referat peb-antihipertensi

44
BAB I PENDAHULUAN Hipertensi dalam kehamilan merupakan 5 – 15% penyulit kehamilan dan merupakan salah satu dari tiga penyebab tertinggi mortalitas dan morbiditas ibu bersalin. Di Indonesia mortalitas dan morbiditas hipertensi dalam kehamilan juga masih cukup tinggi. Hal ini disebabkan selain oleh etiologi tidak jelas, juga oleh perawatan dalam persalinan masih ditangani oleh petugas non medik dan sistem rujukan yang belum sempurna. Hipertensi dalam kehamilan dapat dialami oleh semua lapisan ibu hamil sehingga pengetahuan tentang pengelolaan hipertensi dalam kehamilan harus benar-benar dipahami oleh semua tenaga medik baik di pusat maupun di daerah. 1 Untuk hipertensi berat, obat antihipertensi digunakan untuk mencegah komplikasi maternal yang serius dan komplikasi janin, namun tidak ada konsensus mengenai kapan pemberian pengobatan pada hipertensi ringan-sedang. Gangguan hipertensi selama kehamilan terjadi pada wanita yang sudah memiliki hipertensi kronis primer atau sekunder, dan pada wanita dengan hipertensi onset baru yang baru muncul pada saat kehamilan. Ketika tekanan arteri rata-rata melebihi 140 mmHg terdapat risiko yang signifikan dari pembuluh darah pada otak ibu. Tujuan dari pengobatan adalah untuk menjaga tekanan darah setiap saat kurang dari 170/110 mmHg tetapi tidak lebih rendah dari 130/90 mmHg. Obat antihipertensi digunakan pada kehamilan 1

Upload: am555999

Post on 27-Jan-2016

258 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

peb

TRANSCRIPT

Page 1: REFERAT PEB-antihipertensi

BAB I

PENDAHULUAN

Hipertensi dalam kehamilan merupakan 5 – 15% penyulit kehamilan dan merupakan

salah satu dari tiga penyebab tertinggi mortalitas dan morbiditas ibu bersalin. Di Indonesia

mortalitas dan morbiditas hipertensi dalam kehamilan juga masih cukup tinggi. Hal ini

disebabkan selain oleh etiologi tidak jelas, juga oleh perawatan dalam persalinan masih

ditangani oleh petugas non medik dan sistem rujukan yang belum sempurna. Hipertensi

dalam kehamilan dapat dialami oleh semua lapisan ibu hamil sehingga pengetahuan tentang

pengelolaan hipertensi dalam kehamilan harus benar-benar dipahami oleh semua tenaga

medik baik di pusat maupun di daerah.1

Untuk hipertensi berat, obat antihipertensi digunakan untuk mencegah komplikasi

maternal yang serius dan komplikasi janin, namun tidak ada konsensus mengenai kapan

pemberian pengobatan pada hipertensi ringan-sedang. Gangguan hipertensi selama kehamilan

terjadi pada wanita yang sudah memiliki hipertensi kronis primer atau sekunder, dan pada

wanita dengan hipertensi onset baru yang baru muncul pada saat kehamilan. Ketika tekanan

arteri rata-rata melebihi 140 mmHg terdapat risiko yang signifikan dari pembuluh darah pada

otak ibu. Tujuan dari pengobatan adalah untuk menjaga tekanan darah setiap saat kurang dari

170/110 mmHg tetapi tidak lebih rendah dari 130/90 mmHg. Obat antihipertensi digunakan

pada kehamilan untuk mengurangi risiko langsung akibat tekanan darah yang terlampau

tinggi.2

Preeklampsia sebagai salah satu penyakit yang sering dijumpai pada ibu hamil dan

masih merupakan salah satu penyebab kematian ibu. Preeklampsia merupakan penyakit yang

ditandai dengan adanya edema, hipertensi dan proteinuria yang terjadi setelah umur

kehamilan 20 minggu. Efek preeklampsia pada kematian perinatal berkisar antara 10-28%.

Penyebab terbanyak kematian perinatal disebabkan prematuritas, pertumbuhan janin

terhambat, dan solutio plasenta. Sekitar 75% Preeklampsia terjadi antepartum dan sisanya

terjadi pada postpartum. Preeklampsia berat pada perkembangannya dapat berkembang

menjadi eklampsia yang ditandai dengan timbulnya kejang atau konvulsi. Penggunaan obat

pada saat mengandung bagi ibu hamil harus diperhatikan. Pencegahan konsekuensi

1

Page 2: REFERAT PEB-antihipertensi

kardiovaskular dan serebrovaskular sebagai akibat dari tingginya tekanan darah dengan cepat

merupakan tujuan penting dari manajemen klinis, sehingga sering membutuhkan penggunaan

obat antihipertensi dengan bijaksana.3,4

2

Page 3: REFERAT PEB-antihipertensi

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Preeklampsia Berat (PEB)

2.1.1 Definisi

Preeklampsia ialah timbulnya hipertensi disertai proteinuria dan / atau edema

akibat dari kehamilan setelah umur kehamilan 20 minggu atau segera setelah

persalinan, bahkan setelah 24 jam postpartum.1,3

Hipertensi ialah tekanan darah sistolik dan diastolik ≥ 140/90 mmHg.

Pengukuran tekanan darah sekurang-kurangnya dilakukan 2 kali selang 4 jam.

Proteinuria ialah adanya 300 mg protein dalam urin selama 24 jam atau sama dengan

≥ 1 + dipstick.1

Preeklampsia berat adalah suatu komplikasi kehamilan yang ditandai dengan

timbulnya tekanan darah tinggi 160/110 mmHg atau lebih disertai proteinuria

dan/atau edema pada kehamilan 20 minggu atau lebih.1

2.1.2 Faktor Risiko

Terdapat banyak faktor risiko untuk terjadinya hipertensi dalam kehamilan,

yang dapat dikelompokkan dalam faktor risiko sebagai berikut:1

1. Primigravida, primipaternitas

2. Hiperplasentosis, misalnya: mola hidatidosa, kehamilan multipel, diabetes

mellitus, hidrops fetalis, bayi besar

3. Umur yang ekstrim

4. Riwayat keluarga pernah preeklampsia/eklampsia

5. Penyakit-penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum hamil

6. Obesitas

Perempuan muda dan nulipara sangat rentan untuk mengembangkan

preeklamsia, sedangkan wanita yang lebih tua memiliki risiko lebih besar untuk

hipertensi kronis dengan preeklamsia. Insiden tersebut nyata dipengaruhi oleh ras dan

etnik serta oleh predisposisi genetik. Faktor-faktor lain termasuk pengaruh lingkungan

3

Page 4: REFERAT PEB-antihipertensi

dan sosial ekonomi. Kejadian preeklampsia pada populasi nulipara berkisar antara 3%

- 10%. Insiden preeklampsia pada multipara juga variabel tetapi kurang dari pada

nulipara.3

Ada beberapa faktor risiko lain yang terkait dengan preeklamsia. Termasuk

didalamnya adalah obesitas, kehamilan multifetal, usia ibu, hyperhomocysteinemia,

dan sindrom metabolik. Hubungan antara berat badan ibu dan risiko preeklamsia

adalah progresif. Hal ini meningkat dari 4,3% untuk wanita dengan indeks massa

tubuh (IMT) < 20 kg/m2 menjadi 13,3% pada mereka dengan IMT > 35 kg/m2. Pada

wanita dengan kehamilan gemelli dibandingkan dengan mereka yang tunggal,

insidensi dari kehamilan hipertensi adalah 13% dengan 6%, dan kejadian

preeklampsia 13% dengan 5%, keduanya signifikan meningkat.3

2.1.3 Etiologi dan Patofisiologi

Teori yang dianggap dapat menjelaskan etiologi dan patofisiologi

preeklampsia harus dapat menjelaskan bahwa hipertensi dalam kehamilan seringkali

terjadi pada:3

1. Mereka yang terpapar pada villi chorialis untuk pertama kalinya (pada

nulipara)

2. Mereka yang terpapar dengan villi chorialis yang berlimpah (pada kehamilan

gemelli atau mola)

3. Mereka yang sudah menderita penyakit vascular sebelum kehamilan

4. Penderita dengan predisposisi genetik hipertensi

Faktor-faktor yang berpotensi sebagai etiologi adalah:

1. Invasi trofoblastik abnormal kedalam vasa uterine

Pada awal kehamilan, sel sitotrofoblas menginvasi arterispiralis uterus,

mengganti lapisan endothelial dari arteri tersebut dengan merusak jaringan elastis

medial, muskular, dan neural secara berurutan. Sebelum trimester kedua

kehamilan berakhir, arteri spiralis uteri dilapisi oleh sitotrofoblas, dan sel

endothelial tidak lagi ada pada bagian endometrium atau bagian superfisial dari

4

Page 5: REFERAT PEB-antihipertensi

miometrium. Proses remodeling arteri spiralis uteri menghasilkan pembentukan

sistem arteriolar yang rendah tahanan serta mengalami peningkatan suplai volume

darah yang signifikan untuk kebutuhan pertumbuhan janin. Pada preeklampsia,

invasi arteri spiralis uteri hanya terbatas pada bagian desidua proksimal, dengan

30% sampai dengan 50% arteri spiralis dari placental bed luput dari proses

remodeling trofoblas endovaskuler. Segmen miometrium dari arteri tersebut

secara anatomis masih intak dan tidak terdilatasi. Rerata diameter eksternal dari

arteri spiralis uteri pada ibu dengan preeklampsia adalah 1,5 kali lebih kecil dari

diameter arteri yang sama pada kehamilan tanpa komplikasi. Kegagalan dalam

proses remodeling vaskuler ini menghambat respon adekuat terhadap kebutuhan

suplai darah janin yang meningkat yang terjadi selama kehamilan. Ekspresi

integrin yang tidak sesuai oleh sitotrofoblas ekstravilli mungkin dapat

menjelaskan tidak sempurnanya remodeling arteri yang terjadi pada preeklampsia.

Kegagalan invasi trofobas pada preeklampsia menyebabkan penurunan perfusi

uteroplasenta, sehingga menghasilkan plasenta yang mengalami iskemi progresif

selama kehamilan. Selain itu, plasenta pada ibu dengan preeklampsia

menunjukkan peningkatan frekuensi infark plasenta dan perubahan morfologi

yang dibuktikan dengan proliferasi sitotrofoblas yang tidak normal.3

Plasenta yang mengalami iskemia dan hipoksia akan menghasilkan oksidan.

Oksidan atau radikal bebas adalah senyawa penerima elektron atau atom/molekul

yang mempunyai elektron yang tidak berpasangan. Salah satu oksidan penting

yang dihasilkan plasenta iskemia adalah radikal hidroksil yang sangat toksis,

khususnya terhadap membran sel endotel pembuluh darah. Sebenarnya produksi

oksidan pada manusia adalah suatu proses yang normal, karena oksidan memang

dibutuhkan untuk perlindungan tubuh. Radikal hidroksil akan merusak membran

sel, yang mengandung banyak asam lemak tidak jenuh menjadi peroksida lemak.

Peroksida lemak selain akan merusak membran sel, juga akan merusak nukleus,

dan protein sel endotel.

Pada hipertensi dalam kehamilan telah terbukti bahwa kadar oksidan,

khususnya peroksida lemak meningkat, sedangkan antioksidan, misal vitamin E

pada hipertensi dalam kehamilan menurun, sehingga terjadi dominasi kadar

oksidan peroksida lemak yang relatif tinggi. Peroksida lemak sebagai oksidan

5

Page 6: REFERAT PEB-antihipertensi

yang sangat toksis ini akan beredar di seluruh tubuh dalam aliran darah dan akan

merusak membran sel endotel. Membran sel endotel lebih mudah mengalami

kerusakan oleh peroksida lemak, karena letaknya langsung berhubungan dengan

aliran darah dan mengandung banyak asam lemak tidak jenuh. Asam lemak tidak

jenuh sangat rentan terhadap oksidan radikal hidroksil, yang akan berubah

menjadi peroksida lemak.3,4

Akibat sel endotel terpapar terhadap peroksida lemak, maka terjadi kerusakan

sel endotel yang kerusakannya dimulai dari membran sel endotel. Kerusakan

membran sel endotel mengakibatkan terganggunya fungsi endotel, bahkan

rusaknya seluruh struktur sel endotel. Keadaan ini disebut “disfungsi endotel”

(endothelial dysfunction). Pada waktu terjadi kerusakan sel endotel yang

mengakibatkan disfungsi sel endotel, maka akan terjadi :1

- Gangguan metabolisme prostaglandin, karena salah satu fungsi sel endotel,

adalah memproduksi prostaglandin, yaitu menurunnya produksi

prostasiklin (PGE2): suatu vasodilatator kuat.

- Agregasi sel-sel trombosit pada daerah yang mengalami kerusakan.

Agregasi sel trombosit ini adalah untuk menutup tempat-tempat di lapisan

endotel yang mengalami kerusakan. Agregasi trombosit memproduksi

tromboksan (TXA2) suatu vasokonstriktor kuat. Dalam keadaan normal

perbandingan kadar prostasiklin/ tromboksan lebih tinggi kadar

prostasiklin (lebih tinggi vasodilatator). Pada preeklampsi kadar

tromboksan lebih tinggi dari kadar prostasiklin sehingga terjadi

vasokonstriksi, dengan terjadi kenaikan tekanan darah.

- Perubahan khas pada sel endotel kapiler glomerulus (glomerular

endotheliosis).

- Peningkatan permeabilitas kapiler.

- Peningkatan produksi bahan-bahan vasopresor, yaitu endotelin. Kadar NO

(vasodilatator) menurun, sedangkan endotelin (vasokonstriktor)

meningkat.

- Peningkatan faktor koagulasi.

6

Page 7: REFERAT PEB-antihipertensi

Gambar 1. Abnormalitas invasi trofoblastik pada pembuluh darah uterina

Gambar 2. Remodelling vaskuler plasenta pada wanita hamil normal (atas) dan

pada wanita hamil preeklampsi (bawah)

2. Intoleransi imunologi antara maternal dengan jaringan fetomaternal

Terdapat sejumlah bukti yang menyatakan bahwa preeklampsia adalah

penyakit dengan mediasi imunologi. Risiko preeklampsia meningkat pada

keadaan dimana pembentukan “blocking antibody” terhadap “placental site”

terganggu.

7

Page 8: REFERAT PEB-antihipertensi

Pada perempuan hamil normal, respons imun tidak menolak adanya “hasil

konsepsi” yang bersifat asing. Hal ini disebabkan adanya human leukocyte antigen

protein G (HLA-G), yang berperan penting dalam modulasi respons imun,

sehingga ibu tidak menolak hasil konsepsi (plasenta). Adanya HLA-G pada

plasenta dapat melindungi trofoblas janin dari lisis oleh sel Natural Killer (NK)

ibu. Pada hipertensi dalam kehamilan, terjadi penurunan ekspresi HLA-G,

sehingga menghambat invasi trofoblas kedalam desidua. HLA-G juga merangsang

produksi sitokin, sehingga memudahkan terjadinya reaksi inflamasi.

Kemungkinan terjadi Immune-Maladaptation pada preeklampsia.3

3. Maladaptasi maternal terhadap perubahan kardiovaskular

Pada hamil normal pembuluh darah refrakter terhadap bahan-bahan

vasopresor. Refrakter, berarti pembuluh darah tidak peka terhadap rangsangan

bahan vasopresor, atau dibutuhkan kadar vasopresor yang lebih tinggi untuk

menimbulkan respons vasokonstriksi. Pada kehamilan normal terjadinya refrakter

pembuluh darah terhadap bahan vasopresor adalah akibat dilindungi oleh adanya

sintesis prostaglandin pada sel endotel pembuluh darah. Hal ini dibuktikan bahwa

daya refrakter terhadap bahan vasopresor akan hilang bila diberi prostaglandin

sintesa inhibitor (bahan yang menghambat produksi prostaglandin). Prostaglandin

ini di kemudian hari ternyata adalah prostasiklin.1

Pada hipertensi dalam kehamilan kehilangan daya refrakter terhadap bahan

vasokonstriktor, dan ternyata terjadi peningkatan kepekaan terhadap bahan-bahan

vasopresor. Artinya, daya refrakter pembuluh darah terhadap bahan vasopresor

hilang sehingga pembuluh darah menjadi sangat peka terhadap bahan vasopresor.

