responsi kulit

44
RESPONSI KULIT MORBUS HANSEN Oleh : Hanifah Astri Ernawati G99131041 Pembimbing : dr. Nurrachmat Mulianto, SpKK, M.Sc KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

Upload: hanifahastrid

Post on 18-Jan-2016

35 views

Category:

Documents


18 download

DESCRIPTION

gjjutuyjti

TRANSCRIPT

Page 1: Responsi Kulit

RESPONSI KULIT

MORBUS HANSEN

Oleh :

Hanifah Astri Ernawati

G99131041

Pembimbing :

dr. Nurrachmat Mulianto, SpKK, M.Sc

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI

SURAKARTA

2014

Page 2: Responsi Kulit

STATUS RESPONSI

ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

Pembimbing : dr. Nurrachmat Mulianto, Sp.KK, M.Sc

Nama : Hanifah Astrid Ernawati

NIM : G99131041

MORBUS HANSEN

A. DEFINISI

Morbus Hansen adalah penyakit infeksi kronik yang disebabkan oleh

Mycobacterium leprae.1 Merupakan penyakit infeksi mikobakterium yang bersifat

kronik progresif, mula-mula menyerang saraf tepi, dan kemudian terdapat

manifestasi kulit.2 Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa

traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan

saraf pusat. Manifestasi utama dari penyakit ini adalah lesi kulit dan neuropati

perifer, adapun komplikasi medis yang ada ditimbulkan oleh kerusakan saraf,

reaksi imunologis, dan infiltrasi bakteri. Infeksi ini terutama didapat selama masa

kanak-kanak atau dewasa muda.3

B. SINONIM

Sinonim Morbus Hansen dalam bahasa yang berbeda adalah, Aussatz

(German), Lepre (French), Lepra (Spanish), Prokaza (Russian), Maffung

(Chinese), Rabyo (Japanese), Judham (Arabic) and Kustha (Hindi).4

C. EPIDEMIOLOGI

Di seluruh dunia, sekitar 250.000 kasus baru kusta dilaporkan setiap tahun

dan sekitar 2 juta orang memiliki cacat kusta yang terkait. Tiga negara endemik

utama (India, Brasil, dan Indonesia) tercatat untuk 77% dari semua kasus baru. Di

Page 3: Responsi Kulit

Indonesia jumlah kasus kusta yang tercatat akhir tahun 2008 adalah 22.359 orang

dengan kasus baru tahun 2008 sebesar 16.668 orang. Distribusi tidak merata,

yang tertinggi antara lain di Pulau Jawa, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Prevalensi

pada tahun 2008 per 10.000 penduduk adalah 0,72.3

Kusta lebih banyak didapatkan pada laki-laki daripada wanita, dapat

menyerang semua umur, anak-anak lebih rentan daripada orang dewasa.

Frekuensi tertinggi pada kelompok dewasa ialah umur 25-35 taun, sedangkan

pada kelompok anak umur 10-12 tahun.5 Pada ras kulit hitam didapatkan insidensi

bentuk tuberkuloid lebih tinggi, sedangkan pada kulit putih lebih cenderung tipe

lepromatosa.2 Kusta bukan penyakit keturunan. Kuman dapat ditemukan di kulit,

folikel rambut, kelenjar keringat, dan air susu ibu, jarang didapat di dalam urin.

Sputum dapat banyak mengandung M. leprae yang berasal dari traktus

respiratorius atas. 3

D. ETIOLOGI

Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh G.A.

HANSEN pada 1874 di Norwegia, yang sampai sekarang belum juga dapat

dibiakkan pada media artifisial. M. leprae berbentuk kuman dengan ukuran 3-8

μm x 0,5 μm, tahan asam dan alkohol serta positif-Gram.3

Reservoir utama M. leprae adalah manusia. Transmisi lepra secara pasti

belum diketahui, dimungkinkan transmisi melalui droplet hidung, kontak dengan

bagian tubuh yang terinfeksi, dan vektor serangga. Portal masuknya M. leprae

kurang dipahami, tetapi mencakup inokulasi melalui kulit (gigitan, goresan, luka

kecil, tato) atau inhalasi ke saluran hidung atau paru-paru.1 Masa inkubasi sangat

bervariasi yaitu 2-5 tahun pada tipe tuberkuloid dan 8-12 tahun pada tipe

lepromatosa.6

E. PATOGENESIS

Page 4: Responsi Kulit

Sel Schwann (SC) adalah target utama untuk infeksi oleh M. leprae

menyebabkan cedera pada saraf, demielinasi, dan cacat konsekuen. Pengikatan

M. leprae dengan SC menyebabkan demielinasi dan hilangnya konduktansi

aksonal. Telah terbukti bahwa M. leprae dapat menyerang SC dengan protein

laminin-mengikat spesifik 21 kDa selain PGL-1. PGL-1 (sebuah glycoconjugate

unik, dominan pada permukaan M. leprae) mengikat laminin-2. Hal ini

menjelaskan kecenderungan predileksi bakteri di saraf perifer. Identifikasi dari

reseptor bertarget SC M. leprae, dystroglycan (DG), menunjukkan peran molekul

ini dalam degenerasi saraf awal. M. leprae yang disebabkan demielinasi adalah

hasil dari ligasi bakteri langsung ke neuregulin reseptor, erbB2 dan Erk1/2

aktivasi, dan selanjutnya MAP kinase memberikan sinyal dan proliferasi.7

Makrofag adalah salah satu sel inang yang paling banyak bersentuhan

dengan mikobakteri. Fagositosis M. leprae oleh makrofag monosit yang

diturunkan dapat dimediasi oleh reseptor komplemen CR1 (CD35), CR3

(CD11b/CD18), dan CR4 (CD11c/CD18) dan diatur oleh protein kinase. Tidak

beresponnya terhadap M. leprae tampaknya berkorelasi dengan profil sitokin

Th2.7

Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah

mempunyai nama khusus yang dari kulit disebut histiosit. Kalau ada kuman

(M.leprae) masuk, akibatnya bergantung pada Sistem Imunitas Seluler (SIS)

orang itu. Apabila SIS-nya tinggi, makrofag akan mampu memfagosit M. leprae.

