refreshing hirschsprung

Upload: aina-ullafa

Post on 08-Jan-2016

234 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

refreshing hirschprung disease stase bedah RSUD Cianjur

TRANSCRIPT

REFRESHINGHirschsprung Disease

DISUSUN OLEHAina Ullafa2010730006

Pembimbing: dr. H Wiyoto Sukardi, Sp. BKEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAHPERIODE 25 Mei 02 Agustus 2015RSUD CIANJUR

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTERFAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATANUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA2015BAB IPENDAHULUANA. Latar BelakangPenyakit Hirschsprung adalah penyakit yang diakibatkan aganglionosis intestinal bagian distal yang bersifat kongenital. Pada kelainan ini tidak dijumpai adanya pleksus Meissner, Henle maupun Auerbach. Penampilan klinis sangat bervariasi dari konstipasi kronis sampai obstruksi intestinal. Gejala klinis sangat bervariasi dari konstipasi kronis sampai obstruksi intestinal.Kejadian aganglionik ini terbatas pada rektosigmoid 75%, fleksura splenik atau kolon transversum 6% dan total kolon bersama segmen pendek dari ileum terminalis adalah 8%, akan tetapi dapat mengenai seluruh kolon bahkan seluruh usus/Total Colonic Aganglionois (TCA). Tidak adanya ganglion sel ini mengakibatkan hambatan pada gerakan peristaltik sehingga terjadi ileus fungsional dan dapat terjadi hipertrofi serta distensi yang berlebihan pada kolon yang lebih proksimal.Penyakit Hirschsprung terjadi pada satu dari 5000 kelahiran hidup, insidensi penyakit ini di Indonesia tidak diketahui secara pasti. Dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta dan tingkat kelahiran 35 permil, maka diprediksikan setiap tahun akan lahir 1400 bayi dengan penyakit Hirschsprung. Kartono mencatat 20 40 pasien penyakit Hirschsprung yang dirujuk setiap tahunnya ke RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta.Mortalitas dari kondisi ini dalam beberapa decade dapat dikurangi dengan peningkatan dalam diagnosis, perawatan intensif neonatus, tehnik pembedahan dan diagnosis, dan penyakit Hirschsprung dengan enterokolitis.

B. TujuanTujuan penulisan laporan ini selain untuk memenuhi tugas refreshing, juga diharapkan dapat menambah pengetahuan dan pemahaman tentang penyakit hirschsprung dan dapat menjadi bekal dalam praktek kedokteran.

BAB IITINJAUAN PUSTAKAA. DefinisiPenyakit hirschsprung (aganglionik megakolon) adalah kelainan congenital yang disebabkan oleh kegagalan migrasi selsel neural crest yang mengarahkan kepada abnormalnya persyarafan usus.Pertama kali di deskripsikan oleh Ruysch pada tahun 1691 dan dipopulerkan oleh Hirschprung tahun 1886, yang mengemukakan 2 kasus obstipasi yang disebabkan dilatasi kolon. Keadaan tersebut kesatuan klinis tersendiri dan disebut penyakit Hirschsprung atau megakolon congenital, tetapi patofisiologinya tidak dapat ditentukan dengan jelas sampai pertengahan abad ke-20, ketika Whitehouse dan Kernohan menggambarkan aganglionosis pada usus bagian distal sebagai penyebab obstruksi pada pasien mereka.Tahun 1886 Hirschsprung Zuelser dan Wilson 1948 mengemukakan bahwa pada dinding usus yang menyempit tidak ditemukan ganglion parasimpatis. Sejak saat itu dikenal aganglionosis congenital.Pada tahun 1949, Swenson menjelaskan prosedur definitif pertama yang konsisten untuk penyakit hirschsprung, yaitu rektosigmoidektomi dengan anastomosis coloanal. Sejak saat itu, operasi lain telah dijelaskan, termasuk teknik Duhamel dan Soave.

B. EpidemiologiPenyakit Hirschsprung merupakan penyebab tersering dari obstruksi usus bagian bawah pada neonates yang terjadi kira kira 1 : 5000 kelahiran hidup. Laki laki mempunyai frekuensi 4 kali lebih sering dibandingkan dengan perempuan.

C. EmbriologiEmbriologi traktus gastrointestinal (GI) dimulai pada minggu ke-empat masa gestasi. Usus primitif terbentuk dari lapisan endoderm dan dibagi menjadi tiga segmen: foregut, midgut, dan hindgut. Midgut dan hindgut nanti akan membentuk kolon, rektum, dan anus.Midgut akan membentuk usus halus, kolon asenden, dan kolon transversum proksimal, dan menerima suplai darah dari arteri mesenterika superior. Saat minggu ke-enam masa gestasi, midgut bergerak menuju keluar kavitas abdomen, dan berputar 270 berlawanan arah jarum jam disekitar arteri mesenterika superior dan akhirnya akan menempati tempat terakhirnya, yaitu di dalam kavitas abdomen pada minggu kesepuluh masa gestasi.Hindgut akan berkembang menjadi kolon transversus distalis, kolon desenden, rektum, dan anus proksimal, semuanya menerima suplai darah dari arteri mesenterika inferior. Saat minggu keenam masa gestasi, bagian ujung distal hindgut (kloaka) terbagi menjadi septum urorektal pada sinus urogenital dan rektum.Bagian distal kanalis analis terbentuk dari ektoderm dan mendapat suplai darah dari arteri pudenda interna.

Gambar 1. Pada minggu ketiga masa gestasi, usus primitif terbagi menjadi tiga bagian, foregut (F) pada bagian kepala, hindgut (H) pada bagian ekor, dan midgut (M) diantara hindgut dan foregut. Tahap perkembangan midgut: herniasi fisiologis (B), kembali ke abdomen (C), fiksasi (D). Pada minggu keenam masa gestasi, septum urogenital bermigrasi kea arah kaudal (E) dan memisahkan traktus urogenital dan intestinal (F, G). (Sumber: Corman ML [ed]: Colon & Rectal Surgery, 4th ed. Philadelphia, Lippincott-Raven, 1998, p 2.).

