khulashatul Kalam fi Bayani
Umara Baladil Haram (editor Muhammad AminTawfiq,edisi Dar Al-Saqi,1993).
Buku ini berkisah tentang sejarah para penguasa di Mekkah dan Madinah sejak era
Abbasiyah hingga 1884. Yang menarik untuk diulas adalah pengalaman penulis dengan sejumlah
penguasa Mekkah (yang dikenal dengan sebutan "syarif") sejak 1840 hingga 1884.Pengalaman ini
menjadi penting untuk melihat konteks bagaimana para ulama dan santri Masjidil Haram bergumul
dengan kekuatankekuatan politik saat itu yang sedang memperebutkan hegemoni di tanah
Arab.Pengalaman ini kemudian membawa dampak yang begitu besar bagi para alumni pengajian
Mekkah setelah kembali ke tanah air mereka masing- masing.
Hal itu termasuk pada diri Kiai Hasyim Asy'ari dan Kiai Wahab Hasbullah yang kemudian
mendirikan NU di Jawa pada 1926. Ada tiga kekuatan yang sedang bertarung saat itu: kesultanan
Turki-Usmaniyah, imperialismeInggrisdanPrancis, dan ekspansi dinasti Saud dengan
kelompokWahabinya. Syekh Ahmad Zaini Dahlan menggambarkan dengan rinci bagaimana
permainan ketiga kekuatan itu di bagian akhir bukunya itu. Cengkeraman politik Turki-Usmani
sangat kuat.Ada belasan ribu pasukan Muhammad Ali Pasha dari Mesir,representasi kekuasaan
Turki-Usmaniyah di sekitar Mekkah. Ada pula rongrongan pasukan Saud-Wahabi dengan dukungan
Inggris-yang sewaktu-waktu bisa menyerang Mekkah seperti yang pernah terjadi pada 1802,namun
sempat dihalau kembali oleh tentara Mesir- Turki di tahun berikutnya.
Lalu,kehadiran Inggris dan Prancis yang ingin mengamankanjalurekonomimerekadi pesisir
timur dan barat Jazirah Arab. Kedua negara imperialis ini berupaya mengurangi pengaruh Turki-
Usmani di sekitar wilayah Syria dan mengamankan jalur transportasi menuju Terusan Suez.
Serangan Inggris ke Kota Jeddah di tepi Laut Merah pada 1857 menunjukkan posisi strategis
kekuatan ekonomi Hijaz saat itu. Untuk menghadapi ketiga kekuatan tersebut, Syarif Mekkah
mendapat dukungan para ulama Hijaz yang kebanyakan bermazhab Syafi'i.Syarif Abdullah (1858-
1877) mengangkat Zaini Dahlan sebagai mufti Mekkah pada 1871.
Jabatan tersebut dipegang hingga tiga syarif berikutnya.Selama itu pula Zaini Dahlan
melihat sendiri bagaimana posisi ulama bukan hanya terlibat dengan urusan pengajian, tapi juga
terlibat aktif dalam pergumulan politik masa itu. Ada dua isu besar yang menjadi perhatian Syekh
Zaini Dahlan waktu itu: kemandirian pengajian Masjidil Haram dan independensi Tanah Hijaz dari
intervensi bangsa luar.
Isu pertama menunjukkan karakter ulama sebagai sosok yang mandiri dan faqih fi
mashalilhi khalq(yang mengurus kepentingan umat), dan bukan sekadar pemberi legitimasi
3
terhadap kekuasaan. Adapun isu kedua menunjukkan kedaulatan ekonomi-politik "lokalitas-kebangsaan" yang mencakup wilayah segitiga emas Hijaz (Jeddah- Mekkah-Madinah).Segitiga emas inilah yang kerap menjadi target kekuatan- kekuatan luar untuk merebutnya. Meski begitu, relasi antara syarif Mekkah dengan para ulama tidak bergerak lurus.Para ulama mendukung politik lokal Mekkah yang ingin merdeka dari kekuasaan Turki, namun tidak setuju dengan justifikasi penguasa tentang perbudakan.
Syarif Mekkah didukung untuk membendung ekspansi Inggris-Perancis, tapi tidak setuju
kala syarif Mekah memberi konsesi apa pun bagi masuknya Inggris ke Jeddah. Mereka juga
bergandengan tangan dengan Syarif untuk menahan laju pergerakan kelompok puritan Ibn Saud-
Wahabi,namun tidak setuju dengan kehidupan hedonistis keluarga syarif. Meski Mekkah pada
akhirnya jatuh ke tangan Ibn Saud-Wahabi pada 1925,tapi Zaini Dahlan memberi pelajaran berarti
bagi kehidupan para ulama dan santri yang belajar di Tanah Haram.Mereka bukan hanya belajar
agama dan urusan-urusan akhirat, tapi juga belajar pemberdayaan politik dan strategi penguatan
ekonomi lokal.
Dua isu ini pula yang kemudian diterjemahkan oleh para ulama dan kiai Nusantara ketika
mendirikan NU di Jawa pada 1926: kemandirian pesantren dan kemerdekaan bangsa Indonesia dari
imperialisme asing.Itu tercermin dari deklarasi pendirian Nahdlatul Ulama sebagaimana yang
ditulis KH Muhammad Dahlan Kebondalem, salah seorang pendiri NU: "Berdirinya NU adalah
untuk menegakkan syariat Islam menurut ajaran Ahlussunnah Waljamaah dan mengajak bangsa ini
untuk cinta kepada tanah airnya." Dan itulah yang ditunjukkan ketika Kiai Wahab Hasbullah pulang
ke Jawa.
Beliau mendirikan Nahdlatuttujjar pada 1918, forum diskusi Tashwirul Afkar, Nahdlatul
Wathan, hingga Nahdlatul Ulama pada 1926.Mereka belajar dan mendalami agama,tapi juga
mengajarkan ikatan kebangsaan. Kiai Hasyim Asy'ari, Kiai Wahab, dan para kiai lainnya semuanya
menunjukkan kemampuan memadukan ajaran Islam tekstual dengan konteks lokalitas, melahirkan
wawasan dan orientasi politik substantif. Cara NU membawa ajaran Islam tidak melalui jalan
formal, lebih-lebih dengan cara membenturkannya dengan realitas secara frontal, tetapi dengan cara
lentur dan akomodatif. Politik kebangsaan seperti itu secara konsisten menjadi garis politik NU
sepanjang perjalanan Indonesia merdeka.
Mulai dari resolusi Jihad pada 1945 hingga ketika menghadapi gerakan- gerakan separatis
berbau agama seperti DI/TII di Jawa Barat, PRRI/Permesta maupun pemberontakan Kahar
Muzakkar di Sulawesi Selatan pada 1950-an hingga 1960-an. Pada semuanya itu, NU berdiri tegas
di pihak republik.Mereka juga selalu siap membela keutuhan NKRI dari intervensi luar. Garis
politik seperti itulah yang memudahkan kalangan NU menerima Pancasila dan NKRI sebagai
bentuk final perjuangan umat Islam, sebagai sesuatu yang harus dibela dan dipertahankan. Itu
semua berkat pelajaran sang guru, Syekh Zaini Dahlan, almaghfurlah.(*)
Nahdlatul Ulama yang lahir 31 Januari 1926 (16 Rajab 1344 H) menyimpan sejarah
kelahiran yang berliku. Selain menghadang arus modernisasi pemikiran yang bertentangan dengan
4
kaum tradisionalis, juga menjadi wadah para ulama dalam memimpin umat menuju terciptanya izzul Islam wal muslimin (kejayaan Islam dan kaum muslimin)
Kongres Al-Islam keempat di Yogyakarta (21-27 Agustus 1925) dan kongres Al-Islam
kelima di Bandung (5 Februari 1926), kedua rapat akbar umat Islam Indonesia ini untuk memilih
utusan untuk menghadiri Kongres Islam se-Dunia di Mekah. Kongres Al-Isalam di Yogyakarta dan
Bandung sangat didominasi oleh kalangan Islam modernis. Bahkan sebelum kongres di Bandung itu
kalangan modernis sudah mengadakan pertemuan terlebih dahulu (8-10 Januari 1926) yang salah
satu keputusannya menetapkan H.O.S. Tjokroaminoto dari Sarekat Islam dan KH Mas Mansur dari
Muhammadiyah sebagai utusan untuk menghadiri kongres di Mekah.
B.Ahlussunah Waljamaah
ASWAJA adalah kependekan dari “Ahlu Sunnah wal Jama’ah”. Dari segi bahasa ahlu berarti“kelurga”, As-Sunnah berarti “cara (jalan) Nabi”, Al- Jama’ah berarti “kelompok yang terorganisir”. Sedangkan secara luas pengertian Aswaja adalah kaum yang mengikuti jalan dan kepercayaan yang dianut oleh Nabi Muhammad Saw serta sahabatnya. Dalam sebuah hadis Nabi, kalimat ini sudah dikenal;
قأيتمىلعالثثوسنيعب»
رتفتس
: اقلرسولاهللاىلصاهللاهيلعوسمل : نعدبعاهللانبرمعو،اقل
ةلم، كيف اهلا انلإ رالو ادحةام أ اهيلع انا ويلمو أيباحصArtinya : Dari Abudullah bin Amr, beliau mengatkan, Nabi telah bersabda : "Akan pecah umatku
menjadi tiga puluh tiga kelompok, semua akan masuk ke neraka, kecuali satu, apa yang Aku berada
di atasnya bersama sahabatku".
Dalam hadis lain, sabahat bertanya kepada Nabi : ”siapa yang selamat?” Nabi menjawab : "ahl al-
Sunnah wa al-Jamâ’ah”.
Di sisi lain, hadis ini redaksinya sangat banyak, sehingga para ulama menetapkan hadis ini
sebagai hadis shahih. Wong NU menjadikan hadis di atas sebagai dasar pengambilan kalimat
”ahlussunnah wal jama’ah”.Jadi, ajaran Aswaja adalah ajaran Allah SWT yang telah diwahyukan
kepada para pengikutnya. Para sahabat sebagai generasi terbaik juga mengamalkan ajaran Aswaja,
yang kemdudian diajarkan kembali kepada generasi berikutnya hingga saat ini.
Beberapa pakar ulama’ berkomentar tentang makna ”Aswaja”, secara umum makna
Ahlussunnah wal Jama’ah adalah pembanding Syi’ah, termasuk Mu’tazilah dan kelompok lainnya,
sedangkan makna khâshsh-nya, wong NU mengatakan bahwa “Aswaja” adalah kelompok
Asy’ariyah (pengikut mazhab Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari). Al-Maturidiyah adalah sebuah
konsep “aqidah” yang selaras dengan al-Asariyah, tidak seperti Mu’tazilah dan Jabariyah. Dalam
urusan fikih, Imam Syafii adalah madzhabnya, mereka juga mengakui Madzhab Imam Abu
Hanifah, Maliki dan Ibnu Hambal.
Pengertian yang diusung oleh Dr. Ahmad ‘Abd Allah At-Thayyar dan Dr. Mubarak
Hasan Husayn dari Universitas Al-Azhar mengatakan bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah adalah
orang-orang yang mendapat petunjuk Allah Swt, dan mengikuti sunnah Rasul, serta mengamalkan
5
ajaran yang terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah secara praktik dan menggunakannya sebagai manhaj (jalan pikiran) dan tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari. Semua kelompok keagamaan juga mengaku pengikut Aswaja, termasuk Arab Saudi. Mereka, orang Saudi (Wahabi), seringkali mengklaim bahwa mereka adalah kelompok yang paling berpegang teguh pada sunnah. Begitu juga, beberapa kelompok, seperti Salafi, Muhammadiyah, Persis, HT (Hizbut Tahrir), serta banyak lagi. Syeh Yusul al-Qodowi mengatakan bahwa yang dimaksud Aswaja adalah ”kelompok yang benar-benar mengikuti sunnah Nabi dan tidak bertengtangan dengan Sunnah”. Adapun keberadaan kelompok-kelompok kegamaan yang berkembang sekarang, perlu dibuktikan sejauhmana mereka berpegang teguh dan mengamalkan sunnah Nabi. Jika kelompok tersebut keluar dari koridor sunnah, maka tidak berhak mengklaim “Aswaja”.
Dalam kontek Wong NU, Aswaja itu meliputi tiga unsur; peratma (akidah), kedua
(Syariah), dan ketiga Akhlaq (al-Ihsan). Ketiga unsur itu, merupakan satu kesatuan ajaran yang
mencakup semua aspek prinsip keagamaan Islam. Wong NU tidak hanya cukup dengan tiga unsur,
urusan suluk (prilaku) tasawwuf berkiblat pada Imam al-Ghozali dan Imam al-Junaidi. Jadi, NU
selalu mengedepankan “Tawassut dan I’tidal”, artinya wong NU tidak mendewakan Akal, dan juga
tidak meniadakan dalil. Keseimbangan dan tengah adalah ciri khas ajaran Aswaja wong NU.
Maksud tawassut (tenggah-tenggah) adalah suatu sikap yang mempertahankan budaya lama yang
masih relevan dan tidak bertentangan dengan syariat, dan menerima budaya baru yang lebih baik.
Jadi Wong NU selalu terbuka, tidak apriori terhadap masalah-masalah tertentu yang sedang
berkembang.
Jadi, wajar jika sering kita temukan sikap NU yang selalu mengambil jarak terhadap persoalan-
pesoalan politik, budaya, dll. Wong NU yang berhalaun Aswaja juga tidak 'galak' (keras) seperti
FPI, HTI, dan juga tidak 'lembek' yang tidak berani menyuarakan kebenaran. Seringkali NU
dianggab kelompok ahli Bid’ah, syirik, khurafat, bahkan tidak sedikit orang mendengar NU
bersikap acuh, bahkan terkesan menghina. Sebaliknya, Wong NU seringkali melihat para pelajar
Timur Tengah dengan sinis ”Mereka Wahabi”, sehingga belum ada titik temunya antara Aswaja NU
vs Aswaja di luar NU. Setelah berkali-kali dicari titi temunya, tenyata memang tidak bisa ketemu
kecuali menjunjung sikap “tasammuh”.
C.Dalil-dalil tentang Penamaan Ahlussunnah Wal Jama'ah (lanjutan)
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa jilid 3 hal.375 ketika
memberikan defenisi tentang Ahlus Sunnah : “Mereka adalah orang-orang yang berpegang teguh
dengan Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah r dan apa-apa yang disepakati oleh orang-orang terdahulu
yang pertama dari kalangan sahabat Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka
dengan baik”.
Berkata Ibnu Hazm dalam Al-Fishal jilid 2 hal. 281 : “Dan Ahlus Sunnah -yang kami
sebutkan- adalah ahlul haq (pengikut kebenaran) dan selain mereka adalah ahlul bid’ah (pengikut
perkara-perkara baru dalam agama), maka mereka (ahlus sunnah) adalah para sahabat -
6
radhiyallahu ‘anhum- dan siapa saja yang menempuh jalan mereka dari orang-orang pilihan di kalangan tabi’in kemudian Ashhabul Hadits dan siapa yang mengikuti mereka dari para ahli fiqh zaman demi zaman sampai hari kita ini dan orang-orang yang mengikuti mereka dari orang awam di Timur maupun di Barat bumi -rahmatullahi ’alaihim- ”.
Dan Ibnul Jauzy berkata dalam Talbis Iblis hal.21 : “Tidak ada keraguan bahwa ahli
riwayat dan hadits yang mengikuti jejak Rasulullah r dan jejak para sahabatnya mereka itulah
Ahlus Sunnah karena mereka di atas jalan yang belum terjadi perkara baru padanya. Perkara baru
dan bid’ah hanyalah terjadi setelah Rasulullah r dan para sahabatnya”.
Berkata Syaikhul Islam dalam Majmu’ Fatawa 3/157 :” Termasuk jalan Ahlus Sunnah
wal Jama’ah adalah mengikuti jejak-jejak Rasulullah r secara zhohir dan batin dan mengikuti jalan
orang-orang terdahulu yang pertama dari para (sahabat) Muhajirin dan Anshar dan mengikuti
wasiat Rasulullah r tatkala berkata : “Berpeganglah kalian pada sunnahku dan sunnah para
khalifah yang mendapat petunjuk dan hidayah setelahku berpeganglah kalian dengannya dan
gigitlah dengan gigi geraham kalian dan berhati-hatilah kalian dari perkara yang baru karena
setiap perkara yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat’.”
Dan beliau berkata dalam Majmu’ Fatawa 3/375 ketika memberikan defenisi tentang
Ahlus Sunnah : “Mereka adalah orang-orang yang berpegang teguh dengan kitab Allah dan
sunnah Rasulullah r dan apa-apa yang disepakati oleh generasi dahulu yang pertama dari kaum
Muhajirin dan Anshar dan yang mengikuti mereka dengan baik”.
Dan di dalam Majmu’ Fatawa 3/346 beliau berkata : “Siapa yang berkata dengan Al-
Qur’an dan As-Sunnah dan Ijma’ maka ia termasuk Ahlus Sunnah Wal Jama’ah“.
