responsi tb
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksi yang masih
menjadi masalah kesehatan Masyarakat. Di Indonesia maupun diberbagai belahan
dunia, Penyakit tuberkulosis merupakan penyakit menular yang kejadiannya
paling tinggi dijumpai di India sebanyak 1.5 juta orang, urutan kedua dijumpai di
Cina yang mencapai 2 juta orang dan Indonesia menduduki urutan ketiga dengan
penderita 583.000 orang.
Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan bakteri
berbentuk batang (basil) yang dikenal dengan nama Mycobacterium tuberkulosis.
Penularan penyakit ini melalui perantaraan ludah atau dahak penderita yang
mengandung basil berkulosis paru. Pada waktu penderita batuk butir-butir air
ludah beterbangan diudara dan terhisap oleh orang yang sehat dan masuk kedalam
paru-parunya yang kemudian menyebabkan penyakit tuberkulosis paru.
Menurut WHO (1999), di Indonenia setiap tahun terjadi 583 kasus baru
dengan kematian 130 penderita dengan tuberkulosis positif pada dahaknya.
Sedangkan menurut hasil penelitian kusnindar 1990, jumlah kematian yang
disebabkan karena tuberkulosis diperkirakan 105,952 orang pertahun. Kejadian
kasus tuberkulosa paru yang tinggi ini paling banyak terjadi pada kelompok
masyarakat dengan sosio ekonomi lemah.
Terjadinya peningkatan kasus ini disebabkan dipengaruhi oleh daya tahan
tubuh, status gizi dan kebersihan diri individu dan kepadatan hunian lingkungan
tempat tinggal.
Pada tahun 1995 pemerintah telah memberikan anggaran obat bagi
penderita tuberkulosis secara gratis ditingkat Puskesmas, dengan sasaran utama
adalah penderita tuberkulosis dengan ekonomi lemah. Obat tuberkulosis harus
diminum oleh penderita secara rutin selama enam bulan berturut-turut tanpa henti.
Untuk kedisiplinan pasien dalam menjalankan pengobatan juga perlu
diawasi oleh anggota keluarga terdekat yang tinggal serumah, yang setiap saat
dapat mengingatkan penderita untuk minum obat. Apabila pengobatan terputus
tidak sampai enam bulan, penderita sewaktu-waktu akan kambuh kembali
1
penyakitnya dan kuman tuberkulosis menjadi resisten sehingga membutuhkan
biaya besar untuk pengobatannya.
Penyakit tuberkulosis ini dijumpai disemua bagian penjuru dunia.
Dibeberapa negara telah terjadi penurunan angka kesakitan dan kematiannya,
Angka kematian berkisar dari kurang 5 - 100 kematian per 100.000 penduduk
pertahun. Angka kesakitan dan kematian meningkat menurut umur. Di Amerika
Serikat pada tahun 1974 dilaporkan angka insidensi sebesar 14,2 per 100.000
penduduk.
Di Sumatera Utara saat ini diperkiraka ada sekitar 1279 penderita dengan
BTA positif. Dari hasil evaluasi kegiatan Program Pemberantasan Tuberkulosa
paru, kota Medan tahun 1999/2000 ditemukan 359 orang penderita dengan insiden
penderita
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi TBC
Tuberkulosis adalah penyakit akibat infeksi kuman Mycobacterium
tuberculosis sistemis sehingga dapat mengenai hampir semua organ tubuh, dengan
lokasi terbanyak di paru yang biasanya merupakan lokasi infeksi primer.1
2.2 Etiologi
Penyebab dari tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculose, sejenis
kuman berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4 mikrometer dan tebal sekitar
0,3-0,6 mikrometer. Yang tergolong dalam kuman M. tuberculosis complex
adalah: 1. M tuberculosae. 2. Varian Asian. 3. Varian African I. 4. Varian African
II. 5. M. bovis. Pembagian tersebut berdasarkan perbedaan secara epidemiologi.2
2.3 Epidemiologi
Survei prevalensi TBC yang dilakukan di enam propinsi pada tahun 1983-
1993 menunjukkan bahwa prevalensi TBC di Indonesia berkisar antara 0,2 –
0,65%. Sedangkan menurut laporan Penanggulangan TBC Global yang
dikeluarkan oleh WHO pada tahun 2004, angka insidensi TBC pada tahun 2002
mencapai 555.000 kasus (256 kasus/100.000 penduduk), dan 46% diantaranya
diperkirakan merupakan kasus baru. Perkiraan prevalensi, insidensi dan kematian
akibat TBC dilakukan berdasarkan analisis dari semua data yang tersedia, seperti
pelaporan kasus, prevalensi infeksi dan penyakit, lama waktu sakit, proporsi kasus
BTA positif, jumlah pasien yang mendapat pengobatan dan yang tidak mendapat
pengobatan, prevalensi dan insidens HIV, angka kematian dan demografi.4
Saat ini Survei Prevalensi TBC yang didanai GFATM telah dilaksanakan
oleh National Institute for Health Research & Development (NIHRD) bekerja
sama dengan National Tuberculosis Program (NTP), dan sedang dalam proses
penyelesaian. Survei ini mengumpulkan data dan dilakukan pemeriksaan dahak
dari 20.000 rumah tangga di 30 propinsi. Studi ini akan memberikan data terbaru
3
yang dapat digunakan untuk memperbarui estimasi insidensi dan prevalensi,
sehingga diperoleh perkiraan yang lebih akurat mengenai masalah TBC.4
Dari data tahun 1997-2004 terlihat adanya peningkatan pelaporan kasus
sejak tahun 1996. Yang paling dramatis terjadi pada tahun 2001, yaitu tingkat
pelaporan kasus TBC meningkat dari 43 menjadi 81 per 100.000 penduduk, dan
pelaporan kasus BTA positif meningkat dari 25 menjadi 42 per 100.000
penduduk. Sedangkan berdasarkan umur, terlihat angka insidensi TBC secara
perlahan bergerak ke arah kelompok umur tua (dengan puncak pada 55-64 tahun),
meskipun saat ini sebagian besar kasus masih terjadi pada kelompok umur 15-64
tahun.4
Resiko penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection =
ARTI) di Indonesia dianggap cukup tinggi dan berfariasi antara 1-2 %. Pada
daerah dengan ARTI sebesar 1 %, berarti setiap tahun diantara 1000 penduduk, 10
(sepuluh) orang akan terinfeksi. Sebagian besar dari orang yang terinfeksi tidak
akan menjadi penderita TB, hanya 10 % dari yang terinfeksi yang akan menjadi
penderita TBC. Dari keterangan tersebut diatas, dapat diperkirakan bahwa daerah
dengan ARTI 1 %, maka diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 100 (seratus)
penderita tuberkulosis setiap tahun, dimana 50 % penderita adalah BTA positif.
Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi penderita TBC
adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya karena gizi buruk atau
HIV/AIDS.2
2.4 Faktor Risiko TBC
Faktor risiko menderita TBC dibagi menjadi : 5
1. Faktor Risiko Infeksi TBC
Faktor risiko infeksi TBC terpenting adalah pajanan terhadap orang dewasa
yang infeksius. Selain itu, tempat tinggal di daerah endemis, daerah dengan
prevalensi TBC yang tinggi, kemiskinan, lingkungan yang tidak sehat (tempat
penampungan atau panti perawatan yang penuh sesak, sirkulasi udara yang
tidak baik) juga merupakan faktor risiko infeksi TBC.5-6
2. Faktor Risiko Penyakit TBC
Anak usia ≤ 5 tahun mempunyai risiko lebih besar mengalami progresi infeksi
menjadi sakit TBC karena imunitas selulernya belum berkembang sempurna.
4
Namun risiko ini berkurang seiring pertambahan usia. Bayi < 1 tahun yang
terinfeksi TBC 43%-nya akan menjadi sakit TBC, sedangkan anak usia 1-5
tahun yang menjadi sakit hanya 24%, usia remaja 15%, dan dewasa 5-10%.
Faktor risiko lain adalah pada penderita TBC yang tidak mendapat
pengobatan adekuat, keadaan imunokompromais misalnya malnutrisi, HIV,
keganasan, pengobatan imunosupresi, diabetes melitus, dan gagal ginjal
kronis.6-7
2.5 Patogenesis TBC
Penyakit TBC dapat berkembang pada seseorang melalui dua cara. Yang
pertama dapat terjadi pada seseorang yang telah beberapa tahun terinfeksi TBC
dan telah sembuh sempurna. Ketika kesehatannya menurun karena penyakit lain
seperti AIDS atau diabetes, atau karena penyalahgunaan alkohol maupun
kurangnya kepedulian terhadap kesehatan karena menjadi tuna wisma, infeksi
TBC dapat menjadi penyakit TBC. Pada cara ini, seseorang dapat menjadi sakit
beberapa bulan atau bahkan beberapa tahun setelah mereka menghirup kuman
TBC.6
Cara yang lain terjadi jauh lebih cepat. Terkadang ketika seseorang
pertama kali menghirup kuman TBC, tubuhnya tidak mampu melindungi diri
terhadap penyakit ini. Kuman tersebut kemudian berkembang menjadi penyakit
TBC aktif dalam beberapa minggu.5 Seseorang dengan TBC aktif akan menjadi
sangat infeksius dan dapat menyebarkan TBC ke orang lain. 7
Infeksi M. tuberculosis
↓
Kuman mati ←Fagositosis oleh makrofag alveolus paru
↓
Kuman hidup dan berkembang biak Masa inkubasi
2-12 minggu
Pembentukan fokus primer
Penyebaran limfogen
Penyebaran hematogen
↓
Kompleks primer
Uji tuberkulin (+) ← Terbentuk imunitas spesifik seluler
5
Sakit TBC Infeksi TBC
Komplikasi kompleks primer Imunitas optimal
Komplikasi penyebaran hematogen
Komplikasi penyebaran limfogen
↓ ↓
Meninggal Sembuh → Sakit TBC
Reaktivasi/infeksi
Gambar 1. Patogenesis TBC1
Kuman TBC dalam droplet nuclei yang terhirup dapat mencapai alveolus.
Masuknya kuman TBC ini akan segera diatasi oleh mekanisme imunologis
nonspesifik. Makrofag alveolus akan memfagosit kuman TBC di mana sebagian
besar kuman TBC akan hancur. Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag
tidak mampu menghancurkan kuman TBC dan kuman akan bereplikasi dalam
makrofag. Kuman TBC dalam makrofag yang terus berkembang biak akan
menyebabkan makrofag mengalami lisis, dan kuman TBC membentuk koloni di
tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TBC di jaringan paru disebut fokus
primer Ghon.5
Dari fokus primer, kuman TBC menyebar melalui saluran limfe menuju
kelenjar limfe regional. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di
saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika
fokus primer terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang terlibat
adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika fokus primer terletak di apeks
paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan
gabungan antara fokus primer, kelenjar limfe regional yang membesar
(limfadenitis), dan saluran limfe yang meradang (limfangitis).
