respi wrap up sk 3

61
WRAP UP BLOK RESPIRASI ( SKENARIO 3 ) ”SESAK NAPAS” KELOMPOK A-12 Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi 2013 – 2014 Ketua : Dayu Fitria Indriati 1102012049 Sekretaris : Gina Maharani 1102012099 Anggota : Dewi Nur Azizah 1102011077 Dila Rizky Pratiwi 1102011080 Dea Ardelia Putri 1102012050 Debby Elvira 1102012051

Upload: indiendrie

Post on 28-Dec-2015

105 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

blok respirasi

TRANSCRIPT

WRAP UPBLOK RESPIRASI ( SKENARIO 3 )

”SESAK NAPAS”

KELOMPOK A-12

Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi2013 – 2014

Ketua : Dayu Fitria Indriati 1102012049Sekretaris : Gina Maharani 1102012099Anggota : Dewi Nur Azizah 1102011077

Dila Rizky Pratiwi 1102011080 Dea Ardelia Putri 1102012050 Debby Elvira 1102012051 Gilang Mayasari 1102012098 Giri Mahesa Putra Zatnika 1102012100 Indah Larasati 1102012123

 

Skenario 3

SESAK NAPAS

Anak perempuan berusia 7 tahun diabawa ibunya ke Klinik YARSI dengan keluhan sulit bernapas. Pasien 3 hari sebelum ke klinik demam, batuk dan pilek. Suda minum obat namun tidak ada perubahan. Menurut ibu, pasien menderita alergi makanan terutama ikan laut. Ayah pasien juga memiliki riwayat alergi.

Pada inspeksi terlihat pernapasan cepat dan sukar, frekuensi napas 48x/menit, disertai batuk-batuk paroksismal, terdengar suara mengi, ekspirasi memanjang, terlihat retraksi daerah supraklavikular, suprasternal, epigastrium dan sela iga. Pada perkusi terdengar hipersonor seluruh toraks. Pada auskultasi bunyi napas kasar/mengeras. Terdengar juga ronkhi kering dan ronkhi basah serta suara lender dan wheezing. Pasien didiagnosis sebaai asma akut episodik sering.

Penanganan yang dilakukan pemberian B-agonis secara nebulisasi. Pasien diobservasi selama 1-2 jam, respon baik pasien dipulagkan dengan dibekali obat bronkodilator. Pasien kemudian dianjurkan kontrol ke Klinik Rawat Jalan untuk reevaluasi tatalaksananya.

2

Kata-kata sulit

Retraksi : kontraksi yang terjadi pada otot perut dan iga yang tertarik ke dalam saat bernapas

Suara mengi : suara yang dihasilkan ketika udara mengalir melalui saluran napas yang menyempit, terdengar pada saat inspirasi atau ekspirasi

Batuk paroksismal : serangan batuk yang sifatnya mendadak, berulang-ulang dan sifatnya intensif

Alergi : kegagalan kekebalan tubuh seseorang yang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi

Asma akut episodik sering : asma yang terjadi pada saat terpapar alergen

Nebulisasi : terapi inhalasi yang menggunakan alat nebulizer yang bertujuan untuk mengencerkan dahak dan melonggarkan jalan napas

Ronkhi kering : suara yang terdengar diskontinyu pada saat auskultasi pemeriksaan fisik paru yang mencerminkan inflamasi atau kongesti yang mendasarinya

Ronkhi basah : suara yang terdengar kontinyu pada saat auskultasi pemeriksaan fisik paru yang mencerminkan inflamasi atau kongesti yang mendasarinya

Β-agonis : obat bronkodilator yang berfungsi untuk mengendurkan otot-otot saluran napas.

3

Pertanyaan dan Jawaban

Pertanyaan

1. Bagaimana dampak jangka panjang yang dapat terjadi pada pasien jika pasien terpapar alergen terus-menerus ?

2. Mengapa pasien mengalami demam ?3. Mengapa pasien diberikan B-agonis secara nebulisasi ?4. Mengapa pada pemeriksaan pasien didapatkan hipersonor seluruh toraks ?5. Mengapa terjadi ekspirasi yang memanjang ?6. Bagaimana cara mendiagnosis asma ?7. Mengapa terjadi retraksi ?8. Bagaimana hubungan penyakit asma dengan riwayat alergi ?

Jawaban

1. Dapat terjadi asma irreversible yang kemudian menjadi PPOK dan juga dapat menjadi status asmatikus.

2. Karena paparan alergen dapat membuat sel mast mengeluarkan mediator-mediator inflamasi yang mengakibatkan demam.

3. Karena pasien adalah seorang anak, sehingga dibutuhkan pemebrian obat yang efektif langsung menuju saluran napas yaitu dengan nebulisasi.

4. Karena pada saat retraksi diafragma turun dan sela iga melebar, sehingga suara yang terdengar saat dilakukan perkusi hipersonor akibat dari adanya udara yang terjebak di dalam paru

5. Karena terdapat ruang yang tersisa pada mekanisme pernapasannya.6. Pada anamnesis dapat ditemukan sesak napas, riwayat hidung berlendir atau

tersumbat, batuk yang sering kambuh, adanya hambatan pernapasan pada saat berolahraga, sering terbangun pada malam hari, memelihara binatang di dalam rumah, riwayat keluarga (riwayat asma, rinitis atau alergi lainnya). Apakah sesak dengan bau-bauan seperti parfum, asap rokok, obat yang digunakan pasien, apakah ada B-blocker, aspirin atau steroid. Pada pemeriksaan fisik ditemukan perubahan cara bernapas, dan terjadi perubahan bentuk anatomi toraks, napas cepat, kesulitan bernapas, menggunakan otot napas tambahan di leher, perut dan dada, mengi, ekspirasi memanjang. Pada pemeriksaan penunjang seperti radiologi pada waktu serangan menunjukan gambaran hiperinflasi pada paru-paru yakni radiolusen yang bertambah dan peleburan rongga intercostalis, serta diafragma yang menurun. Pada pemeriksaan faktor-faktor alergi terjadi peningkatan dari IgE pada waktu serangan dan menurun pada waktu bebas dari serangan. Pada pemeriksaan spirometri peningkatan FEV1 atau FVC sebanyak lebih dari 20% menunjukkan diagnosis asma.

7. Karena adanya obstruksi atau hambatan jalan napas.8. Pasien menderita asma karena adanya riwayat atopik dari keluarganya.

4

Hipotesis

Adanya riwayat alergi menunjukkan bahwa sesorang memiliki hipersensitivitas terhadap suatu alergen. Apabila orang tersebut terpapar oleh alergen maka tubuhnya akan bereaksi dan melakukan respon imun. Respon imun yang terjadi adalah ketika alergen masuk ke dalam tubuh, reaksi alergi timbul pada orang dengan kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal dalam jumlah besar, golongan ini disebut atopi. Alergen kemudian berikatan dengan antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator seperti histamin, leukotrien, faktor kemotaktik eosinofil dan bradikinin. Hal ini akan menimbulkan efek edema lokal pada dinding bronkiolus kecil, sekeresi mukus yang kental dalam lumen bronkiolus, dan spasme otot bronkiolus, sehingga menyebabkan inflamasi saluran napas.

5

Sasaran Belajar

LI. 1. Mampu memahami dan menjelaskan fisiologi pernapasan pada penderita PPOK (asma)

LI. 2. Mampu memahami dan menjelaskan asma bronkial

LO. 2.1 Memahami dan menjelaskan definisi asma bronkialLO. 2.2 Memahami dan menjelaskan epidimiologi asma bronkialLO. 2.3 Memahami dan menjelaskan klasifikasi asma bronkialLO. 2.4 Memahami dan menjelaskan etiologi asma bronkialLO. 2.5 Memahami dan menjelaskan patogenesis dan patofisiologi asma bronkialLO. 2.6 Memahami dan menjelaskan manifestasi klinis asma bronkialLO. 2.7 Memahami dan menjelaskan diagnosis dan diagnosis banding asma bronkialLO. 2.8 Memahami dan menjelaskan penatalaksanaan asma bronkialLO. 2.9 Memahami dan menjelaskan pencegahan asma bronkialLO. 2.10 Memahami dan menjelaskan prognosis asma bronkialLO. 2.11 Memahami dan menjelaskan komplikasi asma bronkial

LI. 3. Mampu memahami dan menjelaskan terapi inhalasi

6

LI. 1. Mampu memahami dan menjelaskan fisiologi pernapasan pada penderita PPOK (asma)

Resistensi saluran napas mempengaruhi kecepatan aliran

Seperti aliran darah melalui pembuluh darah bergantung tidak saja pada gradien tekanan tetapi juga pada resistensi terhadap aliran yang ditimbulkan oleh pembuluh, demikian juga aliran udara:

F = ∆P/R

F = kecepatan aliran

∆P = perbedaan antara tekanan atmosfer dan intra-alveolus

R = resistensi saluran napas, ditentukan oleh jari-jarinya

Penentu utama resistensi terhadap aliran udara adalah jari-jari saluran napas penghantar. Kita mengabaikan resistensi saluran napas pada pembahasan tentang aliran udara yang dipicu oleh gradien tekanan sebelumnya karena pada sistem respirasi yang sehat, jari-jari sistem penghantar cukup besar sehingga resistensi sangat rendah. Karena itu, gradien tekanan antara alveolus dan atmosfer biasanya menjadi faktor utama yang menentukan kecepatan aliran udara. Memang, saluran udara normalnya memiliki resistensi sedemikian rendah sehinggaa cukup diciptakan gradien tekanan yang sangat kecil sebesar 1 sampai 2 mmHg untuk mencapai kecepatan aliran udara masuk dan keluar paru yang memadai. (Sebagai perbandingan, diperlukan gradien tekanan 250 kali lebih besar untuk memindahkan udara melalui pipa seorang perokok daripada melalui saluran napas kecepatan aliran yang sama).

Dalam keadaan normal, ukuran saluran napas dapat diubah-ubah dalam tingkat sedang oleh sistem saraf otonom untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Stimulasi parasimpatis , yang terjadi selama situasi tenang santai ketika kebutuhan akan aliran darah rendah, mendorong kontraksi otot polos bronkiolus, yang meningkatkan resistensi saluran napas dengan menimbulkan bronkokonstriksi (penurunan jari-jari bronkiolus). Sebaliknya, stimulasi simpatis dan terutama hormon terkaitnya epinefrin, menyebabkan bronkodilatasi (peningkatan jari-jari bronkiolus) serta penurunan resistensi saluran napas dengan menimbulkan relaksasi otot polos bronkiolus (Tabel). Karena itu, selama periode dominasi simpatis, ketika kebutuhan tubuh akan penyerapan O2 sedang atau akan meningkat, bronkodilatasi menjamin bahwa gradien tekanan yang dibentuk oleh aktivitas otot pernapasan dapat mencapai kecepatan aliran udara maksimal dengan resistensi minimal. Karena efek pada bronkiolus ini, epinefrin atau obat serupa bermanfaat untuk melawan konstriksi saluran napas pada pasien dengan spasme bronkus.

Resistensi menjadi hambatan yang sangat penting terhadap aliran udara ketika lumen saluran napas menyempit akibat penyakit. Kita semua pernah merasakan efek peningkatan resistensi saluran napas pada saat bernapas ketika kita mengalami pilek. Kita mengetahui betapa sulitnya menghasilkan kecepatan aliran udara yang memadai melalui “hidung yang tersumbat” saat saluran hidung menyempit akibat pembengkakan dan penimbunan mukus. Yang lebih serius adalah penyakit paru obstruksif kronik.

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah sekelompok penyakit paru yang ditandai oleh peningkatan resistensi saluran napas yang terjadi akibat penyempitan lumen saluran napas bawah. Ketika resistensi saluran napas meningkat, harus diciptakan gradien tekanan yang lebih besar untuk mempertahankan kecepatan aliran udara yang normal sekalipun. Pada asma, sumbatan saluran napas disebabkan oleh (1) menebalnya dinding saluran napas, yang ditimbulkan oleh peradangan dan edema yang dipicu oleh histamin; (2) tersumbatnya saluran napas oleh sekresi berlebihan mukus kental; (3) hiperrespinsivitas saluran napas, yang ditandai oleh konstriksi hebat saluran napas kecil akibat spasme otot polos di dinding saluran

7

napas. Pemicu yang menyebabkan peradangan dan respons bronkokonstriksi yang berlebihan ini mencakup pajanan berulang ke alergen (misalnya kutu debu rumah atau serbuk sari tanaman), iritan(misalnya asap rokok), dan infeksi. Pada serangan asma berat, penyumbatan dan penyempitan hebat saluran napas dapat menghentikan aliran udara dan menyebabkan kematian. Diperkirakan 15 juta orang di Amerika Serikat mengidap asma, dengan jumlah yang terus meningkat. Asma adalah penyakit kronik tersering pada anak. Para ilmuwan tidak mengetahui pasti mengapa insidens asma terus meningkat.

