responsi hematologi 2007

Upload: dearika-k-mayashinta

Post on 06-Jul-2015

429 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

RESPONSI HEMATOLOGI THALASEMIA

Oleh: Iim Karimah Rizza Ichtiara F Tenta Hartian H

Pembimbing: dr. Djoko Heri Hermanto, SpPD FINASIM

LABORATORIUM / SMF ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. SAIFUL ANWAR MALANG 2011

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Thalasemia merupakan penyakit darah herediter (keturunan) yang paling sering terjadi dan akan menjadi kelainan genetik utama yang timbul setelah penyakit infeksi dan gangguan gizi teratasi di Indonesia (Dewi, 2009). Thalasemia adalah penyakit hemolitik bawaan yang disebabkan oleh defisiensi pembentukan rantai globin alpha dan beta yang menyusun hemoglobin, sehingga dibedakan menjadi thalasemia alpha dan thalasemia beta. Secara klinis thalasemia dibedakan menjadi thalasemia mayor dan thalasemia minor. Thalasemia mayor memperlihatkan gejala klinis, sedangkan thalasemia minor tidak memperlihatkan gejala klinis (Ganie, 2005). Belum banyak orang yang mengetahui detail penyakit thalasemia. Walaupun tidak sepopuler penyakit jantung, tapi thalasemia justru lebih mematikan dan belum bisa disembuhkan karena hingga saat ini masih belum ditemukan obatnya. Jumlah pengidap penyakit bawaan ini di Indonesia semakin meningkat mencapai sekitar lima ribuan orang (Kompas, 2010; Abbdinnah dan Nugraheni, 2011). Berdasarkan laporan World Health Organization (WHO) pada tahun 2006 terdapat sekitar 7% penduduk dunia diduga carrier thalasemia dan sekitar 300.000-500.000 bayi lahir dengan kelainan ini setiap tahunnya. Thalasemia merupakan salah satu kelainan genetik dengan proporsi 1,67% penduduk dunia sebagai penderita. Prevalensi gen thalasemia tertinggi berada di negara-negara tropis, tetapi dengan tingginya angka migrasi, penyakit ini telah ditemukan di seluruh dunia (TIF, 2008). Menurut penelitian Weatherall (2001), prevalensi carrier thalasemia alpha adalah 1020% di Afrika, 40% di Timur Tengah dan India, bahkan mencapai 80% di Papua Nugini Utara dan beberapa populasi di timur laut India (Weatherall, 2001). Berdasarkan laporan Thalassaemia International Federation (TIF) tahun 2005, prevalensi carrier thalasemia beta yang paling tinggi di wilayah Mediterania adalah negara Irak dan Saudi Arabia yaitu antara 1-15%. Sedangkan prevalensi carrier thalasemia beta di Asia berkisar antara 1-15% dengan perincian di Singapura 4%, Hongkong 2,8%, Srilanka 2,2%, dan India 3-17% (TIF, 2005). Menurut penelitian George (1994) di Malaysia prevalensi carrier thalasemia alpha adalah 20%, sedangkan prevalensi carrier thalasemia beta adalah 3-4% (George, 1994). Menurut penelitian Ratnasiri (2006) di Thailand diperkirakan 20-40% penduduknya merupakan carrier thalasemia alpha dan 3-9% merupakan carrier thalasemia beta (Ratnasiri, 2006). Menurut penelitian Ambekar (2006) prevalensi carrier thalasemia di India adalah 3,5-15% (Ambekar, 2006).