Waktu yang diperlukan sejak kuman TBC masuk sampai terbentuk
kompleks primer secara lengkap disebut masa inkubasi TBC. Masa inkubasi TBC
biasanya berlangsung antara 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12
minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai jumlah
103-104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas seluler.5
6
Pada minggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan logaritmik
kuman TBC sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi terhadap
tuberkulin, mengalami perkembangan sensitivitas. Pada saat terbentuknya
kompleks primer ini, infeksi TBC primer dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut
ditandai oleh terbentuknya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu
timbulnya respon positif terhadap uji tuberkulin. Selama masa inkubasi, uji
tuberkulin masih negatif. Setelah kompleks primer terbentuk, imunitas seluler
tubuh terhadap TBC telah terbentuk. Pada sebagian besar individu dengan sistem
imun yang berfungsi baik, ketika sistem imun seluler berkembang, proliferasi
kuman TBC terhenti. Namun sejumlah kecil kuman TBC dapat tetap hidup dalam
granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman TBC baru yang masuk ke
dalam alveoli akan segera dimusnahkan.
Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah
mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan
mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya tidak sesempurna
fokus primer di jaringan paru. Kuman TBC dapat tetap hidup dan menetap selama
bertahun-tahun dalam kelenjar ini.
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang
terjadi dapat disebabkan oleh fokus di paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus
primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis dan pleuritis fokal.
Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan
keluar melalui brokus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas).
Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal saat awal
infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut. Bronkus dapat
terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal menimbulkan
hiperinflasi di segmen distal paru. Obstruksi total dapat menyebabkan atelektasis.
Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis dapat merusak dan menimbulkan
erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TBC endobronkial atau
membentuk fistula. Masa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus
sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan atelektasis, yang sering
disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi.5
7
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat
terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman
menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan
pada penyebaran hematogen, kuman TBC masuk ke dalam sirkulasi darah dan
menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang
menyebabkan TBC disebut sebagai penyakit sistemik.
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk
penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini,
kuman TBC menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak
menimbulkan gejala klinis. Kuman TBC kemudian akan mencapai berbagai organ
di seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju adalah organ yang memiliki
vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks
paru atau lobus atas paru. Di berbagai tempat tersebut, kuman TBC akan
bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas seluler
yang akan membatasi pertumbuhannya.5
Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi
pertumbuhannya oleh imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk dorman.
Fokus ini pada umumnya tidak langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi
berpotensi untuk menjadi fokus reaktivasi. Fokus potensial ini disebut sebagai
fokus Simon. Bertahun-tahun kemudian, bila daya tahan tubuh pejamu menurun,
fokus Simon ini dapat mengalami reaktivasi dan menjadi penyakit TBC di organ
terkait, misalnya meningitis, TBC tulang, dan lain-lain.
Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogen
generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini,
sejumlah besar kuman TBC masuk dan beredar dalam darah menuju ke seluruh
tubuh. Hal ini dapat menyebabkan manifestasi klinis penyakit TBC secara akut,
yang disebut TBC diseminata. TBC diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan
setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi
kuman TBC yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis
diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem pejamu (host) dalam mengatasi
infeksi TBC, misalnya pada balita.
8
Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized hematogenic
spread dengan jumlah kuman yang besar. Semua tuberkel yang dihasilkan melalui
cara ini akan mempunyai ukuran lebih kurang sama. Istilah milier berasal dari
gambaran lesi diseminata yang menyerupai butir padi-padian/jewawut (millet
seed). Secara patologi anatomik, lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1-3 mm,
yang secara histologik merupakan granuloma.
Bentuk penyebaran yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic
spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu proses perkijuan menyebar ke
saluran vaskular di dekatnya, sehingga sejumlah kuman TBC akan masuk dan
beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TBC akibat penyebaran tipe ini tidak
dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic spread. Hal ini dapat
terjadi secara berulang.
2.6 Klasifikasi Tuberkulosis
Sampai sekarang belum ada kesepakatan diantara para kinikus, ahli
radiologi, ahli patologi, mikrobiologi dan ahli kesehatan masyarakattentang
keseragaman klasifikasi tuberculosis. Dari sistem lama diketahui beberapa
klasifikasi seperti:7
a. Pembagian secara patologis
- Tuberculosis primer (childhood tuberculosis)
- Tuberculosis post primer (adult tuberculosis)
b. Pembagian secara aktivitas radiologis tuberculosis paru (Koch
pulmonum) aktif, non aktif dan quiescent (bentuk aktif yang mulai
menyembuh)
c. Pembagian secara radiologis (luas lesi)
- Tuberculosis minimal; terdapat sebgaian kecil infiltrate non kavitas
- Moderately advance tuberculosis; ada kavitas dengan diameter
tidak lebih dari 4cm. Bila bayangannya kasar tidak lebih dari
sepertiga bagian satu paru.
- Far advance tuberculosis; terdapat infiltrat dan kavitas yang
melebihi keadaan paa moderately advance tuberculosis
9
Pada tahun 1974 american thoracic society memberikan klasifikasi baru yang
diambil berdasarkan aspek kesehatan masyarakat.
a. Kategori 0: tidak pernah terpajan, tidak terinfeksi, riwayat kontak
negative, tes tuberculin negative.
b. Kategori I: terpajan tuberculosis, tapi tidak terbukti ada infekksi.
Disini riwayat kontak positif, tes tuberculin negative.
c. Kategori II: terinfeksi tuberculosis, tapi tidak sakit. Tes tuberculin
positif, radiologis dan sputum negative.
d. Kategori III: terinfeksi tuberculosis dan sakit.
