referat tokso

28
Kepaniteraan Klinik Ilmu Saraf - RSUS Virza Ch Latuconsina 07120090054 BAB I PENDAHULUAN Ensefalitis toksoplasma merupakan penyebab tersering lesi otak fokal infeksi oportunistik tersering pada pasien AIDS. Di Amerika angka kejadian mencapai 30-50%, sedangkan di Eropa mencapai 50-70%. Berdasarkan penelitian dibagian neuroinfeksi RSUPNCM angka kejadian 31%. Diagnosis presumtif ensefalitis toksoplasma dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan penunjang serologis dan pencitraan, baik dengan CT- SCAN atau MRI. Diagnsosi pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi dari biopsy dan ditemukan takizoit dan bradizoit. Lesi toksoplasma ensefalitis (TE) sulit dibedakan dengan lesi lainnya, meskipun demikian gambaran yang dianggap khas yaitu lesi otak fokal tunggal atau multiple yang menyangat bagian tepi menyerupai cincin, dengan lokasi tersering pada basal ganglia 75%, thalamus, periventrikular dan corticomedullary junction (subkortikal) disertai edema perifokal dan berdiameter 1 sampai < 3 cm. 1

Upload: stefanie-karina

Post on 25-Dec-2015

8 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

reree

TRANSCRIPT

Page 1: REFERAT TOKSO

Kepaniteraan Klinik Ilmu Saraf - RSUS

Virza Ch Latuconsina

07120090054

BAB I

PENDAHULUAN

Ensefalitis toksoplasma merupakan penyebab tersering lesi otak fokal

infeksi oportunistik tersering pada pasien AIDS. Di Amerika angka kejadian

mencapai 30-50%, sedangkan di Eropa mencapai 50-70%. Berdasarkan

penelitian dibagian neuroinfeksi RSUPNCM angka kejadian 31%. Diagnosis

presumtif ensefalitis toksoplasma dapat ditegakkan berdasarkan gejala

klinis, pemeriksaan penunjang serologis dan pencitraan, baik dengan CT-

SCAN atau MRI. Diagnsosi pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan

histopatologi dari biopsy dan ditemukan takizoit dan bradizoit. Lesi

toksoplasma ensefalitis (TE) sulit dibedakan dengan lesi lainnya, meskipun

demikian gambaran yang dianggap khas yaitu lesi otak fokal tunggal atau

multiple yang menyangat bagian tepi menyerupai cincin, dengan lokasi

tersering pada basal ganglia 75%, thalamus, periventrikular dan

corticomedullary junction (subkortikal) disertai edema perifokal dan

berdiameter 1 sampai < 3 cm.

Sejak 2 dekade terakhir

setelah ditemukannya AIDS, jumlah penderita AIDS secara dramatis

meningkat tajam. Sampai dengan tahun 1997, sekitar 30 juta

orang terinfeksi HIV, dimana kasus baru untuk tahun 1997 sebesar 6

1

Page 2: REFERAT TOKSO

Kepaniteraan Klinik Ilmu Saraf - RSUS

Virza Ch Latuconsina

07120090054

juta. Sembilan puluh persen individuyang terinfeksi ini tinggal di

negara berkembang, termasuk Indonesia.

Di Indonesia sendiri, menurut Menkes RI, jumlah penderita

terinfeksi HIV tahun2002 diestimasikan sebanyak 90.000-130.000

orang. Sebagian besar tersangka HIV inimerupakan pengguna obat

narkotika suntik ( Intravenous drug users).

Lebih dari 50 % penderita yang terinfeksi HIV akan berkembang

menjadi kelainan neurologis. Kelainan neurologis yang sering terjadi pada

penderita yang terinfeksi HIV adalah ensefalitis toxoplasma, limfoma SSP,

meningitis criptococcal, CMV ensefalitis dan progressive multifocal

leukoencephalopathy.

         Infeksi oportunistik SSP yang paling sering pada penderita HIV adalah

ensefalitis toxoplasma. Dari penelitian Terazawa dkk, didapatkan

seroprevalens IgG antibody Toxoplasma yang tinggi (70%) pada penduduk

kota Jakarta.

