regional anestesi
DESCRIPTION
mTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai tindakan meliputi
pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang mengalami pembedahan, pemberian
bantuan hidup dasar, pengobatan intensif pasien gawat, terapi inhalasi dan penanggulangan
penyakit menahun. Anestesi yang ideal adalah tercapainya anestesi yang meliputi
hipnotik/sedasi, analgesi dan relaksasi otot.
Anestesi dibagi menjadi dua kelompok, yaitu : (1) anestesi lokal, yaitu suatu tindakan
menghilangkan nyeri lokal tanpa disertai hilangnya kesadaran, dan (2) anestesi umum yaitu
keadaan ketidaksadaran yang reversibel yang disebabkan oleh zat anestesi, disertai hilangnya
sensasi sakit pada seluruh tubuh.
Pada prinsipnya dalam penatalaksanaan anestesi pada suatu operasi terdapat beberapa
tahap persiapan yang harus dilaksanakan yaitu pra anestesi, tahap penatalaksanaan anestesi dan
pemeliharaan serta tahap pemulihan dan perawatan pasca anestesi.
Tahap pra anestesi merupakan tahap persiapan yang sangat menentukan keberhasilan
suatu anestesi. Tahap pengelolaan anestesi meliputi premedikasi, induksi dan pemeliharaan yang
dapat dilakukan secara intravena maupun inhalasi. Pada tahap ini perlu monitoring dan
pengawasan ketat serta pemeliharaan jalan nafas karena pada saat ini pasien dalam keadaan sadar
dan kemungkinan komplikasi anestesi maupun pembedahan dapat terjadi.
1
BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny N
Usia : 41 tahun
Agama : Islam
Jenis Kelamin : Perempuan
Status : Menikah
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Jombang Kali RT 01 RW 09
Tanggal Masuk RS : 21 Oktober 2013
Jenis pembedahan : Kuretase
Teknik Anestesi : Regional Anestesi
II. ANAMNESIS
Pasien merupakan pasien obsgyn dengan diagnosis abortus inkomplit. Pada hasil
anamnesis didapatkan bahwa pasien belum pernah dilakukan kuretase sebelumnya.
Pasien tidak pernah memiliki riwayat operasi. Riwayat penyakit asma, penyakit
jantung, penyakit hati, penyakit ginjal, penyakit paru-paru, hipertensi dan Diabetes
Mellitus disangkal oleh pasien dan keluarga pasien. Alergi terhadap makanan ataupun
obat-obatan disangkal oleh pasien. Pasien tidak memiliki kebiasaan merokok dan
2
minum-minuman alkohol. Selain itu pasien juga tidak menggunakan obat-obatan
tertentu. Pasien mengatakan tidak memakai gigi palsu ataupun gigi yang goyang.
III. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos Mentis
BB : 90kg
Tanda Vital
- Tekanan darah : 110/80 mmHg
- Nadi : 88 x/menit
- Pernafasan : 22 x/menit
- Suhu : 36,5 °C
Status Generalis
- Kepala : Normocephal
- Mata : Conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor, refleks
cahaya langsung (+/+), refleks cahaya tak langsung (+/+)
- Hidung : Liang hidung lapang, deviasi septum (-), sekret (-/-)
- Telinga : Bentuk telinga normal, liang telinga lapang, serumen +/+, secret
-/-, MT intak +/+
- Mulut : Bibir pucat (-), sianosis (-), trismus (-), gerak sendi
temporomandibular baik, arcus palatoglossus dan arcus palatopharyngeus
tidak hiperemis, tonsil T1-T1, mukosa faring tidak hiperemis
- Gigi-geligi : Gigi palsu (-), gigi goyang (-), gigi depan menonjol (-).
3
- Leher : Leher pendek (-), trakea terletak di tengahtidak teraba
pembesaran KGB
- Thoraks
- Paru
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris statis dan dinamis,
retraksi dinding dada (-)
Palpasi : Fremitus vocal dan fremitus taktil simetris kanan dan kiri,
tidak teraba massa, tidak terdapat pelebaran sela iga.
Perkusi : Perkusi sonor pada seluruh lapang paru
Auskultasi : Suara napas vesikuler, Rhonki -/-, Wheezing -/-
Vocal fremitus simetris, sonor +/+ Suara nafas vesikuler normal,
ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
- Jantung:
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba pada ICS V linea mid clavicula sinistra
Perkusi : Batas jantung kanan pada ICS V linea sternalis dextra,
batas jantung kiri ICS V linea midklavikula sinistra.
Auskultasi : Bunyi jantung I-II regular, murmur (-), gallop (-)
- Abdomen : Membuncit, teraba supel, nyeri tekan (-), bising usus (+) normal
- Ekstremitas: Akral hangat, edema (-) pada ekstremitas atas dan bawah,
sianosis (-) pada ekstremitas atas dan bawah.
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
4
Hemoglobin : 9,5 g/dl
Leukosit : 14.000 /ul
Hematokrit : 30,6 %
Trombosit : 379.000 /ul
GDS : 188 mg/dl
Gol. Darah : B/ Rh +
V. KESIMPULAN
Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik, maka:
Diagnosis pre operatif : G4P1A0 Abortus Inkomplit
Status operatif : ASA I (pasien sehat secara jasmni dan rohani, tidak ada `
gangguan sistemik), Malampati 1.
