referat tht

25
BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KL REFERAT FAKULTAS KEDOKTERAN FEBRUARI 2015 UNIVERSITAS HASANUDDIN TONSILITIS DIFTERI OLEH : Fahri Dwi Permana (110208037) Andi Riskayani Rusman (C11109345) PEMBIMBING: dr. Ayu Amaliyah DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK PADA BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KL i

Upload: fahri-dwi-permana

Post on 01-Oct-2015

11 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Referat THT

TRANSCRIPT

BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KL REFERATFAKULTAS KEDOKTERAN FEBRUARI 2015UNIVERSITAS HASANUDDIN

TONSILITIS DIFTERI

OLEH :Fahri Dwi Permana(110208037)Andi Riskayani Rusman (C11109345)

PEMBIMBING:dr. Ayu Amaliyah

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIKPADA BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KLFAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS HASANUDDINMAKASSAR2015HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa :Nama: Fahri Dwi Permana NIM : 110 208 037Nama: Andi Riskayani RusmanNIM: C11109345Judul Refarat : Tonsilitis DifteriTelah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas HasanuddinMakassar, Februari 2015Pembimbing

(dr. Ayu Amaliyah)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL iHALAMAN PENGESAHAN iiDAFTAR ISI iiiPendahuluan 1A. Anatomi 1B. Fisiologi dan Patofisiologi 4C. Epidemiologi 6D. Definisi 7E. Klasifikasi Tonsil 7F. Manifestasi Klinis 8G. Diagnosis 9H. Diferensial Diagnosis 9I. Terapi 10J. Komplikasi 12K. Prognosis 12

DAFTAR PUSTAKA 13

12

PENDAHULUAN

Tonsilitis merupakan inflamasi dari pharingeal tonsils. Inflamasi biasanya sepanjang adenoid dan lingual tonsil. Untuk itu, faringitis juga bisa disertai pada tonsilitis. Pada kebanyakan kasus tonsilitis bakteri diakibatkan oleh grup A beta-hemolytic streptococcus pyogenes. (1)Frekuensi penyakit tonsilitis difteri sudah menurun berkat keberhasilan imunisasi pada bayi dan anak. Penyebab tonsilitis difteri ialah kuman Coryne bacterium diphteriae, kuman yang termasuk gram positif dan hidung saluran napas bagian atas yaitu hidung, faring dan laring. Tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman ini akan menjadi sakit. Keadaan ini tergantung pada titer anti toksin dalam darah seseorang. Titer anti toksin sebesar 0.03 satuan per cc darah dapat dianggap cukup memberikan dasar imunitas. Hal inilah yang dipakai pada tes Schick. (2)Tonsilitis difteri ditemukan pada anak berusia kurang dari 10 tahun dan frekuensi tertinggi pada usia 2-5 tahun walaupun pada orang dewasa masih mungkin menderita penyakit ini. (2)

A. Anatomi Tonsil bersama adenoid, tonsil lingual, pita lateral faring, tonsil tubaria dan sebaran jaringan folikel limfoid membentuk cincin jaringan limfoid yang dikenal dengan cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer ini merupakan pertahanan terhadap infeksi. Tonsil dan adenoid merupakan bagian terpenting dari cincin Waldeyer. Adenoid akan mengalami regresi pada usia puberitas. (3)Tonsil adalah massa jaringan limfoid yang terletak di fosa tonsil pada kedua sudut orofaring. Tonsil dibatasi dari anterior oleh pilar anterior yang dibentuk otot palatoglossus, posterior oleh pilar posterior dibentuk otot palatofaringeus, bagian medial oleh ruang orofaring, bagian lateral dibatasi oleh otot konstriktor faring superior, bagian superior oleh palatum mole, bagian inferior oleh tonsil lingual. Permukaan lateral tonsil ditutupi oleh jaringan alveolar yang tipis dari fasia faringeal dan permukaan bebas tonsil ditutupi oleh epitel yang meluas ke dalam tonsil membentuk kantong yang dikenal dengan kripta. (3) Kripta pada tonsil ini berkisar antara 10-30 buah. Epitel Kripta tonsil merupakan lapisan membran tipis yang bersifat semipermiabel, sehingga epitel ini berfungsi sebagai akses antigen baik dari pernafasan maupun pencernaan untuk masuk ke dalam tonsil. Pembengkakan tonsil akan mengakibatkan kripta ikut tertarik sehingga semakin panjang. Inflamasi dan epitel kripta yang semakin longgar akibat peradangan kronis dan obstruksi kripta mengakibatkan debris dan antigen tertahan di dalam kripta tonsil. (3)Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang : (3)a. A. karotis eksterna, melalui cabang-cabangnya A. maksilaris eksterna (A. fasialis) dengan cabangnya A. tonsilaris dan A. palatina asenden.b. A. maksilaris interna dengan cabangnya A. palatina desenden. c. A. lingualis dengan cabangnya A. lingualis dorsal. d. A. faringeal asenden.Sumber perdarahan daerah kutub bawah tonsil: a. Anterior: A. lingualis dorsal.b. Posterior: A. palatina asenden.c. Diantara keduanya : A. tonsilaris.Sumber perdarahan daerah kutub atas tonsil :a. A. faringeal asenden b. A. Palatina desenden