D. AnatomiKolon berjalan sepanjang katup ileosekal sampai ke anus. Secara anatomis, dibagi menjadi kolon, rektum, dan kanalis analis. Dinding dari kolon dan rektum terdiri dari lima lapisan: mukosa, submukosa, otot sirkular dalam, otot longitudinal luar, dan tunika serosa. Pada kolon, otot longitudinal luarnya terbagi menjadi tiga taeniae coli, yang bertemu dengan apendiks pada ujung proksimal dan rektum pada bagian distal. Pada rektum distal, lapisan otot polos dalam saling menggabung sehingga membentuk sfingter anus internal pada minggu ke duabelas masa gestasi. Kolon intraperitoneal dan sepertiga proksimal rektum terlapisi oleh serosa; sedangkan bagian tengah dan bawah rektum kurang mengandung serosa.Rektum memiliki 3 buah valvula : superior kiri, medial kanan dan inferior kiri. 2/3 bagian distal rectum terletak di rongga pelvis dan terfiksir, sedangkan 1/3 bagian proksimal terletak di rongga abdomen dan relative mobile. Kedua bagian ini dipisahkan oleh peritoneum reflektum dimana bagian anterior lebih panjang dibanding bagian posterior.Saluran anal ( anal canal ) adalah bagian terakhir dari usus, berfungsi sebagai pintu masuk ke bagian usus yang lebih proksimal; dus, dikelilingi oleh sfingter ani ( eksternal dan internal ) serta otot otot yang mengatur pasase isi rectum ke dunia luar. Sfingter ani eksterna terdiri dari 3 sling: atas, medial dan depan.1. Posisi kolonKolon mulai berjalan dari awal ileus terminal dan sekum dan berjalan sepanjang 3 sampai 5 kaki sampai ke rektum. Perbatasan rektosigmoid dapat ditentukan yaitu ketika tiga taeniae coli membentuk otot polos longitudinal luar rektum. Sekum mempunyai diameter kolon yang paling lebar (7,5 8,5 cm) dan mempunyai dinding otot yang tipis. Hal ini membuat sekum menjadi rentan terhadap perforasi dan yang paling jarang terjadi obstruksi. Kolon asenden bagian posterior menempel pada retroperitoneum, sedangkan bagian lateral dan anteriornya merupakan bagian dari struktur intraperitoneal. White line of Toldt merupakan gabungan antara mesenterium dengan peritoneum posterior. Bagian yang halus ini membuat pembedah sebagai panduan untuk memobilisasi kolon dan mesenterium dari retroperitoneum.Flexura hepatica (flexura coli dextra) menjadi penanda transisi kolon asenden (panjang 15 cm) menjadi kolon transversum (panjang 45 cm). Kolon transversum intraperitoneal relatif dapat bergerak, namun terikat dengan ligamentum gastrokolika dan mesenterium kolon. Omentum majus menempel pada ujung anterior/superior kolon transversum, hal inilah yang menyebabkan gambaran seperti segitiga pada kolon tranversum ketika dilihat pada kolonoskopi.Fleksura splenika (flexura coli sinistra) menjadi penanda transisi kolon transversum menjadi kolon desendens (panjang 25 cm). Ikatan antara fleksura kolika dan limpa (ligamentum ileokolika) merupakan ligamen yang pendek dan tebal, yang akibatnya membuat kolektomi menjadi cukup sulit. Kolon desenden umumnya menempel pada retroperitoneum. Kolon sigmoid bagian dari kolon dengan panjang yang bervariasi (15 50 cm, rata-rata 38 cm) dan diameter yang sempit namun mempunyai pergerakan yang luas. Meskipun kolon sigmoid terletak pada kuadran kiri bawah, akbiat mobilitasnya yang hebat dapat berpindah ke kuadran kanan bawah. Pergerakan ini menjelaskan mengapa volvulus umum ditemukan di kolon sigmoid dan mengapa penyakit yang mengenai kolon sigmoid, contohnya divertikulitis, dapat mempunyai gejala nyeri pada kuadran kanan bawah. Diameter yang sempit pada kolon sigmoid membuat bagian ini sangat rentan terhadap obstruksi.

2. Vaskular kolon dan rectumArteri pada kolon mempunyai banyak variasi (gambar 2). Singkatnya, arteri mesenterika superior bercabang menjadi arteri ileokolika (sebanyak 20% populasi tidak memiliki arteri ini), yang menyuplai darah ke ileus terminalis dan kolon asenden proksimal, arteri kolika dekstra, yang menyuplai darah ke kolon asenden, dan arteri kolika media yang menyuplai kolon tranversum. Arteri mesenterika inferior (SMA) bercabang menjadi arteri kolika sinistra yang menyuplai kolon desenden, beberapa cabang arteri sigmoid, yang menyuplai kolon sigmoid, dan arteri rektal superior yang menyuplai rektum proksimal. Pengecualian pada vena mesenterika inferior, vena-vena pada kolon mempunyai terminologi yang sama seperti arteri. Vena mesenterika inferior berjalan naik pada retroperitoneum melewati muskulus psoas dan berjalan posterior ke pancreas untuk bergabung dengan vena splenika. Pada kolektomi, vena ini di gerakkan secara independen dan di ligasi pada ujung inferior pankreas. Drainase vena pada kolon transversum proksimal menuju ke vena mesenterika superior yang begabung dengan vena splenika untuk membentuk vena porta. Kolon transversum distal, kolon desenden, kolon sigmoid, dan sebagian besar rektum terdrainase oleh vena mensenterika inferior yang bergerak ke atas menuju vena splenika.Perdarahan rektum berasal dari a. hemorroidalis superior dan medialis ( a. hemorroidalis medialis biasanya tidak ada pada wanita, diganti oleh a. uterine ) yang merupakan cabang dari a. mesenterika inferior. Sedangkan a. hemorroidalis inferior adalah cabang dari a. pudendalis interna, berasala dari a. iliaka interna, mendarahi rektum bagian distal dan daerah anus. .Gambar 2. Drainase vena pada kolon. Dan rektum (Sumber: Gordon PH, Nivatvongs S [eds]: Principles and Practice of Surgery for the Colon, Rectum, and Anus, 2nd ed. St. Louis, Quality Medical Publishing, 1999, p 30).Drainase limfatik juga dinamakan sesuai dengan arterinya. Drainase lmimfatik bermulai dari jaringan-jaringan limfatik dari muskularis mukosa. Pembuluh limfa dan limfonodusnya dinamakan sesuai dengan arteri regional yang ada. Limfonodus epikolik ditemukan pada dinding usus dan pada epiploika. Nodus yang berdekatan pada arteri disebut limfonodus parakolika. Limfonodus intermediet terletak pada cabang utama pembuluh darah besar; limfonodus primer rerletak pada arteri mesenterika superior atau inferior.