Jenis operasi : Kuretase dan MOW
Jenis anestesi : Anestesi Spinal (Anestesi Regional)
BAB III
LAPORAN ANESTESI
A. Pre Operatif
Informed Consent (+)
Puasa (+) selama 8 jam
5
Tidak ada gigi goyang atau pemakaian gigi palsu
IV line terpasang dengan infus RL
Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos Mentis
Tanda vital
o Tekanan darah : 110/80 mmHg
o Nadi : 88 x/menit
o Pernafasan : 22 x/menit
o Suhu : 36,5 °C
B. Premedikasi anestesi
Sebelum dilakukan tindakan anestesi diberikan ondansetron 4 mg secara bolus IV.
C. Tindakan Anestesi
Pasien diminta duduk tegak dengan kepala menunduk, lalu dilakukan tindakan aseptic
dan antiseptic dengan povidin iodine dan kasa steril dari sentral ke perifer. Setelah
menentukan lokasi penyuntikan pada L3-L4, tepat pada perpotongan garis antara
crista iliaca dextra dan sinistra, kemudian dilakukan penyuntikan dengan
menggunakan jarum spinal no 26 GA menuju ruang subarachnoid, lalu tunggu hingga
LCS mengalir keluar pada jarum spinal, lalu pasang spuit yang berisi Bupivacaine
20mg secara perlahan. Kemudian aspirasi kembali untuk memastikan LCS mengalir
dengan posisi jarum tetap di subarachnoid. Setelah semua obat telah dimasukkan,
cabut jarum spinal perlahan, tutup bekas lokasi suntikan dengan menggunakan kasa
steril. Selanjutnya posisikan pasien berbaring pada meja operasi.
6
D. Pemantauan Selama Anestesi
Melakukan monitoring terus menerus tentang keadaan pasien yaitu reaksi pasien
terhadap pemberian obat anestesi khususnya terhadap fungsi pernapasan dan jantung.
Kardiovaskular : Nadi setiap 5 menit
Tekanan darah setiap 5 menit
Respirasi : Inspeksi pernapasan spontan pada pasien
Saturasi oksigen
Cairan : Monitoring input cairan
E. Monitoring Tindakan Operasi :
Jam Tindakan Tekanan
Darah
(mmHg)
Nadi
(x/menit)
Saturasi
O2 (%)
09.15 Pasien masuk ke kamar operasi,
dan dipindahkan ke meja operasi
Pemasangan monitoring tekanan
darah, nadi, saturasi O2
Infus RL terpasang pada tangan
kanan
09.20-
09.25
Injeksi ondansetron 4mg IV
Disinfeksi lokal lokasi suntikan
anestesi lokal. Posisi pasien
duduk tegak dengan kepala
menunduk, dilakukan tindakan
110/60 88 99
7
anestesi spinal dengan
menggunakan jarum spinal no 26
diantara L3-L4 dengan
Bupivacaine 20mg, LCS (+),
darah (-) parese (+)
09.35 Operasi dimulai 100/50 80 99
09.40 Penurunan tekanan darah
Pemberian Efedrin 10 mg IV
Pemberian Pospargin 0,2mg IV
80/50 84 97
09.45 Kondisi terkontrol 110/60 80 99
09.50 Kondisi terkontrol
Pemberian analgetik Ketorolac
30mg IV
100/60 75 99
09.55 Kondisi terkontrol
Pemberian Tramadol 100mg IV
100/70 80 98
10.00 Operasi selesai
Dilakukan pemasangan kateter
urin
Pemberian Pronalges supp 100mg
Pemberian Citrostol 600mcg
Pasien dipindahkan ke ruang
Recovery Room
100/60 80 99
10.05 Dilakukan monitoring pada
Recovery Room
100/60 80 99
F. Laporan Anestesi
Tindakan Operasi : Kuretase
Tindakan Anestesi: Regional Anestesi
Lama Operasi : 09.35-10.00 (25 menit)
8
Lama Anestesi : 09.25-10.05 (40menit)
Jenis Anestesi : Regional anestesi dengan teknik Sub Arachnoid Block L3-L4
Posisi : Duduk
Pernafasan : Spontan
Infus : Ringer Laktat pada tangan kanan 1000cc
Premedikasi : Ondansetron 4 mg IV
Medikasi : Bupivacaine 20mg IV
Pospargin 0,2mg IV
Efedrin 10mg IV
Ketorolac 30mg IV
Tramadol 100mg IV
Pronalges supp 100mg
Citrostol supp 600mcg
Cairan
Cairan Masuk : Ringer Laktat 1000cc
G. Post Operatif
- Pasien masuk ruang pemulihan dan setelah itu dibawa ke ruang Edelweis
- Observasi tanda- tanda vital dalam batas normal
Kesadaran : Compos Mentis
TD : 100/60 mmHg
Nadi : 80x/min
9
Saturasi : 99%
- Penilaian pemulihan kesadaran
Tabel . Variabel skor Aldrete
Variabel Tem SkorSkor
Pasien
Aktivitas
Gerak ke-4 anggota gerak atas perintah
Gerak ke-2 anggota gerak atas perintah
Tidak respon
2
1
0
1
Respirasi
Dapat bernapas dalam dan batuk
Dispnea, hipoventilasi
Apneu
2
1
0
2
Sirkulasi
Perubahan < 20 % TD sistol preoperasi
Perubahan 20-50 % TD sistol preoperasi
Perubahan .> 50 % TD sistol preoperasi
2
1
0
2
Kesadaran
Sadar penuh
Dapat dibangunkan
Tidak respon
2
1
0
2
Warna kulit
Merah
Pucat
Sianotik
2
1
0
2
Skor Total 9
10
≥ 9 : Pindah dari unit perawatan pasca anestesi
≥ 8 : Dipindahkan ke ruang perawatan bangsal
≥ 5 : dipindahkan ke ruang perawatan intensif (ICU)
Pada pasien ini didapatkan nilai aldrete skor 9, pasien dipindahkan ke ruang
perawatan bangsal untuk dilakukan observasi lebih lanjut.