Adapun prevalensi carrier thalasemia di Indonesia sekitar 3-8%, artinya 3 sampai 8 dari 100 orang Indonesia membawa sifat thalasemia. Dari total pembawa sifat genetik thalasemia, 7% ditemukan di Palembang, 3,4% di Jawa, dan 8% di Makasar. Jika diasumsikan terdapat 5% saja carrier dan angka kelahiran 23 per mil dari total populasi 240 juta jiwa, maka diperkirakan terdapat 3.000 bayi penderita thalasemia setiap tahunnya. Watherall dan Clegg (2001) dalam Ganie melaporkan bahwa secara keseluruhan di Indonesia diperkirakan prevalensi carrier thalasemia alpha kira-kira 1-10% dan thalasemia beta adalah 3,7% (Ganie, 2004). Berdasarkan Profil Kesehatan Kabupaten Cirebon tahun 2006, proporsi penderita thalasemia yang rawat inap di rumah sakit di Kabupaten Cirebon adalah 0,86% (144 kasus) (Dinkes Kabupaten Cirebon, 2006). Menurut penelitian Ganie (2004) bahwa di Sumatera Utara khususnya Medan, prevalensi carrier thalasemia alpha adalah 3,35% dan prevalensi carrier thalasemia beta adalah 4,07% (Ganie, 2004). Berdasarkan laporan data penderita thalasemia yang berobat di Pusat Thalasemia Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo jumlah penderita thalasemia sejak tahun 1993-2008 adalah sebanyak 1.412 kasus (Yayasan Thalasemia Indonesia, 2008). Menurut Menteri Kesehatan Endang Sedyaningsih, jumlah penderita thalasemia di Indonesia ibarat gunung es, dimana yang tercatat jauh lebih kecil dari angka sebenarnya. Beliau menyatakan bahwa saat ini baru tercatat sekitar 5.000 penderita thalasemia dan yang rutin berobat ke Pusat Thalassaemia Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo adalah sekitar 1.494 orang (Kompas, 2010; Rinaldo, 2010). Thalasemia sebenarnya bisa dicegah, terutama bagi mereka yang akan menikah dengan cara memeriksakan darah. Langkah ini penting untuk mencegah agar tidak lahir penderita thalasemia yang baru karena jika sudah terkena thalasemia, maka akan sulit sekali untuk pengobatannya (Rinaldo, 2010). Karena kasus thalasemia banyak terjadi, khususnya di Indonesia, sementara masyarakat kita banyak yang belum mengetahui secara detail mengenai penyakit ini, maka kami ingin membahas kasus mengenai thalasemia.

BAB 2 LAPORAN KASUS 2.1 Identitas Pasien Nama Usia Alamat Pekerjaan Status Kawin Pendidikan Suku Agama MRS 2.2 Anamnesis Keluhan utama: nyeri perut kanan atas Pasien mengeluh nyeri perut kanan atas hilang timbul sejak 1 minggu yang lalu, semakin memberat 2 hari SMRS. Perut pasien terasa penuh, makan sedikit perut pasien sudah terasa penuh. Tidak ada mual, tidak ada muntah. Pasien juga merasa pusing dan lemas. Pasien juga mengalami penurunan nafsu makan. Tidak ada gangguan BAK dan BAB. Pasien telah didiagnosa Thalasemia sejak 17 tahun yang lalu (sejak usia 10 tahun). Sejak usia 10 tahun, pasien sering dirawat di rumah sakit dan sering melakukan transfusi darah. Pasien telah melakukan splenektomi 4 tahun yang lalu. Pasien juga didiagnosa diabetes mellitus sejak 1 bulan yang lalu pada saat pasien MRS di ruang 28 RSSA Malang. Pasien mendapatkan suntikan insulin 0-10 IU sebelum tidur dan 4-0-0 IU sebelum makan. Riwayat thalasemia dalam keluarga tidak diketahui. Pasien terakhir kali MRS 2 minggu yang lalu karena keluhan yang sama. : Nn. Eva Ertiningtyas : 27 tahun : Pandan Rejo RT.11/RW.03 Malang : Tidak bekerja : Belum menikah : SMA : Jawa : Islam : 4 April 2011

Review of Systems Umum Lelah Penurunan BB Demam Menggigil Berkeringat Rash Gatal Luka Tumor Sakit Nyeri Kaku Leher Trauma Pendengaran Infeksi Nyeri Benjolan + + pusi ng Dbn Abdomen Nafsu makan Anoreksia Mual Muntah Perdarahan Melena Nyeri Diare Konstipasi BAB Hemoroid Hernia Perdarahan Spotting Sekret Gatal Penyakit Kelamin Kontrasepsi Menarche Siklus Haid Menopause Kehamilan Menurun + + Normal Normal + + Cukup -

Kulit

Kepala/ Leher

Ginekologi

Telinga

Mulut & Nyeri Tenggorokan Kering Suara serak Sulit menelan Sakit saat menelan Gusi Infeksi Pernafasan Batuk Riak Nyeri Mengi Sesak nafas Hemoptisis Pneumonia Nyeri Pleuritik Tuberkulosis Payudara Sekret Nyeri Benjolan Perdarahan Infeksi Angina Sesak nafas Orthopnea PND Edema Murmur Palpitasi Infark

