refraction research

33
Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Mata merupakan salah satu anugerah Tuhan yang penting yang memberi kita peluang untuk melihat.Dengan itu, mata memerlukan pemeriksaan dan perawatan secara teratur. Pemeriksaan rutin pada mata sebaiknya dimulai pada usia dini. Pada anak 2,5-5 tahun, skrining mata perlu dilakukan untuk mendeteksi apakah menderita gangguan tajam penglihatan yang nantinya akan mengganggu aktivitas di sekolahnya. 1 Kelainan refraksi adalah keadaan bayangan tegas tidak dibentuk pada retina, dimana terjadi ketidakseimbangan sistem penglihatan pada mata sehingga menghasilkan bayangan yang kabur. Sinar tidak dibiaskan tepat pada retina, tetapi dapat di depan atau di belakang retina dan atau tidak terletak pada satu titik fokus. Kelainan refraksi dapat diakibatkan terjadinya kelainan kelengkungan kornea dan lensa, perubahan indeks bias, dan kelainan panjang sumbu bola mata. 2 Kelainan refraksi meliputi ametropia yaitu kondisi dimana sinar sejajar datang ke bola mata tidak terfokus pada daerah sensitif sinar di retina yang mungkin disebabkan oleh abnormalitas panjang bola mata, abnormalitas lengkungan kurva permukaan refraksi di kornea atau lensa, abnormalitas kebolehan refraksi media dan abnormalitas posisi lensa.Kelainan refraksi kedua adalah myopia dimana disebut

