refrat gangguan penghidu

36
Clinical Science Session GANGGUAN PENGHIDU Oleh Lukman Hakim : 07120098 Willy Suryawan : 07120147 Franesia Dwirahmana : 0810312104 Meirina Khairat : 0810312106 Pembimbing Dr. Effy Huriyati, Sp.THT-KL BAGIAN ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK – BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS RSUP DR.M.DJAMIL PADANG

Upload: woi89

Post on 31-Oct-2014

212 views

Category:

Documents


20 download

DESCRIPTION

REFRAT GANGGUAN PENGHIDU

TRANSCRIPT

Page 1: REFRAT GANGGUAN PENGHIDU

Clinical Science Session

GANGGUAN PENGHIDU

Oleh

Lukman Hakim : 07120098

Willy Suryawan : 07120147

Franesia Dwirahmana : 0810312104

Meirina Khairat : 0810312106

Pembimbing

Dr. Effy Huriyati, Sp.THT-KL

BAGIAN ILMU KESEHATAN

TELINGA HIDUNG TENGGOROK – BEDAH KEPALA LEHER

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

RSUP DR.M.DJAMIL

PADANG

2012

Page 2: REFRAT GANGGUAN PENGHIDU

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan

karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah Clinical Science Session yang

berjudul Diagnosis dan Penatalaksanaan Gangguan Penghidu. Makalah ini dibuat sebagai salah

satu syarat dalam mengikuti kepaniteraan klinikdi Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung

Tenggorok-Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.

Terima kasih penulis ucapka kepada dr. Effi Huriyati, Sp.THT-KL selaku preseptor dan

semua pihak yang membantu dalam penulisan makalah ini. Penulis menyadari sepenuhnya

bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kritik dan saran sangat penulis

harapkan. Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat untk kita semua.

Padang, 10 Desember 2012

Penulis

2

Page 3: REFRAT GANGGUAN PENGHIDU

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................ 2

DAFTAR ISI........................................................................................................................... 3

DAFTAR GAMBAR.............................................................................................................. 5

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang.............................................................................................. 6

1.2 Batasan Masalah............................................................................................ 7

1.3 Tujuan Penulisan........................................................................................... 7

1.4 Metode Penulisan ......................................................................................... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Defenisi......................................................................................................... 8

2.2 Anatomi Hidung............................................................................................ 8

2.2.1 Persarafan Hidung................................................................................ 9

2.2.2Mukosa Hidung..................................................................................... 10

2.3 Fisiologi Penciuman...................................................................................... 12

2.4 Gangguan Penghidu ..................................................................................... 15

2.5 Etiologi dan Patogenesis............................................................................... 15

2.6 Diagnosis....................................................................................................... 18

2.6.1Tanda dan Gelada.................................................................................. 18

2.6.2 Pemeriksaan Fisik................................................................................. 18

2.6.3 Temuan Laboratorium.......................................................................... 21

2.7 Penatalaksanaan............................................................................................. 21

2.8 Prognosis....................................................................................................... 24

3

Page 4: REFRAT GANGGUAN PENGHIDU

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan....................................................................................................... 25

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 26

4

Page 5: REFRAT GANGGUAN PENGHIDU

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Anatomi Hidung Luar............................................................................................8

Gambar 2 Kavum Nasi...........................................................................................................9

Gambar 3 Nervus Olfaktorius............................................................................................. 10

Gambar 4 Mukosa Hidung.................................................................................................. 10

Gambar 5 Mukosa Penghidu............................................................................................... 11

Gambar 6 Area Olfaktori..................................................................................................... 12

Gambar 7 Transduksi Sinyal Olfaktori............................................................................... 14

5

Page 6: REFRAT GANGGUAN PENGHIDU

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Fungsi penghidu dan pengecapan yang normal sangat berperan dalam nutrisi dan penting

untuk mempertahankan gaya hidup yang sehat. Gangguan penciuman umumnya sukar

didiagnosa dan sukar untuk diobati biasanya karena kurangnya pengetahuan pada individu.

Gangguan penciuman bisa sekunder akibat proses perjalanan penyakit atau bisa juga sebagai

keluhan primer .Daya menghidu yang hilang atau berkurang terjadi pada kira-kira 1% dari

mereka yang berusia di bawah 60 tahun dan lebih dari 50 % pada mereka yang berusia lebih dari

60 tahun.1,2

Hilangnya fungsi pembauan dan/atau pengecapan dapat mengancam jiwa penderita

karena penderita tak mampu mendeteksi asap saat kebakaran atau tidak dapat mengenali

makanan yang telah basi. Karena sekitar 80% gangguan pengecapan merupakan kelainan

pembauan yang sejati maka refrat ini terutama difokuskan pada fungsi pembauan dan

penurunannya.2

Indera penghidu yang merupakan fungsi nervus olfaktorius (N.I), sangat erat

hubungannya dengan indera pengecap yang dilakukan oleh saraf trigeminus (N.V), karena

seringkali kedua sensoris ini bekerja bersama-sama, sehingga gangguan pada salah satu indera

tersebut biasanya turut mengganggu fungsi indera yang satu lagi. Reseptor organ penghidu

