reinkarnasi daluang
TRANSCRIPT
Nama : Surtilawati
NIM : 1202790
Mata Kuliah : Preservasi dan Konservasi Bahan Pustaka dan
Informasi
Tugas ke- : 2 (dua)
REINKARNASI DALUANG
Naskah kuno merupakan warisan budaya yang tak ternilai harganya dan
telah tersebar di Nusantara. Karya intelektual tersebut dituangkan kedalam
1 | Reinkarnasi Daluang
media yang dipergunakan untuk menulis, salah satunya adalah daluang. Jika
kita berbicara tentang daluang, maka kita sedang berbicara mengenai kertas.
Sebelum kita membahas daluang terlalu jauh alangkah baiknya jika kita
mengetahui sejarah kertas terlebih dahulu. Kehadiran kertas merupakan revolusi
baru yang sangat berarti dan sangat penting dalam peradaban dunia. Pada
dasarnya kertas baru dikenal setelah budaya tulis sudah lama dikenal oleh umat
manusia. Sebelumnya hal itu didasari oleh pola pikir manusia yang hidupnya –
nomaden- yaitu berpindah-pindah tempat, mencari makan dengan berburu, lalu
kemudian berubah dan mulai berbudaya, memiliki tempat tinggal yang tetap dan
mempunyai mata pencaharian dengan bercocok tanam. Dari kehidupan yang
nomaden itu, manusia mulai berpikir bagaimana cara untuk menyampaikan
pesan atau perasaannya kepada kerabatnya. Pada saat itu sebelum lahirnya
kertas, manusia menemukan alat lain atau media untuk menyampaikan pesan
tersebut, seperti batu, tanah liat, tulang, kuningan, tembaga, perunggu, kulit
pohon, dan lain-lain.
Perkembangan kertas dimulai sebelum masehi di Negara Mesir, yang dikenal
dengan papyrus. Penemuan media ini membawa perubahan yang sangat berarti
bagi peradaban umat manusia. Papyrus terbuat dari tanaman sejenis rumput
(cyperus papyrus) terdapat di sepanjang sungai Nil, yang kemudian ditumbuk
supaya halus dan dikeringkan. Namun perkembangan papyrus ini tidak bertahan
lama, karena beberapa sebab. Setelah papyrus menghilang, pada abad ke-2
Masehi Cina menemukan media lain untuk tulis-menulis. Selanjutnya kertas dari
Cina ini menyebar ke seluruh dunia kecuali Eropa. Pada abad ke- 7, Jepang
menerima transfer teknologi pembuatan kertas. Lalu disusul oleh Negara Korea,
Nepal, dan India. Pada abad ke-12 teknologi pembuatan kertas mulai menyebar
ke Eropa, seperti Spanyol, Prancis, Italia, Jerman, dan Swiss.
Seiring dengan perkembangan zaman, kertas mulai disempurnakan baik
dalam bahan mentahnya, proses pembuatan, maupun teknologi pembuatannya.
Di Eropa pembuatan kertas tidak lagi memakai cara yang manual, akan tetapi
sudah memakai mesin pembuat kertas. Hingga sampai saat ini, kertas inilah
yang beredar di seluruh penjuru dunia.
Lain halnya di Indonesia, Negara kita. Tidak dapat dipungkiri lagi sejak abad
ke-5 Negara kita mulai mengenal budaya tulis. Itu terbukti dengan adanya
temuan-temuan dari prasasti kerajaan Tarumanegara dan Yupa, serta Kutai.
Indonesia mulai mengenal kertas setelah budaya tulis itu telah lama ada. Di
2 | Reinkarnasi Daluang
Indonesia sendiri telah mengenal dua jenis kertas yaitu, kertas tradisional yang
dibuat oleh masyarakatnya sendiri dengan kertas pabrik.
Nah, kertas tradisional yang dibuat oleh bangsa Indonesia dengan cara-cara
manual dan dari bahan kulit pohon yaitu kertas lontar. Namun perkembangan
kertas lontar tidak bertahan lama. Kemudian kertas lontar tergantikan oleh
kertas Daluang. Apa sih sebenarnya Daluang itu? Istilah daluang memang cukup
asing ditelinga bagi siapa saja yang mendengarnya. Termasuk saya, yang
pertama kali mendengarnya. Jenis makanan apa yah daluang itu? Atau sejenis
hiburan seperti Wayang? Sebelum kita berpikir terlalu jauh mengenai daluang,
disini akan dijelaskan lebih lanjut mengenai daluang.
