refleksi kasus fraktur femur
DESCRIPTION
refleksi kasusTRANSCRIPT
Kecelakaan lalu lintas merupakan masalah kesehatan yang sangat serius di seluruh
dunia, masalah yang sama juga dihadapiIndonesia. Menurut data Kepolisian RI pada tahun
2003 jumlah kecelakaan di jalan mencapai 13.399 kejadian dengan jumlah kematian
mencapai 9.865 orang, 6.142 orang mengalami luka berat dan 8.694 luka ringan. Kecelakaan
terbanyak terjadi pada usia 15-40 tahun sehingga menurunkan angka produktivitas.1
Menurut data kecelakaan lalu lintas di Singapura, dari 1804 kasus kecelakaan
nonfatal, cedera tersering adalah cedera pada ekstremitas bawah yang meliputi 58.3%, diikuti
oleh cedera kepala sebanyak 18.1%, cedera maksilofasial 14.2% dan cedera ekstremitas atas
9.4%.2 Di India, dari total 423 kecelakaan lalu lintas, 85.8% di antaranya laki-laki dan 14.2%
perempuan, jadi rasionya 6:1. Lokasi cedera terbanyak adalah di ekstremitas bawah yang
ditemukan pada 45.39% dan cedera multipel pada 26.95% kasus.3
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi,
tulang rawan epifisis yang bersifat total maupun parsial. Fraktur juga melibatkan jaringan
otot, saraf, dan pembuluh darah di sekitarnya. Secara klinis, dibagi menjadi fraktur terbuka,
yaitu jika patahan tulang itu menembus kulit sehingga berhubungan dengan udara luar, dan
fraktur tertutup, yaitu jika fragmen tulang tidak berhubungan dengan dunia luar atau kulit di
lokasi fraktur masih intak. Pembagian fraktur terbuka berdasarkan Gustillo
danAnderson dibagi menjadi derajat I, II, IIIA, IIIB, dan IIIC yang akan dibahas lebih
mendetail di bagian diskusi. Kasus ini termasuk dalam derajat III B.4-7 Patah tulang terjadi
jika tenaga yang melawan kekuatan tulang lebih besar dari tenaga tulang. Penyebab tersering
dari fraktur adalah kecelakaan lalu lintas (70/%), jatuh (11%), kena tembakan (8%), dan lain-
lain.8
TetaglPenanganan fraktur terdiri atas penanganan preoperatif, intraoperatif dan pascaoperatif.
Preoperatif berupa pertolongan pertama (bantuan hidup dasar) yang dikenal dengan singkatan
ABC. ABC pada trauma meliputi A untuk airway atau jalan napas yaitu pembebasan jalan
napas; B untuk breathing atau pernapasan yaitu dengan pemberian O2, memperhatikan
adakah tanda-tanda hemothoraks, pneumothoraks, flail chest; C untuk circulation atau
sirkulasi/fungsi jantung untuk mencegah atau menangani syok; D untuk disability yaitu
mengevaluasi status neurologik secara cepat; dan E untuk exposure/environment yaitu
melakukan pemeriksaan secara teliti, pakaian penderita harus dilepas, selain itu perlu dihidari
terjadinya hipotermi. 4,6,9 Selanjutnya prinsip dalam penanganan pertama pada patah tulang
adalah jangan membuat keadaan lebih jelek (do no harm) dengan menghindari gerakan-
gerakan/gesekan-gesekan pada bagian yang patah. Tindakan ini dapat dilakukan pembidaian/
pasang spalk dengan menggunakan kayu atau benda yang dapat menahan agar kedua fraksi
yang patah tidak saling bergesekan. Khusus pada patah tulang terbuka, harus dicegah agar
luka tidak terinfeksi yang seharusnya dilakukan dalam 6-8 jam pertama yang dikenal
sebagai golden period disertai pemberian antibiotik spektrum luas dan
antitetanus.4,10 Penanganan intraoperatif pada fraktur terbuka derajat III yaitu dengan cara
reduksi terbuka diikuti fiksasi eksternal (open reduction and external fixation=OREF)
sehingga diperoleh stabilisasi fraktur yang baik. Keuntungan fiksasi eksternal adalah
memungkinkan stabilisasi fraktur sekaligus menilai jaringan lunak sekitar dalam masa
penyembuhan fraktur. Penanganan pascaoperatif yaitu perawatan luka dan pemberian
antibiotik untuk mengurangi risiko infeksi, pemeriksaan radiologik serial, darah lengkap,
serta rehabilitasi berupa latihan-latihan secara teratur dan bertahap sehingga ketiga tujuan
utama penanganan fraktur bisa tercapai, yakni union (penyambungan tulang secara
sempurna), sembuh secara anatomis (penampakan fisik organ anggota gerak; baik,
proporsional), dan sembuh secara fungsional (tidak ada kekakuan dan hambatan lain dalam
melakukan gerakan).11-13
Berikut ini akan dibahas mengenai fraktur femur dekstra 1/3 tengah terbuka derajat
IIIB dan fraktur cruris dekstra 1/3 proksimal terbuka derajat IIIB beserta penanganannya.
