responsi kulit.doc

26
1

Upload: dyandri-yogi

Post on 08-Nov-2015

274 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

RESPONSI ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMINTINEA CORPORIS ET CRURIS

Nama : Kristianto Oka Windaris

NIM : 2009.04.0.0008

I. IDENTITAS PENDERITA

Nama

: Ny. TSUmur

: 64 tahun

Jenis Kelamin

: PerempuanAlamat

: Kalianyar, Surabaya

Agama

: IslamStatus

: MenikahSuku/Bangsa

: Jawa/Indonesia

Pekerjaan

: Ibu Rumah TanggaTanggal Pemeriksaan: 29 April 2015II. ANAMNESA

2.1 Keluhan Utama

Muncul bercak merah kehitaman dan gatal pada lipatan bawah payudara kanan, pantat kanan dan kiri2.2 Keluhan Tambahan

-2.3 Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke Poli Kulit dan Kelamin RSAL Dr.Ramelan Surabaya pada hari Rabu, 29 April 2015 dengan keluhan muncul bercak merah kehitaman dan gatal pada lipatan bawah payudara kanan, pantat kanan dan kiri sejak 2 bulan yang lalu. Pasien mengaku bahwa bercak kemerahan ini awalnya berupa bintik kemerahan dan dirasakan gatal di pantat kanan dan kiri di dekat lubang anus. Pasien juga merasakan keluhan yang sama pada bagian bawah dari payudara kanan pasien. Ketika gatal, pasien suka menggaruknya dan bercak kemerahan lama kelamaan semakin meluas. Karena pasien merasa tidak nyaman, akhirnya oleh pasien sendiri diberi bedak Herocyn namun gatal tidak juga berkurang. Rasa gatal akan bertambah bila terkena keringat. Kemudian bercak kemerahan lama kelamaan bertambah luas sampai akhirnya pasien memeriksakan diri ke dokter kulit di RSAL. Pasien menyangkal pernah sakit seperti ini sebelumnya. Tidak ada keluarga atau tetangga yang sakit seperti ini. Pasien juga menyangkal sebelumnya digigit serangga atau ada kontak dengan bahan kimia. 2.4 Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat alergi makanan disangkal

Riwayat alergi obat disangkal Riwayat digigit serangga sebelumnya disangkal2.5 Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat alergi dalam keluarga disangkal Riwayat sakit seperti yang dikeluhkan pasien sekarang disangkal2.6 Riwayat Psikososial

Pasien tinggal berdua dengan suaminya. Suami tidak mengalami keluhan seperti pasien. Pasien mandi 2x sehari memakai sabun mandi dan menggunakan air PDAM. Berganti pakaian luar 2x sehari namun pasien mengaku berganti pakaian dalam setiap 2 hari sekali, memakai handuk sendiri tidak bergantian dengan suami. Lingkungan tempat tinggal bersih.III PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum: Baik

Kesadaran : Compos mentis

Status gizi: TB : 160 sentimeter

BB : 87 kilogram

BMI : 34 (Obesitas Graade 1)

Tekanan darah: 130/90

Nadi

: 78x/menit

RR

: 20x/menit

Suhu axial: 36,5CStatus Generalis

Kepala

: dalam batas normal

Leher

: dalam batas normal

Thorax

: dalam batas normal

Abdomen

: dalam batas normal

Ekstremitas: dalam batas normalStatus Dermatologis

Lokasi

: Regio thorax (inferior mammae dextra)

Effloresensi : Tampak makula hiperpigmentasi dengan batas tegas

Lokasi

: Regio gluteus

Effloresensi: Tampak makula hiperpigmentasi dengan batas tegas

Lokasi

: Regio femoral dextra

Effloresensi: Tampak patch eritema, ukuran bervariasi dengan batas tegas, tampak central healing dan tepi lesi aktif dengan papul-papul eritema diatasnya, disertai skuama putih tipis yang menutupi hampir seluruh permukaan yang eritematus.

