refrat prof gun
TRANSCRIPT
REFRAT
KOMPLIKASI AKUT HEMODIALISA
Oleh:
Dessy Tri Pratiwi G9911112046
Dimas Yuliar Sevanto G9911112055
Ike Pramastuti G9911112078
Pembimbing
Dr. dr. HM. Bambang Purwanto, Sp.PD-KGH-FINASIM
KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2012
I. HEMODIALISIS
Menururt Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (KDOQI)
guidelines, dialisis harus dimulai saat LFG pasien 10 ml/menit atau ureum
serum 8 mg/dl. Khusus untuk pasien diabetes terapi ini dapat dimulai saat LFG
mencapai 5 ml/menit atau kadar serum 6 mg/dl.1
Adapun indikasi untuk memulai terapi hemodialisis antara lain:
a. Kegagalan penanganan konservatif
b. Mual, muntah, nafsu makan hilang
c. Kadar ureum tinggi
d. Kadar kreatinin tinggi
e. Kalium serum > 6 mmol/l (indikasi absolut)
f. Asidosis berat, pH darah < 7,1 (indikasi absolut)
g. Kelebihan cairan, jika sampai menyebabkan udem paru menjadi indikasi
absolute
h. Perikarditis (indikasi absolut)
i. Anuria berkepanjangan2
Prinsip kerja dialisis adalah pertukaran elektrolit dan zat lain yang ada
di dalam darah dengan cairan dialisat, dengan perantara membran
semipermeabel. Cairan dialisat ini terbuat dari konsituen esensial plasma
seperti natrium, kalium, klorida, kalsium, magnesium, dan glukosa, serta suatu
buffer seperti bikarbonat asetat atau laktat. Pertukaran zat ini dapat
berlangsung cepat atau lambat tergantung pada berat molekul dan konsentrasi
zat terlarut. Zat dengan berat molekul kecil seperti urea dapat berdifusi dengan
cepat, tetapi zat-zat dengan berat molekul besar seperti fosfat, β2-
microglobulin, dan albumin berdifusi lebih lambat.3 Berikut ini adalah tabel zat
terlarut dengan berat molekulnya2.
Zat terlarut Berat Molekul
(Da)
Albumin 66000
Kalsium 40
Kreatinin 113
Urea 60
Air 18
Zink 65,3
II. KOMPLIKASI AKUT HEMODIALISIS
1. Dialysis Disequilibrium Syndrome (DDS)
Salah satu indikasi terapi hemodialisis segera adalah untuk mengoreksi
asidosis metabolic dengan oliguri. Namun komplikasi Hemodialisis tersebut
antara lain dapat menyebabkan Dialysis Disequilibrium Syndrome (DDS).
DDS merupakan komplikasi akut yang sering terjadi pada pasien dengan terapi
hemodialisis. Pasien yang memiliki riwayat penyakit neurologis sebelumnya,
seperti trauma kepala, stroke, atau hipertensi mailignant, memiliki risiko lebih
besar untuk mengalami DDS. Gejala-gejala ringan DDS antara lain sakit
kepala, mual, muntah, pandangan kabur, kram otot, anorexia, disorientasi, dan
hipertensi. Sedangkan gejala yang lebih jarang ditemukan yang berkaitan
dengan disfungsi sistem saraf pusat antara lain kejang, central pontine
myelinolysis, koma, dan bahkan kematian. 6
Pathogenesis
Patogenesis terjadinya DDS masih dalam perdebatan, namun demikian
ada dua hipotesis yang saat ini diyakini, yaitu sebagai berikut :
a. “Reverse Urea effect”
Hemodilaisis dapat secara cepat membuang urea dari pasien dengan
uremia. Hipotesis ini menyatakan bahwa pembuangan urea melalui barrier
darah otak berjalan lebih lambat dibandingkan dengan dari plasma.
Perbedaan osmotik dalam barrier darah otak ini menyebabkan cairan
masuk ke dalam parenkim otak dan menyebabkan edema. Ditambah lagi
reduksi BUN menurunkan osmolalitas plasma yang menyebabkan
perbedaan gradient tekanan osmotic sehingga cairan masuk ke dalam sel.