Datangnya histiosit ke tempat kuman disebabkan karena proses imunologik

dengan adanya faktor kemotaktik. Kalau datangnya berlebihan dan tidak ada lagi

yang harus difagosit, makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid yang tidak

dapat bergerak dan kemudian akan berubah menjadi sel datia Langhans. Adanya

massa epiteloid yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang disebut tuberkel

akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Pada penderita

dengan SIS rendah atau lumpuh, histiosit tidak dapat menghancurkan M. leprae

yang sudah ada didalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembangbiak dan

Page 5: Responsi Kulit

Gambar 1. Patogenesis Kusta3

disebut sel Virchow atau sel lepra atau sel busa dan sebagai alat angkut

penyebarluasan.3

Bila kuman M. leprae masuk ke dalam tubuh seseorang, dapat timbul

gejala klinis sesuai dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis

bergantung pada sistem imunitas selular (SIS) penderita. Bila SIS baik akan

tampak gambaran klinis ke arah tuberkuloid, sebaliknya SIS rendah memberikan

gambaran lepromatosa. Agar proses ini selanjutnya lebih jelas lihat bagan

patogenesis ini.3

F. KLASIFIKASI

Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spectrum determinate pada

penyakit kusta yang terdiri atas berbagai tipe atau bentuk, yaitu:

TT: Tuberkuloid polar, bentuk yang stabil

70%

95%

LLLiBLBBBTTiTTI

Deteminate

Indeteminate (I)30%

Sembuh

Non Infeksi

Subklinis

Infeksi

Kontak

Page 6: Responsi Kulit

Ti: Tuberkuloid indefinite

BT: Borderline tuberculoid

BB: Mid borderline bentuk yang labil

BL: Borderline lepromatous

Li: Lepromatosa indefinite

LL: Lepromatosa polar, bentuk yang stabil.3

Tipe I (indeterminate) tidak termasuk dalam spektrum. TT adalah tipe

tuberkuloid polar, yakni tuberkuloid 100%, merupakan tipe yang stabil, jadi

berarti tidak mungkin berubah tipe. Begitu juga LL adalah tipe lepromatosa

polar, yakni lepromatosa 100%, juga merupakan tipe yang stabil yang tidak

mungkin berubah lagi. Sedangkan tipe antara Ti dan Li disebut tipe borderline

atau campuran, berarti campuran antara tuberkuloid dan lepromatosa. BB adalah

tipe campuran yang terdiri atas 50% tuberkuloid dan 50% lepromatosa. BT dan

Ti lebih banyak tuberkuloidnya, sedang BL dan Li lebih banyak lepromatosanya.

Tipe-tipe campuran ini adalah tipe yang labil, berarti dapat beralih tipe, baik ke

arah TT maupun LL.3

Menurut WHO pada tahun 1981, kusta dibagi menjadi bentuk Multibasilar

(MB) dan Pausibasilar (PB). MB berarti mengandung banyak kuman yaitu tipe

LL, BL, BB. Sedangkan PB berarti mengandung sedikit kuman yakni tipe TT,

BT, dan I. Pada klasifikasi Ridley-Jopling yang termasuk MB adalah tipe LL, BL

dan BB dengan Indeks Bakteri (IB) lebih dari 2+ sedangkan PB adalah tipe I, TT

dan BT dengan IB kurang dari 2+.3

Pada tahun 1987 telah terjadi perubahan, yang dimaksud dengan kusta PB

adalah kusta dengan BTA negatif pada pemeriksaan kerokan jaringan kulit, yaitu

tipe I, TT, dan BT. Bila pada tipe-tipe tersebut disertai BTA positif, maka akan

dimasukkan ke dalam kusta MB. Sedangkan kusta MB adalah semua penderita

kusta tipe BB, BL, dan LL atau apapun klasifikasi klinisnya dengan BTA postif,

harus diobati dengan regimen MDT-MB.3

Page 7: Responsi Kulit

Karena pemeriksaan kerokan jaringan kulit tidak selalu tersedia di

lapangan, pada tahun 1995 WHO lebih menyederhanakan klasifikasi klinis

kusta berdasarkan hitung lesi kulit dan saraf yang terkena. Hal ini tercantum

dalam tabel 1.3

Tabel 1. Bahan Diagnosis Klinis Menurut WHO (1995) 5,7

PB MB

Lesi Kulit

(makula datar,

papul yang meninggi,

nodus)

- 1-5 lesi

- hipopigmentasi / eritema

- distribusi tidak asimetris

- hilangnya sensasi yang jelas

- >5 lesi

- distribusi lebih simetris

- hilangnya sensasi kurang jelas

Kerusakan Saraf

(menyebabkan hilangnya

sensasi/kelemahan otot

yang dipersarafi oleh

saraf yang terkena)

- hanya satu cabang saraf banyak cabang saraf

G. DIAGNOSIS

Diagnosis MH dapat ditegakkan hanya dengan anamnesis dan pemeriksaan

klinis. Perlu dicari tanda pokok atau cardinal signs yaitu:

- Lesi kulit berupa hipopigmentasi atau kemerahan dengan rasa tebal/anestesi.

