refleksi 500 tahun protestantisme dari maluku · adalah sebuah refleksi atas pelaksanaan pendidikan...

12
· -<yvutsronmlkihfedcaWUTSRPM Refleksi 500 Tahun Protestantisme dari Malukuzyxwvutsrponmlkjihgfedcb Pcnyunting : Rudolf Rahabeat Johan Sairnima

Upload: others

Post on 14-Nov-2020

22 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Refleksi 500 Tahun Protestantisme dari Maluku · adalah sebuah refleksi atas pelaksanaan Pendidikan Kristiani (yang dibutuhkan) dalam konteks Gereja (Gereja Protestan Maluku) atau

· -<yvutsronmlkihfedcaWUTSRPM

Refleksi 500 TahunProtestantisme dari MalukuzyxwvutsrponmlkjihgfedcbaZYWVUTSRPONMLKJIHGFEDCBA

Pcnyunting :

Rudolf Rahabeat

Johan Sairnima

Page 2: Refleksi 500 Tahun Protestantisme dari Maluku · adalah sebuah refleksi atas pelaksanaan Pendidikan Kristiani (yang dibutuhkan) dalam konteks Gereja (Gereja Protestan Maluku) atau

MENUJU GEREJA ORANG

BASUDARAyvutsronmlkihfedcaWUTSRPM

Refleksi 500 Tahun

Protestantisme dari MalukuyxwvutsrponmlkjihgfedcbaWUTSRPOMLKJIHGFEDCBA

Penyunting:

Rudolf Rahabeat, M. Hum~Johan Robert Saimima, M.A

2017

Penerbit:

UKSW Press

Bekerjasama dengan

Majelis Pekerja Harian (MPH) Sinode GPM

Page 3: Refleksi 500 Tahun Protestantisme dari Maluku · adalah sebuah refleksi atas pelaksanaan Pendidikan Kristiani (yang dibutuhkan) dalam konteks Gereja (Gereja Protestan Maluku) atau

275.9854

Men Menuju gereja orang basudara : refleksi 500 Tahun

m Protestantisme dari MalukuJII penyunting Rudy

Rahabeat, Johan Robert Saimima .-- Salatiga :

Satya Wacana University Press, 2017.

vii, 315p. ; 21 em.

ISBN 978-602-1047-77-4

1. Protestant churches--Indonesia--North

Maluku (Province) 2. Church and social

problems 3. Church work--Indonesia--North

Maluku (Province) 4. Protestant Churuc--

MissionsyxwvutsrponmlkjihgfedcbaWUTSRPOMLKJIHGFEDCBA1. Rahabeat, Rudy II. Saimima, Johan

Robert

Cetakan Pertama: 2017

All rights reserved. Save Exception stated by the law, no part of this

publication may be reproduced, stored in a retrieval system of any

nature, or transmitted in any form or by any means electronic,

mechanical, photocopying, recording or otherwise, included a complete

or partial transcription, without the prior written permission of the

author, application for which should be addressed to author.

Diterbitkan Oleh:yvutsronmlkihfedcaWUTSRPM

Satya Wacana University Press

Universitas Kristen Satya Wacana

JI. Diponegoro 52-60 Salatiga 50711

Telp. (0298) 321212 Ext. 229, Fax. (0298) 311995

Page 4: Refleksi 500 Tahun Protestantisme dari Maluku · adalah sebuah refleksi atas pelaksanaan Pendidikan Kristiani (yang dibutuhkan) dalam konteks Gereja (Gereja Protestan Maluku) atau

Protestantisme dan Pendidikan KristianizyxwvutsrponmlkjihgfedcbaZYWVUTSRPONMLKJIHGFEDCBA

Justitia Vox Dei Hattu

(Dosen Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta)

Pendahuluan

Protestantisme sudah hadir di Bumi Seribu Pulau sejak

r~tusa~ tahun. yang. lalu. Dalam rentang ratusan tahun itu

dialektika terajut di dalamnya dan mewujud salah satun a

dalam ranah pendidikan. Tulisan sederhana ini hadir sebaiai

sebuah upaya untuk memotret dialektika relasi antara

Protestantisme (Calvinis) dengan konteks Maluku pada ranah

pendidikan. Apa yang hendak saya tawarkan lewat tulisan ini

adalah sebuah refleksi atas pelaksanaan Pendidikan Kristiani

(yang dibutuhkan) dalam konteks Gereja (Gereja Protestan

Maluku) atau dalam konteks masyarakat kepulauan, yakni

Malu~. S.alah. s~tu pertanyaan utama yang akan dijawab

~elalul tuhsan In! adalah model pendidikan seperti apa yang

dlhar.apka~ muncul dalam konteks bergerejalbermasyarakat di

Bumi Senbu Pulau yang begitu dipenguruhi oleh teologiCalvinis?

. Tulisan ini terbagi atas dua bagian besar: pertama,

tulisanyxwvutsrponmlkjihgfedcbaWUTSRPOMLKJIHGFEDCBA~11I dimulai dengan uraian singkat tentang

Protestantisme (Calvinis) dengan fokus pada pandangan

tentang pendidikan; dan kedua, keterkaitan antara konteks

~ereja atau masyarakat kepulauan dan implikasi yang

dibawasertanya bagi desain Pendidikan (Kristiani) dalam

konteks tersebut, serta bagaimana Pendidikan (Kristiani)

berupaya menjawab tantangan terse but.

