refrat prof gun

25

Click here to load reader

Upload: dian-ajeng-atikaningrum

Post on 08-Aug-2015

112 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: REFRAT Prof Gun

REFRAT

KOMPLIKASI AKUT HEMODIALISA

Oleh:

Dessy Tri Pratiwi G9911112046

Dimas Yuliar Sevanto G9911112055

Ike Pramastuti G9911112078

Pembimbing

Dr. dr. HM. Bambang Purwanto, Sp.PD-KGH-FINASIM

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI

SURAKARTA

2012

Page 2: REFRAT Prof Gun

I. HEMODIALISIS

Menururt Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (KDOQI)

guidelines, dialisis harus dimulai saat LFG pasien 10 ml/menit atau ureum

serum 8 mg/dl. Khusus untuk pasien diabetes terapi ini dapat dimulai saat LFG

mencapai 5 ml/menit atau kadar serum 6 mg/dl.1

Adapun indikasi untuk memulai terapi hemodialisis antara lain:

a. Kegagalan penanganan konservatif

b. Mual, muntah, nafsu makan hilang

c. Kadar ureum tinggi

d. Kadar kreatinin tinggi

e. Kalium serum > 6 mmol/l (indikasi absolut)

f. Asidosis berat, pH darah < 7,1 (indikasi absolut)

g. Kelebihan cairan, jika sampai menyebabkan udem paru menjadi indikasi

absolute

h. Perikarditis (indikasi absolut)

i. Anuria berkepanjangan2

Prinsip kerja dialisis adalah pertukaran elektrolit dan zat lain yang ada

di dalam darah dengan cairan dialisat, dengan perantara membran

semipermeabel. Cairan dialisat ini terbuat dari konsituen esensial plasma

seperti natrium, kalium, klorida, kalsium, magnesium, dan glukosa, serta suatu

buffer seperti bikarbonat asetat atau laktat. Pertukaran zat ini dapat

berlangsung cepat atau lambat tergantung pada berat molekul dan konsentrasi

zat terlarut. Zat dengan berat molekul kecil seperti urea dapat berdifusi dengan

cepat, tetapi zat-zat dengan berat molekul besar seperti fosfat, β2-

microglobulin, dan albumin berdifusi lebih lambat.3 Berikut ini adalah tabel zat

terlarut dengan berat molekulnya2.

Zat terlarut Berat Molekul

Page 3: REFRAT Prof Gun

(Da)

Albumin 66000

Kalsium 40

Kreatinin 113

Urea 60

Air 18

Zink 65,3

II. KOMPLIKASI AKUT HEMODIALISIS

1. Dialysis Disequilibrium Syndrome (DDS)

Salah satu indikasi terapi hemodialisis segera adalah untuk mengoreksi

asidosis metabolic dengan oliguri. Namun komplikasi Hemodialisis tersebut

antara lain dapat menyebabkan Dialysis Disequilibrium Syndrome (DDS).

DDS merupakan komplikasi akut yang sering terjadi pada pasien dengan terapi

hemodialisis. Pasien yang memiliki riwayat penyakit neurologis sebelumnya,

seperti trauma kepala, stroke, atau hipertensi mailignant, memiliki risiko lebih

besar untuk mengalami DDS. Gejala-gejala ringan DDS antara lain sakit

kepala, mual, muntah, pandangan kabur, kram otot, anorexia, disorientasi, dan

hipertensi. Sedangkan gejala yang lebih jarang ditemukan yang berkaitan

dengan disfungsi sistem saraf pusat antara lain kejang, central pontine

myelinolysis, koma, dan bahkan kematian. 6

Pathogenesis

Patogenesis terjadinya DDS masih dalam perdebatan, namun demikian

ada dua hipotesis yang saat ini diyakini, yaitu sebagai berikut :

a. “Reverse Urea effect”

Hemodilaisis dapat secara cepat membuang urea dari pasien dengan

uremia. Hipotesis ini menyatakan bahwa pembuangan urea melalui barrier

darah otak berjalan lebih lambat dibandingkan dengan dari plasma.