terdapat di regio olfaktorius dihidung bagian sepertiga atas. Serabut saraf olfaktorius berjalan

melalui lubang-lubang pada lamina kribrosa os etmoid menuju bulbus olfaktorius didasar fossa

kranii anterior. 3

Partikel bau dapat mencapai reseptor penghidu bila menarik napas dengan kuat atau

partikel tersebut larut dalam lendir yang terdapat di daerah olfaktorius.Gangguan penghidu akan

terjadi bila ada yang menghalangi sampainya partikel bau ke reseptor saraf atau ada kelainan

pada N.olfaktorius, mulai dari reseptor sampai pusat olfaktorius. 3,4,5,6

Hasil survei tahun 1994 menunjukkan bahwa 2,7 juta penduduk dewasa Amerika

menderita gangguan penghidu, sementara 1,1 juta dinyatakan menderita gangguan pengecapan.

6

Page 7: REFRAT GANGGUAN PENGHIDU

Penelitian yang dilakukan sebelumnya menemukan bahwa 66% penduduk merasakan bahwa

mereka pernah mengalami penurunan ketajaman pembauan.2

1.2 Batasan Masalah

Clinical Science Session ini membahas mengenai anatomi hidung, fisiologi penciuman,

etiologi, diagnosis, penatalaksanaan, dan prognosis gangguan penghidu.

1.3 Tujuan Penulisan

Mengetahui anatomi hidung, fisiologi penciuman, etiologi, diagnosis, penatalaksanaan,

dan prognosis gangguan penghidu.

1.4 Metode Penulisan

Clinical Science Session ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka yang

merujuk dari berbagai literatur.

BAB II

7

Page 8: REFRAT GANGGUAN PENGHIDU

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Defenisi

Gangguan penghidu adalah gangguan dari saraf olfaktorius, yang merupakan saraf untuk

menghidu. Gangguan penghidu disebut dengan osmia. Gangguan pembauan dapat bersifat total

(seluruh bau), parsial (hanya sejumlah bau), atau spesifik (hanya satu atau sejumlah kecil bau).1

2.2 Anatomi Hidung

Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah adalah

pangkal hidung (bridge), dorsum nasi, puncak hidung, alar nasi, kolumela dan lubang hidung

(nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh

kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan

lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari tulang hidung (os nasalis), prosesus frontalis os

maksila dan prosesus nasalis os frontal, sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa

pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu sepasang kartilago nasalis

lateralis superior, sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago

alar mayor,  beberapa pasang kartilago alar minor dan tepi anterior kartilago septum.3,7,8

Gambar 1 :Anatomi Hidung Luar

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang,

dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau

8

Page 9: REFRAT GANGGUAN PENGHIDU

lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares

posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.3,7,8

Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut

meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan

superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding

lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. 3,7,8

Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os rnaksila dan os

palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis,

yang memisahkan rongga tengkorak dan rongga hidung.3,7

Gambar 2: Kavum Nasi

2.2.1 Persarafan Hidung

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.etmoidalis

anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dan n.oftalmikus (N.V-I).

Nervus olfaktorius turun melalui lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus

olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada rnukosa olfaktorius di

daerah sepertiga atas hidung. 2,3,5,6,7,8,9

9

Page 10: REFRAT GANGGUAN PENGHIDU

Gambar 3: Nervus olfaktorius

2.2.2Mukosa Hidung

Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas

mukosa pernapasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu (mukosa olfaktorius). Mukosa

pernapasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel

toraks berlapis semu (pseudostratitied columnar epitelium) yang mempunyai silia dan di

antaranya terdapat sel-sel goblet. 3,7,8

  

Gambar 4 : Mukosa hidung

Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap

rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum.Partikel bau dapat mencapai

10

Page 11: REFRAT GANGGUAN PENGHIDU

daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik napas dengan kuat. Mukosa

olfaktorius terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum.

Mukosa ini dilapisi oleh epitel torak berlapis semu dan tidak bersilia (pseudostratified columnar

non ciliated epithelium). Epitelnya dibentuk oleh tiga macam sel yaitu sel penunjang, sel basal

dan sel reseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna coklat kekuningan. Di antara sel-

sel reseptor (neuron) terdapat banyak kelenjar Bowman penghasil mukus (air, mukopolisakarida,

enzim, antibodi, garam-garam dan protein pengikat bau). Sejumlah besar kelenjar Bowman

terdapat dalam lamina propria pada region olfaktorius. Sel-sel reseptor bau merupakan satu-

satunya sistem saraf pusat yang dapat berganti secara regular (4-8 minggu). 3,5,6,7,9

