referat switch therapy

48
Refrat “Switch Theraphy” Yudhy Nugraha – FK UPN “Veteran” Jakarta BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peralihan terapi dari intravena (IV) ke oral (PO) dilakukan sesegera mungkin setelah pasien secara klinis stabil dapat mengurangi masa rawat inap dan biaya perawatan. Sementara obat intravena mungkin lebih bioavailable dan memiliki efek yang lebih besar, beberapa obat oral memerlukan beberapa waktu untuk menghasilkan tingkat serum dibandingkan dengan bentuk parenteral. Obat yang terlibat dalam terapi beralih termasuk antibiotik, analgesik, antipsikotik, dan antivirus. Apoteker juga memiliki inisiatif untuk mengurus penggunaan antibiotic dan juga dapat membantu peralihan terapi dari parenteral menjadi terapi oral. 1 Peralihan terapi dari intravena menjadi oral dapat dilakukan, dan hasil positif telah dilaporkan dari penelitian di bangsal medis. 2 Selain itu, tahun 2008 meta-analisis menemukan bahwa beralihnya terapi intravena lebih awal terhadap antibiotik oral mungkin dalam sedang sampai parah ditemukan terbanyak pada pasien komunitas-pneumonia (CAP) 3 , kuinolon dapat diaktifkan secara efektif dan cepat dari infus untuk formulasi oral ketika pasien dapat mentolerir obat oral. 4 Banyak dokter tidak menyadari pedoman lisan untuk intravena untuk lisan, pemikiran mereka rumit oleh pasien dengan masalah yang kompleks. 5 Meskipun demikian pedoman Page 1 of 48

Upload: praisila-glory-florencia-jonathan

Post on 09-Dec-2014

151 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

antibiotik intravena oral

TRANSCRIPT

Page 1: Referat Switch Therapy

Refrat “Switch Theraphy”

Yudhy Nugraha – FK UPN “Veteran” Jakarta

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Peralihan terapi dari intravena (IV) ke oral (PO) dilakukan sesegera mungkin

setelah pasien secara klinis stabil dapat mengurangi masa rawat inap dan biaya

perawatan. Sementara obat intravena mungkin lebih bioavailable dan memiliki efek

yang lebih besar, beberapa obat oral memerlukan beberapa waktu untuk menghasilkan

tingkat serum dibandingkan dengan bentuk parenteral. Obat yang terlibat dalam terapi

beralih termasuk antibiotik, analgesik, antipsikotik, dan antivirus. Apoteker juga

memiliki inisiatif untuk mengurus penggunaan antibiotic dan juga dapat membantu

peralihan terapi dari parenteral menjadi terapi oral. 1 Peralihan terapi dari intravena

menjadi oral dapat dilakukan, dan hasil positif telah dilaporkan dari penelitian di

bangsal medis. 2 Selain itu, tahun 2008 meta-analisis menemukan bahwa beralihnya

terapi intravena lebih awal terhadap antibiotik oral mungkin dalam sedang sampai

parah ditemukan terbanyak pada pasien komunitas-pneumonia (CAP)3, kuinolon

dapat diaktifkan secara efektif dan cepat dari infus untuk formulasi oral ketika pasien

dapat mentolerir obat oral.4 Banyak dokter tidak menyadari pedoman lisan untuk

intravena untuk lisan, pemikiran mereka rumit oleh pasien dengan masalah yang

kompleks.5 Meskipun demikian pedoman tersebut dapat membantu dokter membuat

keputusan yang tepat untuk melakukan peralihan pada pasien yang tepat.

B. Tujuan Pembuatan Refrat

Penulisan referat berjudul “Switch Therapy” ini bertujuan untuk menjelaskan

definisi, jenis-jenis antibiotik, indikasi penggunaan antibiotik, alur pelaksanaan

peralihan terapi intravena menjadi oral, serta persyaratan dalam melakukan “Switch

Therapy” sehingga mendapatkan prognosis yang baik dan keselamatan pasien

terjamin. Diharapkan dalam penulisan referat ini dapat memberikan informasi yang

bermanfaat bagi pembaca terutama yang memiliki interaksi secara langsung dalam

penanganan terhadap pasien dengan “Switch Therapy” agar bisa mendapatkan

penanganan yang baik dan tepat.

Page 1 of 31

Page 2: Referat Switch Therapy

Refrat “Switch Theraphy”

Yudhy Nugraha – FK UPN “Veteran” Jakarta

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Penggunaan Antibiotik Di Rumah Sakit

Karena biasanya antibiotika bekerja sangat spesifik pada suatu proses, mutasi

yang mungkin terjadi pada bakteri memungkinkan munculnya strain bakteri yang

‘kebal’ terhadap antibiotika. Itulah sebabnya, pemberian antibiotika biasanya

diberikan dalam dosis yang menyebabkan bakteri segera mati dan dalam jangka waktu

yang agak panjang agar mutasi tidak terjadi. Penggunaan antibiotika yang ‘tanggung’

hanya membuka peluang munculnya tipe bakteri yang ‘kebal’. Pemakaian antibiotika

di bidang pertanian sebagai antibakteri umumnya terbatas karena dianggap mahal,

namun dalam bioteknologi pemakaiannya cukup luas untuk menyeleksi sel-sel yang

mengandung gen baru. Praktik penggunaan antibiotika ini dikritik tajam oleh para

aktivis lingkungan karena kekhawatiran akan munculnya hama yang tahan

antibiotika.1,3

Indikasi pemakaian antibiotika :

Indikasi yang tepat dan benar dalam pemberian antibiotika pada anak adalah

bila penyebab infeksi tersebut adalah bakteri. Menurut CDC (Centers for

Disease Control and Prevention) indikasi pemberian antibiotika adalah bila

batuk dan pilek yang berkelanjutan selama lebih 10 – 14 hari.yang terjadi

sepanjang hari (bukan hanya pada malam hari dan pagi hari). Batuk malam dan

pagi hari biasanya berkaitan dengan alergi atau bukan lagi dalam fase infeksi

dan tidak perlu antibiotika

Indikasi lain bila terdapat gejala infeksi sinusitis akut yang berat seperti panas >

39 C dengan cairan hidung purulen, nyeri, pembengkakan sekitar mata dan

wajah. Pilihan pertama pengobatan antibiotika untuk kasus ini cukup dengan

pemberian Amoxicillin, Amoxicillinm atau Clavulanate. Bila dalam 2 – 3 hari

membaik pengobatan dapat dilanjutkan selama 7 hari setelah keluhan membaik

atau biasanya selama 10 – 14 hari.

Indikasi lainnya adalah radang tenggorokan karena infeksi kuman streptokokus.

Penyakit ini pada umumnya menyerang anak berusia 7 tahun atau lebih. Pada

anak usia 4 tahun hanya 15% yang mengalami radang tenggorokan karena

kuman ini. Penyakit yang lain yang harus mendapatkan antibiotika adalah

Page 2 of 31

Page 3: Referat Switch Therapy

Refrat “Switch Theraphy”

Yudhy Nugraha – FK UPN “Veteran” Jakarta

infeksi saluran kemih dan penyakit tifus Untuk mengetahui apakah ada infeksi

bakteri biasanya dengan melakukan kultur darah atau urine. Apabila dicurigai

adanya infeksi saluran kemih, dilakukan pemeriksaan kultur urine. Setelah

beberapa hari akan diketahui bila ada infeksi bakteri berikut jenis dan

sensitivitas terhadap antibiotika. Untuk mengetahui penyakit tifus harus

dilakukan pemeriksaan darah Widal dan kultur darah gal. Anak usia di bawah 5

tahun yang mengalami infeksi virus sering mengalami overdiagnosis penyakit

Tifus. Sering terjadi kesalahan persepsi dalam pembacaan hasil laboratorium.

Infeksi virus dengan peningkatan sedikit pemeriksaan nilai widal sudah divonis

gejala tifus dan dihantam dengan antibiotika.

Sebagian besar kasus penyakit pada anak yang berobat jalan penyebabnya

adalah virus. Dengan kata lain seharusnya kemungkinan penggunaan antibiotika

yang benar tidak besar atau mungkin hanya sekitar 10 – 15% penderita anak.

Penyakit virus adalah penyakit yang termasuk “self limiting disease” atau

penyakit yang sembuh sendiri dalam waktu 5 – 7 hari. Sebagian besar penyakit

infeksi diare, batuk, pilek dan panas penyebabnya adalah virus. Secara umum

setiap anak akan mengalami 2 hingga 9 kali penyakit saluran napas karena virus.