Protestantisme (Calvinis) dan Pendidikan: Riwayatmu

Dulu

Ketika bicara tentang Protestantisme, maka ingatan kita

setidaknya dibawa kepada dua nama besar, Luther dan Calvin.

Keduanya memberikan perhatian besar bagi dunia pendidikan.

Bagi mereka, pendidikan adalah tanggung jawab gereja. Luther

dikenal sebagai "salah seorang penggagas pendidikan semesta

(pendidikan bagi semua orang) dan salah satu cara yang

ditempuh untuk mewujudkan gagasannya ini adalah dengan

meningkatkan profesi dan kualitas guru" (Aritonang 2010,

364).

Tentang Calvin, sejarah mencatat bahwa setidaknya ada

tiga hal penting yang dilakukan olehnya pada waktu reformasi

digulirkan yang memberikan kontribusi besar bagi dunia

pendidikan, yaitu: memproduksi sebanyak mungkin buku

Tafsiran Alkitab dan materi Penelaahan Alkitab (PA),

menerbitkan buku karangannya berjudulyxwvutsrqponmlkjihgfedcbaVUTSRPONMLKJIHGFEDCBAInstitutes of Christian

Religion pad a tahun 1536, dan mendirikan Akademi Geneva~(Anthony & Benson 2003, 209). Akademi Geneva dibagi

menjadi dua sekolah, pertama sekolah privat untuk anak-anak

sampai dengan usia 16 tahun dan kedua sekolah publik yang

kelak menjadi universitas (Reed & Prevost 1993, 197). Calvin

merancang pendidikan yang bertujuan untuk memajukan

kehidupan bergereja termasuk peningkatan kehidupan pribadi

dan masyarakat secara umum. Ia bahkan menerapkan disiplin

yang ketat bagi para guru yang belajar di Akademi Geneva;

para guru ini bertanggung jawab penuh atas proses belajar

mengajar siswa dan ia mengijinkan hukuman fisik, jika itu

diperlukan untuk membangkitkan motivasi belajar siswa

(Anthony & Benson 2003, 210; Kingdon 2004, 312). Lebih

lanjut, bagi Calvin "para pelayan gereja harus terdidik dalam

ilmu pengetahuan, disamping dalam ajaran dan seluk-beluk

kehidupan gereja" (Aritonang 2010, 364). Pendidikan bagi

Calvin adalah upaya "memajukan agama Kristen, memperbaiki

281

Page 5: Refleksi 500 Tahun Protestantisme dari Maluku · adalah sebuah refleksi atas pelaksanaan Pendidikan Kristiani (yang dibutuhkan) dalam konteks Gereja (Gereja Protestan Maluku) atau

kehidupan manusia, dan menyampaikan ilmu pengetahuan;

pendidikan diperlukan untuk mengamankan pemerintahan

umum, meneegah gereja dari perbuatan jahat dan

mempertahankan kemanusiaan di tengah kehidupan manusia"

(Aritonang 2012, 17-18). Dari penjelasan singkat di atas, kita

bisa melihat bagaimana kedua tokoh reformator, dan

khususnya Calvin, menempatkan pendidikan sebagai arena

pertempuan ideologi (pemikiran).

Lebih lanjut dikatakan bahwa bagi mereka, pendidikan

itu sendiri harus berpusat pada Alkitab. Gereja sebagai

lembaga penyelenggara, harus bisa memegang kontrol atas

pelaksanaan pendidikan itu sendiri. Itu sebabnya, salah satu

eiri pemikiran teologis Calvinis adalah penekanan pada

pemberitaan Firman. Implikasinya adalah seorang pendeta

mendapatkan perhatian utama, mimbar sebagai pusatJsentral

dari pemberitaan Firman, dan khotbah yang disampaikan harus

mampu mengajar dan mendidik umat (Sukarto 2010, 219).

Selain itu, khotbah yang disampaikan harus Alkitabiah, artinya

apa yang menjadi pesan Allah harus dikhotbahkan tanpa

mengabaikan bagian-bagian apapun. Pemberitaan Firman dan

pengajaran memberikan penekanan penting pada kemampuan

kognitif urnat. Akibatnya, pendidikan dan pengajaran yang

disampaikan dalam khotbah lebih diarahkan pada bagaimana

umat mengembangkan intelektualitas dan iman yang rasional

(Sukarto 2010, 219). Tidak hanya itu, kemampuan umat untuk

mengingat dan menghafal teks-teks Alkitab tertentu, rumusan

Pengakuan Iman Rasuli, Doa Bapa Kami, 10 Hukum Tuhan,

dan sebagainya, mendapatkan tempat penting dalam desain

pendidikan.