Upload: grace-ambarita

Post on 19-Oct-2015

81 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

jgvjzd

TRANSCRIPT

Bab IPendahuluan

1.1Latar BelakangMata merupakan salah satu anugerah Tuhan yang penting yang memberi kita peluang untuk melihat.Dengan itu, mata memerlukan pemeriksaan dan perawatan secara teratur. Pemeriksaan rutin pada mata sebaiknya dimulai pada usia dini. Pada anak 2,5-5 tahun, skrining mata perlu dilakukan untuk mendeteksi apakah menderita gangguan tajam penglihatan yang nantinya akan mengganggu aktivitas di sekolahnya.1Kelainan refraksi adalah keadaan bayangan tegas tidak dibentuk pada retina, dimana terjadi ketidakseimbangan sistem penglihatan pada mata sehingga menghasilkan bayangan yang kabur. Sinar tidak dibiaskan tepat pada retina, tetapi dapat di depan atau di belakang retina dan atau tidak terletak pada satu titik fokus. Kelainan refraksi dapat diakibatkan terjadinya kelainan kelengkungan kornea dan lensa, perubahan indeks bias, dan kelainan panjang sumbu bola mata.2Kelainan refraksi meliputi ametropia yaitu kondisi dimana sinar sejajar datang ke bola mata tidak terfokus pada daerah sensitif sinar di retina yang mungkin disebabkan oleh abnormalitas panjang bola mata, abnormalitas lengkungan kurva permukaan refraksi di kornea atau lensa, abnormalitas kebolehan refraksi media dan abnormalitas posisi lensa.Kelainan refraksi kedua adalah myopia dimana disebut juga sebagai penglihatan pendek yaitu sinar yang datang sejajar bola mata berada di sebelah anterior dari titik sensitif cahaya di retina.mayoritas penyebabnya adalah panjangnya aksial bola mata dan kelengkungannya.Seterusnya, hipermetropia yang merupakan kelainan yang menyebabka sinar sejajar datang ke bola mata dan dibiaskan di bagian posterior dari bagian sensitif cahaya di retina.Ini disebabkan pendeknya jarak aksial bola mata.Astigmatisme pula adalah kondisi dimana cahaya tidak bisa difokuskan di satu titik tetapi di banyak titik di retina. Kelainan refraksi yang lain adalah afakia dimana tidak ada lensa dan anisometropia yaitu kondisi dimana refraksi antara kedua mata berbeda yang akan menyebabkan mata lelah atau astenopia.3Gangguan refraksi merupakan salah satu penyebab kebutaan di dunia.World Health Organization (WHO) menyatakan, 45 juta orang menjadi buta di seluruh dunia, dan 135 juta dengan low vision.8 juta orang yang mengalami kebutaan diperkirakan berasal dari gangguan refraksi (18% dari penyebab kebutaan global). Angka kebutaan anak di dunia masih belum jelas, namun diperkirakan ada sekitar 1,4 juta kasus kebutaan pada anak, dan setiap tahunnya 500.000 kasus baru terjadi. Sebagian besar anak-anak ini meninggal beberapa bulan setelah mengalami kebutaan.Diperkirakan setiap satu menit terdapat satu anak menjadi buta dan hampir setengahnya berada di Asia Tenggara CEHJ (2007).Afrika dan Asia, angka kebutaan diperkirakan sekitar 15/10.000 anak.Angka ini sangat besar bila dibandingkan angka kebutaan anak di Eropa dan Amerika Utara yang hanya 3/10.000 anak. Di Eropa yang merupakan negara maju, angka kebutaan pada anak sekitar 3:10.000 (CEHJ (2007).2Di Indonesia, angka kebutaan menempati urutan ketiga di dunia dan terburuk di Asia dan ASEAN. Saat ini sekitar 3,1 juta (1,5%) penduduk Indonesia mengalami kebutaan. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan negara-negara miskin, seperti Bangladesh, Maladewa, Bhutan, Nepal, dan Myanmar. Angka kebutaan negara lain di kawasan Asia yang cukup tinggi antara lain Bangladesh (1,0%), India (0,7%), dan Thailand (0,3%), Depkes RI (1983). Berdasarkan hasil survei Indera Penglihatan dan Pendengaran yang dilakukan di delapan provinsi (Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat ) berturut-turut pada tahun anggaran 1993/1994, 1994/1995, 1995/1996, 1996/1997 menunjukkan prevalensi kebutaan di Indonesia sebesar 1,5 persen dengan penyebabnya katarak 0,78%, glaukoma 0,20%, kelainan refraksi 0,14%, kelainan retina 0,13%, kelainan kornea 0,10%, dan oleh penyebab lain 0,15%. Kebutaan pada anak di Indonesia sebesar 0,6 per 1000 anak. Depkes RI (1998).1,4Ditemukan bahwa kelainan refraksi sebesar 22,1% dan menempati urutan pertama dalam 10 penyakit mata terbesar di Indonesia. Sedangkan angka kelainan refraksi pada golongan usia sekolah adalah kurang lebih 5%. Kelainan refraksi ini dapat terjadi pada seluruh golongan umur terutama pada golongan anak sekolah yang berumur dari 6 sampai 18 tahun.4Gangguan penglihatan merupakan masalah kesehatan yang penting pada anak.80% informasi dari kehidupan anak selama 12 tahun berasal dari penglihatan. Dari penelitian yang dilakukan pada 479 siswa di Kabupaten Karangasem pada bulan Agustus 2008, 95% mengalami kebutaan dan 4,6% mengalami gangguan penglihatan parah. Dari data tersebut 35,9% penyebab kebutaan atau gangguan penglihatan parah terletak pada bola mata, 18,9% pada retina, 16,4% pada lensa, serta 16,1% pada kornea. Sebagian besar tidak diketahui penyebabnya, akan tetapi 31,9% disebabkan oleh faktor herediter Pada uji coba di 3 kabupaten di Jawa Barat tahun 1994, ditemukan 3-5% anak sekolah mempunyai tajam penglihatan yang tidak normal.1Dari penelitian yang dilakukan oleh Farida pada 2010 di SD Muhammadiyah Bendo menyatakan bahwa myopia merupakan kelainan refraksi yang prevalensinya tinggi di Indonesia dan banyak ditemukan pada anak usia sekolah dan ini berhubungan dengan faktor keturunan, jenis kelamin, dan faktor lingkunghan yang berupa jarak membaca, posisi membaca, lama membaca, dan pencahayaan. Dari penelitian yang dilakukan oleh Dedy Fakhrian dkk pada 2009 di sebuah SD di Jakarta Timur, prevalensi kelainan tajam penglihatan (visus kurang dari 6/6) didapatkan sebesar 51,9%. Dari seluruh total responden sebanyak 79 orang, diteliti dan didapatkan sebesar 53,2% responden perempuan mengalami kelainan tajam penglihatan dan sebanyak 68,4% responden memiliki status gizi normal-lebih. Responden yangmemiliki riwayat kelainan tajam penglihatan dalam keluarga sebesar 54,4%, sedangkanresponden yang mempunyai aktivitas melihat dekat dan lama sebesar 55,7%. Aktivitas melihatdekat dan lama meningkatkan risiko kelainan tajam penglihatan sebesar empat kali lipat.1

