referat ready 3

54
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Trombosis merupakan salah satu masalah kesehatan utama baik di negara maju maupun negara berkembang. Insiden penyakit terkait dengan trombosis semakin meningkat setiap tahunnya. Selain peningkatan angka mortalitas dan morbiditas, menurunnya kualitas hidup dan produktivitas kerja serta hilangnya hari kerja juga merupakan hal yang menyebabkan peningkatan pembiayaan kesehatan yang terkait dengan trombosis ini. 1,2 Trombosis merupakan penyebab kematian utama di Amerika Serikat. Sekitar 2 juta penduduk setiap tahunnya meninggal akibat trombosis arteri, vena, atau komplikasinya. Insiden tromboemboli vena di Amerika Serikat sekitar 100 per 100.000 orang per tahun dan meningkat seiring dengan bertambahnya umur, dua pertiga dari kasus tromboemboli vena adalah trombosis vena dalam dan sepertiganya adalah emboli paru dan sekitar 20% dari pasien dengan emboli paru meninggal sebelum terdiagnosis atau dalam hari pertama rawatan. Sementara data di Eropa, tromboemboli vena merupakan penyebab tingginya angka mortalitas, morbiditas, dan perawatan di rumah sakit. Berdasarkan data Eupean Union di enam negara Eropa di tahun 2004 didapatkan sekitar 317.000 orang meninggal yang dihubungkan dengan kejadian 1

Upload: diynieff

Post on 09-Dec-2015

36 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Cardiology

TRANSCRIPT

Page 1: Referat Ready 3

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Trombosis merupakan salah satu masalah kesehatan utama baik di negara

maju maupun negara berkembang. Insiden penyakit terkait dengan trombosis

semakin meningkat setiap tahunnya. Selain peningkatan angka mortalitas dan

morbiditas, menurunnya kualitas hidup dan produktivitas kerja serta hilangnya

hari kerja juga merupakan hal yang menyebabkan peningkatan pembiayaan

kesehatan yang terkait dengan trombosis ini.1,2

Trombosis merupakan penyebab kematian utama di Amerika Serikat.

Sekitar 2 juta penduduk setiap tahunnya meninggal akibat trombosis arteri, vena,

atau komplikasinya. Insiden tromboemboli vena di Amerika Serikat sekitar 100

per 100.000 orang per tahun dan meningkat seiring dengan bertambahnya umur,

dua pertiga dari kasus tromboemboli vena adalah trombosis vena dalam dan

sepertiganya adalah emboli paru dan sekitar 20% dari pasien dengan emboli paru

meninggal sebelum terdiagnosis atau dalam hari pertama rawatan. Sementara data

di Eropa, tromboemboli vena merupakan penyebab tingginya angka mortalitas,

morbiditas, dan perawatan di rumah sakit. Berdasarkan data Eupean Union di

enam negara Eropa di tahun 2004 didapatkan sekitar 317.000 orang meninggal

yang dihubungkan dengan kejadian tromboemboli vena dengan rincian 34 %

meninggal tiba-tiba, 59 % meninggal selama proses diagnosa, dan hanya 7%

pasien meninggal yang sudah didiagnosa jelas dengan emboli paru sebelum pasien

meninggal.3,4,5,6

Trombosis adalah pembentukan suatu massa abnormal di dalam sistem

peredaran darah makhluk hidup yang berasal dari komponen-komponen darah.

Massa abnormal itu disebut trombus dan bila terlepas dari dinding bekuan darah

yang terjadi in vitro atau yang terdapat di dalam rongga tubuh maupun yang

terbentuk post mortem bukan merupakan suatu trombus. Teori mengenai

patofisiologi trombosis sudah dikenal sejak abad 19. Pada tahun 1845 Virchow

pertama kali mengemukakan adanya tiga faktor utama yang memegang peranan

dalam patofisiologi trombosis yaitu kelainan dinding pembuluh darah, perubahan

1

Page 2: Referat Ready 3

aliran darah dan perubahan daya beku darah. Ketiga faktor tersebut di atas disebut

“triad of virchow“.1,7

Berdasarkan komposisinya trombus dapat dibedakan atas 3 jenis, yaitu

white trombus yang biasanya terdapat di arteri dan terutama terdiri dari trombosit,

red trombus yang ditemukan di vena terutama terdiri dari fibrin dan eritrosit,

serta mixed thrombus yang komposisinya merupakan gabungan dari white

thrombud dan red thrombus. Komposisi suatu trombus dipengaruhi oleh

kecepatan aliran darah di tempat trombus itu terbentuk. Pada umumnya trombus

yang banyak mengandung trombosit terbentuk di daerah dengan aliran darah yang

cepat, sedangkan trombus yang banyak mengandung eritrosit dan fibrin terbentuk

di daerah statis.1

Tromboemboli vena terjadi sebagai akibat dari interaksi antara beberapa

faktor risiko. Goldhaber tahun 2010, membagi faktor resiko tromboemboli vena

menjadi faktor resiko yang dapat dimodifikasi, faktor resiko yang berhubungan

dengan perawatan di rumah sakit dan faktor genetik. Faktor resiko yang dapat

dimodifikasi adalah obesitas, kebiasaan merokok, hipertensi, diabetes mellitus,

dislipidemia, dan nutrisi. Faktor resiko yang berhubungan dengan perawatan

dirumah sakit adalah tindakan operasi, kanker, kegagalan jantung kongestif,

penyakit paru obstruksi kronik, gagal ginjal kronik khususnya sindroma nefrotik.

Sedangkan faktor genetik seperti faktor V Leiden, prothrombin mutasi gen dan

anticardiolipin antibodi.8

Kombinasi dari ketiga faktor triad of virchow merupakan patogenesis

terjadinya tromboemboli vena. Peranan stasis vena memegang peranan penting

dalam terbentuknya trombus pada vena, karena dapat menimbulkan gangguan

mekanisme pembersih terhadap aktifitas faktor pembekuan darah sehingga

memudahkan terbentuknya trombin. Inisiasi tromboemboli vena terutama muncul

pada valve pocket sinus. Perubahan faktor-faktor pembekuan mekanisme kontrol

pembekuan juga berperan penting, seperti pada Faktor V Leiden, defisiensi

protein C dan S, dan defisiensi antithrombin. Sedangkan faktor dinding pembuluh

darah lebih cendrung kepada terbentuknya trombosis arteri.1,9

2

Page 3: Referat Ready 3

Presentasi klinis dari tromboemboli vena yang utama adalah trombosis

vena dalam dan emboli paru yang berhubungan dengan faktor risiko yang sama.

Trombosis vena dalam adalah suatu keadaan yang ditandai dengan ditemukannya

trombus di dalam vena dalam terutama pada tungkai bawah. Trombosis vena

dalam adalah satu penyakit yang dapat menimbulkan kematian kalau tidak dikenal

dan diobati secara efektif. Kematian terjadi sebagai akibat lepasnya trombus vena,

membentuk emboli yang dapat menimbulkan kematian mendadak apabila

sumbatan terjadi pada arteri di dalam paru-paru yang disebut dengan emboli

paru.10,11,12

Selama dua dekade belakangan ini, perkembangan strategi diagnostik

terhadap trombosis vena dalam dan emboli paru berkembang dengan pesat.

Trombosis vena dalam dan emboli paru merupakan dua manifestasi klinis yang

sangat berbeda, tetapi memiliki satu entitas yang dinamakan dengan

tromboemboli vena. Alat-alat diagnostik non-invasive seperti pengukuran D-

dimer, ultrasonografi kompresi, dan multidetektor CT angiografi sudah

berkembang luas. Hal ini telah mereduksi secara jelas penggunaan sarana

diagnostik invasive seperti phlebografi dan pulmonary angiografi.13

Antikoagualan merupakan terapi utama pada kasus-kasus tromboemboli

vena. Pasien membutuhkan terapi antikoagulan secepat mungkin setelah diagnosis

tromboemboli vene ditegakkan. Ada tiga opsi terapi antikoagulan parenteral yang

bisa diberikan untuk terapi inisial pada tromboemboli vena akut yaitu unfractional

heparin, low molecular weight heparin dan fondaparinux. Antikoagulan oral baru

sebagai terapi tromboemboli vena akut telah banyak juga digunakan. Penelitian

Einstein tahun 2012 yang meneliti penggunaan antikoagulan oral baru

rivaroxaban pada emboli paru simtomatis dibandingkan dengan terapi standar

didapat hasil bahwa regimen terapi rivaroxaban tidak inferior dibandingkan

dengan terapi standar.14,15

Pencegahan terhadap munculnya trombus baru merupakan salah satu hal

penting dalam penatalaksanaan tromboemboli vena. Pencegahan ini dapat

dilakukan dengan mengendalikan faktor resiko yang dapat dimodifikasi.