Di Indonesia klasifikasi yang paling sering dipakai adalah berdasarkan kelainan
klinis, radiologis dan mikrobiologis: 7
a. Tuberculosis paru
b. Bekas tuberculosis paru
c. Tuberculosis paru tersangka yang terbagi dalam
1. Tuberculosis paru tersangka yang diobati, disini sputum BTA
negative, tetapi tanda-tanda lainnya positif
2. Tuberculosis paru tersangka yang tidak diobati, disini sputum
BTA negatif, tetapi gejala yang lain juga meragukan.
Dalam 2-3 bulan, TB tersangka ini sudah harus diperhatikan apakah termasuk TB
paru (aktif) atau bekas TB paru. Dalam klasifikasi ini perlu dicantumkan:
a. Status bakteriologi
b. Mikroskopik sputum BTA
c. Biakan sputum BTA
d. Status radiologis, kelainan yang relevan untuk tuberculosis paru
e. Status kemoterapi, riwayat pengobatan dengan obat anti tuberculosis
Pada tahun 1991, WHO berdasarkan terapi membagi TB kedalam 4 kategori:
a. Kategori I:
- Kasus baru dengan sputum positif
- Kasus baru dengan bentuk TB berat
b. Kategori II:
- Kasus kambuh
- Kasus gagal dengan sputum BTA positif
10
c. Kategori III:
- Kasus BTA negative dengan kelainan paru yang tidak luas
- Kasus TB ekstra paru selain dari yang disebut dalam kategori I
d. Kategori IV:
- TB kronik
Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis
1. Tuberkulosis paru BTA positif
a. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA
positif.
b. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
menunjukkan gambaran tuberkulosis.
c. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB
positif.
d. 1 atau lebih specimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen
dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif
dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
2. Tuberkulosis paru BTA negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria
diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi :
a. Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negative
b. Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberculosis.
c. Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
d. Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi
pengobatan
Klasifikasi Berdasarkan Riwayat Pengobatan 6
1) Baru adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah
pernah minum OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
2) Kambuh (relaps) adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah
mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh,
didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur)
11
3) Pengobatan setelah putus berobat adalah pasien yang telah berobat dan
putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.
4) Gagal (Failure) adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap
positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama
pengobatan.
5) Pindahan (Transfer In) adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang
memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya.
6) Lain-lain adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas.
Seperti kasus kronis, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih
positif setelah selesai pengobatan ulangan.
2.7 Gejala Klinis
Pasien dengan tuberculosis datang dengan berbagai macam keluhan, atau
sering juga tanpa keluhan sama sekali. Keluhan yang paling sering diantaranya
adalah:
a. Demam
Demam biasanya subfebril (sumer-sumer) menyerupai demam influenza.
Tetapi kadan-kadang panas badan dapat mencapai 40-410C. serangan demam
pertama dapat sembuh sebentar, tetapi kemudian dapat timbul kembali. Begitulah
seterusnya, sehingga pasien merasa tidak pernah lepas dari demam ini.
b. Batuk/batuk darah
Gejala ini banyak ditemukan. Batuk terjadi karena ada iritasi dari bronkus.
Batuk ini diperlukan untuk membuang produk-produk radang keluar. Karena
terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama, mungkin saja batuk baru
terjadi setelah penyakit berkembang dalam jaringan paru-paru, yaitu berminggu-
inggu bahkan berbulan-bulan. Sifat batuk dimulai dai batuk tidak berdahak,
kemudian setelah timbul peradangan terjadi batuk berdahak. Keaaan lanjut adlah
batuk darah karena terdapat pembuluh darah yang pecah. Kebnyakan batuk darah
pada tuberculosis terjadi pada kavitas, tetapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding
bronkus.
c. Sesak nafas
12
Sesak nafas timbul jika inflitrasi sudah mengenai setengah bagian paru-paru ,
yaitu pada stadium penyakit yang sudah lanjut.
13
d. Nyeri dada
Gejala ini jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah
sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadinya gesekan sewaktu
pasien menarik dan menghembuskan nafas, sehingga terasa sangat nyeri.
e. Malaise
Penyakit tuberculosis bersifat radang yang menahu. Gejala malaise sering
ditemukan berupa anoreksia tidak ada nafsu makan, badan makin kurus, sakit
kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam. Gejala ini makin lama makin berat
dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur.
2.8 Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik terhadap keadaan umum pasien sering ditemukan,
konjungtiva mata pucat karena anemia, suhu demam subfebris, badan kurus atau
berat badan menurun. Selanjutnya, pada pemeriksaan fisik pasiensering tidak
menunjukkan suatu kelainan pun, terutama pada kasus-kasus dini atau yang sudah
terinfiltrasi secara asimptomatik. Demikian juga bila fokus penyakit yang terletak
didalam, akan sulit menemukan kelainan pada pemeriksaan fisik, karena hantran
getaran suara yang lebih dari 4 cm kedalam paru sulit dinilai dengan palpasi,
perkusi, auskultasi. Secara anamnesis dan pemeriksaan fisik, tb paru sulit
dubedakan dengan pneumonia biasa.