LAPORAN KASUS
IDENTITAS
Nama : SL
Umur : 31 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Kristen Protestan
Pekerjan : Pegawai swasta
Alamat : Sonder Jaga 1
Masuk rumah sakit : 01/10/2008
ANAMNESIS
Survei primer
A : adekuat
B : 24 x /menit, terpasang O2 4-6 L/mnt
C : 112 x/menit, reguler, isi cukup, akral hangat
D : alert
E : tungkai kanan atas dan bawah
Survei sekunder
Luka dan nyeri pada tungkai kanan dialami penderita sejak 8 jam sebelum masuk rumah
sakit. Saat itu penderita sedang mengendarai sepeda motor, tiba-tiba sebuah mobil truk dari
arah depan menabrak motor penderita dan mengenai kaki kanannya. Saat kejadian penderita
menggunakan helm dan tidak mengkonsumsi alkohol. Riwayat pingsan (-), sakit kepala (-),
muntah (-). Penderita langsung dibawa ke RS Bethesda dan kemudian dirujuk ke RSUP Prof.
Dr. R.D Kandou.
A: -
M: RL 2 line, ceftriaxone 1 g IV, ranitidin IV, tetagam
P: -
L: 11 jam SMRS
E: Sonder
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Cukup
Kesadaran : E4 V5 M6
Tanda Vital : T: 130/80 mmHg N: 112 x/m R: 24x/m SR: 36,9°C
Kepala : Konjungtiva anemis (+), pupil bulat isokor, RC +/+ normal
: Tidak ada kelainan
Thoraks : Inspeksi : simetris
Auskultasi : Suara pernapasan kiri = kanan
Palpasi : SF kiri = kanan
Perkusi : sonor pada kedua lapangan paru
Abdomen : Inspeksi : datar
Auskultasi : BU (+) N
Palpasi : lemas, NT (-)
Perkusi : timpani, pekak hepar (+)
Ekstremitas superior : tidak ada kelainan
Ekstremitas inferior : regio femoris dekstra:
L: tampak luka terbuka ukuran 20x10 cm, tepi tidak rata, dasar tulang, perdarahan aktif (-)
deformitas (+) angulasi ke lateral
F: nyeri tekan (+)
M: ROM terbatas karena nyeri
regio cruris dekstra:
L: tampak luka terbuka ukuran 25x15 cm tepi tidak rata, perdarahan aktif (-) deformitas (+)
translasi ke lateral
F: nyeri tekan (+)
M: ROM terbatas karena nyeri
Status distalis : arteri dorsalis pedis dekstra = sinistra
capillary refill < 2 detik
sensibilitas kanan = kiri
DIAGNOSIS SEMENTARA
Fraktur femur dekstra 1/3 tengah terbuka derajat IIIB + fraktur cruris dekstra 1/3 proksimal
terbuka derajat IIIB
SIKAP
O2 4-6 L/mnt
IVFD RL 28 gtt/m
Antibiotik : Ceftriaxon inj 1x1 gr IV
Analgetik : Antrain 3x1 amp
Ranitidin 2x1 amp
ATS profilaksis
X-foto thorax AP
X-foto pelvis
X-foto femur AP dan lateral
X-foto cruris AP dan lateral
Periksa laboratorium : Hb , leukosit , trombosit
Elektrokardiografi
Imobilisasi dengan spalk
Rencana debridemen + OREF cito
Hasil pemeriksaan radiologis
X-foto thoraks AP
Kesan : dalam batas normal
X-foto pelvis
Kesan : dalam batas normal
X-foto femur dekstra AP
Kesan : fraktur femur dekstra 1/3 tengah
X-foto cruris dekstra AP
Kesan : Fraktur plateau tibia Schatzker tipe VI + fraktur fibula 1/3 proksimal
DIAGNOSIS
Fraktur femur dekstra 1/3 tengah terbuka derajat IIIB + Fraktur plateau tibia Schatzker tipe
VI terbuka derajat IIIB + fraktur fibula 1/3 proksimal terbuka derajat IIIB
Hasil Laboratorium : Hb : 7.5 g/dL
Leukosit : 12000/mm3
Trombosit : 198000/mm3
Jenis operasi: debridemen + OREF
Laporan operasi:
- Penderita telentang dengan GA
- Asepsis dan antisepsis lapangan operasi dengan povidone iodine
- Tampak luka terbuka regio cruris dekstra ukuran 25x15 cm, perdarahan aktif (-) dan di regio
femur dekstra ukuran 20x10 cm, perdarahan aktif (-)
- Dilakukan debridemen dan cuci dengan NaCl 0,9%+H2O2+ povidone iodine
- Dilakukan reposisi terbuka
- Dipasang fiksasi eksterna dengan screw pada os tibia 3 buah, pasang screw 6 buah (3
proksimal dan 3 distal) pada os femur dan difiksasi dengan bar+ wire+acrylic
- Luka dijahit situasi
- Tutup dengan kasa steril
Instruksi pasca operasi:
- IVFD RL:D5%=2:2 28 gtt/m
- Meropenem 2x1 g IV (ST)
- Ranitidin 3x1 amp IV