Berkata Abu Nashr As-Sijzy : “Ahlus Sunnah adalah mereka yang kokoh di atas keyakinan yang dinukil kepada mereka olah para ulama Salafus Sholeh -mudah-mudahan Allah I merahmati mereka- dari Rasulullah r atau dari para sahabatnya -radhiyallahu ‘anhum- pada apa-apa yang tidak ada nash dari Al-Qur’an dan dari Rasulullah r, karena mereka itu -radhiyallahu‘anhum- para Imam dan kita telah diperintahkan mengikuti jejak-jejak mereka dan sunnah mereka, dan ini sangat jelas sehingga tidak butuh ditegakkannya keterangan tentangnya”
(Lihat : Ar-Raddu ‘Ala Man Ankaral Harf hal.99)
Maka jelaslah dari keterangan-keterangan di atas dari para Imam tentang makna penamaan
Ahlus Sunnah bahwa Ahlus Sunnah adalah orang-orang yang menerapkan Islam secara keseluruhan
sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya berdasarkan pemahaman para ulama salaf dari
kalangan para sahabat, tabi’in dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik .
Rasulullahr menyatakan dalam hadits ‘Irbath bin Sariyah -radhiyallahu ’anhu- :
و◌ ع◌ ظ◌ ن◌ ـم ا◌ و◌ ع◌ ظ◌ ـة◌ و◌ ج◌ ل◌ ـت◌ و◌ س◌ لم◌ ص◌ ال◌ ة◌ اصلب◌ ح◌ مث◌ أ◌ ـق◌ ب◌ ل◌ ع◌ ل◌ يـ◌ ن◌ ف اــو◌ آل◌ ه◌
ص◌ لىل ◌ ن◌ ار ◌ س◌ و◌ ل◌ اهللا◌ ص◌ لىا هللا◌ ع◌ ل◌ ي◌ ه◌
ــي◌ ك◌ م◌ فـ◌ ق◌ ل◌ ن◌ ـي ا◌ ــار ◌ س◌ ــو◌ ل◌ اهللا◌ ك◌ أ◌ ـنه◌ ــم ا◌ و◌ ع◌ ظ◌ ـة◌ م◌ ــو◌ دع◌ ف◌ أ◌ و◌ ص◌ ـن◌ اق ◌ الـ◌ أ◌ و◌ ص◌
نـ◌ ه◌ ـاا ل◌ ع◌ يـ◌ ــو◌ ن◌ نـ◌ ه◌ ـاا ل◌ ق◌ ل◌ ــو◌ ب◌ و◌ ذ◌ ر◌ ف◌ ــت◌ م◌
م◌
◌ ــي◌ ف◌ إ◌ نــه◌ م◌ ــن◌ ي◌ ع◌ ــش◌ م◌ ــن◌ ك◌ م◌ ف◌ س◌ ــيـ◌ ر◌ ىا خ◌ ت◌ ال◌ ف◌ ـات◌ ـأ◌ مر◌ ع◌ ل◌ ــي◌ ك◌ م◌ ع◌ ب◌ ــد◌ ح◌ شب◌
و◌ إ◌ ن◌ و◌ اسلــم◌ ع◌ و◌ اطلاع◌ ــة◌
ب◌ ـت◌ ق◌ ــو◌ ا ىهللا◌ 7
و◌ ي◌ ن◌ ال◌ م◌ ه◌ د◌ يـني◌ ◌ ع◌ ضو◌ اع ◌ ل◌ يـ◌ ه◌ ب ا◌ انلـو◌ اج◌ ذ◌
اخل◌ ◌ ل◌ ف◌ اء◌ ارلاش◌ د◌
يـ◌ ر◌ اف ـ◌ ع◌ ل◌ ي◌ ك◌ م◌ ب◌ س◌ نيت◌ ◌ و◌ س◌ نة◌
ث◌ ات◌ األ◌
إ◌ ياك◌ م◌ و◌ حم◌ ◌ د◌
ك◌ ث◌
ف◌ إ◌ نك◌ لب◌ د◌ ع◌ ة◌ ض◌ ال◌ ل◌ ة◌
م◌ و◌ ر◌
“Rasulullah SAW sholat bersama kami sholat Shubuh, kemudian beliau menghadap kepada kami
kemudian menasehati kami dengan suatu nasehat yang hati bergetar karenanya dan air mata
bercucuran, maka kami berkata : “Yaa Rasulullah seakan-akan ini adalah nasehat perpisahan maka
berwasiatlah kepada kami”. Maka beliau bersabda : “Saya wasiatkan kepada kalian untuk bertaqwa
kepada Allah dan mendengar serta taat walaupun yang menjadi pemimpin atas kalian seorang
budak dari Habasyah (sekarang Ethopia) karena sesungguhnya siapa yang hidup di antara kalian
maka ia akan melihat perselisihan yang sangat banyak maka berpegang teguhlah kalian kepada
sunnahku dan kepada sunnah para Khalifah Ar-Rasyidin yang mendapat petunjuk, gigitlah ia
dengan gigi geraham dan hati-hatilah kalian dengan perkara yang baru, karena setiap perkara yang
b a r u a d a l a h b i d ’ a h . ” . H a d i t s s h o h i h d a r i s e l u r u h j a l a n - j a l a n n y a .
Dan masih banyak lagi dalil yang menunjukkan hal di atas. Wallahu a’lamLihat : Mauqif Ahlis Sunnah Wal Jama’ah 1/36-37, 47-49, Haqiqatul Bid’ah 1/63-66, 268-269 dan Manhaj Ahlus Sunnah 1/19-20,24-27
D.Ruang Lingkup Ahlussunnah wal Jama’ah
Sebagaimana halnya Khawarij, Mu’tazilah, dan Syi’ah, Ahlusunnah wal Jama’ah
merupakan salah satu aliran atau paham teologi yang ikut mewarnai sejarah perkembangan agama
Islam. Ia datang di tengah-tengah dinamika kehidupan umat untuk ikut ambil bagian dalam
memberikan solusi atas berbagai persoalan yang dihadapi, khususnya yang berkenaan dengan
permasalahan ikhtilâfiyyah dalam akidah dan keyakinan.(5
Kalau pada awalnya Ahlussunnah wal Jama’ah muncul sebagai reaksi terhadap Syiah, ia dalam
perkembangannya juga merespon Mu’tazilah. Bahkan kemunculan Ahlussunnah wal Jama’ah
sebagai aliran terjadi di masa Mu’tazilah mencapai kejayaannya.
Sebagaimana diketahui, Mu’tazilah mencapai puncak kejayaannya pada saat Daulah
Abasiyah berada di bawah pemerintahan Khalifah al-Ma’mun, al-Mu’tashim, dan al-Watsiq (813 M
– 847 M). Kejayaan ini diawali dengan dijadikannya Mu’tazilah oleh Khalifah al-Ma’mun sebagai
mazhab resmi yang dianut negara. Agaknya, pada masa itulah usaha penyebaran ajaran-ajaran
Mu’tazilah yang dijalankan oleh 3 ribu pengikut Wasil bin ‘Atha semenjak tahun 718 M mulai
menemukan hasilnya hingga Mu’tazilah memperoleh pengaruh dalam masyarakat Islam
Paham Mu’tazilah mengajarkan bahwa al-Quran tidak bersifat qadîm, tetapi baru (hadîts) dan
diciptakan (makhlûq). Dalam pandangan mereka, meng-qadîm-kan al-Quran berarti meyakini
adanya sesuatu yang qadîm selain Tuhan, dan itu sama saja dengan menduakan Tuhan. Menduakan
Tuhan adalah perbuatan syirik, dan syirik merupakan dosa terbesar yang tidak akan diampuni
Tuhan.
8
Al-Ma’mun sebagai khalifah menetapkan bahwa orang syirik tidak dapat menempati posisi penting dalam pemerintahan. Oleh karenanya, dia kemudian menginstruksikan kepada Gubernurnya untuk menjadikan Mu’tazilah sebagai Paham yang harus dianut oleh para pemuka masyarakat melalui sebuah kebijakan yang dikenal dengan mihnah (inquisition). Kebijakan ini diaplikasikan dengan menerapkan ‘fit and proper test’ yang bersifat subyektif, guna melihat apakah seseorang, yang akan diangkat sebagai pejabat, berpaham Mu’tazilah atau tidak. (6
Ahmad ibn Hanbal telah tampil sebagai orang yang menolak paham Mu’tazilah, dan
mengembalikan ajaran Islam pada apa yang terkandung dalam sunnah sehingga dia kemudian
dikenal sebagai imam Ahlussunnah.(7 Meskipun harus berhadapan dengan tiga penguasa Daulah
Abasiyah secara berturut-turut, Ibn Hanbal tetap mempertahankan keyakinannya, sehingga ia
menjadi orang yang berpengaruh dan mendapat pengikut yang terus bertambah.
Kenyataan ini membuat Khalifah al-Mu’tashim dan al-Watsiq tidak berani menjatuhkan
hukuman mati kepada Ahmad Ibnu Hanbal, karena hal itu dalam pandangan mereka akan sangat
berpotensi bagi timbulnya kekacauan. Di masa kekhalifahan al-Mutawakkil, putra al-Mu’tashim,
pengaruh ibn Hanbal yang berpegang teguh pada sunnah dan tradisi terus menguat, sementara
pengaruh Mu’tazilah menurun di tengah-tengah masyarakat. Pada Puncaknya, al-Mutawakkil
membatalkan aliran Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara (848 M), dan berakhirlah riwayat
mihnah dalam perjalanan sejarah Daulah Abbasiyah.
Dengan dasar kenyataan sejarah itulah Tasy Kubra Zadah menyatakan bahwa aliran
Ahlussunnah wal Jama’ah telah muncul atas keberanian dan usaha Abu al-Hasan al-Asy’ari untuk
membentuk aliran teologi baru yang kemudian dikenal dengan namanya sendiri, setelah menjadi
pengikut aliran Mu’tazilah selama 40 tahun. (8 Dari sinilah term Ahlussunnah wal Jama’ah yang
dibawa oleh Ibn Hanbal menjadi identik dengan Asy’ariyah dan Maturidiyah, mengingat Abu al-
Hasan al-Asy’ari yang menyandarkan teologi barunya pada ajaran yang dibawa oleh Ibn Hanbal,
tidak merumuskan ajaran Ibnu Hanbal secara lebih sistematis.
Dijelaskan bahwa pada saat berdiri di depan publik untuk memproklamirkan teologi
barunya, Abu al-Hasan al-Asy’ari mengatakan bahwa sandaran otoritas pendapat dan keyakinan
yang dianutnya adalah berpegang teguh pada al-Qur’an, sunnah Rasulullah Saw., atsar sahabat,
perkataan tabi’in, pembela hadits, dan terhadap apa yang dikatakan oleh Ahmad ibn Hanbal. Akan
tetapi, meskipun al-Asy'ari mendasarkan teologinya pada Ahmad ibn Hanbal (9, ia dalam bidang
fikih tetap berpegang pada mazhab Syafi'i. (10
Ibn Taimiyah dalam Muwafaqât Shahîh al-Manqûl li al-Sharîh al-Ma’qûl menjelaskan
bahwa ketika keluar dari mazhab Mu’tazilah, al-Asy’ari menempuh cara Ibn Kullab. Dia membela
sunnah dan hadis, serta menyandarkan pendapat-pendapatnya pada Ahmad ibn Hanbal. Semua ini
diungkapkan secara tegas dalam buku-buku karanganya, seperti al-Ibânah, al-Mujâz, dan al-
Maqâlât. Lebih dari itu, al-Asy’ari juga bergaul dengan para pembela sunnah dan para teolog
pengikut mazhab Hanbali, seperti ibn ‘Aqil dan Abu al-Faraj al-Jawzi. Dari merekalah al-Asy’ari
belajar dan mengikuti ajaran-ajaran yang dibawa oleh Ahmad ibn Hanbal.(11
9
Kalau apa yang diajarkan oleh ibnu Hanbal itu berpegang teguh terhadap sunnah dan tradisi, Mu’tazilah tidak mau berpegang teguh kepada sunnah dan tradisi itu. Sikap Mu’tazilah ini bukan karena mereka tidak percaya, tetapi lebih disebabkan oleh keraguan terhadap keaslian sunnah dan tradisi tersebut. Sejalan dengan itu, ajaran-ajaran yang dibawanya juga lebih bersifat rasional dan filosofis, sehingga paham Mu’tazilah tidak bisa diikuti oleh masyarakat awam. Paham Mu’tazilah, karenanya, tetap menjadi paham minoritas, meski ditopang oleh kekuasaan, sementara pada sisi lain, Ahlussunnah wal jama’ah memperoleh respon yang sangat positif dari mayoritas khalayak. Kedua faktor inilah yang sering disebut sebagai awal munculnya istilah Ahlussunnah wal Jama’ah, yaitu, golongan yang berpegang pada sunnah dan merupakan golongan mayoritas, sebagai lawan bagi golongan Mu’tazilah yang bersifat minoritas dan tidak berpegang teguh terhadap sunnah.
Secara substantif, Ahlussunnah wal Jama’ah itu meliputi tiga aspek Islam, yakni aspek
akidah, fikih dan akhlak. Meskipun diskursus para ulama sering hanya membicarakan aspek akidah
dan syari’ah (fiqh), hal itu bukan berarti tidak ada aspek akhlak. Menurut pandangan ini,
pengalaman (practice) dari dua aspek (yang disebut pertama) itu mengandung aspek akhlak atau
tashawuf (tashawwuf).
Seperti disepakati oleh para ulama penulis, aspek yang paling krusial di dalam paham
Ahlussunnah wal Jama’ah adalah aspek akidah. Aspek ini krusial, karena pada saat Mu’tazilah
dijadikan sebagai paham keagamaan resmi pemerintah oleh penguasa Abbasiyah, di mana telah
terjadi kasus mihnah (inquisition) yang cukup menimbulkan keresahan umat Islam. Imam al-
Asy’ari saat itu telah tampil untuk mengoreksi kebijakan pemerintah tadi dan sekaligus mengkonter
teologi Mu’tazilah, yang dalam beberapa hal dianggap bid’ah atau menyimpang. Pemikiran-
pemikiran teologi Islam yang disampaikan Imam al-Asy’ari ternyata diterima secara positif oleh
masyarakat Islam, sehingga kemudian terbentuk kelompok Asy’ariyah (pengikut al-Asy’ari). Cikal
bakal ini akhirnya terinstitusi dalam bentuk mazhab al-Asy’ari.
Aspek kedua dalam paham Ahlussunnah wal Jama’ah adalah syari’ah atau fikih, yakni
paham keagamaan yang berhubungan dengan ibadah dan mu’âmalah. Yang dimaksud dengan
ibadah adalah tuntutan formal yang berhubungan dengan tata cara seorang hamba berhadapan
dengan Tuhan, seperti shalat, zakat, haji, dan sebagainya. Adapun yang dimaksud dengan
mu’âmalah adalah bentuk ibadah yang bersifat sosial, menyangkut hubungan manusia dengan
sesama manusia secara horisontal, misalnya dalam hal jual beli, pidana perdata, sosial politik, dan
sebagainya. Yang pertama disebut habl min Allâh (hubungan manusia dengan Allah), dan yang
kedua disebut habl min al-nâs (hubungan manusia dengan manusia).
Para ulama telah sepakat bahwa aspek syari’ah Ahlussunnah wal Jama’ah ini bersumber dari
empat mazhab besar dalam Islam, yakni Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Menurut mereka,
Ahlussunnah wal Jama’ah bersumber pada empat mazhab besar ini karena paham akidah mereka
sejalan dengan paham akidah mazhab Ahlussunnah wal Jama’ah.
Imam Asy’ari sendiri sebagai pelopor Ahlussunnah wal Jama’ah adalah penganut mazhab
Imam Syafi’i, sementara al-Maturidi adalah penganut mazhab Imam Hanafi di bidang syari’ah atau
10
fikih. Ahlussunnah wal Jama’ah juga bersumber pada Imam Maliki karena ia adalah pelopor pembanding ahl al-ra’y (orang yang “mendewakan” akal) dari kalangan ulama Irak, di mana manhaj berpikirnya adalah taqdîm al-nashsh ala al-‘aql (mendahulukan apa yang tertulis dari Qur’an dari pada akal). Demikian juga mazhab Hanbali dijadikan rujukan karena Imam Hanbali banyak dijelaskan oleh literatur Islam sebagai ulama yang dalam paham akidahnya secara garis besar, terutama dalam masalah-masalah sentral yang menjadi kecenderungan polemik di antara ulama kalam, sejalan dengan paham ketiga ulama pendiri mazhab lainnya.
Aspek ketiga dari paham keagamaan Ahlussunnah wal Jama’ah adalah akhlak atau
tashawuf, yang dalam banyak hal difokuskan kepada wacana akhlak Imam al-Ghazali, Yazid al-
Bustami dan Junaid al-Baghdadi, serta ulama-ulama sufi yang sepaham. Aspek ketiga ini, dalam
diskursus Islam dinilai penting, karena mencerminkan faktor ihsân dalam diri seseorang. Iman
menggambarkan keyakinan, sedangkan Islam menggambarkan syari’ah, dan ihsân menggambarkan
kesempurnaan Iman dan Islam dalam diri seseorang.