Sebaiknya jangan terlalu mudah mendiagnosis (overdiagnosis) sinusitis pada

anak. Bila tidak terdapat komplikasi lainnya secara alamiah pilek, batuk dan

pengeluaran cairan hidung akan menetap paling lama sampai 14 hari setelah

gejala lainnya membaik

Sebuah penelitian terhadap gejala pada 139 penderita pilek(flu) karena virus

didapatkan bahwa pemberian antibiotik pada kelompok kontrol tidak

memperbaiki cairan mucopurulent dari hidung. Antibiotika tidak efektif

mengobati Infeksi saluran napas Atas dan tidak mencegah infeksi bakteri

tumpangan. Sebagian besar infeksi Saluran napas Atas termasuk sinus

paranasalis sangat jarang sekali terjadi komplikasi bakteri.

Di Amerika Serikat, karena upaya kampanye dan pendidikan terus menerus

terhadap masyarakat dan dokter ternyata dapat menurunkan penggunaan antibiotika

secara drastis. Proporsi anak usia 0 – 4 tahun yang mendapatkan antibiotika menuirun

dari 47,9% tahun 1996 menjadi 38,1% tahun 2000. Jumlah rata-rata antibiotika yang

diresepkan menurun, dari 47.9 1.42 peresepan per anak tahun 1996 menjadi 0.78

Page 3 of 31

Page 4: Referat Switch Therapy

Refrat “Switch Theraphy”

Yudhy Nugraha – FK UPN “Veteran” Jakarta

peresepan per anak tahun 2000. Rata-rata pengeluaran biaya juga dapat ditekan cukup

banyak, padfa tahun 1996 sebesar $31.45 US menjadi $21.04 per anak tahun 2000.

Rekomendasi dan kampanye penyuluhan ke orangtua dan dokter di Amerika Serikat

yang telah dilakukan oleh kerjasama CDC (Centers for Disease Control and

Prevention) dan AAP (American Academy of Pediatrics) memberikan pengertian

yang benar tentang penggunaan antibiotika. Kampanye ini sudah dilakukan di

Amerika Serikat sepuluh tahun yang lalu, pilek, panas dan batuk adalah gejala dari

Infeksi Saluran Pernapasan Atas yang disebabkan virus :3

Perubahan warna dahak dan ingus berubah menjadi kental kuning, berlendir

dan kehijauan adalah merupakan perjalanan klinis Infeksi Saluran Napas

Atas karena virus, bukan merupakan indikasi antibiotika.

Pemberian antibiotika tidak akan memperpendek perjalanan penyakit dan

mencegah infeksi tumpangan bakteri.

Upaya ini seharusnya menjadi contoh yang baik terhadap intitusi yang

berwenang di Indonesia dalam mengatasi permasalahan pemberian antibiotika ini.

Melihat rumitnya permasalahan pemberian antibiotika yang irasional di Indonesia

tampaknya sangat sulit dipecahkan. Tetapi kita harus yakin dengan kemauan keras,

niat yang tulus dan keterlibatan semua pihak maka permasalahan ini dapat diatasi.

Jangan sampai terjadi, kita baru tersadar saat masalah sudah dalam keadaan yang

sangat serius.3

Kuantitas penggunaan antibiotic adalah jumlah penggunaan antibiotic di

rumah sakit yang diukur secara retrospektif dan prospektif dan melalui studi validasi.

Studi validasi adalah studi yang dilakukan secara prospektif untuk mengetahui

perbedaan antara jumlah antibiotic yang benar-benar digunakan pasien dibandingkan

dengan yang tertulis direkam medik. Persentase pasien yang mendapat terapi

antibiotic selama rawat inap dirumah sakit. Jumlah penggunaan antibiotic dinyatakan

sebagai dosis harian ditetapkan dengan Defined Daily Doses (DDD) / 100patientdays.

DDD adalah asumsi dosis rata-rata perhari penggunaan antibiotic untuk indikasi

tertentu pada orang dewasa. Untuk memperoleh data baku dan supaya dapat

dibandingkan data ditempat lain maka WHO merekomendasikan klasifikasi

penggunaan antibiotic secara Antomical Therapeutic Chemical (ATC) Classification

(GouldIM,2005).1

Page 4 of 31

Page 5: Referat Switch Therapy

Refrat “Switch Theraphy”

Yudhy Nugraha – FK UPN “Veteran” Jakarta

Kualitas penggunaan antibiotic dapat dinilai dengan melihat rekam pemberian

antibiotic dan rekam medic pasien. Penilaian dilakukan dengan mempertimbangkan

kesesuaian diagnosis (gejala klinis dan hasil laboratorium), indikasi, regimendosis,

keamanan dan harga. Alur penilaian menggunakan kategori / klasifikasi Gyssens.

Kategori hasil penilaian kualitatif penggunaan antibiotic sebagai berikut (Gyssens IC,

2005):1

Kategori 0 = Penggunaan antibiotic tepat/bijak

Kategori I = Penggunaan antibiotic tidak tepat waktu

Kategori II A = Penggunaan antibiotic tidak tepat dosis

Kategori II B = Penggunaan antibiotic tidak tepat interval pemberian

Kategori II C = Penggunaan antibiotic tidak tepat cara / rute pemberian

Kategori III A = Penggunaan antibiotic terlalu lama

Kategori III B = Penggunaan antibiotic terlalu singkat

Kategori IV A = Ada antibiotic lain yang lebih efektif

Kategori IV B = Ada antibiotic lain yang kurang toksik / lebih aman

Kategori IV C = Ada antibiotic lain yang lebih murah

Kategori IV D = Ada antibiotic lain yang spektrumnya lebih sempit

Kategori V = Tidak ada indikasi penggunaan antibiotik

Kategori VI = Data rekam medic tidak lengkap dan tidak dapat dievaluasi

Penelitian penggunaan antibiotik di rumah sakit dilaksanakan di rumah sakit

Dr. Soetomo Surabaya dan rumah sakit Dr. Kariadi Semarang, keduanya merupakan

rumah saki pendidikan di Indonesia. Penderita yang sudah dirawat paling sedikit 5

hari di bagian I.Penyakit Dalam, Ilmu Bedah, Ilmu Kebidanan dan Penyakit

Kandungan, dan Ilmu Kesehatan Anak dimasukkan dalam penelitian ini. Data

penggunaan antibiotik diperoleh dengan cara retrospektif dengan melihat catatan

penderita pada saat penderita keluar dari rumah sakit. Untuk memvalidasi ketepatan

data yang diperoleh secara retrospektif ini dilakukan penelitian validasi. Yaitu dengan

cara membandingkan data penggunaan antibiotik yang diperoleh secata retrospektif

dan data yang diperoleh dengan cara prospektif. Kualitas penggunaan antibiotik

dinilai oleh 3 reviewer/penilai dengan menggunakan sistem scoring yang sudah baku

(metode Gyssens). Ringkasan hasil: Delapan puluh empat persen penderita yang

dirawat paling sedikit 5 hari di rumah sakit mendapat terapi antibiotik. Di bagian I.

Page 5 of 31

Page 6: Referat Switch Therapy

Refrat “Switch Theraphy”

Yudhy Nugraha – FK UPN “Veteran” Jakarta

Bedah dan I. Kesehatan Anak 90% penderita yang dirawat paling sedikit 5 hari

mendapat antibotik, sedangkan di bagian I. Kebidanan, dan I. Penyakit Dalam

masing-masing 87 dan 67%. Lima puluh tiga persen dari 2058 penulisan resep sebagai

terapi, 15% sebagai pencegahan (profilaksis), dan 32% penulisan resep antibiotik

tidak diketahui indikasinya. Kuantitas penggunaan antibiotik diukur dalam defined

daily doses (DDD)/100 patientdays Di Surabaya penggunaannya 47.24 dan di

Semarang 30.85. Penicillin (khususnya ampicillin dan amoxicillin) terhitung 54% dari

total volume penggunaan antibiotik yang dinyatakan dalam DDD/100 patients-days.

