rencana peraturan pemerintah tentang …konteks.id/p/05-071.pdf · no.4/2004 tentang kekuasaan...

8
SEMINAR NASIONAL-1 BMPTTSSI - KoNTekS 5 T-251 Universitas Sumatera Utara, Medan - 14 Oktober 2011 RENCANA PERATURAN PEMERINTAH TENTANG INVESTIGASI KECELAKAAN TRANSPORTASI BERTENTANGAN DENGAN UU LLAJ NO.22 TAHUN 2009 DAN KUHAP UU NO.8 TAHUN 1981 (A CRITICAL REVIEW) Filiyanti Teta Ateta Bangun 1 1 Departemen Teknik Sipil, Universitas Sumatera Utara Medan, Jl. Perpustakaan No.1 Kampus USU Medan Email: [email protected] ABSTRAK Rencana Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Investigasi Kecelakaan Transportasi (IKT) dirancang untuk mengatur kecelakaan transportasi multi-moda dengan mengakomodir 4 (empat) Undang- Undang sekaligus dalam satu PP yakni kecelakaan di bidang perkeretaapian (UU No.23/2007), kapal laut (UU No.17/2008), penerbangan (UU No.1/2009) dan LLAJ (UU No.22/2009). Tujuan RPP IKT ini untuk menemukan penyebab kecelakaan dan pelaksananya adalah Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT). Dilakukan suatu studi literatur yang komprehensif yang menghasilkan suatu critical review atas RPP IKT ini khususnya pada pasal-pasal yang menyangkut kecelakaan LLAJ. Critical review ini dilakukan dengan membandingkan RPP IKT ini terhadap aturan terkait yang mengikat seperti: UU LLAJ No.22/2009, KUHAP UU No.8/1981, UU No.4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Perkap RI No.8/2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Polri. Prinsip pelaksanaan RPP IKT ini juga dianalisis terhadap ranah Penegakan Hukum (Gakkum) Polri. Terdapat 13 temuan khusus dan 4 temuan utama atas hasil analisis pada pasal-pasal dalam RPP IKT ini yang tidak sejalan dengan aturan-aturan terkait pembanding yang ditetapkan. Kesimpulan analisis, bahwa RPP IKT ini tidak perlu mengikutsertakan kecelakaan lalulintas dalam pasal-pasalnya, oleh karena pendekatan yang bersifat teknis murni oleh KNKT tidak akan dapat diterapkan pada jalan raya yang memiliki sifat dan karakteristik yang dinamis dan kompleks, yang melibatkan banyak kepentingan dengan berbagai aturan yang mengatur kepentingan-kepentingan tersebut yang akan dapat mengakibatkan dualisme kelembagaan yang melahirkan conflict of interests serta conflict of authority antara Polri dengan KNKT dalam praktek pelaksanaan RPP IKT ini. Kata kunci: kecelakaan transportasi, kecelakaan lalulintas, Komite Nasional Keselamatan Transportasi, Penegakan Hukum PENDAHULUAN 1. Rencana Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Investigasi Kecelakaan Transportasi (IKT) dirancang oleh Kementerian Perhubungan yang mengatur multi-moda, mencoba mengakomodir 4 (empat) Undang-Undang (UU) sekaligus dalam satu Peraturan Pemerintah (PP) yakni UU yang terkait dengan kecelakaan transportasi di bidang perkeretaapian (pasal 177 UU No.23/2007), di bidang kapal laut (pasal 257 UU No.17/2008), di bidang penerbangan (pasal 369 UU No.1/2009) dan di bidang Lalulintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) (pasal 233 ayat (4) UU No.22/2009). Seperti yang tercantum pada pasal 3 dan pasal 6 RPP IKT, aturan ini dimaksudkan untuk menemukan penyebab kecelakaan transportasi. Pelaksana RPP IKT ini adalah Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT). Makalah ini akan mengupas hal-hal yang prinsipil yang perlu dipertanyakan dalam RPP IKT ini karena bertentangan dengan aturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang mengikat yakni Undang-undang No.22/2009 tentang LLAJ, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Undang-undang No.8/1981, Undang-undang No.4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan aturan mengikat yang setara yakni Peraturan Kapolri (Perkap) RI No.8/2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraaan Tugas Polri dan terhadap ranah Penegakan Hukum (Gakkum) Polri, yang selanjutnya diharapkan menjadi bahan masukan bagi tim penyusun kebijakan untuk menyempurnakan RPP IKT ini. GAMBARAN UMUM 2. Salah satu prinsip hukum yang sangat penting yang akan senantiasa melatarbelakangi setiap proses investigasi dalam perkara hukum termasuk proses investigasi kecelakaan transportasi dalam RPP IKT ini adalah asas hukum praduga tak bersalah. Atmasasmita (2007) menulis bahwa di dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system) berdasarkan sistem hukum Common Law (adversary/ contest systems), asas hukum ini merupakan prasyarat utama untuk menetapkan bahwa suatu proses telah berlangsung jujur, adil, dan tidak memihak (due process of law). Asas praduga tak bersalah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari prinsip due process of law tersebut. Friedman

Upload: buituyen

Post on 05-Feb-2018

219 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: RENCANA PERATURAN PEMERINTAH TENTANG …konteks.id/p/05-071.pdf · No.4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Perkap RI No.8/2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam

SEMINAR NASIONAL-1 BMPTTSSI - KoNTekS 5 T-251 Universitas Sumatera Utara, Medan - 14 Oktober 2011