Pemberian antikoagulan profilaks juga juga harus diberikan pada pasien-pasien

3

Page 4: Referat Ready 3

dengan resiko tinggi terjadinya tromboemboli vena. American College of

Physician pada tahun 2011 memberikan rekomendasi propilaksis tromboemboli

vena pada pasien yang dirawat di rumah sakit berupa pemberian injeksi heparin

pada pasien dengan resiko tinggi tromboemboli vena dan tidak beresiko

perdarahan.8,16

Tromboemboli vena merupakan salah satu masalah kesehatan yang

memerlukan perhatian yang serius dari kita bersama. Angka mortalitas dan

morbiditas yang disebabkan penyakit ini masih tinggi. Sulitnya diagnosis dan

penatalaksanaan masih menjadi masalah. Adanya faktor resiko yang bisa

dikendalikan harus memberikan kita peluang untuk menekan angka penyakit ini.

Untuk itu referat ini dibuat untuk memaparkan patogenesis dan penatalakasanaan

tromboemboli vena dengan manifestasi klinis trombosis vena dalam dan emboli

paru.

1.2. Tujuan

Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk mengetahui patofisiologi,

dan penatalaksanaan dari tromboemboli vena dengan manifestasi klinis trombosis

vena dalam dan emboli paru.

4

Page 5: Referat Ready 3

BAB II

FISIOLOGI HEMOSTASIS

Hemostasis adalah proses fisiologis untuk mempertahankan integritas

vaskular dengan mempertahankan fluiditas darah dan mencegah keluarnya darah

serta menghancurkan bekuan yang terbentuk setelah terjadinya restorasi pembuluh

darah yang rusak. Komponen utama sistem hemostasis adalah sistem vaskuler,

sistem trombosit dan sistem koagulasi.7,17

2.1. Sistem Vaskuler

Peran sistem vaskuler dalam mencegah perdarahan meliputi proses

kontraksi pembuluh darah (vasokonstriksi) serta aktivasi trombosit dan

pembekuan darah. Apabila pembuluh darah mengalami luka, maka akan terjadi

vasokontriksi yang mula-mula secara reflektoris dan kemudian akan

dipertahankan oleh faktor lokal seperti 5-hidroksitriptamin (5-HT, serotonin), dan

epinefrin. Vasokontriksi ini akan menyebabkan pengurangan aliran darah besar

masih diperlukan lain seperti trombosit dan pembekuan darah.7,17

Pembuluh darah dilapisi oleh sel endotel. Apabila lapisan endotel rusak

maka jaringan ikat dibawah endotel seperti serat kolagen, serat elastin dan

membrana basalis terbuka sehingga terjadi aktivasi trombosit. Di samping itu

terjadi aktivasi faktor pembekuan darah baik jalur intrinsik maupun jalur

ekstrinsik yang menyebabkan pembekuan fibrin.7

Adanya kerusakan endotel akan menyebabkan keluarnya endotelin 1 serta

substansi lain yang menyebabkan terjadinya vasokonstriksi. Endotelin 1 berfungsi

sebagai kemoatraktan, menarik leukosit dan trombosit. Sel endotel juga

mengandung berbagai proteoglikan seperti hepatin sulfat, kondroitin sulfat,

dermatan sulfat, dan trombomodulin. Proteoglikan ini akan berinteraksi dengan

antitrombin untuk meningkatkan hambatan terhadap protease serin.

Trombomodulin berfungsi sebagai reseptor trombin. Trombomudulin ini akan

mengubah aktivitas prokoagulan dari trombin sehingga trombomodulin yang

5

Page 6: Referat Ready 3

terikat dengan trombin kehilangan kemampuan untuk mengubah fibrinogen

menjadi fibrin, mengaktifkan trombosit dan mengaktifkan faktor XIII.7

2.2. Sistem Trombosit

Trombosit mempunyai peran penting dalam hemostasis yaitu pembekuan

dan stabilitas sumbat trombosit. Pembentukan sumbat trombosit terjadi melalui

beberapa tahap yaitu adesi trombosit, agregasi trombosit dan reaksi pelepasan.

Apabila pembuluh darah luka, maka sel endotel akan rusak sehingga jaringan ikat

dibawah endotel akan terbuka. Hal ini akan mencetuskan adesi trombosit yaitu

suatu proses dimana trombosit melekat pada permukaan asing terutama serat

kolagen. Adesi trombosit sangat tergantung pada protein plasma yang disebut

faktor von willebrand’s (vWF) yang disintesis oleh sel eondotel dan megakariosit.

Faktor ini berfungsi sebagai jembatan antara trombosit dan jaringan subendotel.

Disamping melekat pada permukaan asing, trombosit akan melekat pada

trombosit lain dan proses ini disebut sebagai agregasi trombosit.17

Agregrasi trombosit mula-mula dicetuskan oleh ADP yang dikeluarkan

oleh trombosit yang melekat pada serat subendotel. Agregasi yang terbentuk

disebut agregasi trombosit primer dan bersifat reversible. Trombosit pada agregasi

primer akan mengeluarkan ADP sehingga terjadi agregasi trombosit sekunder

yang bersifat irreversible. Disamping ADP, untuk agregasi trombosit diperlukan

ion kalsium dan ikatan diantara fibrinogen yang melekat pada dinding trombosit

dengan perantara ion kalsium. Mula-mula ADP akan terikat pada reseptornya

permukaan trombosit dan interaksi ini menyebabkan reseptor untuk fibrinogen

terbuka sehingga memungkinkan ikatan antara fibrinogen dengan reseptor

tersebut. Kemudian ion kalsium akan menghubungkan fibrinogen tersebut

sehingga terjadi agregasi trombosit. Selain itu akan terjadi aktifasi enzin

fosfolipase A2 sehingga fosfolipid yang terdapat pada dinding trombosit akan

dipecah dan melepaskan asam arakhidonat. Asam arakhidonat akan diubah oleh

enzim siklo-oksigenase menjadi prostaglandin G2 (PGG2) yang kemudian akan

diubah menjadi prostaglandin H2 (PGH2) oleh enzim peroksidase. PGH2 akan

diubah oleh enzim tromboksan sintetase menjadi tromboksan A2 (TxA2) yang

akan merangsang agregasi trombosit. TxA2 akan segera diubah menjadi bentuk

6

Page 7: Referat Ready 3

tidak aktif TxB2. Di dalam sel endotel akan terjadi proses yang sama, akan tetapi

PGH2 akan diubah oleh enzim prostasiklin sintetase menjadi prostasiklin (PGI2)

yang mempunyai efek berlawanan dengan TxA2.17

Selama proses agregasi, terjadi perubahan bentuk trombosit dari bentuk

cakram menjadi bulat disertai dengan pembentukan pseudopodi. Akibat

perubahan bentuk ini maka granula trombosit akan terkumpul di tengah dan

akhirnya akan melepaskan isinya. Proses ini disebut sebagai reaksi pelepasan dan

memerlukan adanya enersi. Zat agregator lain seperti trombin, kolagen, epinefrin

dan TxA2 dapat menyebabkan reaksi pelepasan. Tergantung zat yang

merangsang, akan dilepaskan bermacam-macam substansi biologik yang terdapat

di dalam granula padat dan granula alfa. Trombin dan kolagen menyebabkan

pelepasan isi granula padat, alfa dan lisosom. Dari granula padat dilepaskan ADP,

ATP, ion kalsium, serotonin, epinefrin dan nor-epinefrin. Dari granula alfa

dilepaskan fibrinogen, vWF, FV, Platelet faktor 4 (PF4), beta tromboglobulin ( β

TG). Sedangkan dari lisosom dilepaskan bermacam-macam enzim hidrolase

asam.17

Masa agregasi trombosit akan melekat pada endotel, sehingga terbentuk

sumbat trombosit yang menutup luka pada pembuluh darah. Walaupun masih

permeabel terhadap cairan, sumbat trombosit mungkin dapat menghentikan

perdarahan pada pembuluh darah kecil. Tahap terakhir untuk menghentikan

perdarahan adalah pembentukan sumbat trombosit yang stabil melalui fibrin.1,4

2.3. Sistem Pembekuan Darah

Proses pembekuan darah terdiri dari rangkaian reaksi enzimatik yang

melibatkan protein plasma yang disebut sebagai faktor pembekuan darah,

fosfolipid dan ion kalsium. Faktor pembekuan darah dinyatakan dalam angka

Romawi yang sesuai dengan urutan ditemukannya.17

Tabel 2.1. Nomenklatur faktor pembekuan darah17

7

Page 8: Referat Ready 3

Faktor Nama Sinonim

I Fibrinogen -

II Prothrombin -

III Tissue faktor Tissue Thromboplastin

IV Ion kalsium -

V Proaccelelerin Labile factor

VI - -

VII Proconvertin Stable factor

VIII Antihemophilic factor (AHF) Antihemophilic globulin

IX Plasma Thromboplastin Component (PTC) Christmas factor

X Stuart factor Prower factor

XI Plasma Thromboplastin Antecedent (PTA) Antihemophilic factor C

XII Hageman factor Contact factor

XIII Fibrin Stabilizing factor (FSF) Fibrinase lorand factor

- High Molecular Weight Kininogen (HMWK) Fitzgerald factor

- Pre Kalikrein (PK) Fletcher factor

Teori yang banyak dianut untuk menerangkan proses pembekuan darah

adalah teori cascade atau waterfall yang dikemukakan oleh Mac Farlane, Davic

dan Ratnoff. Menurut teori ini tiap faktor pembekuan darah diubah menjadi

bentuk aktif oleh faktor sebelumnya dalam rangkaian reaksi enzimatik. Faktor

pembekuan beredar dalam darah sebagai prekursor yang akan diubah menjadi

enzim bila diaktifkan. Enzim ini akan mengubah prekursor selanjutnya menjadi

enzim. Jadi mula-mula faktor pembekuan darah bertindak sebagai substrat dan

kemudian sebagai enzim.17

Proses pembekuan darah mulai melalui dua jalur yaitu jalur instrinsik yang

dicetuskan oleh aktivasi kontak dan melibatkan F.XII, FXI, FIX, F.VIII, HMWK,

PK, platelet factor 3 (PF.3) dan ion kalsium, serta jalur ekstrinsik yang dicetuskan