Dari penelitian yang dilakukan dengan hewan uji mencit,
hemodialisis dapat menurunkan BUN dari 200 ke 95 mg/dL dalam 90
menit. Hal tersebut mrngakibatkan peningkatan cairan serebri sebanyak
6%. Dengan adanya edema tersebut maka dapat terjadi disfungsi neurologis
dengan berbagai derajat.4
b. Asidosis intraserebral
Peningkatan osmolalitas cairan ekstraseluler pada uremia
menyebabkan akumulasi dari osmolit untuk menghambat dehidrasi sel.
Saat dilakukan hemodialisis, terjadi penumpukan osmolit yang
menyebabkan pembentukan asam organic dan terjadilah reduksi pH
intraseluler sehingga meningkatkan osmolalitas dan menyebabkan oedem
cerebri. Osmolit tersebut antara lain glutamine, glutamate, taurin, dan
myoinositol.
Beberapa penelitian yang dilakukan pada hewan menunujukkan
bahwa pada saat hemodialisis, selain pH darah yang turun, pH LCS juga
turun. Penurunan pH intaselular otak tersebut menyebabkan hydrogen
digantikan oleh natrim dan kalium yang akan meaikkan osmolalitas cairan
intraseluler. Dengan naiknya osmolalitas, maka cairan akan berdifusi
masuk ke dalam sel dan menyebabkan edema cerebri.4
Gejala dan tanda
Gejala-gejala DDS antara lain sakit kepala, mual, muntah, pandangan
kabur, kram otot, anorexia, disorientasi, dan hipertensi. Sedangkan gejala yang
lebih jarang ditemukan yang berkaitan dengan disfungsi sistem saraf pusat
antara lain kejang, central pontine myelinolysis, koma, dan kematian. Papil
edem juga sering dilaporkan sebagai gejala dari DDS. Hal ini meunjukkan
bukti adanya peningkatan tekanan intracranial.
Pemeriksaan radiologi
Dengan CT scan dan MRI, maka pasien hemodialisis dengan
komplikasi akut neuroligis dapat segera terdeteksi. Pada teknik MRI yang
canggih, pasien yang dicurigai DDS dapat difoto dengan metode DWI. Dengan
metode tersebut dapat diketahui fungsi difusi membran.
CT scan kepala menunjukkan edem cerebri difus dengan letak basal cysterna,
ditandai dengan hilangnya perbedaan warna putih dan abu-abu.
Terapi
Pencegahan merupakan langkah yang harus dilakukan untuk
mengurangi angka kejadian DDS. Dialisis untuk yang pertama kali harus
secara perlahan namun diulang secara berkala. Target terapi adalah
menurunkan jumlah BUN, meskipun gejala ringan seperti sakit kepala dan
malaise tetap ada. Pembuangan urea yang lambat dapat ditangani dengan :
a. Hemodialisis dapat dimulai dengan aliran darah yang rendah yaitu 150-250
ml/min dalam waktu 2 jam dengan dialyzer yang permukaannya minimal.
Regimen tersebut dapat diulang setiap hari selama tiga sampai empat hari.