Peningkatan kepekaan pada kehamilan yang akan menjadi hipertensi dalam

kehamilan, sudah dapat ditemukan pada kehamilan dua puluh minggu. Fakta ini

dapat dipakai sebagain prediksi akan terjadinya hipertensi dalam kehamilan.1

4. Teori Stimulus Inflamasi

Teori ini berdasrkan fakta bahwa lepasnya debris trofoblas didalam sirkulasi

darah merupakan rangsangan utama terjadinya proses inflamasi. Pada kehamilan

normal plasenta juga melepaskan debris trofoblas, sebagai sisa-sisa proses

apoptosis dan nekrotik trofoblas, akibat reaksi stress oksidatif. Bahan-bahan ini

8

Page 9: REFERAT PEB-antihipertensi

sebagai bahan asing yang kemudian merangsang timbulnya proses inflamasi. Pada

kehamilan normal, jumlah debris trofobas masih dalam batas wajar, sehingga

reaksi inflamasi juga masih dalam batas normal. Berbeda dengan proses apoptosis

pada preeklampsia, dimana pada preeklampsia terjadi peningktan stress oksidatif,

sehingga produksi debris apoptosis dan nekrotik trofoblas juga meningkat.

Semakin banyak sel trofoblas plasenta, misalnya pada plasenta besar, pada hamil

ganda, maka reaksi stress oksidatif akan sangat meningkat, sehingga jumlah sisa

debris trofoblas juga makin meningkat. Keadaan ini menimbulkan beban reaksi

inflamasi pada kehamilan normal. Respons inflamasi ini akan mengaktivasi sel

endotel, dan sel-sel makrofag/granulosit, yang lebih besar pula, sehingga terjadi

reaksi sistemik inflamasi yang menimbulkan gejala-gejala preeklampsia pada

ibu.1,3

Gambar 2. Patofisiologi Hipertensi pada Kehamilan

5. Defisiensi nutrisi

Berbagai faktor defisisensi nutrisi diperkirakan berperan sebagai penyebab

preeklampsia. Banyak saran yang diberikan untuk menghindari hipertensi

misalnya dengan menghindari konsumsi daging berlebihan, protein, purin, lemak,

hidangan siap saji, dan produk-produk makanan instan lain. Diet buah dan sayur

banyak mengandung aktivitas non-oksidan yang dapat menurunkan tekanan darah.

9

Page 10: REFERAT PEB-antihipertensi

Kejadian preeklampsia pada pasien dengan asupan vitamin C harian kurang dari

85 mg dapat meningkat menjadi 2 kali lipat. Obesitas pada ibu tidak hamil dapat

menyebabkan aktivasi endotel dan respon inflamasi sistemik yang berhubungan

dengan arterosklerosis. Kadar C-reactive protein (“inlamatory marker”)

meningkat pada obesitas yang seringkali berkaitan dengan preeklampsia.3

6. Teori Genetik

Ada faktor keturunan dan familial dengan model gen tunggal. Genotipe ibu

lebih menentukan terjadinya hipertensi dalam kehamilan secara familial jika

dibandingkan dengan genotipe janin. Telah terbukti bahwa pada ibu yang

mengalami preeklampsi, 26% anak perempuannya akan mengalami preeklampsi

pula, sedangkan hanya 8% anak menantu mengalami preeklampsi.1

2.1.4 Diagnosis

Preeklampsia berat adalah preeklampsia dengan tekanan darah sistolik ≥ 160

mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 110 mmHg disertai proteinuria lebih 5 g/ 24

jam.

Preeklampsia digolongkan preeklampsia berat bila ditemukan satu atau lebih

gejala sebagai berikut:1

Tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 110

mmHg. Tekanan darah ini tidak menurun meskipun ibu hamil sudah dirawat di

rumah sakit dan sudah menjalani tirah baring.

Proteinuria lebih 5 g/24 jam atau 4 + dalam pemeriksaan kualitatif

Oliguria, yaitu produksi urin kurang dari 500 cc/24 jam

Kenaikan kadar kreatinin plasma

Gangguan visus dan serebral: penurunan kesadaran, nyeri kepala, skotoma dan

pandangan kabur

Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas abdomen (akibat

teregangnya kapsula Glisson)

Edema paru-paru dan sianosis

Hemolisis mikroangiopatik

10

Page 11: REFERAT PEB-antihipertensi

Trombositopenia berat: < 100.000 sel/mm3 atau penurunan trombosit dengan

cepat

Gangguan fungsi hepar (kerusakan hepatoseluler): peningkatan kadar alanine

dan aspartate aminotransferase

Pertumbuhan janin intrauterine yang terhambat

Sindrom HELLP

Preeklampsia berat dibagi menjadi (a) preeklampsia berat tanpa impending

eclampsia dan (b) preeklampsia berat dengan impending eclampsia.Disebut

impending eclampsia bila preeklampsia berat disertai gejala-gejala subjektif berupa

nyeri kepala hebat, gangguan visus, muntah-muntah, nyeri epigastrium, dan kenaikan

progresif tekanan darah.1

2.1.5 Manajemen Umum Perawatan Preeklampsia Berat

Pengelolaan prreklampsia dan eklampsia mencakup pencegahan kejang,

pengobatan hipertensi, pengelolaan cairan, pelayanan suportif terhadap penyulit organ

yang terlibat, dan saat yang tepat untuk persalinan.1

Pemeriksaan sangat teliti diikuti dengan observasi harian tentang tanda-tanda

klinik berupa: nyeri kepala, gangguan visus, nyeri epigastrium, dan kenaikan cepat

berat badan, selain itu, perlu dilakukan penimbangan berat badan, pengukuran

proteinuria, pengukuran tekanan darah pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan

USG dan NST.1

Tujuan dari manajemen preeklampsia berat adalah (1) mencegah terjadinya

kejang, (2) mengontrol tekanan darah ibu, (3) menginisiasi persalinan.

1. Sikap terhadap penyakit: pengobatan medikamentosa

Penderita preeklampsia berat harus segera masuk rumah sakit untuk rawat inap

dan dianjurkan tirah baring miring ke satu sisi (kiri). Perawatan yang penting pada

preeklampsia berat ialah pengelolaan cairan karena mempunyai risiko tinggi untuk

terjadinya edema paru dan oliguria. Oleh karena itu, monitoring input cairan (melalui

oral ataupun infus) dan output (melalui urin) menjadi sangat penting. Bila terjadi

tanda-tanda edema paru, segera dilakukan tindakan koreksi. Cairan yang diberikan

dapat berupa (a) 5% Ringer-dekstrose atau cairan garam faali jumlah tetesan <

11

Page 12: REFERAT PEB-antihipertensi

125cc/jam atau (b) Infus Dekstrose 5% yang tiap 1 liternya diselingi dengan ringer

laktat (60-125 cc/jam) 500 cc. Folley catheter juga dipasang untuk mengukur

pengeluaran urin. Oliguria terjadi bila produksi urin < 30cc/jam dlam 2-3 jam atau <

500 cc/24 jam. Diberikan antasida untuk menetralisir asam lambung sehingga bila

terjadi kejang secara mendadak, dapat menghindari risiko aspirasi asam lambung.

Diet yang cukup protein, rendah karbohidrat, lemak, dan garam.1

Pemberian anti kejang berupa magnesium sulfat, dimana magnesium sulfat

menghambat atau menurunkan kadar asetilkolin pada rangsangan serat saraf dengan

menghambat transmisi neuromuskular. Transmisi neuromuskular membutuhkan

kalsium pada sinaps. Pada pemberian magnesium sulfat, magnesium akan menggeser

kalsium, sehingga aliran rangsangan tidak terjadi (terjadi kompetitif inhibition antara

ion kalsium dan ion magnesium). Magnesium sulfat sampai saat ini tetap menjadi

pilihan pertama untuk antikejang pada preeklampsia atau eklampsia. Cara pemberian

Magnesium sulfat:3

Jika ada tanda impending eclampsia dosis awal diberikan intravena dan

intramuskular, jika tidak ada, dosis awal cukup intramuskular saja. Dosis awal

sekitar 4 gram MgSO4 IV (20 % dalam 20 cc) selama 4 menit (1 gr/menit).

Diikuti segera 10 gram 50% intramuscular, 5 gram IM di bokong kiri dan 5

gram di bokong kanan. Untuk mengurangi nyeri dapat diberikan 1 cc xylocain

2% yang tidak mengandung adrenalin pada suntikan intramuskular.