Page 4: REFRAT Prof Gun

Perbedaan osmotik dalam barrier darah otak ini menyebabkan cairan

masuk ke dalam parenkim otak dan menyebabkan edema. Ditambah lagi

reduksi BUN menurunkan osmolalitas plasma yang menyebabkan

perbedaan gradient tekanan osmotic sehingga cairan masuk ke dalam sel.

Dari penelitian yang dilakukan dengan hewan uji mencit,

hemodialisis dapat menurunkan BUN dari 200 ke 95 mg/dL dalam 90

menit. Hal tersebut mrngakibatkan peningkatan cairan serebri sebanyak

6%. Dengan adanya edema tersebut maka dapat terjadi disfungsi neurologis

dengan berbagai derajat.4

b. Asidosis intraserebral

Peningkatan osmolalitas cairan ekstraseluler pada uremia

menyebabkan akumulasi dari osmolit untuk menghambat dehidrasi sel.

Saat dilakukan hemodialisis, terjadi penumpukan osmolit yang

menyebabkan pembentukan asam organic dan terjadilah reduksi pH

intraseluler sehingga meningkatkan osmolalitas dan menyebabkan oedem

cerebri. Osmolit tersebut antara lain glutamine, glutamate, taurin, dan

myoinositol.

Beberapa penelitian yang dilakukan pada hewan menunujukkan

bahwa pada saat hemodialisis, selain pH darah yang turun, pH LCS juga

turun. Penurunan pH intaselular otak tersebut menyebabkan hydrogen

digantikan oleh natrim dan kalium yang akan meaikkan osmolalitas cairan

intraseluler. Dengan naiknya osmolalitas, maka cairan akan berdifusi

masuk ke dalam sel dan menyebabkan edema cerebri.4

Gejala dan tanda

Gejala-gejala DDS antara lain sakit kepala, mual, muntah, pandangan

kabur, kram otot, anorexia, disorientasi, dan hipertensi. Sedangkan gejala yang

lebih jarang ditemukan yang berkaitan dengan disfungsi sistem saraf pusat

antara lain kejang, central pontine myelinolysis, koma, dan kematian. Papil

edem juga sering dilaporkan sebagai gejala dari DDS. Hal ini meunjukkan

bukti adanya peningkatan tekanan intracranial.

Page 5: REFRAT Prof Gun

Pemeriksaan radiologi

Dengan CT scan dan MRI, maka pasien hemodialisis dengan

komplikasi akut neuroligis dapat segera terdeteksi. Pada teknik MRI yang

canggih, pasien yang dicurigai DDS dapat difoto dengan metode DWI. Dengan

metode tersebut dapat diketahui fungsi difusi membran.

CT scan kepala menunjukkan edem cerebri difus dengan letak basal cysterna,

ditandai dengan hilangnya perbedaan warna putih dan abu-abu.

Terapi

Pencegahan merupakan langkah yang harus dilakukan untuk

mengurangi angka kejadian DDS. Dialisis untuk yang pertama kali harus

secara perlahan namun diulang secara berkala. Target terapi adalah

menurunkan jumlah BUN, meskipun gejala ringan seperti sakit kepala dan

malaise tetap ada. Pembuangan urea yang lambat dapat ditangani dengan :

a. Hemodialisis dapat dimulai dengan aliran darah yang rendah yaitu 150-250

ml/min dalam waktu 2 jam dengan dialyzer yang permukaannya minimal.

Regimen tersebut dapat diulang setiap hari selama tiga sampai empat hari.

Jika pasien tidak menunjukkan tanda-tanda DDS, maka akecepatan aliran

Page 6: REFRAT Prof Gun

darah dapat dinaikkan 50ml/min dalam sekali terapi (hingga 300-400

ml/min), dan durasi dialysis dapat dinaikkan 30 menit. Pasien dengan

overload cairan dapat diterapi dengan ultrafiltrasi dan dilanjutkan dengan

dialysis singkat. 6

b. Beberapa dokter menganjurkan pemakaian fenitoin (dengan dosis awal

1000 mg dilanjutakan dengan 300mg/day sampai uremia terkontrol)