Jantung

Prematur Abortus Pap Smear Ginjal dan saluran Disuria kencing Hematuria Inkontinensia Nokturia Frekuensi Hematologi Anemia Perdarahan Endokrin Diabetes Penurunan BB Goiter Toleransi terhadap suhu Asupan cairan Muskuloskeletal Trauma Nyeri Kaku Bengkak Merah Nyeri punggung Kram Sistem Syaraf Sinkop Kejang

Vaskuler

Hipertensi Klaudikasio Flebitis Ulkus Arteritis Vena Varikose

-

Emosi

Tremor Nyeri Sensorik Tenaga Daya ingat Kecemasan Tidur Depresi

Normal Lemas Normal Normal -

2.3

Pemeriksaan Fisik Deskripsi Umum Kesan sakit: Tampak sakit sedang Gizi: Kesan gizi kurang Berat badan: 34 kg Tanda Vital: Kesadaran: Compos mentis, GCS 456 Tekanan darah: 110/70 mmHg Nadi: 64x/menit Pernafasan: 16x/menit Tax: 35,7oC Tinggi badan: 158 cm IMT: 13,65 kg/m2

KULIT Inspeksi: pigmentasi, tekstur, turgor, rash, luka, infeksi, ptechiae, hematom, ekskoriasi, ikterus, kuku, rambut. Palpasi: nodul, atrofi, sklerosis KEPALA DAN LEHER Inspeksi: bentuk kepala, sikatrik, pembengkakan. Palpasi: kelenjar limfe, pembengkakan, nyeri tekan, tiroid, trakea, pulsasi vena. Auskultasi: bruit Pemeriksaan: JVP, kaku kuduk TELINGA Inspeksi: serumen, infeksi, membran timpani, tophi Palpasi: mastoid, massa HIDUNG Inspeksi: septum, mukosa, sekret, perdarahan, polip Palpasi: nyeri RONGGA MULUT DAN TENGGOROKAN Inspeksi: pigmentasi, leukoplakia, ulkus, tumor, gusi, gigi, infeksi, lidah, faring, tonsil Palpasi: nyeri, tumor, kelenjar ludah MATA Inspeksi: ptosis, sclera, ikterus,

Kulit kehitaman, turgor kulit dalam batas normal, rash (-), luka (-), infeksi (-), ptechiae (-), hematom (-), ekskoriasi (-), ikterus (-), rambut lurus sebahu dan berwarna hitam, nodul (-), atrofi (-) Normocephali, pucat, jarak kedua mata melebar, tulang pipi menonjol, pembengkakan (-) Pembesaran KGB (-), nyeri tekan (-) JVP R+2cm H2O (30o) Serumen (-/-) Infeksi (-/-) Massa (-) Hidung tampak pesek, septum deviasi (-), sekret (-), perdarahan (-), polip (-) Nyeri (-) Gigi tampak tonggos, leukoplakia (-), ulkus (-), tumor (-), infeksi (-), tonsil T1/T1 Nyeri (-), tumor (-)

pucat, Ptosis (-), sclera icteric (+/+), konjungtiva

kornea, arkus, merah, infeksi, air mata, tumor, perdarahan, pupil (kanan/kiri), lapangan pandang Palpasi: tonometri (kanan/kiri) Funduskopi: (kanan/kiri) TORAKS (PULMO) Inspeksi: simetri, gerakan, respirasi, irama, payudara, tumor Palpasi: gerakan, fremitus fokal Perkusi: resonansi Auskultasi: suara nafas, rales, ronkhi, wheezing, bronkofoni, pectoriloquy JANTUNG Inspeksi: iktus Palpasi: iktus, thrill Perkusi: batas kiri, batas kanan, pinggang jantung Auskultasi: denyut jantung (frekuensi, irama) S1, S2, S3, S4, gallop, murmur, ejection click, friction rub ABDOMEN Inspeksi: kontur, striae, sikatrik, vena caput medusa, hernia Auskultasi: peristaltic usus, bruit, rub Palpasi: nyeri, defans/rigiditas, massa, hernia, hati, limpa, ginjal Perkusi: resonansi, shifting dullness, undulasi PUNGGUNG Inspeksi: postur, mobilitas, skoliosis, kifosis, lordosis Palpasi: nyeri, gybus, tumor EKSTREMITAS Inspeksi: gerak sendi, pembengkakan, merah, deformitas, simetri, edema, sianosis, pucat, ulkus, varises, kuku Palpasi: panas, nyeri, massa, edema, denyut nadi perifer

