refrat 1 man

58
I. PENDAHULUAN Imunologi merupakan cabang ilmu yang mempelajari tentang sistem pertahanan tubuh. Terminologi kata imunologi berasal dari kata imunitas dari bahasa latin yang berarti pengecualian atau pembebasan. Istilah itu awalnya dipakai oleh senator Roma yang mempunyai hak- hak istimewa untuk bebas dari tuntutan hukum pada masa jabatannya. Imunitas selanjutnya dipakai untuk suatu pengertian yang mengarah pada perlindungan dan kekebalan terhadap suatu penyakit, dan lebih spesifik penyakit infeksi. Konsep imunitas yang berarti perlindungan dan kekebalan sesungguhnya telah dikenal oleh manusia sejak zaman dahulu. Pada saat ilmu imunologi belum berkembang, nenek moyang bangsa Cina membuat puder dari serpihan kulit penderita cacar untuk melindungi anak-anak mereka dari penyakit tersebut. Puder tersebut selanjutnya dipaparkan pada anak-anak dengan cara dihirup. Cara yang mereka lakukan berhasil mencegah penularan infeksi cacar dan mereka kebal walaupun hidup pada lingkungan yang menjadi wabah. 1 Imunologi berawal dari penemuan vaksin oleh Edward Jenner pada tahun 1796. Edward Jenner dengan ketekunannya telah menemukan vaksin penyakit cacar menular, smallpox. Pemberian vaksin terhadap individu

Upload: anca

Post on 11-Dec-2015

262 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

asetil sistein pada kehamilan

TRANSCRIPT

Page 1: Refrat 1 MAN

I. PENDAHULUAN

Imunologi merupakan cabang ilmu yang mempelajari tentang sistem pertahanan

tubuh. Terminologi kata imunologi berasal dari kata imunitas dari bahasa latin

yang berarti pengecualian atau pembebasan. Istilah itu awalnya dipakai oleh

senator Roma yang mempunyai hak-hak istimewa untuk bebas dari tuntutan

hukum pada masa jabatannya. Imunitas selanjutnya dipakai untuk suatu pengertian

yang mengarah pada perlindungan dan kekebalan terhadap suatu penyakit, dan

lebih spesifik penyakit infeksi. Konsep imunitas yang berarti perlindungan dan

kekebalan sesungguhnya telah dikenal oleh manusia sejak zaman dahulu. Pada

saat ilmu imunologi belum berkembang, nenek moyang bangsa Cina membuat

puder dari serpihan kulit penderita cacar untuk melindungi anak-anak mereka dari

penyakit tersebut. Puder tersebut selanjutnya dipaparkan pada anak-anak dengan

cara dihirup. Cara yang mereka lakukan berhasil mencegah penularan infeksi cacar

dan mereka kebal walaupun hidup pada lingkungan yang menjadi wabah.1

Imunologi berawal dari penemuan vaksin oleh Edward Jenner pada tahun 1796.

Edward Jenner dengan ketekunannya telah menemukan vaksin penyakit cacar

menular, smallpox. Pemberian vaksin terhadap individu sehat selanjutnya dikenal

dengan istilah vaksinasi. Pada tahun 1890, Emil von Behring dan Shibasaburo

Kitasato menemukan bahwa individu yang telah diberi vaksin akan menghasilkan

antibodi yang bisa diamati pada serum. Antibodi ini selanjutnya diketahui bersifat

sangat spesifik terhadap antigen. Sistem imun terdiri dari respon imun spesifik dan

respon imun nonspesifik. Respon imun non spesifik memiliki beberapa komponen

seperti pertahanan fisik dan kimiawi, sedangkan respon imun spesifik terbagi

menjadi tiga golongan yaitu imunitas selular, humoral dan interaksi keduanya. 1,2

Kehamilan dihubungkan dengan supresi berbagai macam sel humoral dan

fungsi sel imunologi. Mekanisme ini berhubungan dengan supresi T helper 1 dan

T sitotoksik serta menurunnya sekresi interleukin-2, interferon γ dan tumour

necrosis factor β (TNF β). Supresi Th 1 pada kehamilan diperlukan untuk

kelangsungan hidup janin.3,4 Walaupun tidak mengalami immunocompromised

Page 2: Refrat 1 MAN

2

secara luas, wanita hamil lebih peka terhadap infeksi-infeksi tertentu, seperti

infeksi virus hepatitis, herpes simpleks, dan lain-lainnya yang dapat

mengakibatkan manifestasi klinis yang lebih berat.5 Penggunaan suatu

imunomodulator dianggap penting terutama jenis imunomodulator yang

memberikan efek pada sistem kekebalan tubuh dan dapat membantu meringankan

kelainan klinis yang dapat ditimbulkan oleh suatu penyakit. 3,4,5

N-asetilsistein merupakan suatu imunomodulator terpilih yang dapat digunakan

karena selain memiliki fungsi imunostimulan yang berkaitan dengan efek

antioksidannya juga memiliki banyak efek lain yang bermanfaat seperti efek

antiinflamasi, mukolitik, dll. N-asetilsistein telah banyak digunakan dalam

berbagai pengobatan penyakit seperti infeksi HIV, Hepatitis, penyakit-penyakit

bronkopulmoner seperti bronkitis kronis, PPOK, dan juga pernah digunakan dalam

pengobatan sindroma Steven Johnson pada wanita hamil.6

II. SISTEM IMUN

Lingkungan di sekitar manusia mengandung berbagai jenis unsur patogen,

misalnya bakteri, virus, fungus, protozoa dan parasit yang dapat menyebabkan

infeksi pada manusia. Infeksi yang terjadi pada orang normal umumnya singkat

dan jarang meninggalkan kerusakan permanen. Hal ini disebabkan tubuh manusia

memiliki suatu sistem imun yang memberikan respon dan melindungi tubuh

terhadap unsur-unsur patogen tersebut.1,2

Respon imun sangat bergantung pada kemampuan sistem imun untuk

mengenali molekul asing (antigen) yang terdapat pada patogen potensial dan

kemudian membangkitkan reaksi yang tepat untuk menyingkirkan sumber antigen

bersangkutan. Proses pengenalan antigen dilakukan oleh unsur utama sistem imun

yaitu limfosit yang kemudian diikuti oleh fase efektor yang melibatkan berbagai

jenis sel. Pengenalan antigen sangat penting dalam fungsi sistem imun normal,

karena limfosit harus mengenal semua antigen pada patogen potensial dan pada

saat yang sama limfosit harus mengabaikan molekul-molekul jaringan tubuh

Page 3: Refrat 1 MAN

3

sendiri (toleransi). Untuk mengatasi hal itu, limfosit pada seorang individu

melakukan diversifikasi selama perkembangannya sedemikian rupa sehingga

populasi limfosit secara keseluruhan mampu mengenal molekul asing dan

membedakannya dari molekul jaringan atau sel tubuh sendiri. Kemampuan

diversifikasi dimiliki oleh komponen-komponen sistem imun yang terdapat dalam

jaringan limforetikuler yang letaknya tersebar di seluruh tubuh, misalnya di dalam

sumsum tulang, kelenjar limfe, limpa, timus, sistem saluran nafas, saluran cerna

dan organ-organ lain. Sistem imun dapat membedakan zat asing (non-self) dan zat

yang berasal dari tubuh sendiri (self). Pada beberapa keadaan patologik, sistem

imun tidak dapat membedakan self dan non-self sehingga sel-sel dalam sistem

imun membentuk zat anti terhadap jaringan tubuhnya sendiri. Zat anti itu disebut

autoantibodi.1,2

Bila sistem imun terpapar pada zat yang dianggap asing, maka ada dua jenis

respon imun yang mungkin terjadi, yaitu respon imun nonspesifik, dan respon

imun spesifik. Respon imun nonspesifik umumnya merupakan imunitas bawaan

(innate immunity) dalam arti bahwa respon terhadap zat asing dapat terjadi

walaupun tubuh sebelumnya tidak pernah terpapar pada zat tersebut, sedangkan

respon imun spesifik merupakan respon didapat (acquired) yang timbul terhadap

antigen tertentu, di mana tubuh pernah terpapar sebelumnya. Perbedaan utama

antara kedua jenis respon imun itu adalah respon imun spesifik menunjukkan

diversitas yang sangat besar; sistem imun spesifik menunjukkan tingkat

spesialisasi yang cukup tinggi; ini berarti bahwa mekanisme respon imun terhadap

berbagai jenis antigen tidak sama; sistem imun spesifik mampu mengenal kembali

antigen yang pernah dijumpainya (memiliki memori), sehingga paparan berikutnya

akan meningkatkan efektifitas mekanisme pertahanan tubuh.3 Pada stadium awal

(inisiasi) respon imun, sekelompok sel fungsional yang disebut Antigen Presenting