Tempat kelainan lesi TB paru yang paling dicurigai adalah bagian apek
(puncak) paru. Bila dicurigai adanya infiltrate yang agak luas maka, didapatkan
perkusi yang redup dan auskultasi suara nafas bronchial. Akan didapatkan juga
suara nafas tambahan berupa ronki basah, kasar dan nyaring. Tetapi bila infiltrate
ini diliputi oleh penebalan pleura, suara nafasnya menjadi vesicular melemah. Bila
terdapat kavitas yang cukup besar, perkusi akan menjadi hipersonor atau timpani
dan auskultasi memberikan suara amforik.
Pada tuberculosis paru yang lanjut dengan fibrosis yang luas sering
ditemukan atropi dan retraksi otot-otot interkostal. Bagian paru yang sakit akan
menciut dan menarik bagian paru yang lainnya dan mediastinum. Bila
tuberculosis mengenai pleura, sering terjadi efusi pleura. Paru yang sakit terlihat
14
agak tertinggal dalam pernafasan.perkusi ditemukan suara yang sangat pekak, dan
auskultasi memberikan suara nafas yang lemah bahkan sampai tidak terdengar.
2.9 Pemeriksaan Radiologis
Pada saat ini pemeriksaan dada merupakan hal yang sangat praktis dan
murah untk menemukan lesi pada tuberculosis. Lkasi lesi umumnya ditemukan
pada apeks paru (segmen apical lobus atas atau segmen apical lobus bawah),
tetapi dapat juga mengenai lobus bawah (bagian inferior) atau didaerah hilus
menyerupai tumor paru.
Pada awal penyakit, gambaran radiologis berupa bercak-bercak seperti
awan, dan dengan batas-batas yang tidak tegas. Bila lesi sudah diikuti jaringan
ikat maka bayangan terlihat berupa bulatan dengan batas yang tegas, lesi ini
dikenal sebagai tuberkuloma. Ditemukan juga gambaran kavitas bila penyakitnya
sudah lanjut. Pada TB milier ditemukan gambaran bercak-bercak halus yang
umumnya tersebar merata pada lapang paru.
Pada satu foto sering ditemukan gambaran yang bermacam-macam,
biasanya pada penyakit yang sudah lanjut. Gabarannya dapat berupa, infiltrate,
garis-garis fibrosis, kalsifikasi, kavitas (non sklerotik dan sklerotik) maupun
atelektasis dan emfisema.
2.10 Pemeriksaan Laboratorium
2.10.1 Darah Lengkap
Pada saat tuberculosis baru mulai (aktif) akan didapatkan jumlah leukosit
yang meningkat. Jumlah limfosit dibawah normal. Laju endap darah mulai
meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali normal dan
jumlah limfosit meninggi. Hasil pemeriksaan darah yang lain juga didapatkan,
anemia ringan dengan gambaran normokromik normositer, gama globulin
meningkat dan kadar natrium darah menurun. 5
2.10.2 Sputum
Pemeriksaan sputum sangat penting karena dapat menemukan kuman TB,
dan diagnosis TBC sudah dapat dipastikan. Disamping itu pemeriksaan sputum
15
juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang sudah diberikan.
Dilakukan pemeriksaan dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS).
S (Sewaktu): dahak dikumpulkan saat suspek TB dating berkunjung
pertama kali. Pada saat pulang suspek membawa sebuah pot dahak untuk
mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.
P (Pagi): Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera
setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas
kesehatan.
S (Sewaktu): Dahak dikumpulkan di unit pelayanan kesehatan pada hari
kedua, saat menyerahkan dahak pagi.
Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang-kurangnya ditemukan 3 batang
kuman BTA pada satu sediaan. Dengan kata lain ditemukan 5000 kuman dalam 1
ml sputum. 5
2.11 Diagnosis5
Diagnosis pasti penyakit tuberculosis adalah dengan menemukan kuman
mycobacterium tuberculosis dala sputum atau jaringan paru secara biakaan.
Diagnosis TB paru dapat ditegakkan dengan pemeriksaan fisik dan anamnesis dan
radiologis. WHO tahun 1991 memberikan kriteria pasien tuberculosis paru.
a. Pasien dengan sputum BTA positif:
1. Pasien yang dengan pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis
ditemukan BTA, sekurang-kurangnya pada dua kali pemeriksaan, atau
2. Satu sputum dengan hasil positif disertai dengan gambaran radiologis
sesuai dengan TB aktif.
3. Satu sediaan sputumnya positif disertai biakan yang positif.
b. Pasien dengan sputum BTA negative
1. Pasien yang pada pemeriksaan sputumnya tidak ditemukan BTA
sedikitnya pada dua kali pemeriksaan tetapi pada gambaran radiologis
mendukung TB
2. Pada pemeriksaan sputum negative, tetapi biakannya positif.
16
Selain TB paru erdapat juga TB ekstra paru, yaitu pasien dengan kelaianan
histologist atau dengan gambaran klinis sesuai dengan TB aktif atau pasien
dengan satu sediaan dari organ ekstra parunya menunjukkan hasil mycobacterium
tuberculosae.
2.12 Strategi DOTS6
Sejak tahun 1995 , program pemberantasan tuberkulosis paru di Indonesia telah
dilaksanakan dengan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse
chemotherapy) yang direkomendasi oleh WHO. Penanggulangan dengan strategi
DOTS dapat memberikan tingkat kesembuhan yang tinggi (DepKes RI, 2002).
Strategi DOTS, sesuai rekomendasi WHO, terdiri atas 5 komponen yaitu :
1. Komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk dukungan
dana.
2. Diagnosis tuberkulosis dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis.
3. Pengobatan dengan panduan Obat Anti Tuberkulosis dengan pengawasan
langsung oleh pengawas menelan obat (PMO).