sebagai profilaksis. Pada pasien yang memiliki risiko tinggi dengan

azotemia (BUN >200 mg/dl) dapat diberikan hipertonik manitol IV 12,5 g

setiap jam selama hemodialisis. 7

c. Pendapat lain mengatakan bahwa pencegahan DDS adalah dengan

penggunaan cairan dialisat yang mengandung ureum dengan konsentrasi

yang sama dengan ureum pada darah pasien.7

2. Syok Kardiogenik

Definisi

Syok kardiogenik adalah suatu keadaan dimana sirkulasi darah tidak

memadai karena kegagalan dari ventrikel jantung untuk berfungsi secara

efektif, terutama setelah infark miokard akut. Keadaan ini menyebabkan

kebutuhan jaringan akan oksigen dan nutrisi tidak terpenuhi sehingga terjadi

kematian sel akibat hiposia dan hipoglikemia.8

Insidensi

Insidensi terjadinya syok kardiogenik pada pasien yang sedang

menjalankan terapi hemodialisa hingga saat ini belum diketahui, baik di

Indonesia maupun di negara-negara lain. Butuh penelitian lebih lanjut

mengenai insidensi terjadinya syok kardiogenik sebagai komplikasi dari pasien

yang sedang menjalankan terapi hemodialisa.

Etiologi

Page 7: REFRAT Prof Gun

Syok kardiogenik disebabkan oleh kegagalan jantung untuk memompa

darah secara efektif. Hal ini bisa disebabkan oleh kerusakan otot jantung,

paling sering karena infark miokard.9

Patogenensis

Syok kardiogenik dapat merupakan salah satu komplikasi saat pasien

sedang menjalankan hemodialisis. Pada saat hemodialisis, terjadi penurunan

curah jantung, yang pada gilirannya menurunkan tekanan darah arteria ke

organ-organ vital. Termasuk aliran darah ke arteri koroner, sehingga asupan

oksigen ke jantung menurun, yang akhirnya meningkatkan iskemia dan

penurunan lebih lanjut kemampuan jantung untuk memompa.8,10

Gejala dan Tanda10

a. Cemas, gelisah, perubahan status mentalis karena menurunnya perfusi otak

dan hipoksia.

b. Hipotensi akibat penurunan curah jantung, ditunjukkan dengan kombinasi

tekanan darah sistolik rendah (<90 mmHg atau penurunan 30 mmHg

dibawah tingkat basal selama minimal 30 menit

c. Nadi cepat (yakni > 100x/menit) dan lemah karena menurunnya sirkulasi

darah dan takikardi.

d. Kulit dingin, lembab, basah, sianosis dan terdapat cutis marmorata karena

vasokonstriksi dan hipoperfusi kulit.

e. Distensi vena jugularis karena adanya peningkatan tekanan vena.

f. Oligouria (output) urin kurang dari 30 mL/jam, karena kegagalan perfusi

ginjal.

g. Napas cepat dan dalam (hiperventilasi) karena rangsangan sistim saraf

simpatis dan asidosis.

h. Kelelahan karena hiperventilasi dan hipoksia.

i. Edema paru akut, sehingga suara nafas terdengar jelas

j. Diaphoresis (diaforesis, diaphoretic, berkeringat, mandi keringat, hidrosis,

perspirasi)

Pemeriksaan yang dapat mendukung terjadinya syok kardiogenik antara lain

Page 8: REFRAT Prof Gun

a. Penanda jantung (mis: kreatinin kinase, troponin, mioglobin)

b. Elektrolit

c. Faktor pembekuan (mis: prothrombin time, activated partial

thromboplastin time)

d. Evaluasi keseimbangan asam basa, karena asidosis mengganggu fungsi

miokard. Peningkatan kadar serum laktat merupakan indikator syok.

e. BNP (Brain Natriuretic Peptide) dapat berguna sebagai indikator gagal

jantung kongestif

f. Pemeriksaan radiologis. Sebuah foto toraks sangat membantu karena

menggambarkan ukuran jantung, vaskularisasi paru, dan memperkirakan

ukuran mediastinum dan aorta.

g. EKG normal tidak menyingkirkan kemungkinan diagnosis. EKG

seringkali membantu ketika dibandingkan dengan rekaman sebelumnya.