Ketika PPOK, jenis apapun, meningkatkan resistensi saluran napas, ekspirasi menjadi lebih sulat daripada inspirasi. Saluran napas yang kecil karena tidak memiliki cincin tulang rawan yang menahannya tetap terbuka seperti saluran napas besar, ditahan terbuka oleh gradien transmural yang juga meregangkan alveolus. Ekspansi rongga toraks selama inspirasi secara tak langsung semakin melebarkan saluran napas melebihi ukuran-ukuran saat ekspirasi, seperti ekspansi alveolus sehingga resistensi saluran napas selama inspirasi lebih rendah daripada selama ekspirasi. Pada orang sehat, resistensi saluran napas selalu sedemikian rendah sehingga variasi kecil antara inspirasi dan ekspirasi tidak terasa. Namun, jika resistensi saluran napas meningkat secara bermakna seperti ketika serangan asma, perbedaan ini cukup terasa. Karena itu, orang dengan asma lebih mengalami kesulitan dalam menghembuskan daripada menghirup udara, menimbulkan “mengi” khas ketika udara dipaksa keluar melalui saluran napas yang sempit.

LI. 2. Mampu memahami dan menjelaskan asma bronkial

LO. 2.1 Memahami dan menjelaskan definisi asma bronkial

Menurut National Heart, Lung and Blood Institute (NHLBI, 2007), pada individu yang rentan, gejala asma berhubungan dengan inflamasi yang akan menyebabkan obstruksi dan hiperesponsivitas dari saluran pernapasan yang bervariasi derajatnya.

Definisi asma yang lengkap menggambarkan konsep inflamasi sebagai dasar mekanisme terjadinya asma dikeluarkan oleh GINA (Global Initiative for Asthma). Asma didenfinisikan sebagai gangguan inflamasi kronik saluran respiratorik dengan banyak sel yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan inflmasi ini menyebabkan episod wheezing berulang, sesak napas, rasa dada tertekan, dan batuk, khususnya pada malam dan dini hari. Gejala ini biasanya berhubungan dengan penyempitan saluran respiratorik yang luas namun bervariasi, yang paling tidak bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan. Inflamasi ini juga berhubungan dengan hiperreaktivitas saluran respiratorik terhadap berbagai rangsangan. (UKK Pulmonologi, 2004)

LO. 2.2 Memahami dan menjelaskan epidimiologi asma bronkial

Dalam 30 tahun terakhir prevalensi asma terus meningkat terutama di negara maju. Peningkatan terjadi juga di negara-negara Asia Pasifik seperti Indonesia. Studi di Asia Pasifik baru-baru ini menunjukkan bahwa tingkat tidak masuk kerja akibat asma jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di Amerika Serikat dan Eropa. Hampir separuh dari seluruh pasien asma pernah dirawat di rumah sakit dan melakukan kunjungan ke bagian gawat darurat setiap tahunnya. Hal tersebut disebabkan manajemen dan pengobatan asma yang masih jauh dari pedoman yang direkomendasikan GINA.

Di Indonesia, prevalensi asma belum diketahui secara pasti. Hasil penelitian pada anak sekolah usia 13-14 tahun dengan menggunakan kuesioner ISAAC (International Study on Asthma and Allergy in Children) tahun 1995melaporkan prevalensi asma sebesar 2,1%, sedangkan pada tahun 2003 meningkat menjadi 5,2%. Hasil survey asma pada anak sekolah di beberapa kota di Indonesia (Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta,

8

Malang dan Denpasar) menunjukkan prevalensi asma pada anak SD (6 sampai 12 tahun) berkisar antara 3,7-6,4%, sedangkan pada anak SMP di Jakarta Pusat sebesar 5,8%. Berdasarkan gambaran tersebut, terlihat bahwa asma telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang perlu mendapat perhatian serius. (Iris, 2008)

LO. 2.3 Memahami dan menjelaskan klasifikasi asma bronkial

Berdasarkan penyebab :

1. Ekstrinsik (alergik)

Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh faktor-faktor pencetus yang spesifik, seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang, obat-obatan (antibiotic dan aspirin) dan spora jamur. Asma ekstrinsik sering dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi genetik terhadap alergi. Oleh karena itu jika ada faktor-faktor pencetus spesifik seperti yang disebutkan di atas, maka akan terjadi serangan asthma ekstrinsik.

2. Intrinsik (non alergik)

Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap pencetus yang tidak spesifik atau tidak diketahui, seperti udara dingin atau bisa juga disebabkan oleh adanya infeksi saluran pernafasan dan emosi. Serangan asma ini menjadi lebih berat dan sering sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat berkembang menjadi bronkhitis kronik dan emfisema. Beberapa pasien akan mengalami asma gabungan.

3. Asthma gabungan

Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik dari bentuk alergik dan non-alergik.

Klasifikasi asma berdasarkan tingkat keparahan penyakit menurut Global Initiative For Asthma :

9

Pada anak, secara arbiteri Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA) mengklasifikasikan derajat asma menjadi: 1) Asma episodik jarang; 2) Asma episodik sering; dan 3) Asma persisten (Tabel 2).

Klasifikasi derajat asma pada anak

Parameter klinis,

kebutuhan obat

dan faal paru asma

Asma episodik jarang Asma episodik sering Asma persisten

1 Frekuensi serangan <1x/bulan >1x/bulan Sering

2 Lama serangan <1minggu >1minggu Hampir sepanjang tahun, tidak ada periode bebas serangan

3 Intensitas serangan Biasanya ringan Biasanya sedang Biasanya berat

4 Diantara serangan Tanpa gejala Sering ada gejala Gejala siang dan malam

5 Tidur dan aktifitas Tidak tergganggu Sering tergganggu Sangat tergganggu

6 Pemeriksaan fisik diluar serangan

Normal ( tidak ditemukan kelainan)

Mungkin tergganggu

(ditemukan kelainan)

Tidak pernah normal

7 Obat pengendali(anti inflamasi)

Tidak perlu Perlu Perlu

8 Uji faal paru(diluar PEFatauFEV1>80% PEFatauFEV1<60-80% PEVatauFEV<60%

10

serangan)

9 Variabilitas faal paru(bila ada serangan)

Variabilitas>15% Variabilitas>30% Variabilitas 20-30%.

Variabilitas >50%

PEF=Peak expiratory flow (aliran ekspirasi/saat membuang napas puncak), FEV1=Forced expiratory volume in second (volume ekspirasi paksa dalam 1 detik)

Sumber : Rahajoe N, dkk. Pedoman Nasional Asma Anak, UKK Pulmonologi, PP IDAI, 2004

Klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi serangan dan obat yang digunakan sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan berat-ringannya serangan. Global Initiative for Asthma (GINA) membuat pembagian derajat serangan asma berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan laboratorium. Derajat serangan menentukan terapi yang akan diterapkan. Klasifikasi tersebut meliputi asma serangan ringan, asma serangan sedang dan asma serangan berat.

Perlu dibedakan antara asma (aspek kronik) dengan serangan asma (aspek akut). Sebagai contoh: seorang pasien asma persisten berat dapat mengalami serangan ringan saja, tetapi ada kemungkinan pada pasien yang tergolong episodik jarang mengalami serangan asma berat, bahkan serangan ancaman henti napas yang dapat menyebabkan kematian.

11

Klasifikasi asma menurut derajat serangan

Parameter klinis, fungsi faal paru, laboratorium

Ringan Sedang Berat Ancaman henti napas

Sesak (breathless) Berjalan Berbicara Istirahat

Bayi :

Menangis keras

Bayi :

-Tangis pendek dan lemah

-Kesulitan menetek/makan

Bayi :

Tidakmau makan/minum

Posisi Bisa berbaring Lebih suka duduk

Duduk bertopang lengan

Bicara Kalimat Penggal kalimat Kata-kata

Kesadaran Mungkin iritabel

Biasanya iritabel Biasanya iritabel Kebingungan

Sianosis Tidak ada Tidak ada Ada Nyata

Wheezing Sedang, sering hanya pada akhir ekspirasi

Nyaring, sepanjang ekspirasi ± inspirasi

Sangat nyaring, terdengar tanpa stetoskop

Sulit/tidak terdengar

Penggunaan otot bantu respiratorik

Biasanya tidak Biasanya ya Ya Gerakan paradok torako-abdominal

Retraksi Dangkal, retraksi interkostal

Sedang, ditambah retraksi suprasternal

Dalam, ditambah napas cuping hidung

Dangkal / hilang

Frekuensi napas Takipnu Takipnu Takipnu Bradipnu

Pedoman nilai baku frekuensi napas pada anak sadar :

Usia Frekuensi napas normal per menit

< 2 bulan <60

2-12 bulan < 50

1-5 tahun < 40

6-8 tahun < 30

Frekuensi nadi Normal Takikardi Takikardi Dradikardi

Pedoman nilai baku frekuensi nadi pada anak

Usia Frekuensi nadi normal per menit

2-12 bulan < 160

1-2 tahun < 120

6-8 tahun < 110

Pulsus paradoksus

(pemeriksaannya tidak praktis)

Tidak ada

(< 10 mmHg)

Ada

(10-20 mmHg)

Ada

(>20mmHg)

Tidak ada, tanda kelelahan otot respiratorik

12

PEFR atau FEV1

(%nilai dugaan/%nilai terbaik)

Pra bonkodilator

Pasca bronkodilator

>60%

>80%

40-60%

60-80%

<40%

<60%, respon<2 jam

SaO2 % >95% 91-95% ≤ 90%

PaO2 Normal (biasanya tidak perlu diperiksa)

>60 mmHg <60 mmHg

PaCO2 <45 mmHg <45 mmHg >45 mmHg

Sumber : GINA, 2006

Berdasarkan Gejala Klinis :

a) Serangan asma ringan

dengan gejala batuk, mengi dan kadang-kadang sesak, Sa O2 ³ 95% udara ruangan, PEFR lebih dari 200 liter per menit, FEV1 lebih dari 2 liter, sesak nafas dapat dikontrol dengan bronkodilator dan faktor pencetus dapat dikurangi, dan penderita tidak terganggu melakukan aktivitas normal sehari-hari.

b) Serangan asma sedang

dengan gejala batuk, mengi dan sesak nafas walaupun timbulnya periodik, retraksi interkostal dan suprasternal, SaO2 92-95% udara ruangan, PEFR antara 80-200 liter per menit, FEV1 antara 1-2 liter, sesak nafas kadang mengganggu aktivitas normal atau kehidupan sehari-hari.

c) Serangan asma berat

dengan gejala sesak nafas telah mengganggu aktivitas sehari-hari secara serius, disertai kesulitan untuk berbicara dan atau kesulitan untuk makan, bahkan dapat terjadi serangan asma yang mengancan jiwa yang dikenal dengan status asmatikus. Asma berat bila SaO2 £ 91%, PEFR 80 liter per menit, FEV1 0,75 liter dan terdapat tanda-tanda obstruksi jalan nafas berat seperti pernafasan cuping hidung, retraksi interkostal dan suprasternal, pulsus paradoksus ³ 20 mmHg, berkurang atau hilangnya suara nafas dan mengi ekspirasi yang jelas.

LO. 2.4 Memahami dan menjelaskan etiologi asma bronkial

Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain alergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respon inflamasi akut yang terdiri atas reaksi asma dini (early asthma reaction = EAR) dan reaksi asma lambat (late asthma reaction = LAR).

Faktor Risiko Asma

Secara umum faktor risiko asma dipengaruhi atas faktor genetik dan faktor lingkungan.

1. Faktor Genetik

a. Atopi/alergi

Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana cara penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat yang juga alergi. Dengan adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkial jika terpajan dengan faktor pencetus.

13

b. Hipereaktivitas bronkus

Saluran napas sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun iritan.

c. Jenis kelamin

Pria merupakan risiko untuk asma pada anak. Sebelum usia 14 tahun, prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak perempuan. Tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak.

d. Ras/etnik

e. Obesitas

Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI), merupakan faktor risiko asma. Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi saluran napas dan meningkatkan kemungkinan terjadinya asma. Meskipun mekanismenya belum jelas, penurunan berat badan penderita obesitas dengan asma, dapat memperbaiki gejala fungsi paru, morbiditas dan status kesehatan.

2. Faktor lain

a. Alergen makanan

Contoh: susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah, coklat, kiwi, jeruk, bahan penyedap pengawet, dan pewarna makanan.

b. Alergen obat-obatan tertentu

Contoh: penisilin, sefalosporin, golongan beta laktam lainnya, eritrosin, tetrasiklin, analgesik, antipiretik, dan lain lain.

c. Bahan yang mengiritasi

Contoh: parfum, household spray, dan lain-lain.

d. Ekspresi emosi berlebih

Stres/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga dapat memperberat serangan asma yang sudah ada. Di samping gejala asma yang timbul harus segera diobati, penderita asma yang mengalami stres/gangguan emosi perlu diberi nasihat untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stresnya belum diatasi, maka gejala asmanya lebih sulit diobati.

e. Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif

Asap rokok berhubungan dengan penurunan fungsi paru. Pajanan asap rokok, sebelum dan sesudah kelahiran berhubungan dengan efek berbahaya yang dapat diukur seperti meningkatkan risiko terjadinya gejala serupa asma pada usia dini.

f. Polusi udara dari luar dan dalam ruangan

g. Exercise-induced asthma

Pada penderita yang kambuh asmanya ketika melakukan aktivitas/olahraga tertentu. Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktivitas jasmani atau olahraga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena aktivitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktivitas tersebut.

h. Perubahan cuaca

14

Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma. Atmosfer yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma. Serangan kadang-kadang berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga (serbuk sari beterbangan).

i. Status ekonomi.(Iris, 2008)

LO. 2.5 Memahami dan menjelaskan patogenesis dan patofisiologi asma bronkial

Asma ditandai dengan kontraksi spastik dari otot polos bronkus yang menyebabkan sukar bernafas. Penyebab yang umum adalah hipersensitivitas bronkhioulus terhadap benda-benda asing di udara. Reaksi yang timbul pada asma tipe alergi diduga terjadi dengan cara sebagai berikut, seorang yang alergi mempunyai kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibody IgE abnormal dalam jumlah besar dan antibodi ini menyebabkan reaksi alergi bila reaksi dengan antigen spesifikasinya. Pada asma, antibody ini terutama melekat pada sel mast yang terdapat pada interstisial paru yang berhubungan erat dengan brokhiolus dan bronkhus kecil.