anemis (+/+), kemerahan (-/-), infeksi (-/-), tumor (-/-), perdarahan (-/-), pupil bulat isokor. Tidak dilakukan Tidak dilakukan Simetris, ritmis SF D=S s s v v rh - - wh - ss vv --ss vv --Iktus invisible Iktus palpable @ ICS VI MCL S LHM~iktus, RHM~SL D S1S2 single, murmur (-)

Distended, ada bekas luka di bagian tengah abdomen BU (+) normal Tenderness Shifting dullness (-) Liver span 20 cm, konsistensi padat kenyal, permukaan rata, tepi tajam Dalam batas normal Nyeri (-), tidak teraba adanya tumor anemis + + ++ edema - - Akral hangat, nyeri (-), massa (-)

ALAT KELAMIN Perempuan: introitus, vagina, serviks, uterus, Tidak diperiksa adneksa, nyeri, tumor Laki-laki: penis, scrotum, nyeri, tumor (WANITA) REKTUM Hemoroid, fisura, kondiloma, darah, sfingter Tidak diperiksa ani, massa, prostat NEUROLOGI Berdiri, gaya jalan, tremor, koordinasi, Dalam batas normal kelemahan, flaksid, paralitik, fasikulasi, syaraf kranial, reflex fisiologis, reflex patologis

BICARA Disartria, apraxia, afasia 2.4 Pemeriksaan Penunjang Laboratorium: Darah Lengkap: Leukosit: 22.000/l Hb: 7,7 gr/dL MCV: 80 MCH: 25,5 Hematokrit: 24,1% Trombosit: 254.000/l

Tidak ditemukan kelainan

Hitung jenis: eos/bas/stab/seg/lym/mo

1 / - / -1 / 69 / 21 / 8 Normoblast: 134/100Evaluasi hapusan darah: eritrosit polikromasi anisositosis, sel target (+), normoblast (+), basophilic stippling (+); leukosit kesan normal; trombosit normal giant trombosit (+). GDA : 370 mg/dL SGOT: 108 U/L SGPT: 97 U/L Albumin : 2,88 gr/dL Bilirubin: T/D/I 2,78/1,25/1,53 mg/dL SE: Na/K/Cl 123/4,6/104 Urinalisis: BJ: 1.015 pH: 6 Glukosa: 4+ Eritrosit: 2+ Keton: 3+ Urobilinogen: 2+ Bilirubin: (+) 10x: epitel (+) 40x: eritrosit 1-2/lpb Leukosit 0-2/lpb

EKG: - Sinus rhythm, HR 97x/menit - PR Interval 0,18 detik - QRS Interval 0,06 detik - QT Interval 0,30 detik - Frontal axis normal - Horizontal axis counter clockwise rotation - T inverted di V2-V4 Kesimpulan: sinus rhythm, ischemia anteroseptal Chest X-Ray: Posisi AP, KV cukup, asimetris, trakea di tengah, tulang porotik dan soft tissue tipis, sudut phrenicocostalis dextra dan sinistra lancip, hemidiafragma dextra dan sinistra dome shape, cor letak dan bentuk normal, CTR 55%. Kesimpulan: osteoporosis dan cardiomegali