EKG bermanfaat juga untuk mengetahui adanya aritmia dan

kardiomiopati.

h. Angiografi koroner

i. Ekokardiogram

Pengelolaan dan Penatalaksanaan10

a. Pengobatan dimulai dengan penilaian dan pengobatan ABC, Airway. Disini

dinilai patensi jalan napas. Intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanik

dapat dipertimbangkan pada pasien yang sulit untuk bernapas. Ventilasi

tekanan positif dapat meningkatkan oksigenasi namun juga membahayakan

aliran balik vena, preload ke jantung. Berikan oksigen untuk

mempertahankan PO2 70 – 120 mmHg.

b. Intervensi lainnya ditujukan untuk membantu perfusi otot jantung dan

memaksimalkan curah jantung. Cairan intravena harus diberikan untuk

mendapatkan curah jantung yang memadai.

Page 9: REFRAT Prof Gun

c. Cairan atau syok refrakter untuk menanamkan cairan inotropica. Dalam

kasus jantung beberapa aritmia anti-arrhythmic agen dapat diberikan, yaitu

adenosin, amiodarone, β-blocker atau glukagon. Agen inotropik positif ini

dapat meningkatkan kemampuan memompa jantung, sehingga

memperbaiki hipotensi.

d. Antikoagulan dan aspirin harus diberikan seperti pada kasus infark miokard

lainnya.

e. Vasopressor intravena meningkatkan perfusi dari miokard yang mengalami

iskemia dan seluruh jaringan tubuh. Namun detak jantung yang ekstrim

harus dihindari karena meningkatkan konsumsi oksigen miokard,

meningkatkan ukuran infark dan mengganggu kemampuan jantung untuk

memompa darah. Vasopressor yang dapat digunakan: dopamin, dobutamin,

norepinefrin. Dobutamin intravena, yang bekerja pada reseptor β1 dari

jantung menuju kontraktilitas meningkat dan denyut jantung.

f. Nitrat dan morfin dapat digunakan untuk pengelolaan nyeri, nmun

penggunaannya harus hati-hati karena pasien berada dalam kondisi syok,

dan penggunaan berlebihan dari agen ini dapat menyebabkan hipotensi.

g. Obat pendukung lainnya, dapat dipertimbangkan nesiritide (Natrecor) dan

levosimendan. Meskipun nesiritide dapat meningkatkan mortalitas dan

disfungsi ginjal, namun obat ini terus dipelajari dalam pengobatan gagal

jantung kongestif akut. Obat Ini harus digunakan dengan hati-hati karena

telah terbukti menyebabkan hipotensi.

h. Penggunaan peralatan mekanik, misalnya IABP (intra-aortic balloon pump)

dan LVAD (Left-ventricular assist devices)

i. Koreksi hipoksia, gangguan elektrolit, dan keseimbangan asam basa yang

terjadi.

3. Aritmia Maligna

Definisi

Aritmia adalah suatu keadaan abnormalitas dari kecepatan dneyut jantung

(rate), irama ( rhythm) atau konduksi (conduction) yang apat berakibat letal

Page 10: REFRAT Prof Gun

( sudden cardiac death) atau simptomatik ( sinkope, near sinkope, pusing,

berdebar)11

Insidensi Indonesia

Setengah dari kematian pada hemodialisa disebabkan oleh artimia selama

dialysis. Penelitian yang dilakukan oleh Hemiderza dkk, didapatkan insidensi

64% persen pasien mengalami aritmia saat menjalankan terapi hemodialisa.

Kontrol dan managemen dari aritmia pada pasien yang sedang menjalankan

hemodialisis dapat mengurangi angka mortalitasnya. Prevalensi dari aritmia

pada hemodialisa tidak dipengaruhi oleh ion, durasi dan kualitas dialisa,

keparahan dari anemia dan factor demografik.12

Etiologi

Etiologi maligna pada saat hemodialisa disebabkan karena adanya hipoksia,

hipotensi, penghentian obat antiaritmia selama dialisa, penurunan yang cepat

dari kalsium, magnesium, kalium dan bikarbonat serum.11

Patogenensis

Gangguan fungsi ginjal pada pasien yang menjalankan hemodialisa akan

menyebabkan keabnormalan level ion dan ion Ca, K, serta Mg menjadi tidak

seimbang. Ketidakseimbangan tersebut berefek pada potensial membrane rest

sel-sel jantung sehingga mengubah interval QT. Peningkatan interval QT dapat

menyebabkan aritmia pada pasien dialisa yang berisiko terhadap kematian.