RENCANA PERATURAN PEMERINTAH TENTANG INVESTIGASI KECELAKAAN TRANSPORTASI BERTENTANGAN DENGAN

UU LLAJ NO.22 TAHUN 2009 DAN KUHAP UU NO.8 TAHUN 1981 (A CRITICAL REVIEW)

Filiyanti Teta Ateta Bangun1

1Departemen Teknik Sipil, Universitas Sumatera Utara Medan, Jl. Perpustakaan No.1 Kampus USU Medan Email: [email protected]

ABSTRAK Rencana Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Investigasi Kecelakaan Transportasi (IKT) dirancang untuk mengatur kecelakaan transportasi multi-moda dengan mengakomodir 4 (empat) Undang-Undang sekaligus dalam satu PP yakni kecelakaan di bidang perkeretaapian (UU No.23/2007), kapal laut (UU No.17/2008), penerbangan (UU No.1/2009) dan LLAJ (UU No.22/2009). Tujuan RPP IKT ini untuk menemukan penyebab kecelakaan dan pelaksananya adalah Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT). Dilakukan suatu studi literatur yang komprehensif yang menghasilkan suatu critical review atas RPP IKT ini khususnya pada pasal-pasal yang menyangkut kecelakaan LLAJ. Critical review ini dilakukan dengan membandingkan RPP IKT ini terhadap aturan terkait yang mengikat seperti: UU LLAJ No.22/2009, KUHAP UU No.8/1981, UU No.4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Perkap RI No.8/2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Polri. Prinsip pelaksanaan RPP IKT ini juga dianalisis terhadap ranah Penegakan Hukum (Gakkum) Polri. Terdapat 13 temuan khusus dan 4 temuan utama atas hasil analisis pada pasal-pasal dalam RPP IKT ini yang tidak sejalan dengan aturan-aturan terkait pembanding yang ditetapkan. Kesimpulan analisis, bahwa RPP IKT ini tidak perlu mengikutsertakan kecelakaan lalulintas dalam pasal-pasalnya, oleh karena pendekatan yang bersifat teknis murni oleh KNKT tidak akan dapat diterapkan pada jalan raya yang memiliki sifat dan karakteristik yang dinamis dan kompleks, yang melibatkan banyak kepentingan dengan berbagai aturan yang mengatur kepentingan-kepentingan tersebut yang akan dapat mengakibatkan dualisme kelembagaan yang melahirkan conflict of interests serta conflict of authority antara Polri dengan KNKT dalam praktek pelaksanaan RPP IKT ini.

Kata kunci: kecelakaan transportasi, kecelakaan lalulintas, Komite Nasional Keselamatan Transportasi, Penegakan Hukum

PENDAHULUAN 1.Rencana Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Investigasi Kecelakaan Transportasi (IKT) dirancang oleh Kementerian Perhubungan yang mengatur multi-moda, mencoba mengakomodir 4 (empat) Undang-Undang (UU) sekaligus dalam satu Peraturan Pemerintah (PP) yakni UU yang terkait dengan kecelakaan transportasi di bidang perkeretaapian (pasal 177 UU No.23/2007), di bidang kapal laut (pasal 257 UU No.17/2008), di bidang penerbangan (pasal 369 UU No.1/2009) dan di bidang Lalulintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) (pasal 233 ayat (4) UU No.22/2009). Seperti yang tercantum pada pasal 3 dan pasal 6 RPP IKT, aturan ini dimaksudkan untuk menemukan penyebab kecelakaan transportasi. Pelaksana RPP IKT ini adalah Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT). Makalah ini akan mengupas hal-hal yang prinsipil yang perlu dipertanyakan dalam RPP IKT ini karena bertentangan dengan aturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang mengikat yakni Undang-undang No.22/2009 tentang LLAJ, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Undang-undang No.8/1981, Undang-undang No.4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan aturan mengikat yang setara yakni Peraturan Kapolri (Perkap) RI No.8/2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraaan Tugas Polri dan terhadap ranah Penegakan Hukum (Gakkum) Polri, yang selanjutnya diharapkan menjadi bahan masukan bagi tim penyusun kebijakan untuk menyempurnakan RPP IKT ini.

GAMBARAN UMUM 2.Salah satu prinsip hukum yang sangat penting yang akan senantiasa melatarbelakangi setiap proses investigasi dalam perkara hukum termasuk proses investigasi kecelakaan transportasi dalam RPP IKT ini adalah asas hukum praduga tak bersalah. Atmasasmita (2007) menulis bahwa di dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system) berdasarkan sistem hukum Common Law (adversary/ contest systems), asas hukum ini merupakan prasyarat utama untuk menetapkan bahwa suatu proses telah berlangsung jujur, adil, dan tidak memihak (due process of law). Asas praduga tak bersalah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari prinsip due process of law tersebut. Friedman

Page 2: RENCANA PERATURAN PEMERINTAH TENTANG …konteks.id/p/05-071.pdf · No.4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Perkap RI No.8/2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam

Transport

T-252 SEMINAR NASIONAL-1 BMPTTSSI - KoNTekS 5 Universitas Sumatera Utara, Medan - 14 Oktober 2011

(1994) menegaskan bahwa prinsip due process of law yang telah melembaga dalam proses peradilan sejak dua ratus tahun yang lampau, kini telah melembaga di dalam seluruh bidang kehidupan sosial. Di berbagai negara terlihat rakyat atau buruh yang mengajukan protes/tuntutan ketika prinsip due process of law dilanggar yakni ketika distribusi hak rakyat/buruh tidak dilakukan sesuai dengan kewajiban yang mereka telah lakukan.