Gambar (1) kertas daluang
Gambar (2) pembuatan daluang dengan menggunakan ‘paneupuk’
Istilah Daluang sebenarnya tidak asing untuk sejarawan, dan para arkeolog
tentunya. Daluang atau dluwang merujuk pada pohon yang bernama latin
Broussonetia papyryfera Vent atau dalam bahasa sunda sering dikenal dengan
pohon saeh dan dalam bahasa inggris sering disebut pohon papermulberry.
Pohon ini termasuk kedalam keluarga Moraceae, yang tidak berbunga dan juga
tidak berbuah. Sering tumbuh dan ditemukan di Baemah (Sumatra), Sulawesi
hingga pulau seram, Garut (Jawa Barat), Purwekerto (Jawa Tengah), Ponorogo
(Jawa Timur), Pamekasan dan sumenep (pulau Madura). Zaman dahulu, jauh
sebelum kertas pabrik beredar, kertas Daluang adalah kertas yang sering
3 | Reinkarnasi Daluang
banyak di produksi oleh penduduk Indonesia sebagai bahan baku kertas zaman
kerajaan nusantara. Kertas jenis daluang ini terbilang tahan lama, dan bisa
berumur hingga ratusan tahun lamanya. Tumbuhan ini mempunyai akar yang
rimpang atau geragih, dan sering digunakan untuk pembuatan kain. Menurut
Heyne, tumbuhan ini sering dijadikan untuk pakaian tidur dan sangat digemari
pada masanya. Mulai dari suku yang ada di Kalimantan, Sulawesi,dan Sumatera.
Tumbuhan ini termasuk tumbuhan yang tergolong langka di Indonesia.
Tumbuhan ini mampu mencapai tinggi 4-6 m dan mempunyai diameter 3-4 cm
dalam kurun waktu kurang lebih 10 bulan. Struktur daunnya mirip dengan
telapak tangan yang mengembang dan sedikit berbulu. Hidup di dataran tinggi
dan beriklim tropis. Pohon ini mempunyai getah yang putih.
Daluang tersebar dibeberapa daerah Nusantara. Sehingga pemakaian
istilahnya pun berbeda-beda. Dijelaskan dalam makalah Tedi Permadi (2011, p.2-
3), dijelaskan mengenai istilah dan pengertian daluang. Penelusuran atas istilah
dan pengertian daluang dapat ditelusuri melalui entri kamus bahasa-bahasa
Nusantara, di antaranya:
1) daloeang, kertas boeatan baheula, didjieunna tina saeh. „kertas buatan
jaman dahulu, dibuat dari saeh‟ (Satjadibrata, 1948:71).
2) daloeang, kertas matjam dahoeloe, diperbuat d.p saeh (Satjadibrata, 1950:
65).
3) dalancang, kopiah kulit kayu (Mardiwarsito, 1978).
4) dluwang, kertas, kulit pohon tipis (pakaian pendeta) (Prawiroatmodjo, 1981).
5) dlancang, kertas (Prawiroatmodjo, 1981).
6) daluang, papier gemaakt v geklopte bast v d saeh-boom (vroeger I gebruik
om op te schrijven, ook wel gebruik voor omslagen); sv karton; d. katinggang
mangsi, (zegsw:) misschien staat „t (wat ik wens) wel in de sterren
geschreven (d uitdr is in zinspeling op nulis, schrijven) „kertas yang terbuat
dari kulit kayu pohon saeh; karton‟ (Eringa, 1984: 177).
7) daluang, sl. kain (kertas) dari kulit pohon-pohonan (Purwadarminta, 1985:
224).
8) dilancang, kertas (Mardiwarsito, 1985:67).
9) delwang, dalancang (Winter dan Ranggawarsita, 1987).
10) daluang, (Kw.) kertas buatan baheula tina kulit kai jsb; karton „Kertas
buatan jaman dahulu dari kulit kayu dsb; kertas karton.‟ (LBSS, 1995:102).
11) dalancang, dalancang, kethu „kertas, peci‟ (Winter Sr., 1991:31).
4 | Reinkarnasi Daluang
12) daluwang, dalancang, ukel, kethu, kebul „ kertas, peci, debu‟ (Winter Sr.,
1991:31).