Cells (APC) menangkap antigen kemudian menyajikannya kepada limfosit dalam

bentuk yang dapat dikenal oleh limfosit. Cara penyajian antigen yang berbeda-

beda menentukan apakah akan terjadi respon imun dan jenis respon imun yang

Page 4: Refrat 1 MAN

4

mana yang akan terjadi. Imunitas non-spesifik tidak hanya berfungsi memberikan

respon dini terhadap mikroba tetapi juga memegang peran penting dalam

menginduksi respon imun spesifik.3 Berbagai mekanisme yang terjadi tidak dapat

dipisahkan satu dari yang lain, sehingga respon nonspesifik dan respon spesifik

akan dibahas secara terpisah.1,2

A. Respon imun nonspesifik

Komponen-komponen utama sistem imun non-spesifik adalah pertahanan fisik

dan kimiawi seperti epitel dan substansi antimikroba yang diproduksi pada

permukaan epitel; berbagai jenis protein dalam dalam darah termasuk di

antaranya komponen-komponen sistem komplemen, mediator inflamasi lainnya

dan berbagai sitokin, sel-sel fagosit yaitu sel-sel polimorfonuklear dan

makrofag serta sel Natural Killer (NK). Salah satu upaya tubuh untuk

mempertahankan diri terhadap masuknya antigen misalnya antigen bakteri,

adalah menghancurkan bakteri yang bersangkutan secara nonspesifik dengan

proses fagositosis, tanpa memperdulikan perbedaan-perbedaan kecil yang ada

di antara subsransi-substansi asing itu. Dalam hal ini leukosit yang termasuk

fagosit memegang peran yang amat penting, khususnya makrofag, neutrofil dan

monosit agar dapat terjadi fagositosis, sel-sel fagosit tersebut harus berada

dalam jarak dekat dengan partikel bakteri, atau lebih tepat lagi bahwa partikel

tersebut harus melekat pada permukaan fagosit. Untuk mencapai hal ini maka

fagosit harus bergerak menuju sasaran. Hal ini dimungkinkan karena

dilepaskannya zat atau mediator tertentu yang disebut faktor leukotaktik atau

kemotaktik yang berasal dari bakteri maupun yang dilepaskan oleh neutrofil

atau makrofag yang sebelumnya telah berada di lokasi bakteri, atau yang

dilepaskan oleh komplemen. Selain faktor kemotaktik yang menarik fagosit

menuju antigen sasaran, untuk proses fagositosis selanjutnya bakteri perlu

mengalami opsonisasi terlebih dahulu. Ini berarti bahwa bakteri terlebih dahulu

dilapisi (opsonisasi) oleh imunoglobulin atau komplemen (C3b), agar supaya

lebih mudah ditangkap oleh fagosit. Selanjutnya partikel bakteri masuk ke

Page 5: Refrat 1 MAN

5

dalam sel dengan cara endositosis dan oleh proses pembentukan fagosom ia

terperangkap dalam kantung fagosom seolah-olah ditelan untuk kemudian

dihancurkan baik dengan proses oksidasi-reduksi maupun oleh derajat

keasaman yang ada dalam fagosit atau penghancuran oleh lisozim dan

gangguan metabolisme bakteri. 1,2

Selain fagositosis, manifestasi respon imun nonspesifik yang lain adalah

reaksi inflamasi. Sel-sel sistem imun tersebar di seluruh tubuh, tetapi bila

terjadi infeksi di satu tempat perlu upaya memusatkan sel-sel sistem imun itu

dan produk-produk yang dihasilkannya ke lokasi infeksi. Selama respon ini

berlangsung, terjadi 3 proses penting, yaitu peningkatan aliran darah di area

infeksi, peningkatan permeabilitas kapiler akibat retraksi sel-sel endotel yang

mengakibatkan molekul-molekur besar dapat menembus dinding vaskular,

leukosit dan migrasi ke luar vaskular. Reaksi ini terjadi akibat dilepaskannya

mediator-mediator tertentu oleh beberapa jenis sel misalnya histamin yang

dilepaskan oleh basofil dan mastosit, vasoactive amine yang dilepaskan oleh

trombosit, serta anafilatoksin berasal dari komponen-komponen komplemen

yang merangsang pelepasan mediator-mediator oleh mastosit dan basofil

sebagai reaksi umpan balik. Mediator-mediator ini antara lain merangsang

bergeraknya sel-sel polimorfonuklear (PMN) menuju lokasi masuknya antigen

serta meningkatkan permeabilitas dinding vaskular yang mengakibatkan

eksudasi protein plasma dan cairan. Gejala inilah yang disebut, respon inflamasi

akut.1,2

B. Respon imun spesifik

Ciri utama sistem imun spesifik adalah:2

1) Spesifisitas

Respon yang timbul terhadap antigen, bahkan terhadap komponen struktural

kompleks protein atau polisakarida yang berbeda. Bagian dari antigen

tersebut yang dikenal oleh limfosit disebut determinan antigen atau epitop.

Spesifisitas ini terjadi karena masing-masing limfosit mengekspresikan

Page 6: Refrat 1 MAN

6

reseptor yang mampu membedakan struktur antigen satu dengan lain

walaupun perbedaan itu sangat kecil. Klon limfosit dengan berbagai

spesifisitas terdapat pada individu yang belum tersensitisasi dan mampu

mengenal dan memberikan respon terhadap antigen asing.

2) Diversitas

Jumlah total spesifisitas limfosit terhadap antigen dalam satu individu yang

disebut lymphocyte repertoire, sangat besar. Diduga bahwa sistem imun

mamalia dapat membedakan sedikitnya 109 antigen yang berbeda. Hal ini

dimungkinkan karena limfosit memiliki reseptor terhadap antigen dengan

struktur yang berbeda-beda, tergantung pada antigen yang dikenalnva. Setiap

klon limfosit memiiiki struktur yang berbeda dari klon limfosit yang lain,

sehingga dengan demikian terdapat diversitas repertoire yung sangat besar.

3) Memori

Limfosit memiliki-kemampuan mengingat antigen yang pernah dijumpainya

dan memberikan respon yang lebih efektif pada perjumpaan berikutnya.

Walaupun antigen pada kontak pertama (respon primer) dapat dimusnahkan

dan sel-sel sistem imun kemudian mengadakan involusi, namun respon

primer tersebut sempat mengakibatkan terbentuknya klon limfosit atau

kelompok sel yang disebut memory cells yang dapat mengenali antigen

bersangkutan. Apabila antigen yang sama dikemudian hari masuk ke dalam

tubuh, maka klon limfosit tersebut akan berproliferasi dan menimbulkan

respon sekunder spesifik yang berlangsung lebih cepat dan lebih intensif

dibandingkan respon primer.

4) Spesialisasi

Sistem imun memberikan respon yang berbeda dan dengan cara yang

berbeda terhadap berbagai mikroba yang berlainan. Imunitas humoral dan

imunitas seluler dapat dibangkitkan oleh berbagai jenis mikroba atau oleh

mikroba yang sama pada berbagai jenis stadium infeksi, dan setiap jenis

respon imun yang dibangkitkannya bersifat protektif terhadap mikroba

Page 7: Refrat 1 MAN

7

bersangkutan. Dalam setiap jenis respon imun, sifat antibodi dan limfosit

yang dibentuk dapat berbeda bergantung pada jenis mikroba yang

merangsangnya.

5) Membatasi diri (self limition)

Semua respon imun normal mereda dalam waktu tertentu setelah rangsangan

antigen. Hal ini dimungkinkan karena antigen yang merangsang telah

disingkirkan dan adanya regulasi umpan balik dalam sistem yang

menyebabkan respon imun terhenti.

6) Membedakan self dari non-self

Sistem imun menunjukkan toleransi terhadap antigen tubuh sendiri. Hal ini

dimungkinkan karena limfosit-limfosit yang memiliki reseptor terhadap

antigen jaringan tubuh sendiri (limfosit autoreaktif) telah disingkirkan pada

saat perkembangan. Seluruh sifat utama di atas diperlukan apabila sistem

imun berfungsi normal.

Dengan uraian di atas dapat dimengerti bahwa limfosit merupakan inti

dalam proses respon imun spesifik karena sel-sel ini dapat mengenal setiap

jenis antigen, baik antigen yang terdapat intraselular maupun ekstraselular

misalnya dalam cairan tubuh atau dalam darah. Antigen dapat berupa molekul

yang berada pada permukaan unsur patogen atau dapat juga merupakan toksin

yang diproduksi oleh patogen bersangkutan. Sebenarnya ada beberapa

subpopulasi limfosit tetapi secara garis besar limfosit digolongkan dalam 2

populasi yaitu limfosit T yang berfungsi dalam respon imun selular dan limfosit

B yang berfungsi dalam respon imun humoral.2 Walaupun respon imun ini

merupakan respon imun spesifik, pada hakekatnya respon imun yang terjadi

merupakan interaksi antara limfosit dan fagosit. Respon imun spesifik dimulai

dengan aktivitas makrofag atau Antigen Presenting Cells (APC) yang

memproses antigen demikian rupa sehingga dapat menimbulkan interaksi

dengan sel-sel sistem imun spesifik. Dengan rangsangan antigen yang telah

diproses tadi, sel-sel sistem imun berproliferasi dan berdiferensiasi sehingga

Page 8: Refrat 1 MAN

8

menjadi sel-sel yang memiliki kompetensi imunologik dan mampu bereaksi

dengan antigen. 1,2

Dalam mengenali antigen secara spesifik, ada 3 macam molekul pengikat

antigen (antigen binding molecules) yang terlibat, yaitu reseptor antigen pada

permukaan sel B (imunoglobulin permukaan, sIg), reseptor antigen pada sel T

(TCR) dan molekul Major Histocompatibility Complex (MHC) kelas I dan II.

Reseptor antigen pada permukaan limfosit sangat polimorfik dan berbeda antara

satu klon dengan klon yang lain; diversitas ini diperoleh saat perkembangan

limfosit. Molekul MHC juga sangat polimorfik dan berbeda antara anggota

populasi satu dengan yang lain tetapi tidak berbeda dalam satu individu.