- Kerusakan dan penebalan saraf perifer, yang berupa mati rasa dan

kelemahan otot tangan, kaki, atau muka.

- Keberadaan basil tahan asam (BTA).

Untuk menegakkan diagnosis ini, diperlukan setidaknya satu cardinal

signs. Kemudian dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan histopatologi dan

serologi.8

Page 8: Responsi Kulit

1. Manifestasi Klinis

Onset kusta yaitu menyebar dengan tersembunyi dan tanpa rasa sakit;

pertama mempengaruhi sistem saraf perifer dengan parestesia yang

menyakitkan persisten atau berulang dan mati rasa tanpa tanda-tanda klinis

yang terlihat. Pada tahap ini mungkin ada erupsi kulit makula sementara,

lecet, tetapi trauma tidak disadari.9

Ada lima tipe abnormalitas syaraf tepi yang biasa dijumpai pada

penderita kusta:

a. Penebalan syaraf (biasanya asimetri), terutama pada syaraf yang dekat

dengan kulit, seperti pada syaraf auricularis magnus, ulnaris, radialis,

medianus, poplitea lateralis dan tibialis posterior

b. Penurunan sensorik pada lesi di kulit

c. Kelemahan syaraf tubuh, salah satunya ditandai dengan tanda dan gejala

peradangan atau tanpa manifestasi, seperti neuropati, kelemahan dan atau

kelumpuhan sensorik dan motorik, jika lama dengan kontraktur.

d. Gejala penurunan sensorik stocking-glove (S-GPSI), dari serat tipe C

(yang melibatkan diskriminasi panas dan dingin sebelum hilangnya rasa

sakit atau sentuhan ringan) dimulai di daerah akral dan dari waktu ke

waktu, meluas terpusat terbatas pada telapak tangan, setidaknya untuk

sementara waktu.

e. Anhidrosis pada telapak tangan dan kaki, menunjukkan keterlibatan safar

simpatis.1

Perlu juga ditanyakan riwayat kontak dengan penderita, latar belakang

keluarga dengan riwayat tinggal di daerah endemis, dan riwayat pengobatan

sebelumnya.8

2. Pemeriksaan Fisik

Untuk menegakkan diagnosis dapat dilakukan pemeriksaan fisik

sebagai berikut3,5:

Page 9: Responsi Kulit

a. Inspeksi

Semua kelainan kulit di seluruh tubuh diperhatikan, seperti adanya

makula, nodul, jaringan parut, kulit yang keriput, penebalan kulit, dan

kehilangan rambut tubuh (alopesia dan madarosis). Pasien diminta

memejamkan mata, menggerakkan mulut, bersiul, dan tertawa untuk

mengetahui fungsi saraf wajah. 3,5.

b. Pemeriksaan Sensibilitas

Kusta mendapat julukan The great imitator dalam penyakit kulit

sehingga perlu didiagnosa banding dengan penyakit-penyakit kulit yang

lain. Kalau secara inspeksi mirip penyakit lain, ada tidaknya anestesia

sangat banyak membantu penentuan diagnosis, meskipun tidak selalu

jelas. Hal ini dengan mudah dilakukan dengan menggunakan jarum

terhadap rasa nyeri, kapas terhadap rasa raba dan kalau masih belum jelas

dengan kedua cara tersebut barulah pengujian terhadap rasa suhu, yaitu

panas dan dingin dengan menggunakan 2 tabung reaksi.3

c. Pemeriksaan Fungsi Saraf Tepi

Mengenai saraf perifer yang perlu diperhatikan ialah pembesaran,

konsistensi, penebalan, dan nyeri tekan. Beberapa saraf superfisial yang

dapat dan perlu diperiksa, yaitu N. fasialis, N. aurikuralis magnus, N.

radialis, N. ulnaris, N. medianus, N. poplitea lateralis, dan N. tibialis

posterior. Bagi tipe lepramatosa kelainan saraf biasanya bilateral dan

menyeluruh, sedang bagi tipe tuberkuloid kelainan sarafnya lebih

terlokalisasi mengikuti tempat lesinya. Gejala-gejala kerusakan saraf:

1) N. ulnaris: anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari

manis; clawing kelingking dan jari manis; atrofi hipotenar dan otot

interoseus serta kedua otot lumbrikalis medial.

2) N. medianus: anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari,

telunjuk, dan jari tengah; tidak mampu aduksi ibu jari; clawing ibu

Page 10: Responsi Kulit

jari, telunjuk, dan jari tengah; ibu jari kontraktur; atrofi otot tenar dan

kedua otot lumbrikalis lateral.

3) N. radialis: anestesia dorsum manus, serta ujumg proksimal jari

telunjuk; tangan gantung (wrist drop); tak mampu ekstensi jari-jari

atau pergelangan tangan.

4) N. poplitea lateralis: anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan

dorsum pedis; kaki gantung (foot drop); kelemahan otot peroneus.

5) N. tibialis posterior: anestesia telapak kaki; claw toes; paralisis otot

intristik kaki dan kolaps arkus pedis.

6) N. fasialis: lagoftalmus (cabang temporal dan zigomatik); kehilangan

ekspresi wajah dan kegagalan mengaktupkan bibir (cabang bukal,

mandibular dan servikal).