BAB IV
PEMBAHASAN KASUS
Abortus adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum janiin dapat hidup di
luar kandungan. Abortus Incompletus, terjadi pengeluaran sebagian hasil konsepsi. Pada
pemeriksaan vaginal, kanalis servikalis terbuka dan jaringan dapat diraba dalam kavum uteri atau
kadang-kadang sudah menonjol dari ostium uteri eksternum, dapat menyebabkan perdarahan
yang banyak sehingga menyebabkan syok. Perdarahan tidak akan berhenti sebelum sisa hasil
konsepsi dikeluarkan.
Tubektomi adalah pemotongan (tuba fallopi) sehingga sel telur tidak bisa memasuki
uterus untuk dibuahi. Tubektomi bersifat permanen. Walaupun bisa disambungkan kembali,
namun tingkat fertilitasnya tidak akan kembali. Tubektomi adalah salah satu alternatif KB.
11
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang dapat disimpulkan bahwa
pasien termasuk dalam ASA 1, yakni pasien dalam kondisi sehat secara organik maupun
psikologik. Menjelang operasi, pasien hanya tampak sakit ringan dan tampak tenang. Pada
pasien tersebut, dapat dilakukan anestesi regional dengan teknik spinal anestesi. Anestesi spinal
dilakukan dengan alasan operasi dilakukan pada bagian tubuh inferior, sehingga cukup memblok
bagian tubuh inferior saja. Anestesi spinal dilakukan dengan blok saraf setinggi L3-L4 untuk
menghindari cedera medulla spinalis.
Obat anestesi yang diberikan pada pasien ini adalah Bupivacaine 20mg. Bupivacaine
spinal dipilih karena durasi kerja yang panjang yaitu selama 3-10 jam. Bupivacaine merupakan
anestesi lokal golongan amida. Bupivacaine mencegah konduksi rangsang saraf dengan
menghambat natrium channel, meningkatkan ambang eksitasi elektron, memperlambat rangsang
saraf dan menurunkan kenaikan potensial aksi. Selain itu Bupivacaine juga dapat ditoleransi
dengan baik pada semua jaringan yang terkena. Bupivacaine di metabolisme di hati dan di
eksresikan di urin.
Pada pasien ini diberikan pre-medikasi ondansetron 4mg IV. Ondansetron merupakan
suatu antagonis reseptor serotonin 5-HT3 selektif yang diindikasikan sebagai obat pencegahan
dan pengobatan mual dan muntah pasca bedah. Ondansetron diberikan pada pasien ini untuk
mencegah komplikasi dari tindakan anestesi spinal yaitu mual dan muntah yang bisa
menyebabkan aspirasi.
Selama tindakan anestesi berlangsung, tekanan darah dan denyut nadi selalu dimonitor.
Pada pasien ini, terjadi penurunan tekanan darah sehingga ditambahkan efedrin 10mg IV.
Penggunaan efedrin di bidang anestesi pada kasus hipotensi yang merupakan komplikasi dari
regional anestesi, baik oleh karena spinal ataupun epidural anestesi. Pemberian efedrin 10-25 mg
iv pada orang dewasa sebagai pilihan simpatomimetik mengatasi blokade susunan saraf simpatis
yang disebabkan anestesi regional ataupun untuk mengatasi efek hipotensi yang disebabkan
obat-obat anestesi.
Infus Ringer Laktat diberikan pada penderita sebagai cairan rumatan. Ringer Laktat
adalah cairan dengan osmolaritas mendekati serum sebesar 285 mOsmol/L, sehingga terus
berada di dalam pembuluh darah. Natrium merupakan kation utama dari plasma darah dan
12
menentukan tekanan osmotik. Klorida merupakan anion utama di plasma darah. Kalium
merupakan kation terpenting di dalam intraseluler dan berfungsi untuk konduksi saraf dan otot.
Elektrolit-elektrolit ini dibutuhkan untuk menggantikan kehilangan cairan tubuh. Tidak ada
interaksi dengan makanan atau obat lain sehingga pemberian infus ini aman untuk digunakan.
Kebutuhan cairan intraoperatif
1. Kebutuhan cairan basal
4ml/kgBB/jam untuk 10kg pertama : 4 x 10 = 40
2ml/kgBB/jam untuk 10kg kedua : 2 x 10 = 20
1ml/kgBB/jam untuk sisa berat badan : 1 x 70 = 70
Total 130cc
2. Kebutuhan cairan operasi
Operasi sedang x BB
6ml x 90 = 540 cc
3. Kebutuhan cairan puasa
Lama jam puasa x kebutuhan cairan basal : 8 x 130 = 1040cc
Kebutuhan cairan basal + kebutuhan cairan iperasi + 50% kebutuhan cairan puasa
130 + 540 + 520 = 1190 cc
Beberapa saat sebelum operasi selesai diberikan Ketorolac 30 mg IV serta Tramadol 100
mg IV sebagai analgesik setelah operasi. Ketorolac digunakan sebagai analgetik untuk
menghilangkan rasa nyeri tanpa mempengaruhi susunan saraf pusat. Ketorolac merupakan non-
13
steroid anti inflamasi yang bekerja menghambat sintesis prostaglandin sehingga dapat
menghilangkan rasa sakit. Ketorolac memiliki awal mula kerja yang lebih lambat namun
memiliki durasi kerja yang lebih lama (4-6 jam) serta lebih aman digunakan dibandingkan
dengan analgetik opioid dengan efek analgetik yang setara karena tidak ada efek samping berupa
depresi napas.