Iman itu ibarat akar, Islam ibarat pohon dan ihsân ibarat buah yang dihasilkan oleh sebuah
pohon. Artinya, manusia sempurna adalah manusia yang di samping bermanfaat untuk dirinya,
karena dia sendiri kuat, juga memberi manfaat kepada yang lain (ini sering disebut dengan three
principles of human life). Kalau manusia memiliki keyakinan atau kepercayaan tetapi tidak
menjalankan syari’at fikih, maka hal itu ibarat ada akar tetapi tidak ada pohonnya, artinya tidak ada
gunanya. Tetapi pohon yang berakar dan rindang tidak akan menghasilkan buah jika kurang berarti
atau kurang bermanfaat bagi kehidupan (bukan sama sekali tidak ada manfaatnya), atau dengan kata
lain, kurang sempurna. Jadi, aspek ini juga terkait dengan aspek yang kedua, sehingga
keberadaannya sama pentingnya dengan keberadaan aspek yang pertama dan kedua untuk
membentuk manusia menjadi insân kâmil atau the perfect man.
footnone :5) Akidah dan keyakinan bukanlah obyek permasalahan pertama yang didalamnya terjadi perbedan pandangan di kalangan umat Islam
yang pada akhirnya melahirkan beragama aliran teologi dan ilmu kalam. Sebelumnya sudah sering terjadi perbedaan pandangan di
kalangan umat Islam, mulai dari permasalahan imamah, zakat, riddah, dan lain sebagainya. Bahkan, kematian Nabi dan di mana
harus dimakamkan pun menjadi bahan perdebatan di kalangan sahabat. Lihat ‘Abd al-Qahir ibn Thahir ibn Muhammad al-Baghdadi,
al-Farq Bayn al-Firâq, h. 12 – 20, (Libanon: Dar al-Fikr)
6) Dalam Tarîkh al-Tabariy dijelaskan bahwa mereka yang harus menjalani ujian adalah para hakim (al-Qudldlât), para pemuka
agama dan tokoh masyarakat, ahli fikih (fuqahâ’), dan ahli hadis, termasuk di dalamnya ibn Hanbal.
7) Perdebatan antara Imam Ahmad ibn Hanbal dan Ishaq Ibn Ibrahim (Gubernur Irak) tentang al-Quran dan sifat Tuhan dapat dilihat
dalam Tarîkh al-Tabariy Diceritakan bahwa setidaknya ada 30 orang yang diuji bersama dengan Ibn Hanbal dan dari semua itu,
hanya ibn Hanbal dan Muhammad ibn Nuh saja yang berkeras dan tidak mau merubah keyakinannya.
8) Lihat Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 65, cet. I, Ed. II, (Jakarta: Penerrbit
Universitas Indonesia, 2002). Keluarnya al-Asy’ari dari Mu’tazilah, telah memunculkan penafsiran yang sangat beragam. Hal ini
disebabkan dia tidak pernah menjelaskan alasan yang pasti tentang keputusannya untuk keluar dan membentuk aliran baru tersebut.
Dalam pernyataan terakhir yang disampaikan pasca merenung selama 15 hari untuk memproklamirkan keyakinan barunya, dia
hanya menegaskan bahwa atas petunjuk Allah yang diperolehnya selama mengasingkan diri di dalam rumahnya, dia memutuskan
meninggalkan dan bahkan melemparkan keyakinan lama, sebagaimana melemparkan baju, untuk kemudian menganut keyakinan
baru yang dia tulis dalam buku-bukunya.
9) Lihat, Abu al-Hasan Isma’il al-Asy’ari, Maqâlât al-Islâmiyyîn wa Ikhtilâf al-Mushallîn, dialihbahasakan menjadi, Prinsip-prinsip
Dasar Aliran Theologi Islam (Buku I), oleh Drs. H.A. Nasir Yusuf dan Drs. Karsidi Diningrat, hlm. 46 – 47, (Bandung: Pustaka Setia,
1998)
10) Pemikiran KH. M. Tholhah Hasan dalam Seminar Publikasi PBNU tanggal 30 Desember 2003.
11
11) Abu al-Hasan Isma’il al-Asy’ari, op. cit., hlm. 48
E. Pola Pikir Ahlussunnah wal Jama’ah
Pada dasarnya, tidak ada perbedaan yang prinsipal antara kelompok dan mazhab dalam
Islam. Dalam hal ajaran Islam mereka sama meyakini bahwa al-Qur’an dan sunnah adalah
sumbernya. Para ulama dari berbagai mazhab juga tidak berbeda mengenai pokok-pokok ajaran
Islam, seperti tentang ke-Esaan Tuhan, kewajiban shalat, zakat, dan lain-lain. Tetapi, mereka
memang berbeda dalam hal-hal yang tidak pokok, karena mereka berbeda dalam manhaj
berpikirnya, terutama diakibatkan oleh perbedaan penekanan mereka atas otoritas akal dalam
menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dan teks-teks sunnah Rasul Saw.
Apabila ada di antara kelompok atau mazhab dalam Islam yang bersikap liberal, maka hal
itu karena mereka liberal dalam menggunakan otoritas akal untuk menafsirkan ajaran Islam. Tapi
perlu dicatat bahwa liberal di sini berbeda dengan paham liberal dalam filsafat, karena metodologi
berpikir pada semua aliran dalam Islam tidak ada yang mengesampingkan ‘naql’ (teks Qur’an)
sebagai sumber ajaran dalam Islam.
Masing-masing kelompok dalam pemikiran Islam memiliki manhaj sendiri-sendiri.
Mu’tazilah sering disebut sebagai kelompok liberal dalam Islam, Asy’ariyah disebut kelompok
tradisional dan Maturidiyah disebut kelompok yang bervariasi antara liberal dan tradisional
(wasath-mu’tadil). Keliberalan, kadang-kadang juga disebut rasional, paham Mu’tazilah, baik
dalam konteks kalam atau fikih, berpangkal dari paham bahwa akal sebagai anugerah Tuhan,
memiliki kekuatan untuk mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan Tuhan dan hal-hal yang
dianggap baik atau buruk.
Sementara bagi kelompok tradisonal Asy’ariyah, akal tidak sanggup mengetahui hal itu
kecuali ada petunjuk dari naql atau nashsh, dan bagi kelompok wasath-mu’tadil yang dalam hal ini
diwakili oleh Maturidiyah, akal itu mempunyai kekuatan tetapi juga sekaligus keterbatasan. Apa
yang dinyatakan oleh akal sebagai baik, tentu ia adalah baik dan juga sebaliknya. Tapi, tidak berarti
semua perbuatan manusia sesuai dengan jangkauan akal, karena untuk menentukan baik dan buruk
itu hanya dapat diketahui melalui naql.
Jadi, kalau diringkas paradigma atau manhaj berpikir dalam Islam itu dapat dibagi dalam
tiga kelompok, yaitu kelompok yang memberikan otoritas tinggi kepada akal, kelompok yang
menganggap lemah terhadap akal dan kelompok yang bervariasi di antara dua kelompok yang
pertama tadi. Apabila manhaj ini dihubungkan dengan paham akidah, maka peran akal dan naql itu
berhubungan dengan masalah-masalah Tuhan dan hubungan manusia dengan-Nya; dan apabila
dihubungkan dengan masalah-masalah fikih, maka peran akal dan naql itu berhubungan dengan
perbuatan manusia (mukallaf).
Adapun dalam konteks akhlak atau tashawuf, maka peran akal atau naql berhubungan
dengan paham tentang hubungan spiritual antara manusia dengan Tuhan.
12
Dalam ketiga aspeknya, yakni akidah, fikih dan tashawwuf, Ahlussunnah wal Jama’ah memang memiliki prinsip manhaj berpikir taqdîm al-nashsh ‘ala al-‘aql. Bedanya dengan paham liberal dalam Islam, meskipun sama-sama mengacu kepada nashsh, Ahlussunnah wal Jama’ah tidak terlalu mendalam menggunakan pendekatan ta’wîl (mengalihkan arti harfiah terhadap ayat-ayat mutasyâbihât), yang memberikan ruang agar nashsh sejalan dengan makna yang ditangkap oleh akal. Dalam hal ini, Ahlussunnah wal Jama’ah mendudukkan akal hanya sebagai alat bantu untuk memahami nashsh. Karena itu, penafsiran agama tidak harus sejalan dengan akal, karena akal seringkali juga salah dalam daya tangkapnya.
Ketiga kelompok tersebut sebenarnya bisa diringkas menjadi dua kelompok, karena
kelompok yang ketiga, yakni wasath mu’tadil, dapat digabungkan dalam kelompok yang kedua,
mengingat dalam manhaj berpikirnya sama-sama menempatkan akal sebagai alat bantu memahami
nashsh dan terbatas daya tangkapnya. Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa antara kelompok
tradisional Asy’ariyah dan kelompok moderat Maturidiyah terdapat perbedaan kecil dalam hal akal
tadi. Bagi kelompok tradisional Asy’ariyah, akal hampir sama sekali tidak memiliki daya dan
otoritas, sedangkan bagi kelompok Maturidiyah akal mempunyai daya dan otoritas, meskipun tidak
setinggi seperti yang dikonsepsikan paham liberal. Meskipun akal bagi Maturidiyah sanggup
mengetahui perbuatan yang baik dan buruk bagi manusia (dalam konteks fikih), ia tetap terbatas
dan tidak mutlak, sehingga dalam keadaan tertentu tetap harus tunduk kepada makna nashsh apa
adanya.
Dalam paham liberal ta’wîl digunakan secara ketat, sehingga nashsh harus sejalan dengan
makna yang ditunjukkan oleh akal. Dalam Asy’ariyah, takwil didudukkan dalam otoritas sangat
terbatas, sehingga paham keagamaannya terkesan tradisional, karena penafsiran tidak boleh
melampaui makna yang tersurat dalam nashsh. Sementara Maturidiyah menggunakan metode ta’wîl
secara mendalam tetapi terbatas. Manhaj berpikir seperti ini tidak hanya terjadi di kalangan ulama
Kalam dan fikih, tetapi juga terjadi di kalangan ulama tashawuf.
Karena Ahlussunnah wal Jama’ah selalu mengambil jalan yang moderat, paham tashawuf yang
ekstrim, seperti paham tashawuf yang disebut dengan istilah wahdah al-wujûd (unity of being) tidak
diakui sebagai paham Ahlussunnah wal Jama’ah.
Semua paham yang menggunakan manhaj berpikir seperti itulah yang kemudian disebut
sebagai paham ‘Sunni’. Para penganut manhaj berpikir yang oleh ulama diyakini mendekati
kebenaran itu disebut juga sebagai kelompok purifikasi yang berusaha mengembalikan paham
keagamaan yang dinilai bid’ah kepada paham yang sesuai dengan sunnah. Tetapi, manhaj berpikir
Ahlussunnah wal Jama’ah seperti disepakati oleh jumhûr (mayoritas) ulama itu tidaklah satu, tetapi
variatif. Di antara mereka ada yang sangat terikat oleh makna nashsh apa adanya, dan ada yang
tidak begitu ketat terikat kepada nashsh. Dengan pola ini, maka penganut Sunni pun beragam, yakni
ada yang berpola tradisional, eksklusif dan ada yang modern-eksklusif. Maka, paham ini dapat
menerima budaya pluralisme dan cenderung lebih terbuka untuk meng-cover dan mengakomodasi
semua bentuk perubahan.
13
Secara sederhana bisa disarikan bahwa dalam aspek akidah, manhaj Ahlussunnah wal
Jama’ah itu :
a) Menggunakan metode yang sesuai dengan perkembangan zaman dan menggunakan bahasa
kontemporer dalam upaya membela akidah dalam menghadapi arus yang berusaha untuk
menghancurkan dan mengaburkan ajaran Islam.
b) Berpegang pada sikap tawqîf, tanzîh dan tafwîdh dalam masalah-masalah mutasyâbihât yang ada dalam Qur’an dan Sunnah, seperti ayat:
... ديا وف هللاقأ مهيدي ...
Tangan Allah di atas semua tangan mereka… (QS. al-Fath: 10)
c) Merupakan mazhab jalan tengah (moderat), tidak menafikan sifat Allah dan tidak men-
tasybîh-kan (menyerupakan)-Nya dengan makhluk.
d) Memadukan akal dan nashsh dalam pengertian mendahulukan nashsh sebagai dasar utama,
dan akal sebagai penunjang. Apabila terjadi pertentangan antara akal dan nashsh, maka
didahulukan nashsh, karena akal tidak mampu untuk memahami kehendak nashsh.
Dalam bidang syari’ah, Ahlussunnah wal Jama’ah menetapkan 4 (empat) sumber yang bisa
dijadikan rujukan bagi pemahaman keagamaannya, yaitu: al-Qur’an al-Karim, sunnah Nabi, ijma’
(kesepakatan ulama), dan qiyas (analogi).
Dari keempat sumber yang ada, Al-Qur’an telah dijadikan Ahlussunnah wal Jama’ah
sebagai sumber utama dan pertama.
Ini artinya bahwa :
1) Apabila terdapat masalah-masalah kehidupan yang mereka hadapi, mereka mencari
pemecahannya lebih dahulu dalam al-Qur’an. Apabila masalah tersebut terdapat
pemecahannya dalam al-Qur’an, maka selesailah sudah permasalahan tersebut.
2) Apabila masalah tersebut tidak mereka temukan dalam al-Qur’an, maka Ahlussunnah wal
Jama’ah mencari pemecahannya dalam sunnah Nabi Saw. Apabila hal itu terdapat dalam
sunnah Nabi, maka selesailah sudah masalahnya.
3) Apabila masalah itu tidak ada pemecahannya dalam sunnah Nabi, maka mereka mencari
pemecahannya dalam ijma’ (kesepakatan ulama) para ahl al-hall wa al-‘aqd di kalangan para
ulama yang lebih dahulu. Apabila masalah tersebut terdapat pemecahannya dalam ijma’,
maka Ahlussunnah tidak mencari pemecahannya ke sumber yang lain.
4) Apabila masalah yang dihadapi juga tidak ada pemecahannya dalam ijma’, maka
Ahlussunnah menggunakan akal mereka untuk melakukan ijtihâd dengan mengqiyaskan hal-
hal yang belum diketahui status hukumnya kepada hal-hal yang sudah diketahui status
hukumnya apabila kedua hal tersebut memiliki faktor-faktor persamaan.
14
Sebagai dalil dalam penggunaan empat sumber ini adalah firman Allah Swt. dalam surat al-Nisâ: 59,
يفيشءرف دوهإىلا هللا إفنانت زعمت اهيأيانيذلأ ونماأ وعيطااهللاو أوعيطاارلسولو أويلامكنم رمأل
...ل وارلسو
Firman Allah ‘athî’û Allâh’, taatlah kamu kepada Allah menunjukkan keharusan merujuk kepada
kitab Allah, yaitu al-Qur’an. Firman Allah ‘wa-athî’û al-Rasûl’, (dan taatlah kamu kepada
Rasulullah Saw.), memberikan isyarat untuk menggunakan Sunnah Nabi Saw. Firman Allah ‘wa uli
al-amr minkum’, memberikan isyarat tentang kewajiban menggunakan ijma’ (kesepakatan) umat
yang diwakili oleh para ulama ahl al-hall wa al-‘aqd, dan kalimat ‘Fa-in tanâza’tum fî syai-in fa
ruddûhu ila Allâh’, memberikan isyarat tentang penggunaan qiyas.
Para sahabat dalam kehidupan beragama mereka telah mengikuti jejak Rasulullah, baik
dalam ucapan, perbuatan, petunjuk dan tingkah laku. Demikian pula para tabi’in dan tabi’it tabi’in,
mengikuti para sahabat. Dengan demikian, maka al-Qur’an, kehidupan Rasul Saw., para sahabat
dan tabi’in merupakan sumber keteladanan bagi kehidupan umat Islam Ahlussunnah wal Jama’ah di
dalam melaksanakan berbagai kehidupan beragama, termasuk tashawuf dan akhlak.
Ahli tashawuf Sunni bersepakat (ijma’), bahwa tujuan tashawuf adalah untuk mendapatkan Rida
Allah. Hal tersebut ditempuh dengan jalan memerangi hawa nafsu. Di dalam mengamalkan
tashawuf, Ahlussunnah wal Jama’ah mengikuti cara tashawuf dari tharîqah Syeikh Junayd al-
Baghdadi.
Adapun akhlak menurut Ahlussunnah wal Jama’ah adalah perbuatan manusia yang dilakukan dengan bebas dan penuh kesadaran. Ia terdiri dari perangai mulia, karakter dan agama. Hal itu didasarkan kepada al-Qur’an dan Sunnah. Firman Allah Swt. (QS. al-Qalam: 4,
وإميظع قلخ ىلعل كن
Dan sesungguhnya kamu menyandang akhlak yang mulia. (QS. al-Qalam: 4)
Ibn ‘Abbas mengatakan bahwa akhlak (akhlâq) adalah beragama dengan sempurna. Sedang tafsir
al-Jalâlayn (kitab tafsir yang ditulis oleh Jalal al-Din al-Mahalli dan Jalal al-Din al-Suyuthi)
mengartikan akhlak sebagai karakter dan adat.