Jika pasien tidak menunjukkan tanda-tanda DDS, maka akecepatan aliran
darah dapat dinaikkan 50ml/min dalam sekali terapi (hingga 300-400
ml/min), dan durasi dialysis dapat dinaikkan 30 menit. Pasien dengan
overload cairan dapat diterapi dengan ultrafiltrasi dan dilanjutkan dengan
dialysis singkat. 6
b. Beberapa dokter menganjurkan pemakaian fenitoin (dengan dosis awal
1000 mg dilanjutakan dengan 300mg/day sampai uremia terkontrol)
sebagai profilaksis. Pada pasien yang memiliki risiko tinggi dengan
azotemia (BUN >200 mg/dl) dapat diberikan hipertonik manitol IV 12,5 g
setiap jam selama hemodialisis. 7
c. Pendapat lain mengatakan bahwa pencegahan DDS adalah dengan
penggunaan cairan dialisat yang mengandung ureum dengan konsentrasi
yang sama dengan ureum pada darah pasien.7
2. Syok Kardiogenik
Definisi
Syok kardiogenik adalah suatu keadaan dimana sirkulasi darah tidak
memadai karena kegagalan dari ventrikel jantung untuk berfungsi secara
efektif, terutama setelah infark miokard akut. Keadaan ini menyebabkan
kebutuhan jaringan akan oksigen dan nutrisi tidak terpenuhi sehingga terjadi
kematian sel akibat hiposia dan hipoglikemia.8
Insidensi
Insidensi terjadinya syok kardiogenik pada pasien yang sedang
menjalankan terapi hemodialisa hingga saat ini belum diketahui, baik di
Indonesia maupun di negara-negara lain. Butuh penelitian lebih lanjut
mengenai insidensi terjadinya syok kardiogenik sebagai komplikasi dari pasien
yang sedang menjalankan terapi hemodialisa.
Etiologi
Syok kardiogenik disebabkan oleh kegagalan jantung untuk memompa
darah secara efektif. Hal ini bisa disebabkan oleh kerusakan otot jantung,
paling sering karena infark miokard.9
Patogenensis
Syok kardiogenik dapat merupakan salah satu komplikasi saat pasien
sedang menjalankan hemodialisis. Pada saat hemodialisis, terjadi penurunan
curah jantung, yang pada gilirannya menurunkan tekanan darah arteria ke
organ-organ vital. Termasuk aliran darah ke arteri koroner, sehingga asupan
oksigen ke jantung menurun, yang akhirnya meningkatkan iskemia dan
penurunan lebih lanjut kemampuan jantung untuk memompa.8,10
Gejala dan Tanda10
a. Cemas, gelisah, perubahan status mentalis karena menurunnya perfusi otak
dan hipoksia.
b. Hipotensi akibat penurunan curah jantung, ditunjukkan dengan kombinasi
tekanan darah sistolik rendah (<90 mmHg atau penurunan 30 mmHg
dibawah tingkat basal selama minimal 30 menit
c. Nadi cepat (yakni > 100x/menit) dan lemah karena menurunnya sirkulasi
darah dan takikardi.
d. Kulit dingin, lembab, basah, sianosis dan terdapat cutis marmorata karena
vasokonstriksi dan hipoperfusi kulit.
e. Distensi vena jugularis karena adanya peningkatan tekanan vena.
f. Oligouria (output) urin kurang dari 30 mL/jam, karena kegagalan perfusi
ginjal.
g. Napas cepat dan dalam (hiperventilasi) karena rangsangan sistim saraf
simpatis dan asidosis.
h. Kelelahan karena hiperventilasi dan hipoksia.
i. Edema paru akut, sehingga suara nafas terdengar jelas
j. Diaphoresis (diaforesis, diaphoretic, berkeringat, mandi keringat, hidrosis,
perspirasi)
Pemeriksaan yang dapat mendukung terjadinya syok kardiogenik antara lain
a. Penanda jantung (mis: kreatinin kinase, troponin, mioglobin)
b. Elektrolit
c. Faktor pembekuan (mis: prothrombin time, activated partial
thromboplastin time)
d. Evaluasi keseimbangan asam basa, karena asidosis mengganggu fungsi
miokard. Peningkatan kadar serum laktat merupakan indikator syok.
e. BNP (Brain Natriuretic Peptide) dapat berguna sebagai indikator gagal
jantung kongestif
f. Pemeriksaan radiologis. Sebuah foto toraks sangat membantu karena
menggambarkan ukuran jantung, vaskularisasi paru, dan memperkirakan
ukuran mediastinum dan aorta.
g. EKG normal tidak menyingkirkan kemungkinan diagnosis. EKG
seringkali membantu ketika dibandingkan dengan rekaman sebelumnya.