- Ketorolac 3% 3x1 amp in D5% 100cc drips
- Asam traneksamat 3x500 mg IV
- Observasi tanda vital dan status distalis
- Bila sudah sadar betul boleh minum bertahap
Diagnosis pasca operasi: Fraktur femur dekstra 1/3 tengah terbuka derajat IIIB +Fraktur
plateau tibia Schatzker tipe VI terbuka derajat IIIB + fraktur fibula 1/3 proksimal terbuka
derajat IIIB
Follow up
2/10/2008
S :nyeri tungkai kanan (+)
O : T:130/80 mmHg N: 82x/m R:20x/m S: 36.9oC
R. femur dekstra + cruris dekstra: luka operasi basah, pus (-), terpasang fiksasi eksternal
A : pasca debridemen + OREF hari I ec fraktur femur dekstra 1/3 tengah terbuka derajat IIIB +
fraktur plateau tibia Schatzker tipe VI terbuka derajat III B + fraktur fibula dekstra 1/3
proksimal terbuka derajat IIIB
P : - IV line RL: NS 0.9%: D5%=2:1:1 28 gtt/m
- Meropenem 2x1 g IV
- Metronidazole 3x500 mg drips IV
- Asam traneksamat 3x500 mg IV
- Ranitidin 3x1 amp IV
- Ketorolac 3% in D5% 100cc drips IV/8 jam
- Transfusi whole blood sampai Hb ≥ 10 g/dL
- Rawat luka
- Diet TKTP
- Periksa DL, albumin
- X-foto femur dan cruris dekstra AP & lateral (foto kontrol)
Hasil laboratorium: Hb 5.1, leukosit 5600/mm3, trombosit 112000/mm3, albumin 2.4 g/dl
3/10/2008
S : nyeri pada tungkai kanan berkurang
O : T:130/80 mmHg N: 82x/m R:20x/m S: 36.9oC
R. femur dekstra + cruris dekstra: luka operasi basah, pus (-), terpasang fiksasi eksternal
A : pasca debridemen + OREF hari III ec fraktur femur dekstra 1/3 tengah terbuka derajat IIIB
+ fraktur plateau tibia Schatzker tipe VI terbuka derajat III B + fraktur fibula dekstra 1/3
proksimal terbuka derajat IIIB
P :
- Terapi lanjut kecuali asam traneksamat
- Transfusi WB sampai Hb≥10 g/dL
- Diet TKTP
- Rawat luka
- Mobilisasi
5/10/2008 (pasca pasang OREF hari IV)
S : nyeri pada tungkai kanan berkurang
O : T:130/80 mmHg N: 82x/m R:20x/m S: 36.9oC
R. femur dekstra + cruris dekstra: luka operasi basah, pus (-), terpasang fiksasi eksternal
A : pasca debridemen + OREF hari III ec fraktur femur dekstra 1/3 tengah terbuka derajat IIIB
+ fraktur plateau tibia Schatzker tipe VI terbuka derajat III B + fraktur fibula dekstra 1/3
proksimal terbuka derajat IIIB
P : Periksa DL
Hasil laboratorium: Hb 10.0 g/dL, Leukosit 9300/mm3, Trombosit 150000/mm3
6/10/2008
S : nyeri pada tungkai kanan berkurang
O : T:130/80 mmHg N: 82x/m R:20x/m S: 36.9oC
R. femur dekstra + cruris dekstra: luka operasi basah, pus (-), terpasang fiksasi eksternal
A : pasca debridemen + OREF hari V ec fraktur femur dekstra 1/3 tengah terbuka derajat IIIB +
fraktur plateau tibia Schatzker tipe VI terbuka derajat III B + fraktur fibula dekstra 1/3
proksimal terbuka derajat IIIB
P : kultur pus + tes sensitivitas
8/10/2008
S : -
O : T:130/80 mmHg N: 82x/m R:20x/m S: 36.9oC
R. femur dekstra + cruris dekstra: luka operasi basah, pus (+),jaringan nekrotik (+)
A : pasca debridemen + OREF hari VII ec fraktur femur dekstra 1/3 tengah terbuka derajat IIIB
+ fraktur plateau tibia Schatzker tipe VI terbuka derajat III B + fraktur fibula dekstra 1/3
proksimal terbuka derajat IIIB
P : nekrotomi
kultur pus + tes sensitivitas
periksa DL, albumin, ureum, creatinin, GOT, GPT
terapi lanjut
Hasil: Hb:12,8 leukosit:18800, albumin 2,6
14/10
S : -
O : T:130/80 mmHg N: 82x/m R:20x/m S: 36.9oC
R. femur dekstra + cruris dekstra: luka operasi basah, pus (+),jaringan nekrotik (+) tulang nekrotik (+)
A : pasca debridemen + OREF hari XXI ec fraktur femur dekstra 1/3 tengah terbuka derajat
IIIB + fraktur plateau tibia Schatzker tipe VI terbuka derajat III B + fraktur fibula dekstra 1/3
proksimal terbuka derajat IIIB
P : hasil kultur: streptokokus gram positif
tes sensitivitas: fosfomycin
rencana debridemen ulang + osteotomi
DISKUSI