Fungsinya adalah menyajikan fragmen-fragmen antigen untuk dikenali oleh

limfosit T. MHC kelas I diekspresikan oleh semua sel berinti dan trombosit

sedangkan MHC kelas II diekspresikan secara terbatas. Reseptor sel T dan

MHC merupakan molekul-molekul yang saling melengkapi untuk mengenali

antigen yang disajikan oleh atau berasal dari dalam sel lain.2

Walaupun pada hakekatnya respon imun spesifik merupakan interaksi antara

berbagai komponen dalam sistem imun secara bersama-sama, untuk

memudahkan pembahasannya, respon imun spesifik dibagi dalam 3 golongan,

yaitu:

1. Respon imun selular

Banyak mikroorganisme yang hidup dan berkembang biak intraselular,

antara lain virus dan mikroba intraseluler seperti M-tuberkulosa yang hidup

dalam makrofag sehingga sulit dijangkau oleh antibodi. Untuk melawan

mikroorganisme intraselular bersangkutan diperlukan respon imun selular

yang merupakan fungsi limfosit T. Ada dua cara untuk menyingkirkan

mikroorganisme intraseluler ini. Sel terinfeksi dapat dibunuh melalui

sistem efektor ekstraseluler, misalnya oleh sel T sitotoksik, atau sel

terinfeksi diaktivasi agar mampu membunuh mikroorganisme yang

menginfeksinya. Subpopulasi sel T yang disebut sel T-helper (Th) akan

Page 9: Refrat 1 MAN

9

mengenali mikroorganisme atau antigen bersangkutan yang terdapat pada

sel makrofag atau sel yang terinfeksi melalui reseptor TCR dan molekul

MHC kelas II. Sinyal yang diterima dari sel terinfeksi ini menginduksi

limfosit untuk memproduksi berbagai jenis limfokin, termasuk di antaranya

interferon, yang dapat membantu makrofag menghancurkan

mikroorganisme tersebut.2,12,13 Subpopulasi limfosit T lain yang disebut sel

T-sitotoksik (Tc) juga berfungsi menghancurkan mikroorganisme

intraseluler yang disajikan melalui atau bersama-sama dengan MHC kelas I

dengan cara kontak langsung antar-sel (cell to cell contact). Selain

menghancurkan mikroorganisme secara langsung, sel T sitotoksik juga

menghasilkan γ-interferon yang mencegah penyebaran mikroorganisme ke

sel-sel yang lain. Respon imun seluler juga merupakan mekanisme utama

dalam pertahanan tubuh terhadap tumor.1,2

2. Respon imun humoral

Respon imun humoral dilaksanakan oleh sel limfosit B dan produknya,

yaitu antibodi, dan berfungsi dalam pertahanan terhadap mikroba

ekstraseluler. Respon ini diawali dengan diferensiasi limfosit B menjadi

satu populasi (klon) sel plasma yang memproduksi dan melepaskan

antibodi spesifik ke dalam darah. Pada respon humoral juga berlaku respon

primer yang membentuk klon sel B memory. Setiap klon limfosit

diprogramkan untuk memproduksi satu jenis antibodi spesifik terhadap

antigen tertentu (clonal selection). Antibodi ini berikatan dengan antigen

membentuk kompleks antigen-antibodi yang dapat mengaktivasi

komplemen dan mengakibatkan hancurnya antigen tersebut. Supaya

limfosit B berdiferensiasi dan membentuk antibody diperlukan bantuan

limfosit Th yang atas sinyal yang diberikan oleh makrofag, merangsang sel

B untuk memproduksi antibodi. Selain oleh sel Th, produksi antibodi juga

diatur oleh sel T-supresor, demikian rupa sehingga produksi antibodi

seimbang dan sesuai dengan yang dibutuhkan.1,2

Page 10: Refrat 1 MAN

10

3. Interaksi antara respon imun selular dengan respon imun humoral

Salah satu interaksi antara respon imun seluler dengan humoral adalah

interaksi yang disebut Antibody Dependent Cell mediated Cytotoxicity

(ADCC). Istilah ini diberikan karena sitolisis baru terjadi bila dibantu oleh

antibodi. Dalam hal ini antibodi berfungsi melapisi antigen sasaran

(opsonisasi), sehingga sel NK (Natural Killer) yang mempunyai reseptor

terhadap fragmen Fc antibodi tersebut dapat melekat pada sel atau antigen

sasaran. Pengikatan sel NK melalui reseptornya pada kompleks antigen-

antibodi mengakibatkan sel NK dapat menghancurkan sel sasaran.

Penghancuran sel sasaran itu terjadi melalui pelepasan berbagai enzim,

sitolisin, reactive oxygen intermediates dan sitokin, langsung pada sel

sasaran. 1,2

III. Sistem imun dalam kehamilan

Sistem imun dan reproduksi saling berkaitan pada berbagai tingkatan. Mulai dari

saat pembuahan sampai saat laktasi. Peranan utama dari sistem imun adalah

untuk memberikan perlindungan tubuh terhadap pengaruh benda asing dan hasil

toksiknya untuk itu diperlukan kemampuan tubuh dalam membedakan antara self

dan nonself antigen. Dalam ilmu kebidanan, dipandang dari sudut imunologi,

adanya janin dalam tubuh ibu sampai usia kehamilan aterm merupakan suatu

keajaiban sehingga pasti ada adaptasi imun selama kehamilan untuk

menyelamatkan janin sementara tubuh ibu sendiri tetap mempunyai kemampuan

untuk melawan infeksi yang mungkin terjadi. Di lain pihak, beberapa penyakit

yang dialami ibu ternyata memberikan kekebalan yang dapat diteruskan kepada

janin selama kehamilan maupun laktasi.3

Page 11: Refrat 1 MAN

11

Beberapa teori yang dapat menerangkan peristiwa imunologi dalam kehamilan.

A. Peristiwa imunologi pada masa pembuahan

Spermatozoa telah diketahui mengandung berbagai macam antigen yang

merupakan benda asing bagi pihak wanita. Setiap kali bersetubuh, seorang

wanita akan menerima berjuta-juta sperma dan berbagai macam protein plasma

semen. Pada binatang percobaan telah dibuktikan bahwa respon imun terhadap

antigen sperma dan plasma semen dapat ditimbulkan dan sekaligus akan

menurunkan derajat kesuburan hewan betina tersebut. Pada manusia, sejumlah

makrofag dan sel-sel fagosit lainnya dapat ditemukan di daerah mukosa traktus

reproduksi. Belum ada bukti yang pasti tentang hubungan antara respon imun

tubuh, baik lokal maupun sistemik, dengan status infertilitas wanita.

Antibodi imobilisasi sperma, baik di serum maupun di cairan traktus

reproduksi, terutama dibawakan oleh kelas IgG. Seringkali antibodi antisperma

ditemukan lebih dahulu di dalam serum dan kemudian baru terdapat di daerah

traktus reproduksi wanita, kemudian diproses dan di bawa ke daerah kelenjar

limfe untuk dipresentasikan kepada limfosit T maupun B, sehingga terjadi

antibodi antisperma, di dalam sirkulasi darah maupun dalam cairan serviks.

Adanya antibodi aglutinasi sperma di dalam serum wanita normal telah

dilaporkan dapat menyebabkan wanita tersebut infertil. Sperma motil akan

teraglutinasi dalam berbagai corak/tipe, baik tipe head to head, tail to tail

maupun tail to head agglutination sehingga spermatozoa tidak dapat lagi

melanjutkan perjalanan ke tuba falopii. Walaupun ada spermatozoa yang lolos

namun tidak akan mampu menembus ovum oleh karena akrosomnya terhalang

antibodi tersebut. Antibodi lain yang menyebabkan imobilisasi sperma akan

mengakibatkan sperma motil tidak lagi bebas bergerak secara lincah, bahkan bisa

diam di tempat /mati. Menarik untuk dipertanyakan bahwa mengapa masih bisa

terjadi kehamilan dan berakhir dengan persalinan yang selamat. Pada keadaan

normal, mungkin sperma tidak cukup untuk membangkitkan respon imun tubuh,

atau mungkin sperma telah difagosit oleh makrofag sehingga tidak ada lagi

Page 12: Refrat 1 MAN

12

antigen yang dapat dipresentasikan kepada sel-sel limfosit yang matang.

Agaknya respon imun di daerah ini baru akan bangkit apabila terdapat lesi-lesi

patologis akibat kuman-kuman penyakit. Pada keadaan normal, wanita-wanita

seharusnya tetap toleran terhadap spermatozoa dan plasma sperma akibat sifat-

sifat imunosupresif plasma sperma itu sendiri. Disamping itu di dalam plasma

sperma ditemukan juga faktor-faktor anti-komplemen yang dapat menghambat

aktivasi sistem komplemen. Dengan demikian proses imobilisasi sperma oleh

antibodi tidak terjadi. Sejak masuk dalam kanalis servikalis uteri, spermatozoon

harus lolos dari perlawanan imunitas yang terdapat pada mukus kanalis

servikalis.3 Spermatozoon sebagai alo-antigen dapat membangkitkan terjadinya

antibodi sehingga pada keadaan-keadaan tertentu dapat menimbulkan peristiwa-

peristiwa berikut:

1. Infertilitas karena tingginya titer antibodi terhadap spermatozoon, maupun

kegagalan terjadinya kehamilan setelah rekonstruksi pasca vasektomi

2. Alergi sampai reaksi anafilaksis

3. Syok anafilaksis tidak pernah terjadi pada inseminasi intravaginal akan tetapi

dapat terjadi pada inseminasi intrauterin.