13) daluang, n kain atau kertas yang terbuat dari kulit pohon (Petersalim,
1991: 313).
14) deluang, n = jeluang (Petersalim, 1991:333).
15) jeluang, kertas atau pakaian yang terbuat dari kulit kayu (Petersalim,
1991: 610).
16) daluwang, pakaian dari kulit pohon (dikenakan oleh pertapa, dsb).
Menurut Gericke-Roorda (1901) pakaian tersebut dibikin dari kulit pohon
glugu, semak sejenis jelatang (Zoetmulder, 1995:190).
17) daluang, kertas yang terbuat dari kulit, kulit pohon, dsb (Rahayu Tamsah,
1998: 68)
18) daluang, kl n kain atau kertas dibuat dari kulit pohon (KBBI, 2000:233)
Rahayu Tamsyah (Permadi, 2005, p.4) memberikan pengertian lain, yaitu di
samping terbuat dari kulit kayu, juga sebagai kertas yang terbuat dari kulit.
Pengertian lain dari daluang adalah mengacu pada sejenis kopiah, kain, dan
pakaian pendeta. Kopiah adalah penutup kepala yang lazim digunakan oleh
pemeluk agama Islam di Nusantara dan rumpun bangsa Melayu pada umumnya;
kain adalah salah satu bahan sandang yang dipergunakan untuk menutupi
bagian tubuh dari kondisi lingkungan yang tidak diharapkan dan untuk menutupi
bagian tubuh yang tidak ingin diperlihatkan kepada orang lain; sedangkan
pakaian pendeta adalah sejenis pakaian yang biasa digunakan untuk
kepentingan upacara adat suatu agama atau kepercayaan tertentu.
Tedi Permadi (2006) menyatakan bahwa sejarah kertas ini sudah lama
ditemukan oleh ahli arkeologi dan ahli sejarah sastra kuno, yang pada awalnya
daluang ini berfungsi sebagai alat bantu kehidupan sehari-hari. Pada abad ke- 3
sebelum Masehi, ditemukan sebuah alat penumbuk dari batu yang bernama
paneupuk. Di Desa Cariu, kabupaten Bogor. Selain itu, daluang sering dipakai
sejak zaman kerajaan Hindu di Nusantara. Kertas daluang ini biasanya
digunakan untuk menuliskan mantra-mantra suci atau untuk menuliskan cerita
Wayang Beber. Pada tahun 1970-an masyarakat Hindu di Bali menggunakan
kertas Daluang untuk upacara kematian atau Ngaben. Daluang ini menjadi
syarat wajib yang harus ada dalam Upacara Ngaben. Pada masyarakat Hindu,
daluang sangat di sakral kan
5 | Reinkarnasi Daluang
Pigeaud (1967:35--36) dalam (Permadi, 2005, p.5) Daluang kemudian
dimanfaatkan sebagai bagian dari media yang berbahan kulit kayu, pada jaman
pra-Islam tidak ditemukan bukti yang menunjukkan bahwa daluang
dimanfaatkan sebagai bahan untuk kegiatan tulis menulis, bukti-bukti yang
ditemukan menunjukkan bahwa daluang dijadikan sebagai bahan pakaian
sehari-hari dan untuk keperluan upacara keagamaan, dalam hal ini sebagai
pakaian pendeta agama Hindu. . Numun Seiring dengan peradaban, kebudayaan
Islam pun masuk ke kerajaan-kerajaan Nusantara, lalu Daluang dialih fungsikan
tidak hanya untuk menuliskan naskah-naskah kuno, tetapi juga menjadi media
untuk menuliskan ayat-ayat Al-Qur’an dan kaligrafi. Bahkan, daluang sendiri
menjadi pakaian bagi pemuka agama. Dalam hal ini faktor kepercayaan pada
ajaran agama Islam yang tidak menempatkan daluang sebagai salah satu bahan
yang disakralkan adalah salah satu faktor yang memungkinkan perubahan fungsi
tersebut. Berikut adalah gambar daluang yang dialih fungsikan:
Proses pengolahan pohon saeh hingga menjadi daluang memanglah cukup
rumit. Setelah pohon ditebang, batang pohon kemudia dibagi-bagi menjadi
6 | Reinkarnasi Daluang
Gambar (3) pakaian kulit kayu dari Tana Toraja, Sulawesi SelatanFoto: Tedi Permadi, 19 Agustus 2003
