refreshing new

45
LAPORAN KASUS Stroke Infark Disusun Oleh : Erlyn Yulita Cendykia 2011730028 Dokter Pembimbing : Dr. Adre Mayza, SpS KEPANITERAAN KLINIK STASE NEUROLOGI 1

Upload: anisah-noviariyanti

Post on 07-Dec-2015

271 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

LAPORAN KASUS

Stroke Infark

Disusun Oleh :

Erlyn Yulita Cendykia 2011730028

Dokter Pembimbing :

Dr. Adre Mayza, SpS

KEPANITERAAN KLINIK STASE NEUROLOGI

RS. ISLAM CEMPAKA PUTIH

2015

1

LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny A

Jenis kelamin : Perempuan

Usia :81 tahun

Agama :Islam

Pekerjaan : Tidak Bekerja

Alamat : Kemayoran

ALLO-ANAMNESIS

Keluhan Utama : tangan dan kaki susah digerakan pasca cedera kepala

Riwayat Penyakit Sekarang

Os datang ke poli syaraf RSIJ Cempaka putih bersama keluarganya

mengeluh tangan dan kaki kiri sulit digerakan pasca cedera kepala, dimana 2 hari

yang lalu os terjatuh di ruang tamu dengan posisi kepala bagian depan terbentur

tembok. Os mengeluh kepala nya pusing, pusing yang dirasakan tidaklah berputar.

Menurut keluarga pasien adanya sakit kepala dan muntah proyektil disangkal.

Pasca trauma kepala, keluarga mengeluh bahwa ibunya menjadi pelo saat

berbicara. Adanya riwayat perdarahan dari hidung, telinga dan mulut disangkal.

Adanya penurunan kesadaran, gangguan menelan, kejang disangkal. Pasien

mengeluh nyeri ulu hati.

Riwayat Penyakit Dahulu

Sebelumnya keluarga pasien mengaku bahwa ibunya pernah mengalami

hipertensi, namun os minum obat penurun tekanan darah.

Riwayat stroke disangkal

2

Riwayat penyakit DM, jantung dan penyakit ginjal disangkal.

Riwayat Penyakit keluarga

Riwayat penyakit yang sama disangkal, riwayat DM disangkal

Riwayat Psikososial : Pasien tidak merokok dan mengonsumsi alkohol.

STATUS GENERALIS

PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Composmentis

Tanda Vital

- TD : 160/90mmHg

- Nadi : 88 kali/menit (reguler)

- Respirasi : 20 kali/menit (reguler)

- Suhu : 36,30C

Status Generalis

Kepala : Normochepal

Mata : Anemis (-/-), ikterik (-/-), edema palpebra (-/-),

hematoma

sekitar palpebra +/+

Hidung : Normonasi, deviasi septum (-), sekret (-)

Mulut : Mukosa bibir kering (-), sianosis (-), lidah tremor

(-),

faring hiperemis (-), tonsil T1-T1, gigi geligi tidak lengkap

Telinga : Normotia, sekret (-)

Leher    : KGB tidak membesar, JVP tidak meningkat

Thorax

Jantung : BJ I-II murni reguler, murmur (-), gallop(-)

Paru : vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Abdomen

3

Inspeksi : Bentuk datar

Perkusi : Timpani

Palpasi : Supel, nyeri tekan (+), organomegali (-)

Auskultasi : BU (+) normal

Ekstremitas

Atas : Akral hangat, RCT < 2 detik, edema (-/-), sianosis (-/-)

Bawah : Akral hangat, RCT < 2 detik, edema (-/-),sianosis (-/-)

STATUS NEUROLOGIK

Kesadaran : Composmentis

GCS : E5 M5 V6

Rangsang Meningeal

Tidak dilakukan

Saraf Kranial

N.I (Olfaktorius)

Dextra Sinistra

Daya pembau Normosmia Normosmia

N.II (Optikus )

Dextra Sinistra

Tajam Penglihatan Menurun menurun

Pengenalan Warna Sulit dinilai Sulit dinilai

FunduskopiTidak dilakukanPapil edema

Arteri:Vena

N.III (Okulomotorius)

Dextra Sinistra

Ptosis + +

Gerakan Bola Mata Medial

Sulit dinilaiSulit dinilai

4

Atas Bawah

Ukuran Pupil Pupil bulat isokor Ø ODS ±3 mm

Refleks Cahaya Langsung

+ +

Refleks Cahaya Konsensual

+ +

Akomodasi Baik Baik

N.IV (Trokhlearis)