Gambar 3. Drainasi limfatik pada kolon (Sumber: Corman ML [ed]: Colon & Rectal Surgery, 4th ed. Philadelphia, Lippincott-Raven, 1998, p 21).

3. Saraf kolon dan rectumKolon terinervasi oleh saraf simpatis (inhibisi) dan saraf parasimpatis (eksitasi/stimulasi), yang keduanya berjalan paralel dengan arteri. Saraf simpatis muncul dari T6 T12 dan preganglion lumbal splanchnikus L1 L3. Inervasi parasimpatis pada bagian kanan dan kolon transversum dan berasal dari nervus vagus dextra (N. X). Sedangkan inervasi parasimpatik untuk kolon bagian kiri bermulai dari nervi erigentes S2 S4. Nervus preganglion parasimpatis bergabung dengan nervus postganglion simpatis yang muncul pada akhir foramina sakralis. Serat-serat saraf ini, melalui pleksus pelvis, mengelilingi dan menginervasi prostat, uretra, vesika semilunaris, vesika urinaria, dan otot dasar panggul. Diseksi rektal dapat mengganggu pleksus pelvis dan subdivisinya, menyebabkan disfungsi neurogenik vesika urinaria dan seksual (sebanyak 45% kasus). Derajat dan tipe disfungsi tergantung pada derajat keparahan cedera neurologinya. Ligasi arteri mesenterika inferior yang menyuplai nervus hipogastrium menyebabkan disfungsi saraf simpatis yang dicirikan sebagai ejakulasi retrograde dan disfungsi vesika urinaria. Cedera pada saraf simpatis dan parasimpatis akan menghasilkan impotensi dan atonia vesika urinaria.Sistem saraf intestinal merupakan sekumpulan sel-sel saraf pada saluran pencernaan yang fungsinya tidak tergantung pada sistem saraf pusat. Sistem ini mengatur gerakan usus, sekresi eksokrin, sekresi endokrin dan mikrosirkulasi saluran pencernaan disamping mengatur proses immunitas dan inflamasi. Sistem saraf intestinal mula-mula diperkirakan sebagai bagian otonom dari sistem saraf perifer dan sel saraf pada dinding usus dianggap sebagai sel saraf parasimpatis postganglion. Akan tetapi pada penelitianpenelitian selanjutnya ternyata menunjukkan bahwa usus mempunyai sistem pengaturan tersendiri, kontraksi peristaltik diatur oleh reflek-reflek yang melibatkan saraf intramural dan kebanyakan sel saraf usus tidak berhubungan dengan axon parasimpatis sistem saraf pusat secara langsung.Penelitian selanjutnya mengenai fungsi dan dan aktivitas kimiawi sistem saraf intestinal ternyata sangat mirip dengan sistem saraf pusat dimana jumlah sel saraf mencapai 100 milyar mendekati jumlah sel saraf pada medula spinalis. Bagian sistem saraf pusat yang berhubungan dengan sistim saraf intestinal adalah jaringan saraf sentral otonom. Sistem saraf intestinal bersama jaringan-jaringan penghubung dengan sistem saraf pusat tersebut secara simultan mengontrol seluruh fungsi saluran pencernaan.Pada sistem saraf intestinal, sel bodi saraf akan berkelompok menjadi ganglion yang dihubungkan dengan bundel-bundel saraf untuk membentuk dua pleksus besar yaitu pleksus mienterius Auerbach yang terletak antara lapisan sirkuler dan lapisan longitudinal serta pleksus submukosus Meissner yang terletak pada submukosa antara lapisan sirkuler dan muskularis mukosa. Pleksus mienterikus Auerbach berfungsi sebagai inervasi motorik pada kedua lapisan otot dan inervasi sekretomotor pada mukosa sedang pleksus submukosus Meissner berperan pada pengaturan fungsi sekrresi.Nervus parasimpatis berasal dari cabang anterior nervi Sakralis 2, 3, 4. Persarafan preganglion ini membentuk dua saraf erigentes yang memberikan cabang langsung ke rektum dan melanjutkan diri sebagai cabang utama ke pleksus pelvis untuk organ-organ intra pelvis. Didalam rektum serabut saraf ini berhubungan dengan pleksus ganglion Auerbach. Persarafan simpatis berasal dari ganglion lumbal 2, 3, 4 dan pleksus praaorta. Persarafan ini menyatu pada kedua sisi membentuk pleksus hipogastrikus didepan vertebra lumbal lima dan melanjutkan diri kearah postero lateral sebagai persarafan presakral yang bersatu dengan ganglion pelvis pada kedua sisi.Persarafan simpatis dan parasimpatis ke rektum dan saluran anal berperan melalui ganglion pleksus Auerbach dan Meissner untuk mengatur peristaltik dan tonus sfingter interna. Serabut simpatis sebagai inhibitor dinding usus dan motor sfingter interna sedang parasimpatis sebagai motor dinding usus dan inhibitor sfingter. Sistem saraf parasimpatis juga merupakan persarafan sensorik untuk rasa distensi rektum.Inervasi somatik pada otot-otot seranlintang terutama pada bagian atas muskulus levator, musculus ischiococcygeus dan pubococcygeus mendapat inervasi dari radix anterior nervus sakralis 3 dan 4. Nervus pudendalis yang berasal dari nervus sakralis 2, 3 dan 4 juga memberikan persarafan pada otot-otot tersebut. Bagian bawah muskulus levator yaitu muskulus puborektalis dan muskulus sfingter eksternus membentuk bangunan terpisah dan menerima inervasi cabang perineal nervus sakralis 4, hemorrhoid inferior dan cabang perineal nervus pudendus.Inervasi sensoris kanalis anal, termasuk daerah 1 cm diatas linea pectinea dan kebawah sampai kulit anus merupakan daerah-daerah yang sangat sensitif. Terdapat akhiran-akhiran saraf yang mampu mendeteksi rasa nyeri (intra epitelial), sensasi sentuhan (Meissners corpuscle), sensasi dingin (Krauses end-bulb) sensasi tekanan atau regangan (Pacini dan Golgi-Mazzoni) dan sensasi gesekan (genital corpuscles). Bagian atas kanalis anal rektum, tidak sensitif terhadap rangsangan-rangsangan tersebut diatas akan tetapi sensitif pada rangsangan distensi yang diberikan oleh inervasi parasimpatis pada otot polos dan reseptor proprioseptiv yang terletak pada otot seranlintang disekitar rektum.