Gambar (4) Naskah Khutbah Jum‟at, koleksi Cagar Budaya Candi Cangkuang Foto: Tedi Permadi (11 Januari 2005 dan 29 Desember 2004)
Gambar (5) Naskah Babad Pajajaran, koleksi Museum Sri Baduga Jawa Barat Foto: Tedi Permadi (11 Januari 2005 dan 29 Desember 2004)
beberapa potongan pendek, bagian ini sekitar 1/3 panjang dari kertas yang akan
dibuat. Selanjutnya kulit kayunya diambil, dratakan dan di iris-iris menjadi
sobekan yang lebarnya antara 5-6 cm. Dari sobekan kulit tersebut , diambil
bagian kulit luar yang tidak mengandung serat, kemudian letakkan diatas balok
kayu, dan dipukuli satu persatu oleh alat penumbuk. Selanjutnya dilakukan
proses perendaman, pencucian, penjemuran, dan pemeraman. Tahap berikutnya
diratakan diatas papan hingga halus, dijemur, dan terakhir dihaluskan dengan
kulit kerang. (Sabana dan Setiawan, 2005: 47-48)
Tradisi pembuatan daluang semakin menghilang, seiring perkembangan
zaman dan maraknya produksi kertas pabrik. Bahkan sebagian dari masyarakat
tidak mengenalnya lagi. Sangat disayangkan jika kebudayaan Indonesia yang
turun temurun ini tidak dilestarikan. Dengan alasan Daluang dinilai tidak
ekonomis dan pembuatannya yang rumit (tidak praktis) sehingga pembuatannya
harus dihentikan. Padahal Daluang ini merupakan produk khas Indonesia yang
harus dilestarikan dan dikembangkan.
Tradisi daluang pun mati terkubur hingga bertahun-tahun. Namun ada
seorang tokoh pemerhati naskah kuno sunda yang sangat berperan penting
dalam menghidupkan kembali tradisi Daluang yang sudah mati. Bermula dari
penelitiannya, Dr. Tedi Permadi, M.Hum. yaitu Dosen FPBS, Universitas
Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung melakukan
penelitian tentang Daluang yaitu jenis kertas yang
digunakan sebagai naskah kuno. Ketertarikannya
pada naskah-naskah kuno sunda dan tujuannya yang
ingin mengenalkan salah satu budaya masyarakat sunda,
membuat beliau rela melepaskan mobil kesayangannya.
Ternyata sampai tahun 1997 tradisi membuat
daluang masih digeluti oleh dua keluarga di kampung
Tunggilis, Desa Cinunuk, Kecamatan Wanaraja, Garut.
Pada tahun 1998 Tedi dan lima teman kelompok
Bungawari dipercaya oleh Global Environment
Facility/Small Grant Program- United Nations
Development Programme (GEF/SGP-UNDP)
untuk memberdayakan masyarakat lewat pendekatan budaya, salahsatu cara
atau alat untuk berkomunikasinya yaitu dengan pembuatan daluang, karena
tradisi itu pernah mengisi kehidupan masyarakat sunda. Dalam observasinya
sejak April-juli 1998, beliau menemukan sekitar 710 batang benih pohon saeh
7 | Reinkarnasi Daluang
gambar (6) Dr. Tedi Permadi, M.Hum.terdapat di http://amufidsururi.wordpress.com/2013/05/03/daluang-isamu-sakamoto-dan-toekang-saeh/
yang tersebar di beberapa kampung, Garut (Jawa Barat). Tedi berpendapat
bahwa pohon saeh merupakan pohon yang mudah berkembang biak dan mudah
untuk dibudidayakan. Karena pohon saeh ini mempunyai akar yang rimpah yang
didalamnya mempunyai jaringan tumbuh. Sehingga jika akar tersebut terkena
sinar matahari, maka jaringan itu akan terangsang untuk berfotosintesis dengan
mengeluarkan tunas baru. Kemudian beliau melakukan pemasaran daluang di
beberapa toko kertas di Bandung. Dalam prosesnya beliau mengalami berbagai
kendala dan rintangan. Salah satunya kendala persaingan pasar yang kuat di
masyarakat, karena adanya dominasi kelompok pebisnis lain yang kuat
membuat masyarakat sebagai produsen daluang mundur dari persaingan pasar.