Gambar 5: Mukosa penghidu

Sistem olfaktorius terdiri dari mukosa olfaktorius pada bagian atas kavum nasal, fila

olfaktoria, bulbus subkalosal pada sisi medial lobus orbitalis. Saraf ini merupakan saraf sensorik

murni yang serabut-serabutnya berasal dari membran mukosa hidung dan menembus area

kribriformis dari tulang etmoidal untuk bersinaps di bulbus olfaktorius, dari sini, traktus

olfaktorius berjalan dibawah lobus frontal dan berakhir di lobus temporal bagian medial sisi yang

sama. Neuroepitel olfaktorius terletak di bagian atas rongga hidung di dekat cribiform plate,

septum nasi superior dan dinding nasal superolateral. Struktur ini merupakan neuroepitelium

pseudostratified khusus yang didalamnya terdapat reseptor olfaktorius utama. 3,5,6,7,9

            Variasi menghidu pada individu mencirikan struktur region penghidu, perbedaan ini

berhubungan dengan ketebalan mukosa (biasanya sekitar 60 mikron), ukuran sel dan vesikel

olfaktorius. Epitelium olfaktorius terdiri atas tiga lapisan sel yaitu saraf bipolar olfaktorius, sel

sustentakular penyokong yang besar jumlahnya dan sejumlah sel basal. Sel-sel olfaktorius

merupakan suatu neuron bipolar. Ujung distal sel ini merupakan suatu dendrit yang telah

mengalami modifikasi yang menonjol di atas permukaan epitel membentuk vesikel olfaktorius.

11

Page 12: REFRAT GANGGUAN PENGHIDU

Silia berdiri di atas tonjolan mukosa yang dinamakan vesikel olfaktorius dan masuk ke dalam

lapisan sel-sel reseptor olfaktoria. Pada permukaan vesikel terdapat 10 sampai 15 silia nonmotil.

Ujung proksimal sel membentuk akson, di mana akson ini bergabung dengan akson lainnya

membentuk neuron olfaktorius. 3,5,6,7,8,9

Neuron olfaktorius mempunyai akson yang tidak bermielin, akson dari sensosel

dikumpulkan menjadi satu dalam bentuk serat saraf yang melalui lamina kribrosa ke dalam

bulbus olfaktorius. Bulbus olfaktorius terletak di basal lobus frontalis. Bulbus olfaktorius terdiri

atas beberapa lapisan ( dari luar ke dalam bulbus), yaitu lapisan gromerular, lapisan pleksiformis

eksternalis, lapisan sel mitral, lapisan pleksiformis internal dan lapisan sel granula. Di dalam

bulbus olfaktorius terjadi sinaps dengan dendrit neuron kedua. Akson-akson neuron kedua

membentuk traktus olfaktorius, yang berjalan ke otak untuk berhubungan dengan sejumlah

nuklei, fasikuli dan traktus lainnya.3,5,6,7,8,9

 Gambar 6: Area olfaktorius

2.3 Fisiologi Penciuman

Sensasi penghidu diperantarai oleh stimulasi sel reseptor olfaktorius oleh zat - zat kimia

yang mudah menguap. Untuk dapat menstimulasi reseptor olfaktorius, molekul yang terdapat

dalam udara harus mengalir melalui rongga hidung dengan arus udara yang cukup turbulen dan

bersentuhan dengan reseptor. Faktor-faktor yang menentukan efektivitas stimulasi bau meliputi

durasi, volume dan kecepatan menghirup. Tiap sel reseptor olfaktorius merupakan neuron

bipolar sensorik utama.5,7,8

12

Page 13: REFRAT GANGGUAN PENGHIDU

Dalam rongga hidung rata-rata terdapat lebih dari 100 juta reseptor. Neuron olfaktorius

bersifat unik karena secara terus menerus dihasilkan oleh sel-sel basal yang terletak dibawahnya.

Sel-sel reseptor baru dihasilkan kurang lebih setiap 30-60 hari. 5,6

Pada inspirasi dalam, molekul udara lebih banyak menyentuh mukosa olfaktorius

sehingga sensasi bau bisa tercium. Terdapat beberapa syarat zat-zat yang dapat menyebabkan

perangsangan penghidu yaitu zat-zat harus mudah menguap supaya mudah masuk ke dalam

kavum nasi, zat-zat harus sedikit larut dalam air supaya mudah melalui mukus dan zat-zat harus

mudah larut dalam lemak karena sel-sel rambut olfaktoria dan ujung luar sel-sel olfaktoria terdiri

dari zat lemak.7,8

Zat-zat yang ikut dalam udara inspirasi akan larut dalam lapisan mukus yang berada pada

permukaan membran. Molekul bau yang larut dalam mukus akan terikat oleh protein spesifik (G-

PCR). G-protein ini akan terstimulasi dan mengaktivasi enzim Adenyl Siklase. Aktivasi enzim

Adenyl Siklase mempercepat konversi ATP kepada cAMP. Aksi cAMP akan membuka saluran

ion Ca++, sehingga ion Ca++ masuk ke dalam silia menyebabkan membran semakin positif, terjadi

depolarisasi hingga menghasilkan aksi potensial. Aksi potensial pada akson-akson sel reseptor

menghantar sinyal listrik ke glomeruli (bulbus olfaktorius). Di dalam glomerulus, akson

mengadakan kontak dengan dendrit sel-sel mitral. Akson sel-sel mitral kemudiannya menghantar

sinyal ke korteks piriformis (area untuk mengidentifikasi bau), medial amigdala dan korteks

enthoris (berhubungan dengan memori).5

13

Page 14: REFRAT GANGGUAN PENGHIDU

Gambar 7 :Transduksi sinyal olfaktori

Transmisi Sensasi Bau

14

Page 15: REFRAT GANGGUAN PENGHIDU

2.4. Gangguan Penghidu

Macam-macam kelainan penghidu :

Agnosia : tidak bisa menyebutkan atau membedakan bau, walaupun penderita dapat

mendeteksi bau.

