respon hematologi (eosinofil) pada sapi bali yang ...eprints.unram.ac.id/6959/1/jurnal amy.pdfthe...

16
i RESPON HEMATOLOGI (EOSINOFIL) PADA SAPI BALI YANG TERINFESTASI CACING PUBLIKASI ILMIAH Diserahkan Guna Memenuhi Sebagian Syarat yang Diperlukan Untuk Mendapatkan Derajat Sarjana Peternakan pada Program Studi Peternakan Oleh AMINURRAHMAN B1D 012 027 FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS MATARAM MATARAM 2016

Upload: hoangdang

Post on 07-Apr-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

i

RESPON HEMATOLOGI (EOSINOFIL) PADA SAPI BALI YANG

TERINFESTASI CACING

PUBLIKASI ILMIAH

Diserahkan Guna Memenuhi Sebagian Syarat yang Diperlukan

Untuk Mendapatkan Derajat Sarjana Peternakan

pada Program Studi Peternakan

Oleh

AMINURRAHMAN

B1D 012 027

FAKULTAS PETERNAKAN

UNIVERSITAS MATARAM

MATARAM

2016

ii

RESPON HEMATOLOGI (EOSINOFIL) PADA SAPI BALI YANG

TERINFESTASI CACING

PUBLIKASI ILMIAH

Diserahkan Guna Memenuhi Sebagian Syarat yang Diperlukan

Untuk Mendapatkan Derajat Sarjana Peternakan

pada Program Studi Peternakan

PROGRAM STUDI PETERNAKAN

Menyetujui,

Pada Tanggal :

Pembimbing Utama,

Prof. drh. Adji S. Dradjat, M. Phil, Ph.D

NIP : 19550504 198303 1003

iii

RESPON HEMATOLOGI (EOSINOFIL) PADA SAPI BALI YANG

TERINFESTASI CACING

Aminurrahman/ B1D 012 027 Fakultas Peternakan Universitas Mataram

INTISARI

Penelitianinibertujuanuntukmengetahui jumlah eosinofil padasapi bali

yang terinfestasicacing. Tiga puluh sapi bali digunakan dalam penelitian ini

diperiksa jumlah telur cacing dengan metode sedimentasi dan metode apung dan

jumlah eosinofil dengan metode differensial leukosit dan data ini diuji

menggunakan t-Test dan uji regresi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa : Skor

kondisi badan sapi bali yang terinfestasi cacing trematoda (3,1±1,19)dengan

terinfestasi cacing nematoda (2,9±1,66)tidak berbeda nyata (P>0,05).Jumlah

eosinofil sapi bali yang terinfestasi cacing trematoda (14,5±7,93) dengan

terinfestasicacing nematoda(14,2±5,57)tidak berbeda nyata(P>0,05). Jumlah telur

cacing pada sapi yang terinfestasi cacing nematoda(19,4±14,34) sangat berbeda

nyata terhadap jumlah telur cacing pada sapi yang terinfestasi cacing trematoda

(4,4±4,47) (P<0,01). Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan peningkatan

jumlah telur cacing dan jumlah eosinofil yang terinfestasi trematoda dan

nematoda tidak mempengaruhi kondisi badan sapi bali

Kata Kunci: Sapi Bali, Cacing, Eosinofil

THE RESPONSES OF HEMATOLOGY (EOSINOPHIL) ON BALI

CATTLE WHICH ARE INFESTED BY WORM

ABSTRACT

Theaim of this research was to evaluatedthe relation of the number of

eosinophil and egg worm per gram feses. A total 30 cattle was used in this

research. The number of egg worm (epg) was counted using sedimentation and

floating methods, and the number eosinophil (cell/µl)was evaluated using

diferential leucosytemethods and the data was tested using t-Test and regression

tests. The results showed that body condition score of cattle infestated by

trematoda (3,1±1,19) and infestated by nematoda (2,9±1,66)was not significantly

different (P>0,05). The number of eosinophil (cell/µl) of cattle infestatedby

trematoda(14,5±7,93) and infestated by nematoda (14,2±5,57) wasnot

significantly different (P>0,05). The number of eggs worm (epg) cattle infestated

by nematoda (19,4±14,34)was significantly higher than that of trematoda

(4,4±4,47) (P<0,01).It can be concluded that the epg and eosinophil (cell/µl) of

cattle infestated by trematoda and nematoda was not related to their body

condition.