7) N. trigeminus: anestesia kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata.3

Manifestasi klinik organ lain yang dapat diserang:

a) Mata : Iritis, Iridosiklitis, gangguan visus sampai kebutaan

b) Hidung : Epistaksis, hidung pelana.

c) Tulang dan sendi : Absorbsi, mutilasi, arthritis

d) Lidah : ulkus, nodus

e) Testis : ginekomastia,epididmis akut, orkitis, atrofi

f) Kelenjar Limfe : Limfadenitis

g) Rambut : Alopesia, Madarosis

h) Ginjal : Glomerulonefritis, amilodosis ginjal, piolonefritis,

nefritis interstisial. Diagnosis banding berbagai tipe kusta

tercantum pada tabel 2 dan 3.3

d. Pemeriksaan Fungsi Saraf Otonom

Untuk mengetahui adanya kerusakan fungsi saraf otonom

perhatikan ada tidaknya dehidrasi di daerah lesi yang dapat jelas dan

dapat pula tidak, yang dipertegas menggunakan pensil tinta (tanda

Gunawan). Cara menggoresnya mulai dari tengah lesi ke arah kulit

Page 11: Responsi Kulit

normal. Bila ada gangguan, goresan pada kulit normal akan lebih tebal

bila dibandingkan dengan bagian tengah lesi. Dapat pula diperhatikan

adanya alopesia di daerah lesi, yang kadang-kadang dapat membantu,

tetapi bagi penderita yang memiliki kulit berambut sedikit, sangat sukar

menentukannya. Kekeringan ini terjadi karena adanya infiltrasi

granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas kelenjar keringat,

kelenjar palit, dan folikel rambut3,5.

Tabel 2. Gambaran Klinis, Bakteriologik, dan Imunologik MH

Multibasilar (MB)3

Sifat Lepromatosa Polar (LL)

Borderline Lepromatosa (BL)

Mid Borderline (BB)

Lesi- Bentuk Makula, infiltrat

difus, papul, nodulMakula, plakat, papul

Plakat, Dome shaped (kubah), punched out

- Jumlah Tidak terhitung, praktis tidak terdapat kulit sehat

Sukar dihitung, masih ada kulit sehat

Dapat dihitung, kulit sehat jelas ada

- Distribusi Simetris Hampir simetris Asimetris- Permukaan Halus berkilat Halus berkilat Agak kasar, agak

berkilat- Batas Tidak jelas Agak jelas Agak jelas- Anestesia Biasanya tak jelas Tak jelas Lebih jelas

BTA- Lesi kulit Banyak (ada globus) Banyak Agak banyak- Sekret

hidungBanyak (ada globus) Biasanya negatif Negatif

Tes Lepromin Negatif Negatif Biasanya negatif

Page 12: Responsi Kulit

Tabel 3. Gambaran Klinis, Bakteriologik, dan Imunologik MH

Pausibasilar (PB)3

Sifat Tuberkuloid (TT)

Borderline Tuberkuloid (BT)

Indeterminate (I)

Lesi- Bentuk Makula saja;

makula dibatasi infiltrat

Makula dibatasi infiltrat; infiltrat saja

Hanya infiltrat

- Jumlah Satu, dapat beberapa

Beberapa atau satu dengan lesi satelit

Satu atau beberapa

- Distribusi Aimetris Masih asimetris Variasi- Permukaan Kering bersisik Kering bersisik Halus, agak

berkilat- Batas Jelas Jelas Dapat jelas atau

dapat tidak jelas- Anestesia Jelas Jelas Tidak ada sampai

tidak jelasBTA

- Lesi kulit Hampir selalu negatif

Negatif atau hanya +1

Biasanya negatif

Tes Lepromin Positif kuat (+3) Positif lemah Dapat positif lemah atau negatif

3. Pemeriksaan Penunjang

Terdapat beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk

mendukung diagnosis kusta, antara lain:

a. Pemeriksaan bakterioskopik (slit skin smear)

Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa

hidung yang diwarnai dengan pewarnaan BTA, antara lain dengan Ziehl

Nielsen. Pertama-tama harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan

paling padat oleh kuman, setelah terlebih dahulu menentukan jumlah

tepat yang diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin

sebaiknya minimal 4-6 tempat yaitu kedua cuping telinga bagian bawah

Page 13: Responsi Kulit

dan 2-4 lesi lain yang paling aktif, berarti yang paling eritematosa dan

paling infiltratif. Pemilihan kedua cuping telinga tanpa menghiraukan ada

atau tidaknya lesi di tempat tersebut, oleh karena atas dasar pengalaman

tempat tersebut diharapkan mengandung kuman paling banyak.3

M. leprae tergolong BTA, akan tampak merah pada sediaan.

Dibedakan bentuk batang utuh (solid), batang terputus (fragmented), dan

butiran (granular). Bentuk solid adalah kuman hidup, sedangkan

fragmented dan granular merupakan bentuk mati. Kepadatan BTA tanpa

membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan dinyatakan dengan

indeks bakteri (IB) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley.3

Tabel 4. Indeks Bakteri

Indeks Bakteri Keterangan

0 Tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP).

1+ 1 – 10 BTA dalam 100 LP

2+ 1 – 10 BTA dalam 10 LP

3+ 1 – 10 BTA rata – rata dalam 1 LP

4+ 11 – 100 BTA rata – rata dalam 1 LP

5+ 101 – 1000BTA rata – rata dalam 1 LP

6+ > 1000 BTA rata – rata dalam 1 LP

Indeks morfologi (IM) adalah persentase bentuk solid dibandingkan

dengan jumlah solid dan non solid.

