reinkarnasi daluang

15
Nama : Surtilawati NIM : 1202790 Mata Kuliah : Preservasi dan Konservasi Bahan Pustaka dan Informasi Tugas ke- : 2 (dua) 1 | Reinkarnasi Daluang

Upload: surtilawati-gibran

Post on 10-Aug-2015

52 views

Category:

Education


3 download

TRANSCRIPT

Nama : Surtilawati

NIM : 1202790

Mata Kuliah : Preservasi dan Konservasi Bahan Pustaka dan

Informasi

Tugas ke- : 2 (dua)

REINKARNASI DALUANG

Naskah kuno merupakan warisan budaya yang tak ternilai harganya dan

telah tersebar di Nusantara. Karya intelektual tersebut dituangkan kedalam

1 | Reinkarnasi Daluang

media yang dipergunakan untuk menulis, salah satunya adalah daluang. Jika

kita berbicara tentang daluang, maka kita sedang berbicara mengenai kertas.

Sebelum kita membahas daluang terlalu jauh alangkah baiknya jika kita

mengetahui sejarah kertas terlebih dahulu. Kehadiran kertas merupakan revolusi

baru yang sangat berarti dan sangat penting dalam peradaban dunia. Pada

dasarnya kertas baru dikenal setelah budaya tulis sudah lama dikenal oleh umat

manusia. Sebelumnya hal itu didasari oleh pola pikir manusia yang hidupnya –

nomaden- yaitu berpindah-pindah tempat, mencari makan dengan berburu, lalu

kemudian berubah dan mulai berbudaya, memiliki tempat tinggal yang tetap dan

mempunyai mata pencaharian dengan bercocok tanam. Dari kehidupan yang

nomaden itu, manusia mulai berpikir bagaimana cara untuk menyampaikan

pesan atau perasaannya kepada kerabatnya. Pada saat itu sebelum lahirnya

kertas, manusia menemukan alat lain atau media untuk menyampaikan pesan

tersebut, seperti batu, tanah liat, tulang, kuningan, tembaga, perunggu, kulit

pohon, dan lain-lain.

Perkembangan kertas dimulai sebelum masehi di Negara Mesir, yang dikenal

dengan papyrus. Penemuan media ini membawa perubahan yang sangat berarti

bagi peradaban umat manusia. Papyrus terbuat dari tanaman sejenis rumput

(cyperus papyrus) terdapat di sepanjang sungai Nil, yang kemudian ditumbuk

supaya halus dan dikeringkan. Namun perkembangan papyrus ini tidak bertahan

lama, karena beberapa sebab. Setelah papyrus menghilang, pada abad ke-2

Masehi Cina menemukan media lain untuk tulis-menulis. Selanjutnya kertas dari

Cina ini menyebar ke seluruh dunia kecuali Eropa. Pada abad ke- 7, Jepang

menerima transfer teknologi pembuatan kertas. Lalu disusul oleh Negara Korea,

Nepal, dan India. Pada abad ke-12 teknologi pembuatan kertas mulai menyebar

ke Eropa, seperti Spanyol, Prancis, Italia, Jerman, dan Swiss.

Seiring dengan perkembangan zaman, kertas mulai disempurnakan baik

dalam bahan mentahnya, proses pembuatan, maupun teknologi pembuatannya.

Di Eropa pembuatan kertas tidak lagi memakai cara yang manual, akan tetapi

sudah memakai mesin pembuat kertas. Hingga sampai saat ini, kertas inilah

yang beredar di seluruh penjuru dunia.

Lain halnya di Indonesia, Negara kita. Tidak dapat dipungkiri lagi sejak abad

ke-5 Negara kita mulai mengenal budaya tulis. Itu terbukti dengan adanya

temuan-temuan dari prasasti kerajaan Tarumanegara dan Yupa, serta Kutai.

Indonesia mulai mengenal kertas setelah budaya tulis itu telah lama ada. Di

2 | Reinkarnasi Daluang

Indonesia sendiri telah mengenal dua jenis kertas yaitu, kertas tradisional yang

dibuat oleh masyarakatnya sendiri dengan kertas pabrik.