Setelah terjadi konsepsi, zigot yang terjadi juga mempunyai HLA yang

berbeda dengan HLA ibu, namun perbedaan tadi tidak terlalu jauh sehingga

seperti pada peristiwa transplantasi jaringan maka komptabilitas antara keduanya

masih dapat diupayakan keberhasilannya. Pada zigot juga bekerja paparan di

peritoneum, namun diimbangi dengan pengaruh tingginya hormon progesteron

yang dapat menghambat reaksi imunologi terutama segi respon imun selulernya.3

B. Peristiwa imunologi pada masa kehamilan

Janin seringkali disamakan dengan transplantasi antigen asing kepada ibu dan

dapat pula disamakan dengan suatu allograft, meskipun bukan persamaan yang

tepat. Keberhasilan hasil pembuahan mencangkokkan diri pada endometrium

dapat dipandang sebagai keberhasilan suatu cangkok alograft. Pada cangkok

Page 13: Refrat 1 MAN

13

alograft seringkali terjadi peristiwa imunologi berupa penolakan dan reaksi host

versus graft dimana donor mengalami reaksi hebat akibat inkompatibilitas

transplantasi. Janin yang terjadi akibat pertemuan dua gamet yang berlainan, satu

dari pihak ayah dan yang lain dari pihak ibu, sebenarnya benda asing bagi ibunya

sehingga secara imunologis penolakan plasenta dan janin oleh sistem imunitas

ibu merupakan keadaan yang seharusnya terjadi. Atas pengaruh zat limfokin

kemudian akan datang berbagai macam sel fagosit, termasuk makrofag dan

leukosit. Daya penolakan ini dapat ditingkatkan lagi pada waktu sel K yang

termasuk sel-sel limfosit turut menyerang alograft tersebut. Ternyata, janin dapat

diterima oleh sistem imunitas tubuh wanita, walaupun antigen-antigen tersebut

tidak pernah menimbulkan forbiden clone selama perkembangan sistem tersebut.

Menjadi pertanyaan adalah bagaimana pertumbuhan janin, mampu bertahan dan

tumbuh di dalam uterus. Pasti ada adaptasi imun dalam kehamilan sehingga janin

dapat tetap selamat dalam tubuh ibu selama 9 bulan tanpa terganggu. Adaptasi ini

harus mencegah penolakan imun dari janin sementara ibu masih tetap

mempunyai kemampuan untuk melawan infeksi. Kemungkinan besar dalam

keadaan yang istimewa ini, dalam tubuh ibu timbul sesuatu mekanisme depresi

sistem imun, yaitu suatu mekanisme tubuh yang menekan sistem imun atau

menahan respon imun yang telah bangkit. Timbul juga pemikiran adanya

mekanisme blocking factor yang disebabkan oleh suatu faktor plasma yang

spesifik. Diduga kalau faktor ini akan memblok antigen paternal pada plasenta

dan janin. Analisis faktor ini lebih lanjut menunjukkan bahwa sistem imunitas

humoral ibu pada kehamilan juga terangsang dan antibodi yang diproduksi ialah

jenis blocking antibody yang termasuk kelas IgG. Oleh karena itu adanya reaksi

antigen-antibodi justru akan melindungi alograf plasenta dari serangan sistem

imunitas selular.3

Page 14: Refrat 1 MAN

14

Regulasi respon imun ibu-janin

Walaupun ibu terpajan oleh banyak antigen janin dan plasenta, namun tidak

terjadi sensitisasi atau bila ada, respon yang timbul tidak sampai mengakibatkan

kerusakan pada plasenta.3

Blokade respon imun diperkirakan terjadi pada :

1. Fase pengenalan ( aferen )

Kegagalan pengenalan imunologis ibu terhadap plasenta dapat terjadi

melalui 2 cara, yaitu:

a. Plasenta tidak mengekspresikan antigen yang dapat menstimuli respon

imun.

b. Sistem Imun ibu tidak dapat menekan secara spesifik.

Trofoblas mempunyai kemampuan untuk menyembunyikan diri

dibelakang antigen ibu yang ditempatkan pada permukaannya, karena

trofoblast ini mempunyai reseptor terhadap Fc bagi Imunoglobulin,

uteroglobulin dan transferin.3

Sifat antigenik asli dari trofoblast ini mungkin merupakan hambatan

utama terhadap timbulnya respon imun ibu. Karena sinsitiotrofoblast

sedikit sekali mengandung antigen MHC dan nonvillous trophoblast tidak

mengekspresikan antigen MHC kelas II, maka tidak ada rangsangan

imunologis langsung terhadap ibu. Belum jelas diketahui apakah ibu

memberikan respon terhadap antigen HLA-G like class I yang ada pada

nonvillous trophoblast, tetapi secara in vivo imunogenitasnya rendah

karena kurangnya HLA-A dan B spesifik.1,2,3

MHC kelas II (terdapat pada sel Imunokompeten) tidak didapati pada

trofoblast selama kehamilan. Keadaan ini mungkin dapat menerangkan

peristiwa abortus habitualis yang dapat diobati dengan sensitisasi leukosit

suami, demikian juga fungsi limfosit ibu menurun terlihat dari penurunan

transformasi oleh fitohemaglutinin.1,2,3

Page 15: Refrat 1 MAN

15

Perubahan pada masa kehamilan

a. Imunosupresi nonspesifik

Dari observasi klinis terbukti bahwa wanita yang mengandung tidak

menderita immunocompromised secara luas. Namun demikian mereka lebih

peka terhadap infeksi tertentu seperti virus hepatitis, herpes simplex dan

virus Epstein-Barr. Penurunan dalam aktivitas sel NK mungkin terjadi

dalam kehamilan normal. Fungsi limfosit T ibu juga tertekan. Dilaporkan

pula bahwa secara invitro terjadi penurunan respon terhadap mikroba dan

antigen virus serta mitogen. Hal ini telah mendasari banyaknya penelitian

terhadap populasi sel imun dari darah wanita hamil.1,3

b. Sel Natural Killer (NK)

Selama siklus haid, aktivitas NK menurun pada periode periovulatoir, hal

ini lebih disebabkan karena perubahan gonadotropin daripada karena

steroid hormon; LH dan hCG menghambat aktivitas NK invitro, sedangkan

estradiol, progesteron dan testosteron tidak berpengaruh. Aktivitas sel NK

menurun selama kehamilan sejak trimester pertama sampai kehamilan

aterm, dan kembali ke tingkat normal 9 sampai 40 minggu setelah

kelahiran. Terdapat penurunan baik dalam jumlah sel NK maupun

kemampuan lisisnya.1,3

c. Antibody Dependent Cellular Cytotoxicity (ADCC)

Berlawanan dengan aktivitas NK, tidak ada perubahan ADCC selama

kehamilan. Karena itu, NK dan ADCC kelihatannya mempunyai peranan

yang terpisah dalam kehamilan. Walaupun masih terdapat kebutuhan untuk

mengatur penurunan aktivitas NK, ADCC masih tersedia untuk menangani

sel-sel yang terinfeksi virus.1,3

d. Sel -T, Sel-B dan Monosit

Secara umum dijumpai kenaikan monosit dan sedikit perubahan jumlah sel

B selama kehamilan, didapatkan penurunan proporsi sel T helper yang

menyebabkan terjadinya imunosupresi selama kehamilan.

Page 16: Refrat 1 MAN

16

Konsisten dengan ini adalah laporan bahwa sel T helper tidak berkurang

pada ibu dengan berat bayi lahir rendah atau dengan riwayat abortus

berulang. Hal ini mengesankan bahwa kegagalan mekanisme

immunosupresif mengakibatkan janin rentan terhadap serangan

immunologik.3

e. Faktor supresi plasenta

Plasenta akan melepaskan faktor yang mensupresi aktivitas limfosit.

Aktivitas supresi mungkin dijumpai sejak awal kehamilan. Faktor supresi

dari trofoblast tersebut sampai saat ini belum jelas, namun laporan terakhir

menyatakan bahwa mungkin berhubungan dengan Transforming Growth

Factor β (TGFβ).1,3

f. Faktor supresi serum

Faktor Imunosupresi dari plasenta akan masuk ke dalam sirkulasi ibu,

sehingga serum wanita hamil menunjukkan supresi terhadap respon

limfosit dengan cara nonspesifik. Beberapa penulis menyatakan bahwa

hormon plasenta memegang peranan penting. hCG pada tingkat fisiologis

menghambat mitogen-induced proliferation dari limfosit, berikatan dengan

sel asesori dan melepaskan prostaglandin. Demikian pula progesteron

menghambat respon limfosit. Aktivitas progesteron berkaitan dengan

prostaglandin, yang disintesis oleh plasenta, amniokorion dan desidua.

Limfosit yang dipengaruhi progesteron akan melepaskan faktor yang akan

menghambat produksi PGF2 dimana aktivitas supresi sel NK dan sel T

maternal terpengaruh oleh perubahan produksi IL-2. 1,3

Antara mudigah-janin dengan tubuh ibu terdapat pelindung trofoblast.