2

Page 3: REFERAT TOKSO

Kepaniteraan Klinik Ilmu Saraf - RSUS

Virza Ch Latuconsina

07120090054

BAB II

PEMBAHASAN

A. DEFINISI

Ensefalitis toksoplasma merupakan suatu infeksi yang

disebabkan oleh Toxoplasma gondii dan mengenai jaringan otak.

Toxoplasma gondii merupakan parasit intrasellular yang obligat.

Ensefalitis toksoplasma muncul pada kurang lebih 10% pasien AIDS

yang tidak diobati. Infeksi yang ditimbulkan memberikan gambaran

klinis yang sangat bervariasi baik pada manusia maupun pada hewan.

Toxoplasma ini mempunyai hospes definitive pada kucing. Penularan

ke manusia dapat melalui kontak langsung dengan tinja kucing atau

3

Page 4: REFERAT TOKSO

Kepaniteraan Klinik Ilmu Saraf - RSUS

Virza Ch Latuconsina

07120090054

kista yang tertelan bersama makanan yang tidak dimasak dengan

baik. Seringkali infeksi toxoplasma disebabkan oleh reaktivasi dari

penyakit yang telah ada sebelumnya. Pada umumnya menyerang

penderita dengan gangguan system imun yang menurun.

B. EPIDEMIOLOGI

Insiden Penyakit ini bervariasi dari satu tempat dengan tempat

yang lain, hal ini bergantung pada keberadaan parasit Toxoplasma

gondii sebagai penyebabnya dan juga bergantung pada kebersihan

daerah tersebut. Di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa angka

prevalensi meningkat sesuai dengan usia dan kontak yang ada yaitu

pada umur sekita 10-19 tahun berkisar 5-30% dan pada usia diatas 50

tahun berkisar 10-67% dan diperkirakan akan meningkat sekitar 1%

setiap tahunnya. Sedangkan Indonesia, berdasarkan penelitian

dibagian neuroinfeksi RSUPNCM angka kejadian 31%.

C. ETIOLOGI

Disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii, yang dibawa oleh

kucing, burung dan hewan lainyang dapat ditemukan pada tanah yang

tercemar oleh tinja kucing dan kadang pada daging mentah

ataukurang matang. Begitu parasit masuk ke dalam sistem kekebalan,

4

Page 5: REFERAT TOKSO

Kepaniteraan Klinik Ilmu Saraf - RSUS

Virza Ch Latuconsina

07120090054

ia menetap di sana; tetapi sistem kekebalan pada orang yang sehat

dapat melawan parasit tersebut hingga tuntas, mencegah penyakit.

Transmisi pada manusia terutama terjadi bila memakan daging babi

atau domba yang mentahyang mengandung oocyst (bentuk infektif

dari T.gondii). Bisa juga dari sayur yang terkontaminasi ataukontak

langsung dengan feses kucing. Selain itu dpat terjadi transmisi lewat

transplasental, transfusidarah, dan transplantasi organ. Infeksi akut

pada individu yang immunokompeten biasanya asimptomatik. Pada

manusia dengan imunitas tubuh yang rendah dapat terjadi reaktivasi

dari infeksilaten. Yang akan mengakibatkan timbulnya infeksi

opportunistik dengan predileksi di otak.

D. SIKLUS HIDUP

Terdapat 2 macam siklus hidup dari Toxoplasma gondii ini, yaitu

siklus seksual yang terjadi pada hospes definitive (kucing) dan siklus

aseksual yang terjadi pada hospes sekunder (mamalia lain termasuk

manusia dan beberapa jenis burung) dan terjadi ekstraintestinal.