Dextra Sinistra

Gerakan Mata Medial Bawah

Baik Baik

N.V (Trigeminus)

Menggigit Normal

Membuka mulut Normal

Sensibilitas Oftalmikus Maksilaris Mandibularis

+++

Refleks kornea +

N.VI (ABDUSENS)

Dextra Sinistra

Gerakan mata ke lateral + +

N.VII (FASIALIS)

Dextra Sinistra

Mengangkat alis + +

Kerutan dahi + +

Menutup mata Normal Normal

Menyeringai Normal Tertinggal

5

N.VIII (Vestibulochoclearis)

Dextra Sinistra

Tes bisik Menurun Menurun

Tes RinneTidak dilakukanTes Weber

Tes Schwabach

N. IX (Glosofaringeus) Dan N. X (Vagus)

Arkus faring Gerakan simetris

Daya Kecap Lidah 1/3 belakang Tidak dilakukan

Uvula Letak di tengah

Menelan Normal

Refleks muntah +

N. XI (Aksesorius)

Dextra Sinistra

Memalingkan kepala Baik Baik

Mengangkat bahu Baik Baik

N.XII (Hipoglosus)

Sikap lidah Deviasi ke kiri

Fasikulasi -

Tremor lidah -

Atrofi otot lidah -

Motorik

Kekuatan Otot 5555 0000

5555 0000

6

Tonus otot : Normal

Atrofi : Tidak ada

Sensorik

Dextra Sinistra

Rasa Raba- Ekstremitas Atas- Ekstremitas Bawah

++

++

Rasa Nyeri- Ekstremitas Atas- Ekstremitas Bawah

++

++

Rasa Suhu- Ekstremitas Atas- Ekstremitas Bawah

Tidak dilakukan

Refleks Fisiologi

Dextra Sinistra

Bisep + -

Trisep + -

Brachioradialis + -

Patella + -

Achilles + -

Reflex Patologis

Dextra Sinistra

Babinski - +

Chaddocck - -

Oppenheim - -

Gordon - -

Schaeffer - -

Gonda - -

Hoffman Trommer - -

7

DIAGNOSIS

Diagnosis Klinis : hemiparesis sinistra

Diagnosis Etiologi : cedera kepala

Diagnosis topis : -

Diagnosis Patologis : -

RENCANA PEMERIKSAAN PENUNJANG

CT-Scan Kepala

Ro Thorax

EKG

Laboratorium : Hb, Ht, Leukosit, Trombosit, PT, APTT, GDS, GDP,

Profil lipid: kolesterol total, LDL, HDL

PENATALAKSANAAN

Medikamentosa :

ranitidin 2x1

neurobion 2x1

PROGNOSIS

Quo ad vitam : dubia ad bonam

Quo ad functionam : dubia ad malam

8

Tinjauan Pustaka

A. Anatomi Kepala

1) Kulit Kepala (Scalp)

Kulit kepala terdiri dari 5 lapisanyang disebut SCALP yaitu:

1. Skin atau kulit

2. Connective Tissue atau jaringan penyambung

3. Aponeurosis atau galea aponeurotika yaitu jaringan ikat yang

berhubungan langsung dengan tengkorak

4. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar

5. Perikarnium

Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga bila terjadi

perdarahan akibat laserasi kulit kepala akan menyebabkan banyak

kehilangan darah terutama pada anak-anak atau penderita dewasa yang

cukup lama terperangkap sehingga membutuhkan waktu lama untuk

mengeluarkannya.

2) Tulang Tengkorak

Tulang tengkorak atau kranium terdiri dari kalvarium dan basis

kranii, di regio temporal tulang tipis, namun disini dilapisi oleh otot

temporalis. Basis kranii berbentuk tidak rata dan tidak teratur sehingga

cedera pada kepala dapat menyebabkan kerusakan pada bagian dasar

otak yang bergerak akibat cedera akselerasi dan deselerasi. Rongga

tengkorak dasar dibagi atas tiga fosa yaitu anterior, media dan posterior.

Fosa anterior adalah tempat lobus frontalis, fosa media tempat lobus

9

temporalis dan fosa posterior adalah ruang bagi batang otak bawah dan

serebelum.

