refrat gangguan penghidu
DESCRIPTION
REFRAT GANGGUAN PENGHIDUTRANSCRIPT
Clinical Science Session
GANGGUAN PENGHIDU
Oleh
Lukman Hakim : 07120098
Willy Suryawan : 07120147
Franesia Dwirahmana : 0810312104
Meirina Khairat : 0810312106
Pembimbing
Dr. Effy Huriyati, Sp.THT-KL
BAGIAN ILMU KESEHATAN
TELINGA HIDUNG TENGGOROK – BEDAH KEPALA LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR.M.DJAMIL
PADANG
2012
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan
karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah Clinical Science Session yang
berjudul Diagnosis dan Penatalaksanaan Gangguan Penghidu. Makalah ini dibuat sebagai salah
satu syarat dalam mengikuti kepaniteraan klinikdi Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok-Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.
Terima kasih penulis ucapka kepada dr. Effi Huriyati, Sp.THT-KL selaku preseptor dan
semua pihak yang membantu dalam penulisan makalah ini. Penulis menyadari sepenuhnya
bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kritik dan saran sangat penulis
harapkan. Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat untk kita semua.
Padang, 10 Desember 2012
Penulis
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................................ 2
DAFTAR ISI........................................................................................................................... 3
DAFTAR GAMBAR.............................................................................................................. 5
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.............................................................................................. 6
1.2 Batasan Masalah............................................................................................ 7
1.3 Tujuan Penulisan........................................................................................... 7
1.4 Metode Penulisan ......................................................................................... 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Defenisi......................................................................................................... 8
2.2 Anatomi Hidung............................................................................................ 8
2.2.1 Persarafan Hidung................................................................................ 9
2.2.2Mukosa Hidung..................................................................................... 10
2.3 Fisiologi Penciuman...................................................................................... 12
2.4 Gangguan Penghidu ..................................................................................... 15
2.5 Etiologi dan Patogenesis............................................................................... 15
2.6 Diagnosis....................................................................................................... 18
2.6.1Tanda dan Gelada.................................................................................. 18
2.6.2 Pemeriksaan Fisik................................................................................. 18
2.6.3 Temuan Laboratorium.......................................................................... 21
2.7 Penatalaksanaan............................................................................................. 21
2.8 Prognosis....................................................................................................... 24
3
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan....................................................................................................... 25
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 26
4
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Anatomi Hidung Luar............................................................................................8
Gambar 2 Kavum Nasi...........................................................................................................9
Gambar 3 Nervus Olfaktorius............................................................................................. 10
Gambar 4 Mukosa Hidung.................................................................................................. 10
Gambar 5 Mukosa Penghidu............................................................................................... 11
Gambar 6 Area Olfaktori..................................................................................................... 12
Gambar 7 Transduksi Sinyal Olfaktori............................................................................... 14
5
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Fungsi penghidu dan pengecapan yang normal sangat berperan dalam nutrisi dan penting
untuk mempertahankan gaya hidup yang sehat. Gangguan penciuman umumnya sukar
didiagnosa dan sukar untuk diobati biasanya karena kurangnya pengetahuan pada individu.
Gangguan penciuman bisa sekunder akibat proses perjalanan penyakit atau bisa juga sebagai
keluhan primer .Daya menghidu yang hilang atau berkurang terjadi pada kira-kira 1% dari
mereka yang berusia di bawah 60 tahun dan lebih dari 50 % pada mereka yang berusia lebih dari
60 tahun.1,2
Hilangnya fungsi pembauan dan/atau pengecapan dapat mengancam jiwa penderita
karena penderita tak mampu mendeteksi asap saat kebakaran atau tidak dapat mengenali
makanan yang telah basi. Karena sekitar 80% gangguan pengecapan merupakan kelainan
pembauan yang sejati maka refrat ini terutama difokuskan pada fungsi pembauan dan
penurunannya.2
Indera penghidu yang merupakan fungsi nervus olfaktorius (N.I), sangat erat
hubungannya dengan indera pengecap yang dilakukan oleh saraf trigeminus (N.V), karena
seringkali kedua sensoris ini bekerja bersama-sama, sehingga gangguan pada salah satu indera
tersebut biasanya turut mengganggu fungsi indera yang satu lagi. Reseptor organ penghidu
terdapat di regio olfaktorius dihidung bagian sepertiga atas. Serabut saraf olfaktorius berjalan
melalui lubang-lubang pada lamina kribrosa os etmoid menuju bulbus olfaktorius didasar fossa
kranii anterior. 3
Partikel bau dapat mencapai reseptor penghidu bila menarik napas dengan kuat atau
partikel tersebut larut dalam lendir yang terdapat di daerah olfaktorius.Gangguan penghidu akan
terjadi bila ada yang menghalangi sampainya partikel bau ke reseptor saraf atau ada kelainan
pada N.olfaktorius, mulai dari reseptor sampai pusat olfaktorius. 3,4,5,6
Hasil survei tahun 1994 menunjukkan bahwa 2,7 juta penduduk dewasa Amerika
menderita gangguan penghidu, sementara 1,1 juta dinyatakan menderita gangguan pengecapan.