Siklus seksual terjadi di dalam traktus gastrointestinal kucing,

yaitu dengan termakannya oocst oleh kucing yang kemudian

akan berkembang dan mengeluarkan sprozoit didalam usus

halus. Sporozoit akan berkembang menjadi tachyzoite yang

5

Page 6: REFERAT TOKSO

Kepaniteraan Klinik Ilmu Saraf - RSUS

Virza Ch Latuconsina

07120090054

selanjutnya akan berkembang lebih lanjut dan intinya akan

membelah (skizon) sehingga terbentuk merozoit, sebagian dari

tachyzoite ini akan menyebar masuk ke jaringan dan menjadi

bradyzoite yang merupakan bentuk yang berada di jaringan. Bila

skizon matang dan pecah, makan merozoit akan memasuki sel

lain dan tumbuh menjadi tropozoit dan mulai lagi proses

(skizogoni) hinggan beberapa kali. Beberapa merozoit di usus

halus akan berkembang menjadi makrogametosit dan

mikrogametosit kemudian terbentuk zigot yang akan

membentuk oocyst akan diekskresi lewat feses. Ookis sangat

kuat dan dapat bertahan serta masih infeksius sampai sekitar 1

tahun.

6

Page 7: REFERAT TOKSO

Kepaniteraan Klinik Ilmu Saraf - RSUS

Virza Ch Latuconsina

07120090054

Pada kondisi yang menguntungkan, misalnya panas dan lembab,

maka terjadilah sporogonii di dalam ookis. Ookis yang

mengalami sporulasi bersifat menular dan bila termakan oleh

rodensia (hewan pengerat), kucing, atau binatang kecil lainnya

akan mengeluarkan sporozoit didalam usus halus, sporozoit ini

akan penetrasi di dinding usus melakukan replikasi dan

menyebar secara hematogen pada hamper semua jaringan.

Seiring dengan berjalannya waktu kista jaringan akan membelah

sangat perlahan. Kista di jaringan ini sangat tidak reaktif (inert)

dan bisa bertahan bertahun-tahun tanpa menimbulkan inflamasi.

7

Page 8: REFERAT TOKSO

Kepaniteraan Klinik Ilmu Saraf - RSUS

Virza Ch Latuconsina

07120090054

Reaktivasi kista terjadi bila imunitas penderita menurun, seperti

pada penderita kanker, transplantasi organ, penggunaan

kortikosteroid jangka panjang dan penderita HIV/AIDS.

E. PATOGENESIS

Toxoplasma gondii merupaka protozoa intraselular. Toxoplasma

gondii masuk ke dalam tubuh manusia melalui makanan yang

terkontaminasi tinja kucing yang terinfeksi atau melalui ookis yang

mengkontaminasi makanan karena terbawa oleh kecoak atau lalat

atau dapat pula disebabkan karena memakan daging (sapi, akmbing

atua babi) yang kurang masak.

Setelah memasuki usus, maka dinding kista akan dirusak oleh

enzim pencernaan dan akan dilepaskan sprozoit yang bentuknya

lonjong dan kecil. Sporozoit ini akan membentuk tachyzoit dan

bradyzoit (terdapat dalam jaringan dan berkembang lambat).

Tachyzoit akan menginduksi pembentukan IgA yang spesifik terhadap

adanya parasit. Dari dalam usus, parasit ini akan menyebar ke

berbagai organ, terutama ke jaringan limfe, otot skeletal, miokard,

retina, plasenta dan system saraf pusat.

8

Page 9: REFERAT TOKSO

Kepaniteraan Klinik Ilmu Saraf - RSUS

Virza Ch Latuconsina

07120090054

Parasit ini akan menginfeksi sel dan bereplikasi yang akan

mengakibatkan kematia sel, serta terjadinya nekrosis fokal yang

dikelilingi dengan inflamasi disekitarnya.

Pada penderita yang imunokompeten baik system imun selular

maupun humoral akan mengontrol infeksi yang terjadi. Infeksi

Toxoplasma gondii ini akan merangsang dengan kuat pada Th-1 untuk

memproduksi sitokin prinflamasi yaitu IL-2, interferon gamma, TNF α.

Sitokin proinflamasi ini dan mekanisme imunologi yang lain akan

menghambat replikasi tachyzoite dan perubahan patologi yang lain.

Setelah masuk kedalam enterosit Toxoplasma gondii akan menginfeksi

APC (Antigen Presenting Cell) lamina propria usus dan menginduksi

terjadinya respon local Th-1.