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi, tulang rawan
epifisis yang bersifat total maupun parsial. Secara klinis, dibagi menjadi fraktur terbuka, yaitu
jika patahan tulang itu menembus kulit sehingga berhubungan dengan udara luar, dan fraktur
tertutup, yaitu jika fragmen tulang tidak berhubungan dengan dunia luar atau kulit di lokasi
fraktur masih intak.4,5
Pada anamnesis perlu diketahui ada riwayat trauma atau tidak. Bila tidak, berarti
fraktur patologis. Trauma harus terperinci kapan terjadinya, di mana terjadinya, jenisnya,
berat-ringan trauma, arah trauma, dan posisi pasien atau ekstremitas yang bersangkutan
(mekanisme trauma). Perlu diteliti kembali trauma di tempat lain secara sistematik dari
kepala, leher, dada, perut, dan keempat ekstremitas. Pada anamnesis diperoleh penderita laki-
laki, usia 31 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan luka dan nyeri tungkai kanan akibat
kecelakaan lalu lintas. Hal ini sesuai dengan kepustakaan bahwa penyebab tersering dari
fraktur adalah kecelakaan lalu lintas (70/%), jatuh dari ketinggian (11%), terkena tembakan
(8%), dan lain-lain.8 Kebanyakan terjadi pada laki-laki dengan rasio laki-laki:perempuan =
6:1 pada usia 15-40 tahun.2
Pemeriksaan fisik terdiri atas status generalis, status lokalis, dan status distalis. Pada
status lokalis dinilai:4
a. Inspeksi (Look)
1. Kulit (warna dan tekstur), jaringan lunak, tulang, sendi
2. Deformitas, terdiri dari penonjolan yang abnormal, angulasi, rotasi, translasi, dan
pemendekan
b. Palpasi (Feel)
1. Nyeri tekan dan lokalisasi, apakah nyeri setempat atau nyeri alih
2. Pengukuran panjang anggota gerak
c. Move, untuk mencari:
1. Evaluasi gerakan sendi yang aktif maupun pasif
2. Stabilitas sendi
3. Pemeriksaan ROM (Range of Joint Movement)
Pemeriksaan status distalis mencakup penilaian pulsasi a. dorsalis pedis, pemeriksaan
sensibilitas kedua, dan waktu pengisian kapiler pada kedua tungkai. Pada pemeriksaan fisik,
pada inspeksi di regio femoralis dekstra tampak luka terbuka berukuran 20x10 cm, tepi tidak
rata, dasar tulang, perdarahan aktif tidak ada, dan terdapat deformitas yaitu angulasi ke
lateral. Di regio cruris dekstra, tampak luka terbuka ukuran 25x15 cm, tepi tidak rata, dasar
tulang, perdarahan aktif tidak ada, dan terdapat deformitas yaitu displacement berupa
translasi ke lateral. Pada palpasi didapatkan adanya nyeri tekan pada regio femoris 1/3 tengah
dan regio cruris 1/3 proksimal. Pergerakan terbatas karena nyeri. Pada status distalis
didapatkan pulsasi a.dorsalis pedis sama pada kaki kiri dan kanan, sensibilitas normal pada
kedua tungkai, dan waktu pengisian kapiler <2 detik.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada kasus ini adalah pemeriksaan radiologis
berupa foto thoraks, pelvis, femur posisi AP dan lateral, dan cruris posisi AP dan lateral. Foto
thoraks dan pelvis tampak dalam batas normal. Pada foto femur tampak fraktur femur dekstra
1/3 tengah dan pada foto cruris tampak fraktur tibia 1/3 proksimal Schatzker tipe VI dan
fraktur fibula dekstra 1/3 proksimal.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan radiologis didiagnosis
sebagai fraktur femur 1/3 tengah terbuka derajat IIIb, fraktur plateau tibia Schatzker tipe VI
terbuka derajat IIIb dan fraktur fibula dekstra 1/3 proksimal. Fraktur pada femur dapat
mengenai collum femur, intertrochanter, subtrochanter, diafisis femur (berdasarkan lokasi
dibagi menjadi 1/3 proksimal, 1/3 tengah dan 1/3 distal), dan suprakondilar. Pada kasus ini
fraktur terjadi pada diafisis femur 1/3 tengah. Dikatakan fraktur diafisis femur apabila fraktur
terjadi pada diafisis femur 5 cm distal terhadap trochanter minor sampai 5 cm proksimal dari