Nah, kertas tradisional yang dibuat oleh bangsa Indonesia dengan cara-cara

manual dan dari bahan kulit pohon yaitu kertas lontar. Namun perkembangan

kertas lontar tidak bertahan lama. Kemudian kertas lontar tergantikan oleh

kertas Daluang. Apa sih sebenarnya Daluang itu? Istilah daluang memang cukup

asing ditelinga bagi siapa saja yang mendengarnya. Termasuk saya, yang

pertama kali mendengarnya. Jenis makanan apa yah daluang itu? Atau sejenis

hiburan seperti Wayang? Sebelum kita berpikir terlalu jauh mengenai daluang,

disini akan dijelaskan lebih lanjut mengenai daluang.

Gambar (1) kertas daluang

Gambar (2) pembuatan daluang dengan menggunakan ‘paneupuk’

Istilah Daluang sebenarnya tidak asing untuk sejarawan, dan para arkeolog

tentunya. Daluang atau dluwang merujuk pada pohon yang bernama latin

Broussonetia papyryfera Vent atau dalam bahasa sunda sering dikenal dengan

pohon saeh dan dalam bahasa inggris sering disebut pohon papermulberry.

Pohon ini termasuk kedalam keluarga Moraceae, yang tidak berbunga dan juga

tidak berbuah. Sering tumbuh dan ditemukan di Baemah (Sumatra), Sulawesi

hingga pulau seram, Garut (Jawa Barat), Purwekerto (Jawa Tengah), Ponorogo

(Jawa Timur), Pamekasan dan sumenep (pulau Madura). Zaman dahulu, jauh

sebelum kertas pabrik beredar, kertas Daluang adalah kertas yang sering

3 | Reinkarnasi Daluang

banyak di produksi oleh penduduk Indonesia sebagai bahan baku kertas zaman

kerajaan nusantara. Kertas jenis daluang ini terbilang tahan lama, dan bisa

berumur hingga ratusan tahun lamanya. Tumbuhan ini mempunyai akar yang

rimpang atau geragih, dan sering digunakan untuk pembuatan kain. Menurut

Heyne, tumbuhan ini sering dijadikan untuk pakaian tidur dan sangat digemari

pada masanya. Mulai dari suku yang ada di Kalimantan, Sulawesi,dan Sumatera.

Tumbuhan ini termasuk tumbuhan yang tergolong langka di Indonesia.

Tumbuhan ini mampu mencapai tinggi 4-6 m dan mempunyai diameter 3-4 cm

dalam kurun waktu kurang lebih 10 bulan. Struktur daunnya mirip dengan

telapak tangan yang mengembang dan sedikit berbulu. Hidup di dataran tinggi

dan beriklim tropis. Pohon ini mempunyai getah yang putih.

Daluang tersebar dibeberapa daerah Nusantara. Sehingga pemakaian

istilahnya pun berbeda-beda. Dijelaskan dalam makalah Tedi Permadi (2011, p.2-

3), dijelaskan mengenai istilah dan pengertian daluang. Penelusuran atas istilah

dan pengertian daluang dapat ditelusuri melalui entri kamus bahasa-bahasa

Nusantara, di antaranya:

1) daloeang, kertas boeatan baheula, didjieunna tina saeh. „kertas buatan

jaman dahulu, dibuat dari saeh‟ (Satjadibrata, 1948:71).

2) daloeang, kertas matjam dahoeloe, diperbuat d.p saeh (Satjadibrata, 1950:

65).

3) dalancang, kopiah kulit kayu (Mardiwarsito, 1978).

4) dluwang, kertas, kulit pohon tipis (pakaian pendeta) (Prawiroatmodjo, 1981).

5) dlancang, kertas (Prawiroatmodjo, 1981).

6) daluang, papier gemaakt v geklopte bast v d saeh-boom (vroeger I gebruik

om op te schrijven, ook wel gebruik voor omslagen); sv karton; d. katinggang

mangsi, (zegsw:) misschien staat „t (wat ik wens) wel in de sterren

geschreven (d uitdr is in zinspeling op nulis, schrijven) „kertas yang terbuat

dari kulit kayu pohon saeh; karton‟ (Eringa, 1984: 177).

7) daluang, sl. kain (kertas) dari kulit pohon-pohonan (Purwadarminta, 1985:

224).

8) dilancang, kertas (Mardiwarsito, 1985:67).

9) delwang, dalancang (Winter dan Ranggawarsita, 1987).

10) daluang, (Kw.) kertas buatan baheula tina kulit kai jsb; karton „Kertas

buatan jaman dahulu dari kulit kayu dsb; kertas karton.‟ (LBSS, 1995:102).

11) dalancang, dalancang, kethu „kertas, peci‟ (Winter Sr., 1991:31).