Bila seseorang menghirup alergen maka antibody IgE orang tersebut meningkat, alergen bereaksi dengan antibodi yang telah terlekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini akan mengeluarkan berbagai macam zat, diantaranya histamin, zat anafilaksis yang bereaksi lambat (yang merupakan leukotrient), faktor kemotaktik eosinofilik dan bradikinin.

Efek gabungan dari semua faktor-faktor ini akan menghasilkan adema lokal pada dinding bronkhioulus kecil maupun sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkhioulus dan spasme otot polos bronkhiolus sehingga menyebabkan tahanan saluran napas menjadi sangat meningkat.

Pada asma, diameter bronkiolus lebih berkurang selama ekspirasi daripada selama inspirasi karena peningkatan tekanan dalam paru selama eksirasi paksa menekan bagian luar bronkiolus. Karena bronkiolus sudah tersumbat sebagian, maka sumbatan selanjutnya adalah akibat dari tekanan eksternal yang menimbulkan obstruksi berat terutama selama ekspirasi.

Pada penderita asma biasanya dapat melakukan inspirasi dengan baik dan adekuat, tetapi sekali-kali melakukan ekspirasi. Hal ini menyebabkan dispnea. Kapasitas residu fungsional dan volume residu paru menjadi sangat meningkat selama serangan asma akibat kesukaran mengeluarkan udara ekspirasi dari paru. Hal ini bisa menyebabkan barrel chest.(Heru, Sundaru, Sukamto, 2007)

15

Asma Sebagai Penyakit InflamasiAsma saat ini dipandang sebagai penyakit inflamasi saluran nafas. Inflamasi ditandai

dengan adanya kalor (panas karena vasodilatasi) dan rubor (kemerahan karena vasodilatasi), tumor (eksudasi plasma dan edema), dolor (rasa sakit karena rangsangan sensoris) dan functio laesa (fungsi yang terganggu). Akhir-akhir ini syarat terjadinya radang harus disertai satu syarat lagi, yaitu infiltrasi sel-sel radang. Ternyata keenam syarat tadi dijumpai pada asma tanpa membedakan penyebabnya baik yang alergik maupun non alergik.

Seperti telah dikemukakan di atas baik asma alergik maupun non alergik dijumpai adanya inflamasi dan hipereaktivitas saluran nafas. Oleh karena itu, paling tidak dikenal 2 jalur untuk mencapai kedua keadaan tersebut. Jalur imunologis yang terutama didominasi oleh IgE dan jalur saraf autonom. Pada jalur IgE, masuknya alergen ke dalam tubuh akan diolah oleh APC (Antigen Presenting Cell; sel penyaji antigen), untuk selanjutnya hasil olahan alergen akan dikomunikasikan kepada sel Th (sel T helper; penolong). Sel Th inilah yang akan memberikan instruksi melalui IL (interleukin) atau sitokin agar sel-sel plasma membentuk IgE, serta sel-sel radang lain seperti mastosit, makrofage, sel epitel, eosinofil, neutrofil, trombosit serta limfosit untuk mengeluarkan mediator-mediator inflamasi. Mediator inflamasi seperti histamin, prostaglandin (PG), leukotrin (LT), platelet activating factor (PAF), bradikinin, tromboksin (TX), dan lain-lain akan mempengaruhi organ sasaran sehingga menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding vaskuler, edema saluran nafas, infiltrasi sel-sel radang, sekresi mukus dan fibrosis sub epitel, sehingga menimbulkan hipereaktivitas saluran nafas (HSN). Jalur non alergik selain merangsang sel inflamasi, juga merangsang sistem saraf autonom dengan hasil akhir berupa inflamasi dan HSN.

Hiperaktivitas Saluran Nafas (HSN)Yang membedakan asma dengan orang normal adalah sifat saluran nafas pasien asma yang sangat peka terhadap berbagai rangsangan seperti iritan (debu), zat kimia (histamin, metakolin) dan fisis (kegiatan jasmani). Pada asma alergik, selain peka terhadap rangsangan tersebut di atas pasien juga sangat peka terhadap alergen yang spesifik. Sebagian HSN diduga didapat sejak lahir, tetapi sebagian lagi didapat.Berbagai keadaan dapat meningkatkan hiperekativitas saluran nafas seseorang, yaitu:

16

a) Inflamasi Saluran NafasSel-sel inflamasi serta mediator kimia yang dikeluarkan terbukti berkaitan erat dengan gejala asma dan HSN. Konsep ini didukung oleh fakta bahwa intervensi pengobatan dengan anti inflamasi dapat menurunkan derajat HSN dan gejala asma.

b) Kerusakan EpitelSalah satu konsekuensi inflamasi adalah kerusakan epitel. Pada asma kerusakan bervariasi dari yang ringan sampai berat. Perubahan struktur ini akan meningkatkan penetrasi alergen, mediator inflamasi serta mengakibatkan iritasi ujung-ujung saraf autonom sering lebih mudah terangsang. Sel-sel epitel bronkhus sendiri sebenarnya mengandung mediator yang dapat bersifat sebagai bronkodilator. Kerusakan sel-sel epitel bronkhus akan mengakibatkan bronkokonstriksi lebih mudah terjadi.

c) Mekanisme NeurologisPada pasien asma terdapat peningkatan respon saraf parasimpatis

d) Gangguan IntrinsikOtot polos saluran nafas dan hipertrofi otot polos pada saluran nafas diduga berperan dalam HSN

e) Obstruksi Saluran NafasMeskipun bukan faktor utama, obstruksi saluran nafas diduga ikut berperan dalam HSN.(Heru, Sundaru, Sukamto, 2007)

LO. 2.6 Memahami dan menjelaskan manifestasi klinis asma bronkial

Manifestasi klinis asma klasik adalah serangan episodik batuk, mengi, dan sesak napas. Pada awal serangan sering gejala tidak jelas seperti rasa berat di dada, dan pada asma alergik mugkin disertai pilek atau bersin. Meskipun pada mulanya batuk tanpa disertai sekret, tetapi pada perkembangan selanjutnya pasien akan mengeluarkan sekret baik yang mukoid, putih kadang-kadang purulen. Ada sebagian kecil pasien asma yang gealanya hanya batuk tanpa disertai mengi, dikenal dengan istilah cough variant asthma. Bila hal yang terakhir ini dicurigai, perlu dilakukanpemeriksaan spirometri sebelum dan sesudah bronkodilator atau uji provokasi bronkus dengan metakolin.

Pada asma alergik, sering hubungan antara pemajanan alergen dengan gejala asma tidak jelas. Terlebih lagi pasien asma alergik juga memberikan gejala terhadap faktor pencetus non-alergik seperti asap rokok, asap yang merangsang, infeksi saluran napas ataupun perubahan cuaca.

Lain halnya dengan asma akibat pekerjaan. Gejala biasanya memburuk pada awal minggu dan membaik menjelang akhir minggu. Pada pasien yang gejalanya tetap memburuk sepanjang minggu, gejalanya mungkin akan membaik bila pasien dijauhkan dari lingkungan kerjanya, seperti sewaktu cuti misalnya. Pemantauan dengan alat peak flow meter atau uji provokasi dengan bahan tersangka yang ada di lingkunagn kerja mungkin diperlukan untuk menegakkan diagnosis. (Sudoyo, 2009)

LO. 2.7 Memahami dan menjelaskan diagnosis dan diagnosis banding asma bronkial

Studi epidemiologi menunjukkan asma underdiagnosed di seluruh dunia, disebabkan berbagai hal antara lain gambaran klinis yang tidak khas dan beratnya penyakit yang sangat bervariasi, serta gejala yang bersifat episodik sehingga penderita tidak merasa perlu ke dokter. Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejala berupa batuk, sesak

17

napas, mengi, rasa berat di dada dan variabiliti yang berkaitan dengan cuaca.  Anamnesis yang baik cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah dengan pemeriksaan jasmani dan pengukuran faal paru terutama reversibiliti  kelainan faal paru, akan lebih meningkatkan  nilai diagnostik.

Anamnesa

Keluhan sesak nafas, mengi, dada terasa berat atau tertekan, batuk berdahak yang tak kunjung sembuh, atau batuk malam hari.Semua keluhan biasanya bersifat episodic dan reversible. Mungkin ada riwayat keluarga dengan penyakit yang sama atau penyakit alergi yang lain.

Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum : Penderita tampak sesak nafas dan gelisah, penderita lebih nyaman dalam posisi duduk

Jantung : Pekak jantung mengecil, takikardi

Paru

a. Inspeksi : Dinding torak tampak mengembang, diafragma terdorong kebawah

b. Auskultasi : Terdengar wheezing (mengi), ekspirasi memanjang

c. Perkusi : Hipersonor

d. Palpasi : Fremitus vokal kanan sama dengan kiri

Berdasarkan konsep B6, pemeriksaan fisik untuk asma secara spesifik mencakup :

(Muttaqin, 2008)

B1 (Breathing)

a. Inspeksi

Pada klien terlihat adanya peningkatan usaha dan frekuensi pernapasan, serta penggunaan otot bantu pernapasan. Inspeksi dada terutama melihat postur bentuk dan kesimetrisan, adanya peningkatan diameter antero posterior, retraksi otot-otot intercostalis, sifat dan irama pernapasan dan frekuensi napas.

b. Palpasi

Pada palpasi biasanya amati kesimetrisan, ekspansi dan taktil fremitus normal

c. Perkusi

Pada perkusi didapatkan suara normal sama hipersonor sedangkan diafragma menjadi datar dan rendah.

d. Auskultasi

Terdapat suara vesikuler yang meningkat disertai dengan ekspirasi lebih dari 4 detik atau 3 kali ekspirasi, dengan bunyi tambahan napas tambahan utama wheezing pada akhir ekspirasi.

B2 (Blood)

Monitor dampak asma pada status kardiovaskular meliputi keadaan hemodinamik seperti nadi, tekanan darah dan CRT.

18

B3 (Brain)

Diperlukan pemeriksaan GCS untuk penentuan status kesadaran

B4 (Bladder)

Pengukuran volume output urine berkaitan intake cairan. Ada tidaknya oliguria sebagai tanda awal gejala syok.

B5 (Bowel)

Perlu dikaji bentuk, turgor, nyeri dan tanda-tnada infeksi yang dapat merangsang serangan asma. Pengkajian status nutrisi meliputi jumlah, frekuensi dan kesulitan pemenuhan kebutuhan nutrisi karena pada pasien sesak napas terjadi kekurangan. Hal ini terjadi karena dispnea saat makan dan kecemasan klien.

B6 (Bone)

Adanya edema ekstremitas, tremor dan tanda-tanda infeksi pada ekstremitas karena merangsang serangan asma. Pada integumen perlu dikaji permukaan kasar,kering, kelainan pigmentasi, turgor kulit, kelembaban, besisik, pruritis, eksim dan adanya bekas dermatitis. Pada rambut kaji kelembaban dan kusam. Adanya wheezing, sesak danortopnea saat istirahat. Pola aktivitas olahraga, pekerjaan dan aktivitas lainnya.

Pemeriksaan Laboratorium

1. Pemeriksaan Sputum

Pemeriksaan sputum dilakukan untuk melihat adanya:

a. Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi dari kristal eosinofil

b. Spiral curshmann, yakni yang merupakan cast cell (sel cetakan) dari cabang bronkhus

c. Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkhus

d. Netrofil dan eosinopil yang terdapat pada sputum, umumnya bersifat mukoid dengan viskositas yang tinggi dan kadang terdapat mucus plug

2. Pemeriksaan Darah

a. Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat pula terjadi hipoksemia, hiperkapnia, atau asidosis

b. Kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan LDH

c. Hiponatremia dan kadar leukosit kadang-kadang di atas 15.000/mm3 dimana menandakan terdapatnya suatu infeksi

d. Pada pemeriksaan faktor-faktor alergi terjadi peningkatan dari IgE pada waktu serangan dan menurun pada waktu bebas dari serangan

Pemeriksaan Penunjang Lain

1. Pemeriksaan Radiologi

19

Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada waktu serangan menunjukan gambaran hiperinflasi pada paru-paru yakni radiolusen yang bertambah dan peleburan rongga intercostalis, serta diafragma yang menurun.

Akan tetapi bila terdapat komplikasi, maka kelainan yang didapat adalah sebagai berikut:

a. Bila disertai dengan bronkitis, maka bercak-bercak di hilus akan bertambah

b. Bila terdapat komplikasi emfisema (COPD), maka gambaran radiolusen akan semakin bertambah

c. Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrat pada paru

d. Dapat pula menimbulkan gambaran atelektasis lokal

e. Bila terjadi pneumonia mediastinum, pneumotoraks, dan pneumoperikardium, maka dapat dilihat bentuk gambaran radiolusen pada paru-paru

2. Pemeriksaan Tes Kulit

Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergen yang dapat menimbulkan reaksi yang positif pada asma.