oleh tromboplastin jaringan dan melibatkan melibatkan F.VII, ion kalsium. Kedua

8

Page 9: Referat Ready 3

jalur ini kemudian akan bergabung menjadi jalur bersama yang melibatkan F.X,

F.V, PF.3, protombin dan fibrinogen.17

Jalur intrinsik meliputi fase kontak dan pembentukan kompleks aktivator

F.X. Adanya kontak antara F.XII dengan permukaan asing seperti kolagen akan

menyebabkan aktivasi F.XII menjadi F.XIIa. Dengan adanya kofaktor HMWK,

F.XIIa akan mengubag prekalikrein kalikrein yang akan meningkatkan aktivasi

F.XII selanjutnya dengan adanya kofaktor HMWK. Disamping itu kalikrein akan

mengaktifkan F.VII menjadi F.VIIa pada jalur ekstrinsik, serta mengubah

kininogen menjadi kinin yang berperan dalam reaksi inflamasi. Jadi aktivasi F.XII

disamping mencetuskan pembekuan darah baik jalur intrinsik maupun jalur

ekstrinsik, juga mencetuskan sistem fibrinolitik dan kinin. Reaksi selanjutnya

pada jalur intrinsik adalah interaksi nonenzimatik antara F.IXa, PF.3, F.VIII dan

ion kalsium membentuk kompleks yang mengaktifkan F.X. Walaupun F.IXa

dapat mengaktifkan F.X, tetapi dengan adanya PF.3, F.VIII dan ion kalsium maka

reaksi ini akan dipercepat.17

Jalur ekstrinsik terdiri dari reaksi tunggal di mana F.VII akan diaktifkan

menjadi F.VII dengan adanya ion kalsium dan tromboplastin jaringan yang

dikeluarkan oleh pembuluh darah yang luka. Akhir-akhir ini terbukti bahwa

aktivasi F.VII menjadi F.VIIa dapat terjadi dengan adanya kalikrein. Hal ini

membuktikan adanya hubungan antara jalur intrinsik dan ekstrinsik. Selanjutnya

F.VIIa yang terbentuk akan mengaktifkan F.X menjadi F.Xa.17

Jalur bersama meliputi pembentukan prothombin converting complex

(protombinase), aktivasi protombin dan pembekuan fibrin. Reaksi pertama pada

jalur bersama adalah perubahan F.X menjadi F.Xa oleh adanya kompleks yang

terbentuk pada jalur intrinsik dan atau F.VIIa dari jalur ekstrinsik. FXa bersama

F.V, PF 3 dan ion kalsium membentuk prothrombin converting complex yang

akan mengubah protombin menjadi trombin. Trombin merupakan enzim

proteolitik yang mempunyai beberapa fungsi yaitu mengubah fibrinogen menjadi

fibrin, mengubah F.XIII menjadi F.XIIIa, meningkatkan aktivitas F.V dan F.VIII,

merangsang reaksi pelepasan dan agregasi trombosit.17

9

Page 10: Referat Ready 3

Pada reaksi selanjutnya trombin akan mengubah fibrinogen menjadi fibrin

monomer. Seperti kita ketahui fibrinogen terdiri dari 3 pasang rantai polipeptida

yaitu 2 alfa, 2 beta dan 2 gama. Trombin akan memecah rantai alfa dan beta pada

N-terminal menjadi fibrinopeptida A, B dan fibrin monomer. Fibrin monomer.

Fibrin monomer akan segera mengalami polimerisasi untuk membentuk fibrin

polimer. Mula-mula fibrin polimer yang terbentuk bersifat tidak stabil karena

mudah larut oleh adanya zat tertentu seperti urea. Sehingga disebut fibrin polimer

soluble. Dengan adanya F.XIIIa dan ion kalsium, maka fibrin polimer soluble

akan diubah menjadi fibrin polimer insoluble karena terbentuk ikatan silang antara

2 rantai gama dari fibrin monomer yang bersebelahan. Aktivasi F.XIII menjadi

F.XIIIa terjadi dengan adanya trombin.1,4

Gambar 2.1. Cascade koagulasi17

10

Page 11: Referat Ready 3

BAB III

PATOGENESIS TROMBOSIS

Teori mengenai patogenesis trombosis sudah dikenal sejak abad 19. Pada

tahun 1845 Virchow pertama kali mengemukakan adanya tiga faktor utama yang

memegang peranan dalam patogenesis trombosis yaitu kelainan dinding pembuluh

darah, perubahan aliran darah dan perubahan daya beku darah. Ketiga faktor

tersebut disebut triad of virchow’s. Pada waktu itu peranan trombosit dalam

patofisiologi trombosis pada arteri yang terluka.1,12

Gambar 3.1. Triad of virchow’s12

Berdasarkan triad of virchow’s terdapat tiga faktor yang berperan dalam

patofisiologi trombosis, yaitu kelainan dinding pembuluh darah, perubahan aliran

darah dan perubahan daya beku darah. Ketiga faktor tersebut saling berkaitan,

tetapi besarnya peranan masing-masing faktor tidak sama. Pada trombosis arteri

faktor yang paling penting adalah kelainan dinding pembuluh darah, sedang pada

trombosis vena yang terpenting adalah adanya stasis dan hiperkoagulabilitas.1,12

3.1. Perubahan aliran darah

Pembuluh darah bukan merupakan saluran tunggal yang lurus, tetapi

bercabang-cabang. Adanya pola percabangan ini menyebabkan aliran darah di

dalamnya juga mengikuti pola percabangan. Trombosis arteri sering dimulai pada

11

Page 12: Referat Ready 3

orifisium dan daerah percabangan, karena di tempat tersebut terjadi perubahan

aliran darah. Daya hemodinamik sendiri dapat menyebabkan kerusakan endotel,

selain itu perubahan aliran darah akan menimbulkan akumulasi zat-zat yang

terdapat merusak dinding pembuluh darah.2

Pada vena, aliran darah cenderung lambat, bahkan dapat terjadi stasis pada

vena di tungkai yang mengalami immobilisasi. Stasis ini mengakibatkan

gangguan mekanismen pembersih sehingga menimbulkan akumulasi faktor-faktor

pembekuan yang aktif. Trombosis vena biasanya mulai di tempat yang mengalami

stasis, misalnya pada daerah antara dinding vena dan katub yang disebut valve-

pocket thrombi.2

Kecepatan aliran darah dipengaruhi oleh viskositas darah. Faktor-faktor

yang menentukan viskositas darah adalah nilai hematokrit, kemampuan eritrosit

untuk berubah bentuk serta kadar fibrinogen dan protein-protein lain yang

bermolekul besar. Bila nilai hematokrit naik dari 40% menjadi 50% maka

viskositas naik dua kali. Untuk melewati pembuluh darah yang kecil, eritrosit

harus mampu merubah bentuknya. Kemampuan berubah bentuk ini tergantung

dari sifat membran eritrosit. Pada anemia sel sabit, anoksia menyebabkan eritrosit

berbentuk seperti sabit. Sel sabit ini relatif kaku dan tidak dapat berubah bentuk,

sehingga tidak dapat melalui mikrosirkulasi. Protein yang bermolekul besar

seperti fibrinogen dan makroglobulin, maupun interaksinya dengan sel-sel darah

sangat mempengaruhi viskositas. Interaksi eritrosit dengan protein-protein

tersebut mengakibatkan pembentukan rouleaux yang akan meningkatkan

viskositas darah.2

3.2. Peranan pembuluh darah

Semua pembuluh darah, baik arteri, vena maupun kapiler dilapisi oleh

endotel pada permukaan yang menghadap ke lumen. Endotel yang utuh bersifat

non trombogenik. Hal ini disebabkan oleh beberapa substansi yang dihasilkan

oleh endotel yaitu prostasiklin (PGI2), proteoglikan, enzim ADPase, aktivator

plasminogen dan trombomodulin.2,12

12

Page 13: Referat Ready 3

PGI2 adalah metabolit prostaglandin yang merupakan penghambat

agregasi trombosit yang kuat. Mekanisme penghambatan ini melalui

perangsangan adenilat siklase yang akan meningkatkan siklik AMP. Pembentukan

PGI2 oleh endotel dirangsang antara lain oleh trombolin dan trauma mekanik.

