referat tokso
DESCRIPTION
rereeTRANSCRIPT
Kepaniteraan Klinik Ilmu Saraf - RSUS
Virza Ch Latuconsina
07120090054
BAB I
PENDAHULUAN
Ensefalitis toksoplasma merupakan penyebab tersering lesi otak fokal
infeksi oportunistik tersering pada pasien AIDS. Di Amerika angka kejadian
mencapai 30-50%, sedangkan di Eropa mencapai 50-70%. Berdasarkan
penelitian dibagian neuroinfeksi RSUPNCM angka kejadian 31%. Diagnosis
presumtif ensefalitis toksoplasma dapat ditegakkan berdasarkan gejala
klinis, pemeriksaan penunjang serologis dan pencitraan, baik dengan CT-
SCAN atau MRI. Diagnsosi pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan
histopatologi dari biopsy dan ditemukan takizoit dan bradizoit. Lesi
toksoplasma ensefalitis (TE) sulit dibedakan dengan lesi lainnya, meskipun
demikian gambaran yang dianggap khas yaitu lesi otak fokal tunggal atau
multiple yang menyangat bagian tepi menyerupai cincin, dengan lokasi
tersering pada basal ganglia 75%, thalamus, periventrikular dan
corticomedullary junction (subkortikal) disertai edema perifokal dan
berdiameter 1 sampai < 3 cm.
Sejak 2 dekade terakhir
setelah ditemukannya AIDS, jumlah penderita AIDS secara dramatis
meningkat tajam. Sampai dengan tahun 1997, sekitar 30 juta
orang terinfeksi HIV, dimana kasus baru untuk tahun 1997 sebesar 6
1
Kepaniteraan Klinik Ilmu Saraf - RSUS
Virza Ch Latuconsina
07120090054
juta. Sembilan puluh persen individuyang terinfeksi ini tinggal di
negara berkembang, termasuk Indonesia.
Di Indonesia sendiri, menurut Menkes RI, jumlah penderita
terinfeksi HIV tahun2002 diestimasikan sebanyak 90.000-130.000
orang. Sebagian besar tersangka HIV inimerupakan pengguna obat
narkotika suntik ( Intravenous drug users).
Lebih dari 50 % penderita yang terinfeksi HIV akan berkembang
menjadi kelainan neurologis. Kelainan neurologis yang sering terjadi pada
penderita yang terinfeksi HIV adalah ensefalitis toxoplasma, limfoma SSP,
meningitis criptococcal, CMV ensefalitis dan progressive multifocal
leukoencephalopathy.
Infeksi oportunistik SSP yang paling sering pada penderita HIV adalah
ensefalitis toxoplasma. Dari penelitian Terazawa dkk, didapatkan
seroprevalens IgG antibody Toxoplasma yang tinggi (70%) pada penduduk
kota Jakarta.
2
Kepaniteraan Klinik Ilmu Saraf - RSUS
Virza Ch Latuconsina
07120090054
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI
Ensefalitis toksoplasma merupakan suatu infeksi yang
disebabkan oleh Toxoplasma gondii dan mengenai jaringan otak.
Toxoplasma gondii merupakan parasit intrasellular yang obligat.
Ensefalitis toksoplasma muncul pada kurang lebih 10% pasien AIDS
yang tidak diobati. Infeksi yang ditimbulkan memberikan gambaran
klinis yang sangat bervariasi baik pada manusia maupun pada hewan.
Toxoplasma ini mempunyai hospes definitive pada kucing. Penularan
ke manusia dapat melalui kontak langsung dengan tinja kucing atau
3
Kepaniteraan Klinik Ilmu Saraf - RSUS
Virza Ch Latuconsina
07120090054
kista yang tertelan bersama makanan yang tidak dimasak dengan
baik. Seringkali infeksi toxoplasma disebabkan oleh reaktivasi dari
penyakit yang telah ada sebelumnya. Pada umumnya menyerang
penderita dengan gangguan system imun yang menurun.
B. EPIDEMIOLOGI
Insiden Penyakit ini bervariasi dari satu tempat dengan tempat
yang lain, hal ini bergantung pada keberadaan parasit Toxoplasma
gondii sebagai penyebabnya dan juga bergantung pada kebersihan
daerah tersebut. Di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa angka
prevalensi meningkat sesuai dengan usia dan kontak yang ada yaitu
pada umur sekita 10-19 tahun berkisar 5-30% dan pada usia diatas 50
tahun berkisar 10-67% dan diperkirakan akan meningkat sekitar 1%
setiap tahunnya. Sedangkan Indonesia, berdasarkan penelitian
dibagian neuroinfeksi RSUPNCM angka kejadian 31%.