10

3) Meningen

Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak, terdiri dari tiga

lapisan yaitu: duramater, araknoid dan piamater. Duramater adalah

selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat

dengan tabula interna atau bagian dalam kranium. Duramater tidak

melekat dengan lapisan dibawahnya (araknoid), terdapat ruang subdural.

Pada cedera kepala, pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak

menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging

veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural.

Arteri-arteri meningea terletak antara duramater dan tabula interna

tengkorak, jadi terletak di ruang epidural. Yang paling sering mengalami

cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis

(fosa media). Dibawah duramater terdapat araknoid yang merupakan

lapisan kedua dan tembus pandang. Lapisan yang ketiga adalah piamater

yang melekat erat pada permukaan korteks serebri. Cairan serebrospinal

bersirkulasi diantara selaput araknoid dan piameter dalam ruang sub

araknoid.

4) Otak

Otak manusia terdiri dari serebrum,serebelum dan batang otak.

Serebrum terdiri atas hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falks

serebri(lipatan duramater yang berada di inferior sinus sagitalis superior).

Hemisfer otak yang mengandung pusat bicara sering disebut sebagai

hemisfer dominan. Lobus frontalis berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi

motorik dan pada sisi dominan mengandung pusat ekspresi bicara (area

11

bicara motorik). Lobus parietalis berhubungan dengan orientasi ruang

dan fungsi sensorik. Lobus temporalis mengatur fungsi memori tertentu.

Lobus occipitalis berukuran lebih kecil dan berfungsi dalam penglihatan.

Batang otak terdiri dari mesensefalon, pons dan medula oblongata.

Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikulasi yang

berfungsi dalam kesadaran dan kewaspadaan. Pada medula oblongata

berada pusat vital kardiorespiratorik yang terus memanjang sampai

medula spinalis di bawahnya. Serebellum bertanggung jawab dalam

fungsi koordinasi dan keseimbangan terletak dalam fosa posterior,

berhubungan dengan medula spinalis batang otak dan kedua hemisfer

serebri.

12

5) Cairan Serebrospinal

Cairan serebrospinal dihasilkan oleh pleksus khoroideus dengan

kecepatan produksi sebanyak 30 ml/jam. Pleksus khorideus terletak di

ventrikel lateralis baik kanan maupun kiri, mengalir melalui foramen

monro ke dalam ventrikel tiga. Selanjutnya melalui akuaduktus dari

sylvius menuju ventrikel ke empat, selanjutnya keluar dari sistem

ventrikel dan masuk ke ruang subaraknoid yang berada diseluruh

permukaan otak dan medula spinalis. CSS akan diserap ke dalam

sirkulasi vena melalui granulasio araknoid yang terdapat pada sinus

sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio

araknoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan

kenaikan tekanan intra kranial (hidrosefalus komunikans)

13

6) Tentorium

Tentorium serebelli membagi ruang tengkorak menjadi

supratentorial dan infratentorial. Mesensefalon menghubungkan hemisfer

serebri dengan batang otak berjalan melalui celah lebar tentorium

serebeli yang disebut insisura tentorial. Nervus oculomotorius(N.III)

berjalan di sepanjang tentorium, dan saraf ini dapat tertekan pada keadan

herniasi otak yang umumnya dikibatkan oleh adanya massa

supratentorial atau edema otak. Bagian otak yang sering terjadi herniasi

melalui insisura tentorial adalah sisi medial lobus temporalis yang

disebut girus unkus. Herniasi Unkus menyebabkan juga penekanan

traktus piramidalis yang berjalan pada otak tengah. Dilatasi pupil

ipsilateral disertai hemiplegia kontralateral dikenal sebagai sindrom

klasik herniasi tentorial. Jadi, umumnya perdarahan intrakranial tedapat

14

pada sisi yang sama dengan sisi pupil yang berdilatasi, walaupun tidak

selalu.

B. Cedera kepala1) DefnsI

Cedera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung atau

deselerasi terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan

otak.

2) Patofisiologi

Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu

cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera

pada kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat

disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun

oleh proses akselarasi deselarasi gerakan kepala. Dalam mekanisme

cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera

primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak

dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan

dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup.

Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara

mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara

tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semisolid)

menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan

intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak

membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan

dari benturan (contrecoup).