Anosmia : tidak bisa mendeteksi bau. Anosmia dapat timbul akibat trauma di daerah

frontal atau oksipital, setelah infeksi oleh virus, tumor, proses degenerasi

pada orang tua.

Hiposmia : penurunan kemampuan dalam mendeteksi bau

Hiperosmia : peningkatan sensistivitas mendeteksi bau

Disosmia : distorsi identifikasi bau

Parosmia : perubahan persepsi pembauan meskipun terdapat sumber bau, biasanya

bau tidak enak, biasanya disebabkan oleh trauma.

Kakosmia : timbul pada epilepsi unsinatus, lobus temporalis, kelainan psikologik

atau kelainan psikiatri seperti depresi dan psikosis

Phantosmia : persepsi bau tanpa adanya sumber bau

Presbiosmia : penurunan atau kehilangan persepsi pembauan yang terjadi pada orang

tua 2,3

2.5 Etiologi dan Patogenesis 3,10,11

2.5.1 Disfungsi pembauan

Gangguan pembauan dapat disebabkan oleh proses-proses patologis di sepanjang jalur

olfaktorius. Kelainan ini dianggap serupa dengan gangguan pendengaran yaitu berupa defek

konduktif atau sensorineural. Pada defek konduktif (transport) terjadi gangguan transmisi

stimulus bau menuju neuroepitel olfaktorius. Pada defek sensorineural prosesnya melibatkan

struktur saraf yang lebih sentral. Secara keseluruhan, penyebab defisit pembauan yang utama

adalah penyakit pada rongga hidung dan/atau sinus, sebelum terjadinya infeksi saluran nafas

atas karena virus; dan trauma kepala.

15

Page 16: REFRAT GANGGUAN PENGHIDU

1. Defek konduktif

a. Proses inflamasi/peradangan dapat mengakibatkan gangguan pembauan. Kelainannya

meliputi rhinitis (radang hidung) dari berbagai macam tipe, termasuk rhinitis alergika,

akut, atau toksik (misalnya pada pemakaian kokain). Penyakit sinusitis kronik seringkali

diikuti dengan penurunan fungsi pembauan meski telah dilakukan intervensi medis,

alergis dan pembedahan secara agresif.

b. Adanya massa/tumor dapat menyumbat rongga hidung sehingga menghalangi aliran

odorant ke epitel  olfaktorius. Kelainannya meliputi polip nasal (paling sering), inverting

papilloma, dan keganasan.

c. Abnormalitas developmental (misalnya ensefalokel, kista dermoid) juga dapat

menyebabkan obstruksi.

d. Pasien pasca laringektomi atau trakeotomi dapat menderita hiposmia karena berkurang

atau tidak adanya aliran udara yang melalui hidung. Pasien anak dengan trakeotomi dan

dipasang kanula pada usia yang sangat muda dan dalam jangka waktu yang lama kadang

tetap menderita gangguan pembauan meski telah dilakukan dekanulasi. Hal ini terjadi

karena tidak adanya stimulasi sistem olfaktorius pada usia yang dini.

2. Defek sentral/sensorineural

a. Proses infeksi/inflamasi menyebabkan defek sentral dan gangguan pada transmisi

sinyal. Kelainannya meliputi infeksi virus (yang merusak neuroepitel), sarkoidosis

(mempengaruhi stuktur saraf), Wegener granulomatosis, dan sklerosis multipel.

b. Penyebab kongenital menyebabkan hilangnya struktur saraf. Kallman syndrome

ditandai oleh anosmia akibat kegagalan ontogenesis struktur olfakorius dan

hipogonadisme hipogonadotropik.

16

Page 17: REFRAT GANGGUAN PENGHIDU

c. Gangguan endokrin (hipotiroidisme, hipoadrenalisme, DM) berpengaruh pada fungsi

pembauan.

d. Trauma kepala, operasi otak, atau perdarahan subarakhnoid dapat menyebabkan

regangan, kerusakan atau terpotongnya fila olfaktoria yang halus dan mengakibatkan

anosmia.

e. Disfungsi pembauan juga dapat disebabkan oleh toksisitas dari obat-obatan sistemik

atau inhalasi (aminoglikosida, formaldehid). Banyak obat-obatan dan senyawa yang

dapat mengubah sensitivitas bau, diantaranya alkohol, nikotin, bahan terlarut organik, dan

pengolesan garam zink secara langsung.

f. Defisiensi gizi (vitamin A, thiamin, zink) terbukti dapat mempengaruhi pembauan.

g. Jumlah serabut pada bulbus olfaktorius berkurang dengan laju 1% per tahun.