IVPEMERIKSAAN PENUNJANG

1) Pemeriksaan KOH

2) Pemeriksaan Wood Lamp

VRESUMEPasien datang ke dengan keluhan muncul bercak merah kehitaman dan gatal pada lipatan bawah payudara kanan, pantat kanan dan kiri sejak 2 bulan yang lalu.

Pasien suka menggaruknya dan bercak kemerahan semakin meluas. Diberi bedak Herocyn oleh pasien, namun gatal tidak juga berkurang.

Pasien memiliki badan yang gemuk (obesitas grade 1) dan mempunyai kebiasaan mengganti pakaian dalam setiap 2 hari sekali. Status generalis : dalam batas normal

Status dermatologis :

Lokasi: Regio thorax (inferior mammae dextra) ; Regio gluteusEffloresensi : Tampak makula hiperpigmentasi dengan batas tegas Lokasi

: Regio femoral dextraEffloresensi: Tampak patch eritema, ukuran bervariasi dengan batas tegas, tampak central healing dan tepi lesi aktif dengan papul-papul eritema diatasnya, disertai skuama putih tipis yang menutupi hampir seluruh permukaan yang eritematus.VDIAGNOSA

Tinea corporis et crurisVIDIAGNOSA BANDING

Pitiriasis roseaVIIPENATALAKSANAAN

Planning Diagnosis Pemeriksaan mikroskopik ulang sediaan kerokan kulit dengan larutan KOH 20% (kalau perlu ditambah dengan tinta parker quink permanent blue black)

Pemeriksaan dengan media biakan seperti media sabouraud agar atau modified saboraud agar.Planning Terapi

Medikamentosa

Topikal : Mikonazole cream 2% 2x/hari Oral : Griseofulvin 2 x 500mg

Loratadine 1 x 10 mg

Non-medikamentosa

Menjaga higienitas tubuh dengan mandi 2x/hari dengan menggunakan sabun untuk mencegah infeksi sekunder. Memberitahukan agar penderita tidak menggaruk lesi kulit jika terasa gatal, karena dengan garukan tersebut malah dapat memperluas lesi. Menghindari penggunaan pakaian yang panas (karet, nylon), disarankan untuk memakai pakaian yang menyerap keringat.

Planning Monitoring

Keluhan.

Keluhan berkurang, tetap atau makin berat. Tanda-tanda adanya infeksi sekunder dan atau komplikasi. Perkembangan perluasan lesi.VIIIPROGNOSIS

Umumnya prognosis penyakit ini adalah baik.TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN Penyakit infeksi jamur, masih memiliki prevalensi yang cukup tinggi di Indonesia, mengingat negara kita beriklim tropis yang mempunyai kelembapan tinggi. Jamur bisa hidup dan tumbuh di mana saja, baik di udara, tanah, air, pakaian, bahkan di tubuh manusia. Jamur bisa menyebabkan penyakit yang cukup parah bagi manusia. Penyakit tersebut antara lain mikosis yang menyerang langsung pada kulit, mikotoksitosis akibat mengonsumsi toksin jamur yang ada dalam produk makanan, dan misetismus yang disebabkan oleh konsumsi jamur beracun (Rianyta, 2011)Tinea Corporis dan Tinea Cruris merupakan salah satu contoh dermatofitosis. Dermatofitosis merupakan infeksi jamur superfisial genus dermatofita, pada lapisan epitel yang berkeratinisasi (lapisan tanduk), jarang menginfeksi lebih dalam, ditandai dengan lesi inflamasi maupun non inflamasi pada daerah kulit berambut halus (glabrous skin) dan tidak dapat hidup pada membran mukosa (vagina, mulut) (Rianyta, 2011)Definisi

a. Definisi Tinea Cruris

Sinonim : Eksema marginatum, Dhobie itch, Jockey itch, Ringworm of the groin. Tinea cruris adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi jamur dermatofita pada kulit tak berambut, di daerah genito krusal (lipat paha, genitalia eksterna, sekitar anus dan dapat meluas ke bokong dan perut bagian bawah) (Djuanda, 2008).b. Definisi Tinea Corporis