Apa yang diuraikan di atas sedikit banyaknya hidup dan

juga berkembang (meski dalam wama yang berbeda) dala~

konteks gereja-gereja Calvinis di Indonesia, seeara khusus di

Maluku, yang dalam hal ini merujuk kepada Gereja Protestan

Maluku. Kiprah para zendin~ melalui kehadiran Gereja

282

Protestan yang dibawa oleh BelandaNOC pad a abad ke-17 dan

ke-18 dan berlanjut hingga sekarang masih menguasai eara

berge;eja GPM, seeara khusus gaya pendidikan da~

pengajaran. Beberapa di antaranya adalah: pol a ~erelasl

pendidik dan nara didik, pola mengajar yang mas.lh tertuju ~ada

pengisian domain kognitif (dan pemenuhan tntel.ektuahtas)

seseorang, dan pilihan model atau metode pembelaJar~n yang

masih eenderung satu arah. Tiga hal ini akan saya kaji dalam

uraian berikut dengan membaeanya dari perspektif konteks

GPM atau Maluku yang adalah Gereja atau masyarakat

kepulauan.ywvutsrponmlkjihgfedcbaUSRPONMLKJIGEDCBA

Pendidikan dan Protestantisme (Calvinis) dalam

Konteks Gereja (dan Masyarakat) Kepulauan di

Maluku

Sebutan yang selalu dikenakan kepada Maluku adalah

Negeri Seribu Pulau. Sebutan ini tepat karena jika melihat

komposisi pulau-pulau yang tersebar di Maluku, maka a.da

kurang lebih 1.430 pulau dengan empat pulau besar, yaitu

Pulau Seram, Pulau Burn, Pulau Yamdena, dan Pulau Wetar,

dan selebihnya adalah pulau-pulau keeil yang tersebar di

seantero kepulauan Maluku (Salampessy 2012, 135). Pulau-

pulau yang terse bar tersebut membentuk gugus pulau yang

terdiri dari 12 gugus pulau, yaitu: Pulau Burn, Seram Barat,

Seram Utara, Seram Timur, Seram Selatan, Banda dan Teon

Nila Serna, Ambon dan PP Lease, Kei, Aru, Tanimbar, Babar,

dan Kepulauan PP Terselatan dan Wetar (SaJampe~s~ 2012,

139). Oleh karena ada dalam lingkup kepulauan mt, maka

masyarakat Maluku memiliki karakteristik tertentu, yang saya

simpulkan dalam dua hal utama berikut ini.

283

Page 6: Refleksi 500 Tahun Protestantisme dari Maluku · adalah sebuah refleksi atas pelaksanaan Pendidikan Kristiani (yang dibutuhkan) dalam konteks Gereja (Gereja Protestan Maluku) atau

Ciri yang pertama, mereka yang tersebar di gugusan

pulau-pulau tersebut berada dalam wilayah/teritori tertentu dan

diikat oleh sistem nilai dan budaya yang khas (mereka). Dari

segi sosial budaya, ikatan batin para penduduk terhadap tanah

tempat mereka berdiam sangat kuat dan mereka berupaya

semaksimal mungkin untuk bisa menjaga keselarasan dengan

alam, temp at mereka berdiam (Lailossa 2012, 4).

Konsekuensinya adalah apa yang ada dan berkembang di setiap

wilayah bisa saja berbeda satu dengan yang lain. Kepelbagaian

ini jika dilihat dan disikapi secara bijak maka akan menjadi

kekuatan yang luar biasa, dan sebaliknya, jika tidak dilihat

sebagai sebuah kekuatan, pada akhimya dia akan menjadi

bencana besar yang bisa memecah belah masyarakat kepulauanyxwvutsrponmlkjihgfedcbaWUTSRPOMLKJIHGFEDCBA

101.

Ciri yang kedua terkait dengan garis koordinasi dari

pusat ke pinggiran (pulau-pulau) yang masih mendominasi

masyarakat kepulauan. Mereka yang ada di pusat umurnnya

menjadi penentu dan pengambil keputusan (terrnasuk untuk

mereka yang tersebar di berbagai pulau). Menurut saya, pola

relasi ini, sedikit banyaknya memengaruhi gaya berelasi dan

desain pendidikan masyarakat Maluku, tennasuk juga GPM.

Struktur yang demikian membuat segala sesuatu berpusat pada

orang-orang tertentu saja, yang mengakibatkan pengabaian

terhadap kelompok lain yang berada jauh dari mereka (lihat

Sapulete 1995, 87-90). Model pendidikan yang indoktrinatif

masih menjiwai desain pembelajaran kita. Ruang untuk

berelasi dan berkomunikasi dikuasai oleh pola-pola yang

mendikte. Mereka yang di pusat bisa menjadi begitu superior,

dan mereka yang ada di pulau-pulau memiliki rasa diri yang

rendah. Selain itu, wilayah kepulauan ini memungkinkan

persebaran infonnasi terjadi secara tidak merata. Mereka yang

di pusat atau yang dekat dengan pusat akan lebih cepat

menerima informasi, sebaliknya yang jauh akan mengalami

kesulitan dalam mengakses beragam infonnasi dengan cepat.

28.4

Dalam konteks yang demikian di atas, maka pertanyaan

paling mendasar yang bisa ajukan adalah desain Pendidikan

Kristiani seperti apa yang bisa menjawab kebutuhan konteks

ini secara memadai? Saya mencoba mengajukan beberapa

prinsip pendidikan untuk melihat hal ini dalam upaya

menjawab kebutuhan konteks tersebut, sebagai berikut:ywvutsrponmlkjihgfedcbaUSRPONMLKJIGEDCBA

1. Pendidikan: Dari yang Bersifat Indoktrinatif ke

Dialogts

Penekanan pada domain kognitif tentu penting, namun

jika terlalu berlebihan maka bisa membuat poIa-poIa

pengajaran kita bersifat indoktrinatif. Akibatnya bisa

berdampak pada minimnya ruang-ruang untuk

mengembangkan kesadaran dan kemampuan berpikir kritis.