Rumusan kalimat dalam Pasal 8 UU No.4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Penjelasan Umum KUHAP, adalah: “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya, dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap”. Rumusan kalimat ini, berbeda maknanya secara signifikan dengan rumusan asas praduga tak bersalah di dalam Pasal 14 paragraf 2 International Covenant tentang Hak Sipil dan Hak Politik (1966), yang dirumuskan dengan kalimat singkat: ”Everyone charged with criminal offence shall have the right to be presumed innocent until proved guilty according to law”. Kovenan tersebut tidak hanya menegaskan, harus dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan berdasarkan undang-undang bahkan juga menegaskan sampai keputusan tersebut memperoleh kekuatan hukum yang tetap, sebagai batas toleransi seseorang dapat dinyatakan bersalah. Sementara dalam sistem Common Law, pembuktian kesalahan seseorang sering ditegaskan dengan bunyi kalimat ”proven guilty beyond reasonable doubt”, yang berarti, ”Dinyatakan bersalah berdasarkan bukti-bukti yang sangat kuat atau tidak dapat diragukan sama sekali”; bandingkan dengan rumusan kalimat dalam Kovenan ”Dinyatakan bersalah atas dasar putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.

Maka untuk mencegah tafsir hukum yang berbeda-beda, Atmasasmita (2007) melanjutkan bahwa tampaknya solusi realistik telah diberikan oleh Kovenan, yaitu dengan merinci ruang lingkup tafsir hukum atas ”hak untuk dianggap tidak bersalah” yakni meliputi 8 (delapan) hak sebagai berikut:

1. Hak untuk diberitahukan jenis kejahatan yang didakwakan; 2. Hak untuk disediakan waktu yang cukup dalam memersiapkan pembelaannya dan berkomunikasi dengan

penasehat hukum yang bersangkutan; 3. Hak untuk diadili tanpa ditunda-tunda; 4. Hak untuk diadili yang dihadiri oleh yang bersangkutan; 5. Hak untuk didampingi penasehat hukum jika yang bersangkutan tidak mampu; 6. Hak untuk diperiksa dan memeriksa saksi-saksi yang berlawan dengan yang bersangkutan; 7. Hak untuk memeroleh penerjemah jika diperlukan oleh yang bersangkutan; 8. Hak untuk tidak memberikan keterangan yang merugikan dirinya atau hak untuk tidak dipaksa mengakui

perbuatannya.

Sejalan dengan Kovenan tersebut, asas praduga tak bersalah harus diartikan, bahwa selama terhadap seorang tersangka/terdakwa diberikan secara penuh hak-hak hukum sebagaimana dirinci dalam Kovenan tersebut, maka selama itu pulalah perlindungan atas asas praduga tak bersalah telah selesai dipenuhi oleh lembaga penegak hukum. Putusan pengadilan yang menyatakan seorang terdakwa bersalah yang didasarkan bukti-bukti yang tidak meragukan majelis hakim (akan kesalahan terdakwa), harus diartikan sebagai akhir dari perlindungan hukum atas hak terdakwa untuk dianggap tidak bersalah.

HASIL DAN PEMBAHASAN 3.

Temuan ke-1 RPP IKT menggunakan istilah kecelakaan transportasi untuk kecelakaan yang menyangkut multi-moda (pasal 1 Ketentuan Umum) serta istilah kecelakaan kendaraan bermotor umum untuk kecelakaan berbasis jalan (pasal 6, pasal 10, pasal 15 dan pasal 19 RPP IKT). Namun ternyata, istilah kecelakaan transportasi dan istilah kecelakaan kendaraan bermotor umum ini tidak dikenal atau tidak didefenisikan dalam Ketentuan Umum maupun isi daripada UU No.22/2009 tentang LLAJ. UU No.22/2009 tentang LLAJ mengggunakan istilah kecelakaan lalulintas dan bukan istilah kecelakaan transportasi atau kecelakaan kendaraan bermotor umum. Maka dengan demikian, segala sesuatu yang menyangkut kecelakaan transportasi dan kecelakaan kendaraan bermotor umum yang didefenisikan dalam RPP IKT ini tidak dapat diberlakukan atau tidak dapat dilegitimasi karena secara yuridis formal tidak diatur dalam aturan mengikat yang lebih tinggi kedudukannya yakni dalam UU No.22/2009 tentang LLAJ.

Temuan ke-2 Pasal 15 RPP IKT merinci bahwa kecelakaan kendaraan bermotor yang wajib diinvestigasi oleh KNKT adalah kecelakaan yang disebabkan oleh kendaraan bermotor yang memiliki kapasitas lebih dari 16 tempat duduk dan mengakibatkan korban jiwa paling sedikit 8 (delapan) orang, dan/atau kecelakaan angkutan truk kontainer dan angkutan khusus.