Gambar 1. Perdarahan tonsil(3)Arteri tonsilaris berjalan ke atas pada bagian luar otot konstriktor superior dan memberikan cabang untuk tonsil dan palatum mole. Arteri palatina asenden, mengirimkan cabang-cabangnya melalui otot konstriktor faring posterior menuju tonsil. Arteri faringeal asenden juga memberikan cabangnya ke tonsil melalui bagian luar otot konstriktor faring superior. Arteri lingualis dorsal naik ke pangkal lidah dan mengirim cabangnya ke tonsil, plika anterior dan plika posterior. Arteri palatina desenden atau a. palatina posterior memberi perdarahan tonsil dan palatum mole dari atas dan membentuk anastomosis dengan a. palatina asenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring. (3)Aliran getah bening dari daerah tonsil mengalir menuju rangkaian getah bening servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah otot sternokleidomastoideus. Aliran ini selanjutnya ke kelenjar toraks dan berakhir menuju duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh getah bening eferan dan tidak memiliki pembuluh getah bening aferen. Persarafan tonsil bagian atas mendapat sensasi dari serabut saraf ke V melalui ganglion sfenopalatina dan bagian bawah dari saraf glosofaringeus. (3)B. Fisiologi dan Patofisiologi Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu: (3)a. Menangkap dan mengumpulkan benda asing dengan efektifb. Tempat produksi antibodi yang dihasilkan oleh sel plasma yang bersal dari diferensiasi limfosit B. Limfosit terbanyak ditemukan dalam tonsil adalah limfosit B. Bersama-sama dengan adenoid limfosit B berkisar 50-65% dari seluruh limfosit pada kedua organ tersebut. Limfosit T berkisar 40% dari seluruh limfosit tonsil dan adenoid. Tonsil berfungsi mematangkan sel limfosit B dan kemudian menyebarkan sel limfosit terstimulus menuju mukosa dan kelenjar sekretori di seluruh tubuh. (3)Antigen dari luar, kontak dengan permukaan tonsil akan diikat dan dibawa sel mukosa ( sel M ), antigen presenting cells (APCs), sel makrofag dan sel dendrit yang terdapat pada tonsil ke sel Th di sentrum germinativum. Kemudian sel Th ini akan melepaskan mediator yang akan merangsang sel B. Sel B membentuk imunoglobulin (Ig)M pentamer diikuti oleh pembentukan IgG dan IgA. Sebagian sel B menjadi sel memori. Imunoglobulin (Ig)G dan IgA secara fasif akan berdifusi ke lumen. Bila rangsangan antigen rendah akan dihancurkan oleh makrofag. Bila konsentrasi antigen tinggi akan menimbulkan respon proliferasi sel B pada sentrum germinativum sehingga tersensititasi terhadap antigen, mengakibatkan terjadinya hiperplasia struktur seluler. Regulasi respon imun merupakan fungsi limfosit T yang akan mengontrol proliferasi sel dan pembentukan imunoglobulin. (3)Aktivitas tonsil paling maksimal antara umur 4 sampai 10 tahun. Tonsil mulai mengalami involusi pada saat puberitas, sehingga produksi sel B menurun dan rasio sel T terhadap sel B relatif meningkat. Pada Tonsilitis yang berulang dan inflamasi epitel kripta retikuler terjadi perubahan epitel squamous stratified yang mengakibatkan rusaknya aktifitas sel imun dan menurunkan fungsi transport antigen. Perubahan ini menurunkan aktifitas lokal sistem sel B, serta menurunkan produksi antibodi. Kepadatan sel B pada sentrum germinativum juga berkurang. (3)Kuman masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berbiak pada permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling serta selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan darah. Toksin ini merupakan suatu protein dengan berat molekul 62.000 dalton, tidak tahan panas/cahaya, mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A (aminoterminal) dan fragmen B (carboxyterminal) yang disatukan dengan ikatan disulfida. Fragmen B diperlukan untuk melekatkan molekul toksin yang teraktifasi pada reseptor sel pejamu yang sensitif. Perlekatan ini mutlak agar fragmen A dapat melakukan penetrasi ke dalam sel. Kedua fragmen ini penting dalam menimbulkan efek toksik pada sel. (1, 2)Reseptor-reseptor toksin diphtheria pada membran sel terkumpul dalam suatu coated pit dan toksin mengadakan penetrasi dengan cara endositosis. Proses ini memungkinkan toksin mencapai bagian dalam sel. Selanjutnya endosom yang mengalami asidifikasi secara alamiah ini dan mengandung toksin memudahkan toksin untuk melalui membran endosom ke cytosol. Efek toksik pada jaringan tubuh manusia adalah hambatan pembentukan protein dalam sel. (1, 2) Toksin diphtheria mula mula menempel pada membran sel dengan bantuan fragmen B dan selanjutnya fragmen A akan masuk dan mengakibatkan inaktivasi enzim translokase melalui. Hal ini menyebabkan proses translokasi tidak berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan, dengan akibat sel akan mati. Nekrosis tampak jelas di daerah kolonisasi kuman. Sebagai respons terjadi inflamasi lokal yang bersama-sama dengan jaringan nekrotik membentuk bercak eksudat yang mula-mula mudah dilepas. Produksi toksin semakin banyak, daerah infeksi semakin lebar dan terbentuklah eksudat fibrin. Terbentuklah suatu membran yang melekat erat berwarna kelabu kehitaman, tergantung dari jumlah darah yang terkandung. selain fibrin, membran juga terdiri dari sel- sel radang, eritrosit dan sel-sel epitel. Bila dipaksa melepas membran akan terjadi perdarahan. Selanjutnya membran akan terlepas sendiri dalam periode penyembuhan. (1, 2)