Sinonim : Tinea sirsinata, Tinea glabrosa, Scherende Flechte, kurap, herpes sircine trichophytique. Tinea corporis adalah infeksi dermatofita yang menyerang kulit halus (glabrous skin) kecuali daerah kulit kepala, lipat paha, genitalia eksterna, sekitar anus, tangan dan kaki (Djuanda, 2008).Etiologi dan Faktor Resiko

Dermatofita adalah golongan jamur yang menyebabkan dermatofitosis. Golongan jamur ini mempunyai sifat mencerna keratin. Dermatofita termasuk kelas fungi imperfecti yang terbagi menjadi tiga genus, yaitu Trichophyton spp, Microsporum spp, dan Epidermophyton spp. Walaupun semua dermatofita bisa menyebabkan tinea korporis, penyebab yang paling umum adalah Trichophyton Rubrum dan Trichophyton Mentagrophytes.Penyakit ini dapat terjadi pada semua umur dan paling sering terjadi pada iklim yang panas (tropis dan subtropis). Ada beberapa macam variasi klinis dengan lesi yang bervariasi dalam ukuran derajat inflamasi dan kedalamannya. Variasi ini akibat perbedaan imunitas hospes dan spesies dari jamur

Beberapa faktor yang memudahkan timbulnya penyakit ini antara lain (Rushing, 2006)a) Kebersihan badan yang kurang terjaga

b) Menggunakan pakaian yang tidak menyerap keringatc) Kontak dengan binatang,seperti kuda, sapi, kucing, anjing, atau kontak pasien lain..Patofisiologi

Dermatofitosis bukanlah patogen endogen. Transmisi dermatofit kemanusia dapat melalui 3 sumber masing-masing memberikan gambaran tipikal. Karena dermatofit tidak memiliki virulensi secara khusus dan khas hanya menginvasi bagian luar stratum korneum dari kulit (Sobera, 2003). Pemakaian bahan yang tidak berpori akan meningkatkan temperatur dan keringat sehingga mengganggu fungsi barier stratum korneum. Infeksi dapat ditularkan melalui kontak langsung dengan individu atau hewan yang terinfeksi, benda-benda seperti pakaian, alat-alat dan lain-lain. Infeksi dimulai dengan terjadinya kolonisasi hifa atau cabang-cabangnya dalam jaringan keratin yang mati. Hifa ini memproduksi enzim keratolitik yang mengadakan difusi ke dalam jaringan epidermis dan merusak keratinosit (Rushing,2006)Infeksi dermatofita melibatkan 3 langkah utama:1. Perlekatan ke keratinosit

Jamur superfisial harus melewati berbagai rintangan untuk bisa melekat pada jaringan keratin di antaranya sinar UV, suhu, kelembaban, kompetisi dengan flora normal lain, sphingosin yang diproduksi oleh keratinosit. Dan asam lemak yang diproduksi oleh kelenjar sebasea bersifat fungistatik (Sobera, 2003).2. Penetrasi melalui ataupun di antara sel

Setelah terjadi perlekatan spora harus berkembang dan menembus stratum korneum pada kecepatan yang lebih cepat daripada proses deskuamasi. Penetrasi juga dibantu oleh sekresi proteinase lipase dan enzim mucinolitik yang juga menyediakan nutrisi untuk jamur. Trauma dan maserasi juga membantu penetrasi jamur ke jaringan. Fungal mannan di dalam dinding sel dermatofita juga bisa menurunkan kecepatan proliferasi keratinosit. Pertahanan baru muncul ketika jamur mencapai lapisan terdalam epidermis (Sobera, 2003).3. Perkembangan respon host