Key words: Bali Cattle, Worm, Eosinophil

1

PENDAHULUAN

Sapi Bali merupakan bangsa sapi yang digunakan sebagai salah satu

alternatif untuk pemenuhan kebutuhan daging (protein hewani) di Indonesia. Sapi

Bali memegang peranan penting sebagai sumber daging dalam negeri. Tingginya

permintaan sapi bali belum diimbangi dengan usaha-usaha pembibitan atau hal-

hal yang berkaitan dengan perbaikan mutu genetik ternak (Patmawati dkk.,2013).

Namun demikian, kemampuan produksi daging sapi dalam negeri tersebut belum

mampu mencukupi kebutuhan nasional, sehingga menyebabkan impor sapi hidup,

daging sapi maupun jeroan sapi masih terus tinggi.

Untuk memenuhi kebutuhan daging serta sapi bakalan, data Asosiasi

Produsen Daging dan Feedloter Indonesia (APFINDO) menunjukkan bahwa tidak

kurang dari 200.000 ekor sapi bakalan per tahun diimpor dari luar negeri.

Kekurangan daging sapi tersebut dapat dipenuhi lewat penggemukan sapi bakalan

ekspor -import dan daging beku import. Walaupun menutup kekurangan daging di

Indonesia, akan tetapi pemerintah mengeluarkan biaya lebih untuk daging impor.

Penyakit yang umum menyerang sapi sehingga menimbulkan penurunan

kualitas kesehatan sehingga kondisi sapi kurus adalah infestasi cacing. Kerugian-

kerugian ekonomis antara lain: Cacing menyerap sebagian zat makanan yang yang

ada dalam tubuh sapi yang seharusnya untuk kebutuhan tubuh dan pertumbuhan,

cacing merusak jaringan-jaringan organ vital ternak sapi dan cacing menyebabkan

kurangnya nafsu makan sapi (Murtidjo, 1990).

Saat terinfeksi cacing, eosinofil ini meningkatkan kemampuannya untuk

membunuh atau merusak parasit dan mendukung peran penyelenggaraan fisiologi

tanggap kebal terhadap berperantaraan IgE dalam mengontrol parasit cacing.

Meningkatnya eosinofil merupakan karakter yang berhubungan dengan infestasi

cacing parasit atau reaksi-reaksi hipersensitivitas tipe 1 lainnya. Salah satu tugas

eosinofil adalah penghancuran (destruksi) cacing parasit (Balqis, U. 2007). Untuk

mengetahui ada peyebaran penyakit cacing, maka diambil darahnya.

2

TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui respon eosinofil sapi

bali yang terjangkit penyakit cacing. Dan mengidentifikasi jenis cacing saluran

cerna pada sapi bali. Sedangkan untuk kegunaan dari penelitian ini yaitu agar

dapat memilih sapi yang kebal terhadap cacing berdasarkan gambaran darah. Dan

untuk mengetahui jika eosinofil tinggi maka sapi bali pernah terjangkit penyakit

parasit cacing.

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode sedimentasi dan metode apung dan

jumlah eosinofil dengan metode differensial leukosit dengan tahapan-tahapan.