Kadang-kadang terjadi infeksi sekunder dengan bakteri (misalnya streptococcus pyogenes). Membran dan jaringan edematous dapat menyumbat jalan nafas. gangguan pernafasan/suffokasi bisa terjadi dengan perluasan penyakit ke dalam laring atau cabang- cabang tracheobronchial. Toksin yang diedarkan dalam tubuh bisa mengakibatkan kerusakan pada setiap organ, terutama jantung, saraf dan ginjal. (1, 2)Antitoksin diphtheria hanya berpengaruh pada toksin yang bebas atau yang terabsorbsi pada sel, tetapi tidak bila telah terjadi penetrasi ke dalam sel. Setelah toksin terfiksasi dalam sel, terdapat periode laten yang bervariasi sebelum timbulnya manifestasi klinik. Miokardiopati toksik biasanya terjadi dalam 10-14 hari, manifestasi saraf pada umumnya terjadi setelah 3-7 minggu. Kelainan patologi yang menonjol adalah nekrosis toksis dan degenerasi hialin pada bermacam-macam organ dan jaringan. Pada jantung tampak edema, kongesti, infiltrasi sel mononuklear pada serat otot dan sistem konduksi. Bila penderita tetap hidup terjadi regenerasi otot dan fibrosis interstisial. Pada saraf tampak neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada selaput mielin. Nekrosis hati bisa disertai gejala hipoglikemia, kadang-kadang tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubuler akut pada ginjal. (1, 2)

C. EpidemiologiTonsilitis biasanya ditemukan pada anak-anak, akan tetapi kondisi ini jarang ditemukan pada anak-anak dibawah umur 2 tahun. Tonsilitis disebabkan oleh spesies Streptococcus biasanya ditemukan pada anak usia 5-15 tahun. Sementara viral tonsilitis biasanya lebih sering pada anak-anak dengan usia lebih muda. (1)Difteri tersebar di seluruh dunia, tetapi insiden penyakit ini menurun secara mencolok setelah penggunaan toksoid difteri secara meluar. Umumnya masih tetap terjadi pada individu-individu yang berusia kurang dari 15 tahun (yang tidak mendapatkan imunisasi primer). Bagaimanapun, pada setiap epidemi insidens menurut usia tergantung pada kekebalan individu. Serangan difteri yang sering terjadi, mendukung konsep bahwa penyakit ini terjadi di kalangan penduduk miskin ynag tinggal di tempat berdesakan dan memperoleh fasilitas pelayanan kesehatan terbatas. Kematian umumnya terjadi pada individu yang belum mendapatkan imunisasi. (4)