6
Penelitian yang dilakukan sebelumnya menemukan bahwa 66% penduduk merasakan bahwa
mereka pernah mengalami penurunan ketajaman pembauan.2
1.2 Batasan Masalah
Clinical Science Session ini membahas mengenai anatomi hidung, fisiologi penciuman,
etiologi, diagnosis, penatalaksanaan, dan prognosis gangguan penghidu.
1.3 Tujuan Penulisan
Mengetahui anatomi hidung, fisiologi penciuman, etiologi, diagnosis, penatalaksanaan,
dan prognosis gangguan penghidu.
1.4 Metode Penulisan
Clinical Science Session ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka yang
merujuk dari berbagai literatur.
BAB II
7
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Defenisi
Gangguan penghidu adalah gangguan dari saraf olfaktorius, yang merupakan saraf untuk
menghidu. Gangguan penghidu disebut dengan osmia. Gangguan pembauan dapat bersifat total
(seluruh bau), parsial (hanya sejumlah bau), atau spesifik (hanya satu atau sejumlah kecil bau).1
2.2 Anatomi Hidung
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah adalah
pangkal hidung (bridge), dorsum nasi, puncak hidung, alar nasi, kolumela dan lubang hidung
(nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh
kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan
lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari tulang hidung (os nasalis), prosesus frontalis os
maksila dan prosesus nasalis os frontal, sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa
pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu sepasang kartilago nasalis
lateralis superior, sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago
alar mayor, beberapa pasang kartilago alar minor dan tepi anterior kartilago septum.3,7,8
Gambar 1 :Anatomi Hidung Luar
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang,
dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau
8
lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares
posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.3,7,8
Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut
meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan
superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding
lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. 3,7,8
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os rnaksila dan os
palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis,
yang memisahkan rongga tengkorak dan rongga hidung.3,7
Gambar 2: Kavum Nasi
2.2.1 Persarafan Hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.etmoidalis
anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dan n.oftalmikus (N.V-I).
Nervus olfaktorius turun melalui lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus
olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada rnukosa olfaktorius di
daerah sepertiga atas hidung. 2,3,5,6,7,8,9
9
Gambar 3: Nervus olfaktorius
2.2.2Mukosa Hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas
mukosa pernapasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu (mukosa olfaktorius). Mukosa
pernapasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel
toraks berlapis semu (pseudostratitied columnar epitelium) yang mempunyai silia dan di
antaranya terdapat sel-sel goblet. 3,7,8
Gambar 4 : Mukosa hidung
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap
rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum.Partikel bau dapat mencapai
10
daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik napas dengan kuat. Mukosa
olfaktorius terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum.
Mukosa ini dilapisi oleh epitel torak berlapis semu dan tidak bersilia (pseudostratified columnar
non ciliated epithelium). Epitelnya dibentuk oleh tiga macam sel yaitu sel penunjang, sel basal
dan sel reseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna coklat kekuningan. Di antara sel-
sel reseptor (neuron) terdapat banyak kelenjar Bowman penghasil mukus (air, mukopolisakarida,
enzim, antibodi, garam-garam dan protein pengikat bau). Sejumlah besar kelenjar Bowman
terdapat dalam lamina propria pada region olfaktorius. Sel-sel reseptor bau merupakan satu-
satunya sistem saraf pusat yang dapat berganti secara regular (4-8 minggu). 3,5,6,7,9
Gambar 5: Mukosa penghidu
Sistem olfaktorius terdiri dari mukosa olfaktorius pada bagian atas kavum nasal, fila
olfaktoria, bulbus subkalosal pada sisi medial lobus orbitalis. Saraf ini merupakan saraf sensorik
murni yang serabut-serabutnya berasal dari membran mukosa hidung dan menembus area
kribriformis dari tulang etmoidal untuk bersinaps di bulbus olfaktorius, dari sini, traktus
olfaktorius berjalan dibawah lobus frontal dan berakhir di lobus temporal bagian medial sisi yang
sama. Neuroepitel olfaktorius terletak di bagian atas rongga hidung di dekat cribiform plate,
septum nasi superior dan dinding nasal superolateral. Struktur ini merupakan neuroepitelium
pseudostratified khusus yang didalamnya terdapat reseptor olfaktorius utama. 3,5,6,7,9
Variasi menghidu pada individu mencirikan struktur region penghidu, perbedaan ini
berhubungan dengan ketebalan mukosa (biasanya sekitar 60 mikron), ukuran sel dan vesikel
olfaktorius. Epitelium olfaktorius terdiri atas tiga lapisan sel yaitu saraf bipolar olfaktorius, sel
sustentakular penyokong yang besar jumlahnya dan sejumlah sel basal. Sel-sel olfaktorius
merupakan suatu neuron bipolar. Ujung distal sel ini merupakan suatu dendrit yang telah
mengalami modifikasi yang menonjol di atas permukaan epitel membentuk vesikel olfaktorius.