Koleksi feses sapi dengan memasukkan tangan/jari ke dalam plastik. Kemudian

masukkan tangan ke dalam rectum atau ambil feses yang baru keluar segenggam dan

tutup plastiknya. Sedangkan koleksi sampel darah sapi bali. Pengambilan darah pada

sapi bali adalah pertama menenangkan sapi selanjutnya memegang kepala ternak

ke satu sisi, kemudian operator menggunakan ibu jari untuk menekan vena di

pangkal leher sehingga vena menggembung, kemudian dibasahi dengan alcohol,

kemudian menusukan jarum di bagian vena, diusahakan tusukan jarum suntik

yang steril dengan sudut 30° kearah atas pada pembuluh darah dengan lubang

jarum menghadap keatas. Selanjutnya menampung darah dengan menggunakan

tabung EDTA sesuai dengan kebutuhan. Selanjutnya sampel darah tersebut diberi

label atau diberi nomor, dan ditempatkan di cool box agar tidak cepat kering atau

membeku, selanjutnya sampel darah tersebut dibawa ke laboratorium untuk

diidentifikasi jumlah eosinofilnya.

Metode pemeriksaan feses dilakukan dengan terlebih dahulu menimbang

feses sebanyak satu gram. Kemudian saring menggunakan penyaring teh dan

campur dengan air 10 ml. Di diamkan selama 5-10 menit, kemudian masukkan

hasil feses yang homogen ke dalam tabung. Setelah itu dicentrifus dengan

kecepatan 1000 rpm/10 menit. Kemudian buang semua supernatan dan sisakan

endapan. Masukkan air gula 1/3 tabung. Aduk hingga homogen dan masukkan air

gula kembali hingga 90%. Centrifuge kembali dengan kecepatan 1000 rpm/10

3

menit. Tambahkan air gula hingga penuh. Tutup dengan cover gloos selama 20

menit. Tempelkan cover glass di objek glas. Cek dibawah mikroskop.

Perhitungan jumlah eosinofil dengan terlebih dahulu membuat apusan

darah. Mengambil setetes kecil darah kira-kira 2cm dari tepi kaca obyek.

Kemudian kaca objek digerakkan ke kanan sampai menyentuh darah, kemudian

darah dibiarkan menyebar hingga ½ cm dari sudut kaca penggeser. Kaca digeser

ke kiri dengan sudut 30-45°, jangan menekan ke bawah. Preparat darah didiamkan

sampai pada suhu kamar, difiksasi dengan metanol absolute selama 5 menit

dengan cara memasukan gelas objek kedalam beker glass yang telah diisi metanol

absolute sampai semua apusan darah terendam dalam metanol. Preparat

dikeringkan pada suhu kamar. Setelah kering preparat diwarnai dengan larutan

giemza 7% selama 20 menit. Preparat dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan

pada suhu kamar. Apusan darah ditetesi dengan satu tetes minyak imersi dan

menutup dengan gelas penutup. Selanjutnya mengamati dibawah mikroskop

dengan perbesaran 100x kemudian hitung jumlah eosinofil(Wirawan dan Silman,

(2000))

Analisis Data

Penelitian ini menggunakan analisis deskriftif, rataan, standar deviasi, t-

Test dan analisi regresi

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian ini berupa data dariskor kondisi badan sapi bali, jumlah

eosinofil dan jumlah telur cacing pada sapi bali yang terinfeksi oleh cacing

trematoda dan nematoda. Hasil penelitian disajikan pada Tabel 1.

Tabel 2. Kondisi Badan (Rata-rata±SD), Eosinofil dan Jumlah Telur (egg/gr feses)

Trematoda dengan Nematoda

Variabel Jenis Cacing

Trematoda Nematoda

Skor Kondisi Badan 3,1±1,19

2,9±1,66

Eosinofil 14,5±7,93

14,2±5,57

Telur cacing 4,4±4,47a 19,4±14,34

a

Nilai pada baris yang sama superscript sama sangat berbeda nyata (P<0,01)

4

Berdasarkan Tabel 2 diatas menunjukkan bahwa skor kondisi badan sapi

bali yang terinfeksi cacing trematoda sebesar (3,1±1,19) tidak berbeda nyata

dengan sapi bali yang terinfeksi cacing nematoda (2,9±1,66) atau (P>0,05).

Selain itu jumlah eosinofil sapi bali yang terinfeksi cacing trematoda sebesar

(14,5±7,93) juga tidak ada pengaruh yang signifikan dengan sapi bali yang

terinfestasi cacing nematoda atau (P>0,05). Akan tetapi jumlah telur cacing pada

sapi yang terinfeksi cacing nematoda lebih besar (19,4±14,34) dibandingkan

jumlah telur cacing pada sapi yang terinfeksi cacing trematoda yaitu (4,4±4,47).