15

Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses

patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer,

berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan,

iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi.8

Kelainan-kelainan yang dapat diakibatkan oleh cidera kepala

Fraktur tengkorak

Fraktur tengkorak dapat terjadi pada kalvaria atau basis. Pada fraktur

kalvaria ditentukan apakah terbuka atau tertutup, linear atau stelata,

depressed atau non depressed. Fraktur tengkorak basal sulit tampak

pada foto sinar-x polos dan biasanya perlu CT scan dengan setelan

jendela-tulang untuk memperlihatkan lokasinya. Sebagai pegangan

umum, depressed fragmen lebih dari ketebalan tengkorak (> 1 tabula)

memerlukan operasi elevasi. Fraktura tengkorak terbuka atau compound

berakibat hubungan langsung antara laserasi scalp dan permukaan

serebral karena duranya robek, dan fraktura ini memerlukan operasi

perbaikan segera. Frekuensi fraktura tengkorak bervariasi, lebih banyak

fraktura ditemukan bila penelitian dilakukan pada populasi yang lebih

banyak mempunyai cedera berat. Fraktura kalvaria linear mempertinggi

risiko hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar

dan 20 kali pada pasien yang tidak sadar. Fraktura kalvaria linear

mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien

yang sadar dan 20 kali pada pasien yang tidak sadar. Untuk alasan ini,

adanya fraktura tengkorak mengharuskan pasien untuk dirawat dirumah

sakit untuk pengamatan, tidak peduli bagaimana baiknya tampak pasien

tersebut.

16

Lesi Intrakranial

Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa, walau

kedua bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk

hematoma epidural, hematoma subdural, dan kontusi (atau hematoma

intraserebral). Pasien pada kelompok cedera otak difusa, secara umum,

menunjukkan CT scan normal namun menunjukkan perubahan

sensorium atau bahkan koma dalam. Basis selular cedera otak difusa

menjadi lebih jelas pada tahun-tahun terakhir ini.

Hematoma Epidural

17

Epidural hematom (EDH) adalah suatu hematom yang cepat

berakumulasi diantara tulang tenngkorak dan duramater, biasanya

disebabkan oleh pecahnya arteri meningeal media. Paling sering terletak

diregio temporal atau temporal parietal. Jika tidaka diatasi akan

membawa kematian.

Gejala dan tanda EDH :

Hilangnya kesadaran posttraumatik / posttraumatic loss of

consciousness( LOC) secara singkat.

Terjadi “ lucid interval” untuk beberapa jam.

Keadaan mental yang kaku (obtundation), hemiparesis kontralateral,

dilatasi pupil ipsilateral.

Hematoma Subdural

Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi di antara

duramater dan arakhnoid. Hematoma subdural terjadi ketika vena diatara

duramater dan parenkim otak robek.

Gejala Klinis 

Gejala klinis  dari subdural hematom akut tergantung  dari ukuran hemat

om  dan  derajat  kerusakan  parenkim  otak.  Subdural  hematom biasan

ya bersifat unilateral. Gejala neurologiyang sering muncul adalah :

1. Perubahan  tingkat  kesadaran,  dalam  hal  ini  terjadi  penurunan ke

sadaran 

2. Dilatasi pupil ipsilateral hematom 

3. Kegagalan pupil ipsilateral bereaksi terhadap cahaya 

4. Hemiparesis kontralateral 

5. Papiledema 

Manifestasi  klinis  dari  subdural  hematom  kronik  biasanya tersembun

yi, dengan gejalagejala berupa penurunan kesadaran, gangguan keseimb

angan,  distungsi  kognitif  dan  gangguan  memori,  hemiparesis, sakit  

kepala,  dan  apasia.  Sakit  kepala  berfluktuasi  tergantung dari  derajat 

keparahan,  biasanya karena perubahan posisi.Pada pasien umur 60 tahu

18

n atau lebih,  hemiparesis  atau  refleks  yang  asimetris lebih  sering  ta

mpak. Sedangkan  pada  pasien  yang lebih  muda dari umur 60 tahun

gejala yang paling sering adalah sakit kepala.

Perdarahan subarakhnoid

Perdaraha yang terdapat pada ruang subarakhnoid, biasanya disertai

hilang kesadaran, nyeri kepala berat dan perubahan status mental yang

cepat

Kontusio

Kontusi serebral adalah perdarahan kecil disertai edema pada parenkim

otak. Dapat timbul perubahan patologi pada tempat cedera (coup) atau

ditempat yang berlawanan dari cedera (contre coup)

hematoma intraserebral

Biasanya terjadi karena cedera kepala berat, ciri khasnya adalah

hilangnya kesadaran dan nyeri kepala berat setelah sadar kembali.