Berkurangnya struktur bulbus olfaktorius ini dapat terjadi sekunder karena berkurangnya

sel-sel sensorik pada mukosa olfaktorius dan penurunan fungsi proses kognitif di susunan

saraf pusat.

h. Proses degeneratif pada sistem saraf pusat (penyakit Parkinson, Alzheimer disease,

proses penuaan normal) dapat menyebabkan hiposmia. Pada kasus Alzheimer disease,

hilangnya fungsi pembauan kadang merupakan gejala pertama dari proses penyakitnya.

Sejalan dengan proses penuaan, berkurangnya fungsi pembauan lebih berat daripada

fungsi pengecapan, dimana penurunannya nampak paling menonjol selama usia dekade

ketujuh.2

17

Page 18: REFRAT GANGGUAN PENGHIDU

2.6 Diagnosis

Tahapan pertama dalam mendiagnosis adalah melakukan anamnesis dan pemeriksaan

fisik secara menyeluruh. Berikan penekanan khusus pada riwayat ISPA, patologi hidung atau

sinus, riwayat trauma, masalah medis lainnya, dan obat-obatan yang diminum. Lakukan CT scan

jika dipandang perlu. Seringkali dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan MRI apabila riwayat

penyakitnya tidak mendukung atau ditemukan gejala dan tanda neurologis sekunder. 1,2,6

2.6.1 Tanda dan Gejala

Anosmia unilateral jarang menjadi keluhan. Anosmia hanya dapat dikenali dengan menguji

bau secara terpisah pada masing-masing lubang hidung. Anosmia bilateral, di lain pihak,

membuat pasien mencari pertolongan dokter. Pasien-pasien anosmik biasanya mengeluhkan

hilangnya kemampuan merasa meskipun ambang rasanya mungkin berada pada kisaran normal.

Pada kenyataannya, mereka mengeluhkan hilangnya deteksi rasa, yang sebagian besar

merupakan fungsi dari penciuman.1,2,6

2.6.2 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik harus dilakukan secara teliti dan menyeluruh yang meliputi pemeriksaan

telinga, hidung, kepala dan leher. Pemeriksaan tersebut berguna untuk mengidentifikasi jenis dan

asal kelainan.

a. Konduktif

Pemeriksaan ini untuk menilai ada atau tidaknya massa atau polip, perdarahan dan bekuan

darah, deviasi septum atau adanya fraktur pada tulang kribriformis yang biasa dijumpai pada

trauma kepala yang menghalangi aliran udara ke sel epitel olfaktori. Adanya inflamasi atau iritasi

mukosa hidung yang bisa disebabkan oleh allergen, bakteri, virus ataupun bahan iritan juga bisa

mengakibatkan gangguan konduktif

Selain pemeriksaan hidung, pemeriksaan telinga juga bisa dilakukan untuk memastikan

otitis media serosa yang menandakan adanya massa atau inflamasi pada nasofaring

18

Page 19: REFRAT GANGGUAN PENGHIDU

Massa nasofaring yang menonjol ke rongga mulut atau drainase purulen di orofaring dapat

ditemukan pada pemeriksaan mulut. Leher harus dipalpasi untuk mencari massa atau pembesaran

tiroid

b. Sensorineural

Pemeriksaan sensorik fungsi penciuman dibutuhkan untuk (1) memastikan keluhan pasien,

(2) mengevaluasi kemanjuran terapi, dan (3) menentukan derajat gangguan permanen. 2

1. Langkah pertama menentukan sensasi kualitatif. Langkah pertama dalam pemeriksaan

sensorik adalah menentukan derajat sejauh mana keberadaan sensasi kualitatif. Beberapa metode

sudah tersedia untuk pemeriksaan penciuman diantaranya :

a) Tes Odor stix – Tes Odor stix menggunakan sebuah pena ajaib mirip spidol yang

menghasilkan bau-bauan. Pena ini dipegang dalam jarak sekitar 3-6 inci dari hidung pasien untuk

memeriksa persepsi bau oleh pasien secara kasar.

b) Tes alkohol 12 inci – Satu lagi tes yang memeriksa persepsi kasar terhadap bau, tes

alkohol 12 inci, menggunakan paket alkohol isopropil yang baru saja dibuka dan dipegang pada

jarak sekitar 12 inci dari hidung pasien.

c) Scratch and sniff card (Kartu gesek dan cium) – Tersedia scratch and sniff card yang

mengandung 3 bau untuk menguji penciuman secara kasar.

The University of Pennsylvania Smell Identification Test (UPSIT) – Tes yang jauh lebih baik

dibanding yang lain adalah UPSIT; ia sangat dianjurkan untuk pemeriksaan pasien dengan

gangguan penciuman. Tes ini menggunakan 40 item pilihan-ganda yang berisi bau-bauan scratch

and sniff berkapsul mikro. Sebagai contoh, salah satu itemnya berbunyi “Bau ini paling mirip

seperti bau (a) coklat, (b) pisang, (c) bawang putih, atau (d) jus buah,” dan pasien diharuskan

menjawab salah satu dari pilihan jawaban yang ada. Tes ini sangat reliabel (reliabilitas tes-retes

jangka pendek r = 0,95) dan sensitif terhadap perbedaan usia dan jenis kelamin. Tes ini

merupakan penentuan kuantitatif yang akurat untuk derajat relatif defisit penciuman. Orang-

orang yang kehilangan seluruh fungsi penciumannya akan mencapai skor pada kisaran 7-19 dari

maksimal 40. Skor rata-rata untuk pasien-pasien anosmia total sedikit lebih tinggi dibanding

19

Page 20: REFRAT GANGGUAN PENGHIDU

yang diperkirakan menurut peluang saja karena dimasukannya sejumlah bau-bauan yang beraksi

melalui rangsangan trigeminal.