Hasil ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang sangat signifikan (P<0,01)

antara telur cacing pada sapi yang terinfeksi nematoda dengan trematoda. Jenis-

jenis cacing trematoda yaitu Fasciolosis saja, sedangkan jenis-jenis cacing

nematoda yaitu Trichostrongylus, Moniezia, Toxocaravitollorum dan Capilaria.

Dari hasil uji diatas menunjukkan bahwa cacing nematoda lebih tinggi

dibandingkan cacing trematoda karena jenis cacing nematoda lebih banyak

daripada cacing trematoda. Tingginya parasit nematoda pada sapi bali berkaitan

erat dengan dua faktor, yaitu: Sistem pemeliharaan dan nutrisi pakan.

Pemeliharaan sapi Bali yang dilakukan oleh peternak secara ekstensif yaitu

dengan melepas sapi Bali di areal penggembalaan atau di pinggiran jalan secara

bersama-sama dan kontinyu (tidak dilakukan rotasi). Kondisi demikian memberi

peluang penularan nematoda pada sapi yang tidak terkena parasit cacing menjadi

terkena. Sapi yang terkena akan mengeluarkan feses yang mengandung telur

nematoda dan kemudian menetas menjadi larva infektif di areal penggembalaan.

Larva Infektif tersebut bergerak di antara rerumputan di areal penggembalaan

yang sewaktu-waktu dapat tertelan oleh sapi Bali yang tidak terkena pasrasit

cacing (sapi sehat).

Sapi bali yang dipelihara umumnya diberi pakan hijauan yang sebagian

besar berupa rumput dan sedikit legume. Pemberian konsentrat jarang dilakukan

karena relatif mahal. Kondisi demikian tentu berpengaruh terhadap daya tahan

ternak terhadap infestasi parasit. Nutrisi memegang peranan yang besar sehingga

ternak mampu mengurangi dampak akibat internal parasit. Menurut Gadberry et

5

al. (2005), sapi muda lebih banyak terinfeksi cacing jika dibandingkan dengan

sapi dewasa. Hal ini berkaitan dengan tingkat kekebalan ternak dewasa yang

lebih tinggi dibanding ternak muda.

Grafik 1. Pengaruh Jumlah Telur Cacing Terhadap Jumlah Eosinofil Pada Sapi

Bali yang Terinfestasi Cacing Trematoda

Berdasarkan grafik diatas R2=0,00dan nilai P=0,89 yang berarti (P>0,05)

menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antara jumlah telur cacing dengan

eosinofil. Adapun persamaan regresi antara jumlah telur cacing dengan jumlah

eosinofil yaitu Y=14,11+0,088X. Hasil ini menunjukkan bahwa semakin tinggi

telur cacing nematoda tidak mempengaruhi jumlah eosinofil (P>0,05)

Grafik 2. Pengaruh Jumlah Telur Cacing Terhadap Jumlah Eosinofil Pada Sapi

Bali yang Terinfestasi Cacing Nematoda

y = 0,0887x + 14,11 R² = 0,0025

0

5

10

15

20

25

30

1,5 6,5 11,5 16,5

Eosi

no

fil (

sel/

µl)

jumlah telur cacing/gr feses)

y = 0,1864x + 10,585 R² = 0,2301

0

5

10

15

20

25

30

0 10 20 30 40 50

Ju

mla

h e

osi

no

fil

(sel

µl)

jumlah telur cacing/gr feses)

6

Berdasarkan grafik diatas R2=0,23dan nilai P=0,16 yang berarti (P>0,05)

menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antara jumlah telur cacing dengan

eosinofil. Adapun persamaan regresi antara jumlah telur cacing dengan jumlah

eosinofil yaitu Y=10,58+0,186X. Hasil ini menunjukkan bahwa semakin tinggi

telur cacing nematoda tidak mempengaruhi jumlah eosinofil (P>0,05)

Dari hasil diatas menunjukkan bahwa terjadi peningkatan jumlah eosinofil

pada sapi bali yang terinfestasi cacing nematoda. Peningkatan disebabkan karena

jumlah nematode lebih banyak. Pada umumnya infeksi cacing pada hewan

akan menyebabkan leukositosis ringan (Baratawidjaja dan Rengganis, 2012).