Penggunaan terbanyak penicillin, 63.3 DDD/100 patient-days di dijumpai di bagian

Kebidanan dan Penyakit Kandungan. Cephalosporin menduduki peringkat kedua,

merupakan 17% dari seluruh penulisan resep. Cefotaxim merupakan cephalosporin

yang paling banyak diresepkan kemudian diikuti oleh ceftriaxon. Dari 487 penulisan

resep cephalosporin seluruhnya merupakan generasi ketiga kecuali pada 20 resep: 4

generasi pertama, 9 generasi kedua, dan 7 generasi ke empat. Sebagian besar

cephalosporin diberikan di bagian I Bedah, 16.4 DDD/100 patient-days. Penggunaan

antibiotik golongan quinolon menempati urutan ke tiga di rumah sakit. Quinolon

terutama digunakan di bagian I. Penyakit Dalam, 16.6 DDD/100 patient-days, dan

85% diberikan per oral. Hasil penelitian validasi menunjukkan bahwa data yang

diperoleh secara retrospektif dengan melihat rekam medik, terdapat kekurangan dari

penggunaan antibiotik sekitar 30%. Sehingga hasil yang didapat pada penelitian ini,

jumlah kuantitas penggunaan antibiotiknya harus dikoreksi, dengan menambah 30%

dari hasil yang didapat. Faktor penentu yang penting dari penggunaan antibiotik

adalah bagian di mana penderita tersebut dirawat. Dibandingkan dengan penderita

yang dirawat di bagian I. Penyakit Dalam, di bagian I Bedah kemungkinan untuk

mendapat antibiotik 4.9 kali lebih besar, di bagian I. Kesehatan Anak 4.5 kali dan di

bagian I. Kebidanan dan Penyakit Kandungan 3.4 kali lebih besar. Adanya infeksi

merupakan faktor penentu yang ke dua (2.3 kali lebih besar). Faktor sosial dan

ekonomi yang merupakan faktor penentu penggunaan antibiotic penderita di rumah

sakit ialah penderita yang tinggal di daerah perkotaan (1.9 kali lebih besar) dan

dirawat di ruang kelas III (1.6 kali lebih besar). Kualitas penggunaan antibiotik dinilai

oleh dua penilai dari Indonesia dan satu penilai dari Belanda. Hampir 60% dari

peresepan yang dinilai, dinyatakan salah paling sedikit oleh 2 dari 3 penilai, yaitu

42% alasannya tidak bisa dibenarkan atau 15% tidak tepat penggunaannya. Yang

Page 6 of 31

Page 7: Referat Switch Therapy

Refrat “Switch Theraphy”

Yudhy Nugraha – FK UPN “Veteran” Jakarta

dimaksud dengan tidak tepat penggunaannnya adalah tidak tepat pemilihan

antibiotikanya, dosis, dan lama penggunaannya. Yang dimaksud dengan alasannya

tidak bisa dibenarkan adalah di dalam catatan medik penderita tidak terdapat

informasi untuk menjelaskan mengapa antibiotika tersebut digunakan. Di Semarang

lebih banyak penulisan resep dengan klasifikasi tidak ada indikasinya (48%)

dibandingkan dengan di Surabaya (34%). Dua puluh satu persen penulisan resep

dinilai benar, 28% di Surabaya dan 16% di Semarang. Terdapat perbedaan yang

sangat besar antara penilai dari Belanda dengan penilai lokal, khususnya dalam hal

menilai penulisan resep yang benar-benar tepat dan penulisan resep yang tidak ada

indikasinya (kappa coefficients 0.13 dan 0.14) Bagian lain dari penelitian AMRIN-

project melaporkan data tentang kekebalan kuman Escherichia coli yang tinggi yang

dibawa oleh penderita pada populasi yang sama dengan penelitian ini. Yaitu 73%

kebal terhadap ampicillin, 55% terhadap cotrimoxazole, 43% terhadap

chloramphenicol, 22% terhadap ciprofloxacin, 18% terhadap gentamicin, dan 13%

terhadap cefotaxim. Bila dibandingkan dengan kekebalan kuman pada saat masuk

rumah sakit maka nampak terdapat peningkatan persentase kekebalan jang jelas. Hasil

penelitian lebih rinci tentang penentu dari pembawa kuman Escherichia coli yang

kebal terhadap antibiotik pada penderita setelah tinggal di rumah sakit akan dibahas

pada paragraph “Pembawa kuman E.coli yang kebal terhadap antibiotik”.

Kesimpulan, ada beberapa hal yang perlu segera dilakukan untuk perbaikan

penggunaan antibiotik rumah sakit. Beberapa rekomendasi yang dapat dibuat :3,4

Komite Farmasi dan Terapi harus mengambil prakarsa untuk membuat

pedoman penggunaan antibiotik

Para klinisi dianjurkan untuk mengikuti pedoman tersebut secara ketat

Para ahli mikrobiologi diharapkan dapat menyediakan hasil kultur dan test

kekebalan secepat mungkin dan mendiskusikan hasilnya dengan para klinisi

yang bertugas

Para farmasis diharapkan dapat memantau dan mengevaluasi penggunaan

antibiotik berdasarkan pedoman dan formularium rumah sakit

Para perawat diharapkan dapat mencatat semua penggunaan antibiotik dengan

benar dengan menggunakan kartu pengobatan

Pihak managemen rumah sakit diharapkan dapat meningkatkan fasilitas

laboratorium mikrobiologi sesuai dengan standar yang diperlukan

Page 7 of 31

Page 8: Referat Switch Therapy

Refrat “Switch Theraphy”

Yudhy Nugraha – FK UPN “Veteran” Jakarta

Laboratorium mikrobiologi sebaiknya melayani pemeriksaan selama 24 jam.

B. Jenis- Jenis Antibiotik Intravena

Farmakologi antibiotik dibagi menjadi farmakokinetika dan

farmakodinamika. Farmakodinamika antibiotik digambarkan konsentrasi-waktu obat

dalam tubuh makhluk hidup yang menghasilkan respon antimikrobial, yaitu apakah

mikrobia tereradikasi atau tidak. Sedangkan secara farmakikinetika hanya

digambarkan dari profil konsentrasi dan waktu obat dalam tubuh mahkluk hidup.

Secara prinsip, pemilihan antibiotika yang tepat harus mempertimbangkan aktivitas

mikrobiologik dan farmakodinamik masing-masing terhadap pola sensitivitas kuman

setempat. Dosis efektif antimikroba merupakan fungsi dari kadar hambat minimal

(minimum inhibitory concentration/MIC) kemampuan pertahanan tubuh individu,

lokasi infeksi, dan farmakokinetika antimikroba.1

The International Society for Anti-Infective Pharmalogy (ISAP) mengawali

studi farmakokinetik dan farmakodinamik antibiotic untuk memperbaiki dosis

regiment. Sejak itu studi dan penggunaan prinsip farmakokinetik dan farmakodinamik

dalam terapi antibiotik ditingkatkan secara besar-besaran. Berdasarkan mekanisme

aksinya, obat antibakterial dibagi menjadi time-dependent antibiotic dan

concentration-dependent antibiotic.2,3

Untuk antibiotik concentration-dependent killing digunakan parameterAUC,

Cmax, dan MIC. Pada gambar 1 menunjukkan kurva concentration-dependent killing.

Aminoglikosida (sebagai contoh Paromomisin, Gentamisin) dan Quinolon merupakan

antibiotik yang menunjukkan mekanisme antibiotikconcentration-dependent

killing. Pada antibiotik kelas ini akan menunjukkan peningkatan aktivitas pada

konsentrasi. Puncak aktivitas bakteriostatik yang dikembangkan menjadi indeks

farmkologi berdasarkan Cmax/MIC (Gambar 1). Berdasarkan penelitian pada tahun

1974 diujikan aktivitas bakteriostatik dan bakterisidal pada serum dan urin dai 317

pasien kanker dengan infeksi. Diketahui bahwa ketika puncak aktivitas bakteriostatik

dalam serum Cmax/MIC 1:8 penyembuhan infeksi mencapai 80%. Respon terapi pasien

dengan infeksi saluran kemih berkorelasi dengan level penghambatan bakteri pada

urin, di mana penyembuhan klinis mencapai 90% pada pasien dengan aktivitas

bakteriostatik Cmax/MIC 1:4. Dari penelitian tersebut dapat diketahui bahwa antibiotik

yang termasuk concentration-dependent killing akan memberikan peningkatan efek

Page 8 of 31

Page 9: Referat Switch Therapy

Refrat “Switch Theraphy”

Yudhy Nugraha – FK UPN “Veteran” Jakarta

antimikrobial dengan semakin meningkatnya konsentrasi antibiotik. Indeks

farmakokinetik AUC/MIC (gambar 2) digunakan untuk memprediksi efek

antibiotik concentration-dependent killing (bisa dilihat dari Cmax/MIC). AUC/MIC

biasa disebut juga dengan AUIC (Area Inder Inhibitory Curve) yaitu area pada kurva

yang menunjukkan penghambatan terhadap mikrobia, yang dinyatakan sebagai hasil

bagi AUC (konsentrasi yang berada di atas MIC) dengan MIC itu sendiri.2,3

Untuk antimikroba yang bersifat tergantung kadar, peningkatan kadar

antimkroba dalam darah akan meningkatkan pula kecepatan bunuhnya. Penurunan

densitas bakteri ditentukan oleh berapa lama konsentrasi obat dalam darah melebihi

MIC. Bagi antibiotika yang bersifat tergantung kadar, penurunan densitas bakteri

tergantung pada rasio antara kadar maksimum obat dalam darah (Cmax) danMIC atau

AUC terhadap MIC. Terhadap antibiotika golongan ini dianjurkan untuk

meningkatkan dosis yang besarnya diperhitungkan berdasarkan. MIC untuk bakteri

patogen yang dicurigai. Interval waktu pemberian antibiotika juga harus panjang dan

disesuaikan dengan waktu paruh obat dalam tubuh.2

Atas dasar konsep tersebut aminoglikosida umumnya diberikan sekali sehari.