C. ETIOLOGI
Disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii, yang dibawa oleh
kucing, burung dan hewan lainyang dapat ditemukan pada tanah yang
tercemar oleh tinja kucing dan kadang pada daging mentah
ataukurang matang. Begitu parasit masuk ke dalam sistem kekebalan,
4
Kepaniteraan Klinik Ilmu Saraf - RSUS
Virza Ch Latuconsina
07120090054
ia menetap di sana; tetapi sistem kekebalan pada orang yang sehat
dapat melawan parasit tersebut hingga tuntas, mencegah penyakit.
Transmisi pada manusia terutama terjadi bila memakan daging babi
atau domba yang mentahyang mengandung oocyst (bentuk infektif
dari T.gondii). Bisa juga dari sayur yang terkontaminasi ataukontak
langsung dengan feses kucing. Selain itu dpat terjadi transmisi lewat
transplasental, transfusidarah, dan transplantasi organ. Infeksi akut
pada individu yang immunokompeten biasanya asimptomatik. Pada
manusia dengan imunitas tubuh yang rendah dapat terjadi reaktivasi
dari infeksilaten. Yang akan mengakibatkan timbulnya infeksi
opportunistik dengan predileksi di otak.
D. SIKLUS HIDUP
Terdapat 2 macam siklus hidup dari Toxoplasma gondii ini, yaitu
siklus seksual yang terjadi pada hospes definitive (kucing) dan siklus
aseksual yang terjadi pada hospes sekunder (mamalia lain termasuk
manusia dan beberapa jenis burung) dan terjadi ekstraintestinal.
Siklus seksual terjadi di dalam traktus gastrointestinal kucing,
yaitu dengan termakannya oocst oleh kucing yang kemudian
akan berkembang dan mengeluarkan sprozoit didalam usus
halus. Sporozoit akan berkembang menjadi tachyzoite yang
5
Kepaniteraan Klinik Ilmu Saraf - RSUS
Virza Ch Latuconsina
07120090054
selanjutnya akan berkembang lebih lanjut dan intinya akan
membelah (skizon) sehingga terbentuk merozoit, sebagian dari
tachyzoite ini akan menyebar masuk ke jaringan dan menjadi
bradyzoite yang merupakan bentuk yang berada di jaringan. Bila
skizon matang dan pecah, makan merozoit akan memasuki sel
lain dan tumbuh menjadi tropozoit dan mulai lagi proses
(skizogoni) hinggan beberapa kali. Beberapa merozoit di usus
halus akan berkembang menjadi makrogametosit dan
mikrogametosit kemudian terbentuk zigot yang akan
membentuk oocyst akan diekskresi lewat feses. Ookis sangat
kuat dan dapat bertahan serta masih infeksius sampai sekitar 1
tahun.
6
Kepaniteraan Klinik Ilmu Saraf - RSUS
Virza Ch Latuconsina
07120090054
Pada kondisi yang menguntungkan, misalnya panas dan lembab,
maka terjadilah sporogonii di dalam ookis. Ookis yang
mengalami sporulasi bersifat menular dan bila termakan oleh
rodensia (hewan pengerat), kucing, atau binatang kecil lainnya
akan mengeluarkan sporozoit didalam usus halus, sporozoit ini
akan penetrasi di dinding usus melakukan replikasi dan
menyebar secara hematogen pada hamper semua jaringan.
Seiring dengan berjalannya waktu kista jaringan akan membelah
sangat perlahan. Kista di jaringan ini sangat tidak reaktif (inert)
dan bisa bertahan bertahun-tahun tanpa menimbulkan inflamasi.
7
Kepaniteraan Klinik Ilmu Saraf - RSUS
Virza Ch Latuconsina
07120090054
Reaktivasi kista terjadi bila imunitas penderita menurun, seperti
pada penderita kanker, transplantasi organ, penggunaan
kortikosteroid jangka panjang dan penderita HIV/AIDS.
E. PATOGENESIS
Toxoplasma gondii merupaka protozoa intraselular. Toxoplasma
gondii masuk ke dalam tubuh manusia melalui makanan yang
terkontaminasi tinja kucing yang terinfeksi atau melalui ookis yang
mengkontaminasi makanan karena terbawa oleh kecoak atau lalat
atau dapat pula disebabkan karena memakan daging (sapi, akmbing
atua babi) yang kurang masak.