Infeksi cacing pada hewan menyebabkan peningkatan leukosit akibat dari

meningkatnya eosinofil (Oryan et al., 1998). Keadaan eosinofilia atau

meningkatnya eosinofil dapat digunakan sebagai salah satu penanda biologis

yang efektif (effective biomarkers) bahwa hewan terinfeksi oleh cacing pita

(Parvathi dan Aruna, 2012).

Infestasi parasit biasanya disertai dengan peningkatan jumlah sel eosinofil

dalam darah perifer (Losos, 1986). Menurut Hariono (1993), peningkatan jumlah

eosinofil dalam darah kemungkinan besar karena reaksi hipersensitivitas jaringan

akibat cacing. Adanya kelukaan jaringan menyebabkan terjadinya proses

degranulasi dari sel mast sehingga histamin terbebaskan. Eosinofilia dapat terjadi

pada reaksi antigen antibodi infestasi parasit (Kelly, 1986).

Grafik 3. Pengaruh Jumlah Telur Cacing Terhadap Kondisi Badan Pada Sapi Bali

yang Terinfestasi Cacing Trematoda

y = 1,2093x + 0,6512 R² = 0,1046

0

5

10

15

20

1 2 3 4 5

jum

lah

te

lur

caci

ng/

gr

fese

s)

Skor kondisi badan

7

Berdasarkan grafik diatas R2=0,10dan nilai P=0,36 yang berarti (P>0,05)

menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antara jumlah telur cacing dengan

kondisi badan. Adapun persamaan regresi antara jumlah telur cacing dengan

jumlah skor kondisi badan yaitu Y=0,651+1,209X. Hasil ini menunjukkan bahwa

semakin bagus kondisi badan sapi bali maka tidak mempengaruhi jumlah telur

cacing (P>0,05).

Grafik 4. Pengaruh Jumlah Telur Cacing Terhadap Kondisi Badan Pada Sapi Bali

yang Terinfestasi Cacing Nematoda

Berdasarkan grafik diatas R2=0,07dan nilai P=0,54 yang berarti (P>0,05)

menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antara jumlah telur cacing dengan

kondisi badan. Adapun persamaan regresi antara jumlah telur cacing dengan skor

kondisi badan yaitu Y=15,14+4,915X. Hasil ini menunjukkan bahwa semakin

bagus kondisi badan sapi bali maka tidak mempengaruhi jumlah telur cacing

(P>0,05).

Hal ini dikarenakan telur cacing masih dikatakan ringan sehingga tidak

mempengaruhi kondisi badan sapi bali. Berdasarkan keterangan standar infeksi,

infeksi dapat dibedakan yaituinfeksi ringan jika jumlah telur 1-499 butir tiap

gram, infeksi sedang ditunjukkanjika jumlah telur 500-5000 butir tiap gram dan

infeksi berat ditunjukkan jika teluryang dihasilkan >5000 butir tiap gram feses

ternak (Nofyan dkk., 2010). Jumlah telur per gr feses (eggs per gram =

EPG) dari suatu jenis parasit sangat tergantung pada lingkungan, kemampuan

y = 4,9157x + 15,145 R² = 0,0734

0

20

40

60

80

100

120

1 2 3 4 5jum

lah

te

lur

caci

ng/

gr f

ese

s)

Skor kondisi badan

8

bertelur dari jenis parasit dan panjang pendeknya siklus hidup parasit.