11
Silia berdiri di atas tonjolan mukosa yang dinamakan vesikel olfaktorius dan masuk ke dalam
lapisan sel-sel reseptor olfaktoria. Pada permukaan vesikel terdapat 10 sampai 15 silia nonmotil.
Ujung proksimal sel membentuk akson, di mana akson ini bergabung dengan akson lainnya
membentuk neuron olfaktorius. 3,5,6,7,8,9
Neuron olfaktorius mempunyai akson yang tidak bermielin, akson dari sensosel
dikumpulkan menjadi satu dalam bentuk serat saraf yang melalui lamina kribrosa ke dalam
bulbus olfaktorius. Bulbus olfaktorius terletak di basal lobus frontalis. Bulbus olfaktorius terdiri
atas beberapa lapisan ( dari luar ke dalam bulbus), yaitu lapisan gromerular, lapisan pleksiformis
eksternalis, lapisan sel mitral, lapisan pleksiformis internal dan lapisan sel granula. Di dalam
bulbus olfaktorius terjadi sinaps dengan dendrit neuron kedua. Akson-akson neuron kedua
membentuk traktus olfaktorius, yang berjalan ke otak untuk berhubungan dengan sejumlah
nuklei, fasikuli dan traktus lainnya.3,5,6,7,8,9
Gambar 6: Area olfaktorius
2.3 Fisiologi Penciuman
Sensasi penghidu diperantarai oleh stimulasi sel reseptor olfaktorius oleh zat - zat kimia
yang mudah menguap. Untuk dapat menstimulasi reseptor olfaktorius, molekul yang terdapat
dalam udara harus mengalir melalui rongga hidung dengan arus udara yang cukup turbulen dan
bersentuhan dengan reseptor. Faktor-faktor yang menentukan efektivitas stimulasi bau meliputi
durasi, volume dan kecepatan menghirup. Tiap sel reseptor olfaktorius merupakan neuron
bipolar sensorik utama.5,7,8
12
Dalam rongga hidung rata-rata terdapat lebih dari 100 juta reseptor. Neuron olfaktorius
bersifat unik karena secara terus menerus dihasilkan oleh sel-sel basal yang terletak dibawahnya.
Sel-sel reseptor baru dihasilkan kurang lebih setiap 30-60 hari. 5,6
Pada inspirasi dalam, molekul udara lebih banyak menyentuh mukosa olfaktorius
sehingga sensasi bau bisa tercium. Terdapat beberapa syarat zat-zat yang dapat menyebabkan
perangsangan penghidu yaitu zat-zat harus mudah menguap supaya mudah masuk ke dalam
kavum nasi, zat-zat harus sedikit larut dalam air supaya mudah melalui mukus dan zat-zat harus
mudah larut dalam lemak karena sel-sel rambut olfaktoria dan ujung luar sel-sel olfaktoria terdiri
dari zat lemak.7,8
Zat-zat yang ikut dalam udara inspirasi akan larut dalam lapisan mukus yang berada pada
permukaan membran. Molekul bau yang larut dalam mukus akan terikat oleh protein spesifik (G-
PCR). G-protein ini akan terstimulasi dan mengaktivasi enzim Adenyl Siklase. Aktivasi enzim
Adenyl Siklase mempercepat konversi ATP kepada cAMP. Aksi cAMP akan membuka saluran
ion Ca++, sehingga ion Ca++ masuk ke dalam silia menyebabkan membran semakin positif, terjadi
depolarisasi hingga menghasilkan aksi potensial. Aksi potensial pada akson-akson sel reseptor
menghantar sinyal listrik ke glomeruli (bulbus olfaktorius). Di dalam glomerulus, akson
mengadakan kontak dengan dendrit sel-sel mitral. Akson sel-sel mitral kemudiannya menghantar
sinyal ke korteks piriformis (area untuk mengidentifikasi bau), medial amigdala dan korteks
enthoris (berhubungan dengan memori).5
13
Gambar 7 :Transduksi sinyal olfaktori
Transmisi Sensasi Bau
14
2.4. Gangguan Penghidu
Macam-macam kelainan penghidu :
Agnosia : tidak bisa menyebutkan atau membedakan bau, walaupun penderita dapat
mendeteksi bau.
Anosmia : tidak bisa mendeteksi bau. Anosmia dapat timbul akibat trauma di daerah
frontal atau oksipital, setelah infeksi oleh virus, tumor, proses degenerasi
pada orang tua.