4. Kesinambungan ketersediaan obat jangka pendek dengan mutu terjamin.
5. Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan
dan evaluasi program penanggulangan tuberculosis.
Pengobatan dengan pengawasan oleh pengawas minum obat (PMO). PMO
mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses kesembuhan penderita.
Kita bisa membayangkan bahwa minum obat saja dengan penyakit biasa kadang-
kadang kita lupa minum obat dengan tepat waktu atau lupa sama sekali dan itu
pun tidak mempunyai efek besar kalau berhenti minum obat. Namun, berbeda
halnya dengan penderita TBC di mana mereka harus menjalani masa pengobatan
sekitar enam bulan. Obat harus diminum sesuai aturannya, baik jumlahnya,
jenisnya maupun waktunya. Dengan kompleksnya masalah ini sehingga tidak
sedikit penderita TB yang drop out, gagal berobat karena mereka bosan. Ada
beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang PMO yaitu :
1. Seseorang yang dikenal, disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun
penderita, selain itu harus dihormati oleh penderita.
2. Seseorang yang tinggal dekat dengan penderita
17
3. Bersedia membantu penderita dengan sukarela
4. Bersedia dilatih dan mendapat penyuluhan bersama-sama dengan
penderita
Menurut Buku Pedoman TB Nasional (2002) ada beberapa tugas seorang
PMO yaitu :
1. Mengawasi penderita TBC secara langsung agar menelan obat anti
tuberkulosis secara teratur sesuai dengan dosis dan waktu yang sudah
ditentukan.
2. Memberi dorongan kepada penderita TBC agar mau menelan obat anti
tuberkulosis secara teratur.
3. Memberikan informasi mengenai penyakit TBC kepada penderita TBC
2.13 Panduan Obat Anti Tuberkulosis6
Pengobatan penderita tuberkulosis paru bertujuan untuk menyembuhkan
penderita, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, mencegah resistensi dan
memutuskan rantai penularan Obat diberikan dalam bentuk kombinasi dari
beberapa jenis, dalam jumlah cukup dan jenis yang tepat selama 6-8 bulan, supaya
semua kuman (termasuk kuman persisten) dapat dibunuh. Pengobatan dilakukan
dengan pengawasan langsung oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO),
untuk menjamin kepatuhan penderita menelan ohat (DepKes RI., 2002).
2.13.1 Jenis dan Dosis Obat6
1. Isoniazid (H), dikenal dengan INH, bersifat bakterisidal, dapat membunuh
90% populasi kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan. Obat ini
efektif terhadap kuman yang sedang berkembang. Dosis harian yang
dianjurkan 5 mg/kgBB
2. Rifampisin (R), bersifat bakterisidal, dapat membunuh kuman yang tidak
dapat dibunuh oleh Isoniasid. Dosis 10 mg/kgBB.
3. Pirasinamid (Z), bersifat bakterisidal dapat membunuh kuman yang berada
dalam sel dengan suasana asam, dosis harian yang dianjurkan adalah 25
mg/kgBB.
4. Streptomisin (S)
18
Bersifat bakterisidal, dosis yang dianjurkan 15 mg/kgBB
5. Etambutol (E), bersifat sebagai bakteristatik, dosis harian yang dianjurkan
15 mg/kgBB.
Obat TBC diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis, dalam
jumlah cukup dan dosis yang tepat selama 6-8 bulan, supaya semua kuman
(termasuk kuman persisten) dapat dibunuh. Dosis tahap intensif dan dosis tahap
lanjutan ditelan sebagai obat tunggal, sebaiknya pada saat perut kososng. Apabila
paduan obat yang digunakan tidak adekuat (jenis,dosis dan jangka waktu
pengobatan ), kuman TBC akan berkembang menjadi kuman kebal obat, untuk
menjamin kepatuhan perlu dilakukan pengawasan langsung oleh seorang
pengawas menelan obat (PMO). Tahap pengobatan intensif, penderita mendapat
obat setiap hari dan diawasi langsung untuk menjaga kepatuhan dan mencegah
timbulnya resistensi, bila pengobatan tersebut diberikan secara tepat , biasanya
penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu dan
sebagian besar penderita TBC BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) pada
akhir pengobatan. Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit,
namun jangka waktu yang lebih lama.
Program nasional penanggulangan TBC di Indonesia menggunakan panduan
OAT :
Kategori I : 2HRZE/4H3R3
Kategori II : 2HRZES/HRZE/5H3R3E3
Kategori III : 2HRZ/4H3R3
19
Tabel II.1
Panduan Pemberian OAT pada penderita TBC di Indonesia
KATEGORI PADUAN OBAT UNTUK PENDERITA
TUBERKULOSISINTENSIF LANJUT
I 2 HRZE
2 HRZS
4 H3R3
4 HR
6 HE
- TBC Paru Baru BTA (+)
- TBC Paru BTA(-),
Rontgen (+) sakit berat
- TBC Ekstra paru sakit
berat
II 2 HRZES
1 HRZE
5 H3R3E3
5 HRE
- TBC Paru BTA(+),
kambuh
- TBC Paru BTA (+),
gagal
- TBC Paru BTA (+),
penobatan ulang karena
lalai
III 2 HRZ 4 H3R3
4 HR
6 HE
- TBC Paru BTA (-)
Rontgen (+) sakit ringan
- TBC Ekstra paru ringan.