Bhattanchryya dan Ahmed (2005) dalam Andrianty (2015) menjelaskan bahwa

penyakit parasitcacing di suatu daerah dipengaruhi oleh beberapa faktor

diantaranya topografi dan geografi, kepadatan populasi, suhu dan manajemen

kesehatan. Adapun faktor-faktor yang diduga mempengaruhi rendahnya kasus

cacingan di daerah tersebut, yaitu: musim kemarau, suhu dan kelembaban, pakan

ternak dan sistem pemeliharaan.

Grafik 5. Pengaruh Jumlah Eosinofil Terhadap Kondisi Badan Pada Sapi Bali

yang Terinfestasi Cacing Trematoda

Berdasarkan grafik diatas R2=0,11dan nilai P=0,32 yang berarti (P>0,05)

menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antara jumlah eosinofil dengan

kondisi badan. Adapun persamaan regresi antara jumlah eosinofil dengan skor

kondisi badan yaitu Y=7,410+2,286X. Hasil ini menunjukkan bahwa semakin

bagus kondisi badan sapi bali maka tidak mempengaruhi jumlah eosinofil

(P>0,05).

y = 2,2868x + 7,4109 R² = 0,1191

0

5

10

15

20

25

30

1 2 3 4 5

Eosi

no

fil s

el/

ml

Skor kondisi badan

9

Grafik 6. Pengaruh Jumlah Eosinofil Terhadap Kondisi Badan Pada Sapi Bali

yang Terinfestasi Cacing Nematoda

Berdasarkan grafik diatas R2=0,00dan nilai P=0,92 yang berarti (P>0,05)

menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antara jumlah eosinofil dengan

kondisi badan. Adapun persamaan regresi antara jumlah eosinofil dengan skor

kondisi badan yaitu Y=14,52+0,112X. Hasil ini menunjukkan bahwa semakin

bagus kondisi badan sapi bali tidak mempengaruhi eosinofil (P>0,05).

Sapi bali yang eosinofil tinggi tidak menyebabkan ternak menjadi kurus

dikarenakan sapi tersebut kebal terkena penyakit cacing nematoda. Peningkatan

tingkat antibodi pada sapi disebakan pakan maka sapi dapat membuat sistem

imun. Sapi bali yang eosinofil tinggi tetapi kondisi badan tetap bagus dikarenakan

sapi tersebut sudah pernah terserang penyakit cacing trematoda dan nematoda

sudah membuat system kekebalan dalam tubuh sehingga sapi tetap

gemuk.Menurut Mitchell (1979) terdapat dua mekanisme yang mempengaruhi

kekebalan sapi yang diinfeksi oleh cacing yaitu humoral dan cell mediated.

Pendapat ini berdasarkan beberapa hasil penelitian yang membuktikan bahwa

antibodi menimbulkan respon kebal pada sapi yang diinfestasi cacing.Tetapi

tanggap kebal akan hilang bila antigen penyebab infeksi dihilangkan (Tizard,

2004).

y = -0,1124x + 14,526 R² = 0,0011

0

5

10

15

20

25

30

1 2 3 4 5

Eosi

no

fil s

el/

µl

Skor kondisi badan

10

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan peningkatan jumlah telur

cacing dan jumlah eosinofil yang terinfeksi trematoda tidak mempengaruhi

kondisi badan sapi bali. Sedangkan jumlah telur cacing dan jumlah eosinofil yang

terinfeksi nematoda mempengaruhi kondisi badan sapi bali.

DAFTAR PUSTAKA

Akoso, T. B. 1996. Kesehatan Sapi. Yogyakarta: Kanisius.

Andrianty, Vivi. 2015. Kejadian Nematodiasis Gastrointestinal pada Pedet Sapi Bali

di Kec. Marioriwawo Kab. Sopeng. Skripsi, Fakultas Kedokteran

Universitas Hasanuddin, Makasar. Pdf.

Aryogi. 2002. Problem dan Prospek Pengembangan Usaha Pembibitan Sapi Potong di

Indonesia.Jurnal Litbang Pertanian 2002.

Astiti, L.G.S., 2010. Petunjuk Praktis Manajemen pencegahan dan Pengendalian

Penyakit pada Ternak Sapi. Narmada: Balai Pengkajian Teknologi

Pertanian (BPTP) NTB.