Charlene Tan (2008) dalam bukunyayxwvutsrqponmlkjihgfedcbaVUTSRPONMLKJIHGFEDCBATeaching without

Indoctrination menegaskan bahwa indoktrinasi adalah sebuah

upaya untuk melumpuhkan kapasitas intelektual seseorang

yang dicirikan oleh ketidakmarnpuan untuk membenarkan .

keyakinan seseorang dan mempertimbangkan ragam altematif

Jainnya (xiii). Dari definisi ini, maka menurut saya ada tiga

ciri utama indoktrinasi: (1) pola komunikasi satu arah; (2)

mengarahkan orang menerima (begitu saja) informasi yang

diberikan tanpa harus berpikir kritis terhadapnya. Dalam pol a

relasi ini, mereka yang ada di pusat dianggap sebagai orang-

orang yang paling tahu, dan yang ada di pulau-pulau cenderung

tidak banyak tahu atau bahkan tidak tahu sarna sekali; dan (3)

pola relasi yang tercipta bersifat top-down. Kita seperti

mengabaikan kemampuan dan potensi diri yang ada dalam diri

rnereka yang berada di pulau-pulau, tennasuk juga tidak

tersedianya "ruang" yang cukup bagi mereka yang ada di

pulau-pulau untuk mengernbangkan pernikiran-pemikiran

kreatifnya karena harus mengikuti apa yang disampaikan oleh

mereka yang ada di pusat (band. Tilaar 2009, 148-149).

285

Page 7: Refleksi 500 Tahun Protestantisme dari Maluku · adalah sebuah refleksi atas pelaksanaan Pendidikan Kristiani (yang dibutuhkan) dalam konteks Gereja (Gereja Protestan Maluku) atau

lika membaca pola pendidikan yang indoktrinatif ini

dari kacamata Paulo Freire, seorang pendidik dan filsuf

pendidikan ternama dari Brazil yang pokok-pokok

pemikirannya masih terus dilirik oleh banyak kalangan,

termasuk orang Indonesia, maka dalam konteks ini dibutuhkan

apa yang disebut sebagai pendidikan kritis. Bagi Freire,

pendidikan kritis muncul sebagai respons terhadap pendidikan

gaya bankyxwvutsrqponmlkjihgfedcbaVUTSRPONMLKJIHGFEDCBA(banking education concept). Meskipun pada

awalnya pemikiran Freire tertuju lebih kepada upaya literasi

bagi para petani di Brazil, namun paling tidak apa yang

disampaikan olehnya itu menjadi relevan untuk konteks

pendidikan masyarakat kepulauan yang juga berhadapan

dengan berbagai isu ketidakadilan.

Dalam mengembangkan teori pendidikan kritisnya,

Paulo Freire melihat manusia dalam dua tipe, sebagai objek

atau subjek. Bagi Freire, jika kita melihat manusia semata-

mata hanya sebagai objek, maka kita menempatkannya atau

memperlakukannya sebagai binatang, tidak lebih (Freire 2009,

63). Dalam posisi ini, tentu mereka tidak memiliki keleluasaan

dan kebebasan untuk mengembangkan diri, hanya mengikuti

apa yang diinstruksikan kepada mereka untuk dilakukan. Tipe

orang ini, akan melihat dirinya berada di bawah kontrol orang

lain. Tipe yang kedua, manusia sebagai subjek, memberikan

ruang kepada manusia untuk berpikir dan berefleksi ten tang

diri dan lingkungan sekitarnya. Berbeda dari tipe yang pertama,

pada tipe ini, manusia memiliki keleluasaan dan kebebasan

untuk mengembangkan dirinya secara maksimal. Selanjutya,

bagi Freire, ada tiga level kesadaran yang dilewati oleh

seseorang, yaitu (Freire 1973, 16-20 dan 44-46):

a)ywvutsrponmlkjihgfedcbaUSRPONMLKJIGEDCBAKesadaran Magis. Orang pad a level ini cenderung

diam dan tertutup. Mereka berada dalam kontrol orang

lain dan hanya akan mengikuti berbagai instruksi yang

disampaikan kepada mereka tanpa punya kemampuan

untuk mengkritisi instruksi -instruksi tersebut. Ketika

286

berhadapan dengan berbagai persoalan ketidakadilan

dalam kehidupan sehari-hari, tipe orang ini akan lebih

memilih untuk diam dan tidak berbuat apa-apa.

Bahkan, jika mereka adalah korban dari ketidakadilan,

mereka akan berpikir bahwa ini sudah jalan hidup

mereka, takdir dari Tuhan.

b) Kesadaran Naif. Pada level ini, seseorang sudah

mampu untuk peka dan sadar dengan apa yang dialami

atau terjadi dalam lingkungan sekitarnya meskipun dia

belum mampu untuk melihat hubungan sebab akibat di

antara keduanya. Orang-orang dengan tipe kesadaranyxwvutsrponmlkjihgfedcbaWUTSRPOMLKJIHGFEDCBA

In! cenderung menyalahkan sistem yang menguasai

mereka. Bagi mereka, keberadaan mereka terpisah dari

sistem, bukan bagian integral dari sistem terse but.

c) Kesadaran Kritis. Tipe orang pada level ini sudah

mampu untuk meJihat dan memetakan sebuah persoaJan

secara Jebih komprehensif Orang dengan tipe ini

melibatkan diri daJam realitas dan menjadikan dirinya

subjek atas realitas-realitas tersebut.