Dengan demikian, maka pengertian akhlak adalah adat, karakter, perangai, kehalusan hati
dan istiqamah dalam beragama. Tersebut dalam hadits:
كم(
وراها رتلمذو يااحلإ اناميأ اقلخ مهنسح
منين )
نإنم أ لمكا ؤمل
Mukmin yang sempurna adalah mereka yang karakter dan adatnya baik. (HR. al-Turmudzi dan al-Hakim).
15
G. Prinsip Dasar Ahlussunnah wal Jama'ah NU
Ahlussunnah wal Jama'ah yang dikembangkan oleh NU memiliki prinsip-prinsip dasar yang
menjadi rujukan bagi tingkah laku sosial dan pemahaman keagamaan warga NU.
Prinsip dasar Ahlussunnah wal Jama'ah, yang bersumber kepada al-Qur'an, sunnah, ijma', dan qiyas
ini telah menjadi paradigma sosial-kemasyarakatan warga NU yang terus dikembangkan sesuai
dengan konteks perkembangan masyarakat Islam dan pemikirannya.
Prinsip-prinsip dasar ini meliputi :
Pertama, prinsip Tawassuth, yaitu jalan tengah, tidak ekstrem kanan atau kiri.
Dalam paham Ahlussunnah wal Jama'ah, baik di bidang hukum (syarî'ah) bidang akidah, maupun
bidang akhlak, selalu dikedepankan prinsip tengah-tengah. Juga di bidang kemasyarakatan selalu
menempatkan diri pada prinsip hidup menjunjung tinggi keharusan berlaku adil, lurus di tengah-
tengah kehidupan bersama, sehingga ia menjadi panutan dan menghindari segala bentuk pendekatan
ekstrem.
Sikap moderasi Ahlussunnah wal Jama'ah tercermin pada metode pengambilan hukum
(istinbâth) yang tidak semata-mata menggunakan nash, namun juga memperhatikan posisi akal.
Begitu pula dalam berfikir selalu menjembatani antara wahyu dengan rasio (al-ra'y). Metode
(manhaj) seperti inilah yang diimplementasikan oleh imam mazhab empat serta generasi lapis
berikutnya dalam menelorkan hukum-hukum.
Moderasi adalah menegahi antara dua pikiran yang ekstrem; antara Qadariyah (free-willism)
dan Jabariyah (fatalism), ortodoks salaf dan rasionalisme Mu'tazilah, dan antara sufisme falsafi dan
sufisme salafi.
Penerapan sikap dasar tawassuth dalam usaha pemahaman al-Qur'an dan al-Hadits sebagai
sumber ajaran Islam, dilakukan dalam rangka :
1) Memahami ajaran Islam melalui teks mushhaf al-Qur'an dan kitab al-Hadits sebagai
dokumen tertulis;
2) Memahami ajaran Islam melalui interpretasi para ahli yang harus sepantasnya
diperhitungkan, mulai dari sahabat, tabi'in sampai para imam dan ulama mu'tabar;
3) Mempersilahkan mereka yang memiliki persyaratan cukup untuk mengambil kesimpulan
pendapat sendiri langsung dari al-Qur'an dan al-Hadits.
Kedua, prinsip Tawâzun, yakni menjaga keseimbangan dan keselarasan, sehingga
terpelihara secara seimbang antara kepentingan dunia dan akherat, kepentingan pribadi dan
masyarakat, dan kepentingan masa kini dan masa datang. Pola ini dibangun lebih banyak untuk
persoalan-persoalan yang berdimensi sosial politik. Dalam bahasa lain, melalui pola ini
Ahlussunnah wal Jama'ah ingin menciptakan integritas dan solidaritas sosial umat.
Dalam politik. Ahlussunnah wal Jama'ah tidak selalu membenarkan kelompok garis keras
(ekstrim). Akan tetapi, jika berhadapan dengan penguasa yang lalim, mereka tidak segan-segan
16
mengambil jarak dan mengadakan aliansi. Jadi, suatu saat mereka bisa akomodatif, suatu saat bisa lebih dari itu meskipun masih dalam batas tawâzun.
Ketiga, prinsip Tasâmuh, yaitu bersikap toleran terhadap perbedaan pandangan, terutama
dalam hal-hal yang bersifat furu'iyah, sehingga tidak terjadi perasaan saling terganggu, saling
memusuhi, dan sebaliknya akan tercipta persaudaraan yang islami (ukhuwwah islâmiyyah).
Berbagai pemikiran yang tumbuh dalam masyarakat Muslim mendapatkan pengakuan yang
apresiatif. Keterbukaan yang demikian lebar untuk menerima berbagai pendapat menjadikan
Ahlussunnah wal Jama'ah memiliki kemampuan untuk meredam berbagai konflik internal umat.
Corak ini sangat tampak dalam wacana pemikiran hukum Islam yang paling realistik dan paling
banyak menyentuh aspek relasi sosial.
Dalam diskursus sosial-budaya, Ahlussunnah wal Jama'ah banyak melakukan toleransi
terhadap tradisi-tradisi yang telah berkembang di masyarakat, tanpa melibatkan diri dalam
substansinya, bahkan tetap berusaha untuk mengarahkannya. Formalisme dalam aspek-aspek
kebudayaan dalam pandangan Ahlussunnah wal Jama'ah tidaklah memiliki signifikansi yang kuat.
Karena itu, tidak mengherankan jika dalam tradisi kaum Sunni terkesan hadirnya wajah kultur
Syi'ah atau bahkan Hinduisme.
Sikap toleran Ahlussunnah wal Jama'ah yang demikian telah memberikan makna khusus
dalam hubungannya dengan dimensi kemanusiaan secara lebih luas. Hal ini pula yang membuatnya
menarik banyak kaum muslimin di berbagai wilayah dunia. Pluralistiknya pikiran dan sikap hidup
masyarakat adalah keniscayaan dan ini akan mengantarkannya kepada visi kehidupan dunia yang
rahmat di bawah prinsip ketuhanan.
Keempat, prinsip Amar Ma'ruf Nahi Munkar (menyeru kepada kebaikan dan mencegah
kemungkaran). Dengan prinsip ini, akan timbul kepekaan dan mendorong perbauatan yang baik
dalam kehidupan bersama serta kepekaan menolak dan mencegah semua hal yang dapat
menjerumuskan kehidupan ke lembah kemungkaran.
Jika empat prinsip ini diperhatikan secara seksama, maka dapat dilihat bahwa ciri dan inti ajaran
Ahlussunnah wal Jama'ah adalah pembawa rahmat bagi alam semesta (rahmah li al- 'âlamîn).
H. Aktualisasi Ahlussunnah wal Jama’ah
1. Aktualisasi wawasan Ahlussunnah wal Jama’ahWawasan tentang Ahlussunnah wal Jama’ah secara historis-istilahi adalah pengetahuan
keagamaan Islam yang mencakup aspek akidah, syari’ah atau fikih dan akhlak atau tashawuf. Dalam bidang akidah, wacana mu’tabar-nya adalah rumusan akidah Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi. Rumusan kedua imam ini dikembangkan oleh para pengikutnya yang kemudian populer dengan sebutan Asy’ariyah bagi pengikut al-Asy’ari dan Maturidiyah bagi pengikut al-Maturidi. Tidak sedikit di antara mereka yang menjadi imam besar dalam kelompoknya. Dalam kelompok Asy’ariyah misalnya, dapat dikenal tokoh seperti al-Baqilani dan al-Juwayni, dan dalam kelompok Maturidiyah dapat dikenal tokoh seperti al-Badzawi, yang terkenal dengan istilah
17
Maturidi Bukhara, untuk membedakan dengan imamnya Abu Mansur al-Maturidi yang populer dengan Maturidi Samarkand.
Paham dua imam dan pengikut masing-masing inilah yang kemudian jadi panutan dalam
paham Ahlussunnah wal Jama’ah di bidang akidah. Antara kedua imam sekaligus para pengikut
masing-masing tidak ada perbedaan yang prinsipil dalam Islam.
Rumusan masing-masing, secara garis besar memiliki paradigma yang sama, yakni taqdîm al-
nashsh ‘ala al-‘aql. Dari segi materi, hasil produk ijtihad mereka secara garis besar sama, karena
sama-sama tidak menafikan sifat Tuhan, sama-sama mengakui al-Qur’an qadîm dan sama-sama
mengakui kemutlakan Tuhan. Artinya, mereka juga sama-sama tidak men-jisim-kan Tuhan,
sama-sama mengakui kemutlakan Tuhan dan sama-sama mengakui al-Qur’an bukan
makhluk.
Wawasan seperti ini tidak banyak dipahami, terutama oleh kalangan masyarakat awam,
sehingga paham akidah Ahlussunnah wal Jama’ah yang diketahui biasanya hanya paham akidah
Ahlussunnah wal Jama’ah Asy’ariyah, dan bukan al-Asy’ari, imam mazhab akidah mazhab al-
Asy’ari. Akibatnya, banyak ulama pengikut mazhab al-Asy’ari lebih beruntung daripada al-Asy’ari
sendiri. Dalam konteks tertentu, hal itu dapat menunjukkan kerancuan paham akidah yang
dipelajari. Sifat wajib 20 bagi Tuhan yang sangat populer di kalangan awam, bukanlah paham
akidah al-Asy’ari murni, tetapi produk paham akidah Ahlussunnah wal Jama’ah yang dicampur
aduk antara paham akidah al-Asy’ari dan paham akidah al-Maturidi tentang sifat Tuhan. Al-Asy’ari
hanya mengakui sifat wajib bagi Tuhan ada tiga belas, selebihnya adalah paham akidah yang
dikembangkan oleh al-Maturidi. Kerancuan sistemik seperti ini dapat menimbulkan wawasan yang
obscure, dan akibatnya selalu terjadi kesenjangan antara keyakinan yang dipahami oleh imam atau
mazhab dan penganutnya.
Di pihak lain, paham akidah Abu Mansur al-Maturidi cenderung disembunyikan, karena
sekian puluh tahun pengikut Islam Ahlussunnah wal Jama’ah tidak pernah mentransformasikan
paham akidah ini. Ada satu hal yang sangat mencolok yang membedakan antara al-Asy’ari dan al-
Maturidi, yaitu dalam hal paham tentang kebebasan berkehendak dan kebebasan berbuat manusia.
Paham al-Maturidi, dalam hal ini memang lebih dekat kepada paham akidah Mu’tazilah yang
liberal-rasional. Tetapi bukan karena perbedaan satu hal ini membuat paham al-Maturidi keluar dari
paham Ahlussunnah wal Jama’ah. Bahkan, paham al-Maturidi, tentang kebebasan berkehendak dan
kebebasan berbuat ini komplementer bagi paham Ahlussunnah wal Jama’ah al-Asy’ari tentang
manusia yang fatalis.
Semua itu baru contoh wawasan paham Ahlussunnah wal Jama’ah di bidang akidah. Di
bidang fikih, wawasan serupa juga terjadi, hingga di luar konteks tuntunan praktis keagamaan. Fikih
mazhab Syafi’i sendiri tidak banyak mendapat respon, dan apalagi fikih mazhab selain mazhab
Syafi’i. Budaya ikhtilâf-rahmah kurang berkembang dengan baik karena berkembangnya kebisaaan
‘tidak dialogis’ dalam konteks empat mazhab besar di bidang fikih. Wawasan seperti ini di zaman
seperti sekarang ini, dirasakan tidak positif dan kurang relevan.
18
Di lingkungan ulama NU sendiri, setidaknya dapat dilihat keputusan Bahtsul Masa’il ad-Diniyah salah satu wilayah NU, tentang teori tahqîq telah diterima sebagai salah satu metode pengambilan keputusan hukum Islam. Ini merupakan terobosan pemikiran yang sangat progresif dan responsif untuk menjawab tantangan zaman. Karena itu, meskipun hanya dalam konteks normatif, wawasan seperti ini harus dikembangkan untuk membangun wawasan dan budaya ikhtilâf-rahmah sesuai dengan pesan suci Islam.
Di bidang akhlak atau tashawuf, kerancuan sistemik dalam wawasan memang tidak begitu
transparan, karena paham Ahlussunnah wal Jama’ah di bidang ini hampir tidak menunjukkan
adanya paham tashawuf ekstrim seperti paham wahdah al-wujûd (unity of belonging), sehingga,
dari segi wacana intelektual tidak begitu nampak wacana tashawuf selain tashawuf Sunni. Tapi,
untuk membuka wawasan yang luas tentang mistik dalam Islam ini juga perlu dibudayakan
pemahaman tentang tashawuf dari paham tashawuf non-Sunni, meskipun sebatas dalam konteks
normatif, sehingga umat Islam tidak sering terjebak dalam simbol yang seringkali diakui menjadi
pemahaman inti tashawuf.
Yang Tidak kalah pentingnya adalah pengembangan wawasan tentang substansi Ahlussunnah
wal Jama’ah secara normatif dengan mengacu kepada penggalan redaksi hadits Rasul Saw., ‘… mâ
anâ’ alayhi wa ashhâbî...’. Artinya, di samping secara praktis berpedoman pada paham Ahlussunnah
wal Jama’ah historis-istilah, juga perlu dipahami substansi paham Ahlussunnah wal Jama’ah.
Dengan demikian bisa dipahami bahwa paham Ahlussunnah wal Jama’ah diinstitusikan dalam
bentuk mazhab itu sesunggunya sebuah gerakan manhaj al-fikr yang berorientasi purifikasi untuk
mengembalikan paham keagamaan Islam yang dinilai menyimpang atau bid’ah kepada paham yang
sesuai dengan sunnah. Wawasan seperti ini bermanfaat untuk menghindari fanatisme mazhab
seperti dianjurkan oleh Almarhum Hadlaratus Syeikh KH. M. Hasyim Asy’ari dalam ‘Qânûn
Asâsiy li Jam’iyyah Nahdlah al-‘Ulâmâ’.
Karenanya, apa yang dikembangkan dalam bermazhab Ahlussunnah wal Jama’ah tidak
hanya dalam produk pahamnya, tetapi juga semangat dan jiwa yang tercermin dalam manhaj
berpikirnya. Dengan kata lain, semangat dan jiwa paham Ahlussunnah wal Jama’ah yang
diharapkan tetap memiliki relevansi atau shâlih li kulli zamân wa makân, bisa mengalami
perubahan, sehingga sampai kapan pun tetap up to date dan aktual.
19
2. Aktualisasi materi Ahlussunnah wal Jama’ahAktualisasi materi Ahlussunnah wal Jama’ah adalah menjadikan materi Ahlussunnah wal
Jama’ah secara normatif dapat menjadi referensi aktual bagi kehidupan sehari-hari, sehingga ia juga bisa menyesuaikan diri dengan semua bentuk perubahan dan perkembangan yang diakibatkan oleh modernitas peradaban di segala bidang.
Apa yang dimaksud dengan materi Ahlussunnah wal Jama’ah adalah hasil rumusan (produk
pemikiran) yang telah dibakukan sebagai paham Ahlussunnah wal Jama’ah yang meliputi tiga
aspek; akidah, syari’ah dan akhlak. Materi dari tiga aspek itu banyak yang perlu diaktualkan dalam
kehidupan sehari-hari. Indikator paling nyata dari urgensi aktualisasi ini dapat dilihat dari
urgensinya pemahaman kitab kuning secara kontekstual.
Kontekstualisasi seperti ini telah menjadi keputusan ulama pondok pesantren secara nasional
mengawali pembukaan kegiatan Muktamar Wathani Rabithatul Ma’ahidil Islamiyah (RMI) di
Watucongol Muntilan Jawa Tengah tahun 1989. Dari penjabaran tentang kontekstualisasi ini, dapat
dipahami bahwa dari banyak rumusan yang berupa aqwâl (pendapat/produk paham) paham
Ahlussunnah wal Jama’ah, khususnya di bidang syari’ah atau fikih, ada beberapa aqwâl yang tidak
relevan dikembangkan atau karena tidak mungkin dikontekstualisasikan dengan problem kekinian,
sehingga tidak perlu dipelajari, tetapi sekedar penghargaan atau tabarrukan.
Secara terinci materi-materi itu, meskipun dalam uraian global, akan diuraikan satu persatu dari tiga
aspek paham Ahlussunnah wal Jama’ah yang ada.
a) Materi AkidahMateri akidah dalam paham Ahlussunnah wal Jama’ah yang berkembang dan dipelajari
selama ini, terutama di pondok pesantren untuk tingkat dasar, tidak dapat dikatakan mewakili sepenuhnya akidah paham Ahlussunnah wal Jama’ah. Materi yang dipelajari, selain tidak luas, juga menunjukkan hal yang terlalu dasar dengan pemahaman yang sempit. Akibatnya, studi akidah, umumnya dalam bentuk tauhid, cenderung tidak menarik minat para pelajar untuk memahaminya secara mendalam.
Kekurangan yang sangat dirasakan adalah berkaitan dengan metode mentransformasikan
materi-materi akidah itu yang ternyata tidak didukung oleh teks-teks kitab mu’tabar yang memadai.