3) Klasifikasi Cedera Kepala

Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis

dikenal 3 deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, berat dan

morfologi

Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas;

1. Cedera kepala tumpul; biasanya berkaitan dengan kecelakaan

lalu lintas, jatuh atau pukulan benda tumpul . Pada cedera

tumpul terjadi akselerasi dan deselerasi yang cepat

menyebabkan otak bergerak di dalam rongga cranial dan

melakukan kontak pada protuberans tulang tengkorak

19

2. Cedera tembus; disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan

Berdasarkan morfologinya cedera kepala dikelompokkan menjadi;

1. Fraktur kranium; Fraktur tengkorak dapat terjadi pada atap dan

dasar tengkorak . Fraktur dapat berupa garis/ linear, mutlipel dan

menyebar dari satu titik (stelata) dan membentuk fragmen-fragmen

tulang (kominutif). Fraktur tengkorak dapat berupa fraktur tertutup

yang secara normal tidak memerlukan perlakuan spesifik dan

fraktur tertutup yang memerlukan perlakuan untuk memperbaiki

tulang tengkorak .

20

2. Lesi intrakranial; dapat berbentuk lesi fokal (perdarahan

epidural, perdarahan subdural, kontusio, dan peradarahan

intraserebral), lesi difus dan terjadi secara bersamaan .

Kasifikasi cidera kepala berdasarkan beratya cidera

(a) Cedera Kepala Ringan (CKR) → termasuk didalamnya

Laseratio dan Commotio Cerebri

o Skor GCS 13-15

o Tidak ada kehilangan kesadaran, atau jika ada tidak lebih

dari 10 menit

o Pasien mengeluh pusing, sakit kepala

o Ada muntah, ada amnesia retrogad dan tidak ditemukan

kelainan pada pemeriksaan neurologist.

(b) Cedera Kepala Sedang (CKS)

o Skor GCS 9-12

o Ada pingsan lebih dari 10 menit

o Ada sakit kepala, muntah, kejang dan amnesia retrogad

o Pemeriksaan neurologis terdapat lelumpuhan saraf dan

anggota gerak.

(c) Cedera Kepala Berat (CKB)

o Skor GCS <8

o Gejalnya serupa dengan CKS, hanya dalam tingkat yang

lebih berat

21

o Terjadinya penurunan kesadaran secara progesif

o Adanya fraktur tulang tengkorak dan jaringan otak yang

terlepas.

4) Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik

1. Anamnesis

(a) Identifikasi pasien (nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan)

(b) Keluhan utama, dapat berupa :

Penurunan kesadaran

Nyeri kepala

Anamnesis tambahan :

(c) Kapan terjadinya ( untuk: mengetahui onset)

(d) Bagaimana mekanisme terjadinya trauma, bagian tubuh yang

terkena dan tingkat keparahannya ?

(e) Apakah ada pingsan ? bila iya , Apakah pernah sadar setelah

pingsan ?

(f) Apakah ada nyeri kepala, kejang, mual dan muntah ?

(g) Apakah ada perdarahan dari telinga, hidung dan mulut ?

(h) Riwayat AMPLE : Allergy, Medication (sebelumnya), Past

Illness (penyakit penyerta), Last Meal, Event/Environment

yang berhubungan dengan kejadian trauma

2. Pemeriksaan Fisik

1. Primary Survey

A. Airway, dengan kontrol servikal: Yang pertama harus dinilai

adalah jalan nafas, meliputi pemeriksaan adanya obstruksi

jalan nafas yang dapat disebabkan benda asing, fraktur tulang

wajah, fraktur mandibula atau maksila, fraktur laring atau

trakea.

Bila penderita dapat berbicara atau terlihat dapat berbicara

– jalan nafas bebas.

22

Bila penderita terdengar mengeluarkan suara seperti

tersedak atau berkumur - ada obstruksi parsial.

Bila penderita terlihat tidak dapat bernafas - obstruksi

total.

- Jika penderita mengalami penurunan kesadaran atau

GCS < 8 keadaan tersebut definitif memerlukan

pemasangan selang udara.