Level (atau bentuk) kesadaran ini perlu mendapat

perhatian kita, karena di mana seseorang berada akan sangat

menentukan cara dia memberi respons terhadap persoalan-

persoalan yang dihadapi. Orang dengan tipe kesadaran magis

akan sangat sulit bereaksi terhadap berbagai situasi ketidak-

adilan di lingkungan di mana dia berada, termasuk berbagai

bentuk ketidakadilan yang dialami oleh dirinya sendiri. lalan

keluar untuk situasi ini adalah, orang dengan mudah bisa

mengklaim bahwa apa yang dialaminya adalah kesalahan orang

lain, atau bahkan takdir dari Tuhan yang harus dia terima dan

jalani dalam kehidupannya. Selain itu, Iingkungan sekitar juga

memberikan pengaruh besar bagi bentuk kesadaran sese orang.

Jdealnya adalah orang harus bisa berpindah dari satu tahapan

287

Page 8: Refleksi 500 Tahun Protestantisme dari Maluku · adalah sebuah refleksi atas pelaksanaan Pendidikan Kristiani (yang dibutuhkan) dalam konteks Gereja (Gereja Protestan Maluku) atau

kesadaran ke tahapan kesadaran berikutnya. Perpindahan ini

harus dikondisikan. Apa yang saya maksudkan dengan

pengkondisian adalah bagaimana lingkungan sekitar, terrnasuk

gereja melalui desain-desain pendidikannya, bisa memberikan

pengaruh yang baik bagi seseorang untuk melatih diri dan

mengembangkan kesadarannya secara maksimal menuju ke

tahapan kesadaran kritis.

2. Pendidikan: Olah Pikir, Olah Rasa, dan Olah Raga

Menjadi kritis saja tidak cukup. Pendidikan juga harus

menyentuh domain afeksi dan psikomotorik seseorang. Jika ini

yang terjadi maka pendidikan menyentuh semua dimensi

kehidupan, sehingga pendidikan yang terlaksana tidak hanya

membuat orang tahu tentang sesuatu, melainkan memahaminya

dengan benar dan berupaya semaksimal rnungkin untuk

menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Jika ini yang

terjadi, maka pendidikan kita membuka ruang sebesar-besarnya

bagi seseorang untuk tidak hanya berpikir, tetapi juga

mengalami dan merasakan berbagai hal dalam hidup

beragamanya. Dan bukankah ini sesuatu yang khas Indonesia?

Dalam ranah pendidikan karakter, pengembangan domain

kognitif, afektif dan psikomotorik menolong orang untuk: (1)yxwvutsrqponmlkjihgfedcbaVUTSRPONMLKJIHGFEDCBA

knowing the good - tahu tentang yang baik, (2) desiringlloving

the good - berhasrat untuk melakukan yang baik, dan (3) doing

the good - melakukan yang baik (Koesoema 2015, 157-158).

3. Pendidik dan Nara Didik: Rekan Seperjalanan

Rekan seperjalanan menunjukkan bahwa kolegialitas

menjadi penting. Prinsip mt mengundang kita untuk

menghargai rekan belajar kita. Kita menerima dia dengan

segala keberadaannya, kekuatan namun juga keterbatasannya.

288

Lalu, ketika kita menerima mereka, kita berharap mereka juga

mau menerima kita apa adanya. Prinsip ini mengingatkan saya

kepada empat kalimat mantra dalam berelasi dengan orang lain

yang dikemukakan oleh Thich Naht Hanh, aktivis perdamaian,

dalam percakapannya dengan Oprah Winfrey. Empat kalimat

itu adalah:

a. Darling,JI J am here. Ketika kita mengasihi

seseorang, hal terbaik yang bisa kita tawarkan

kepadanya adalan kehadiran kita.

b. Darling, J know you are there. Bukan hanya

kehadiran kita yang kita tawarkan, lebih dan itu kita

juga perlu mengakui kehadiran orang lain. Dicintai

berarti diakui keberadaannya.

c. Darling, 1 know you are suffering and J am here for

you. Ada bagi orang lain dan menemani/

menolongnya melewati masa yang "sulit" sangat

dibutuhkan dalam berelasi.

d. Darling, J am suffering. Please, help me. Kita

tidak hanya dituntut" untuk mampu peka dan peduli

dengan keberadaan orang lain, tetapi juga berani

dan mampu untuk mengakui keadaan diri kita dan

mengatakan kepada orang lain bahwa kita

membutuhkan pertolongan mereka.

Dimensi lain dari prinsip ini adalah kemampuan kita untuk

menempatkan rekan belajar kita bukan sebagai saingan. Saya

teringat dengan kata-kata bell hooks tentang hal ini begini:

"Competition in the classroom disrupts connection, making

closeness between teacher and students impossible" (Hooks

2003, 130). Jika kita hanya mengedepankan persaingan, maka

relasi dan koneksi akan terabaikan; jika kita hanya

mengutamakan persaingan, maka kedekatan akan terasa sangat

jauh; jika persaingan yang lebih mendominasi kita, maka rasa

belas kasih itu perlahan-Iahan akan hilang kekuatannya.