1.2Rumusan MasalahBerdasarkan uraian dalam latar belakang masalah tersebut di atas, dapat dirumuskan sebagai berikut:1. Tingginya angka kebutaan di Indonesia dan salah satu penyebabnya adalah kelainan refraksi.2. Saat ini terjadinya peningkatan masalah gangguan refraksi dikalangan anak SD di Indonesia. Ini memberi peranan penting karena mempengaruhi tingkat konsentrasi saat proses pembelajaran di sekolah.3. Belum ada data mengenai prevelensi gangguan refraksi pada anak SD serta faktor-faktor yang mempengaruhinya pada wilayah kerja Kelurahan Slipi.

1.3Tujuan Penelitian1.3.1Tujuan UmumPenelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevelensi gangguan refraksi pada anak SD serta faktor-faktor yang mempengaruhinya berhubungan di wilayah kerja Puskesmas Kelurahan Slipi pada bulan September 2012.1.3.2Tujuan Khusus1. Diketahuinya prevalensi kasus gangguan refraksi pada anak SD di wilayah kerja Puskesmas Kelurahan Slipi. 2. Diketahuinya hubungan antara jenis kelamin, factor herediter, status gizi, pencahyaan dan aktivitas nearwork terhadap gangguan refraksi pada anak SD di wilayah kerja Puskesmas Kelurahan Slipi.

1.4Manfaat Penelitian1.4.1Manfaat Bagi Peneliti1. Menerapkan dan mengembangkan ilmu yang didapat saat kuliah2. Meningkatkan kemampuan berkomunikasi langsung dengan masyarakat3. Mengembangkan kemampuan untuk berpikir kritis4. Menumbuhkan minat dan pengetahuan mengenai penelitian5. Melatih kerjasama tim1.4.2Manfaat Bagi Perguruan Tinggi1. Merealisasikan Tri Dharma Perguruan Tinggi dalam melaksanakan fungsi atau tugas perguruan tinggi sebagai lembaga yang menyelenggarakan pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat.2. Memperkenalkan Fakultas Kedokteran UKRIDA sebagai masyarakat ilmiah dalam peran sertanya di bidang kesehatan3. Data awal untuk penelitian-penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan gangguan refraksi pada anak SD.

1.4.3Manfaat Bagi Masyarakat1. Sebagai masukan untuk bahan informasi dalam upaya peningkatan derajat kesehatan dan penelitian selanjutnya.2. Menambah pengetahuan masyarakat mengenai gangguan refraksi pada anak usia sekolah dan hambatan jika tidak segera di rawat.