E. Fisiologi dan fungsiSecara garis besar, fungsi kolon adalah sebagai pencerna nutrien, sedangkan dimana fungsi rektum adalah eleminasi feses. Pencernaan nutrien tergantung pada koloni flora normal, motilitas usus, dan absorpsi dan ekskresi mukosa.1. Pencernaan nutrienSaat terjadi proses pencernaan, nutrien yang masuk ke dalam tubuh tercampu oleh cairan biliopankreas dan GI. Usus halus mengabsorpsi sebagian besar nutrien, dan juga beberapa cairan garam empedu yang tersekresi ke lumen. Namun untuk cairan, elektrolit, dan nutrien yang sulit terabsorpsi oleh usus halus akan diabsorpsi oleh kolon agar tidak kehilangan cairan, elektrolit, nitrogen, dan energi terlalu banyak. Untuk mencapai ini, kolon sangat bergantung pada flora normal yang ada. Kira-kira sebanyak 30% berat kering feses mengandung bakteri sebanyak 1011 sampai 1012 bakteri/gram feses. Orgnasime yang paling banyak adalah bakteri anaerob dengan spesies yang terbanuak dari kelas Bacteroides (1011 sampai 1012 organisme/mL). Eschericia coli merupakan bakteri spesies yang paling banyak 108 sampai 1010 organisme/mL). Flora normal ini berguna untuk memecah karbohidrat dan protein serta mempunyai andil dalam metabolism bilirubin, asam empedu, estrogen, dan kolesterol, dan juga vitamin K. Flora normal juga berguna untuk menekan jumlah bakteri patogen, seperti Clostridium difficile. Jumlah bakteri yang tinggi dapat menyebabkan sepsis pada pasien dengan keadaan umum yang buruk dan dapat menyebabkan sepsis inta-abdomen, abses, dan infeksi pada luka post-operasi kolektomi.

2. Urea recyclingUrea merupakan produk akhir dari metabolisme nitrogen. Pada manusia dan sebagian besar mamalia tidak mempunyai enzim urease, namun flora normal bakteri pada ususnya kaya akan enzim urease. Kondisi patologis urea yang paling umum adalah gagal hepar. Ketika hepar tidak mampu menggunakan kembali urea nitrogen yang diabsorpsi kolon, ammonia masuk ke blood-brain barrier dan menyebabkan gangguan neurotransmiter, dimana akan menyebabkan koma hepatik.

3. AbsorpsiTotal luas absorpsi kolon kurang lebih sekitar 900 cm2 dan air yang masuk kedalam kolon perharinya mencapai 1000 1.500 mL. Air yang tersisa di kolon hanya sekitar 100 150 mL/hari. Absorpsi natrium per harinya juga cukup tinggi, yaitu dari sebanyak 200 mEq/L natrium per hari yang masuk ke kolon, pada feses hanya tersisa 25 50 mEq/L.Epitel kolon dapat memakai berbagai macam sumber energi; namun, n-butirat akan teroksidasi ketika ada glutamin, glukosa, atau badan keton. Karena sel mamalia tidak bisa menghasilkan n-butirat, epitel kolon bergantung pada bakteri lumen untuk memproduksinya dengan cara fermentasi. Kurangnya n-butirat disebabkan oleh inhibisi fermentasi akibat antibiotik spektrum luas, yang menyebabkan kurangnya absorpsi sodium dan air sehingga menyebabkan diare. Sebagai penyeimbang akibat kehilangan natrium dan air, mukosa kolon menyerap asam empedu. Kolon menyerap asam empedu yang lolos terserap dari ileus terminalis, sehingga membuat kolon menjadi bagian sirkulasi enterohepatika. Ketika absorpsi asam empedu pada di kolon melewati batas, bakteri akan mengkonjugasi asam empedu. Asam empedu yang terkonjugasi akan mengganggu absorpsi natrium dan air, sehingga menyebabkan diare sekretoris atau diare koleretik. Diare sekretoris dapat dilihat saat setelah hemikolektomi sebagai fenomena transien dan lebih permanen reseksi ileus ekstensif.

4. MotilitasFermantasi pada kolon terbentuk sesuai morfologi-morfologi kolon. Kolon dapat dibagi menjadi tiga segmen anatomis: kolon dextra, kolon sinistra, dan rektum. Kolon dextra merupakan ruangan fermentasi pada traktus GI, dengan sekum sebagai segmen kolon yang memiliki aktivitas bakteri yang aktif. Kolon bagian kiri merupakan tempat penyimpanan sementara dan dehidrasi feses. Transit pada kolon diatur oleh system saraf autonom. Sistem saraf parasimpatis mensuplai kolon melalui nervus vagus dan nervus pelvikus. Serat-serat saraf saat mencapai kolon akan membentuk beberapa pleksus;pleksus subserosa, pleksus myenterika (Auerbach), submukosa (Meissner), dan pleksus mukosa.Motilitas usus berbeda-beda tiap segmen anatomi. Pada kolon sebelah kanan, gelombang antiperistaltik, atau retropulsif, menimbulkan aliran retrograd sehingga isi dari usus terdorong kembali ke sekum. Pada kolon sebelah kiri, isi dari lumen usus terdorong ke arah kaudal oleh kontraksi tonis, sehingga terpisah-pisah menjadi globulus-globulus. Kontraksi yang ketiga, mass peristaltic, merupakan gabungan antara gerakan retropulsif dan tonis.