Dari beberapa pengamatan diketahui bahwa perubahan QT interval pada

pasien antara selama dialisa mengalami perubahan patologis yang nyata.9

Gejala dan Tanda12

Gejala :

Syok,

Gagal jantung,

Angina,

Palpitasi,

Sinkope

Page 11: REFRAT Prof Gun

Tanda:

denyut nadi > 100x permenit atau < 60x permenit

komplek QRS lebar (120 ms atau 3 kotak kecil di EKG) atau sempit ( < 120

ms atau kurang dari 3 kotak kecil di EKG)

Irama biasanya tidak teratur

Penatalaksanaan

Aritmia pada pasien hemodialisa dapat diatasi dengan menurunkan

flow rate, oksigenasim dan evakuasi. Bila aritmia menetap, diberikan digitalis

parenteral.13

4. Hipotensi

Saat ini hampir setengah juta penderita gagal ginjal kronik

menjalani tindakan HD untuk memperpanjang hidupnya. Walaupun

tindakan ini mengalami perkembangan yang cukup pesat, beberapa penderita

tetap mengalami masalah medis saat pelaksanaan HD. Beberapa masalah

medis yang bisa terjadi pada penderita yang mengalami HD seperti

gangguan hemodinamik, gangguan koagulasi, gangguan pada sistem saraf dan

lain-lain. Dari masalah medis yang bisa terjadi saat HD, gangguan

hemodinamik berupa hipotensi merupakan masalah yang paling sering terjadi

selama HD rutin dibanding yang lain. Terjadi hampir 20%-50% pada setiap

proses hemodialisis, lebih sering terjadi pada pasien dengan usia tua atau

pasien wanita. Hal ini menyebabkan peningkatkan morbiditas maupun

mortalitas. Beberapa laporan menempatkan hipotensi intradialitik sebagai

penyebab utama kematian saat HD. Penelitian yang pernah dilakukan di RSUD

Dr Sutomo tahun 2000 mendapatkan angka kejadian hipotensi intradialitik

sebesar 23%.14

Hipotensi saat hemodialisis atau intradialytic hypotension (IDH) dapat

didefinisikan sebagai penurunan tekanan sistolik lebih dari 30mmHg atau

tekanan sistolik tetap di bawah 90mmHg. Tekanan darah pra dan pascadialitik

dipengaruhi oleh penurunan volume plasma intradialitik. Penyebab

Page 12: REFRAT Prof Gun

timbulnya hipotensi pada penderita HD sampai saat ini belum sepenuhnya

diketahui. Banyak faktor yang diduga sebagai penyebab hipotensi seperti

perubahan volume, osmolaritas, elektrolit, suhu serta aktifitas mediator

humoral. Selama ultrafiltrasi, perpindahan cairan tanpa protein dari

kompartemen intavaskuler menimbulkan peningkatan konsentrasi protein

plasma dan tekanan onkotik. Hal ini dikombinasi dengan penurunan tekanan

hidrostatik kapiler memicu perpindahan cairan dari interstisial ke dalam

intravaskuler. Pada beberapa orang IDH terjadi bila mekanisme kompensasi

normal tidak dapat mengatasi hilangnya cairan intravaskuler dalam waktu yang

cepat. Plasma refilling adalah mekanisme kompensasi untuk

mempertahankan keseimbangan cairan dimana terjadi pergeseran cairan dari

kompartemen ekstravaskuler ke intravaskuler. Penurunan volume intravaskuler

yang terlalu cepat melebihi kecepatan pergeseran cairan ekstravaskuler ke

intravaskuler ( atau keterlambatan plasma refilling) akan menyebabkan

hipotensi intradialitik. Beberapa hal yang berpengaruh terhadap terjadinya

plasma refilling adalah gradien tekanan hidrostatik, onkotik, osmotik dan

permeabilitas kapiler. Sedangkan kecepatan refilling dipengaruhi oleh

ultrafiltrasi, keseimbangan protein total, status hidrasi dan permeabilitas