Yang perlu dipertanyakan: Bagaimana bila seandainya kecelakaan kendaraan bermotor umum yang terjadi mengenai perumahan penduduk yang padat bersusun berdampingan sehingga menyebabkan kebakaran yang sangat besar mengenai seluruh perumahan penduduk tersebut namun hanya mengakibatkan korban jiwa kurang dari

Page 3: RENCANA PERATURAN PEMERINTAH TENTANG …konteks.id/p/05-071.pdf · No.4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Perkap RI No.8/2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam

Transport

SEMINAR NASIONAL-1 BMPTTSSI - KoNTekS 5 T-253 Universitas Sumatera Utara, Medan - 14 Oktober 2011

delapan orang tapi mengakibatkan korban harta benda yang signifikan? Artinya, mengapa hanya korban jiwa yang didefenisikan dalam RPP IKT ini? Mengapa kerugian harta benda akibat kecelakaan tidak didefenisikan dalam RPP IKT ini? Atau bagaimana bila kecelakaan kendaraan bermotor umum tersebut disebabkan oleh kendaraan bermotor yang memiliki kapasitas kurang dari 16 tempat duduk namun mengakibatkan korban jiwa lebih dari 8 (delapan) orang? Apa argumen Kementerian Perhubungan yang menyusun RPP IKT ini menetapkan korban jiwa paling sedikit 8 (delapan) orang? Mengapa bukan lebih dari 1 (satu) korban jiwa atau paling sedikit 10 (sepuluh) korban jiwa?

Temuan ke-3 Selanjutnya dalam pasal 19 dan pasal 47 RPP IKT dinyatakan bahwa penyelenggara sarana dan prasarana (sarpras) kendaraan bermotor dan/atau masyarakat wajib melaporkan kecelakaan kendaraan bermotor tersebut kepada KNKT Pusat ataupun perwakilan KNKT di wilayah Provinsi atau Kab/Kota sesuai lokasi kecelakaan. Yang perlu dipertanyakan: apakah tim KNKT Pusat dan/atau tim KNKT Provinsi dan/atau tim KNKT Kab/Kota bertugas selama 24 jam penuh, 7 hari seminggu dan 52 minggu dalam setahun untuk mengantisipasi terjadinya kecelakaan yang menyangkut multi-moda (KA, Kapal Laut, Pesawat Udara dan kendaraan bermotor umum/angkutan barang) seperti yang tertera pada pasal 6 RPP IKT? Mengapa tidak satu pun pasal dalam RPP IKT mendefenisikan jam kerja tim KNKT Pusat maupun jam kerja perwakilan KNKT di wilayah Provinsi dan Kab/Kota terkait pengaduan serta penanganan kecelakaan? Dan bagaimana bila tim KNKT khususnya KNKT Provinsi/Kab/Kota tidak available (tidak siap sedia) saat terjadi kecelakaan transportasi? Mengapa RPP IKT tidak mendefenisikan sanksi pidana atau denda administratif terhadap tim KNKT yang tidak available untuk menangani kecelakaan transportasi tersebut?

Perlu dicamkan bahwa ketidaksiapan tim KNKT di lapangan dalam menangani kecelakaan transportasi dapat mengakibatkan kekacauan di lapangan serta kerusuhan massa yang selanjutnya dapat mengakibatkan kerugian ekonomi yang sangat besar. Khususnya bila hal ini terjadi pada kecelakaan lalulintas atau kecelakaan kendaraan bermotor umum sesuai pasal 6 RPP IKT, yang mana bila tidak segera ditangani KNKT, maka akan terjadi traffic grid-lock yang berkepanjangan di lokasi kecelakaan yang selanjutnya akan dapat memicu kerusuhan massa.

Temuan ke-4 Kriteria kecelakaan transportasi multi-moda didefenisikan pada pasal 7, 8, 9, 10, 12, 13, 14 dan 15 dalam RPP IKT. Kriteria kecelakaan kereta api yang ditangani KNKT tertera pada pasal 7 dan pasal 12 RPP IKT yang menyatakan bahwa: “Kecelakaan kereta api yang ditangani KNKT terdiri atas: tabrakan antar kereta api, terguling, anjlok dan terbakar yang mengakibatkan korban jiwa dan/atau kerusakan atau tidak dapat beroperasinya kereta api yang mengakibatkan rintang jalan selama lebih dari 6 (enam) jam untuk dua arah”.

Kriteria kecelakaan kapal laut yang ditangani KNKT tertera pada pasal 9 dan pasal 14 RPP IKT yang menyatakan bahwa: “Kecelakaan kapal laut yang ditangani KNKT terdiri atas: kapal tenggelam, kapal terbakar, kapal tubrukan, kapal kandas dan pencemaran akibat dari kejadian, yang mana kecelakaan ini mengakibatkan korban jiwa, kerusakan atau tidak dapat beroperasinya kapal dan/atau fasilitas di perairan dan/atau pencemaran laut.

Kriteria kecelakaan dalam pengoperasian pesawat udara yang ditangani KNKT tertera pada pasal 9 dan pasal 14 RPP IKT yang menyatakan bahwa: “Kecelakaan pesawat udara yang ditangani KNKT adalah yang mengakibatkan: korban jiwa atau luka serius, kerusakan berat pada peralatan atau fasilitas yang digunakan dan/atau pesawat udara yang hilang atau yang tidak dapat dijangkau.

Kriteria kecelakaan kendaraan bermotor yang ditangani KNKT tertera pada pasal 11 dan RPP IKT yang menyatakan bahwa: “Kecelakaan kendaraan bermotor yang ditangani KNKT adalah tabrakan antar kendaraan bermotor umum, antar kendaraan bermotor umum dengan kereta api atau antara kendaraan umum dengan fasilitas atau dengan benda-benda lainnya, terguling, jatuh ke jurang atau sungai dan terbakar”.