F. PatofisiologiDalam buku klasik berjudul Bedah Anak , karangan Dr. Orvar Swenson yang terkait dengan salah satu perawatan bedah klasik untuk penyakit hirschsprung, kondisi ini digambarkan sebagai berikut : megakolon kongenital disebabkan oleh malformasi dalam sistem parasimpatis dengan tidak adanya sel ganglion di plexus auerbach dari segmen kolon distal. Tidak hanya tidak adanya sel ganglion, tetapi serabut saraf yang besar dan berlebihan dalam jumlah, menunjukkan bahwa kelainan mungkin lebih luas daripada tidak adanya sel ganglion. Gambaran penyakit hirschsprung sudah jelas sekarang seperti yang terangkum lebih dari 50 tahun lalu mengenai fitur patologis dari penyakit ini : tidak adanya pleksus auerbach dan hipertrofi dari batang saraf terkait. Penyebab penyakit hirschsprung tetap tidak sempurna dipahami meskipun pemikiran saat ini adalah bahwa penyakit yang dihasilkan dari kecacatan dalam migrasi sel neural crest ( Krista neuralis ), yang merupakan precursor embrio dari sel ganglion usus. Dalam kondisi normal, sel sel neural crest bermigrasi ke usus dari bagian atas ( cephal ) ke bagian bawah ( caudal ). Proses ini selesai pada minggu ke 12 kehamilan, tetapi migrasi dari kolon midtransversal ke anus butuh waktu 4 minggu. Selama periode akhir itulah, janin paling rentan terhadap kecacatan dalam migrasi sel neural crest. Hal ini mungkin menjelaskan mengapa kebanyakan kasus aganglionik melibatkan rektosigmoid. Panjang segmen aganglionik usus ditentukan oleh daerah paling distal dimana sel sel neural crest tidak bermigrasi. Pada kasus yang jarang, aganglionik kolon total dapat terjadi.Untuk mengetahui penyebab terjadinya penyakit Hirschsprung diperlukan pemahaman yang mendalam perihal perkembangan embriologis sistem saraf intestinal. Sel-sel krista neuralis berasal dari bagian dorsal neural tube yang kemudian melakukan migrasi keseluruh bagian embrio untuk membentuk bermacam-macam struktur termasuk sistim saraf perifer, sel-sel pigmen, tulang kepala dan wajah serta saluran saluran pembuluh darah jantung. Sel-sel yang membentuk sistim saraf intestinal berasal dari bagian vagal krista neuralis yang kemudian melakukan migrasi ke saluran pencernaan. Sebagian kecil sel-sel ini berasal dari sakral krista neuralis untuk ikut membentuk sel-sel saraf dan sel-sel glial pada kolon. Selama waktu migrasi disepanjang usus, sel-sel krista neuralis akan melakukan proliferasi untuk mencukupi kebutuhan jumlah sel diseluruh saluran pencernaan. Sel-sel tersebut kemudian berkelompok membentuk agregasi badan sel. Kelompok-kelompok ini disebut ganglia yang tersusun atas sel-sel ganglion yang berhubungan dengan sel bodi saraf dan sel-sel glial. Ganglia ini kemudian membentuk dua lingkaran cincin pada stratum sirkularis otot polos dinding usus, yang bagian dalam disebut pleksus submukosus Meissnerr dan bagian luar disebut pleksus mienterikus Auerbach.Secara embriologis sel-sel neuroenterik bermigrasi dari krista neuralis menuju saluran gastrointestinal bagian atas dan selanjutnya meneruskan kearah distal. Pada minggu ke lima kehamilan sel-sel saraf tersebut akan mencapai esofagus, pada minggu ke tujuh mencapai mid-gut dan akhirnya mencapai kolon pada minggu ke dua belas. Proses migrasi mula pertama menuju ke dalam pleksus Auerbachi dan selanjutnya menuju kedalam pleksus submukosa Meissneri. Apabila terjadi gangguan pada proses migrasi sel-sel kristaneuralis ini maka akan menyebabkan terjadinya segmen usus yang aganglionik dan terjadilah penyakit Hirschsprung.Penelitian terbaru menjelaskan dasar molekuler untuk penyakit hirschsprung. Pasien dengan penyakit hirschsprung memiliki peningkatan frekuensi mutasi pada beberapa gen,salah satunya GDNF. Selain itu, mutasi pada gen ini juga menyebabkan megakolon aganglionik pada tikus, yang menyediakan kesempatan untuk mempelajari fungsi protein yang dikodekan. Penyelidikan awal menunjukkan bahwa GDNF mempromosikan kelangsungan hidup, proliferasi, dan migrasi populasi campuran sel sel neural crest . Penelitian lain mengungkapkan bahwa GDNF dinyatakan dalam usus sebelum migrasi sel sel neural crest dan bersifat kemoatraktif. Temuan ini meningkatkan kemungkinan bahwa mutasi pada gen GDNF bisa menyebabkan gangguan migrasi saraf dalam rahim dan perkembangan pada penyakit hirschsprung.Pada tahun 1994 ditemukan dua gen yang berhubungan dengan kejadian penyakit Hirschsprung yaitu RET (receptor tyrosin kinase) dan EDNRB (endothelin receptor B). RET ditemukan pada 20% dari kasus penyakit Hirschsprung dan 50% dari kasus tersebut bersifat familial, sedang EDNRB dijumpai pada 5 sampai 10% dari semua kasus penyakit Hirschsprung. Interaksi antara EDN-3 dan EDNRB sangat penting untuk perkembangan normal sel ganglion usus. Pentingnya interaksi EDN-3 dan EDNRB didalam memacu perkembangan normal sel-sel krista neuralis telah dibuktikan dengan jelas. Baik EDN-3 maupun EDNRB keduanya ditemukan pada sel mesenkim usus dan sel neuron usus, dan ini memperkuat dugaan bahwa EDN-3 dan EDNRB dapat mengatur regulasi antara krista neuralis dan sel mesenkim usus yang diperlukan untuk proses migrasi normal.

G. Manifestasi klinisKarena peristaltik usus normal tidak dapat terjadi di usus aganglionik, anak dengan penyakit hirschsprung ditandai dengan obstruksi fungsional usus distal. Pada periode baru lahir, gejala yang paling umum adalah distensi abdomen, kegagalan keluarnya mekonium dan muntah empedu. Setiap bayi yang tidak mengeluarkan mekonium dalam waktu 48 jam setelah lahir harus diselidiki tentang penyakit hirschsprung. Kadang kadang disertai dengan komplikasi enterokolitis. Pola dari presentasinya ditandai dengan distensi abdomen dan nyeri, serta berhubungan dengan toksisitas sistemik meliputi demam, kegagalan tumbuh, dan kelesuan. Bayi sering mengalami dehidrasi dan menunjukkan leukositosis. Pada rectal toucher expulsi yang kuat dan berbau busuk pada kotoran. Pengobatan meliputi rehidrasi, antibiotic sistemik, dekompresi, dan irigasi rectal sambil menunggu konfirmasi dari diagnosis penyakit hirschsprung. Pada anak anak yang tidak merespon manajemen non operatif, stoma dekompresif diperlukan. Dokter bedah harus memastikan bahwa stoma ini ditempatkan pada usus yang mengandung ganglion dan harus dikonfirmasi dengan analisis frozen section pada jaringan usus pada saat penciptaan stoma. Pada sekitar 20% kasus, diagnosis penyakit hirschsprung dibuat setelah periode bayi baru lahir.Setiap neonatus yang meninggalkan rumah sakit tanpa diagnosis biasanya akan hadir dengan sembelit kronis dalam waktu dua tahun ( tabel 61.1 ). Sembelit ini sering menyertai perubahan makanan seperti perubahan dari ASI ke susu formula atau susu formula ke makanan padat.