Bab IITinjauan Pustaka2.1 Kelainan refraksi Kelainan refraksi atau ametropia merupakan kelainan pembiasan sinar pada mata sehingga sinar tidak difokuskan pada retina atau bintik kuning, tetapi dapat di depan atau di belakang bintik kuning dan mungkin tidak terletak pada satu titik yang fokus. Kelainan refraksi dikenal dalam bentuk miopia, hipermetropia dan astigmatisma.5 Kelainan refraksi dapat diakibatkan terjadinya kelainan kelengkungan kornea dan lensa, perubahan indeks bias, dan kelainan panjang sumbu bola mata.Hasil pembiasan sinar pada mata ditentukan oleh media penglihatan yang terdiri atas kornea, cairan mata, lensa, badan kaca, dan panjangnya bola mata. Pada orang normal susunan pembiasan oleh media penglihatan dan panjangnya bola mata demikian seimbang sehingga bayangan benda setelah melalui media penglihatan dibiaskan tepat di daerah makula lutea. Mata yang normal disebut sebagai mata emetropia dan akan menempatkan bayangan benda tepat di retinanya pada keadaan mata yang tidak melakukan akomodasi atau istirahat melihat jauh. Ketajaman penglihatan dikatakan normal apabila mata tanpa akomodasi dapat dengan jelas melihat gambar atau tulisan pada jarak 6 meter dengan sudut pandanng 5 (sudut visualis).5Mata anak-anak adalah mata yang sedang bertumbuh. Sistem imunitas anak yang sedang berkembang dan sistem saraf pusat yang juga berada dalam periode pembentukan mengakibatkan rentannya mata anak terhadap gangguan yang bisa mengakibatkan pertumbuhan dan perkembangan abnormal. Pertumbuhan dan perkembangan mata berlangsung dengan cepat dalam dua tahun pertama kehidupan. Kemudian berkembang secara perlahan sampai usia pubertas.6. Mata relatif lebih pendek dan akan mencapai ukuran yang sebenarnya sekitar umur 7-8 tahun. Ini akan membuat mata itu sangat hipermetropik. Pada anak yang normal biasanya ketajaman penglihatannya tidak akan mencapai 20/20 sampai usia 3-6 tahun. Hipermetropia yang timbul normal sewaktu bayi secara perlahan-lahan berkurang sampai saat remaja, untuk mencapai emetropia (mata normal). Kelengkungan kornea jauh lebih curam dan mendatar saat lahir dan mendekati kelengkungan dewasa pada usia sekitar 1 tahun. Lensa jauh lebih sferis pada saat lahir dan mencapai bentuk dewasa pada usia sekitar 6 tahun. Panjang sumbu saat lahir adalah pendek (17,3 mm), kemudian terus memanjang dan stabil pada usia sekitar 10-15 tahun. Perkembangan normal mekanisme fisiologi retina dan korteks penglihatan ditentukan oleh pengalaman visual pasca lahir. Penglihatan sentral berkembang sejak lahir sampai usia 6-7 tahun, apabila penglihatan belum juga berkembang sampai saat itu maka kecil kemungkinan bahwa perkembangan akan terjadi.titi Jika selama periode kritis perkembangan mata, yang berlangsung kira-kira sampai usia 8 tahun12, kelainan refraksi tidak segera dikoreksi maka pembentukan penglihatan normal akan terhambat dan terjadi ambliopia. Ambliopia yang tidak segera dikoreksi dapat menuju pada suatu kondisi low vision bahkan kebutaan. Tetapi, bila ia dikoreksi dengan segera dan tepat, penglihatan yang normal mempunyai prognosis yang baik.Kelainan refraksi ini dapat terjadi pada seluruh golongan umur terutama pada golongan anak sekolah yang berumur dari 6 sampai 18 tahun. Uji coba di 3 kabupaten di Jawa Barat tahun 1994, ditemukan 35% anak sekolah mempunyai tajam penglihatan yang tidak normal, dan dari hasil penelitian menunjukkan lebih dari separuh mereka yang membutuhkan kacamata ternyata tidak mampu membeli, dikarenakan tidak terjangkaunya harga kacamata.7Deteksi kelainan refraksi pada anak biasanya dapat dinilai dengan melihat perilakunya, misalnya apabila mahu menonton televisi anak pasti akan ke depan dan protes apabila disuruh menjauh. Dapat juga diliat anak menyipitkan mata atau memiringkan kepala apabila setiap kali menonton televise. Di sekolah pula, anak akan menunjukkan kelakuan dengan sering berjalan mendekati papan tulis atau sering salah menyalin.82.1.1 Pemeriksaan tajam penglihatan Pemeriksaan refraksi merupakan pemeriksaan dasar, tetapi sangat menentukan langkah selanjutnya dalam diagnostik dan terapi. Menurut Hartmann EE, dkk, pemeriksaan refraksi pada anak pra sekolah paling tepat dilakukan mulai usia 3 tahun, oleh karena pada usia tersebut diperkirakan anak sudah dapat diajak untuk kooperatif. Pemeriksaan yang tepat dan akurat pada pasien dengan gangguan refraksi dapat dicapai melalui tahapan sebagai berikut, yaitu:1. pemeriksaan refraksi subjektif2. pemeriksaan refraksi objektif