Setelah memasuki usus, maka dinding kista akan dirusak oleh
enzim pencernaan dan akan dilepaskan sprozoit yang bentuknya
lonjong dan kecil. Sporozoit ini akan membentuk tachyzoit dan
bradyzoit (terdapat dalam jaringan dan berkembang lambat).
Tachyzoit akan menginduksi pembentukan IgA yang spesifik terhadap
adanya parasit. Dari dalam usus, parasit ini akan menyebar ke
berbagai organ, terutama ke jaringan limfe, otot skeletal, miokard,
retina, plasenta dan system saraf pusat.
8
Kepaniteraan Klinik Ilmu Saraf - RSUS
Virza Ch Latuconsina
07120090054
Parasit ini akan menginfeksi sel dan bereplikasi yang akan
mengakibatkan kematia sel, serta terjadinya nekrosis fokal yang
dikelilingi dengan inflamasi disekitarnya.
Pada penderita yang imunokompeten baik system imun selular
maupun humoral akan mengontrol infeksi yang terjadi. Infeksi
Toxoplasma gondii ini akan merangsang dengan kuat pada Th-1 untuk
memproduksi sitokin prinflamasi yaitu IL-2, interferon gamma, TNF α.
Sitokin proinflamasi ini dan mekanisme imunologi yang lain akan
menghambat replikasi tachyzoite dan perubahan patologi yang lain.
Setelah masuk kedalam enterosit Toxoplasma gondii akan menginfeksi
APC (Antigen Presenting Cell) lamina propria usus dan menginduksi
terjadinya respon local Th-1.
Limfosit T CD4 dan CD8 yang tersensitisasi bersifat sitotoksik
terhadap sel yang telah terinfeksi oleh Toxoplasma gondii dan akan
menghancurkan parasit yang berada di ekstraselular, serta sel yang
terinfeksi. Setelah fase akut lewat, maka akan terdapat bradyzoit
didalam jaringan, terutama di system sarag pusat dan retina. Belum
diketahui mekanisme bagiamana Toxoplasma gondii dapat bertahan
hidup dalam makrofag jaringan.
Penderita dengan penurunan kekebalan penyakit ini
membahayakan, terutama penderita dengan kelainan pada sel T
9
Kepaniteraan Klinik Ilmu Saraf - RSUS
Virza Ch Latuconsina
07120090054
limfosit, misalnya pada janin, keganansan darah, sumsum tulang,
penderita transplantasi organ, bayi baru lahir, dan penderita dengan
penurunan kekebalan misalnya HIV/AIDS. Pada umumnya lesi terjadi di
mata, otak, dan organ-organ yang lain.
Mekanisme bagaimana HIV menginduksi infeksi oportunistik
seperti toxoplasmosis sangat kompleks. Ini meliputi deplesi dari sel T
CD4; kegagalan produksi IL-2, IL-12, dan IFN-gamma; kegagalan
aktivitas Limfosit T sitokin. Sel-sel dari pasien yang terinfeksi HIV
menunjukkan penurunan produksi IL-12 dan IFN-gamma secara in
vitro dan penurunan ekspresi dari CD 154 sebagai respon terhadap T
gondii. Hal ini memainkan peranan yang penting dari perkembangan
toxoplasmosis dihubungkan dengan infeksi HIV.
Kerusakan pada system saraf pusat yang disebabkan oleh
Toxoplasma gondii memberikan gambaran khas, yaitu lesi yang
banyak (multiple) dengan nekrosis luas dan nodul microglia. Apabila
terjadi penyumbatan pada aquaductus sylvii atau foramen Monroe
dapat mengakibatkan terjadinya hidrosefalus. Gambaran abses yang
mulitpel merupakan gambaran khas ensefalitis toksoplasma pada
penderita dengna defisiensi imun yang berat.
F. GAMBARAN KLINIS
10
Kepaniteraan Klinik Ilmu Saraf - RSUS
Virza Ch Latuconsina
07120090054
Gejala klinis infeksi Toxoplasma bergantung pada system imun
penderita. 80% kasus primer tanpa gejala (asimptomatis). Masa
inkubasi periode ini berlangsung sekitar 1-2 minggu, yang selanjutnya
baik yang timbul gejalan ataupun tanpa gejala akan berlanjut menjadi
fase kronis.