EKG bermanfaat juga untuk mengetahui adanya aritmia dan
kardiomiopati.
h. Angiografi koroner
i. Ekokardiogram
Pengelolaan dan Penatalaksanaan10
a. Pengobatan dimulai dengan penilaian dan pengobatan ABC, Airway. Disini
dinilai patensi jalan napas. Intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanik
dapat dipertimbangkan pada pasien yang sulit untuk bernapas. Ventilasi
tekanan positif dapat meningkatkan oksigenasi namun juga membahayakan
aliran balik vena, preload ke jantung. Berikan oksigen untuk
mempertahankan PO2 70 – 120 mmHg.
b. Intervensi lainnya ditujukan untuk membantu perfusi otot jantung dan
memaksimalkan curah jantung. Cairan intravena harus diberikan untuk
mendapatkan curah jantung yang memadai.
c. Cairan atau syok refrakter untuk menanamkan cairan inotropica. Dalam
kasus jantung beberapa aritmia anti-arrhythmic agen dapat diberikan, yaitu
adenosin, amiodarone, β-blocker atau glukagon. Agen inotropik positif ini
dapat meningkatkan kemampuan memompa jantung, sehingga
memperbaiki hipotensi.
d. Antikoagulan dan aspirin harus diberikan seperti pada kasus infark miokard
lainnya.
e. Vasopressor intravena meningkatkan perfusi dari miokard yang mengalami
iskemia dan seluruh jaringan tubuh. Namun detak jantung yang ekstrim
harus dihindari karena meningkatkan konsumsi oksigen miokard,
meningkatkan ukuran infark dan mengganggu kemampuan jantung untuk
memompa darah. Vasopressor yang dapat digunakan: dopamin, dobutamin,
norepinefrin. Dobutamin intravena, yang bekerja pada reseptor β1 dari
jantung menuju kontraktilitas meningkat dan denyut jantung.
f. Nitrat dan morfin dapat digunakan untuk pengelolaan nyeri, nmun
penggunaannya harus hati-hati karena pasien berada dalam kondisi syok,
dan penggunaan berlebihan dari agen ini dapat menyebabkan hipotensi.
g. Obat pendukung lainnya, dapat dipertimbangkan nesiritide (Natrecor) dan
levosimendan. Meskipun nesiritide dapat meningkatkan mortalitas dan
disfungsi ginjal, namun obat ini terus dipelajari dalam pengobatan gagal
jantung kongestif akut. Obat Ini harus digunakan dengan hati-hati karena
telah terbukti menyebabkan hipotensi.
h. Penggunaan peralatan mekanik, misalnya IABP (intra-aortic balloon pump)
dan LVAD (Left-ventricular assist devices)
i. Koreksi hipoksia, gangguan elektrolit, dan keseimbangan asam basa yang
terjadi.
3. Aritmia Maligna
Definisi
Aritmia adalah suatu keadaan abnormalitas dari kecepatan dneyut jantung
(rate), irama ( rhythm) atau konduksi (conduction) yang apat berakibat letal
( sudden cardiac death) atau simptomatik ( sinkope, near sinkope, pusing,
berdebar)11
Insidensi Indonesia
Setengah dari kematian pada hemodialisa disebabkan oleh artimia selama
dialysis. Penelitian yang dilakukan oleh Hemiderza dkk, didapatkan insidensi
64% persen pasien mengalami aritmia saat menjalankan terapi hemodialisa.
Kontrol dan managemen dari aritmia pada pasien yang sedang menjalankan
hemodialisis dapat mengurangi angka mortalitasnya. Prevalensi dari aritmia
pada hemodialisa tidak dipengaruhi oleh ion, durasi dan kualitas dialisa,
keparahan dari anemia dan factor demografik.12
Etiologi
Etiologi maligna pada saat hemodialisa disebabkan karena adanya hipoksia,
hipotensi, penghentian obat antiaritmia selama dialisa, penurunan yang cepat
dari kalsium, magnesium, kalium dan bikarbonat serum.11
Patogenensis
Gangguan fungsi ginjal pada pasien yang menjalankan hemodialisa akan
menyebabkan keabnormalan level ion dan ion Ca, K, serta Mg menjadi tidak
seimbang. Ketidakseimbangan tersebut berefek pada potensial membrane rest
sel-sel jantung sehingga mengubah interval QT. Peningkatan interval QT dapat
menyebabkan aritmia pada pasien dialisa yang berisiko terhadap kematian.