Hal ini berkaitan dengan tujuan terapi dengan aminoglikosida, yaitu mencapai kadar

puncak dalam serum minimal setara dengan 10-12 kali MIC. Untuk memprediksi

outcome klinik hasil terapi pada pemberian fluoroquinolon, konsep yang digunakan

adalah area di bawah kadar hambat (AUIC) yang setara dengan AUC/MIC. Sebagai

contoh, infeksi akibat bakteri usus gram negatif, outcome klinik terbaik umumnya

diperoleh jika fluoroquinolon diberikan pada AUIC yang setara atau lebih besar dari

125, sedangkan untuk bakteri Gram positif angka ini harus mencapai sekitar 40 atau

lebih.3

Rasio antara kadar puncak antibiotika (Cmax) dan MIC juga telah diteliti pada

levofloxacin. Jika ingin mendapatkan outcome klinik dan repons mikrobiologik

sekitar 80-100% maka ratio Cmax terhadap MIC untuk levofloxacin haruslah mencapai

minimal 12,2 dan tergantung pada lokasi infeksi. Dengan demikian dapat disimpulkan

bahwa untuk mencapai tujuan terapi yang diharapkan maka pemberian fluoroquinolon

selain harus mencapai AUIC = 125 (untuk bakteri Gram negatif) atau = 40 (untuk

bakteri Gram positif) juga ratio Cmax/MIC hendaknya mencapai = 12,2. Secara umum

terdapat dua kelompok antibiotic berdasarkan sifat farmako kinetikanya, yaitu ;3

Page 9 of 31

Page 10: Referat Switch Therapy

Refrat “Switch Theraphy”

Yudhy Nugraha – FK UPN “Veteran” Jakarta

a. Time dependent killing. Lamanya antibiotic berada dalam darah dalam

kadar diatas KHM sangat penting untuk memperkirakan outcome klinik

ataupun kesembuhan. Pada kelompok ini kadar antibiotic dalam darah

diatas KHM paling tidak selama 50 interval dosis. Contoh antibiotic yang

tergolong time dependent killing antara lain penisilin, sefalosporin, dan

makrolida).

b. Concentration dependent. Semakin tinggi kadar antibiotika dalam darah

melampaui KHM maka semakin tinggi pula daya bunuhnya terhadap

bakteri. Untuk kelompok ini diperlukan rasio kadar / KHM sekitar 10. Ini

mengandung arti bahwa rejimen dosis yang dipilih haruslah memiliki

kadar dalam serum atau jaringan 10 kali lebih tinggi dari KHM. Jika

gagal mencapai kadar ini ditempat infeksi atau jaringan akan

mengakibatkan kegagalan terapi. Situasi inilah yang selanjutnya menjadi

salah satu penyebab timbulnya resistensi.

MIC

Satuan resistensi dinyatakan dalam satuan KHM (Kadar Hambat Minimal)

atau Minimum Inhibitory Concentration (MIC) yaitu kadar terendah antibiotic

(μg/mL) yang mampu menghambat tumbuh dan berkembangnya bakteri. Peningkatan

nilai KHM menggambarkan tahap awal menuju resisten. MIC sangat penting sebagai

diagnosa secara laboratorium untuk mengkonfirmasi adanya resistensi microorganism

terhadap antimicrobial dan juga untuk memonitor aktifitas antimicrobial baru.

Semakin rendah nilai MIC, mengindikasikan suatu antimicrobial semakin

baik. Konsep MPC (Mutan Prevention Concentration). Merupakan konsep terbaru dan

sangat berguna untuk mengukur potensi antimicrobial. Konsentrasi obat diatas MPC

akan membunuh semua bakteria, termasuk bakteri mutan pada tahap pertama.1

C Max

Kadar puncak (C max) adalah kadar tertinggi yang terukur dalam darah,

menggambarkan derajat absorpsi. Nilai Cmax juga digunakan sebagai tolok ukur,

apakah dosis yang diberikan cenderung memberikan efek toksik atau tidak. Dosis

dikatakan aman apabila kadar puncak obat tidak melebihi kadar toksik minimal

Page 10 of 31

Page 11: Referat Switch Therapy

Refrat “Switch Theraphy”

Yudhy Nugraha – FK UPN “Veteran” Jakarta

(MTC). Satuan: berat/volume (μg/ml atau ng/ml), Waktu Untuk Mencapai Kadar

Puncak ( T Max) Tmax menunjukkan kapan kadar obat dalam sirkulasi sistemik

mencapai puncak. Di samping K a, Tmax ini juga digunakan sebagai parameter untuk

menunjukkan kecepatan absorpsi, dan parameter ini lebih mudah diamati atau

dikalkulasi daripada Ka. Hambatan pada proses absorpsi obat dapat dengan mudah

dilihat dari lebih besarnya harga Tmax. Satuan parameter ini adalah jam atau menit.

Ukuran utama aktivitas antibiotic adalah Kadar Hambat Minimum (KHM). KHM

adalah kadar terendah antibiotic yang secara sempurna menghambat pertumbuhan

suatu mikroorganisme secara invitro. Walaupun KHM adalah indikator yang baik

untuk potensi suatu antibiotik, KHM tidak menunjukkan apa-apa tentang perjalanan

waktu aktivitas antibiotik. Parameter-parameter farmakokinetik menghitung

perjalanan kadar serum antibiotika. Terdapat 3 parameter farmakokinetik yang paling

penting untuk mengevaluasi efikasi antibiotik, yaitu kadar puncak serum (Cmax),

kadar minimum (C min), dan area undercurve (AUC) pada kurva kadar serum vs

waktu.Walaupun parameter-parameter ini mengkuantifikasi perjalanan kadar serum,

parameter-parameter teresebut tidak mendeskripsikan aktivitas bakterisid suatu

antibiotik. Aktivitas antibiotic dapat dikuantifikasi dengan mengintegrasikan

parameter-parameter PK/PD dengan KHM. Parameter tersebut yaitu : rasio kadar

puncak / KHM, waktu > KHM, dan rasio AUC-24jam/KHM.1,2,3

Waktu Paruh ( T1/2)

T1/2 waktu yang diperlukan agar kadar obat dalam sirkulasi sistemik

berkurang menjadi separuhnya. Nilai T1/2 ini banyak digunakan untuk

memperkirakan berbagai kondisi kinetik, misalnya kapan obat habis dari dalam tubuh,

kapan sebaiknya dilakukan pemberian ulang, kapan kadar obat dalam sirkulasi

mencapai keadaan tunak (steady state) pada pemberian berulang, dsb. Satuan

parameter ini adalah jam atau menit.2,3

Area Under Curve (AUC)

Nilai AUC dapat ditentukan pada berbagai periode pengamatan, misalnya

AUC 0-9 untuk periode 0-9 jam sesudah pemberian obat, AUC0-24 jam, atau AUC0-

∞ untuk periode waktu 0 sampai tak terhingga. Nilai ini menggambarkan derajat

absorpsi yaitu seberapa banyak obat dapat diabsorpsi dari sejumlah dosis yang

Page 11 of 31

Page 12: Referat Switch Therapy

Refrat “Switch Theraphy”

Yudhy Nugraha – FK UPN “Veteran” Jakarta

diberikan.Satuan parameter ini adalah satuan luas, μg/ ml.jam atau ng/ml.jam atau

ng/ml.menit. Manfaat dan Peranan Farmakokinetik :1

1. Memperhitungkan jumlah obat dalam tubuh. Menilai kualitas (mutu)

formulasi, berapa jumlah

2. obat yang mampu masuk dalam sirkulasi sistemik (sistemic bioavailability).

3. Mempelajari mekanisme interaksi obat.

4. Mengukur kemampuan tubuh dalam proses biologis absorpsi, distribusi, dan

eliminasi (metabolisme dan ekskresi), termasuk faktor-faktor yang

mempengaruhinya.

5. Menentukan aturan dosis, besarnya dosis dan jarak pemberian, sehingga

dapat mencapai kadar terapeutik yang diinginkan.

6. Individualisasi dosis pada keadaan-keadaan penyakit tertentu.

7. Monitoring kadar obat.

Untuk obat-obat dengan lingkup terapeutik sempit, yaitu jarak antara kadar efektif

minimal dan kadar toksik minimal sangat sempit, diperlukan monitoring kadar obat

dalam darah.1

Bioavailabilitas

Faktor lain yang menentukan keberhasilan pengobatan adalah bioavailabilitas

yaitu menunjukkan suatu pengukuran laju dan jumlah obat yang aktif terapetik yang

mencapai sirkulasi umum (Shargel dan Yu, 1986). Faktor-faktor yang menentukan

bioavailabilitas antara lain : absorbsi, kelarutan obat, ketidakstabilan kimiawi dan

kestabilan obat.2

Resitensi Bakteri

Resistensi adalah suatu kondisi dimana bakteri tidak sensitive lagi terhadap

antibiotic. Mekanisme terjadinya resistensi :2

Perubahan permeabilitas;

Permeabilitas sel bakteri mengalami penurunan sehingga obat tidak bisa

masuk ke dalam sel;

Obat dikeluarkan lagi secara aktif oleh bakteri;

Inaktivasi enzim;

Perubahan target atau sintesa metabolic resistensi;

Page 12 of 31

Page 13: Referat Switch Therapy

Refrat “Switch Theraphy”

Yudhy Nugraha – FK UPN “Veteran” Jakarta

Perubahan reseptor obat;

Sintesis metabolik resistensi.