Syarat perhitungan IM adalah jumlah minimal kuman tiap lesi 100

BTA; IB 1+ tidak perlu dibuat IM-nya karena untuk mendapatkan 100

BTA harus mencari dalam 1.000 sampai 10.000 lapangan; mulai IB 3+

maksimum harus dicari 100 lapangan.3

Rumus: IM= Jumlah solid/ (Jumlah solid + Non solid) x 100%

Page 14: Responsi Kulit

b. Pemeriksaan Histopatologik

Gambaran histopatologik tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan

kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada kuman atau hanya sedikit dan

non-solid. Pada tipe lepromatosa terdapat kelim sunyi subepidermal

(subepidermal clear zone), yaitu daerah langsung di bawah epidermis

yang jaringannya tidak patologik. Didapati sel Virchow dengan banyak

kuman. Pada tipe borderline tercampur unsur-unsur tersebut.3

c. Pemeriksaan Serologis

Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi

pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M. leprae. Antibodi yang

terbentuk dapat bersifat spesifik terhadap M. leprae, yaitu antibodi anti-

phenolic glycolipid-1 dan antibodi antiprotein 16 kD serta 35 kD.

Kegunaan pemeriksaan serologik ini ialah dapat membantu diganosis

kusta yang meragukan, karena tanda klinis dan bakteriologik yang tidak

jelas. Disamping itu dapat membantu menentukan kusta subklinis.

Macam-macam pemeriksaan serologik kusta ialah: Uji MLPA

(Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), Uji ELISA (Enzyme

Linked Imnnuno-sorbent Assay), ML dipstick test, ML flow test.3

d. Tes Lepromin

Meskipun tidak diagnostik pada paparan atau infeksi M. leprae, tes

ini menilai kemampuan pasien untuk meningkatkan respon

granulomatosa terhadap suntikan kulit terhadap M. leprae yang mati.

Pasien kusta tuberkuloid atau borderine lepromatous biasanya memiliki

respon positif. Pasien kusta lepromatosa biasanya tidak ada respon.11

H. DIAGNOSIS BANDING

Pada lesi kulit:

Page 15: Responsi Kulit

1. Makula hipopigmentasi: leukoderma, vitiligo, tinea versikolor, pitiriasis

alba, morfea, dan parut.10

2. Lesi papular sampai nodular: pada dermis: dermatofibroma, eruptif

histiositoma, limfoma, sarkoidosis, dan granuloma lainnya; eruptif dan

inflamasi subkutan nodul berulang: ENL, erythema nodusum, erythema

induratum, vaskulitis; Nodul subkutan terpalpasi tapi tidak telihat pada

Latapi lepromatosis mirip lipoma.1

3. Plak eritem: tinea korporis, lupus vulgaris, lupus eritematosus, granuloma

anulare, sifilis sekunder, sarkoides, leukemia kutis, dan mikosis

fungoides.10

4. Ulkus: ulkus diabetik, ulkus kalosum, frambusia, penyakit Raynauld dan

Buerger.

Gangguan saraf:

Neuropati perifer: neuropati diabetik, amiloidosis saraf, trauma.10

I. KOMPLIKASI

1. Reaksi Kusta

Adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang

sebenarnya sangat kronik.10 Adapun patofisiologinya belum jelas betul,

terminologi dan klasifikasinya masih bermacam-macam. Mengenai

patofisiologinya yang belum jelas akan diterangkan secara imunologik.3

Reaksi kusta terdiri dari:

Tabel 5. Reaksi Kusta3,10

Page 16: Responsi Kulit

Keterangan Reaksi tipe 1/Delayed

hipersensitivity

reaction/Upgrading, reversal,

atau downgrading reactions

Reaksi tipe 2/Eritema

Nodusum Leprosum

(ENL)

Terjadi akibat perubahan

keseimbangan antar imunitas

seluler dan basil maka hasil

akhir reaksi tersebut dapat

terjadi upgrading/reversal

apabila menuju ke arah

tuberkuloid (terjadi

peningkatan SIS) atau down

grading apabila menuju ke

bentuk lepromatosa (terjadi

penurunan SIS)

Respon imun humoral,

berupa fenomena

kompleks imun akibat

reaksi antara antigen M.

leprae + antibodi (IgM,

IgG) + komplemen

kompleks imun

Keadaan umum Umumnya baik, demam ringan

(sub febris) atau tanpa demam

Ringan sampai berat

disertai kelemahan umum

dan demam tinggi

Peradangan di kulit Bercak kulit lama menjadi

cenderung lebih meradang

(merah), dapat timbul bercak

baru

Timbul nodul kemerahan,

lunak dan nyeri tekan.

Biasanya pada lengan dan

tungkai. Nodul dapat

pecah (ulserasi)

Neuritis Sering terjadi, berupa nyeri

tekan saraf dan atau gangguan

fungsi saraf

Dapat terjadi

Peradangan pada organ Hampir tidak ada Terjadi pada mata,

Page 17: Responsi Kulit

lain kelenjar getah bening,

sendi, ginjal, testis

Waktu timbulnya Biasanya dalam 6 bulan

pertama pengobatan

Biasanya setelah

mendapat-kan pengobatan

yang lama, umumnya > 6

bulan

Tipe kusta Dapat terjadi pada kusta PB

maupun MB

Hanya pada kusta tipe MB

Reaksi berat ditandai dengan salah satu dari gejala berikut:

a. Adanya lagopthalmos baru terjadi dalam 6 bulan terakhir

b. Adanya nyeri raba saraf tepi

c. Adanya kekakuan otot berkurang dalam 6 bulan terakhir

d. Adanya makula pecah atau nodul pecah

e. Adanya makula aktif (meradang) diatas lokasi saraf tepi.10

2. Fenomena Lucio

Merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang terjadi pada kusta tipe