Trofoblast ini menghasilkan banyak hormon hCG dan estrogen serta

progesteron. Saat ini hormon tersebut diketahui mengadakan imunosupresi

yang berefek lokal sehingga jaringan disekitarnya tidak banyak mengalami

tekanan respon imun tubuh. hCG bahkan disebut sebagai “Hormone of

Page 17: Refrat 1 MAN

17

Life, Hormon of Death“ karena kemampuannya melindungi kehidupan in-

utero, akan tetapi juga melindungi jaringan neoplasma dari respon imun.3

Progesteron diduga mempunyai sifat imunosupresif sehingga dianggap

sebagai suatu hormon nidasi baik lokal maupun sistemik. Endometrium

yang sudah berubah menjadi desidua menunjukkan adanya penekanan

respon imun yang terlihat dari penurunan Mix Lymphocyte Reaction

(MLR) serta menghambat aktivitas IL-2. Beberapa protein yang berkaitan

dengan kehamilan seperti misalnya PAPP-A (Pregnancy Associated

Plasma Protein A) dihasilkan oleh sel epitel kelenjar dan sel stroma

desidua atas pengaruh progesteron mempunyai sifat imunosupresif serta

mengurangi aktivitas sel NK.1,3

Hormon progesteron ternyata juga menurunkan respon imun sesuai

dengan dosisnya. Hal ini disokong oleh penemuan yang membuktikan

bahwa hormon-hormon pada kehamilan, seperti hCG dapat menekan

proses-proses transformasi sel limfosit T yang dirangsang oleh antigen

nonspesifik phytohaem-agglutini (PHA). Pada keadaan yang sebenarnya

kadar hCG selama kehamilan memang tinggi dan mulai menurun di akhir

kehamilan, saat itu sistem imunitas selular mulai bangkit dan terjadi

persalinan.1,3

g. Faktor supresi desidua

Faktor supresi yang dilepaskan plasenta secara sistematik menghambat

respon limfosit terhadap sinsitiotrofoblas. Mekanisme lain, mungkin secara

lokal, ikut berperan dalam mencegah pengenalan alloimun dari

sitotrofoblas yang menginvasi desidua. Pada percobaan binatang

didapatkan bahwa sel supresi desidua sangat penting bagi keberhasilan

suatu kehamilan. Dikenal dua tipe sel yang secara nonspesifik menghambat

respon limfosit invitro. Pertama adalah sel besar yang dijumpai pada

endometrium awal kehamilan. Kedua, sel kecil, limfosit granuler dengan

sedikit sel T, yang terlokalisir pada tempat implantasi dan atau

Page 18: Refrat 1 MAN

18

dipengaruhi oleh trofoblas. Dari penelitian ternyata kedua sel ini tidak

ditemukan pada penderita dengan abortus berulang.3,5

2. Fase Generasi (sentral)

Berbeda dengan mekanisme supresi nonspesifik yang berlangsung dengan

menghambat pengenalan antigen atau mencegah proliferasi limfosit,

pengaturan sentral membutuhkan limfosit untuk mengenal antigen dalam

memberikan respon blocking antibody atau sel supresor. Mekanisme supresor

spesifik ini hanya diarahkan kepada antigen yang dituju dan tidak merusak

respon imun yang lain.3,5

a. Blocking antibodies

Respon yang ditimbulkan oleh sel dapat dihalangi oleh antibodi yang

mengikat limfosit dari ibu atau antigen yang menstimuli. Produksi antibodi

semacam ini tergantung pengenalan antigen janin.3,5

b. Serum kehamilan dapat menghalangi respon yang disebabkan oleh sel

dengan cara yang nonspesifik.3,5

Antibodi HLA antifetal menghalangi MLR antara sel ibu dengan janin atau

ayah. Antibodi lain yang timbul dalam kehamilan mungkin mempunyai

fungsi pengaturan imunologis. Serum kehamilan mengandung antibodi

yang menghalangi reseptor Fc dari sel limfosit B. Serum ini diarahkan pada

determinan HLA yang tak teridentifikasi dan terutama terdapat pada

kehamilan triwulan pertama.3,5

Blocking antibody sangat penting bagi keberhasilan suatu kehamilan.

Tapi bila antibodi tersebut didefinisikan dengan perannya terhadap MLR

ibu-janin/ayah maka antibodi ini hanya terdapat pada separuh dari serum

wanita hamil. Banyak peneliti beranggapan bahwa blocking antibody

penting bagi kehamilan normal dan bahwa ketidakhadirannya akan

menyebabkan keguguran berulang. 3,5

Page 19: Refrat 1 MAN

19

c. Sel T supresor

Pengaktifan limfosit T tidak hanya menghasilkan T cell Helper dan

sitotoksik, tetapi juga T sel supresor yang secara spesifik dapat melepaskan

pengaturan respon pada immunizing antigen. T-sel spesifik dari ayah yang

secara total menekan MLR ibu-ayah dapat ditemui pada ibu multiparitas.

Aktifitas sel supressor tidak tampak pada wanita primipara, sehingga

relevansinya terhadap keberhasilan suatu kehamilan tidak jelas.3,5

d. Peranan uterus

Uterus dikenal bukan sebagai suatu previleged site karena uterus dipenuhi

dengan vaskularisasi dan drainage limfatik. Uterus sendiri merupakan

organ yang mampu menghasilkan imunoglobulin seperti SpIgA, SpIgM

dan SpIgG namun tetap sangat peka terhadap infeksi. Sedangkan di dalam

desidua uterus ditemukan 20% mengandung makrofag, 10% mengandung

limfosit sel T, 40% sel NK, CD56+ dan TCR.3,5

Uterus diketahui mengandung sel limfosit T yaitu T-helper terdiri atas

T-helper 1 (Th-1) dan T-helper 2 (Th-2). Th-1 mengeluarkan sitokin IFN-

, IL-2 dan TNF- yang secara normal tidak mempunyai peran sama

selama kehamilan, namun dapat membahayakan bila beraktivitas. Th-2

sangat potensial untuk menjaga kehamilan meliputi sitokin IL-4 dan IL-10.

Dengan demikian peranan Th-2 lebih dominan daripada Th-1 untuk

menjaga kelangsungan kehamilan, namun di sisi lain dengan pasifnya

fungsi Th-1, seorang ibu hamil rentan terhadap infeksi bakteri, virus

maupun toksoplasma karena peran Th-1 sebagai sitokin pro inflamasi

sangat rendah.3,5

3. Fase eferen (efektor)

Pada beberapa kehamilan, sensitasi sel ibu terhadap HLA janin/ayah memang

terjadi. Namun demikian kehamilan tetap berhasil baik. Penjelasan sederhana

terhadap keberhasilan kehamilan adalah adanya fungsi plasenta sebagai barier

antigen antara ibu dan janin. Sel T sitotoksik tidak dapat melisis sel-sel yang

Page 20: Refrat 1 MAN

20

menpunyai antigen HLA-A atau -B, jadi trofoblas tidak akan menjadi sasaran

yang cocok.3

a. Peranan plasenta

Plasenta merupakan jaringan yang berfungsi sebagai barier anatomis

maupun imunologis. Deposisi fibrinoid pada plasenta berperan sebagai

barier polisakarid mekanis transplantasi antigen janin ke ibu maupun

limfosit ibu yang akan memasuki janin. Plasenta juga memainkan peranan

dalam blokade eferen. Hormon plasenta, kultur supernatan dari sel

trofoblas dan mikrovilous dari sinsitiotrofoblas dapat menghambat

aktivitas sitolitik dari sel T sitotoksik dan sel NK terhadap limfoblas. Ini

mungkin disebabkan oleh peranan transferin yang berasal dari

sinsitiotrofoblas yang memblokir reseptor transferin yang ada pada limfosit

sitotoksik maupun sasarannya dan dengan demikian menghalangi interaksi

membran di antara sel-sel atau menutupi struktur target dalam proses

pengenalan. Kemungkinan lain mengapa janin tersebut tidak di tolak pada

kehamilan normal, ialah antigen plasenta dan janin itu kurang bersifat

imunogenis sehingga sistem imun selular ibu tidak bangkit sama sekali.

Penelitian tentang antigen HLA pada sel-sel trofoblas membuktikan

keadaan yang sebaliknya; trofoblas ternyata mengandung antigen yang

kompeten. Terbukti bahwa zat limfokin dapat dilepaskan oleh sel-sel

limfosit apabila dirangsang secara invitro oleh antigen plasenta. Penemuan

ini membuktikan secara jelas bahwa transformasi sel limfosit tidak

dihambat, bahkan dapat diperlihatkan efek inhibisi zat tersebut terhadap

migrasi sel-sel makrofag. Beberapa penelitian berhasil membuktikan kalau

respon imun selular terhadap antigen plasenta mulai bangkit pada

kehamilan trisemester kedua yang makin lama makin meningkat sesuai

dengan usia kehamilan.3

b. Sistem imunitas janin

Page 21: Refrat 1 MAN

21

Sel aloreaktif akan menimbulkan masalah bila menembus batas janin dan

memasuki kompartemen janin. Walau sel ibu belum secara meyakinkan

ditemukan dalam sirkulasi janin, darah tali pusat mengandung antibodi IgM

berasal dari janin yang diarahkan untuk melawan sel T alloreaktif ibu.

Antibodi-antibodi ini secara khusus menghambat respon MLR ibu dan

limfosit sitotoksik terhadap sel janin. Limfosit darah tali pusat dengan kuat

menekan proliferasi limfosit dewasa dengan cara yang nonspesifik. Setiap

kali seorang ibu hamil, maka di dalam tubuhnya pasti timbul respon imun

terhadap janin yang dikandungnya.3

C. Imunitas maternal

Imunisasi pasif pada janin dapat terjadi melalui transfer antibodi atau sel imun

dari ibu yang imun kepada janin atau neonatus. Hal ini dapat terjadi melalui:

a. Imunitas maternal melalui plasenta

Adanya antibodi dalam darah ibu merupakan proteksi pasif terhadap fetus.

IgG dapat berfungsi antitoksik, antivirus dan antibakteri. Imunisasi aktif dari

ibu akan memberikan proteksi pasif kepada fetus dan bayi. Selama dalam

uterus, mulai umur kehamilan 6 bulan janin baru membuat antibodi IgM

kemudian disusul IgA pada waktu kehamilan genap bulan. Mulai umur

kehamilan 2 bulan IgG ibu sudah masuk ke dalam janin dan melindunginya.3,5

b. Imunitas maternal melalui kolostrum

Air susu ibu (ASI) mengandung berbagai komponen sistem imun. Beberapa

diantaranya berupa enchancement growth factor untuk bakteri yang

diperlukan dalam usus atau faktor yang justru dapat menghambat tumbuhnya

kuman tertentu (lisozim, laktoferin, interferon, makrofag, sel T, sel B,

granulosit). Antibodi ditemukan dalam ASI dan kadarnya lebih tinggi dalam

kolostrum. Proteksi antibodi dalam kelenjar susu tergantung dari antigen yang

masuk ke dalam usus ibu dan gerakan sel yang dirangsang antigen dari lamina

propria usus ke payudara. Jadi antibodi terhadap mikroorganisme yang

menempati usus ibu dapat ditemukan dalam kolostrum, sehingga selanjutnya

Page 22: Refrat 1 MAN

22

bayi memperoleh proteksi terhadap mikroorganisme yang masuk saluran

cerna. Adanya antibodi terhadap enteropatogen (E. coli, S. tiphy murium,

shigella, vurus polio, coxsackie) dalam ASI telah dibuktikan. Antibodi

terhadap patogen non saluran cerna seperti antitoksin tetanus, difteri dan

hemolisin antistreptokokus telah pula ditemukan dalam kolostrum. Limfosit

yang sensitif terhadap tuberkulin dapat juga ditransfer ke bayi melalui

kolostrum, tetapi peranan sel ini dalam transfer Cell Mediated Immunity

(CMI) belum diketahui.3,5

IV. Imunomodulator

Imunomodulator adalah senyawa tertentu yang dapat meningkatkan mekanisme

pertahanan tubuh baik secara spesifik maupun non spesifik, dan terjadi induksi

non spesifik  baik mekanisme pertahanan seluler maupun humoral. Pertahanan

non spesifik terhadap antigen ini disebut paramunitas, dan zat berhubungan

dengan penginduksi disebut  paraimunitas. Induktor semacam ini biasanya tidak

atau sedikit sekali kerja antigennya, akan tetapi sebagian besar bekerja sebagai

mitogen yaitu meningkatkan proliferasi sel yang  berperan pada imunitas. Sel

tujuan adalah makrofag, granulosit, limfosit T dan B, karena induktor

paramunitas ini bekerja menstimulasi mekanisme pertahanan seluler. Mitogen ini

dapat  bekerja langsung maupun tak langsung (misalnya melalui sistem

komplemen atau limfosit, melalui produksi interferon atau enzim lisosomal)