H. DiagnosisDiagnosis definitive penyakit hirschsprung dibuat dengan biopsy rectal. Sampel mukosa dan submukosa diperoleh pada 1 cm, 2 cm, 3 cm, dari garis dentata. Pada periode neonatal ini biopsi dapat dilakukan disamping tempat tidur tanpa anestesi, karena sampel yang diambil dalam usus tidak memiliki persarafan somatik dan dengan demikian prosedur ini tidak menyakitkan untuk anak. Pada anak yang lebih tua, prosedur harus dilakukan dengan biopsi dubur terbuka dengan menggunakan sedasi IV. Fitur histopatologi penyakit hirschsprung adalah tidak adanya sel ganglion pada pleksus myenterik, pewarnaan acetilkolinesterase meningkat, dan kehadiran kumpulan saraf yang hipertrofi. Pemeriksaan barium enema harus dilakukan pada anak yang dicurigai dengan hirschsprung. Tes ini dapat menunjukkan lokasi dan zona transisi antara usus ganglionik yang dilatasi dengan segmen distal usus konstriksi. Meskipun barium enema hanya dapat menunjukkan diagnosis penyakit hirschsprung dan kurang dapat dipercaya untuk menegakkan diagnosis, tapi tes ini sangat berguna dalam menyingkirkan penyebab penyebab lain obstruksi usus distal. Termasuk sindrom usus kecil kiri ( seperti yang terjadi pada bayi dan ibu dengan diabetes ), atresia kolon, mekonium plug syndrom.

Beberapa ahli bedah telah menemukan penggunaan manometri dubur, terutama pada anak yang lebih tua, meskipun hasilnya relative akurat.Pemeriksaan manometri anorektal adalah suatu pemeriksaan obyektif mempelajari fungsi fisiologi defekasi pada penyakit yang melibatkan spinkter anorektal. Dalam prakteknya, manometri anorektal dilaksanakan apabila hasil pemeriksaan klinis, radiologis dan histologis meragukan. Pada dasarnya, alat ini memiliki 2 komponen dasar : transduser yang sensitif terhadap tekanan seperti balon mikro dan kateter mikro, serta sisitem pencatat seperti poligraph atau computer.Beberapa hasil manometri anorektal yang spesifik bagi penyakit Hirschsprung adalah:1. Hiperaktivitas pada segmen yang dilatasi;2. Tidak dijumpai kontraksi peristaltik yang terkoordinasi pada segmen usus aganglionik;3. Sampling reflex tidak berkembang. Tidak dijumpai relaksasi spinkter interna setelah distensi rektum akibat desakan feces. Tidak dijumpai relaksasi spontan.

I. Diagnosis bandingDiagnosis banding kelainan ini antara lain ileus mekonium akibat penyakit fibrokistik, atresia ileum, atresia rekti. Ileus mekonium terjadi dimana obstruksi intraluminal yang tidak rumit. Neonatus mempunyai gejala obstruksi usus distal, perut kembung, muntah bilious biasanya mulai dari hari pertama kehidupan. Pada pemeriksaan fisik ditemukan suatu abdomen yang distensi, teraba loop usus yang terisi mekonium seperti adonan. Pemeriksaan colok dubur ditemukan lendir yang putih atau abu abu tanpa warna khas empedu, tetapi hal ini belum menyingkirkan kemungkinan lain yang menyebabkan obstruksi di usus proksimal.Meconium plug syndrome, disebabkan karena adanya obstruksi kolon distal atau rektum karena mekonium. Bayi menjadi cepat kembung dan gagal untuk mengeluarkan mekonium, muntah bilious. Colok dubur bisa dilakukan sekaligus sebagai terapi. Tetapi pemeriksaan dengan kontras dapat menyingkirkan kemungkinan lain seperti cystic fibrosis dan penyakit hirschsprung. Secara anatomi dan fungsi kolon dan rektum normal.Penelitian lain menyatakan banyak kelainan-kelainan yang menyerupai penyakit Hirschsprung akan tetapi pada pemeriksaan patologi anatomi ternyata didapatkan sel-sel ganglion. Kelainan-kelainan tersebut antara lain Intestinal neuronal dysplasia, Hypoganglionosis, Immature ganglia, Absence of argyrophyl plexus, Internal sphincter achalasia dan kelainan-kelainan otot polos.