D. Definisi Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfe yang terdapat didalam rongga mulut yaitu : (adenoid), tonsil palatina (tonsil faucial), tonsil lingual (tonsil pangkal lidah), tonsil tuba Eustachius ( lateral band dinding faring / Gerlach tonsil). (2, 5)Penyerbaran infeksi melalui udara (air bome droplets), tangan dan ciuman. Dapat terjadi pada semua umur, terutama pada anak. (2, 5)

E. Klasifikasi Tonsilitis 1. Tonsilitis viralGejala tonsilitis viral lebih menyerupai common cold yang disertai rasa nyeri tenggorok. Penyebab yang paling sering adalah virus Epstein Barr. Haemophilus influenza merupakan penyebab tonsilitis akut supuratif. Jika terjadi infeksi virus coxschakie, maka pemeriksaan rongga mulut akan tampak luka-luka kecil pada palatum dan tonsil yang sangat nyeri dirasakan pasien. Untuk terapi penderita dianjurkan untuk istirahat, minum cukup, analgetika, dan antivirus diberikan jika gejala berat. (2, 5)

2. Tonsilitis bakterialRadang akut tonsil dapat disebabkan kuman grup A Streptokokus beta hemolitikus yang dikenal sebagai strept throat, pneumokokus, Streptokokus viridan, dan Streptokokus piogenes. Infiltrasi bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil akan menimbulkan reaksi radang berupa keluarnya leukosit polimorfonuklear sehingga terbentuk detritus. Detritus ini merupakan kumpulan leukosit, bakteri yang mati dan epitel yang terlepas. Secara klinis detritus ini mengisi kriptus tonsil dan tampak sebagai bercak kuning. (2)Bentuk tonsilitis akut dengan detritus akut dengan detritus yang jelas disebut tonsilitis folikularis. Bila bercak bercak detritus ini menjadi satu, membentuk alur-alur maka akan terjadi tonsilitis lakunaris. Bercak detritus ini juga dapat melebar sehingga terbentuk semacam membran semu (pseudo-membrane) yang menutupi tonsil. (2)3. Tonsilitis membranosaPenyakit yang tergolong termasuk dalam golongan tonsilitis ialah (a) Tonsilitis difeteri, (b) Tonsilitis septik (septic sore throat), (c) Angina Plaut Vincent, (d) Penyakit kelainan darah seperti leukemia akut, anemia pernisiosa, neutropenia maligna serta infeksi mono-nukleosis, (e) Proses spesifik luas dan tuberkulosis, (f) Infeksi jamur moniliasis, aktinomikosis dan blastomikosis, (g) Infeksi virus morbili, pertusis dan skarlatina. (2)4. Tonsilitis difteriTonsilitis diferi merupakan tonsilitis yang disebabkan kuman Coryne bacterium diphteriae. Sediaan apus nasofaring dan tonsila diperoleh dan diletakan dalam medium transport yang kemudian dibiakan pada agar MacConkey atau media Loeffler. Strain yang diduga kemudian diuji untuk toksigenitas. Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak-anak berusia kurang dari 10 tahunan frekuensi tertinggi pada usia 2-5 tahun. (2, 6)

F. Manifestasi Klinis Gambaran klinik dibagi dalam 3 golongan yaitu gejala umum, gejala lokal dan gejala akibat eksotoksin. (4)a. Gejala umum seperti juga gejala infeksi lainnya yaitu kenaikan suhu tubuh biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat serta keluhan nyeri menelan. (4)b. Gejala lokal yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor yang makin lama makin meluas dan bersafu membentuk membran semu. membran ini dapat meluas ke palatum mole, uvula, nasofaring, laring, trakea dan bronkus dan dapat menyumbat saluran napas. Membran semu ini melekat erat pada dasarnya, sehingga bila diangkat akan mudah berdarah. Pada perkembangan penyakit ini bila frekuensinya berjalan terus, kelenjar limfa leher akan membengkak sedemikian besarnya sehingga leher menyerupai leher sapi (bull neck) atau disebut juga Burgemeester's hals. (4)c. Gejala akibat eksotoksin yang dikeluarkan oleh kuman difteri ini akan menimbulkan kerusakan jaringan tubuh yaitu pada jantung dapat terjadi miokarditis sampai decompensatio cordis, mengenai saraf kranial menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot-otot pernapasan dan pada ginjal menimbulkan albuminuria. (4)