Yang perlu dipertanyakan: berapa jumlah satuan kerja tim KNKT dalam suatu Kab/Kota apalagi Provinsi maupun Pusat untuk mampu menangani kecelakaan yang mencakup wilayah rel, laut, udara dan jalan sesuai kriteria kecelakaan yang didefenisikan dalam pasal 7 s/d pasal 15 RPP IKT ini? Berapa anggaran negara untuk pembentukan serta operasional dan penghasilan setiap anggota tim KNKT Pusat, maupun perwakilan-perwakilan KNKT di wilayah Provinsi serta wilayah Kab/Kota di seluruh Indonesia yang notabene menangani kecelakaan transportasi multi-moda berbasis darat, laut, udara dan rel namun bertujuan hanya mencari penyebab kecelakaan saja? Adakah kriteria/parameter yang dapat menjustifikasi bahwa alokasi anggaran yang sedemikian besar ini tepat sasarannya yakni mampu memerbaiki sistem sehingga menurunkan tingkat kecelakaan transportasi? Mengapa anggaran negara ini tidak dialokasikan untuk perbaikan dan peningkatan sarpras jalan/rel dan drainase jalan serta fasilitas jalan yang justru berperan besar dalam menurunkan tingkat kecelakaan transportasi khususnya berbasis jalan dan rel? Bagaimana defenisi pembagian kewenangan tim KNKT Pusat dengan KNKT Provinsi maupun KNKT Kab/Kota bila suatu kecelakaan transportasi terjadi mengenai dua batas wilayah administratif secara bersamaan? Ke perwakilan manakah masyarakat dan/atau penyelenggara jalan mengadu? Pembagian kewenangan berdasarkan wilayah administratif serta wilayah udara yang tidak memiliki batas administratif belum didefenisikan pada RPP

Page 4: RENCANA PERATURAN PEMERINTAH TENTANG …konteks.id/p/05-071.pdf · No.4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Perkap RI No.8/2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam

Transport

T-254 SEMINAR NASIONAL-1 BMPTTSSI - KoNTekS 5 Universitas Sumatera Utara, Medan - 14 Oktober 2011

IKT sehingga hal ini akan memicu timbulnya conflict of interests antar tim KNKT Pusat dengan perwakilan KNKT di wilayah Provinsi dan/atau Kab/Kota.

Temuan ke-5 Dalam pasal 20 RPP IKT mengatur birokrasi Tata Cara Pelaporan dan Isi Laporan, dan selanjutnya pasal 22 RPP IKT mengatur bahwa setelah menerima pelaporan adanya kecelakaan transportasi, maka KNKT akan mengadakan rapat untuk membentuk tim investigasi, menentukan Ketua Tim Investigasi, memersiapkan peralatan investigasi lalu melakukan koordinasi dengan instansi terkait atau operator sarana transportasi yang mengalami kecelakaan. Sementara dalam pasal 23 RPP IKT dinyatakan bahwa “Setiap orang dilarang merusak atau menghilangkan barang bukti kecelakaan transportasi, mengubah letak sarana transportasi, memindahkan barang bukti dan mengambil bagian dari sarana transportasi atau barang-barang lainnya yang tersisa akibat dari kecelakaan transportasi” dan pasal 27 RPP IKT dinyatakan bahwa ”Pengamanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dilakukan sampai dengan berakhirnya pelaksanaan investigasi lokasi kecelakaan sarana transportasi oleh Komite Nasional Keselamatan Transportasi”.

Yang menjadi pertanyaan: berapa lama proses rapat penentuan tim investigasi KNKT ini berlangsung? Dan selama KNKT mengadakan rapat-rapat ini, apakah keadaan di lokasi TKP serta korban akibat kecelakaan dibiarkan saja seperti yang didefenisikan dalam pasal 23 s/d pasal 27 RPP IKT ?

Sebagai informasi, berdasarkan data Badan Kesehatan Dunia PBB (WHO), penyebab angka kematian terbesar ketiga di Indonesia setelah HIV/AIDS dan TBC, adalah kecelakaan lalulintas yang melibatkan 30 ribu orang per tahun dengan kerugian materil mencapai Rp. 73 Milyar per tahunnya (The Globe Journal, 11 Februari 2010). Dan pada kenyataannya, hingga tahun 2010 Indonesia masih menempati peringkat pertama angka kecelakaan lalulintas terbesar di Asean (detik.com, 25 Februari 2010). Maka bukankah pasal 23 s/d pasal 27 RPP IKT ini akan semakin memicu tingginya korban jiwa akibat kecelakaan kendaraan bermotor umum/angkutan barang serta memicu konflik sosial masyarakat dan pengguna jalan di sekitar lokasi TKP apabila lokasi TKP tidak dapat diamankan oleh Polri terhitung mulai terjadinya kecelakan, prosedur pelaporan, proses rapat-rapat persiapan investigasi hingga KNKT selesai melakukan investigasi di lokasi TKP tersebut?

Temuan ke-6 Pasal 23 s/d pasal 27 RPP IKT yang mengatur bahwa lokasi TKP tidak boleh diamankan hingga berakhirnya proses investigasi oleh tim KNKT, bertentangan dengan pasal 6 KUHAP UU No.8/1981 yang menyatakan bahwa Penyidik adalah pejabat Polri (bukan KNKT) dan bertentangan dengan pasal 7 ayat 1b KUHAP UU No.8/1981 yang merinci bahwa salah satu wewenang Polri sebagai penyidik adalah berhak melakukan tindakan pertama di lokasi TKP yang artinya adalah Polri berhak mengamankan TKP!