289

Page 9: Refleksi 500 Tahun Protestantisme dari Maluku · adalah sebuah refleksi atas pelaksanaan Pendidikan Kristiani (yang dibutuhkan) dalam konteks Gereja (Gereja Protestan Maluku) atau

4. Masyarakat Kepulauan: Masyarakat Multi-

kuturalzyxwvutsrponmlkjihgfedcbaZYWVUTSRPONMLKJIHGFEDCBA

Multikulturalisme adalah sebuah istilah yang digunakan

untuk menjelaskan tentang kepelbagaian budaya dalam sebuah

komunitas, dan bagaimana anggota komunitas belajar untuk

menerima dan menghargai kepelbagaian tersebut. H.A.R.

Tilaar mendefinisikan multikulturalisme sebagai sebuah upaya

pengakuan akan "martabat manusia yang hidup di dalam

komunitasnya dengan kebudayaan masing-masing yang

spesifik; lebih daripada itu, multikulturalisme adalah sebuah

pengakuan atas pluralisme budaya" (Tilaar 2012, 919, 930).

Sedangkan Charles Taylor mendefiniskan multikulturalisme

sebagai sebuah "gerakan yang didorong oleh kebutuhan atas

pengakuanyxwvutsrqponmlkjihgfedcbaVUTSRPONMLKJIHGFEDCBA(recognition) terhadap -keberadaan individu atau

kelompok yang berbeda" (Taylor 1994, 25). Baik Tilaar

maupun Taylor melihat bahwa pengakuan menjadi salah satu

unsur penting ketika kita masuk dalam ranah interaksi bersama

mereka yang berbeda.

Di Indonesia, pendidikan multikultural muncul sebagai

sebuah gerakan untuk menghargai keanekaragaman (agama

dan budaya) yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Dalam hal

ini, pendidikan menolong setiap orang yang terlibat di

dalamnya untuk mengenal lebih dekat budaya dan agama-

agama di luar agama dan budayanya sendiri. Selain itu,

munculnya pendidikan (berbasis) multikultural di Indonesia

merupakan sebuah upaya untuk mengembangkan sikap

toleransi terhadap budaya-budaya asing yang masuk dan

menjamur di Indonesia, dan pada saat yang bersamaan ia

merupakan sebuah gerakan kebangkitan budaya-budaya lokal

untuk menunjukkan identitas dirinya.

James Banks dalam bukunya berjudulyxwvutsrponmlkjihgfedcbaWUTSRPOMLKJIHGFEDCBA"An Introduction

to Multicultural Education" mengajukan setidaknya empat

tujuan pendidikan mutikultural, yaitu: (1) menolong setiap

290

orang mengenal siapa dirinya secara utuh. Pengenalan diri ini

tidak didasarkan semata-mata atas penilaian pribadi tetapi lebih

kepada menilai diri dengan menggunakan "kacamata"/

perspektif orang lain; (2) meminimalisir dominasi budaya

tertentu dan memperkenalkan kepada setiap orang altematif

budaya dan etnik yang lain; (3) memperlengkapi setiap orang

dengan ragam informasi dan pengetahuan serta keahlian yang

bisa dikembangkan sesuai dengan budaya dominan maupun

budaya mereka masing-masing; dar. (4) mengurangi "rasa

sakit" yang dirasakan dan diskriminasi yang dialami oleh

kelompok tertentu hanya karena suku atau agama mereka

(Banks 2002, 1-4). Selanjutnya, Banks mengidentifikasi lima

dimensi pendidikan multikultural (berbasis di sekolah, meski

saya sadar sepenuhnya bahwa dimensi-dimensi ini juga bisa

berlaku dalam kehidupan bergereja atau berrnasyarakat secara

luas), yaitu: "content integration, knowledge construction,

prejudice reduction, equitable pedagogy, dan empowering

school culture and social structure" (Banks 2002, 13). Berikut

adalah penjelasan detail kelima' dimensi ini:JI

1. Content integration (integrasi isi/materi) - Dimensi ini

merujuk kepada upaya seorang pendidik untuk

menggunakan contoh-contoh, data, dan ragam

informasi dari berbagai budaya dan kelompok yang

berbeda untuk menjelaskan tentang teori, konsep, dan

prinsip dari pelajaran yang diajarkan (Banks 2002, 14-

15). Dimensi ini mengkritisi kecenderungan pendidik

untuk hanya menggunakan contoh-contoh dari

budayanya, atau budaya dominan yang berlaku.

2. Knowledge construction (konstruksi pengetahuan) -

Dimensi ini menunjukkan bagaimana pengetahuan itu

dibentuk dan bagaimana ras, etnis, gender, dan kelas

sosial dari individu maupun kelompok memberikan

pengaruh kepadanya (Banks 2002, 15-16). Selain

membentuk konsep yang benar tentang diri dan orang

291

Page 10: Refleksi 500 Tahun Protestantisme dari Maluku · adalah sebuah refleksi atas pelaksanaan Pendidikan Kristiani (yang dibutuhkan) dalam konteks Gereja (Gereja Protestan Maluku) atau

lain, dalam praktiknya dimensi ini juga membuka

kesempatan bagi para pendidik dan setiap naradidik

untuk mengevaluasi pemahaman-pemahaman mereka

yang keliru terhadap suku, budaya, atau agama tertentu.yxwvutsrqponmlkjihgfedcbaVUTSRPONMLKJIHGFEDCBA

3. Prejudice reduction (mereduksi prasangka) - Dimensi

ini menolong pendidik dan naradidik untuk mengurangi

prasangka terhadap mereka yang berbeda termasuk pula

mengembangkan perilaku positif terhadap ragam

perbedaan yang ada (Banks 2002, 16). Dengan

demikian, menurut saya, tanggung jawab pendidik

adalah menciptakan "ruang" bagi terciptanya sebuah

dialog yang sehat agar kesalahpahaman yang dibawabisa diluruskan.