Hal itu tentu sangat tidak menguntungkan bagi studi akidah sebagai ilmu ushul yang mebicarakan
dasar-dasar agama. Sebuah pohon akan mudah tumbang apabila tidak memiliki akar yang kuat.
Keyakinan Islam seseorang juga akan rapuh dan mudah terpedaya kalau tidak dilandasi oleh akar
keyakinan akidah yang kuat. Akibatnya, tidak sedikit masyarakat muslim yang menjadi korban
‘isme-isme’ baru yang bertentangan dengan akidah Islam. ‘Isme-isme’ itu dapat berupa paham
materialisme, kapitalisme, sekularisme, hedonisme, dan lain-lain yang dapat menggeser nilai-nilai
akidah, karena kurang berakar dengan kuat dan tidak memiliki dukungan pengetahuan secara baik.
20
Alternatif solusinya antara lain :
a. Mengembangkan pemahaman sistem akidah dari berbagai mazhab dalam Islam secara baik
dengan metode perbandingan, yakni dengan studi Kalam Muqaran.
b. Mengembangkan pemahaman materi-materi akidah Ahlussunnah wal Jama’ah secara
menyeluruh, yakni tidak hanya akidah Asy’ari atau Asy’ariyah saja, tetapi juga Maturidiyah,
dengan keberanian memadukan antara kedua paham akidah ini dan mengambil materi yang
lebih rasional representatif dari kedua paham akidah itu.
c. Kesanggupan membumikan term-term akidah menjadi partisipatif dengan kehidupan nyata.
Misalnya, pemahaman tentang ‘rahmân’ Tuhan, tidak hanya sekedar dihafal sebagai salah
satu sifat Tuhan, tetapi bagaimana sifat Tuhan yang luhur itu dapat menyinari dan
mengejawantah dalam kehidupan orang yang meyakini adanya ‘rahmân’ Tuhan itu. Karena
dalam diri manusia, di samping ada unsur nasût (kemanusiaan) juga ada unsur lahût
(ketuhanan).
d. Ada keberanian merumuskan kembali secara materiil paham akidah Ahlussunnah wal
Jama’ah secara komprehensif dan kontekstual, dan untuk itu, ilmu ushul kalam perlu
dikembangkan.
b) Materi Syari’ah atau FikihSecara normatif, materi syari’ah atau fikih yang ada sangat memadai. Meskipun demikian,
dalam beberapa hal materi tersebut perlu dikontekstualisasikan dengan kehidupan nyata sehari-hari, terutama dalam hal yang berkaitan dengan aspek mu’âmalah (sosial-kemamusiaan). Aspek ibadah atau yang lebih tepat aspek ibadah murni, seperti thahârah (besuci), shalat, zakat, haji, dan lain-lain, secara materi tidak perlu ada aktualisasi. Tetapi aspek lain selain ibadah murni, atau aspek mu’âmalah perlu diaktualisasikan.
Aspek yang dimaksud adalah masalah yang berkaitan dengan masalah sosial-politik,
ekonomi, budaya, pertahananan dan keamanan (hankam), sumber daya manusia (SDM), hak asasi
manusia (HAM), dan pendidikan. Tetapi selain hal-hal itu juga masih ada persoalan berkaitan
dengan aktualisasi materi yang perlu dikemukakan di sini.
Pertama, referensi empat mazhab fikih, yakni Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali, yang
diakui sebagai referensi paham Ahlussunnah wal Jama’ah di bidang syari’ah atau fikih, perlu
mendapat perhatian seimbang, meskipun dalam kehidupan praktis hanya satu mazhab yang
dijadikan pedoman pengamalan. Fikih muqâran ini sama halnya dengan kalam muqâran, dapat
membentuk wawasan budaya ikhtilâf-rahmah secara positif, sehingga memiliki cara pandang yang
responsif terhadap perkembangan modernitas dan pluralitas peradaban dan pergaulan.
Kedua, sumber utama mazhab juga perlu mendapat perhatian seimbang dengan sumber
sekunder yang terdiri dari para pengikut mazhab, karena secara materil, sumber sekunder tentunya
tidak dapat dipisahkan dari sumber utama.
21
Ketiga, ilmu ushul fikih juga perlu mendapat perhatian untuk diaktualisasikan dalam rangka mengembangkan mazhab manhajiy ketika hal itu diperlukan, terutama ketika terjadi kasus-kasus modern yang secara materiil memang belum terjawab oleh fikih Islam klasik.
Keempat, mengembangkan secara nyata materi-materi fikih sosial dan fikih siyâsah dengan
rumusan yang dapat dikontekstualisasikan dengan ke-Indonesiaan (fikih Islam kontemporer ke-
Indonesiaan).
c) Materi Akhlak atau Tashawuf
Wacana yang menonjol dalam paham Ahlussunnah wal Jama’ah di bidang ini terangkum
dalam karya-karya Imam al-Ghazali, seperti Bidâyah al-Hidâyah, Minhaj al-‘Âbidîn dan Ihyâ
‘Ulûm al-dîn, serta karya ulama-ulama lain yang sepaham, dan pada umumnya hampir dapat
dikatakan sebagai ‘catatan kaki’ atas karya-karya al-Ghazali yang menjadi induknya.
Sementara itu, wacana pemikiran Yazid al-Busthami dan al-Baghdadi yang diakui sebagai
paham Ahlussunnah wal Jama’ah di bidang akhlak atau tashawuf hampir tidak pernah terdengar,
kecuali hanya selintas dalam bentuk anekdot atau ilustrasi di sela-sela lembaran kitab tashawuf
karya ulama sufi Sunni yang umumnya sepaham dengan al-Ghazali.
Orientasi studi tashawuf pada umumnya di beberapa pondok pesantren, tidak untuk
mendalami, apalagi mengembangkan, tetapi lebih terfokus kepada sekedar untuk menjadikannya
sebagai pedoman pengalaman, sehingga, seperti tersebut di muka, banyak kalangan awam Sunni,
terjebak pada ‘simbol’ paham tashawuf Sunni dari pada materi substansinya.
Secara materiil, yang membedakan paham tashawuf Sunni dan yang lain hanyalah dalam
tingkatan (maqâmât) atau stasiun menuju al-Haqq. Materi paham tashawuf Sunni tidak
menunjukkan paham yang ekstrim, sehingga produk materi yang dikembangkan tidak melampaui
secara ekstrim petunjuk nashsh agama.
Materi-materi itu perlu diaktualisasikan secara kontekstual, sehingga dapat menjadi perisai
paham-paham sekuler yang merugikan bagi pengembangan sumber daya manusia (SDM) yang
berkualitas, terutama dari segi akhlak. Karena itu, juga perlu ada rumusan secara jelas tentang
tashawuf Sunni yang kontekstual, yang dapat mengembangkan pola dzikir dan pola pikir secara
seimbang. Selain hal itu mengungkapkan misi komunikasi spiritual antara manusia dengan Tuhan
melalui stasiun-stasiun itu, secara sederhana juga mengungkapkan pedoman dan petunjuk praktis
tashawuf Sunni.
22
3. Perspektif Sosial Politik Ahlussunnah wal Jama’ah
Imâmah sebagai implikasi bentuk negara Islam legal-formalistik, tidaklah masuk dalam
pilar-pilar akidah (baca: arkân al-imân). Wacana ini lebih banyak disorot dalam kaca mata fikih
(syari’at), sehingga di kalangan Sunni lahir nuansa fikih kontemporer, fikih siyâsi, Suatu kajian
jurisprudensi Islam tentang kenegaraan atau kepemerintahan yang mengatur pranata sosial
kemasyarakatan.
Visi fiqhiyyah dalam masalah sosial-politik Ahlussunnah wal Jama’ah ini, sudah barang
tentu akan memunculkan banyak polemik (ikhtilâf) di kalangan fuqahâ’, sekaligus membuka
variasi-variasi dalam berpolitik.
Meskipun demikian, menurut Ahlussunnah wal Jama’ah, umat Islam wajib hukumnya untuk
mendirikan suatu ‘negara’. Tipologi masa Rasulullah Saw., berikut Khulafaurrasyidin merupakan
acuan utama dalam berpolitik dan bernegara. Selain itu, bentuk-bentuk monarchi-absolut (dinasti)
yang berkuasa sesudahnya, mulai era Dinasti Umayyah, Dinasti Abbasiyah, hingga Turki Usmani,
juga sosok pemerintahan yang dilegitimasi para ulama Sunni. Begitu pula kehadiran negara-negara
dunia ketiga, di kalangan kaum muslimin, meski telah direnovasi dalam bentuk republik atau
demokrasi.
Realitas ini, paling tidak, mendorong polemik yang berkepanjangan, yakni haruskah umat
Islam membangun suatu pemerintahan dalam bentuk ‘khilâfah’, atau ‘negara Islam’. Persoalan
semacam ini telah direspon dengan antusias, sehingga ada sebagian yang mengiyakan, namun ada
pula yang menolaknya. Adalah menjadi tanggung jawab ulama Sunni untuk mencari solusi
problema tersebut.
Alternatif untuk membawa bendera Islam dalam diskursus kenegaraan secara formal
memang suatu interpretasi luhur dalam mengaplikasikan ajaran formal Islam. Namun, gagasan
seperti ini –untuk saat ini—jelas tidak realistis, tidak relevan dengan kondisi kaum Sunni saat ini.
Bisa dilihat, mana dari sekian banyak negara umat Islam yang mampu menampakkan bendera Islam
sebagai suatu institusi negara. Jelas, tidak satu pun yang representatif untuk alternatif ini.
Konsekuensinya, suatu ide yang tidak realistis, hanyalah ide/ijtihad ‘ngambang’ atau imajiner saja.
Lebih dari itu, alternatif penafian terhadap konsepsi kenegaraan atau politik dalam Islam
berarti suatu upaya untuk pembentukan sistem sekuler yang memisahkan urusan kenegaraan di luar
batas-batas agama. Jika dilihat melalui târîkh (sejarah) umat Islam, seperti mendapat justifikasi.
Misalnya, selain tidak adanya validitas dalil yang signifikan terhadap penempatan Islam sebagai
simbol formal negara, pada era Dinasti Umayyah –kecuali pada masa ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz—
upaya pemisahan ulama-umara nampak jelas. Sampai waktu itu, tidak sedikit di antara para
penguasa yang memiliki tabiat seperti ‘raja’. Tidak salah juga jika dikatakan bahwa pemerintahan
saat itu lebih mewakili bentuk pemerintahan yang monarchi-absolut, apalagi, performa ‘dinasti’
seperti ini tetap menjadi mode (trend) para penguasa muslim hingga awal abad XX, yang saat ini
masih diwarisi di sebagian kawasan, seperti Saudi Arabia, Kuwait, Yordania, Brunei Darussalam,
dan sebagainya.23
Dari dua kutub tersebut, sesuai dengan paradigma Ahlussunnah wal Jama’ah yang bersifat tawassuth, tawâzun, ta’âdul dan tasâmuh, tentu dipilih jalan tengah yang moderat.
Harus diakui, bahwa pada masa Rasulullah Saw. dan sahabat, sistem khilâfah pernah
nampak di permukaan. Namun, sistem tersebut bukanlah satu-satunya dalam Islam. Sepanjang nilai-
nilai Islam ditegakkan, baik itu dalam negara monarchi, republik/demokrasi, atau pun lainnya,
itulah negara Islami. Dengan kata lain, Islam sebagai institusi negara, sebenarnya tidak ada dalam
Sunni. Manhaj seperti inilah yang dikembangkan oleh para ulama Sunni, termasuk Walisongo, dan
para ulama pendiri Republik Indonesia.
Pertanyaannya kemudian, nilai-nilai Islam yang mana yang bisa dijadikan dasar bagi
penegakan suatu negara. Konsep Islam al-‘adâlah, al-hurriyyah, al-musâwah serta al-syûrâ bisa
dijadikan prinsip-prinsip dasar dalam penegakan suatu negara. Negara yang menerapkan prinsip-
prinsip tersebut bisa dianggap sebagai negara yang Islami. Sebaliknya, meski memakai term ‘negara
Islam’, tetapi jika nilai-nilai Islam tersebut diinjak-injak, maka negara tersebut tidak Islami.
Al-‘adâlah merupakan prinsip penegakan keadilan, dengan memberikan justifikasi atas
kebenaran dan menyalahkan terhadap pihak yang bersalah. Dalam al-Qur’an, Allah Swt. berfirman
dalam term ‘adl sebanyak 28 kali. Hal ini sekaligus menjadi indikasi yang cukup kuat akan urgensi
penegakan keadilan. Fenomena ini dikuatkan pula dengan perhatian Nabi Saw. terhadap seorang
imam (pemimpin) yang adil. Bahkan, istilah ‘al-adl’ itu sendiri termasuk rentetan 99 al-Asmâ’ al-
Husnâ Allah.
Sedangkan prinsip al-hurriyyah (kemerdekaan, kebebasan) dimaksudkan sebagai suatu
jaminan atas kebebasan umat (rakyat) dalam mengekspresikan kreativitas dan hak-hak mereka,
sepanjang masih sesuai dengan perundang-undangan atau syari’at yang telah ditetapkan. Elaborasi
prinsip ini terefleksi dalam al-ushûl al-khamsah.
Prinsip ketiga, al-musâwah (kesetaraan), adalah upaya penghapusan diskriminasi dengan
menempatkan manusia pada posisi atau derajat yang sama. Prinsip ini menuntut perlakuan yang
sama bagi semua rakyat (manusia) di depan undang-undang. Atribut-atribut yang menempel,
seperti jabatan, kekayaan, kekerabatan, rasial, kesukuan, agama secara formal, dan sebagainya,
haruslah disingkirkan jauh-jauh. Apa yang harus dijadikan acuan dalam melangkah adalah
komitmen terhadap al-haqq (the truth), sekalipun harus berhadapan dengan kelompok mayoritas.
Adapun al-syûrâ (musyawarah), diproyeksikan sebagai manifestasi kedaulatan rakyat melalui
permusyawaratan bersama, berdasar suara hati nurani mereka. Konsekuensi dari al-syûrâ adalah
adanya pertanggungjawaban atas semua tindakan para penguasa, dengan menjunjung tinggi hasil
permusyawaratan.
4. Perspektif Hak Asasi Manusia Ahlussunnah wal Jama’ah
Misi Islam adalah rahmah li al ‘âlamîn, pengayom atau pembawa rahmat bagi alam semesta.
Tidak ada satu makhlukpun di muka bumi ini yang tidak dijamin eksistensinya oleh Allah Swt.,
karena mereka semua, termasuk binatang atau tumbuhan, senantiasa mendapatkan belaian kasih
sayang-Nya.24
Menurut salah satu hadits Nabi Muhammad Saw., seseorang bisa masuk neraka hanya karena menyiksa seekor kucing, sebaliknya, ia bisa masuk sorga hanya karena karena memberi minum seekor anjing yang kehausan.
Elaborasi misi di atas, menurut para juris Islam, berlandas pada al-ushûl al-khamsah (lima prinsip
pokok), senantiasa menjadi pijakan dalam menggali hukum. Kelima prinsip tersebut, hifzh al-dîn,
hifzh al-nafs, hifzh al-‘aql, hifzh al-mâl, hifzh al-‘irdl wa al-nasl.
A. Hifzh al-dîn berarti memberikan jaminan penuh atas identitas suatu kelompok (agama) yag
bersifat lintas etnik.
B. Hifzh al-‘aql, adalah suatu jaminan atas kebebasan berekspresi, kebebasan mimbar,
kebebasan mengeluarkan opini, kebebasan untuk riset serta berbagai macam aktivitas
ilmiah.
C. Hifzh al-nafs, memberikan perlindungan setiap jiwa (nyawa) manusia untuk tetap tumbuh
dan berkembang secara layak, terbebas dari penganiayaan dan tindakan lalim.
D. Hifzh al-mâl, dimaksudkan sebagai suatu jaminan atas pemilikan harta benda, property.
E. Hifzh al-‘irdl wa al-nasl, merupakan pemenuhan atas kehidupan privasi setiap individu,
perlindungan atas profesi (pekerjaan), jaminan terhadap masa depan anak cucu, serta
generasi penerus yang lebih baik dan berkualitas.
25
BAB II
KHITTAH NAHDLATU ULAMA DAN CITA – CITA PEMBENTUKAN KHAIRA UMMAH
A. KITHOH NAHDLATUL ULAM
Nahdlatul Ulama adl organisasi sosial keagamaan {jam’iyah diniyah islamiah} yg berhaluan
Ahli Sunnah wal-Jamaah . Organisasi ini didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 oleh K.H. Hasyim
Asy’ari beserta para tokoh ulama tradisional dan usahawan di Jawa Timur. Sejak awal K.H. Hasyim
Asy’ari duduk sebagai pimpinan dan tokoh agama terkemuka di dalam NU. Tetapi tidak diragukan
bahwa penggerak di balik berdirinya organisasi NU adl Kiai Wahab Chasbullah putra Kiai
Chasbullah dari Tambakberas Jombang.