Limfosit T CD4 dan CD8 yang tersensitisasi bersifat sitotoksik

terhadap sel yang telah terinfeksi oleh Toxoplasma gondii dan akan

menghancurkan parasit yang berada di ekstraselular, serta sel yang

terinfeksi. Setelah fase akut lewat, maka akan terdapat bradyzoit

didalam jaringan, terutama di system sarag pusat dan retina. Belum

diketahui mekanisme bagiamana Toxoplasma gondii dapat bertahan

hidup dalam makrofag jaringan.

Penderita dengan penurunan kekebalan penyakit ini

membahayakan, terutama penderita dengan kelainan pada sel T

9

Page 10: REFERAT TOKSO

Kepaniteraan Klinik Ilmu Saraf - RSUS

Virza Ch Latuconsina

07120090054

limfosit, misalnya pada janin, keganansan darah, sumsum tulang,

penderita transplantasi organ, bayi baru lahir, dan penderita dengan

penurunan kekebalan misalnya HIV/AIDS. Pada umumnya lesi terjadi di

mata, otak, dan organ-organ yang lain.

Mekanisme bagaimana HIV menginduksi infeksi oportunistik

seperti toxoplasmosis sangat kompleks. Ini meliputi deplesi dari sel T

CD4; kegagalan produksi IL-2, IL-12, dan IFN-gamma; kegagalan

aktivitas Limfosit T sitokin. Sel-sel dari pasien yang terinfeksi HIV

menunjukkan penurunan produksi IL-12 dan IFN-gamma  secara in

vitro dan penurunan ekspresi dari CD 154 sebagai respon terhadap T

gondii. Hal ini memainkan peranan yang penting dari perkembangan

toxoplasmosis dihubungkan dengan infeksi HIV.

Kerusakan pada system saraf pusat yang disebabkan oleh

Toxoplasma gondii memberikan gambaran khas, yaitu lesi yang

banyak (multiple) dengan nekrosis luas dan nodul microglia. Apabila

terjadi penyumbatan pada aquaductus sylvii atau foramen Monroe

dapat mengakibatkan terjadinya hidrosefalus. Gambaran abses yang

mulitpel merupakan gambaran khas ensefalitis toksoplasma pada

penderita dengna defisiensi imun yang berat.

F. GAMBARAN KLINIS

10

Page 11: REFERAT TOKSO

Kepaniteraan Klinik Ilmu Saraf - RSUS

Virza Ch Latuconsina

07120090054

Gejala klinis infeksi Toxoplasma bergantung pada system imun

penderita. 80% kasus primer tanpa gejala (asimptomatis). Masa

inkubasi periode ini berlangsung sekitar 1-2 minggu, yang selanjutnya

baik yang timbul gejalan ataupun tanpa gejala akan berlanjut menjadi

fase kronis.

Biasanya gejala klinis fase akut akan timbul tidak khas, gejala

klinis yang paling sering adalah limfadenopati servikal, kadang

didapatkan sedikit peningkatan suhu tubuh, nyeri otot, nyeri telan,

sakit kepala, urtika, kemerahan pada kulit dan hepatosplenomegali

sehingga perlu pemeriksaan yang lebih cermat.

Pada penderita yang simptomatis ini gejala biasanya akan

menghilang dalam waktu beberapa bulan. Reaktivasi infeksi ini dapat

terjadi apabila terdapat penurunan kekebalan penderita. Rekativasi ini

akan timbul berbagai gejala dan diperkirakan skitar 50% dari penderita

ini menderita ensefalitis toksoplasma dengan gejala klinis berupa

ensefalitis, meningoensefalitis atau suatu lesi massa pada otak.

Gejala klinis ensefalitis toksoplasma dapat berupa gangguan

status mental, panas badan yang terus-terusan atau hilang timbul,

sakit kepala, deficit neurologis fokal, gelisah sampai terjadi penurunan

kesadaran, kadang didapatkan kejang, gangguan penglihatan, selain

itu dapat pula didapatkan tanda iritasi selaput otak.

11

Page 12: REFERAT TOKSO

Kepaniteraan Klinik Ilmu Saraf - RSUS

Virza Ch Latuconsina

07120090054

Terjadinya deficit neurologis fokal adalah akibat adanya lesi

massa intracranial, seperti hemiparese, afasia, parese nervus kranialis,

kejang fokal, deficit snesoris, kadang juga didapatkan adanya gerakan

involunter, seperti distonia, chorea, athethosis dan hemibalismus.