lepromatosa non-nodular difus. Kusta tipe ini terutama ditemukan di Meksiko

dan Amerika Tengah, namun dapat juga dijumpai di negeri lain dengan

prevalensi rendah. Gambaran klinis dapat berupa plak atau infiltrat difus,

berwarna merah muda, bentuk tak teratur, dan terasa nyeri. Lesi terutama di

ekstremitas, kemudian meluas ke seluruh tubuh. Lesi yang berat tampak lebih

eritematosa, disertai purpura, dan bula, kemudian dengan cepat terjadi

nekrosis serta ulserasi yang nyeri. Lesi lambat menyembuh dan akhirnya

terbentuk jaringan parut.3

Gambaran histopatologik menunjukkan nekrosis epidermal iskemik

dengan nekrosis pembuluh darah superfisial, edema, dan proliferasi endotelial

pembuluh darah lebih dalam. Didapatkan banyak basil M. leprae di endotel

kapiler. Walaupun tidak ditemukan infiltrat polimorfonuklear seperto pada

Page 18: Responsi Kulit

ENL, namun dengan imunofluoresensi tampak deposit imunoglobulin dan

komplemen di dalam dinding pembuluh darah. Titer kompleks imun yang

beredar dan krioglobulin sangat tinggi pada semua penderita.3

3. Relaps

Penderita dinyatakan relaps bila telah pernah mendapatkan MDT

dinyatakan sembuh, tetapi kemudian kambuh lagi.10 Pengertian relaps atau

kambuh pada kusta ada 2 kemungkinan, yaitu relaps sensitif (persisten) dan

relaps resisten. Pada relaps sensitif penyakit kambuh setelah menyelesaikan

pengobatan sesuai waktu yang ditentukan. Secara klinis, bakterioskopik,

histopatologik dapat dinyatakan penyakit tiba-tiba aktif kembali dengan

timbulnya lesi baru dan bakterioskopik positif kembali. Pada relaps resisten

penyakit kambuh setelah menyelesaikan pengobatan sesuai dengan waktu

yang ditentukan tetapi tidak dapat diobati dengan obat yang sama.3

Resistensi hanya terjadi pada kusta tipe MB, tetapi tidak pada PB oleh

karena SIS penderita PB tinggi dan pengobatannya relatif singkat.3 Untuk

kasus tipe MB, diperlukan pemeriksaan ulang BTA. Bila terjadi peningkatan

Indeks Bakteriologi ≥ 2 dibandingkan saat mendiagnosis, maka penderita

dinyatakan relaps.10

4. Klasifikasi Cacat

Cacat pada tangan dan kaki

a. Tingkat 0: Tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada kerusakan atau

deformitas yang terlihat

b. Tingkat 1: Ada gangguan sensibilitas tanpa kerusakan atau deformitas

yang terlihat

c. Tingkat 2: Terdapat kerusakan atau

deformitas

Page 19: Responsi Kulit

Cacat pada mata

a. Tingkat 0: Tidak ada gangguan pada mata akibat kusta ; tidak ada

gannguan penglihatan

b. Tingkat 1: Ada gangguan pada mata akibat kusta; tidak ada

gangguan penglihatan

c. Tingkat 2: Gangguan penglihatan berat (visus < 6/60; tidak dapat

menghitung jari pada jarak 6 meter.3

J. PENATALAKSANAAN

1. Non medikamentosa

Penatalaksanaan nonmedikamentosa dapat diberikan rehabilitasi

medik, karya, sosial. Selain itu perlu juga diberikan penyuluhan kepada

pasien, keluarga, dan masyarakat.3

2. Medikamentosa

Pengobatan kusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah

DDS (Diamino difenil sulfon) atau Dapson, kemudian Klofazimin, dan

Rifampisin. Untuk mencegah resistensi, mulai tahun 1997 WHO menetapkan

pengobatan menggunakan MDT (Multi Drug Treatment). Adanya MDT

adalah sebagai usaha untuk mencegah dan mengobati resistensi,

memperpendek masa pengobatan, dan mempercepat pemutusan mata rantai

penularan.3

Penatalaksanaan kusta adalah MDT, standar WHO (1997):

a. Tipe MB (BB, BL, LL atau semua tipe dengan BTA positif):

1) Rifampisin 600 mg setiap bulan, dalam pengawasan

2) DDS 100 mg/hari

3) Klofazimin 300 mg tiap bulan, dalam pengawasan, diteruskan 50 mg

sehari atau 100 mg selama sehari atau 3 kali 100 mg setiap minggu.3

Mula-mula kombinasi obat ini diberikan 24 dosis dalam 24 sampai

36 bulan dengan syarat bakterioskopis harus negatif. Apabila

Page 20: Responsi Kulit

bakterioskopis masih positif, harus dilanjutkan sampai bakterioskopis

negatif. Selama pengobatan dilakukan pemeriksaan secara klinis setiap

bulan dan secara bakterioskopis minimal setiap 3 bulan. Jadi besar

kemungkinan pengobatan kusta MB ini hanya selama 2 sampai 3 tahun.3

Penghentian pemberian obat lazim disebut Release From Treatment

(RFT). Setelah RFT dilakukan tindak lanjut (tanpa pengobatan) secara

klinis dan bakteriologis minimal setiap tahun selama 5 tahun. Kalau

bakterioskopis tetap negatif dan klinis tidak ada keaktifan baru, maka

dinyatakan bebas dari pengamatan dan disebut Release From Control

(RFC). Saat ini apabila secara klinis sudah terjadi penyembuhan,

pemberian obat dapat dihentikan, tanpa memperhatikan bakterioskopis.3

b. Tipe PB (I, TT, BT, dengan BTA negatif):

1) Rifampisin 600 mg setiap bulan

2) DDS 100 mg/hari.10

Keduanya diberikan dalam 6 dosis selama 6 bulan sampai 9 bulan,

berarti RFT setelah 6-9 bulan. Selama pengobatan, pemeriksaan secara

klinis setiap bulan dan bakterioskopis setelah 6 bulan pada akhir

pengobatan. Pemeriksaan dilakukan minimal setiap tahun selama 2 tahun

secara klinis dan bakterioskopis tetap negatif, maka dinyatakan RFC.3

Berdasarkan klasifikasi WHO (1997) untuk kepentingan

pengobatan, penderita kusta dibagi menjadi 3 grup, yaitu PB dengan lesi

tunggal, PB dengan lesi 2-5 buah, dan penderita MB dengan lesi >5 buah.