Tramadol merupakan analgesik kuat yang bekerja pada reseptor opiat. Tramadol
mengikat spesifik pada reseptor di sistem saraf pusat sehingga memblok sensasi nyeri dan respon
terhadap nyeri. Disamping itu, tramadol menghambat pelepasan neurotransmiter dari saraf aferen
yang sensitif terhadap rangsang, sehingga impuls nyeri terhambat.
Pronalges adalah obat analgetik dengan kandungan ketoprofen yang merupakan golongan
NSAID. Indikasi ketoprofen adalah pengobatan artritis reumatoid & osteoartritis akut & kronis,
nyeri sesudah operasi, setelah melahirkan, & bedah tulang. Pada pasien ini diberikan pronalges
100 mg supp sebagai analgetik untuk mengurangi nyeri setelah operasi.
Misoprostol adalah analog prostaglandin E1 sintetis. Sebagai analog prostaglandin E1
sintetis, misoprostol bersifat uterotonika dan memiliki efek dalam pelebaran serviks.
prostaglandin E1 merangsang kontraksi uterus. Pada serviks, misoprostol menyebabkan
peningkatan aktivitas kolagenase dan mengubah komposisi proteoglikan sehingga menyebabkan
pelembutan dan penipisan serviks. Di bidang obstetri-ginekologi, efek ini dimanfaatkan untuk
aborsi elektif, induksi persalinan, dan untuk evakuasi uterus dalam kasus kematian janin
intrauterin. Efek kontraksi uterus juga bermanfaat untuk mencegah dan mengatasi perdarahan
pospartum.
Kateter urin dipasang pada pasien ini karena dengan dilakukannya anestesi spinal, dapat
terjadi retensi urin akibat blokade sentral yang menyebabkan atonia vesica urinaria sehingga
volume urin menjadi banyak dan kenaikan tonus sfingter. Selain itu pada anestesi spinal laju
filtrasi glomerulus dapat turun sebesar 5-10%.
Perawatan pasien post operasi dilakukan di Recovery Room dan setelah dipastikan pasien
pulih, pasien dibawa kembali ke ruang perawatan untuk dipantau lebih lanjut.
14
BAB V
TINJAUAN PUSTAKA
V Anestesi Spinal
V.1 Definisi
Anestesi spinal (subaraknoid) adalah anestesi regional dengan tindakan penyuntikan obat
anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesi spinal/subaraknoid disebut juga sebagai
blok spinal intradural atau blok intratekal. Anestesi spinal dihasilkan bila kita menyuntikkan
15
obat analgesik lokal ke dalam ruang subarachnoid di daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-
L4 atau L4-L5.
V.2 Mekanisme Kerja Anestesi Regional
Zat anestesi lokal memberikan efek terhadap semua sel tubuh, dimana tempat kerjanya
khususnya pada jaringan saraf. Penggunaan pada daerah meradang tidak akan memberi hasil
yang memuaskan oleh karena meningkatnya keasaman jaringan yang mengalami peradangan
sehingga akan menurunkan aktifitas dari zat anestesi lokal (pH sekitar 5).
Anestesi lokal mencegah pembentukan dan konduksi impuls saraf, efeknya pada
aksoplasma hanya sedikit saja. Sebagaimana diketahui, potensial aksi saraf terjadi karena
adanya peningkatan sesaat (sekilas) pada permeabilitas membran terhadap ion Na akibat
depolarisasi ringan pada membran. Proses inilah yang dihambat oleh obat anestesi lokal
dengan kanal Na+ yang peka terhadap perubahan voltase muatan listrik (voltase sensitive
Na+ channels). Dengan bertambahnya efek anestesi lokal di dalam saraf, maka ambang
rangsang membran akan meningkat secara bertahap, kecepatan peningkatan potensial aksi
menurun, konduksi impuls melambat dan faktor pengaman (safety factor) konduksi saraf
juga berkurang. Faktor-faktor ini akan mengakibatkan penurunan kemungkinan menjalarnya
potensial aksi, dan dengan demikian mengakibatkan kegagalan konduksi saraf. Ada
kemungkinan zat anestesi lokal meninggikan tegangan permukaan lapisan lipid yang
merupakan membran sel saraf, sehingga terjadi penutupan saluran (channel) pada membran
tersebut sehingga gerakan ion (ionik shift) melalui membran akan terhambat. Zat anestesi
lokal akan menghambat perpindahan natrium dengan aksi ganda pada membran sel berupa :
1. Aksi kerja langsung pada reseptor dalam saluran natrium.
Cara ini akan terjadi sumbatan pada saluran, sehingga natrium tak dapat keluar
masuk membran. Aksi ini merupakan hampir 90% dari efek blok. Percobaan dari Hille
menegaskan bahwa reseptor untuk kerja obat anestesi lokal terletak di dalam saluran
natrium.
2. Ekspansi membran.
16
Bekerja non spesifik, sebagai kebalikan dari interaksi antara obat dengan reseptor.
Aksi ini analog dengan stabilisasi listrik yang dihasilkan oleh zat non-polar lemak
misalnya barbiturat, anestesi umum dan benzocaine.
Untuk dapat melakukan aksinya, obat anestesi lokal pertama kali harus dapat
menembus jaringan, dimana bentuk kation adalah bentuk yang diperlukan untuk
melaksanakan kerja obat di membran sel. Jadi bentuk kation yang bergabung dengan
reseptor di membran sel yang mencegah timbulnya potensial aksi. Agar dapat melakukan
aksinya, obat anestesi spinal pertama kali harus menembus jaringan sekitarnya.