3. Elektrokardiografi

Gambaran elektrokardiografi yang terjadi selama serangan dapat dibagi menjadi 3 bagian, dan disesuaikan dengan gambaran yang terjadi pada emfisema paru, yaitu:

a. Perubahan aksis jantung, yakni pada umumnya terjadi right axis deviasi dan clock wise rotation

b. Terdapatnya tanda-tanda hipertropi otot jantung, yakni terdapatnya RBB (Right bundle branch block)

c. Tanda-tanda hopoksemia, yakni terdapatnya sinus tachycardia, SVES, dan VES atau terjadinya depresi segmen ST negative

4. Scanning Paru

Dengan scanning paru melalui inhalasi dapat dipelajari bahwa redistribusi udara selama serangan asma tidak menyeluruh pada paru-paru.

5. Spirometri

Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas reversible, cara yang paling cepat dan sederhana diagnosis asma adalah melihat respon pengobatan dengan bronkodilator. Pemeriksaan spirometer dilakukan sebelum dan sesudah pamberian bronkodilator aerosol (inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik. Peningkatan FEV1 atau FVC sebanyak lebih dari 20% menunjukkan diagnosis asma. Tidak adanya respon aerosol bronkodilator lebih dari 20%. Pemeriksaan spirometri tidak saja penting untuk menegakkan diagnosis tetapi juga penting untuk menilai berat obstruksi dan efek pengobatan. Benyak penderita tanpa keluhan tetapi pemeriksaan spirometrinya menunjukkan obstruksi.

Status Asmatikus adalah keadaan darurat medik paru berupa serangan asma yang berat atau bertambah berat yang bersifat refrakter sementara terhadap pengobatan yang lazim diberikan. Refrakter adalah tidak adanya perbaikan atau perbaikan yang sifatnya hanya singkat, dengan waktu pengamatan antara satu sampai dua jam.

Gambaran Klinis Status Asmatikus

20

a. Penderita tampak sakit berat dan sianosis

b. Sesak nafas, bicara terputus-putus

c. Banyak berkeringat, bila kulit kering menunjukkan kegawatan sebab penderita sudah jatuh dalam dehidrasi berat

d. Pada keadaan awal kesadaran penderita mungkin masih cukup baik, tetapi lambat laun dapat memburuk yang diawali dengan rasa cemas, gelisah kemudian jatuh ke dalam koma

Peran pemeriksaan lain untuk diagnosis

Uji Provokasi Bronkus

Uji provokasi bronkus membantu menegakkan diagnosis asma. Pada penderita dengan gejala asma dan faal paru normal sebaiknya dilakukan uji provokasi bronkus . Pemeriksaan uji provokasi bronkus mempunyai sensitiviti yang tinggi tetapi spesifisiti rendah, artinya hasil negatif dapat menyingkirkan diagnosis asma persisten, tetapi  hasil positif tidak selalu berarti bahwa penderita tersebut asma. Hasil positif dapat terjadi pada penyakit lain seperti rinitis alergik, berbagai gangguan dengan penyempitan jalan napas seperti PPOK, bronkiektasis dan fibrosis kistik.

 Pengukuran Status Alergi

       Komponen alergi pada asma dapat diindentifikasi melalui pemeriksaan uji kulit atau pengukuran IgE spesifik serum.  Uji tersebut mempunyai nilai kecil untuk mendiagnosis asma, tetapi membantu mengidentifikasi faktor risiko/ pencetus sehingga dapat dilaksanakan kontrol lingkungan dalam penatalaksanaan.

          Uji kulit adalah cara utama untuk mendiagnosis status alergi/atopi,  umumnya dilakukan dengan prick test. Walaupun uji kulit merupakan cara yang tepat untuk diagnosis atopi, tetapi juga dapat menghasilkan positif  maupun negatif palsu. Sehingga konfirmasi terhadap pajanan alergen yang relevan dan hubungannya dengan gejala harus selalu dilakukan. Pengukuran IgE spesifik dilakukan pada keadaan uji kulit tidak dapat dilakukan (antara lain dermatophagoism, dermatitis/ kelainan kulit pada lengan tempat uji kulit, dan lain-lain). Pemeriksaan kadar IgE total tidak mempunyai nilai dalam diagnosis alergi/ atopi.

Diagnosis banding

Bronkitis Kronis

Ditandai dengan batuk kronik menegluarkan sputum 3 bulan dalam setahun paling sedikti terjadi dua tahun. Gejala utama batuk disertai sputum biasanya terjadi pada penderita > 35 tahun dan perokok berat. Gejalanya berupa batuk di pagi hari, lama-lama disertai mengi, menurunya kemampuan kegiatan jasmani pada stadium lanjut ditemukan sianosis dan tanda-tanda kor pumonal.

Emfisema Paru

Sesak merupakan gejala utama emfisema, sedangkan batuk dan mengi jarang menyertainya. Penderita biasanya kurus. Berbeda dengan asma, emfisema biasanya tida ada fase remisi, penderita selalu merasa sesak pada saat melakukan aktivitas. Pada pemeriksaan fisik di dapat dada seperti tong, gerakan nafas terbatas, hipersonor, pekak hati menurun, suara vesikuler sangat lemah. Pada foto dada di dapat adanya hiperinflasi.

Gagal Jantung Kiri

21

Gejala gagal jantung yang sering terjadi pada malam hari dikenal sebagai paroksisimal dispneu. Penderita tiba-tiba terbangun pada malam hari karena sesak, tetapi sesak berkurang jika penderita duduk. Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya kardiomegali dan udem paru.

Emboli Paru

Hal-hal yang dapat menimbulkan emboli paru adalah gagal jantung dan tromboflebitis dengan gejala sesak nafas, pasien terbatuk-batuk disertai darah, nyeri pleura, keringat dingin, kejang, dan pingsang. Pada pemeriksaan fisik didapat ortopnea, takikardi, gagal jantung kanan, pleural friction, gallop, sianosis, dan hipertensi.

Diagnosis banding lainnya :

Rinosinusitis

Refluks gastroesofageal

Infeksi respiratorik bawah viral berulang

Displasia bronkopulmoner

Tuberkulosis

Malformasi kongenital yang menyebabkan penyempitan saluran respiratorik intratorakal

Aspirasi benda asing

Sindrom diskinesia silier primer

Defisiensi imun

Penyakit jantung bawaan

22

Alur diagnosis asma

LO. 2.8 Memahami dan menjelaskan penatalaksanaan asma bronkial

Pada serangan asma, tujuan tatalaksananya adalah untuk :

a. meredakan penyempitan saluran respiratorik secepat mungkin

b. mengurangi hipoksemia

c. mengembalikan fungsi paru ke keadaan normal secepatnya

d. rencana re-evaluasi tatalaksana jangka panjang untuk mencegah kekambuhan

Tatalaksana serangan asma bertujuan untuk menghilangkan gejala dan hipoksemia sesegera mungkin. Untuk mengatasi hal tersebut maka yang paling tepat adalah pemberian obat secara inhalasi. Keuntungan terapi inhalasi adalah obat langsung menuju sasaran, awitannya cepat, dosis minimal, dan efek samping minimal. Pada serangan asma terjadi keadaan bronkokonstriksi sehingga penanganan awal adalah pemberian bronkodilator, selain pemberian oksigen bila terjadi hipoksemia. Bronkodilator yang digunakan adalah agonis beta-2 seperti salbutamol, terbutalin, prokaterol, dan lain lain. Bronkodilator tersebut harus segera diberikan untuk menghindari dampak hipoksemia lama yang akan mengakibatkan sekuele di kemudian hari.

23

Pada keadaan tertentu pemberian bronkodilator jenis agonis beta-2 saja kurang efektif sehingga perlu ditambahkan jenis bronkodilator lain seperti ipratropium bromida atau golongan xanthine. Ipratropium bromida adalah suatu antikolinergik yang merupakan antagonis kompetitif asetilkolin yang bekerja dengan cara berikatan di reseptor kolinergik sehingga menghambat efek asetilkolin. Reseptor kolinergik yang dihambat adalah reseptor di otot polos dan kelenjar submukosa sehingga mencegah peningkatan konsentrasi cyclic guanosine monophosphate (cyclic GMP) intraselular yang terjadi akibat interaksi asetilkolin dengan reseptor muskarinik pada otot polos bronkus. Dengan demikian dapat menghambat kontraksi otot polos dan mengurangi sekresi kelenjar submukosa saluran napas. Ipratropium bromida merupakan derivat atropin yang dikenal sebagai kuartener amonium sintetik.

Secara makroskopik ipratropium bromida adalah zat kristal putih, sangat larut dalam air dan sedikit larut dalam alkohol, tapi tidak larut dalam pelarut lipofilik seperti eter, kloroform, dan flurokarbon.

Ipratropium bromida tidak menembus sawar darah otak dan mukosa gastrointestinal sehingga efek sistemiknya minimal, yaitu di bawah 1%. Meskipun ipratropium bromide mempunyai efek bronkodilator, tetapi efek bronkodilatasinya lebih lemah dan awitan kerjanya lebih lambat bila dibandingkan dengan agonis beta-2. Ipratropium bromide mempunyai waktu paruh yang cukup panjang dibandingkan dengan agonis beta-2 sehingga penambahan ipratropium bromida memperpanjang masa kerja obat bronkodilator secara keseluruhan. Ipratropium bromida sangat jarang digunakan sebagai bronkodilator secara tunggal. Dengan penambahan kedua obat tersebut didapatkan awitan kerja yang cepat dan masa kerja yang lama. Seperti umumnya obat bronkodilator, ipratropium bromida mempunyai efek samping mulut kering, mual, tremor, dan iritasi mata. Keluhan palpitasi dijumpai pada sebagian kecil pengguna ipratropium bromida. Meskipun ipratropium bromida termasuk derivat atropin tetapi tidak dijumpai efek samping retensi urin, gangguan penglihatan dan agitasi seperti pada atropin.

Aplikasi Pemberian Agonis beta-2 dan Ipratropium Bromida pada Serangan Asma Beberapa peneliti menggunakan kombinasi agonis beta-2 dan ipratropium bromida pada serangan asma baik ringan, sedang, maupun berat. Dosis agonis beta-2 yang digunakan adalah 2,5 mg sedangkan dosis ipratropium adalah 250 mikrogram.

Serangan Asma Ringan

Dalam Pedoman Nasional Penanganan Asma Anak (PNAA), pemberian bronkodilator cukup dengan agonis beta-2 saja karena penambahan obat lain tidak menimbulkan perbedaan yang bermakna.2 Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dikemukakan Storr dan Lenny,13 yang

menyatakan bahwa efektivitas penggunaan terapi kombinasi agonis beta-2 dan ipratropium bromida tidak berbeda dalam hal penurunan skor gejala, perbaikan uji fungsi paru, dan angka perawatan di rawat inap dibandingkan dengan pemberian beta-agonis sendiri saja pada serangan ringan. Dengan dasar tersebut direkomendasikan bahwa pada serangan asma ringan tidak diperlukan penambahan ipratropium bromida.2

Serangan Asma Sedang

Pada serangan asma sedang diberikan inhalasi agonis beta-2, steroid sistemik, dan oksigen serta penggantian cairan bila diperlukan. Inhalasi yang diberikan cukup agonis beta-2 saja dan tidak diperlukan penambahan ipratropium bromida.1,2 Namun pada penelitian-penelitian terakhir, disebutkan adanya keuntungan yang didapat pada penggunaan kombinasi agonis

24

beta-2 dengan ipratropium bromida pada serangan asma sedang. Beberapa penelitian mengenai penggunaan terapi kombinasi pada serangan asma sedang mendapatkan hasil yang baik namun ada juga yang tidak bermakna. Penelitian yang dilakukan oleh Schuch,6 mendapatkan hasil yang tidak berbeda bermakna antara pemberian agonis beta-2 saja dengan penambahan ipratropium bromida, baik dalam hal penurunan skor gejala, uji fungsi paru, maupun angka kejadian perawatan. Penelitian lain oleh Kartiningsih et al. mendapatkan bahwa penambahan ipratropium bromide dibandingkan agonis beta-2 sendiri memberikan hasil yang lebih baik dalam hal penurunan skor gejala, penurunan uji fungsi paru, dan rerata saturasi oksigen. Hasil metaanalisis yang dilakukan Rodrigo et al,9 mendapatkan bahwa pemberian ipratropium bersama agonis beta-2 dibandingkan agonis beta- 2 sendiri mempunyai hasil yang bermakna dalam hal peningkatan uji fungsi paru: (FEV1) yaitu sebesar 16,3% (IK 95% 8,2 sampai 24,5%) dan peningkatan PEFR sebesar 15% (IK 95% 5 sampai 24%) serta penurunan angka perawatan di rumah sakit dengan RR 0,73 (IK 95% 0,63 sampai 0,85). Dengan demikian terlihat bahwa terdapat kecenderungan keberhasilan penggunaan kombinasi agonis beta-2 dan ipratropium bromide dibandingkan agonis beta-2 sendiri pada serangan asma sedang