BAB 4 PEMBAHASAN

Thalasemia merupakan penyakit keturunan dimana sel darah merah mudah rusak sehingga penderita akan mengalami anemia. Penyebab thalasemia adalah kelainan pada salah satu bagian gen hemoglobin. Molekul globin terdiri atas sepasang rantai alpha dan sepasang rantai lain yang menentukan jenis Hb. Pada orang normal terdapat 3 jenis Hb, yaitu Hb A (>96% dari Hb total, tersusun dari 2 rantai alpha dan 2 rantai beta), Hb F (1, hipoalbuminemia, peningkatan bilirubin, dan adanya bilirubin serta urobilinogen pada urin. Hasil pemeriksaan pada tanggal 6 April 2011 menunjukkan anti HCV positif. Jadi, dapat disimpulkan pasien ini juga mengalami chronic liver disease et causa hepatitis C. Satu bulan yang lalu pasien didiagnosa diabetes melitus saat MRS di ruang 28 RSSA Malang. Pasien mempunyai riwayat terapi berupa injeksi insulatard 0-10 IU s.c dan injeksi actrapid 4-0-0 IU. Seperti yang telah dijelaskan di atas, penyebab diabetes melitus ini adalah hemokromatosis, dimana zat besi yang berlebih dalam tubuh akan terakumulasi pada organ-organ vital, salah satunya adalah pankreas. Apabila zat besi tersebut mengendap dalam pankreas, maka akan merusak sel pankreas sehingga kemampuan pankreas dalam memproduksi insulin pun terganggu, akhirnya berkembang menjadi diabetes melitus (Pitto, 2010). Terapi pasien thalasemia meliputi: 1. Medikamentosa a. Pemberian iron chelating agent (desferoksamin) setelah kadar feritin serum mencapai 1000 g/l atau saturasi transferin lebih dari 50%, atau sekitar 10-20 kali transfusi darah. Dosisnya 25-50 mg/kgBB/hari subkutan melalui pompa infus dalam waktu 8-12 jam selama 5-7 hari selama seminggu dengan menggunakan pompa portable. Lokasi umumnya di daerah abdomen, tetapi daerah deltoid maupun paha lateral dapat menjadi alternatif bagi pasien. Efek samping pemakaian desferoksamin jarang terjadi apabila digunakan pada dosis tepat. Toksisitas yang mungkin terjadi dapat berupa toksisitas pada retina, pendengaran, gangguan tulang dan pertumbuhan, reaksi lokal, dan infeksi (Permono, 2007). Selain itu, bisa juga digunakan Deferipron yang merupakan satu-satunya chelasi besi oral yang disetujui pemakaiannya. Terapi standar biasanya memakai 75 mg/KgBB/hari dibagi dalam 3 dosis. Saat ini Deferipron banyak digunakan pada pasien-pasien dengan kepatuhan yang rendah terhadap desferoksamin. Kelebihan deferipron adalah efek proteksinya terhadap jantung. Efek samping yang mungkin terjadi antara lain atropati, neutropenia/agranulositosis, gangguan pencernaan, kelainan imunologis, defisiensi seng, dan fibrosis hati (Permono, 2007). b. Vitamin C 100-250 mg/hari selama pemberian iron chelating untuk meningkatkan efeknya (Dewi, 2009). c. Asam folat 2-5 mg/hari untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat (Dewi, 2009). d. Vitamin E 200-400 IU setiap hari sebagai antioksidan dapat memperpanjang umur sel darah merah (Dewi, 2009).

2.

Splenektomi Splenektomi perlu dilakukan untuk mengurangi kebutuhan darah. Splenektomi dilakukan dengan indikasi sebagai berikut (Dewi, 2009): Limpa yang terlalu besar sehingga membatasi gerak penderita, menimbulkan tekanan intra abdomen, dan bahaya terjadi ruptur. Hipersplenisme ditandai dengan peningkatan kebutuhan transfusi darah atau kebutuhan suspensi eritrosit melebihi 250 ml/kgBB dalam 1 tahun.

3.

Suportif Dengan memberikan transfusi komponen sel darah merah. Transfusi bertujuan untuk