Derajat inflamasi dipengaruhi oleh status imun pasien dan organisme yang terlibat. Reaksi hipersensitivitas tipe IV atau Delayed Type Hypersensitivity (DHT) memainkan peran yang sangat penting dalam melawan dermatifita.pada pasien yang belum pernah terinfeksi dermatofita sebelumnya inflamasi menyebabkan inflamasi minimal dan trichopitin test hasilnya negatif. Infeksi menghasilkan sedikit eritema dan skuama yang dihasilkan oleh peningkatan pergantian keratinosit. Dihipotesakan bahwa antigen dermatofita diproses oleh sel langerhans epidermis dan dipresentasikan oleh limfosit T di nodus limfe. Limfosit T melakukan proliferasi dan bermigrasi ke tempat yang terinfeksi untuk menyerang jamur. Pada saat ini, lesi tiba-tiba menjadi inflamasi dan barier epidermal menjadi permaebel terhadap transferin dan sel-sel yang bermigrasi. Segera jamur hilang dan lesi secara spontan menjadi sembuh (Sobera, 2003).

Setelah masa perkembangannya (inkubasi) sekitar 1-3 minggu respon jaringan terhadap infeksi semakin jelas dan meninggi yang disebut ringworm, yang menginvasi bagian perifer kulit. Respon terhadap infeksi, dimana bagian aktif akan meningkatkan proses proliferasi sel epidermis dan menghasilkan skuama. Kondisi ini akan menciptakan bagian tepi aktif untuk berkembang dan bagian pusat akan bersih. Eliminasi dermatofit dilakukan oleh sistem pertahanan tubuh (imunitas) seluler (Rushing, 2006).

Penegakan Diagnosis

Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang.

1. Anamnesis

Pasien mengeluhan rasa gatal-gatal, karena rasa gatal semakin memberat pasien menggaruk lesi sehingga lesi menjadi lebih luas. Rasa gatal akan semakin meningkat jika banyak berkeringat. Riwayat pasien sebelumnya adalah pernah memiliki keluhan yang sama. Pasien berada pada tempat yang beriklim agak lembab dan panas serta memakai pakaian yang tidak menyerap keringat.2. Pemeriksaan Lokalis

Gambaran klinis dari tinea korporis merupakan lesi anular, bulat atau lonjong, berbatas tegas terdiri atas eritema, skuama, kadang-kadang dengan vesikel dan papul di tepi. Daerah tengahnya biasanya lebih tenang (tanda peradangan lebih jelas pada daerah tepi) yang sering disebut dengan central healing. Tapi kadang juga dijumpai erosi dan krusta akibat garukan. Lesi-lesi pada umumnya merupakan bercak-bercak terpisah satu dengan yang lain. Kelainan kulit dapat juga terlihat sebagai lesi-lesi dengan pinggir yang polisiklik, karena beberapa lesi kulit yang menjadi satu. Bila tinea korporis ini menahun tanda-tanda aktif jadi menghilang selanjutnya hanya meningggalkan daerah-daerah yang hiperpigmentasi dan skuamasi saja. Kelainan-kelainan ini dapat terjadi bersama-sama dengan tinea kruris (Djuanda, 2008).Lesi umumnya bilateral walaupun tidak simetris, berbatas tegas, tepi meninggi yang dapat berupa bintil-bintil kemerahan atau lenting-lenting kemerahan, atau kadang terlihat lenting-lenting yang berisi nanah. Bagian tengah menyembuh berupa daerah coklat kehitaman bersisik. Lesi aktif, polisiklik, ditutupi skuama dan kadang-kadang disertai dengan banyak vesikel kecil-kecil. Biasanya disertai rasa gatal dan kadang-kadang rasa panas. Garukan terus-menerus dapat menimbulkan gambaran penebalan kulit. Buah zakar sangat jarang menunjukkan keluhan, meskipun pemeriksaan jamur dapat positif. Apabila kelainan menjadi menahun maka efloresensi yang nampak hanya macula yang hiperpigmentasi disertai skuamasi dan likenifikasi (Djuanda, 2008).3. Pemeriksaan Penunjang