V.3 Teknik Anestesi Spinal
Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis tengah ialah
posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja operasi tanpa dipindah
lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien. Perubahan posisi berlebihan
dalam 30 menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat. Adapun langkah-langkah
dalam melakukan anestesi spinal adalah sebagai berikut :
1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral dekubitus. Beri bantal
kepala, selain nyaman untuk pasien juga supaya tulang belakang stabil. Buat pasien
membungkuk maksimal agar processus spinosus mudah teraba. Posisi lain adalah duduk.
2. Penusukan jarum spinal dapat dilakukan pada L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-
L2 atau diatasnya berisiko trauma terhadap medulla spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol.
17
4. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1-2% 2-3 ml.
5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G, 23G, 25G dapat
langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G atau 29G dianjurkan
menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik biasa semprit 10cc. Tusukkan
introduser sedalam kira-kira 2cm agak sedikit kearah sefal, kemudian masukkan jarum
spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Jika menggunakan jarum tajam
(Quincke-Babcock) irisan jarum (bevel) harus sejajar dengan serat duramater, yaitu pada
posisi tidur miring bevel mengarah keatas atau kebawah, untuk menghindari kebocoran
likuor yang dapat berakibat timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah resensi
menghilang, mandrin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi obat
dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya
untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau anda yakin ujung jarum spinal pada
posisi yang benar dan likuor tidak keluar, putar arah jarum 90º biasanya likuor keluar.
Untuk analgesia spinal kontinyu dapat dimasukan kateter.
6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah hemoroid (wasir)
dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum dewasa ± 6cm.
V.4 Indikasi Anestesi Spinal
Adapun indikasi untuk dilakukannya anestesi spinal adalah untuk pembedahan daerah
tubuh yang dipersarafi cabang T4 ke bawah (daerah papila mammae ke bawah). Anestesi
spinal ini digunakan pada hampir semua operasi abdomen bagian bawah (termasuk operasi
steril), perineum dan kaki.
V.5 Kontraindikasi
Pada Anestesi spinal terdapat kontraindikasi absolut dan relatif. Kontraindikasi Absolut
diantaranya penolakan pasien, infeksi pada tempat suntikan, hipovolemia, penyakit
neurologis yang tidak diketahui, koagulopati, dan peningkatan tekanan intrakanial, kecuali
pada kasus-kasus pseudotumor cerebri. Sedangkan kontraindikasi relatif meliputi sepsis pada
18
tempat tusukan (misalnya, infeksi ekstremitas korioamnionitis atau lebih rendah) dan lama
operasi yang tidak diketahui. Dalam beberapa kasus, jika pasien mendapat terapi
antibiotik dan tanda-tanda vital stabil, anestesi spinal dapat dipertimbangkan, sebelum
melakukan anestesi spinal, ahli anestesi harus memeriksa kembali pasien untuk mencari
adanya tanda-tanda infeksi, yang dapat meningkatkan risiko meningitis.
Syok hipovolemia pra operatif dapat meningkatkan risiko hipotensi setelah pemberian
anestesi spinal. Tekanan intrakranial yang tinggi juga dapat meningkatkan risiko herniasi
uncus ketika cairan serebrospinal keluar melalui jarum, jika tekanan intrakranial meningkat.
Setelah injeksi anestesi spinal, herniasi otak dapat terjadi.
Kelainan koagulasi dapat meningkatkan resiko pembentukan hematoma, hal ini penting
untuk menentukan jumlah waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan operasi sebelum
melakukan induksi anestesi spinal. Jika durasi operasi tidak diketahui, anestesi spinal yang
diberikan mungkin tidak cukup panjang untuk menyelesaikan operasi dengan mengetahui
durasi operasi membantu ahli anestesi menentukan anestesi lokal yang akan digunakan,
penambahan terapi spinal seperti epinefrin dan apakah kateter spinal akan diperlukan.
Pertimbangan lain saat melakukan anestesi spinal adalah tempat operasi, karena operasi
diatas umbilikus akan sulit untuk menutup dengan tulang belakang sebagai teknik tunggal.
Anestesi spinal pada pasien dengan penyakit neurologis seperti multiple sclerosis masih
kontroversial karena dalam percobaan in vitro didapatkan bahwa saraf demielinisasi lebih
rentan terhadap toksisitas obat bius lokal.
Penyakit jantung yang level sensorik di atas T6 merupakan kontraindikasi relatif terhadap
anestesi spinal seperti pada stenosis aorta, dianggap sebagai kontraindikasi mutlak untuk
anestesi spinal, sekarang mungkin menggabungkan pembiusan spinal dilakukan dengan hati-
hati, dalam perawatan anestesi mereka deformitas dari kolumna spinalis dapat meningkatkan
kesulitan dalam menempatkan anestesi spinal. Arthritis, kyphoscoliosis, dan operasi fusi
lumbal dalam kemampuan dokter anestesi untuk performa anestesi spinal. Hal ini penting
untuk memeriksa kembali pasien untuk menentukan kelainan apapun pada anatomi sebelum
mencoba anestesi spinal.
V.6 Komplikasi
19
Komplikasi analgesia spinal dibagi menjadi komplikasi dini dan komplikasi lambat.
Komplikasi berupa gangguan pada sirkulasi, respirasi dan gastrointestinal.
a. Komplikasi sirkulasi :
1. Hipotensi
Tekanan darah yang turun setelah anestesi spinal sering terjadi. Biasanya
terjadinya pada 10 menit pertama setelah suntikan, sehingga tekanan darah perlu
diukur setiap 10 menit pertama setelah suntikan, sehingga tekanan darah perlu diukur
setiap 2 menit selama periode ini. Jika tekanan darah sistolik turun dibawah 75
mmHg (10 kPa), atau terdapat gejala-gejala penurunan tekanan darah, maka kita
harus bertindak cepat untuk menghindari cedera pada ginjal, jantung dan
otak. Hipotensi terjadi karena vasodilatasi, akibat blok simpatis, makin tinggi blok
makin berat hipotensi.