4. Equitable pedagogy (pedagogik kesetaraan) - Dimensi

ini menolong para pendidik menyesuaikan model

pembelajaran dengan cara belajar dalam rangka

memfasilitasi kemampuan akademik naradidik. Lebih

lanjut, dimensi ini mengundang pendidik untuk

menggunakan ragam teknik dan metode pembelajaran

yang memungkinkan semua orang terlibat secara secara

aktif, tidak didominasi oleh kelompok tertentu saja

(Banks 2002, 17). Menurut Tilaar (2012), pedagogik

kesetaraan memperlihatkan dua prinsip pokok, yaitu

pengakuan akan kebebasan (kemerdekaan) dan

martabat seseorang.

5. Empowering school culture and social structure

(penguatan budaya sekolah dan struktur sosial) -

Dimensi ini mengkritisi budaya dan struktur organisasi

yang berlaku di sekolah selama ini, apakah benar-benar

memberikan peluang bagi para naradidik dari berbagai

latar belakang agama, suku dan ras merasa

diperlakukan setara.

292

Berdasarkan uraian singkat di atas, maka kita perlu

untuk pertama-tama mengubah paradigma pendidikanl

pembelajaran kita dari yang bersifat tradisi~nal (yang

menekankan otoritas dan dominasi seorang pengajar) kepada

model yang lebih memberi ruang bagi kebebasan berpikir dan

berdialog bagi naradidik. Pendidikan tidak hanya dipahami

sebagai sebuah proses inisiasi dan upaya untuk meneruskan

tradisi ke generasi berikutnya; mengajar juga bukan hanya

sebuah upaya uutuk mengaplikasikan teks-teks Alkitab.

Mengajar adalah sebuah upaya reinterpretasi, mem~ertanyakan~

menganalisa, dan bahkan menolak apa yang tidak sesuai

(Harris 1989, 116). Kedua, model pendidikan kita perlu

bergerak maju dari yang sifatnya informatif, ke arah

transformatif. Informasi menolong orang mengetahui fakta dan

bukti, namun transformasi menolong orang mengkorelasikan

teks-teks Alkitab yang dibacakan dengan pengalaman hidup

sehari-harinya. Dengan demikian, transforrnasi harusnya

mengakomodasi tiga prinsip pokok pendidikan yang

berorientasi kepada head, heart, dan hands. Ketiga, proses

pembelajaran kita seharusnya menolong naradidik untuk lebi.h

peka terhadap situasi sosial di sekelilingnya dan secara .aktl~

merumuskan respons-respons kritis mereka terhadap situasi

tersebut. Singkatnya, model-model pembelajaran harus lebih

mengarah kepada pengembangan kemampuan berpikir kritis~

pengutamaan dialog antara pendidik dan naradidik, d~n dl

antara naradidik (cooperative learning), termasuk tersedianya

ruang bagi naradidik untuk bisa menuturkan narasi -narasi

kehidupannya dan terus mempertanyakan siapakah dirinya.ywvutsrponmlkjihgfedcbaUSRPONMLKJIGEDCBA

5. Muatan Lokal, Nasional, dan Global

Salah satu tantangan masyarakat kepulauan adalah

sentralisasi pendidikan di pusat dan pengabaian terhadap

kekayaan lokal yang memiliki nilai tinggi. Oleh karenanya,

ketika multikultural menjadi bahasa kita, maka pengakuan akan

293

Page 11: Refleksi 500 Tahun Protestantisme dari Maluku · adalah sebuah refleksi atas pelaksanaan Pendidikan Kristiani (yang dibutuhkan) dalam konteks Gereja (Gereja Protestan Maluku) atau

muatan-muatan lokal menjadi sebuah pilihan yang harus

diambil. Pengakuan akan muatan-muatan lokal membuka

sebuah "ruang" bagi pengakuan akan kekayaan-kekayaan lokal

yang tidak mungkin terwadahi secara maksimal dalam

kurikulum-kurikulum yang bersifat sinodal/nasional/global.

Menurut Dannaningtyas dalam bukunya "Pendidikan yang

Memiskinkan," dengan diakomodasinya muatan-muatan 10kaI,

maka gerejalsekolah tidak dengan serta merta mencabut para

naradidik daryxwvutsrponmlkjihgfedcbaWUTSRPOMLKJIHGFEDCBAi iingkungan geografis temp at ia tinggal, situasi

ekonomi, sosial, dan budaya yang memengaruhinya

(Darmaningtyas 2015, 106). Tidak hanya itu, dengan

diakomodasinya muatan-muatan lokal dalam desain kurikuluml

bahan ajar kita, maka kita memberikan kepada naradidik

identitasnya (Tilaar 2000, 214). Bagi saya, di sini proses

humanisasi itu terjadi. Kita mengakui keberadaan seseorang

dan berbagai potensi yang ia atau lingkungan sekitamya miliki.ywvutsrponmlkjihgfedcbaUSRPONMLKJIGEDCBA

Penutup

Pendidikan hadir untuk menjawab kebutuhan riiI

konteks, sehingga tidak ada sebuah desain pendidikan yang

kekal sepanjang masa. Pendidikan juga tidak bisa dilepaskan

dari konteksnya. Desain pendidikan (Kristiani) sangat

dipengaruhi oleh berbagai perubahan yang terjadi dalam

masyarakat dan pola interaksi yang mengikutinya. Semoga

tulisan sederhana ini menolong kita untuk menghayati dan

menghidupi panggilan kita untuk mendidik dan dididik, serta

mengajar dan diajar.