Dosis ulangan diberikan setelah 6 jam pemberian dosis awal, dosis ulangan 5

gram MgSO4 50% diberikan secara intramuskuler setiap 6 jam, bergiliran pada

bokong kanan/kiri dimana pemberian MgSO4 tidak melebihi 2-3 hari.

12

Page 13: REFERAT PEB-antihipertensi

Gambar 3. Pemberian MgSO4

Syarat-syarat pemberian MgSO4:1

Tersedia antidotum MgSO4 yaitu calcium gluconas 10%, 1 gram (10% dalam

10 cc) diberikan intravenous dalam 3 menit.

Refleks patella positif kuat

Frekuensi pernapasan > 16 kali per menit, tidak ada tanda-tanda distress

pernafasan

Produksi urin > 100 cc dalam 4 jam sebelumnya (0,5 cc/kgBB/jam)

2. Sikap terhadap kehamilannya

Ditinjau dari umur kehamilan dan perkembangan gejala-gejala preeklampsia berat

selama perawatan, maka sikap terhadap kehamilannya dibagi menjadi:1

Perawatan aktif (agresif): kehamilan segera diakhiri/diterminasi bersamaan

dengan pemberian pengobatan medikamentosa. Indikasi perawatan aktif ialah

bila ditemukan satu atau lebih keadaan dibawah ini:

- Usia kehamilan ≥ 37 minggu

- Adanya tanda-tanda impending eclampsia

13

Page 14: REFERAT PEB-antihipertensi

- Kegagalan terapi pada perawatan konservatif, yaitu kedaan klinik dan

laboratorik memburuk

- Diduga terjadi solusio plasenta

- Timbul onset persalinan, ketuban pecah, atau perdarahan

- Adanya tanda-tanda gawat janin

- Adanya tanda-tanda intra uterine growth restriction (IUGR)

- NST nonreaktif dengan profil biofisik abnormal

- Terjadinya oligohidramnion

- Adanya tanda-tanda sindroma “HELLP” khususnya menurunnya

trombosit dengan cepat

Perawatan konservatif (ekspektatif): kehamilan tetap dipertahankan bersamaan

dengan pmberian pengobatan medikamentosa. Indikasi perawatan konservatif

ialah bila kehamilan preterm ≤ 37 minggu tanpa disertai tanda-tanda

impending eclampsia dengan keadaan janin baik.1

2.2 Obat Antihipertensi

Banyak sekali macam-macam obat yang dapat digunakan untuk pengobatan tekanan

darah tinggi (hipertensi) yang disebut dengan antihypertensive medicines (obat-obat anti

hipertensi). Tujuan pengobatan adalah untuk mengurangi tekanan darah dan

mengembalikannya pada ukuran normal dengan obat-obat yang mudah di konsumsi,

tersedia, jumlahnya sedikit mungkin, jika memungkinkan tanpa ada efek samping. Tujuan

pengobatan tersebut hampir selalu tercapai pada pengobatan hipertensi.

Apapun yang seorang wanita hamil makan atau minum dapat memberikan pengaruh

pada janinnya. Seberapa banyak jumlah obat yang akan terpapar ke janin tergantung dari

bagaimana obat tersebut diabsorpsi (diserap), volume distribusi, metabolisme, dan

ekskresi (pengeluaran sisa obat). Penyerapan obat dapat melalui saluran cerna, saluran

napas, kulit, atau melalui pembuluh darah (suntikan intravena). Kehamilan sendiri

mengganggu penyerapan obat karena lebih lamanya pengisian lambung yang dikarenakan

peningkatan hormon progesteron. Volume distribusi juga meningkat selama kehamilan,

14

Page 15: REFERAT PEB-antihipertensi

estrogen dan progesteron mengganggu aktivitas enzim dalam hati sehingga berpengaruh

dalam metabolisme obat. Ekskresi oleh ginjal juga meningkat selama kehamilan.

Untuk mengetahui bagaimana mekanisme pengobatan hipertensi kehamilan maka

perlu diketahui mekanisme pengobatan hipertensi secara umum, sebab pengobatan

hipertensi secara umum tidak jauh berbeda dengan pengobata hipertensi pada kehamilan,

tapi pada absorpsi obat dan dampak pengobatan dan hipertensi itu sendiri pada janinnya.

Jenis-jenis obat anti hipertensi (tekanan darah tinggi):5

1. Diuretik. Obat-obat jenis ini membantu tubuh untuk meniadakan tubuh dari cairan

dan sodium yang berlebihan sehingga pembuluh darah tidak terlalu berat bekerja

karena terlalu banyaknya cairan dalam tubuh dengan menghambat absorbsi garam

dan air sehingga volume darah menurun akibatnya tekanan darah ikut menurun.

2. Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors (ACE inhibitor), adalah obat-obat yang

memperlambat aktivitas dari enzim ACE, yang mengurangi produksi dari

angiotensin II (kimia yng sangat kuat yang menyebabkan otot-otot yang

mengelilingi pembuluh-pembuluh darah untuk berkontraksi). Sebagai akibatnya,

pembuluh-pembuluh membesar atau melebar, dan tekanan darah berkurang.

3. Angiotensin II receptor blockers (ARBs), adalah obat-obat yang menghalangi aksi

dari angiotensin II dengan mencegah angiotensin II mengikat pada reseptor-

reseptor angiotensin II pada pembuluh-pembuluh darah. Sebagai akibatnya,

pembuluh-pembuluh darah membesar (melebar) dan tekanan darah berkurang.

4. Sympathoplegic agents

- Obat yang bekerja pada sentral adrenergik (α2-agonist seperti klonidin dan

metildopa). Mekanisme kerja dengan menstimulasi reseptor α2 yang

berdaya vasodilatasi.

- Obat yang bekerja pada sistem saraf perifer:

o β-blockers, adalah obat-obat yang menghalangi norepinephrine dan

epinephrine (adrenaline) mengikat pada reseptor-reseptor beta pada

syaraf-syaraf. Beta blockers terutama menghalangi reseptor-

reseptor beta 1 dan beta 2. Dengan menghalangi efek-efek dari

norepinephrine dan epinephrine, beta blockers mengurangi denyut

jantung; mengurangi tekanan darah dengan melebarkan pembuluh-

pembuluh darah.

15

Page 16: REFERAT PEB-antihipertensi

o α-blockers, mekanisme kerjanya memblok reseptor α adrenergik

yang ada pada otot polos pembuluh.

5. Dilator Pembuluh darah (vasodilator), seperti hydralazine (Apresoline) dan

minoxidil (Loniten). Obat ini menurunkan tekanan darah dengan relaksasi otot-

otot di dinding pembuluh darah.

6. Kalsium channel blockers, seperti amlopidine (Norvasc), diltiazem (Cardizem),

isradipine (DynaCirc), nifedipin (Adalat, Procardia), dan Obat verapamil (Calan,

Isoptin, Verelan), golongan ini memperlambat gerakan kalsium ke dalam sel

pembuluh darah sehingga menghambat penyaluran impuls dan kontraksi dinding

pembuluh darah.