Pada tahun 1924 Kiai Wahab Chasbullah mendesak gurunya K.H. Hasyim Asy’ari agar
mendirikan sebuah organisasi yg mewakili kepentingan-kepentingan dunia pesantren. Namun ketika
itu pendiri pondok pesantren Tebu Ireng ini K.H. Hasyim Asy’ari tidak menyetujuinya. Beliau
menilai bahwa utk mendirikan organisasi semacam itu belum diperlukan. Baru setelah adanya
peristiwa penyerbuan Ibn Sa’ud atas Mekah beliau berubah pikiran dan menyetujui perlunya
dibentuk sebuah organisasi baru. Semangat utk merdeka dari penjajahan Belanda pada waktu itu
dan sebagai reaksi defensif maraknya gerakan kaum modernis {Muhammadiyah dan kelompok
modernis moderat yg aktif dalam kegiatan politik Sarekat Islam} di kalangan umat Islam yg
mengancam kelangsungan tradisi ritual keagamaan khas umat islam tradisional adl yg
melatarbelakangi berdirinya NU. Rapat pembentukan NU diadakan di kediaman Kiai Wahab dan
dipimpin oleh Kiai Hasyim. September 1926 diadakanlah muktamar NU yg untuk pertama kalinya
yg diikuti oleh beberapa tokoh.
Muktamar kedua 1927 dihadiri oleh 36 cabang. Kaum muslim reformis dan modernis
berlawanan dgn praktik keagamaan kaum tradisional yg kental dgn budaya lokal. Kaum puritan yg
lbh ketat di antara mereka mengerahkan segala daya dan upaya utk memberantas praktik ibadah
yang dicampur dgn kebudayaan lokal atau yg lbh dikenal dgn praktik ibadah yg bid’ah. Kaum
reformis mempertanyakan relevansinya bertaklid kepada kitab-kitab fiqh klasik salah satu mazhab.
Kaum reformis menolak taklid dan menganjurkan kembali kepada sumber yg aslinya yaitu Alquran
dan hadis yaitu dengan ijtihad para ulama yg memenuhi syarat dan sesuai dgn perkembangan
zaman. Kaum reformis juga menolak konsep-konsep akidah dan tasawuf tradisional yg dalam
formatnya dipengaruhi oleh filsafat Yunani pemikiran agama dan kepercayaan lainnya. Bagi banyak
kalangan ulama tradisional kritikan dan serangan dari kaum reformis itu tampaknya dipandang
sebagai serangan terhadap inti ajaran Islam. Pembelaan kalangan ulama tradisional terhadap tradisi-
tradisi menjadi semakin ketat sebagai sebuah ciri kepribadian. Mazhab Imam Syafii merupakan inti
dari tradisionalisme ini . Ulama tradisional memilih salah satu mazhab dan mewajibkan kepada
pengikutnya krn di zaman sekarang ini tidak ada orang yg mampu menerjemahkan dan menafsirkan
ajaran-ajaran yg terkandung di dalam Alquran dan sunah secara menyeluruh.
26
Di sisi lain berdirinya NU dapat dikatakan sebagai ujung perjalanan dari perkembangan gagasan-gagasan yg muncul di kalangan ulama di perempat abad ke-20. Berdirinya NU diawali dgn lahirnya Nahdlatul Tujjar yg muncul sebagai lambing gerakan ekonomi pedesaan disusul dgn munculnya Taswirul Afkar sebagai gerakan keilmuan dan kebudayaan dan Nahdlatul Wathon sebagai gerakan politik dalam bentuk pendidikan. Dengan demikian bangunan NU didukung oleh tiga pilar utama yg bertumpu pada kesadaran keagamaan. Tiga pilar pilar tersebut adl wawasan ekonomi kerakyatan; wawasan keilmuan dan sosial budaya; dan wawasan kebangsaan.
NU menarik massa dgn sangat cepat bertambah banyak. Kedekatan antara kiai panutan umat
dgn masyarakatnya dan tetap memelihara tradisi di dalam masyarakat inilah yg membuat organisasi
ini berkembang sangat cepat lbh cepat daripada organisasi-organisasi keagamaan yg ada di
Indonesia. Setiap kiai membawa pengikutnya masing-masing yg terdiri dari keluarga-keluarga para
santrinya dan penduduk desa yg biasa didatangi utk berbagai kegiatan keagamaan. Dan para santri
yg telah kembali pulang ke desanya setelah belajar agama di pondok pesantren juga memiliki andil
besar dalam perkembangan organisasi ini atau paling tidak memiliki andil di dalam penyebaran
dakwah Islam dgn pemahaman khas NU.
Pada tahun 1938 organisasi ini sudah mencapai 99 cabang di berbagai daerah. Pada tahun
1930-an anggota Nu sudah mencapai ke wilayah Kalimantan Selatan Sulawesi Selatan dan Sumatra
Selatan. Kini organisasi NU menjadi organisasi terbesar di Indonesia yg tersebar di seluruh Provinsi
bahkan sekarang telah berdiri cabang-cabang NU di negara-negara lain. Hubungan dgn kaum
pembaru yg sangat tegang pada tahun-tahun awal berdirinya NU secara bertahap diperbaiki.
Sekitar tahun 1930-an berkali-kali terlihat tanda-tanda kemauan baik dari kedua belah pihak.
Pada muktamar ke-11 di Banjarmasin Kiai Hasyim Asy’ari mengajak umat Islam Indonesia agar
menahan diri dari saling melontarkan kritik sektarian dan mengingatkan bahwa satu-satunya
perbedaan yg sebenarnya hanyalah antara mereka yg beriman dan yg kafir.
Apa yg dikatakan oleh Kiai Hasyim Asy’ari adl tepat dan hal itu setidaknya dapat
menumbuhkan rasa persatuan di kalangan umat Islam. Karena perbedaan di antara umat Islam itu
sudah pasti terjadi. Yang penting perbedaan itu tidaklah menyangkut hal-hal yg mendasar .
Meskipun ajakan ini ditujukan bagi kalangan sendiri tetapi mendapat respon yg positif dari
kalangan pembaru.
Sehingga hubungan antara kedua belah pihak semakin lama semakin baik. Akan tetapi
dalam beberapa kasus tetap saja terjadi bahkan hingga era reformasi sekarang ini. Ketegangan yg
cukup besar terlihat menjelang jatuhnya pemerintahan Abdul Rahman Wahid tahun 2001. Warga
NU yg mendukung Gus Dur bersitegang dgn warga Muhammadiyah yg mendukung Amin Rais.
Kejadian ini sempat membuat beberapa masjid Muhammadiyah diserang oleh pendukung fanatik
Gus Dur di kantong-kantong NU. Yang lbh unik lagi adl bahwa perbedaan yg selama ini terjadi
telah mengakibatkan tempat ibadah keduanya tidak bisa bersatu. Kristalisasi nilai-nilai ini
menjadikan masjid NU berbeda dgn masjid Muhammadiyah.
27
Perbedaan yg dimaksud dalam arti bahwa masjid NU tidak ditempati atau digunakan oleh warga Muhammadiyah dan sebaliknya. Jika di suatu masjid terlihat tidak ada zikiran yg panjang dan seru serta tidak ada kunut orang NU akan mengatakan bahwa itu masjid Muhammadiyah. Nampaknya kelompok reformis itu terwakili oleh organisasi Muhammadiyah. Padahal kelompok pembaru sesungguhnya tidak hanya dari kalangan Muhammadiyah masih banyak dari organisasi lain seperti Persatuan Islam Al-Irsyad dan lain-lain sejenisnya mereka termasuk dalam kelompok pembaru. Namun warga NU pada umumnya lbh mengenal Muhammadiyah. Karena organisasi tersebut memang yg lbh besar dan terbesar kedua setelah NU. Dalam perjalanannya NU pernah melibatkan diri dalam politik praktis yaitu menjadi partai politik sejak tahun 1954 . Ini sebuah kesalahan besar bagi NU. Keberadaanya di kancah perpolitikan tidak membuatnya semakin maju justru menjadi semacam komoditas politik murahan bagi kalangan politikus.
Dengan pengalamannya yg pahit ini di masa Orde Baru NU memutuskan kembali menjadi
organisasi sosial keagamaan dgn semangat kembali ke Khittah 26 . Sejak kembalinya orientasi NU
kepada Khittah NU pada muktamar ke-27 di Situbondo Jawa Timur tahun 1984 NU berhasil
melaksanakan mabadi khaira ummah melalui pendekatan sosial budaya bukan pendekatan
kekuasaan-politik dgn diperhatikannya NU sebagai jam’iyyah. Keberhasilan mempertahankan NU
sebagai jam’iyyah telah memberi andil besar kepapa perkembangan pluralisme politik di kalangan
NU khususnya dan di masyarakat Indonesia pada umumnya yg berarti telah menyumbang kepada
praktik dasar-dasar kehidupan demokratis. Keberhasilan ini telah membangun citra NU sebagai
organisasi yg cukup independent dalam menghadapi gempuran-gempuran politik dari penguasa
sebagai perekat bangsa dan pengayom kelompok minoritas.
Di masa reformasi ketika kran kebebasan mendirikan organisasi politik terbuka muncul
desakan dari warga NU sendiri utk kembali menjadi parpol. Tetapi belajar dari pengalaman masa
lalu NU berketetapan utk mempertahankan diri sebagai organisasi sosial keagamaan konsisten dgn
Khittah 1926. Masyarakat Pendukung NU Masyarakat pendukung NU sangat beragam. Di satu
pihak ada kelompok ulama intelektual birokrasi politisi professional seniman dan budayawan.
Tokoh-tokoh elite merupakan tokoh-tokoh masyarakat yg sering menjadi panutan bagi
masyarakat baik di desa maupun di perkotaan. Nasihat-nasihat dan saran-saran biasanya
didengarkan oleh masyarakat secara umum. Kelompok inilah yang banyak memegang tampuk
kepemimpinan NU di berbagai tingkatan. Selain itu yg termasuk pendukung NU bahkan pendukung
terbesar adl petani buruh nelayan pengusaha kecil yg biasanya digolongkan sebagai kelompok
masyarakat akar rumput yg sebagian besar di daerah pedesaan. Ciri Khas NU Ciri khas NU yg
membuatnya berbeda dgn organisasi sejenis lainnya adl ajaran keagamaan NU tidak membunuh
tradisi masyarakat bahkan tetap memeliharanya yg dalam bentuknya yg sekarang merupakan
asimilasi antara ajaran Islam dan budaya setempat.
28
B. GERAKAN MENUJU PERUMUSAN KHITTAH NU
Keterlibatan NU dalam politik praktis telah menyebabkan terbengkalainya bidang-bidang
lain yang harus digarapnya. Hampir semua tokoh NU, terutama generasi mudanya lebih
memperhatikan apa yang terjadi dalam dunia politik, sehingga political mindedness mewarnai
watak dan tingkah laku mereka. Semua orang bicara dan mempersiapkan diri untuk berjuang lewat
politik NU.
Situasi ini, secara tepat digambarkan oleh seorang tokoh NU sebagai berikut :
“Ada sebuah keluarga yang mempunyai toko di sebelah rumahnya. Keluarga itu juga punya kebun,
ternak, dan lainnya. Alhasil, ia mempunyai banyak usaha. Ketika lagi trend usaha transportasi,
keluarga tersebut juga membuka usaha transportasi. Maka ia membuat garasi besar tempat
menyimpan mobil-mobil yang dijadikan usaha transportasinya. Dalam perkembangannya, usaha
baru ini mengalami kesuksesan luar biasa, mengalahkan usaha-usaha lain yang dimilikinya.
Perkembangan yang pesat itu, mengakibatkan semua anggota keluarga tersebut jatuh hati terhadap
bisnis transportasi ini dan kerasan berada di garasi. Waktu pun terfokus ke usaha transportasi.
Anggota keluarga yang biasanya mengurus sawah ikut berada di garasi. Anggota keluarga yang lain
pun meninggalkan kebunnya, warungnya dan semuanya tertarik berada di garasi. Bahkan rumahnya
pun kosong, kumuh, hingga kursi-kursi diambil orang. Semuanya tidak terurus karena sibuk berada
di garasi.
Padahal tidak semua anggota keluarga yang berada di garasi itu berfungsi. Setiap hari ada
anggota yang kerjaannya hanya memegang klakson, memegang setir mobil, dan lainnya. Maka pada
1959, salah satu anggota keluarga, Kiai Ahmad Achyat Khalimi Mojokerto mengusulkan agar
garasinya ditutup saja, karena sawah keluarga tidak ada yang menggarap, kursi hilang semua.
Anggota keluarga yang lain, KH. Idham Khalid mengatakan, “Tidak perlu ditutup, pokoknya yang
biasa buka toko, ya dibuka lagi tokonya, yang lain juga begitu. Yang penting tidak semuanya berada
di garasi, tapi juga harus ada yang nungguin garasi.”
Tarik menarik antar keinginan tetap terlibat dalam politik dan dorongan sebagian warga NU
untuk meninggalkan politik berakhir setelah Muktamar Situbondo mendudukkan NU sebagai
organisasi sosial keagamaan yang secara organisatoris tidak terlibat dalam politik. Tapi, apa yang
cukup penting dari hasil Muktamar Situbondo adalah dirumuskannya Khittah NU yang bisa
dijadikan landasan berkiprah warga NU.
Khittah yang berarti landasan atau garis-garis yang harus diikuti warga NU sebenarnya
sudah ada sejak pertama kali NU didirikan. Ini, setidaknya bisa dilihat dari bagaimana pola pikir
yang harus dipunyai warga NU sebagai penganut Ahlussunnah wal Jama’ah.
Juga, NU telah merumuskan prinsip-prinsip pembentukan umat yang unggul (khayr
ummah). Tetapi, rumusan ini belum secara komprehensif eksplisit, sehingga tidak mudah terbaca
oleh semua warganya. Karena itu, rumusan khittah NU yang dihasilkan oleh Muktamar Situbondo
29
adalah hasil reaktualisasi dan revitalisasi khittah NU yang biasanya baru bersarang dalam pikiran para ulama NU dan terekspresikan dalam tingkah laku mereka. Reaktualisasi artinya rumusan khittah yang ada telah disesuaikan dengan peran kelembagaan sosial yang ada, sehingga dalam khittah ini terangkum nilai-nilai yang tidak terpikirkan sebelumnya.
footnote :
18) KH. Mustofa Bisri dalam seminar Meneguhkan Kembali Khittah Menuju NU Masa Depan, di Jakarta, 27—29 Juli 2002.
C.KHITTAH NU DAN UPAYA MEMBENTUK KHAIRA UMMAH
Keterlibatan NU dalam politik praktis telah menyebabkan terbengkalainya bidang-bidang
lain yang harus digarapnya. Hampir semua tokoh NU, terutama generasi mudanya lebih
memperhatikan apa yang terjadi dalam dunia politik, sehingga political mindedness mewarnai
watak dan tingkah laku mereka. Semua orang bicara dan mempersiapkan diri untuk berjuang lewat
politik NU.
Situasi ini, secara tepat digambarkan oleh seorang tokoh NU sebagai berikut :
Ada sebuah keluarga yang mempunyai toko di sebelah rumahnya. Keluarga itu juga punya kebun,
ternak, dan lainnya. Alhasil, ia mempunyai banyak usaha. Ketika lagi trend usaha transportasi,
keluarga tersebut juga membuka usaha transportasi. Maka ia membuat garasi besar tempat
menyimpan mobil-mobil yang dijadikan usaha transportasinya. Dalam perkembangannya, usaha
baru ini mengalami kesuksesan luar biasa, mengalahkan usaha-usaha lain yang dimilikinya.
Perkembangan yang pesat itu, mengakibatkan semua anggota keluarga tersebut jatuh hati terhadap
bisnis transportasi ini dan kerasan berada di garasi. Waktu pun terfokus ke usaha transportasi.
Anggota keluarga yang biasanya mengurus sawah ikut berada di garasi. Anggota keluarga yang lain
pun meninggalkan kebunnya, warungnya dan semuanya tertarik berada di garasi. Bahkan rumahnya
pun kosong, kumuh, hingga kursi-kursi diambil orang. Semuanya tidak terurus karena sibuk berada
di garasi.
Padahal tidak semua anggota keluarga yang berada di garasi itu berfungsi. Setiap hari ada
anggota yang kerjaannya hanya memegang klakson, memegang setir mobil, dan lainnya. Maka pada
1959, salah satu anggota keluarga, Kiai Ahmad Achyat Khalimi Mojokerto mengusulkan agar
garasinya ditutup saja, karena sawah keluarga tidak ada yang menggarap, kursi hilang semua.
Anggota keluarga yang lain, KH. Idham Khalid mengatakan, “Tidak perlu ditutup, pokoknya yang
biasa buka toko, ya dibuka lagi tokonya, yang lain juga begitu. Yang penting tidak semuanya berada
di garasi, tapi juga harus ada yang nungguin garasi.”
Tarik menarik antar keinginan tetap terlibat dalam politik dan dorongan sebagian warga NU
untuk meninggalkan politik berakhir setelah Muktamar Situbondo mendudukkan NU sebagai
organisasi sosial keagamaan yang secara organisatoris tidak terlibat dalam politik. Tapi, apa yang
cukup penting dari hasil Muktamar Situbondo adalah dirumuskannya Khittah NU yang bisa
dijadikan landasan berkiprah warga NU.