Gambar1. Parameter Farmakokinetik / Farmakodinamik1

Tiga sifat farmakodinamik antibiotic yang paling baik untuk menjelaskan

aktivitas bakterisidal adalah time-dependence, concentration-dependence, dan

efek persisten. Kecepatan bakterisidal ditentukan oleh panjang waktu yang

diperlukan untuk membunuh bakteri (time-dependence), atau efek meningkatkan

kadar obat (concentration-dependence). Efek persisten mencakup Post-Antibiotic

Effect (PAE). PAE adalah supresi pertumbuhan bakteri secara persisten sesudah

paparan antibiotik.2,4

Tabel 1. Pola Aktivitas Antibiotik berdasarkan parameter PK/PD1

Pola Aktivitas Antibiotik TujuanTerapi ParameterPK/PDTipe I Bakterisidal concentration-dependence dan Efek persisten yang lama

AminoglikosidFluorokuinolonKetolid

Memaksimalkan kadar

rasio AUC-24jam / KHM

rasio kadar puncak / KHM

Tipe II Bakterisidal time-dependence dan Efek persisten minimal

KarbapenemSefalosporinEritromisinLinezolidPenicillin

Memaksimalkan durasi paparan

Waktu > KHM

Tipe III Bakterisidal Azitromisin Memaksimalkan Rasio AUC-24jam /

Page 13 of 31

Page 14: Referat Switch Therapy

Refrat “Switch Theraphy”

Yudhy Nugraha – FK UPN “Veteran” Jakarta

time-dependence dan Efek persisten sedang sampai lama

KlindamisinOksazolidinonTetrasiklinVankomisin

jumlah obat yang masuk sirkulasi sistemik

KHM

Untuk antibiotic Tipe I, rejimen dosis yang ideal adalah memaksimalkan

kadar, karena semakin tinggi kadar, semakin ekstensif dan cepat tingkat

bakterisidalnya. Karena itu, rasio AUC 24jam / KHM, dan rasio kadar puncak /

KHM merupakan predictor efikasi antibiotic yang penting. Untuk aminoglikosid,

efek optimal dicapai bila rasio kadar puncak/ KHM minima l8-10 untuk

mencegah resistensi. Untuk fluorokuinolon vs bakteri Gram-negatif, rasio AUC

24jam / KHM optimal adalah sekitar 125. Bila fluorokuinolon vs Gram-positif,

40 nampaknya cukup optimal. Namun, rasio AUC 24jam / KHM untuk

fluorokuinolon sangat bervariasi. Antibiotik Tipe II menunjukkan sifat yang sama

sekali berlawanan. Rejimen dosis ideal untuk antibiotic ini diperoleh dengan

memaksimalkan durasi paparan. Parameter yang paling berkorelasi dengan

efikasi adalah apabila waktu (t) diatas KHM. Untuk beta-laktam dan eritromisin,

efek bakterisidal maksimum diperoleh bila waktu diatas KHM minimal 70% dari

interval dosis. Antibiotik Tipe III memiliki sifat campuran, yaitu tergantung-

waktu dan efek persisten yang sedang. Rejimen dosis ideal untuk antibiotic ini

diperoleh dengan memaksimalkan jumlah obat yang masuk dalam sirkulasi

sistemik. Efikasi obat ditentukan oleh rasio AUC 24jam / KHM. Untuk

vankomisin, diperlukan rasio AUC 24 jam / KHM minimal 125.1,2

Gambar 2. Pola Aktivitas Antibiotik berdasarkan Profil PK / PD1

Page 14 of 31

Page 15: Referat Switch Therapy

Refrat “Switch Theraphy”

Yudhy Nugraha – FK UPN “Veteran” Jakarta

C. Indikasi Antibiotik Intravena

Prinsip penggunaan antibiotic untuk terapi empiris dan definitive : 1

1. Antibiotik Terapi Empiris

a. Pengguna anantibiotik untuk terapi empiris adalah penggunaan antibiotic pada

kasus infeksi yang belum diketahui jenis bakteri penyebabnya.

b. Tujuan pemberian antibiotic untuk terapi empiris adalah eradikasi atau

penghambatan pertumbuhan bakteri yang diduga menjadi penyebab infeksi,

sebelum diperoleh hasil pemeriksaan mikrobiologi

c. Indikasi: ditemukan sindrom klinis yang mengarah pada keterlibatan bakteri

tertentu yang paling sering menjadi penyebab infeksi.

Dasar pemilihan jenis dan dosis antibiotic data epidemiologi dan pola

resistensi bakteri yang tersedia dikomunitas atau dirumah sakit

setempat.

Kondisi klinis pasien.

Ketersediaan antibiotik.

Kemampuan antibiotic untuk menembus kedalam jaringan / organ

yang terinfeksi.

Untuk infeksi berat yang diduga disebabkan oleh polimikroba dapat

digunakan antibiotic kombinasi.

d. Rute pemberian : antibiotic oral seharusnya menjadi pilihan pertama untuk

terapi infeksi. Pada infeksi sedang sampai berat dapat dipertimbangkan

menggunakan antibiotic parenteral (Cunha, BA.,2010).

e. Lama pemberian : antibiotic empiris diberikan untuk jangka waktu 48-72 jam.

Selanjutnya harus dilakukan evaluasi berdasarkan data mikrobiologis dan

kondisi klinis pasien serta data penunjang lainnya (IFIC., 2010; Tim PPRA Kemenkes

RI., 2010).

f. Evaluasi penggunaan antibiotic empiris dapat dilakukan seperti pada table

berikut (Cunha, BA., 2010; IFIC., 2010):

Page 15 of 31

Page 16: Referat Switch Therapy

Refrat “Switch Theraphy”

Yudhy Nugraha – FK UPN “Veteran” Jakarta

2. Antibiotik Untuk Terapi Definitif 1,2

a. Penggunaan antibiotic untuk terapi definitive adalah penggunaan antibiotic

pada kasus infeksi yang sudah diketahui jenis bakteri penyebab dan pola

sistensinya (LloydW., 2010).

b. Tujuan pemberian antibiotic untuk terapi definitive adalah eradikasi atau

penghambatan pertumbuhan bakteri yang menjadi penyebab infeksi,

berdasarkan hasil pemeriksaan mikrobiologi.

c. Indikasi: sesuai dengan hasil mikrobiologi yang menjadi penyebab infeksi.

d. Dasar pemilihan jenis dan dosis antibiotic :

Efikasi klinik dan keamanan berdasarkan hasil uji klinik.

Sensitivitas.

Biaya.

Kondisi klinis pasien.

Diutamakan antibiotic lini pertama / spectrum sempit.

Ketersediaan antibiotic (sesuai formularium rumah sakit).

Sesuai dengan Pedoman Diagnosis dan Terapi (PDT) setempat yang

terkini.

Paling kecil memunculkan risiko terjadi bakteri resisten.

e. Rute pemberian: antibiotic oral seharusnya menjadi pilihan pertama untuk

terapi infeksi. Pada infeksi sedang sampai berat dapat dipertimbangkan

menggunakan antibiotic parenteral(Cunha,BA., 2010). Jika kondisi pasien

memungkinkan, pemberian antibiotic parenteral harus segera diganti dengan

antibiotic peroral.

Page 16 of 31

Page 17: Referat Switch Therapy

Refrat “Switch Theraphy”

Yudhy Nugraha – FK UPN “Veteran” Jakarta

f. Lama pemberian antibiotic definitive berdasarkan pada efikasi klinis untuk

eradikasi bakteri sesuai diagnosis awal yang telah dikonfirmasi. Selanjutnya

harus dilakukan evaluasi berdasarkan data mikrobiologis dan kondisi klinis

pasien serta data penunjang lainnya (IFIC., 2010; Tim PPRA KemenkesRI.,

2010).

Infeksi bakteri terjadi bila bakteri mampu melewati barrier mukosa atau kulit

dan menembus jaringan tubuh. Pada umumnya, tubuh berhasil mengeliminasi

bakteri tersebut dengan respon imun yang dimiliki, tetapi bila bakteri berkembang

biak lebih cepat daripada aktivitas respon imun tersebut maka akan terjadi penyakit

infeksi yang disertai dengan tanda-tanda inflamasi. Terapi yang tepat harus mampu

mencegah berkembang biaknya bakteri lebih lanjut tanpa membahayakan host.