Biasanya gejala klinis fase akut akan timbul tidak khas, gejala
klinis yang paling sering adalah limfadenopati servikal, kadang
didapatkan sedikit peningkatan suhu tubuh, nyeri otot, nyeri telan,
sakit kepala, urtika, kemerahan pada kulit dan hepatosplenomegali
sehingga perlu pemeriksaan yang lebih cermat.
Pada penderita yang simptomatis ini gejala biasanya akan
menghilang dalam waktu beberapa bulan. Reaktivasi infeksi ini dapat
terjadi apabila terdapat penurunan kekebalan penderita. Rekativasi ini
akan timbul berbagai gejala dan diperkirakan skitar 50% dari penderita
ini menderita ensefalitis toksoplasma dengan gejala klinis berupa
ensefalitis, meningoensefalitis atau suatu lesi massa pada otak.
Gejala klinis ensefalitis toksoplasma dapat berupa gangguan
status mental, panas badan yang terus-terusan atau hilang timbul,
sakit kepala, deficit neurologis fokal, gelisah sampai terjadi penurunan
kesadaran, kadang didapatkan kejang, gangguan penglihatan, selain
itu dapat pula didapatkan tanda iritasi selaput otak.
11
Kepaniteraan Klinik Ilmu Saraf - RSUS
Virza Ch Latuconsina
07120090054
Terjadinya deficit neurologis fokal adalah akibat adanya lesi
massa intracranial, seperti hemiparese, afasia, parese nervus kranialis,
kejang fokal, deficit snesoris, kadang juga didapatkan adanya gerakan
involunter, seperti distonia, chorea, athethosis dan hemibalismus.
Sedangkan manifestasi klinis toksoplasmosis pada penderita
HIV/AIDs biasanya bersifat subakut dapat mengenai system saraf
pusat dengan gejala lesi fokal (58-89%) atau bukan lesi fokal. Pada
sekitar 15-25% kasus dapat terjadi kejang atau perdarahan otak yang
mendadak. Gejala yang sering tampak berupa nyeri kepala, deficit
neurologis fokal berupa kelemahan satu sisi tubuh (lateralisasi) dan
gangguan bicara dapat disertai panas ataupun tidak. sedangkan gejala
lain yang juga sering didapatkan adalah berupa gangguan mental,
kejang gangguan saraf kranialis, gangguan gerakan dan gejalan
neuropsikiatri, seperti paranoid, psikosis, demensia, cemas dan agitasi
dapat juga merupakan gejala utama.
Apabila lesi timbul pada batang otak makan akan timbul
gangguan pada saraf cranial, disorientasi, penurunan kesadaran dan
bahkan sampai koma. Kadang didapatkan gejala parkinsonisme,
sistonia fokal, teromor, hemikorea, hemibalismus, diabetes insipidus,
SIADH.
Lesi pada medulla spinalis memberikan gejala klinis yang
menyerupai tumor pada medua spinalis, dapat berupa gangguan
12
Kepaniteraan Klinik Ilmu Saraf - RSUS
Virza Ch Latuconsina
07120090054
motorik atau sensoris pada satu atau beberapa anggota gerak,
disfungsi bladder atau bowel atau keduanya disertai timbulnya nyeri
local.
13
Kepaniteraan Klinik Ilmu Saraf - RSUS
Virza Ch Latuconsina
07120090054
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Diagnosis pasti adalah dengan ditemukannya Toxoplasma gondii
dalam darah, jaringan, atau cairan tubuh.
Pemeriksaan Serologi
Pemeriksaan antibody terhadap keberadaan protozoa ini adalah
pemeriksaan IgM. IgM untuk mendeteksi adnaya infeksi akut
pada minggu pertama, dan titer IgM toksoplasma ini akan
menurun setelah minggu pertama. Pemeriksaan IgM antibody
dengan menggunakan ELISA bersifat lebih sensitive dan dapat
menunjukkan adanya infeksi dalam 2-3 bulan. Untuk fase kronis
dapat dilakukan pemeriksaan IgG avidity yang akan masih
tampak sama beberapa bulan.
Pemeriksaan cairan serebrospinal
Pemeriksaan pungsi lumbal pada fase akut pada penderita
dengan adanya meningoensefalitis atau ekseflaitis toksoplasma
didapatkan gambaran adanya peningkatan tekanan intracranial,
14
Kepaniteraan Klinik Ilmu Saraf - RSUS
Virza Ch Latuconsina
07120090054
pleiositosis mononuclear (10-50sel/mL), sedikit adanya
peningkatan kadar protein, kadar glukosa biasanya normal dan
PCR Toxoplasma gondii yang positif. Akan tetapi pada fase kronis
pemeriksaan pungsi lumbal tindak memberikan diagnositik yang
berarti.