Pencegahan hipotensi dilakukan dengan memberikan infuse cairan kristaloid
(NaCl, Ringer laktat) secara cepat segera setelah penyuntikan anestesi spinal dan juga
berikan oksigen. Bila dengan cairan infus cepat tersebut masih terjadi hipotensi harus
diobati dengan vasopressor seperti efedrin 15-25 mg intramuskular. Jarang terjadi,
blok spinal total dengan anestesi dan paralisis seluruh tubuh. Pada kasus demikian,
kita harus melakukan intubasi dan melakukan ventilasi paru, serta berikan
penanganan seperti pada hipotensi berat. Dengan cara ini, biasanya blok spinal total
dapat diatasi dalam 2 jam.
2. Bradikardia
Bradikardia dapat terjadi karena aliran darah balik berkurang atau karena blok
simpatis. Jika denyut jantung di bawah 65 kali per menit, berikan atropin 0,5 mg
intravena.
3. Sakit Kepala
Sakit kepala pasca operasi merupakan salah satu komplikasi anestesi spinal yang
sering terjadi. Sakit kepala akibat anestesi spinal biasanya akan memburuk bila pasien
duduk atau berdiri dan hilang bila pasien berbaring. Sakit kepala biasanya pada
20
daerah frontal atau oksipital dan tidak ada hubungannya dengan kekakuan leher. Hal
ini disebabkan oleh hilangnya cairan serebrospinal dari otak melalui pungsi dura,
makin besar lubang, makin besar kemungkinan terjadinya sakit kepala. Ini dapat
dicegah dengan membiarkan pasien berbaring secara datar (boleh menggunakan satu
bantal) selama 24 jam.
4. Komplikasi Respirasi
a) Analisa gas darah cukup memuaskan pada blok spinal tinggi, bila fungsi paru-
paru normal.
b) Penderita PPOM atau COPD merupakan kontra indikasi untuk blok spinal
tinggi.
c) Apnoe dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi atau karena
hipotensi berat dan iskemia medulla.
d) Kesulitan bicara,batuk kering yang persisten,sesak nafas, merupakan tanda-
tanda tidak adekuatnya pernafasan yang perlu segera ditangani dengan pernafasan
buatan.
5. Komplikasi gastrointestinal
Nausea dan muntah karena hipotensi, hipoksia, tonus parasimpatis berlebihan,
pemakaian obat narkotik, reflek karena traksi pada traktus gastrointestinal serta
komplikasi delayed, pusing kepala pasca pungsi lumbal merupakan nyeri kepala dengan
ciri khas terasa lebih berat pada perubahan posisi dari tidur ke posisi tegak. Mulai terasa
pada 24-48 jam pasca pungsi lumbal, dengan kekerapan yang bervariasi. Pada orang tua
lebih jarang dan pada kehamilan meningkat.
V.7 Obat-Obat Anestesi Spinal
1. Bupivakain
Bupivakain merupakan obat anestesi lokal dengan rumus bangun sebagai berikut : 1-
butyl-N-(2,6-dimethylphenyl)-piperidecarboxamide hydrochloride. Bupivakain adalah
21
derivat butil dari mepivakain yang kurang lebih tiga kali lebih kuat daripada asalnya. Obat ini
bersifat long acting dan disintesa oleh BO af Ekenstem dan dipakai pertama kali pada tahun
1963. Secara komersial bupivakain tersedia dalam 5 mg/ml solutions. Dengan kecenderungan
yang lebih menghambat sensoris daripada motoris menyebabkan obat ini sering digunakan
untuk analgesia selama persalinan dan pasca bedah. Pada tahun-tahun terakhir, larutan
bupivakain baik isobarik maupun hiperbarik telah banyak digunakan pada blok
subrakhnoid untuk operasi abdominal bawah. Pemberian bupivakain isobarik, biasanya
menggunakan konsentrasi 0,5%, volume 3-4 ml dan dosis total 15-20 mg, sedangkan
bupivakain hiperbarik diberikan dengan konsentrasi 0,5%, volume 2-4 ml dan total dosis 15-
22,5 mg.
Bupivakain dapat melewati sawar darah uri tetapi hanya dalam jumlah kecil. Bila
diberikan dalam dosis ulangan, takifilaksis yang terjadi lebih ringan bila dibandingkan
dengan lidokain. Salah satu sifat yang paling disukai dari bupivakain selain dari kerjanya
yang panjang adalah sifat blockade motorisnya yang lemah. Toksisitasnya lebih kurang sama
dengan tetrakain. Bupivakain juga mempunyai lama kerja yang lebih panjang dari lignokain
karena mempunyai kemampuan yang lebih besar untuk mengikat protein. Untuk
menghilangkan nyeri pada persalinan, dosis sebesar 30 mg akan memberikan rasa bebas
nyeri selama 2 jam disertai blokade motoris yang ringan. Analgesik paska bedah dapat
berlangsung selama 4 jam atau lebih, sedangkan pemberian dengan tehnik anestesi kaudal
akan memberikan efek analgesik selama 8 jam atau lebih. Pada dosis 0,25 – 0,375 %
merupakan obat terpilih untuk obstetrik dan analgesik paska bedah. Konsentrasi yang lebih
tinggi (0,5 – 0,75 %) digunakan untuk pembedahan. Konsentrasi infiltrasi 0,25 - 0.5 %, blok
saraf tepi 0,25 – 0,5 %, epidural 0,5 – 0,75 %, spinal 0,5 %. Dosis maksimal pada pemberian
tunggal adalah 175 mg. Dosis rata-ratanya 1 – 2 mg / kgBB.