G. Diagnosis Diagnosis tonsilitis difteri ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan pemeriksaan preparat langsung kuman yang diambil dari permukaan bawah membran semu dan didapatkan kuman Corynebacterium diphteriae. (2, 7)

H. Diferensial Diagnosis 1. Abses PeritonsilerAbses peritonsiler adalah penimbunan nanah di daerah sekitar tonsil (amandel).Abses peritonsiler merupakan komplikasi dari tonsilitis. Gejalanya adalah nyeri tenggorokan hebat, trismus (sulit membuka mulut), suara serak, dan deviasi uvula. Abses peritonsiler dapat menyerang anak-anak yang lebih besar, remaja dan dewasa muda. Tetapi sejak penggunaan antibiotik untuk mengobati tonsilitis, penyakit ini sekarang relatif jarang ditemukan. Diagnosis ditegakkan dengan aspirasi. Pengobatannya adalah antibiotik spektrum luas, drainase nanah, analgesik, dan kadang tonsilektomi. (8-10)

2. TonsillolithsBatu amandel, yang juga dikenal dengan tonsilloliths, disebabkan oleh penumpukan bakteri penghasil sulfur dan kotoran yang tersangkut di amandel. Kotoran tersebut membusuk di belakang tenggorokan dan menyebabkan bau mulut dan rasa yang tidak nyaman. Biasanya terdiri dari kalsium, dan mungkin bahan lain seperti fosforus dan magnesium, begitu pula dengan amonia dan karbonat. (11, 12)

3. Tumor TonsilKista epitel tonsil merupakan jenis yang cukup sering. Permukaannya berkilau, halus, dan berwarna putih atau kekuningan. Kista ini tidak memberikan gejala apapun, akan tetapi kista yang lebih besar akan menyebabkan suatu benjolan di tenggorokan dan mungkin perlu di operasi. (13, 14)Papilloma skuamosa biasanya terlihat menggantung dari pedicle uvula, tonsil atau pilar. Tampak massa bergranular yang timbul dari pilar anterior pada bagian posteriornya. (13)

I. Terapi Prinsip tata laksana tonsilitis adalah sebagai berikut :(5)1. Menjaga hidrasi dan asupan kalori yang adekuat.2. Kontrol nyeri dan demam, baik dengan kompres maupun obat-obatan.3. Obat kumur untuk menjaga higienitas mulut.4. Antibiotik spektrum luas. Adapun beberapa pilihan antibiotik pada tonsilitis dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut.

1. MedikamentosaAnti Difteri Serum (ADS) diberikan segera tanpa menunggu hasil kultur, dengan dosis 20.000 - 100.000 unit tergantung dari umur dan beratnya penyakit. antibiotika penisilin atau eritromisin 25 - 50 mg per kg berat badan dibagi dalam 3 dosis selama 14 hari. (2)Kortikosteroid 1,2 mg per kg berat badan per hari. Antipiretik untuk simtomatis. Karena penyakit ini menular, pasien harus diisolasi. Perawatan harus istirahat di tempat tidur selama 2-3 minggu. (2)

2. Pembedahan(2)The American Academy of Otolaryngology-Head and Surgery (AAO-HNS) merilis indikasi klinis untuk melakukan tonsilektomi adalah: 1. Indikasi Absolut (2, 15)a. Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran napas, disfagia berat, gangguan tidur dan komplikasi kardiopulmoner.b. Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan drainasec. Tonsilitis yang menimbulkan kejang demamd. Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan patologi anatomi

2. Indikasi Relatif (2, 15)a. Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi antibiotik yang adekuatb. Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan pemberian terapi medisc. Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang tidak membaik dengan pemberian antibiotik -laktamase resisten