untuk meningkatkan fagositosis mikro dan makro. Mekanisme pertahanan

spesifik maupun non spesifik umumnya saling  berpengaruh. Dalam hal ini

pengaruh pada beberapa sistem pertahanan mungkin terjadi, hingga mempersulit

penggunaan imunomodulator, dalam praktek. Aktivitas suatu senyawa yang

dapat merangsang sistem imun tidak tergantung pada ukuran molekul tertentu.

Efek ini dapat diberikan baik oleh senyawa dengan berat molekul yang kecil

maupun oleh senyawa polimer. Karena itu usaha untuk mencari senyawa

semacam ini hanya dapat dilakukan dengan metode uji imunbiologi saja. Metode

Page 23: Refrat 1 MAN

23

pengujian yang dapat dilakukan adalah metode in vitro dan in vivo, yang akan

mengukur pengaruh senyawa kimia terhadap fungsi dan kemampuan sistem

mononuklear, demikian pula kemampuan terstimulasi dari limfosit B dan T.7,8

Persyaratan imunomodulator menurut WHO adalah:

1. Secara kimiawi murni atau dapat didefinisikan secara kimia

2. Secara biologik dapat diuraikan dengan cepat

3. Tidak bersifat karsinogenik atau ko-karsinogenik

4. Baik secara akut maupun kronis tidak toksik dan tidak mempunyai efek

samping farmakologik yang merugikan

5. Tidak menyebabkan stimulasi yang terlalu kecil ataupun terlalu besar

Imunomodulator membantu memperbaiki sistem kekebalan tubuh atau

menenangkan sistem kekebalan yang overaktif. Imunomodulator

direkomendasikan untuk orang-orang dengan penyakit autoimun dan secara luas

digunakan pada penyakit-penyakit kronik untuk mengembalikan sistem

kekebalan dalam rangka membantu orang-orang yang mengkonsumsi antibiotik

atau terapi anti virus jangka panjang (termasuk terapi antiretroviral untuk

pengobatan HIV). Imunomodulator bekerja dengan cara menstimulasi sistem

pertahanan natural atau adaptif, seperti contohnya mengaktifkan sitokin yang

secara alamiah akan membantu tubuh dalam memperbaiki sistem kekebalan

tubuh.7,8

Pada prinsipnya, orang dengan kondisi sistem imun dalam keadaan prima,

tidak mudah terkena infeksi, akan tetapi jika pada saat tertentu sistem imun

terganggu atau tidak bekerja dengan baik, maka infeksi oleh bakteri, virus atau

jamur mudah masuk ke dalam tubuh. Banyak faktor yang dapat mengakibatkan

sistem imun terganggu, di antaranya stress, kurang gizi, terlalu lelah, dsb. Untuk

mengatasinya diperlukan pola hidup sehat, antara lain cukup istirahat, makan

bergizi seimbang, tidak stress, menghindari lingkungan yang dapat

mengakibatkan sakit dan bila perlu mengkonsumsi obat atau suplementasi yang

dapat menguatkan sistem imun (daya tahan) tubuh.7,8

Page 24: Refrat 1 MAN

24

V. Penggunaan N-asetilsistein sebagai imunomodulator pada kehamilan

A. Farmakologi N-asetilsistein

N-asetilsistein adalah suatu metabolit dari asam amino sistein yang

mengandung sulfur. Rumus molekulernya HSCH2CH(NHCOCH3)CO2H

dengan berat molekul 163,19 (Gambar1).

Gambar 1. Rumus molekul N-asetilsistein Dikutip dari Ercal N.9

N-asetilsistein mempunyai aktivitas fluidifikasi melalui gugus sulfhidril

bebas pada sekret mukoid atau mukopurulen dengan cara memutus jembatan

disulfida intramolekul dan intermolekul dalam agregat glikoprotein. N-

asetilsistein mempunyai toleransi intestinal yang baik, cepat diabsorpsi

sesudah pemberian oral dan didistribusikan ke seluruh tubuh termasuk paru.

N-asetilsistein sering digunakan sebagai mukolitik dan juga digunakan pada

pengobatan intoksikasi parasetamol. N-asetilsistein dosis tinggi efektif pada

pasien sindroma steven johnson. Reaksi ini berhubungan dengan efek

antioksidan terhadap sel, melalui peningkatan kadar sistein intrasel yang

diperlukan pada pembentukan glutation (berfungsi sebagai buffer

antioksidan), menghambat produksi sitokin, sebagai mediator reaksi

imunologis, yaitu TNF, IL-1 dan oxygen radikal bebas.6

Pada manusia obat ini dapat digunakan secara oral, intravena maupun

secara topikal.

Page 25: Refrat 1 MAN

25

1. Cara pemberian dan dosis

a. Intravena

Pemberian intravena biasanya digunakan pada kasus overdosis

paracetamol secara drip dengan dosis yang dikurangi secara

berkala. Idealnya diberikan dalam waktu 10 jam setelah menelan

parasetamol.

b. Topikal

Pemberian topikal dari n-asetilsistein biasanya tersedia dalam

bentuk larutan 200mg/ml dan dapat diencerkan dengan air atau

larutan garam jika diperlukan. Aplikasi topikal dari n-asetilsistein

akan diserap pada tempat pemberian topikal dan masuk ke dalam

sirkulasi sistemik.

c. Oral

Pemberian dosis secara oral sangat beragam dalam beberapa

penelitian sebelumnya. Penelitian di Australia merekomendasikan

pemberian dengan dosis maksimum 1000 mg/hari. Penelitian

Mardikian dkk. melaporkan bahwa tidak ada perbedaan efek

samping yang berarti pada penggunaan dosis 1200, 2400, 3600

mg/hari secara oral, sedangkan penelitian Berk dkk. melaporkan

bahwa pemberian secara oral 2 g/hari yang dibagi menjadi 2 dosis

mempunyai efek samping yang minimal.9

Tabel 1. Dosis penggunaan N-asetisistein

Kelainan klinis Dosis

Asma 500 mg, 3x perhari

Page 26: Refrat 1 MAN

26

Bronkitis Akut: 600-750 mg, 3x perhari

Kronik: 600 mg, 2x perhari

Flu 500 mg, 3x perhari

Sinusitis 600 mg, 3x perhari

HIV 800-8000 mg perhari

Keracunan

parasetamol

140 mg/kgBB, dilanjutkan dengan 17x

dosis 70 mg/kgBB tiap 4 jam

Dikutip dari Ercal N.9

2. Farmakokinetik

Pada kebanyakan penelitian didapatkan kadar plasma N-asetilsistein

yang bervariasi setelah pemberian secara oral. Sebagai tambahan, N-

asetilsistein juga disintesis dari dalam tubuh sendiri dan dilaporkan

kadar sirkulasi yang bervariasi antara 23,3 sampai 137,7 nm sehingga

menyulitkan perhitungan farmakokinetiknya. Bioavailabilitas oral dari

N-asetilsistein diperkirakan 6-10%, karena adanya metabolisme lintas

pertama yang luas, dengan Tmax antara 1-2 jam setelah pembeian oral.

Volume distribusi bervariasi antara 0,33-0,47 l/kg. Pendiala dan

Creaven yang mengunakan dosis berdasarkan luas area tubuh,

menemukan farmakokinetik yang linear pada dosis antara 200-3200

mg/m2 namun Cotgreave dan Moldeus menemukan bahwa eliminasi

N-asetilsistein dari plasma bersifat bifasik, dengan waktu paruh pada

menit ke 6 dan 40.6

3. Metabolisme

Page 27: Refrat 1 MAN

27

N-asetilsistein membentuk metabolit N-acetylcystine dan N3N-

diacetylcystine, yang berikatan dengan protein plasma dan bisa di

deaktilasi membentuk cysteine.

Gambar 2. Metabolisme N-asetilsistein, N-acetylcystine dan N3N-diacetylcystine Dikutip dari Ercal.9

Hasil metabolit akhir ini merupakan prekursor untuk glutathion

sebagai antioksidan endogen.