Antibiotik adalah obat yang digunakan untuk mengatasi infeksi bakteri. Antibiotik

bisa bersifat bakterisid (membunuh bakteri) atau bakteriostatik (mencegah

berkembang biaknya bakteri). Pada kondisi immunocompromised (misalnya pada

pasien neutropenia) atau infeksi dilokasi yang terlindung (misalnya pada cairan

cerebrospinal), maka antibiotic bakterisid harus digunakan. Antibiotik bisa

diklasifikasikan berdasarkan mekanisme kerjanya, yaitu :1,2

1. Menghambat sintesis atau merusak dinding sel bakteri, seperti beta-laktam

(penisilin, sefalosporin, monobaktam, karbapenem, inhibitorbeta-laktamase),

basitrasin, dan vankomisin.

2. Memodifikasi atau menghambat sintesis protein, misalnya aminoglikosid,

kloramfenikol, tetrasiklin, makrolida (eritromisin, azitromisin, klaritromisin),

klindamisin, mupirosin, dan spektinomisin.

3. Menghambat enzim-enzim esensial dalam metabolism folat, misalnya

trimetoprim dan sulfonamid.

4. Mempengaruhi sintesis atau metabolism asam nukleat, misalnya kuinolon,

nitrofurantoin.

Penggolongan antibiotic berdasarkan mekanisme kerja:

1. Obat yang Menghambat Sintesis atau Merusak Dinding Sel Bakteri

a. Antibiotik Beta-Laktam

Page 17 of 31

Page 18: Referat Switch Therapy

Refrat “Switch Theraphy”

Yudhy Nugraha – FK UPN “Veteran” Jakarta

Antibiotik beta-laktam terdiri dari berbagai golongan obat yang mempunyai

struktur cincin beta-laktam, yaitu penisilin, sefalosporin, monobaktam,

karbapenem, dan inhibitor beta-laktamase. Obat-obat antibiotic beta-laktam

umumnya bersifat bakterisid, dan sebagian besar efektif terhadap organism

Gram-positif dan negatif. Antibiotik beta-laktam mengganggu sintesis

dinding sel bakteri, dengan menghambat langkah terakhir dalam sintesis

peptidoglikan, yaitu heteropolimer yang memberikan stabilitas mekanik pada

dinding sel bakteri.1,2

1. Penisilin

Golongan penisilin diklasifikasikan berdasarkan spectrum aktivitas

antibiotiknya.

Tabel 2. Antibiotik Golongan Penisilin1

Golongan Contoh AktivitasPenisilin G danPenisilin V

Penisilin G dan penisilin V

Sangat aktif terhadap kokus Gram-positif, tetapi cepat dihidrolisis oleh penisilinase atau beta-laktamase, sehingga tidak efektif terhadap S.aureus.

Penisilin yang resistenter hadap beta-laktamase/ penisilinase

metisilin, nafsilin, oksasilin, kloksasilin, dan dikloksasilin

Merupakan obat pilihan utama untuk terapi S.aureus yang memproduksi penisilinase.Aktivitas antibiotic kurang poten terhadap mikroorganisme yang sensitive terhadap penisilin G.

Aminopenisilin ampisilin, amoksisilin

Selain mempunyai aktivitas terhadap bakteri Gram-positif, juga mencakup mikroorganisme Gram-negatif, seperti Haemophilus influenzae, Escherichia coli, dan Proteusmirabilis. Obat-obat ini sering diberikan bersama inhibitor beta-laktamase (asam klavulanat, sulbaktam, tazobaktam) untuk mencegah hidrolisis oleh beta-laktamase yang semakin banyak ditemukan pada bakteri Gram-negatif ini.

Karboksipenisilin karbenisilin, tikarsilin

Antibiotik untuk Pseudomonas, Enterobacter, dan Proteus. Aktivitas antibiotic lebih rendah dibanding ampisilin terhadap kokus Gram-positif, dan kurang aktif dibanding piperasilin dalam melawan Pseudomonas. Golongan ini dirusak oleh beta-laktamase.

Ureidopenisilin mezlosilin, azlosilin, dan piperasilin

Aktivitas antibiotic terhadap Pseudomonas, Klebsiella, dan Gram-negatif lainnya. Golongan ini dirusak oleh beta-laktamase.

Page 18 of 31

Page 19: Referat Switch Therapy

Refrat “Switch Theraphy”

Yudhy Nugraha – FK UPN “Veteran” Jakarta

Tabel 3. Parameter-parameter Farmakokinetik untuk Beberapa Penisilin1

Obat Cara Pemberian

Waktu Paruh (Jam)

Ekskresi Ginjal (%)

Penyesuain Dosis Pada Gagal Ginjal

Penisilin alamiPenisilin G

IM, IV 0,5 79-85 Ya

Penisilin V Oral 0,5 20-40 YaPenisilin Anti-stafilokokus (resisten penisilinase)Nafisilin IM, IV 0,8 – 1,2 31 – 38 Tidak Oksasilin IM, IV 0,4 – 0,7 39 – 66 Tidak Kloksasilin Oral 0,5 – 0,6 49 – 70 Tidak Dikloksasilin oral 0,6 – 0,8 35 – 90 Tidak AminopenisilinAmpisilin Oral, IM,

IV1,1 – 1,5 40 – 92 Ya

Amoksisilin Oral 1,4 – 2,0 86 Ya Penisilin Anti-pseudomonasKarbanesilin Oral 0,8 – 1,2 85 Ya Mezlosilin IM, IV 0,9 – 1,7 61 – 69 YaPiperasilin IM, IV 0,8 – 1,1 74 – 89 Ya Tikarsilin IM, IV 1,0 – 1,4 95 Ya

2. Sefalosporin

Sefalosporin menghambat sintesis dinding sel bakteri dengan mekanisme

serupa dengan penisilin. Sefalosporin diklasifikasikan berdasarkan

generasinya.1,2

Tabel 4. Klasifikasi dan Aktivitas Sefalosporin1

Gen Contoh AktivitasI Sefaleksin, sefalotin,

sefazolin, sefradin, sefadroksil

Antibiotik yang efektif terhadap Gram-positif dan memiliki aktivitas sedang terhadap Gram-negatif.

II Sefaklor, sefamandol, sefuroksim, sefoksitin, sefotetan, sefmetazol, sefprozil.

Aktivitas antibiotic Gram-negatif yang lebih tinggi daripada generasi-I.

III Sefotaksim, seftriakson, seftazidim, sefiksim, sefoperazon, seftizoksim,sefpodoksim, moksalaktam.

Aktivitas kurang aktif terhadap kokus Gram-postif dibanding generasi-I, tapi lebih aktif terhadap Enterobacteriaceae, termasuk strain yang memproduksi beta-laktamase. Seftazidimdan Sefoperazon juga aktif terhadap P.aeruginosa, tapi kurang aktif dibanding generasi-III lainnya terhadap kokus Gram-positif.

IV Sefepim, sefpirom Aktivitas lebih luas dibanding generasi-III dan tahan terhadap beta-laktamase.

Page 19 of 31

Page 20: Referat Switch Therapy

Refrat “Switch Theraphy”

Yudhy Nugraha – FK UPN “Veteran” Jakarta

Tabel 5. Parameter-parameter Farmakokinetik untuk Beberapa Sefalosporin1

Obat Cara Pemberian

Waktu Paruh (jam)

Ekskresi Ginjal (%)

Penyesuaian Dosis pada Gagal Ginjal

Generasi-ISefadroksil Oral 1,2 – 2,5 70 – 90 YaSefazolin IM, IV 1,5 – 2,5 70 – 95 YaSefaleksin Oral 1,0 95 YaSefapirin IM, IV 0,6 50 – 70 YaSefradin Oral 0,7 75 – 100 YaGenerasi IISefaklor Oral 0,6 – 0,9 60 – 85 YaSefamandol IM, IV 0,5 – 1,2 100 YaSefmetazol IV 1,2 – 1,5 85 YaSefonisid IM, IV 3,5 – 4,5 95 – 99 YaSefotetan IM, IV 2,8 – 4,6 60 – 91 YaSefoksitin IM, IV 0,7 – 1,0 85 YaSefprozil Oral 1,2 – 1,4 64 YaSefuroksim IM, IV 1,1 – 1,3 95 YaSefuroksim aksetil

Oral 1,1 – 1,3 52 Ya

Generasi – IIISefdinir Oral 1,7 18 YaSefepim IM, IV 2,0 70 – 99 YaSefiksim Oral 2,3 – 3,7 50 YaSefoperazon IM, IV 2,0 20 – 30 TidakSefotaksim IM, IV 1,0 40 – 60 YaSefpodoksim proksetil

Oral 1,9 – 3,7 40 Ya

Seftadizim IM, IV 1,9 80 – 90 YaSeftibuten Oral 1,5 – 2,8 57 – 75 YaSeftizoksim IM, IV 1,4 – 1,8 57 – 100 YaSeftriakson IM, IV 5,8 – 8,7 33 – 67 Tidak KarbapenemImipenem – silastatin

IM, IV 1,0 50 – 70 Ya

Meropenem IV 1,0 79 Ya MonobaktamAztreonam IM, IV 2,0 75 YaGenerasi – IVSeftazidim IM, IV 1,9 NA NASefepim IM 2,0 NA NA

Page 20 of 31

Page 21: Referat Switch Therapy

Refrat “Switch Theraphy”

Yudhy Nugraha – FK UPN “Veteran” Jakarta

3. Monobaktam (beta-laktam monosiklik) Contoh: aztreonam.

Aktivitas: resisten terhadap beta-laktamase yang dibawa oleh bakteri

Gram-negatif. Aktif terutama terhadap bakteri Gram-negatif.