Pemeriskaan Radiologis
Pemeriksaan yang dianjurkan adalah CT-SCAN dengan kontras
atau MRI. Pemeriksaan dengan MRI memberikan hasil yang lebih
baik dan lebih sensitive dibandingkan dengan CT-SCAN. Pada
pemeriksaan CT-SCAN kepala tanpa kontras didapatkan
gambaran isodens atau hipodens area di beberapa tempat
dengan predileksi pada basal ganglia atai pada corticomedullary
junction disertai edema yang memberikan efek massa
(vasogenic oedema). MRI kepala tanpa atau dengan kontras
dapat memberikan gambaran yang lebih jelas daripada CT-SCAN.
Seringkali didapatkan gambaran lesi ini bervariasi dari 1 cm dan
dapat sampai lebih dari 3 cm. Gambaran MRI tampak adanya lesi
dengan gambaran cincin yang multiple, walaupun pada
beberapa kasus didapatkan lesi tunggal. Pada penambahan
kotras didapatkan gambaran cincin, padat atau bentukan nodul
yang jelas (menangkap kontras).
15
Kepaniteraan Klinik Ilmu Saraf - RSUS
Virza Ch Latuconsina
07120090054
a.
CT-SCAN dengan kontras (mass with minor peripheral ring)
b.
MRI (hypointense lesion pada thalamus)
16
Kepaniteraan Klinik Ilmu Saraf - RSUS
Virza Ch Latuconsina
07120090054
c.
MRI ( ring enhancing lesions pada basal ganglia kanan dengan
white matter edema)
Pemeriksaan Ultrasound
Antenatal ultrasound digunakan untuk mendeteksi
toksoplasmosis pada congenital. Pada ultrasound ditemukan
toxoplasmosis 36% pada fetus yaitu tampaknya ventrikulomegali
yang simetris, intracranial periventrikular dan densitas dari
hepatic/splenik. Sedangkan postnatal ultrasound dapat
digunakan untnuk memonitor ukuran dari ventrikel pada bayo
hingga 18 bulan.
17
Kepaniteraan Klinik Ilmu Saraf - RSUS
Virza Ch Latuconsina
07120090054
H. PENATALAKSANAAN
Terapi diberikan dalam jangka waktu minimal 6 bulan dan dibagi
menjadi dua bagian, yaitu terai fase akut yang diberikan selama
sekitar 4 – 6 minggu, yang kemudian dilanjutkan dengan fase
perawatan.
Terapi fase akut dapat diberikan pyrimethamine dengan dosis awal
200 mg/oral dilanjutkan dengan dosis 75-100 mg/hari ditambah
dengan sulfadiazine 1-1.5 g yang diberikan setiap 6 jam atau 100
mg/kg/hari (maksimum dosis 8 g/hari) dan ditambah pula dengan
asam folat 10-20 mg/hari yang berfungsi mencegah depresi bone
marrow. Pada penderita yang mempunyai alergi terhadap sulfa, maka
preparat sulfa ini dapat digantikan dengan clindamycin dengan dosis
600 – 1200 mg yang diberikan setiap 6 jam sekali, selain ini dapat pula
digantikan preparat lain sebagai alternative, yaitu trimethoprim
sulfamethoxazole 5 mg/kg/12 jam (dosis maksimum 15-20 mg/kg/hari),
azithromycin (900-1200 mg/hari), clarithromycin 1000 mg diberikan
per oral setiap 12 jam atau atovaquone 1.5 mg/oral setiap 12 jam,
minocyclin 15-200 mg diberikan setiap 12 jam atau doxycycline
diberikan 300 – 400 mg/hari. Kombinasi pemberian pyrimethamin
dengan sufadiazin dibandingkan kombinasi pyrimethamin dengan
cilindamycin memberikan hasil yang tidak berbeda.
18
Kepaniteraan Klinik Ilmu Saraf - RSUS
Virza Ch Latuconsina
07120090054
Terapi fase perawatan dapat diberikan pyrimethamine 25-50 mg/hari
ditambah dengan sulfadiazine 500-1000 mg/hari diberikan sebanyak
empat kali perhari dan juga diberikan asam folat bersama-sama.