Serangan Asma Berat

Pada tatalaksana serangan asma berat penggunaan agonis beta-2 bersama ipratropium bromida menjadi keharusan karena mempunyai beberapa keuntungan. Dengan penambahan ipratropium bromida pada inhalasi dengan agonis beta-2 mempunyai perbedaan yang cukup bermakna dalam hal peningkatan uji fungsi paru, yaitu PEFR (peak expiratory flow rate) dan FEV1 (forced expiratory volume in 1 second). Pada tahap awal (kurang dari 30 menit pasca inhalasi) terlihat tidak ada perbedaan bermakna Antara pemberian agonis beta-2 sendiri dengan penambahan ipratropium bromida, tetapi setelah lebih dari 60 menit (1 jam) terlihat adanya peningkatan uji fungsi paru secara bermakna baik PEFR maupun FEV1.6,9,17 Selain itu penambahan ipratropium bromida dapat memperbaiki obstruksi saluran napas kecil yang dibuktikan dengan peningkatan FEF25-75 (forced expiratory flow pada 25-75% vital capacity) setelah 60 menit pasca pemberian inhalasi. Pada awal inhalasi tidak terdapat perbedaan uji fungsi paru FEF25-75 antara agonis beta-2 sendiri dengan penambahan ipratropium bromida tetapi setelah lebih dari 60 menit terlihat perbedaan secara bermakna.17 Penelitian meta-analisis mendapatkan bahwa penggunaan agonis beta-2 bersama ipratropium bromida dibandingkan agonis beta-2 sendiri meningkatkan uji fungsi paru (FEV1) sebesar 9,8% (IK 95% 6,5 sampai 13,1%) dan menurunkan angka perawatan di rumah sakit dengan OR 0,62 (IK 95% 0,38 sampai 0,99). Tidak didapatkan perbedaan efek samping antara keduanya baik tremor, nausea dan muntah.8 Penatalaksanaan serangan asma berat sesuai standar harus dilakukan bukan hanya pemberian kombinasi agonis beta-2 dan ipratropium bromida saja. Penambahan terapi yang lain seperti pemberian oksigen, kortikosteroid sistemik, aminofilin, dan suportif seperti penggantian cairan, koreksi asam basa dan elektrolit harus diperhatikan.

(Supriyatno, B. Maj Kedokt Indon, Volum: 60, Nomor: 5, Mei 2010 )

25

Alur Tatalaksana Serangan Asma pada Anak

Klinik / IGD

26

Catatan:

1. Jika menurut penilaian serangannya berat, nebulisasi cukup 1x langsung dengan -agonis + antikolinergik

2. Bila terdapat tanda ancaman henti napas segera ke Ruang Rawat Intensif

3. Jika tidak ada alatnya, nebulisasi dapat diganti dengan adrenalin subkutan 0,01ml/kgBB/kali maksimal 0,3ml/kali

4. Untuk serangan sedang dan terutama berat, oksigen 2-4 L/menit diberikan sejak awal, termasuk saat nebulisasi

Ruang Rawat Inap oksigen teruskan atasi dehidrasi dan

asidosis jika ada steroid IV tiap 6-8

jam nebulisasi tiap 1-2

jam aminofilin IV awal,

lanjutkan

rumatanjika membaik dalam 4-6x nebulisasi, interval jadi 4-6 jam

jika dalam 24 jam perbaikan klinis

Ruang Rawat Sehari/observasi oksigen teruskan berikan steroid oral nebulisasi tiap 2 jam bila dalam 12 jam

perbaikan klinis stabil, boleh pulang, tetapi jika klinis tetap belum membaik atau meburuk, alih rawat ke Ruang Rawat Inap

Boleh pulang bekali obat -

agonis (hirupan / oral)

jika sudah ada obat pengendali, teruskan

jika infeksi virus sbg. pencetus, dapat diberi

Serangan berat

(nebulisasi 3x, respons buruk)

sejak awal berikan O2 saat / di luar nebulisasi

pasang jalur parenteral

nilai ulang

Serangan ringan(nebulisasi 1-3x, respons baik, gejala hilang)

observasi 2 jam jika efek bertahan,

boleh pulang jika gejala timbul

Serangan sedang(nebulisasi 1-3x,

respons parsial)

berikan oksigen (3)

nilai kembali derajat serangan, jika sesuai dgn

Tatalaksana awal nebulisasi -agonis 1-3x, selang 20 menit (2)

nebulisasi ketiga + antikolinergik jika serangan berat, nebulisasi. 1x

(+antikoinergik)

Nilai derajat serangan(1)

(sesuai tabel 3)

Tahapan tatalaksana serangan asma

GINA membagi tatalaksana asma menjadi 2 yaitu tatalaksana dirumah dan di rumah sakit. Tatalaksana dilakukan oleh pasien (atau orang tuanya) dirumah. Hal ini dapat dilakukan oleh pasien yang sebelumnya telah menjalani terapi dengan teratur dan mempunyai pendidikan yang cukup. Pada panduan pengobatan dirumah, disebutkan bahwa terapi awal adalah inhalasi ß-agonis kerja cepat sebantak 2 kali dengan selang waktu 20 menit. Bila belum ada perbaikan, segera mencari pertolongan dokter atau sarana kesehatan.

27

ALGORITMA PENATALAKSANAAN SERANGAN ASMA DI RUMAH

Penilaian berat seranganKlinis : Gejala (batuk, sesak, mengi, dada terasa berat) yang bertambah

APE , 80% nilai terbaik / prediksi

Terapi awalInhalasi agonis beta-2 kerja singkat

(setiap 20 menit, 3 kali dalam 1 jam), atau Bronkodilator oral

Sumber : PDPI, Asma. Pedoman & Penatalaksanaan Di Indonesia, 2004

28

Algoritma Penatalaksanaan Asma Di Rumah Sakit

-

Sumber : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Asma Pedoman & Penatalaksanaan Di Indonesia, , 2004.

Terapi medikamentosa

Bronkodilator

Beta adrenergic Kerja Pendek (Short Acting)

29

Dirawat di ICUBila tidak perbaikan dalam 6-12 jam

Pulang

Bila APE > 60% prediksi / terbaik. Tetap berikan pengobatan oral atau inhalasi

Tidak PerbaikanPerbaikan

Pengobatan Awal

Oksigenasi dengan kanul nasal Inhalasi agonis beta-2 kerja singkat (nebulisasi), setiap 20 menit dalam satu jam) atau agonis beta-2

injeksi (Terbutalin 0,5 ml subkutan atau Adrenalin 1/1000 0,3 ml subkutan) Kortikosteroid sistemik :

- serangan asma berat,tidak ada respons segera dengan pengobatan bronkodilator, dalam kortikosterois oral

Serangan Asma Mengancam JiwaSerangan Asma Sedang/BeratSerangan Asma Ringan

Respons buruk dalam 1 jam

Resiko tinggi distress Pem.fisis : berat, gelisah dan kesadaran

menurun APE < 30% PaCO2 < 45 mmHg PaCO2 < 60 mmHg

Respons Tidak Sempurna

Resiko tinggi distress Pem.fisis : gejala ringan – sedang APE > 50% terapi < 70% Saturasi O2 tidak perbaikan

Respons baik

Respons baik dan stabil dalam 60 menit

Pem.fisi normal APE >70% prediksi/nilai

terbaik

Penilaian Ulang setelah 1 jam

Pem.fisis, saturasi O2, dan pemeriksaan lain atas indikasi

Penilaian Awal

Riwayat dan pemeriksaan fisik

(auskultasi, otot bantu napas, denyut jantung, frekuensi napas) dan bila mungkin faal paru (APE atau

Dirawat di ICU

Inhalasi agonis beta-2 + anti kolinergikKortikosteroid IVPertimbangkan agonis beta-2 injeksi

SC/IM/IVAminofilin dripMungkin perlu intubasi dan ventilasi

mekanik

Dirawat di RS

Inhalasi agonis beta-2 + anti—kolinergik

Kortikosteroid sistemik Aminofilin drip Terapi Oksigen pertimbangkan kanul

nasal atau masker venturi Pantau APE, Sat O2, Nadi, kadar

teofilin

Pulang

Pengobatan dilanjutkan dengan inhalasi agonis beta-2

Membutuhkan kortikosteroid oral

Edukasi pasien- Memakai obat yang

benar- Ikuti rencana pengobatan

Merupakan terapi fundamental dan obat pilihan pada serangan asma. Stimulasi terhadap reseptor-reseptor beta adrenergic menyebabkan perubahan ATP menjadi cyclic-AMP sehingga timbul relaksasi otot polos jalan napas yang menyebabkan terjadinya bronkodilatasi. Efek lain juga dapat terjadi, seperti peningkatan klirens mukosilier, penurunan permeabilitas vascular, dan berkurangnya pelepasan mediator dari sel mast. Reseptor ß1 terutama terdapat di jantung sedangkan reseptor ß2 berada di epitel jalan napas, otot pernapasan, alveolus, sel-sel inflamasi, pembuluh darah, otot lurik, serta hepar dan pancreas. Golongan obat ini terdiri dari epinefrin/adrenalin dan b2 agonis selektif.

Epinefrin/adrenalin

Umumnya, epinefrin tidak direkomendasikan lagi untuk mengobati serangan asma, kecuali jika tidak ada obat ß2-agonis selektif. Epinefrin terutama diberikan jika ada reaksi anafilaksis atau angioedema. Obat ini dapat diberikan secara subkutan atau inhalasi aerosol. Pemberian subkutan adalah sbb : larutan epinefrin 1:1000 (1mg/ml),dengan dosis 0,01 ml/kgbb (max. 0,3 ml), dapat diberikan sebanyak 3 kali, dengan selang waktu 20 menit. Mula kerja efeknya subkutan adalah 5-15 menit, efek puncaknya 30-120 menit, durasi efeknya 2-3 jam. Inhalasi racemic ephineprine 2,25% aerosol dapat diberikan dengan nebulizer.

Epinefrin akan menimbulkan stimulasi pada reseptor ß1,ß2, dan α, sehingga akan menimbulkan efek samping berupa sakit kepala, gelisah, takiaritmia, tremor dan hipertensi. Pemberian epinefrin aerosol kurang menguntungkan karena durasi efek bronkodilatasinya hanya 1-1,5 jam dan menimbulkan efek samping terutama pada jantung dan CNS.

ß2-agonis selektif

obat yang sering dipakai adalah salbutamol, terbutalin, dan fenoterol. Dosis salbutamol oral adalah 0,1-0,15 mg/kgbb/kali, diberikan setiap 6 jam; dosis terbutalin oral 0,05-0,1 mg/kgbb/kali, diberikan setiap 6 jam ; fenoterol 0,1 mg/kgbb/kali, setiap 6 jam. Pemberian secara oral akan menimbulkan efek bronkodilatasi setelah 30 menit, efek puncak dicapai dalam 2-4 jam, dan lama kerjanya sampai 5 jam. Pemberian secara inhalasi (dengan inhaler/nebulizer) memiliki dan lama kerjanya 4-6 jam. Pemberian subkutan tidak memberi efek bronkodilatasi yang lebih baik daripada nebulisasi, sehingga cara ini tidak dianjurkan jika ada alat nebulisasi. Dosis salbutamol subkutan adalah 10-20 mcg/kgbb/kali sedangkan dosis terbutalin subkutan adalah 5-10 mcg/kg/kali.

Pemberian secara noninvasive (inhalasi) lebih disukai daripada pemberian subkutan/intravena karena dapat mengurangi rasa nyeri dan kegelisahan pasien. Untuk serangan ringan, dapat diberikan metered dose inhaler (MDI) 2-4 semprotan (puff) tiap 3-4 jam, serangan sedang diberikan 6-10 semprotan tiap 1-2 jam, sedangkan serangan berat memerlukan 10 semprotan. Pemberian dengan MDI lebih dari 6 semprotan harus dengan pengawasan dokter atau di rumah sakit. Pemberian MDI dengan spacer dan masker pada pasien asma akut (tetapi pada kasus yang tidak mengancam jiwa), dengan dosis 3-4 semprotan, ternyata mempunyai efek bronkodilatasi yang sama dengan nebulizer. Salbutamol dapat diberikan melalui nebulizer dengan dosis 0,1-0,15 mg/kgbb (dosis maksimum 5 mg/kali), dengan interval 20 menitatau nebulizer secara kontinu dengan dosis 0,3-0,5 mg/kgbb/jam (dosis maksimum 15 mg/jam). Pasien yang tidak responsive dengan pemberian 2 kali inhalasi (MDI dan spacer) atau nebulizer dikategorikan sebagai “non-responder” dan pada inhalasi ke-3, dapat ditambahkan ipratropium bromide. Nebulisasi terbutalin dapat diberikan dengan dosis 2,5 mg atau 1 respules/nebulisasi.

Berdasarkan teori, pemberian obat beta-agonis secara intravena berguna pada serangan asma berat karena pada keadaan ini, obat beta-agonis inhalasi sulit mencapai jalan napas di bagian

30

distal obstruksi. Namun, pada beberapa penelitian, tidak terdapat perbedaan signifikan anatara efek bronkodilator intravena dan inhalasi. Pada pemberian intravena, efek samping takikardi lebih sering terjadi. Pemberian ß2-agonis IV dapat dipertimbangkan jika pasien tidak berespons dengan pemberian nebulisasi ß2-agonis, kortikosteroid IV, dan teofilin ±ipratropium bromide. Salbutamol IV dapat diberikan dengan dosis mulai dari 0,2 mcg/kgbb/menit dan dinaikkan 0,1 mcg/kg setiap 15 menit dengan dosis mulai dari 0,2 mcg/kgbb/menit. Terbutalin IV dapat diberikan dengan 0,1-4µg/kgbb/jam dengan infus kontinu.