Gambar 3. N-asetilsistein sebagai precursor glutathion Dikutip dari Ercal N.9

Page 28: Refrat 1 MAN

28

Suplementasi N-asetilsistein telah di demonstrasikan dapat

meningkatkan glutathion sampai 510% pada populasi yang mengalami

malnutrisi.6

4. Efek samping dan toksisitas

Secara umum N-asetilsistein aman dan ditoleransi dengan baik. Efek

samping yang paling sering yang berkaitan dengan pemberian secara oral

dalam dosis tinggi antara lain mual, muntah, dan kelainan gastrointestinal

lainnya; akibatnya pemberian secara oral dalam dosis tinggi

dikontraindikasikan pada pasien yang mengalami ulkus peptikum. Efek

samping lainnya namun jarang dijumpai adalah reaksi anafilktik akibat

pelepasan histamin yang dapat menyebabkan timbulnya ruam, pruritus,

angioedema, bronkospasme, takikardi, dan perubahan tekanan darah.

Pada pemberian secara intravena dapat menyebabkan reaksi alergi berupa

ruam dan angioedema, namun jarang sekali terjadi.10

B. Mekanisme kerja N-asetilsistein sebagai imunomodulator

N-asetilsistein memiliki beberapa mekanisme kerja kunci dalam farmakologi,

sehingga dapat memegang peranan penting dalam pengobatan/terapi.

Mekanisme kerja N-asetilsistein sebagai imunomodulator berkaitan dengan

sifatnya sebagai antioksidan dan prekursor glutathion serta sifat

antiinflamasinya.11,12

Sebagai antioksidan N-asetilsistein bekerja diluar sel dengan cara

mereduksi cystine menjadi cysteine yang dapat di transportasikan kedalam sel

10 kali lebih cepat dari pada cytine yang selanjutnya akan digunakan dalam

pembentukan glutathion. N-asetilsistein dapat mengakibatkan peningkatan

glutathion-S-transferase, menyediakan glutathione pada proses detoksifikasi

dari peroksida oleh enzim glutathion perxidase. N-asetilsistein dapat bekerja

secara langsung pada radikal bebas. Fungsi sel imun berkaitan dengan

generasi Reactive Oxygen Species (ROS) atau oksigen radikal bebas yang

turut serta dalam aktifitas mikrobisidal dari fagosit, aktifitas sitotoksik atau

Page 29: Refrat 1 MAN

29

respon limfoproliferatif terhadap mitogen. Kelebihan jumlah dari ROS dapat

mengancam sel-sel imun, karena dapat menyerang komponen seluler dan

menyebabkan kerusakan dan kematian sel denga cara mengoksidasi lipid,

protein, karbohidrat membran serta asam nukleat. Efek ini dapat dicegah

dengan cara menetralisir ROS dengan kompleks antioksidan. Antioksidan

memegang peranan penting dalam memelihara sel-sel imun dan menjaganya

dari stres oksidatif. Beberapa penelitian saat ini menunjukkan bahwa

kekurangan nutrisi antioksidan dapat menyebabkan terjadinya penyakit dan

dalam hal ini antioksidan bekerja sebagai imunostimulan.11,12

Efek imunomodulasi dari sifat antiinflamasinya yaitu dengan cara

menghambat induksi dari faktor transkripsi pro-inflamatori Activator Protein

1 (AP-1) dan NF-B. Faktor transkripsi ini menginduksi terjadinya stres

oksidatif. N-asetilsistein menghambat pembentukan TNF-α melalui

penghambatan NF-B. Penelitian pada tikus yg diberikan suntikan

lipopolisakarida yang dilanjutkan dengan penambahan N-asetilsistein

menunjukkan adanya peningkatan kemotaksis dari limfosit. Hal ini

disebabkan karena efek inhibisi pembentukan TNF-α. Aksi imunostimulannya

didapatkan dari adanya peningkatan adheren dan kemotaksis dari limfosit.6,13

Selain sebagai imunomodulator, N-asetilsistein juga dapat bekerja sebagai

mukolitik. N-asetilsistein memecah ikatan disulfida. Reaksi ini menurunkan

viskositasnya dan dan seterusnya memudahkan penyingkiran sekret tersebut.

NAC juga dapat menurunkan viskositas sputum. Efektivitas maksimal terkait

denga pH dan mempunyai aktivitas yang paling besar pada batas basa kira-

kira dengan pH 7 hingga 9. Sputum akan menjadi encer dalam waktu 1 menit,

dan efek maksimal akan dicapai dalam waktu 5 sampai 10 menit setelah

inhalasi.6

C. Penggunaan Klinis N-asetilsistein sebagai imunomodulator pada kehamilan

Page 30: Refrat 1 MAN

30

N-asetilsistein berdasarkan Food and Drug Administration (FDA)

diklasifikasikan pada kategori B yang artinya studi pada binatang percobaan

tidak menunjukan adanya risiko pada janin, tetapi tidak ada studi terkontrol

pada ibu hamil atau Studi terhadap reproduksi binatang percobaan

menunjukan adanya efek samping, tetapi penelitian pada ibu hamil tidak

menunjukkan adanya risiko pada janin pada trimester I kehamilan dan tidak

ada bukti berisiko pada trimester berikutnya. Dengan demikian, penggunaan

N-asetilsistein dalam kehamilan termasuk dalam kategori yang aman. N-

asetilsistein tidak menunjukkan efek teratogenik sehingga aman untuk wanita

hamil. Penelitian Pelayanan Informasi Teratologi Inggris tahun 1997

melaporkan bahwa dari 33 ibu hamil yang menggunakan N-asetilsistein

didapatkan 29 janin lahir normal, 3 janin mati, dan 1 janin mengalami

kelainan yaitu hipospadia, namun tidak ada hubungannya antara defek dengan

penggunaan N-asetilsistein.14

Berikut ini beberapa penggunaan klinis dari N-asetilsistein sebagai

imunomodulator:

1. Sebagai antidotum keracunan parasetamol

N-asetilsistein merupakan antidotum terpilih untuk keracunan parasetamol.

Keracunan pada hati disebabkan oleh metabolit parasetamol yang

menurunkan kadar glutathion sel hepatosit dan menyebabkan kerusakan sel

hati dan dapat menyebabkan kematian. N-asetilsistein yang diberikan

secara oral atau intravena dalam waktu 24 jam setelah overdosis

parasetamol efektif untuk mencegah keracunan pada hati, namun lebih

efektif lagi bila diberikan dalam waktu 8-10 jam setelah overdosis

parasetamol. Cara pemberian bisa melalui bolus/intravena atau oral

menggunakan pipa nasogastrik. Pada pemberian bolus dosis yang

digunakan 150 mg/kgBB dalam 200 ml Dextrose 5% diberikan secara

perlahan selama 15 menit, dilanjutkan 50 mg/kgBB dalam 500 ml Dextrose

5% selama 4 jam, kemudian 100 mg/kgBB dalam 100 ml Dextrose 5%

Page 31: Refrat 1 MAN

31

perlahan selama 16 jam berikutnya. Pada pemberian secara oral digunakan

dosis awal 140 mg/kgBB, kemudian diberikan dosis pemeliharaan 40-70

mg/kgBB setiap 4 jam. Dosis dapat diberikan sampai 17 kali tergantung

tingkat keparahan. Pemberian secara oral dapat menyebabkan mual dan

muntah. Jika muntah dapat di berikan metoklopropamid (60-70 mg iv pada

dewasa). Larutan N-asetilsistein dapat dilarutkan dalam larutan 5% jus atau

air dan diberikan sebagai cairan yang dingin.10,15

Tabel 2. Beberapa uji klinis N-asetilsistein pada keracunan parasetamol

Peneliti Parameter N Desain Penelitian HasilKeays (2008)

Terapi keracunan parasetamol

50 Acak, buta ganda, kelompok kontrol

Angka kesembuhan lebih baik dibandingkan dextrose 5%

Prescott (2008)

Terapi keracunan parasetamol

62 Cross sectional Dapat mencegah kerusakan hati bila diberikan pada 10 jam pasca keracunan

Rumack, dkk. (2008)

Terapi keracunan parasetamol

662 Cross sectional Efektif digunakan 16 jam pasca keracunan

Dikutip dari Dodd S.6

2. Sebagai pengobatan penyakit infeksi

Beberapa penelitian sebelumnya pernah menggunakan N-asetilsistein pada

kasus infeksi seperti influenza, hepatitis, dan HIV (diberikan besama

dengan antiretroviral), dan sepsis.

Tabel 3. Beberapa uji klinis N-asetilsistein pada penyakit infeksi

Peneliti Parameter N Desain Penelitian HasilDe rosa, dkk. (2000)

Terapi HIV 81 Acak, buta ganda, kelompok kontrol

Dapat meningkatkan glutathion dan sel T

Spada, dkk. (2002)

Terapi HIV kombinasi antiretroviral

20 Acak, buta ganda, kelompok kontrol

N-asetilsistein lebih superior dibandingkan plasebo (stabilitas hematokrit dan sel CD 4)

Grant, dkk. (2000)

Terapi infeksi hepatitis C kronik kombinasi dengan 3 MU interferon-α

147 Acak, buta ganda, kelompok kontrol

Tidak ada perbedaan bermakna

Page 32: Refrat 1 MAN

32

Emet (2004)

Terapi sepsis 72 Acak, buta ganda, kelompok kontrol

Tidak ada perbedaan bermakna

De flora, dkk. (2007)

Terapi influenza 262 Acak, buta ganda, kelompok kontrol

Efektif mengurangi gejala influenza

Dikutip dari Dodd S.6

Dari hasil penelitian yang telah dipaparkan pada tabel, terapi penggunan N-

asetilsistein efektif pada infeksi influenza dan HIV (bersama terapi

antiretroviral), sedangkan pada kasus infeksi hepatitis C dan sepsis tidak

didapatkan manfaat penggunaan N-asetilsistein.6,16,17,18

3. Sebagai pengobatan pada penyakit paru

Efek antioksidan dan mukolitik dari N-asetilsistein efektif digunakan pada

penyakit bronkopulmoner kronik. Beberapa penelitian melaporkan bahwa

N-asetilsistein bermanfaat pada pengobatan Penyakit Paru Obstruktif

Kronik (PPOK) dan menurunkan kadar radikal bebas, mungurangi efek

samping dari tembakau pada perokok. N-asetilsistein sebagai antioksidan

dan mukolitik dimasukkan dalam pedoman tatalaksana pada American

Thoracic Society dan European Respiratory Society, walaupun

penggunaannya belum direkomendasikan secara resmi karena belum ada

bukti penelitian yang cukup.6,19,20

Tabel 4. Beberapa uji klinis N-asetilsistein pada penyakit paru

Peneliti Parameter N Desain Penelitian HasilGrandjean, dkk. (2000)