2. Langkah ke-dua menentukan ambang deteksi. Setelah dokter menentukan derajat sejauh

mana keberadaan sensasi kualitatif, langkah kedua pada pemeriksaan sensorik adalah

menetapkan ambang deteksi untuk bau alkohol feniletil. Ambang ini ditetapkan menggunakan

rangsangan bertingkat. Sensitivitas untuk masing-masing lubang hidung ditentukan dengan

ambang deteksi untuk fenil-teil metil etil karbinol. Tahanan hidung juga dapat diukur dengan

rinomanometri anterior untuk masing-masing sisi hidung.

Sebenarnya pemeriksaan olfaktorius dapat juga terbagi menjadi 2 macam yaitu pemeriksaan

olfaktorius subjektif dan objektif. Pada pemeriksaan olfaktorius subjektif, pelbagai bahan

diletakkkan di depan hidung penderita secara terpisah antara kedua lubang hidung sebelum dan

setelah dekongesti dari mukosa hidung. Beberapa jenis substansi digunakan, yaitu yang

mempunyai bau yang akan menstimulasi hanya nervus olfaktorius (kopi, coklat, vanilla,

lavender), substansi yang menstimulasi komponen trigeminal (menthol, asam asetat), serta

substansi yang turut mempunyai komponen pengecapan (kloroform piridine) 8.

Pemeriksaan olfaktorius subjektif juga bisa dilakukan menggunakan alat test yang siap

pakai, misalnya Sniffin’ Sticks. Sniffin’ Sticks menggunakan sejumlah stik n-butanol yang

berbentuk seperti pen dan mengandung bau dengan konsentrasi yang berbeda. Melalui

penggunaan alat ini, kemampuan mendeteksi bau, membedakan bau-bau yang berlainan serta

kemampuan mengidentifikasi bau dapat dinilai. Pasien yang dites akan ditutup matanya,

kemudian pemeriksa akan meminta pasien menghidu tiga stik, dimana antara ketiga-tiga stik

tersebut hanya satu stik yang mempunyai bau. Jika pasien tidak bias mendeteksi sebarang bau

atau mengidentifikasi stik yang salah, maka digunakan stik dengan konsentrasi yang lebih tinggi.

Konsentrasi stik yang diberikan akan terus meningkat sehingga pasien dapat mengidentifikasi

dengan benar paling kurang dua kali. Setelah itu dinilai pada konsentrasi yang mana pasien bisa

mendeteksi bau tersebut dengan benar. Tes ini hanya memerlukan waktu 10 menit dan mudah

dilakukan 8,10,11

20

Page 21: REFRAT GANGGUAN PENGHIDU

Pemeriksaan olfaktorius objektif jauh lebih mahal dibanding pemeriksaan subjektif dan

biasanya dilakukan di pusat-pusat yang lebih besar. Bau murni serta stimulan nervus trigeminus

diberikan kepada pasien secara terpisah, kemudian respon yang terjadi diukur dan dianalisis

menggunakan komputer. Pemeriksaan laboratorium yang biasa dilakukan adalah tes gula darah,

tes reduksi urin dan lain- lain1,3,8

2.6.3 Temuan Laboratorium

Walau tidak dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan laboratorium standar namun dapat

dilakukan pemeriksaan alergi, DM, fungsi tiroid, fungsi ginjal dan hepar, fungsi endokrin, dan

defisiensi gizi berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik. Telah dikembangkan teknik-

teknik untuk biopsi neuroepitelium olfaktorius. Namun, karena degenerasi neuroepitelium

olfaktorius yang luas dan interkalasi epitel pernapasan pada daerah penciuman orang dewasa

tanpa disfungsi penciuman yang jelas, material biopsi harus diinterpretasikan dengan hati-hati.1,2,6

D. Pencitraan

CT scan atau MRI kepala dibutuhkan untuk menyingkirkan neoplasma pada fossa kranii

anterior, fraktur fossa kranii anterior yang tak diduga sebelumnya, sinusitis paranasalis, dan

neoplasma pada rongga hidung dan sinus paranasalis. Kelainan tulang paling bagus dilihat

melalui CT, sedangkan MRI bermanfaat untuk mengevaluasi bulbus olfaktorius, ventrikel, dan

jaringan-jaringan lunak lainnya di otak. CT koronal paling baik untuk memeriksa anatomi dan

penyakit pada lempeng kribiformis, fossa kranii anterior, dan sinus.2

2.7 Penatalaksanaan9,10,12

Hiposmia yang hilang timbul dan bervariasi derajatnya dapat disebabkan oleh rhinitis

vasomotor, rhinitis alergi atau sinusitis. Keluhan ini dapat hilang bila penyebabnya diobati.