Pada bercak aterosklerotik pembentukan PGI2 berkurang. Demikian juga pada

diabetes melitus, haemolytic uremic syndrome, thrombotic thrombocytopenic

purpura, pre eklamsia, perokok dan adanya antikoagulan lupus.2,12

Dinding pembuluh darah mengandung beberapa proteoglikan yaitu

dermatan sulfat, heparan sulfat, chondroitin 4 sulfat, condroitin 6 sulfat dan asam

hialuronat. Diantara zat-zat ini ada yang dapat menghambat agregasi trombosit.

Heparan sulfat dan dermatan sulfat dapat berperan seperti heparin dalam

meningkatkan inaktivasi trombin oleh antitrombin. Adanya enzim ADPase pada

dinding pembuluh darah ikut mencegah pembentukan trombous dengan

menghilangkan efek proagregasi ADP. Endotel dapat melepaskan aktivator

plasminogen yang akan mengaktifkan plasminogen menjadi plasmin yang

selanjutnya akan memecah fibrin. Pelepasan aktivator plasminogen dirangsang

oleh stimulus yang bersifat vasoaktif baik lokal maupun sistemik seperti iskemia,

trombin, bradiklin, asetikolin, histamin, serotonin dan epinefrin. Kerusakan

endotel pembuluh darah menyebabkan aktivator plasminogen berkurang. Endotel

kapiler mengandung paling banyak aktivator plasminogen dari pada vena pada

lengan, karena itu trombosis vena lebih sering terjadi pada tungkai dari pada

lengan. Trombomodulin adalah protein yang berfungsi sebagai kofaktor dalam

aktivasi protein C oleh trombin. Protein C aktif berfungsi sebagai antikoagulan

dengan memecah F Va dan F VIIIa serta meningkatkan fibrinolisis.2

Cedera minimal yang kronis dapat menyebabkan disfungsi endotel yaitu

perubahan fungsi endotel yang disebabkan oleh stres oksidatif misalnya radikal

bebas akibat rokok sigaret, stres hemodinamik misalnya hipertensi maupun oleh

penyebab lain seperti dislipidemia, diabetes melitus, kelainan genetik,

peningkatan kadar homosistein dan infeksi mikroorganisme seperti virus herpes

dan chlamidya pneumaniae.2,12

13

Page 14: Referat Ready 3

Aterosklerosis dimulai dengan pembentukan fatty streak. Sekitar 65% dari

anak berusia antara 12 sampai 14 tahun telah mempunyai lesi ini. Di dalam fatty

streak, lipid berhubungan dengan komponen matriks ekstraseluler seperti

proteoglikan yang memperlambat keluarnya lipid dari fatty sreak. Lipid yang

tertahan di intima terisolasi dari antioksidan plasma sehingga mempermudah

terjadinya oksidasi. Partikel lipoprotein yang teroksidasi dapat memicu ekspresi

oksidasi. Partikel lipoprotein yang teroksidasi dapat memicu ekspresi molekul

adesi seperti P-selection dan vaskuler cell adhesion molecule- 1 (VCAM-1) yang

menjadi perantara perlekatan monosit dan limposit ke sel endotel, serta monocyte

chemoattractant protein -1 (MCP-1) yang mengatur migrasi dan diapedesis

monosit. Monosit yang langsung berinteraksi dengan sel endotel meningkatkan

produksi matrix metalloproteinase-9 (MMP-9) sampai beberapa kali. MMP-9

dapat mendegradasi matriks sehingga monosit dapat menginfiltrasi intima melalui

lapisan endotel dan membrana basalis. Di intima monosit berubah jadi makrofag

mengekspresikan scavenger receptor sehingga dapat memfagosit lipoprotein yang

termodifikasi dan terbentuklah sel busa.2,12

Apabila plak mengalami ruptur dan endotel terkelupas maka proses

trombosis arteri akan dipicu karena trombosit dan faktor koagulasi dalam plasma

terpapar dengan jaringan subendotel yang sangat trombogenik. Plak yang mudah

ruptur atau rapuh ditandai dengan fibrous cap yang tipis 60-150 µm, inti lipid

yang besar yaitu >40% volum, banyak sel busa tetapi sel otot polos sedikit.

Akumulasi sel busa menghasilkan banyak MMP-9 yang ikut berkontribusi dalam

ruptur plak melalui degradasi matriks ekstraseluler. Ekspresi MMP-9 yang

berlebih juga memudahkan pembentukan trombus melalui ekspresi TF.2,12

Pada trombosis vena, kerusakan endotel tidak memegang peranan penting,

kecuali pada trombosis vena femoralis yang terjadi setelah operasi panggul. Pada

operasi ini terjadi kerusakan jaringan yang luas dan melibatkan vena. Selain efek

mekanik tindakan operasi, pemakaian alat protese juga dapat merusak dinding

vena dan kerusakan ini berlangsung relatif lama. Penurunan tonus vena yang

terjadi pada kehamilan dan pemakaian pil kontrasepsi akan menimbulkan stasis

14

Page 15: Referat Ready 3

sehingga memudahkan terjadinya trombosis. Diduga hal ini karena efek

ekstrogen.2,12

3.3. Perubahan daya beku darah

Dalam keadaan normal terdapat keseimbangan dalam sistem pembekuan

darah dan sistem fibrinolisis maupun antara kedua sistem tersebut.

Kecenderungan trombosis timbul bila aktivitas sistem pembekuan darah

meningkat dan atau aktivitas sistem fibrinolisis menurun.2,12

Menurut beberapa peneliti, darah penderita-penderita trombosis lebih

cepat membeku dibandingkan orang normal. Keadaan tersebut disebut

hiperkoagulabilitas. Ternyata pada penderita-penderita tersebut dijumpai

trombositosis dan peningkatan kadar berbagai faktor pembekuan terutama

fibrinogen, FV, VII, VIII dan X. Timbulnya trombosis vena dapat diinduksi

dengan menyuntikkan serum ke dalam vena yang stasis, sedangkan stasis saja

tidak cukup untuk menimbulkan trombosis. Hal ini menunjukkan bahwa adanya

aktivasi ringan sistem pembekuan darah lebih penting dari pada peningkatan

kadar faktor pembekuan darah. Efek trombogenik serum disebabkan oleh sistem

pembekuan darah merupakan faktor utama pada patofisiologi trombosis vena.

Aktivasi sistem pembekuan darah dapat terjadi karena masuknya tromboplastin

jaringan ke dalam darah seperti operasi, trauma dan keganasan. Beberapa jenis

tumor seperti karsinoma pankreas dapat menimbulkan kecenderungan trombosis

vena adalah defisiensi AT, defisiensi protein C, defisiensi protein S,

disfibrinogenemia kongenital, defisiensi F XII dan kelainan struktur

plasminogen.2,12

Defisiensi AT dapat terjadi secara bawaan maupun didapat. AT berfungsi

menetralkan trombin, VIIa, IXa, Xa, XIa dan XIIa. Pada defisiensi AT, maka

faktor-faktor pembekuan yang aktif tidak dinetralkan sehingga kencendrungan

trombosis meningkat. Pada defisiensi AT bawaan, terjadi trombosis vena berulang

yang dimulai sejak usia muda. Defisiensi AT yang didapat, dijumpai pada sirosis

hati, sindroma nefrotik, pemakai pil kontrasepsi, setelah trombosis yang luas dan

setelah pengobatan dengan heparin dosis tinggi. AT disintesis di hati sehingga

pada sirosis hati produksinya menurun. Pada sindroma nefrotik terjadi kehilangan 15

Page 16: Referat Ready 3

AT melalui urin karena kebocoran membranaglomeruli. Pada pemakai pil

kontrasepsi yang mengandung estrogen terjadi penurunan aktivitas AT yang

bersifat reversible. Mekanisme terjadinya hal ini belum diketahui dengan jelas.