Uraian diatas merupakan jenis obat yang digunakan pada pengidap hipertensi secara

umum, namun tidak semua dari jenis obat diatas dapat digunakan pada ibu hamil, karena

memikirkan keadaan janin yang dikandung.5

2.3 Penggunaan Obat Antihipertensi pada Kehamilan

Masih banyak pendapat dari beberapa negara tentang penentuan batas (cut off)

tekanan darah untuk pemberian antihipertensi. Belfort mengusulkan cut off yang dipakai

adalah ≥ 160/110 mmHg dan MAP ≥ 126 mmHg. Di RSU Dr. Soetomo Surabaya batas

tekanan darah pemberian antihipertensi ialah apabila tekanan sistolik ≥ 180 mmHg

dan/atau tekanan diastolik ≥ 110 mmHg. Tekanan darah diturunkan secara bertahap, yaitu

penurun awal 25% dari tekanan sistolik dan tekanan darah diturunkan mencapai <

160/105 mmHg atau MAP < 125 mmHg. Jenis antihipertensi yang diberikan sangat

bervariasi. Berdasarkan Cochrane Review atas 40 studi evaluasi yang melibatkan 3.797

perempuan hamil dengan preeklampsia, Duley menyimpulkan bahwa pemberian

antihipertensi pada preeklampsia ringan maupun preeklampsia berat tidak jelas

kegunaannya. Di sisi lain Hendorson, dan Cochrane Review, juga meneliti 24 uji klinik

yang melibatkan 2.949 ibu dengan hipertensi dalam kehamilan, menyimpulkan bahwa

sampai didapatkan bukti yang lebih teruji, maka pemberian jenis antihipertensi,

diserahkan kepada para klinikus masing-masing, yang tergantung pada pengalaman dan

pengenalan dengan obat tersebut. Ini berarti hingga sekarang belum ada antihipertensi

yang terbaik untuk pengobatan hipertensi dalam kehamian.1

16

Page 17: REFERAT PEB-antihipertensi

Penggunaan obat antihipertensi pada kehamilan digunakan untuk mengontrol

hipertensi ringan sampai sedang atau untuk mengendalikan hipertensi berat. Agen dengan

dosis standar yang digunakan termasuk didalamnya adalah metildopa, labetalol, dan

nifedipine. Penggunaan golongan ACE inhibitor dan angiotensin receptor blocker harus

dihindari di semua trimester; pemberiaannya pada trimester kedua dan ketiga terkait

dengan fetopathy, gagal ginjal neonatal, dan kematian dengan demikian pemberiannya

merupakan kontraindikasi. Data yang terbaru juga menunjukkan obat tersebut juga harus

dihindari pada trimester pertama. Pada metaanalisis yang telah dipelajari pada kontrol

hipertensi, menunjukkan bahwa labetalol intravena atau nifedipine oral memiliki

efektivitas yang sama dengan Hydralazine intravena, dengan efek samping yang lebih

sedikit. Pengelolaan hipertensi pada kehamilan membantu melindungi wanita dari

tekanan darah yang sangat tinggi dan memungkinkan untuk melanjutkan kehamilan,

pertumbuhan dan pematangan janin.2,6

1. Sympathetic Nervous System Inhibition

Metildopa tetap menjadi salah satu obat antihipertensi yang digunakan untuk

hipertensi pada kehamilan, pusat kerjanya agonis α2-adrenergik, yang dimetabolisme

menjadi α-methyl norepinephrine kemudian menempati norepinephrine di vesikel-vesikel

neurosekretori dari terminal saraf adrenergik, merupakan obat antihipertensi yang paling

sering digunakan untuk wanita hamil dengan hipertensi kronis. Obat ini mengontrol

tekanan darah secara bertahap, sekitar 6 sampai 8 jam, karena mekanisme aksinya

indirek. Pengobatan dengan metildopa dilaporkan mencegah progresifitas hipertensi berat

pada kehamilan dan tidak didapatkan memiliki efek terhadap uteroplasental atau

hemodinamik janin. Efek samping yang terjadi merupakan akibat dari α2-agonis atau

penurunan tonus perifer simpatik. Obat ini bekerja pada bagian dari batang otak

mengakibatkan penurunan kewaspadaan dan gangguan tidur, yang mengarah pada

perasaan lelah atau depresi pada beberapa pasien. Sering juga terjadi penurunan salivasi,

yang mengarah ke xerostomia. Metildopa juga dapat meningkatkan enzim hati sebesar

5%; hepatitis dan nekrosis hepatis juga telah dilaporkan.2,7

Metildopa membutuhkan waktu 24 jam untuk aksi lengkapnya, dimulai dengan dosis

250 mg dibutuhkan pemberian 3 kali sehari. Efek samping yang umum adalah konstipasi,

17

Page 18: REFERAT PEB-antihipertensi

galaktorea, depresi pasca persalinan dan pola tidur berubah. Juga dapat menyebabkan

sakit kepala sehingga dapat membingungkan dengan gejala impending eklampsia.8

2. Peripherally Acting Adrenergic Receptor Antagonists

β-blocker telah digunakan secara luas pada kehamilan. Meskipun beberapa percobaan

acak yang membandingkan β-blocker dengan plasebo atau agen lainnya telah dilakukan,

masih ada beberapa masalah yang belum terselesaikan mengenai penggunaannya dalam

kehamilan, sebagian besar merupakan hasil dari beberapa penelitian kecil yang

menunjukkan hubungan dengan berat bayi lahir rendah. Tak satu pun dari β-blocker telah

dikaitkan dengan efek teratogenik. β-blocker oral telah dikaitkan dengan bradikardia

neonatal non klinis secara signifikan, meskipun dalam review sistematis dari uji coba,

labetalol (bersama dengan metildopa oral, nifedipine, atau hydralazine) tidak tampak

menyebabkan efek detak jantung bayi. Terapi parenteral telah ditemukan meningkatkan

risiko bradikardia neonatal, yang memerlukan intervensi pada 1 dari 6 bayi yang baru

lahir. Hasil dari maternal meningkat hasilnya dengan penggunaan β-blocker, dengan

tekanan darah ibu yang terkontrol secara efektif, penurunan kejadian hipertensi berat, dan

penurunan tingkat preterm yang masuk ke rumah sakit.2

Labetalol, sebuah β-blocker nonselektif dengan kemampuan vaskular α1-reseptor

blocking, telah memperoleh penerimaan luas dalam pengobatan hiperetensi pada

kehamilan. Ketika diberikan secara oral untuk wanita dengan hipertensi kronis,

tampaknya aman dan efektif seperti metildopa, meskipun dengan penggunaan dosis yang

lebih tinggi dilaporkan menyebabkan hipoglikemia neonatal. Parenteral digunakan untuk

mengobati hipertensi berat, dan karena insiden dari hipotensi ibu lebih rendah dan efek

samping lainnya, penggunaannya menggantikan hydralazine.8

Labetalol merupakan sebuah α-blocker dengan nonselektif β-blocking properti. Obat

ini tersedia dalam oral serta bentuk injeksi. Keamanan pada trimester pertama kehamilan

telah didokumentasikan. Tujuan antihipertensi adalah untuk mengurangi dan

menstabilkan tekanan darah, dalam upaya untuk meminimalkan risiko seperti solusio

plasenta, gagal jantung ibu, pendarahan otak; pada saat yang sama labetalol tidak

memiliki efek buruk pada sirkulasi uteroplasenta dan janin. Hasilnya dengan pengobatan

labetalol dapat mengontrol tekanan darah dengan baik. Tidak ada efek takikardia dan

tekanan darah stabil. Labetalol tidak berpengaruh pada aliran darah uteroplasenta. Bentuk

18

Page 19: REFERAT PEB-antihipertensi

injeksi juga tersedia untuk krisis hipertensi. The National Guideline Clearinghouse,

mengenai pengobatan gangguan hipertensi pada kehamilan telah merekomendasikan

bahwa terapi antihipertensi awal harus dimulai dengan labetalol atau nifedipine, untuk

menurunkan target tekanan darah 160 untuk sistolik dan diastolik 110.2,6

3. Calcium Channel Antagonists

Calcium channel antagonis telah digunakan untuk mengobati hipertensi kronis,

preeklamsia ringan yang terjadi pada akhir kehamilan, dan hipertensi urgent terkait

dengan preeklampsia. Oral nifedipine dan verapamil tampaknya tidak menimbulkan

risiko teratogenik terhadap janin pada trimester pertama. Sebagian peneliti telah berfokus

pada penggunaan nifedipin, meskipun ada laporan dari nicardipine, isradipin, felodipin,

dan verapamil. Efek samping ibu dari calcium channel blockers termasuk takikardia,

palpitasi, edema perifer, sakit kepala, dan kemerahan pada wajah. Nifedipine tampaknya

tidak terdeteksi menyebabkan penurunan aliran darah uterus. Pemberian kapsul nifedipin

short-acting dalam laporan kasus berhubungan dengan hipotensi ibu dan gawat janin. Satu

studi telah menunjukkan efikasi dan keamanan nifedipine oral long-acting pada pasien

hamil dengan hipertensi berat pada kehamilan, dan diberikan kemungkinan efek janin

yang tidak diinginkan dari short-acting nifedipine sublingual, dianjurkan penggunaan

long-acting.2,9

Kekhawatiran penggunaan antagonis kalsium untuk kontrol tekanan darah pada

preeklamsia bersamaan dengan magnesium sulfat untuk mencegah kejang; interaksi obat

antara nifedipine dan magnesium sulfat dilaporkan menyebabkan blokade neuromuskuler,

depresi miokard, atau kolaps sirkulasi dalam beberapa kasus. Dalam praktek dan dalam

evaluasi terakhir, obat-obat ini biasanya digunakan bersama-sama tanpa meningkatkan

risiko.2

4. Diuretik

Diuretik sering diberikan pada hipertensi esensial sebelum konsepsi, the National