Dari beberapa pengamatan diketahui bahwa perubahan QT interval pada
pasien antara selama dialisa mengalami perubahan patologis yang nyata.9
Gejala dan Tanda12
Gejala :
Syok,
Gagal jantung,
Angina,
Palpitasi,
Sinkope
Tanda:
denyut nadi > 100x permenit atau < 60x permenit
komplek QRS lebar (120 ms atau 3 kotak kecil di EKG) atau sempit ( < 120
ms atau kurang dari 3 kotak kecil di EKG)
Irama biasanya tidak teratur
Penatalaksanaan
Aritmia pada pasien hemodialisa dapat diatasi dengan menurunkan
flow rate, oksigenasim dan evakuasi. Bila aritmia menetap, diberikan digitalis
parenteral.13
4. Hipotensi
Saat ini hampir setengah juta penderita gagal ginjal kronik
menjalani tindakan HD untuk memperpanjang hidupnya. Walaupun
tindakan ini mengalami perkembangan yang cukup pesat, beberapa penderita
tetap mengalami masalah medis saat pelaksanaan HD. Beberapa masalah
medis yang bisa terjadi pada penderita yang mengalami HD seperti
gangguan hemodinamik, gangguan koagulasi, gangguan pada sistem saraf dan
lain-lain. Dari masalah medis yang bisa terjadi saat HD, gangguan
hemodinamik berupa hipotensi merupakan masalah yang paling sering terjadi
selama HD rutin dibanding yang lain. Terjadi hampir 20%-50% pada setiap
proses hemodialisis, lebih sering terjadi pada pasien dengan usia tua atau
pasien wanita. Hal ini menyebabkan peningkatkan morbiditas maupun
mortalitas. Beberapa laporan menempatkan hipotensi intradialitik sebagai
penyebab utama kematian saat HD. Penelitian yang pernah dilakukan di RSUD
Dr Sutomo tahun 2000 mendapatkan angka kejadian hipotensi intradialitik
sebesar 23%.14
Hipotensi saat hemodialisis atau intradialytic hypotension (IDH) dapat
didefinisikan sebagai penurunan tekanan sistolik lebih dari 30mmHg atau
tekanan sistolik tetap di bawah 90mmHg. Tekanan darah pra dan pascadialitik
dipengaruhi oleh penurunan volume plasma intradialitik. Penyebab
timbulnya hipotensi pada penderita HD sampai saat ini belum sepenuhnya
diketahui. Banyak faktor yang diduga sebagai penyebab hipotensi seperti
perubahan volume, osmolaritas, elektrolit, suhu serta aktifitas mediator
humoral. Selama ultrafiltrasi, perpindahan cairan tanpa protein dari
kompartemen intavaskuler menimbulkan peningkatan konsentrasi protein
plasma dan tekanan onkotik. Hal ini dikombinasi dengan penurunan tekanan
hidrostatik kapiler memicu perpindahan cairan dari interstisial ke dalam
intravaskuler. Pada beberapa orang IDH terjadi bila mekanisme kompensasi
normal tidak dapat mengatasi hilangnya cairan intravaskuler dalam waktu yang
cepat. Plasma refilling adalah mekanisme kompensasi untuk
mempertahankan keseimbangan cairan dimana terjadi pergeseran cairan dari
kompartemen ekstravaskuler ke intravaskuler. Penurunan volume intravaskuler
yang terlalu cepat melebihi kecepatan pergeseran cairan ekstravaskuler ke
intravaskuler ( atau keterlambatan plasma refilling) akan menyebabkan
hipotensi intradialitik. Beberapa hal yang berpengaruh terhadap terjadinya
plasma refilling adalah gradien tekanan hidrostatik, onkotik, osmotik dan
permeabilitas kapiler. Sedangkan kecepatan refilling dipengaruhi oleh
ultrafiltrasi, keseimbangan protein total, status hidrasi dan permeabilitas
kapiler. Perubahan volume darah relatif dan mekanisme kompensasinya sangat
mungkin berperan dalam terjadinya hipotensi intradialitik. Untuk menilai
perubahan volume darah relatif dapat digunakan parameter kadar protein
plasma total intradialitik. Kadar protein plasma berhubungan dengan tekanan
onkotik dan tekanan osmotik plasma yang selanjutnya berperan dalam
perubahan volume darah relatif.14
Faktor lain yang berperan terhadap terjadinya IDH yaitu karena
berkurangnya vasokontriksi. Perubahan kapasitas vena dapat mengakibatkan
penurunan pengisian jantung, penurunan cardiac output dan perlu diketahui >
80% volume darah total berada di vena. Perubahan kapasitas vena dikarenakan
proses pasif vena akibat pemindahan tekanan dari pembuluh darah arteriol.