Setelah trombosis yang luas, AT banyak terpakai untuk menetralkan faktor-faktor

yang aktif sehingga aktivitasnya berkurang.Demikian pula setelah pengobatan

dengan heparin dosis tinggi AT banyak terpakai karena heparin tidak dapat

bekerja tanpa AT.2,12

Protein C adalah suatu protein yang dibentuk di hati dan pembentukannya

memerlukan vitamin K. Protein ini setelah diaktifkan oleh trombin dengan

bantuan trombomodulin dapat menghambat aktivitas F Va dan F VIIIa serta

meningkatkan fibrinolisis. Oleh karena itu pada defisiensi protein C secara

bawaan akan terjadi trombosis vena yang berulang-ulang. Demikian pula pada

defisiensi S merupakan kofaktor protein C.2,12

Pada defisiensi F XII tidak terdapat gejala perdarahan, melainkan

kecenderungan trombosis. Mungkin hal tersebut berkaitan dengan peranan F XII

pada aktivitas fibrinolisis berkurang. Kelainanan struktur molekul plasminogen

mengakibatkan aktivitas fibrinolisis berkurang sehingga menimbulkan

kecenderungan trombosis.2

Menurut Nossel pada trombosis arteri, peranan trombosit lebih penting

dari pada faktor-faktor pembekuan. Hal ini terlihat pada trombus arteri lebih

banyak mengandung trombosit dari pada fibrin. Pada trombus arteri yang terjadi

pada binatang percobaan, juga terlihat bahwa trombosis mengalami konsentrasi 51

kali sedang fibrinogen hanya 4 kali dari kadarnya dalam darah. Kelainan

trombosit yang dihubungkan dengan trombosis arteri adalah trombositosis dan

trombosit yang hiperaktif. Trombositosis dijumpai pada polisitemia vera dan

trombositemia sedang trombosit yang hiperaktif dijumpai antara lain pada

hiperkolesterolemia dan diabetes melitus.2

Selain trombosit, leukosit dan eritrosit juga ikut berperan, karena di

samping dapat mengeluarkan oksigen radikal yang dapat merusak endotel,

leukosit juga mengandung tromboplastin. Selain itu leukosit juga merangsang

16

Page 17: Referat Ready 3

agregasi trombosit dengan mengeluarkan platelet activating factor (PAF).

Eritrosit banyak mengandung ADP dan fosfolipid, hal ini mungkin dapat

menerangkan terjadinya trombosis pada penderita paroxysmal nocturnal

hemoglobinuria.2,12

3.4. Faktor-faktor risiko untuk trombosis vena

Berdasarkan ketiga faktor yang dijelaskan sebelumnya, faktor utama yang

berperan terhadap terjadinya trombosis vena adalah perubahan aliran darah berupa

statis aliran darah dan perubahan daya beku darah dengan meningkatnya aktifitas

pembekuan darah. Faktor kerusakan dinding pembuluh darah relatif berkurang

berperan terhadap timbulnya trombosis vena dibandingkan trombosis arteri.

Sehingga setiap keadaan yang menimbulkan statis aliran darah dan meningkatkan

aktifitas pembekuan darah dapat menimbulkan trombosis vena. Faktor resiko

tersebut antara lain:7,8

a. Immobilisasi

b. Tindakan operasi yang lama

c. Kontrasepsi oral

d. Trauma jaringan yang luas

e. Keganasan

f. Kehamilan

g. Antiphospholipid syndrome (APS)

h. Activated protein C resistance

i. Defisiensi antitrombin

j. Defisiensi protein C dan protein S

k. Paroxysmal nocturnal hemoglobinuria

Cushman pada tahun 2007 membagi faktor resiko untuk trombosis vena

antara lain dengan faktor resiko yang bisa dimodifikasi, faktor resiko yang bersifat

temporer dan faktor resiko yang tidak dapat di modifikasi. Faktor resiko yang bisa

dimodifikasi adalah obesitas, homasistein. Faktor resiko yang bersifat temporer

adalah perawatan di rumah sakit, trauma, immobiltas, cancer dan faktor resiko

yang yang tidak dapat dimodifikasi adalah faktor genetik.

17

Page 18: Referat Ready 3

BAB IV

DIAGNOSIS TROMBOEMBOLI VENA

4.1. Diagnosis trombosis vena dalam

Anamnesa dan pemeriksaan fisik merupakan hal yang sangat penting

dalam pendekatan pasien dengan dugaan trombosis. Keluhan utama pasien dengan

trombosis vena dalam adalah kaki yang bengkak, nyeri, panas dan kemerahan.

Pada beberapa kasus, kadang-kadang bisa bersifat asimtomatis dan tidak

mempunyai gejala yang spesifik. Adanya trauma pada tungkai, infeksi, penyakit

arteri perifer, penyakit vena lainya dapat memiliki klinis yang menyerupai

trombosis vena dalam. Riwayat penyakit sebelumnya merupakan hal penting

karena dapat diketahui faktor resiko dan riwayat trombosis sebelumnya. Adanya

riwayat trombosis dalam keluarga juga merupakan hal penting.3,4,19,20

Gambar 4.1. Trombosis vena dalam pada tungkai kiri

Pada pemeriksaan fisik, tanda-tanda klinis yang klasik tidak selalu

ditemukan. Gambaran klasik dari trombosis vena dalam adalah edema tungkai

uni lateral, eritema, hangat, nyeri, dapat diraba pembuluh darah superfisial, dan

tanda Homan yang pasitif.3,4

Menegakkan diagnosis trombosis vena dari gejala klinis saja terkadang

kurang sensitif dan kurang spesifik karena banyak kasus trombosis vena yang

besar tidak menimbulkan penyumbatan dan peradangan jaringan perivaskuler

sehingga tidak menimbulkan keluhan dan gejala. Oleh karena itu, pasien yang

18

Page 19: Referat Ready 3

dicurigai trombosis vena dalam harus dilakukan penentuan kemungkinan penyakit

dahulu. Skor Wells telah tervalidasi dan digunakan untuk mengkategorisasi pasien

dengan kemungkinan rendah, sedang ataupun tinggi untuk menderita penyakit

ini.4,19,20

Tabel 4.1. Wells skor untuk trombosis vena dalam4

Peranan pemeriksaan penunjang sangat membantu dalam menegakkan

diagnosis trombosis vena dalam. Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk

menegakkan diagnosis trombosis vena dalam, yaitu:

1. Pemeriksaan D-Dimer

Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengukur kadar D-Dimer dalam darah.

Peningkatan D-Dimer merupakan indikator adanya trombosis yang aktif.

Pemeriksaan ini sensitif, tetapi tidak spesifik, dan sebenarnya lebih berperan

untuk menyingkirkan adanya trombosis jika hasilnya negatif. Pemeriksaan ini

mempunya sensitifitas lebih dari 95% dengan spesifisitas yang rendah.4,20,21

19

Page 20: Referat Ready 3

2. Ultrasonografi

Ultrasonografi vena merupakan pemeriksaan pencitraan pilihan untuk

dignosis trombosis vena dalam. Pemeriksaan ini tidak invasif, aman, relatif

tersedia dan tidak mahal. Ada 3 tipe ultrasonografi vena, yaitu ultrasonografi

kompresi, duplex ultrasonografi ( imaging dan doppler ) dan ultrasonografi

doppler. Pada akhir abad ini, penggunaan ultrasonografi berkembang dengan

pesat, sehingga adanya trombosis vena dapat di deteksi dengan ultrasonografi,

terutama ultrasonografi doppler. Pemeriksaan ini menggunakan gelombang suara

untuk membentuk gambaran aliran darah melalui pembuluh darah arteri dan

pembuluh darah vena pada tungkai yang terkena. Pemeriksaan ini memberikan

hasil sensivity 95% dan spesifity 93,9%. 20,21

3. Venografi

Sampai saat ini venografi masih merupakan pemeriksaan standar untuk

trombosis vena. Akan tetapi teknik pemeriksaannya relatif sulit, mahal dan bisa

menimbulkan nyeri dan terbentuk trombosis baru sehingga tidak menyenangkan

penderitanya. Prinsip pemeriksaan ini adalah menyuntikkan zat kontras ke dalam

di daerah dorsum pedis dan akan kelihatan gambaran sistem vena di betis, paha,

inguinal sampai ke proksimal ke vena iliaca. Pemeriksaan ini tidak terlalu

direkomendasikan, dan dilakukan ketika kecurigaan adanya trombosis vena dalam

tidak ditemukan dengan pemeriksaan non-invasif.4,21

4. Flestimografi impendans

Prinsip pemeriksaan ini adalah mengobservasi perubahan volume darah

pada tungkai. Pemeriksaan ini lebih sensitif pada tombosis vena femoralis dan

iliaca dibandingkan vena di betis. Pemeriksaan ini memiliki sensitifitas 91% dan

spesifisitas 96%.4,21

5. Magnetic resonance imaging (MRI)

Pemeriksaan MRI merupakan salah satu modalitas diagnostik yang sangat

sensitif untuk mendeteksi adanya trombosis vena dalam pada pelvis dan

extremitas atas. Pemeriksaan ini merupakan pilihan utama pada pasien dicurigai

trombosis vena dalam pada vena iliaka atau vena cava ketika CT venografi kontra

indikasi. Pemeriksaan ini tidak memeliki resiko radiasi, akan tetapi masih

merupakan pemeriksaan yang mahal.21

20

Page 21: Referat Ready 3

American Famili Physician pada tahun 2012 mengeluarkan algoritma

diagnosis trombosi vena dalam. Dalam algoritma ini, pasien yang dicurigai

menderita trombosis vena dalam di lakukan pemeriksaan well skor untuk melihat

resiko terjadinya trombosis vena dalam. Setelah itu, pemeriksaan D-dimer dan

ultrasonografi kompresi sangat memiliki peranan penting.4

Gambar 4.2. Algoritma diagnosis trombosis vena dalam4

4.2. Diagnosis emboli paru

Diagnosis trombosis vena dalam dapat ditegakkan berdasarkan

berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada

emboli paru pasien umumnya mengeluh nyeri dada mendadak, sesak nafas,

hemoptisis, banyak keringat dan gelisah. Pada kasus-kasus emboli paru yang

masiv bisa menyebabkan kegagalan hemodinamik berupa hipotensi dan syok.