tuberkulum adduktor.13 Fraktur pada tibia dapat terjadi pada plateau tibia, tuberkel tibia,
eminentia tibia, diafisis tibia, dan plafond tibia. Fraktur plateau tibia dibagi menjadi 6 tipe
menurut Schatzker, tipe 1 yaitu terdapat wedge fracture pada plateau tibia lateral, tipe 2
yaitu wedge fracture pada plateau tibia lateral disertai depresi pada permukaan artikular
lateral, tipe 3 terdapat depresi tibia lateral tanpa wedge fracture, tipe 4 yaitu fraktur tibia
plateau medial, tipe 5 yaitu fraktur bicondylar pada medial maupun lateral plateau, dan tipe 6
terdapat pemisahan metafisis dan diafisis.
Pada kasus ini terjadi fraktur jenis terbuka derajat IIIB. Tabel berikut merupakan
klasifikasi fraktur terbuka menurut Gustilo danAnderson: 7,12
Derajat Luka Kontaminasi Kerusakan jaringan lunak Kerusakan tulang
I <1 cm Bersih Minimal Minimal
II >1 cm Sedang Sedang Sedang
III
A >10 cm Hebat Hebat Kominutif, jaringan lunak cukup menutup tulang
B >10 cm Hebat Sangat hebat, perlu rekonstruksi jaringan lunak
Kominutif, jaringan lunak tidak cukup untuk menutup tulang
C >10 cm Hebat Sangat hebat disertai cedera vaskuler yang harus diperbaiki
Bervariasi
TetaglPenanganan fraktur terdiri atas penanganan preoperatif, intraoperatif dan pascaoperatif.
Preoperatif berupa pertolongan pertama (bantuan hidup dasar) yang dikenal dengan singkatan
ABC. Proses ini dikenal dengan singkatan ABC. ABC pada trauma meliputi A
untuk airway atau jalan napas yaitu pembebasan jalan napas; B untuk breathing atau
pernapasan yaitu dengan pemberian O2,memperhatikan adakah tanda-tanda hemothoraks,
pneumothoraks, flail chest; C untuk circulation atau sirkulasi/fungsi jantung untuk mencegah
atau menangani syok; D untuk disability yaitu evaluasi status neurologik secara cepat dengan
metode AVPU (Alert, Vocal stimuli, Pain stimuli, Unresponsive); dan E
untuk exposure/environment yaitu melakukan pemeriksaan secara teliti, pakaian penderita
harus dilepas, selain itu perlu dihidari terjadinya hipotermi.4,7,9 Setelah stabilisasi tanda vital,
penderita harus diberi antibiotik intravena, tetanus profilaksis dan pembidaian sementara.
Fraktur terbuka tergolong dalam kegawatan bedah sehingga memerlukan operasi secepatnya
untuk mengurangi risiko infeksi yang sebaiknya dilakukan dalam 6-8 jam pertama. Dikatakan
dalam 2 jam pertama sesudah terjadi cedera, sistem pertahanan tubuh berusaha mengurangi
pertumbuhan bakteri yang berlangsung dalam jumlah besar. Dalam 4 jam berikutnya, jumlah
bakteri relatif konstan oleh karena jumlah pertumbuhan bakteri baru sama dengan jumlah
bakteri yang dimatikan oleh tubuh. Enam jam pertama ini disebut sebagai golden period,
dimana sesudah periode ini, dengan adanya jaringan nekrotik yang luas, mikroorganisme
akan bereplikasi sampai tercapai kondisi infeksi secara klinis. Luka yang terkontaminasi
umumnya dikatakan terinfeksi setelah 12 jam, akan lebih singkat pada luka dengan
kontaminasi dan kerusakan jaringan lunak yang hebat. Oleh karena itu debridemen sebaiknya
dilakukan dalam 6-8 jam pertama. Sayangnya, di negara-negara berkembang dimana fasilitas
kesehatan masih kurang, ketidaktahuan masyarakat, kemiskinan, penderita lambat ke rumah
sakit. Akan tetapi dari penelitian, diperoleh hasil yang cukup memuaskan pada kasus fraktur
terbuka derajat IIIB walaupun penanganan dilakukan telah melewati golden period. Hasil ini
ditunjang oleh debridemen agresif, antibiotik profilaksis, yang diikuti dengan rekonstruksi
jaringan lunak serta bone graftingbeberapa waktu sesudahnya. Selanjutnya prinsip dalam
penanganan pertama pada patah tulang adalah jangan membuat keadaan lebih jelek (do no
harm) dengan menghindari gerakan-gerakan/gesekan-gesekan pada bagian yang patah.