Brodsky menyatakan tonsilitis rekuren dindikasikan untuk tonsilektomi jika terjadi serangan tonsilitis akut berulang lebih dari 4 kali dalam satu tahun kalender, atau lebih dari 7 kali dalam 1 tahun, 5 kali setiap tahun selama 2 tahun, atau 3 kali setiap tahun selama 3 tahun. Bila masih diragukan berikan antibiotik spektrum luas sebelum didapatkan hasil kultur tonsil kemudian lanjutkan dengan antibiotik sesuai kultur. Bila terdapat rekurensi dalam 1 tahun diindikasikan untuk tonsilektomi. Bila ditemukan gejala yang persisten yang nyata lebih dari 1 bulan dengan eritema peritonsil indikasi untuk tonsilektomi. Bila gejala dimaksud masih diragukan berikan antibiotik selama 3-6 bulan sesuai kultur, jika masih menetap indikasi tonsilektomi. (2)

J. Komplikasi Laringitis difteri dapat berlangung cepat, membran semu menjalar ke laring dan menyebabkan gejala sumbatan. Makin muda usia pasien makin cepat timbul komplikasi ini. Miokarditis dapat mengakibatkan payah jantung atau dekompensasio cordis. (2)Kelumupuhan otot palatum mole, otot mata untuk akomodasi, otot faring serta otot laring sehigga menimbulkan kesulitan menelan, suara parau dan kelumpuhan otot-otot pernapasan. Albuminemia sebagai akibat komplikasi ke ginjal.(2)

K. PrognosisGejala tonsilitis yang dikarenakan peradangan biasanya akan membaik dalam 2 sampai 3 hari setelah penggunaan antibiotik. Anak-anak dengan radang tenggorokan harus istirahat dirumah selama mengkonsumsi antibiotik dalam 24 jam pertama. Hal ini membantu mengurangi gejala peradangan.(16)

DAFTAR PUSTAKA

1.Udayan K Shah M, FACS, FAAP. Tonsillitis and Peritonsillar Abscess. Tonsillitis and Peritonsillar Abscess. 2014.2.Rusmarjono, Soepardi EA. Faringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi Adenoid. In: Soepardi EA, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan. 6 ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007.3.Novialdi. N MRP. Mikrobiologi Tonsilitis Kronis. MIKROBIOLOGI TONSILITIS KRONIS. 2011(Padang).4.Messner K. Diphtheria. Communicable Disease Management Protocol. 2012.5.Klarisa C, Fardizza F. Tonsilitis. In: Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta EA, editors. Kapita Selekta Kedokteran. II. IV ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2014. p. 1067.6.Adams GL. Penyakit-penyakit Nasofaring dan Orofaring. In: Effendi H, Santoso K, editors. Boies Buku Ajar Penyakit THT. 6 ed. Jakarta: EGC; 2002. p. 320-65.7.Herawati S. Tonsilitis. In: Herawati S, Rukmini S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan Jakarta: EGC; 2012. p. 45-6.8.Benoit J Gosselin M, FRCSC. Peritonsillar Abscess Peritonsillar Abscess 2014.9.Widayanti, Wulandari, Chandranata L. Abses Perintonsiler. In: Eliastam M, Sternbach GL, Bresler MJ, editors. Buku Penuntun Kedaruratan Medis. 5 ed. Jakarta: EGC; 2009. p. 262-3.10.Arnold JE. Abses Peritonsiler. In: Behrman, Kliegman, Arvin, editors. Ilmu Kesehatan Anak. 2. 5 ed. Jakarta: EGC; 2008. p. 1461.11.Stoodley, Debeer, Longwell, Nistico, Hall-Stoodley, Wenig, et al. Tonsillolith: not just a stone but a living biofilm. Tonsillolith. 2009.12.Krishnakant, Samir, Tilak. Tonsillolith. In: Bhargava KB, Bhargava SK, Shah TM, editors. A short Textbook Of ENT Disease. 7 ed. Mumbai: USHA publication; 2005. p. 257-8.13.Bechara Y. Ghorayeb M. Benign Tonsillar Masses. OTOLARYNGOLOGY HOUSTON. 2014.14.Herawati S. Tumor Tonsil. In: Herawati S, Rukmini S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan Jakarta: EGC; 2012. p. 47-8.15.Krishnakant, Samir, Tilak. Tonsillectomy. In: Bhargava KB, Bhargava SK, Shah TM, editors. A short Textbook Of ENT Disease. 7 ed. Mumbai: USHA publication; 2005. p. 249-56.16.Kaneshiro NK. Tonsillitis. Tonsils and Adenoid. 2013.