Pada kasus-kasus emboli paru yang minimal yang hanya segmental dan

subsegmental kadang hanya menimbulkan keluhan yang minimal dan bahkan

asimtomatis. Keluhan-keluhan ini dapat menyerupai nyeri dada pada sindrom

21

Page 22: Referat Ready 3

koroner akut, sehingga diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan evaluasi yang

lebih cermat.3,4,21

Tabel 4.2. Keluhan pada emboli paru6

Seperti pada trombosis vena dalam, kecurigaaan adanya emboli paru bisa

dinilai dengan pemeriksaan prediksi klinik. Ada beberapa pemeriksaan prediksi

klinik yang bisa dilakukan, yaitu wells skor untuk emboli paru, Geneva skor,

PERC (pulmonary embolism rule-out criteria) dan PISA-PED (prospective

investigative studi of acute pulmonary embolism diagnosis). Diantara semua skor

tersebut, tidak ada kriteria tunggal yang lebih superior. Akan tetapi Wells skor

sudah digunakan secara luas untuk memprediksi adanya emboli paru.4

Tabel 4.3. Wells skor untuk emboli paru4

22

Page 23: Referat Ready 3

Pemeriksaan penunjang sangat dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis

emboli paru. Beberapa pemeriksaan penunjang seperti laboratorium, radiologi dan

elekrokardiografi dapat membantu menegakkan diagnosa. Berikut pemeriksaan

penunjang yang dapat dilakukan untuk emboli paru.

1. Pemeriksaan D-dimer

Peningkatan D-Dimer merupakan indikator adanya trombosis yang aktif.

Pemeriksaan ini sensitif, tetapi tidak spesifik, dan sebenarnya lebih berperan

untuk menyingkirkan adanya trombosis jika hasilnya negatif. Pemeriksan D-

Dimer tidak dapat digunakan secara tunggal untuk memprediksi adanya emboli

paru, karena memiliki spesifisitas yang rendah, karena D-Dimer juga dapat

meningkat pada kondisi seperti adanya kanker, inflamasi, perdarahan, trauma,

operasi dan nekrosis jaringan.3,5

2. Pemeriksaan Troponin dan Natriuretic Peptide

Troponin baik itu troponin I dan troponin T dapat diasosiasikan dengan

kemungkinan prognosis pada emboli paru akut. Pada beberapa penelitian

didapatkan adanya hubungan antara peningkatan troponin dengan angka

mortalitas pada emboli paru. Selain itu, peningkatan natriuretic peptide baik itu

brain natriuretic peptide (BNP) maupun N-terminal pro-BNP memiliki prediksi

tingginya angka mortalitas.6

3. Pemeriksaan foto rontgen thorak

Gambaran foto rontgen toraks biasanya menunjukkan kelainan, walaupun

tidak jelas, non spesifik dan tidak memastikan diagnosis. Gambaran yang nampak

berupa atelektasis atau infiltrat. Gambaran lain dapat berupa konsolidasi,

perubahan letak diafragma, penurunan gambaran vaskuler paru, walaupun dapat

dijumpai normal pada 40% kasus.3

4. Elektrokardiografi

Temuan elektrokardiografi tidak spesifik. Elektrokardiogram normal tidak

menyingkirkan diagnosis emboli paru, bila ditemukan perubahan, seringkali dapat

berupa:6

a. Sinus takikardi atau atrial aritmia

b. Low voltage

c. Q wave di lead III dan AVF (pseudoinfarction)

23

Page 24: Referat Ready 3

d. S1Q3T3 pattern

e. Qr pattern di V1

f. P pulmonal

g. Right axis deviasi

h. QT prolongation

i. RBBB komplit atau inkomplit

5. Ekhokardiografi

Pada emboli paru akut, adanya overload dan peningkatan tekanan serta

disfungsi ventrikel kanan dapat dideteksi dengan pemeriksaan ekhokardiografi.

Pemeriksaan ekhokardiografi tidak terlalu spesifik, karena disfungsi ventrikel

kanan bisa saja disebabkan oleh penyakit lain seperti penyakit paru kronik dan

hasil yang negatif pada ekhokardiografi tidak dapat menyingkirkan adanya emboli

paru. Hasil yang positif pada pemeriksaan ekhokardiografi juga menunjukan

buruknya prognasis pasien dengan meningkatnya angka mortalitas.5,6

6. Computed tomografi (CT) angiografi

Multidetektor CT angiografi merupakan modalitas diagnosis imaging

utama pada pasien dengan emboli paru di Amerika Serikat. Pemeriksaan ini

digunakan pada pasien yang dicurigai menderita emboli paru dengan D-dimer

positif atau dengan tinggi pada pemeriksaan prediksi klinis emboli paru.

Pemeriksaan ini dilaporkan memiliki validitas yang sama dengan diagnosis

emboli paru dengan pulmonari angiografi konvensional dan ventilasi-perfusi

(V/Q) scaning. Pada pasien dengan intermediet dan resiko tinggi emboli paru,

pemeriksaan CT angiografi memiliki nilai prediksi positif 92-96%.4,5

7. Pulmonary angiografi

Pulmonari angiografi sudah lama menjadi standar pemeriksaan untuk

diagnosis emboli paru. Namun, pemeriksaan ini sekarang sudah jarang dilakukan

karena pemeriksaan CT angiografi lebih kurang invasif tapi memberikan hasil

akurasi yang sama dengan pemeriksaan pulmonari angiografi. Pulmonari

angiografi sering digunakan pada penatalaksaan emboli akut langsung dengan

kateter perkutaneus. Diagnosis emboli paru ditegakkan dengan menilai adanya

trombus yang terlihat dengan gambaran filling defect atau terputusnya cabang-

cabang arteri pulmonalis.4,5

24

Page 25: Referat Ready 3

American Academy of Family Physician tahun 2012 merekomendasikan

skema diagnosis emboli paru. Pada skema ini digambarkan pentingnya penilaian

awal terhadap kemungkinan trombosis dan diikuti dengan pemeriksaan penunjang

lainnya.24

Gambar 4.4. Skema diagnosa emboli paru4

25

Page 26: Referat Ready 3

BAB V

PENATALAKSANAAN TROMBOEMBOLI VENA

5.1. Penatalaksanaan trombosis vena dalam

Penatalaksanaan trombosis vena dalam harus segera dilakukan setelah

diagnosis ditegakkan. Tujuan terapi trombosis vena dalam adalah:3,21

Menghentikan bertambahnya trombus

Membatasi bengkak yang progresif pada tungkai

Melisiskan atau membuang trombus dan mencegah disfungsi vena sindrom

pasca trombosis

Mencegah terjadinya emboli

5.1.1. Terapi antikoagulan

Antikoagulan merupakan terapi utama pada kasus-kasus tromboemboli

vena. Ada beberapa jenis antikoagulan yang dapat digunakan pada terapi

trombosis vena dalam, diantaranya, unfractionated heparin (UFH), low molecular

weight heparin, fondaparinux, vitamin K antagonis, dan antikoagulan oral baru.

1. Unfractionated heparin (UFH)

Unfractionated heparin (UFH) sudah lama digunakan sebagai terapi

trombosis vena dalam pada saat awal. Mekanisme kerja obat ini adalah dengan

meningkatkan kerja antitrombin III sebagai inhibitor faktor pembekuan dan

melepaskan tissue factor pathway inhibitor (TFPI) dari dinding pembuluh darah.