Pada polip nasi, tumor hidung rhinitis kronis spesifik (rhinitis atrofi, sifilis, lepra, skleroma,

21

Page 22: REFRAT GANGGUAN PENGHIDU

tuberkulosis) terjadi hiposmia akibat dari sumbatan, yang akan hilang bila penyakitnya

diobati3.

Rinitis medikamentosa akibat dari pemakaian obat tetes hidung menyebabkan

hiposmia atau anosmia yang akan sembuh bila pemakaian obat-obatan penyebabnya

dihentikan3

Tumor n.olfaktorius bentuknya mirip polip nasi. Diagnosis pasti berdasarkan pemeriksaaan

histologi dan diterapi dengan pembedahan.3

Faktor usia lanjut dapat menyebabkan berkurang atau hilangnya daya penghidu,

terutamanya tidak mampu menghidu zat yang berbentuk gas. Kelainan ini tidak dapat

diobati.3

Trauma kepala ringan atau berat dapat menimbulkan anosmia. Trauma dapat

mengenai daerah oksipital atau frontal. Pada pascatrauma, dapat terjadi parosmia, yaitu

penciuman bau sangat berbeda dengan yang seharusnya dan biasanya tercium bau yang tidak

enak dan kadang-kadang sensasi bau ini timbul secara spontan. Kelainan penghidu ini

mungkin dapat sembuh, yang akan terjadi dalam beberapa minggu setelah trauma. Bila

setelah tiga bulan tidak membaik, berarti prognosisnya buruk 3

Tumor intrakranial yang menekan n.olfaktorius mula-mula akan menaikkan ambang

penghidu dan mungkin akan menimbulkan masa kelelahan penghidu yang makin lama makin

memanjang. Osteomata atau meningiomata di dasar tengkorak atau sinus paranasalis dapat

menimbulkan anosmia unilateral. Tumor lobus frontal selain menyebabkan gangguan

penghidu sering juga disertai dengan gejala lain, yaitu gangguan penglihatan, sakit kepala

dan kadang-kadang kejang lokal.3

Epilepsi lobus temporal dapat didahului oleh aura penghidu. Seringkali halusinasi bau

yang timbul adalah bau busuk atau bau sesuatu yang terbakar, jarang yang bau wangi. Gejala

ini tidak menetap.3

22

Page 23: REFRAT GANGGUAN PENGHIDU

Kelainan psikologik seperti rendah diri mungkin menyebabkan merasa bau badan

atau bau napas sendiri. Pasien setelah diperiksa, bila ternyata tidak ada kelainan perlu

diyakinkan dan dihilangkan gangguan psikologiknya. Kelainan psikiatrik seperti depresi,

skizofrenia atau demensia senilis dapat menimbulkan halusinasi bau. Kasus demikian perlu

dirujuk ke seorang psikiater.3,6 Kadang-kadang ada keluhan hilangnya penghidu pada pasien

hysteria atau berpura-pura (malingering) pascaoperasi hidung atau trauma. Bila diperiksa

biasanya pasien mengatakan tidak dapat mendeteksi ammonia.3

Terapi

1. Hiposmia Konduktif

Terapi bagi pasien-pasien dengan kurang penciuman hantaran akibat rinitis alergi,

rinitis dan sinusitis bakterial, polip, neoplasma, dan kelainan-kelainan struktural pada

rongga hidung dapat dilakukan secara rasional dan dengan kemungkinan perbaikan yang

tinggi. Terapi berikut ini seringkali efektif dalam memulihkan sensasi terhadap bau yaitu

pengelolaan alergi, terapi antibiotik, terapi glukokortikoid sistemik dan topikal dan

operasi untuk polip nasal, deviasi septum nasal, dan sinusitis hiperplastik kronik.1

2. Hiposmia Sensorineural

Tidak ada terapi dengan kemanjuran yang telah terbukti bagi kurang penciuman

sensorineural. Untungnya, penyembuhan spontan sering terjadi. Sebagian dokter

menganjurkan terapi zink dan vitamin. Defisiensi zink yang mencolok tidak diragukan

lagi dapat menyebabkan kehilangan dan gangguan sensasi bau, namun bukan merupakan

masalah klinis kecuali di daerah-daerah geografik yang sangat kekurangan. Terapi

vitamin sebagian besar dalam bentuk vitamin A. Degenerasi epitel akibat defisiensi

vitamin A dapat menyebabkan anosmia, namun defisiensi vitamin A bukanlah masalah

klinis yang sering ditemukan di negara-negara barat. Pajanan pada rokok dan bahan-

bahan kimia beracun di udara yang lain dapat menyebabkan metaplasia epitel penciuman.