Efek samping ß2-agonis antara lain tremor otot skeletal, sakit kepala, agitasi, palpitasi, dan takikardia. Selain itu, dapat terjadi ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi akibat adanya peningkatan perfusi (sirkulasi) ke paru yang ventilasinya kurang. Hal ini akan menimbulkan hipoksemia dan dapat terjdi hypokalemia. Oleh karena itu, sebaiknya dilakukan pmeantauan kadar kalium darah dan pemeriksaan elektrokardiografi.

Methyl Xanthine (Teofilin Kerja Cepat)

Efek bronkodilatasinya setara dengan ß2-agonis inhalasi, tetapi karena efek sampingnya lebih banyak dan batas keamanannya sempit, obat ini sebaiknya diberikan hanya serangan asma berat yang dengan pemberian kombinasi ß2-agonis dan antikolinergik serta steroid tidak/kurang memberikan respons. Konsentrasi obat di darah harus dijaga sekitar 10-20 mcg/ml agar tetapi memiliki efek terapi/

Dosis aminofilin intravena jika pasien belum mendapat aminofilin sebelumnya adalah dosis awal (inisial) sebesar 6-8 mg/kgbb dilarutkan dalam 20 ml dekstrosa 5% atau garam fisiologis, diberikan dalam 20-30 menit. Jika pasien sudah mendapat aminofilin kurang dari 12 jam sebelumnya, dosis diberikan setengahnya. Selanjutnya, aminofilin diberikan dengan dosis rumatan yaitu 0,5-1 mg/kgbb/jam. Dosis maksimal aminofilin adalah 16-20 mg/kgbb/hari apabila tidak dapat mengukur konsentrasi plasma teofilin

Karena farmakokinetik teofilin dipengaruhi oleh usia pasien, dosis awal aminofilin berbeda-beda sesuai usia:

usia 1-6 bulan : 0,5 mg/kgbb/jam

usia 6-11 bulan : 1,0 mg/kgbb/jam

usia 1-9 tahun : 1,2-1,5 mg/kgbb/jam

usia >10 tahun: 0,9 mg/kgbb/jam

efek samping obat ini adalah mual, muntah dan sakit kepala. Pada konsentrasi obat yang lebih tinggi dapat timbul kejang, takikardia dan aritmia. Secara teori, selain sebagai bronkodilator, keunggulan teofilin pada serangan asma adalah dapat merangsang pusat respiratorik dan meningkatkan kontraktilitaas otot-otot respiratorik.

Antikolinergik

Ipratropium bromide

Pemberian kombinasi nebulisasi ß2-agonis dan antikolinergik menghasilkan efek bronkodilatasi yang lebih baik daripada jika masing-masing obat diberikan secara sendiri-sendiri. Kombinasi ini sebaiknya diberikan jika 1 kali nebulisasi ß2-agonis tidak/kurang memberikan respons. Sebaiknya pemberian kombinasi ini dilakukan lebih dulu sebelum

31

pemberian methyl xanthine. Dosis yang dianjurkan adalah 0,1 ml/kgbb, nebulisasi setiap 4 jam. Dapat juga diberikan dalam larutan 0,025% dengan dosis sbb: untuk usia >6 tahun 8-20 tetes; usia <6 tahun 4-10 tetes. Efek sampingnya adalah kekeringan (minimal) atau rasa tidak enak di mulut (dosis oral 0,6-8 mg/kg pd orang dewasa); secara umum tidak efek samping berarti.

Kortikosteroid

Pemberian kortikosteroid sistemik mempercepat perbaikan serangan asma dan pemberiannya merupakan bagian tatalaksana serangan asma, kecuali pada serangan ringan. Kortikosteroid sistemik terutama diberikan pada keadaan sbb:

terapi inisial inhalasi ß2-agonis kerja cepat gagal mencapai perbaikan yang cukup lama

serangan asma tetap terjadi meskipun pasien telah menggunakan kortikosteroid hirupan sebagai controller

serangan ringan yang mempunyai riwayat serangan berat sebelumnya.

Pemberian glukokortikosteroid sistemik memerlukan waktu paling sedikit 4 jam untuk mecapai perbaikan klinis, efek maksimum dicapai dalam waktu 12-24 jam. Pemberian kortikosteroid bias mencegah progretivitas asma, mencegah perlunya rawat inap di rumah sakit, mengurangi gejala, memperbaikin fungsi paru, serta memperbaiki respon bronkodilatasi yang ditimbulkan oleh ß2-agonis. Preparat oral yang dipakai adalah prednisone, prednisolone, atau triamsinolon dengan dosis 1-2 mg/kgbb/hari diberikan 2-3 kali sehari selama 3-5 hari.

Kortikosteroid intravena perlu diberikan pada kasus asma yang dirawah di RS. Metil-prednisolon merupakan pilihan utama karena memiliki kemampuan penetrasi ke jaringan paru lebih baik, efek antiinflamasi yang lebih besar, serta efek mineralokortikoid yang minimal. Dosis metil-prednisolon IV yang dianjurkan adalah 1 mg/kgbb diberikan setiap 4-6 jam. Hirfokortison IV diberikan dengan dosis 4 mg/kgbb setiap 4-6 jam. Deksametason diberikan secara bolus intravena, dengan dosis ½-1 mg/kgbb dilanutkan 1 mg/kgbb/hari diberikan setiap 6-8 jam.

Pemakaian steroid inhalasi dosis rendah tidak bermanfaat untuk serangan asma sehingga tidak dianjurkan. Nebulisasi steroid dapat diberikan untuk serangan berat, tetapi diperlukan dosis sangat tinggi, yaitu 1600 mcg. Pada pasien yang intoleran terhadap prednisone oral, dapat diberikan inhalasi steroid dosis tinggi.

Terapi suportif

Oksigen

Diberikan pada serangan sedang dan berat. Pada bayi atau anak kecil, saturasi oksigen sebaiknya diukur dengan pulse oxymetry (normal >95%). Meskipun pasien sudah mendapat oksigen beraliran tinggi, jika saturasi oksigen kurang dari 90% dan kondisi pasien memburuk, sebaiknya dilakukan pemeriksaan analisa gas darah. Saturasi oksigen sebaiknya dipertahankan sebesar sekitar 95%. Hal ini dapat dicapai dengan pemerian oksigen memakan kanula hidung, masker, atau kadang head box. Pada nebulisasi ß2-agonis oksigen sebaiknya diberikan untuk mengatasi efek samping hipoksia.

Campuran Helium dan Oksigen

32

Inhalasi helioks (80% helium dan 20% oksigen) selama 15 menit sebagai tambahan pada pemberian oksigen (dengan kanula hidung), bersama dengan nebulisasi salbutamol dan metil prednisolone IV secara bermakna menurunkan pulsus paradoksus, meningkatkan peakflow, dan mengurangi sesak. Cara ini juga bias mencegah kebutuhan ventilasi mekanik beberapa pasien. Campuran helium dan oksigen dapat memperbaiki oksigenasi. Hal ini dapat terjadi karena sifat helium yang ringan sehingga dapat mengubah aliran turbulen menjadi laminar dan menyebabkan oksigen lebih mudah mencapai alveoli.

Tetapi ini tidak selalu menunjukan hasil menguntungkan

Terapi cairan

Dehidrasi dapat terjadi pada serangan asma. Hal ini disebabkan oleh kurang adekuatnya asupan cairan, peningkatan insensible water lost, takipnea, serta akibat efek diuretic teofilin. Pemberian cairan harus dilakukan dengan hati-hati untuk menghindari hidrasi berlebihan; pada asma berat, terjadi peningkatan sekresi ADH yang memudahkan terjadinya retensi cairan serta terdapat tekanan negative yang tinggi dari tekanan pleura pada puncak inspirasi yang memudahkan terjadinya edema paru. Biasanya, jumlah cairan yang diberikan adalah 1-1,5 kali kebutuhan rumatan.

Obat-obat lain

Selain obat-obat diatas, beberapa obat yang dicantumkan dibawah ini sering digunakan pada serangan asma

Magnesium Sulfat

Peberian magnesium sulfat dianjurkan sebagai terapi sistemik pada serangan asma berat. Pemebrian obat ini dapat dipertimbangkan pada anak dengans erangn asam berat yang di rwat di ICU, terutama yang tidak/ kurang berespons terhadap pemberian kortikosteroidsistemik dan nebulisasi berulang dengan β2-agonis dan aminofilin.

Beberapa teori menerangkan bahwa efek bronkondilator obat ini terjadi melaluiperannya di dalam regulasi kompleks adenyl cyclase pada reseptor β2, yaitu suatu kofaktor enzim yang mengatur keluar masuknya Na dan K melalui membrane sel. Obat ini juga bekerja sebagai penghambat kanal kalsium (calcium channel blocker), memiliki efek sedatif , mengurangi pelepasan asetilkolin pada ujung-ujung saraf , dan menstabilkan sel mast.

Dosis magnesiu sulfat adalah 25-5- mg/ kg BB IV, diberikan selama 1 jam. Kadar magnesium serum sebaiknya diperiksa setiap 6 jam, infus magnesium harus dititrasiuntuk menjaga agar kadar di dalam darah tetap sebesar 3,5-4,5 meq/dl. Efek samping obat hipotensi, takikardi, mual, muntah, flushing kulit, dan disritmia jantung. Suatu penelitian pendahulaun melaporkan bahwa nebulisasi kombinasi salbutamol dan magnesium sulfatisotonik menunjukan hasil yang lebuh baik daripada kombinasi dalbutamol dan salin nirmal. Namun, penggunaan magnesium sulfat isotonic secara rutin belum direkomendasikan sampai ada penelitian lebih lanjut.

Pada penelitian multisenter, pemberian magnesium sulfat 50 mg/ kg BB(inisial) dalam 20 menit dilanjutkan dengan 30 mg/ kgBB/ jam mempunyai efektifitas yang sama dengan pemberian β-agonis. Pemberian MgSO4 ini dapat meningkatkan FEV1 dan mengurangi angka perawatan di rumah sakit.

33

Mulkolitik

Pemebrian mulkolitik pada serangan asma ringan dan sedang dapat dilakukan, tetapi harus hati-hati pada anak dengan reflex batuk yang tidak optimal. Mukolitik inhalasi tidak mempunyai efek signifikan, tetapi harus berhati-hati pada serangan asma berat . Inhalasi obat mukolitik tidak menunjukan kegunaan dalam menangani serangan asma, pada serangan asma berat bahkan bisa memperberat batuk dan menghambat aliran napas.

Antibiotik

Pemberian antibiotic pada asma tidak dianjurkan Karen sebagian besar pencetusnya bukan infeksi bakteri. Pada keadaan tertentu, antibiotic dapat diberikan, yaitu pada infeksi respiratorik yang dicurigai disebabkan oleh bakteri, seperti adanya tanda-tanda pneumonia, sputum yang purulent, serta jika diduga ada rinosinusitis yang menyertai asma.

Obat Sedasi

Pemebrian obat sedasi pada serangan asma sangat tidak dianjurkan karena dapat menekan/ mendepresi pernapasan.

Antihistamin

Antihistamin jangan diberikan pada serangan asma karena tidak mempunyai efek yang menguntungkan, bahkan dapat memperburuk keadaan karena dapat memperkental sputum.

(Rahajoe, NN dkk. 2013. Buku Ajar Respirologi Anak. Ed.1 Cet. 4. Jakarta : Badan Penerbit IDAI)

34

Alur Tatalaksana Asma Anak jangka Panjang

Asma episodik jarang

3-4 minggu, obat dosis / minggu > 3x < 3x

Asma episodik sering

6-8 minggu, respons: (-) (+)

Asma persisten

6-8 minggu, respons: (-) (+)

6-8 minggu, respons: (-) (+)

*) Ketotifen dapat digunakan pada pasien balita dan/atau asma tipe rinitis

35

Obat pereda: -agonis atau teofilin

(hirupan atau oral) bila perlu

Tambahkan obat pengendali:Kortikosteroid hirupan dosis rendah *)

Pertimbangkan alternatif penambahan salah satu obat:

-agonis kerja panjang (LABA) teofilin lepas lambat antileukotrien

Kortikosteroid dosis medium ditambahkanan salah satu obat:

-agonis kerja panjang teofilin lepas lambat antileukotrien atau dosis kortikosteroid ditingkatkan (tinggi)

Obat diganti kortikoteroid oral

PE

NGHINDARAN

LO. 2.9 Memahami dan menjelaskan pencegahan asma bronkial

Upaya pencegahan asma dapat dibedakan menjadi 3 yaitu:

1. Pencegahan primer ditujukan untuk mencegah sensitisasi pada bayi dengan risiko asma (orangtua asma), dengan cara :

a. Penghindaran asap rokok dan polutan lain selama kehamilan dan masa perkembangan bayi/anak

b. Diet hipoalergenik ibu hamil, asalkan / dengan syarat diet tersebut tidak mengganggu asupan janin

c. Pemberian ASI eksklusif sampai usia 6 bulan

d. Diet hipoalergenik ibu menyusui

2. Pencegahan sekunder ditujukan untuk mencegah inflamasi pada anak yang telah tersentisisasi dengan cara menghindari pajanan asap rokok, serta allergen dalam ruangan terutama tungau debu rumah.