4 | Reinkarnasi Daluang

12) daluwang, dalancang, ukel, kethu, kebul „ kertas, peci, debu‟ (Winter Sr.,

1991:31).

13) daluang, n kain atau kertas yang terbuat dari kulit pohon (Petersalim,

1991: 313).

14) deluang, n = jeluang (Petersalim, 1991:333).

15) jeluang, kertas atau pakaian yang terbuat dari kulit kayu (Petersalim,

1991: 610).

16) daluwang, pakaian dari kulit pohon (dikenakan oleh pertapa, dsb).

Menurut Gericke-Roorda (1901) pakaian tersebut dibikin dari kulit pohon

glugu, semak sejenis jelatang (Zoetmulder, 1995:190).

17) daluang, kertas yang terbuat dari kulit, kulit pohon, dsb (Rahayu Tamsah,

1998: 68)

18) daluang, kl n kain atau kertas dibuat dari kulit pohon (KBBI, 2000:233)

Rahayu Tamsyah (Permadi, 2005, p.4) memberikan pengertian lain, yaitu di

samping terbuat dari kulit kayu, juga sebagai kertas yang terbuat dari kulit.

Pengertian lain dari daluang adalah mengacu pada sejenis kopiah, kain, dan

pakaian pendeta. Kopiah adalah penutup kepala yang lazim digunakan oleh

pemeluk agama Islam di Nusantara dan rumpun bangsa Melayu pada umumnya;

kain adalah salah satu bahan sandang yang dipergunakan untuk menutupi

bagian tubuh dari kondisi lingkungan yang tidak diharapkan dan untuk menutupi

bagian tubuh yang tidak ingin diperlihatkan kepada orang lain; sedangkan

pakaian pendeta adalah sejenis pakaian yang biasa digunakan untuk

kepentingan upacara adat suatu agama atau kepercayaan tertentu.

Tedi Permadi (2006) menyatakan bahwa sejarah kertas ini sudah lama

ditemukan oleh ahli arkeologi dan ahli sejarah sastra kuno, yang pada awalnya

daluang ini berfungsi sebagai alat bantu kehidupan sehari-hari. Pada abad ke- 3

sebelum Masehi, ditemukan sebuah alat penumbuk dari batu yang bernama

paneupuk. Di Desa Cariu, kabupaten Bogor. Selain itu, daluang sering dipakai

sejak zaman kerajaan Hindu di Nusantara. Kertas daluang ini biasanya

digunakan untuk menuliskan mantra-mantra suci atau untuk menuliskan cerita

Wayang Beber. Pada tahun 1970-an masyarakat Hindu di Bali menggunakan

kertas Daluang untuk upacara kematian atau Ngaben. Daluang ini menjadi

syarat wajib yang harus ada dalam Upacara Ngaben. Pada masyarakat Hindu,

daluang sangat di sakral kan

5 | Reinkarnasi Daluang

Pigeaud (1967:35--36) dalam (Permadi, 2005, p.5) Daluang kemudian

dimanfaatkan sebagai bagian dari media yang berbahan kulit kayu, pada jaman

pra-Islam tidak ditemukan bukti yang menunjukkan bahwa daluang

dimanfaatkan sebagai bahan untuk kegiatan tulis menulis, bukti-bukti yang

ditemukan menunjukkan bahwa daluang dijadikan sebagai bahan pakaian

sehari-hari dan untuk keperluan upacara keagamaan, dalam hal ini sebagai

pakaian pendeta agama Hindu. . Numun Seiring dengan peradaban, kebudayaan

Islam pun masuk ke kerajaan-kerajaan Nusantara, lalu Daluang dialih fungsikan

tidak hanya untuk menuliskan naskah-naskah kuno, tetapi juga menjadi media

untuk menuliskan ayat-ayat Al-Qur’an dan kaligrafi. Bahkan, daluang sendiri

menjadi pakaian bagi pemuka agama. Dalam hal ini faktor kepercayaan pada

ajaran agama Islam yang tidak menempatkan daluang sebagai salah satu bahan

yang disakralkan adalah salah satu faktor yang memungkinkan perubahan fungsi

tersebut. Berikut adalah gambar daluang yang dialih fungsikan:

Proses pengolahan pohon saeh hingga menjadi daluang memanglah cukup

rumit. Setelah pohon ditebang, batang pohon kemudia dibagi-bagi menjadi

6 | Reinkarnasi Daluang

Gambar (3) pakaian kulit kayu dari Tana Toraja, Sulawesi SelatanFoto: Tedi Permadi, 19 Agustus 2003