3. cross cylinder test4. binocular balancing. Namun pada anak masih sulit untuk dilakukan pemeriksaan subjektif, cross cylinder test dan binocular balancing karena pemeriksaan ini membutuhkan kerja sama yang baik antara pasien dan pemeriksanya.9 Cara mudah yang dilakukan adalah dengan menggunakan kartu Snellen dan apabila penglihatan kurang, maka tajam penglihatan diukur dengan menentukan kemampuan meliaht jumlah jari atau proyeksi sinar. Pemeriksaan tajam penglihatan ditentukan dengan melihat kemampuan mata membaca huruf-huruf berbagai ukuran pada jarak baku untuk kartu yaitu 6 meter. Tajam penglihatan yang normal rata-rata bervariasi antara 6/4 hingga 6/6. Apabila dengan pemeriksaan ini penglihatan berkurang, perlu dilakukan uji pinhole. Apabila dengan uji pinhole penglihatan membaik, maka berarti ada kelainan pada media refraksi dan dapat dikoreksi dengan kacamata. Sebaliknya, jika berkurang, ia adalah akibat kelainan organic atau kekeruhan media penglihatan.52.1.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi kelainan refraksi pada anakKelainan refraksi umumnya bersifat herediter. Cara pewarisanya kompleks, karena melibatkan banyak variabel. Walaupun diwariskan, kelainan refraksi tidak harus ada sejak lahir.10 Kelainan refrakasi dijumpai secara cluster dalam keluarga. Kelainan herediter dikatakan dominan apabila satu gen dari orang tua dengan kelainan refraksi diwariskan kepada anaknya, resesif apabila dua gen yang setiap satu dari ibu atau ayah yang mempunyai kelainan refraksi atau tidak dan multifaktorial yaitu kombinasi genetik dengan lingkungan.11 Penelitian yang dilakukan oleh Gwiazda dkk melaporkan anak yang mempunyai orang tua yang miopia cenderung mempunyai panjang asial bola mata lebih panjang di bandingkan anak dengan orang tua tanpa myopia.12 Menurut Saw dkk, prevalensi miopia yang tinggi pada beberapa kelompok etnik tertentu (Cina dan Jepang) menunjukkan bahwa genetik memainkan peranan yang penting, namun perubahan prevalensi pada beberap generasi terakhir menunjukkan bahwa faktor lingkungan juga merupakan faktor yang penting.13Pada penelitian yang dilakukan oleh Al-Rowaily M.A tahun 2009 melaporkan dari 1319 anak, didapatkan 60 (4.5%) anak dengan kelainan refraksi (4.2% anak laki-laki dan 4.9% perempuan) dan tidak ada perbedaan yang bermakna. Fan DSP dkk pada tahun 2004 melaporan juga bahwa tidak ada perbedaan spherical equivalent refraction (SER) yang bermakna antara anak perempuan dan laki-laki (p=0.209). Sebaliknya, oleh Lee DJ dkk tahun 2000 melaporkan adanya perbedaan prevalensi antara anak laki-laki dan perempuan, dimana perempuan lebih tinggi daripada laki-laki. Hal ini dikatakan, kemungkinan disebabkan oleh kecenderungan orang tua yang lebih memperhatikan anak laki-laki dibandingkan anak perempuan, sehingga kelainan refraksi pada anak laki-laki lebih cepat terdeteksi.9Selain dari itu, faktor lingkungan juga sangat berpengaruh terhadap terjadinya kelainan refraksi pada anak sekolah. Penelitian yang dilakukan oleh Saw dkk menggambarkan hubungan antara near work dengan miopia pada anak anak di Singapura. Near work atau aktivitas melihat dekat merupakan faktor lingkungan yang kuat terhadap perkembangan pertambahan myopia. Dengan wujudnya kemajuan teknologi seperti televisi, komputer, video game dan lain-lain, secara tidak langsung meningkatkan aktivitas melihat dekat.06 Aktivitas melihat jarak dekat (near work) yang diteliti meliputi membaca buku dengan jarak kurang dari 30 cm; menonton televisi dengan jarak kurang dari 2 m; menggunakan komputer dengan jarak kurang dari 60 cm; dan atau bermain video game atau play station dengan jarak kurang dari 2m. Durasi aktivitas near work dinyatakan lama jika mereka membaca buku lebih dari 2 jam sehari; menonton televisi lebih dari 2 jam sehari; menggunakan komputer lebih dari 8 jam sehari; dan atau bermain video game atau play station lebih dari 2 jam sehari.14,15Menurut penelitian Raviola dan Wiesel, penyebab miopia adalah akibat kurangnya rangsangan cahaya pada retina untuk pembentukan bayangan. Hal ini disebabkan kurangnya rangsangan cahaya pada retina untuk pembentukan bayangan sehingga merangsang peningkatan vasoactive intestinal polypeptide (VIP), yang lokasinya pada sel amakrin dari lapisan nuklear dalam, yang akan menyebabkan pertumbuhan panjang bola mata. Hal ini didukung oleh Hoyt et al yang melaporkan bahwa terjadi miopia asimetris dari neonatus yang kelopak matanya menutup akibat dari berbagai penyebab.Ada juga yang mengatakan bahawa status gizi memainkan peranan penting dalam kesehatan mata. Pola asupan makanan yang baik sekaligus memberikan hasil yang baik kepada kesehatan mata. Kurangnya konsumsi makanan bergizi dan sehat untuk mata yaitu serat dan vitamin A mengakibatkan gangguan pada mata. Contoh makanan yang bagus buat mata adalah wortel, alpukat, papaya dan tomat.Ibu bapa juga turut berperanan dalam deteksi dini kelainan refraksi pada anak. Tingkat pengetahuan ibu bapa terhadap kelainan refraksi dan sikap prihatin mereka terhadap anak-anak dapat membantu mendeteksi kelainan refraksi pada anak. Orang tua yang mengerti tentang gangguan refraksi membantu anak-anak dapat dengan segera mendapat khidmat pelayanan kesehatan dan dengan ini meningkatkan prognosis penglihatan normal kepada mereka.102.2 Kerangka teori