2. Efedrin
Efedrin (ephedrine) merupakan simpatomimetik yang didapat dari tanaman genus
Ephedra (misalnya Ephedra vulgaris) dan telah digunakan luas di Cina dan India Timur sejak
5000 tahun yang lalu. Pengobatan tradisional Cina menyebut efedrin dengan nama Ma
huang. Efedrin mempunyai rumus molekul C10H15NO dan nama lainnya adalah α-hydroxy-
β-methylaminopropylbenzene.
22
Efedrin telah banyak digunakan dalam praktek kedokteran termasuk dalam bidang
Anestesi. Efedrin bekerja pada reseptor α dan β, termasuk α1, α2, β1 dan β2, baik bekerja
langsung ataupun tidak langsung. Efek tidak langsung yaitu dengan merangsang pelepasan
noradrenalin. Efedrin 25 mg sampai 50 mg intramuskular atau subkutan bisa digunakan
untuk mengatasi keadaan hipotensi, 25 mg per oral sekali sehari untuk mengatasi hipotensi
ortostatik, juga sebagai bronkodilator dan dekongestan. Gangguan-gangguan alergi juga bisa
diatasi dengan efedrin, seperti asma bronkhial, kongesti nasal karena akut koriza, rhinitis dan
sinusitis. Efedrin 25 atau 30 mg subkutan, intramuskular atau intravena lambat) dapat juga
untuk mengatasi bronkospasme tetapi epinefrin lebih efektif.
Penggunaan efedrin di bidang anestesi pada kasus hipotensi akibat regional anestesi, baik
oleh karena spinal ataupun epidural anestesi. Pemberian efedrin 10-25 mg iv pada orang
dewasa sebagai pilihan simpatomimetik mengatasi blokade susunan saraf simpatis yang
disebabkan anestesi regional ataupun untuk mengatasi efek hipotensi yang disebabkan obat-
obat anestesi. Untuk Ibu hamil yang menjalani prosedur seksio sesarea dengan spinal
anestesi, efedrin merupakan pilihan mengatasi hipotensi yang diakibatkan oleh spinal
anestesi. Efedrin selain meningkatkan tekanan darah, sejalan dengan itu memperbaiki aliran
darah plasenta.
Selain itu efedrin juga digunakan untuk mengatasi hipotensi akibat induksi dengan
propofol. Efedrin juga mampu mempercepat mula kerja rokuronium. Efedrin mencegah nyeri
akibat injeksi propofol. Pencampuran efedrin dengan propofol dapat menjaga kestabilan
hemodinamik dan mencegah nyeri akibat suntikan propofol.
2. Farmakokinetik
Efedrin dapat diberikan secara oral, topikal maupun parenteral. Efedrin dapat diserap
secara utuh dan cepat pada pemberian oral, subkutan ataupun intramuskular. Bronkodilatasi
terjadi dalam 15-60 menit setelah pemberian oral dan bertahan selama 2-4 jam. Absorbsi
efedrin yang diberikan lewat jalur intramuskular lebih cepat (10-20 menit) dibanding dengan
pemberian subkutan. Pada pemberian intravena, efek klinik dapat langsung diobservasi.
Lama kerja terhadap efek tekanan darah bertahan sampai 1 jam pada pemberian parenteral
23
dan dapat bertahan selama 4 jam pada pemberian secara oral. Efedrin juga dilaporkan
melewati plasenta dan terdistribusi pada air susu ibu.
Efedrin dimetabolisme oleh liver dalam jumlah kecil melalui deaminasi oksidasi,
demetilasi, hidroksilasi aromatis dan konjugasi. Metabolitnya adalah p-hidroksiefedrin, p-
hidroksinorefedrin, norefedrin dan konjugasinya. Efedrin dan metabolitnya diekskresi
terutama melalui urine dan dalam bentuk tidak berubah. Eliminasi efedrin dan metabolitnya
dipengaruhi oleh asiditas urine. Eliminasi paruh waktu efedrin dilaporkan 3 jam pada pH urin
5 dan 6 jam pada pH urin. Efek puncak efedrin terhadap curah jantung dicapai sekitar 4
menit setelah injeksi.
3. Efek terhadap kardiovaskular
Efek kardiovaskular dari efedrin menyerupai epinefrin, tetapi respon kenaikan tekanan
darah sistemik kurang dibanding efedrin. Efedrin membutuhkan 250 kali dibandingkan
epinefrin untuk mendapatkan efek kenaikan tekanan darah yang sama. Pemberian efedrin
intravena meningkatkan tekanan darah, denyut jantung dan curah jantung. Aliran darah renal
dan splanik menurun, tetapi aliran darah koroner dan otot skelet meningkat. Resistensi
vaskular sistemik berubah karena vasokonstriksi pada vascular beds diimbangi dengan
vasodilatasi oleh stimulasi β2 pada tempat-tempat yang lain. Efek kardiovaskular tersebut
pada reseptor α menyebabkan vasokonstriksi arteri dan vena di perifer.
Mekanisme utama efek efedrin terhadap kardiovaskular adalah dengan meningkatkan
kontraktilitas otot jantung dengan aktivasi reseptor β1. Dengan adanya antagonis reseptor β
maka efek efedrin terhadap kardiovaskular adalah dengan stimulasi reseptor α.