Penyembuhan spontan dapat terjadi bila faktor pencetusnya dihilangkan; karenanya,

konseling pasien sangat membantu pada kasus-kasus ini. 1

23

Page 24: REFRAT GANGGUAN PENGHIDU

2.8 Prognosis13

Hasil akhir disfungsi penciuman sebagian besar bergantung pada etiologinya. Disfungsi

penciuman akibat sumbatan yang disebabkan oleh polip, neoplasma, pembengkakan mukosa,

atau deviasi septum dapat disembuhkan. Bila sumbatan tadi dihilangkan, kemampuan penciuman

semestinya kembali. Sebagian besar pasien yang kehilangan indra penciumannya selama

menderita infeksi saluran napas bagian atas sembuh sempurna kemampuan penciumannya;

namun, sebagian kecil pasien tak pernah sembuh setelah gejala-gejala ISPA lainnya membaik.

Karena alasan-alasan yang belum jelas, pasien-pasien ini sebagian besar adalah wanita pada

dekade keempat, kelima, dan keenam kehidupannya. Prognosis penyembuhannya biasanya

buruk. Kemampuan dan ambang pengenalan bau secara progresif turun seiring bertambahnya

usia. Trauma kepala di daerah frontal paling sering menyebabkan kurang penciuman, meskipun

anosmia total lima kali lebih sering terjadi pada benturan terhadap oksipital. Penyembuhan

fungsi penciuman setelah cedera kepala traumatik hanyalah 10% dan kualitas kemampuan

penciuman setelah perbaikan biasanya buruk. Pajanan terhadap racun-racun seperti rokok dapat

menyebabkan metaplasia epitel penciuman. Penyembuhan dapat terjadi dengan penghilangan

bahan penyebabnya.

24

Page 25: REFRAT GANGGUAN PENGHIDU

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Fungsi penghidu dan pengecapan yang normal sangat berperan dalam nutrisi dan penting

untuk mempertahankan gaya hidup yang sehat. Gangguan penciuman umumnya sukar

didiagnosa dan sukar untuk diobati biasanya karena kurangnya pengetahuan pada individu.

Dalam menegakan diagnosis pasien dengan gangguan penghidu perlu dilakukan

anamnesis yang cermat untuk mencari lama keluhan, unilateral atau bilateral, riwayat trauma,

masalah medis lainnya, dan obat-obatan yang telah diminum. Pemeriksaan fisik harus meliputi

pemeriksaan lengkap pada telinga, saluran napas bagian atas, kepala, dan leher.Kelainan pada

masing-masing daerah kepala dan leher dapat menyebabkan disfungsi penciuman. Pemeriksaan

sensorik fungsi penciuman sangat penting guna memastikan adanya keluhan gangguan

penciuman sedangkan pencitraan lebih bersifat penunjang untuk memastikan adanya gangguan

anatomis atau keganasan. Semua anamnesis dan pemeriksaan diatas dapat menolong kita dalam

menyimpulkan penyebab dari gangguan penghidu sehingga dapat ditatalaksana gangguan

penghidu tersebut berdasarkan penyebabnya.

25

Page 26: REFRAT GANGGUAN PENGHIDU

DAFTAR PUSTAKA

1. Lalwani AK, Current Diagnosis & Treatment in Otolaryngology – Head & Neck Surgery,

2004, McGraw Hill Inc : United States of America

2. Leopold DA, Holbrook EN, Disorder of Taste and Smell, 2006, Available from :

www.emedicine/disorderoftasteandsmell.html

3. Soepardi EA, Iskandar N, Buku Ajar IlmuKesehatanTelinga – Hidung- Tenggorok – Kepala

leher, 2007, FakultasKedokteranUniversitas Indonesia : Jakarta.

4. Clinical Policy Bulletin : Smell and Taste Disorder, Diagnosis, 2007, Available from :

http://www.aetna.com/cpb/medical/data

5. James BS, Ballenger’s Manual of Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery, 2002, BC

Decker : Hamilton

6. Bailey BJ, Healy GB, Johnson JT, Head and Neck Surgery – Otolaryngology, 3rd Edition,

2001, Lippincott Williams & Wilkins Publisher

7. Adams, Boeis, Higler, Buku Ajar Penyakit THT BOIES, Edisike – 6, 1997, Penerbit Buku

Kedokteran EGC : Jakarta.

8. Probst R, Grevers G, Iro H, Basic Otorhinolaryngology, 2006, Thieme : New York

9. Vokshoor A, McGregor J, Anatomy of Olfactory System, 2008, Available from :

http://www.emedicine.netscape.com

10. Tortora GJ, Derrickson B. Principles of Anatomy and Physiology. Ed ke-12. USA: John

Wiley & Sons. 2009; h. 599-604.

11. Guyton AC, Hall JE. Textbook of Medical Physiology. Ed ke-11. Philadelphia: Saunders

Elsevier. 2010; h. 663-670.

12. Marieb EN, Hoehn K. Human Anatomy & Physiology. Ed ke-8. USA: Benjamin Cummings.

2012; h.570.

13. Leopold D, Meyers AD. Disorders of Taste and Smell [internet]. 2012 [diperbarui 24 Juni

2009; diunduh 9 Desember 2012].

Diambildarihttp://emedicine.medscape.com/article/861242-overview#aw2aab6b4

26