Pertumbuhan dan perkembangan mataStatus giziFaktor herediterJenis kelaminTingkat pengetahuan ibu bapa tentang kelainan refraksiFaktor-faktor yang mempengaruhi kelainan refraksi

Near work :1. Jarak dan durasi membaca buku2. Jarak dan durasi menonton televisi3. Jarak dan durasi Penggunaan komputer 4. Jarak dan durasi Penggunaan videogame / play station

Pencahayaan

2.3 Kerangka konsep

Faktor herediterJenis kelamin

Faktor-faktor yang mempengaruhi kelainan refraksi

Near work :1. Jarak dan durasi membaca buku2. Jarak dan durasi menonton televisi3. Jarak dan durasi penggunaan komputer 4. Jarak dan durasi penggunaan videogame / play station

Status gizi

Pencahayaan

Bab 3Metodologi Penelitian

3.1Desain Penelitian Desain penelitian yang digunakan adalah studi deskriptif dengan pendekatan cross sectional mengenai prevalensi gangguan refraksi pada anak SD serta faktor-faktor yang berhubungan di wilayah kerja Puskesmas Kelurahan Slipi, Jakarta Barat.

3.2Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 26 September 2012 di SDS Barunawati, Slipi, Jakarta Barat.

3.3 Sumber DataSumber data dari:1. Data primer yang diambil dari responden dengan teknik wawancara menggunakan kuesioner kepada anak-anak SDS Barunawati, Slipi, Jakarta Barat.2. Data sekunder didapat dari data pelajar untuk Tahun 2012 di Bahagian Administrasi , SDS Barunawati, Slipi, Jakarta Barat.

3.4 PopulasiPopulasi penelitian adalah seluruh anak SD di wilayah kerja Puskesmas Kelurahan Slipi, Jakarta Barat pada bulan September sampai Oktober 2012 berjumlah 1375 orang. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah menggunakan Propotional Simple Random Sampling. 3.5Kriteria Inklusi Kriteria inklusi adalah:1. Seluruh Anak SDS Barunawati, Slipi, Jakarta Barat saat dilakukan penelitian.2. Anak SD yang bisa membaca.3. Anak SDS Barunawati, Slipi, Jakarta Barat yang bersedia diperiksa serta di wawancara.

3.6Kriteria EkslusiKriteria ekslusi adalah:1. Anak SDS Barunawati, Slipi, Jakarta Barat yang tidak hadir saat penelitian dilakukan.2. Responden yang dinyatakan mempunyai kelainan media refraksi setelah diperiksa dengan pinhole.

3.7Sampel3.7.1Besar Sampel Perhitungan besar sampel berdasarkan rumus: Keterangan:n1=Jumlah sampel minimal.n2=Jumlah sampel ditambah substitusi 10 % (substitusi adalah persen responden yang dieksklusikan).Z=Tingkat batas kemaknaan, dengan = 5 %. Didapatkan Z pada kurva normal = 1,96.p=Proporsi variabel yang ingin diteliti berdasarkan penelitian terdahulu, q=100 % - p L=Derajat kesalahan yang masih dapat diterima adalah 10%.

Berdasarkan rumus didapatkan angka:Prevalensi gangguan refraksi pada anak SD : 51.9 %Berdasarkan rumus didapatkan angka: N1= (1,96)2 x 0,519 x 0,49 = 95.902 96 orang(0,1)2N2= 96 + ( 10% x 96 ) = 106 orang

3.7.2 Teknik Pengambilan SampelPengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan cara Propotional Simple Random Sampling dengan menggunakan teknik undian.