KUHAP UU No.8/1981 tidak mengenal adanya kecelakaan transportasi dengan korban kurang atau lebih dari 8 (delapan) jiwa, artinya sebagai penyidik, Polri wajib melakukan investigasi serta tindakan pengamanan pertama di lokasi TKP atas semua kondisi laka! Sementara dalam pasal 23 s/d pasal 27 Bab V RPP IKT dirinci bahwa petugas yang berewenang tidak boleh melakukan tindakan apapun pada TKP (mengubah letak, memindahkan, mengambil barang bukti laka) namun wajib melakukan pengamanan lokasi TKP sampai dengan berakhirnya pelaksanaan investigasi lokasi kecelakaan oleh KNKT. Dan selanjutnya dirinci bahwa siapapun termasuk Polri, bila menangani lokasi TKP kecelakaan kendaraan bermotor sekalipun demi kelancaran arus lalulintas, maka menurut pasal 71 dan pasal 72 RPP IKT, akan dikenakan sanksi administratif berupa denda atau pembekuan izin/sertifikat setelah tiga kali peringatan yang tidak diindahkan!

Yang perlu dipertanyakan adalah: Bila lokasi TKP kecelakaan kendaraan bermotor tersebut tidak memiliki jalan alternatif untuk pengalihan arus kendaraan bermotor, atau bila pada truk kontainer yang membawa bahan bakar yang mudah meledak (gas, bensin) terjadi kecelakaan di wilayah permukiman yang padat penduduk yang mengakibatkan korban jiwa lebih dari 8 (delapan) orang namun terjadi kebocoran yang dapat meracuni atau memicu terjadinya kebakaran yang hebat, maka apakah Polri tidak boleh bertindak sigap menangani TKP karena harus menunggu tim KNKT turun ke lokasi TKP? Apakah aturan ini kelak tidak memicu adanya kerusuhan massal dan menimbulkan korban jiwa yang signifikan di sekitar lokasi TKP olehkarena adanya pasal 23 s/d pasal 27 RPP IKT yang tidak mengijinkan Polri bertindak menangani TKP sebelum tim KNKT turun ke lokasi TKP bahkan sebelum tim KNKT selesai melakukan investigasi di lokasi TKP?

Temuan ke-7 Pasal 23 s/d pasal 27 RPP IKT juga bertentangan dengan Pasal 227 UU No.22/2009 tentang LLAJ yang menyatakan bahwa: “Dalam hal terjadi Kecelakaan Lalu Lintas, petugas Polri wajib melakukan penanganan Kecelakaan Lalu Lintas dengan cara: a. mendatangi tempat kejadian dengan segera; b. menolong korban; c. melakukan tindakan pertama di tempat kejadian perkara; d. mengolah tempat kejadian perkara; e. mengatur kelancaran arus Lalu Lintas”. Yang perlu dipertanyakan: Apakah tim penyusun RPP IKT (Kementerian

Page 5: RENCANA PERATURAN PEMERINTAH TENTANG …konteks.id/p/05-071.pdf · No.4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Perkap RI No.8/2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam

Transport

SEMINAR NASIONAL-1 BMPTTSSI - KoNTekS 5 T-255 Universitas Sumatera Utara, Medan - 14 Oktober 2011

Perhubungan Biro Hukum dan KSLN) ini memang telah membaca dan menguasai seluruh UU terkait (UU Perkeretaapian No.23/2007, UU Pelayaran No.17/2008 dan UU Penerbangan No.1/2009 khususnya UU LLAJ No.22/2009) yang menjadi dasar penyusunan RPP IKT ini? Bila tim penyusun RPP IKT memang menguasai UU terkait yang mengikat, bagaimana justifikasi tim penyusun atas kontradiksi ini?

Temuan ke-8 Pasal 23 s/d pasal 27 RPP IKT ini juga bertentangan dengan Perkap RI No.8/2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggraaan Tugas Polri khususnya pada Paragraf 6, pasal 30 tentang Tindakan Pemeriksaan di Tempat Kejadian Perkara (TKP). Pasal 30 ayat 1 (g) menyatakan bahwa dalam melakukan tindakan pemeriksaan TKP, petugas wajib melaksanakan pemeriksaan dalam waktu yang secukupnya dan membuka kembali TKP setelah kepentingan pengolahan TKP selesai. Juga pada pasal 30 ayat 2 (b) dinyatakan bahwa dalam melakukan pemeriksaan TKP, petugas dilarang melakukan tindakan penutupan TKP secara berlebihan (dalam konteks waktu dan batas-batas TKP) dan/atau tindakan yang tidak relevan dengan kepentingan pengolahan TKP. Artinya, Perkap RI No.8/2009 menegaskan bahwa pengolahan TKP wajib dilakukan sesegera mungkin sedemikian rupa sehingga TKP dapat dibuka kembali karena menyangkut kepentingan umum! Mengapa pasal 23 s/d pasal 27 RPP IKT lebih mementingkan kepentingan kelompok KNKT daripada kepentingan umum yang artinya menentang Perkap RI No.8/2009 ini?

Temuan ke-9 Pasal 71 dan pasal 72 RPP IKT yang mengenakan sanksi administratif berupa denda atau pembekuan izin/sertifikat bagi siapapun termasuk Polri, bila menangani lokasi TKP kendaraan bermotor sekalipun demi kelancaran arus lalulintas, juga bertentangan dengan Pasal 312 UU LLAJ No.22/2009 yang merinci bahwa: “Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor yang terlibat kecelakaan lalulintas dan dengan sengaja tidak menghentikan kendaraannya, tidak memberikan pertolongan, atau tidak melaporkan kecelakaan lalulintas kepada Polri terdekat tanpa alasan yang patut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah)”. Dengan demikian, RPP IKT akan menghukum masyarakat yang menolong korban akibat kecelakaan dengan dalih merusak TKP, sementara UU LLAJ No.22/2009 justru menghukum masyarakat yang tidak menolong korban kecelakaan!