Sebagai standar pengobatan, WHO Expert Committee pada tahun 1998

telah memperpendek masa pengobatan untuk kasus MB menjadi 12 dosis

dalam 12-18 bulan, sedangkan untuk kasus PB dengan lesi kulit 2-5 buah

tetap 6 dosis dalam 6-9 bulan. Bagi kasus PB dengan lesi tunggal

pengobatan adalah Rifampisin 600 mg ditambah dengan Ofloksasin 400

mg, dan Minosiklin 100 mg (ROM) dosis tunggal.3

Page 21: Responsi Kulit

Regimen obat baru yang disarankan untuk kusta pada tahun 2009

oleh "WHO Report of the Global Programme Managers’ Meeting on

Leprosy Control Strategy" adalah sebagai berikut: Untuk pasien MB yang

masih peka rifampisin, regimen bulanan sepenuhnya diawasi mencakup:

Rifapentin 900 mg (atau rifampicin 600 mg), moksifloksasin 400 mg, dan

klaritromisin 1000 mg (atau minocycline 200 mg) selama 12 bulan.

Untuk pasien yang resisten terhadap rifampisin, fase intensif dapat

mencakup moksifloksasin 400 mg, klofazimin 50 mg, klaritromisin 500

mg, dan minocycline 100 mg per hari diawasi selama enam bulan. Fase

lanjutan terdiri moksifloksasin 400 mg, klaritromisin 1000 mg, dan

minocycline 200 mg sebulan sekali, diawasi selama 18 bulan.12

3. Rawat inap

a. Bila disertai reaksi reversal atau ENL berat

b. Pasien dengan keadaan umum buruk (ulkus, gangren)

c. Pasien dengan rencana tindakan operatif.10

K. PROGNOSIS

Pengobatan kusta sangat efektif dengan risiko relaps rendah, tetapi harus

diminum berbulan-bulan. Setelah satu tahun pengobatan, masalah utama adalah

manajemen defisit neurologis, kontraktur dan perubahan tangan dan kaki. Jika

tidak diobati, pasien borderline dapat berubah menjadi lepromatosa sehingga

akan terjadi reaksi yang lebih berat. Pasien borderline berisiko terkena reaksi

reversal yang dapat merusak saraf. Reaksi tipe 1 (reversal) bertahan 2-4 bulan

pada pasien BT dan lebih dari 9 bulan pada BL. ENL terjadi pada 50 % individu

dengan LL dan 25 % pada BL selama 2 tahun pertama pengobatan. Banyak

pasien yang mengalami kerusakan saraf permanen. Pengobatan neuritis tidak

memuaskan, dan beberapa pasien dengan neuritis dapat mengalami kerusakan

saraf permanen walaupun dengan pengobatan kortikosteroid. Kerusakan saraf

Page 22: Responsi Kulit

dan komplikasi lainnya dapat menyebabkan kecacatan terutama apabila keempat

ekstremitas dan mata terkena. 9,13

DAFTAR PUSTAKA

Page 23: Responsi Kulit

1. Rea TH dan Modlin RL. Leprosy. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI,

Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Fitzpatrick’s dermatology in general

medicine 7th ed. New York: Mc Graw Hill; 2008. h. 1786-1796.

2. Siregar RS. Atlas berwarna saripati penyakit kulit edisi 2. Jakarta: EGC; 2005. h.

154-155.

3. Kosasih A, Wisnu IM, Sjamsoedalli ES, Menaldi SL. Kusta. Dalam: Djuanda A,

Hamzah M, Aisah S, editor. Ilmu penyakit kulit dan kelamin edisi keenam.

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2010. h. 296-299.

4. Yawalkar S. J. Leprosy for medical practitioners and paramedical workers.

Novartis Foundation for Sustainable Development, Basle, Switzerland. Eight

revised edition. 2009. Page 11

5. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. 2000. Kapita Selekta

Kedokteran. Edisi Ketiga Jilid Dua. Jakarta: Media Aesculapius FK UI. Hlm: 65-

72.

6. Lockwood Diana N. J. Bacterial Tropical Infection. The medicine Publishing

Company. 2005. Page 26-29

7. Bhat RM dan Prakash C. Leprosy: an overview of pathophysiology.

Interdisciplinary Perspectives on Infectious Disease. 2012;181089.

8. Smith DS. 2014. Leprosy Clinical Presentation.

http://emedicine.medscape.com/article/220455-clinical (akses 29 Juni 2014)

9. Wolff K dan Johnson RA. Fitzpatrick’s color atlas and synopsis of clinical

dermatology 6th edition. New York: Mc Graw Hill; 2009. h. 665-671

10. PERDOSKI. Kusta. Dalam: Sugito TL, Hakim L, Suseno LSU, Suriadiredja

ASD, Toruan TL, Alam TN. Panduan pelayanan penyakit medis dokter spesialis

dan kulit kelamin perhimpunan dokter spesialis kulit dan kelamin indonesia

(PERDOSKI). Jakarta: PP PERDOSKI; 2011. h. 88-91.

Page 24: Responsi Kulit

11. A.D.A. M. Health Guide Medline Plus. Dalam: Vyas Jatin. M, editor. Lepromin

SkinTest;2013. http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/003383.htm

(akses 29 Juni 2014)

12. Rao PN dan Jain S. Newer management options in leprosy. Indian journal of

dermatology. 2013;58(1): 6-11.