- Selama pemeriksaan jalan nafas, tidak boleh dilakukan

ekstensi, fleksi atau rotasi pada leher.

- Dalam keadaan curiga adanya fraktur servikal atau

penderita datang dengan multiple trauma, maka harus

dipasangkan alat immobilisasi pada leher, sampai

kemungkinan adanya fraktur servikal dapat

disingkirkan.

B. Breathing, dengan ventilasi yang adekuat

Pertukaran gas yang terjadi saat bernafas mutlak untuk

pertukaran oksigen dan mengeluarkan karbondioksida dari

tubuh. Ventilasi yang baik meliputi fungsi yang baik dari

paru, dinding dada, dan diafragma.

Pada inspeksi, baju harus dibuka untuk melihat ekspansi

pernafasan dan jumlah pernafasan per menit, apakah

bentuk dan gerak dada sama kiri dan kanan.

Perkusi dilakukan untuk mengetahui adanya udara atau

darah dalam rongga pleura.

Auskultasi dilakukan untuk memastikan masuknva udara

ke dalam paru-paru.

C. Circulation, dengan kontrol perdarahan

a. Volume darah

23

Suatu keadaan hipotensi harus dianggap hipovolemik

sampai terbukti sebaliknya.

Jika volume turun, maka perfusi ke otak dapat berkurang

sehingga dapat mengakibatkan penurunan kesadaran.

Penderita trauma yang kulitnya kemerahan terutama pada

wajah dan ekstremitas, jarang dalarn keadaan

hipovolemik. Wajah pucat keabu-abuan dan ekstremitas

yang dingin merupakan tanda hipovolemik.

Nadi

o Periksa kekuatan, kecepatan, dan irama

o Nadi yang tidak cepat, kuat, dan teratur :

normovolemia

o Nadi yang cepat, kecil : hipovolemik

o Kecepatan nadi yang normal bukan jaminan

normovolemia

o Tidak ditemukannya pulsasi dari arteri besar,

merupakan tanda diperlukan resusitasi segera.

b. Perdarahan

Perdarahan eksternal harus dikelola pada primary survey

dengan cara penekanan pada luka

D. Disability

Evaluasi terhadap keadaan neurologis secara cepat. Yang

dinilai adalah tingkat kesadaran, ukuran pupil dan reaksi pupil

terhadap cahaya dan adanya parese.

Suatu cara sederhana menilai tingkat kesadaran dengan AVPU

A : sadar (Alert)

V : respon terhadap suara (Verbal)

P : respon terhadap nyeri (Pain)

U : tidak berespon (Unresponsive)

Glasgow Coma Scale adalah sistem skoring sederhana dan

dapat memperkirakan keadaan penderita selanjutnya. Jika

24

belum dapat dilakukan pada primary survey, GCS dapat

diiakukan pada secondary survey.

E. Exposure

Penderita trauma yang datang harus dibuka pakaiannya dan

dilakukan evaluasi terhadap jejas dan luka.

2. Secondary Survey

Pemeriksaan dari kepala sampai kaki (head to toe, examination),

termasuk reevaluasi tanda vital. Segera setelah status

kardiovaskular penderita stabil, dilakukan pemeriksaan

naeurologis lengkap.

3. Pemeriksaan penunjang

Foto polos kepala

CT-scan Kepala

MRI Kepala

5) Penanganan

Penanganan awal cedera kepala pada dasarnya mempunyai tujuan:

(1) Memantau sedini mungkin dan mencegah cedera otak sekunder; (2)

Memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat

membantu penyembuhan sel-sel otak yang sakit.

Penanganan dimulai sejak di tempat kejadian secara cepat, tepat,

dan aman. Pendekatan ‘tunggu dulu’ pada penderita cedera kepala

sangat berbahaya, karena diagnosis dan penanganan yang cepat

sangatlah penting. Cedera otak sering diperburuk oleh akibat cedera otak

sekunder. Penderita cedera kepala dengan hipotensi mempunyai

mortalitas dua kali lebih banyak daripada tanpa hipotensi. Adanya

hipoksia dan hipotensi akan menyebabkan mortalitas mencapai 75

25

persen. Oleh karena itu, tindakan awal berupa stabilisasi kardiopulmoner

harus dilaksanakan secepatnya.