3.8 Identifikasi VariabelDalam penelitian ini digunakan variabel terikat (dependent) dan variabel bebas (independent). Variabel terikat berupa faktor yang mempengaruhi kelainan refraksi di SDS Barunawati, Slipi, Jakarta Barat. Variabel bebas berupa jenis kelamin, status gizi, faktor herediter, pencahayaan dan aktivitas nearwork.3.9Cara Kerja1. Menghubungi Kepala Puskesmas Kecamatan Palmerah untuk mendapatkan informasi mengenai sekolah dasar di Kelurahan Slipi, Kecamatan Palmerah Jakarta Barat.2. Menghubungi Kepala Sekolah, SDS Barunawati, Slipi, Jakarta Barat, yang menjadi tempat penelitian untuk melaporkan tujuan diadakannya penelitian di tempat tersebut.3. Melakukan uji coba kuesioner skala kecil pada anak SD yang yang tidak menjadi responden di tempat lain.4. Melakukan pengumpulan data dengan menggunakan instrumen penelitian berupa kuesioner yang dibagikan ke kelas-kelas dengan dibantu oleh petugas lapangan di SDS Barunawati, Slipi, Jakarta Barat .5. Melakukan pengolahan, analisis, dan interpretasi data.6. Penulisan laporan penelitian.7. Pelaporan penelitian.

3.10Manajemen Data3.10.1 Pengumpulan Data Data primer dikumpulkan dari responden dengan menggunakan kuesioner yang telah diuji coba sebelumnya.

3.10.2 Pengolahan DataTerhadap data-data yang telah dikumpulkan dilakukan pengolahan berupa proses editing, verifikasi dan koding. Selanjutnya dimasukkan dan diolah dengan menggunakan program komputer, yaitu program Statistical Package for Social Sciences (SPSS) 17.0

3.10.3 Analisis Data Terhadap data yang telah diolah akan dilakukan analisis menggunakan uji statistic non parametrik Chi square.

3.10.4 Interpretasi Data Data diinterprestasikan secara deskriptif korelatif antar variabel-variabel yang telah ditentukan.

3.10.5 Penyajian DataData yang didapat disajikan dalam bentuk tekstular dan tabular.

3.10.6Pelaporan DataData disusun dalam bentuk laporan penelitian yang selanjutnya akan dipresentasikan dihadapan staf pengajar bagian Ilmu Kedokteran Komunitas, Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana (UKRIDA) dalam forum pendidikan Ilmu Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran UKRIDA

3.11 Definisi Operasional3.11.1VisusVisus adalah ketajaman penglihatan responden. Visus diukur dengan menggunakan kartu snellen dengan skala yang membandingkan penglihatan seseorang pada jarak 6 meter dengan seseorang yang memiliki ketajaman penuh. Ketajaman penglihatan dinyatakan baik jika pada pemeriksaan didapatkan visus 6/6; artinya seseorang melihat benda pada jarak 6 meter dengan ketajaman penuh. Responden yang mempunyai visus kurang dari 6/6 dikategorikan sebagai responden dengan kelainan refraksi. Untuk memastikan bahwa responden benar-benar mempunyai kelainan refraksi, dilakukan uji pinhole untuk membedakan kelainan refraksi atau kelainan organik. Apabila dengan uji pinhole visus membaik, ini menandakan responden memiliki kelainan refraksi dan apabila dengan uji pinhole visus tidak membaik, ini berarti responden mempunyai kelainan organik dan terkeluar dari penelitian ini.

3.11.2 Jenis KelaminJenis kelamin dalam penelitian ini untuk mencari tau hubungan jenis kelamin dengan kelainan refraksi. Jenis kelamin anak SD yang dinilai oleh pengamatan peneliti, wawancara, dan kuesioner.Berdasarkan jenis kelamin, maka subjek dikelompokkan menjadi: Laki-laki Perempuan3.11.3 Status GiziStatus Gizi adalah status gizi anak SD yang dinilai secara antropometrik dengan cara membandingan indeks masa tubuh dengan umur pada saat dilakukannya pemeriksaan. IMT adalah indeks masa tubuh yang dihitung berdasarkan rumus :

tinggi badan2 (m2)berat badan (kg)Setelah didapatkan IMT masing-masing responden, IMT dibandingkan dengan usia responden dan didapatkan status gizi masing-masing. Berdasarkan status gizi, maka subjek dikelompokkan menjadi (lihat nilai konversi di table 1 dan 2) Gizi kurang