13. Lockwood, D.N.J.. Leprosy. Dalam : Tony Burns Stephen Breathnach, Neil Cox,

dan Christopher Griffiths, editor Rook’s Textbook of Dermatology 7th edition.

Blackwell Science Ltd. 2004. h. 29.1-29.16

Page 25: Responsi Kulit

STATUS RESPONSI

ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

Pembimbing : dr. Nurrachmat Mulianto, Sp.KK, M.Sc

Nama : Hanifah Astrid Ernawati

NIM : G99131041

I. ANAMNESIS

A. Identitas

Nama : Tn. AS

Umur : 23 tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Pekerjaan : -

Alamat : Ngargoyoso, Karanganyar

Tanggal periksa : Selasa, 25 Juni 2014

No rekam medik : 01009325

B. Keluhan utama

Timbul luka dan nyeri pada kaki dan tangan

C. Riwayat penyakit sekarang

Pasien datang ke RSDM dengan keluhan timbul luka dan nyeri pada

kaki dan tangan. Kurang lebih 2 minggu SMRS pasien mengeluh muncul

bercak hitam dan terasa panas di ujung tangan , kaki, dan siku. Bercak

kemudian timbul lepuh dan kemudian menjadi luka yang parah, keluhan

disertai dengan nyeri. Riwayat muncul bercak mati rasa (-). Pasien kemudian

dibawa ke puskesmas dan dirujuk ke RS Karanganyar, pasien dirawat selama 5

hari kemudian dirujuk ke RS Dr. Moewardi.

Pasien pernah mondok di RSDM dan di diagnosis kusta 4 tahun yang

lalu. Pasien tidak pernah mendapatkan pengobatan MDT.

Page 26: Responsi Kulit

D. Riwayat penyakit dahulu

Riwayat penyakit serupa : (+) 4 tahun yang lalu

Riwayat pengobatan kusta : (-)

Riwayat alergi obat dan makanan : disangkal

Riwayat atopi : disangkal

Riwayat kontak dengan penyakit sejenis : disangkal

Riwayat hipertensi : disangkal

Riwayat diabetes mellitus : disangkal

E. Riwayat penyakit keluarga

Riwayat penyakit serupa : disangkal

Riwayat alergi obat dan makanan : disangkal

Riwayat atopi : disangkal

Riwayat hipertensi : disangkal

Riwayat diabetes mellitus : disangkal

II. PEMERIKSAAN FISIK

A. Status generalis

Keadaan umum : sakit sedang, compos mentis

Vital sign : TD= 100/40 mmHg, HR= 88x/menit,

RR= 20x/menit, t= 37oC, Pain score = 6,

BB= 50 kg, TB= 156 cm

Kepala : mesocephal

Mata : lagoftalmus (-), madarosis (+/+)

Mulut : dalam batas normal

Wajah : facies leonina (-), saddle nose (+)

Thorax Anterior : dalam batas normal

Thorax Posterior : dalam batas normal

Abdomen : dalam batas normal

Ekstremitas atas : lihat status dermatologi

Page 27: Responsi Kulit

Ekstremitas bawah : lihat status dermatologi

B. Status dermatologi

Extremitas superior : tampak patch hiperpigmentasi, sebagian tampak

eritema multiple dengan ulkus multiple, diameter

bervariasi, sebagian konfluens, tepi ireguler, dasar

eritema, tertutup pus dan jaringan nekrotik, nyeri

tekan (+).

Extremitas inferior : tampak patch hiperpigmentasi, sebagian tampak

eritema multiple dengan ulkus multiple, diameter

bervariasi, sebagian konfluens, tepi ireguler, dasar

eritema, tertutup pus dan jaringan nekrotik, nyeri

tekan (+)

III. PEMERIKSAAN SARAF

A. Sensibilitas Lesi

Raba : Menurun

Tajam/tumpul : Menurun

Panas/dingin : Tidak dapat membedakan panas dan dingin

B. Pembesaran Saraf

N. Aurikularis magnus : -/-

N. Ulnaris : -/+

N. Peroneus comunis : +/-

N. Tibialis posterior : +/-

C. Pemeriksaan Sensorik

N. Ulnaris : Hipoastesi/Hipoastesi

N. Medianus : Hipoastesi/Hipoastesi

N. Tibialis Posterior : Hipoastesi/HIpoastesi

Page 28: Responsi Kulit

D. Pemeriksaan Motorik

N. Ulnaris : +3/+3

N. Medianus : +3/+3

N. Radialis : +3/+3

N. Tibialis Posterior : +3/+3

IV. DIAGNOSIS BANDING

Morbus Hansen tipe Multi Basiler dengan reaksi kusta tipe ENL

Fenomena Lucio pada Morbus Hansen

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan BTA:

- IB = +4

- IM = 10%

VI. PLAN

- Cek Darah Rutin

- Biopsi

- Kultur pus

VII. DIAGNOSIS KERJA

Morbus Hansen tipe Multi Basiler dengan reaksi kusta tipe ENL

VIII. TERAPI

Non medikamentosa

1. MRS bangsal

Medikamentosa

1. IVFD Ringer Laktat 20 tpm

Page 29: Responsi Kulit

2. Metil Prednisolon tab 16 mg (2-0-0)

3. Paracetamol tab 3 x 500 mg

4. Medikasi ulkus (kompres Nacl 0,9% 2x15’, asam fusidat cream 2x oles, tutup

kasa steril)

IX. PROGNOSIS

Ad vitam : dubia

Ad sanam : dubia

Ad fungsionam : dubia

Ad kosmetikam : dubia