Hiposmia : penurunan kemampuan dalam mendeteksi bau
Hiperosmia : peningkatan sensistivitas mendeteksi bau
Disosmia : distorsi identifikasi bau
Parosmia : perubahan persepsi pembauan meskipun terdapat sumber bau, biasanya
bau tidak enak, biasanya disebabkan oleh trauma.
Kakosmia : timbul pada epilepsi unsinatus, lobus temporalis, kelainan psikologik
atau kelainan psikiatri seperti depresi dan psikosis
Phantosmia : persepsi bau tanpa adanya sumber bau
Presbiosmia : penurunan atau kehilangan persepsi pembauan yang terjadi pada orang
tua 2,3
2.5 Etiologi dan Patogenesis 3,10,11
2.5.1 Disfungsi pembauan
Gangguan pembauan dapat disebabkan oleh proses-proses patologis di sepanjang jalur
olfaktorius. Kelainan ini dianggap serupa dengan gangguan pendengaran yaitu berupa defek
konduktif atau sensorineural. Pada defek konduktif (transport) terjadi gangguan transmisi
stimulus bau menuju neuroepitel olfaktorius. Pada defek sensorineural prosesnya melibatkan
struktur saraf yang lebih sentral. Secara keseluruhan, penyebab defisit pembauan yang utama
adalah penyakit pada rongga hidung dan/atau sinus, sebelum terjadinya infeksi saluran nafas
atas karena virus; dan trauma kepala.
15
1. Defek konduktif
a. Proses inflamasi/peradangan dapat mengakibatkan gangguan pembauan. Kelainannya
meliputi rhinitis (radang hidung) dari berbagai macam tipe, termasuk rhinitis alergika,
akut, atau toksik (misalnya pada pemakaian kokain). Penyakit sinusitis kronik seringkali
diikuti dengan penurunan fungsi pembauan meski telah dilakukan intervensi medis,
alergis dan pembedahan secara agresif.
b. Adanya massa/tumor dapat menyumbat rongga hidung sehingga menghalangi aliran
odorant ke epitel olfaktorius. Kelainannya meliputi polip nasal (paling sering), inverting
papilloma, dan keganasan.
c. Abnormalitas developmental (misalnya ensefalokel, kista dermoid) juga dapat
menyebabkan obstruksi.
d. Pasien pasca laringektomi atau trakeotomi dapat menderita hiposmia karena berkurang
atau tidak adanya aliran udara yang melalui hidung. Pasien anak dengan trakeotomi dan
dipasang kanula pada usia yang sangat muda dan dalam jangka waktu yang lama kadang
tetap menderita gangguan pembauan meski telah dilakukan dekanulasi. Hal ini terjadi
karena tidak adanya stimulasi sistem olfaktorius pada usia yang dini.
2. Defek sentral/sensorineural
a. Proses infeksi/inflamasi menyebabkan defek sentral dan gangguan pada transmisi
sinyal. Kelainannya meliputi infeksi virus (yang merusak neuroepitel), sarkoidosis
(mempengaruhi stuktur saraf), Wegener granulomatosis, dan sklerosis multipel.
b. Penyebab kongenital menyebabkan hilangnya struktur saraf. Kallman syndrome
ditandai oleh anosmia akibat kegagalan ontogenesis struktur olfakorius dan
hipogonadisme hipogonadotropik.
16
c. Gangguan endokrin (hipotiroidisme, hipoadrenalisme, DM) berpengaruh pada fungsi
pembauan.
d. Trauma kepala, operasi otak, atau perdarahan subarakhnoid dapat menyebabkan
regangan, kerusakan atau terpotongnya fila olfaktoria yang halus dan mengakibatkan
anosmia.
e. Disfungsi pembauan juga dapat disebabkan oleh toksisitas dari obat-obatan sistemik
atau inhalasi (aminoglikosida, formaldehid). Banyak obat-obatan dan senyawa yang
dapat mengubah sensitivitas bau, diantaranya alkohol, nikotin, bahan terlarut organik, dan
pengolesan garam zink secara langsung.
f. Defisiensi gizi (vitamin A, thiamin, zink) terbukti dapat mempengaruhi pembauan.
g. Jumlah serabut pada bulbus olfaktorius berkurang dengan laju 1% per tahun.
Berkurangnya struktur bulbus olfaktorius ini dapat terjadi sekunder karena berkurangnya
sel-sel sensorik pada mukosa olfaktorius dan penurunan fungsi proses kognitif di susunan
saraf pusat.
h. Proses degeneratif pada sistem saraf pusat (penyakit Parkinson, Alzheimer disease,
proses penuaan normal) dapat menyebabkan hiposmia. Pada kasus Alzheimer disease,
hilangnya fungsi pembauan kadang merupakan gejala pertama dari proses penyakitnya.