Dalam patogenesisnya, jamur patogen akan menyebabkan kelainan pada kulit sehingga atas dasar kelainan kulit inilah kita dapat membangun diagnosis. Akan tetapi kadang temuan efloresensi tidak khas atau tidak jelas, sehingga diperlukan pemeriksaan penunjang. Sehingga diagnosis menjadi lebih tepat.Pemeriksaan KOH merupakan pemeriksaan tunggal yang paling penting untuk mendiagnosis infeksi dermatofit secara langsung dibawah mikroskop memperlihatkan elemen jamur berupa hifa panjang dan artrospora (hifa yang bercabang) yang khas pada infeksi dermatofita diantara material keratin. Sampel untuk diagnosis diperoleh dari kerokan (scrapping) dan usapan lesi kulit. Bagian yang terinfeksi dibersihkan dengan alkohol 70%. Hasil kerokan kemudian diletakkan pada gelas objek steril dan selanjutnya ditambahkan 1-2 tetes KOH 10 %. Sediaan dibiarkan pada temperatur kamar selama 2-5 menit, dilayangkan beberapa kali di atas api kecil dan dilihat di bawah mikroskop. Adanya hifa atau konidia menunjukkan infeksi disebabkan oleh jamur.Pemeriksaan dengan pembiakan diperlukan untuk menyokong pemeriksaan langsung sediaan basah dan untuk menentukan spesies jamur. Pemeriksaan ini dilakukan dengan menanamkan bahan klinis pada media buatan. Yang dianggap paling baik pada waktu ini adalah medium agar dekstrosa SabouraudPenatalaksanaan

1. Non Medikamentosa

Menurut Rushing (2006) penatalaksanaan non medikamentosa pada tinea corporis adalah

a) Meningkatkan kebersihan badan dan menghindari berkeringat yang berlebihanb) Mengurangi kelembaban dari tubuh pasien dengan menghindari pakaian yang panas dan tidak menyerap keringat (karet, nylon)c) Menghindari sumber penularan yaitu binatang, kuda, sapi, kucing, anjing, atau kontak pasien lain.d) Menghilangkan fokal infeksi ditempat lain misalnya di kuku atau di kaki.e) Faktor-faktor predisposisi lain seperti diabetes mellitus, kelaian endokrin yang lain, leukemia, harus dikontrol. 2. Terapi topikal

Terapi direkomendasikan untuk infeksi lokal karena dermatofit biasanya hidup pada jaringan. Berbagai macam preparat imidazol dan alilamin tersedia dalam berbagai formulasi. Dan semuanya memberikan keberhasilan terapi (70-100%). Terapi topikal digunakan 1-2 kali sehari selama 2 minggu tergantung agen yang digunakan. Topikal imidazol dan allilamin menunjukkan angka perbaikan perbaikan klinik yang tinggi (Rushing, 2006). Berikut obat yang sering digunakan :

a) Topical azol terdiri atas :

1) Econazol 1 %

2) Ketoconazol 2 %

3) Clotrinazol 1%

4) Miconazol 2%

Derivat imidazol bekerja dengan cara menghambat enzim 14-alfa-dimetilase pada pembentukan ergosterol membran sel jamur (Rushing, 2006).b) Allilamin bekerja menghambat allosterik dan enzim jamur skualen 2,3 epoksidase sehingga skualen menumpuk pada proses pembentukan ergosterol membran sel jamur yaitu aftifine 1 %, butenafin 1% Terbinafin 1% (fungisidal bersifat anti inflamasi ) yang mampu bertahan hingga 7 hari sesudah pemakaian selama 7 hari berturut-turut (Rushing, 2006).c) Sikloklopirosolamin 2% (cat kuku, krim dan losio) bekerja menghambat masuknya bahan esensial selular dan pada konsentrasi tinggi merubah permeabilitas sel jamur merupakan agen topikal yang bersifat fungisidal dan fungistatik, antiinflamasi dan anti bakteri serta berspektrum luas.