Sedangkan manifestasi klinis toksoplasmosis pada penderita

HIV/AIDs biasanya bersifat subakut dapat mengenai system saraf

pusat dengan gejala lesi fokal (58-89%) atau bukan lesi fokal. Pada

sekitar 15-25% kasus dapat terjadi kejang atau perdarahan otak yang

mendadak. Gejala yang sering tampak berupa nyeri kepala, deficit

neurologis fokal berupa kelemahan satu sisi tubuh (lateralisasi) dan

gangguan bicara dapat disertai panas ataupun tidak. sedangkan gejala

lain yang juga sering didapatkan adalah berupa gangguan mental,

kejang gangguan saraf kranialis, gangguan gerakan dan gejalan

neuropsikiatri, seperti paranoid, psikosis, demensia, cemas dan agitasi

dapat juga merupakan gejala utama.

Apabila lesi timbul pada batang otak makan akan timbul

gangguan pada saraf cranial, disorientasi, penurunan kesadaran dan

bahkan sampai koma. Kadang didapatkan gejala parkinsonisme,

sistonia fokal, teromor, hemikorea, hemibalismus, diabetes insipidus,

SIADH.

Lesi pada medulla spinalis memberikan gejala klinis yang

menyerupai tumor pada medua spinalis, dapat berupa gangguan

12

Page 13: REFERAT TOKSO

Kepaniteraan Klinik Ilmu Saraf - RSUS

Virza Ch Latuconsina

07120090054

motorik atau sensoris pada satu atau beberapa anggota gerak,

disfungsi bladder atau bowel atau keduanya disertai timbulnya nyeri

local.

13

Page 14: REFERAT TOKSO

Kepaniteraan Klinik Ilmu Saraf - RSUS

Virza Ch Latuconsina

07120090054

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Diagnosis pasti adalah dengan ditemukannya Toxoplasma gondii

dalam darah, jaringan, atau cairan tubuh.

Pemeriksaan Serologi

Pemeriksaan antibody terhadap keberadaan protozoa ini adalah

pemeriksaan IgM. IgM untuk mendeteksi adnaya infeksi akut

pada minggu pertama, dan titer IgM toksoplasma ini akan

menurun setelah minggu pertama. Pemeriksaan IgM antibody

dengan menggunakan ELISA bersifat lebih sensitive dan dapat

menunjukkan adanya infeksi dalam 2-3 bulan. Untuk fase kronis

dapat dilakukan pemeriksaan IgG avidity yang akan masih

tampak sama beberapa bulan.

Pemeriksaan cairan serebrospinal

Pemeriksaan pungsi lumbal pada fase akut pada penderita

dengan adanya meningoensefalitis atau ekseflaitis toksoplasma

didapatkan gambaran adanya peningkatan tekanan intracranial,

14

Page 15: REFERAT TOKSO

Kepaniteraan Klinik Ilmu Saraf - RSUS

Virza Ch Latuconsina

07120090054

pleiositosis mononuclear (10-50sel/mL), sedikit adanya

peningkatan kadar protein, kadar glukosa biasanya normal dan

PCR Toxoplasma gondii yang positif. Akan tetapi pada fase kronis

pemeriksaan pungsi lumbal tindak memberikan diagnositik yang

berarti.

Pemeriskaan Radiologis

Pemeriksaan yang dianjurkan adalah CT-SCAN dengan kontras

atau MRI. Pemeriksaan dengan MRI memberikan hasil yang lebih

baik dan lebih sensitive dibandingkan dengan CT-SCAN. Pada

pemeriksaan CT-SCAN kepala tanpa kontras didapatkan

gambaran isodens atau hipodens area di beberapa tempat

dengan predileksi pada basal ganglia atai pada corticomedullary

junction disertai edema yang memberikan efek massa

(vasogenic oedema). MRI kepala tanpa atau dengan kontras

dapat memberikan gambaran yang lebih jelas daripada CT-SCAN.