Gambar (4) Naskah Khutbah Jum‟at, koleksi Cagar Budaya Candi Cangkuang Foto: Tedi Permadi (11 Januari 2005 dan 29 Desember 2004)

Gambar (5) Naskah Babad Pajajaran, koleksi Museum Sri Baduga Jawa Barat Foto: Tedi Permadi (11 Januari 2005 dan 29 Desember 2004)

beberapa potongan pendek, bagian ini sekitar 1/3 panjang dari kertas yang akan

dibuat. Selanjutnya kulit kayunya diambil, dratakan dan di iris-iris menjadi

sobekan yang lebarnya antara 5-6 cm. Dari sobekan kulit tersebut , diambil

bagian kulit luar yang tidak mengandung serat, kemudian letakkan diatas balok

kayu, dan dipukuli satu persatu oleh alat penumbuk. Selanjutnya dilakukan

proses perendaman, pencucian, penjemuran, dan pemeraman. Tahap berikutnya

diratakan diatas papan hingga halus, dijemur, dan terakhir dihaluskan dengan

kulit kerang. (Sabana dan Setiawan, 2005: 47-48)

Tradisi pembuatan daluang semakin menghilang, seiring perkembangan

zaman dan maraknya produksi kertas pabrik. Bahkan sebagian dari masyarakat

tidak mengenalnya lagi. Sangat disayangkan jika kebudayaan Indonesia yang

turun temurun ini tidak dilestarikan. Dengan alasan Daluang dinilai tidak

ekonomis dan pembuatannya yang rumit (tidak praktis) sehingga pembuatannya

harus dihentikan. Padahal Daluang ini merupakan produk khas Indonesia yang

harus dilestarikan dan dikembangkan.

Tradisi daluang pun mati terkubur hingga bertahun-tahun. Namun ada

seorang tokoh pemerhati naskah kuno sunda yang sangat berperan penting

dalam menghidupkan kembali tradisi Daluang yang sudah mati. Bermula dari

penelitiannya, Dr. Tedi Permadi, M.Hum. yaitu Dosen FPBS, Universitas

Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung melakukan

penelitian tentang Daluang yaitu jenis kertas yang

digunakan sebagai naskah kuno. Ketertarikannya

pada naskah-naskah kuno sunda dan tujuannya yang

ingin mengenalkan salah satu budaya masyarakat sunda,

membuat beliau rela melepaskan mobil kesayangannya.

Ternyata sampai tahun 1997 tradisi membuat

daluang masih digeluti oleh dua keluarga di kampung

Tunggilis, Desa Cinunuk, Kecamatan Wanaraja, Garut.

Pada tahun 1998 Tedi dan lima teman kelompok

Bungawari dipercaya oleh Global Environment

Facility/Small Grant Program- United Nations

Development Programme (GEF/SGP-UNDP)

untuk memberdayakan masyarakat lewat pendekatan budaya, salahsatu cara

atau alat untuk berkomunikasinya yaitu dengan pembuatan daluang, karena

tradisi itu pernah mengisi kehidupan masyarakat sunda. Dalam observasinya

sejak April-juli 1998, beliau menemukan sekitar 710 batang benih pohon saeh

7 | Reinkarnasi Daluang

gambar (6) Dr. Tedi Permadi, M.Hum.terdapat di http://amufidsururi.wordpress.com/2013/05/03/daluang-isamu-sakamoto-dan-toekang-saeh/

yang tersebar di beberapa kampung, Garut (Jawa Barat). Tedi berpendapat

bahwa pohon saeh merupakan pohon yang mudah berkembang biak dan mudah

untuk dibudidayakan. Karena pohon saeh ini mempunyai akar yang rimpah yang

didalamnya mempunyai jaringan tumbuh. Sehingga jika akar tersebut terkena

sinar matahari, maka jaringan itu akan terangsang untuk berfotosintesis dengan

mengeluarkan tunas baru. Kemudian beliau melakukan pemasaran daluang di

beberapa toko kertas di Bandung. Dalam prosesnya beliau mengalami berbagai

kendala dan rintangan. Salah satunya kendala persaingan pasar yang kuat di

masyarakat, karena adanya dominasi kelompok pebisnis lain yang kuat

membuat masyarakat sebagai produsen daluang mundur dari persaingan pasar.