menyuplai sel darah merah sementara waktu. Transfusi darah yang teratur diperlukan untuk mempertahankan hemoglobin penderita di atas 10 g/dL setiap saat. Biasanya membutuhkan 2-3 unit tiap 4-6 minggu. Dengan keadaan ini dapat memberikan supresi sumsum tulang yang adekuat, menurunkan tingkat akumulasi besi, dan dapat mempertahankan pertumbuhan dan perkembangan penderita. Pemberian darah dalam bentuk PRC 3 ml/kgBB untuk setiap kenaikan hemoglobin 1 gr/dL (Dewi, 2009). Pada pasien ini diberikan terapi berupa transfusi PRC 2 labu/hari sampai kadar Hb >10 gr% agar kebutuhan sel darah merah terpenuhi sehingga pasien dapat bertahan hidup. Pasien juga diberikan asam folat 1x3 tablet untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat. Hasil pemeriksaan DL post transfusi pasien pada tanggal 6 April 2011 yaitu adanya peningkatan Hb (Hb 10 gr/dL). Hasil pemeriksaan DL post transfusi pada tanggal 9 April 2011 adalah Hb 11,2 gr/dL sehingga pasien direncanakan KRS. Akibat transfusi berulang, zat-zat besi pun menumpuk di tubuh dan berisiko merusak organ-organ vital. Karena pada pasien ini terjadi penumpukan zat besi, maka harus dibersihkan melalui obat pengikat zat besi atau iron chelating agent yaitu injeksi desferoksamin 50mg/kgBB. Sebelum memberikan desferoksamin, kami merencanakan pemeriksaan serum feritin. Pasien telah melakukan splenektomi 4 tahun yang lalu kemungkinan dikarenakan ukuran limpa pasien yang terlalu besar. Terapi yang diberikan pada pasien ini sudah sesuai dengan referensi. Terapi chronic liver disease et causa hepatitis C pada pasien ini adalah bed rest (untuk meningkatkan daya tahan tubuh terhadap virus), injeksi antrain 3x1 ampul (untuk mengatasi nyeri abdomen), injeksi ceftriaxon 2x1 gr (untuk membunuh bakteri penyebab leukositosis), methioson per oral 3x1 tablet (nutrisi untuk hepar), dan diet tinggi protein berupa ekstrak kutuk dan cairan putih telur (untuk memenuhi kebutuhan albumin). Terapi diabetes melitus pada pasien ini adalah diet DM 1.700 kkal/hari, injeksi insulatard 0-10 IU s.c, dan injeksi actrapid 4-0-0 s.c. Prognosis pasien thalasemia bergantung pada terapinya. Pasien thalasemia tanpa terapi akan meninggal pada dekade pertama kehidupan, pada umur 2-6 tahun dan selama

hidupnya mengalami kondisi kesehatan yang buruk. Pasien dengan transfusi saja akan mengalami dekade kedua sekitar 17 tahun, tetapi akan meninggal karena hemosiderosis. Sedangkan dengan transfusi dan iron chelating agent penderita dapat mencapai usia dewasa, meskipun kematangan fungsi reproduksi tetap terlambat (Hoffbrand, 2005). Pada pasien ini kemungkinan prognosisnya adalah jelek karena walaupun pasien berespon baik terhadap pengobatan, dimana bisa dilihat dari peningkatan hemoglobin menjadi 11,2 gr/dL setelah ditransfusi, tetapi penyakit pasien complicated. Selain thalasemia, pasien juga mengalami hemokromatosis, hepatitis C, dan diabetes melitus tipe 2 yang semakin menambah beban penyakit sehingga menyebabkan prognosis yang jelek pada pasien ini.

BAB 5 RINGKASAN Telah dilaporkan pasien seorang wanita, 27 tahun, dengan keluhan berupa nyeri perut kanan atas. Didapatkan keluhan lainnya berupa pusing, lemas, penurunan nafsu makan. Selain itu, sejak usia 10 tahun pasien didiagnosa thalasemia, riwayat rutin transfusi darah, dan riwayat splenektomi 4 tahun yang lalu. Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak anemis (pucat), sklera ikterik, facies cooley, gigi tampak tonggos, hepatomegali, dan cachexia. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan anemia (Hb 7,7 gr/dL). Evaluasi hapusan darah didapatkan eritrosit polikromasi, anisositosis, sel target (+), normoblast (+), dan basophilic stippling (+). Pada pemeriksaan chest x-ray didapatkan tulang porotik (osteoporosis). Dengan demikian pasien ini didiagnosa thalasemia beta mayor. Terapi pada pasien ini adalah medikamentosa (iron chelating agent: desferoksamin 50 mg/KgBB dan asam folat 1x3 tablet) dan suportif (transfusi darah sampai Hb >10 gr%). Prognosis pada pasien ini adalah dubia at malam karena penyakit pasien complicated. Selain mengidap thalasemia beta mayor, pasien juga mengalami hemokromatosis, hepatitis C, dan diabetes melitus tipe 2 yang menambah berat penyakit.