Sejalan dengan proses penuaan, berkurangnya fungsi pembauan lebih berat daripada
fungsi pengecapan, dimana penurunannya nampak paling menonjol selama usia dekade
ketujuh.2
17
2.6 Diagnosis
Tahapan pertama dalam mendiagnosis adalah melakukan anamnesis dan pemeriksaan
fisik secara menyeluruh. Berikan penekanan khusus pada riwayat ISPA, patologi hidung atau
sinus, riwayat trauma, masalah medis lainnya, dan obat-obatan yang diminum. Lakukan CT scan
jika dipandang perlu. Seringkali dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan MRI apabila riwayat
penyakitnya tidak mendukung atau ditemukan gejala dan tanda neurologis sekunder. 1,2,6
2.6.1 Tanda dan Gejala
Anosmia unilateral jarang menjadi keluhan. Anosmia hanya dapat dikenali dengan menguji
bau secara terpisah pada masing-masing lubang hidung. Anosmia bilateral, di lain pihak,
membuat pasien mencari pertolongan dokter. Pasien-pasien anosmik biasanya mengeluhkan
hilangnya kemampuan merasa meskipun ambang rasanya mungkin berada pada kisaran normal.
Pada kenyataannya, mereka mengeluhkan hilangnya deteksi rasa, yang sebagian besar
merupakan fungsi dari penciuman.1,2,6
2.6.2 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik harus dilakukan secara teliti dan menyeluruh yang meliputi pemeriksaan
telinga, hidung, kepala dan leher. Pemeriksaan tersebut berguna untuk mengidentifikasi jenis dan
asal kelainan.
a. Konduktif
Pemeriksaan ini untuk menilai ada atau tidaknya massa atau polip, perdarahan dan bekuan
darah, deviasi septum atau adanya fraktur pada tulang kribriformis yang biasa dijumpai pada
trauma kepala yang menghalangi aliran udara ke sel epitel olfaktori. Adanya inflamasi atau iritasi
mukosa hidung yang bisa disebabkan oleh allergen, bakteri, virus ataupun bahan iritan juga bisa
mengakibatkan gangguan konduktif
Selain pemeriksaan hidung, pemeriksaan telinga juga bisa dilakukan untuk memastikan
otitis media serosa yang menandakan adanya massa atau inflamasi pada nasofaring
18
Massa nasofaring yang menonjol ke rongga mulut atau drainase purulen di orofaring dapat
ditemukan pada pemeriksaan mulut. Leher harus dipalpasi untuk mencari massa atau pembesaran
tiroid
b. Sensorineural
Pemeriksaan sensorik fungsi penciuman dibutuhkan untuk (1) memastikan keluhan pasien,
(2) mengevaluasi kemanjuran terapi, dan (3) menentukan derajat gangguan permanen. 2
1. Langkah pertama menentukan sensasi kualitatif. Langkah pertama dalam pemeriksaan
sensorik adalah menentukan derajat sejauh mana keberadaan sensasi kualitatif. Beberapa metode
sudah tersedia untuk pemeriksaan penciuman diantaranya :
a) Tes Odor stix – Tes Odor stix menggunakan sebuah pena ajaib mirip spidol yang
menghasilkan bau-bauan. Pena ini dipegang dalam jarak sekitar 3-6 inci dari hidung pasien untuk
memeriksa persepsi bau oleh pasien secara kasar.
b) Tes alkohol 12 inci – Satu lagi tes yang memeriksa persepsi kasar terhadap bau, tes
alkohol 12 inci, menggunakan paket alkohol isopropil yang baru saja dibuka dan dipegang pada
jarak sekitar 12 inci dari hidung pasien.
c) Scratch and sniff card (Kartu gesek dan cium) – Tersedia scratch and sniff card yang
mengandung 3 bau untuk menguji penciuman secara kasar.
The University of Pennsylvania Smell Identification Test (UPSIT) – Tes yang jauh lebih baik
dibanding yang lain adalah UPSIT; ia sangat dianjurkan untuk pemeriksaan pasien dengan
gangguan penciuman. Tes ini menggunakan 40 item pilihan-ganda yang berisi bau-bauan scratch
and sniff berkapsul mikro. Sebagai contoh, salah satu itemnya berbunyi “Bau ini paling mirip
seperti bau (a) coklat, (b) pisang, (c) bawang putih, atau (d) jus buah,” dan pasien diharuskan
menjawab salah satu dari pilihan jawaban yang ada. Tes ini sangat reliabel (reliabilitas tes-retes
jangka pendek r = 0,95) dan sensitif terhadap perbedaan usia dan jenis kelamin. Tes ini
merupakan penentuan kuantitatif yang akurat untuk derajat relatif defisit penciuman. Orang-
orang yang kehilangan seluruh fungsi penciumannya akan mencapai skor pada kisaran 7-19 dari
maksimal 40. Skor rata-rata untuk pasien-pasien anosmia total sedikit lebih tinggi dibanding
19
yang diperkirakan menurut peluang saja karena dimasukannya sejumlah bau-bauan yang beraksi
melalui rangsangan trigeminal.