Temuan ke-10 Adanya kecenderungan RPP IKT untuk melanggar azas praduga tak bersalah dalam proses hukum yang berarti bertentangan dengan pasal 8 UU No.4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Rumusan kalimat dalam pasal 8 UU UU No.4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Penjelasan Umum KUHAP adalah: ”Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya, dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap”. Prinsip ini berlaku dalam semua fase proses hukum: baik di taraf kepolisian maupun di taraf kejaksaan dan juga di taraf pengadilan itu sendiri”.

Sementara rumusan kalimat dalam pasal 56 RPP IKT adalah: “Laporan Awal hasil investigasi KNKT sekurang-kurangnya memuat: riwayat operasi prasarana dan/atau sarana transportasi. data korban, data kerusakan prasarana dan sarana, data kerusakan lain di luar prasarana dan sarana, data personil yang terkait dengan kecelakaan, seperti awak sarana, data rekaman operasi, komponen yang dapat dijadikan bukti dalam investigasi, data medis, data cuaca dan kondisi alam, hasil wawancara atau tanya jawab dengan petugas yang terkait, dan data penunjang lain yang terkait dengan kecelakaan transportasi.”

Jadi berdasarkan pasal 56 RPP IKT tersebut, maka sekalipun pada pasal 2 RPP IKT dikatakan bahwa IKT diselenggarakan berdasarkan azas: tidak untuk memberikan hukuman/sanksi (no judicial), tidak untuk mencari kesalahan (no blame), dan tidak untuk mencari siapa yang bertanggung jawab menanggung kerugian (no liability), namun dari rincian muatan Laporan Awal hasil investigasi KNKT dalam pasal 56 RPP IKT tersebut, maka Laporan Awal KNKT akan mampu memberikan indikasi tersirat mengenai siapa pelaku kecelakaan, metode kecelakaan serta motif dibalik kejadian kecelakaan.

Yang menjadi permasalahan adalah: Bila sebelum peradilan, KNKT sudah mengeluarkan Laporan Hasil Investigasi Kecelakaan, tidakkah ini berarti RPP IKT ini akan mengangkangi azas praduga tak bersalah yang tertera dalam UU No.4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Penjelasan Umum KUHAP?

Temuan ke-11 KNKT yang merupakan lembaga ad hoc berbeda pendekatannya dengan penyidikan Polri yang menggunakan ranah Penegakan Hukum (Gakkum). Pendekatan KNKT bersifat teknis murni berdasarkan kondisi asli sementara penyidikan Gakkum Polri berfokus pada sisi kesalahan yang mengakibatkan kecelakaan yang melibatkan banyak kepentingan dengan aturan-aturan yang mengatur berbagai kepentingan tersebut. Yang menjadi permasalahan:

Page 6: RENCANA PERATURAN PEMERINTAH TENTANG …konteks.id/p/05-071.pdf · No.4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Perkap RI No.8/2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam

Transport

T-256 SEMINAR NASIONAL-1 BMPTTSSI - KoNTekS 5 Universitas Sumatera Utara, Medan - 14 Oktober 2011

bila hasil investigasi KNKT berbeda dengan hasil peradilan berdasarkan investigasi Polri, tidakkah hal ini akan membingungkan masyarakat, atau akan mengundang kontroversi dan polemik dalam masyarakat?

Temuan ke-12 Terkait konteks kecelakaan lalulintas, RPP IKT ini mengandung azas internal inconsistence atas isi/materinya vs prinsip pelaksanaan yang diharapkan! Artinya, isinya sebenarnya bersifat pro-justicia (sebagai dasar/pedoman atas upaya tindak lanjut dari ranah Gakkum Polri), namun berdasarkan isi RPP IKT ini, maka pada pelaksanaannya di lapangan kelak, RPP IKT ini tidak lagi bersifat pro-justicia, sehingga akan terjadi dualisme kelembagaan yang mengakibatkan conflict of interests serta conflict of authority antara Polri dengan KNKT.

Temuan ke-13 Dalam kaitannya dengan kecelakaan moda lain misalnya kecelakaan Kereta Api yang berdampak kepada LLAJ. Pada pasal 12 RPP IKT dinyatakan bahwa kriteria kecelakaan kereta api (KA) yang ditangani KNKT adalah: “Apabila KA akibat kecelakaan merintangi jalan selama lebih 6 jam untuk arus dua arah”. Yang perlu dipertanyakan adalah: mengapa harus menunggu lebih dari 6 jam KA merintangi jalan raya arus dua arah, baru kecelakaan KA tersebut laik ditangani oleh KNKT? Sebelum 6 jam berlalu, apakah kecelakaan KA tersebut harus dibiarkan merintangi jalan arus dua arah? Siapakah personil yang menyusun RPP IKT ini yang ditunjuk oleh Kementerian Perhubungan Biro Hukum dan KSLN? Mengapa tiba-tiba materi RPP IKT sudah tersedia tanpa adanya proses penyusunan pasal demi pasal secara transparansi terhadap stakeholder terkait? Siapakah yang diundang untuk mengikuti rapat pembahasan materi RPP IKT ini ? Apakah ketigabelas hal prinsipil tersebut di atas dimunculkan dalam rapat, khususnya oleh anggota Korlantas/Ditlantas Polri/Polda yang diundang? Bila tidak, mengapa sampai tidak terdapat tanggapan atau feedback dari pihak anggota Korlantas/Ditlantas Polri/Polda yang diundang? Dengan demikian, maka sangat diragukan bahwa pembuatan RPP IKT memang sudah memenuhi UU No.10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