Daftar Acuan

Anthony, Michael J. & Warren S. Benson. 2002.yxwvutsrqponmlkjihgfedcbaVUTSRPONMLKJIHGFEDCBAExploring

the History and Philosophy of Christian Education:

Principles for the 21st Centurry. Grand Rapids, MI:

Kregel Academic and Professional.

Aritonang, Jan Sihar. "Pendidikan Kristen di Indonesia."

Dalam eds. Elika Dwi Murwani, dkk. 2010.

Education for Change: Pendidikan untuk

Perubahan. Jakarta: BPK PENABUR & BPK

Gunung Mulia.

"Sekolah Zending di Indonesia dan

Keberlanjutannya Sampai Kini." Dalam Luther dan

Pendidikan. Pematangsiantar: Komite Nasional

LWF,2012.

#

Banks, James A. 2002. An Introduction to Multicultural

Education. Boston: Allyn and Bacon.

Dannaningtyas. 2015. Pendidikan yang Memiskinkan.

Malang: Intrans Publishing. Freire, Paulo. 1973.

Education for Critical Consciousness. New York:

The Seabury Press.

_____ . 2006. Pedagogy of the Oppressed. New York:

Continuum.

Harris, Maria. 1989. Fashion Me a People: Curriculum in the

Church. Louisville: Westminster John Knox Press.

294295

Page 12: Refleksi 500 Tahun Protestantisme dari Maluku · adalah sebuah refleksi atas pelaksanaan Pendidikan Kristiani (yang dibutuhkan) dalam konteks Gereja (Gereja Protestan Maluku) atau

Hooks, bell. 2003.yxwvutsrqponmlkjihgfedcbaVUTSRPONMLKJIHGFEDCBATeaching Community: A Pedagogy of .

Hope. New York: Routledge.

Sukarto, Aristarchus. 2010. "Pengaruh Calvinisme dalam

Kehidupan Gereja dan Pendidikan di indonesia."

Dalam Calvinis Aktual, eds. Budiman Heryanto dan

Tim Kompilasi KPT GKl SW Jabar (215-226).

Jakarta: KPT GKl SW Jawa Barat.

Kingdon, Rober M. 2004. "Catechesis in Calvin's Geneva."

Dalam Educating People of Faith: Exploring the

History of Jewish and Christian Communities, John van

Enggen (294-313). Grands Rapids: William B

Eerdmans.

Tan, Charlene. 2008. Teaching without Indoctrination:

Implications for Values Education. Rotterdam: Sense

Publishers.

Koesoema, Doni. 2015. Pendidikan Karakter: Utuh dan

Menyeluruh. Yogyakarta: Kanisius.

Lailossa, M. G. 2012. "Visi Pembangunan Provinsi Kepulauan

dalam Bentuk Model Pembangunan Provinsi

Kep~lauan." Dalam Berlayar Dalam Ombak, Berkarya

Bagi Negeri: Pemikiran Anak Negeri untuk Maluku,

Karel Albert Ralahalu (3-10). Ambon: Ralahalu Institut.

Taylor, Charles. 1994. "The Politics of Recognition." Dalam

Amy Gutman, Multiculturalism. New Jersey:

Princeton University Press.

Tilaar, H. A. R. 2000. Paradigm a Baru Pendidikan Nasional.

Jakarta: Rineka Cipta.

Reed, James E dan Ronnie Prevost. 1993. A History of

Christian Education. Nashville: Broadman and Holman

Publishers.

_____ .2009. Pendidikan dan Kekuasaan: Manajemen

Pendidikan Nasiontil dalam Pusaran Kekuasaan.

Jakarta: Rineka Cipta.

Salampessy, Djalaludin. 2012. "Peranan Kearifan Lokal dalam

Pengembangan Wilayah Berbasis Gugus Pulau di

Maluku." Dalam Berlayar dalam Ombak, Berkarya

Bagi Negeri: Pemikiran Anak Negeri untuk Maluku,

Karel Albert Ralahalu (133-150). Ambon: Ralahalu

Institut.

. 2012. "Pendidikan multikultural." Dalam-----

Kaleidoskop Pendidikan Nasional, ed. TheresiayxwvutsrponmlkjihgfedcbaWUTSRPOMLKJIHGFEDCBAK.

Brahim (917-949). Jakarta: Buku Kompas.

Sapulete, H. L. 1995. "GPM dan Pendidikan Teologia."

Dalam Gereja Pulau-pulau: Toma Arus, Sibak Ombak,

Tegar, eds. Wim Davidz dan M. Tapilatu (87-97).

Ambon: Percetakan GPM.

296 297