2.14 Pemantauan Dan Hasil Pengobatan Tb
Pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan dengan
pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan dahak secara
mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis dalam
memantau kemajuan pengobatan. Laju Endap Darah (LED) tidak digunakan untuk
memantau kemajuan pengobatan karena tidak spesifik untuk TB. Untuk
memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan spesimen sebanyak dua
kali (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila kedua
spesimen tersebut negatif. Bila salah satu spesimen positif atau keduanya positif,
hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif. Tindak lanjut hasil
pemeriksaan ulang dahak mikroskopis dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
20
Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan Ulang Dahak
Dikutip dari Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Depkes RI 2007
21
Tatalaksana Pasien yang Berobat Tidak Teratur
Dikutip dari Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Depkes RI 2007
2.15 Efek Samping OAT dan Penatalaksanaannya
Tabel berikut, menjelaskan efek samping ringan maupun berat dengan pendekatan
gejala.
Efek Samping Ringan OAT
22
Dikutip dari Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Depkes RI 2007Efek Samping Berat OAT
Dikutip dari Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Depkes RI 2007
Jika seorang pasien dalam pengobatan OAT mulai mengeluh gatal-gatal singkirkan dulu kemungkinan penyebab lain. Berikan dulu anti-histamin, sambil meneruskan OAT dengan pengawasan ketat. Gatal-gatal tersebut pada sebagian pasien hilang, namun pada sebagian pasien malahan terjadi suatu kemerahan kulit. Bila keadaan seperti ini, hentikan semua OAT. Tunggu sampai kemerahan kulit tersebut hilang. Jika gejala efek samping ini bertambah berat, pasien perlu dirujuk.
Pada UPK Rujukan penanganan kasus-kasus efek samping obat dapat dilakukan
dengan cara sebagai berikut:
• Bila jenis obat penyebab efek samping itu belum diketahui, maka pemberian
kembali OAT harus dengan cara “drug challenging” dengan menggunakan
obat lepas. Hal ini dimaksudkan untuk menentukan obat mana yang
merupakan penyebab dari efek samping tersebut.
• Efek samping hepatotoksisitas bisa terjadi karena reaksi hipersensitivitas atau
karena kelebihan dosis. Untuk membedakannya, semua OAT dihentikan dulu
kemudian diberi kembali sesuai dengan prinsip dechallenge-rechalenge. Bila
23
dalam proses rechallenge yang dimulai dengan dosis rendah sudah timbul
reaksi, berarti hepatotoksisitas karena reakasi hipersensitivitas.
• Bila jenis obat penyebab dari reaksi efek samping itu telah diketahui, misalnya
pirasinamid atau etambutol atau streptomisin, maka pengobatan TB dapat
diberikan lagi dengan tanpa obat tersebut. Bila mungkin, ganti obat tersebut
dengan obat lain. Lamanya pengobatan mungkin perlu diperpanjang, tapi hal
ini akan menurunkan risiko terjadinya kambuh.
• Kadang-kadang, pada pasien timbul reaksi hipersensitivitas terhadap Isoniasid
atau Rifampisin. Kedua obat ini merupakan jenis OAT yang paling ampuh
sehingga merupakan obat utama (paling penting) dalam pengobatan jangka
pendek. Bila pasien dengan reaksi hipersensitivitas terhadap Isoniasid atau
Rifampisin tersebut HIV negatif, mungkin dapat dilakukan desensitisasi.
Namun, jangan lakukan desensitisasi pada pasien TB dengan HIV positif
sebab mempunyai risiko besar terjadi keracunan yang berat.
Bagan Monitoring Hepatotoksisitas pada pengobatan OAT
24
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 IDENTITAS PASIEN
Nama : Dwi Margianti
Umur : 26 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Pegawai Laundry
Suku : Jawa
Agama : Islam
Status : Menikah
Pendidikan : Tamat SLTA
Alamat : Br. Bayuh Sari, Bukit Unggasan
MRS : 24 April 2011
Tanggal pemeriksaan : 29 April 2011
3.2 ANAMNESIS
Riwayat penyakit sekarang
Keluhan utama: Batuk darah
Penderita mengeluh batuk darah sejak 12 jam sebelum MRS. Batuk darah
sebanyak 2 kali. Yang pertama 12 jam sebelum MRS dengan volume kira-kira 2
sendok makan dan yang kedua yaitu 2 jam sebelum MRS dengan volume kira-kira
setengah gelas air mineral. Darah yang dikeluarkan berwarna merah segar dan
tanpa dahak. Sebelumnya penderita mengalami batuk biasa sejak 1 minggu
sebelum MRS, sering setiap hari dengan dahak kental berwarna keputihan. Batuk
biasanya muncul dan memberat jika aktivitas kerja pasien mulai banyak. Dan
dengan keluhan batuknya ini kadang membuat aktivitas pasien menjadi menurun.
Saat pemeriksaan batuk darah sudah tidak dikeluhkan lagi, pasien hanya
mengeluh batuk biasa seperti sebelumnya.
Awalnya 2-3 hari sebelum keluhan batuk muncul, penderita mengalami
panas badan. Panas dikatakan hanya sumer-sumer dan hilang timbul. Panas turun
25
setelah diberikan obat penurun panas (parasetamol). Setiap episode panas, panas
hanya berlangsung sekitar 2-3 hari.
Penderita juga mengeluh mengalami penurunan berat badan. Penurunan
berat badan dikatakan perlahan-lahan, mencapai hingga lebih dari 5 kg dalam 6
bulan terakhir. Keluhan ini bersamaan dengan nafsu makan yang menurun dan
badan terasa lemas.
Keluhan pilek, hidung tersumbat, sering berkeringat pada malam hari,
sesak napas, dan nyeri dada disangkal.
Riwayat Penyakit Dahulu
Sebelumnya penderita sudah mengalami batuk sejak 6 bulan terakhir.