Faktor-faktor yang memperjelek prognosis: (1) Terlambat

penanganan awal/resusitasi; (2) Pengangkutan/transport yang tidak

adekuat; (3) Dikirim ke RS yang tidak adekuat; (4) Terlambat dilakukan

tindakan bedah; (5) Disertai cedera multipel yang lain.

Penanganan Cedera Kepala Ringan (GCS 14-15)

Sekitar 80% dari semua pasien cedera kepala dikategorikan sebagai

cedera kepala ringan. Pasien sadar tetapi mungkin mengalami hilang

ingatan atas kejadian yang melibatkan cederanya. Bisa terdapat riwayat

singkat terjadinya pingsan namun sulit untuk diketahui. Gambaran ini

sering berhubungan dengan alcohol atau zat intoksikan lainnya.

Kebanyakan pasien dengan cedera kepala ringan sembuh tanpa

penanganan berarti. Tetapi, sekitar 3% mengalami komplikasi yang

tidak terduga, mengakibatkan disfungsi neuroligik berat jika penurunan

status mental terlambat dideteksi.

Pemeriksaan CT scan perlu dipertimbangkan pada semua pasien

yang mengalami pingsan lebih dari lima menit, amnesia, nyeri kepala

berat, dan GCS<15 atau defisit neurologic fokal yang berhubungan

dengan otak. Foto cervical X-ray perlu dilakukan jika terdapat nyeri

leher atau nyeri saat palpasi.

Pemerikasaan CT scan adalah metode yang lebih disukai. Jika

tidak tersedia, skull X-ray bisa dilakukan terhadap cedera kepala tumpul

dan penetrans. Yang harus diperhatikan pada foto kepala:

1. Fraktur linear atau depressed

2. Posisi midline pineal gland jika ada kalsifikasi

3. Level udara cairan pada sinus

4. Pneumocephals

5. Fraktur fasial

6. Benda asing

26

Indikasi rawat pasien cedera kepala ringan yaitu :

Post Traumatic Amnesia > 1Jam, Pingsan > 15 menit, Pada observasi

penurunan kesadaran, Sakit Kepala >> , Fraktur, Otorhoe / Rinorhoe,

Cedera penyerta, CT-Scan Abnormal, Tidak ada keluarga, Intoksikasi

alkohol / Obat-obatan.

Jika pasien asimtomatik, sadar penuh, normal secara neurologis, maka

pasien diamati selama beberapa jam, diperiksa ulang, dan jika masih

normal, akan dipulangkan.

Pesan untuk penderita / keluarga, Segera kembali ke Rumah Sakit bila

dijumpai hal-hal sbb :

-Tidur / sulit dibangunkan tiap 2 jam

- Mual dan muntah yang terus memburuk

- Sakit Kepala yang terus memburuk

- Kejang

- Kelemahan tungkai & lengan (hemiparese)

- Bingung / Perubahan tingkah laku /gaduh gelisah

- Pupil anisokor

- Nadi naik / turun (bradikardi)

27

Penanganan Cedera Kepala Sedang (GCS 9-13)

Kira-kira sekitar 10% dari pasien cedera kepala adalah termasuk cedera

kepala sedang. Pasien masih dapat mengikuti perintah sederhana tetapi

pasien biasanya bingung dan somnolen dan mungkin terdapat defisit

neurologis fokal seperti hemiparesis. Sekitar 10-20% dari pasien ini

mengalami penurunan kesadaran hingga koma. Sebelum dilakukan

penanganan neurologis, anamnesa singkat dilakukan dan

kardiopulmoner distabilkan terlebih dahulu. CT scan kepala perlu

dilakukan dan dokter bedah saraf dihubungi. Semua pasien ini

memerlukan observasi di ruang ICU atau unit serupa yang memudahkan

observasi dan evaluasi neurologis ketat untuk 12 hingga 24 jam pertama.

CT scan untuk follow up dalam 12-24 jam dianjurkan jika hasil CT scan

awal abnormal atau jika terjadi penurunan pada status neurologis pasien.

28

Penanganan Cedera Kepala Berat (GCS 3-8)

Pasien yang mengalami cedera kepala berat tidak mampu untuk

mengikuti perintah sederhana bahkan setelah stabilisasi kardiopulmoner.

Pendekatan “wait and see” pada pasien ini bisa berakibat fatal, maka

diangnosis dan penanganan cepat sangatlah penting. Jangan menunda

CT scan.