Terapi ini diberikan dengan bolus 80 IU/kgBB intravena dilanjutkan dengan infus

18 IU/kgBB dengan pemantauan nilai activated partial tromboplastin time

(APTT) sekitar 6 jam setelah bolus untuk mencapai target APTT 1,5-2,5 kali nilai

kontrol dan kemudian dipantau sedikitnya setiap hari. 3,6,22

Pemberian UFH dapat diberikan 5-10 hari. UFH dapat dihentikan setelah

4-5 hari pemberian kombinasi dengan warfarin dengan INR 2.0-3.0. Sebelum

memulai terapi UFH, APTT, protrombin time (PT), dan jumlah trombosit harus

diperiksa, terutama pada pasien dengan resiko perdarahan yang tinggi atau dengan

gangguan hati dan ginjal. Berikut adalah tabel dosis UFH berdasarkan nilai APTT

dan berat badan pasien:6

26

Page 27: Referat Ready 3

Tabel. 5.1. Dosis UFH berdasarkan nilai APTT dan berat badan

2. Low molecular weight heparin (LMWH)

Low molecular weight heparin (LMWH) merupakan antikoagulan

parenteral bekerja lebih besar pada inhibitor faktor Xa dan sedikit efek pada

antitrombin III dalam hal sebagai antikoagulan. LMWH dapat diberikan satu atau

dua kali sehari secara subkutan dan mempunyai efikasi yang baik. American

Heart Association pada tahun 2011 merekomendasikan pemberian LMWH

dengan dosis 1mg/kgBB/hari subkutan 2 kali sehari atau 1,5 mg/kg satu kali per

hari. Keuntungan dari LMWH adalah resiko perdarahan yang lebih kecil dan tidak

memerlukan pemantauan laboratorium yang sering dibanding UFH, kecuali pada

pasien tertentu seperti gagal ginjal dan obesitas.3,6

3. Fondaparinux

Fondaparinux merupakan sintetik pentasakarida analog yang bekerja

sebagai inhibitor faktor Xa secara tidak langsung. American Heart Association

pada tahun 2011 merekomendasikan pemberian dosis 5 mg sekali sehari untuk

pasien dengan berat badan < 50 kg dan 7,5 mg untuk pasien 50-100 kg secara

subkutan.6,21

4. Vitamin K antagonis (warfarin)

Pemberian antikoagulan vitamin K antagonis sebagai terapi awal pada

trombosis vena dalam tidak direkomendasikan. Obat ini diberikan bersama-sama

saat terapi koagulan parenteral akan dihentikan dengan pemantauan international

27

Page 28: Referat Ready 3

normalised ratio (INR). Target INR dari terapi warfarin adalah 2-3. Lama

pemberiannya sangat bervariasi, tergantung pada faktor resiko trombosis vena

dalam pada pasien tersebut. Berikut adalah tabel dosis warfarin sesuai dengan

target INR 3,11,21

Tabel 5.2. Dosis warfarin sesuai dengan target INR

5. Antikoagulan oral baru

Penelitian mengenai penggunaan antikoagulan oral baru sudah banyak

dilakukan sebagai terapi tromboemboli vena. Antikoagulan oral baru terdiri dari

direct trombin inhibitor seperti darbigtran dan anti Xa seperti seperti rivaroxaban,

apixaban dan edoxaban. Beberapa studi yang dilakukan didapatkan kesimpulan

bahwa antikoagulan baru memiliki efek yang sama sama bagusnya dalam hal

sebagai terapi tromboemboli vena dan bahkan lebih bagus mengurangi efek

samping perdarahan pada pasien.23,24,25,26

5.1.2. Terapi trombolitik

Terapi ini bertujuan untuk melisiskan trombus secara cepat dengan cara

mengaktifkan plasminogen menjadi plasmin. Trombolitik yang biasa digunakan

adalah tissue plasminogen actvator, streptokinase, dan urokinase. Terapi ini jarang

dilakukan dan umumnya hanya efektif pada fase awal dan penggunaanya harus

benar-benar dipertimbangkan secara baik karena mempunyai efek resiko 28

Page 29: Referat Ready 3

perdarahan tiga kali lipat dibandingkan dengan teerapi antikoagulan saja. Pada

umumnya terapi ini hanya dilakukan pada trombosis vena dalam dengan oklusi

total, terutama pada iliofemoral.3,21

5.1.3. Terapi kompresi

Terapi kompresi dengan menggunakan stoking elastis bertujuan untuk

mencegah stasis vena, mengurangi bengkak dan nyeri pada tungkai, sebagai

preventif timbulnya trombus baru dan mencegah timbulnya sindrom pos

trombosis. Pemasangan stoking elastis dengan tekanan 30-40 mmHg pada ankel

kaki sampai pangkal paha. Terapi ini dapat diberikan secara bersamaan dengan

terapi lain. Japanese Circulation Society tahun 2011 tetap merekomendasikan

terapi kompresi pada pasien trombosis vena dalam.10,21,22

5.1.4. Trombektomi

Indikasi open surgical thrombectomy antara lain adalah trombosis vena

iliofemoral akut tetapi terdapat kontraindikasi trombolitik atau gagal dengan

trombolitik maupun mechanical thrombectomy, lesi yang tidak dapat diakses oleh

kateter, lesi dimana trombus sukar dipecah dan pasien yang dikontraindikasikan

untuk penggunaan antikoagulan. Setelah tindakan pembedahan, heparin diberikan

selama 5 hari dan pemberian warfarin harus dimulai 1 hari setelah operasi dan

dilanjutkan selama 6 bulan setelah pembedahan. Untuk hasil yang maksimal

tindakan pembedahan sebaiknya dilakukan kurang dari 7 hari setelah onset

trombosis vena dalam.22

5.1.5. Filter vena cava inferior

Filter vena cava inferior diindikasikan pada pasien kontraindikasi absolut

penggunaan antikoagulan, gagal terapi antikoagulan. Absolut kontraindikasi

antikoagulan meliputi perdarahan intraserebral, perdarahan saluran cerna, batuk

darah yang masiv, CNS trauma, trombositopeni signifikan (<50.000/uL).

Komplikasi dari filter vena cava inferior meliputi hematom pada tempat insersi,

filter berpindah, filter embolisasi dan obstruksi vena cava inferior.3,21

5.2. Penatalaksanaan emboli paru

29

Page 30: Referat Ready 3

Emboli paru merupakan salah satu kegawatdaratan medis yang harus

ditangani dengan segera. Berdasarakan ada tidaknya syok pada pasien, ESC tahun

2014 membagi emboli paru menjadi 2 bagian yang sangat mempengaruhi alur

penanganan pasien.6

5.2.1. Tindakan untuk memperbaiki keadaan umum dan hemodinamik

Kegagalan jantung kanan akut menyebabkan menurunnya perfusi sistemik

yang meningkatkan angka kematian pada pasien emboli paru. Keadaan ini

menyebabkan kita untuk menjaga keadaan vital pasien sebagai akibat dari

kegagalan jantung kanan pada emboli paru. Penelitian yang mengindikasikan

pemberian cairan yang agresif tidak menguntungkan dan bahkan tambah

memburuknya fungsi jantung kanan. Pemberian vasopresor sangat diperlukan dan

bisa diberikan bersamaan dengan terapi lain terhadap emboli paru untuk

menstabilkan hemodinamik. Pemberian oksigen untuk mencegah terjadinya

hipoksemia juga diperlukan.5

5.2.2. Terapi antikoagulan

Pada pasien dengan emboli paru, antikoagulan merupakan terapi utama

yang direkomendasikan. Lama pemberian antikoagulan minimal selama 3 bulan.

Pada fase akut, antikoagulan parenteral yang paling direkomendasikan.

Antikoagulan parenteral yaitu UFH, LMWH dan fondaparinux yang diberikan

selama 5-10 hari. Pemberian terapi antikogulan parenteral harus diberikan

bersamaan dengan terapi koagulan oral sebelum dilanjutkan dengan terapi

antikoagulan oral tunggal.5

1. Antikoagulan parenteral

Unfractionated heparin (UFH), LMWH, dan fondaparinux merupakan

antikoagulan parenteral yang digunakan pada terapi awal pada emboli paru. Dosis

dan lama pemberian sama dengan pemberian antikogulan parenteral pada

trombosis vena dalam. UFH diberikan dengan dosis awal bolus 80 IU/kgBB

intravena dilanjutkan dengan infus 18 IU/kgBB dengan pemantauan nilai

activated partial tromboplastin time (APTT) sekitar 6 jam setelah bolus untuk

mencapai target APTT 1,5-2,5 kali nilai kontrol dan kemudian dipantau sedikitnya

30

Page 31: Referat Ready 3

setiap hari. LMWH dengan dosis 1mg/kgBB/hari subkutan 2 kali sehari atau 1,5

mg/kg satu kali per hari. Fondaparinux diberikan dengan ndosis 5 mg sekali sehari

untuk pasien dengan berat badan < 50 kg dan 7,5 mg untuk pasien 50-100 kg

secara subkutan.5,6,22

2. Vitamin K antagonis (VKA)

Pemberian antikoagulan vitamin K antagonis sebagai terapi awal pada

emboli paru tidak direkomendasikan. VKA merupakan obat antiokoagulan standar

yang sudah ada sejak 50 tahun yang lalu. Obat ini diberikan bersama-sama saat

terapi koagulan parenteral sedikitnya 5 hari dengan pemantauan international

normalised ratio (INR). Target INR dari terapi warfarin adalah 2.0-3.0. Lama

pemberiannya sangat bervariasi, tergantung pada faktor resiko emboli paru pada

pasien tersebut.5,6

3. Antikoagulan oral baru

Penelitian mengenai penggunaan antikoagulan oral baru sudah banyak

dilakukan sebagai terapi tromboemboli vena. Antikoagulan oral baru terdiri dari

direct trombin inhibitor seperti darbigtran dan anti Xa seperti seperti rivaroxaban,

apixaban dan edoxaban. Beberapa studi yang dilakukan didapatkan kesimpulan

bahwa antikoagulan baru memiliki efek yang sama sama bagusnya dalam hal

sebagai terapi emboli paru dan bahkan lebih bagus mengurangi efek samping

perdarahan pada pasien.23,24,25,26

5.2.3. Terapi trombolitik

Terapi trombolitik merupakan salah satu modalitas terapi pada

tromboemboli paru. Penggunaan terapi harus dengan pertimbangan yang klinis

yang ketat. Efek samping perdarahan pada terapi trombolitik meningkat 3 kali

lipat dibandingkan dengan terapi anti koagulan. Untuk menghindari efek samping

perdarahan pada terapi trombolitik, ada beberapa kondisi yang menjadi kontra

indikasi terapi trombolitik, diantaranya perdarahan yang aktif, riwayat perdarahan

intrakranial spontan, operasi dalam 10 hari sebelumnya dan strok iskemik dalam 2

bulan terakhir. Indikasi pemberian terapi trombolitik pada emboli paru adalah

emboli paru yang masif dengan hemodinamik yang tidak stabil yang ditandai

dengan disfungsi ventrikel kanan yang dapat dilihat pada ekhokardiografi.