Awaludin dan Tanda, P. 2010. Pengukuran Ternak Sapi Potong. Narmada: Balai

Pengkajian Teknologi Pertanian NTB.

Balqis. U. 2007.Purifikasi dan Karakterisasi Protease dari Ekskretori/Sekretori

Stadium L3 Ascaridia galli dan Pengaruhnya Terhadap Pertahanan dan

Gambaran Histopatologi Usus ayam [pdf] IPB, Availableat:

http://www.damandiri.or.id/file/ummubalqisipbbab8.pdf (Accessed 16

february 2014).

Bandini Y. 2001. Sapi Bali. Jakarta (ID): Penebar Swadaya

Baratawidjaja, KG dan Rengganis, I. 2012. Imunologi Dasar. Edisi ke 10.

Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

Baratawidjaya, K.G. 2009. Imunologi Dasar Edisi ke-8. Jakarta : UI-Press.

Data Dirjen Peternakan, 2008. Potret Komoditas Daging

Sapi.http://docs.geogle.com

Dharmawan, N.S. 2002. Fenomena Penyakit Cacing Pita Daging Babi di Bali dan

Peran Laboratorium Klinik Dalam Menegakkan Diagnosis. Dalam

Pemikiran Kritis Guru Besar Universitas Udayana. Bidang

Agrokomplek. Tim Editor BPMU. Udayana University Press. 1(2):152-

164.Guntoro, S. 2002. Membudidayakan Sapi Bali. Kanisius. Yogyakarta.

11

Direktorat Jendral Peternakan. 2010. Data Statistik Peternakan Indonesia Tahun

2010. Jakarta.

Edmonson AJ, Lean IJ, Weaver LD, Loid JW, Farver T, Webster G. 1989. A

Body Condition Scoring Chart for Holstein dairy cows. J Dairy Sci. 72: 68-

70.

Fawcett DW. 2002. Buku Ajar Histologi. Jan Tambayong, alih bahasa;

Huriawati Hartanto, editor. Jakarta (ID): penerbit buku kedokteran EGC.

Terjemahan dari: A Textbook of Histology, E/12.

Frandson, R.D. 1996. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Gadjah Mada University Press.

Yogyakarta.

Gadberry S., Pennington, J. and Powell, J. (2005) Internal parasites in beef and

dairy cattle. University of Arkansas. Division of Agriculture Extension

Service, Arkansasa, USA.

Guntoro, S. 2002. Membudidayakan Sapi Bali. Kanisius. Yogyakarta.

Guyton AC. 1997. Buku ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Irawati Setiawan,

Hariono, B, 1993. Hematologi.Laboratorium Patologi Klinik, Fakultas

Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Hal. 70-

73.http://www.diaglab.vet.cornell.edu/clinpath/modules/heme

1/lymphocyte.htm. [23 Desember 2013].

Kelly, W.R., 1984. Veterinary Clinical Diagnostic, 3 rdedition. Balliere Tindal,

London. Pp. 325, 326-328.

Levine, N.D. 1994. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Yogyakarta : Gadjah Mada

University Press.

Losos, G.J., 1986. Infectious Tropical Disease of Domestic Animal. International

Development Research Centre, Canada. Pp. 882-830.

Mitchell, G.F. 1979. Effector cells, molecules and mechanisms in host-

protective immunity to parasites. Immunol. 38:209-223

Moran, J.B. 1978. Growth and Carcass Development of Indonesian Beef Breeds.

Dalam “Pros. Sem. Penelitian dan Penunjang Pengembangan Peternakan.

Lembaga Penelitian Peternakan. Bogor.

Muhibullah. 2001. Efektivitas Albendazole terhadap Cacing Nematoda pada

Ayam Buras. Skripsi, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Murray RK, DK Granner, PA Mayes dan VW Rodwell. 2003. Biokimia Harper.

Edisi 25. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. (Alih Bahasa:

Hartono, A., Editor: Bani, A. P dan T. M. N. Sikumbang)

Murtidjo B.A., 1990. Beternak Sapi Potong. Kanisius. Yogyakarta. Hal. 104.

