regulasi penyiaran
TRANSCRIPT
-
8/9/2019 Regulasi Penyiaran
1/1Edisi: 010/Ferbuari 2008 | 11
I n f o B u k u
SeTeLah rezim otoriter Orde Baru (Orba)
tumbang pada tahun 1998, bagaimana dunia
penyiaran di negeri ini sekarang? Ternyata,
demikian penulis buku ini, sedang berhenti.
Bukan saja sektor industri dan institusinya,
tetapi justru di ranah paling fundamental, ya-kni sektor kebijakan. Maka lahir dan ditetap-
kannya UU No 32/2002 tentang Penyiaran
merupakan momentum signifkan bagi berges-
ernya konfgurasi sistem penyiaran dari model
otoritarian ke model berikutnya.
Dengan penjelasan rinci, diawali dengan
hal paling fundamental, yakni pengertian dan
defnisi penyiaran dan sistem penyairan, buku
ini menjelajah berbagai persoalan di
dunia penyiaran. Selanjutnya, dari dua
unsur kata penyiaran dan sistem dapat
disimpulkan, bahwa sistem penyiaran
adalah rangkaian penyelenggaraan
penyiaran yang teratur dan menggam-
barkan interaksi berbagai elemen di
dalamnya, seperti tata nilai, institusi, individu, broadcaster dan
program siaran. Sistem penyiaran melingkupi pula prosedur dan
aturan main, undang-undang (hal 4).
Lantas bagaimana dengan kepemilikan dan pengelolaan
media penyiaran? Berdasarkan teori penting yang digagas
Joseph R.Dominick, sistem kepemilikan dan pengelolaan
media penyiaran di berbagai negara, umumnya tidak terpusat
pada satu pihak dalam masyarakat.Ketika rezim Orba berkuasa, frekuensi dikuasai sepe-
nuhnya oleh segelintir elit di lingkaran kekuasaan. Seir-
ing dengan runtuhnya Orba, sistem kontrol rezim itu runtuh
ditandai dengan likuidasi Departemen Penerangan, yakni den-
gan mengembalikan kodrat frekuensi sebagai milik publik.
Sebab, pada masa Orba, hak milik publik dirampas sehingga
masyarakat tidak bisa menuntut akuntabilitas setiap pengelu-
aran lisensi di berbagai kebijakan penyiaran, melalui mekan-
isme yang obyektif.
Membandingkan sistem penyairan di berbagai negara,
misalnya Amerika Serikat, Perancis, Afrika Selatan, Ing-
gris, Australia, Kanada dan negara ASEAN, dipaparkan pula
bagaimana perbedaannya dengan Indonesia. Mengacu UU
No.24/1997, sistem penyiaran Indonesia terpusat pada ke-
wenangan mutlak pemerintah (state centered).
Dunia Penyiaran
Setelah Orba Tumbang
Dari berbagai pembahasan tentang sis-
tem penyiaran di beberapa negara, maka dapat
dibuat dua klasifkasi, yakni sistem penyiaran
demokratis yang menempatkan pemikiran
dasar bahwa publik pemilik frekuensi, dan yang
kedua adalah klasifkasi sistem penyiaran yangotoriter yang menempatkan kekuasaan mutlak
pada pemerintah melalui kementerian tertentu,
baik selaku regulator maupun eksekutor.
Bagaimana dengan sistem penyiaran di In-
doensia setelah hancurkan rezim Orba? Menu-
rut penulis buku ini, ada beberapa gagasan yang
melandasi desakan untuk merevisi total UU
No 24/1997. Undang-undang itu dinilai terlalu
protektif. Sedikitnya 27 pasal dalam
UU itu berisi larangan dan tak satu
pun pasal yang menyebutkan hak-hak
pengelola penyiaran.
Bagi para pelaku dunia penyiaran,
maupun para pemerhati, UU No
24/1997 ini adalah salah satu UU pal-
ing kontroversial ketika dibahas di DPR. Menteri Penerangan RI
R Hartono, mengatakan, presiden belum menandatangani UU itu
sebab masih ada sejumlah pasal yang perlu didiskusikan kembali.
Agar lebih sempurna. UU itu pun dikembalikan ke DPR yang
intinya meminta secara resmi DPR mengkaji kembali pasal-pasal
tertentu dalam RUU yang telah disetujui DPR itu.
Ketika UU No 24/1997 diundangkan 29 September 1997,
disambut dengan hati mendua oleh praktisi penyiaran. Selaindisambut bahagia karena ada seperangkat UU yang mengatur
penyiaran, setelah selama ini hanya diatur melalui Keputusan
Menteri, namun juga prihatin karena UU itu tidak lebih se-
bagai belenggu baru bagi dunia penyiaran.
Namun, sejarah berkata lain. Dengan bergulirnya wa-
cana revisi secara nasional, eksistensi dan wibawa UU yang
mestinya efektif berlaku mulai 29 September 1999, hilang
terbawa angin reformasi. (hal 123).
Demikianlah, meski dalam perjalanannya, secara historis
kebutuhan merevisi total UU No.24/1997 tentang penyiaran
tidak lepas dari semangat reformasi dalam berbagai bidang
kehidupan bernegaran pascajatuhnya rezim Soeharto bulan
Mei 1998.
Gerakan sistematis merevisi UU No.24/1997 antara lain
dimotori oleh organisasi Masyarakat Pers Indonesia (MPI)
Judul Buku : REGULASI PENYIARAN
Dari Otoriter ke Liberal
Penulis : MasdukiPenerbit : LKiS Yogyakarta
Tahun : 2007
Tebal : x + 290