Jadi penurunan tekanan arteriol menyebabkan peningkatan transmisi arteri ke
vena dan vena akan berdilatasi secara pasif.15
Beberapa hal yang dapat menyebabkan diltasi vena saat hemodialisis
antara lain :
a. Pemakaian asetat selama hemodialisa, pemakian asetat akan
mengakibatkan peningkatan produk adenosin di sirkulasi dan adenosin ini
akan menghambat pengeluaran norepinefrin sehingga terjadi hipotensi.
b. Penggunaan temperatur normal
c. Makan pada saat hemodialisis berlangsung akan menyebabkan penurunan
tekanan darah karena menurunnya tekanan pembuluh darah terutama
didaerah splanchnic.
d. Neuropati otonom, sering terjadi pada pasien-pasien diabetes. Pada
beberapa pasien sering terjadi kerusakan respon vasokontriksi terhadap
penurunan volume darah sehingga terjadi penurunan kemampuan dalam
mempertahankan tekanan darah saat terjadi penurunan cardiac output.16
e. Penggunaan obat anti hipertensi. Hipertensi selalu menyertai pasien-
pasien dengan gagal ginjal terminal. Pemakaian obat golongan ACE
inhibitor sering mengakibatkan hipotensi.17
Beberapa pasien yang memiliki resiko tinggi terjadinya IDH
a. Pasien dengan diabetik
b. Psien dengan gizi buruk dan hipoalbumin
c. Pasien dengan neuropati uremic atau disfungsi autonom oleh sebab
apapun
d. Pasien dengan anemia berat
e. Pasien dengan tekanan darah predialisis < 100mmHg
f. Usia 65 tahun atau lebih
Gejala : abdominal disscomfort, mual, muntah, sering menguap, kram
otot, gelisah, pusing ataupun pingsan
Pencegahan IDH :
a) Menurunkan laju ultrafiltrasi (<1,5 L/h)
b) Meningkatkan konsentrasi sodium dialisat
c) Meningkatkan konsentrasi calcium dialisat
d) Menurunkan suhu dialisat
e) Menggunakan membran biocompatible
f) Meminimalkan penggunaan antihiertensi short-acting dalam 4 jam dialisis
(terutama penggunaan vasodilator
g) Penggunaan Midodrine 30-60 menit sebelum dialisis dengan dosis 5
sampai 10 mg,
Penanganan IDH mencakup
1) penghentian ultrafiltrasi,
2) pasien diposisikan pada posisi Trendellenburg,
3) Evaluasi tekanan darah. Bila tekanan darah tidak meningkat, berikan bolus
infus NaCl. Evaluasi tekanan darah selama 15 menit. Bila dalam 15 menit
menaikkan cairan gagal, dipakai vassopressor : dopamon atau dobutami,
tergantung HR pasien.
4) Suplementasi oksigen dengan pemberiaan O2 1-2 liter
5) Kalau perlu dialisa diistirahatkan dengan cara :
- Darah dikembalikan ke tubuh sambil menunggu pasien membaik; selang
darah diisi NaCl 0,9% dan disirkulasi.