Dalam kasus tersebut, Tedi sebagai penggerak kreativitas masyarakat, merasa

gagal dan akhirnya mundur dari program tersebut. Selain itu banyak faktor yang

mempengaruhi seperti, dana investor yang dijadikan modal awal tidak dapat

dikembangkan. Namun tekadnya untuk menghidupkan kembali Daluang sangat

tinggi. Akhirnya daluang sebagai kertas yang memiliki artistik yang tinggi,

mendapatkan tempat di masyarakat. Daluang pun digunakan sebagai kertas

piagam. Selama tiga tahun, beliau membudidayakan pohon saeh di sebuah

lahan, di Desa Lembang, Kecamatan Leles, kabupaten Garut.

Pada tanggal 28 Juli sampai 5 Agustus 2007, Galeri Rumah Teh (Bandung),

menggelar pameran “Daluang dan Kaligrafi Aksara Sunda”. Acara pameran ini

terbilang sukses sebagai upaya untuk memperkenalkan atau mensosialisasikan

Daluang ke masyarakat seni khususnya. Agar Daluang bisa mengembangkan

fungsinya sebagai media rupa. Dalam pameran ini, seniman, pemerhati sastra

sunda menggelar workshop pembuatan kertas Daluang. Uniknya daluang ini

mempunyai tekstur, estetika dan ciri khas nya tersendiri, yang mungkin tidak

bisa dimiliki oleh kertas pada umumnya. Selain menulis kaligrafi, seniman juga

membuat pakaian boneka dengan kertas Daluang. Daluang ini bisa dipakai

beberapa kali, tergantung pemakai. Jika ingin dialih fungsikan menjadi kain

misalnya, daluang tinggal direndam secukupnya sampa tekstur daluang menjadi

elastic seperti pada kain umumnya. Berikut adalah contoh aplikasi pemanfaatan

daluang sebagai kertas seni:

8 | Reinkarnasi Daluang

Pada akhir tahun 2013, kertas

tradisional khas Nusantara

dihidupkan

kembali oleh seorang yang berlatar

belakang masyarakat biasa

pada umumnya, yakni Ahmad

Mufid Saruri. Disaat sebagian orang

menganggap bahwa kertas Daluang ini

adalah kertas kuno yang tidak bisa dipakai pada

zaman sekarang, pak Mufid

malah

sebaliknya. Dikatakan dalam

Greeners: Indonesian Environmental News

Portal, Pak Mufid mengemukakan

alasannya kenapa memutuskan untuk berkecimpung di dunia pengolahan

kertas, beliau menjawab: Bukan hanya untuk membuka kesempatan berbisnis,

bukan pula untuk sekedar mengisi waktu luangnya, namun utamanya untuk

bersilaturahmi, untuk mengingatkan diri sendiri agar tak lupa dengan identitas

budayanya, lalu untuk mengkomunikasikannya pada orang lain agar ingatan ini

sama-sama dijaga dan dipelihara. Sungguh sangat malu jika kita sendiri bahkan

sebagai orang yang mengenyam pendidikan tinggi tapi tidak mempunyai rasa

nasionalisme yang tinggi seperti beliau. Meskipun beliau tidak dibekali dengan

pendidikan tinggi, beliau memiliki kemauan keras untuk belajar dalam

mengembangkan kemampuannya mengolah dan mengangkat kembali

popularitas daluang. Hebatnya beliau mempunyai sanggar yang bernama

9 | Reinkarnasi Daluang

gambar (8) Ahmad Mufid Saruriterdapat di http://amufidsururi.wordpress.com/2013/05/03/daluang-isamu-sakamoto-dan-toekang-saeh/

gambar (7) contoh Aplikasi pemanfaatan daluang sebagai kertas seni

“Toekang Saeh” yang berada di Kampung Tanggulan, Dago Pojok Kota Bandung.

Di sanggarnya lah beliau membuat daluang atau kertas saeh. Pak Mufid terus

menerus belajar dan mencari tau mengenai kertas daluang. Sampai akhirnya

bertemu dengan Prof. Isamu Sakamoto.

Semenjak tahun 1998 Sakamoto menjelajahi Indonesia untuk meneliti jenis-

jenis kertas di tanah air. Pak Mufid sempat merasa senang karena mendapat

pengetahuan banyak mengenai daluang. Namun pak Mufid merasa malu

sekaligus sedih, karena ternyata ilmu pengetahuan tentang sejarah budayanya sendiri justru

ia dapatkan dari orang asing. Dikatakan dalam Greeners: Indonesian Environmental

News Portal, “Seakan-akan kita menjadi tamu, dan Sakamoto yang berlaku

sebagai tuan rumah, menjelaskan kebudayaannya kepada kita. Dan saya hanya

bisa terpagut. Dalam hati saya sungguh merasa sedih dan malu”, kata Mufid.