Dalam kasus tersebut, Tedi sebagai penggerak kreativitas masyarakat, merasa
gagal dan akhirnya mundur dari program tersebut. Selain itu banyak faktor yang
mempengaruhi seperti, dana investor yang dijadikan modal awal tidak dapat
dikembangkan. Namun tekadnya untuk menghidupkan kembali Daluang sangat
tinggi. Akhirnya daluang sebagai kertas yang memiliki artistik yang tinggi,
mendapatkan tempat di masyarakat. Daluang pun digunakan sebagai kertas
piagam. Selama tiga tahun, beliau membudidayakan pohon saeh di sebuah
lahan, di Desa Lembang, Kecamatan Leles, kabupaten Garut.
Pada tanggal 28 Juli sampai 5 Agustus 2007, Galeri Rumah Teh (Bandung),
menggelar pameran “Daluang dan Kaligrafi Aksara Sunda”. Acara pameran ini
terbilang sukses sebagai upaya untuk memperkenalkan atau mensosialisasikan
Daluang ke masyarakat seni khususnya. Agar Daluang bisa mengembangkan
fungsinya sebagai media rupa. Dalam pameran ini, seniman, pemerhati sastra
sunda menggelar workshop pembuatan kertas Daluang. Uniknya daluang ini
mempunyai tekstur, estetika dan ciri khas nya tersendiri, yang mungkin tidak
bisa dimiliki oleh kertas pada umumnya. Selain menulis kaligrafi, seniman juga
membuat pakaian boneka dengan kertas Daluang. Daluang ini bisa dipakai
beberapa kali, tergantung pemakai. Jika ingin dialih fungsikan menjadi kain
misalnya, daluang tinggal direndam secukupnya sampa tekstur daluang menjadi
elastic seperti pada kain umumnya. Berikut adalah contoh aplikasi pemanfaatan
daluang sebagai kertas seni:
8 | Reinkarnasi Daluang
Pada akhir tahun 2013, kertas
tradisional khas Nusantara
dihidupkan
kembali oleh seorang yang berlatar
belakang masyarakat biasa
pada umumnya, yakni Ahmad
Mufid Saruri. Disaat sebagian orang
menganggap bahwa kertas Daluang ini
adalah kertas kuno yang tidak bisa dipakai pada
zaman sekarang, pak Mufid
malah
sebaliknya. Dikatakan dalam
Greeners: Indonesian Environmental News
Portal, Pak Mufid mengemukakan
alasannya kenapa memutuskan untuk berkecimpung di dunia pengolahan
kertas, beliau menjawab: Bukan hanya untuk membuka kesempatan berbisnis,
bukan pula untuk sekedar mengisi waktu luangnya, namun utamanya untuk
bersilaturahmi, untuk mengingatkan diri sendiri agar tak lupa dengan identitas
budayanya, lalu untuk mengkomunikasikannya pada orang lain agar ingatan ini
sama-sama dijaga dan dipelihara. Sungguh sangat malu jika kita sendiri bahkan
sebagai orang yang mengenyam pendidikan tinggi tapi tidak mempunyai rasa
nasionalisme yang tinggi seperti beliau. Meskipun beliau tidak dibekali dengan
pendidikan tinggi, beliau memiliki kemauan keras untuk belajar dalam
mengembangkan kemampuannya mengolah dan mengangkat kembali
popularitas daluang. Hebatnya beliau mempunyai sanggar yang bernama
9 | Reinkarnasi Daluang
gambar (8) Ahmad Mufid Saruriterdapat di http://amufidsururi.wordpress.com/2013/05/03/daluang-isamu-sakamoto-dan-toekang-saeh/
gambar (7) contoh Aplikasi pemanfaatan daluang sebagai kertas seni
“Toekang Saeh” yang berada di Kampung Tanggulan, Dago Pojok Kota Bandung.
Di sanggarnya lah beliau membuat daluang atau kertas saeh. Pak Mufid terus
menerus belajar dan mencari tau mengenai kertas daluang. Sampai akhirnya
bertemu dengan Prof. Isamu Sakamoto.
Semenjak tahun 1998 Sakamoto menjelajahi Indonesia untuk meneliti jenis-
jenis kertas di tanah air. Pak Mufid sempat merasa senang karena mendapat
pengetahuan banyak mengenai daluang. Namun pak Mufid merasa malu
sekaligus sedih, karena ternyata ilmu pengetahuan tentang sejarah budayanya sendiri justru
ia dapatkan dari orang asing. Dikatakan dalam Greeners: Indonesian Environmental
News Portal, “Seakan-akan kita menjadi tamu, dan Sakamoto yang berlaku
sebagai tuan rumah, menjelaskan kebudayaannya kepada kita. Dan saya hanya
bisa terpagut. Dalam hati saya sungguh merasa sedih dan malu”, kata Mufid.