12

Nasution AYA. 2007. Parasit Darah pada Ternak Sapi dan Kambing di

Lima Kecamatan, Kota Jambi [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian

Bogor.

Nurrasyidah D, Yulianti A, Mushawwir A. 2012. Status Hematologis pada

Domba Ekor Gemuk Jantan yang Mengalami Transportasi. Bandung

(ID): Universitas Padjadjaran.

Oryan, A., Gaur, SNS., Moghaddar, N. and Delavar, H. 1998. Clinico-

pathological studies in cattle experimentally infected with Taenia saginata

eggs. Tydskr. S. Afr. Vet. Ver. 69(4): 156-162

Otto RL, Ferguson JD, Fox DG, Sniffen CJ. 1991. Relationship between

body condition score and compotition of ninth to eleven rib tissue in

Holstein dairy cows. J Dairy Sci. 74:852-861

Pammusureng. 2009. Penilaian Kondisi Tubuh Dan Pengukuran Pertumbuhan

Pedet & Dara. Bahan presentasi KPSBU Lembang.

Parvathi, J and Aruna, K. 2012. Succinate dehydrogenase and eosonophils as

biomarkers of hymenolepiasis. Cibeth J. Zoology. 1 (1): 8-13.

Patmawati N.W ; Trinayani N.N; Siswanto M; Wandia I.N; Puja I K; 2013.

Seleksi Awal Pejantan Sapi Bali Berbasis Uji Performans. Jurnal Ilmu dan

Kesehatan Hewan Vol. 1, No.1: 29-33Penerjemah. Jakarta : Penerbit Buku

Kedokteran, ECG. Jakarta : TextBook ofMedical Physiology.

Reece, WO. 2005. Functional anatomy and Physiology of Domectic

Animals.Edisi 3. Baltimore, Maryland USA: Lipincott Williams & wilkins.

Roitt, I., J. Brostoff, and D. Male. 2001. Immunology. 6thed. Mosby. Philadelphia,

USA.

Rothenberg M, Hogan S. The eosinophil. Annu Rev Immunol 24: 147-74.

PMID16551246. [23 Desembeer 2013].

Salam, A., 2012.Darah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Salasia SI, Hariono B. 2010. Patologi Klinik Veteriner. Yogyakarta (ID):

Samudra Biru.

Sayuti, Linda. 2007. Kejadian Infeksi cacing Hati (Fasciola sp.) pada Sapi Bali di

Kabupaten Karangasam Bali. Skripsi, Fakultas Kedokteran Hewan

IPB, Bogor.

Sonjaya H. 2012. Dasar Fisiologi Ternak. Bogor (ID): PT. Penerbit IPB Press.

Subowo. 2013. Imunologi Klinik. Bandung: ISBN:978-602-8674-96-6

13

Subroto. 1985. Ilmu Penyakit Ternak I. Yogyakarta: Gadjah Mada University

Press

Swenson, M.J.1984. Dukes Physiologi of Domestic Animals, 10th

ed. Ithaca.

Cornel University Press.

Syaifudin, A. 2013. Profil Body Condition Score (Bcs) Sapi Perah Di Wilayah

Koperasi Peternakan Sapi Bandung Utara (Kpsbu) Lembang (Studi

Kasus). Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor

Tizard, Ian. 1988. Pengantar Imunologi Veteriner. Airlangga University Press :

Surabaya

Tizard, I.R. 2004. Veterinary Immunology: An Introduction. 6th

ed.W.B.

Saunders, Pennsylvania, USA.

Wirawan R dan Silman E. 2000. Pemeriksaan laboratorium hematologic

sederhana, 2nd ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, hlm 3, 12.

Wright LA, Russel AJF, Whyte TK, McBean AJ, McMillen. 1987. Effects

of body condition, food intake and temporary calf separation on duration

of the post-partum anoestrus period and associated LH, FSH and

prolaktin concentration in beef cows. Anim. Prod. 45: 395-402.