DAFTAR PUSTAKA Abdinnah dan Nugraheni. 2011. Waspada Thalasemia Sebelum Menikah. http://kosmo.vivanews.com/news/read/218456-waspada-thalassaemia-sebelummenikah. Diakses tanggal 4 Mei 2011 pukul 22.57 WIB. Ambekar, S. 2006. The Prevalence and Heterogenity of Beta Thalassaemia Mutation in Western Maharshtra Population: A Hospital Based Study. Medical College, Pune 411 012, India. Dewi, S. 2009. Karakteristik Penderita Thalasemia yang Rawat Inap di Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik Medan. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Medan. Dinkes Kabupaten Cirebon. 2006. Profil Kesehatan Kabupaten Cirebon 2006. Cirebon. Ganie, A. 2004. Studi DNA Thalasemia Southeast Universitas Sumatera Utara Medan. Asian Type di Medan. Disertasi.

Ganie, A. 2005. Thalasemia: Permasalahan dan Penanganannya. Universitas Sumatera Utara, Medan. George, E. 1994. Diagnosis Pranatal Thalasemia di Malaysia. Universiti Kebangsaan Malaysia, Malaysia. http://ebookfkunsyiah.wordpress.com/2008/10/19/dampaktransfusi -berulang-pada-thalassemia/. Diakses tanggal 15 Mei 2011 pukul 07.27 WIB. Hasto, D. 2010. Transfusi Darah Menyelamatkan Thalasemia. http://tabloidnova.com. Diakses tanggal 10 Mei 2011 pukul 23.00 WIB. Herdata, HN. 2008. Dampak Transfusi Berulang pada Thalasemia. Hoffbrand, A. 2005. Kapita Selekta Hematologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Kasper, DL, et al. 2005. Harrisons Principles of Internal Medicine. Edisi ke-16. Volume I. USA: Mc Graw Hills companies. Kompas. 2010. Apa Itu Thalasemia? http://kesehatan.kompas.com/read/2010/05/09/13405732/Apa.Itu.Thalassaemia. Diakses tanggal 4 Mei 2011 pukul 22.58 WIB. Lawrence, M. 2003. Diagnosis dan Terapi Kedokteran Penyakit Dalam. Jakarta: Penerbit Salemba Medika. Mambo. 2009. Warisan yang bpp.com.sysinfokes_kota_balikpapan. tidak diharapkan. http://wwww.dkk-

Nucleus Precise News Letter. 2010. Thalasemia. http://docs.google.com. Diakses tanggal 2 Mei 2011 pukul 02.00 WIB. Permono, B. 2007. Thalasemia. http://belibis-a17.com/2008/05/12/thalasemia/. Diakses tanggal 13 Mei 2011 pukul 21.00 WIB. Pitto. 2010. PMI Jatim. 2007. Thalassaemia, Penyakit Kelainan Darah yang Membutuhkan Transfusi. http://www.pmijatim.org. Ratnasiri, D. 2006. Prenatal Prevention for Severe Thalassaemia Disease at Srinagarind Hospital. Jurnal Medicine Association Thai. Vol 89 No.4.

Rinaldo. 2010. Mari Mengenal Bahaya Thalassaemia. http://kesehatan.liputan6.com/berita/201005/276019/mari_mengenal_bahaya_thalas saemia. Diakses tanggal 4 Mei 2011 pukul 22.59 WIB. Riyanti, E. Dan Maskoen, AM. 2011. The Differences of Facial Bone Structure Between Normal Thalassaemia Beta Major Patient. http://pustaka.unpad.ac.id. Diakses tanggal 13 Mei 2011 pukul 20.01 WIB. Robbins, SL. 2007. Patologi Anatomi. Jakarta: EGC. Supandiman, I. 1997. Hematologi Klinik. Bandung: Penerbit Alumni. Suyono, S. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. TIF. TIF. 2008. Guidelines for The http://www.thalassaemia.org.cy. Clinical and Management other of Thalassaemia. disorders.

2005. Prevention of thalassaemia http://www.thalassaemia.org.cy.

haemoglobin

Weatherall, D. 2001. Inherited haemoglobin disorders: an increasing global health problem. Bulletin World Health Organization. Volume 79 No.8. Yayasan Thalasemia Indonesia. 2008. Tentang Thalasemia. http://www.thalassaemiayti.or.id.