d) Kortikosteroid topikal yang rendah sampai medium bisa ditambahkan pada regimen anti jamur topikal untuk menurunkan gejala. Tetapi steroid hanya diberikan pada beberapa hari pertama dari terapi (Rushing, 2006).3. Terapi sistemik

Menurut Kuswadji (2004) pedoman yang dikeluarkan oleh American Academy of Dermatology menyatakan bahwa obat anti jamur (OAJ) sistemik dapat digunakan pada kasus hiperkeratosis terutama pada telapak tangan dan kaki, lesi yang luas, infeksi kronis, pasien imunokompromais, atau pasien tidak responsif maupun intoleran terhadap OAJ topikal.

a) Griseofulvin

Obat ini berasal dari penicillium griceofulvum dan masih dianggap baku emas pada pengobatan infeksi dermatofit genus Trichophyton, Microsporum, Epidermophyton. Berkerja pada inti sel, menghambat mitosis pada stadium metafase.

b) Ketokonazol

Merupakan OAJ sistemik pertama yang berspektrum luas, fungistatik, termasuk golongan imidazol. Absorbsi optimum bila suasana asam.

c) Flukonazol

Mempunyai mekanisme kerja sama dengan golongan imidazol, namun absorbsi tidak dipengaruhi oleh makanan atau kadar asam lambung.

d) Itrakonazol

Merupakan OAJ golongan triazol, sangat lipofilik, spektrum luas, bersifat fungistatik dan efektif untuk dermatofita, ragi, jamur dismorfik maupun jamur dematiacea. Absorbsi maksimum dicapai bila obat diminum bersama dengan makanan.

e) Amfosterin B

Merupakan anti jamur golongan polyen yang diproduksi oleh Streptomyces nodosus. Bersifat fungistatik, pada konsentrasi rendah akan menghambat pertumbuhan jamur, protozoa dan alga. Digunakan sebagai obat pilihan pada pasien dengan infeksi jamur yang membahayakan jiwa dan tidak sembuh dengan preparat azol.

Prognosis

Pada umumnya prognosis untuk tinea corporis dan cruris adalah baik dengan terapi yang benar dan menjaga kebersihan kulit, pakaian dan lingkungan. Untuk tinea korporis yang bersifat lokal, prognosisnya akan baik dengan tingkat kesembuhan 70-100% setelah pengobatan dengan azol topikal atau allilamin atau dengan menggunakan anti jamur sistemik Penting juga untuk menghilangkan sumber penularan untuk mencegah reinfeksi dan penyebaran lebih lanjut. (Rushing, 2006).Komplikasi

Komplikasi yag terjadi akibat tinea corporis dan cruris adalah ekskoriasi dan infeksi sekunder oleh bakteri akibat garukan.Bisa juga terjadi selulitis dan reaksi alergi (Sobera, 2003).DAFTAR PUSTAKA

Djuanda A, Hamzah M, Aisah S.. Bab II. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Edisi Kelima. Cetakan ke-2. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta:2008, halaman 92-99

Rushing ME. Tinea corporis. Online journal. 2015 May 3; available from; http://www.emedicine.com/asp/tineacorporis/article/page type=Article.htmRianyta. Dermatofitosis e.c Tinea corporis. Online journal. 2015 May 3; available from; http://www.kalbemed.com/Portals/6/12_183Dermatofitosis.pdf

Siregar RS. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit, Edisi 2. EGC. Jakarta:2008, halaman 17-33

Sobera JO, Elewski BE. Fungal disease. In : Bolognia JL, Jorizzo JL, Raiini RP, editors. Dermatology. Spain : Elsevier Science; 2003. p.1174-83.1