30
Khittah yang berarti landasan atau garis-garis yang harus diikuti warga NU sebenarnya sudah ada sejak pertama kali NU didirikan. Ini, setidaknya bisa dilihat dari bagaimana pola pikir yang harus dipunyai warga NU sebagai penganut Ahlussunnah wal Jama’ah.
Juga, NU telah merumuskan prinsip-prinsip pembentukan umat yang unggul (khayr
ummah). Tetapi, rumusan ini belum secara komprehensif eksplisit, sehingga tidak mudah terbaca
oleh semua warganya. Karena itu, rumusan khittah NU yang dihasilkan oleh Muktamar Situbondo
adalah hasil reaktualisasi dan revitalisasi khittah NU yang biasanya baru bersarang dalam pikiran
para ulama NU dan terekspresikan dalam tingkah laku mereka. Reaktualisasi artinya rumusan
khittah yang ada telah disesuaikan dengan peran kelembagaan sosial yang ada, sehingga dalam
khittah ini terangkum nilai-nilai yang tidak terpikirkan sebelumnya.
footnote :
18) KH. Mustofa Bisri dalam seminar Meneguhkan Kembali Khittah Menuju NU Masa Depan, di Jakarta, 27—29
Juli 2002.
D. MABADI’ KHAIRA UMMAH
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf,
dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman,
tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka
adalah orang-orang yang fasik.(QS. Ali Imran [3]:110)
Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Khaira Ummah adalah mereka
yang hijrah dari Mekah ke Madinah dan mereka yang ikut perang Badar serta ikut rombongan Nabi
ke Hudaibiyah, sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu Abbas. Dan sebagian lagi berpendapat bahwa
mereka yang dimaksud itu adalah umat Islam periode pertama.
Jika ditelaah lebih mendalam, nyatalah bahwa prinsip-prinsip dasar yang terkandung dalam
Mabadi Khaira Ummah tersebut memang amat relevan dengan dimensi personal dalam pembinaan
manejemen organisasi, baik organisasi usaha (bisnis) maupun organisasi sosial. Manajemen
organisasi yang baik membutuhkan sumber daya manusia yang tidak saja terampil, tetapi juga
berkarakter terpuji dan bertanggung jawab. Pembangkitan kembali gerakan Mabadi Khaira Ummah
dipandang penting bagi keberlangsungan organisasi NU dan pembibitan kader unggulan yang siap
berkiprah aktif dalam mengikhtiyarkan kemashlahatan umat, bangsa dan negara pada umumnya.
Para ulama NU bersepakat untuk menjadi umat terbaik dalam konteks kekinian ada nilai-nilai
yang harus dipegang dan dijalankan yaitu ; As-Shidqu mengandung arti kejujuran/kebenaran,
kesungguhan dan keterbukaan,al-amanah dan al-wafa'bil 'ahdi. Yang pertama secara lebih umum
31
maliputi semua beban yang harus dilaksanakan, baik ada perjanjian maupun tidak, sedang yangdisebut belakangan hanya berkaitan dengan perjanjian. Kedua istilah ini digambungkan untuk memperoleh satu kesatuan pengertian yang meliputi: dapat dipercaya, setia dan tepat janji. Dapat dipercaya adalah sifat yang diletakkan pada seseorang yang dapat melaksanakan semua tugas yang dipikulnya, baik yang bersifat diniyah maupun ijtima'iyyah,Bersikap adil (al'adalah) mengandung pengertian obyektif, proposional dan taat asas,At-ta'awun merupakan sendi utama dalam tata kehidupan masyarakat : manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan pihak lain dan Istiqamah mengandung pengertian ajeg-jejeg, berkesinambungan, dan berkelanjutan.
(Sumber,PP Lakpesdam NU)
1. PENGERTIAN MABADI’ KHARA UMMAH
Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Khaira Ummah adalah mereka yang
hijrah dari Mekah ke Madinah dan mereka yang ikut perang Badar serta ikut rombongan Nabi ke
Hudaibiyah, sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu Abbas. Dan sebagian lagi berpendapat bahwa
mereka yang dimaksud itu adalah umat Islam periode pertama
...
Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) sebagai ummatan wasathan (adil
dan pilihan) agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad)
menjadi saksi atas (perbuatan) kalian..., (Qs. Al-Baqarah: 143).
Ayat di atas menjelaskan bahwa umat Islam adalah umat yang wasathan. Para ulama
memaknai ummatan wasathan dengan umat pilihan yang berkeadilan. Imam Az-Zamakhsyari dalam
kitab Al¬Kasysyaf, contohnya, menjelaskan bahwa kalimat wasathan bermakna khiyar atau pilihan.
Menurut Imam Ibnu Katsir, ketika umat ini dijadikan sebagai ummatan wasathan, Allah SWT telah
mengkhususkan mereka dengan syariah paling sempurna, jalan yang lurus, dan mazhab paling jelas.
Oleh karena itu, status sebagai umat pilihan hanya dapat disandang apabila mereka menjalankan
dan mengemban risalah tersebut.
Dalam ayat yang lain Allah SWT berfirman, Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan
untuk manusia; melaksanakan amar makruf nahi mungkar dan beriman kepoda Allah (QS Ali
Imran: 110). Dan masih banyak lagi ayat Al-Quran yang menegaskan umat Islam sebagai umat
pilihan atau umat terbaik, seperti dalam surat Al-Baqarah: 128 (ummatan muslimah) dan surat Al-
Maidah: 66 (ummatan muqtashidah umat yang berlaku jujur) dan lain sebagainya.
Sebagai agama, Islam mempunyai nilai-nilai mulia dan luhur seperti bersikap adil, jujur,
saling menghargai, saling menghormati, dan moderat. Pertanyaannya adalah, kenapa saat ini masih
32
ada umat Nabi Muhammad SAW yang justru mereduksi, menciderai dan mengurangi keluhuran nilai nilai Islam tersebut di atas.
Di sinilah pentingnya merenungi secara mendalam kandungan ayat Al-Quran sebagaimana
dalam pembukaan tulisan ini. Begitu juga dengan penafsiran para ulama yang memaknai istilah
wasathan dalam ayat di atas dengan keadilan dan umat pilihan.
Secara harfiah, wasath bermakna tengah atau moderat. Ummatan wasathan berarti umat
yang berada di tengah dan moderat, yakni tidak terlalu ekstrem kanan ataupun ekstrem kiri.
Namun demikian, sebagai umat moderat yang senantiasa netral umat Islam tidak berarti dapat
ditarik ke sana kemari. Karena patokan moderatisme mereka adalah keadilan dalam bersikap yang
akan menjadikan mereka sebagai umat pilihan. Dalam konteks ini, ada keterkaitan yang sangat erat
antara label umat pilihan, moderatisme dan keadilan. lbaratnya, umat pilihan adalah wadah.
Sedangkan isinya adalah keadilan. Maka umat Islam adalah umat moderat atau umat pilihan karena
dan selama mereka membumikan nilai-nilai keadilan.
Menjadi sangat menarik, karena dalam ayat di atas wilayah operasi keadilan tidak hanya di
internal umat Islam, melainkan juga dalam berhubungan dengan umat-umat lain secara eksternal
(agar kalian menjadi saksi atas manusia dan Nabi Muhammad SAW menjadi saksi atas kalian,
sebagaimana kandungan ayat di atas).
Hal ini berarti bahwa keadilan yang menjadi ciri utama umat Islam tidak hanya diterapkan
dalam konteks internal, melainkan juga dalam konteks hubungan dengan umat agama-agama lain.
Hingga mereka menyaksikan kehidupan umat manusia atau peradaban yang berkeadilan dan Nabi
Muhammad SAW menyaksikan bahwa umat Islam turut andil dalam menciptakan kehidupan yang
berkeadilan tersebut.
Oleh karenanya, ayat di atas sesungguhnya terkait erat dengan misi Islam yang
menghendaki terciptanya sebuah peradaban manusia yang berkeadilan dan membawa kerahmatan
bagi semesta (rahmatan lil-‘alamiin). Di mana umat Islam menjadi penggerak utama dalam
pembentukan peradaban ini.
Identitas umat atau masyarakat terbaik, ideal dan berkeadilan akan tercermin pada sikap dan
tingkah laku umat dalam segala bidang. Proses pembentukannya pun dapat terjadi secara alamiah
yang membutuhkan waktu relatif lama, atau melalui upaya penanaman secara terus menerus hingga
dapat terbentuk dalam waktu yang relatif singkat. Oleh karena itu, peradaban berkeadilan yang
dicita-citakan Islam seperti di atas dapat dirintis dengan membangun beberapa prinsip yang dapat
dijadikan sebagai dasar bagi proses awal pembentukan dan sebagai landasan untuk membina
masyarakat yang terbaik dan berkeadilan tersebut.
Dalam konteks ini, para ulama yang tergabung dalam Organisansi Nandlatul Ulama (NU)
telah memulai kerja peradaban yang tak ternilai harganya. Yaitu ketika Munas Alim Ulama NU di
Lampung (1992) berhasil merumuskan prinsip-prinsip dasar umat terbaik (mabadi' khaira ummah).
Prinsip-prinsip benar ini dikenal dengan istilah al-mabadi 'al-khomsah li-mobadi' khaira ummah
yang artinya, lima prinsip dasar untuk membentuk umat terbaik.
33
Lima prinsip dasar dimaksud adalah sebagaimana berikut, pertama, ash-shidqu yang mengandung arti kejujuran, kebenaran, kesungguhan dan keterbukaan. Kejujuran atau kebenaran merupakan kesatuan antara kata dengan perbuatan. Kejujuran meliputi ucapan, perbuatan, dan sikap yang ada di dalamnya. Landasan prinsip dasar ini adalah ayat Al-Quran surat At-Taubah:119 yang berbunyi,
Hai orang¬-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kalian bersama
orang-¬orang yang benar. Begitu juga dengan surat Al-Baqarah: 177.
177. Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi Kami hanya mengikuti apa yang telah Kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?"
Kedua, al-amanah wal-wafa’ bil-'ahdi yang berarti terpercaya, setia dan tepat janji. Landasan prinsip kedua ini adalah Al-¬Quran surat An-Nisa': 58 yang berbunyi,
58. Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.
Begitu juga dengan surat Al-Maidah: 1.
1. Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu[388]. Dihalalkan bagimu binatang
ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan
berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum
menurut yang dikehendaki-Nya.
[388] Aqad (perjanjian) mencakup: janji prasetia hamba kepada Allah dan Perjanjian yang dibuat
oleh manusia dalam pergaulan sesamanya.
34
Ketiga, al-'adalah yang berarti sikap adil dan memberikan hak serta kewajiban secara proporsional. Bersikap adil dalam menempatkan sesuatu pada tempatnya, berpihak kepada kebenaran, menyalahkan yang salah dan membenarkan yang benar. Landasan prinsip dasar ketiga ini adalah Al¬-Quran surat An-Nahl: 90 yang berbunyi,
90. Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada
kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia
memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.
Keempat, at-ta'awun yang berarti tolong-menolong, setia kawan, dan gotong¬-royong dalam
kebaikan dan ketakwaan. Kata ini juga mengadung arti timbal-balik dari masing-masing pihak
untuk saling memberi dan saling menerima. Landasan prinsip dasar keempat ini adalah Al-Quran
surat Al-¬Maidah: 2 yang berarti, ..
.Dan tolong¬menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-
¬menolang dalam berbuat dasa dan pelanggaran
Kelima, al-Istiqomah yang berarti keajegan, kesinambungan dan berkelanjutan. Landasan prinsip
kelima ini adalah Al-Quran surat Fushilat: 30 yang bermakna,
30. Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan Kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, Maka Malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan:"Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu".
Demikianlah, umat terbaik tidak dapat dipisahkan dari keadilan. Sejauh mana keadilan
ditegakkan, maka sejauh itu pula umat Islam menjadi umat terbaik. Begitupun sebaliknya. Maka
tidak ada pilihan apa pun bagi umat Islam kecuali melakukan keadilan. Karena Al-Quran
meneguhkan umat Islam sebagai umat terbaik.
35
2. BUTIR – BUTIR MABADI’ KHARA UMMAH
1) As-Sidqu (berlaku jujur) yaiusifat kejujuran atu kebenaran, kesungguhan dan keterbukaan.
Kejujuran adalah satunya kata dan perbuatan, ucapan dan pikiran. Apa yang diucapkan sama
dengan yang dibatin. Jujur dalam hal ini berarti tidak plin-plan dan tidak dengan sengaja
memutarbalikkan fakta atau memberikan informasi yang menyesakan. Dan tentu saja jujur pada
dirinya sendiri. Termasuk dalam hal ini adlah jujur dalam bertransaksi, menjauhi segala bentuk-
bentuk penipuan, demi mengejar keuntungan. Jujur dalam bertukar pikiran artinya adlah
mencari maslahat dan kebenaran serta bersedia mengakui dan menerima pendapat yang lebih
baik.
2) al-Aamanah wal wafa’ bil ahdi (dapat dipercaya, setia dan tepat janji). Butir ini memuat dua
istilah yang saling menglait, yaitu al-amanah dan wafa’ bil ahdi. Yang pertama secara lebih
umum meliputi semua beban yang harus dilaksanakan, baik perjanjian atau tidak. Sedangkan
yang kedua berkaitan dengan pelaksanaan perjanjian. Kedua istilah dalam satu kesatuan
pengertian yang meliputi; dapat dipercaya, setia dan tepat janji,. Dapat dipercaya adlah sifat
yang dilekatkan pada seseoirang yang dapat melaksanakan tugas yang dipikulnya, baik yang
bersifat diniyyah maupun ijtimaiyyah (kemasyaraktan). Sifat-sifat ini menghindarkan seseorang
dari bentuk kelalaian dan manipulasi tugas dan jabatan.
3) al-adalah (bersikap dan berlaku adil, melaksanakan kewajiban dan memberikan hak kepada
seseorang secara propporsional) artinya adlah bersikap adil mengandung pengertian obyekif,
proporsional dan azas. Sikap ini mengharuskan seseorang berpegang kepada kebenaran,
obyektifdan menempatkansegala sesuatu pada tempatnya. Distorsi penilaian sangat mungikin
akibat pengruh emosi, sentiman pribadi, atau kepentingan egoistic. Distorsi semacam ini dapat
menjerumuskan seseorang kedalam kesalahan fatal dalam mengambil sikap tterhadap suatu
persoalan. Akibatnya akan tterjadi kekeliaruan betindak, yang bukan saja tidak menyelesaikan
masalah bahkan menambah keruwetan. Lebih-lebih jika perselisihannya terjadi diantara
berbagai pihak. Dengan sikap obyektif dan proporsional distorsi dapat dihindari.
4) At-ta’awun (tolong menolong, setia kawan, gotong royong dalam kebaikan dan taqwa)
merupakan sendi utama dalam tata kehidupan bermasyarakat. Manusia idak dapat hidup sendiri
tanpa bantuan pihak lain. Pengertian ta’awun meliputi tolong menolong, setiakawan dalam
kebaikan dan taqwa (wa ta’awanu ‘alal birri wa taqwa). Al-birru artinya kebaikan dan taqwa
dengan mempertoleh ridlo Allah swt. memperoleh keduanya artinya memeperoleh kebahagiaan
yang sempurna. Ta’awun juga mengandung pengertian timbale-balik unuk saling memberi dan
menerima. Dengan sifa ta’awun mendorong seseorang untuk berusaha agar dapat memiliki
sesuau yang dapat disumbangkan kepada orang lain dan kepentingan bersama.
al-istiqomah (konsisten, berkesinambungan, dan berkelanjutan). Mengandung pengerian ajeg-
ajeg, berkesinambungan dan berkelanjutan. Ajeg-ajeg artinya teap idak bergeser dari jalur
(thoriqah) yang sesuai dengan ketentuan Allah swt dan Rasul-Nya, untunan yang diberikan
36
oleh salafussholeh dan aturan main serta rencana-rencana yang disepakati bersama. Berkesinambungan artinya keterklaitan antara satu kegiatan dengan kegiaan yang lain dan antara sau periode dengan periode yang lain sehingga kesemuanya merupakansatu-kesatuan yang tak terpisahkan dan saling menopang seperti sebuah bangunan. Sedangkan makna berkelanjutan; bahwa pelaksanaan kegiatan-kegiatan tersebut merupakan proses yang berlangsung terus menerus tanpa mengalami kemandegan, dan merupakan satu proses maju
(progressing) bukannya berjalan di tempat (stagnant).
37
PEMANTAPAN PROGRAM MABADI’ KHARA UMMAH
Belum ada materi.................................................................................