Aktivitasnya sangat baik terhadap Enterobacteriacease, P.aeruginosa,

H.influenzae dan gonokokus. Pemberian: parenteral, terdistribusi baik ke

seluruh tubuh, termasuk cairan serebrospinal. Waktu paruh:1,7jam.

Ekskresi: sebagian besar obat diekskresi utuh melalui urin1

4. Karbapenem

Karbapenem merupakan antibiotic lini ketiga yang mempunyai aktivitas

antibiotic yang lebih luas daripada sebagian besar beta-laktam lainnya.

Yang termasuk karbapenem adalah imipenem, meropenem dan

doripenem. Spektrum aktivitas: Menghambat sebagian besar Gram-

positif, Gram-negatif, dan anaerob. Ketiganya sangat tahan terhadap

beta-laktamase. Efek samping : paling sering adalah mual dan muntah,

dan kejang pada dosis tinggi yang diberi pada pasien dengan lesi SSP

atau dengan insufisiensi ginjal. Meropenem dan doripenem mempunyai

efikasi serupa imipenem, tetapi lebih jarang menyebabkan kejang.1

5. Inhibitorbeta-laktamase

a. Inhibitor beta-laktamase melindungi antibiotic beta-laktam dengan

cara menginaktivasi beta-laktamase. Yang termasuk kedalam

golongan ini adalah asam klavulanat, sulbaktam, dantazobaktam.

Asam klavulanat merupakan suicide inhibitor yang mengikat beta-

laktamase dari bakteri Gram-positif dan Gram-negatif secara

ireversibel. Obat ini dikombinasi dengan amoksisilin untuk

pemberian oral dan dengan tikarsilin untuk pemberian parenteral.

Sulbaktam dikombinasi dengan ampisilin untuk penggunaan

parenteral, dan kombinasi iniaktif terhadap kokus Gram-positif,

termasuk S.aureus penghasil beta-laktamase, aerob Gram-negatif

(tapi tidak terhadap Pseudomonas) dan bakteri anaerob. Sulbaktam

kurang poten dibanding klavulanat sebagai inhibitor beta-laktamase.

Tazobaktam dikombinasi dengan piperasilin untuk penggunaan

parenteral. Waktu paruhnya memanjang dengan kombinasi ini, dan

ekskresinya melalui ginjal.1

Page 21 of 31

Page 22: Referat Switch Therapy

Refrat “Switch Theraphy”

Yudhy Nugraha – FK UPN “Veteran” Jakarta

b. Basitrasin

Basitrasin adalah kelompok yang terdiri dari antibiotic polipeptida,

yang utama adalah basitrasin A. Berbagai kokus dan basil Gram-

positif, Neisseria, H.influenzae, dan Treponema pallidum sensitive

terhadap obat ini. Basitrasin tersedia dalam bentuk salep mata dan

kulit, serta bedak untuk topikal. Basitrasin jarang menyebabkan

hipersensitivitas. Pada beberapa sediaan, sering dikombinasi dengan

neomisin dan / atau polimiksin. Basitrasin bersifat nefrotoksik bila

memasuki sirkulasi sistemik.1

c. Vankomisin

Vankomisin merupaka nantibiotik lini ketiga yang terutama aktif

terhadap bakteri Gram-positif .Vankomisin hanya diindikasikan

untuk infeksi yang disebabkan oleh S.aureus yang resisten terhadap

metisilin (MRSA). Semua basil Gram-negatif dan mikobakteria

resisten terhadap vankomisin. Vankomisin diberikan secara intravena,

dengan waktu paruh sekitar 6 jam. Efek sampingnya adalah reaksi

hipersensitivitas, demam, flushing dan hipotensi (pada infuse cepat),

serta gangguan pendengaran dan nefrotoksisitas pada dosis tinggi.2

2. Obat yang Memodifikasi atau Menghambat Sintesis Protein

Obat antibiotic yang termasuk golongan ini adalah aminoglikosid, tetrasiklin,

kloramfenikol, makrolida (eritromisin, azitromisin, klaritromisin), klindamisin,

mupirosin, dan spektinomisin.2

a. Aminoglikosid

Spektrum aktivitas: Obat golongan ini menghambat bakteri aerob Gram-

negatif. Obat ini mempunyai indeks terapi sempit, dengan toksisitas serius

pada ginjal dan pendengaran, khususnya pada pasien anak dan usia lanjut.

Efek samping: Toksisitas ginjal, ototoksisitas (auditorik maupun vestibular),

blok adeneuromuskular (lebih jarang).

Page 22 of 31

Page 23: Referat Switch Therapy

Refrat “Switch Theraphy”

Yudhy Nugraha – FK UPN “Veteran” Jakarta

Tabel 6. Karakteristik Aminoglikosid1

Obat Waktu Paruh (Jam)

Kadar Terapeutik Serum (µg/ml)

Kadar Toksik Serum (µg/ml)

Streptomisin 2 – 3 25 50Neomisin 3 5 – 10 10Kanamisin 2,0 – 2,5 8 – 16 35Gentamisin 1,2 – 5,0 4 – 10 12Tobramisin 2,0 – 3,0 4 – 8 12Amikasin 0,8 – 2,8 8 – 16 35Netilmisin 2,0 – 2,5 0,5 – 10 16

b. Tetrasiklin

Antibiotik yang termasuk ke dalam golongan ini adalah tetrasiklin,

doksisiklin, oksitetrasiklin, minosiklin, dan klortetrasiklin. Antibiotik

golongan ini mempunyai spectrum luas dan dapat menghambat berbagai

bakteri Gram-positif, Gram-negatif, baik yang bersifat aerob maupun

anaerob, serta mikroorganisme lain seperti Ricketsia, Mikoplasma, Klamidia,

dan beberapa spesies mikobakteria.1

Tabel 7. Beberapa Sifat Tetrasiklin dan Obat-obat Segolongan1

Obat Cara Pemberian

Waktu Paruh (Jam)

Ikatan Protein Serum (%)

Tetrasiklin HCl Oral, IV 8 25 – 60 Klortetrasiklin HCl Oral, IV 6 40 – 70 Oksitetrasklin HCl Oral, IV 9 20 – 35 Demeklosiklin HCl Oral 12 40 – 90 Metasiklin HCl Oral 13 75 – 90 Doksisiklin Oral, IV 18 25 – 90 Minosiklin HCl Oral, IV 16 70 – 75

c. Kloramfenikol

Kloramfenikol adalah antibiotic berspektrum luas, menghambat bakteri

Gram-positif dan negatif aerob dan anaerob, Klamidia, Ricketsia, dan

Mikoplasma. Kloramfenikol mencegah sintesis protein dengan berikatan

pada subunit ribosom50S. Efek samping: supresi sumsum tulang, grey baby

syndrome, neuritis optic pada anak, pertumbuhan kandidadi saluran cerna,

dan timbulnya ruam.1

Page 23 of 31

Page 24: Referat Switch Therapy

Refrat “Switch Theraphy”

Yudhy Nugraha – FK UPN “Veteran” Jakarta

d. Makrolida (eritromisin, azitromisin, klaritromisin, roksitromisin)

Makrolida aktif terhadap bakteri Gram-positif, tetapi juga dapat menghambat

beberapa Enterococcus dan basil Gram-positif. Sebagian besar Gram-negatif

aerob resisten terhadap makrolida, namun azitromisin dapat menghambat

Salmonela. Azitromisin dan klaritromisin dapat menghambat H.influenzae,

tapi azitromisin mempunyai aktivitas terbesar. Keduanya juga aktif terhadap

H.pylori. Makrolida mempengaruhi sintesis protein bakteri dengan cara

berikatan dengan sub unit 50s ribosom bakteri, sehingga menghambat

translokasi peptida.1,2

1. Eritromisin dalam bentuk basa bebas dapat diinaktivasi oleh asam,

sehingga pada pemberian oral, obat ini dibuat dalam sediaan salut

enterik. Eritromisin dalam bentuk estolat tidak boleh diberikan pada

dewasa karena akan menimbulkan liver injury.

2. Azitromisin lebih stabil terhadap asam jika dibanding eritromisin. Sekitar

37% dosis diabsorpsi, dan semakin menurun dengan adanya makanan.