High Blood Pressure Education Program Working Group on High Blood Pressure in

Pregnancy menyimpulkan bahwa diuretik dapat dilanjutkan pada kehamilan (dengan

upaya dilakukan dengan menurunkan dosis) atau digunakan dalam kombinasi dengan

agen lainnya. Hydrochlorothiazide dapat dilanjutkan selama kehamilan; penggunaan

19

Page 20: REFERAT PEB-antihipertensi

dosis rendah (12,5-25 mg sehari) dapat meminimalkan efek metabolik yang tak

diinginkan, seperti gangguan toleransi glukosa dan hipokalemia. Triamterene dan

amilorid tidak teratogenik berdasarkan sejumlah kecil laporan kasus. Spironolakton tidak

dianjurkan karena efek antiandrogenik selama perkembangan janin.2

5. Serotonin2 Receptor Blockers

Ketanserin adalah obat serotonin2-receptor blocking selektif yang menurunkan

tekanan sistolik dan diastolik pada wanita yang tidak hamil dengan hipertensi akut atau

kronis. Tidak ditemukan efek teratogenik pada hewan maupun manusia dan telah

dipelajari terutama di Australia dan Afrika Selatan dalam suatu percobaan kecil, yang

menunjukkan bahwa hal tersebut aman dan berguna dalam pengobatan hipertensi kronis

pada kehamilan, preeklampsia, dan peningkatan hemolysis pada enzim hati, sindrom

trombosit rendah. Ketanserin belum disetujui oleh Food and Drug Administration di

Amerika Serikat.2

6. Direct Vasodilators

Hydralazine selektif melemaskan otot polos arteriol dengan mekanisme yang belum

diketahui. Penggunaan terbesar adalah untuk mengontrol hipertensi berat yang urgent

atau sebagai agen lini ketiga untuk kontrol multidrug hipertensi refrakter. Efektif secara

oral, intramuskular, atau intravena; penggunaan parenteral berguna untuk pengendalian

cepat pada hipertensi berat. Efek samping sebagian besar orang karena vasodilatasi

berlebihan atau aktivasi simpatik dan termasuk sakit kepala, mual, flushing, atau palpitasi.

Hydralazine telah digunakan dalam semua trimester kehamilan, dan data belum

menunjukkan hubungan dengan teratogenik, meskipun trombositopenia neonatal dan

lupus telah dilaporkan. Telah banyak digunakan untuk hipertensi kronis pada trimester

kedua dan ketiga, namun penggunaannya telah digantikan oleh agen dengan lebih

menguntungkan. Untuk hipertensi berat akut dalam kehamilan, intravena hydralazine

telah dikaitkan dengan efek samping maternal dan perinatal lebih tinggi dari labetalol

intravena atau nifedipine oral, seperti hipotensi ibu, bedah sesar, plasental abruptions,

skor Apgar < 7, dan oliguria. Selanjutnya, efek samping yang umum, seperti sakit kepala,

mual, dan muntah, mirip dengan gejala preeklamsia yang memburuk. Efek pada aliran

darah uteroplasenta tidak jelas, mungkin karena variasi dalam tingkat aktivasi refleks

simpatis, dan gawat janin dapat terjadi melalui penurunan tekanan di ibu. Metaanalisis

20

Page 21: REFERAT PEB-antihipertensi

terbaru dari penggunaan hydralazine intravena di hipertensi berat di kehamilan

menyimpulkan bahwa labetalol parenteral atau nifedipine oral sebagai agen lini pertama,

dengan hydralazine sebagai lini kedua. Isosorbide dinitrate, donor NO, telah diteliti dalam

studi kecil hipertensi gestasional dan pasien hamil preeklampsia. Ditemukan bahwa

perfusi tekanan serebral yakin tidak berubah oleh isosorbid dinitrat, meskipun perubahan

signifikan dalam tekanan darah ibu, sehingga menurunkan risiko iskemia dan infark

ketika tekanan darah menurun. Sodium nitroprusside adalah donor NO langsung, yang

nonselektif melemaskan kedua arteriol dan venular otot polos pembuluh darah. Diberikan

hanya dengan terus menerus infus intravena, itu mudah dititrasi karena memiliki onset-

dekat segera tindakan dan durasi efek 3 menit. Metabolisme nitroprusside melepaskan

sianida, yang dapat mencapai tingkat beracun dengan tingkat infus tinggi; sianida

dimetabolisme menjadi thiocyanate dan toksisitas ini biasanya terjadi setelah 24 sampai

48 jam infus kecuali ekskresi yang tertunda karena insufisiensi ginjal. Hal ini jarang

digunakan dalam kehamilan.2,6

7. Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors dan Angiotensin Receptor Antagonists

Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors (ACE inhibitor) dan angiotensin receptor

blocking adalah agen kontraindikasi untuk kehamilan pada trimester kedua atau ketiga

kare toksisitas yang terkait dengan berkurangnya perfusi ginjal pada janin. Penggunaan

obat ini dikaitkan dengan fetopathy yang serupa dengan yang didapatkan pada sindrom

Potter (yaitu, agenesis ginjal bilateral), termasuk disgenesis ginjal, oligohidramnion

sebagai akibat dari oliguria janin, hypoplasia calvarial dan paru, keterbatasan

pertumbuhan janin intrauterine, dan gagal ginjal anuric neonatal, yang mengarah ke

kematian janin. Penggunaan angiotensin receptor blocking pada kehamilan juga telah

menyebabkan kematian janin, terutama disebabkan gagal ginjal. Penggunaan ACE

inhibitor dan angiotensin receptor blocking pada trimester pertama harus dihindari.

Karena paparan ACE inhibitor selama trimester pertama tidak dapat dianggap aman,

mungkin yang terbaik untuk wanita memberi nasihat untuk beralih ke agen alternatif

ketika mencoba untuk hamil. Pada mereka yang secara tidak sengaja hamil saat dalam

pengobatan dengan ACE inhibitor atau receptor angiotensin blocking, risiko cacat lahir

meningkat dari 3% menjadi 7%.2

21

Page 22: REFERAT PEB-antihipertensi

2.4 Prinsip Pengobatan pada Gangguan Hipertensi Spesifik pada Kehamilan

Terdapat 4 gangguan hipertensi pada kehamilan, masing-masing dengan fitur

patofisiologis unik yang memiliki implikasi untuk terapi antihipertensi, seperti yang

dijelaskan di bawah ini.

Hipertensi kronis, yang didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik dan diastolik ≥

140/90 mmHg yang timbul sebelum usia kehamilan 20 minggu atau hipertensi yang

pertama kali. Tujuan pengobatan adalah untuk mempertahankan tekanan darah pada

tingkat yang mengurangi risiko kardiovaskular dan serebrovaskular ibu.2

Preeklampsia-eklampsia adalah sindrom dengan manifestasi klinis hipertensi onset

baru pada kehamilan yang timbul setelah 20 minggu kehamilan disertai dengan

proteinuria. Proteinuria adalah adanya 300 mg protein dalam urin selama 24 jam atau

sama dengan ≥ 1+ dipstick. Sindrom ini terjadi pada 5% sampai 8% dari seluruh

kehamilan dan dianggap konsekuensi dari kelainan pada pembuluh ibu yang memasok

plasenta, yang menyebabkan perfusi plasenta buruk dan pelepasan faktor menyebabkan

disfungsi endotel luas dengan gambaran klinis sistem multiorgan, seperti hipertensi,

proteinuria, serebral (edema, sakit kepala oksipital, atau kejang) dan disfungsi hati.