2. Langkah ke-dua menentukan ambang deteksi. Setelah dokter menentukan derajat sejauh
mana keberadaan sensasi kualitatif, langkah kedua pada pemeriksaan sensorik adalah
menetapkan ambang deteksi untuk bau alkohol feniletil. Ambang ini ditetapkan menggunakan
rangsangan bertingkat. Sensitivitas untuk masing-masing lubang hidung ditentukan dengan
ambang deteksi untuk fenil-teil metil etil karbinol. Tahanan hidung juga dapat diukur dengan
rinomanometri anterior untuk masing-masing sisi hidung.
Sebenarnya pemeriksaan olfaktorius dapat juga terbagi menjadi 2 macam yaitu pemeriksaan
olfaktorius subjektif dan objektif. Pada pemeriksaan olfaktorius subjektif, pelbagai bahan
diletakkkan di depan hidung penderita secara terpisah antara kedua lubang hidung sebelum dan
setelah dekongesti dari mukosa hidung. Beberapa jenis substansi digunakan, yaitu yang
mempunyai bau yang akan menstimulasi hanya nervus olfaktorius (kopi, coklat, vanilla,
lavender), substansi yang menstimulasi komponen trigeminal (menthol, asam asetat), serta
substansi yang turut mempunyai komponen pengecapan (kloroform piridine) 8.
Pemeriksaan olfaktorius subjektif juga bisa dilakukan menggunakan alat test yang siap
pakai, misalnya Sniffin’ Sticks. Sniffin’ Sticks menggunakan sejumlah stik n-butanol yang
berbentuk seperti pen dan mengandung bau dengan konsentrasi yang berbeda. Melalui
penggunaan alat ini, kemampuan mendeteksi bau, membedakan bau-bau yang berlainan serta
kemampuan mengidentifikasi bau dapat dinilai. Pasien yang dites akan ditutup matanya,
kemudian pemeriksa akan meminta pasien menghidu tiga stik, dimana antara ketiga-tiga stik
tersebut hanya satu stik yang mempunyai bau. Jika pasien tidak bias mendeteksi sebarang bau
atau mengidentifikasi stik yang salah, maka digunakan stik dengan konsentrasi yang lebih tinggi.
Konsentrasi stik yang diberikan akan terus meningkat sehingga pasien dapat mengidentifikasi
dengan benar paling kurang dua kali. Setelah itu dinilai pada konsentrasi yang mana pasien bisa
mendeteksi bau tersebut dengan benar. Tes ini hanya memerlukan waktu 10 menit dan mudah
dilakukan 8,10,11
20
Pemeriksaan olfaktorius objektif jauh lebih mahal dibanding pemeriksaan subjektif dan
biasanya dilakukan di pusat-pusat yang lebih besar. Bau murni serta stimulan nervus trigeminus
diberikan kepada pasien secara terpisah, kemudian respon yang terjadi diukur dan dianalisis
menggunakan komputer. Pemeriksaan laboratorium yang biasa dilakukan adalah tes gula darah,
tes reduksi urin dan lain- lain1,3,8
2.6.3 Temuan Laboratorium
Walau tidak dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan laboratorium standar namun dapat
dilakukan pemeriksaan alergi, DM, fungsi tiroid, fungsi ginjal dan hepar, fungsi endokrin, dan
defisiensi gizi berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik. Telah dikembangkan teknik-
teknik untuk biopsi neuroepitelium olfaktorius. Namun, karena degenerasi neuroepitelium
olfaktorius yang luas dan interkalasi epitel pernapasan pada daerah penciuman orang dewasa
tanpa disfungsi penciuman yang jelas, material biopsi harus diinterpretasikan dengan hati-hati.1,2,6
D. Pencitraan
CT scan atau MRI kepala dibutuhkan untuk menyingkirkan neoplasma pada fossa kranii
anterior, fraktur fossa kranii anterior yang tak diduga sebelumnya, sinusitis paranasalis, dan
neoplasma pada rongga hidung dan sinus paranasalis. Kelainan tulang paling bagus dilihat
melalui CT, sedangkan MRI bermanfaat untuk mengevaluasi bulbus olfaktorius, ventrikel, dan
jaringan-jaringan lunak lainnya di otak. CT koronal paling baik untuk memeriksa anatomi dan
penyakit pada lempeng kribiformis, fossa kranii anterior, dan sinus.2
2.7 Penatalaksanaan9,10,12
Hiposmia yang hilang timbul dan bervariasi derajatnya dapat disebabkan oleh rhinitis
vasomotor, rhinitis alergi atau sinusitis. Keluhan ini dapat hilang bila penyebabnya diobati.