Primary Survey dan Resusitasi

Cedera kepala sering tidak disebabkan oleh cedera

sekunder. Hipotensi pada pasien dengan cedera kepala berat

berhubungan dengan tingkat mortalitas yang meningkat dua kali

lipat disbanding pasien tanpa hipotensi (60% vs 27%). Adanya

hipoksia ditambah hipotensi berhubungan dengan tingkat

mortalitas yang mencapai 75%. Maka dari itu, stabilisasi

kardiopulmoner pada pasien cedera kepala berat adalah prioritas

dan dan harus segera tercapai.

Transient respiratory arrest dan hipoksia dapat

menyebabkan cedera otak sekunder. Pada pasien koma, intubasi

endotrakeal harus dilakukan segera. Pasien diberi oksigen 100%

29

sampai didapat gas darah, lalu penysuaian tepat terhadap FIO2.

Pulse oxymetri adalah pembantu yang berguna dan diharapkan

didapat saturasi O2 > 98%. Hiperventilasi harus digunakan pada

pasien dengan cedera kepala berat secara hati-hati dandipakai

hanya saat terjadi penurunan tingkat neurologic.

Hipotensi biasanya tidak terkait dengan cedera kepala itu

sendiri kecuali pada stadium terminal saat terjadikegagalan vena

medular. Perdarahan intrakranila tidak menyebabkan syok

hemoragik. Euvolemia harus segera dilakukan jika pasien

hipotensi. Hipotensi adalah penanda kehilangan banyak darah,

walau tidak terlalu jelas. Penyebab yang harus diperhatikan

yaitu cedera spinal cord, kontusio jantung atau tamponade dan

tension pneumothorax.

Pemeriksaan Neurologis

Segera setelah status kardiopulmoner pasien stabil, pemeriksaan

neurologis yang cepat dan langsung. Terdiri dari pemeriksaan

GCS dan reflex cahaya pupil. Pada pasien koma, respon motorik

dapat dilakukan dengan mencubit otot trapezius atau dengan

nail-bed pressure.

Secondary Survey

Pemeriksaan seperti GCS, lateralisasi dan reaksi pupil sebaiknya

dilakukan untuk mendeteksi penurunan neurologik sedini

mungkin.

Prosedur Diagnostik

CT scan kepala emergensi harus dilakukan sedini mungkin

setelah hemodinamik stabil. CT scan juga harus diulang bila ada

perubahan pada status klinis dan secara rutin 12-24 jam setelah

30

cedera untuk pasien dengan kontusio atau hematom pada CT

scan awal.

31

DAFTAR PUSTAKA

1. American College of Surgeon Committe on Trauma. Cedera kepala.

Dalam:Advanced Trauma Life Support for Doctors. Ikatan Ahli Bedah

Indonesia,penerjemah. Edisi 7. Komisi trauma IKABI; 2004. 168-193.

2. Snell RS. Clinical Anatomy for Medical Student. 6th ed. Sugiharto

L,Hartanto H, Listiawati E, Susilawati, Suyono J, Mahatmi T, dkk,

penerjemah.Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jakarta:

EGC: 2006.

3. Dunn LT, Teasdale GM. Head Injury. Dalam : Oxford Textbook of

Surgery.2nd ed. Volume 3. Oxford Press;2000.

4. Netter FH, Machado CA. Atlas of Human Anatomy. Version 3. Icon

LearningSystem LLC;2003

5. Whittle IR, Myles L. Neurosurgery. Dalam: Prnciples and Practice of

Surgery. 4th ed. Elsevier Churchill Livingstone;2007. 551-61.

6. Smith ML, Grady MS. Neurosurgery. Dalam: Schwarrt’z Principles of

Surgery. 8th ed. McGraw-Hill;2005. 1615-20.

7. Cedera Kepala dalam American College of Surgeon. Advance Trauma Life

Support. 1997. USA: First Impression. Halaman 196-235.

8. Hickey JV. Craniocerebral Trauma. Dalam: The Clinical Practice of

Neurological and Neurosurgical Nursing 5th edition. Philadelphia : lippincot

William & Wilkins;2003

9. Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan

Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta : Salemba Medika

10. Batticaca, Fransisca, B. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan

Sistem Persarafan. Jakarta : Salemba Medika

11. Grace, P, A & Borley, N, R. 2007. At a Glance Ilmu Bedah. Jakarta : Penerbit

Erlangga

32