Seringkali didapatkan gambaran lesi ini bervariasi dari 1 cm dan

dapat sampai lebih dari 3 cm. Gambaran MRI tampak adanya lesi

dengan gambaran cincin yang multiple, walaupun pada

beberapa kasus didapatkan lesi tunggal. Pada penambahan

kotras didapatkan gambaran cincin, padat atau bentukan nodul

yang jelas (menangkap kontras).

15

Page 16: REFERAT TOKSO

Kepaniteraan Klinik Ilmu Saraf - RSUS

Virza Ch Latuconsina

07120090054

a.

CT-SCAN dengan kontras (mass with minor peripheral ring)

b.

MRI (hypointense lesion pada thalamus)

16

Page 17: REFERAT TOKSO

Kepaniteraan Klinik Ilmu Saraf - RSUS

Virza Ch Latuconsina

07120090054

c.

MRI ( ring enhancing lesions pada basal ganglia kanan dengan

white matter edema)

Pemeriksaan Ultrasound

Antenatal ultrasound digunakan untuk mendeteksi

toksoplasmosis pada congenital. Pada ultrasound ditemukan

toxoplasmosis 36% pada fetus yaitu tampaknya ventrikulomegali

yang simetris, intracranial periventrikular dan densitas dari

hepatic/splenik. Sedangkan postnatal ultrasound dapat

digunakan untnuk memonitor ukuran dari ventrikel pada bayo

hingga 18 bulan.

17

Page 18: REFERAT TOKSO

Kepaniteraan Klinik Ilmu Saraf - RSUS

Virza Ch Latuconsina

07120090054

H. PENATALAKSANAAN

Terapi diberikan dalam jangka waktu minimal 6 bulan dan dibagi

menjadi dua bagian, yaitu terai fase akut yang diberikan selama

sekitar 4 – 6 minggu, yang kemudian dilanjutkan dengan fase

perawatan.

Terapi fase akut dapat diberikan pyrimethamine dengan dosis awal

200 mg/oral dilanjutkan dengan dosis 75-100 mg/hari ditambah

dengan sulfadiazine 1-1.5 g yang diberikan setiap 6 jam atau 100

mg/kg/hari (maksimum dosis 8 g/hari) dan ditambah pula dengan

asam folat 10-20 mg/hari yang berfungsi mencegah depresi bone

marrow. Pada penderita yang mempunyai alergi terhadap sulfa, maka

preparat sulfa ini dapat digantikan dengan clindamycin dengan dosis

600 – 1200 mg yang diberikan setiap 6 jam sekali, selain ini dapat pula

digantikan preparat lain sebagai alternative, yaitu trimethoprim

sulfamethoxazole 5 mg/kg/12 jam (dosis maksimum 15-20 mg/kg/hari),

azithromycin (900-1200 mg/hari), clarithromycin 1000 mg diberikan

per oral setiap 12 jam atau atovaquone 1.5 mg/oral setiap 12 jam,

minocyclin 15-200 mg diberikan setiap 12 jam atau doxycycline

diberikan 300 – 400 mg/hari. Kombinasi pemberian pyrimethamin

dengan sufadiazin dibandingkan kombinasi pyrimethamin dengan

cilindamycin memberikan hasil yang tidak berbeda.

18

Page 19: REFERAT TOKSO

Kepaniteraan Klinik Ilmu Saraf - RSUS

Virza Ch Latuconsina

07120090054

Terapi fase perawatan dapat diberikan pyrimethamine 25-50 mg/hari

ditambah dengan sulfadiazine 500-1000 mg/hari diberikan sebanyak

empat kali perhari dan juga diberikan asam folat bersama-sama.

Apabila penderita tidak tahan atau alergi terhadap sulfadiazine dapat

diganti dengan clindamycin 1200 mg diberikan 3 kali perhari. Pada

penderita yang mendapat terapi HAART terapi perawatan ini dapat

dihentikan apabila kadat CD4 lebih dari 200 µL selama 3 bulan pada

pencegahan primer dan selama 6 bulan pada pencegahan sekunder.