Batuk awalnya kering, lama kelamaan disertai dahak. Dahak yang keluar
dikatakan dengan konsistensi kental berwarna keputihan. Penderita hanya
memeriksakan dirinya ke puskesmas atau klinik terdekat, dan diberi obat batuk.
Keluhannya membaik tetapi tidak lama setelah itu batuknya muncul lagi.
Riwayat penyakit sistemik lain seperti hipertensi, diabetes mellitus,
asma,alergi dan penyakit jantung disangkal.
Riwayat Penyakit dalam Keluarga
Penderita mengatakan bahwa dalam keluarganya tidak ada yang mederita
keluhan batuk darah seperti penderita. Dan tidak ada yang mempunyai riwayat
batuk lama maupun riwayat penyakit TBC. Tidak ditemukan riwayat penyakit
jantung, hipertensi, kencing manis, dan alergi pada anggota keluarga lainnya.
Riwayat Pribadi dan Sosial
Pasien adalah seorang pegawai laundry. Pasien tidak merokok dan tidak
pernah mengkonsumsi minuman keras atau jamu.
3.3 PEMERIKSAAN FISIK (29 APRIL 2011)
Tanda vital:
Kondisi umum : sedang
Kesadaran : compos mentis
GCS : E4 V5 M6
26
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 88x/menit regular
Respiratory rate : 20 x/menit
Temperatur axila : 37,70C
Berat badan : 45 kg
Tinggi badan : 150 cm
IMT : 20,0 kg/m2
Pemeriksaan Umum:
Mata : konjunctiva pucat -/-; sklera kuning -/-; reflek pupil +/+ isokor;
edema palpebra -/-
THT : faring hiperemi (-), mukosa hidung hiperemi (-), sekret (-)
Leher : JVP + 0 cmH20, pembesaran kelenjar (-)
Thorax : Simetris
Cor
Inspeksi : tidak tampak pulsasi iktus kordis
Palpasi : iktus kordis teraba di ICS V, 1 jari MCL kiri
Perkusi : batas atas jantung ICS II
batas bawah jantung kanan ICS V PSL kanan
batas kiri jantung sulit dievaluasi
Auskultasi : S1,S2 tunggal regular, murmur tidak ada
Pulmo
Inspeksi : simetris (aktif dan pasif), retraksi suprasternal dan
supraclavicular (-)
Palpasi : vokal fremitus N/meningkat
Perkusi : sonor/redup
Auskultasi : vesikuler +/+; ronki -/+; wheezing -/-
Abdomen : distensi (-), bising usus (+) normal,
nyeri tekan ulu hati (-), asites (-), hepar/lien tidak teraba
Ekstremitas : hangat + + edema - -
+ + - -
27
3.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
24 APRIL 2011
Darah Lengkap
Pemeriksaan Hasil Normal
WBC 11.9 4.10-11.00
RBC 3.99 4-5.20
HGB 11.4 12.0-16.0
MCH 28.8 26.0 – 34.0
MCHC 34.2 31.0-36.0
MCV 83.6 80.0 – 100
HCT 33.3 36.0-46.0
PLT 332 140-440
Neutrofil 8.6 (72.6%) 2.5 – 7.5 (47.0% –
80.0%)
Lymfosit 1.6(13.6%) 1.0 – 4.0 (13.0 –
40.0%)
Monosit 1.5 (13.0%) 0.1-1.2 (2.0-
11.0%)
Eosinofil 0.1 (0.6%) 0.0-0.5(0.0-5.0%)
Kimia darah
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
SGOT 13.00 11,00 - 33,00
SGPT 6.00 11,00 – 50,00
Albumin 2.50 3,40 - 4,80
Analisis Gas Darah
28
Pemeriksaan Hasil Normal
pH 7.47 7.35-7.45
p CO2 37.00 35-45
p O2 68.00 80-100
Hct 36.00 37-49
HCO3- 26.90 22-26
Tco2 28.00 24-30
BE (B) 3.20 -2-2
SO2c 94.0 95%-100%
Thorax foto
Radiologi
Rontgen Thorax AP:
CTR sulit dievaluasi
Infiltrat (+) di lapangan paru kiri, cavitas (+)
Sudut phrenicocostal kanan dan kiri tajam
Diafragma : normal
Tulang-tulang: tampak scoliosis thorakalis dengan konveksi ke kanan
Kesan: TB Paru
Scoliosis thorakalis
Pengecatan BTA
29
Tgl Bahan Hasil
25/4/2011 Sputum I +1
26/4/2011 Sputum II +2
26/4/2011 Sputum III +2
4 DIAGNOSIS KERJA
- TB paru BTA (+) kasus baru
5 PENATALAKSANAAN
- IVFD NS 20 tts/menit
- OAT kategori 1
- Bromhexim syr 3 x CI
- Paracetamol tab 3x 500 mg
Dosis obat Antituberkulosis kombinasi dosis tetap
Fase Intensif Fase Lanjutan
2 bulan 4 bulan
BB (kg) Harian Harian 3x/minggu Harian 3x/minggu
(RHZE)
150/75/400/275
(RHZ)
150/75/400
(RHZ)
150/150/500
(RH)
150/75
(RH)
150/150
38-54 3 3 3 3 3
- Paduan obat yang dianjurkan : 2 RHZE/ 4 RH atau 2 RHZE/ 6 HE
atau 2 RHZE/ 4R3H3
3.6 MONITORING
- Vital sign
- Keluhan
3.7 PROGNOSIS
30
Dubius ad bonam.
31