Menurunkan tekanan darah sistemik pada hipertensi preeklampsia tidak diyakini untuk

menghilangkan proses patogenik primer, dan obat antihipertensi tidak pernah ditujukan

untuk menyembuhkan atau menghilangkan preeklampsia. Namun demikian, karena

preeklampsia dapat berkembang secara tiba-tiba pada wanita yang sebelumnya

normotensif, pencegahan konsekuensi kardiovaskular dan serebrovaskular sebagai akibat

dari tingginya tekanan darah dengan cepat merupakan tujuan penting dari manajemen

klinis, sehingga sering membutuhkan penggunaan obat antihipertensi dengan bijaksana.2

Hipertensi kronik dengan superimposed preeklampsia adalah hipertensi kronik

disertai tanda-tanda preeklampsia atau hipertensi kronik disertai proteinuria. Prinsip

manajemen sama dengan preeklampsia, meskipun wanita dengan hipertensi kronik

dengan superimposed preeklampsia lebih tinggi kemungkinannya untuk berkembang

menjadi hipertensi berat sehingga membutuhkan beberapa obat antihipertensi.2

Hipertensi gestasional adalah hipertensi yang timbul pada kehamilan tanpa disertai

proteinuria dan hipertensi menghilang setelah 3 bulan pascapersalinan atau kehamilan

22

Page 23: REFERAT PEB-antihipertensi

dengan tanda-tanda preeklampsia tetapi tanpa proteinuria. Hipertensi gestasional terjadi

pada 6% kehamilan. Wanita dengan hipertensi gestasional harus dianggap berisiko untuk

preeklampsia, yang dapat berkembang setiap saat. Sekitar 15% sampai 45% wanita

awalnya didiagnosis dengan hipertensi gestasional berkembang menjadi preeklampsia.

Seperti pada hipertensi kronis, obat antihipertensi perlu diberikan dengan tujuan

mencegah risiko ibu dari hipertensi berat. 2

Meskipun semua 4 jenis hipertensi dalam kehamilan dapat menyebabkan komplikasi

maternal dan perinatal, preeklampsia (terlepas dari tingkat tekanan darah) dan hipertensi

berat (terlepas dari jenis hipertensi dalam kehamilan) memiliki risiko tertinggi

berhubungan dengan ibu dan perinatal. Risiko utama untuk ibu adalah solusio plasenta

dan kerusakan target organ. Risiko janin meliputi hambatan pertumbuhan dan

prematuritas.

2.5 Prinsip Pengobatan Hipertensi Ringan – Sedang pada Kehamilan

Manfaat terapi antihipertensi untuk hipertensi ringan-sedang pada kehamilan belum

ditunjukkan dalam uji klinis. Pada penelitian baru-baru ini termasuk metaanalisis

Cochrane menyimpulkan bahwa terdapat data yang cukup untuk menentukan manfaat

dan risiko pengobatan antihipertensi pada hipertensi ringan-sedang, dengan pengobatan

antihipertensi menurunkan risiko berkembangnya hipertensi berat. Pedoman internasional

untuk pengobatan hipertensi pada kehamilan bervariasi sehubungan dengan ambang batas

memulai pengobatan dan target tekanan darah. Di Amerika Serikat terapi dianjurkan pada

tekanan darah ≥ 160/105 mmHg tanpa target pengobatan, di Kanada terapi diberikan pada

≥ 140/90 mmHg dengan target tekanan diastolik 80 – 90 mmHg, sebuah tinjuan

retrospektif baru-baru ini menunjukkan dari 28 pasien yang menderita stroke

penyebabnya adalah stroke perdarahan arteri dengan rata-rata tekanan darah sistolik

sebelum stroke 159 – 183 mmHg dan 81 – 133 mmHg untuk diastolik.2,3

Saat diagnosisnya adalah preeklampsia, usia kehamilan serta nilai tekanan darah

mempengaruhi penggunaan obat antihipertensi. Pada aterm, wanita dengan preeklampsia

kemungkinan besar dilahirkan, pengobatan hipertensi (kecuali hipertensi berat) dapat

ditunda, dan tekanan darah dapat dievaluasi kembali postpartum. Apabila preeklampsia

23

Page 24: REFERAT PEB-antihipertensi

timbul jauh sebelum kehamilan aterm, pengobatan hipertensi berat diperlukan dan

tekanan darah biasanya aman diturunkan sampai 140/90 mmHg dengan obat

antihipertensi oral. Perlu ditekankan bahwa tidak ada studi yang menunjukkan target

tekanan darah yang aman pada wanita hamil, sebagian besar panduan merekomendasikan

pengobatan sampai tekanan darah yang mendekati nilai protektif melawan kejadian

serebrovaskular atau kardiovaskular, biasanya antara 140 – 155 / 90 – 105 mmHg. Saat

pengobatan antihipertensi digunakan pada pasien preeklampsia, pemantauan janin

membantu untuk mengetahui adanya gawat janin yang dapat terjadi akibat penurunan

perfusi plasenta.2

2.6 Pengobatan Hipertensi Berat pada Kehamilan

Hipertensi berat pada kehamilan didefinisikan sebagai tekanan darah > 160/100

mmHg, hipertensi berat membutuhan pengobatan karena wanita dengan hipertensi berat

memiliki risiko tinggi untuk terjadinya perdarahan intraserebral, dan pengobatan tersebut

menurunkan menurunkan risiko kematian maternal. Pasien dengan hipertensi

ensefalopati, perdarahan, atau eklampsia membutuhkan pengobatan dengan agen

parenteral untuk menurunkan tekanan arteri rata-rata (2/3 tekanan diastolik + 1/3 tekanan

sistolik) sebesar 25% dalam menit sampai jam, kemudian meurunkan tekanan darah

160/100 mmHg pada jam berikutnya. Dalam mengobati hipertensi berat, penting untuk

menghindari terjadinya hipotensi, karena penurunan yang agresif dapat menyebabkan

gawat janin. Pada wanita dengan preeklampsia, perlu dipertimbangkan untuk memulai

pengobatan dengan dosis yang rendah, karena pada pasien tersebut memiliki risiko untuk

terjadi hipotensi lebih tinggi.2

Hipertensi yang berbahaya dapat menyebabkan perdarahan serebrovaskular dan

hipertensi ensefalopati, dan dapat memicu kejang eklampsia pada wanita dengan

preeklamsia. Komplikasi lain termasuk gagal jantung kongestif dan solusio plasenta.

Karena gejala sisa ini, the National High Blood Pressure Education Program Working

Group (2000) dan the 2013 Task Force merekomendasikan pengobatan untuk

menurunkan tekanan sistolik sampai dengan atau dibawah 160 mmHg dan diastolik

sampai dengan atau dibawah 110 mmHg.3

24

Page 25: REFERAT PEB-antihipertensi

Tiga agen antihipertensi yang paling umum digunakan adalah hydralazine, labetalol,

dan nifedipine. Selama bertahun-tahun, hydralazine parenteral adalah satu-satunya yang

tersedia dari tiga ini. Tetapi ketika labetalol parenteral kemudian diperkenalkan, obat

tersebut dianggap sama efektif untuk digunakan obstetrik. Oral nifedipine sejak itu

memperoleh beberapa popularitas sebagai pengobatan lini pertama untuk hipertensi

gestasional berat.3,7

1. Hydralazine

Obat antihipertensi ini mungkin masih yang paling umum digunakan sebagai agen

antihipertensi di Amerika Serikat untuk pengobatan wanita dengan hipertensi

gestasional berat. Hydralazine diberikan intravena dengan dosis awal 5 mg, dan

diikuti oleh dosis 5 - 10 mg pada interval 15 sampai 20 menit sampai respon yang

memuaskan dicapai. Beberapa batasan dosis total adalah 30 mg per siklus

pengobatan. Target pengobatannya antepartum atau intrapartum adalah penurunan

tekanan darah diastolik 90 - 110 mmHg. Tekanan diastolik yang lebih rendah

memiliki risiko perfusi plasenta. Hydralazine telah terbukti sangat efektif untuk

mencegah pendarahan otak. Onset kerjanya bisa secepat 10 menit. 3

2. Labetalol

Agen antihipertensi efektif intravena ini merupakan α1 dan β-blocker non selektif.

Beberapa lebih suka penggunaannya dibanding hydralazine karena lebih sedikit efek

sampingnya. Sibai (2003) merekomendasikan dosis 20 sampai 40 mg setiap 10

sampai 15 menit yang diperlukan dan dosis maksimum 220 mg per siklus pengobatan.