Apabila penderita tidak tahan atau alergi terhadap sulfadiazine dapat
diganti dengan clindamycin 1200 mg diberikan 3 kali perhari. Pada
penderita yang mendapat terapi HAART terapi perawatan ini dapat
dihentikan apabila kadat CD4 lebih dari 200 µL selama 3 bulan pada
pencegahan primer dan selama 6 bulan pada pencegahan sekunder.
Pemberian terapi kortikosteroid sebagai terapi tambahan untuk
mengatasi edema, akan tetapi apabila toksoplasmosis ini terjadi
karena adanya infeksi oportunistik, maka harus dipertimbangkan
pemberian kortikosteroid ini. pada kasus ini sebaiknya hanya diberikan
untuk jangka pendek, agar tidak mengurangi imunitas penderita.
Terapi empiris Toxoplasmosis dapat diberikan pada penderita HIV
dengan CD4 kurang dari 100/mm3 dan didapatkan gambaran abses
otak dengan seropositif dari Toxoplasma.
19
Kepaniteraan Klinik Ilmu Saraf - RSUS
Virza Ch Latuconsina
07120090054
I. PENCEGAHAN
o Pencegahan dengan cara menghindari makanan yang tidak
dimasak atau memakan daging yang kurang masak, mencuci
sayuran dan buah-buahan yang akan dimakan.
o Bila memiliki kucing dirumah, maka tempat kotoran untuk kucing
harus dicuci dan dibersihkan setiap hari dan harus mencuci
tangan setelah membersihkannya,
20
Kepaniteraan Klinik Ilmu Saraf - RSUS
Virza Ch Latuconsina
07120090054
o Pencegahan primer diberikan kepada penderit HIV dengan
seropositid Toxoplasma gondii dan kadar CD4 <100/µL. untuk itu
dapat diberi pyrimethamine dengan sulfadiazine dan apabila
alergi sulfadiazine dapat digunakan dengan clindamycin. Pilihan
kedua dapat menggunakan trimethoprim sulfametoxazole atau
pyrimetamine dan dapsone.
o Pencegahan primer ini dihentikan apabila penderita telah
memberikan respon terapi terhadap antiretroviral dan kadar CD4
>200/ µL selama 3 bulan.
o Pencegahan sekunder dihentikan apabila penderita sudah tidak
menampakkan gejalan (asimptomatis) dan kadar CD4 >200/ µL
selama 6 bulan setelah pemberian antiretroviral.
J. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi yaitu berupa kejang, deficit neurologis
fokal dan penurunan kesadaran. Pada penderita yang menderita
toksoplasmosis okuler dapat timbul kebutaan total atau sebagian. Pada
toksoplasmosis congenital dapat terjadi banyak komplikasi, antara lain
retardasi mental, kejang, tuli, dan kebutaan.
K. PROGNOSIS
21
Kepaniteraan Klinik Ilmu Saraf - RSUS
Virza Ch Latuconsina
07120090054
Pada umumnya ensefalitis toksoplasma dapat diterapi dengan baik,
sehingga prognosisnya baik. angka kematian berkisar 1-25% pada
penderita yang mendapatkan penanganannya dengan baik. pada
penderita dengan defisiensi imun, terdapat kemungkinan terjadinya
kekambuhan apabila pengobatan prfilaksis dihentikan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sudewi Raka AA, Paulus Sugianto. Infeksi Pada Sistem Saraf.
Jakarta: PERDOSSI; 2011. P. 91-101.
2. Greenberg David. A, Michael J.Aminoff. Clinical Neurology. 5th ed.
New York: Mc-Graw Hill; 2002.p.176-177.
3. Cabre P.Smadja D, Newton CRJC, et al. HTLV-1 and HIV infections of
central nervous system in tropic area. J Neurol Neurosurg Psychiatry
2000;68: 550-557.
4. Johnson RT, Griffin JW, McArthur JC. Current Therapy in Neurologic
Disease 7th edition. Philadelphia: Mosby Inc 2006: 144-154.
22
Kepaniteraan Klinik Ilmu Saraf - RSUS
Virza Ch Latuconsina
07120090054
5. Kasper LH. Toxoplasma Infections: In: Fauci AS, Braunwald D,
Kasper DL, Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th ed. New
York: McGraw-Hill Companies Inc. 2008. P.1305-131.
6. http://emedicine.medscape.com/article/344706-overview
23