Sungguh miris rasanya jika budaya kita, warisan nenek moyang kita tidak

dipelihara dan tidak dikembangkan. Daluang merupakan produk khas daerah

yang seharusnya dapat dikembangkan secara optimal. Namun, karena Daluang

dianggap kuno dan tidak relevan dengan perkembangan zaman. Maka daluang

mulai ditinggalkan. Hanya segelintir orang saja yang mempunyai rasa memiliki

terhadap budayanya sendiri.

“Jika di Jepang ada washi, di Korea ada Hanji. Di Mesir ada Papyrus dan di

Meksiko ada amate paper yang hinnga kini masih terjaga dan dilestarikan

dinegaranya sendiri. Maka daluang sebagai kertas khas Nusantara warisan

nenek moyang secara turun temurun itu sendiri bagaimana” (Mufid, dalam

Inilah.Com)

10 | Reinkarnasi Daluang

Daftar Pustaka:

Aghistna, Rizky. (2007). Mufid Daloeang; Menelusuri Jejak Identitas dengan

Kertas Daluang. Greeners: Indonesian Environmental News Portal, Vol.2.

Tersedia di: http ://www.greenersmagz.com/interviews/mufid-daloeang-

menelusuri-jejak- identitas-dengan-kertas-daluang/ [diakses pada 14 febuari

2014]

Anandita, Dwias. (2012). Tanaman Daluang, Tumbuhan Langka Bahan Baku

Kertas dan Kain. [online] Tersedia di:

http://hasil-indonesia.blogspot.com/2012/05/tanaman-daluang-

tumbuhan-langka-bahan.html?m=1 [diakses pada 14 februari 2014]

Firmansyah, Argus. (2007). Kertas Tradisional Daluang bagi Perupa. [online]

Tersedia di: http://argusbandung.blogspot.com/2007/08/kertas-

tradisional-daluang-bagi-perupa.html?m=1 [diakses pada 15 februari

2014]

Pambudy, Nunik M. (2011) Sejarah dalam Kertas Kulit Pohon. [online] Tersedia

di: http://nasional.kompas.com/read/2011/04/02/05344180/twitter.com.

[diakses pada 15 febuari 2014]

Permadi, Tedi. (2005). Konservasi Tradisi Pembuatan Daluang: sebagai salah

satu upaya penyelamatan teknologi tradisional nusantara. Disajikan pada

Diskusi Pakar dengan tema Pemenuhan Hak Atas Ilmu Pengetahuan dan

Teknologi, Budaya dan Seni, 28--29 November 2005, Permata Bidakara

Bandung Hotel.

Ramdhani, Doni. (2013, 8 Desember). Menghidupkan Kembali Tradisi Daluang.

InilahKoran.com. Tersedia di:

http://www.inilahkoran.com/read/detail/2054236/menghidupkan-kembali-

tradisi-daluang [diakses pada 14 febuari 2014]

Sabana, Setiawan dan Setiawan, Hawe. (2005). Legenda Kertas : menelusuri

jalan sebuah peradaban. Bandung: Kiblat Buku Utama.

Saruri, Ahmad Mufid. 2013. Daluang, Isamu Sakamoto Dan Toekang Saéh.

[oneline] Tersedia di :

11 | Reinkarnasi Daluang

http://amufidsururi.wordpress.com/2013/05/03/daluang-isamu-

sakamoto-dan-toekang-saeh/ [diakses pada 15 februari

2014]

Suganda, Her. (2009). Tedi Permadi dan Kertas Tradisional Sunda. [online]

Tersedia di: http://bukan-tokohindonesia.blogspot.com/2009/05/tedi-

permadi-dan-kertas-tradisional.html?m=1 [diakses pada 14 februari

2014]

Wirajaya, A. Y. (2009) . Daluang atau Dluwang dalam Perspektif Kodologi.

[onlone]. Tersedia di:

http://asepyudha.staff.uns.ac.id/2009/06/04/sekelas-tentang-daluang-

atau-dluwang-sebuah-telaah-ringkas-kodikologi/ [diakses pada 14

februari 2014]

12 | Reinkarnasi Daluang