3. Pencegahan tersier ditujukan untuk mencegah manifestasi asma pada anak yang telah menunjukkan manifestasi penyakit alergi. Sebuah penelitian multi senter yang dikenal dengan nama ETAC Study (early treatment of atopic children) mendapatkan bahwa pemberian Setirizin selama 18 bulan pada anak atopi dengan dermatitis atopi dan IgE spesifik terhadap serbuk rumput (Pollen) dan tungau debu rumah menurunkan kejadian asma sebanyak 50%. Perlu ditekankan bahwa pemberian setirizin pada penelitian ini bukan sebagai pengendali asma (controller).

LO. 2.10 Memahami dan menjelaskan prognosis asma bronkial

Mortalitas akibat asma jumlahnya kecil. Gambaran yang paling akhir menunjukkan kurang dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi berisiko yang jumlahnya kira-kira 10 juta penduduk. Angka kematian cenderung meningkat di pinggiran kota dengan fasilitas kesehatan terbatas.

Informasi mengenai perjalanan klinis asma menyatakan bahwa prognosis baik ditemukan pada 50–80% pasien, khususnya pasien yang penyakitnya ringan dan timbul pada masa kanak-kanak. Jumlah anak yang masih menderita asma 7–10 tahun setelah diagnosis pertama bervariasi dari 26–78% dengan nilai rata-rata 46%, akan tetapi persentase anak yang menderita ringan dan timbul pada masa kanak-kanak. Jumlah anak yang menderita asma penyakit yang berat relatif berat (6 –19%). Secara keseluruhan dapat dikatakan 70–80% asma anak bila diikuti sampai dengan umur 21 tahun asmanya sudah menghilang.

LO. 2.11 Memahami dan menjelaskan komplikasi asma bronkial

a. Pneumothorax

Keadaan dimana terdapat udara atau gas dalam rongga pleura, sehingga paru – paru kesulitan untuk mengembang.

b. Pneumodiastinum

Adanya udara atau gas bebas yang ditemukan pada mediastinum.

36

c. Emfisema

Pembesaran permanen abnormal ruang udara distal ke bronkiolus terminal, disertai dengan kerusakan dinding alveolar dan tanpa fibrosis yang jelas.

d. Atelektasis

pengkerutan sebagian atau seluruh paru-paruakibat penyumbatan saluran udara (bronkus maupun bronkiolus) atau akibat pernafasan yang sangat dangkal.

e. Bronchitis

Peradangan pada cabang tenggorokan/ bronkus.

f. Gagal nafasg. Perubahan bentuk thorax

Thorax membungkuk kedepan dan memanjang. Pada foto rontgen terlihat diafragma letaknya rendah, gambaran jantung menyempit, hilus kiri dan kanan bertambah. Pada asma berat dapat terjadi bentuk dada burung (pektus karinatum/ pigeon chest) dan tampak sulkus Harrison.

LI. 3. Mampu memahami dan menjelaskan terapi inhalasi

Pemberian obat pada asma dapat berbagai macam, yaitu parenteral, peroral, dan perinhalasi. Pemberian perinhalasi adalah pemebrian obat secara langsung kedala saluran napas melalu penghisapan. Pada asma penggunaan obat secara inhalasi dapat mengurangi efek samping berupa gangguan gastrointestinal dan yg lainya yg sering terjadi pada pemberian parenteral atau peroral. Hal tersebut dimungkinkan karena dosis yang digunakan pada terapi inhalasi sangat kecil dibandingkan dengan pengobatan parenteral atau peroral. Terapi pada dewasa telah banyak digunakan dan keberhasilnaya cukup baik, tetapi pada anak belum banyak.

Prinsip terapi inhalasi

Prinsip farmakologis terapi inhalasi yang ideal untuk penyakit saluran napas adalah obat dapat sampai pada organ target dengan menghasilkan partikel aerosol berukuran optimal agar terdeposisi di paru, onset kerjanya cepat, dosis obat kecil, efek samping minimal karena konsentrasi obat di dalam darah sedikit atau rendah, mudah digunakan, serta efek terapeutik tercapai yang ditandai dengan tampaknya perbaikan klinis. Meskipun saluran napas mempunyai beberapa mekanisme antara lain refleks batuk, bersin serta klirens mukosilier yang akan melindungi terhadap masuk dan mengendapnya partikel obat sehingga akan mengeliminasi obat inhalasi. Namun dengan memperhatikan metode untuk menghasilkan aerosol serta cara penyampaian/delivery obat yang akan mempengaruhi ukuran partikel yang dihasilkan dan jumlah obat yang mencapai berbagai tempat di saluran napas maka diharapkan obat terdeposisi secara efektif.

Ukuran partikel akan mempengaruhi sampai sejauh mana partikel menembus saluran napas. Partikel berukuran > 15 mm tersaring oleh filtrasi rambut hidung sedangkan > 10 mm akan mengendap di hidung dan nasofaring. Partikel yang besar ini terutama mengendap karena benturan inersial bila terdapat aliran udara yang cepat disertai perubahan arah atau arus urbulen. Partikel berukuran 0,5 – 5 mm akan mengendap secara sedimentasi karena gaya gravitasisedangkan partikel berukuran < 0,1 mm akanmengendap karena gerak Brown. Dengan demikian untuk mendapatkan manfaat obat yang optimal, obat yang diberikan secara inhalasi harus dapat mencapai tempat kerjanya di dalam saluran pernapasan. Bentuk aerosol yang digunakan yaitu suspensi partikel di dalam gas, dan partikel dalam aerosol yang mempunyai ukuran berkisar 2-10 Ïm atau 1-7 Ïm Penelitian lainnya mendapatkan bahwa

37

partikel berukuran 1-8 Ïm mengalami benturan dan pengendapan di saluran nafas besar, kecil, dan alveoli.

Jenis terapi inhalasi

Pemberian aerosol yang ideal adalah dengan alat yang sederhana, mudah dibawa, tidak mahal, secara selektif mencapai saluran napas bawah, hanya sedikit yang tertinggal di saluran napas atas serta dapat digunakan oleh anak, orang cacat, atau orang tua. Namun keadaan ideal tersebut tidak dapat sepenuhnya tercapai dan masing-masing jenis alat terapi inhalasi mempunyai beberapa keuntungan dan kerugian. Hingga saat ini dikenal 3 sistem inhalasi yang digunakan dalam klinik sehari-hari yaitu,:

1. Nebuliser

2. Metered dosed inhaler aerosol ( dengan atau tanpa spacer / alat penyambung)

3. Dry powder inhaler

1. Nebuliser

Alat nebuliser dapat mengubah obat yang berbentuk larutan menjadi aerosol secara terus menerus dengan tenaga yang berasal dari udara yang dipadatkan atau gelombang ultrasonik sehingga dalam prakteknya dikenal 2 jenis alat nebuliser yaitu ultrasonic nebulizer dan jet nebuliser. Hasil pengobatan dengan nebulizer lebih banyak bergantung pada jenis nebuliser yang digunakan. Terdapat nebuliser yang dapat menghasilkan partikel aerosol terus menerus ada juga yang dapat diatur sehingga aerosol hanya timbul pada saat penderita melakukan inhalasi sehingga obat tidak banyak terbuang.

Keuntungan terapi inhalasi menggunakan nebuliser adalah tidak atau sedikit memerlukan koordinasi pasien, hanya memerlukan pernafasan tidal, beberapa jenis obat dapat dicampur (misalnya salbutamol dan natrium kromoglikat).

Kekurangannya adalah karena alat cukup besar, memerlukan sumber tenaga listrik dan relatif mahal.

• Ultrasonic nebuliser

Alat ini menghasilkan aerosol melalui osilasi frekuensi tinggi dari piezo-electric crystal yang berada dekat larutan dan cairan memecah menjadi aerosol. Keuntungan jenis nebuliser ini adalah tidak menimbulkan suara bising dan terus menerus dapat mengubah larutan menjadi aerosol sedangkan kekurangannya alat ini mahal dan memerlukan biaya perawatan lebih besar.

• Jet nebuliser

Alat ini paling banyak digunakan banyak Negara karena relatif lebih murah daripada ultrasonic nebuliser. Dengan gas jet berkecepatan tinggi yang berasal dari udara yang dipadatkan dalam silinder ditiupkan melalui lubang kecil dan akan dihasilkan tekanan negatif yang selanjutnya akan memecah larutan menjadi bentuk aerosol. Aerosol yang terbentuk dihisap pasien melalui mouth piece atau sungkup. Dengan mengisi suatu tempat pada nebuliser sebanyak 4 ml maka dihasilkan partikel aerosol berukuran < 5 Ïm, sebanyak 60-80% larutan nebulisasi akan terpakai dan lama nebulisasi dapat dibatasi. Dengan cara yang optimal maka hanya 12% larutan akan terdeposit di paru-paru.7 Bronkodilator yang diberikan

38

dengan nebulizer memberikan efek bronkodilatasi yang bermakna tanpa menimbulkan efek samping.

2. Metered dose inhaler (MDI)

Metered dose inhaler (MDI) atau inhaler dosis terukur merupakan cara inhalasi yang memerlukan teknik inhalasi tertentu agar sejumlah dosis obat mencapai saluran pernafasan. Pada inhaler ini bahan aktif obat disuspensikan dalam kurang lebih 10 ml cairan pendorong (propelan) dan yang biasa digunakan adalah kloroflurokarbon (chlorofluorocarbon = CFC) pada tekanan tinggi. Akhir-akhir ini mulai dikembangkan penggunaan bahan non-CFC yaitu hidrofluroalkana (HFA) yang tidak merusak lapisan ozon. Propelan mempunyai tekanan uap tinggi sehingga di dalam tabung (kanister) tetap berbentuk cairan. Bila canister ditekan, aerosol disemprotkan keluar dengan kecepatan tinggi yaitu 30 m/detik dalam bentuk droplet dengan dosis tertentu melalui aktuator (lubang). Pada ujung aktuator ukuran partikel berkisar 35 Ïm, pada jarak 10 cm dari kanister besarnya menjadi 14 Ïm, dan setelah propelan mengalami evaporasi seluruhnya ukuran partikel menjadi 2,8-4,3 Ïm. Dengan teknik inhalasi yang benar maka 80% aerosol akan mengendap di mulut dan orofarings karena kecepatan yang tinggi dan ukurannya besar, 10% tetap berada dalam aktuator, dan hanya sekitar 10% aerosol yang disemprotkan akan sampai ke dalam paru-paru.

Pada cara inhalasi ini diperlukan koordinasi antara penekanan kanister dengan inspirasi napas. Untuk mendapatkan hasil optimal maka pemakaian inhaler ini hendaklah dikerjakan sebagai berikut:

1. terlebih dahulu kanister dikocok agar obat tetap homogen, lalu tutup kanister dibuka2. inhaler dipegang tegak kemudian pasien melakukan ekspirasi maksimal secara

perlahan3. mulut kanister diletakkan diantara bibir, lalu bibir dirapatkan dan dilakukan inspirasi

perlahan sampai maksimal4. pada pertengahan inspirasi kanister ditekan agar obat keluar5. pasien menahan nafas 10 detik atau dengan menghitung 10 hitungan pada inspirasi

maksimal6. setelah 30 detik atau 1 menit prosedur yang sama diulang kembali7. setelah proses selesai, jangan lupa berkumur untuk mencegah efek samping.

Langkah-langkah di atas harus dilaksanakan sebelum pasien menggunakan obat asma jenis MDI. Langkah di atas sering tidak diikuti sehingga pengobatan asma kurang efektif dan timbul efek samping yang tidak diinginkan. Beberapa ahli mengidentifikasi beberapa kesalahan yang sering dijumpai antara lain kurangnya koordinasi pada saat menekan kanister dan saat menghisap, terlalu cepat inspirasi, tidak berhenti sesaat setelah inspirasi, tidak mengocok kanister sebelum digunakan, dan terbalik pemakaiannya. Kesalahankesalahan di atas umumnya dilakukan oleh anak yang lebih muda, manula, wanita, dan penderita dengan social ekonomi dan pendidikan yang rendah.