Obat ini dapat meningkatkan kadar SGOT dan SGPT pada hati.

3. Klaritromisin. Absorpsi peroral 55 % dan meningkat jika diberikan

bersama makanan. Obat ini terdistribusi luas sampai ke paru, hati, sel

fagosit, dan jaringan lunak. Metabolit klaritromisin mempunyai aktivitas

antibakteri lebih besar daripada obat induk. Sekitar 30 % obat diekskresi

melalui urin, dan sisanya melalui feses.

4. Roksitromisin. Roksitromisin mempunyai waktu paruh yang lebih

panjang dan aktivitas yang lebih tinggi melawan Haemophilus

influenzae. Obat ini diberikan dua kali sehari. Roksitromisin adalah

antibiotic makrolida semi sintetik. Obat ini memiliki komposisi, struktur

kimia dan mekanisme kerja yang sangat mirip dengan eritromisin,

azitromisin atau klaritromisin. Roksitromisin mempunyai spectrum

antibiotic yang mirip eritromisin, namun lebih efektif melawan bakteri

gram negatif tertentu seperti Legionella pneumophila. Antibiotik ini

dapat digunakan untuk mengobati infeksi saluran nafas, saluran urin dan

jaringan lunak. Roksitromisin hanya dimetabolisme sebagian, lebih dari

separuh senyawa induk diekskresi dalam bentuk utuh. Tiga metabolit

telah diidentifikasi diurin dan feses: metabolit utama adalah

Page 24 of 31

Page 25: Referat Switch Therapy

Refrat “Switch Theraphy”

Yudhy Nugraha – FK UPN “Veteran” Jakarta

deskladinosaroksitromisin, dengan N-monodanN-di-demetilroksitromisin

sebagai metabolit minor. Roksitromisin dan ketiga metabolitnya terdapat

di urin dan feses dalam persentase yang hampir sama. Efek samping yang

paling sering terjadi adalah efek pada saluran cerna: diare, mual, nyeri

abdomen dan muntah. Efek samping yang lebih jarang termasuk sakit

kepala, ruam, nilai fungsi hati yang tidak normal dan gangguan pada

indra penciuman dan pengecap.

5. Klindamisin. Klindamisin menghambat sebagian besar kokus Gram-

positif dan sebagian besar bakteri anaerob, tetapi tidak bisa menghambat

bakteri Gram-negatif aerob seperti Haemophilus, Mycoplasma dan

Chlamydia. Efek samping: diare dan enterokolitis pseudomembranosa

6. Mupirosin. Mupirosin merupakan obat topical yang menghambat bakteri

Gram-positif dan beberapa Gram-negatif. Tersedia dalam bentuk krim

atau salep 2 % untuk penggunaan di kulit (lesi kulit traumatik, impetigo

yang terinfeksi sekunder oleh S.aureus atau S.pyogenes) dan salep 2 %

untuk intranasal. Efek samping : iritasi kulit dan mukosa serta sensitisasi.

7. Spektinomisin. Obat ini diberikan secara intramuskular. Dapat digunakan

sebagai obat alternative untuk infeksi gonokokus bila obat lini pertama

tidak dapat digunakan.Obat ini tidak efektif untuk infeksi Gonore faring.

Efek samping: nyeri lokal, urtikaria, demam, pusing, mual, dan insomnia.

3. Obat Antimetabolit yang Menghambat Enzim-Enzim Esensial dalam

Metabolisme Folat 1,2

a. Sulfonamid dan Trimetoprim Sulfonamid bersifat bakteriostatik.

Trimetoprim dalam kombinasi dengan sulfametoksazol, mampu menghambat

sebagian besar pathogen saluran kemih, kecuali P.aeruginosa dan Neisseria

sp. Kombinasi ini menghambat S.aureus, Staphylococcus koagulase negatif,

Streptococcus hemoliticus, H.influenzae, Neisseria sp, bakteri Gram-negatif

aerob (E.coli dan Klebsiella sp), Enterobacter, Salmonella, Shigella,

Yersinia, P.carinii.

4. Obat yang Mempengaruhi Sintesis atau Metabolisme Asam Nukleat

a. Kuinolon

Page 25 of 31

Page 26: Referat Switch Therapy

Refrat “Switch Theraphy”

Yudhy Nugraha – FK UPN “Veteran” Jakarta

1. Asam nalidiksat

Asam nalidiksat menghambat sebagian besar Enterobacteriaceae.

2. Fluorokuinolon

Golongan fluorokuinolon meliputi norfloksasin, siprofloksasin,

ofloksasin, moksifloksasin, pefloksasin, levofloksasin, dan lain-lain.

Fluorokuinolon bisa digunakan untuk infeksi yang disebabkan oleh

Gonokokus, Shigella, E.coli, Salmonella, Haemophilus, Moraxella

catarrhalis serta Enterobacteriaceae dan P.aeruginosa.

3. Nitrofuran

Nitrofuran meliputi nitrofurantoin, furazolidin, dan nitrofurazon.

Absorpsi melalui saluran cerna 94% dan tidak berubah dengan adanya

makanan. Nitrofuran bisa menghambat Gram-positif dan negatif,

termasuk E.coli, Staphylococcus sp, Klebsiella sp, Enterococcus sp,

Neisseria sp, Salmonella sp, Shigella sp, dan Proteus sp

.

Page 26 of 31

Page 27: Referat Switch Therapy

Refrat “Switch Theraphy”

Yudhy Nugraha – FK UPN “Veteran” Jakarta

D. Peralihan Terapi Intravena – Oral 8

Page 27 of 31

Page 28: Referat Switch Therapy

Refrat “Switch Theraphy”

Yudhy Nugraha – FK UPN “Veteran” Jakarta

Page 28 of 31

Page 29: Referat Switch Therapy

Refrat “Switch Theraphy”

Yudhy Nugraha – FK UPN “Veteran” Jakarta

REFERENSI

1. Permenkes Nomor 2406 Tahun 2011. Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik.

2. Kemenkes. 2011. Pedoman Pelayanan Kefarmasian Untuk Terapi Antibiotik

3. Dwiprahasto, Iwan. 2005. Kebijakan Untuk Meminimalkan Risiko

Terjadinya Resistensi Bakteri Di Unit Perawatan Intensif Rumah Sakit. Bagian

Farmakologi & Toksikologi/Clinical Epidemiology & Biostatics Unit, Fakultas

Kedokteran Ugm, Yogyakarta

4. Rodvold KA. Pharmacodynamics of antiinfective therapy: taking what we know to

the patient's bedside. Pharmacotherapy. 2001 Nov;21(11 Pt 2):319S-

330S. [ PubMed ]

5. Gunderson BW, Ross GH, Ibrahim KH, Rotschafer JC. What do we really know

about antibiotic pharmacodynamics? Pharmacotherapy. 2001 Nov;21(11 Pt

2):302S-318S. [ PubMed ]

6. Antina Barger, Christine Fuhst And Bernd Wiedemann. 2003. Pharmacological

Indices In Antibiotic Therapy. The British Society For Antimicrobial Chemotherapy

7. Http://Www.Fifeadtc.Scot.Nhs.Uk/Support/Antibiotics/Iv%20to%20oral%20switch

%20therapy.Pdf

8. NHS. 2011. Adult IV To Oral Antibiotic Switch Therapy Guidelines

Page 29 of 31

Page 30: Referat Switch Therapy

Refrat “Switch Theraphy”

Yudhy Nugraha – FK UPN “Veteran” Jakarta

LEMBAR PENGESAHAN

Refrat

SWITCH THERAPHY

Disusun Oleh :

Yudhy nugraha

FK UPN

Diperiksa dan Disetujui Oleh :

______________________________

Pembimbing : dr. Soroy Lardo, Sp.PD

Tanggal : Februari 2013

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

RUMAH SAKIT PUSAT ANGKATAN DARAT GATOT SOEBROTO

PERIODE 7 OKTOBER – MARET 2013

JAKARTA

Page 30 of 31

Page 31: Referat Switch Therapy

Refrat “Switch Theraphy”

Yudhy Nugraha – FK UPN “Veteran” Jakarta

DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan…………………………………………………………………….……i

Dafrat Isi………………………………………………………………………………..……ii

BAB I

Pendahuluan………………………………………………………………………………….1

C. Latar Belakang…………………………………………………………………....….1

D. Tujuan Pembuatan Refrat……………………………………………………..…......1

BAB II

Tinjauan Pustaka………………………………………………………………………….....2

E. Penggunaan Antibiotik Di Rumah Sakit…………………………………..………...2

F. Jenis- Jenis Antibiotik Intravena……………………………………………..……...8

G. Penggunaan Antibiotik Di Rumah Sakit………………………………………........15

H. Jenis- Jenis Antibiotik Intravena……………………………………………..…......27

Daftar Pustaka………………………………………………………………………...……29

Page 31 of 31