Tindakan ini dapat dilakukan pembidaian/ pasang spalk sementara dengan menggunakan
kayu atau benda yang dapat menahan agar kedua fraksi yang patah tidak saling
bergesekan.4,10,11,16 Sesuai kepustakaan, kasus ini ditangani sebagai suatu kegawatan, setelah
stabilisasi tanda vital dilakukan pembidaian sementara dengan spalk dan pemberian antibiotik
dan antitetanus. Debridemen tidak dilakukan dalam golden period, dimana penderita tiba di
rumah sakit 8 jam setelah kejadian, dirujuk dari RS Bethesda.
Penanganan intraoperatif pada kasus ini yaitu dengan reduksi terbuka diikuti fiksasi
eksternal (OREF) oleh karena tergolong fraktur terbuka derajat IIIB dengan kerusakan
jaringan hebat dan risiko infeksi yang tinggi. Digunakan 6 screw pada femur dan
3 screwdan wire pada tibia yang kemudian difiksasi eksternal monolateral
menggunakan bar dan acrylic. Dalam menentukan penanganan fraktur, pertama yang harus
ditentukan apakah fraktur tersebut membutuhkan reduksi atau tidak. Bila tidak memerlukan
reduksi maka hanya diimobilisasi dengan bidai eksterna biasanya mempergunakan plaster of
Paris atau dengan bermacam-macam bidai dari plastik atau metal. Diindikasikan pada fraktur
yang perlu dipertahankan posisinya dalam proses penyembuhan. Atau bisa juga tanpa reduksi
dan imobilisasi yang tujuannya hanya untuk mencegah trauma lebih lanjut dengan
memberi sling atau tongkat dengan indikasi pada fraktur yang tidak bergeser, fraktur iga yang
stabil, falangs, dan metakarpal, atau fraktur klavikula pada anak. Bila reduksi perlu
dilakukan, selanjutnya perlu ditentukan apakah secara tertutup atau terbuka. Reduksi tertutup
dicapai dengan cara imobilisasi eksterna mempergunakan gips, traksi, atau dengan fiksasi
perkutaneus dengan K-wire. Bila dipilih reduksi terbuka, maka ditentukan apakah fiksasi
secara interna atau eksterna. Reduksi terbuka dilakukan pada fraktur terbuka sebagai lanjutan
dari debridemen atau apabila hasil reduksi tertutup sebelumnya yang tidak memuaskan.
Reduksi terbuka dengan fiksasi interna (ORIF=open reduction and internal fixation)
diindikasikan pada kegagalan reduksi tertutup, bila dibutuhkan reduksi dan fiksasi yang lebih
baik dibanding yang bisa dicapai dengan reduksi tertutup misalnya pada fraktur intra-
artikuler, pada fraktur terbuka, keadaan yang membutuhkan mobilisasi cepat, bila diperlukan
fiksasi rigid, dan sebagainya. Sedangkan reduksi terbuka dengan fiksasi eksterna
(OREF=open reduction and external fixation) dilakukan pada fraktur terbuka dengan
kerusakan jaringan lunak yang membutuhkan perbaikan vaskuler, fasiotomi, flap jaringan
lunak, atau debridemen ulang. Fiksasi eksternal juga dilakukan pada politrauma, fraktur pada
anak untuk menghindari fiksasi pin pada daerah lempeng pertumbuhan, fraktur dengan
infeksi atau pseudoarthrosis, fraktur kominutif yang hebat, fraktur yang disertai defisit tulang,
prosedur pemanjangan ekstremitas, dan pada keadaan malunion dan nonunion setelah fiksasi
internal. Alat-alat yang digunakan berupa pin dan wire (Schanz screw, Steinman pin,
Kirschner wire) yang kemudian dihubungkan dengan batang untuk fiksasi. Ada 3 macam
fiksasi eksternal yaitu monolateral/standar uniplanar, sirkuler/ring (Ilizarov
dan Taylor Spatial Frame), dan fiksator hybrid. Keuntungan fiksasi eksternal adalah memberi
fiksasi yang rigid sehingga tindakan seperti skin graft/flap, bone graft, dan irigasi dapat
dilakukan tanpa mengganggu posisi fraktur. Selain itu, memungkinkan pengamatan langsung
mengenai kondisi luka, status neurovaskular, dan viabilitas flap dalam masa penyembuhan
fraktur. Kerugian tindakan ini adalah mudah terjadi infeksi, dapat terjadi fraktur saat melepas
fiksator, dan kurang baik dari segi estetik
Penanganan pascaoperatif meliputi perawatan luka dan pemberian antibiotik untuk
mengurangi risiko infeksi, pemeriksaan radiologik serial, darah lengkap, serta
rehabilitasi. Penderita diberi antibiotik spektrum luas untuk mencegah infeksi dan dilakukan