BAB III
A. MASA PRA PARTAI POLITIK
1. AKAR GERAKAN POLITIK NU2. MEMBENTUK KOMITE HIJAZA3. POLITIK MENYIKAPI MODERNISASI4. POLITIK TRANFORMASI SOSIO KULTURAL5. MEMBANGUN NASIONALISME INDONESIA6. PERGERAKAN PERJUANGAN KEMERDEKAAN INDONESIA
B. MENJADI PARTA POLITIK
1. PERSELISIHAN DENGAN KAUM MODERNIS2. MENJAD BAGIAN PENYELENGGARA KEKUASAAN NEGARA3. KEBESARAN YANG SEMU4. KEMBALI MENJADI ORGANISASI SOSIAL KEAGAMAAN
A). TRANSISI DAN KRISISIIDENTITAS
B).KEMBALI KE KHITAH NU 1926
C).BERAGAM INTERPRETASI POLITIK ATAS KITHAH NU 1926
C. KEMBALAI KE GERAKAN KULTURAL
D. MEMBANGUN SKOCI POLITIK
BAB IV
KIPRAH NAHDHATUL ULAMA DALAM BIDANG PENDIDIKAN
Visi Misi dari Nahdlotul Ulama Adalah : menjadikan sebuah Negara yang Baldatun
thayyibatun warabbun ghafur (negeri yang baik yang penuh dengan ampunan Allah) dapat terwujud
di bumi ini. Untuk muwujudkan Visi Misi tersebut dapat dilakukan usaha- usaha sebagai berikut :
Dalam bidang pendidikan Nahdlatul Ulama merupakan manifestasi modern dari kehidupan
keagamaan, sosial dan budaya dari para kiai. Dengan demikian pesantren, Nahdlatul Ulama dan
para kiai sebagai sentral selalu mengaitkan diri dalam membentuk masyarakat, kekompakan itu
merupakan lembaga yang mempunyai peran kuat dalam perkembangan Islam dan masyrakat Islam
pada umumnya. Sehingga kualitas sumberdaya manusia harus ditingkatkan melalui institusi yang
bergerak dalam bidang pendidikan (Moesa, 1999:68)
38
Pesantren adalah model pendidikan yang sama tuanya dengan Islam di Indonesia, jika dilihat dari keberadaanya, pesantren merupakan institusi pendidikan dan dakwah agama Islam. Ia lahir ditengah-tengah masyarakat yang belum mengenal sekolah dan universitas. Tidak dapat dipungkiri bahwa pesantren mempunyai andil besar dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam wacana ini, menjalankan fungsi pendidikan merupakan tugas pokok dari semua pesantren. Sementara itu fungsi agama dalam kehidupan diharapkan menjadi faktor pencerahan dan langit pelindung (the sacred canopy) bagi kehidupan manusia. Pencerahan yang menumbuhkan kedamaian, keadilan, demokrasi, moralitas, dan pemenuhan hak dasar manusia serta tegaknya adiluhur dalam menghantarkan manusia kepintu gerbang rahmatan lil’alamin (Moesa, 2002:299-
301)
Pondok pesantren dan masyarakat Islam pedesaan menjadi pilar yang tetap kokoh sehingga
tidak salah jika ada yang menyebut Nahdlatul Ulama merupakan organisasi pesantren dan
masyrakat perdesaan. Hampir semua tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama memiliki pesantren dan
mushola walaupun itu kecil, pondok pesantren merupakan wahana yang tepat dan strategis,
sehingga memudahkan para santri untuk menguasai kitab kuning yang ditulis oleh para imam
madzhab terutama Imam Syafi’i. keterkaitan Nahdlatul Ulama dengan pondok pesantren dibuktikan
dalam lembaran sejarah Islam di Indonesia
Ruba’i dalam Salim (1999:114-115) menyatakan bahwa pesantren memiliki potensi yang
sangat besar antara lain:
1. Budaya paguyuban yang dimilki dunia pesantren merupakan kekayaan yang mahal
harganya kalau ini dikelola dengan bagus dan dipoles dengan berbagai pengetahuan
modern, maka bukan hal yang mustahil, masyarakat dalam komunitas ini akan lebih
mampu survive.
2. Masyarkat pesantren mewarisi budaya bangsa, sehingga mereka lebih memahami
akar budaya bangsanya dan lebih mampu melakukan pendekatan kebasis masyarakat
3. Pesantren sebenarnya memilki kemandirian dari intervensi pihak luar, seperti
kekuasaan. Ini bisa dibuktikan misalnya, sistem pendidikan disetiap pesantren selalu
berbeda-beda.
Pada dasarnya pendidikan Islam pada umumnya, dan Nahdlatul Ulama pada khususnya
senantiasa bersentuhan dan bergulat dengan realitas yang mengitarinya. Dalam perspektif historis
pergumulannya dengan sosio-kultural, menemui dua kemungkinan
Pertama, pendidikan Islam memberikan pengaruh terhadap sosio-kultural, dalam arti memberikan
wawasan filosofi, arah pandangan motivasi perilaku, dan pedoman perubahan sampai terbentuknya
suatu realitas sosial baru
39
.
Kedua, pendidikan Islam di pengaruhi oleh perubahan sosial dan lingkungan sosio-kulural, dalam
penentuan sistem pendidikan, institusi dan pilihan-pilihan prioritas, juga eksistensi dan aktualisasi
dirinya. Diharapkan tujuan pendidikan memperoleh keunggulan kualitas fikir dan kerja disamping
kualitas moral dan pengabdian, atau di dalam istilah bahasa Al-qur’an mereka memiliki “basthatan
fil’ilmi wal jism” disamping memiliki “qolbun salim” (Hasan, ed Ilyas, 1994:49-50)
Untuk menciptakan sebuah pendidikan yang berkualitas maka dalam program pendidikan
seharusnya selalu mengacu kepada tiga hal, yaitu:
1) Dinamik, dalam arti tanggap terhadap perubahan sosio-kultural dan tuntutan-tuntutan yang
menyertainya.
2) Bermutu, dalam program-program yang ditawarkan.
3) Relevan, dengan kebutuhan masyarakat dan nilai-nilai idealisme yang diembannya (Hasan,
ed.Ilyas, 1994:54)
Kebangkitan islam menjadi wacana bersama sejak memasuki abad ke – 15 H sebelumnya umat islam mengalami setagnasi yang cukup lama dalam bidang ilmu pendidikan dan teknologi.belakangan ini umat islam sudah mulai identifikasi terhadap potensi yang di milikinya,berbagai inivasi, kreatifitas,sepekulasi dan experimen mulai di lakukan
Dalam rangka beriktiyar mencari sistem penyelenggaraan pendidikan ang bermutu, kita perlu kita perlu mempertimbangkan kecenderungan perubahan sosial, yang mempunyai ciri – ciri sebagai berikut.
1. PENDIDIKAN SEBAGAI MAINSTREM
Dalam bidang dakwah menggengsi ajaran agama islam.Dakwah agama Islam dewasa ini dapat
dipetakan ke dalam arus besar perjuangan sebagai berikut:
Pertama, organisasi Islam puritan yang sangat menonjolkan simbol-simbol Islam di dalam misi
dakwahnya. Organisasi-organisasi ini mencoba menawarkan suasana sejarah kejayaan Islam pada
abad-abad yang lampau dan tercermin dengan dakwah demi pendirian negara Islam, adopsi budaya
Timur Tengah dan tema-tema simbolik lainnya sebagai wujud kaffahnya memeluk agama Islam.
Organisasi ini bukan saja membidik awam kebanyakan di dalam upaya merekrut anggota, namun
juga menjadikan para mahasiswa yang minim pemahamannya tentang Islam sebagai wahana
pengkaderannya. Dan pada kenyataannya golongan Islam puritan ini dengan menempatkan tema-
tema di atas, ternyata mendapatkan simpatisan yang signifikan di dalam meraih massa. Hal ini
tercover dengan melambungnya simpatisan salah satu partai politik yang menjadi motor dakwah
organisasi puritan ini.
Mainstream ke dua adalah mulai memasyarakatnya organisasi-organisasi dengan corak ajakan
dakwah dengan misi liberal. Maksudnya adalah para simpatisan yang tergabung di dalam organisasi
dan lembaga-lembaga ini ditanamkan di dalam akar pemikirannya tentang kebebasan berfikir dan
40
ber-Islam. Anehnya (kalau boleh disebut demikian), dakwah Islam liberal ini justru “laku” dikalangan para profesional dengan tingkat pendidikan yang di atas rata-rata. Terdapat gap lebar antara model dakwah ini dengan model dakwah yang pertama.
Mainstream yang terakhir sebagai “ladang” ummat, adalah organisasi Islam kemasyarakatan
“konvensional” yang telah mapan sebelumnya. Selain dalam bidang dakwah dalam bidang diniyah
(keagamaan)pun juga dilaksanakan dengan usaha- usaha sebagai berikut5:
2. MENGAKTUALISASIAKAN POTENSI PENDIDIKAN
a. Melakukan upaya- upaya untuk meningkatkan persatuan dan kesatuaan yang
mengarah pada tujuaan izzul Islam wal muslimin, tanpa meninggalkan sikap ta’awun
dan tanasuh (saling membantu dan membimbing) dalam segala amal.
b. Mendorong dan menumbuhkan semangat menuntut ilmu minal mahdi ilal lahdi bagi
seluruh warga dan melengkapi diri dengan berbagai ilmu fardlu kifayah yang layak
bagi kemanusiaan dan kemajuaan untuk menyongsong nasa depan nahdlotul ulama’.
c. Menyadari akan hajat hidup orang banyak, dalam hal ini syuriah nahdlotul
ulama’ disemua tingkatan diharapkan membina dan mendorong pemupukan
silaturrahim dan islahu dzatil bain, mengefektifkan ta’awun birri wattaqwa
serta mengairahkan pelaksanaan furudlul kifayah dengan mendorong semangat
umat melakukan zira’ah,
ihyaulmawat, iqtishadiyah dan lain-lain.
d. Memberikan fatwa- fatwa mengenai masalah- masalah yang dipandang sangat
penting dan dinantikan masyarakat
Dalam Bidang Generasi Muda Untuk menumbuhkan gairah genersi muda kea rah kehidupan
yang lebih positif dan kreatif, maka Nahdlatul Ulama’ dengan kekeyaan rohani dan kelengkapan
tata nilainya perlu kiprah kerja sebagai berikut :
1. Mendorong generasi muda kearah untuk memahami persoalannya sendiiri dan
menumbuhkan watak dan sikap percaya diri sendiri dengan penuh rasa kemanusian.
2. Menumbuhkan kepercayaan generasi muda untuk memiliki watak partiotisme
melalui pendidikan dan pengkaderan yang konsepsional.
3. Menanamkan dalam diri generasi muda bahwa apa yang mereka miliki adalah
merupakan hasil perjuangan generasi sebelumnya’
4. Mendorong dan menumbuhkan cakrawala baru pola pikir generasi muda kearah yang
lebih konsisten dengan pola pikir pembanggunan bangsa, dengan memberikan
kesempatan dan motivasi untuk lebih berkembang secara terara.
41
3. PENDIDIKAN NU DAN KONTEK PENDIDIKAN NASIONAL
Pada saat NU belum diresmikan, organisasi yang dibidani para ulama nahdliyin yang
bergerak di bidang pendidikan diberi nama Nahdlatul Wathon . NU meyakini bahwa persatuan
dan kesatuan para ulama dan pengikutnya, masalah pendidikan, dakwah Islamiyah, kegiatan sosial
serta perekonomian adalah masalah yang tidak bisa dipisahkan untuk mengubah masyarakat yang
terbelakang, bodoh, dan miskin menjadi masyarakat yang maju, sejahtera dan berakhlak mulia.
Sekolah NU didirikan dengan dasar niat yang sederhana. Sarananya juga sangat sederhana,
sehingga kalau dilihat kondisi pendidikan NU itu terkesan apa adanya. Niat yang sederhana itu
kemudian diperbaiki, mengikuti perkembangan pendidikan masa kini; sehingga NU -dalam hal ini
Maâ?Tarif- berusaha sekuat tenaga menata sekolah yang sudah demikian banyak untuk bisa
menjadi lebih baik.
Sekolah NU-Ma’arif ysang didirikan untuk syi’ar Islam. Oleh karena untuk syi’a, maka
yang penting ramai, dalam artian yang penting sekolahnya berjumlah banyak. Persoalan kualitas
nanti dulu dan pada awalnya- tidak begitu dipedulikan. Akan tetapi pada perkembangan berikutnya,
sekolah NU- Ma’arif mengikuti kebutuhan sebagaimana keberadaan sekolah pada umumnya.
Sekolah pada umumnya mengembangkan potensi pokok yang harus dimiliki oleh sekolah yang
bersangkutan.
4. ARAH DAN IDENTITAS PENDIDIKAN NU AGENDA PRIORITAS MA’ARIF
Setelah pemerintahan orde baru muncul dengan program-programnya, dalam rangka
merespon modernisasi, maka madrasah-madrasah yang awalnya hanya mengajarkan materi agama
sebagaimana di Pesantren- berkembang dengan materi keilmuan umum. Kurikulum madrasah
kemudian mengikuti kurikulum pemerintah, bukan merupakan pendidikan agama murni. Di
madrasah terdapat keilmuan umum, seperti bahasa Indonesia, ilmu pengetahuan sosial,
kewarganegaraan, dan lain sebagainya. Begitulah awal tumbuh-kembangnya madrasah dan
sekarang berkembang sebegitu rupa hingga menjadi berjenis tingkatan, mulai TK sampai
perguruan tinggi. Meski begitu, ada juga madrasah yang mulai didirikan sampai sekarang hanya
memiliki kelas tingkat ibtidaiyah saja. Dari lembaga-lembaga pendidikan NU-Ma'arif yang
tersebar di seluruh wilayah nusantara, hanya di LP Ma'arif Jawa Timur, yang membawahi lebih
dari 4000 buah MI, 190 SD, 470 MTs, 325 SMP, 280 MA, 250 SMA, 15 SMEA, 4 STM, dan 15
buah Perguruan Tinggi, yang dapat dikatakan berhasil dalam membina dan mengkoordinasikan
lembaga-lembaga itu untuk mencapai suatu prestasi. Pernyataan tersebut dibuktikan dengan
misalnya 250 SMA, yang statusnya disamakan ada 7 buah, 80 % dari 250 buah SMA itu statusnya
telah diakui. Di samping itu, terdapat beberapa Perguruan Tinggi (PT) yang cukup terkenal, seperi
UNISMA, UNSURI, UNDAR Jombang, IKAHA Jombang, Universitas Tri Bakti Kediri, dan
sebagainya
42
5. PENDIDIKAN TERPADU NUDAN CAMPURAN
Sebagai lembaga pendidikan yang tumbuh dan berkembang dari masyarakat sendiri, madrasah dan
sekolah NU memiliki karakter yang khusus, yaitu karakter masyarakat; diakui sebagai milik
masyarakat dan selalu bersatu dengan masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat. Guru-
guru madrasah adalah juga guru-guru masyarakat yang tingkah lakunya dinilai, diawasi, dan ditiru
oleh masyarakat. Madrasah NU juga merupakan pusat kegiatan masyarakat pada beberapa bidang
tertentu, khususnya pada bidang keagamaan.
Masyarakat mendirikan sebuah madrasah dengan dilandasi oleh mental al-iâ?Ttimad
alannafsi (percaya pada diri sendiri), tidak menunggu bantuan dari luar. Pada zaman penjajahan,
NU tegas-tegas menolak bantuan pemerintah jajahan bagi madrasah dan segala bidang kegiatannya.
Sikap mental berdiri di atas kaki sendiri seharusnya dipertahankan dan dikembangkan terus
meskipun pada zaman kemerdekaan ini bantuan dari pemerintah nasional tidak ditolak. Sikap ini
merupakan modal besar bagi NU, bukan saja dalam rangka mempertahankan dan mengembangkan
kelangsungan hidup madrasah dan sekolah, tetapi juga untuk mempertahankan karakteristik
masyarakat, baik dalam melaksanakan kegiatan maupun menetapkan dan melaksanakan kurikulum
yang sesuai dengan cita-citanya.
Masyarakat madrasah banyak yang menyampaikan keluhannya, terutama dalam menghadapi
akses otonomi daerah. Berbeda dengan eksistensi sekolah, di beberapa daerah madrasah memang
belum diterima secara bulat oleh daerah. Misalnya dalam hal penyediaan anggaran pendidikan.
Pimpinan Pusat LP NU- Ma’arif telah melayangkan surat kepada Departemen Agama untuk
memberikan masukan kepada pemerintah bahwa desentralisasi madrasah sudah mendesak
diterapkan.
NU- Ma’arif harus meningkatkan dan mengembangkan madrasah dan sekolahnya menjadi
lebih Mulai daripembenahan madrasah dan sekolah inilah kiranya pendidikan
yang diselenggarakan NU-Ma’arif dapat diharapkan fungsi dan peranannya dalam
upaya peningkatan SDM Indonesia yang berkualitas, memiliki kompetensi,
memiliki relevansi mutu(bagi pembangunan dan wilayah global) serta berdaya
saing (kompetitif). Lebih dari itu, output pendidikan NU- Ma’arif yang bermutu tentu saja
akan berpengaruh secara luas pada terciptanya good governance, civil society, dan unit-unit
keluarga yang kuat, sehingga NU, bangsa dan negara menjadi lebih baik lagi. Untuk itulah, NU
turut berpartisipasi dalam beberapa program pemerintah di bidang pendidikan
43
6. PARTISIPASI DALAM BIDANG PEMERINTAH
a. Penuntasan wajar dikdas 9 tahun b. Desentralisai pendidikanc. Aplikasi MBSd. PENUTUP
7.
44