Sungguh miris rasanya jika budaya kita, warisan nenek moyang kita tidak
dipelihara dan tidak dikembangkan. Daluang merupakan produk khas daerah
yang seharusnya dapat dikembangkan secara optimal. Namun, karena Daluang
dianggap kuno dan tidak relevan dengan perkembangan zaman. Maka daluang
mulai ditinggalkan. Hanya segelintir orang saja yang mempunyai rasa memiliki
terhadap budayanya sendiri.
“Jika di Jepang ada washi, di Korea ada Hanji. Di Mesir ada Papyrus dan di
Meksiko ada amate paper yang hinnga kini masih terjaga dan dilestarikan
dinegaranya sendiri. Maka daluang sebagai kertas khas Nusantara warisan
nenek moyang secara turun temurun itu sendiri bagaimana” (Mufid, dalam
Inilah.Com)
10 | Reinkarnasi Daluang
Daftar Pustaka:
Aghistna, Rizky. (2007). Mufid Daloeang; Menelusuri Jejak Identitas dengan
Kertas Daluang. Greeners: Indonesian Environmental News Portal, Vol.2.
Tersedia di: http ://www.greenersmagz.com/interviews/mufid-daloeang-
menelusuri-jejak- identitas-dengan-kertas-daluang/ [diakses pada 14 febuari
2014]
Anandita, Dwias. (2012). Tanaman Daluang, Tumbuhan Langka Bahan Baku
Kertas dan Kain. [online] Tersedia di:
http://hasil-indonesia.blogspot.com/2012/05/tanaman-daluang-
tumbuhan-langka-bahan.html?m=1 [diakses pada 14 februari 2014]
Firmansyah, Argus. (2007). Kertas Tradisional Daluang bagi Perupa. [online]
Tersedia di: http://argusbandung.blogspot.com/2007/08/kertas-
tradisional-daluang-bagi-perupa.html?m=1 [diakses pada 15 februari
2014]
Pambudy, Nunik M. (2011) Sejarah dalam Kertas Kulit Pohon. [online] Tersedia
di: http://nasional.kompas.com/read/2011/04/02/05344180/twitter.com.
[diakses pada 15 febuari 2014]
Permadi, Tedi. (2005). Konservasi Tradisi Pembuatan Daluang: sebagai salah
satu upaya penyelamatan teknologi tradisional nusantara. Disajikan pada
Diskusi Pakar dengan tema Pemenuhan Hak Atas Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi, Budaya dan Seni, 28--29 November 2005, Permata Bidakara
Bandung Hotel.
Ramdhani, Doni. (2013, 8 Desember). Menghidupkan Kembali Tradisi Daluang.
InilahKoran.com. Tersedia di:
http://www.inilahkoran.com/read/detail/2054236/menghidupkan-kembali-
tradisi-daluang [diakses pada 14 febuari 2014]
Sabana, Setiawan dan Setiawan, Hawe. (2005). Legenda Kertas : menelusuri
jalan sebuah peradaban. Bandung: Kiblat Buku Utama.
Saruri, Ahmad Mufid. 2013. Daluang, Isamu Sakamoto Dan Toekang Saéh.
[oneline] Tersedia di :
11 | Reinkarnasi Daluang
http://amufidsururi.wordpress.com/2013/05/03/daluang-isamu-
sakamoto-dan-toekang-saeh/ [diakses pada 15 februari
2014]
Suganda, Her. (2009). Tedi Permadi dan Kertas Tradisional Sunda. [online]
Tersedia di: http://bukan-tokohindonesia.blogspot.com/2009/05/tedi-
permadi-dan-kertas-tradisional.html?m=1 [diakses pada 14 februari
2014]
Wirajaya, A. Y. (2009) . Daluang atau Dluwang dalam Perspektif Kodologi.
[onlone]. Tersedia di:
http://asepyudha.staff.uns.ac.id/2009/06/04/sekelas-tentang-daluang-
atau-dluwang-sebuah-telaah-ringkas-kodikologi/ [diakses pada 14
februari 2014]
12 | Reinkarnasi Daluang