Pada polip nasi, tumor hidung rhinitis kronis spesifik (rhinitis atrofi, sifilis, lepra, skleroma,
21
tuberkulosis) terjadi hiposmia akibat dari sumbatan, yang akan hilang bila penyakitnya
diobati3.
Rinitis medikamentosa akibat dari pemakaian obat tetes hidung menyebabkan
hiposmia atau anosmia yang akan sembuh bila pemakaian obat-obatan penyebabnya
dihentikan3
Tumor n.olfaktorius bentuknya mirip polip nasi. Diagnosis pasti berdasarkan pemeriksaaan
histologi dan diterapi dengan pembedahan.3
Faktor usia lanjut dapat menyebabkan berkurang atau hilangnya daya penghidu,
terutamanya tidak mampu menghidu zat yang berbentuk gas. Kelainan ini tidak dapat
diobati.3
Trauma kepala ringan atau berat dapat menimbulkan anosmia. Trauma dapat
mengenai daerah oksipital atau frontal. Pada pascatrauma, dapat terjadi parosmia, yaitu
penciuman bau sangat berbeda dengan yang seharusnya dan biasanya tercium bau yang tidak
enak dan kadang-kadang sensasi bau ini timbul secara spontan. Kelainan penghidu ini
mungkin dapat sembuh, yang akan terjadi dalam beberapa minggu setelah trauma. Bila
setelah tiga bulan tidak membaik, berarti prognosisnya buruk 3
Tumor intrakranial yang menekan n.olfaktorius mula-mula akan menaikkan ambang
penghidu dan mungkin akan menimbulkan masa kelelahan penghidu yang makin lama makin
memanjang. Osteomata atau meningiomata di dasar tengkorak atau sinus paranasalis dapat
menimbulkan anosmia unilateral. Tumor lobus frontal selain menyebabkan gangguan
penghidu sering juga disertai dengan gejala lain, yaitu gangguan penglihatan, sakit kepala
dan kadang-kadang kejang lokal.3
Epilepsi lobus temporal dapat didahului oleh aura penghidu. Seringkali halusinasi bau
yang timbul adalah bau busuk atau bau sesuatu yang terbakar, jarang yang bau wangi. Gejala
ini tidak menetap.3
22
Kelainan psikologik seperti rendah diri mungkin menyebabkan merasa bau badan
atau bau napas sendiri. Pasien setelah diperiksa, bila ternyata tidak ada kelainan perlu
diyakinkan dan dihilangkan gangguan psikologiknya. Kelainan psikiatrik seperti depresi,
skizofrenia atau demensia senilis dapat menimbulkan halusinasi bau. Kasus demikian perlu
dirujuk ke seorang psikiater.3,6 Kadang-kadang ada keluhan hilangnya penghidu pada pasien
hysteria atau berpura-pura (malingering) pascaoperasi hidung atau trauma. Bila diperiksa
biasanya pasien mengatakan tidak dapat mendeteksi ammonia.3
Terapi
1. Hiposmia Konduktif
Terapi bagi pasien-pasien dengan kurang penciuman hantaran akibat rinitis alergi,
rinitis dan sinusitis bakterial, polip, neoplasma, dan kelainan-kelainan struktural pada
rongga hidung dapat dilakukan secara rasional dan dengan kemungkinan perbaikan yang
tinggi. Terapi berikut ini seringkali efektif dalam memulihkan sensasi terhadap bau yaitu
pengelolaan alergi, terapi antibiotik, terapi glukokortikoid sistemik dan topikal dan
operasi untuk polip nasal, deviasi septum nasal, dan sinusitis hiperplastik kronik.1
2. Hiposmia Sensorineural
Tidak ada terapi dengan kemanjuran yang telah terbukti bagi kurang penciuman
sensorineural. Untungnya, penyembuhan spontan sering terjadi. Sebagian dokter
menganjurkan terapi zink dan vitamin. Defisiensi zink yang mencolok tidak diragukan
lagi dapat menyebabkan kehilangan dan gangguan sensasi bau, namun bukan merupakan
masalah klinis kecuali di daerah-daerah geografik yang sangat kekurangan. Terapi
vitamin sebagian besar dalam bentuk vitamin A. Degenerasi epitel akibat defisiensi
vitamin A dapat menyebabkan anosmia, namun defisiensi vitamin A bukanlah masalah
klinis yang sering ditemukan di negara-negara barat. Pajanan pada rokok dan bahan-
bahan kimia beracun di udara yang lain dapat menyebabkan metaplasia epitel penciuman.