Pemberian terapi kortikosteroid sebagai terapi tambahan untuk

mengatasi edema, akan tetapi apabila toksoplasmosis ini terjadi

karena adanya infeksi oportunistik, maka harus dipertimbangkan

pemberian kortikosteroid ini. pada kasus ini sebaiknya hanya diberikan

untuk jangka pendek, agar tidak mengurangi imunitas penderita.

Terapi empiris Toxoplasmosis dapat diberikan pada penderita HIV

dengan CD4 kurang dari 100/mm3 dan didapatkan gambaran abses

otak dengan seropositif dari Toxoplasma.

19

Page 20: REFERAT TOKSO

Kepaniteraan Klinik Ilmu Saraf - RSUS

Virza Ch Latuconsina

07120090054

I. PENCEGAHAN

o Pencegahan dengan cara menghindari makanan yang tidak

dimasak atau memakan daging yang kurang masak, mencuci

sayuran dan buah-buahan yang akan dimakan.

o Bila memiliki kucing dirumah, maka tempat kotoran untuk kucing

harus dicuci dan dibersihkan setiap hari dan harus mencuci

tangan setelah membersihkannya,

20

Page 21: REFERAT TOKSO

Kepaniteraan Klinik Ilmu Saraf - RSUS

Virza Ch Latuconsina

07120090054

o Pencegahan primer diberikan kepada penderit HIV dengan

seropositid Toxoplasma gondii dan kadar CD4 <100/µL. untuk itu

dapat diberi pyrimethamine dengan sulfadiazine dan apabila

alergi sulfadiazine dapat digunakan dengan clindamycin. Pilihan

kedua dapat menggunakan trimethoprim sulfametoxazole atau

pyrimetamine dan dapsone.

o Pencegahan primer ini dihentikan apabila penderita telah

memberikan respon terapi terhadap antiretroviral dan kadar CD4

>200/ µL selama 3 bulan.

o Pencegahan sekunder dihentikan apabila penderita sudah tidak

menampakkan gejalan (asimptomatis) dan kadar CD4 >200/ µL

selama 6 bulan setelah pemberian antiretroviral.

J. KOMPLIKASI

Komplikasi yang dapat terjadi yaitu berupa kejang, deficit neurologis

fokal dan penurunan kesadaran. Pada penderita yang menderita

toksoplasmosis okuler dapat timbul kebutaan total atau sebagian. Pada

toksoplasmosis congenital dapat terjadi banyak komplikasi, antara lain

retardasi mental, kejang, tuli, dan kebutaan.

K. PROGNOSIS

21

Page 22: REFERAT TOKSO

Kepaniteraan Klinik Ilmu Saraf - RSUS

Virza Ch Latuconsina

07120090054

Pada umumnya ensefalitis toksoplasma dapat diterapi dengan baik,

sehingga prognosisnya baik. angka kematian berkisar 1-25% pada

penderita yang mendapatkan penanganannya dengan baik. pada

penderita dengan defisiensi imun, terdapat kemungkinan terjadinya

kekambuhan apabila pengobatan prfilaksis dihentikan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sudewi Raka AA, Paulus Sugianto. Infeksi Pada Sistem Saraf.

Jakarta: PERDOSSI; 2011. P. 91-101.

2. Greenberg David. A, Michael J.Aminoff. Clinical Neurology. 5th ed.

New York: Mc-Graw Hill; 2002.p.176-177.

3. Cabre P.Smadja D, Newton CRJC, et al. HTLV-1 and HIV infections of

central nervous system in tropic area. J Neurol Neurosurg Psychiatry

2000;68: 550-557.

4. Johnson RT, Griffin JW, McArthur JC. Current Therapy in Neurologic

Disease 7th edition. Philadelphia: Mosby Inc 2006: 144-154.

22

Page 23: REFERAT TOKSO

Kepaniteraan Klinik Ilmu Saraf - RSUS

Virza Ch Latuconsina

07120090054

5. Kasper LH. Toxoplasma Infections: In: Fauci AS, Braunwald D,

Kasper DL, Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th ed. New

York: McGraw-Hill Companies Inc. 2008. P.1305-131.

6. http://emedicine.medscape.com/article/344706-overview

23