kultur pus dan tes sensitivitas. Diet yang dianjurkan tinggi kalori tinggi protein untuk
menunjang proses penyembuhan.Rawat luka dilakukan setiap hari disertai nekrotomi untuk
membuang jaringan nekrotik yang dapat menjadi sumber infeksi. Pada kasus ini
selama follow-upditemukan tanda-tanda infeksi jaringan lunak dan tampak nekrosis pada tibia
sehingga direncanakan untuk debridemen ulang dan osteotomi. Untuk pemantauan
selanjutnya dilakukan pemeriksaan radiologis foto femur dan cruris setelah reduksi dan
imobilisasi untuk menilai reposisi yang dilakukan berhasil atau tidak. Pemeriksaan radiologis
serial sebaiknya dilakukan 6 minggu, 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan sesudah operasi untuk
melihat perkembangan fraktur. Selain itu dilakukan pemeriksaan darah lengkap
rutin.6,7,17,18 Foto kontrol setelah operasi telah dilakukan pada kasus ini,
terlihat screw dan wire terpasang baik. Hasil pemeriksaan laboratorium sesudah operasi Hb
5.1 g/dL, jadi penderita ditranfusi whole blood sampai Hb ≥10 g/dL. Penderita juga sudah
dikonsulkan untuk rehabilitasi. Pengertian rehabilitasi adalah melakukan restorasi ke arah
bentuk dan fungsi yang normal setelah suatu trauma atau penyakit. medik untuk diberi
latihan-latihan secara teratur dan bertahap yang sangat penting sehingga ketiga tujuan utama
penanganan fraktur bisa tercapai, yakni union (penyambungan tulang secara sempurna),
sembuh secara anatomis (penampakan fisik organ anggota gerak; baik, proporsional), dan
sembuh secara fungsional (tidak ada kekakuan dan hambatan lain dalam melakukan
gerakan).4,5
Pada fraktur terbuka derajat IIIB perlu tindakan selanjutnya untuk menutup defek
akibat kerusakan jaringan lunak (otot, fasia, subkutis, dan kulit) yang hebat. Penderita
direncanakan untuk dilakukan muscle flap dan skin graft. Skin graft atau tandur alih kulit
adalah penutupan luka dimana kulit dipindahkan dari lokasi donor dan ditransfer ke lokasi
resipien. Beda flap dan graft yaitu suplai darah flap berasal dari jaringan itu sendiri
sedangkan graft tidak memiliki suplai darah sendiri jadi memerlukan suplai darah dari
resipien. Terdapat banyak jenis flap antara lain kutaneus (lokal), fasiokutaneus, otot,
muskulokutaneus dan free flap. Local skin flapmengandung seluruh ketebalan kulit beserta
fasia superfisialnya untuk menutup defek yang kecil. Muscle flap hanya menggunakan otot
untuk menutup defek, digunakan pada keadaan dimana dibutuhkan jaringan lunak dengan
vaskularisasi baik yang relatif resisten terhadap infeksi, membantu penyembuhan luka, dan
dapat memberi vaskularisasi yang baik untuk skin graft.19 Oleh karena terdapat sebagian
tulang tibia yang nekrotik , maka direncanakan untuk dilakukan osteotomi. Setelah osteotomi
perlu dilakukan bone graft (tandur alih tulang). Dikenal tiga sumber jaringan tulang yang
dipakai dalam tandur alih tulang yaitu autograf (berasal dari penderita sendiri-krista iliaka,
kosta, femur distal, tibia proksimal atau fibula), alograft (berasal dari orang lain), dan
xenograft (berasal dari spesies lain).20
Debridemen berulang adalah kunci keberhasilan penanganan fraktur terbuka. Fiksasi
eksternal memberikan stabilisasi fraktur yang baik serta memungkinkan pengamatan
langsung mengenai kondisi luka, status neurovaskular, dan viabilitas flap dalam masa
penyembuhan fraktur. Pemberian antibiotik dan perawatan luka penting dalam pencegahan
infeksi yang dapat mempengaruhi penyembuhan fraktur. Klasifikasi Gustilo merupakan
indikator prognosis pada fraktur terbuka.6,9,16 Semakin tinggi derajat, semakin besar risiko
infeksi dan nonunion. Akan tetapi dengan, penanganan yang tepat diharapkan dapat terjadi
union serta fungsi fisiologis dapat kembali seperti semula.6
DAFTAR PUSTAKA
1. Setiap hari 30 orang meninggal dunia akibat kecelakaan lalu lintas [online]. 2004 Apr
07 [cited 2008 Oct 12]; Available from: URL:http://www.depkes.go.id/index.php?