MDI dengan spacer

Spacer (alat penyambung) akan menambah jarak antara aktuator dengan mulut sehingga kecepatan aerosol pada saat dihisap menjadi berkurang dan akan dihasilkan partikel berukuran kecil yang berpenetrasi ke saluran pernafasan perifer. Hal ini merupakan kelebihan dari penggunaan spacer karena mengurangi pengendapan di orofaring. Spacer ini berupa tabung (dapat bervolume 80 ml) dengan panjang sekitar 10-20 cm, atau bentuk lain berupa

39

kerucut dengan volume 700-1000 ml. Untuk bayi dianjurkan menggunakan spacer volume kecil (babyhaler) agar aerosol yang dihasilkan lebih mampat sehingga lebih banyak obat akan terinhalasi pada setiap inspirasi. Beberapa alat dilengkapi dengan katup satu arah yang akan terbuka saat inhalasi dan akan menutup pada saat ekshalasi misalnya Nebuhaler (Astra), Volumatic (A&H). Pengendapan di orofaring akan berkurang yaitu sekitar 5% dosis yang diberikan bila digunakan spacer dengan katup satu arah. Pada spacer tanpa katup satu arah, pengendapan di orofaring sekitar 8-60% dosis. Dengan penggunaan spacer, deposit pada paru akan meningkat menjadi 20% dibandingkan tanpa spacer. Penggunaan spacer ini sangat menguntungkan pada anak karena pada anak koordinasinya belum baik. Dengan bantuan spacer, koordinasi pada saat menekan kanister dengan saat penghisapan dapat dikurangi atau bahkan tidak memerlukan koordinasi. Apabila spacer ini tidak tersedia maka sebagai penggantinya bisa digunakan spacer sederhana yang murah dan mudah dibuat yaitu dari plastic coffee cup yang dilubangi dasarnya untuk tempat aerosol. Cara ini sudah terbukti bermanfaat hanya untuk bronkodilator dan belum dibuktikan berguna untuk natrium kromoglikat dan steroid.

Easyhaler

Easyhaler adalah inhaler serbuk multidosis yang merupakan alternatif dari MDI. Komponennya terdiri dari plastik dan cincin stainless steel dan mengandung serbuk untuk sekurang-kurangnya 200 dosis. Masing-masing dosis obat dihitung secara akurat dengan cara menekan puncak alat (overcap) yang akan memutari silinder (metering cylindric) pada bagian bawah alat tersebut. Cekungan dosis berisi sejumlah obat berhubungan langsung dengan mouth piece. Saluran udara ke arah mouthpiece berbentuk corong dengan tujuan untuk mengoptimalkan deposisi obat di saluran napas. Terdapat takaran dosis yang berguna untuk memberi informasi kepada pasien mengenai sisa dosis obat. Pelindung penutup berguna untuk mencegah kelembaban. Partikel obat yang halus (<10 Ï) sulit untuk melayang jauh dan cenderung untuk menggumpal, oleh karena itu zat aktif tersebut dicampur dengan sejumlah kecil laktosa yang berperan sebagai pembawa. Pada easyhaler ukuran partikel laktosa cukup besar untuk deposit di saluran napas bawah sehingga diharapkan akan jatuh di orofaring. Keadaan ini mempunyai keuntungan untuk memberitahukan pada penderita bahwa obatnya benar terhisap dengan rasa manis di mulut.

3. Dry Powder Inhaler

Pada awalnya di tahun 1957 jenis inhaler ini digunakan untuk delivery serbuk antibiotik. Selanjutnya banyak penelitian uji klinis yang menunjukkan bahwa DPI bisa digunakan untuk pengobatan asma anak. Dalam perkembangannya pada tahun 1970 dibuat inhaler yang hanya memuat serbuk kering dosis tunggal seperti misalnya spinhaler dan rotahaler, dan akhir tahun 1980 diperkenalkan inhaler yang memuat multiple dosis yaitu yang dikenal dengan diskhaler (8 dosis) dan turbuhaler. Beberapa tahun terakhir ini diperkenalkan diskus (di Inggris dikenal dengan accuhaler) yang memuat 60 dosis dan dapat dipergunakan untuk 1bulan terapi.6 Inhaler jenis ini tidak mengandung propelan sehingga mempunyai kelebihan dari MDI. Penggunaan obat serbuk kering pada DPI memerlukan inspirasi yang cukup kuat. Pada anak yang kecil hal ini sulit dilakukan mengingat inspirasi kuat belum dapat dilakukan, sehingga deposisi obat pada saluran pernafasan berkurang. Pada anak yang lebih besar, penggunaan obat serbuk ini dapat lebih mudah, karena kurang memerlukan koordinasi dibandingkan dengan MDI. Dengan cara ini deposisi obat di dalam paru lebih tinggi dan lebih konstan dibandingkan MDI sehingga dianjurkan diberikan pada anak di atas 5 tahun. Cara DPI ini tidak memerlukan spacer sebagai alat bantu sehingga mudah dibawa dan dimasukkan ke dalam saku. Hal ini yang juga memudahkan pasien dan lebih praktis

40

Terapi inhalasi pada asma

Pada tata laksana asma harus dibedakan dua hal penting yaitu tata laksana serangan dan tata laksana jangka panjang. Seorang anak yang telah didiagnosis asma harus ditentukan klasifikasinya. Berdasarkan Konsensus Nasional Penanganan Asma (KNAA) klasifikasi asma di luar serangan adalah asma episodik jarang, episodic sering, dan asma persisten.23 Pada asma episodik jarang, tidak diperlukan obat pengendali (controller) untuk tata laksana jangka panjangnya sedangkan pada asma episodik sering dan asma persisten harus diberikan obat pengendali. Obat pengendali dari golongan antiinflamasi yang sering digunakan adalah budesonid, beklometason dipropionat, flutikason, dan golongan natrium kromoglikat.23 Bila terjadi serangan maka digunakan obat pereda (reliever). Obat yang sering digunakan yaitu golongan bronkodilator seperti metilsantin (teofilin), agonis, dan ipratropium bromida.

Obat-obat ini dapat digunakan secara oral, parenteral, dan inhalasi, tetapi untuk metilsantin pemberian secara oral dan intravena lebih dipilih daripada inhalasi karena obat ini menyebabkan iritasi saluran napas.Telah diketahui secara luas bahwa obat antiinflamasi yang sering digunakan adalah golongan steroid. Mekanisme dasar asma adalah terjadinya reaksi inflamasi sehingga pengendalian dengan obat antiinflamasi sangat dianjurkan pada asma episodik sering dan persisten. Namun harus disadari penggunaan kortikosteroid jangka panjang peroral atau parenteral dapat mengganggu tumbuh kembang anak secara keseluruhan selain efek samping lain yang mungkin timbul seperti hipertensi dan moon-face. Untuk itu pemberian inhalasi sangat dianjurkan. Jenis terapi inhalasi yang diberikan dapat disesuaikan dengan usia pasien dan patokan ini tidak berlaku secara kaku. Patokan yang diajukan oleh Dolovich dan Everard di bawah ini dapat dipakai sebagai acuan.

Bagaimana sebenarnya penggunaan obat inhalasi pada asma anak dapat diterangkan sebagai berikut:

Tata laksana saat serangan Pada saat serangan obat yang digunakan adalah obat golongan bronkodilator dan yang sering digunakan yaitu β2 agonis yang dapat diberikan sendiri atau bersama-sama dengar ^ipratropium bromid. Pada serangan asma yang ringan obat inhalasi yang diberikan hanya β2 agonis saja meskipun ada juga yang menambahkan dengan ipratropium bromida. Schuch dkk dalam penelitiannya mendapatkan bahwa dengan menggunakan β2 agonis saja dapat meningkatkan FEV dan menghilangkan gejala serangannya, sedangkan penambahan ipratropium bromida akan meningkatkan FEV1 yang lebih tinggi lagi. Pada serangan asma yang berat, KNAA menganjurkan pemberian β2 agonis bersama-sama dengan ipratropium bromid.Pemberian cara nebulizer untuk usia 18 bulan- 4 tahun dianjurkan menggunakan mouthpiece daripada masker muka untuk menghindarkan deposisi obat di muka dan mata.

41

Apabila dengan pemberian inhalasi obat tersebut serangan asma tidak teratasi/sedikit perbaikan maka dapat diberikan steroid sistemik. Pemberian steroid sistemik perlu diperhatikan pada anak dengan serangan asma yang sering karena anak ini berisiko mengalami efek samping akibat pemberian steroid sistemik berulang kali seperti supresi adrenal, gangguan pertumbuhan tulang, dan osteoporosis. Untuk mengurangi pemberian steroid oral berulang, maka sebagai alternatifnya dapat diberikan inhalasi budesonid dosis tinggi (1600 mg perhari) pada anak yang serangan asmanya tidak teratasi dengan penanganan inhalasi β2 agonis di rumah dan mereka belum/tidak perlu perawatan di rumah sakit. Penggunaan obat pereda secara inhalasi pada serangan asma sangat bermanfaat dan justru sangat dianjurkan, namun demikian penggunaannya masih belum banyak. Hal ini dimungkinkan karena penggunaannya yang belum banyak diketahui dan harga obat masih mahal. Hal ini berlaku bukan hanya di Indonesia, tetapi juga berlaku di negara maju. Penggunaannya pada orang dewasa lebih banyak dibandingkan dengan anak. Tata laksana di luar serangan Obat inhalasi di luar serangan asma hanya diberikan apabila memerlukan obat pengendali; yang biasa digunakan adalah natrium kromoglikat dan golongan steroid. Natrium kromoglikat menurut KNAA diberikan apabila termasuk asma episodik sering sedangkan penggunaan steroid dapat diberikan pada asma episodik sering dan asma persisten. Natrium kromoglikat menunjukkan absorbsi yang tidak baik sehingga hanya efektif bila diberikan secara inhalasi. Obat ini tersedia dalam nebuliser solution , serbuk aerosol dan aerosol dengan dosis 20 mg untuk nebulizer atau 2 mg secara aerosol.

Penggunaan steroid pada asma anak masih jarang mengingat samping yang mungkin ditimbulkan. Namun beberapa peneliti telah membuktikan bahwa dengan penggunaan yang tepat dengan dosis, cara, dan jenis yang sesuai maka efek samping dapat dikurangi. Penggunaan obat inhalasi yang salah akan meningkatkan efek samping seperti jamur/kandidiasis di daerah mulut, suara serak, dan efek lainnya. Dengan inhalasi sebagian obat juga akan beredar ke seluruh tubuh melalui sistem gastrointestinal dan selanjutnya akan dielimininasi melalui hati sehingga dalam peredaran sistemik kadarnya berkurang. Obat yang baik adalah yang dapat elimininasi tubuh dengan baik artinya kadar di dalam sirkulasi menjadi kecil. Penggunaan steroid inhalasi pada asma episodik sering dan asma persisten memerlukan waktu yang lama dan dosis yang mungkin bervariasi. Pada awal pengobatan dapat diberikan dosis tinggi (400-800 mg per hari) dan diturunkan secara perlahan sampai tercapai dosis optimum untuk anak tersebut dan dipertahankan pada dosis optimum untuk beberapa lama dan kemudian diturunkan secara bertahap sampai pada akhirnya kalau memungkinkan tidak digunakan samasekali. Penggunaan waktu lama (sekitar 2-3 tahun) dengan dosis 400 mg perhari tidak mengganggu proses tumbuh kembang anak. Untuk bayi dan anak berusia di bawah 4 tahun yang memerlukan steroid inhalasi dapat digunakan suspensi budesonide inhalasi (pulmicort respules) yang diberikan dengan nebuliser. Jadi penggunaan steroid inhalasi dapat lebih aman apabila kita mengetahui cara penggunaannya.

Obat-obat yang umum digunakan

Takaran obat, cairan, dan waktu untuk nebulisasi

Cairan , Obat, Waktu Nebulisasi jet Nebulisasi ultrasonik

Garam faali (NaCl 0,9%) 5 ml 10 ml

b-agonis/antikolinergik/steroid Lihat tabel 2

Waktu 10-15 menit 3-5 menit

 

42

Obat untuk nebulisasi, jenis dan dosis

Nama generik Nama dagang Sediaan Dosis nebulisasi

Golongan b-agonis

Fenoterol Berotec Solution 0,1% 5-10 tetes

Salbutamol Ventolin Nebule 2,5 mg 1 nebule (0,1-0,15 mg/kg)

Terbutalin Bricasma Respule 2,5 mg 1 repsule

Golongan antikolinergik

Ipratropium bromide

Atroven Solution 0,025% > 6 thn : 8-20 tetes

£ 6 thn : 4-10 tetes

Golongan steroid

Budesonide

Fluticasone

Pulmicort

Flixotide

Respule

Nebule

 

 

43

Sediaan steroid yang dapat digunakan untuk serangan asma

Steroid Oral :

Nama Generik

Nama Dagang Sediaan Dosis

Prednisolon Medrol, Medixon

Lameson, Urbason

Tablet

4 mg

1-2 mg/kgBB/hari-tiap 6 jam

 

Prednison Hostacortin, Pehacort, Dellacorta

Tablet

5 mg

1-2 mg/kgBB/hari-tiap 6 jam

 

Triamsinolon Kenacort Tablet

4 mg

1-2 mg/kgBB/hari-tiap 6 jam

 

 Steroid Injeksi :

Nama Generik Nama Dagang Sediaan Jalur Dosis

M. prednisolon

suksinat

Solu-Medrol

Medixon

Vial 125 mg

Vial 500 mg

IV / IM 1-2 mg/kg

tiap 6 jam

Hidrokortison-Suksinat

Solu-Cortef

Silacort

Vial 100 mg

Vial 100 mg

IV / IM 4 mg/kgBB/x

tiap 6 jam

Deksametason Oradexon

Kalmetason

Fortecortin

Corsona

Ampul 5 mg

Ampul 4 mg

Ampul 4 mg

Ampul 5 mg

IV / IM 0,5-1mg/kgBB bolus, dilanjutkan 1 mg/kgBB/hari diberikan tiap 6-8 jam

Betametason Celestone Ampul 4 mg IV / IM 0,05-0,1 mg/kgBB tiap 6 jam

44

DAFTAR PUSTAKA

45