American College of Obstetricians dan Gynecologists (2012) merekomendasikan

dimulai dengan bolus intravena 20 mg. Jika tidak efektif dalam waktu 10 menit, ini

diikuti oleh 40 mg, kemudian 80 mg setiap 10 menit. Pemberian tidak boleh melebihi

total dosis 220 mg per siklus pengobatan.3

3. Nifedipine

Agen kalsium channel blocking ini telah menjadi populer karena kemanjurannya

untuk mengendalikan hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan akut. The

NHBPEP Working Group (2000) dan the Royal College of Obstetricians and

Gynaecologists (2006) merekomendasikan dosis oral awal 10 mg diulang di 30 menit

25

Page 26: REFERAT PEB-antihipertensi

jika perlu. Nifedipine diberikan sublingual tidak lagi dianjurkan. Percobaan acak yang

membandingkan nifedipine dengan labetalol ditemukan obat tidak definitif unggul

dari yang lain. Namun, nifedipine menurunkan tekanan darah lebih cepat.3

4. Agen Antihipertensi Lainnya

Beberapa obat antihipertensi umumnya tersedia lainnya telah diuji dalam uji klinis

tetapi tidak banyak digunakan. Belfort (1990) menggunakan kalsium antagonis

verapamil melalui infus intravena dengan dosis 5 sampai 10 mg per jam. Tekanan

arteri rata-rata diturunkan sebesar 20 persen. Belfort (1996, 2003) melaporkan bahwa

nimodipine diberikan baik oleh infus atau secara oral efektif untuk menurunkan

tekanan darah pada wanita dengan preeklamsia berat. Bolte (1998, 2001) melaporkan

hasil yang baik pada wanita preeklampsia diberikan ketanserin intravena, sebuah

penghambat reseptor serotonergik selektif (5HT2A). Nitroprusside atau nitrogliserin

direkomendasikan jika tidak ada respon optimal untuk agen lini pertama. Pemberian

dengan dosis 0,25 µg IV/kg/menit, infus; ditingkatkan 0,25 µg IV/kg/5 menit. Sodium

nitroprusside adalah agen vasodilator secara langsung yang poten dan efektif. Sodium

nitroprusside dipecah oleh hemoglobin menjadi sianida dimana terjadinya toksisitas

sianida janin dapat berkembang setelah 4 jam. Keberhasilan pengobatan masih

konsisten dengan pengobatan lini pertama menggunakan hydralazine, labetalol, atau

kombinasi dari dua diberikan berturut-turut, tetapi tidak pernah secara bersamaan.

Terdapat obat antihipertensi eksperimental yang mungkin menjadi berguna untuk

pengobatan preeklampsia. Salah satunya adalah calcitonin gene related peptide

(CGRP), sebuah asam amino-37 vasodilator yang poten. Lainnya adalah antidigoxin

antibody fab (DIF) ditujukan terhadap endogenous digitalis-like factors, juga disebut

steroid kardiotonik (Bagrov, 2008; Lam, 2013).3

5. Diuretik

Diuretik tidak diberikan secara rutin, kecuali bila ada edema paru-paru, payah jantung

kongestif atau anasarka. Diuretikum yang dipakai adalah furosemide. Pemberian

diuretik dapat merugikan, yaitu memperberat hipovolemia, memperburuk perfusi

uteroplasenta, meningkatkan hemokonsentrasi, menimbulkan dehidrasi pada janin,

dan menurunkan berat janin. 1

26

Page 27: REFERAT PEB-antihipertensi

2.7 Penggunaan Obat Antihipertensi pada Preeklampsia Berat di Indonesia

Jenis obat antihipertensi yang diberikan di Indonesia adalah Nifedipin dengan dosis

10 – 20 mg peroral, diulangi setelah 30 menit, maksimum 120 mg dalam 24 jam.

Nifedipin tidak boleh diberikan sublingual karena efek vasodilatasi sangat cepat sehingga

hanya boleh diberikan peroral. Tekanan darah diturunkan secara bertahap: (1) penurunan

awal 25% dari tekanan sistolik (2) tekanan darah diturunkan mencapai < 160/105 mmHg,

MAP < 125 mmHg.1,10

Nicardipine-HCl : 10 mg dalam 100 atau 250 cc NaCl/RL diberikan secara IV selama

5 menit, bila gagal dalam 1 jam dapat diulang dengan dosis 12,5 mg selama 5 menit. Bila

masih gagal dalam 1 jam, bisa diulangi sekali lagi dengan dosis 15 mg selama 5 menit.10,11

BAB III

KESIMPULAN27

Page 28: REFERAT PEB-antihipertensi

Preeklampsia ialah timbulnya hipertensi disertai proteinuria dan / atau edema akibat dari

kehamilan setelah umur kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan, bahkan setelah

24 jam postpartum.

Masih banyak pendapat dari beberapa negara tentang penentuan batas (cut off) tekanan

darah untuk pemberian antihipertensi. Penggunaan obat antihipertensi pada kehamilan

digunakan untuk mengontrol hipertensi ringan sampai sedang atau untuk mengendalikan

hipertensi berat. Pengelolaan hipertensi pada kehamilan membantu melindungi wanita dari

tekanan darah yang sangat tinggi dan memungkinkan untuk melanjutkan kehamilan,

pertumbuhan dan pematangan janin.

Pada preeklampsia, usia kehamilan serta nilai tekanan darah mempengaruhi penggunaan

obat antihipertensi. Pada aterm, wanita dengan preeklampsia kemungkinan besar dilahirkan,

pengobatan hipertensi (kecuali hipertensi berat) dapat ditunda, dan tekanan darah dapat

dievaluasi kembali postpartum. Perlu ditekankan bahwa tidak ada studi yang menunjukkan

target tekanan darah yang aman pada wanita hamil, sebagian besar panduan

merekomendasikan pengobatan sampai tekanan darah yang mendekati nilai protektif

melawan kejadian serebrovaskular atau kardiovaskular, biasanya antara 140 – 155 / 90 – 105

mmHg. Saat pengobatan antihipertensi digunakan pada pasien preeklampsia, pemantauan

janin membantu untuk mengetahui adanya gawat janin yang dapat terjadi akibat penurunan

perfusi plasenta.

Hipertensi yang berbahaya dapat menyebabkan perdarahan serebrovaskular dan hipertensi

ensefalopati, dan dapat memicu kejang eklampsia pada wanita dengan preeklamsia.

Komplikasi lain termasuk gagal jantung kongestif dan solusio plasenta. Tiga agen

antihipertensi yang paling umum digunakan adalah hydralazine, labetalol, dan nifedipine.

Jenis obat antihipertensi yang diberikan di Indonesia adalah Nifedipin dengan dosis 10 – 20

mg peroral, diulangi setelah 30 menit, maksimum 120 mg dalam 24 jam.

DAFTAR PUSTAKA

28

Page 29: REFERAT PEB-antihipertensi

1. Angsar MD. Hipertensi dalam kehamilan. [book auth.] Prawirohardjo S. [ed.] Rachimhadhi T, Wiknjosastro GH, Saifuddin AB. Ilmu Kebidanan. 4 th ed. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwon Prairohardjo, 2014. p. 530-59

2. Update on the use of antihypertensive drugs in pregnancy. American heart association journals. 2008;51: 960-969

3. Cunningham FG, Gant N, et al. Williams Obstetric 24th ed. McGraw-Hill, Medical Publishing Division, 2014. p. 728-70

4. Edmond K. Dewhurt’s textbook of obstetrics & gynaecology 8th ed. Wiley-Blackwell, 2012. p. 101-9

5. Farmakologi dan Terapi. 1995. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. P. 315-342.

6. Turner JA. Diagnosis and management of pre-eclampsia: an update. International journal of women’s health, 2010: 2 237-337

7. Thottumkal VA, Shamnas M. benefits and current use of antihypertensive drugs in trimester of pregnancy. International journal of pharmaceutical science and health care. Issue 3, Vol. 2. April, 2013. p. 7-15

8. Sushrut D, Girija. Labatalol – an emerging first-line drug for pregnancy-induced hypertension. Indian journal of clinical practice, vol. 23, no. 10, 2013. p. 640-1

9. Vidaeff AC, Carroll MC. Acute hypertensive emergencies in pregnancy. BMJ. 1999; 318: 1332-6

10. Barrileaux PS. Hypertension therapy during pregnancy. Clinical Obstetric and Gynecology. 2002;45:22-34

11. Pedoman Penatalaksanaan Hipertensi dalam Kehamilan. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia. 2010. p.11-12

29