kapiler. Perubahan volume darah relatif dan mekanisme kompensasinya sangat

mungkin berperan dalam terjadinya hipotensi intradialitik. Untuk menilai

perubahan volume darah relatif dapat digunakan parameter kadar protein

plasma total intradialitik. Kadar protein plasma berhubungan dengan tekanan

onkotik dan tekanan osmotik plasma yang selanjutnya berperan dalam

perubahan volume darah relatif.14

Faktor lain yang berperan terhadap terjadinya IDH yaitu karena

berkurangnya vasokontriksi. Perubahan kapasitas vena dapat mengakibatkan

penurunan pengisian jantung, penurunan cardiac output dan perlu diketahui >

80% volume darah total berada di vena. Perubahan kapasitas vena dikarenakan

proses pasif vena akibat pemindahan tekanan dari pembuluh darah arteriol.

Page 13: REFRAT Prof Gun

Jadi penurunan tekanan arteriol menyebabkan peningkatan transmisi arteri ke

vena dan vena akan berdilatasi secara pasif.15

Beberapa hal yang dapat menyebabkan diltasi vena saat hemodialisis

antara lain :

a. Pemakaian asetat selama hemodialisa, pemakian asetat akan

mengakibatkan peningkatan produk adenosin di sirkulasi dan adenosin ini

akan menghambat pengeluaran norepinefrin sehingga terjadi hipotensi.

b. Penggunaan temperatur normal

c. Makan pada saat hemodialisis berlangsung akan menyebabkan penurunan

tekanan darah karena menurunnya tekanan pembuluh darah terutama

didaerah splanchnic.

d. Neuropati otonom, sering terjadi pada pasien-pasien diabetes. Pada

beberapa pasien sering terjadi kerusakan respon vasokontriksi terhadap

penurunan volume darah sehingga terjadi penurunan kemampuan dalam

mempertahankan tekanan darah saat terjadi penurunan cardiac output.16

e. Penggunaan obat anti hipertensi. Hipertensi selalu menyertai pasien-

pasien dengan gagal ginjal terminal. Pemakaian obat golongan ACE

inhibitor sering mengakibatkan hipotensi.17

Beberapa pasien yang memiliki resiko tinggi terjadinya IDH

a. Pasien dengan diabetik

b. Psien dengan gizi buruk dan hipoalbumin

c. Pasien dengan neuropati uremic atau disfungsi autonom oleh sebab

apapun

d. Pasien dengan anemia berat

e. Pasien dengan tekanan darah predialisis < 100mmHg

f. Usia 65 tahun atau lebih

Gejala : abdominal disscomfort, mual, muntah, sering menguap, kram

otot, gelisah, pusing ataupun pingsan

Pencegahan IDH :

Page 14: REFRAT Prof Gun

a) Menurunkan laju ultrafiltrasi (<1,5 L/h)

b) Meningkatkan konsentrasi sodium dialisat

c) Meningkatkan konsentrasi calcium dialisat

d) Menurunkan suhu dialisat

e) Menggunakan membran biocompatible

f) Meminimalkan penggunaan antihiertensi short-acting dalam 4 jam dialisis

(terutama penggunaan vasodilator

g) Penggunaan Midodrine 30-60 menit sebelum dialisis dengan dosis 5

sampai 10 mg,

Penanganan IDH mencakup

1) penghentian ultrafiltrasi,

2) pasien diposisikan pada posisi Trendellenburg,

3) Evaluasi tekanan darah. Bila tekanan darah tidak meningkat, berikan bolus

infus NaCl. Evaluasi tekanan darah selama 15 menit. Bila dalam 15 menit

menaikkan cairan gagal, dipakai vassopressor : dopamon atau dobutami,

tergantung HR pasien.

4) Suplementasi oksigen dengan pemberiaan O2 1-2 liter

5) Kalau perlu dialisa diistirahatkan dengan cara :

- Darah dikembalikan ke tubuh sambil menunggu pasien membaik; selang

darah diisi NaCl 0,9% dan disirkulasi.