Dosis kedua efedrin setelah pemberian dosis awal mempunyai efektifitas lebih rendah
dibanding dosis awal. Fenomena ini dikenal dengan istilah takifilaksis, yang mana juga
terjadi pada simpatomimetik dan berhubungan dengan masa kerja obat. Takifilaksis terjadi
oleh karena blokade reseptor adrenergik secara persisten. Sebagai contoh, efedrin
menyebabkan aktivasi reseptor adrenergik bahkan setelah peningkatan tekanan darah
sistemik terjadi pada subdosis. Ketika efedrin diberikan pada saat itu, reseptornya bisa
menempati batas minimal efedrin untuk peningkatan tekanan darah. Takifilaksis mungkin
karena kekurangan simpanan norepinefrin.
24
3. Kontra Indikasi
Kontra indikasi termasuk riwayat hipertensi, tirotoksikosis, angina pectoris, aritmia dan
gagal jantung.
4. Toksisitas efedrin
Dosis besar efedrin parenteral dapat menyebabkan bingung, delirium, halusinasi atau
euphoria. Paranoid psikosis dan halusinasi penglihatan dan pendengaran bisa terjadi pada
dosis yang sangat besar. Efedrin bisa juga menyebabkan sakit kepala, kesulitan bernafas,
demam atau merasa hangat, merasa kering pada hidung atau tenggorokan, takikardi, aritmia,
nyeri dada, berkeringat, tidak nyaman di perut, muntah, retensi urine, hipertensi yang
akibatnya perdarahan intrakranial, mual dan hilangnya selera makan.
Dalam suatu laporan disebutkan seorang wanita 21 tahun mengkonsumsi efedrin 6 tablet
(120 mg). Tekanan darah mencapai 210/110 mmHg dan diatasi dengan lidokain dan
nitroprusside dan tekanan darah turun dalam 9 jam kemudian. Seorang pemuda 19 tahun
menelan tablet yang berisi 24 mg efedrin dan 100 mg kafein dan 15 menit kemudian
mengalami nyeri dada hebat dan menjalar ke lengan kiri. Untuk kasus ini juga diatasi dengan
lidokain dan nitroprusside.
Teknik Anestesi Spinal
Anestesi spinal adalah suatu metode anestesi dengan menyuntikkan obat analgetik lokal
kedalam ruang subarachnoid di daerah lumbal. Cara ini sering digunakan pada persalinan per
vaginam dan pada seksio sesarea tanpa komplikasi. Pada seksio sesarea blokade sensoris
spinal yang lebih tinggi penting. Hal ini disebabkan karena daerah yang akan dianestesi lebih
luas, diperlukan dosis agen anestesi yang lebih besar, dan ini meningkatkan frekuensi serta
intensitas reaksi-reaksi toksik.
1. Teknik anestesi spinal pada seksio sesarea
Pada tindakan premedikasi sekitar 15-30 menit sebelum anestesi, berikan antasida, dan
lakukan observasi tanda vital. Setelah tindakan antisepsis kulit daerah punggung pasien dan
25
memakai sarung tangan steril, pungsi lumbal dilakukan dengan menyuntikkan jarum lumbal
(biasanya no 23 atau 25) pada bidang median setinggi vertebra L3-4 atau L4-5. Jarum lumbal
akan menembus berturut-turut beberapa ligamen, sampai akhirnya menembus duramater -
subarachnoid. Setelah stilet dicabut, cairan serebro spinal akan menetes keluar. Selanjutnya
disuntikkan larutan obat analgetik lokal kedalam ruang subarachnoid tersebut.
Keberhasilan anestesi diuji dengan tes sensorik pada daerah operasi, menggunakan jarum
halus atau kapas. Daerah pungsi ditutup dengan kasa dan plester, kemudian posisi pasien
diatur pada posisi operasi.
2. Indikasi anestesi spinal pada seksio sesarea
Biasanya anestesi spinal dilakukan untuk pembedahan pada daerah yang diinervasi oleh
cabang Th.4 (papila mammae kebawah) :
1) Vaginal delivery
2) Ekstremitas inferior
3) Seksio sesarea
4) Operasi perineum
5) Operasi urologic
3. Kontra indikasi anestesi spinal pada seksio sesarea :
1) Infeksi tempat penyuntikan
2) Gangguan fungsi hepar
3) Gangguan koagulasi
4) Tekanan itrakranial meninggi
5) Alergi obat lokal anstesi
6) Hipertensi tak terkontrol
7) Pasien menolak
8) Syok hipovolemik
9) Sepsis
4. Obat anestesi spinal pada seksio sesarea :
Obat anestetik yang sering digunakan:
26
1) Lidocain 1-5 %
2) Bupivacain 0,25-0,75 %
5. Komplikasi anestesi spinal pada seksio sesarea :
1) Hipotensi
2) Brakikardi
3) Sakit kepala spinal (pasca pungsi)
4) Menggigil
5) Mual-muntah
6) Depresi nafas
7) Total spinal
8) Sequelae neurologic
9) Penurunan tekanan intrakranial
10) Meningitis
11) Retensi urine
BAB VI
KESIMPULAN
Anestesi dibagi menjadi dua kelompok, yaitu : (1) anestesi lokal, yaitu suatu tindakan
menghilangkan nyeri lokal tanpa disertai hilangnya kesadaran, dan (2) anestesi umum yaitu
keadaan ketidaksadaran yang reversibel yang disebabkan oleh zat anestesi, disertai hilangnya
sensasi sakit pada seluruh tubuh.
27
Daftar Pustaka
1. Dobson, Michael B. 2012. Penuntun Praktis Anestesi. Jakarta : EGC
2. Mangku, Gde, dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Jakarta : PT. Indeks
3. Prawirohardjo, Sarwono. 2010. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Bina Pustaka
28