J. PenatalaksanaanSebuah diagnosis penyakit hirschsprung membutuhkan operasi dalam semua kasus. Pendekatan bedah klasik terdiri dari prosedur beberapa tahap. Hal ini termasuk kolostomi pada periode baru lahir, dimaksudkan sebagai tindakan darurat untuk mencegah komplikasi dan kematian. Pada tahapan ini dilakukan kolostomi, sehingga akan menghilangkan distensi abdomen dan akan memperbaiki kondisi pasien. Diikuti dengan operasi pull through definitive, dengan membuang segmen yang aganglionik dan kemudian melakukan anastomosis antara usus yang ganglionik dengan dengan bagian bawah rectum, setelah anak ditimbang lebih dari 10 kg. Ada tiga pilihan untuk prosedur definitive yang saat ini digunakan. Walaupun ahli bedah individu bisa mendukung satu prosedur, penelitian telah menunjukkan bahwa hasil setiap jenis operasi serupa. Untuk setiap operasi yang dilakukan, prinsip prinsip pengobatan termasuk mengkonfirmasi lokasi di usus mana zona transisi antara usus aganglionik dengan ganglionik ada.Dikenal beberapa prosedur operasi yaitu prosedur Swenson, prosedur Duhamel, prosedur Soave, prosedur Rehbein.1. Prosedur SwensonSwenson memperkenalkan prosedur rektosigmoidektomi dengan preservasi spingter ani, anastomosis dilakukan secara langsung.. Pembedahan ini disebut sebagai prosedur tarik terobos atau pull through abdomino perineal. Merupakan prosedur pembedahan pertama yang berhasil menangani pasien penyakit hirschprung.Dalam prosedur ini puntung rectum ditinggalkan 2-3 cm dari garis mukokutan, yang pascabedah ditemukan beberapa enterokolitis diduga disebabkan oleh spasme rectum yang ditinggalkan. Rektum yang ditinggalkan sebenarnya merupakan segmen yang masih aganglionsis yang tidak direseksi . Karena dapat terjadi inkontinensia, prosedur ini dikenal sebagai SWENSON I. Untuk mengurangi spasme spingter ani. Swenson melakukan spingterotomi posterior. dengan cara puntung rectum ditinggalkan 2 cm di bagian anterior dan 0,5 1 cm di bagian posterior, dikenal sebagai SWENSON II.2. Prosedur DuhamelTeknik prosedur duhamel tahun 1956 adalah dengan mempertahankan rectum, kolon proksimal ditarik rekto rectal transanal dan dilakukan anastomosis kolorektal end to side, prosedur ini sering terjadi stenosis, inkontinensia, dan pembentukan fekaloma dalam puntung rectum yang ditinggalkan terlalu panjang,untuk mengatasi hal tersebut dilakukan berbagai modifikasi.Prinsipnya pada membiarkan rektum tetap ada, kemudian usus yang sehat (normal persarafannya) dimasukkan ke dalam rektum melalui celah pada dinding posterior dari arah retrorektal. Hasil yang dicapai berupa enterotomi. Dinding rektum bagian depan yang aganglionik tetap ada, sehingga reflek kontrol defekasi tetap baik. Dinding belakang rektum nantinya terdiri dari kolon yang normal. Pada permulaan operasi, rektum ditutup dan dipotong seperti pada operasi Hartman. Kemudian kolon proksimal dipotong sampai pada daerah yang diinginkan pada daerah dengan persarafan normal. Duhamel sendiri menganjurkan seluruh kolon yang menyempit dan yang melebar direseksi karena biasanya bagian tersebut atoni dan mudah terjadi pengerasan feses. Pada tahap berikutnya dilakukan insisi endoanal, yaitu insisi semisirkular pada dinding posterior dan kanalis analis kira-kira 1 cm di atas pinggir anus. Mukosa dan sfingter dibuka langsung ke arah retrorektal yang sudah dibebaskan sebelumnya. Kedua ujung insisi ditahan dengan jahitan sementara, sebagai tempat untuk anastomosis koloanal. Ujung yang normal persarafannya diturunkan melalui daerah retrorektal menembus mukosa dan keluar melalui anus.3. Prosedur SoaveSoave melakukan prosedur bedah dengan pendekatan abdominoperineal dengan membuang lapisan mukosa rekto sigmoid dari lapisan seromuskuler, selanjutnya dilkukan penarikan kolon normal keluar anus melalui selubung seromuskuler rektosigmoid . Prosedur ini disebut pula sebagai prosedur tarik terobos endorektal, kemudian setelah 21 hari sisa kolon yang diprolapkan dipotong . Boley melakukan modifikasi prosedur soave dengan meperkenalkan prosedur tarik terobos endorektal dengan anastomosis langsung tanpa kolon diprolapkan . Teknik ini dilakukan untuk mencegah retraksi kolon bila terjadi nekrosis kolon yang diprolapkan.Prosedur ini sebenarnya adalah prosedur yang asli (original) untuk pengobatan bedah pada aganglionosis kolon. Hal penting yang diperhatikan pada teknik ini adalah membebaskan rektum, diseksi tepat pada dinding rektum, terus ke bawah ke arah sfingter, kemudian reseksi seluruh anus yang tidak mengandung ganglion (segmen aganglionik). Kedua ujung yang dipotong yakni bagian proksimal , yaitu usus yang normal dan bagian distal yang patologik ditutup sementara dengan jahitan. Setelah rektum dibebaskan dari jaringan sekitarnya, ujung rektum dibalik / prolaps ke arah anus. Ujung bagian proksimal yang normal persarafannya dilakukan pull-through melalui lumen rektum yang terbalik, kemudian dilakukan anastomosis dengan ujung anorektal. Anastomosis dilakukan di perineal dan bukan intraabdominal. Letak anastomosis tepat di atas anus. Reseksi rektum meninggalkan 1,5 cm dinding rektum bagian depan dan hampir seluruh rektum bagian belakang. Prosedur ini kalau dikerjakan oleh pakar yang berpengalaman akan memberikan hasil yang baik tanpa penyulit. Untuk mencegah penyulit berupa enterokolitis, maka Swenson menganjurkan reseksi yang lebih luas termasuk posterior sfingterotomi. Anastomosis 2 lapis, mokosa dengan chromic catgut, muskulus dengan silk 5-0.Prosedur ini berbeda dengan prosedur Swenson dan Duhamel. Ia melakukan pendekatan abdomino-perineal dengan mengelupas mukosa rekto-sigmoid dari lapisan seromuskular. Kemudian dilakukan penarikan kolon keluar anus melalui selubung seromuskular rekto-sigmoid. Prosedur ini disebut juga metode tarik terobos endorektal. Setelah beberapa hari dilakukan pemotongan sisa kolon yang diprolapskan (Aschcraft, 1997). Prosedur operasi modifikasi Soewarno adalah sebagai berikut, dilakukan penutupan kolostomi, yang pada umumnya adalah standart double barrel. Dilakukan irisan tranversal pada dinding depan abdomen mulai 4 cm sebelah medial SIAS kanan melalui garis Langer sampai mencapai lobang kolostomi. Irisan dilanjutkan melengkung ke kraniolateral secukupnya. A hemorroidalis superior dan a. sigmoidalis diidentifikasi selanjutnya diikat dan dipotong. Dilakukan reseksi kolon 3 4 cm diproksimal kolostomi dan 1 2 cm di proksimal refleksi peritoneum. Pungtum proksimal kemudian ditutup. Dilakukan pengupasan mukosa rektum dari lapisan seromuskuler, dengan cara memegang mukosa dengan 4 buah klem ellis. Irisan pertama dilakukan secara tajam selanjutnya seromuskuler dipegang dengan 4 buah klem ellis, selanjutnya dilakukan pengupasan secara tumpul. Pengupasan ke anal sejauh mungkin sehingga mencapai linea dentata. Selanjutnya dilakukan pembebasan kolon proksimal yang sehat, sampai cukup untuk diteroboskan keluar anus. Pembebasan ini harus hati-hati sehingga arkade pembuluh darah tetap terjamin. Bila sudah dinilai cukup, maka operasi dilanjutkan lewat perineum. Anus disiapkan, kemudian cerobong mukosa ditarik, dengan jalan memasukkan sonde khusus dengan ujung berbentuk kepala yang lebih besar. Mukosa diikat pada leher sonde tersebut dan ditarik keluar secara melipat terbalik. Kolon yang sehat kemudian diteroboskan di dalam cerobong mukosa. Lapisan mukosa difiksasi dengan kolon dengan benang plain catgut, dan dipasang rektal tube di dalam kolon yang diteroboskan tersebut sampai melewati sfingter ani.Operasi dilanjutkan lewat abdominal, vesika urinaria, dan organ abdomen yang lain ditata kembali, cerobong seromuskuler difiksasi dengan serosa kolon yang diteroboskan dengan chromik catgut. Dilakukan appendektomi insidental. Rongga abdomen dicuci dan ditutup lapis demi lapis. Sepuluh hari setelah dioperasi endorectal pullthrough, telah terjadi perlekatan antara cerobong seromuskuler dengan serosa kolon. Dilakukan pemotongan pungtum kolon yang diteroboskan 1 cm proksimal linea dentata, dilajutkan dengan penjahitan mukosa dengan mukosa. Selama 3 hari rectal tube terus dipasang pada rektum yang baru sehingga gangguan obstruksi akibat udema di daerah anorektal dapat dihindari.Operasi definitif pada penyakit megakolon merupakan trauma fisik dan psikis yang cukup besar bagi pasien. Pada penyembuhan luka operasi sangat tergantung pada sistem imun, dan sistem imun dipengaruhi oleh status gizi dari pasien, malabsorpsi, kekurangan asam amino esensial, mineral maupun vitamin.4. Prosedur Rehbein.Pada dasarnya prosedur rehbein adalah prosedur reseksi anterior yang diektensikan kedistal sampai dengan pengangkatan sebagian besar rectum. Reseksi segmen aganglionik termasuk sigmoid dilanjutkan dengan anastomosis ujung keujung dikerjakan intra abdomen ekstra peritoneal.