- Heparin tetap dijalankan agar tidak ada sisa bekuan darah dalam selang

- Jika tensi sudah baik, dialisa dapat dimulai kembali18

Page 15: REFRAT Prof Gun

DAFTAR PUSTAKA

1. Watnick S., Morrison G. 2009. Chronic Kidney Disease. Dalam : McPhee S. J.,

Papadakins M. A. Current Medical Diagnosis & Treatment 2009, Forty-Eighth

Edition. New York : The McGraw-Hill Companies, pp: 803-810

2. Cahyaningsih N.D. 2008. Hemodialisis (Cuci Darah) Panduan Praktis Perawatan

Gagal Ginjal. Yogjakarta : Media Cendikia

3. Himmelfarb J., Ikizler T.A. 2010. Hemodialysis. N Engl J Med. 363:1833-45

4. Bellomo R, Cass A, et al. 2009. Renal Replacement Therapy Study Investigators,

, Intensity of continuous renal-replacement therapy in critically ill patients. N

Engl J Med 2009; 361:1627.

5. Zepeda-Orozco D, Quigley R. 2012. Dialysis disequilibrium syndrome. Pediatr

Nephrol 2012.

6. Bucurescu, G., Hoffmann, M. 2012. Neurological Manifestations of Uremic

Encephalopathy Clinical Presentation. www.medscape.com/article090756

7. Almaraz, E. Rotter. C. 2008. Dialysis disequilibrium syndrome and other

treatment complications of extreme uremia: a rare occurrence yet not vanished.

National Medical Science and Nutrition, National Autonomous University of

Mexico, Mexico City, Mexico.

8. Robert M., James RB. 1994. Cardiogenic Shock. N Engl J Med; 330: 1724-1730

(definisi, patofis)

9. Harmony R, Judith S, Hochman. 2008. Cardiogenic Shock. American Heart

Association Journal, 117: 686-697

10. Price S.A., Lorraine M.W. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses

Penyakit. Jakarta: EGC( 576-612)

11. Sudoyo AW, Bambang S., Idrus A., Marcellus S., Siti S. 2006. Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta: FK UI (344-348)

12. Nasri H., Behzad S.A., Mohamadhosein T., Reza P. 2008. Cardiac Arrhytmia in

Dialysis Patiens. ARYA Atherosclerosis Journal, 3(4) : 223-226

Page 16: REFRAT Prof Gun

13. Switalski M, Kepka A, Galewicz M, Figatowski W, Maliński A.Ventricular

arrhythmia in patients with chronic renal failure treated with hemodialysis, Pol

Arch Med Wewn. 2000; 104(4):703-8.

14. Screiber MJ. 2000. Setting the Stage. Clinical Dilemmas in Dialysis: Managing

The Hypotensive Patient. Am J. Kidneys Dis. 2001;38: 1-10)(Emili S. Black

NA, Paul RV, Rexing CJ, Ullian ME. A protocol-Based Treatment for

intradialytic Hypotension in Hospitalized Hemodyalisis Patients. Am. J. Kidney

Dis. 1999; 33:1107-14)

15. Andrelli S, Colzani S, Mascia F, Lucchi L, et al. The Role of Blood Volemu

reduction in the Genesis of Intradialytic Hypotension. AM J. Kidney Dis. 2006 :

1244-54

16. Bregman H, Daugirdas JT, Ing TS. Complication During Hemodialysis.

Handbook of Dialysis 4 th ed. Boston : Little Brown

17. Cruz DN, Mahnensmith RL, Brickel HM, Perazella MA: Midodrine and cool

dialysate are effective therapies for symptomatic intradialytic hypotension. Am J

Kidney Dis33:920-926, 1999

18. Epstein A, Kay G, Plumb V: Considerations in the diagnosis and treatment of

arrhythmias in patients with end-stage renal disease. Semin Dial 2:31-37, 1990

19. Dheenan S, Henrich WL: Preventing dialysis hypotension: A comparison of

usual protective maneuvers. Kidney Int 59:1175-1181, 2001