Penyembuhan spontan dapat terjadi bila faktor pencetusnya dihilangkan; karenanya,
konseling pasien sangat membantu pada kasus-kasus ini. 1
23
2.8 Prognosis13
Hasil akhir disfungsi penciuman sebagian besar bergantung pada etiologinya. Disfungsi
penciuman akibat sumbatan yang disebabkan oleh polip, neoplasma, pembengkakan mukosa,
atau deviasi septum dapat disembuhkan. Bila sumbatan tadi dihilangkan, kemampuan penciuman
semestinya kembali. Sebagian besar pasien yang kehilangan indra penciumannya selama
menderita infeksi saluran napas bagian atas sembuh sempurna kemampuan penciumannya;
namun, sebagian kecil pasien tak pernah sembuh setelah gejala-gejala ISPA lainnya membaik.
Karena alasan-alasan yang belum jelas, pasien-pasien ini sebagian besar adalah wanita pada
dekade keempat, kelima, dan keenam kehidupannya. Prognosis penyembuhannya biasanya
buruk. Kemampuan dan ambang pengenalan bau secara progresif turun seiring bertambahnya
usia. Trauma kepala di daerah frontal paling sering menyebabkan kurang penciuman, meskipun
anosmia total lima kali lebih sering terjadi pada benturan terhadap oksipital. Penyembuhan
fungsi penciuman setelah cedera kepala traumatik hanyalah 10% dan kualitas kemampuan
penciuman setelah perbaikan biasanya buruk. Pajanan terhadap racun-racun seperti rokok dapat
menyebabkan metaplasia epitel penciuman. Penyembuhan dapat terjadi dengan penghilangan
bahan penyebabnya.
24
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Fungsi penghidu dan pengecapan yang normal sangat berperan dalam nutrisi dan penting
untuk mempertahankan gaya hidup yang sehat. Gangguan penciuman umumnya sukar
didiagnosa dan sukar untuk diobati biasanya karena kurangnya pengetahuan pada individu.
Dalam menegakan diagnosis pasien dengan gangguan penghidu perlu dilakukan
anamnesis yang cermat untuk mencari lama keluhan, unilateral atau bilateral, riwayat trauma,
masalah medis lainnya, dan obat-obatan yang telah diminum. Pemeriksaan fisik harus meliputi
pemeriksaan lengkap pada telinga, saluran napas bagian atas, kepala, dan leher.Kelainan pada
masing-masing daerah kepala dan leher dapat menyebabkan disfungsi penciuman. Pemeriksaan
sensorik fungsi penciuman sangat penting guna memastikan adanya keluhan gangguan
penciuman sedangkan pencitraan lebih bersifat penunjang untuk memastikan adanya gangguan
anatomis atau keganasan. Semua anamnesis dan pemeriksaan diatas dapat menolong kita dalam
menyimpulkan penyebab dari gangguan penghidu sehingga dapat ditatalaksana gangguan
penghidu tersebut berdasarkan penyebabnya.
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Lalwani AK, Current Diagnosis & Treatment in Otolaryngology – Head & Neck Surgery,
2004, McGraw Hill Inc : United States of America
2. Leopold DA, Holbrook EN, Disorder of Taste and Smell, 2006, Available from :
www.emedicine/disorderoftasteandsmell.html
3. Soepardi EA, Iskandar N, Buku Ajar IlmuKesehatanTelinga – Hidung- Tenggorok – Kepala
leher, 2007, FakultasKedokteranUniversitas Indonesia : Jakarta.
4. Clinical Policy Bulletin : Smell and Taste Disorder, Diagnosis, 2007, Available from :
http://www.aetna.com/cpb/medical/data
5. James BS, Ballenger’s Manual of Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery, 2002, BC
Decker : Hamilton
6. Bailey BJ, Healy GB, Johnson JT, Head and Neck Surgery – Otolaryngology, 3rd Edition,
2001, Lippincott Williams & Wilkins Publisher
7. Adams, Boeis, Higler, Buku Ajar Penyakit THT BOIES, Edisike – 6, 1997, Penerbit Buku
Kedokteran EGC : Jakarta.
8. Probst R, Grevers G, Iro H, Basic Otorhinolaryngology, 2006, Thieme : New York
9. Vokshoor A, McGregor J, Anatomy of Olfactory System, 2008, Available from :
http://www.emedicine.netscape.com
10. Tortora GJ, Derrickson B. Principles of Anatomy and Physiology. Ed ke-12. USA: John
Wiley & Sons. 2009; h. 599-604.
11. Guyton AC, Hall JE. Textbook of Medical Physiology. Ed ke-11. Philadelphia: Saunders
Elsevier. 2010; h. 663-670.
12. Marieb EN, Hoehn K. Human Anatomy & Physiology. Ed ke-8. USA: Benjamin Cummings.
2012; h.570.
13. Leopold D, Meyers AD. Disorders of Taste and Smell [internet]. 2012 [diperbarui 24 Juni
2009; diunduh 9 Desember 2012].
Diambildarihttp://emedicine.medscape.com/article/861242-overview#aw2aab6b4
26