- Heparin tetap dijalankan agar tidak ada sisa bekuan darah dalam selang
- Jika tensi sudah baik, dialisa dapat dimulai kembali18
DAFTAR PUSTAKA
1. Watnick S., Morrison G. 2009. Chronic Kidney Disease. Dalam : McPhee S. J.,
Papadakins M. A. Current Medical Diagnosis & Treatment 2009, Forty-Eighth
Edition. New York : The McGraw-Hill Companies, pp: 803-810
2. Cahyaningsih N.D. 2008. Hemodialisis (Cuci Darah) Panduan Praktis Perawatan
Gagal Ginjal. Yogjakarta : Media Cendikia
3. Himmelfarb J., Ikizler T.A. 2010. Hemodialysis. N Engl J Med. 363:1833-45
4. Bellomo R, Cass A, et al. 2009. Renal Replacement Therapy Study Investigators,
, Intensity of continuous renal-replacement therapy in critically ill patients. N
Engl J Med 2009; 361:1627.
5. Zepeda-Orozco D, Quigley R. 2012. Dialysis disequilibrium syndrome. Pediatr
Nephrol 2012.
6. Bucurescu, G., Hoffmann, M. 2012. Neurological Manifestations of Uremic
Encephalopathy Clinical Presentation. www.medscape.com/article090756
7. Almaraz, E. Rotter. C. 2008. Dialysis disequilibrium syndrome and other
treatment complications of extreme uremia: a rare occurrence yet not vanished.
National Medical Science and Nutrition, National Autonomous University of
Mexico, Mexico City, Mexico.
8. Robert M., James RB. 1994. Cardiogenic Shock. N Engl J Med; 330: 1724-1730
(definisi, patofis)
9. Harmony R, Judith S, Hochman. 2008. Cardiogenic Shock. American Heart
Association Journal, 117: 686-697
10. Price S.A., Lorraine M.W. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Jakarta: EGC( 576-612)
11. Sudoyo AW, Bambang S., Idrus A., Marcellus S., Siti S. 2006. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta: FK UI (344-348)
12. Nasri H., Behzad S.A., Mohamadhosein T., Reza P. 2008. Cardiac Arrhytmia in
Dialysis Patiens. ARYA Atherosclerosis Journal, 3(4) : 223-226
13. Switalski M, Kepka A, Galewicz M, Figatowski W, Maliński A.Ventricular
arrhythmia in patients with chronic renal failure treated with hemodialysis, Pol
Arch Med Wewn. 2000; 104(4):703-8.
14. Screiber MJ. 2000. Setting the Stage. Clinical Dilemmas in Dialysis: Managing
The Hypotensive Patient. Am J. Kidneys Dis. 2001;38: 1-10)(Emili S. Black
NA, Paul RV, Rexing CJ, Ullian ME. A protocol-Based Treatment for
intradialytic Hypotension in Hospitalized Hemodyalisis Patients. Am. J. Kidney
Dis. 1999; 33:1107-14)
15. Andrelli S, Colzani S, Mascia F, Lucchi L, et al. The Role of Blood Volemu
reduction in the Genesis of Intradialytic Hypotension. AM J. Kidney Dis. 2006 :
1244-54
16. Bregman H, Daugirdas JT, Ing TS. Complication During Hemodialysis.
Handbook of Dialysis 4 th ed. Boston : Little Brown
17. Cruz DN, Mahnensmith RL, Brickel HM, Perazella MA: Midodrine and cool
dialysate are effective therapies for symptomatic intradialytic hypotension. Am J
Kidney Dis33:920-926, 1999
18. Epstein A, Kay G, Plumb V: Considerations in the diagnosis and treatment of
arrhythmias in patients with end-stage renal disease. Semin Dial 2:31-37, 1990
19. Dheenan S, Henrich WL: Preventing dialysis hypotension: A comparison of
usual protective maneuvers. Kidney Int 59:1175-1181, 2001