KESIMPULAN 4.1. RPP IKT ini terlihat sangat terobsesi untuk menyatukan aspek kecelakaan berbagai moda, namun kekacauan

dalam materinya terjadi olehkarena RPP IKT ini berusaha menjadikan aturan teknis yang mengatur kecelakaan multi-moda tersebut dalam satu kesatuan, padahal konteks yang terjadi di lapangan antara moda berbasis jalan (LLAJ) dengan moda berbasis rel (KA), berbasis laut (kapal) dan berbasis udara (pesawat) memiliki karakteristik ruang gerak, aturan yang mengikat, dan kepentingan yang sangat berbeda antara satu dengan yang lainnya. Contoh: kapal laut serta pesawat udara memiliki ruang gerak khusus yang tidak mengganggu ruang gerak moda sejenisnya sekalipun terjadi kecelakaan, kecuali bila terjadi tabrakan dengan moda berbasis jalan atau rel.

2. Jalan raya merupakan dinamika pusat interaksi sosial yang tertinggi karena interaksi kegiatan yang terjadi di jalan raya berlangsung terus menerus, berbeda halnya dengan pusat-pusat kegiatan lainnya seperti sekolah, pertokoan/mall, yang memiliki waktu buka dan waktu tutup. Sementara tupoksi KNKT memberi indikasi bahwa KNKT dapat dikatakan ibarat laboratorium lapangan, artinya, berusaha mengabaikan kepentingan apapun bila hal tersebut dapat mempengaruhi hasil investigasi! Bila jalan raya merupakan suatu arena publik yang menyangkut hajat hidup orang banyak, maka tentu tidaklah laik bila aturannya dibuat begitu teknis seperti yang dirinci pada pasal-pasal dalam RPP IKT terkait kecelakaan kendaraan bermotor.

3. Untuk itu, khusus untuk kecelakaan lalulintas, maka disarankan bahwa fungsi KNKT adalah sebagai pendukung Polri (synergic functions), karena Polri pun adakalanya membutuhkan analisis dan pandangan dari KNKT.

4. Artinya, disimpulkan bahwa sebaiknya RPP IKT ini tidak perlu mengikutsertakan kecelakaan lalulintas dalam pasal-pasalnya, oleh karena pendekatan yang bersifat teknis murni tidak akan dapat diterapkan pada jalan raya yang memiliki sifat dan karakteristik yang dinamis dan kompleks, yang melibatkan banyak kepentingan dengan berbagai aturan yang mengatur kepentingan-kepentingan tersebut yang dapat mengakibatkan dualisme kelembagaan yang melahirkan conflict of interests serta conflict of authority antara Polri dengan KNKT dalam pelaksanaanya.

DAFTAR PUSTAKA Atmasasmita, Romli. (2007). Logika Hukum Asas Praduga Tak Bersalah: Reaksi Atas Paradigma Individualistik.

http://www.legalitas.rg/?q=node/362. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dan Presiden RI. (2009). Undang-undang RI No.22 Tahun 2009 tentang

Lalulintas dan Angkutan Jalan. Jakarta: Lembaran Negara RI No.96, 22 Juni 2009. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dan Presiden RI. (2009). Undang-undang RI No.1 Tahun 2009 tentang

Penerbangan. Jakarta: Lembaran Negara RI No.1, 12 Januari 2009. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dan Presiden RI. (2008). Undang-undang RI No.17 Tahun 2008 tentang Kapal

Laut. Jakarta: Lembaran Negara RI No.64, 7 Mei 2008.

Page 7: RENCANA PERATURAN PEMERINTAH TENTANG …konteks.id/p/05-071.pdf · No.4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Perkap RI No.8/2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam

Transport

SEMINAR NASIONAL-1 BMPTTSSI - KoNTekS 5 T-257 Universitas Sumatera Utara, Medan - 14 Oktober 2011

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dan Presiden RI. (2007). Undang-undang RI No.23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian. Jakarta: Lembaran Negara RI No.65, 25 April 2007.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dan Presiden RI. (2004). Undang-undang RI No.10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pembuatan Undang-undang. Jakarta: Lembaran Negara RI No.53, 22 Juni 2004.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dan Presiden RI. (2004). Undang-undang RI No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Jakarta: Lembaran Negara RI No.8, 15 Januari 2004.

Friedman, Lawrence. (1994). Total Justice. UK: Russel-Sage Foundation. Kementerian Perhubungan Biro Hukum dan KSLN. (2011). Draft Rancangan Peraturan Pemerintah Tentang

Investigasi Kecelakaan Transportasi. Jakarta: SK Panitia Antarkementerian. Kepala Kepolisian Negara RI. (2009). Peraturan Kepala Kepolisian Negara (Perkap) RI No.8 Tahun 2009. Jakarta:

Berita Negara RI No.150, 22 Juni 2009. Presiden RI. (1981). Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) UU No.8 Tahun 1981. Jakarta:

Lembaran Negara RI No.76 Tahun 1981.

Page 8: RENCANA PERATURAN PEMERINTAH TENTANG …konteks.id/p/05-071.pdf · No.4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Perkap RI No.8/2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam

Transport

T-258 SEMINAR NASIONAL-1 BMPTTSSI - KoNTekS 5 Universitas Sumatera Utara, Medan - 14 Oktober 2011