31

Page 32: Referat Ready 3

Japanese Circulation Society tahun 2011 tetap merekomendasikan pemberian

intravena monteplase dengan dosis 13.750-27.500 unit/kgBB selama 2 menit.

Sedangkan American Heart Association tahun 2011 merekomendasikan

pemberian intra vena alteplase 100 mg selama 2 jam.6,22

5.2.4. Operasi embolektomi

Operasi embolektomi dilakukan pada pasien dengan emboli paru yang

masif dengan hemodinamik yang stabil serta kontra indikasi pemberian

trombolitik atau gagal terapi trombolitik. Emboli biasanya menutupi cabang-

cabang utama dari arteri pulmonalis, sehingga menimbulkan kegagalan sirkulasi.

Pada kondisi seperti operasi embolektomi bisa menjadi salah satu modalitas terapi

ketika terapi trombolitik gagal atau kontraindikasi. Pada sebuah studi baru-baru

ini, terdapat 47 pasien yang dilakukan operasi embolektomi dengan 96% survival

rate dalam 4 tahun.6,22

BAB 6

32

Page 33: Referat Ready 3

PENUTUP

6.1. Kesimpulan

1. Trombosis adalah pembentukan suatu massa abnormal di dalam sistem

peredaran darah makhluk hidup yang berasal dari komponen-komponen

darah dan presentasi klinis dari tromboemboli vena yang utama adalah

trombosis vena dalam dan emboli paru.

2. Patogenesis trombosis dapat diterangkan berdasarkan triad of Virchow’s

yaitu kelainan dinding pembuluh darah, perubahan aliran darah dan

perubahan daya beku darah dan pada trombosis vena peranan aliran

darah berupa berupa statis aliran darah dan perubahan daya beku darah

dengan meningkatnya aktifitas pembekuan darah.

3. Terapi utama pada penatalaksanaan tromboemboli vena adalah

antikoagulan, antikoagulan parenteral direkomendasikan pada fase awal

terjadinya tromboli emboli vena, dan kemudian dilanjutkan dengan

antikoagulan oral.

4. Peranan antikoagulan oral baru sebagai pengobatan terhadap

tromboemboli vena memiliki efikasi yang sama dengan terapi standar

dan bahkan menurunkan efek samping perdarahan

6.2. Saran

1. Perlunya pemahaman lebih lanjut mengenai patogenesis dan

penatalaksanaan tromboemboli vena.

2. Perlunya melengkapi sarana dan prasarana pemeriksaan penunjang

untuk diagnosis tromboemboli vena sehingga dapat menangani pasien

lebih baik lagi.

DAFTAR PUSTAKA

33

Page 34: Referat Ready 3

1. Setiabudy RD. Patofisiologi Trombosis. Dalam : Hemostasis dan Trombosis.

Edisi Kelima. Editor Setiabudy RD. Penerbit FKUI. 2012 : 34-47

2. Cushman M. Epidemiology and Risk Faktor for Venous Thrombosis. Semin

Hematol. 2007; 44: 62-69

3. Sukrisman L. Trombosis Vena Dalam dan Emboli Paru. Dalam: Buku Ajar

Ilmu Penyakit Dalam. Edisi keenam. Editor Sudoyo AW, Setiohadi, Alwi I,

Simadibrata, Setiati S. Penerbit Interna Publising. 2014: 2818-2822

4. Wilbur J, Shian B. Diagnosis of Deep Venous Thrombosis and Pulmonary

Embolism. Journal of American Family Physician. Vol.86, 2012

5. Konstantinides SV, Torbicki A, Agnelli G, Danchin N, Fitzmaurice D, Gallie

N, et all. 2014 ESC Guedlines on the Diagnosis and Management of Acute

Pulmonary Embolism. European Heart Journal. 2014; 35: 3033-3080

6. Jaff MR, Murtry MS, Archer SL, Cushman M, Goldenberg N, Goldhaber SZ,

et all. Management of Massive and Submassive Pulmonary Embolism,

Iliofemoral Deep Vein Thrombosis, and Chronic Thromboembolic

Pulmonary Hypertension: A Scientific Statement From the American Heart

Association. Circulation. 2011;123:1788-1830

7. Versteeg HH, Heemskerk JWM, Levi M, Reitsma PH. New Fundamentals in

Hemostasis. Physiol rev. 2013; 93: 327-358

8. Goldhaber SZ. Risk Factors for Venous Thromboembolism. Journal of the

American College of Cardiology. Vol. 56. No.1, 2010

9. Mackman N. New Insights Into the Mechanisms of Venous Thrombosis. The

Journal of Clinical Investigation. Vo.122. No.7, 2012

10. Moheimani F, Jackson DE. Venous Thromboembolism: Classification, Risk

Factors, Diagnosis, and Management. ISRN Hematology. Vol.11. 2011

11. Wells PS, Forgie MA, Rodger MA. Treatment of Venous Thromboembolism.

Journal of American Medical Association. 2014; 311(7): 717-728

12. Esmon CT. Basic Mechanisms and Pathogenesis of Venous Thrombosis.

Blood rev. 2009; 23(5): 225-229

13. Bounameaux H, Perrier A, Righini M. Diagnosis of venous

thromboembolism. Vascular Medicine Journal. 2010; 15(5): 399–406

34

Page 35: Referat Ready 3

14. Ageno W. Recent Advances in the Management of Venous

Thromboembolism. Korean Journal of Hematology. 2010; 45: 8-13

15. Einstein. Oral Rivaroxaban for the Treatment of Symptomatic Pulmonary

Embolism. New England Journal Medical. 2012; 366: 1287-1297

16. Qaseem A, Chou R, Humphrey LL, Starkey M, Shekelle P. Venous

Thromboembolism Prophylaxis in Hospitalized Patients: A Clinical Practice

Guideline From the American College of Physicians. Annal Intern Medicine.

2011; 155: 625-632

17. Oesman F, Setiabudy RD. Fisiologi Hemostasis dan Fibrinolisis. Dalam:

Hemostasis dan Trombosis. Edisi Kelima. Editor Setiabudy RD. Penerbit

FKUI. 2012 : 1-15

18. Harrison P. Platelet function analysis. Blood Reviews. 2005: 19; 111–123

19. Scarvelis D, Wells PS. Diagnosis and treatment of Deep Vein Thrombosis.

CMAJ. 2006; 175(9): 1087-1092

20. Wells P, Anderson D. The diagnosis and Treatment of Venous

Thromboembolism. Journal of American Society of Hematology. 2013: 457-

463

21. Kesieme E, Kesieme C, Jebbin N, Irekpita E, Andrew D. Deep Vein

Thrombosis: a clinical review. Journal of Blood Medicine. 2011; 2: 59–69

22. JCS Joint Working Group. Guidelines for the Diagnosis, Treatment and

Prevention of Pulmonary Thromboembolism and Deep Vein Thrombosis.

Journal of the Japanese Circulation Society. 2011; 75: 1258-1281

23. Sedille N, Korte W. New Anticoagulants for the Prevention and therapy of

Venous Thromboembolism-a review. Cardiovascular Medicine. 2012; 15(5):

147-164

24. Schulman S, Kearon C, Kakkar AK, Schellong S, Eriksson H, Baanstra D, et

all. Extended Use of Dabigatran, Warfarin, or Placebo in Venous

Thromboembolism. New England Journal Medical. 2013; 368: 709-718

25. Hokusei. Edoxaban versus Warfarin for the Treatment of Symptomatic

Venous Thromboembolism. New England Journal Medical. 2013; 369: 1406-

1415

35

Page 36: Referat Ready 3

26. Agnelli G, Buller HR, Cohen A, Curto M, Gallus AS, Johnson M, et all.

Apixaban for Extended Treatment of Venous Thromboembolism. New

England Journal Medical. 2013; 368: 699-708

36