K. KomplikasiKomplikasi pasca bedah dapat terjadi secara dini (< 4 minggu pasca operasi) dan lambat. Angka mortalitas pasca operasi lebih banyak terjadi pada prosedur Swenson dan lebih rendah pada prosedur Duhamel dan Soave. Kebocoran anastomosis lebih sering terjadi pada prosedur Swenson, stenosis sering terjadi pada endorectal dan pada Swenson dari pada prosedur duhamel. Angka mortalitas pada megakolon congenital yang tidak mendapatkan penanganan adalah 80 %, pada yang mendapatkan penanganan angka kematian kurang lebih 30 % yang diakibatkan oleh enterokolitis dan komplikasi pasca bedah seperti kebococran anastomosis ,striktur anastomosis, abses pelvis dan infeksi luka operasi. Abses seromuskuler Retraksi puntung kolon Nekrosiskolon endorektal Kebocoran anastomose.Kebocoran anastomosis ringan menimbulkan gejala peningkatan suhu tubuh, terdapat infiltrat atau abses, kebocoran berat dapat terjadi demam tinggi, pelvioperitonitis atau peritonitis umum. Keadaan ini dapat terjadi akibat dari disrupsi anastomosis akibat retraksi atau nekrosis kolon. Pencegahan kebocoran dengan memperhatikan factor predisposisi seperti ketegangan anastomosis, vaskularisasi tepi sayatan yang tidak adekuat, infeksi sekitar anastomosis, pemasangan rectal tube yang terlalu besar, colok dubur dan businasi terlalu dini. Bila terjadi kebocoran anastomosis sgera dilakukan kolostomi segmen proksimal.1. StenosisDisebabkan oleh gangguan penyembuhan luka didaerah anastomosis, infeksi yang menyebabkan terbentuknya jaringan fibrosis. Prosedur Swenson atau Rehbein dapat menyebabkan stenosis sirkular pada garis anastomosis, sedang prosedur Duhamel dapat menyebabkan stenosis posterior dan prosedur tarik terobos endorektal menyebabkan stenosis memanjang. Stenosis ini menyebabkan gangguan defekasi, enterokolitis dan fistulo rekto perineal.

2. Gangguan fungsi sfingter paska operasiPembedahan dikatakan berhasil bila penderita dapat defekasi teratur dan kontinen. Gangguan fungsi sfingter berupa : Inkontinensia, soiling (keciprit) dan obstipasi berulang.

3. EnterokolitisEnterokolitis dapat terjadi pada semua prosedur tetapi lebih kecil pada pasien dengan endorektal pullthrough. Enterokolitis merupakan penyebab kecacatan dan kematian pada megakolon congenital, mekanisme timbulnya enterokolitis menurut Swenson adalah karena obtruksi parsial. Obtruksi usus pasca bedah disebabkan oleh stenosis anastomosis, sfingter ani dan kolon aganlionik yang tersisa masih spastik. Manifestasi klinis enterokolitis berupa distensi abdomen di ikuti tanda obtruksi seperti muntah hijau atau fekal dan feses keluar eksplosif cair dan berbau busuk. Enetrokolitis nekrotikan merupakan komplikasi paling parah dapat terjadi nekrosis, infeksi dan perforasi.Penatalaksanaan dengan terapi medik meliputi resisutasi cairan, pemasangan rectal tube dan pembilasan dengan NaCl fisilogis 2-3 kali sehari serta pemberian antibiotik. Tindakan bedah berupa businasi pada stenosis, sfingterotomi posterior untuk spasme spingterani dapat juga dilakukan reseksi ulang stenosis. Hal yang sulit pada megakolon congenital adalah terdapatnya gangguan defekasi pasca pullthrough, kadang ahli bedah dihadapkan pada konstipasi persisten dan enterokolitis berulang pasca bedah.

DAFTAR PUSTAKAArensman, Robert M, Pediatric Surgery, second edition. Landes Bioscience. USA. 2006.Ashcraft, Keith W. Pedicatric Surgery 2nd. W.B. Saunders Company. Philadelphia. 1993.Brunicardi, F. Charles. Schwartzs Principles of Surgery, ninth edition. The McGraw-Hill Companies, Inc. United States of America. 2010.Hollwarth, M. Pediatric Surgery. Springer. Germany. 2006Irwan, Budi., Tesis : Pengamatan Fungsi Anorektal pada Penderita Penyakit Hirschsprung Pasca Operasi Pull - Through, Medan. FK USU, 2003.Skandalakis Surgical Anatomy. The McGraw-Hill Companies, Inc. United States of America. 2006.Whitehouse FR, Kernohan JW. The myenteric plexus in congenital megacolon.Arch Int Med. 1948;82:75.http://medical-dictionary.thefreedictionary.com/Hirschsprung's+Disease 22.10 6/5/2015http://hirschsprungs-disease.com/surgical-procedures/swenson-procedure/ 22.00 6/5/2015