Terapi bronkitis kronik

147 Acak, buta ganda, kelompok kontrol

Efektif digunakan pada terapi bronkitis kronik

Rapine, dkk. (1997)

Terapi pada PPOK 156 Acak, buta ganda, kelompok kontrol

Efektif digunakan pada terapi PPOK

Dikutip dari Dodd S.6

4. Sebagai Bioprotektan

Penggunaan N-asetilsistein sebagai bioprotektan adalah sebagai

perlindungan pada hati dari penurunan kadar glutathion. Selanjutnya, N-

asetilsistein direkomendasikan untuk proteksi pada racun yang ada pada

lingkungan, merkuri, timah, kadmium, dan arsen. Pernah dilaporkan

Page 33: Refrat 1 MAN

33

sebelumnya bahwa N-asetilsistein bersifat sebagai pelindung pada

kelelahan otot pada latihan fisik yang lama dengan cara mengurangi

akumulasi spesies oksigen reaktif melalui peningkatan ketersediaan

glutathion. N-asetilsistein juga dapat mengurangi kehilangan kadar natrium

dan kalium otot pada latihan fisik yang lama.

Tabel 5. Uji klinis N-asetilsistein sebagai bioprotektan

Peneliti Parameter N Desain Penelitian HasilBagshaw, dkk (2006)

Pencegahan nefropati pada pemberian kontras

34 Acak, buta ganda, kelompok kontrol

Efektif mencegah nefropati

Dikutip dari Dikutip dari Dodd S.6

5. Pengobatan kelainan klinis lainnya

N-asetilsistein pernah digunakan dalam pengobatan sindrom Steven Johnson

pada ibu hamil sebagai terapi pengganti kortikosteroid. Kortikosteroid pada

kehamilan dapat menyebabkan pertumbuhan janin terhambat, bibir sumbing,

dan abortus spontan. N-asetilsistein berefek terapetik pada SSJ dan relatif

aman pada kehamilan.21 Niemeijer dkk. (2009) melaporkan satu kasus SSJ

pada wanita hamil G3P0 usia 33 tahun yang dirawat di bagian Kebidanan dan

Penyakit Kandungan Sint Fransiscus Gasthius Netherlands, hasilnya pasien

mengalami perbaikan klinis dan keadaan umum.22 Penelitian terbaru tahun

2012 telah melaporkan kasus SSJ pada wanita hamil G2P0A1 (12-13 minggu)

usia 19 tahun. Pasien ini mendapat terapi N-asetilsistein 4x2 gram/hari selama

15 hari dan hasil akhir pasien mengalami perbaikan klinis.21,22

Page 34: Refrat 1 MAN

34

VI. RINGKASAN

1. Imunologi merupakan cabang ilmu yang mempelajari tentang sistem

pertahanan tubuh. Imunitas merupakan perlindungan dan kekebalan terhadap

suatu penyakit. Sistem imun terdiri dari respon imun spesifik dan respon imun

nonspesifik. Respon imun non spesifik memiliki beberapa komponen seperti

pertahanan fisik dan kimiawi, sedangkan respon imun spesifik terbagi menjadi

tiga golongan yaitu imunitas selular, humoral dan interaksi keduanya.

2. Kehamilan dihubungkan dengan supresi berbagai macam sel humoral dan

fungsi sel imunologi. Terjadi supresi T helper 1 dan T sitotoksik dan

penurunan sekresi interleukin-2, interferon γ dan tumour necrosis factor β

(TNF β). Supresi Th 1 pada kehamilan diperlukan untuk kelangsungan hidup

janin. Walaupun tidak mengalami immunocompromised secara luas, wanita

hamil lebih peka terhadap infeksi-infeksi tertentu, seperti infeksi virus

hepatitis, herpes simpleks, dan lain-lainnya yang dapat mengakibatkan

manifestasi klinis yang lebih berat.

3. Imunomodulator adalah senyawa tertentu yang dapat meningkatkan

mekanisme pertahanan tubuh baik secara spesifik maupun non spesifik.

Imunomodulator bekerja dengan cara menstimulasi sistem  pertahanan natural

atau adaptif, seperti contohnya mengaktifkan sitokin yang secara alamiah

akan membantu tubuh dalam memperbaiki sistem kekebalan tubuh.

4. N-asetilsistein merupakan suatu imunomodulator terpilih yang dapat

digunakan karena selain memiliki fungsi imunostimulan yang berkaitan

dengan efek antioksidannya juga memiliki banyak efek lain yang bermanfaat

seperti efek antiinflamasi, mukolitik, dll. N-asetilsistein telah banyak

digunakan dalam berbagai pengobatan penyakit dan terbukti efektif pada

kondisi tertentu seperti pada pengobatan keracunan parasetamol (antidotum),

pengobatan penyakit infeksi (influenza, HIV), pengobatan pada penyakit paru

Page 35: Refrat 1 MAN

35

(bronchitis kronik dan PPOK), sebagai bioprotektan (pencegahan nefropati),

dan pada kelainan klinis lainnya (Sindrom Steven Johnson).

RUJUKAN

1. Kresno SB. Imunologi: Diagnosis dan prosedur laboratorium. Jakarta: FKUI. 2003; 3-12.2. Roitt I. Essential immunology. Jakarta: Widya Medika. 2003; 2-75.3. Mor G, Abraham VM. The immunology of pregnancy. In: Moore MR, Lookwood RJ, editors.

Creasy and Resnik’s Maternal Fetal Medicine. New York: Elsevier. 2008; 6: 88-90.4. Cuningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ. Spong CS, editors. William’s

Obstetric. New york: McGraw Hill. 2014; 24: 266 p5. Mor G, Cardenas I. The immune system in pregnancy: A unique complexity. 2010 june; 63(6): 425-

433.6. Dodd S, Dean O, Copolow DL, Malhi GS, Berk M. N-acetylcysteine for antioxydant therapy:

Pharmacology and clinical utility. UK. Informa Helthcare. 2008; 1955-62.7. Barbuto JAM, Hersh EM, Salmon SE. Imunofarmakologi dalam farmakologi dasar dan klinik,

Katzung BG. 2003; 6: 904-6.8. Patil US, Jaydeokar AV, Bandawane DD. Immunomodulators: A pharmacologycal review. Intr J

Pharm, Pharm Scien. 2011; 14: 30-69. Ercal N, Orhan HG. N-acetylcysteine (NAC): Its uses and abuses. Society free radical biology

medicine. 2012. 20 p10. Anonymous. Alternative medicine review monographs. Thorne research inc. 2002. 281-611. Fuente MD, Victor VM. Antioxidants as modulator of immune function. In immunology and cell

biology. 2000; 78: 49-54.12. Estany S, Palacio JR, Barnadas R, Sabes, M, Iborra A, Martinez P. Antiioxidant activity of N-

acetylcysteine, flavonoids and α-tocopherol on endometrial cells in culture. J Repro Immun. Elsevier. 2007; 1-10.

13. Mata M, Morcillo E, Gimeno C, Cortijo J. N-acetylcysteine (NAC) inhibit mucin synthesis and pro-inflamatory mediators in alveolar type II ephitelial cells infected with influenza virus A and B and with respiratory syncytial virus (RSV). J Biochem pharm. Elsevier. 2011. 548-55.

14. Briggs GG, Freeman RK, Yaffe SJ. Drug in regnancy and lactation. Philadelphia: Lippincot william and wilkins. 1998; 5: 305-6.

15. Horowitz RS, Dart RC, Jarvie DR, Bearer CF, Gupta U. Placental transfer of N-acetylcysteine following human maternal acetaminophen toxicity. In Clinical Toxicology. 1997; 447-51.

16. Flora DF, Grassi C, Carati L. Attenuation of influenza-like symptomatology and improvement of cell-mediated immunity with long-term N-acetylcysteine treatment. Europ Resp J. UK: ERS Journals Ltd. 1997. 1535-41.

17. Hui DS, Lee N, Chan PK. Adjnctive therapies and immunomodulatorry agents in the managenment of severe influenza. In Antiviral research. 2013. 7 p

18. Gailer J, Michaelis M, Naczk P, Leutz A, Langer K, Doerr HW, et al. N-acetyl-L-cysteine (NAC) inhibit virus replication and expression of pro-inflamatory molecules in A549 clls infected with highly pathogenic H5N1 influenza A virus. 2010. 413-20.

19. Hussain S, Varelogianni G, Sardahl E, Roomans GM. N-acetylcysteine and azithromycin affect the innate immune response in cystic fibrosis bronchial epithelial cell in vitro. 2014. 10 p

20. Stey C, Steurer J, Bachmann S, Medici TC, Tramer MR. The effect of oral N-acetylcysteine in chronic bronchitis: a quantitative systematic review. 200. 253-62.

21. Thaha MA, Sandri E, Diba S, Devi M. Sindrom stevens-johnson pada kehamilan diterapi dengan N-acetylcysteine. Dalam Media dermato-venerologica indonesiana. 2012. 24S-28S

Page 36: Refrat 1 MAN

36

22. Niemeijer IC, Praag MCG, Gemund NV, Relevance and concequencesof erythema multiforme, steven-johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis in gynecology. J Gynecool obstet 2009; 280: 851-4.