option=news&task=viewarticle&sid=415&itemid=2
2. Lateef F. Riding motorcycles: is it a lower limb hazard? Singapore Med J
2002;43(11):566-9.
3. Gunjan B, Ganveer, Rajnarayan R, Tiwari. Injury pattern among non-fatal road traffic
accident cases: a cross-sectional study in central India. Indian J Med Sci Jan 2005;59:9-12.
4. Rasjad C. Trauma. Dalam: Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Makassar: Bintang
Lamumpatue; 2000. h.343-536.
5. Delahay JN, Sauer S. Skeletal Trauma. In: Wiesel S, Delahay JN, editor. Essentials of
orthopedic surgery. 3rd ed.. Washington: Springer; 2007. p.40-83.
6. Patel M. Open tibia fractures [online]. 2006 Mar 30 [cited 2008 Oct 12]; Available
from:URL:http://www.emedicine.com/ortho/TOPIC392.HTM
7. McRae E. The diagnosis of fractures and principles of treatment. In: McRae E, Esser R,
editor. Practical fracture treatment. 4th ed. Churchil Livingstone. p.25-54.
8. Okoro OI, Ohadugha OC. The anatomic pattern of fractures and dislocations among
accident victims in Owerri, Nigeria. Nigerian J of Surg Res 2006;8:54-6.
9. Skinner H, Smith W, Shank J, Diao E, Lowenberg D. Musculoskeletal Trauma Surgery. In:
Skinner H, editor. Current diagnosis and treatment in orthopedics. 3rd ed. New York:
McGraw-Hill; 2003. p.76-150.
10. Quamar A, Sherwani, Mazhar A, Gupta R, Asif N, Sabir. Internal fixation in compound
type III fractures presenting after golden period. Indian J Orthop 2007;41(3):204-8.
11. Buckley R, Panaro CDA. General Principles of Fracture Care [online]. 2007 Jul 19 [cited
2008 Oct 12]; Available from: URL: http://www.emedicine.com/orthoped/topic636.htm
12. Department of Orthopaedic Surgery University of Stellenbosch. External fixator [online].
2008 [cited 2008 Oct 12]; Available from:
URL: http://www0.sun.ac.za/ortho/webct-ortho/general/exfix/exfix.html
13. Koval K, Zuckerman JD. Lower extremity fractures and dislocations. In: Koval K,
Zuckerman JD, editor. Handbook of fractures. 3rd ed. Lippincot Williams & Wlkins; 2006.
p.347-54.
14. Khan A. Tibial plateau fracture [online]. [cited 2008 Oct 12]; Available
from:URL: http://www.e-radiography.net/articles/.htm
15. Sorenson SM. Tibial plateau fractures [online]. 2004 Jan 27 [cited 2008 Oct 12];
Available from:URL:http://www.emedicine.com/radio/TOPIC698.HTM
16. Open Fractures and Trauma [online]. 2004 [cited 2008 Oct 12]; Available from:
URL: http://www.limbcenter.com/disorders/index.asp
17. S. Milenkovic, L. Paunkovic, S. Karalejic. Severe open – Gustilo type III – tibial fracture
treated by external fixation and primary soft-tissue coverage. J Hellenic Association Ortho
Trauma 2006; 57(4).
18. Hankemeier S, Gosling T. Application of external fixator. In: Giannoudis P, Pape HC,
editor. Practical procedures in orthopedic trauma
surgery. Cambridge: Cambridge University Press; 2006. p.192-7.
19. Liu PH. Flaps, Muscle and Musculocutaneous [online]. 2008 Aug 21 [cited 2008 Oct
21]; Available from: URL:http://www.emedicine.com/plastic/topic472.htm
20. American Association of Neurological Surgeons. Bone Grafting. [online]. 2003 [cited
2008 Oct 24]; Available from: URL:http://www.medscape.com/viewarticle/449880_4